Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN KASUS OK

ANESTESI SPINAL PADA KASUS UROLITHIASIS BILATERAL

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anestesi


RST Dr. Sudjono Tingkat II Magelang

Disusun Oleh :
Eva Tami Handari
1420221116

Pembimbing :
Letkol CKM dr. Suparno,Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
VETERAN JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS OK
MANAJEMEN ANESTESI SPINAL PADA KASUS UROLITHIASIS
BILATERAL

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal :

Disusun Oleh :
Eva Tami Handari
1420221116

Magelang, Desember 2015


Pembimbing :

Letkol CKM dr. Suparno,Sp.An

Desember 2015

BAB I
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama
Jenis kelamin
Umur
Alamat
Diagnosis Pre Op
Tindakan Op
Tanggal Masuk
Tanggal Operasi
Nomer RM
Ruang

: Tn. DJ
: Laki- laki
: 59 tahun
: Taman Candi mutiara timur, No 544 semarang
: Baru ureter distal dextra multipel
: ureterorenoscopy
: 02 Desember 21015
: 03 Desember 2015
: 129912
: Edelweis

2. SOAP
SUBJEK
KU

Sakit
RPS

: Nyeri pinggang kiri sejak 3 bulan Sebelum Masuk Rumah


: 4 bulan SMRS os sering merasa pegal-pegal di pinggang

belakang, terutama pinggang sebelah kiri. Os mengaku membeli obat

tradisional cina untuk mengatasi pegal-pegal tersebut.


3 bulan SMRS os merasa sakit yang hebat dan hilang timbul di pinggang
belakang kiri. Sakit dirasa tiba-tiba, tidak dipengaruhi oleh aktivitas maupun
perubahan posisi tubuh, sakit dirasa sangat hebat sehingga os sampai tidak
bisa bangun. Ketika sakit dirasa os merasa mual namun tidak muntah atau
kembung, kencing menjadi sedikit-sedikit dan kemaluan dirasakan panas.
Kemudian os pergi beberapa kali ke klinik dan mendapat obat namun sakit
tetap tidak hilang. Kesulitan kencing, frekuensi kencing yang meningkat,
sakit saat kencing, kencing tidak lancar, dan adanya darah atau pasir dalam
air kencing disangkal oleh os. Os tidak merasakan kesulitan BAB dan

demam..
2 bulan SMRS os memeriksakan diri ke RSUD Dr Kariadi dan didiagnosis
batu saluran kencing. Kemudian selama 2 bulan sampai sebelum masuk
rumah sakit os berobat jalan, mengkonsumsi obat dari dokter dan keluhan
dirasakan berkurang drastis. Os hanya sedikit merasakan pegal-pegal di
punggung belakang kiri.

RPD
Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat sakit jantung

: disangkal
: disangkal
: disangkal

Riwayat penyakit hati


Riwayat alergi
Riwayat kejang
Riwayat penyakit serupa
RPO
RPK

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: Belum pernah diobati sebelumnya
: Riwayat adanya keluhan yang sama
pada keluarga di sangkal. DM (+) ibu
pasien, Batu saluran kemih (+) ayah

pasien
RP.SOS
:
Os bekerja sebagai PNS. Os selalu bekerja duduk di depan computer
dan terkadang sampaipada malam hari sehingga untuk mengatasi
ngantuk setiap hari os mengkonsumsi minuman supplemen seperti
kratindaeng, extra joss, kuku bima, dan vatigon dan jarang
mengkonsusmsi air putih. Selain itu jg setiap pagi pasien rutin

mengkonsumsi kopi 1 cangkir


selama 3 tahun os juga mengkonsumsi obat pelangsing tradisional

dari cina.
Pola makan teratur 3 kali sehari dengan nasi lengkap dengan lauk
pauk, suka mengkonsumsi makanan bersantan dan daging-dagingan

jarang mengkonsumsi sayur.


Riwayat olahraga 1xseminggu
Riwayat merokok (+) 2 batang sehari sejak 10 tahun yang lalu

OBJEK
BB
IMT

: 112 kg
: 34. 96 (Obese grade I)

TB

: 179 cm

Breath

RR : 20 x/ menit
Pulmo :SD. Ves +/+ , Rh -/- , Wh -/ Teeth : gigi belakang bolong -, gigi palsu (-)
Tongue : dbn
Tonsil : T1- T1
Mallampati Test : Mallampati 3
Pembukaan mulut sebesar 3 jari
Trakea dalam posisi lurus, dbn
Tiroid : tidak teraba pembesaran, Nyeri tekan (-)

Blood

Riw. Hipertensi (-)


Tekanan Darah : 123/ 80mmHg
Nadi : 79 x/menit
Cor: S1> S2 , regular, murni, M (-) , G (-)
EKG : sinus rhythm

Hasil Lab :
PARAMETER

HASIL

NILAI
NORMAL

WBC

11.0

4.0 12.0

RBC

5.09

4.00 6.20

HGB

14.4

11.0 17.0

HCT

43.4

35.0 55.0

MCV

85.2

80.0 100.0

MCH

28.3

26.0 34.0

MCHC

33.2

31.0 35.0

RDW

13.0

10.0 16.0

PLT

270

150 400

MPV

7.4

7.0 11.0

PCT

0.20

0.20 0.50

PDW

15.2

10.0

Glukosa

158mg/dL

70.0-115

Asam urat

9.53 mg/dL

3600-8200

Brain

GCS : 15 E4 V5 M6 . kesadaran Compos mentis, tampak sakit sedang


Pusing (-), Muntah (-)
Riwayat Trauma (-)
Riwayat Alergi (-)

Bladder

BAK (+) warna kuning jernih, nyeri saat BAK (-), volume urin
Costo-vertebrae angle / CVA
o Inspeksi
: tidak tampak adanya massa
o Ballotement : (- /-)
o Nyeri ketuk: (+/+)
o Nyeri tekan: (-/-)

Bowel

BU (+) , BAB (-)


Hepar : tidak teraba pembesaran, ukuran 2 BACD

Lien : Tidak teraba


Abdomen supel, timpani, nyeri tekan (-)
Riwayat Gastritis (-)

Bone

Ekstremitas atas

Ukuran
: Proporsional
Deformitas
:(-/-)
Simetris
Tremor
:(-/-)
Otot normotrofi
Nyeri
:(-/-)
Edema
:(-/-)
Gerak involunter ( - / - )

Ekstremitas bawah
Ukuran
: Proporsional
Deformitas
:(-/-)
Simetris
Tremor
:(-/-)
Otot normotrofi
Nyeri
:(-/-)
Gerak involunter ( - / - )
Kekuatan otot
5555

5555

5555

5555

ASSASMENT
Urolitiasis bilateral
PLANNING
Ureterorenoscopy dengan spinal anastesi block
3. PERSIAPAN
o Persiapan Pasien
Informed consent
Pasien puasa 6-8 jam pre operasi
Pemeriksaan tanda-tanda vital :
T : 118/71 mmHg
RR : 20 X/menit

N : 92 x/menit
S : 36.6 C

Infus RL 20 tts/menit yang terpasang pada tangan kiri

o Persiapan Alat

Mesin anestesi
- STATICS :
-

S
: Scope Stetoskop, Laringoskop
T
: TubesPipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia<5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan >5 tahun dengan balon (cuffed).
A
: Airway Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa

T
I
C
S

hidung-faring (naso-tracheal airway)


: Tape plester
: Introducer mandrain atau stilet
: Connector penyambung pipa dan peralatan anesthesia
: Suction

Alat/bahan untuk antisepsis


Alat pemantau tanda vital dan EKG.
Alat-alat penunjang :
Sandaran infus
Sandaran tangan
Bantal
Tali pengikat tangan
Dan lain lain.

o Obat-obatan yang disiapkan:


Anestesi inhalasi & gas
Nitrous Oxide
Halotane
Isoflurane
Sevoflurane

Anestesi intravenous
Propofol 200 mg/20 cc dalam Ampul
Ketamin 100 mg/cc Vial
Midazolam 5 mg/5cc Ampul
Opioid
Ketamin 100 mg/ cc vial
Pethidin HCl100 mg/ 2cc Ampul
Fentanyl 0,05 mg/cc Ampul
Anestesi lokal
Lidocain 2 %
Bupivacaine 0,5 % Ampul
Muscle Relaxant
Tramus atau antracum benysilate 10 mg/cc Ampul
Analgsik non opioid

Ketorolac 60 mg/2cc Ampul


Lain-lain
Ondancentrone 4 mg
Succinil Cholin 200 mg/10 cc Vial
Efedrin HCl 50mg/cc Ampul
Ondancentrone 4 mg/2cc Ampul
Aminofilin 24 mg/cc Ampul
Dexametason 5 mg/cc Ampul
Neostigmin 0,5 mg/cc Ampul
Diphenhidramin 5 mg/cc Ampul
Adrenalin 1 mg/cc Ampul
Sulfas atropine 0,25 mg/cc Ampul
4. PELAKSANAAN
1. Pre-Anastesi
- Pemeriksaan persetujuan operasi
- Pemeriksaan tanda vital
- Pemeriksaan alat dan obat anestesi
- Pemeriksaan IV line
Obat- obatan yang digunakan :
a. Premedikasi : Ondansetron 4 mg
b. Induksi : Bupivacaine HCl 4 ml
c. Maintenance : O2 2 liter/menit
2. Anastesi
- Pasien masuk kamar operasi pada pukul 12.30, ditidurkan dalam
posisi terlentang diatas meja operasi, kemudian pasang manset dan
-

menyalakann monitor
Pukul 12.40 dilakukan anestesi secara spinal dengan prosedur :
o Pasien diminta untuk duduk, dengan punggung tegak tetapi
ototnya jangan dikontraksikan, kepala ditundukkan, kedua
tangan memegang lutut
o Melakukan identifikasi posisi interspace L3-L4
o Melakukan disinfeksi lokal dan melakukan anestesi pada
daerah tusukan dan diperluas
o Dengan menggunakan jarum G 27 S/RSA yang menembus
hingga ruang subarachnoid
o Ditandai dengan LCS yang keluar bila sudah masuk
subarachnoid
o Lalu lakukan barbotage
o Setelah itu masukkan bupivacaine 4 ml

o Pasien lalu diposisikan kembali posisi tidur, pasang kanul O2

3L/menit
o Nilai blok sensorik : hasilnya blok setinggi Th10
Monitoring setiap 5 menit tanda vital
Operasi selesai pukul 13.15
Pasien tetap sadar selama operasi, setelah operasi selesai pasien
dipindahkan ke recovery room.

Masalah
Masalah medis
S
: nyeri pada pinggang kanan dan kiri
O
: nyeri ketuk CVA (+/+), BNO : urolithiasis bilateral
A
: urolithiasis bilateral
P
: Ureterorenoscopy
Masalah bedah
Tidak terdapat masalah dalam pembedahan
Masalah anastesi
Terdapat indikasi anastesi regional (spinal), tidak terdapat kontraindikasi
anastesi spinal

Alur monitoring anastesi

Jam

Tensi

Nadi

12.30

159/78

58

SpO2 (%)
99
99

12.35

159/78

59

110/65

Pasien masuk ke ruang operasi


Telah terpasang IVFD Asering 500
cc 20 tpm, premedikasi

99
12.40

Keterangan

ondansentron 4 mg
Induksi dengan bupivacain 4 mL,
dengan sebelumnya diberi lidocain

59

terlebih dahulu.
Pemasangan kanul nasal 2L/menit

12.45

113/65

59

12.50

121/64

57

99
99

Operasi dimulai
Pemberian ondansetron 4 mg
Pelaksanaan operasi

12.55

121/62

59

99

99
13.00

124/62

58

13.05

123/64

58

99

13.10

128/65

60

99
Operasi selesai, pasien

13.15

127/68

60

99

dipindahkan ke ruang recovery

room

5. RECOVERY ROOM
Evaluasi ruang pemulihan
- Pasien masuk recovery room pukul 13.20
- Pukul 13.45 pasien stabil, masuk ke bangsal edelweiss

Pukul

Tekanan darah

Nadi

RR

Keterangan

13.20

120/ 70

84

22

13.25

120/80

88

23

monitoring tanda vital


Monitoring tanda vital

13.30

130/ 82

88

21

Monitoring tanda vital

13.35

121/ 79

85

19

Monitoring tanda vital.

13.40

123/83

82

16

Monitoring tanda vital.

13.45

125/80

88

19

Monitoring tanda vital.


Aldrete score 9

O2 2/L.menit,

Kriteria pemindahan pasien berdasarkan Aldrette Score :


Point
Motorik

Respirasi

Sirkulasi

Nilai

4 ekstermitas

2 ekstremitas

Spontan+batuk

Nafas kurang

Beda <20%

20-50%

Pada Pasien

Kesadaran

Kulit

>50%

Sadar penuh

Ketika dipanggil

Kemerahan

Pucat

Sianosis

Total

i.

Instruksi pasca anestesi


a. Rawat pasien posisi terlentang
b. Monitor cairan dan vital sign.

Cairan
Pasien sudah tidak makan dan minum 8 jam, namun sudah di pelihara
kekurangan cairannya dengan memberikan cairan infus selama di bangsal
Untuk kebutuhan selama operasi berlangsung:
BB = 112 kg
a.
Maintenance = 4 x 10 kg = 40 cc
= 2 x 10 kg = 20 cc
= 1 x 92 kg = 92 cc
= total 152 cc/ jam
b.
Stress operasi = 6 cc/kgbb/ jam
= 6 x 112 = 672 cc/jam
c.
Perdarahan yang terjadi = 10 cc
EBV = 70 cc/KgBB = 70 x 112 = 7840 cc
20% x 7840 = 1568 cc
Perdarahan pada pasien ini hanya 10cc/ jam, sehingga tidak perlu ditransfusi.
Cukup diberi cairan kristaloid.
d.
Kebutuhan cairan selama operasi 1 jam:
Perdarahan + maintenance + stress operasi
10 + 152 + 672 = 834 cc
e.
Cairan yang sudah diberikan saat operasi 1000 cc
Balance cairan = 1000 834 = +116 cc

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

UROLITHIASIS
II.1.1. DEFINISI
Batu saluran kencing merupakan keadaan patologis karena adanya massa keras
berbentuk seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kencing dan dapat
menyebabkan nyeri, perdarahan atau infeksi pada saluran kencing. Terbentuknya
batu disebabkan karena air kemih kekurangan materi-materi yang dapat menghambat
terbentuknya batu. Batu saluran kencing dapat terbentuk karena adanya peningkatan
kalsium, oksalat, atau asam urat dalam air kencing serta kurangnya bahan-bahan
seperti sitrat, magnesium, pirofosfat yang dapat menghambat pembentukan batu,
kurangnya produksi air seni, infeksi saluran kencing, gangguan aliran air kencingdan
keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap/idiopatik.
Batu Ginjal di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras
seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri,
perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi.
Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung
kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis
atau renalis,nefrolitiasis).
Renal calculi adalah pengkristalan dari mineral-mineral yang mengelilingi
suatu zat organik seperti nanah, darah, atau sel-sel yang sudah mati. Kebanyakan dari
renal calculi terdiri dari garam-garam calcium (oxalate dan posphat), atau
magnesium-amonium phospat dan uric acid.
Renal calculi, merupakan penumpukan garam mineral yang dapat diam di
mana saja di sepanjang saluran perkemihan. Ini terjadi jika urine penuh mencapai
batas jenuh asam urat, fosfat, dan kalsium oksalat. Normalnya, zat-zat ini larut dalam
cairan urine dan dengan mudah terbilas saat buang air kecil. Tetapi ketika
mekanisme alami seperaati pengaturan keseimbangan asam-basa (Ph) terganggu atau

imunitas tertekan, zat-zat itu mengkristal dan kristal ini bisa menumpuk, akhirnya
membentuk zat yang cukup besar untuk menyumbat aliran urin.

II.1.2. ETIOLOGI
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan
aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaankeadaan lain yang idiopatik.
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
batu saluran kemih pada seseorang. Faktor- faktor tersebut antara lain :
A. Faktor Intrinsik :
a) Herediter (keturunan)
b) Umur :sering dijumpai pada usia 30-50 tahun.
c) Jenis Kelamin :lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan.
B. Faktor Ekstrinsik :
a) Geografis : pada beberapa daerah menunjukan angka kejadian batu
saluran kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal
sebagai daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah batu di Afrika
Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu saluran kemih.
b) Iklim dan temperatur
c) Asupan air : kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium
pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran
kemih.
d) Diet : Diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya
penyakit batu saluran kemih.
e) Pekerjaan : Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya
banyak duduk atau kurang aktivitas atau sedentary life.

Sumber lain juga mengatakan bahwa terbentuknya batu bisa terjadi karena air
kemih jenuh dengan garam-garam yang dapat membentuk batu atau karena air kemih
kekurangan penghambat pembentukan batu yang normal. Sekitar 80% batu terdiri
dari kalsium, sisanya mengandung berbagai bahan, termasuk asam urat, sistin dan
mineral struvit. Batu struvit (campuran dari magnesium, amonium dan fosfat) juga
disebut "batu infeksi" karena batu ini hanya terbentuk di dalam air kemih yang
terinfeksi. Ukuran batu bervariasi, mulai dari yang tidak dapat dilihat dengan mata
telanjang sampai yang sebesar 2,5 sentimeter atau lebih. Batu yang besar disebut
"kalkulus staghorn". Batu ini bisa mengisi hampir keseluruhan pelvis renalis dan
kalises renalis.
Penyebab dari renal calculi adalah idiopatik akan tetapi ada faktor-faktor
predisposisi dan yang utama adalah UTI (Urinary Tract Infection). Infeksi ini akan
meningkatkan timbulnya zat-zat organik. Zat-zat ini dikelilingi oleh mineral-mineral
yang mengendap. Pengendapan mineral-mineral ini akan meningkatkan alkalinitas
urin dan mengakibatkan pengendapan calsium posphat dan magnesium-amonium
posphat. Stasis urin juga dapat menimbulkan pengendapan zat-zat organik dan
mineral-mineral.

Dehidrasi

juga

merupakan

factor

resiko

terpenting

dari

terbentuknya batu ginjal.


Faktor-faktor lain yang dikaitkan dengan pembentukan batu adalah sebagai
berikut :
A. Pemakan Antasid dalam jangka panjang
B. Terlalu banyak vitamin D,dan calsium carbonate
Teori Proses Pembentukan Batu Saluran Kemih
A. Secara teoritis batu dapat terbentuk diseluruh saluran kemih terutama pada
tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis urin), yaitu
pada system kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada
pelvikalices (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis
seperti pada hyperplasia prostat benigna, striktura dan buli-buli neurogenik
merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.
B. Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik
maupun anorganik yang terdapat dalam urine. Kristal-kristal ini tetap dalam
keadaan metastable/tetap telarut dalam urine jika tidak ada keadaankeadaan
tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal.
C. Kristal-kristal

yang

saling

mengadakan

presipitasi

membentuk

inti

batu/nukleasi yang kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-

bahan lain sehingga menjadi kristal yang agak besar, tapi agregat kristal ini
masih rapuh dan belum cukup mampu membuat buntu atau sumbatan saluran
kemih.
D. Agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih atau membentuk retensi
kristal, dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga
membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih.
E. Kondisi metastable dipngaruhi oleh suhu, PH larutan, adanya koloid didalam
urine, konsentrasi solute dalam urine, laju aliran urine, atau adanya korpus
alienum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu.
F. Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu calsium, meskipun
patogenesis pembentukan batu hampir sama,tetapi suasana di dalam saluran
kemih yang memungkinkan terbentuknya jenis batu itu tidak sama, misal batu
asam urat mudah terbentuk dalam suasana asam,sedangkan batu magnesium
ammonium fosfat terbentuk karena urine bersifat basa.

Faktor Penghambat Terbentuknya Batu:


a. Ion Magnesium (Mg), karena jika berikatan dengan oksalat maka akan
membentuk garam magnesium oksalat sehingga jumlah oksalat yang akan
berikatan dengan kalsium (Ca) untuk membentuk kalsium oksalat menurun.
b. Sitrat, jika berikatan dengan ion kalsium maka akan membentuk garam kalsium
sitrat sehingga mengurangi jumlah kalsium yang berikatan dengan oksalat
ataupun fosfat berkurang, sehingga Kristal kalsium oksalat atau kalsium fosfat
jumlahnnya berkurang.
c. Beberapa jenis protein atau senyawa organic mampu bertindak sebagai inhibitor
dengan menghambat pertumbuhan Kristal, menghambat aggregasi Kristal dan
menghambat retensi Kristal, antara lain glikosaminoglikan (GAG), protein
Tamm Horsfall (THP) atau Uromukoid, nefrokalsin, dan osteopontin. Defisiensi
zat-zat yang berfungsi sebagai inhibitor batu merupakan salah satu factor
penyebab timbulnya batu saluran kemih.
PENINGK
ATAN

Masukan
Natrium Kalium
Ekskresi
Masukan

Ca,asam
urat,
Masukan
Protein
Masukan Ca

meningkatkan
ekskresi Ca

Resiko
Pembent
ukan
Batu

meningkatkan

Kemih

Masukan Vit C

Pembagian Jenis Batu


A. Berdasarkan sifat materi penyusunnya :
a) An Organik Stone ( Ph basa ),contoh Ca oksalat, Ca fosfat, magnesium
fosfat, garam triple fosfat.
b) Organik Stone ( Ph Asam), contoh uric acid dan cystin.
B. Secara Radiologis :
a) Batu Radio Opaque atau nyata : umumnya adalah anorganik stone
b) Batu Radio lucent atau tidak nyata, bersifat organic dan asam.
c) Batu organik campuran kalsium
C. Berdasarkan warna batu :
a) Warna sangat gelap dan ukuran kecil,ex : calcium oksalat
b) Warna putih, besar,dan halus ex: calcium fosfat
c) Warna coklat, kecil dan halus ex :Ca urat/asam urat.
D. Berdasarkan letak batu :
a) Batu Ureter
Batu ureter pada umumnya adalah batu yang terbentuk di dalam
sistim kalik ginjal, yang turun ke ureter. Terdapat tiga penyempitan
sepanjang ureter yang biasanya menjadi tempat berhentinya batu yang
turun dari kalik yaitu ureteropelvic junction (UPJ), persilangan ureter
dengan vasa iliaka, dan muara ureter di dinding buli.
b) Batu Ginjal
c) Batu Kandung kemih
d) Batu Uretra
Komposisi Batu :
1. Batu Kalsium (kurang lebih 70 - 80 % dari seluruh batu saluran kemih)
Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang
berikatan dengan oksalat maupun dengan fosfat, membentuk batu kalsium oksalat
dan kalsium fosfat sedangkan sisanya berasal dari batu asam urat, batu

magnesium ammonium fosfat (batu infeksi), batu xanthyn, batu sistein dan batu
jenis lainnya. 5

Sebagian besar penderita batu kalsium mengalami hiperkalsiuria, dimana


kadar kalsium di dalam air kemih sangat tinggi. Obat diuretik thiazid (misalnya
trichlormetazid) akan mengurangi pembentukan batu yang baru.5
1.

Dianjurkan untuk minum banyak air putih (8-10 gelas/hari).

2.

Diet rendah kalsium dan mengkonsumsi natrium selulosa fosfat.

Untuk meningkatkan kadar sitrat (zat penghambat pembentukan batu kalsium) di


dalam air kemih, diberikan kalium sitrat. Kadar oksalat yang tinggi dalam air
kemih, yang menyokong terbentuknya batu kalsium, merupakan akibat dari
mengkonsumsi makanan yang kaya oksalat (misalnya bayam, coklat, kacangkacangan, merica dan teh). Oleh karena itu sebaiknya asupan makanan tersebut
dikurangi. Kadang batu kalsium terbentuk akibat penyakit lain, seperti
hiperparatiroidisme, sarkoidosis, keracunan vitamin D, asidosis tubulus renalis
atau kanker. Pada kasus ini sebaiknya dilakukan pengobatan terhadap penyakitpenyakit tersebut.5

Faktor terjadinya batu kalsium5

Hiperkalsiuri (kalsium di dalam urine lebih besar dan 250-300


mg/24 jam)

Hiperkalsiuri absobtif

Hiperkalsiuri renal

Hiperkalsiuri resorptif

Hiperoksaluri adalah ekskresi oksalat urine yang melebihi 45 gram


perhari

teh, kopi instan, minuman .soft drink, kokoa, arbei, jeruk


sitrun, dan sayuran berwarna hijau terutama bayam

Hiperurikosuri adalah kadar asam urat di dalarn urine yang melebihi


850 mg/24 jam

Sumber asam urat di dalam urine berasal dari makanan yang


mengandung banyak purin/asam urat maupun berasal dari
metabolisme endogen

Hipositraturi

penyakit asidosis tubuli ginjal atau renal tubular acidosis,


sindrom malabsobsi, atau pemakaian diuretik golongan
thiazide dalam jangka waktu lama

Hipomagnesiuri

3. Batu Struvit (batu infeksi )


Batu struvit, disebut juga batu infeksi, karena terbentuknya batu ini
disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Batu dapat tumbuh menjadi
lebih besar membentuk batu staghorn dan mengisi seluruh pelvis dan kaliks
ginjal. Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan kuman pemecah urea
atau urea splitter yang dapat menghasilkan enzim urease dan merubah urine
menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak, seperti
pada reaksi: CO(NH2)2+H2O2NH3+CO2.1
Sekitar 75% kasus batu staghorn, didapatkan komposisi batunya
adalah matriks struvit-karbonat-apatit atau disebut juga batu struvit atau batu
triple phosphate, batu fosfat, batu infeksi, atau batu urease, walaupun dapat
pula terbentuk dari campuran antara kalsium oksalat dan kalsium fosfat.1

Suasana basa ini yang memudahkan garam-garam magnesium,


ammonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium amoniun fosfat
(MAP) atau (Mg NH4PO4.H2O) dan karbonat apatit (Ca10[PO4]6CO3. Karena
terdiri atas 3 kation Ca++ Mg++ dan NH4+) batu jenis ini dikenal dengan nama
batu triple-phosphate. Kuman-kuman yang termasuk pemecah urea
diantaranya

adalah Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobacter,

Pseudomonas, dan Stafilokokus. Meskipun E.coli banyak menyebabkan


infeksi saluran kemih, namun kuman ini bukan termasuk bakteri pemecah
urea.1
4. Batu Urat (Batu asam urat merupakan 5-10% dari seluruh batu saluran
kemih)
Dianjurkan untuk mengurangi asupan daging, ikan dan unggas,
karena makanan tersebut menyebabkan meningkatnya kadar asam urat di
dalam air kemih. Untuk mengurangi pembentukan asam urat bisa diberikan
allopurinol. Batu asam urat terbentuk jika keasaman air kemih bertambah,
karena itu untuk menciptakan suasana air kemih yang alkalis (basa), bisa
diberikan kalium sitrat. Dan sangat dianjurkan untuk banyak minum air putih.

Faktor yang menyebabkan terbentuknya batu asam urat adalah

Urine yang terlau asam (pH urine <6 )

Volume urine yang jumlahnya sedikit (<2 liter/hari) atau

dehidrasi

Hiperurikosuri.

Terbentuknya batu bisa terjadi karena air kemih jenuh dengan garamgaram yang dapat membentuk batu atau karena air kemih kekurangan
penghambat pembentukan batu yang normal.
Sekitar 80% batu terdiri dari kalsium, sisanya mengandung berbagai
bahan, termasuk asam urat, sistin dan mineral struvit. Batu struvit (campuran
dari magnesium, amonium dan fosfat) juga disebut batu infeksi karena batu
ini hanya terbentuk di dalam air kemih yang terinfeksi.

Ukuran batu

bervariasi, mulai dari yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang sampai
yang sebesar 2,5 sentimeter atau lebih. Batu yang besar disebut kalkulus

staghorn. Batu ini bisa mengisi hampir keseluruhan pelvis renalis dan kalises
renalis.

II.1.3 Epidemiologi
Penelitian epidemiologik memberikan kesan seakan-akan penyakit
batu mempunyai hubungan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan
berubah sesuai dengan perkembangan kehidupan suatu bangsa. Berdasarkan
pembandingan data penyakit batu saluran kemih di berbagai negara, dapat
disimpulkan bahwa di negara yang mulai berkembang terdapat banyak batu
saluran kemih bagian bawah, terutama terdapat di kalangan anak.
Di negara yang sedang berkembang, insidensi batu saluran kemih
relatif rendah, baik dari batu saluran kemih bagian bawah maupun batu saluran
kemih bagian atas. Di negara yang telah berkembang, terdapat banyak batu
saluran kemih bagian atas, terutama di kalangan orang dewasa. Pada suku
bangsa tertentu, penyakit batu saluran kemih sangat jarang, misalnya suku
bangsa Bantu di Afrika Selatan.
Satu dari 20 orang menderita batu ginjal. Pria:wanita = 3:1. Puncak
kejadian di usia 30-60 tahun atau 20-49 tahun. Prevalensi di USA sekitar 12%
untuk pria dan 7% untuk wanita. Batu struvite lebih sering ditemukan pada
wanita daripada pria. 4

INSIDENSI UROLITHIASIS

PEMBENTUK BATU

India USA Japan

UK
Calcium Oxalate Murni

86.1 33

Calcium Oxalate bercampur

17.4 39.4

4.9

34

50.8

15

17.4 15.4

8.0

4.4

20.2
Phosphate
Magnesium Ammonium 2.7
Phosphate (Struvite )
Asam Urat

1.2

8.0

II.1.4. TANDA DAN GEJALA


Batu pada kaliks ginjal memberikan rada nyeri ringan sampai berat
karena distensi dari kapsul ginjal. Begitu juga baru pada pelvis renalis, dapat
bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala batu
saluran kemih merupakan akibat obstruksi aliran kemih dan infeksi. Keluhan
yang disampaikan oleh pasien tergantung pada posisi atau letak batu, besar
batu, dan penyulit yang telah terjadi.4
Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada
pinggang. Nyeri ini mungkin bisa merupakan nyeri kolik ataupun bukan kolik.
Nyeri kolik terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun
ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih.
Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat
sehingga terjadi peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri.
Nyeri ini disebabkan oleh karena adanya batu yang menyumbat
saluran kemih, biasanya pada pertemuan pelvis ren dengan ureter
(ureteropelvic junction), dan ureter. Nyeri bersifat tajam dan episodik di daerah
pinggang (flank) yang sering menjalar ke perut, atau lipat paha, bahkan pada
batu ureter distal sering ke kemaluan. Mual dan muntah sering menyertai
keadaan ini.4
Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi
hidronefrosis atau infeksi pada ginjal. Pada pemeriksaan fisik mungkin
didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi sakit
akibat hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine, dan jika
disertai infeksi didapatkan demam-menggigil.4
Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu di
dalam kandung kemih bisa menyebabkan nyeri di perut bagian bawah. Batu
yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis bisa
menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat).4
Kolik renalis ditandai dengan nyeri hebat yang hilang-timbul,
biasanya di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggang, yang menjalar ke
perut, daerah kemaluan dan paha sebelah dalam. Gejala lainnya adalah mual
dan muntah, perut menggelembung, demam, menggigil dan darah di dalam air

kemih. Penderita mungkin menjadi sering berkemih, terutama ketika batu


melewati ureter.4
Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat
aliran kemih, bakteri akan terperangkap di dalam air kemih yang terkumpul
diatas penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi.4
Jika penyumbatan ini berlangsung lama, air kemih akan mengalir
balik ke saluran di dalam ginjal, menyebabkan penekanan yang akan
menggelembungkan ginjal (hidronefrosis) dan pada akhirnya bisa terjadi
kerusakan ginjal. 4
II.1.5. PATOFISIOLOGI
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama
pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis
urine), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan
pada pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika
kronis seperti pada hyperplasia prostat benigna, stiktura, dan buli-buli
neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya
pembentukan batu.7
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan
organik maupun anorganik yang terlarut dalam urine. Kristal-kristal tersebut
tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak
ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal.
Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu
(nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahanbahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar.7
Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan
belum cukup mampu membuntu saluran kemih. Untuk itu agregat kristal
menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini
bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang
cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi metastabel dipengaruhi
oleh suhu, pH larutan, adanya
koloid di dalam urine, laju
aliran urine di dalam saluran

kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang bertindak
sebagai inti batu.7
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya renal kalkuli seperti :5
A. Hiperparatiroidisme
B. Asidosis tubular renal
C. Malignansi
D. Penyakit granulomatosa ( sarcoidosis,tuberculosis)
E. Masukan vitamin D yang berlebihan
F. Masukan susu dan alkali
G. Penyakit mieloproliferatif ( leukaemia, polisitemia, mieloma multiple).
Serta faktor presipitasi seperti: gaya hidup, intake cairan kurang, retensi
urine, konsumsi vitamin C dosis tinggi, immobilisasi, dll. Semua kondisi diatas
akan mempengaruhi keadaan metastabel dari zat-zat yang terlarut dalam urine,
dimana keadaan metastabel ini sangat berkaitan dengan Ph larutan, suhu,
konsentrasi solut dalam urine, dan laju aliran urine yang jika tidak seimbang
maka akan menimbulkan pembentukan kristal-kristal urine yang lamakelamaan akan membesar dan menimbulkan obstruksi traktus urinarius dan
menimbulkan gejala seperti nyeri kostovertebral dan gejala lain tergantung
daerah batu terbentuk. Apabila sebagian dari tractus urinarius mengalami
obstruksi,

urine

akan

terkumpul

dibagian

atas

dari

obstruksi

dan

mengakibatkan dilasi pada bagian itu.6


Otot-otot pada bagian yang kena berkontraksi untuk mendorong urine
untuk melewati obstruksi. Apabila obstruksinya partial, dilatasi akan timbul
dengan pelan tanpa gangguan fungsi. Apabila obstruksinya memberat, tekanan
pada dinding ureter akan meningkat dan mengakibatkan dilatasi pada ureter
(hydroureter). Volume urine yang terkumpul meningkat dan menekan pelvis
dari ginjal dengan akibat pelvis ginjal berdilasi (hydrophrosis). Penambahan
tekanan ini tidak berhenti pada pelvis saja tetapi bisa sampai ke jaringanjaringan ginjal yang kemudian menyebabkan kegagalan renal.7,8
Obstruksi juga bisa mengakibatkan stagnansi urine. Urine yang stragnant
ini bisa bisa menjadi tempat untuk perkembangan bakteri dan infeksi.
Obstruksi pada tractus urinarius bawah dapat menyebabkan distensi bladder.
Infeksi bisa timbul dan pembentukan batu.8
Obstruksi pada tractus urinarius atas bisa berkembang sangat cepat
karena pelvis ginjal adalah lebih kecil bila dibandingkan dengan bladder.

Peningkatan tekanan pada jaringan-jaringan ginjal dapat menyebabkan


ischemia pada renal cortex dan medula dan dan dilatasi tabula-tabula renal.
Statis urine pada pelvis ginjal bisa menyebabkan infeksi dan pembentukan
batu, yang bisa menambah kerusakan pada ginjal. Ginjal yang sehat bisa
mengadakan konpensasi, akan tetapi apabila obstruksi diperbaiki , ginjal yang
sehat pun akan mengalami hypertrophy karena harus mengerjakan pekerjaan
ginjal yang tak berfungsi. Obstrusi pada kedua ginjal bisa mengakibatkan
kegagalan renal.8
II.1.6. DIAGNOSIS
Diagnosa berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
Anamnesa
Batu Buli-buli

Pada anak-anak ditemukan rasa sakit pada saat BAK, sehingga anak
menangis dan menarik-narik penisnya, kadang-kadang dapat terjadi
prolaps ani. Biasanya anak akan mengambil posisi tertentu yang

memungkinkan urin keluar.


Pada orang dewasa, terdapat TRIAS : hematuria, disuria, dan gangguan

pancaran.
Nyeri dapat hilang pada perubahan posisi.
Jika batu sudah masuk kedalam uretra, maka akan terjadi retensio urin.

Batu Ureter

Colic pain, menyebar dari pinggang kearah testis. Nyeri tidak hilang

pada perubahan posisi.


Sering disertai perut kembung, mual dan muntah.
Hematuria.
Batu Ginjal

Tidak mempunyai keluhan yang khas.


Keluhan dapat timbul karena :
a. Infeksi (pielonefritis)
b. Batu masuk ke ureter
Peradangan pelvokalises.
Perlu ditanya usia penderita, tingkat social, riwayat keluar batu dan
diet.
Pemeriksaan Fisik

Regio Costovertebra Angle

Nyeri
Ballottement/massa
Regio Supra Simfisis

Benjolan bulli-bulli
Nyeri tekan
Rabaan batu (dengan bimanual)
Genitelia Eksterna
Mungkin dapat meraba batu jika batu terletak pada uretra pars
anterior
Rectal Toucher
Untuk mendeteksi adanya hipertrofi prostat
Pemeriksaan Penunjang
1.

Foto Polos Abdomen


Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat
kemungkinan adanya batu radio opak di saluran kemih. Batubatu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio opak
dan paling sering dijumpai diantara batu lain, sedangkan batu
asam urat bersifat non opak (radio lusen). Urutan radioopasitas
beberapa batu saluran kemih seperti pada tabel 1.
Jenis Batu
Radioopasitas
Kalsium
Opak
MAP
Semiopak
Urat/Sistin
Non opak
Tabel 1. Urutan Radioopasitas Beberapa Jenis Batu Saluran
Kemih3

2.

Pielografi Intra Vena (PIV)


Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi
ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak
ataupun batu non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos
abdomen. Jika PIV belum dapat menjelaskan keadaan sistem
saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai
penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd.

3.

Ultrasonografi
USG

dikerjakan

bila

pasien

tidak

mungkin

menjalani

pemeriksaan PIV, yaitu pada keadaan-keadaan: alergi terhadap


bahan kontras, faal ginjal yang menurun, dan pada wanita yang

sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di


ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic
shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan ginjal.
4.

Pemeriksaan Mikroskopik Urin, untuk mencari hematuria dan


Kristal.

5.

Renogram, dapat diindikasikan pada batu staghorn untuk


menilai fungsi ginjal.

6.

Analisis batu, untuk mengetahui asal terbentuknya.

7.

Kultur urin, untuk mecari adanya infeksi sekunder.

8.

DPL, ureum, kreatinin, elektrolit, kalsium, fosfat, urat, protein,


fosfatase alkali serum.3

II.1.7. DIAGNOSA BANDING


Batu Ginjal
Pielonefritis akut
Adenocarcinoma ginjal
Tumor sel transisional sistem pelvokalises
TBC ginjal
Nekrosis papiler
Infark ginjal
Batu Ureter
Tumor primer ureter
Sumbatan bekuan darah dari ginjal
Pielonefritis akut
Batu bulli-bulli
Hipertrofi prostat
Striktur uretra
Tumor vesika bertangkai
Pada anak :
- Phimosis atau paraphimosis
- Striktur uretra congenital
- Katup uretra posterior bertangkai
II.1.8. PENATALAKSANAAN
Tujuan :
a. Menghilangkan batu untuk mempertahankan fungsi ginjal
b. Mengetahui etiologi untuk mencegah kekambuhan
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya
harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi
untuk melakukan tindakan/terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu
telah menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena suatu indikasi
social.

Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah menimbulkan hidroureter


atau hidronefrosis dan batu yang sudah menyebabkan infeksi saluran kemih
harus segera dikeluarkan. Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan
penyulit seperti diatas tetapi di derita oleh seseorang yang karena pekerjaannya
(misalkan batu yang diderita oleh seorang pilot pesawat terbang) mempunyai
resiko tinggi dapat menimbulkan sumbatan saluran kemih pada saat yang
bersangkutan sedang menjalankan profesinya, dalam hal ini batu harus
dikeluarkan dari saluran kemih.
Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit seperti
diatas, namun diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya (misalkan batu
yang diderita oleh seorang pilot pesawat terbang) memiliki resiko tinggi dapat
menimbulkan sumbatan saluran kemih pada saat yang bersangkutan sedang
menjalankan profesinya dalam hal ini batu harus dikeluarkan dari saluran
kemih. Pilihan terapi antara lain :
1.

Terapi Konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter <5 mm. Seperti
disebutkan sebelumnya, batu ureter <5 mm bisa keluar spontan. Terapi
bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan
pemberian diuretikum, berupa :
a)

Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari

b)

- blocker

c)

NSAID

Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu


syarat lain untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien, ada
tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK
menyebabkan observasi bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan
adanya obstruksi, apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal
tunggal, ginjal trasplan dan penurunan fungsi ginjal ) tidak ada toleransi
terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus segera dilakukan intervensi. 10

Sumber:http://atanidayrus.wordpress.com/about/IGedeSuryadinata/Algoritma
Penatalaksanaan Batu Saluran Kemih
2.

ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)


Berbagai tipe mesin ESWL bisa didapatkan saat ini. Walau
prinsip kerjanya semua sama, terdapat perbedaan yang nyata antara mesin
generasi lama dan baru, dalam terapi batu ureter. Pada generasi baru titik
fokusnya lebih sempit dan sudah dilengkapi dengan flouroskopi, sehingga
memudahkan dalam pengaturan target/posisi tembak untuk batu ureter.
Hal ini yang tidak terdapat pada mesin generasi lama, sehingga
pemanfaatannya untuk terapi batu ureter sangat terbatas. Meskipun
demikian mesin generasi baru ini juga punya kelemahan yaitu kekuatan

tembaknya tidak sekuat yang lama, sehingga untuk batu yang keras perlu
beberapa kali tindakan.9

(http://piogama.ugm.ac.id/index.php/2009/02/gelombang-kejut-penghancur-batu-ginjal/)

Dengan ESWL sebagian besar pasien tidak perlu dibius, hanya


diberi obat penangkal nyeri. Pasien akan berbaring di suatu alat dan akan
dikenakan gelombang kejut untuk memecahkan batunya Bahkan pada
ESWL generasi terakhir pasien bisa dioperasi dari ruangan terpisah. Jadi,
begitu lokasi ginjal sudah ditemukan, dokter hanya menekan tombol dan
ESWL di ruang operasi akan bergerak. Posisi pasien sendiri bisa telentang
atau telungkup sesuai posisi batu ginjal. Batu ginjal yang sudah pecah
akan keluar bersama air seni. Biasanya pasien tidak perlu dirawat dan
dapat langsung pulang.
ESWL ditemukan di Jerman dan dikembangkan di Perancis.
Pada Tahun 1971, Haeusler dan Kiefer memulai uji coba secara in-vitro
penghancuran batu ginjal menggunakan gelombang kejut. Tahun 1974,
secara resmi pemerintah Jerman memulai proyek penelitian dan aplikasi
ESWL. Kemudian pada awal tahun 1980, pasien pertama batu ginjal
diterapi dengan ESWL di kota Munich menggunakan mesin Dornier
Lithotripter HMI. Kemudian berbagai penelitian lanjutan dilakukan
secara intensif dengan in-vivo maupun in-vitro. Barulah mulai tahun
1983, ESWL secara resmi diterapkan di Rumah Sakit di Jerman. Di
Indonesia, sejarah ESWL dimulai tahun 1987 oleh Prof.Djoko Raharjo di
Rumah Sakit Pertamina, Jakarta. Sekarang, alat generasi terbaru Perancis
ini sudah dimiliki beberapa rumah sakit besar di Indonesia seperti Rumah
Sakit Advent Bandung dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Pembangkit (generator) gelombang kejut dalam ESWL ada tiga
jenis yaitu elektrohidrolik, piezoelektrik dan elektromagnetik. Masingmasing generator mempunyai cara kerja yang berbeda, tapi sama-sama
menggunakan air atau gelatin sebagai medium untuk merambatkan
gelombang kejut. Air dan gelatin mempunyai sifat akustik paling

mendekati sifat akustik tubuh sehingga tidak akan menimbulkan rasa


sakit pada saat gelombang kejut masuk tubuh.
ESWL

merupakan

alat

pemecah

batu

ginjal

dengan

menggunakan gelombang kejut antara 15-22 kilowatt. Meskipun hampir


semua jenis dan ukuran batu ginjal dapat dipecahkan oleh ESWL, masih
harus ditinjau efektivitas dan efisiensi dari alat ini. ESWL hanya sesuai
untuk menghancurkan batu ginjal dengan ukuran kurang dari 3 cm serta
terletak di ginjal atau saluran kemih antara ginjal dan kandung kemih
(kecuali yang terhalang oleh tulang panggul). Hal laim yang perlu
diperhatikan adalah jenis batu apakah bisa dipecahkan oleh ESWL atau
tidak. Batu yang keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat) sulit pecah
dan perlu beberapa kali tindakan. ESWL tidak boleh digunakan oleh
penderita darah tinggi, kencing manis, gangguan pembekuan darah dan
fungsi ginjal, wanita hamil dan anak-anak, serta berat badan berlebih
(obesitas).
Penggunaan ESWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita
dan anak-anak juga harus dipertimbangkan dengan serius. Sebab ada
kemungkinan terjadi kerusakan pada ovarium. Meskipun belum ada data
yang valid, untuk wanita di bawah 40 tahun sebaiknya diinformasikan
sejelas-jelasnya
3. Endourologi
Tindakan Endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk
mengeluarkan batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan
kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang
dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan
melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses
pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi
hidraulik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser.10
Beberapa tindakan endourologi antara lain:

a. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan batu


yang berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat
endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu
kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi
fragmen-fragmen kecil.8

PNL yang berkembang sejak dekade 1980-an secara


teoritis dapat digunakan sebagai terapi semua batu ureter. Tapi
dalam prakteknya sebagian besar telah diambil alih oleh URS dan
ESWL. Meskipun demikian untuk batu ureter proksimal yang
besar dan melekat masih ada tempat untuk PNL. Prinsip dari PNL
adalah membuat akses ke kalik atau pielum secara perkutan.
Kemudian melalui akses tersebut kita masukkan nefroskop rigid
atau fleksibel, atau ureteroskop, untuk selanjutnya batu ureter
diambil secara utuh atau dipecah dulu.8
Keuntungan dari PNL, bila batu kelihatan, hampir pasti
dapat diambil atau dihancurkan; fragmen dapat diambil semua
karena ureter bisa dilihat dengan jelas. Prosesnya berlangsung
cepat dan dengan segera dapat diketahui berhasil atau tidak.
Kelemahannya adalah PNL perlu keterampilan khusus bagi ahli
urologi.

Sebagian

besar

pusat

pendidikan

lebih

banyak

menekankan pada URS dan ESWL dibanding PNL.8

b. Litotripsi (untuk memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan


memasukkan alat pemecah batu/litotriptor ke dalam buli-

buli),

Ureterorenoscopy (urs)
o Ureterorenoscopy (urs) merupakan tindakan yang pertama kali
digunakan

untuk

diagnostic.

Namun,

goodman

mulai

menggunakan urs rigid untuk terapi pada tahun 1977. (2) tindakan
litotripsi dengan urs dilakukan dengan posisi pasien litotomi dan
dilakukan anastesi umum ataupun regional. Terdapat beberapa
jenis urs diantaranya urs rigid, semi rigid, dan fleksibel. Urs rigid
memiliki ujung runcing yang memudahkan insersinya. Urs jenis
ini memilki visualisasi yang baik karena memiliki fiber optic yang
memberikan cahaya dan gambar. Sedangkan urs fleksibel
merupakan instrumen yang lembut namun lebih mahal. Sangat
baik digunakan pada kasus yang sulit. (22). Seiring perkembangan
zaman, urs juga ikut berkembang. Ureteroscopy digital pertama
kali dipublikasikan pada tahun 2007. Andonian et.al (2008)
berpendapat bahwa ureteroscopy digital, memiliki visualisasi
lebih baik dibandingakan fiberoptic. Ureteroscopy digital juga
lebih cepat memecah batu sesuai pendapat binby et.al (2010). (4)

robotic

flexible

ureteroscopy,

yang

lebih

ergonomis,

didemonstrasikan pada tahun 2011. . Desai et.al (2011)


berpendapat bahwa

tindakan ini tidak memiliki komplikasi

intraoperative dan setelah observasi 3 bulan tidak terdapat striktur


uretra. Namun, kekurangan alat ini adalah ukurannya yang besar
(14f) (5). Keuntungan urs antara lain tingkat keberhasilan lebih
tinggi,

murah,

sedikit

komplikasi,

jarang

membutuhkan

penanganan berulang, dan dapat dilakukan secara luas oleh


urologist. (26) tingkat keberhasilan urs untuk batu ureter distal
cukup tinggi. Batu ureter distal > 90% dapat dikeluarkan dengan
menggunakan urs. (25) namun, kerugian tindakan ini adalah
membutuhkan anastesi, lebih invasif, dan mungkin membutuhkan
stent. (26)

c. ekstraksi Dormia (mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya


melalui alat keranjang Dormia).
Pengembangan ureteroskopi sejak tahun 1980 an telah
mengubah secara dramatis terapi batu ureter. Kombinasi ureteroskopi
dengan pemecah batu ultrasound, EHL, laser dan pneumatik telah sukses
dalam memecah batu ureter. Juga batu ureter dapat diekstraksi langsung
dengan tuntunan URS. Dikembangkannya semirigid URS dan fleksibel
URS telah menambah cakupan penggunaan URS untuk terapi batu
ureter.8
4.

Bedah Terbuka
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai
untuk tindakan-tindakan endourologi, laparoskopi, maupun ESWL,
pengambilan batu masih dilakukan melalui pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka itu antara lain adalah: pielolitotomi atau
nefrolitotomi

untuk

mengambil

batu

pada

saluran

ginjal,

dan

ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang pasien harus menjalani


tindakan nefrektomi atau pengambilan ginjal karena ginjalnya sudah tidak
berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis,
atau

mengalami

pengkerutan

akibat

batu

saluran

kemih

yang

menimbulkan obstruksi atau infeksi yang menahun.11


Beberapa variasi operasi terbuka untuk batu ureter mungkin
masih

dilakukan.

Tergantung

pada

anatomi

dan

posisi

batu,

ureterolitotomi bisa dilakukan lewat insisi pada flank, dorsal atau anterior.

Meskipun demikian dewasa ini operasi terbuka pada batu ureter kurang
lebih tinggal 1 -2 persen saja, terutama pada penderita-penderita dengan
kelainan anatomi atau ukuran batu ureter yang besar.11
5.

Pemasangan Stent
Meskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent ureter
terkadang memegang peranan penting sebagai tindakan tambahan dalam
penanganan batu ureter. Misalnya pada penderita sepsis yang disertai
tanda-tanda obstruksi, pemakaian stent sangat perlu. Juga pada batu ureter
yang melekat (impacted).11
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan
selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari
timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata
7% per tahun atau kurang lebih 50% dalam 10 tahun.11

II.1.9. KOMPLIKASI
Dibedakan komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang.
Komplikasi akut yang sangat diperhatikan oleh penderita adalah kematian,
kehilangan ginjal, kebutuhan transfusi dan tambahan intervensi sekunder yang
tidak direncanakan. Data kematian, kehilangan ginjal dan kebutuhan transfusi
pada tindakan batu ureter memiliki risiko sangat rendah. Komplikasi akut dapat
dibagi menjadi yang signifikan dan kurang signifikan. Yang termasuk
komplikasi signifikan adalah avulsi ureter, trauma organ pencernaan, sepsis,
trauma vaskuler, hidro atau pneumotorak, emboli paru dan urinoma. Sedang
yang termasuk kurang signifikan perforasi ureter, hematom perirenal, ileus,
stein strasse, infeksi luka operasi, ISK dan migrasi stent.6
Komplikasi jangka panjang adalah striktur ureter. Striktur tidak hanya
disebabkan oleh intervensi, tetapi juga dipicu oleh reaksi inflamasi dari batu,
terutama yang melekat. Angka kejadian striktur kemungkinan lebih besar dari
yang ditemukan karena secara klinis tidak tampak dan sebagian besar penderita
tidak dilakukan evaluasi radiografi (IVP) pasca operasi. 6
Obstruksi adalah komplikasi dari batu ginjal yang dapat menyebabkan
terjadinya hidronefrosis dan kemudian berlanjut dengan atau tanpa pionefrosis
yang berakhir dengan kegagalan faal ginjal yang terkena. Komplikasi lainnya
dapat terjadi saat penanganan batu dilakukan. Infeksi, termasuk didalamnya
adalah pielonefritis dan sepsis yang dapat terjadi melalui pembedahan terbuka
maupun noninvasif seperti ESWL. Biasanya infeksi terjadi sesaat setelah
dilakukannya PNL, atau pada beberapa saat setelah dilakukannya ESWL saat

pecahan batu lewat dan obstruksi terjadi. Cidera pada organ-organ terdekat
seperti lien, hepar, kolon dan paru serta perforasi pelvis renalis juga dapat
terjadi saat dilakukan PNL, visualisasi yang adekuat, penanganan yang hatihati, irigasi serta drainase yang cukup dapat menurunkan resiko terjadinya
komplikasi ini. 6
Pada batu ginjal nonstaghorn, komplikasi berupa kehilangan darah,
demam, dan terapi nyeri yang diperlukan selama dan sesudah prosedur lebih
sedikit dan berbeda secara bermakna pada ESWL dibandingkan dengan PNL.
Demikian pula ESWL dapat dilakukan dengan rawat jalan atau perawatan yang
lebih singkat dibandingkan PNL.7
Komplikasi akut meliputi transfusi, kematian, dan komplikasi
keseluruhan. Dari meta-analisis, kebutuhan transfusi pada PNL dan kombinasi
terapi sama (< 20%). Kebutuhan transfusi pada ESWL sangat rendah kecuali
pada hematom perirenal yang besar. Kebutuhan transfusi pada operasi terbuka
mencapai 25-50%. Mortalitas akibat tindakan jarang, namun dapat dijumpai,
khususnya pada pasien dengan komorbiditas atau mengalami sepsis dan
komplikasi akut lainnya. Dari data yang ada di pusat urologi di Indonesia,
risiko kematian pada operasi terbuka kurang dari 1%.6
Komplikasi ESWL meliputi

kolik renal (10,1%), demam (8,5%),

urosepsis (1,1%) dan steinstrasse (1,1%). Hematom ginjal terjadi akibat trauma
parietal dan viseral. Hasil studi pada hewan tidak menunjukkan adanya
kelainan lanjut yang berarti. Dalam evaluasi jangka pendek pada anak pasca
ESWL, dijumpai adanya perubahan fungsi tubular yang bersifat sementara
yang kembali normal setelah 15 hari. Belum ada data mengenai efek jangka
panjang pasca ESWL pada anak. 6
Komplikasi pasca PNL meliputi demam (46,8%) dan hematuria yang
memerlukan transfusi (21%). Konversi ke operasi terbuka pada 4,8% kasus
akibat perdarahan intraoperatif, dan 6,4% mengalami ekstravasasi urin. Pada
satu kasus dilaporkan terjadi hidrothoraks pasca PNL. Komplikasi operasi
terbuka meliputi leakage urin (9%), infeksi luka (6,1%), demam (24,1%), dan
perdarahan pascaoperasi (1,2%). Pedoman penatalaksanaan batu ginjal pada
anak adalah dengan ESWL monoterapi, PNL, atau operasi terbuka. 6
II.1.10. PENCEGAHAN
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya yang
tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya kekambuhan.

Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% pertahun atau kurang


lebih 50% dalam 10 tahun.9
Pencegahan yang dilakukan adalah berdasar atas kandungan unsure yang
menyusun batu saluran kemih yang diperoleh dari analisis batu. Pada umumnya
pencegahan ini berupa:9
1. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakanproduksi urin
sebanyak 2-3 liter perhari.
2. Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu.
3. Aktivitas harian yang cukup
4. Pemberian medikamentosa.
Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan adalah:
1. Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urin dan
menyebabkan suasana urin menjadi lebih asam.
2. Rendah oksalat
3. Rendah garam, karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuri
4. Rendah purin.
5. Diet rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada pasien yang menderitya
hiperkalsiuri absortif tipe II.

Masu

Asam

Masuk

kan

Lemak

an air

(Minyak

Volu

Kaliu

Ekskr
m
esi
Ca, ,
sistin

Vit.
B6

Ekskr
ikan)
esi
Oksa
lat

PENURUNAN Resiko
Pembentukan Kristal
(Batu) Saluran Kemih

me
urine
Kejenuhan

kalsium
oksalat

II.1.11 Prognosis
Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak batu,
dan adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu, makin
buruk prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat
mempermudah terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan dan adanya
infeksi karena faktor obstruksi akan dapat menyebabkan penurunan fungsi
ginjal.1
Pada pasien dengan batu yang ditangani dengan ESWL, 60%
dinyatakan bebas dari batu, sisanya masih memerlukan perawatan ulang karena
masih ada sisa fragmen batu dalam saluran kemihnya. Pada pasien yang
ditangani dengan PNL, 80% dinyatakan bebas dari batu, namun hasil yang baik
ditentukan pula oleh pengalaman operator.

ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal adalah salah satu metode anestesi yang diinduksi dengan
menyuntikkan sejumlah kecil obat anestesi lokal ke dalam cairan cerebro-spinal
(CSF). Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan
obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
Spinal anestesi mudah untuk dilakukan dan memiliki potensi untuk memberikan
kondisi operasi yang sangat baik untuk operasi di bawah umbilikus. Spinal
anestesi dianjurkan untuk operasi di bawah umbilikus misalnya hernia,
ginekologi dan operasi urologis dan setiap operasi pada perineum atau alat
kelamin. Semua operasi pada kaki, tapi amputasi meskipun tidak sakit, mungkin
merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien yang dalam
kondisi terjaga. Dalam situasi ini dapat menggabungkan tehnik spinal anestesi
dengan anestesi umum.
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis
hipotalamus-pituitari adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk
menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal.

Anestesi spinal sangat cocok untuk pasien yang berusia tua dan orang-orang
dengan penyakit sistemik seperti penyakit pernapasan kronis, hati, ginjal dan
gangguan endokrin seperti diabetes. Banyak pasien dengan penyakit jantung
ringan mendapat manfaat dari vasodilatasi yang menyertai anestesi spinal kecuali
orang-orang dengan penyakit katub pulmonalis atau hipertensi tidak terkontrol.
Sangat cocok untuk menangani pasien dengan trauma yang telah mendapatkan
resusitasi yang adekuat dan tidak mengalami hipovolemik.

Indikasi Spinal Anestesi :


Morgan (2006) menyatakan beberapa indikasi dari pemberian
anestesi spinal
1.

Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak,


tulang atau pembuluh darah.

2.

Operasi di daerah perineal : Anal, rectum bagian bawah,


vaginal, dan urologi.

3.

Abdomen bagian bawah : Hernia, usus halus bagian distal,


appendik, rectosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan
ginekologis

4.

Abdomen bagian atas : Kolesistektomi, gaster, kolostomi


transversum. Tetapi spinal anestesi untuk abdomen bagian
atas tidak dapat dilakukan pada semua pasien sebab dapat
menimbulkan perubahan fisiologis yang hebat.

5.

Seksio Sesarea (Caesarean Section).

6.

Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan


sistoskopi.

Kontra Indikasi Absolut :


Beberapa kontraindikasi absolut dari pemberian anestesi spinal
(Gwinnut,2009):
1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal
menusuk pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah
akan menekan medulla spinalis.

2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.


3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi
pergeseran otak bila terjadi kehilangan cairan serebrospinal.
4. Bila pasien menolak.
5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan
ditusuk jarum spinal.
6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia
pernisiosa, neurosyphilys, dan porphiria.

7. Hipotensi.
Kontra Indikasi Relatif
Gwinnutt (2009), menyatakan beberapa kontraindikasi relatif
dalam pemberian anestesi spinal.
1. Pasien dengan perdarahan.
2. Problem di tulang belakang.
3. Anak-anak.
4. Pasien tidak kooperatif, psikosis.
Anatomi
Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5
lumbal, 5 sakral dan 4 coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2,
karena ditakutkan menusuk medulla spinalis saat penyuntikan, maka spinal
anestesi umumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan
epidural berakhir di vertebra S2.6.
Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan
melindungi medulla spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut
(Bernards, 2006) :
1. Ligamentum supraspinosum.
2. Ligamentum interspinosum.
3. Ligamentum flavum.
4. Ligamentum longitudinale posterior.

5. Ligamentum longitudinale anterior.


Teknik Spinal Anestesi :
Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor
yang sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan
nafas dan resusitasi telah tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh
peralatan untuk blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh,
anestesi lokal telah dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan
terbka,

cairan

preloading

sudah disiapkan.

Persiapan

alat

akan

meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk anestesi blok dan kemudian


meningkatkan kenyamanan pasien (Bernards, 2006).

Adapun teknik dari anestesi spinal adalah sebagai berikut


(Morgan, 2006):
1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk
(dilakukan ketika kita visite pre-operatif), sebab bila ada
infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan
dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk
spinal anestesi.
2. Posisi pasien :
a) Posisi Lateral.
Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm,
lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
b) Posisi duduk.
Dengan posisi ini lebih mudah

melihat columna

vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat


premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang
asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi
ini digunakan terutama bila diinginkan sadle block.
c) Posisi Prone.
Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah
menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine,
alkohol, kemudian kulit ditutupi dengan doek bolong steril.

4. Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin
besar nomor jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut,
sehingga

untuk

mengurangi

komplikasi

sakit

kepala

(PSH=post spinal headache), dianjurkan dipakai jarum kecil.


Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan
keluarnya

likuor

bila

ujung

jarum

ada

di

ruangan

subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan


spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum

beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang


jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu
ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal,
tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah
yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik
obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda
asing (Meningismus).

Obat-obat yang dipakai


Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah
lidokain, bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain
adalah suatu obat anestesi lokal yang poten, yang dapat memblokade
otonom, sensoris dan motoris. Lidokain berupa larutan 5% dalam 7,5%
dextrose, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan
lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75100mg untuk operasi ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah, 100150mg untuk spinal analgesia tinggi. Lama analgesi prokain < 1 jam,
lidokain 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih (Morgan,2006).

Pengaturan Level Analgesia


Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah sebagai
berikut : level segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3 segmen di
bawah level analgesia kulit, sedangkan blokade otonom adalah 2-6 segmen
sephalik dari zone sensoris. Untuk keperluan klinik, level anestesi dibagi
atas :
1. Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen
lumbal bawah dan sakral.

2. Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10)


dan termasuk segmen torakal bawah, lumbal dan sakral.
3. Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi
termasuk segmen torakal, lumbal, dan sacral.
4. High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona
anestesi termasuk segmen torakal 4-12, lumbal, dan sacral.

Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor,


motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin
terjadi (Kleinman, 2006).
Level anestesi tergantung dari volume obat, konsentrasi obat,
barbotase, kecepatan suntikan, valsava, tempat suntikan, peningkatan
tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan gravitas larutan. Makin besar
volume obat, akan semakin besar penyebarannya, dan level anestesi juga
akan semakin tinggi. Barbotase adalah pengulangan aspirasi dari suntikan
obat anestesi lokal. Bila kita mengaspirasi 0,1ml likuor sebelum
menyuntikkan obat; dan mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat anestesi
lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung jarum masih ada di
ruangan subarakhnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi
penyebaran obat sehingga akan menghasilkan low spinal anesthesia,
sedangkan suntikan yang terlalu cepat akan menyebabkan turbulensi dalam
liquor dan menghasilkan level anestesi yang lebih tinggi. Kecepatan yang
dianjurkan adalah 1ml per 3 detik (Kleinman, 2006).
Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan
dengan berat jenis likuor, maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal, yaitu
hiperbarik, isobarik dan hipobarik. Berat jenis liquor cerebrospinal adalah
1,003-1,006. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035, sedangkan hipobarik 1,0011,002 (Kleinman, 2006).
Perawatan Selama pembedahan (Gwinnutt, 2009).
1. Posisi yang enak untuk pasien.
2. Kalau perlu berikan obat penenang.
3. Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar.
4. Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi.
5. Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan, adanya mual

dan pusing.
6. Berikan oksigen per nasal.

Perawatan pasca bedah (Gwinut, 2009)


1. Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam.
2. Minum banyak, 3 lt/hari.
3. Cegah trauma pada daerah analgesi.
4. Periksa kembalinya aktifitas motorik.
5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang
berat akan pulih.
6. Cegah sakit kepala, mual-muntah.
7. Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada
kemungkinan penurunan tekanan darah dan frekuensi
nadi.
Komplikasi / Masalah Anestesi Spinal :
Birnbach,et.al. (2009) menyatakan beberapa komplikasi terkait
pemberian anestesi spinal
1. Sistim Kardiovaskuler :
a) Penurunan resistensi perifer :
1. Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang
diblokade
simfatis.

akibat

penurunan

tonus

vasokonstriksi

2. Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas


vena dan venous return.
3. Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi
mekanisme kompensasi, yakni terjadinya vasokonstriksi.
b) Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rerata
Penurunan tekanan darah tergantung dari tingginya blokade
simfatis. Bila tekanan darah turun rendah sekali, terjadi risiko
penurunan aliran darah otak. Bila terjadi iskemia medulla
oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah
jarang turun > 15 mmHg dari tekanan darah asal. Tekanan darah
dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan atau obat
vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum dilakukan spinal
anestesi diberikan cairan RL atau NaCl 10-15 ml/kgBB.
Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis
efedrin 25-50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4
menit pada pemberian intravena, dan 10-20menit pada
pemberian intramuskuler. Lama kerja-nya 1 jam.
c) Penurunan denyut jantung.
Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian
jantung yang akan mempengaruhi myocardial chronotropic
stretch receptor, blokade anestesi pada serabut saraf cardiac
accelerator simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat
meningkatkan denyut jantung dan mungkin juga tekanan darah.

2. Sistim Respirasi
Bisa terjadi apnoe yang biasanya disebabkan karena hipotensi
yang berat sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya :
berikan ventilasi, cairan dan vasopressor. Jarang disebabkan karena
terjadi blokade motoris yang tinggi (pada radix n.phrenicus C3-5).
Kadang-kadang bisa terjadi batuk-batuk kering, maupun kesulitan
bicara
3. Sistim Gastrointestinal
Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan
karena hipotensi, hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik,
over-aktivitas parasimfatis dan traction reflex (misalnya dokter bedah
manipulasi traktus gastrointestinal).
4. Headache (PSH=Post Spinal Headache)
Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya
kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai,
semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan
terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa
terjadi kebocoran cairan serebrospinal sampai 1-2minggu. Kehilangan
CSF sebanyak 20ml dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post
spinal headache (PSH) ini pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari
postspinal, dan pada 80% kasus akan menghilang dalam 4 hari. Supaya
tidak terjadi postspinal headache
dapat dilakukan pencegahan dengan :
1.

Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no.


25,27,29).

2.

Menusukkan

jarum

paralel

pada

serabut

longitudinal

duramater sehingga jarum tidak merobek dura tetapi


menyisihkan duramater.

3.

Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama


3 hari, hal ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti
yang hilang.

Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan


1. Memakai abdominal binder.
2. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu
sendiri di ruang epidural tempat kebocoran.
3. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.
Kejadian post spinal headache 10-20% pada umur 20-40
tahun; > 10% bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila
dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami
sakit kepala daripada laki-laki.
5. Backache
Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah
lumbal untuk spinal anestesi.
6. Retensio Urinae
Penyebab retensio urine mungkin karena hal-hal-hal sebagai
berikut : operasi di daerah perineum pada struktur genitourinaria,
pemberian narkotik di ruang subarachnoid, setelah anestesi fungsi
vesica urinaria merupakan yang terakhir pulih.
7. Komplikasi Neurologis Permanen
Jarang sekali terjadi komplikasi neurolois permanen. Hal-hal
yang menurunkan kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi
panas pada ampul gelas, memakai syringedan jarum yang disposible,
spinal anestesi dihindari pada pasien dengan penyakit sistemik, serta
penerapan teknik antiseptik.
8. Chronic Adhesive Arachnoiditis

Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan


fibrosis, distorsi serta obliterasi dari ruangan subarachnoid. Biasanya
terjadi bila ada benda asing yang masuk ke ruang subarachno

BAB III
PEMBAHASAN
III. 1. Permasalahan Dari Segi Medik
Penegakan diagnosis bedah
Pasien Tn. DJ 59 tahun memeliki keluhan Nyeri pinggang kiri sejak 3
bulan SMRS . Rasa sakit yang dirasakan hilang timbul dan terasa pegal. Pada
pasien ini dalam pemeriksaan fisik didapatkan nyeri ketuk CVA kanan dan kiri
dan pada pemeriksaan foto BNO didapatkan gambaran batu pada Saluran
ureter bilateral Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang dapat diambil kesimpulan bahwa pasien didiagnosa
batu ureter bilateral.
III. 2. Permasalahan Dari Segi Anestesi
1.1.

Pra-Operatif
Persiapan pra operatif pada pasien ini meliputi persiapan alat, penilaian

dan persiapan pasien, serta persiapan obat anestesi yang diperlukan. Penilaian
dan persiapan pasien di antaranya meliputi :
1. Penilaian klinis penanggulangan keadaan darurat
2. Informasi
a. Riwayat asma, alergi obat, hipertensi, diabetes mellitus, maupun
b.
c.

riwayat operasi sebelumnya


Riwayat keluarga (penyakit dan komplikasi anestesia)
Menilai jalan nafas (gigi geligi, lidah, tonsil, temporo-mandibula-

d.
e.

joint, tumor, tiroid, trakea)


Menilai nadi, tekanan darah
Makan minum terakhir (mencegah aspirasi isi lambung karena

f.

regurgitasi atau muntah pada saat anestesi)


Menilai mallampati untuk melihat apakah terdapat kontraindikasi
maupun gangguan pada saat melakukan intubasi.
i.

Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior


orofaring, tonsilla palatina dan tonsilla
pharingeal

ii.

Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding


posterior uvula

3.

iii.

Mallampati III : palatum molle, dasar uvula

iv.

Mallampati IV: palatum durum saja

Persiapan informed consent, suatu persetujuan medis untuk mendapatkan


ijin dari pasien sendiri dan keluarga pasien untuk melakukan tindakan
anestesi dan operasi terhadap pasien.

Secara keseluruhan, tidak didapatkan aspek-aspek yang dapat memperberat


proses anestesi selama pembedahan. Namun, ada beberapa aspek yang perlu
diperhatikan selama masa pembiusan. Refleks laring mengalami penurunan selama
anestesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas
merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif
dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode
tertentu sebelum induksi anestesia. Berdasarkan penilaian mallampati, pasien
termasuk mallampati 2, karena pada pemeriksaan dengan melihat mulut terbuka tanpa
bersuara aaahh, hanya tampak pallatum molle sebagian uvula dan dinding posterior
uvula. Kategori mallampati ini sesuai dengan Mallampati, 1983 yang disitasi oleh
John & Denny, 2013. dan berdasarkan status fisik pasien tersebut maka pasien
termasuk dalam klasifikasi ASA II Pasien sudah berusia 59 tahun. Pasien dengan usia
seperti ini bisa dikatakan memasuki usia ekstrim . Sehingga dapat dikategorikan ASA
PS II karena pasien memilki gangguan sistemik sedang yaitu obesitas dan usia
ekstrem.

1. Pemeriksaan pra anestesi


Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :
a. Puasa lebih dari 6 jam.
b. Pemeriksaan laboratorium darah
Permasalahan yang ada adalah:
c. Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum dilakukan
anestesi dan operasi.
d. Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan
keadaan umum penderita.
Dalam memperbaiki keadaan umum dan mempersiapkan operasi pada
penderita perlu dilakukan :
a. Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS.
b. Puasa 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga bahaya muntah
dan aspirasi dapat dihindarkan.
1) Premedikasi
a. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah,
mengurangi kebutuhan obat anestesi dan memudahkan induksi
digunakan clopedine 100 mg IV.
2) Tahap anestesi spinal
a.

b.
c.
d.
e.
f.
g.

Pasien duduk pada meja operasi dengan posisi kaki lurus, tangan
pada kaki, kepala menunduk
Indentifikasi inter space L3 L4
Desinfeksi LA dengan menggunakan betadine
Dilakukan penyuntikan Spinocan G 27 S / RSA
LCS (+)
Barbotage (+)
Bupivacain 4 ml

3) Maintenance
O2 nasal canul 3 L/menit
Terapi Cairan
Kebutuhan cairan yang diperlukan selama operasi dan karena trauma
operasi selama 1 jam, yang dihitung berdasarkan berat badan (BB) penderita:
BB = 112 kg
a. Maintenance

= 4 x 10 kg = 40 cc
= 2 x 10 kg = 20 cc
= 1 x 92 kg = 92 cc
= total 152 cc/ jam

b. Stress operasi

= 6 cc/kgbb/ jam
= 6 x 112 = 672 cc/jam

c. Perdarahan yang terjadi = 10 cc


EBV = 70 cc/KgBB = 70 x 112 = 7840 cc
20% x 7840 = 1568 cc
Perdarahan pada pasien ini hanya 10cc/ jam, sehingga tidak perlu
ditransfusi. Cukup diberi cairan kristaloid.
d. Kebutuhan cairan selama operasi 1 jam:
Perdarahan + maintenance + stress operasi
10 + 152 + 672 = 834 cc
e. Cairan yang sudah diberikan saat operasi 1000 cc
Balance cairan = 1000 834 = +116 cc
Dalam manual postoperative management-WHO, 2000 yang disadur dalam
steinergraphics, 2015, penggantian kehilangan cairan tubuh selama operasi dengan
pemasukan cairan berlebih menyebabkan balance cairan positif yang biasanya sudah
diperkirakan. Hal ini untuk mengantisipasi kehilangan cairan lebih lanjut, misalnya
dari drainase nasogastrik, drainase lain, dan perdarahan. Pertimbangan pemberian
cairan sendiri berdasarkan tiga faktor, yaitu:
a. Kebutuhan untuk mengoreksi deficit cairan pada preoperative state.
Tindakan ini idealnya dilakukan secepat mungkin dalam bentuk bolus
cairan dan dibawah pengawasan.

b. maintenance schedule
c. respon pasien, seperti perlambatan dari takikardia, urine output,
peningkatan tekanan darah, peningkatan JVP, kembalinya turgor kulit ke
normal, dan kembalinya mata cekung menjadi normal.
Maksud dari balance cairan yang positif dimana intake lebih banyak daripada
output, terkesan pada pasien mungkin sedang terakumulasi cairan. Namun faktanya
balance cairan yang positif tidak benar-benar positif karena ada beberapa output yang
tidak diperhitungkan dengan akurat (misal feses, uap respirasi dan keringat).
Pada pasien ini balance cairan +166 cc dirasa masih aman dengan
mempertimbangkan kondisi pasien pada preoperative serta respon klinis pasien saat
operasi. Seharusnya dilakukan pengawasan pada hari-hari berikutnya selama rawat
inap.
Post operatif
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Observasi post
operasi dengan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan
darah, nadi, suhu dan respirasi). Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit. Pada
pasien ini dilakukan spinal anastesi, dan menyebabkan paralisis pada anggota
gerak bawah untuk 3-4 jam, maka skor Aldrete di recovery room adalah 9.
Pasien dipantau di recovery room selama 30 menit.

III. Permasalahan Dari Segi ASA PS


Pasien termasuk ASA PS II karena Pasien sudah berusia 59 tahun.
Pasien dengan usia seperti ini bisa dikatakan memasuki usia ekstrim .
Sehingga dapat dikategorikan ASA PS II dan pasien memilki gangguan
sistemik sedang yaitu obesitas

Interpretasi Kasus

Pasien Tn Dj (laki-laki), usia 59 thn, riwayat batu ginjal pada keluarga (+),
riwayat pekerjaan pns lebih sering duduk di depan computer, jarang minum,
lebih suka minum minuman bernergi, rutin mengkonsumsi kopi, lebih suka
makan makanan bersantan, daging dan kacang-kacangan, merokok (+)
Pada data ini, dapat diketahui bahwa terdapat kecocokan epidemi hernia
inguinalis yaitu pada jenis kelamin. Laki-laki 25x > lebih beresiko terkena
hernia (khususnya inguinalis) dibandingkan dengan perempuan, Adapun
faktor resiko batu ureter pada pasien kasus kami yaitu kurangnya intake cairan
dan lebih sering duduk di depan komputer, serta sering mengkonsumsi
daging-dagingan dan kacang-kacangan, serta pekerjaan pasien yang duduk
didepan komputer merupakan salah satu faktor resiko terjadinya batu. Hal
tersebut dikarenakan kurangnya intake cairan menyebabkan dehidrasi yang
secara langsung menurunkan jumlah urin, jika ditinjau dari diet yang di
konsumsi makan makanan yang banyak mengandung purin seperti kacang
kacangan dan daging dagingan juga dapat meningkatkan purin yang secara
lansgung juga

meningkatkan kadar asam urat dan specific gravity urin

sehingga menyebabkan kadar asam urat dalam urin meningkat sehingga


terjadi batu.

Ku : Pada pasien terdapat nyeri pinggang hilang timbul (kolik) dan terkadang
menjalar hingga paha. Jika sudah terasa nyeri maka akan mengganggu
aktivitas. Selain itu disertai pula dengan mual dan muntah.

Pada data ini dapat diketahui bahwa, terdapat kecocokan data dengan
teori Nyeri kolik yang dirasakan berasal dari peregangan penyalur
urine atau ureter. (11;12;13) Nyeri menjalar hingga paha dapat menjadi ciri
khas adanya batu saluran kemih pada ureter distal. Apabila terjadi pada
laki-laki akan timbul rasa nyeri menjalar ke paha hingga skrotum dan
pada wanita akan menjalar ke labia mayor.

(11;12;13)

Nyeri

yang

dirasakan dapat bervariasi pada tiap pasien tergantung ukuran dan


lokasi batu, derajat obstruksi serta anatomi tiap individu. Rasa sakit
tersebut akan menyebabkan terganggunya aktivitas pada penderita.

Px : Pada pemeriksaan fisik, didapatkan hasil pemeriksaan fisik berupa sedikit


peningkatan nadi yaitu 100x/menit dengan suhu 36.60C dan nyeri ketok pada
Costoveterbral Angle dan adanya reffered pain. Pada literature dikatakan
pemeriksaan fisik khas pada batu yaitu ditemukan adanya nyeri ketok pada
Costoveterbra Angel.

Penatalaksanaan : Ureterorenoscopy

Dari segi pemilihan anastesi regional (spinal)


-Spinal anestesi paling baik digunakan pada tindakan yang melibatkan
tungkai bawah, panggul, dan perineum.
-Harga relatif lebih murah
-Efek samping yang ringan pada system pernapasan
-Mengurangi resiko obstruksi jalan nafas atau aspirasi lambung
-Spinal anestesi merupakan muscle relaxan yang baik untuk pembedahan
abdomen dan anggota badan bagian bawah.
-Kembalinya fungsi usus dengan cepat
-Dalam hal koagulasi spinal anestesi mengurangi resiko thrombosis vena
dalam dan emboli pulmoner
Walaupun begitu tetap terdapat kekurangan dari anastesi spina yaitu kadang
sulit untuk menetukan lokasi dural space dan mendapatkan cerebrospinal
fluid. Tidak baik jika digunakan lebih dari 2 jam hipotensi karna overload
ataupun pemberian anestesi dosis tinggi dan meningitis karna peralatan medis
yang digunakan tidak steril. Spinal anestesi juga mungkin tidak cocok untuk

beberapa pasien bahkan jika mereka dalam keadaan sedasi hal ini dikarnakan
tiap orang memiliki reaksi yang berebda terhadapa berbagai cara anestesi.

BAB IV
PENUTUP

I.

Kesimpulan
Pasien dengan

kasus

batu

ureter

dapat

dilakukan

secara

Ureterorenoscopy dengan melakukan tipe anestesi secara regional

lewat spinal tanpa penyulit. Setelah ureterorenoscopy selesai, pasien


pindah ke recovery room dan pindah ke ruangan setelah aldrette score
9.
II.

Saran
1. Persiapan preoperatif pada pasien perlu dilakukan agar proses
anestesi dapat berjalan dengan baik
2. Perhatikan kebutuhan cairan pasien saat berlangsungnya operasi
3. Pemantauan tanda vital selama operasi terus menerus agar dapat
melihat keadaan pasien selama pasien dalam keadaan anesthesia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gaiser RR. Spinal, Epidural, and caudal anesthesia. In : Introduction to


anesthesia, editor : Longnecker DE, Murphy FL, ed 9 th, WB Saunders
Company, 1997.

2. Bernards, Christopher M., 2006. Epidural and Spinal Anesthesia dalam :


Barash, Paul G. , Cullen, Bruce F., Stoelting, Robert K. Clinical Anesthesia
5th edition. USA: Lippincott William & Wilkins. Birnbach, David J. ,
Browne, Inggrid M. 2009. Anesthesia for Obstetrics dalam : Miller, Ronald D.
Miller Anesthesia 7th edition. USA: Churchill Livingstone.
3. Bouchnak M. Magouri M., Abbasi S., Khemini K., Tilli F., Trabelsi. H, Jabri
H, et.al. 2012. Preloading with HES 130/0.4 versus Normal Saline Solution to
Prevent Hypotension during Spinal Anesthesia for Elective Caesarean Section
didapat dari www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22464164. Calvey, Norman and
Williams, Norton.2008. Principles and Praactice of Pharmacology for
Anesthetists 5thedition. USA: Blackwell Publishing

Anda mungkin juga menyukai