BOTTOM ASH
PEMANFAATAN FLY ASH DAN BOTTOM ASH
Fly ash dan bottom ash adalah terminology umum untuk abu terbang yang ringan
dan abu relatif berat yang timbul dari suatu proses pembakaran suatu bahan yang
lazimnya menghasilkan abu. Fly ash dan bottom ash dalam konteks ini adalah abu
yang dihasilkan dari pembakaran batubara.
Sistem pembakaran batubara umumnya terbagi 2 yakni sistem unggun
terfluidakan (fluidized bed system) dan unggun tetap (fixed bed system
atau grate system). Disamping itu terdapat system ke-3 yakni spouted
bed system atau yang dikenal dengan unggun pancar.
Fluidized bed system adalah sistem dimana udara ditiup dari bawah menggunakan
blower sehingga benda padat di atasnya berkelakuan mirip fluida. Teknik fluidisasi
dalam pembakaran batubara adalah teknik yang paling efisien dalam menghasilkan
energi. Pasir atau corundum yang berlaku sebagai medium pemanas dipanaskan
terlebih dahulu. Pemanasan biasanya dilakukan dengan minyak bakar. Setelah
temperatur pasir mencapai temperature bakar batubara (300 oC) maka
diumpankanlah batubara. Sistem ini menghasilkan abu terbang dan abu yang turun
di bawah alat. Abu-abu tersebut disebut dengan fly ash dan bottom ash. Teknologi
fluidized bed biasanya digunakan di PLTU (Pembangkit Listruk Tenaga Uap).
Komposisi fly ash dan bottom ash yang terbentuk dalam perbandingan berat
adalah : (80-90%) berbanding (10-20%).
Fixed bed system atau Grate system adalah teknik pembakaran dimana batubara
berada di atas conveyor yang berjalan atau grate. Sistem ini kurang efisien karena
batubara yang terbakar kurang sempurna atau dengan perkataan lain masih ada
karbon yang tersisa. Ash yang terbentuk terutama bottom ash masih memiliki
kandungan kalori sekitar 3000 kkal/kg. Di China, bottom ash digunakan sebagai
bahan bakar untuk kerajinan besi (pandai besi). Teknologi Fixed bed system
banyak digunakan pada industri tekstil sebagai pembangkit uap (steam
generator). Komposisi fly ash dan bottom ash yang terbentuk dalam perbandingan
berat adalah : (15-25%) berbanding (75-25%).
Persoalan di Sekitar Fly ash dan Bottom ash
Fly ash/bottom ash yang dihasilkan oleh fluidized bed system berukuran
100-200 mesh (1 mesh = 1 lubang/inch 2). Ukuran ini relative kecil dan
ringan, sedangkan bottom ash berukuran 20-50 mesh. Secara umum
ukuran fly ash/bottom ash dapat langsung dimanfaatkan di pabrik semen
sebagai substitusi batuan trass dengan memasukkannya pada cement
mill menggunakan udara tekan (pneumatic system). Disamping
dimanfaatkan di industri semen, fly/bottom ash dapat juga dimanfaatkan
menjadi campuran asphalt (ready mix), campuran beton (concerete) dan
dicetak menjadi paving block/batako. Dari suatu penelitian empiric untuk
campuran batako, komposisi yang baik adalah sbb :
Kapur : 40%
Pasir : 40%
Semen : 10%
SiO2 : 52,00%
Al2O3 : 31,86%
Fe2O3 : 4,89%
CaO : 2,68%
MgO : 4,66%
Pemanfaatan Fly Ash (Abu Terbang) Dari Pembakaran Batubara Pada PLTU
Suralaya Sebagai Bahan Baku Pembuatan Refraktori Cor
Posted by Dafi Acosta on 15.54
1. Judul
Pemanfaatan Fly Ash (Abu Terbang) Dari Pembakaran Batubara
Pada PLTU Suralaya Sebagai Bahan Baku Pembuatan Refraktori Cor
2. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata pencemaran.
Pencemaran sendiri terdiri dari beberapa macam, antara lain pencemaran tanah,
pencemaran air, pencemaran udara, serta pencemaran suara. Pencemaran
tersebut memberikan dampak yang sangat berbahaya terhadap kehidupan
makhluk hidup. Bagi manusia bahaya dari pencemaran ini bukan hanya
mengarah kepada bahaya kesehatan tetapi juga bahaya kematian.
Salah satu pencemaran yang paling berbahaya dan memberikan dampak
yang cukup besar adalah pencemaran udara. Pencemaran udara sendiri
mengandung
pengertian
masuk
atau
dimasukkannya
masuk
atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, atau komponen lain ke dalam udara dari
kegiatan manusia atau proses alam sehingga menurunkan kualitas udara
tersebut ke titik tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang/tidak
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.
Pada dasarnya semua pencemaran itu berbahaya bagi kehidupan, tetapi
pencemaran udara menjadi salah satu pencemaran yang dikategorikan sebagai
pencemaran yang sangat berbahaya. Hal ini dikarenakan partikel polutan dari
pencemaran ini berukuran sangat kecil sehingga tidak disadari oleh masyarakat.
Sumber pencemar dalam pencemaran udara tidak hanya berasal dari aktivitas
manusia (karena tangan manusia), tetapi juga oleh sumber-sumber pencemar
yang datangnya akibat peristiwa alamiah seperti gunung meletus, bencana
alam, dan lain-lain. Berdasarkan wujud fisiknya, pencemar-pencemar yang
terdapat di udara tidak hanya berupa gas atau uap, melainkan kontaminan itu
dapat juga sebagai benda-benda padat sebagai partikel, yaitu berupa debu,
asap, kabut, dan lain-lain, bahkan panas dan bau juga.
Partikulat termasuk dalam salah satu polutan pencemaran udara. Secara
umum partikel yang mencemari udara dapat merusak lingkungan, tanaman,
hewan dan manusia. Partikel-partikel tersebut sangat merugikan kesehatan
manusia. Pada umumnya udara yang telah tercemar oleh partikel dapat
menimbulkan
berbagai
macam
penyakit
saluran
pernapasan
atau
pneumoconiosis.
Fly Ash merupakan salah satu jenis partikulat yang dapat diklasifikasikan
dalam debu. Hal ini karena biasanya Fly Ash dipengaruhi oleh gaya gravitasi
bumi. Abu terbang (fly ash) sebagai limbah PLTU berbahan bakar batu bara
dikategorikan oleh Bapedal sebagai limbah berbahaya (B3). Sehubungan dengan
meningkatnya jumlah pembangunan PLTU berbahan bakar batubara di Indonesia,
maka jumlah limbah abu terbang juga akan meningkat yaitu jumlah limbah PLTU
pada tahun 2000 sebanyak 1,66 juta ton, sedangkan pada tahun 2006
diperkirakan akan mencapai sekitar 2 juta ton. Khusus untuk limbah abu dari
PLTU Suralaya, sejak tahun 2000 hingga tahun 2006, diperkirakan ada akumulasi
jumlah abu sebanyak 219.000 ton/tahun. Jika limbah abu ini tidak dimanfaatkan
akan menjadi masalah pencemaran lingkungan, yang mana dampak dari
pencemaran akibat abu terbang (fly ash) sangat berbahaya baik bagi lingkungan
maupun kesehatan. Oleh karena itu, penelitian tentang studi kasus pencemaran
udara yang disebabkan oleh partikulat khususnya abu terbang (Fly Ash) perlu
dilaksanakan untuk mengetahui sejauh mana dampak serta pemanfaatannya
terhadap lingkungan.
3. Perumusan Masalah
Dalam
penelitian
ini
kami
membahas
tentang
sumber,
dampak,
4. Tujuan
Tujuan
dari
penelitian
ini
adalah
untuk
mengetahui
serta
Indonesia ini terus meningkat, pada tahun 2000 yang jumlahnya mencapai
1,66 milyar ton dan diperkirakan mencapai 2 milyar ton pada tahun 2006. Jika
limbah abu ini tidak ditangani akan menimbulkan masalah pencemaran
lingkungan.
Salah
satu
kemungkinan
penanganannya
adalah
dengan
terbesar
produksi
abu
terbang
batubara
adalah
sektor
pembangkit listrik.
Tabel 1. Jumlah dan perkiraan produksi abu terbang dan abu dasar oleh PLTU di
Indonesia
meta equiv="Content-Type"
content="text/html; charset=utf-8">
Tabel 2. Jumlah dan perkiraan produksi abu terbang dan abu dasar oleh PLTU
Suralaya
penyusun
abu
terbang
sebenarnya
sangat
pengotor yang terdapat dalam batu bara dapat diklasifikasikan menjadi dua
yaitu :
1. Syngenetic atau disebut dengan mineral matter : pada dasarnya mineralmineral ini terendapkan di tempat tersebut bersamaan dengan saat
prosespembentukan paet.
2. Epigenetica juga disebut dengan extraneous mineral matter: pada
prinsipnya mineral-mineral pengotor ini terakumulasi pada cekungan
setelah proses pembentukan lapisan peat tersebut selesai.
Dari
sejumlah
abu
yang
dihasilkan
dalam
proses
pembakaran
batubara, maka sebanyak 55% - 85 % berupa abu terbang (fly Ash) dan
sisanya berupa abu dasar (Bottom Ash). Sedangkan dari PLTU Suralaya dari
sejumlah abu yang dihasilkan hampir 90 % berupa abu terbang (Fly Ash).
Kedua janis abu ini memiliki perbedaan karakteristik serta pemanfaatannya.
Biasanya
untuk
fly
ash
(abu
terbang)
banyak
dimanfaatkan
dalam
Fixed bed system atau Grate system adalah teknik pembakaran dimana
batubara berada di atas conveyor yang berjalan atau grate. Sistem ini kurang
efisien karena batubara yang terbakar kurang sempurna atau dengan
perkataan lain masih ada karbon yang tersisa. Ash yang terbentuk terutama
bottom ash masih memiliki kandungan kalori sekitar 3000 kkal/kg. Di China,
bottom ash digunakan sebagai bahan bakar untuk kerajinan besi (pandai
besi). Teknologi Fixed bed system banyak digunakan pada industri tekstil
sebagai pembangkit uap (steam generator). Komposisi fly ash dan bottom ash
yang terbentuk dalam perbandingan berat adalah : (15-25%) berbanding (7525%) (Koesnadi, 2008).
b. Sifat-sifat Fly Ash (Abu Terbang)
Abu terbang mempunyai sifat-sifat yang sangan menguntungkan di
dalam menunjang pemanfaatannya yaitu :
1.Sifat Fisik
Abu terbang merupakan material yang di hasilkan dari proses
pembakaran batubara pada alat pembangkit listrik, sehingga semua sifatsifatnya juga ditentukan oleh komposisi dan sifat-sifat mineral-mineral
pengotor
dalam
batubara
serta
proses
pembakarannya.
Dalamproses
pembakaran batubara ini titik leleh abu batu bara lebih tinggi dari temperatur
pembakarannya. Dan kondisi ini menghasilkan abu yang memiliki tekstur
butiran yang sangat halus. Abu terbang batubara terdiri dari butiran halus
yang umumnya berbentuk bola padat atau berongga. Ukuran partikel abu
terbang hasil pembakaran batubara bituminous lebih kecil dari 0,075mm.
Kerapatan abu terbang berkisar antara 2100 sampai 3000 kg/m 3 dan luas area
spesifiknya (diukur berdasarkan metode permeabilitas udara Blaine) antara
170 sampai 1000 m2/kg. Adapun sifat-sifat fisiknya antara lain :
a) Warna : abu-abu keputihan
b) Ukuran butir : sangat halus yaitu sekitar 88 %
2. Sifat Kimia
Komponen
Bituminous
Sub-
Lignite
bituminous
SiO2
20-60%
40-60%
15-45%
Al2O3
5-35%
20-30%
10-25%
Fe2O3
10-40%
4-10%
4-15%
CaO
1-12%
5-30%
15-40%
MgO
0-5%
1-6%
3-10%
SO3
0-4%
0-2%
0-10%
Na2O
0-4%
0-2%
0-6%
K2O
0-3%
0-4%
0-4%
LOI
0-15%
0-3%
0-5%
baku
pembuatan
refraktori,
khususnya
refraktori
cor
(castable
1. Dampak positif.
Fly ash (abu terbang/abu layang) dimanfaatkan sebagai adsorben
limbah sasirangan dan logam berat berbahaya, bahan pembuat beton,
bahan pembuat refaktori cor tahan panas, Hal itu didasari oleh struktur
abu layang yang berpori dan luas permukaan yang besar, sehingga
dengan sedikit perlakuan dan modifikasi manjadikan abu layang sebagai
bahan yang cukup potensial untuk berbagai keperluan sehingga dapat
menghemat biaya dan tanpa disadari dapat mengurangi pencemeran
lingkungan akibat fly ash itu sendiri. Bagi industry yang menggunakan
bahan bakar batu bara, seperti PLTU dapat memanfaatkan fly ash sebagai
sumber ekonomi sampingan.
2. Dampak negatif.
Apabila fly ash didiamkan dan tidak diolah maka akan berdampak
pada lingkungan dan manusia, karna fly ash merupakan salah satu limbah
B3.
Jenis-jenis
penyakit
yang
ditimbulkan
oleh
patikulat
fly
ash
batubara:
a. Penyakit Silikosis
Penyakit Silikosis disebabkan oleh pencemaran debu silika bebas,
berupa SiO2, yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan kemudian
mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat di pabrik besi dan baja,
keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi (mengikir,
menggerinda, dll). Selain dari itu, debu silika juka banyak terdapat di
tempat di tempat penampang bijih besi, timah putih dan tambang
batubara.
Pemakaian
batubara
sebagai
bahan
bakar
juga
banyak
menghasilkan debu silika bebas SiO2. Pada saat dibakar, debu silika akan
keluar dan terdispersi ke udara bersama sama dengan partikel lainnya,
seperti debu alumina, oksida besi dan karbon dalam bentuk abu.
Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa
inkubasi sekitar 2 sampai 4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek,
atau gejala penyakit silicosis akan segera tampak, apabila konsentrasi
silika di udara cukup tinggi dan terhisap ke paru-paru dalam jumlah
banyak. Penyakit silicosis ditandai dengan sesak nafas yang disertai
batuk-batuk. Batuk ii seringkali tidak disertai dengan dahak. Pada silicosis
tingkah sedang, gejala sesak nafas yang disertai terlihat dan pada
pemeriksaan fototoraks kelainan paru-parunya mudah sekali diamati. Bila
penyakit silicosis sudah berat maka sesak nafas akan semakin parah dan
kemudian diikuti dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang akan
mengakibatkan kegagalan kerja jantung.
Tempat kerja yang potensial untuk tercemari oleh debu silika perlu
mendapatkan
pengawasan
keselamatan
dan
kesehatan
kerja
dan
lingkungan yang ketat sebab penyakit silicosis ini belum ada obatnya yang
tepat. Tindakan preventif lebih penting dan berarti dibandingkan dengan
tindakan pengobatannya. Penyakit silicosis akan lebih buruk kalau
penderita sebelumnya juga sudah menderita penyakit TBC paru-paru,
bronchitis, astma broonchiale dan penyakit saluran pernapasan lainnya.
Pengawasan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi pekerja akan
sangat membantu pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit
akibat kerja. Data kesehatan pekerja sebelum masuk kerja, selama bekerja
dan sesudah bekerja perlu dicatat untuk pemantulan riwayat penyakit
pekerja kalau sewaktu waktu diperlukan.
b. Penyakit Antrakosis
Penyakit Antrakosis adalah penyakit saluran pernapasan yang
disebabkan oleh debu batubara. Penyakit ini biasanya dijumpai pada
pekerja-pekerja tambang batubara atau pada pekerja-pekerja yang banyak
melibatkan penggunaan batubara, seperti pengumpa batubara pada tanur
besi, lokomotif (stoker) dan juga pada kapal laut bertenaga batubara,
serta pekerja boiler pada pusat Listrik Tenaga Uap berbahan bakar
batubara.
Masa inkubasi penyakit ini antara 2 4 tahun. Seperti halnya
penyakit silicosis dan juga penyakit-penyakit pneumokonisosi lainnya,
penyakit antrakosis juga ditandai dengan adanya rasa sesak napas.
Karena pada debu batubara terkadang juga terdapat debu silikat maka
penyakit antrakosis juga sering disertai dengan penyakit silicosis. Bila hal
ini terjadi maka penyakitnya disebut silikoantrakosis. Penyakit antrakosis
ada
tiga
macam,
yaitu
penyakit
antrakosis
murni,
penyakit
Sedangkan
paenyakit tuberkolosilikoantrakosis
refraktori
cor
dan
membandingkan
dengan
komposisi/
Dimana
prinsip
kerja
dari
XRD
adalah
merekam
dan
menggunakan
mikroskop
tenaga
elektron
sehingga
dapat
Uji distribusi ukuran dengan Fritsch Particle Sizer, dan ayakan mesh Tyler
Uji porositas berdasarkan SNI 13-3604-1994
Uji densitas berdasarkan SNI 13-3602-1994
Tabel 5. Komposisi kimia abu pada limbah PLTU Suralaya
Karakteristik abu PLTU Suralaya dapat dilihat pada Tabel 5 masingmasing mengandung Al2O3 30,8% dan 24% serta mengandung SiO2 sebanyak
54% dan 63,4%. Karena kandungan CaO sekitar 4% maka abu ini termasuk
kualitas ASTM kelas C yang lebih cocok berfungsi sebagai bahan cementing
castables refractory yang tahan suhu relatif rendah, padahal yang diinginkan
adalah klasifikasi low/ultra-low cement castable refractory yang tahan suhu
tinggi. Kandungan CaO maksimum 1% adalah kualitas ASTM kelas F. Oleh
karena itu, diperlukan penambahan aluminium oksida ke dalam abu batubara
untuk mengurangi kadar CaO, Fe 2O3. Komposisi kimia limbah PLTU-Suralaya
seperti terlihat pada Tabel 1 menunjukkan bahwa Kadar Al2O32 yaitu Al2O3 :
SiO2 = 30,8% : 50% atau nilai Al 2O3/SiO2=0,57. Bahan refraktori yang baik
harus memiliki kadar Al2O3>SiO2 dengan perbandingan Al2O3 : SiO2 = 65% :
35% atau nilai Al2O3/SiO2=1,85. Oleh karena itu, limbah abu terbang dan abu
dasar PLTU-Suralaya dapat digunakan sebagai bahan penambah pembuatan
refraktori.
a. Pembuatan Refraktori Cor
Pada prinsipnya pembuatan refraktori cor sama dengan pembuatan
refraktori bata, hanya saja produk refraktori cor dibuat berbentuk bubuk,
sedangkan produk refraktori bata dibuat/dicetak berbentuk bata. Bahan baku
refraktori cor pada umumnya dibuat dari mineral yang ada di alam, terdiri dari
campuran aggregate dan binder dengan perbandingan tertentu. Ada berbagai
jenis aggregate yang berfungsi sebagai grog antara lain kalsium silikat,
tabular alumina. Grog adalah material granular yang dibuat dari bahan tahan
api hancur (crushed brick) sebagai pengisi bodi berukuran kasar yang dapat
berfungsi mengurangi shrinkage dan thermal expansion, serta meningkatkan
stabilitas saat mengalami suhu tinggi. Ada berbagai jenis binder antara lain
clay atau chamotte, kalsium aluminat. Aggregate dan binder dicampur
menggunakan mesin homogenizer. Campuran aggregate + binder + abu
terbang kemudian dibakar/disinter pada suhu tinggi (>1300 C) agar
membentuk klinker. Klinker digerus untuk mendapatkan ukuran tertentu
sesuai persyaratan perdagangan. Klinker halus ini adalah produk akhir yang
disebut sebagai refraktori cor. Berdasarkan sifatnya abu terbang dapat
berfungsi ganda, yaitu sebagai
agregat dan binder dibuat dalam beberapa komposisi dengan nilai Al 2O3 / SiO2
sebesar 1,5 sampai 2,4. Setiap campuran diaduk dengan alat homogenizer
untuk mendapatkan campuran yang homogen. Terhadap masing-masing
campuran pengujian distribusi ukuran butir, komposisi mineral, komposisi
kimia, dan bulk density. Campuran ditambah 15% air dan diaduk sampai
merata membentuk adonan. Adonan dicorkan ke dalam cetakan yang telah
disiapkan dan dibiarkan sampai mengering. Hasil adonan ini disebut komposit
mentah. Kemudian hasil adonan tersebut di uji dengan uji porositas,densitas,
tekstur. Dan juga melakukan pengujian kerefraktoriannya dengan teknik uji
PCE dan uji pembakaran firing. Sebagai pembanding (kontrol) adalah hasil uji
salah satu refraktori cor komersial. Porositas diuji berdasarkan SNI 13-36041994, dan uji densitasnya berdasarkan SNI 13-3602-1994, tekstur diuji
menggunakan SEM. Uji pembakaran untuk menentukan nilai PCE didasarkan
pada SNI 15-4936-1998. Dapur untuk pembakaran digunakan muffle furnace.
Pengambilan contoh menggunakan teknik basung prapat, uji distribusi ukuran
menggunakan Fritsch Particle Sizer dan ayakan mesh Tyler. Uji mineralogi
dengan X-RD, dan analisis kimia dengan AAS.
1. Hasil Dan Pembahasan
a. Karakteristik Fly Ash(Abu terbang) di PLTU surabaya
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti
maka dapat di ketahui dan di informasikan bahwa :
1) Distribusi ukuran butiran :
Dari hasil analisis distribusi ukuran menggunakan Fritch particle sizer,
menunjukkan bahwa ukuran partikel-partikel abu terbang di PLTU Suralaya
berkisar antara 0.31 - 300.74 m, dengan distribusi 80% berukuran 0.31 40.99 m, atau d50 = 6,22 m. Ukuran partikel yang sangat halus ini Sangat
cocok sebagai bahan pengisi (fine grog) dalam sistem refraktori cor. Bentuk
partikelnya menunjukkan bentuk-bentuk membulat (spheres), berukuran kirakira <15>
Bentuk
partikel
fly
ash
yang
membulat
ini
kemungkinan
1) Tekstur:
Hasil uji spot EDS menggunakan SEM terhadap butiran kasar (+30
mesh) dan butiran halus (-200 mesh) menunjukkan, butiran kasar bertekstur
seperti butiran gula pasir (sugary) yang berukuran <>m, dan partikel halus
(fine) menunjukkan sugary dan tekstur jarum (needle) yang panjangnya
sekitar 3 m.
2) Komposisi mineral :
Hasil uji terhadap contoh abu terbang PLTU-Suralaya menunjukkan
bahwa mineral dominannya adalah kuarsa dan sedikit mullite. Keberadaan
mullite menunjukkan bahwa aluminosilikat pada abu terbang telah mengalami
kontak dengan suhu tinggi di dalam tungku pembakaran batubara PLTU.
Mullite (3Al2O3.2SiO2) adalah mineral alumina silikat yang tahan terhadap suhu
tinggi hingga sekitar 1875C, tetapi karena masih ada mineral kuarsa
kemungkinan ketahanan terhadap suhu akan berkurang.
3) Komposisi kimia :
Komposisi kimia disajikan pada Tabel 2. menunjukkan bahwa nilai
Al2O3/SiO2 = 0,16 yang berarti kadar alumina sangat kecil dibandingkan
dengan silikanya. Jika dibandingkan dengan data dalam Tabel 6. (PT PLN,
1997), terlihat kadar alumina lebih tinggi dengan nilai Al 2O3/SiO2 = 0,6.
Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena komposisi batu bara yang
digunakan dulu dengan saat ini oleh PLTU-Suralaya sudah berubah. Saat ini
batu bara yang digunakan berasal dari PT. Adaro. Selain itu juga terlihat ada
senyawa pengotor seperti Fe 2O3, TiO2, CaO, K2O dan Na2O yang relatif tinggi,
sehingga mungkin akan menurunkan kualitas refraktori. Dengan kandungan
CaO sekitar 3,2% maka abu terbang ini termasuk klasifikasi ASTM kelas C
yang lebih cocok berfungsi sebagai bahan cementing castables refractory
yang tahan suhu relatif rendah. Berdasarkan kandungan mineral dan
komposisi kimianya seperti terlihat pada Tabel 8. maka abu terbang ini selain
berfungsi sebagai bahan pengisi berbutir halus (fine grog) juga dapat
berfungsi sebagai binder dalam sistem refraktori.
Data yang ditunjukkan pada Tabel 7. adalah komposisi kimia abu PLTUSuralaya hasil pengujian menurut laporan teknik PT PLN, 1977. Data tersebut
memperlihatkan kandungan Al2O3 yang relatif lebih tinggi yaitu 30,8% untuk
abu terbang dan 24% untuk abu dasar. Juga kandungan SiO 2 yang lebih
rendah yaitu 54% untuk abu terbang dan 63,4% untuk abu dasar. Untuk abu
terbang, nilai perbandingan Al 2O3/SiO2 adalah 0,57. Kandungan CaO relatif
tinggi yaitu sekitar 4%. Menurut klasifikasi ASTM, abu terbang dengan nilai
kandungan CaO tersebut termasuk kelas C, yang lebih cocok berfungsi
sebagai bahan cementing castables refractory yang tahan suhu relatif rendah.
Untuk mencapai kualitas refraktori yang tahan suhu tinggi, kandungan CaO
maksimum 1%. Kualitas ini termasuk low/ultra-low cement castable refractory,
yaitu klasifikasi ASTM kelas F (Hwang,1991). Oleh karena itu, untuk
mencapai komposisi kimia refraktori diperlukan penambahan aluminium
oksida atau bahan yang mengandung Al 2O3 tinggi ke dalam abu terbang guna
mengurangi kadar SiO2, CaO, K2O, Na2O, Fe2O3 sehingga dapat mendekati
komposisi kimia refraktori cor komersial, dan memiliki nilai Al 2O3/SiO2 sekitar
1,6 1,85.
Komponen/senyawa kimia yang terdeteksi dari analisis SEM untuk
butiran kasar terdiri atas Al2O3=72,7%, SiO2=16,6%, CaO=1,18%, ZrO2=9,4%
dan FeO dan MoO3 dalam kadar rendah. Adapun partikel halus terdiri atas
senyawa Al2O3=72,2%, SiO2=8,9%, ZrO2=5,71%, Ta2O5=13,2% dan CaO, MgO,
C kadar rendah. Keberadaan senyawa Zirkonia dan Tantalum menambah
ketahanan refraktori terhadap suhu tinggi. Adanya komponen C (karbon)
kemungkinan berasal dari bahan abu terbang atau waktu proses sinterisasi
menggunakan bahan bakar batu bara.
Tabel 6. Komposisi kimia Fly ash PLTU Suralaya
aluminate)
berdasarkan
volumenya
dengan
perbandingan
Tabel 11. Hasil Perhitungan Komposisi Kimia Komposit Mentah Refraktori Cor
Gambar
menunjukkan
bahwa
penambahan
semen
ca-
No
Kode
benda uji
Setting
time (jam)
Bulk
density
(g/ml)
Porositas
(%)
PCE
Titik leleh
(SK.No)
(oC)
CAJ-16
<24
2,58
23,04
SK.34
1750
CAJ-14
<24
2,43
27,14
SK.16
1460
<24
1,82
41,11
SK.16
1460
<24
1,80
42,79
SK.16
1460
<24
1,97
37,36
SK.12
1350
<24
1,85
41,32
SK.1O
1300
dari 24 jam, benda uji yang dibuat dari contoh refraktori komersial yaitu
CAJ-16 memiliki densitas paling tinggi (2,6 g/ml), tetapi memiliki porositas
paling rendah (23%). Hasil uji PCE terhadap CAJ-16 memberikan nilai paling
tinggi yaitu SK-34 yang setara dengan ketahanan suhu maksimum 1750C.
Selain itu terlihat pula dari Tabel 11. adanya kecenderungan penurunan
ketahanan terhadap suhu dengan bertambahnya komponen abu terbang
yang secara grafis diperlihatkan pada Gambar 4. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena abu terbang memiliki kandungan SiO 2 yang tinggi,
berarti dalam campuran terjadi peningkatan komposisi SiO 2 yang secara
teoritis menurut kurva titik leleh dan kerefraktorian akan menurunkan
ketahanan suhunya (penurunan nilai PCE). Senyawa alkali yang terkandung
dalam abu terbang seperti CaO, K 2O dan Na2O turut mempengaruhi
turunnya nilai PCE. Dalam klasifikasi refraktori, low/ultra-low cement
castable refractory yang tahan suhu tinggi, kandungan CaO nya maksimum
1% (kualitas ASTM kelas F) (tekmira mei).
(A) atau 3 : 3 : 3 : 1 (B) dengan nilai PCE = SK-16 yang setara dengan
ketahanan suhu 1460C. Perbandingan komposisi Al 2O3/SiO2 = 1,69
mendekati / sama dengan komposisi refraktori cor komersial yaitu Al 2O3/SiO2
= 1,62 (lihat Tabel 10 dan 12, kode benda uji CAJ-16 dan A).
Peningkatan kadar Al2O3 dapat meningkatkan ketahanan refraktori
terhadap suhu. Tetapi dalam percobaan ini, upaya peningkatan kadar Al 2O3
dalam campuran bahan baku dengan menambahkan alumina oksida
(corundum)
tidak
memberikan
pengaruh
yang
signifikan
terhadap
telah
dicetak
membentuk
benda
uji
mentah
dengan
cara
(a)
(b)
Sangat cocok sebagai bahan pengisi (fine grog) dalam sistem refraktori
cor.
Hasil uji spot EDS menggunakan SEM terhadap butiran kasar (+30 mesh)
dan butiran halus (-200 mesh) menunjukkan, butiran kasar bertekstur
seperti butiran gula pasir (sugary) yang berukuran <>m, dan partikel
halus (fine) menunjukkan sugary dan tekstur jarum (needle) yang
panjangnya sekitar 3 m.
Dari data uji cetak refraktori cor menunjukkan bahwa semua benda uji
memiliki setting time kurang dari 24 jam, benda uji yang dibuat dari
contoh refraktori komersial yaitu CAJ-16 memiliki densitas paling tinggi
(2,6 g/ml), tetapi memiliki porositas paling rendah (23%). Hasil uji PCE
terhadap CAJ-16 memberikan nilai paling tinggi yaitu SK-34 yang setara
dengan ketahanan suhu maksimum 1750C.
Pda uji pembakaran refraktori cor, Benda uji bakar (firing ) selama 1 jam
pada suhu 1000C. Terlihat bahwa hasil uji bakar menunjukkan kekerasan
benda uji menjadi lebih tinggi.
Nama
Lokasi
Kapasitas
PLTU Tarahan
PLTU AsamAsam
PLTU PT
Krakatau Daya Cilegon, Banten
Listrik
400 MW
5 PLTU
PLTU Priok
1384 MW
PLTU, PLTGU
PLTU Punggur
2X55 MW
PLTU, PLTGU
PLTU Paiton
Swasta I
2 PLTU
PLTU Paiton
Swasta II
2 PLTU
PLTU Suralaya
PLTU Lati
N
o
Pembangkit
Tempat
1 PLTU
Kapasitas
PLTU NAD
Meulaboh
2 x 100 MW
Pangkalan Susu
2 x 200 MW
Teluk Sirih
2 x 100 MW
Belitung
2 x 25 MW
Belitung
2 x 15 MW
PLTU 1 Riau
Bengkalis
2 x 10 MW
PLTU 2 Riau
Selat Panjang
2 x 7 MW
Tanjung Balai
Karimun
2 x 7 MW
PLTU Lampung
Tarahan Baru
2 x 100 MW
PLTU 1 Kalimantan
Kalimantan Barat
2 x 50 MW
Barat
1
1
PLTU 2 Kalimantan
Barat
Bengkayang
2 x 25 MW
1
2
PLTU 1 Kalimantan
Tengah
Pulang Pisau
2 x 60 MW
1
3
PLTU Kalimantan
Selatan
Asam-Asam
2 x 65 MW
1
4
Amurang
2 x 25 MW
1
5
Kendari
2 x 10 MW
1
6
Barru
2 x 50 MW
1
7
PLTU Gorontalo
Gorontalo
2 x 25 MW
1
8
PLTU Maluku
Maluku
2 x 15 MW
1
9
Tidore
2 x 7 MW
2
0
PLTU 1 NTB
Bima
2 x 15 MW
2
1
PLTU 2 NTB
Lombok
2 x 25 MW
2
2
PLTU 1 NTT
Ende
2 x 7 MW
2
3
PLTU 2 NTT
Kupang
2 x 15 MW
2
4
PLTU 1 Papua
Papua
2 x 7 MW
2
5
PLTU 2 Papua
Jayapura
2 x 10 M