PENDAHULUAN
Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada daerah laring.
Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi, baik secara
akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam
kurun waktu kurang dari 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan
laringitis kronis. Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis
tuberkulosis.
Laringitis tuberkulosis adalah penyakit granulomatosa yang paling umum dari
laring dan seringkali dihubungkan dengan tuberkulosis paru aktif. Laringitis
tuberkulosis merupakan salah satu komplikasi dari tuberkulosis paru. Pada awal abad
ke-20, laringitis tuberkulosis mengenai 25-30% pasien tuberkulosis paru. Sedangkan
sekarang hanya 1% kasus laringitis tuberkulosis. 1 Penurunan kejadiaan laringitis
tuberkulosis ini terjadi sebagai akibat dari peningkatan perawatan kesehatan masyarakat
dan perkembangan antituberkulosis yang efektif.
Penderita dengan laringitis tuberkulosis biasanya datang dengan gejala, seperti
disfonia, odynophagia, dyspnea, odynophonia, dan batuk. Obstruksi pernafasan bisa
terjadi pada stadium lanjut penyakit. Pemahaman bahwa karsinoma laring juga sering
menunjukkan gejala serupa merupakan keharusan untuk mengevaluasi laringitis. Gejala
pada saluran pernapasan seperti batuk kronis, hemoptisis dan gejala sistemik seperti
demam, keringat malam, dan penurunan berat badan merupakan gejala-gejala umum
yang sering dijumpai pada pasien dengan tuberkulosis.2
Pada laringitis tuberkulosis proses inflamasi akan berlangsung secara progresif
dan dapat menyebabkan kesulitan bernapas. Kesulitan bernafas ini dapat disertai stridor,
baik pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Jika tidak segera diobati, stenosis
dapat berkembang, sehingga diperlukan trakeostomi. Akan tetapi, sering kali setelah
diberi pengobatan, tuberkulosis parunya sembuh tetapi laringitis tuberkulosisnya
1
menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat pada kartilago
serta vaskularisasi yang tidak sebaik di paru, sehingga bila sudah mengeni kartilago,
pengobatannya lebih lama.3
Oleh karena itu, pembahasan mengenai laringitis tuberculosis lebih lanjut
diperlukan agar dapat memberi pengetahuan mengenai cara diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat guna mencegah komplikasi yang akan terjadi.
2
BAB II
LARINGITIS TUBERKULOSA
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago krikoid,
kartilago aritenoid, kartilago kornikulata dan kartilago tiroid.3,4,5
Pada laring terdapat dua buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi
krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum
seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum krikotiroid medial,
ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringal, ligamentum hiotiroid
lateral, ligamentum hiotiroid medial, ligamentum hioepiglotika, ligamentum
3
ventrikularis, ligamentum vokal yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan
kartilago tiroid dan ligamentum tiroepiglotika.3,4
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea
di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid dihubungkan
dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-
otot dan ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.3,4
4
Yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah kartilago krikoidea.
Rima Vestibuli.
Merupakan celah antara pita suara palsu.
Rima glottis
Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang antara prosesus
vokalis dan basis kartilago aritenoidea.
Vallecula
Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah, dibentuk oleh
plika glossoepiglotika medial dan lateral.
Plika Ariepiglotika
Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan dari kartilago
epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata.
Incisura Interaritenoidea
Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri.
5
Vestibulum Laring
Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis, kartilago
aritenoid, permukaan atas proc. vokalis kartilago aritenoidea dan m.interaritenoidea.
6
Persarafan
Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn.
Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.4,5
1. Nn. Laringeus Superior.
Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan
dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan bercabang
dua, yaitu : Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus
pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati. Cabang Eksterna ;
bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m. Konstriktor inferior.
2. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren).
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di
belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri mempunyai perjalanan yang
panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu. Merupakan cabang N.
vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan berjalan membelok ke atas sepanjang
lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang
artikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan:
Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea
Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea
Pendarahan
Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior
sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior.4,5
1. Arteri Laringeus Superior
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus membrana
tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus pyriformis.
7
dalam laring beranastomose dengan A. Laringeus Superior dan memperdarahi otot-otot
dan mukosa laring.
8
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul
membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical
superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan middle jugular node.
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe
trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan
sistem limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase
karsinoma laring dan menentukan terapinya.
9
penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan
tegangan pita suara sejati.
2. Fungsi Proteksi.
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-
otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,
pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada
epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui
serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis
menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring
tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus
dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
3. Fungsi Respirasi.
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar
rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya
menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan
O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis,
sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan
obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan
peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring.
Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.
4. Fungsi Sirkulasi.
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian
tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding laring
terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal
ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah
baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan
Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila
laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.
10
5. Fungsi Fiksasi.
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,
misalnya batuk, bersin dan mengedan.
6. Fungsi Menelan.
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu: Pada waktu menelan faring bagian bawah (M.
Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami
kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke
atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan
faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke
saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh
epiglotis.
Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus
laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring
dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.
7. Fungsi Batuk.
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,
sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak
menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda
asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa
laring.
8. Fungsi Ekspektorasi.
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut.
9. Fungsi Emosi.
Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya
pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.
11
2.3. Definisi
Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi, baik
secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung
dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu
dinamakan laringitis kronis.
Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis akut
(common cold). Sedangkan laringitis kronik merupakan radang kronis laring yang dapat
disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau bronkitis
kronis. Mungkin juga disebabkan oelh penyalahgunaan suara (vocal abuse) seperti
berteriak-teriak atau biasa berbicara keras.9
Laringitis kronis dibagi menjadi laringitis kronik non spesifik dan spesifik.
Laringitis kronik non spesifik dapat disebabkan oleh faktor eksogen (rangsangan fisik
oleh penyalahgunaan suara, rangsangan kimia, infeksi kronik saluran napas atas atau
bawah, asap rokok) atau faktor endogen (bentuk tubuh, kelainan metabolik). Sedangkan
laringitis kronik spesifik disebabkan tuberkulosis dan sifilis.10
Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis.
Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang
terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosa.6
2.4. Epidemiologi
Sebagaimana insidensi dan prevalensi tuberkulosis paru yang mengalami
penurunan, kejadian laringitis tuberkulosis juga mengalami penurunan, meskipun
kecenderungan peningkatan kejadian laringitis tuberkulosis dalam beberapa tahun
terakhir.11
Dulu, dinyatakan bahwa penyakit ini sering terjadi pada kelompok usia muda
yaitu 20 – 40 tahun. Dalam 20 tahun belakangan, insidens penyakit ini pada penduduk
yang berumur lebih dari 60 tahun jelas meningkat. Saat ini tuberkulosis dalam semua
bentuk dua kali lebih sering pada laki-laki dibanding dengan perempuan. Tuberkulosis
laring juga lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut, terutama pasien-pasien dengan
12
keadaan ekonomi dan kesehatan yang buruk, banyak diantaranya adalah peminum
alkohol.12
2.5. Etiologi
Hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati biasanya
tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap, karena struktur
mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru. Infeksi
laring oleh Mycobacterium tuberculosa hampir selalu sebagai komplikasi tuberkulosis
paru aktif, dan ini merupakan penyakit granulomatosis laring yang paling sering.10,11,12
2.6. Patogenesis
Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan sekunder dari lesi tuberkulosis paru
aktif, jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil tuberkel secara
langsung.10,11,12,13 Secara umum, infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara
pernapasan, sputum yang mengandung kuman, atau penyebaran melalui darah atau
limfe.9
Berdasarkan mekanisme terjadinya laringitis tuberkulosis dikategorikan menjadi 2
mekanisme, yaitu:
13
Laringitis tuberkulosis sekunder terjadi jika ditemukan infeksi laring akibat
Mycobacterium tuberculosa yang disertai adanya keterlibatan paru. Laringitis
tuberkulosis sekunder merupakan komplikasi dari lesi tuberkulosis paru aktif.
Mekanisme penyebaran infeksi ke laring dapat berupa penyebaran langsung di
sepanjang saluran pernapasan dari infeksi paru primer berupa sputum yang mengandung
kuman maupun penyebaran melalui sistem darah ataupun limfatik.9
14
mungkin hilang dan sering terjadi ulserasi dengan infeksi sekunder. Proses ini pertama
kali cenderung akan mengenai prosesus vokalis dan epiglotis.11,12
Adanya tuberkel mungkin akan merangsang terjadinya hiperplasia epitel dan
jaringan fibrosis subepitel. Hal ini mungkin bermanifestasi pada daerah interaritenoid
berupa penebalan yang menyerupai pakiderma. Prosesus vokalis mungkin di tutupi oleh
nodul yang menyerupai morbili. Hal ini merupakan manifestasi dari proses perbaikan
karena hanya ditemukan sedikit perkijuan pada lesi.11,12
Edema jelas pada keadaan lebih lanjut dan mungkin terjadi sebagai akibat
obstruksi jaringan limfe oleh granuloma. Edema dapat timbul di fossa interaritenoid,
kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglottis serta terakhir ialah
subglotik. Epiglotis dan jaringan ikat di atas aritenoid merupakan tempat yang paling
tampak edema.9,11,12
Penyembuhan tuberkulosis laring disertai oleh pembentukan kapsul jaringan
fibrosa dan jaringan menggantikan tuberkel.
Stadium Infiltrasi
15
Mukosa laring bagian posterior mengalami pembengkakan dan hiperemis pada
bagian posterior, kadang-kadang dapat mengenai pita suara. Pada stadium ini mukosa
laring berwarna pucat.
Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak rata,
tampak bintik berwarna kebiruan. Tuberkel makin membesar dan beberapa tuberkel
yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa diatasnya meregang. Pada suatu saat, karena
sangat meregang, maka akan pecah dan terbentuk ulkus.
Stadium Ulserasi
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini dangkal,
dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan sangat nyeri oleh pasien.
Stadium Perikondritis
Ulkus makin dalam sehingga mengenai kartilago laring terutama kartilago
aritenoid dan epiglottis. Dengan demikian terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga
terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan melanjut dan terbentuk sekuester. Pada
stadium ini pasien sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan
maka proses penyakit berlanjut dan msuk dalam stadium terakhir yaitu
fibrotuberkulosis.
Stadium Fibrotuberkulosis
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara dan
subglotik.
16
Gambar 5. Temuan Laringoskopi pada Laringitis Tuberkulosis, A. Lesi Ulseratif
(pada seluruh laring), B. Lesi Granuloma (pada glotis posterior), C. Lesi Polyploid
(pada plika vokalis palsu kanan), D. Lesi Nonspesifik (pada plika vokalis kanan)
Gejala Klinis
Tergantung pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai berikut:
- Rasa kering, panas, dan tertekan di daerah laring.
- Suara parau yang berlangsung berminggu-miggu, sedangkan pada stadium lanjut
dapat timbul afoni.
- Hemoptisis.
- Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri karena
radang lainnya, merupakan tanda yang khas.
- Keadaan umum buruk.
- Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologis) terdapat proses aktif
(biasanya pada stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne).
17
2.8. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesa
Pada anamnesa dapat ditanyakan:
-Kapan pertama kali timbul serta faktor yang memicu dan mengurangi gejala
-Riwayat pekerjaan, termasuk adanya kontak dengan bahan yang dapat memicu
timbulnya laringitis seperti debu, asap.
-Penggunaan suara berlebih
-Penggunaan obat-obatan seperti diuretik, antihipertensi, antihistamin yang dapat
menimbulkan kekeringan pada mukosa dan lesi pada mukosa.
-Riwayat merokok
-Riwayat makan
-Suara parau atau disfonia
-Batuk kronis terutama pada malam hari
-Stridor karena adanya laringospasme bila sekret terdapat disekitar pita suara
-Disfagia dan otalgia
18
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin,
faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
- Kultur kuman
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya
untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang
digunakan.
5. Foto toraks
19
Untuk melihat apabila terdapat pembengkakan dan adanya gambaran tuberkulosis
paru. CT scanning dan MRI juga dapat digunakan dan memberikan hasil yang lebih
baik. Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
- Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
20
Gambar 8. Histopatologi Laringitis Tuberkulosis
- Karsinoma laring
Karsinoma laring memberikan gejala yang serupa dengan laringitis tuberkulosa.
Serak adalah gejala utama karsinoma laring, namun hubungan antara serak dengan
tumor laring tergantung pada letak tumor.
2.10. Penatalaksanaan
1. Terapi non medikamentosa
- Mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak berbicara.
21
- Menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk misalnya goreng-
gorengan, makanan pedas.
- Konsumsi cairan yang banyak.
- Berhenti merokok dan konsumsi alkohol.
22
Pirazinamid 15-40 50-70 15-30
(maks.2 g) (maks.4g) (maks.3g)
Etambutol 15-25 50 15-25
(maks.2,5 g) (maks2,5g) (maks. 2,5 g)
Streptomisin 15-40 25-40 25-40
(maks. 1 g) (maks. 1,5 g) (maks. 1,5 g)
3. Operatif
Tindakan operatif dilakukan dengan tujuan untuk pengangkatan sekuester.
Trakeostomi diindikasikan bila terjadi obstruksi laring.
Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea
untuk bernafas. Trakeostomi dilakukan atas indikasi, berikut:
-Mengatasi obstruksi laring
-Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti
daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring.
-Mempermudah penghisapan secret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan secret secara fisiologik.
-Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).
Untuk menambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas
bronkoskopi.
Trakeostomi pada kasus laringitis tuberkulosis dilakukan atas indikasi yaitu jika
terjadi obstruksi laring dan mengurangi ruang rugi di saluran napas bagian atas seperti
daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring.
2.11. Prognosis
Tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta
ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini maka
prognosisnya baik.4,5
23
2.12. Komplikasi
Pada laringitis akibat peradangan yang terjadi dari daerah lain maka dapat terjadi
inflamasi yang progresif dan dapat menyebabkan kesulitan bernafas. Kesulitan bernafas
ini dapat disertai stridor baik pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Pada
laringitis tuberkulosis dapat terjadi sekuele, di antaranya stenosis glotis posterior,
stenosis subglotis, paralisis plika vokalis, dan persisten disfonia
24
BAB III
PENYAJIAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tatang Enda
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 31 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : matang sepeng
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : Agustus 2014
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat
25
Riwayat kebiasaan : merokok
Telinga
Inspeksi, Palpasi
Edema : - Edema : -
Massa : - Massa : -
Edema : - Edema : -
Massa : - Massa : -
Edema : - Edema : -
Massa : - Massa : -
26
MAE Edema : - Edema : -
Hiperemis : - Hiperemis : -
Massa : - Massa : -
Furunkel : - Furunkel : -
Sekret : - Sekret : -
Serumen : - Serumen : -
Hiperemis : - Hiperemis : -
Inspeksi, Palpasi :
Rinoskopi Anterior :
27
Mukosa hidung Hiperemis : + Hiperemis : +
Massa : + Massa : +
Sekret : + Sekret : +
Atrofi : - Atrofi : -
Mukus : - Mukus : -
Pucat : - Pucat : -
Dislokasi : - Dislokasi : -
Sekret : - Sekret : -
Rinoskopi Posterior : -
Tenggorokan
Inspeksi, Palpasi :
Mukosa Orofaring : -
Hiperemis : -
28
Massa : -
Nyeri : -
Tonsil T1 / T1
V. DIAGNOSIS BANDING
1. Polip Nasalis
2. Angiofibroma nasopharing
VIII.PROGNOSIS
dubia ad bonam
FOLLOW UP PASIEN
Hari / tanggal Nama Keluhan Diagnosa Pemeriksaan
anjuran
05/08/2014 Tatang Enda -Ku: compos - cek darah rutin
mentis
29
-Td : 130/80
-RR: 24 kali/i
-Temp: 36,6
-Pols: 80 kali/i
Keluhan:
-suara serak
-Nyeri
menelan
-Batuk
-Mata terasa
gata
-Telinga gatal
-Hidung
terasa gatal
BAB IV
Pasien ini diduga mengalami Laringitis TB , karena sesuai dgn gejala yang
dikeluhkan , yaitu disfonia yang berlangsung berminggu - minggu hingga afonia , batuk
lebih kurang 6 bulan dan keluhan nyeri ketika menelan . serta pada pemeriksaan
laringoskopi indirect di dapatkan plika vokalis berwarna merah dan tampak edema terutama
30
di bagian atas dan bawah glotis. Disfonia hingga afonia terjadi karena adanya tuberkel –
tuberkel yang merangsang terjadinya hiperplasia epitel dan jaringan fibrosis subepitel yang akan
membentuk nodul yang akhirnya menutupi prosesus vokalis hingga terjadilah disfonia hingga
afonia. Batuk berbulan – bulan terjadi karena ditemukan infeksi Mycobacterium tuberculosa
yang di curigai juga menyerang bagian paru pasien. Keluhan nyeri ketika menelan timbul akibat
adanya peradangan hebat pada laring dan juga dicurigai karena adanya ulkus yang dangkal yang
dasarnya ditutupi oleh perkijuan. Plika vokalis berwarna merah dan tampak edema terutama
dibagian atas dan bawah glotis karena terjadi peradangan yang hebat pada daerah laring serta
akibat obstruksi jaringan limfe oleh granuloma.
BAB V
KESIMPULAN
Tuberkulosa laring hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati biasanya
tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap, karena struktur
mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru, sehingga
bila sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama.
31
Secara klinis tuberkulosa laring terdiri dari 4 stadium, yaitu : stadium infiltrasi, stadium
ulserasi, stadium perikondritis, stadium pembentukan tumor (fibrotuberkulosis).
Diagnosa laringitis tuberculosis ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, gejala dan
pemeriksaan fisik, laringoskopi direct dan indirect, laboratorium, foto toraks, dan
pemeriksaan patologi anatomi.
Terapinya dibagi menjadi medikamentosa dan pembedahan. Terapi non medikamentosa
yaitu mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak berbicara,
menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk misalnya goreng-
gorengan, makanan pedas, konsumsi cairan yang banyak, berhenti merokok dan
konsumsi alkohol. Sedangkan terapi medikamentosa adalah OAT (Obat Anti
Tuberkulosis). Terapi pembedahannya pengangkatan sekuester dan trakeostomi bila
terjadi obstruksi laring.
Prognosisnya tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup
sehat serta ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini maka
prognosisnya baik.
DAFTAR PUSTAKA
32
3. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala Leher: Disfonia. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008. Hal 231-234
4. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear, head and
neck. 13th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993.
6. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Pentakit THT, Edisi keenam.
Jakarta: EGC; 1999. Hal 369-377
7. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery . Eight edition. Connecticut: McGraw-Hill; 2003. Hal 724-736, 747, 755-760.
8. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey. Head and
Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1. Philadelphia: Lippincot
Williams and Wilkins; 2001. Hal 479-486.
9. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Teggorok
Kepala Leher : Kelainan Laring, Edisi keenam. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008. Hal 238-241
10. Mansjoer A, Kapita Selekta Kedokteran, Laringitis, Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit
Media Aesculapius; 2006. Hal 126-127
12. Ballenger JJ, Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher, Penyakit
Granulomatosis Kronik Laring, Edisi ketigabelas. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara;
hal 547-558
33
13. Keyvan Kiakojuri, Mohammad Reza Hasanjani Roushan. Laryngeal tuberculosis
without pulmonary involvement. Caspian J Intern Med 3(1): Winter 2012: 3(1): 397-
399.
15. Shin JE, Nam SY, Yoo SJ, Kim SY. Changing trends in clinical manifestations of
laryngeal tuberculosis. Laryngoscope 2000; 110: 1950-1953s.
16. Baratawijdaja KG. Imunologi Dasar Edisi 7. Balai penerbit FK UI. Jakarta. 2006; h.
145, 170-173.
34