Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada daerah laring.
Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi, baik secara
akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam
kurun waktu kurang dari 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan
laringitis kronis. Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis
tuberkulosis.
Laringitis tuberkulosis adalah penyakit granulomatosa yang paling umum dari
laring dan seringkali dihubungkan dengan tuberkulosis paru aktif. Laringitis
tuberkulosis merupakan salah satu komplikasi dari tuberkulosis paru. Pada awal abad
ke-20, laringitis tuberkulosis mengenai 25-30% pasien tuberkulosis paru. Sedangkan
sekarang hanya 1% kasus laringitis tuberkulosis. 1 Penurunan kejadiaan laringitis
tuberkulosis ini terjadi sebagai akibat dari peningkatan perawatan kesehatan masyarakat
dan perkembangan antituberkulosis yang efektif.
Penderita dengan laringitis tuberkulosis biasanya datang dengan gejala, seperti
disfonia, odynophagia, dyspnea, odynophonia, dan batuk. Obstruksi pernafasan bisa
terjadi pada stadium lanjut penyakit. Pemahaman bahwa karsinoma laring juga sering
menunjukkan gejala serupa merupakan keharusan untuk mengevaluasi laringitis. Gejala
pada saluran pernapasan seperti batuk kronis, hemoptisis dan gejala sistemik seperti
demam, keringat malam, dan penurunan berat badan merupakan gejala-gejala umum
yang sering dijumpai pada pasien dengan tuberkulosis.2
Pada laringitis tuberkulosis proses inflamasi akan berlangsung secara progresif
dan dapat menyebabkan kesulitan bernapas. Kesulitan bernafas ini dapat disertai stridor,
baik pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Jika tidak segera diobati, stenosis
dapat berkembang, sehingga diperlukan trakeostomi. Akan tetapi, sering kali setelah
diberi pengobatan, tuberkulosis parunya sembuh tetapi laringitis tuberkulosisnya

1
menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat pada kartilago
serta vaskularisasi yang tidak sebaik di paru, sehingga bila sudah mengeni kartilago,
pengobatannya lebih lama.3
Oleh karena itu, pembahasan mengenai laringitis tuberculosis lebih lanjut
diperlukan agar dapat memberi pengetahuan mengenai cara diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat guna mencegah komplikasi yang akan terjadi.

2
BAB II
LARINGITIS TUBERKULOSA

2.1. Anatomi Laring


Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan suatu
rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra cervicalis
IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada
umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan
makanan.4
Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat aditus laringeus yang
berhubungan dengan hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago
krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra
cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring, serta di sebelah
anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral
ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid, dan lobus kelenjar tiroid.3,4
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid dan
beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf U, yang permukaan
atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot.
3,4,5

Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago krikoid,
kartilago aritenoid, kartilago kornikulata dan kartilago tiroid.3,4,5
Pada laring terdapat dua buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi
krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum
seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum krikotiroid medial,
ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringal, ligamentum hiotiroid
lateral, ligamentum hiotiroid medial, ligamentum hioepiglotika, ligamentum

3
ventrikularis, ligamentum vokal yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan
kartilago tiroid dan ligamentum tiroepiglotika.3,4
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea
di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid dihubungkan
dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-
otot dan ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.3,4

Gambar 1. Anatomi Laring

Anatomi Bagian Laring Dalam


Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut:4
1. Supraglotis (vestibulum superior)
Yaitu ruangan diantara permukaan atas pita suara palsu dan inlet laring.
2. Glotis (pars media)
Yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan pita suara sejati serta
membentuk rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni.

3. Infraglotis (pars inferior)

4
Yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah kartilago krikoidea.

Beberapa bagian penting dari dalam laring:4


Aditus Laringeus
Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh epiglotis, lateral oleh
plika ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi atas m.
aritenoideus.

Rima Vestibuli.
Merupakan celah antara pita suara palsu.

Rima glottis
Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang antara prosesus
vokalis dan basis kartilago aritenoidea.

Vallecula
Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah, dibentuk oleh
plika glossoepiglotika medial dan lateral.

Plika Ariepiglotika
Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan dari kartilago
epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata.

Plika Pyriformis (Hipofaring)

Terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago tiroidea.

Incisura Interaritenoidea
Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri.

5
Vestibulum Laring
Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis, kartilago
aritenoid, permukaan atas proc. vokalis kartilago aritenoidea dan m.interaritenoidea.

Plika Ventrikularis (pita suara palsu)


Yaitu pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan kartilago aritenoidea
untuk menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal dari selaput
lendir dengan jaringan ikat tipis di tengahnya.

Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus)


Yaitu ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari
ventrikel terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara palsu dan
permukaan dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia dengan
beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara sejati,
disebut appendiks atau sakulus ventrikel laring.

Plika Vokalis (pita suara sejati)


Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima bagian dibentuk oleh ligamentum
vokalis dan celahnya disebut intermembranous portion, dan dua per lima belakang
dibentuk oleh prosesus vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut intercartilagenous
portion.

6
Persarafan
Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn.
Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.4,5
1. Nn. Laringeus Superior.
Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan
dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan bercabang
dua, yaitu : Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus
pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati. Cabang Eksterna ;
bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m. Konstriktor inferior.
2. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren).
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di
belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri mempunyai perjalanan yang
panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu. Merupakan cabang N.
vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan berjalan membelok ke atas sepanjang
lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang
artikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan:
Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea
Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea

Pendarahan
Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior
sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior.4,5
1. Arteri Laringeus Superior
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus membrana
tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus pyriformis.

2. Arteri Laringeus Inferior


Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui area
Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor Faringeus Inferior, di

7
dalam laring beranastomose dengan A. Laringeus Superior dan memperdarahi otot-otot
dan mukosa laring.

Gambar 2. Sistem Arteri pada Laring

Darah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V. Tiroidea


Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis Interna.

Gambar 3. Sistem Vena pada Laring


Sistem Limfatik
Laring mempunyai tiga sistem penyaluran limfe, yaitu:4,5

8
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul
membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical
superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan middle jugular node.
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe
trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan
sistem limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase
karsinoma laring dan menentukan terapinya.

Gambar 4. Sistem Limfatik pada Laring

2.2. Fisiologi Laring


Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi
disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut:3,6,7,8
1. Fungsi Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara
dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi antara
udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara
pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga
mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan
dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam

9
penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan
tegangan pita suara sejati.
2. Fungsi Proteksi.
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-
otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,
pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada
epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui
serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis
menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring
tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus
dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
3. Fungsi Respirasi.
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar
rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya
menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan
O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis,
sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan
obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan
peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring.
Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.

4. Fungsi Sirkulasi.
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian
tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding laring
terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal
ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah
baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan
Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila
laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.

10
5. Fungsi Fiksasi.
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,
misalnya batuk, bersin dan mengedan.
6. Fungsi Menelan.
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu: Pada waktu menelan faring bagian bawah (M.
Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami
kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke
atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan
faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke
saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh
epiglotis.
Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus
laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring
dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.
7. Fungsi Batuk.
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,
sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak
menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda
asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa
laring.
8. Fungsi Ekspektorasi.
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut.
9. Fungsi Emosi.
Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya
pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.

11
2.3. Definisi
Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi, baik
secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung
dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu
dinamakan laringitis kronis.
Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis akut
(common cold). Sedangkan laringitis kronik merupakan radang kronis laring yang dapat
disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau bronkitis
kronis. Mungkin juga disebabkan oelh penyalahgunaan suara (vocal abuse) seperti
berteriak-teriak atau biasa berbicara keras.9
Laringitis kronis dibagi menjadi laringitis kronik non spesifik dan spesifik.
Laringitis kronik non spesifik dapat disebabkan oleh faktor eksogen (rangsangan fisik
oleh penyalahgunaan suara, rangsangan kimia, infeksi kronik saluran napas atas atau
bawah, asap rokok) atau faktor endogen (bentuk tubuh, kelainan metabolik). Sedangkan
laringitis kronik spesifik disebabkan tuberkulosis dan sifilis.10
Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis.
Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang
terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosa.6

2.4. Epidemiologi
Sebagaimana insidensi dan prevalensi tuberkulosis paru yang mengalami
penurunan, kejadian laringitis tuberkulosis juga mengalami penurunan, meskipun
kecenderungan peningkatan kejadian laringitis tuberkulosis dalam beberapa tahun
terakhir.11
Dulu, dinyatakan bahwa penyakit ini sering terjadi pada kelompok usia muda
yaitu 20 – 40 tahun. Dalam 20 tahun belakangan, insidens penyakit ini pada penduduk
yang berumur lebih dari 60 tahun jelas meningkat. Saat ini tuberkulosis dalam semua
bentuk dua kali lebih sering pada laki-laki dibanding dengan perempuan. Tuberkulosis
laring juga lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut, terutama pasien-pasien dengan

12
keadaan ekonomi dan kesehatan yang buruk, banyak diantaranya adalah peminum
alkohol.12

2.5. Etiologi
Hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati biasanya
tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap, karena struktur
mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru. Infeksi
laring oleh Mycobacterium tuberculosa hampir selalu sebagai komplikasi tuberkulosis
paru aktif, dan ini merupakan penyakit granulomatosis laring yang paling sering.10,11,12

2.6. Patogenesis
Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan sekunder dari lesi tuberkulosis paru
aktif, jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil tuberkel secara
langsung.10,11,12,13 Secara umum, infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara
pernapasan, sputum yang mengandung kuman, atau penyebaran melalui darah atau
limfe.9
Berdasarkan mekanisme terjadinya laringitis tuberkulosis dikategorikan menjadi 2
mekanisme, yaitu:

1. Laringitis Tuberkulosis Primer


Laringitis tuberkulosis primer jarang dilaporkan dalam literatur medis. Laringitis
tuberkulosis primer terjadi jika ditemukan infeksi Mycobacterium tuberculosa pada
laring, tanpa disertai adanya keterlibatan paru. Rute penyebaran infeksi pada laringitis
tuberkulosis primer yang saat ini diterima adalah invasi langsung dari basil tuberkel
melalui inhalasi.13,14 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Shin dkk (2000),
menyatakan bahwa sebanyak 40,6% pasien dengan laringitis tuberkulosis memiliki paru
yang normal.15

2. Laringitis Tuberkulosis Sekunder

13
Laringitis tuberkulosis sekunder terjadi jika ditemukan infeksi laring akibat
Mycobacterium tuberculosa yang disertai adanya keterlibatan paru. Laringitis
tuberkulosis sekunder merupakan komplikasi dari lesi tuberkulosis paru aktif.
Mekanisme penyebaran infeksi ke laring dapat berupa penyebaran langsung di
sepanjang saluran pernapasan dari infeksi paru primer berupa sputum yang mengandung
kuman maupun penyebaran melalui sistem darah ataupun limfatik.9

Penyebaran Lewat Sputum (Bronkogen)


Penyebaran infeksi basil tuberkel ke laring melalui mekanisme bronkogenik
merupakan teori yang lazim dipahami. Adanya bronkogen dalam hal ini, sputum yang
mengandung bakteri M. tuberculosis mendasari patogenesis terjadinya laringitis
tuberkulosis. Terjadinya laringitis tuberkulosis dapat disebabkan oleh tersangkutnya
sputum yang mengandung basil tuberkulosis di laring, terutama pada struktur posterior
laring termasuk aritenoid, ruang interaritenoid, pita suara bagian posterior dan
permukaan epiglotis yang menghadap ke laring.11,12
Antigen dari basil TB yang berada di laring dicerna sel dendritik lalu dibawa ke
kelenjar limfe regional dan mempresentasikan antigen M. Tuberculosis ke sel Th1. Th1
kemudian berproliferasi dan dapat kembali ke tempat awal infeksi. Restimulasi oleh sel
penyaji setempat menghasilkan produksi IFN  dan mengaktifasi makrofag. Bila
eliminasi mikroorganisme ini gagal akan berlanjut pada inflamasi kronik terjadi dimana
patogen persisten di dalam tubuh, maka terjadi pengalihan respon imun berupa reaksi
hipersensitifitas tipe lambat membentuk granuloma.16
Setelah kontak awal dengan antigen, sel Th disensitisasi, berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel DTH (delayed type hypersensitivity) dimana pengerahan
makrofag yang berkelanjutan akan membentuk sel-sel epitloid berupa sel datia dalam
granuloma.16
Tuberkel yang avaskular berisikan daerah perkijuan di tengah dikelilingi oleh sel
epiteloid dan di bagian perifer oleh sel-sel mononukleus. Kemudian tuberkel-tuberkel
ini bersatu membentuk nodul. Karena letaknya di subepitel, epitel yang melampisinya

14
mungkin hilang dan sering terjadi ulserasi dengan infeksi sekunder. Proses ini pertama
kali cenderung akan mengenai prosesus vokalis dan epiglotis.11,12
Adanya tuberkel mungkin akan merangsang terjadinya hiperplasia epitel dan
jaringan fibrosis subepitel. Hal ini mungkin bermanifestasi pada daerah interaritenoid
berupa penebalan yang menyerupai pakiderma. Prosesus vokalis mungkin di tutupi oleh
nodul yang menyerupai morbili. Hal ini merupakan manifestasi dari proses perbaikan
karena hanya ditemukan sedikit perkijuan pada lesi.11,12
Edema jelas pada keadaan lebih lanjut dan mungkin terjadi sebagai akibat
obstruksi jaringan limfe oleh granuloma. Edema dapat timbul di fossa interaritenoid,
kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglottis serta terakhir ialah
subglotik. Epiglotis dan jaringan ikat di atas aritenoid merupakan tempat yang paling
tampak edema.9,11,12
Penyembuhan tuberkulosis laring disertai oleh pembentukan kapsul jaringan
fibrosa dan jaringan menggantikan tuberkel.

Penyebaran Melalui Limfohematogen


Selain mekanisme bronkogenik, penyebaran M. tuberculosis pada laring dapat
juga melalui sistem limfohematogen. Penyebaran melalui sistem limfohematogen
biasanya mengenai laring anterior dan epiglotis.15

2.7. Gambaran Klinis


Secara klinis manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium yaitu:9,10,12
1. Stadium infiltrasi
2. Stadium ulserasi
3. Stadium perikondritis
4. Stadium pembentukan tumor

Stadium Infiltrasi

15
Mukosa laring bagian posterior mengalami pembengkakan dan hiperemis pada
bagian posterior, kadang-kadang dapat mengenai pita suara. Pada stadium ini mukosa
laring berwarna pucat.
Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak rata,
tampak bintik berwarna kebiruan. Tuberkel makin membesar dan beberapa tuberkel
yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa diatasnya meregang. Pada suatu saat, karena
sangat meregang, maka akan pecah dan terbentuk ulkus.

Stadium Ulserasi
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini dangkal,
dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan sangat nyeri oleh pasien.

Stadium Perikondritis
Ulkus makin dalam sehingga mengenai kartilago laring terutama kartilago
aritenoid dan epiglottis. Dengan demikian terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga
terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan melanjut dan terbentuk sekuester. Pada
stadium ini pasien sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan
maka proses penyakit berlanjut dan msuk dalam stadium terakhir yaitu
fibrotuberkulosis.

Stadium Fibrotuberkulosis
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara dan
subglotik.

Berdasarkan Shin dkk (2000), temuan pada laringitis tuberkulosis dapat


dikategorikan menjadi empat grup, antara lain (a) lesi ulserasi (40,9%), (b) lesi
inflamasi non spesifik (27,3%), (c) lesi polipoid (22,7%), dan (d) lesi massa
ulcerofungative (9,1%).14

16
Gambar 5. Temuan Laringoskopi pada Laringitis Tuberkulosis, A. Lesi Ulseratif
(pada seluruh laring), B. Lesi Granuloma (pada glotis posterior), C. Lesi Polyploid
(pada plika vokalis palsu kanan), D. Lesi Nonspesifik (pada plika vokalis kanan)

Gejala Klinis
Tergantung pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai berikut:
- Rasa kering, panas, dan tertekan di daerah laring.
- Suara parau yang berlangsung berminggu-miggu, sedangkan pada stadium lanjut
dapat timbul afoni.
- Hemoptisis.
- Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri karena
radang lainnya, merupakan tanda yang khas.
- Keadaan umum buruk.
- Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologis) terdapat proses aktif
(biasanya pada stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne).

17
2.8. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesa
Pada anamnesa dapat ditanyakan:
-Kapan pertama kali timbul serta faktor yang memicu dan mengurangi gejala
-Riwayat pekerjaan, termasuk adanya kontak dengan bahan yang dapat memicu
timbulnya laringitis seperti debu, asap.
-Penggunaan suara berlebih
-Penggunaan obat-obatan seperti diuretik, antihipertensi, antihistamin yang dapat
menimbulkan kekeringan pada mukosa dan lesi pada mukosa.
-Riwayat merokok
-Riwayat makan
-Suara parau atau disfonia
-Batuk kronis terutama pada malam hari
-Stridor karena adanya laringospasme bila sekret terdapat disekitar pita suara
-Disfagia dan otalgia

2. Gejala dan Pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan fisik, tampak sakit berat, demam, terdapat stridor inspirasi,
sianosis, sesak nafas yang ditandai dengan nafas cuping hidung dan/atau retraksi
dinding dada, frekuensi nafas dapat meningkat, dan adanya takikardi yang tidak sesuai
dengan peningkatan suhu badan merupakan tanda hipoksia.
3. Laboratorium
- Pemeriksaan Bakteriologik
Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan

18
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin,
faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).

Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Pagi (keesokan harinya)
Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari
berturut-turut.

- Kultur kuman
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya
untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang
digunakan.

4. Laringoskopi direk atau indirek


Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu menegakkan
diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan tampak edema
terutama di bagian atas dan bawah glotis.

Gambar 6. Laringitis Tuberkulosis

5. Foto toraks

19
Untuk melihat apabila terdapat pembengkakan dan adanya gambaran tuberkulosis
paru. CT scanning dan MRI juga dapat digunakan dan memberikan hasil yang lebih
baik. Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
- Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.

Gambar 7. Foto Toraks Tuberkulosis Paru

6. Pemeriksaan patologi anatomi


Pada gambaran makroskopi tampak permukaan selaput lendir kering dan
berbenjol-benjol sedangkan pada mikroskopik terdapat epitel permukaan menebal dan
opaque, pembentukan granuloma, sel besar Langhans, serbukan sel radang menahun
pada lapisan submukosa.

20
Gambar 8. Histopatologi Laringitis Tuberkulosis

2.9. Diagnosis Banding


Diagnosis banding laringitis tuberculosis, antara lain:9,10,12
- Laringitis luetika
Laringitis luetika seringkali memberikan gejala yang sama dengan laringitis
tuberkulosis. Akan tetapi, radang menahun ini jarang ditemukan. Laringitis luetika
terjadi pada stadium tertier dari sifilis, yaitu stadium pembentukan guma. Apabila gma
pecah, maka timbul ulkus. Ulkus inimempunyai sifat yang khas, yaitu sangat dalam,
bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan eksudat yang
berwarna kekuningan. Ulkus tidak menyebabkan nyeri dan menjalar sangat cepat,
sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi perikondritis.

- Karsinoma laring
Karsinoma laring memberikan gejala yang serupa dengan laringitis tuberkulosa.
Serak adalah gejala utama karsinoma laring, namun hubungan antara serak dengan
tumor laring tergantung pada letak tumor.

2.10. Penatalaksanaan
1. Terapi non medikamentosa
- Mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak berbicara.

21
- Menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk misalnya goreng-
gorengan, makanan pedas.
- Konsumsi cairan yang banyak.
- Berhenti merokok dan konsumsi alkohol.

2. Terapi medikamentosa : Obat antituberkulosis (OAT)


Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu:
Obat primer:
- INH (isoniazid)
- Rifampisin
- Etambutol
- Streptomisin
- Pirazinamid
Obat sekunder:
- Exionamid
- Paraaminosalisilat
- Sikloserin
- Amikasin
- Kapreomisin
- Kanamisin

Tabel 1. Dosis Obat Anti Tuberkulosis


Obat Dosis harian Dosis Dosis
(mg/kgbb/hari) 2x/minggu 3x/minggu
(mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari)
INH 5-15 15-40 15-40
(maks.300 mg) (maks.900 mg) (maks.900 mg)
Ripampisin 10-20 10-20 15-20
(maks.600 mg) (maks.600 mg) (maks.600 mg)

22
Pirazinamid 15-40 50-70 15-30
(maks.2 g) (maks.4g) (maks.3g)
Etambutol 15-25 50 15-25
(maks.2,5 g) (maks2,5g) (maks. 2,5 g)
Streptomisin 15-40 25-40 25-40
(maks. 1 g) (maks. 1,5 g) (maks. 1,5 g)

3. Operatif
Tindakan operatif dilakukan dengan tujuan untuk pengangkatan sekuester.
Trakeostomi diindikasikan bila terjadi obstruksi laring.
Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea
untuk bernafas. Trakeostomi dilakukan atas indikasi, berikut:
-Mengatasi obstruksi laring
-Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti
daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring.
-Mempermudah penghisapan secret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan secret secara fisiologik.
-Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).
Untuk menambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas
bronkoskopi.
Trakeostomi pada kasus laringitis tuberkulosis dilakukan atas indikasi yaitu jika
terjadi obstruksi laring dan mengurangi ruang rugi di saluran napas bagian atas seperti
daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring.

2.11. Prognosis
Tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta
ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini maka
prognosisnya baik.4,5

23
2.12. Komplikasi
Pada laringitis akibat peradangan yang terjadi dari daerah lain maka dapat terjadi
inflamasi yang progresif dan dapat menyebabkan kesulitan bernafas. Kesulitan bernafas
ini dapat disertai stridor baik pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Pada
laringitis tuberkulosis dapat terjadi sekuele, di antaranya stenosis glotis posterior,
stenosis subglotis, paralisis plika vokalis, dan persisten disfonia

24
BAB III

PENYAJIAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tatang Enda
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 31 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : matang sepeng
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : Agustus 2014

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat

Keluhan tambahan :Sulit bernafas,bersin-bersin, nyeri dibagian pangkal hidung, dan


kepala terasa pusing

Riwayat Penyakit Sekarang


Saudara Tatang Enda datang ke RSUD Langsa dengan keluhan hidung
tersumbat,sulit bernafas, serta bersin-bersin, di rasakan keluhan oleh pasien sejak 14
tahun yang lalu, dan memberat 2 tahun terakhir , dan pasien juga mengeluhkan sakit di
daerah pangkal hidung dan kepala pusing.

Riwayat Penyakit Dahulu : rinitis vasomotor

Riwayat Penyakit Keluarga : disangkal

Riwayat pemakaian obat : disangkal

25
Riwayat kebiasaan : merokok

III. PEMERIKSAAN FISIK


STATUS LOKALIS

Telinga

Inspeksi, Palpasi

Telinga kanan Telinga kiri

Aurikula Hiperemis : - Hiperemis : -

Edema : - Edema : -

Massa : - Massa : -

Preaurikula Hiperemis : - Fistula : - Hiperemis : - Fistula : -

Edema : - Edema : -

Massa : - Massa : -

Retroaurikula Hiperemis : - Fistula : - Hiperemis : - Fistula : -

Edema : - Edema : -

Massa : - Massa : -

Palpasi Nyeri pergerakan : - Nyeri pergerakan : -

Nyeri tekan tragus : - Nyeri tekan tragus : -

Nyeri tekan aurikula : - Nyeri tekan aurikula : -


Otoskopi :

Telinga kanan Telinga kiri

26
MAE Edema : - Edema : -

Hiperemis : - Hiperemis : -

Massa : - Massa : -

Furunkel : - Furunkel : -

Sekret : - Sekret : -

Serumen : - Serumen : -

Membran Perforasi : - Perforasi : -


Timpani
Warna : - Warna : -

Hiperemis : - Hiperemis : -

Refleks Cahaya : + Refleks Cahaya : +

Hidung dan Sinus Paranasal

Inspeksi, Palpasi :

- Kemerahan pada daerah hidung (+)


- Deviasi tulang hidung (-)
- Bengkak daerah hidung (-) dan sinus paranasal (-)
- Krepitasi tulang hidung (-)
- nyeri tekan pangkal hidung (+)

Rinoskopi Anterior :

Rinoskopi anterior Cavum nasi dextra Cavum nasi sinistra

27
Mukosa hidung Hiperemis : + Hiperemis : +

Massa : + Massa : +

Sekret : + Sekret : +

Atrofi : - Atrofi : -

Mukus : - Mukus : -

Pucat : - Pucat : -

Septum Deviasi : - Deviasi : -

Dislokasi : - Dislokasi : -

Konka inferior dan Hipertrofi : - Hipertrofi : -


media
Atrofi : - Atrofi : -

Sekret : - Sekret : -

Meatus inferior dan Sekret : + Sekret : +


media
Polip : + Polip : +

Rinoskopi Posterior : -

Tenggorokan

Inspeksi, Palpasi :

Mukosa Orofaring : -

Hiperemis : -

28
Massa : -

Nyeri : -

Tonsil T1 / T1

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Darah rutin

V. DIAGNOSIS BANDING
1. Polip Nasalis
2. Angiofibroma nasopharing

VI. DIAGNOSA KERJA


Polip Nasalis
VII. TATALAKSANA
Medikamentosa :

VIII.PROGNOSIS
dubia ad bonam

FOLLOW UP PASIEN
Hari / tanggal Nama Keluhan Diagnosa Pemeriksaan
anjuran
05/08/2014 Tatang Enda -Ku: compos - cek darah rutin
mentis

29
-Td : 130/80
-RR: 24 kali/i
-Temp: 36,6
-Pols: 80 kali/i
Keluhan:
-suara serak
-Nyeri
menelan
-Batuk
-Mata terasa
gata
-Telinga gatal
-Hidung
terasa gatal

BAB IV

HASIL DISKUSI LAPORAN KASUS

Pasien ini diduga mengalami Laringitis TB , karena sesuai dgn gejala yang
dikeluhkan , yaitu disfonia yang berlangsung berminggu - minggu hingga afonia , batuk
lebih kurang 6 bulan dan keluhan nyeri ketika menelan . serta pada pemeriksaan
laringoskopi indirect di dapatkan plika vokalis berwarna merah dan tampak edema terutama

30
di bagian atas dan bawah glotis. Disfonia hingga afonia terjadi karena adanya tuberkel –
tuberkel yang merangsang terjadinya hiperplasia epitel dan jaringan fibrosis subepitel yang akan
membentuk nodul yang akhirnya menutupi prosesus vokalis hingga terjadilah disfonia hingga
afonia. Batuk berbulan – bulan terjadi karena ditemukan infeksi Mycobacterium tuberculosa
yang di curigai juga menyerang bagian paru pasien. Keluhan nyeri ketika menelan timbul akibat
adanya peradangan hebat pada laring dan juga dicurigai karena adanya ulkus yang dangkal yang
dasarnya ditutupi oleh perkijuan. Plika vokalis berwarna merah dan tampak edema terutama
dibagian atas dan bawah glotis karena terjadi peradangan yang hebat pada daerah laring serta
akibat obstruksi jaringan limfe oleh granuloma.

Pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan.

 Pemeriksaan laboratorium (bakteriologik dan kultur kuman)


 Laringoskopi indirect
 Foto toraks
 Pemeriksaan patologi anatomi

BAB V
KESIMPULAN

Tuberkulosa laring hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati biasanya
tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap, karena struktur
mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru, sehingga
bila sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama.

31
Secara klinis tuberkulosa laring terdiri dari 4 stadium, yaitu : stadium infiltrasi, stadium
ulserasi, stadium perikondritis, stadium pembentukan tumor (fibrotuberkulosis).
Diagnosa laringitis tuberculosis ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, gejala dan
pemeriksaan fisik, laringoskopi direct dan indirect, laboratorium, foto toraks, dan
pemeriksaan patologi anatomi.
Terapinya dibagi menjadi medikamentosa dan pembedahan. Terapi non medikamentosa
yaitu mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak berbicara,
menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk misalnya goreng-
gorengan, makanan pedas, konsumsi cairan yang banyak, berhenti merokok dan
konsumsi alkohol. Sedangkan terapi medikamentosa adalah OAT (Obat Anti
Tuberkulosis). Terapi pembedahannya pengangkatan sekuester dan trakeostomi bila
terjadi obstruksi laring.
Prognosisnya tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup
sehat serta ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini maka
prognosisnya baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Yvette E Smulders, dkk. Laryngeal tuberculosis presenting as a supraglottic


carcinoma: a case report and review of the literature. Smulders et al; licensee BioMed
Central Ltd. 2009 [Diakses tanggal 28 April 2012]. Didapatkan dari:
http://www.jmedicalcasereports.com/content/3/1/9288

2. Gupta, Summer K, Gregory N. Postma, Jamie A. Koufman. Laryngitis. Dalam:


Bailey, Byron, Johnson, Jonas T. editor. Head & Neck Surgery – Otolaryngology, edisi
ke-4. Newlands: Lippincott William & Wilkins; 2006. Hal 831-832.

32
3. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala Leher: Disfonia. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008. Hal 231-234

4. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear, head and
neck. 13th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993.

5. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran: Anatomi Laring.


Edisi keenam. Jakarta: EGC; 2006. Hal 805-813.

6. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Pentakit THT, Edisi keenam.
Jakarta: EGC; 1999. Hal 369-377

7. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery . Eight edition. Connecticut: McGraw-Hill; 2003. Hal 724-736, 747, 755-760.

8. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey. Head and
Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1. Philadelphia: Lippincot
Williams and Wilkins; 2001. Hal 479-486.

9. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Teggorok
Kepala Leher : Kelainan Laring, Edisi keenam. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008. Hal 238-241

10. Mansjoer A, Kapita Selekta Kedokteran, Laringitis, Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit
Media Aesculapius; 2006. Hal 126-127

11. Probst, Rudolf, Gerhard Grevers, Heinrich Iro. Basic Otorhinolaryngology :


Infectious Disease of Larynx and Trachea. New York: Thieme; 2006. Hal 354-361

12. Ballenger JJ, Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher, Penyakit
Granulomatosis Kronik Laring, Edisi ketigabelas. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara;
hal 547-558

33
13. Keyvan Kiakojuri, Mohammad Reza Hasanjani Roushan. Laryngeal tuberculosis
without pulmonary involvement. Caspian J Intern Med 3(1): Winter 2012: 3(1): 397-
399.

14. Mehndirattan, Anil, Pravin Bhatn, Lamartine D’Costa. Primary tuberculosis of


Larynx. Ind J tub 1997. 44.211. Didapat dari: http://lrsitbrd.nic.in/IJTB/Year
%201997/Octuber%201997/OCT1997%20J.pdf

15. Shin JE, Nam SY, Yoo SJ, Kim SY. Changing trends in clinical manifestations of
laryngeal tuberculosis. Laryngoscope 2000; 110: 1950-1953s.

16. Baratawijdaja KG. Imunologi Dasar Edisi 7. Balai penerbit FK UI. Jakarta. 2006; h.
145, 170-173.

34

Anda mungkin juga menyukai