HIPERTENSI
OLEH :
KELOMPOK 2
1.
2.
3.
4.
5.
Nur Zakiah
131000491
Anastasia Aditya
131000493
Maya Aprilia
131000494
Intan Sari F Munthe 131000495
Utari Adrianti
13100046
6.
7. Triwil Octavianus
8. Dwi Damayanti
9. Ribka V. br Sinuhaji
10.Widya Tri Kastuti
11. Fitrah fauziah
131000497
131000503
131000506
131000509
131000510
12.
13.
FAKULTAS KESEHATAN
MASYARAKAT
BAB I PENDAHULUAN
18.
19.
yang sangat pesat telah mempengaruhi pola hidup masyarakat. Hal ini berdampak
pada perubahan pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit tidak menular atau
lebih dikenal dengan penyakit degeneratif.
20.
WHO memperkirakan, pada tahun 2020 Penyakit Tidak Menular akan menyebabkan
73% kematian dan 60% seluruh kesakitan di dunia. Kasus hipertensi akan meningkat
sekitar 80 % terutama di negara berkembang pada tahun 2025 dari sejumlah 639 juta
kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025.
21.
Salah satu penyakit tidak menular yang mendapat perhatian adalah hipertensi.
Presentase penderita hipertensi saat ini paling banyak terdapat di negara berkembang.
Data Global Status Report Noncommunicable Disease 2010 dari WHO menyebutkan,
40% negara ekonomi berkembang memiliki penderita hipertensi, sedangkan negara maju
hanya 35 %. Kawasan Afrika memegang posisi puncak penderita hipertensi sebanyak
46%. Sementara kawasan Amerika sebanyak 35%, 36% terjadi pada orang dewasa
menderita hipertensi (Candra, 2013).
22.
Untuk kawasan Asia, penyakit ini telah membunuh 1,5 juta orang
setiap tahunnya. Hal ini menandakan satu dari tiga orang menderita tekanan darah
tinggi. Menurut Khancit, pada 2011 WHO mencatat ada satu miliar orang terkena
hipertensi. Di Indonesia, angka penderita hipertensi mencapai 32% pada 2008 d engan
kisaran usia diatas 25 tahun. Jumlah penderita pria mencapai 42,7% , sedangkan
39,2% adalah wanita (Candra, 2013).
23.
24. Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% pada tahun 2013, tetapi yang
terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan/atau riwayat minum obat hanya sebesar 9,5%. Hal
ini menandakan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis
dan terjangkau pelayanan kesehatan (KemenkesRI, 2013).
Indonesia tahun 2011 menyebutkan bahwa hipertensi merupakan salah satu dari 10
penyakit dengan kasus rawat inapterbanyak di rumah sakit pada tahun 2010, dengan
proporsi kasus 42,38% pria dan
25. 57,62% wanita, serta 4,8% pasien meninggal dunia (Kemenkes RI, 2012). Sementara itu,
berdasarkan data NHANES (National Health and Nutrition Examination Survey)
memperlihatkan bahwa risiko hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Data
NHANES 2005-2008 memperlihatkan kurang lebih 76,4 juta orang berusia 20 tahun
adalah penderita hipertensi, berarti 1 dari 3 orang dewasa menderita hipertensi (Candra,
2013).
26. Di Indonesia didirikan Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular (Dit PPTM) di
lingkungan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen PP dan
PL) untuk melaksanakan kebijakan Departemen Kesehatan dalam pencagahan dan
penanggulangan penyakit hipertensi yang merujuk pada angka prevalensi hipertensi yang
terus meningkat setiap tahunnya. Sehingga disusun buku pedoman Penemuan dan
Talaksana Hipertensi sebagai pedoman secara nasional bagian penatalaksanaan hipertensi.
27.
28. Surveilans hipertensi sangat penting untuk dilakukan oleh dinas kesehatan maupun
lembaga dan institusi lainnya yang berkecimpung di dunia kesehatan, agar masyarakat
dapat melakukan pengelolaan terhadap tekanan darahnya serta dapat mengontrolnya
sehingga dapat melakukan tindakan pencegahan dari berbagai aspek dan penyakit tidak
menular lainnya yang dapat meningkatkan angka mortalitas dapat diminimalisir.
29.
30. Kasus hipertensi ditemukan dengan pengumpulan data dan informasi melalui surveilans
hipertensi. Surveilans hipertensi meliputi surveilans faktor risiko, surveilans penyakit dan
surveilans kematian. . Kegiatan ini dilakukan oleh pihak puskesmas melalui pencatatan
dan pelaporan.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42. BAB II
A. SURVEILANS EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
43. Perubahan perilaku dan cara hidup masyarakat mengakibatkan terjadinya transisi
epidemiologi yaitu menggeser pola penyakit infeksi kepada pola penyakit non-infeksi.
Penyebab kematian tertinggi adalah :
44. - penyakit jantung koroner(CSDR = 1,6/1000 penduduk)
45. - neoplasma (SCDR = 0,5/1000 penduduk)
46. Pengumpulan data PTM diintegrasikan ke sistem Pencatatan rutin Puskesmas maupun
Puskesmas Sentinel. Akan dibangun jaringan kerjasama dengan lembaga penelitian dan
lembaga pendidikan untuk mendapatkan data faktor risiko PTM
47. Kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap PTM dan cedera dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan PTM dan cedera tersebut agar dapat
melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses
pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada
penyelenggara program kesehatan dan tindak lanjut.
48. Adapun tujuan umum surveilans epidemiologi penyakit tidak menular adalah
Mendapatkan informasi epidemiologi yang dapat dimanfaatkan sebagai alat manajemen
63.
64.
Proporsi obesitas
65.
66.
Proporsi hipertensi
67.
Proporsi hiperglikemi
68.
Proporsi hiperkolesterolemia
69.
70.
71.
72.
77.
78.
79.
2. Sistem Surveilans Penyakit Tidak Menular Kasus Penyakit Tidak Menular
80. A). Surveilans Berbasis Institusi
81. Surveilans kasusberbasisinstitusi adalah kegiatan analisis terus menerus dan sistematis
terhadap data PTM dengan berbasis data yang diperoleh di Puskesmas, Rumah Sakit, dan
institusi kesehatan lainnya, sertasurvaikesehatan yang mempunyai data rekap PTM.
82. Sumber Data
Rumah Sakit
Laboratorium
83.
84.
85.
86. Langkah Kegiatan
Pengumpulan data:
o mulaidari puskesmas, RS, dinkes kab./kota dan provinsi serta Pusat dengan
mengambil data sekunder. Data tersebut merupakan data agregat/kelompok,
o Menggunakan formulir yang ada: PKM LB1, RS RL2 a dan RLrb
o Data batasan wilayah, target dan sasarn (denominator)
87.
Pengolahan dan analisa:
o Dilakukanolehtimsurveilans di PKM, Dinkes Kab/Kota, Provinsi, dan Pusat.
o Produkpengolahan:
88.
89.
90.
Prevalensi hipertensi
91.
92.
Prevalensi DM
93.
Prevalensi PPOK
94.
PTM
Diseminasi:
o Laporan dan /presentasi.
98.
99.
100.
101.
102.
DI
PRE VA L E
NS I
H I PE RT E N SI
PR OVI N SI
SU L AW E SI
T E N G G A RA
R I
S KE SD A S,
2007
103.
104.
105.
1, Posbindu PTM
106.
107.
RR PTM\form rekapposbindu
jatim.xls
108.
wilayahnya setiapbulan.
109.
2. Puskesmas
Merekap data FR PTM dari PKM dan Posbindu PTM (formulirrekapposbindu PTM)
111.
112.
4. DinasKesehatanKabupaten/Kota
danformulirrekapitulasikasus PTM)
Mengumpulkan data faktor risikodankasus PTM darisurvai-survaikesehatan
yang ada.
Dinaskesehatankabupaten/kotamelakukanvalidasi data
Melaporkan hasil setiap1bulan kepada Dinkes provinsi
Memberikan umpan balik terhadaplaporanbulanan PKM, RS, dll.
rekapitulasiFR
PTM
6. Kementerian Kesehatan
115.
116.
di tensi
hipertensi
117.
119.
120.
berikut :
121.
1.
122.
Tahap I
Surveilans PTM dilaksanakan diseluruh RS termasuk RS pendidikan negeri/ swasta
Tahap II, melalui puskesmas sentinel
Tahap III, Proyek khusus Penanggulangan PTM terpadu dimasyarakat melalui
123.
-
PuskesmaS.
Tahap IV, pengembangan dilakukan di Puskesmas
2. Variabel yang dicatat
RS : mengikuti Sistem Pencatatan dan Pelaporan Rumah Sakit (SPRS)
Puskesmas : tentang Hipertensi, Diabetes
Puskesmas Sentinel : tentang faktor risiko Hipertensi,Diabetes , Obesitas, Makanan
dan minuman
124.
125.
126.
127.
Ahli Epidemiologi
Subdit Surveilans
Pusat Penelitian PTM
Organisasi profesi terkait
Rekam medik di RS
Yayasan yang bergerak dibidang PTM
LSM peduli PTM
128.
131.
129.
130.
132.
- Kasusrawatinapdanrawatjalan
133.
134.
- Analisismasing-masingbaikrawatinapmaupunjalan
135.
136.
Hipertensi Stroke)
137.
138.
paru)
139.
140.
141.
142.
143.
144.
145.
7. Formulir pelaporan
146.
147.
148.
8. Alur Pelaporan
149.
Alur pelaporan sesuai dengan laporan RL2a1 dan RL2b1(RS laporkan ke Dinkes
Depkes RI
152.
153.
terkait
Umpan balik Subdit Surveilans serta penyebarluasan informasi melalui buletin
epidemiologi ke institusi kes (Dinkes, RS, Puskesmas, Organisasi profesi, pendidikan
157.
158.
159.
160.
161.
PENATALAKSANA HIPERTENSI
Pada tahun 2013, Joint National Committee telah mengeluarkan guideline terbaru
mengenai tatalaksana hipertensi atau tekanan darah tinggi, yaitu JNC 8. Mengingat bahwa
hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang memerlukan terapi jangka panjang
dengan banyak komplikasi yang mengancam nyawa seperti infark miokard, stroke, gagal
ginjal, hingga kematian jika tidak dideteksi dini dan diterapi dengan tepat, dirasakan perlu
untuk terus menggali strategi tatalaksana yang efektif dan efisien. Dengan begitu, terapi
yang dijalankan diharapkan dapat memberikan dampak maksimal.
162.
dengan target tekanan darah pada populasi umum usia 60 tahun atau lebih. Berbeda
dengan sebelumnya, target tekanan darah pada populasi tersebut lebih tinggi yaitu
tekanan darah sistolik kurang dari 150 mmHg serta tekanan darah diastolik kurang dari 90
mmHg. Rekomendasi A menjadi label dari rekomendasi nomor 1 ini.
163.
Apabila ternyata pasien sudah mencapai tekanan darah yang lebih rendah, seperti
misalnya tekanan darah sistolik <140 mmHg (mengikuti JNC 7), selama tidak ada efek
samping pada kesehatan pasien atau kualitas hidup , terapi tidak perlu diubah.
164.
Rekomendasi ini didasarkan bahwa pada beberapa RCT didapatkan bahwa dengan
melakukan terapi dengan tekanan darah sistolik <150/90 mmHg sudah terjadi penurunan
kejadian stroke, gagal jantung, dan penyakit jantung koroner. Ditambah dengan
penemuan bahwa dengan menerapkan target tekanan darah <140 mmHg pada usia
tersebut tidak didapatkan manfaat tambahan dibandingkan dengan kelompok dengan
target tekanan darah sistolik yang lebih tinggi. Namun, terdapat beberapa anggota komite
JNC yang tepat menyarankan untuk menggunakan target JNC 7 (<140 mmHg)
berdasarkan expert opinion terutama pada pasien dengan factor risiko multipel, pasien
dengan penyakit kardiovaskular termasuk stroke serta orang kulit hitam.
165.
Rekomendasi 2. Rekomendasi kedua dari JNC 8 adalah pada populasi umum yang
lebih muda dari 60 tahun, terapi farmakologi dimulai untuk menurunkan tekanan darah
diastolik <90 mmHg.
166.
Secara umum, target tekanan darah diastolic pada populasi ini tidak berbeda dengan
populasi yang lebih tua. Untuk golongan usia 30-59 tahun, terdapat rekomendasi A,
sementara untuk usia 18-29 tahun, terdapat expert opinion.
167.
Terdapat bukti-bukti yang dianggap berkualitas dan kuat dari 5 percobaan tentang
Pada populasi lebih muda dari 30 tahun, belum ada RCT yang memadai. Namun,
disimpulkan bahwa target untuk populasi tersebut mestinya sama dengan usia 30-59
tahun.
169.
Rekomendasi 3. Rekomendasi ketiga dari JNC adalah pada populasi umum yang lebih
muda dari 60 tahun, terapi farmakologi dimulai untuk menurunkan tekanan darah sistolik
<140 mmHg. Rekomendasi ini berdasarkan pada expert opinion. RCT terbaru mengenai
populasi ini serta target tekanan darahnya dianggap masih kurang memadai. Oleh karena
itu, panelist tetap merekomendasikan standar yang sudah dipakai sebelumnya pada JNC
7. Selain itu, tidak ada alasan yang dirasakan membuat standar tersebut perlu diganti.
170.
Alasan berikutnya terkait dengan penelitian tentang tekanan darah diastolic yang
digunakan pada rekomendasi 2 yang mana didapatkan bahwa pasien yang mendapatkan
tekanan darah kurang dari 90 mmHg juga mengalami penurunan tekanan darah sistolik
kurang dari 140 mmHg. Sulit untuk menentukan bahwa benefit yang terjadi pada
penelitian tersebut disebabkan oleh penurunan tekanan darah sistolik, diastolic atau
keduanya. Tentunya dengan mengkombinasikan rekomendasi 2 dan 3, manfaat yang
didapatkan seperti pada penelitian tersebut juga diharapkan mampu digapai.
171.
tinggi dengan chronic kidney disease (CKD). Populasi usia 18 tahun atau lebih dengan
CKD perlu diinisiasi terapi hipertensi untuk mendapatkan target tekanan darah sistolik
kurang dari 140 mmHg serta diastolik kurang dari 90 mmHg. Rekomendasi ini
merupakan expert opinion.
172.
RCT yang digunakan untuk mendukung rekomendasi ini melibatkan populasi usia
kurang dari 70 tahun dengan eGFR atau measured GFR kurang dari 60 mL/min/1.73 m2
dan pada orang dengan albuminuria (lebih dari 30 mg albumin/g kreatinin) pada berbagai
level GFR maupun usia.
173.
Perlu diperhatikan bahwa setelah kita mengetahui data usia pasien, pada pasien lebih
dari 60 tahun kita perlu menentukan status fungsi ginjal. Jika tidak ada CKD, target
tekanan darah sistolik yang digunakan adalah 150/90 mmHg sementara jika ada CKD,
targetnya lebih rendah, yaitu 140/90 mmHg.
174.
Rekomendasi 5. Pada pasien usia 18 tahun atau lebih dengan diabetes, inisiasi terapi
dimulai untuk menurunkan tekanan darah sistolik kurang dari 140 mmHg dan diastolic
kurang dari 90 mmHg. Rekomendasi ini merupakan expert opinion. Target tekanan darah
ini lebih tinggi dari guideline sebelumnya, yaitu tekanan darah sistolik <130 mmHg serta
diastolic <85 mmHg.
175.
Rekomendasi 6. Pada populasi umum non kulit hitam (negro), termasuk pasien
penggunaan beta blocker memberikan kejadian yang lebih tinggi pada kematian akibat
penyakit kardiovaskular, infark miokard, atau stroke dibandingkan dengan ARB.
178.
Sementara itu, alpha blocker tidak direkomendasikan karena justru golongan obat
tersebut
memberikan
kejadian
cerebrovaskular,
gagal
jantung
dan
outcome
kardiovaskular yang lebih jelek dibandingkan dengan penggunaan diuretic sebagai terapi
inisiasi.
179.
Rekomendasi 7. Pada populasi kulit hitam, termasuk mereka dengan diabetes, terapi
inisial hipertensi sebaiknya menggunakan diuretic tipe thiazide atau CCB. Pada populasi
ini, ARB dan ACEI tidak direkomendasikan. Rekomendasi untuk populasi kulit hitam
adalah rekomendasi B sedangkan populasi kulit hitam dengan diabetes adalah
rekomendasi C.
180.
memberikan perbaikan yang lebih tinggi pada kejadian cerebrovaskular, gagal jantung
dan outcome kardiovaskular yang dikombinasi dibandingkan ACEI. Sementara itu, meski
CCB lebih kurang dibandingkan diuretic dalam mencegah gagal jantung, tetapi outcome
lain tidak terlalu berbeda dibandingkan dengan diuretik thiazide.
181.
hasil bahwa pada pasien kulit hitam memiliki 51% kejadian lebih tinggi mengalami stroke
pada penggunaan ACEI sebagai terapi inisial dibandingkan dengan penggunaan CCB.
Selain itu, pada populasi kulit hitam, ACEI juga memberikan efek penurunan tekanan
darah yang kurang efektif dibandingkan CCB.
182.
Rekomendasi 8. Pada populasi berusia 18 tahun atau lebih dengan CKD dan
hipertensi, ACEI atau ARB sebaiknya digunakan dalam terapi inisial atau terapi tambahan
untuk meningkatkan outcome pada ginjal. Hal ini berlaku pada semua pasien CKD dalam
semua ras maupun status diabetes.
183.
Pasien CKD, dengan atau tanpa proteinuria mendapatkan outcome ginjal yang lebih
baik dengan penggunaan ACEI atau ARB. Sementara itu, pada pasien kulit hitam dengan
CKD, terutama yang mengalami proteinuria, ACEI atau ARB tetap direkomendasikan
karena adanya kemungkinan untuk progresif menjadi ESRD (end stage renal disease).
Sementara jika tidak ada proteinuria, pilihan terapi inisial masih belum jelas antara
thiazide, ARB, ACEI atau CCB. Jadi, bisa dipilih salah satunya. Jika ACEI atau ARB
tidak digunakan dalam terapi inisial, obat tersebut juga bisa digunakan sebagai terapi
tambahan atau terapi kombinasi.
184.
Penggunaan ACEI dan ARB secara umum dapat meningkatkan kadar kreatinin serum
dan mungkin menghasilkan efek metabolic seperti hiperkalemia, terutama pada mereka
dengan fungsi ginjal yang sudah menurun. Peningkatan kadar kreatinin dan potassium
tidak selalu membutuhkan penyesuaian terapi. Namun, kita perlu memantau kadar
elektrolit dan kreatinin yang mana pada beberapa kasus perlu mendapatkan penurunan
dosis atau penghentian obat.
185.
panjang dengan banyak komplikasi yang mengancam nyawa seperti infark miokard,
stroke, gagal ginjal, hingga kematian jika tidak dideteksi dini dan diterapi dengan tepat,
dirasakan perlu untuk terus menggali strategi tatalaksana yang efektif dan efisien.
191. Surveilans faktor resiko merupakan Kegiatan analisis secara sistematis dan
terus menerus terhadap faktor risiko PTM agar dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data,
pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program
kesehatan.
192. Dilakukan dengan langkah pengumpulan data, pengolahan dan analisis data,
Interpretasi, diseminasi. Pengumpulan data dilakukan melalui pencatatan dan pelaporan
puskesmas, puskesmas sentinel, dan rumah sakit.
193.