Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular. Penyakit
ini disebabkan oleh toksin dari bakteri dengan ditandai pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara.
Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteriae, dimana manusia
merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. Infeksi biasanya terdapat pada
faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga.
Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efeksistemik terutama
karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.
Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak
dengan penderita maupun carrier.1,2
Di Indonesia, wabah difteri muncul kembali sejak tahun 2001 di Cianjur,
Semarang, Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan case fatality rate (CFR)
11,7-31,9%. Di Jawa Timur sejak tahun 2000-2011, tercatat 335 kasus dengan
jumlah kematian 11 orang dan pada tanggal 10 Oktober 2011 Provinsi Jawa Timur
dinyatakan berstatus kejadian luar biasa (KLB). Laringitis difteri biasanya
merupakan perluasan dari faringitis difteri. Penderita dengan laringitis difteri
sangat sesak karena edema jaringan lunak dan penyumbatan saluran pernapasan
dan bekuan nekrotik. Oleh karena banyaknya kasus laringitis yang terjadi, maka
penulis mencoba memaparkan referat mengenai laringitis difteri, dimulai dari
anatomi laring, pengertian, penyebab, gambaran klinis hingga penatalaksanaan.1,3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Laring
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan
suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi
vertebra servikalis IV VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya
relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadangkadang saja tertutup bila sedang menelan makanan. Batas-batas laring berupa
sebelah kranial terdapat aditus laringeus yang berhubungan dengan
hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago krikoid dan
berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra
servikalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring, serta
di sebelah anterior ditutupi oleh fasia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di
sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahioid, dan
lobus kelenjar tiroid.4,5
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid dan
beberapa buah tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf U, yang
permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak
oleh tendo dan otot-otot. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago
epiglotis, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata dan
kartilago tiroid.4-6
Pada laring terdapat dua buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan
artikulasi krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring
adalah ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum
krikotiroid

medial,

ligamentum

krikotiroid

posterior,

ligamentum

kornikulofaringal, ligamentum hiotiroid lateral, ligamentum hiotiroid medial,


ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis, ligamentum vokal yang
menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid dan ligamentum
tiroepiglotika. Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding
kartilago tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya.
2

Tulang hioid dihubungkan dengan laring oleh membran tiroidea. Tulang ini
merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamen serta akan mengalami
osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.4,5

Gambar 1. Anatomi laring 5

Anatomi Bagian Laring Dalam


Kavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut:
1. Supraglotis (vestibulum superior), yaitu ruangan diantara permukaan atas pita
suara palsu dan inlet laring.
2. Glotis (pars media), yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan
pita suara sejati serta membentuk rongga yang disebut ventrikel laring
Morgagni.
3. Infraglotis (pars inferior), yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi
bawah kartilago krikoidea. 4

Beberapa bagian penting dari dalam laring:


1. Aditus laringeus merupakan pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di
anterior oleh epiglotis, lateral oleh plika ariepiglotika, posterior oleh ujung
kartilago kornikulata dan tepi atas otot aritenoideus.
2. Rima vestibuli merupakan celah antara pita suara palsu.
3. Rima glotis, di bagian depan merupakan celah antara pita suara sejati, di
belakang antara prosesus vokalis dan basis kartilago aritenoidea.
4. Valekula, terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah,
5.

dibentuk oleh plika glosoepiglotika medial dan lateral.


Plika ariepiglotika, dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang
berjalan dari kartilago epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago

kornikulata.
6. Plika piriformis (hipofaring), terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan
7.

dalam kartilago tiroidea.


Insisura interaritenoidea merupakan suatu lekukan atau takik diantara

tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri.


8. Vestibulum laring adalah ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membran
kuadringularis, kartilago aritenoid, permukaan atas prosesus vokalis kartilago
aritenoidea dan otot interaritenoidea.
9. Plika ventrikularis (pita suara palsu) merupakan pita suara palsu yang
bergerak bersama-sama dengan kartilago aritenoidea untuk menutup glotis
dalam keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal dari selaput lendir
dengan jaringan ikat tipis di tengahnya.
10. Ventrikel laring Morgagni (sinus laringeus) adalah ruangan antara pita suara
palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel terdapat suatu
divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara palsu dan permukaan
dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia dengan beberapa
kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara sejati,
disebut apendiks atau sakulus ventrikel laring.
11. Plika vokalis (pita suara sejati), terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima
bagian

dibentuk

oleh

ligamentum

vokalis

dan

celahnya

disebut

intermembranous portion, dan dua per lima belakang dibentuk oleh prosesus
vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut intercartilagenous portion.

Persarafan
Laring dipersarafi oleh cabang nervus vagus yaitu nervi laringeales
superior dan nervi laringeales inferior (nervi laringeales rekuren) kiri dan kanan.
1. Nervi laringeales superior.
Meninggalkan nervus vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung
ke depan dan medial di bawah arteri karotis interna dan eksterna yang
kemudian akan bercabang dua, yaitu cabang interna bersifat sensoris,
mempersarafi valekula, epiglotis, sinus piriformis dan mukosa bagian dalam
laring di atas pita suara sejati. Cabang eksterna bersifat motoris, mempersarafi
otot trikotiroid dan otot konstriktor inferior.
2. Nervi laringeales inferior (nervi laringeales rekuren).
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di
belakang artikulasio krikotiroidea. Nervus laringeus yang kiri mempunyai
perjalanan yang panjang dan dekat dengan aorta sehingga mudah terganggu.
Merupakan cabang nervus vagus setinggi bagian proksimal arteri subklavia
dan berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus,
selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea
dan memberikan persarafan:
Sensoris, mempersarafi daerah subglotis dan bagian atas trakea
Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali otot trikotiroidea 4-6
Pendarahan
Laring mendapat perdarahan dari cabang arteri tiroidea superior dan inferior
sebagai arteri laringeus superior dan inferior.
1. Arteri laringeus superior
Berjalan bersama ramus interna nervus laringeus superior menembus
membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus
piriformis.
2. Arteri laringeus inferior
Berjalan bersama nervus laringeus inferior masuk ke dalam laring melalui area
Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah otot konstriktor faringeus

inferior, di dalam laring beranastomosis dengan arteri laringeus superior dan


memperdarahi otot-otot dan mukosa laring.

Gambar 2. Sistem arteri pada laring 5

Darah vena dialirkan melalui vena laringeus superior dan inferior ke vena tiroidea
superior dan inferior yang kemudian akan bermuara ke vena jugularis interna.4,5

Gambar 3. Sistem Vena pada Laring 5

Sistem Limfatik
Laring mempunyai tiga sistem penyaluran limfe, yaitu:
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk
saluran yang menembus membran tiroidea menuju kelenjar limfe servikal
superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan nodus jugular
medius.
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea,
nodus jugular medius, dan nodus jugular inferior.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem
limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase
karsinoma laring dan menentukan terapinya.

Gambar 4. Sistem limfatik pada laring 5

2.2.

Fisiologi Laring
Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi
disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut:

1. Fungsi fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara
dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya
interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh
adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya
ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring,

dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai
cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada
dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita
suara sejati.
2. Fungsi proteksi.
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot
yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,
pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang
ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah
interaritenoid melalui serabut aferen nervus laringeus superior. Sebagai
jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke
depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur
ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus
piriformis lalu ke introitus esofagus.
3. Fungsi respirasi.
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga
dada dan otot krikoaritenoideus posterior terangsang sehingga kontraksinya
menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial
CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat
pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang
pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan
pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO 2 arterial dan
hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO 2 darah
dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.
4. Fungsi sirkulasi.
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian
tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan
dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadangkadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari
laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta.
Impuls dikirim melalui nervus laringeus rekurens dan ramus komunikans

nervus laringeus superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring
dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.
5. Fungsi fiksasi.
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,
misalnya batuk, bersin dan mengedan.
6. Fungsi menelan.
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu pada waktu menelan faring bagian
bawah (otot konstriktor faringeus superior, otot palatofaringeus dan otot
stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan
kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian
makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring
menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran
pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh
epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup
aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral
menjauhi aditus laring dan masuk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.
7. Fungsi batuk.
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,
sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak
menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi
benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi
pada mukosa laring.
8. Fungsi ekspektorasi.
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut.
9. Fungsi emosi.
Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada
waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.

2.3 Pengertian Laringitis Difteri


Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat
terjadi, baik secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi
mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila
gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis. Laringitis difteri
adalah suatu peradangan laring karena infeksi Corynebacterium diphteriae.
Biasanya dimulai dengan invasi lokal diikuti nekrosis jaringan. Bakteri
batang gram positif ini akan memproduksi eksotoksin menyebabkan
timbulnya gambaran klinis.1,4
Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium diphtheriae yaitu tipe
garvis, intermedius dan mitis namun dipandang dari sudut antigenitas
sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan
mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin dapat menjelaskan
penyebab pada seorang pasien dapat mempunyai kolonisasi lebih dari satu
jenis Corynebacterium diphtheriae. Ciri khas Corynebacterium diphtheriae
adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik invivo maupun invitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin invivo pada marmut
(uji kematian) atau diperagakan invitro dengan teknik imunopresipitin agar
(uji Elek) yaitu suatu uji reaksi polimerase. Eksotoksin ini merupakan suatu
protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B
(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa
diproduksi

oleh

Corynebacterium

diphtheriae

yang

terinfeksi

oleh

bakteriofag yang mengandung toksigen.1,4


2.4 Patofisiologi
Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit,
melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian
atas dan mulai memproduksi toksin yang menembus ke sekeliling serta
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan
pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
10

pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari
penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang
mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini
akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai
dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini
merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A
ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase
(elongation factor-2) yang aktif. Toksin difteri mula-mula menempel pada
membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan
masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui proses
NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid
ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak
berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi
kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan
terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat
berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung.
Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila
dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan
terlepas sendiri pada masa penyembuhan.1,4
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan
yang edema dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi
bisa terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeobronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan
pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria
hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel,
tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam
sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi

11

sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 1014 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan
patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti,
infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien
tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati
biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal
dan nekrosis tubular akut pada ginjal.1,4
2.5 Manifestasi Klinis
Penularan terutama melalui saluran napas dengan gejala bervariasi dari
asimtomatis (dan penderita bertindak sebagai karier) sampai berat yang
ditandai dengan obstruksi jalan nafas atau adanya komplikasi (miokarditis
yang dapat menyebabkan complete heart block, neuritis (paralisis palatum
mole, paralisis okular, paralisis diafragma, atau paralisis ekstremitas), gagal
ginjal). Masa inkubasi antara 1-5 hari dengan perjalanan penyakit bersifat
perlahan-lahan dimulai dengan gejala yang tidak spesifik seperti demam, lesu,
nafsu makan menurun sampai kemudian muncul gejala klinis yang khas
diantaranya; sekret hidung bercampur darah (serosanguinus) dan kemudian
mukopurulen,

membran

putih

keabu-abuan

di

tonsil/faring/laring

(psudomembran) yang bila dilepaskan akan mengakibatkan perdarahan,


limfadenitis servikalis dan submandibula disertai dengan edema jaringan
lunak leher (bullneck), serta stridor akibat obstruksi jalan nafas atas.1,3
Gejala klinis laringitis difteri sukar dibedakan dari tipe sindrom Croup
yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan
batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,
interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat,
membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila laringitis

12

difteri terjadi sebagai perluasan dari faringitis difteri, maka gejala yang
tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.2,3
2.6 Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosis penderita. Diagnosis harus
ditegakkan

berdasarkan

gejala-gejala

klinik

tanpa

menunggu

hasil

mikrobiologi. Karena preparat hapusan kurang dapat dipercaya, sedangkan


untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat
adalah dengan identifikasi secara flourescent antibody technique, namun
untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi
Corynebacterium diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler
dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes
Elek). Adanya membran di tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk
difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran.
Namun, membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain,
warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai
dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila
diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke
uvula.1,2
2.7 Diagnosis Banding
Beberapa penyakit menunjukkan gejala yang mirip dengan laringitis difteri.
Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan, dokter perlu mencantumkan
diagnosis banding yang akan disingkirkan melalui pemeriksaan penunjang.
Gejala laringitis difteri menyerupai laringitis lain, dapat menyerupai
infectious croup yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotik edema pada
laring, dan benda asing dalam laring. Tanda patognomonik untuk laringitis
difteri adalah adanya pseudomembran berwarna abu-abu kehitaman. Hal ini
sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding tersebut. 1,3

13

2.8 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan penderita difteri adalah:

menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,


mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi Corynebacterium diphtheriae untuk mencegah penularan
serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri.1,2

a. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3
minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang
mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi
ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan
pemeriksaan ekokardiogram (EKG) pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu
selama 5 minggu. Khusus pada laringiis difteri di jaga agar nafas tetap
bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.1,3
b. Pengobatan Khusus
1) Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke6, angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%. ADS yang dipakai
untuk laringitis difteri adalah dengan dosis 40.000 KI yang dapat
diberikan intramuskular ataupun intravena. Sebelum Pemberian ADS
harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada
pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan
dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000
secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10
14

mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10
dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam
fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis
pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS
diberikan dengan cara desentisasi. Bila uji hipersensitivitas tersebut
diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis
ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama
sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000120.000 KI. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis
atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin
dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya
reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).1,3
2) Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan
untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga
mencegah penularan organisme pada kontak. Corynebacterium
diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen in-vitro, termasuk
penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada
resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah
digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau
eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk
pemberantasan. Terapi diberikan selama 14 hari. Beberapa penderita
dengan difteri kulit diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus
didokumentasi sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari
hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah
selesai terapi. Dosis penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m.,
tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o., tiap 6 jam selama
14 hari. Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m.

15

atau i.v., dibagi dalam 4 dosis. Amoksisilin, rifampisin, dan klindamisin


dapat juga diberikan.1,3
3) Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini
pada difteria. Kortikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang
disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai
atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian
kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
Kortikosteroid yang sering diberikan adalah prednison. Dosis prednison
yang diberikan adalah 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada
kasus berat selama 14 hari.1,3
c. Pengobatan penyulit dan karier
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel. Bila
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi. Karier adalah mereka yang tidak
menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil
difteri dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin
100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu
minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ adenoidektomi.1,3

16

Tabel 1. Pengobatan terhadap Kontak Difteria


Biakan
(-)

Uji Schick
(-)

Tindakan
Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan

(-)

booster toksoid difteria


Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau

(+)

(+)

eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu


Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40

(-)

(+)

mg/kgBB + ADS 20.000 KI


Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunisasi

(+)

2.9 Prognosis
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran
membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum. Prognosis difteri setelah ditemukan ADS dan antibiotik,
lebih baik daripada sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negaranegara lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat
membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria
dapat disebabkan oleh karena obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan
oleh terlepasnya difteri, adanya miokarditis dan gagal jantung, paralisis
difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus. Anak yang pernah menderita
miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteri, pada umumnya akan
sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan
kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk.
Adanya trombositopenia amegakariositik dan leukositosis > 25.000/mm3
prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada faringitis-laringingitis difteri
(56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%).1,3
2.10 Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak. Pada umumnya setelah
seseorang anak menderita difteri, kekebalan terhadap penyakit ini sangat
rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak

17

yang telah mendapat imunisasi difteri lengkap, mempunyai antibodi


terhadap toksin difteri tetapi tidak mempunyai antibodi terhadap
organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi
pengidap difteri dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan.
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin,
kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang
memperbesar imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai
dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid.
Preparat pediatrik (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit
toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung
tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid
potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer dan
booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan
reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih
tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid
difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar
toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.
Rencana (Jadwal) :
Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun, beri 0,5 mL dosis vaksin
mengandung-difteri (D). Seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan
6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian integral seri pertama dan
diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster
diberikan umur 4-6 tahun (kecuali jika dosis primer ke empat diberikan
pada umur 4 tahun).
Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis
0,5 mL yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis
yang berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis
kedua.
Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau

Td.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun
harus mengalami lima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL
18

pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1
tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri,
dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali jika dosis
ketiga diberikan setelah umur 4 tahun.3,6

19

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Laringitis difteria adalah suatu peradangan laring karena infeksi
Corynebacterium diphteriae. Biasanya dimulai dengan invasi lokal diikuti
nekrosis jaringan. Bakteri batang gram positif ini akan memproduksi eksotoksin
menyebabkan timbulnya gambaran klinis. Diagnosis dini difteri sangat penting
karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosis
penderita. Diagnosis pasti dari penyakit ini adalah isolasi Corynebacterium
diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam (kultur). Dasar
dari terapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi Corynebacterium
diphtheriae dengan antibiotik. Antibiotik penisilin dan eritromisin sangat efektif
untuk kebanyakan strain Corynebacterium diphtheriae. Prognosis umumnya
tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status
imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.
Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi
pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan pemberian
imunisasi DPT 0,5 mL intramuskular untuk anak kurang dari 7 tahun dan
pemberian DT 0,5 mL intramuskular untuk anak lebih dari 7 tahun.

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Rampengan,T.H dan Laurentz,I.R. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak : Difteri.
1992. Hal 1-18
2. Garna Herry, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, Edisi
kedua : Difteri. Bandung :Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 2000.
Hal 173-176
3. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Unit Kerja Kordinasi Infeksi dan
Penyakit Tropis. Difteri Pada Anak. IDAI 2009; 1(1): [1 screen]. Diunduh dari:
http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=201111411912.

Diakses

tanggal: 9 September 2012.


4. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT, Edisi keenam.
Jakarta: EGC. 1999. Hal 369-377.
5. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran: Anatomi Laring,
Edisi keenam. Jakarta: EGC. 2006. Hal 805-813.
6. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher: Kelainan Laring, Edisi keenam. Jakarta: Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. Hal 238-241.
7. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran, Laringitis, Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit
Media Aesculapius. 2006. Hal 126-127.

21

Anda mungkin juga menyukai