Anda di halaman 1dari 21

SURVEI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR

HIPERTENSI

OLEH :
KELOMPOK 2
1.
2.
3.
4.
5.

Nur Zakiah
131000491
Anastasia Aditya
131000493
Maya Aprilia
131000494
Intan Sari F Munthe 131000495
Utari Adrianti
13100046
6.

7. Triwil Octavianus
8. Dwi Damayanti
9. Ribka V. br Sinuhaji
10.Widya Tri Kastuti
11. Fitrah fauziah

131000497
131000503
131000506
131000509
131000510

12.

13.

FAKULTAS KESEHATAN
MASYARAKAT

14. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15. 2015
16.
17.

BAB I PENDAHULUAN

18.
19.

Perubahan demgrafi yang diikuti dengan perkembangan teknologi

yang sangat pesat telah mempengaruhi pola hidup masyarakat. Hal ini berdampak
pada perubahan pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit tidak menular atau
lebih dikenal dengan penyakit degeneratif.
20.

WHO memperkirakan, pada tahun 2020 Penyakit Tidak Menular akan menyebabkan
73% kematian dan 60% seluruh kesakitan di dunia. Kasus hipertensi akan meningkat
sekitar 80 % terutama di negara berkembang pada tahun 2025 dari sejumlah 639 juta
kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025.

21.

Salah satu penyakit tidak menular yang mendapat perhatian adalah hipertensi.
Presentase penderita hipertensi saat ini paling banyak terdapat di negara berkembang.
Data Global Status Report Noncommunicable Disease 2010 dari WHO menyebutkan,
40% negara ekonomi berkembang memiliki penderita hipertensi, sedangkan negara maju
hanya 35 %. Kawasan Afrika memegang posisi puncak penderita hipertensi sebanyak
46%. Sementara kawasan Amerika sebanyak 35%, 36% terjadi pada orang dewasa
menderita hipertensi (Candra, 2013).
22.

Untuk kawasan Asia, penyakit ini telah membunuh 1,5 juta orang

setiap tahunnya. Hal ini menandakan satu dari tiga orang menderita tekanan darah
tinggi. Menurut Khancit, pada 2011 WHO mencatat ada satu miliar orang terkena

hipertensi. Di Indonesia, angka penderita hipertensi mencapai 32% pada 2008 d engan
kisaran usia diatas 25 tahun. Jumlah penderita pria mencapai 42,7% , sedangkan
39,2% adalah wanita (Candra, 2013).
23.
24. Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% pada tahun 2013, tetapi yang
terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan/atau riwayat minum obat hanya sebesar 9,5%. Hal
ini menandakan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis
dan terjangkau pelayanan kesehatan (KemenkesRI, 2013).

Profil data kesehatan

Indonesia tahun 2011 menyebutkan bahwa hipertensi merupakan salah satu dari 10
penyakit dengan kasus rawat inapterbanyak di rumah sakit pada tahun 2010, dengan
proporsi kasus 42,38% pria dan
25. 57,62% wanita, serta 4,8% pasien meninggal dunia (Kemenkes RI, 2012). Sementara itu,
berdasarkan data NHANES (National Health and Nutrition Examination Survey)
memperlihatkan bahwa risiko hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Data
NHANES 2005-2008 memperlihatkan kurang lebih 76,4 juta orang berusia 20 tahun
adalah penderita hipertensi, berarti 1 dari 3 orang dewasa menderita hipertensi (Candra,
2013).
26. Di Indonesia didirikan Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular (Dit PPTM) di
lingkungan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen PP dan
PL) untuk melaksanakan kebijakan Departemen Kesehatan dalam pencagahan dan
penanggulangan penyakit hipertensi yang merujuk pada angka prevalensi hipertensi yang
terus meningkat setiap tahunnya. Sehingga disusun buku pedoman Penemuan dan
Talaksana Hipertensi sebagai pedoman secara nasional bagian penatalaksanaan hipertensi.
27.
28. Surveilans hipertensi sangat penting untuk dilakukan oleh dinas kesehatan maupun
lembaga dan institusi lainnya yang berkecimpung di dunia kesehatan, agar masyarakat
dapat melakukan pengelolaan terhadap tekanan darahnya serta dapat mengontrolnya
sehingga dapat melakukan tindakan pencegahan dari berbagai aspek dan penyakit tidak
menular lainnya yang dapat meningkatkan angka mortalitas dapat diminimalisir.
29.
30. Kasus hipertensi ditemukan dengan pengumpulan data dan informasi melalui surveilans
hipertensi. Surveilans hipertensi meliputi surveilans faktor risiko, surveilans penyakit dan
surveilans kematian. . Kegiatan ini dilakukan oleh pihak puskesmas melalui pencatatan
dan pelaporan.

31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.

42. BAB II
A. SURVEILANS EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
43. Perubahan perilaku dan cara hidup masyarakat mengakibatkan terjadinya transisi
epidemiologi yaitu menggeser pola penyakit infeksi kepada pola penyakit non-infeksi.
Penyebab kematian tertinggi adalah :
44. - penyakit jantung koroner(CSDR = 1,6/1000 penduduk)
45. - neoplasma (SCDR = 0,5/1000 penduduk)
46. Pengumpulan data PTM diintegrasikan ke sistem Pencatatan rutin Puskesmas maupun
Puskesmas Sentinel. Akan dibangun jaringan kerjasama dengan lembaga penelitian dan
lembaga pendidikan untuk mendapatkan data faktor risiko PTM
47. Kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap PTM dan cedera dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan PTM dan cedera tersebut agar dapat
melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses
pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada
penyelenggara program kesehatan dan tindak lanjut.
48. Adapun tujuan umum surveilans epidemiologi penyakit tidak menular adalah
Mendapatkan informasi epidemiologi yang dapat dimanfaatkan sebagai alat manajemen

pengendalian penyakit tidak menular. Sedangkan tujuan khususnya adalah Mendapatkan


informasi faktor risiko atau determinan PJK, Diabetes, Neoplasma, menentukan strategi
penanggulangan, menetapkan prioritas penanggulangan pada daerah/kelompok penduduk
bermasalah, memantau dan menilai upaya penanggulangan, perencanaan, pemantauan,
dan evaluasi pelayanan keseshatan (pengobatan) di RS dimana dilakukan surveilans.
49. Manfaat adanya surveilans epidemiologi penyakit tidak menular adalah
50. a). Di tingkat Puskesmas
1. Dasar perencanaan agar lebih terarah dan terukur
2. Evaluasi berdasarkan evidence based
3. PTM dapat ditindak lanjut secara dini.
51.
52. b). Di tingkat kab/ Kota, Propinsi dan Pusat
1. Dasar perencanaan agar lebih terarah dan terukur
2. Evaluasi berdasarkan evidence based
3. Program pengendalian PTM menjadi tepat
53.
54. Sistem surveilans Penyakit Tidak Menular terbagi menjadi 2 sistem, yaitu :
1. Surveilans Faktor Resiko
55.
Surveilans faktor resiko merupakan Kegiatan analisis secara sistematis dan terus
menerus terhadap faktor risiko PTM agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara
efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi
epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
56.
57.
Sumber data
a. Survei : Riskesdas, SKRT, Susenas, Surkesda, dll.
b. Posbindu PTM, pemeriksaan IVA & CBE
c. Hasil wawancara dan pengukuran FR PTM di Puskesmas
d. Pemeriksaan laboratorium
58.
59.
Langkah kegiatan
60.
1). Pengumpulan data
Data primer :
Posbindu PTM (program)
Data sekunder : Survei berkala
Data batasan wilayah, target dan sasarn (denominator)

61. 2). Pengolahan dan analisis data

Software Sistem Informasi PTM atau software lain


Hasil analisis, antara lain :
Proporsi perokok aktif
62.

Proporsi kurang aktivitas fisik (<150 menit per minggu)

63.

Proporsi kurang konsumsi sayur dan buah

64.

Proporsi obesitas
65.

Proporsi obesitas sentral

66.

Proporsi hipertensi

67.

Proporsi hiperglikemi

68.

Proporsi hiperkolesterolemia

69.

Proporsi gangguan fungsi paru

70.

Proporsi konseling obesitas

71.

Proporsi konseling berhenti merokok

72.

Proporsi konseling IVA dan CBE

73. 3). Interpretasi


74.

berdasarkan situasi di suatu wilayah : kecenderungan, besaran masalah FR PTM

75. 4). Diseminasi

Laporan dan atau presentasi.


Kepada seluruh stakeholder yang terkait, seperti jajaran kesehatan, LSM, profesi,
perguruan tinggi dan masyarakat pada umumnya.

76. Output Surveilans Faktor Resiko Penyakit Tidak Menular

77.

78.

79.
2. Sistem Surveilans Penyakit Tidak Menular Kasus Penyakit Tidak Menular
80. A). Surveilans Berbasis Institusi
81. Surveilans kasusberbasisinstitusi adalah kegiatan analisis terus menerus dan sistematis
terhadap data PTM dengan berbasis data yang diperoleh di Puskesmas, Rumah Sakit, dan
institusi kesehatan lainnya, sertasurvaikesehatan yang mempunyai data rekap PTM.
82. Sumber Data

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)


Riset Kesehatan Daerah
Puskesmas

Rumah Sakit
Laboratorium

83.
84.
85.
86. Langkah Kegiatan

Pengumpulan data:
o mulaidari puskesmas, RS, dinkes kab./kota dan provinsi serta Pusat dengan
mengambil data sekunder. Data tersebut merupakan data agregat/kelompok,
o Menggunakan formulir yang ada: PKM LB1, RS RL2 a dan RLrb
o Data batasan wilayah, target dan sasarn (denominator)
87.
Pengolahan dan analisa:
o Dilakukanolehtimsurveilans di PKM, Dinkes Kab/Kota, Provinsi, dan Pusat.
o Produkpengolahan:
88.

Prevalensi penyakit jantung koroner

89.

Proporsi DM sebagai penyebab kematian

90.

Prevalensi hipertensi

91.

Prevalensi gagal jantung

92.

Prevalensi DM

93.

Prevalensi PPOK

94.

Proporsi penyakit tiroid dari seluruh penyakit.

o Penyajiandalambentuktabel, grafik, spot map, area map.


95.
Interpretasi:
96.

berdasarkan situasi di suatu wilayah: kecenderungan, besaran masalah

PTM

Diseminasi:
o Laporan dan /presentasi.

o Kepada seluruh stakeholder yang terkait, seperti jajaran kesehatan,


LSM, profesi, perguruan tinggi dan masyarakat pada umumnya.
97.

98.
99.

100.

101.
102.

DI

PRE VA L E
NS I
H I PE RT E N SI
PR OVI N SI
SU L AW E SI
T E N G G A RA
R I
S KE SD A S,
2007

103.
104.

Pencatatan dan Pelaporan

105.

1, Posbindu PTM

106.

1). AnamnesedanpemeriksaanFR PTM

107.

2). Merekap data(formulirrekapFR PTM)

RR PTM\form rekapposbindu

jatim.xls
108.

3). PetugasPuskesmas mengambil datarekapposbindu PTM kePosbindu PTM di

wilayahnya setiapbulan.
109.

2. Puskesmas

Merekap data FR PTM dari PKM dan Posbindu PTM (formulirrekapposbindu PTM)

Merekap data kasus PTM di PKM (formulirrekapkasus PTM )Rekap IVA


dan CBE (formulir IVA dan CBE)
Surveilansgakti
Verifikasi data
Data dilaporkan secara rutin setiap bulanke dinkes kab/kota.
110. 3. RumahSakit
o PetugassurveilansRS merekap data kasus PTM
o Merekap IVA dan CBE
o Dilaporkansecararutinsetiapbulanke dinkes kab/kota.

111.

112.

4. DinasKesehatanKabupaten/Kota

Menerima laporanbulanandari PKM, RS, dll


Merekap
dan
menvalidasi
(formulir

danformulirrekapitulasikasus PTM)
Mengumpulkan data faktor risikodankasus PTM darisurvai-survaikesehatan

yang ada.
Dinaskesehatankabupaten/kotamelakukanvalidasi data
Melaporkan hasil setiap1bulan kepada Dinkes provinsi
Memberikan umpan balik terhadaplaporanbulanan PKM, RS, dll.

rekapitulasiFR

PTM

6. Kementerian Kesehatan

o Kementerian Kesehatan (Pusat Data danInformasidanDirektorat PPTM menerima


laporan enam bulanan dari Dinas Kesehatan provinsi.
o Merekap dan validasi
o Memberikan umpan balik
113.
114.

CONTOH PEMANFAATAN DATA SURVEILANS PENYAKIT TIDAK MENULAR

115.
116.

PENEMUAN KASUS HIPERTENSI DI POSBINDU PTM

di tensi
hipertensi

117.

penduduk yang melakukan pengukuran tekanan darah dan ditemukan hipertensi


118.

Manfaat Kegiatan Bindu :


Perencanaan kegiatan bindu PTM selanjutnya
Perencanaan kegiatan promosi tentang manfaat pengukuran tekanan darah
Bagi Puskesmas menyiapkan perencanaan obat hipertensi
Bagi Dinkes Kab/kota dapat menjadi data perbandingan dengan wilayah lain

119.

STRATEGI PELAKSANAAN SURVEILANS PENYAKIT TIDAK MENULAR

120.

Sistem surveilans berorientasi pada upaya penanggulangan dan dilakukan sebagai

berikut :
121.

1.

122.

Tahap I
Surveilans PTM dilaksanakan diseluruh RS termasuk RS pendidikan negeri/ swasta
Tahap II, melalui puskesmas sentinel
Tahap III, Proyek khusus Penanggulangan PTM terpadu dimasyarakat melalui

123.
-

Pelaksanaan surveilans dilakukan secara bertahapyaitu :

PuskesmaS.
Tahap IV, pengembangan dilakukan di Puskesmas
2. Variabel yang dicatat
RS : mengikuti Sistem Pencatatan dan Pelaporan Rumah Sakit (SPRS)
Puskesmas : tentang Hipertensi, Diabetes
Puskesmas Sentinel : tentang faktor risiko Hipertensi,Diabetes , Obesitas, Makanan
dan minuman

124.

3. Sumber data lain

125.

Melengkapi gambaran PTM dan upaya penanggulangan.

126.

Data dikumpulkan melalui jaringan informasi dengan melibatkan lembaga penelitian

127.

4. Kelompok kerja PTM (Pokja PTM)

Ahli Epidemiologi
Subdit Surveilans
Pusat Penelitian PTM
Organisasi profesi terkait
Rekam medik di RS
Yayasan yang bergerak dibidang PTM
LSM peduli PTM

128.

5.Sistem Pencatatan dan Pelaporan

131.

129.

Dilakukan terintegrasi dengan pelaporan RS (SPRS)

130.

a). Sumber pelaporan : RS pendidikan

Penyakit yang dilaporkan ICDC revisi X

132.

- Kasusrawatinapdanrawatjalan

133.

- Kasus yang dicatathanyakasusbaru( setiapkasusdicatathanyasatu kali

134.

- Analisismasing-masingbaikrawatinapmaupunjalan
135.
136.

b). Variabel yang dikumpulkan : umur, jenis kelamin d n jenis penyakit

- Penyakit jantung koroner termasuk (Angina pektoris, Infark miokard aku,

Hipertensi Stroke)
137.

- Diabetes Mellitus (DMTI, DMTTI, DM karena malnutrisi, dll)

138.

- Neoplasma (Ca Cervix, payudara, hati, saluran empedu, bronchus dan

paru)
139.
140.

6. Pengolahan dan analisis data dilaksanakan

141.

- di RS oleh rekam medik

142.

- di Dinkes Kab/Kota oleh Subsie Surveilans

143.

- di Dinkes Propinsi oleh Sie Surveilans

144.

- di Pusat oleh Subdit Surveilans

145.

7. Formulir pelaporan

146.

- Laporan kasus rawat inap integrasikan dengan RL 2a1

147.

- Laporan kasus rawat jalan integrasikan dengan RL 2b1

148.

8. Alur Pelaporan

149.

Alur pelaporan sesuai dengan laporan RL2a1 dan RL2b1(RS laporkan ke Dinkes

kab/kota, diolah dan dianalisis oleh Subsie Surveilans


150.
151.

- Hasil analisis diteruska ke tingkat propinsi.


Kemudian dari Propinsi ke tingkat pusat (Subdit Surveilans Ditjend PPM-PL

Depkes RI
152.

9. Laporan dikirim dalam satu bulanan

153.

10. Penyebarluasan informasi dan Umpan balik

Umpan balik dari Subsie Surveilans Dinkes kab/kota ke Direktur RS


Umpan balik dar Sie Surveilans Dinkes Propinsi ke Subsie Surveilans Dinkes
kab/kota. Menyebarluaskan informasi melalui buletin epidemiologi kepada program

terkait
Umpan balik Subdit Surveilans serta penyebarluasan informasi melalui buletin
epidemiologi ke institusi kes (Dinkes, RS, Puskesmas, Organisasi profesi, pendidikan

dibdg kesehatan dan pokja lainnya.


Bentuk umpan balik dapat disampaikan secara lisan melalui pertemuan-pertemuan

disetiap tingkat administrasi kesehatan.


Survei dilakukan untuk menunjang data rutin PTM
Monitoring dan evaluasi untuk melihat proses pencatatan di RS kab/kotadan

mengetahui keberhasilan program pengendalian penyakit


Pengorganisasian dan Pembinaan didukung oleh SK Menkes RI. Pembinaan
dilaksanakan secara berjenjang dan terpadu
154.
155.
156.

157.
158.
159.
160.
161.

PENATALAKSANA HIPERTENSI

Pada tahun 2013, Joint National Committee telah mengeluarkan guideline terbaru

mengenai tatalaksana hipertensi atau tekanan darah tinggi, yaitu JNC 8. Mengingat bahwa
hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang memerlukan terapi jangka panjang
dengan banyak komplikasi yang mengancam nyawa seperti infark miokard, stroke, gagal
ginjal, hingga kematian jika tidak dideteksi dini dan diterapi dengan tepat, dirasakan perlu
untuk terus menggali strategi tatalaksana yang efektif dan efisien. Dengan begitu, terapi
yang dijalankan diharapkan dapat memberikan dampak maksimal.
162.

Rekomendasi 1. Rekomendasi pertama yang dipublikasikan melalui JNC 8 ini terkait

dengan target tekanan darah pada populasi umum usia 60 tahun atau lebih. Berbeda
dengan sebelumnya, target tekanan darah pada populasi tersebut lebih tinggi yaitu
tekanan darah sistolik kurang dari 150 mmHg serta tekanan darah diastolik kurang dari 90
mmHg. Rekomendasi A menjadi label dari rekomendasi nomor 1 ini.
163.

Apabila ternyata pasien sudah mencapai tekanan darah yang lebih rendah, seperti

misalnya tekanan darah sistolik <140 mmHg (mengikuti JNC 7), selama tidak ada efek
samping pada kesehatan pasien atau kualitas hidup , terapi tidak perlu diubah.
164.

Rekomendasi ini didasarkan bahwa pada beberapa RCT didapatkan bahwa dengan

melakukan terapi dengan tekanan darah sistolik <150/90 mmHg sudah terjadi penurunan
kejadian stroke, gagal jantung, dan penyakit jantung koroner. Ditambah dengan
penemuan bahwa dengan menerapkan target tekanan darah <140 mmHg pada usia
tersebut tidak didapatkan manfaat tambahan dibandingkan dengan kelompok dengan
target tekanan darah sistolik yang lebih tinggi. Namun, terdapat beberapa anggota komite
JNC yang tepat menyarankan untuk menggunakan target JNC 7 (<140 mmHg)
berdasarkan expert opinion terutama pada pasien dengan factor risiko multipel, pasien
dengan penyakit kardiovaskular termasuk stroke serta orang kulit hitam.
165.

Rekomendasi 2. Rekomendasi kedua dari JNC 8 adalah pada populasi umum yang

lebih muda dari 60 tahun, terapi farmakologi dimulai untuk menurunkan tekanan darah
diastolik <90 mmHg.

166.

Secara umum, target tekanan darah diastolic pada populasi ini tidak berbeda dengan

populasi yang lebih tua. Untuk golongan usia 30-59 tahun, terdapat rekomendasi A,
sementara untuk usia 18-29 tahun, terdapat expert opinion.
167.

Terdapat bukti-bukti yang dianggap berkualitas dan kuat dari 5 percobaan tentang

tekanan darah diastolic yang dilakukan oleh HDFP, Hypertension-Stroke Cooperative,


MRC, ANBP, dan VA Cooperative. Dengan tekanan darah <90 mmHg, didapatkan
penurunan kejadian serebrovaskular, gagal jantung, serta angka kematian secara umum.
Juga, didapatkan bukti bahwa menatalaksana dengan target 80 mmHg atau lebih rendah
tidak memberikan manfaat yang lebih dibandingkan target 90 mmHg.
168.

Pada populasi lebih muda dari 30 tahun, belum ada RCT yang memadai. Namun,

disimpulkan bahwa target untuk populasi tersebut mestinya sama dengan usia 30-59
tahun.
169.

Rekomendasi 3. Rekomendasi ketiga dari JNC adalah pada populasi umum yang lebih

muda dari 60 tahun, terapi farmakologi dimulai untuk menurunkan tekanan darah sistolik
<140 mmHg. Rekomendasi ini berdasarkan pada expert opinion. RCT terbaru mengenai
populasi ini serta target tekanan darahnya dianggap masih kurang memadai. Oleh karena
itu, panelist tetap merekomendasikan standar yang sudah dipakai sebelumnya pada JNC
7. Selain itu, tidak ada alasan yang dirasakan membuat standar tersebut perlu diganti.
170.

Alasan berikutnya terkait dengan penelitian tentang tekanan darah diastolic yang

digunakan pada rekomendasi 2 yang mana didapatkan bahwa pasien yang mendapatkan
tekanan darah kurang dari 90 mmHg juga mengalami penurunan tekanan darah sistolik
kurang dari 140 mmHg. Sulit untuk menentukan bahwa benefit yang terjadi pada
penelitian tersebut disebabkan oleh penurunan tekanan darah sistolik, diastolic atau
keduanya. Tentunya dengan mengkombinasikan rekomendasi 2 dan 3, manfaat yang
didapatkan seperti pada penelitian tersebut juga diharapkan mampu digapai.
171.

Rekomendasi 4. Rekomendasi 4 dikhususkan untuk populasi penderita tekanan darah

tinggi dengan chronic kidney disease (CKD). Populasi usia 18 tahun atau lebih dengan
CKD perlu diinisiasi terapi hipertensi untuk mendapatkan target tekanan darah sistolik
kurang dari 140 mmHg serta diastolik kurang dari 90 mmHg. Rekomendasi ini
merupakan expert opinion.

172.

RCT yang digunakan untuk mendukung rekomendasi ini melibatkan populasi usia

kurang dari 70 tahun dengan eGFR atau measured GFR kurang dari 60 mL/min/1.73 m2
dan pada orang dengan albuminuria (lebih dari 30 mg albumin/g kreatinin) pada berbagai
level GFR maupun usia.
173.

Perlu diperhatikan bahwa setelah kita mengetahui data usia pasien, pada pasien lebih

dari 60 tahun kita perlu menentukan status fungsi ginjal. Jika tidak ada CKD, target
tekanan darah sistolik yang digunakan adalah 150/90 mmHg sementara jika ada CKD,
targetnya lebih rendah, yaitu 140/90 mmHg.
174.

Rekomendasi 5. Pada pasien usia 18 tahun atau lebih dengan diabetes, inisiasi terapi

dimulai untuk menurunkan tekanan darah sistolik kurang dari 140 mmHg dan diastolic
kurang dari 90 mmHg. Rekomendasi ini merupakan expert opinion. Target tekanan darah
ini lebih tinggi dari guideline sebelumnya, yaitu tekanan darah sistolik <130 mmHg serta
diastolic <85 mmHg.
175.

Rekomendasi 6. Pada populasi umum non kulit hitam (negro), termasuk pasien

dengan diabetes, terapi antihipertensi inisial sebaiknya menyertakan diuretic thiazid,


Calcium channel blocker (CCB), Angiotensin-converting Enzyme Inhibitor (ACEI) atau
Angiotensin Receptor Blocker (ARB). Rekomendasi ini merupakan rekomendasi B.
176.

Masing-masing kelas obat tersebut direkomendasikan karena memberikan efek yang

dapat dibandingkan terkait angka kematian secara umum, fungsi kardiovaskular,


serebrovaskular dan outcome ginjal, kecuali gagal jantung. Terapi inisiasi dengan diuretic
thiazid lebih efektif dibandingkan CCB atau ACEI, dan ACEI lebih efektif dibandingkan
CCB dalam meningkatkan outcome pada gagal jantung. Jadi pada kasus selain gagal
jantung kita dapat memilih salah satu dari golongan obat tersebut, tetapi pada gagal
jantung sebaiknya thiazid yang dipilih.
177.

Beta blocker tidak direkomendasikan untuk terapi inisial hipertensi karena

penggunaan beta blocker memberikan kejadian yang lebih tinggi pada kematian akibat
penyakit kardiovaskular, infark miokard, atau stroke dibandingkan dengan ARB.
178.

Sementara itu, alpha blocker tidak direkomendasikan karena justru golongan obat

tersebut

memberikan

kejadian

cerebrovaskular,

gagal

jantung

dan

outcome

kardiovaskular yang lebih jelek dibandingkan dengan penggunaan diuretic sebagai terapi
inisiasi.

179.

Rekomendasi 7. Pada populasi kulit hitam, termasuk mereka dengan diabetes, terapi

inisial hipertensi sebaiknya menggunakan diuretic tipe thiazide atau CCB. Pada populasi
ini, ARB dan ACEI tidak direkomendasikan. Rekomendasi untuk populasi kulit hitam
adalah rekomendasi B sedangkan populasi kulit hitam dengan diabetes adalah
rekomendasi C.
180.

Pada studi yang digunakan, didapatkan bahwa penggunaan diuretic thiazide

memberikan perbaikan yang lebih tinggi pada kejadian cerebrovaskular, gagal jantung
dan outcome kardiovaskular yang dikombinasi dibandingkan ACEI. Sementara itu, meski
CCB lebih kurang dibandingkan diuretic dalam mencegah gagal jantung, tetapi outcome
lain tidak terlalu berbeda dibandingkan dengan diuretik thiazide.
181.

CCB juga lebih direkomendasikan dibandingkan ACEI karena ternyata didapatkan

hasil bahwa pada pasien kulit hitam memiliki 51% kejadian lebih tinggi mengalami stroke
pada penggunaan ACEI sebagai terapi inisial dibandingkan dengan penggunaan CCB.
Selain itu, pada populasi kulit hitam, ACEI juga memberikan efek penurunan tekanan
darah yang kurang efektif dibandingkan CCB.
182.

Rekomendasi 8. Pada populasi berusia 18 tahun atau lebih dengan CKD dan

hipertensi, ACEI atau ARB sebaiknya digunakan dalam terapi inisial atau terapi tambahan
untuk meningkatkan outcome pada ginjal. Hal ini berlaku pada semua pasien CKD dalam
semua ras maupun status diabetes.
183.

Pasien CKD, dengan atau tanpa proteinuria mendapatkan outcome ginjal yang lebih

baik dengan penggunaan ACEI atau ARB. Sementara itu, pada pasien kulit hitam dengan
CKD, terutama yang mengalami proteinuria, ACEI atau ARB tetap direkomendasikan
karena adanya kemungkinan untuk progresif menjadi ESRD (end stage renal disease).
Sementara jika tidak ada proteinuria, pilihan terapi inisial masih belum jelas antara
thiazide, ARB, ACEI atau CCB. Jadi, bisa dipilih salah satunya. Jika ACEI atau ARB
tidak digunakan dalam terapi inisial, obat tersebut juga bisa digunakan sebagai terapi
tambahan atau terapi kombinasi.
184.

Penggunaan ACEI dan ARB secara umum dapat meningkatkan kadar kreatinin serum

dan mungkin menghasilkan efek metabolic seperti hiperkalemia, terutama pada mereka
dengan fungsi ginjal yang sudah menurun. Peningkatan kadar kreatinin dan potassium
tidak selalu membutuhkan penyesuaian terapi. Namun, kita perlu memantau kadar

elektrolit dan kreatinin yang mana pada beberapa kasus perlu mendapatkan penurunan
dosis atau penghentian obat.
185.

Rekomendasi 9. Rekomendasi 9 ini termasuk dalam rekomendasi E atau expert

opinion. Rekomendasi 9 dari JNC 8 mengarahkan kita untuk melakukan penyesuaian


apabila terapi inisial yang diberikan belum memberikan target tekanan darah yang
diharapkan. Jangka waktu yang menjadi patokan awal adalah satu bulan, Jika dalam satu
bulan target tekanan darah belum tercapai, kita dapat memilih antara meningkatkan dosis
obat pertama atau menambahkan obat lain sebagai terapi kombinasi. Obat yang
digunakan sesuai dengan rekomendasi yaitu thiazide, ACEI, ARB atau CCB. Namun,
ARB dan ACEI sebaiknya tidak dikombinasikan. Jika dengan dua obat belum berhasil,
kita dapat memberikan obat ketiga secara titrasi. Pada masing-masing tahap kita perlu
terus memantai perkembangan tekanan darahnya serta bagaimana terapi dijalankan,
termasuk kepatuhan pasien. Jika perlu lebih dari tiga obat atau obat yang
direkomendasikan tersebut tidak dapat diberikan, kita bisa menggunakan antihipertensi
golongan lain.
186.

187. BAB III PENUTUP


188.
189. 3.1 Kesimpulan
190.

Hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang memerlukan terapi jangka

panjang dengan banyak komplikasi yang mengancam nyawa seperti infark miokard,
stroke, gagal ginjal, hingga kematian jika tidak dideteksi dini dan diterapi dengan tepat,
dirasakan perlu untuk terus menggali strategi tatalaksana yang efektif dan efisien.
191. Surveilans faktor resiko merupakan Kegiatan analisis secara sistematis dan
terus menerus terhadap faktor risiko PTM agar dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data,
pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program
kesehatan.
192. Dilakukan dengan langkah pengumpulan data, pengolahan dan analisis data,
Interpretasi, diseminasi. Pengumpulan data dilakukan melalui pencatatan dan pelaporan
puskesmas, puskesmas sentinel, dan rumah sakit.
193.

Anda mungkin juga menyukai