Fig 4: Waveforms of current and voltage in a buckboost converter operating in discontinuous mode.
If the current through the inductor L never falls to zero during a commutation cycle, the converter
is said to operate in continuous mode. The current and voltage waveforms in an ideal converter
can be seen in Figure 3.
From
to
Fig. 2: The two operating states of a buckboost converter: When the switch is turned on, the input voltage
source supplies current to the inductor, and the capacitor supplies current to the resistor (output load).
When the switch is opened, the inductor supplies current to the load via the diode D.
DC to DC Converter adalah suatu alat yang digunakan untuk mengubah suatu tegangan searah ke tegangan
searah yang lain dengan nilainya dapat ditingkatkan atau diturunkan. Menurut Dr. F. L. Luo and Dr. H.Ye DC
converter terdiri dari 6 generasi yang memiliki banyak topologi rangkaian dan teori, diantaranya:
Klasik converter, yaitu buck converter, boost converter, buck boost converter
Switched komponen converter, yaitu switched capacitor converter dan switchinduktor converter
Cara pengolahan daya memiliki 2 tipe pengolahan yaitu linier dan peralihan (switching). Masing-masing tipe
memiliki kelebihan dan kekurangan. Tipe linier memiliki tingkat ripple dan noise sangat kecil pada output, tetapi
memiliki ukuran yang cukup besar. Namun untuk aplikasi dimana fleksibilitas, dimensi fisik dan efisiensi tinggi
sangat berperan digunakan tipe switching. Komponen yang digunakan untuk menjalankan fungsi penghubung
tersebut tidak lain adalah switch (solid state electronic switch) seperti misalnya Thyristor, MOSFET, IGBT, dan
GTO. Switchedkomponen converter dibedakan berdasarkan cara dalam mentransfer energi terdiri dari 2 topologi
yaitu induktif konverter dan kapasitor konverter. Induktif konverter menggunakan induktor sebagai transfer energi.
Metode ini membutuhkan banyak kapasitor sehingga rangkaian yang dihasilkan tidak sederhana sedangkan
kapasitif konverter menggunakan kapasitor sebagai transfer energi. Berikut ini adalah penjelasan mengenai
metode linier dan switching.
2.1.1 Metode linier
Metode linier sangatlah tidak efisien karena saat drop tegangan besar dan arus tinggi akan mengeluarkan panas
yang sebanding arus yang keluar dan penurunan tegangan. Ketidakefisiensian ini membuang energi yang besar
dan membutuhkan arus yang besar sehingga membutuhkan komponen yang lebih besar dan mahal. Panas yang
terbuang akibat daya yang tinggi adalah masalah yang harus diselesaikan untuk mencegah kenaikan suhu dan
faktor efisiensi yang didapatkan. Apabila arus rendah maka daya yang hilang kecil, meskipun mungkin masih
sebagian besar dari total daya yang dipakai. Metode linier dapat menurunkan kelebihan tegangan,
mengurangi ripple yang dihasilkan dan menghasilkan tegangan outputyang konstan dari fluktuasi normal dari
tegangan input tidak berasal dari trafo / rangkaian jembatan penyearah dan arus beban. Metode linier murah,
dapat diandalkan jika heat-sink yang baik digunakan dan lebih sederhana daripada metodeswitching. Metode
linier dapat memberikan tegangan dengan noise output yang rendah, dan sangat cocok untuk rangkaian
analog noise-sensitif berdaya rendah dan rangkaian frekuensi radio.
2.1.2 Metode Switching
Metode switching mengkonversi satu tingkat tegangan DC ke yang lain, dengan menyimpan
energi input sementara dan kemudian melepaskan energi ke output pada tegangan yang berbeda. Penyimpanan
energi tersebut bisa berada dalam komponen penyimpanan medan magnet (induktor, transformator) atau
komponen penyimpan medan listrik (kapasitor). Metode konversi daya yang lebih efisien (sering 75% sampai
98%) daripada pengaturan tegangan linier (yang menghilang daya yang tidak diinginkan sebagai panas).
Efisiensi ini bermanfaat untuk meningkatkan waktu pengopersian baterai. Efisiensi telah meningkat sejak tahun
1980-an akibat penggunaan FET, yang dapat mengalihkan frekuensi tinggi lebih efisien daripada transistor daya
bipolar, yang memiliki losses dan memerlukan rangkaian yang lebih kompleks.
Pendahuluan
Dalam ELEKTRO edisi nomor 24 yang lalu, telah dibahas dua macam cara
pengolahan daya: tipe linier dan tipe peralihan (switching). Tergantung dari jenis
aplikasinya, masing masing tipe memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun
dalam perkembangannya, tipe peralihan nampak semakin terlihat kepopulerannya
terutama karena kelebihannya dalam mengubah daya secara jauh lebih efisien dan
pemakaian komponen yang ukurannya lebih kecil. Dalam artikel ini, akan dibahas
beberapa metodologi yang termasuk dalam tipe peralihan, khususnya yang
digunakan untuk mengubah daya DC-DC.
Pengubah daya DC-DC (DC-DC Converter) tipe peralihan atau dikenal juga
dengan sebutan DC Chopper dimanfaatkan terutama untuk penyediaan tegangan
keluaran DC yang bervariasi besarannya sesuai dengan permintaan pada beban.
Daya masukan dari proses DC-DC tersebut adalah berasal dari sumber daya DC
yang biasanya memiliki tegangan masukan yang tetap. Pada dasarnya, penghasilan
tegangan keluaran DC yang ingin dicapai adalah dengan cara pengaturan lamanya
waktu penghubungan antara sisi keluaran dan sisi masukan pada rangkaian yang
sama. Komponen yang digunakan untuk menjalankan fungsi penghubung tersebut
tidak lain adalah switch (solid state electronic switch) seperti misalnya Thyristor,
MOSFET, IGBT, GTO. Secara umum ada dua fungsi pengoperasian dari DC
Chopper yaitu penaikan tegangan dimana tegangan keluaran yang dihasilkan lebih
tinggi dari tegangan masukan, dan penurunan tegangan dimana tegangan keluaran
lebih rendah dari tegangan masukan.
Prinsip dasar Pengubah DC-DC Tipe Peralihan
Untuk lebih memahami keuntungan dari tipe peralihan, kita lihat kembali prinsip
pengubahan daya DC-DC tipe linier seperti terlihat pada Gambar 1.
V0 = IL . RL (1)
Dengan demikian pada tipe linier, fungsi transistor menyerupai tahanan yang dapat
diubah ubah besarannya seperti yang juga terlihat dalam Gambar 1. Lebih jauh
lagi, transistor yang digunakan hanya dapat dioperasikan pada batasan liniernya
(linear region) dan tidak melebihi batasan cutoff dan selebihnya (saturation region).
Maka dari itu tipe ini dikenal dengan tipe linier. Walau tipe linier merupakan cara
termudah untuk mencapai tegangan keluaran yang bervariasi, namun kurang
diminati pada aplikasi daya karena tingginya daya yang hilang (power loss) pada
transistor (VCE*IL) sehingga berakibat rendahnya efisiensi. Sebagai alternatif, maka
muncul tipe peralihan yang pada prinsipnya dapat dilihat pada Gambar 2.
(2)
Dari persamaan diatas terlihat bahwa tegangan keluaran DC dapat diatur
besarannya dengan menyesuaikan parameter D. Parameter D dikenal sebagai Duty
ratioyaitu rasio antara lamanya waktu switch ditutup (t on) dengan perioda T dari
pulsa tegangan keluaran, atau (lihat Gambar 3):
(3)
dengan 0 D 1. Parameter f adalah frekuensi peralihan (switching frequency)
yang digunakan dalam mengoperasikan switch. Berbeda dengan tipe linier, pada
tipe peralihan tidak ada daya yang diserap pada transistor sebagai switch. Ini
dimungkinkan karena pada waktu switch ditutup tidak ada tegangan yang jatuh
pada transistor, sedangkan pada waktu switch dibuka, tidak ada arus listrik
mengalir. Ini berarti semua daya terserap pada beban, sehingga efisiensi daya
menjadi 100%. Namun perlu diingat pada prakteknya, tidak ada switch yang ideal,
sehingga akan tetap ada daya yang hilang sekecil apapun pada komponen switch
dan efisiensinya walaupun sangat tinggi, tidak akan pernah mencapai 100%.
Pengubah Buck
Gambar 4 menunjukkan rangkaian dasar dalam metoda Buck. Dalam metoda ini,
tegangan keluaran akan lebih rendah atau sama dengan tegangan masukan.
Disamping itu, jika pada pengoperasiannya arus yang mengalir melalui induktor
selalu lebih besar dari nol (CCM - Continuous Conduction Mode), maka hubungan
antara tegangan keluaran dengan tegangan masukan adalah sebagai berikut:
V0 = D . Vin (4)
isolasi antara masukan dan keluaran, hanya satu keluaran yang dihasilkan, dan
tingkatan ripple yang tinggi pada tegangan keluaran. Aplikasi Boost mencakup
misalnya untuk perbaikan faktor daya (Power Factor), dan untuk penaikan
tegangan pada baterai
Pengubah Buck-Boost
Metoda Buck-Boost tidak lain adalah kombinasi antara Buck dan Boost, seperti
terlihat pada Gambar 6, dimana tegangan keluaran dapat diatur menjadi lebih
tinggi atau lebih rendah dari tegangan masukan. Dalam operasi CCM, persamaan
tegangan yang dipakai adalah:
(6)
http://www.elektroindonesia.com/elektro/elek25.html
DC TO DC CONVERTER, CHAPTER 1
Posted by Boedy's on September 20, 2012 Leave a Comment
Sobat-sobat sekalian, tentu kalian sudah familiar dengan DC to DC converter, ya
benar itu merupakan suatu device yang mengubah/mengkonversi energy listrik
dari DC ke DC juga tentunya (menaikkan atau menurunkan), tanpa mengubah
polaritas dari sumber. DC to DC converter ini memanfaatkan Charging dan
discharging pada inductor, dengan metode switching. Switch yang digunakan
adalah semikonduktor yang dioperasikan pada frequency tinggi semisal
transistor BJT atau juga FET. DC to DC ini sangat sering dipakai di industry secara
umum, dan elektronik khususnya, karena memiliki efesiensi yang tinggi. Divice
ini biasanya dipakai sebagai pengatur kecepatan motor, atau mobil listrik, dan
bisa juga untuk charger.
Tadi telah disingguh, bahwa rangkaian ini memakai switch yang berupa
semikonduktor, yang namanya switch dia bekerja hidup dan mati secara
periodik, atau dapat kita katakan adalah ada periode on, ada periode off. 1
periode (T) adalah, waktu yang dibutukan oleh switch untuk 1 kali on dan 1 kali
off. Duty cycle ini berfungsi sebagai konstanta pengali tegangan output yang
dihasilkan pada design DC to DC converter(akan dibahas nanti), kira-kira begitu
sobat arti dari duty cyle..ok Back to topic.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa, Buck Converter berfungsi untuk
menurunkan tengangan, misalkan dari 12V DC ke 6 Volt DC, 10V DC ke 2 Volt
DC, dll. Karana menurunkan tegangan, maka tegangan output yang dihasilkan
akan selalu lebih kecil dari tegangan input(Supply), namun ingat polaritasnya
tetap sama ya. Buck konverter menurunkan tegangan dengan memanfaatkan
charge dan discharge dari induktor, tentu saja harus memiliki konfigurasi
tertentu, jika tidak maka rangkaian tersebut boleh jadi tidak berfungsi sebagai
mana mestinya. Secara umum konfigurasi Buck Converter adalah sebagai
berikut:
Buck Converter
Tidak usah bingung, rangkaian disamping ini tidak rumit, ada Vg(Vin) sebagai
seumber, kemudian ada FET sebagai switch (Q), ada diode(D) sebagai
penyearah, ada induktor(L) sebagai komponen utama charge dan discharge,
kemudian ada kapasitor(C) yang berfungsi memeperhalus tegnagan output yang
dihasilkan, dan terakhir ada beban (R) sebagai matching impedance. Switch (Q)
disini ya anggap saja sebagai saklar, yang berkedip pada frequency yang cukup
tinggi (puluhan hinga ratusan KHz), sebagai pengendali time charge dan
discharge. dalam membuat analisis kita hanya cukup mengabil sample 1 peride
saja,karena frequency konstan dan terus berulang. Dengan demikian, kita dapat
membagai kondisi pada rangkaian diatas, yakni pada kondisi on dan pada kondisi
off:
Kondisi switch on,
Pada kondisi ini, switch pada kondisi menutup, sehingga arus mengalir dari
sumber menuju inductor, kapasitor dan juga resistor. Pada kondisi ini, inductor
mengalami charging arus. Pada kondisi charging seolah inductor short, sampai
arus mencapai maximum. Persamaan rangkaian pada kondisi on dapat dituliskan
sebagai berikut:
Swich on mode
Vin=VL+ VC,
dimana Vout=VC, maka dapat dituliskan kembali.
Vin=L(di/dt)+Vout,
di/dt selanjutnya dapat ditulis, i/ t
in=L i/t+Vout
t=adalah waktu on, sehingga dituliskan:
Vin=L
i/ton+Vout
Sehinga nilai ton= L i/(Vin-Vout).(1)
Pada kondisi ini dapat dikatakan bahwa nilai tegangan induktor(VL)adalah selisih
antara tegangan input dengan tegangan output selama periode on.Pada kondisi
ini, ripple diperkiran untuk V(t) (beban):
VL=0, Ic=-V/R
ok, kita tehu bahwa satu periode adalah 1 kali untuk on dan off,, secara
matematis adalaha sebagai berikut:
1periode (T)=ton+toff
Dengan difinisi ini, ditambah dengan hasil persamaan 1 dan persamaan 2 diatas,
maka dapat dijabarkan sebagai berikut.
ton+ toff=T
L i/(Vin-Vout)+ L i/Vout=T
L i[(1/(Vin-Vout)+1/Vout)]=T
L i[(Vout+Vin-Vout)/(Vin-Vout)Vout]=T
L i[(Vin)/(Vin-Vout)Vout]=T.(3)
persamaan 3 inilah, gambaran hubungan antara induktor dngan tegangan input
output dalam 1 periode, perhitungan ini sangat penting dalam mendesign
sebuah buck converter jadi harus dipahami yak.
Hohohoho, bagaiama sekarang udah mengerti belum tentang buck
converter???,,hahahah tidak apa-apa, pelan-pelan saja. pada chapter
selanjutnya, akan saya kasih contoh designkalian akan lebih mengerti lagi
tunggu yakkk.
https://boeedy.wordpress.com/2012/09/20/dc-to-dc-converter-chapter-1-2/
1.
2.
3.
4.
Arus listrik terdiri atas dua macam, yaitu arus searah (direct current) dan arus bolak
balik(alternating current). Kebutuhan sumber listrik yang dibutuhkan bisa jadi
berbeda dengan sumber listrik yang tersedia, termasuk juga pengaturan karakteristik
sumber listrik tersebut. Oleh karena itu dalam bab keenam ini membahas tentang
konverter. Konverter berfungsi untuk mengubah sinyal listrik dari satu bentuk ke
bentuk lain yang dibutuhkan. Terdapat empat macam konverter, yaitu:
Chopper (konverter DC ke DC)
Rectifier (konverter AC ke DC)
Inverter (konverter DC ke AC)
Cycloconverter (konverter AC ke AC)
Hasil konversi terdiri atas dua macam, yaitu fix output dan variable output.
CHOPPER
Chopper digunakan untuk mengatur atau mengubah tegangan searah menjadi
tegangan searah dengan tegangan masukan yang tetap sedangkan tegangan
keluarannya dapat di atur. Penggunaan:
a. pengendalian motor DC untuk peralatan pemindah yang cepat
b. kendaraan listrik
c. pengaturan eksitasi mesin-mesin listrik
d. pengendalian tegangan searah masukan untuk inverter
Ada dua macam cara pengolahan daya dari DC ke DC, yaitu tipe linier dan tipe
peralihan (switching). Tergantung dari jenis aplikasinya, masing masing tipe memiliki
kelebihan dan kekurangan. Namun dalam perkembangannya, tipe peralihan
semakin populer terutama karena kelebihannya dalam mengubah daya secara jauh
lebih efisien dan pemakaian komponen yang ukurannya lebih kecil. Dalam
pembahasan ini, akan dibahas beberapa metodologi yang termasuk dalam tipe
peralihan, khususnya yang digunakan untuk mengubah daya DC-DC.
Untuk lebih memahami keuntungan dari tipe peralihan, kita lihat kembali prinsip
pengubahan daya DC-DC tipe linier seperti terlihat pada Gambar 1.
Pada tipe linier, pengaturan tegangan Gambar 1. Pengubah tipe linier
keluaran
dicapai
dengan
menyesuaikan arus pada beban yang
besarannya tergantung dari besar arus
pada base-nya
transistor:
V0 = IL . RL
Dengan demikian pada tipe linier, fungsi transistor menyerupai tahanan yang dapat
diubah ubah besarannya seperti yang juga terlihat dalam Gambar 1. Lebih jauh lagi,
transistor yang digunakan hanya dapat dioperasikan pada batasan liniernya (linear
region) dan tidak melebihi batasan cutoff dan selebihnya (saturation region). Maka
dari itu tipe ini dikenal dengan tipe linier. Walau tipe linier merupakan cara termudah
untuk mencapai tegangan keluaran yang bervariasi, namun kurang diminati pada
aplikasi daya karena tingginya daya yang hilang (power loss) pada transistor (V CE*IL)
sehingga berakibat rendahnya efisiensi.
Sebagai alternatif, maka muncul tipe peralihan yang pada prinsipnya dapat dilihat
pada Gambar2.
Pada tipe peralihan, terlihat fungsi Gambar 2. Pengubah tipe peralihan
transistor
sebagai electronic
switch yang dapat dibuka (off) dan
ditutup (on).Dengan asumsi bahwa
switch tersebut
ideal, jika switch ditutup maka tegangan keluaran akan sama dengan tegangan
masukan, sedangkan jika switch dibuka maka tegangan keluaran akan menjadi nol.
Dengan demikian tegangan keluaran yang dihasilkan akan berbentuk pulsa seperti
pada Gambar3.
Besaran rata rata atau komponen DC dari
Gambar 3. Tegangan keluaran
tegangan keluaran dapat diturunkan dari
persamaan berikut:
Dari persamaan diatas terlihat bahwa tegangan keluaran DC dapat diatur
besarannya dengan menyesuaikan parameter D. Parameter D dikenal sebagai Duty
ratio yaitu rasio antara lamanya waktu switch ditutup (t on) dengan perioda T dari pulsa
tegangan keluaran, atau (lihat Gambar 3):
dengan 0 D 1. Parameter f adalah frekuensi peralihan (switching frequency)
yang digunakan dalam mengoperasikan switch. Berbeda dengan tipe linier, pada
tipe peralihan tidak ada daya yang diserap pada transistor sebagai switch. Ini
dimungkinkan karena pada waktu switch ditutup tidak ada tegangan yang jatuh pada
transistor, sedangkan pada waktu switch dibuka, tidak ada arus listrik mengalir. Ini
berarti semua daya terserap pada beban, sehingga efisiensi daya menjadi 100%.
Namun perlu diingat pada prakteknya, tidak ada switch yang ideal, sehingga akan
tetap ada daya yang hilang sekecil apapun pada komponen switch dan efisiensinya
walaupun sangat tinggi, tidak akan pernah mencapai 100%.
Pengubah daya DC-DC (DC-DC Converter) tipe peralihan atau dikenal juga dengan
sebutan DC Chopper dimanfaatkan terutama untuk penyediaan tegangan keluaran
DC yang bervariasi besarannya sesuai dengan permintaan pada beban. Daya
masukan dari proses DC-DC tersebut adalah berasal dari sumber daya DC yang
biasanya memiliki tegangan masukan yang tetap. Pada dasarnya, penghasilan
tegangan keluaran DC yang ingin dicapai adalah dengan cara pengaturan lamanya
waktu penghubungan antara sisi keluaran dan sisi masukan pada rangkaian yang
sama. Komponen yang digunakan untuk menjalankan fungsi penghubung tersebut
tidak lain adalah switch (solid state electronic switch) seperti misalnya Thyristor,
MOSFET, IGBT, GTO. Secara umum ada dua fungsi pengoperasian dari DC
Chopper yaitu penaikan tegangan dimana tegangan keluaran yang dihasilkan lebih
tinggi dari tegangan masukan, dan penurunan tegangan dimana tegangan keluaran
lebih rendah dari tegangan masukan.
Bentuk untai chopper elementer dapat dilihat pada gambar di samping ini:
saklar S dapat diganti dengan SCR Gambar xx
1.
2.
3.
4.
12.29
Elda
Bismillah,
Di siang hari gini sebelum mulai belajar buat uts mau coba nulis dulu nih. kali ini nulis tentang
Buck-Converter. Rangkaian ini merupakan salah satu konverter DC-DC pada Elektronika Daya
(ELDA). Dengan rangkaian Buck-Converter ini, kita bisa menurunkan tegangan tanpa harus
menurunkan efisiensi pada rangkaian tersebut. Silahkan disimak
Menurunkan tegangan
Pada rangkaian elektronika, terdapat berbagai rate tegangan yang digunakan. Mungkin kalo yang
biasa ngulik, udah tau berapa aja tegangan yang dipakai. Tegangan yang digunakan dalam
rangkaian elektronika dimulai dari 3.3V , 5V , 12V , 18V , 24V. Terus, menurunkan tegangan
digunainnya dimana? Sebagai contoh, dalam proses pengukuran tegangan DC , mikrokontroller
hanya mempunyai range pembacaan ADC 0-5V. Sedangkan sensor memiliki range input 0 - 100 V.
Untuk menurunkan range 0 - 100V agar sesuai dengan pembacaan mikrokontroler, digunakanlah
Buck-Converter untuk menyesuaikannya.
Gambar 1 Buck-Converter
Gambar 1 menjelaskan tentang switch pada Buck-Converter. Switch tersebut akan bekerja secara
terus-menerus. Kecepatan Switch (dalam realisasinya) akan tergantung pada Duty Cycle dan
frekuensi yang digunakan.
Gambar 2 menjelaskan arah arus saat switch berada pada posisi satu. Disini induktor mulai
menyerap sebagian daya dari power suplai.
Gambar 3 menjelaskan arah arus pada rangkaian ketika switch berada di titik 2. Walaupun tidak
terhubung pada sumber, pada posisi ini daya disuplai dari induktor yang telah menyerap daya
selama rangkaian terhubung pada sumber (switch posisi satu).
Gambar 4 menjelaskan bagaimana output dari Buck-Converter. Pada diagram i-t terlihat arus naik
turun sesuai dengan posisi switch. Begitupun dengan tegangan. (DT = Duty time alias waktu
kerja). Panjang DTs tergantung seberapa besar nilai dari PWM atau Duty Cycle pada rangkaian
tersebut. Apakah semakin besar nilai duty cycle semakin baik? belum tentu. untuk mencobanya
temen-temen bisa menggunakan Electronic Workbench sebagai simulator.
Nah mungkin saya skip dulu, nanti saya lanjutin lagi. gakan lama ko. Stay on my blog ok ;)
http://jurnaldimas.blogspot.co.id/2014/11/prinsip-kerja-buck-converter-part1.html
1.
Pendahuluan
ini, para insinyur yang bekerja di industry konverter daya bisa dengan baik memilih
topologi yang sesuai untuk hampir semua keperluan. Pekerjaan selanjutnya tinggal
menentukan ukuran tapis dan rangkaian kendalinya.
2.
Konverter
Buck
Konverter jenis buck merupakan jenis konverter yang banyak digunakan dalam
industri catu-daya. Konverter ini akan mengkonversikan tegangan dc masukan
menjadi tegangan dc lain yang lebih rendah (konverter penurun tegangan).
Rangkaian ini terdiri atas satu saklar aktif (MOSFET) dan satu saklar pasif (diode).
Untuk tegangan kerja yang rendah, saklar pasif sering diganti dengan saklar aktif
sehingga susut daya yang terjadi bisa dikurangi. Kedua saklar ini bekerja bergantian.
Setiap saat hanya ada satu saklar yang menutup. Nilai rata-rata tegangan keluaran
konverter sebanding dengan rasio antara waktu penutupan saklar aktif terhadap
periode penyaklarannya (faktor kerja). Nilai faktor kerja bisa diubah dari nol sampai
satu. Akibatnya, nilai rata-rata tegangan keluaran selalu lebih rendah dibanding
tegangan
masukannya.
Beberapa konverter buck bisa disusun paralel untuk menghasilkan arus keluaran
yang lebih besar. Jika sinyal ON-OFF masing-masing konverter berbeda sudut satu
sama lainnya sebesar 360o/N, yang mana N menyatakan jumlah konverter, maka
didapat konverter dc-dc N-fasa. Konverter buck N-fasa inilah yang sekarang banyak
digunakan sebagai regulator tegangan mikroprosesor generasi baru. Dengan
memperbanyak jumlah fasa, ukuran tapis yang diperlukan bisa menjadi jauh lebih
kecil dibanding konverter dc-dc satu-fasa. Selain digunakan sebagai regulator
tegangan mikroprosesor, konverter buck multifasa juga banyak dipakai dalam
indusri logam yang memerlukan arus dc sangat besar pada tegangan yang rendah.
Perlu dicatat bahwa arus masukan konverter buckc selalu bersifat tak kontinyu dan
mengandung riak yang sangat besar. Akibatnya pada sisi masukan, konverter buck
memerlukan tapis kapasitor yang cukup besar untuk mencegah terjadinya gangguan
5000 Watt. Walaupun komponen yang digunakannya banyak, manfaat yang didapat
bisa mengalahkan kerugiannya.
5. Konverter Push-Pull
Topologi turunan buck lain yang cukup popular adalah push-pull seperti terlihat di
Gb. 5. Keuntungan utama dari topologi ini adalah dua saklar yang digunakan bisa
dikendalikan dengan dua rangkaian gate yang referensinya sama. Ini akan sangat
menyederhanakn rangkaian kendali yang diperlukan sehingga bisa dibuat dalam
satu
chip.
Topologi push-pull cocok untuk penerapan dengan tegangan masukan yang rendah
karena saklar akan merasakan tegangan sebesar dua kali tegangan masukannya.
Akibatnya, rangkaian ini cocok untuk konverter daya yang dipasok dengan battery.
Topologi ini banyak dipakai untuk daya sampai 500 Watt.
6. Topologi Boost
Topologi boost bisa menghasilkan tegangan keluaran yang lebih tinggi dibanding
tegangan masukannya (penaik tegangan). Skema konverter ini diperlihatkan di Gb.
6. Jika saklar MOSFET ditutup maka arus di induktor akan naik (energi tersimpan di
induktor naik). Saat saklar dibuka maka arus induktor akan mengalir menuju beban
melewati dioda (energi tersimpan di induktor turun). Rasio antara tegangan
keluaran terhadap tegangan masukan konverter sebanding dengan rasio antara
periode penyaklaran dan waktu pembukaan saklar. Ciri khas utama konverter ini
adalah
bisa
menghasilkan
arus
masukan
yang
kontinyu.
Pada saat ini, topologi boost banyak dipakai dalam penyearah yang mempunyai
faktor-daya satu seperti terlihat di Gb. 7. Pada rangkaian ini, saklar dikendalikan
sedemikian rupa sehingga gelombang arus induktor mempunyai bentuk seperti
bentuk gelombang sinusoidal yang disearahkan. Dengan cara ini, arus masukan
penyearah akan mempunyai bentuk mendekati sinusoidal dengan faktor-daya sama
dengan satu. Pengendali konverter semacam ini sekarang tersedia banyak di pasaran
dalam
bentuk
chip.
7. Topologi Buck-Boost
Skema konverter buck-boost diperlihatkan di Gb. 8. Jika saklar MOSFET ditutup
maka arus di induktor akan naik, Saat saklar dibuka maka arus di induktor turun
dan mengalir menuju beban. Dengan cara ini, nilai rata-rata tegangan beban
sebanding dengan rasio antara waktu pembukaan dan waktu penutupan saklar.
Akibatnya, nilai rata-rata tegangan beban bisa lebih tinggi maupun lebih rendah dari
tegangan
sumbernya.
Masalah utama dari konverter buck-boost adalah menghasilkan riak arus yang tinggi
baik di sisi masukan maupun sisi keluarannya. Akibatnya, diperlukan tapis kapasitor
yang besar di kedua sisinya. Inilah salah satu alasan mengapa konverter buck-boost
jarang
dipakai
di
industri.
Dalam industri, topologi yang sering dipakai adalah turunan buck-boost yang lebih
popular disebut konverter flyback. Skema konverter ini diperlihatkan di Gb. 9. Pada
konverter ini, energi tersimpan di trafo akan naik saat saklar MOSFET ditutup. Saat
saklar dibuka, energi tersimpan di trafo akan dikirim ke beban melalui dioda.
Konverter ini sering dipakai untuk menghasilkan banyak level tegangan keluaran
dengan
menggunakan
beberapa
belitan
sekunder
trafo.
Konverter flyback biasa dipakai untuk daya sampai 100 Watt. Keuntungan utama
dari konverter flyback adalah menggunakan komponen yang paling sedikit
dibanding konverter jenis lainnya. Kelemahan utama dari topologi ini adalah
tingginya
tegangan
yang
dirasakan
oleh
saklar.
8. Kombinasi Konverter
9. Penutup
Secara umum, kebutuhan akan sistem catu daya selalu bisa dipenuhi dengan
menggunakan topologi dasar konverter daya, yaitu buck, boost, dan buck-boost serta
turunannya. Untuk keperluan khusus, kita bisa mengkombinasikan beberapa
konverter daya dalam konfigurasi seri-paralel. Topologi khusus sebaiknya dihindari
untuk mempermudah proses fabrikasi.
https://konversi.wordpress.com/2009/01/07/topologi-konverter-dc-dc/
A boost converter (step-up converter) is a DC-to-DC power converter with an output voltage
greater than its input voltage. It is a class of switched-mode power supply (SMPS) containing at
least two semiconductors (a diode and a transistor) and at least one energy storage element,
a capacitor, inductor, or the two in combination. Filters made of capacitors (sometimes in
combination with inductors) are normally added to the output of the converter to reduce output
voltage ripple.
The basic schematic of a boost converter. The switch is typically aMOSFET, IGBT, or BJT.
Contents
[hide]
1Overview
2History
3Applications
4Circuit analysis
4.1Operating principle
4.1.1Continuous mode
4.1.2Discontinuous mode
5See also
6Further reading
7References
8External links
Overview[edit]
Power for the boost converter can come from any suitable DC sources, such as batteries, solar
panels, rectifiers and DC generators. A process that changes one DC voltage to a different DC
voltage is called DC to DC conversion. A boost converter is a DC to DC converter with an output
voltage greater than the source voltage. A boost converter is sometimes called a step-up
) must be conserved,
History[edit]
For high efficiency, the SMPS switch must turn on and off quickly and have low losses. The
advent of a commercial semiconductor switch in the 1950s represented a majormilestone that
made SMPSs such as the boost converter possible. The major DC to DC converters were
developed in the early 1960s when semiconductor switches had become available.
The aerospace industrys need for small, lightweight, and efficient power converters led to the
converters rapid development.
Switched systems such as SMPS are a challenge to design since their models depend on
whether a switch is opened or closed. R. D. Middlebrook from Caltech in 1977 published the
models for DC to DC converters used today. Middlebrook averaged the circuit configurations for
each switch state in a technique called state-space averaging. This simplification reduced two
systems into one. The new model led to insightful design equations which helped the growth of
SMPS.
Applications[edit]
Boost converter from a TI calculator, generating 9 V from 2.4 V provided by two AA rechargeable cells.
Battery power systems often stack cells in series to achieve higher voltage. However, sufficient
stacking of cells is not possible in many high voltage applications due to lack of space. Boost
converters can increase the voltage and reduce the number of cells. Two battery-powered
applications that use boost converters are used in hybrid electric vehicles (HEV) and lighting
systems.
The NHW20 model Toyota Prius HEV uses a 500 V motor. Without a boost converter, the Prius
would need nearly 417 cells to power the motor. However, a Prius actually uses only 168 cells
and boosts the battery voltage from 202 V to 500 V. Boost converters also power devices at
smaller scale applications, such as portable lighting systems. A white LED typically requires 3.3
V to emit light, and a boost converter can step up the voltage from a single 1.5 V alkaline cell to
power the lamp. Boost converters can also produce higher voltages to operate cold
cathode fluorescent tubes (CCFL) in devices such as LCD backlights and some flashlights.
An unregulated boost converter is used as the voltage increase mechanism in the circuit known
as the 'Joule thief'. This circuit topology is used with low power battery applications, and is aimed
at the ability of a boost converter to 'steal' the remaining energy in a battery. This energy would
otherwise be wasted since the low voltage of a nearly depleted battery makes it unusable for a
normal load. This energy would otherwise remain untapped because many applications do not
allow enough current to flow through a load when voltage decreases. This voltage decrease
occurs as batteries become depleted, and is a characteristic of the ubiquitous alkaline battery.
Since the equation for power is (
Circuit analysis[edit]
Operating principle[edit]
The key principle that drives the boost converter is the tendency of an inductor to resist changes
in current by creating and destroying a magnetic field. In a boost converter, the output voltage is
always higher than the input voltage. A schematic of a boost power stage is shown in Figure 1.
(a) When the switch is closed, electrons flow through the inductor in clockwise direction and the
inductor stores some energy by generating a magnetic field. Polarity of the left side of the
inductor is positive.
(b) When the switch is opened, current will be reduced as the impedance is higher. The magnetic
field previously created will be destroyed to maintain the current towards the load. Thus the
polarity will be reversed (means left side of inductor will be negative now). As a result two
sources will be in series causing a higher voltage to charge the capacitor through the diode D.
If the switch is cycled fast enough, the inductor will not discharge fully in between charging
stages, and the load will always see a voltage greater than that of the input source alone when
the switch is opened. Also while the switch is opened, the capacitor in parallel with the load is
charged to this combined voltage. When the switch is then closed and the right hand side is
shorted out from the left hand side, the capacitor is therefore able to provide the voltage and
energy to the load. During this time, the blocking diode prevents the capacitor from discharging
through the switch. The switch must of course be opened again fast enough to prevent the
capacitor from discharging too much.
Fig. 2: The two configurations of a boost converter, depending on the state of the switch S.
The basic principle of a Boost converter consists of 2 distinct states (see figure 2):
in the On-state, the switch S (see figure 1) is closed, resulting in an increase in the
inductor current;
in the Off-state, the switch is open and the only path offered to inductor current is through
the flyback diode D, the capacitor C and the load R. This results in transferring the energy
accumulated during the On-state into the capacitor.
The input current is the same as the inductor current as can be seen in figure 2. So it is
not discontinuous as in the buck converterand the requirements on the input filter are relaxed
compared to a buck converter.
Continuous mode[edit]
Fig. 3: Waveforms of current and voltage in a boost converter operating in continuous mode.
When a boost converter operates in continuous mode, the current through the inductor (
never falls to zero. Figure 3 shows the typical waveforms of currents and voltages in a converter
operating in this mode. The output voltage can be calculated as follows, in the case of an ideal
converter (i.e. using components with an ideal behaviour) operating in steady conditions: [1]
During the On-state, the switch S is closed, which makes the input voltage (
the inductor, which causes a change in current (
) appear across
D is the duty cycle. It represents the fraction of the commutation period T during which the switch
is On. Therefore D ranges between 0 (S is never on) and 1 (S is always on).
During the Off-state, the switch S is open, so the inductor current flows through the load. If we
consider zero voltage drop in the diode, and a capacitor large enough for its voltage to remain
constant, the evolution of IL is:
As we consider that the converter operates in steady-state conditions, the amount of energy
stored in each of its components has to be the same at the beginning and at the end of a
commutation cycle. In particular, the energy stored in the inductor is given by:
So, the inductor current has to be the same at the start and end of the commutation cycle. This
means the overall change in the current (the sum of the changes) is zero:
Substituting
and
The above equation shows that the output voltage is always higher than the input voltage (as the
duty cycle goes from 0 to 1), and that it increases with D, theoretically to infinity as D approaches
1. This is why this converter is sometimes referred to as a step-up converter.
Rearranging the equation reveals the duty cycle to be:
Discontinuous mode[edit]
Fig. 4:Waveforms of current and voltage in a boost converter operating in discontinuous mode.
If the ripple amplitude of the current is too high, the inductor may be completely discharged
before the end of a whole commutation cycle. This commonly occurs under light loads. In this
case, the current through the inductor falls to zero during part of the period (see waveforms in
figure 4). Although slight, the difference has a strong effect on the output voltage equation. It can
be calculated as follows:
As the inductor current at the beginning of the cycle is zero, its maximum value
(at
) is
The load current Io is equal to the average diode current (ID). As can be seen on figure 4, the
diode current is equal to the inductor current during the off-state. Therefore the output current
can be written as:
Compared to the expression of the output voltage gain for continuous mode, this expression is
much more complicated. Furthermore, in discontinuous operation, the output voltage gain not
only depends on the duty cycle (D), but also on the inductor value (L), the input voltage (V i), the
commutation period (T) and the output current (Io).