CDK - 142 Alergi
CDK - 142 Alergi
http. www.kalbe.co.id/cdk
International Standard Serial Number: 0125 913X
Daftar isi :
142. Alergi
2. Editorial
4. English Summary
Artikel
5.
8.
11.
15.
19.
22.
27.
31.
Produk Baru
Kegiatan Ilmiah
Internet untuk Dokter
Kapsul
Abstrak
RPPIK
EDITORIAL
Alergi semua orang, bahkan awampun pasti pernah mendengar
istilah ini tetapi meskipun demikian, masalah sebenarnya cukup
kompleks karena berhubungan dengan reaksi tubuh terhadap zat/benda
yang dianggap asing; dan gejalanya dapat bermanifestasi di berbagai
organ/sistem tubuh; oleh karena itu ada yang menganggap alergi
merupakan penyakit sistemik seperti pada artikel pembuka Cermin
Dunia Kedokteran edisi ini.
Artikel lain membahas alergi dari berbagai sudut, dan juga mengenai
pengobatannya.
Artikel tambahan berkaitan dengan masalah keracunan, terutama
insektisida, ditampilkan bersama beberapa makalah mengenai upaya
pemberantasan vektor penyakit malaria dan demam berdarah.
Semoga rangkaian artikel ini dapat menambah wawasan Sejawat
sekalian,
Selamat Tahun Baru 2004
Redaksi
2004
KETUA PENGARAH
Prof. Dr Oen L.H. MSc
PEMIMPIN UMUM
Dr. Erik Tapan
REDAKSI KEHORMATAN
KETUA PENYUNTING
Dr. Budi Riyanto W.
PELAKSANA
Sriwidodo WS.
TATA USAHA
Dodi Sumarna
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval,
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta
10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. (021)4208171
E-mail : cdk@kalbe.co.id
Website : http://www.kalbe.co.id/cdk
NOMOR IJIN
DEWAN REDAKSI
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
Prof. Dr.
Zahir MSc.
Sjahbanar
Soebianto
PENCETAK
PT Temprint
http://www.kalbe.co.id/cdk
PETUNJUK UNTUK PENULIS
urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila
terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to
Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).
Contoh:
1. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore.
London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.
3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. l990; 64: 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau
lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung
Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O.
Box 3117 Jakarta. Tlp. (021) 4208171. E-mail : redaksiCDK@yahoo.com
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
English Summary
POPULATION
DENSITIES
OF
MESOCYCLOPS ASPERICORNIS IN
RELA-TION TO AEDES AEGYPTI
LARVAL CONTROL; CAGE SIMULATION STU-DIES
ray, uwi
bcp, dtb
Bersambung ke halaman 7.
Artikel
OPINI
PENDAHULUAN
Alergi dapat merupakan gangguan hipersensitivitas lokal
atau sistemik. Kulit dan saluran napas adalah organ yang paling
sering terpajan alergen dan terlibat dalam penyakit alergi.
Reaksi alergi dapat juga terjadi di jaringan vaskular, traktus
gastrointestinal, atau organ lain. Anafilaksis merupakan bentuk
reaksi alergi sistemik yang paling berbahaya.
Reaksi alergi yang kompleks dapat digambarkan sebagai
berikut: reaksi diawali dengan pajanan terhadap alergen yang
ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC), dipecah menjadi peptida-peptida kecil, diikat molekul HLA (MHC II),
bergerak ke permukaan sel dan dipresentasikan ke sel Th-2 (gb.
1). Sel Th-2 diaktifkan dan memproduksi sitokin-sitokin antara
lain IL-4 dan IL-13 yang memacu switching produksi IgG ke
IgE oleh sel B, terjadi sensitisasi sel mast dan basofil, sedangkan IL-5 mengaktifkan eosinofil yang merupakan sel inflamasi
utama dalam reaksi alergi. Selain itu sel residen juga melepas
mediator dan sitokin yang juga menimbulkan gejala alergi.1-3
KESIMPULAN
Alergi merupakan reaksi sistemik yang melibatkan berbagai komponen sistem imun seperti sel-sel inflamasi, mediator, sitokin, sel endotel, epitel dan molekul adhesi. Inflamasi
melibatkan pengerahan berbagai sel inflamasi dari sirkulasi ke
jaringan yang dimungkinkan oleh peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM-1.Berbagai antihistamin generasi kedua dan ketiga dapat menghambat ekspresi ICAM-1 yang
merupakan petanda inflamasi sehingga dapat mencegah influks
eosinofil ke jaringan dan terjadinya inflamasi.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
English Summary
Sambungan dari halaman 4
IKHTISAR
PENDAHULUAN
Kemajuan dalam bidang industri sampai sekarang telah
menghasilkan sekitar 70.000 jenis bahan berupa logam, kimia,
pelarut, plastik, karet, pestisida, gas, dan sebagainya yang digunakan secara umum dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan kenyaman dan kemudahan bagi penduduk di seluruh
dunia. Namun di lain pihak, bahan-bahan tersebut menimbulkan berbagai dampak seperti cedera dan penyakit. Cedera
akibat kerja dapat bersifat ergonomik, ortopedik, fisik, mengenai mata, telinga dan lainnya. Penyakit-penyakit akibat
pajanan di lingkungan kerja dapat berupa toksik, infeksi,
kanker, gangguan hati, saraf, alat reproduksi, kardiovaskular,
kulit dan saluran napas.1-6
Biological dan chemical terrorism yang mulai banyak
dikhawatirkan ditujukan untuk menimbulkan kematian atau
penyakit pada manusia, hewan dan tanaman dengan menggunakan bahan seperti anthrax, cacar, virus ensefalitis yang dikeringkan dan dijadikan bubuk sehingga mudah disebarkan.4
reaksi dini dan lambat, sedangkan LMW reaksi lambat terisolasi. 1,5,8
Bisinosis
Bisinosis adalah gejala saluran napas serupa asma dalam
berbagai derajat yang disebabkan oleh pajanan terhadap serat
kapas. Oleh karena gejala awal bisinosis terjadi pada hari kerja
pertama yang biasanya hari Senin, bisinosis disebut juga
Monday morning fever atau Monday moning chest tightness
atau Monday morning asthma. Bisinosis lebih sering ditemukan pada karyawan pemintalan yang terpajan debu kapas kadar
tinggi dibanding karyawan pertenunan.9
DIAGNOSIS ASMA AKIBAT KERJA
Untuk menegakkan diagnosis AAK, perlu diketahui riwayat atopi, penilaian pajanan, imunologi (molekular dan selular), foto paru dan fisiologi seperti hipereaktivitas bronkus,
fungsi paru serial, uji inhalasi spesifik yang merupakan gold
standard.2, 7,10
Pneumonitis hipersensitif
Pneumonitis hipersensitif (PH) adalah penyakit parenkim
paru akibat pajanan dan sensitisasi terhadap berbagai debu
organik, misalnya produk bakteri, jamur dan protein asal tanaman. Diisosianat yang digunakan dalam produksi poliuretan,
busa, plastik dapat pula menimbulkan PH. Reaksi yang terjadi
pada PH dewasa ini dianggap sebagai campuran reaksi Tipe III
dan Tipe IV.5
Rinitis akibat kerja
Dapat berupa alergi atau non-alergi. Pada umumnya,
bahan-bahan yang menimbulkan AAK juga dapat menimbulkan Rinitis Alergi Akibat Kerja (RAAK).2 Seperti halnya
dengan asma, rinitis dapat sudah diderita karyawan sebelum
bekerja dan eksaserbasinya dipacu oleh bahan di lingkungan
kerja.11 Pada orang atopi, lateks dapat menimbulkan reaksi Tipe
I seperti AAK dan atau RAAK dan urtikaria, atau reaksi Tipe
IV (mercaptobenzotiazol, thiuram), berupa dermatitis kontak.10,12,13,14
Berbagai iritan di lingkungan kerja dapat merangsang
membran mukosa nasal dan menimbulkan rinitis iritan nonalergi dengan gejala iritasi yang predominan. Adanya perbaikan waktu malam, akhir minggu, dan libur menunjang diagnosis
rinitis oleh iritan. Lingkungan kerja dengan perubahan suhu
yang cepat atau gerakan udara berlebihan dapat merupakan
faktor fisik yang relevan dalam timbulnya rinitis vasomotor.11
Di samping itu, bau-bauan seperti wewangian, asap rokok,
pewangi ruangan dan lainnya dapat pula menimbulkan eksaserbasi rinitis. Bahan korosif dapat merusak sistem olfaktorius
dan menimbulkan obstruksi dan post-nasal drip yang permanen.10
Dermatitis dan urtikaria akibat kerja
Penyakit kulit akibat kerja dapat berupa dermatitis dan
urtikaria. Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua PAK,
terbanyak bersifat nonalergi atau iritan. Sekitar 90.000 jenis
bahan sudah diketahui dapat menimbulkan dermatitis.15
4.
5.
6.
Tanggal
6-8
16-19
Februari
24-28
Kegiatan Ilmiah
21st Century Challenge to Improve Professionalism
& Quality of Anesthesia Services in Indonesia
International Course on Metabolic and Clinical
Nutrition 2004
The 13th ASMIHA : Advances in Cardiovascular
Medicine : From Bench to Bedside and Beyond
PIT Feto-Maternal
25-26
5-7
Maret
6-7
6-9
4th Jakarta Nephrology Hypertension (JNHC)
28-30
Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbe.co.id/calendar>>Complete
PRAKTIS
Alergi Lateks
pada Pekerja Kesehatan
Teguh Harjono Karjadi
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Lateks adalah produk yang dibuat dari bahan karet. Karet
didapat dari getah pohon Hevea brasiliensis yang berasal dari
hutan Amazon di negara Brazil. Lateks merupakan bahan
utama beberapa produk seperti sarung tangan, kateter urin,
tensimeter, karet spuit, peralatan gigi, kondom, berbagai alat
rumah tangga,dan lain-lain.
Alergi terhadap bahan lateks dilaporkan pertama kali pada
tahun 1927 di Jerman berupa urtikaria akibat pemakaian dental
prosthesis. Pada tahun 1980 seiring dengan ditemukannya
AIDS dan penyakit infeksi virus lainnya, maka diperkenalkan
universal precaution, yang menyebabkan penggunaan sarung
tangan lateks meningkat pesat, dan disertai pula dengan peningkatan prevalensi alergi terhadap lateks.1,2,3,4
Sebagai gambaran, kebutuhan sarung tangan lateks di
Amerika mencapai 20 miliar pasang selama 1999. Kebutuhan
yang demikian banyak dapat meningkatkan kemungkinan
sensitisasi/alergi lateks pada masyarakat terutama yang bekerja
di bidang kesehatan. Selama ini yang tersering adalah
dermatitis kontak; tetapi antara 1988-1992 di Amerika Serikat
tercatat 1000 kasus reaksi sistemik (reaksi hipersensitivitas
tipe I / IgE) yang berhubungan dengan alergi lateks, 15 kasus di
antaranya fatal.4,5
PREVALENSI
Telah banyak penelitian mengenai alergi lateks di luar
negeri, prevalensi sensitisasi lateks pada petugas/pekerja kesehatan 6,9%-30%.6-11 Di Indonesia telah dilakukan beberapa
penelitian sensitisasi pada pekerja produk lateks dengan prevalensi 3,13 6,3%.12,13
Prevalensi sensitisasi pada masyarakat umum 0,8-6,4%,
tertinggi pada masyarakat yang sering kontak dengan lateks
seperti donor darah. Pada pasien yang sering mengalami operasi prevalensi sensitisasi 11,5%, pasien spina bifida prevalensi
mencapai 35-64,5%; pada pasien hemodialisis prevalensi senDibacakan pada acara Simposium Occupational Diseases & Allergy-Clinical
Immunology, Hotel Millennium Sirih, 22-23 Februari 2003.
sitisasi 14,6%.1,14
Atopi merupakan faktor predisposisi terpenting terjadinya
sensitisasi lateks; pada suatu penelitian, 61% petugas kesehatan
yang positif terhadap sensitisasi lateks merupakan individu
atopi; demikian pula pada pasien spina bifida terlihat gambaran
yang hampir sama.1,9,15
Penelitian oleh Sub Bagian Alergi-Imunologi Klinik
RSCM-FKUI pada 6 rumah sakit di Jakarta dengan metode
potong lintang (cross sectional), menggunakan kuesioner dan
tes prick atas 600 perawat dan 277 petugas administrasi mendapatkan :
1. Sensitisasi pada 34 orang perawat (5,8%) dan 4 orang
petugas administrasi (1,4%).
2. Klinis yang dihubungkan dengan paparan lateks pada
perawat :
a. Rinitis 81 orang (14%)
b. Dermatitis kontak 21 orang (3,6%)
c. Urtikaria 47 orang (8,1%)
d. Batuk-batuk 21 orang (3,6%)
e. Konjungtivitis 27 orang (4,6%)
f. Sesak 15 orang (2,5%)
3. Atopi :
a. 196 (34%) perawat atopi, 21 orang (3,6%) di antaranya
dengan tes prick positif (+).
b. 381 (66%) perawat non atopi, 14 orang (2,3%) di antaranya dengan tes prick positif (+).
c. Bila kedua kelompok tersebut dibandingkan maka terdapat
perbedaan bermakna (p=0,008).
Antigen lateks
Getah karet alam (natural rubber latex) merupakan gabungan partikel yang mengandung 35% cis 1,4 polysoprene
(karet), 55-60% air, 5-10% bahan lain (protein, karbohidrat,
resin, dan lain-lain) berasal dari pohon Hevea brasiliensis.
Protein yang terdapat dalam getah karet antara 1-1,8% tergantung dari tempat tumbuh, spesies, tempat penyemaian, saat
Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 11
ini telah terdeteksi sebanyak 200 jenis; telah diketahui beberapa protein yang menyebabkan reaksi alergi (tabel 1).1,16,17
Selain protein, getah karet mengandung lipid, karbohidrat,
kalium, magnesium, seng, mangan, tembaga, besi.
Sebagian besar protein alergen yang terdeteksi di dalam
karet alam juga terdeteksi pada produk barang jadi lateks,
kadang-kadang dalam keadaan terurai atau bergabung dengan
protein lain sewaktu pengolahan. Selain menambah alergen,
pemrosesan (klorinisasi, enzim pencernaan, pemanasan) juga
dapat mengurai protein alergen menjadi nonalergenik. Dalam
sarung tangan non-ammoniated didapat 240 polipeptida,
hanya 25% dari peptida tersebut yang bereaksi dengan IgE
pasien yang alergi terhadap lateks.3,16
Table 1. Latex allergens and their characteristics
Allergen
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
b1
b2
b3
b4
b5
b01
b02
b03
b7
b8
b9
b10
Subcellular localization
Large rubber particles
Lutoids
Small rubber particles
Lutoids
Cytoplasm
Lutoids
Lutoids
Lutoids
Cytoplasm
Cytoplasm
Cytoplasm
Mitochondria
KESIMPULAN
1) Alergi lateks akan lebih sering dijumpai di kalangan
pekerja kesehatan.
2) Diagnosis alergi lateks ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan tambahan (tes prick, tes
patch, IgE, dan lain-lain).
3) Atopi, lama kerja, frekuensi kontak, merupakan faktor
predisposisi terjadinya alergi lateks.
4) Pencegahan berupa penghindaran kontak dengan lateks
Allergen
Hev b 1
Hev b 2
Hev b 3
Hev b 5
Hev b 6.02
Hev b 6.03
Hev b 7
Hev b (profilin)
Hev b 9
(Enolase)
Hev b 10
(Mn-superoxide
dismutase)
Hevamine
(class III chitinase)
Lysozyme
Triosephosphate
isomerase
Negatif
Positif
Hindari lateks
Patch test
Tes provokasi
(menggunakan sarung
tangan, dll)
Penggunaan
lateks aman
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15. Liss GM, Sussman GL, Deal K, Brown S, Cividino M, et al. Latex
allergy: Epidemiological study of 1351 hospital workers. Occup Environ
Med 1997; 54(S): 335-42.
16. Kurup VP, Fink JN. The Spectrum of immunologic sensitization in latex
allergy. In: Johansson SGO ed. Eur J Allerg and Clin Immunol 2001; 56:
1-12.
17. Jaeger D, Kleinhans D, Czuppon AB, Baur X. Latex-specific protein
causing immediate-type cutaneus, nasal, bronchial, and systemic
reactions. J Allerg Clin Immunol 1992;89:759-68.
18. Tomazic VJ, Shampaine EL, Lamanna A, Withrow TJ, Adkinson NF,
Hamilton RG. Cornstarch powder on latex products is an allergen carrier.
J Allerg Clin Immunol 1994; 93: 751-8.
19. Tarlo SM, Sussman G, Contala
20. A, Swanson MC. Control of airborne latex by use of powder-free latex
glove. J Allerg Clin Immunol 1994; 93: 985-9.
21. Beezhold D, Beck WC. Surgical glove powder bind latex antigens. Arch
Surg. 1992; 127: 1354-7.
22. Roitt I, Brostoff I, Male D. Hypersensitivity type IV. In: Roitt (ed).
Immunology. 4th ed. London: Mosby; 1996. pp.25.1-25.12.
23. Baratawidjaja KG. Bab VII:Reaksi hipersensitivitas. Dalam: Imunologi
Dasar. ed 3. Jakarta: Penerbit FKUI 1996, 76-97.
24. Poley GE, Slater JE. Latex allergy. J Allerg Clin Immunol 2000; 105:
1054-62.
25. Nguyen DH, Burns MW, Shapiro GG, Mayo ME, Murrey M, Mitchell
ME. Intra operative cardiovascular collapse secondary to latex allergy. J
Urol 1991; 146: 571-4.
26. Ownby DR, Tomlanovich M, Sammons N, McCullough J. Anaphylaxis
associated with latex allergy during barium enema examinations. AJR
1991; 156: 903-8.
27. Hesse A, Hintzerstern JV, Peters KP, Koch HU, Hornstein OP. Allergic
and irritant reactions to rubber gloves in medical health services. J Am
Acad Dermatol 1991; 25: 831-9.
28. Blanco C, Carrillo T, Castillo R, Quiralte J, Cuevas M. Latex allergy :
clinical features and crossreactivity with fruits.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
PENDAHULUAN
Penyakit alergi sering dijumpai di masyarakat. Kekerapan
penyakit ini meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup
menuju pola hidup masyarakat maju. Perubahan pembangunan
dari sektor pertanian ke sektor gaya hidup masyarakat termasuk
penggunaan selimut, karpet di rumah serta polusi udara merupakan faktor yang dapat meningkatkan kekerapan penyakit
alergi terutama penyakit alergi pernapasan.
Seperti juga anggota masyarakat lain maka para karyawan
berisiko untuk menderita penyakit alergi dan risiko ini dapat
bertambah jika lingkungan di tempat kerja memudahkan paparan terhadap berbagai alergen dan iritan.
Di lain pihak penyakit alergi menurunkan produktivitas
kerja. Di Amerika Serikat rinitis alergik misalnya mengakibatkan kehilangan 811.000 hari kerja setiap tahun. Karyawan
penderita alergi yang masuk kerja produktivitasnya menurun
akibat gejala penyakit maupun pengaruh efek samping terapi.
Mereka mengeluh mudah lelah, sulit berkonsentrasi dan sakit
kepala.1 Di lain pihak penderita alergi sudah sewajarnya tetap
diberi kesempatan bekerja. Dokter perusahaan dapat mengupayakan meningkatkan kualitas hidup pekerja yang menderita
alergi melalui penyuluhan, penatalaksanaan penyakit alergi
yang baik serta menghindari paparan terhadap bahan yang menimbulkan alergi.
PEMAHAMAN KUALITAS HIDUP
Dewasa ini penatalaksanaan penyakit sudah mempertimbangkan peningkatan kualitas hidup penderita. Kualitas
hidup merupakan konsep mengenai karakter fisik maupun
psikologis dalam konteks sosial. Rinitis alergik misalnya tidak
hanya dianggap merupakan penyakit yang menimbulkan berbagai gejala seperti bersin, rinorea, hidung tersumbat tetapi
juga mempertimbangkan pengaruh penyakit ini terhadap kehidupan sosial penderita. Penderita juga mengalami gangguan
tidur, masalah emosional, penurunan aktivitas dan fungsi sosial
penderita.
Untuk mengukur kualitas hidup telah dikembangkan berbagai kuesioner. Kuesioner generik yang mengukur fungsi fisik
Fungsi fisik
Fungsi sosial
Peran (fisik)
Peran (sosial)
Kejiwaan
Lelah
Nyeri
Persepsi umum
Asma
Rinitis
80
84
66
70
66
59
74
57
89
73
61
64
65
55
77
62
0
Mean Change from Baseline
-2
-4
-6
**
-8
A. Activity Impairment
50
**
-10
45
-12
Work Impairment
*
**
Activity Impairment
40
120 mg
P
e
Plasebo
Classroom
Impairment
180 mg
35
Gambar 2.
30
25
20
Baseline
Placebo +
Week 1
Week 2
60 mg fexofenadine bid
Namun panduan tersebut tidak dapat sepenuhnya diterapkan pada perusahaan yang mempunyai sumber dana terbatas.
Sebagian besar o
bat yang dianjurkan masih merupakan obat yang mahal
dan tak terjangkau oleh dana perusahaan. Dalam menilai cost
effectiveness suatu terapi perlu dikembangkan pemahaman
mengenai biaya langsung dan tidak langsung.7
Baseline
Week I
Week 6
87,5 (72,597,5)
87,5 (72,597,5)
NS
95,0 (85,0100,0)
92,5 (75,0100,0)
NS
95,0 (90,0100,0)
90,0 (72,597,6)
0,0007
50,0 (25,075,0)
50,0 ( 0,075,0)
NS
100,0 (75,0100,0)
50,0 (25,0100,0)
0,0001
100,0 (75,0100,0)
50,0 (25,0100,0)
0,0001
62,0 (41,0100,0)
62,0 (41,0 92,0)
NS
77,0 (62,0100,0)
64,0 (25,0100,0)
0,0001
84,0 (74,0100,0)
62,0 (51,0100,0)
0,0001
47,0 (32,062,0)
52,0 (35,067,0)
NS
57,0 (47,072,0)
52,0 (35,072,0)
NS
67,0 (52,077,0)
52,0 (37,067,0)
0,0001
50,0 (40,065,0)
50,0 (40,065,0)
NS
65,0 (50,075,0)
50,0 (40,070,0)
0,0001
70,0 (55,080,0)
50,0 (33,370,0)
0,0001
62,5 (50,075,0)
62,6 (50,075,0)
NS
75,0 (62,5100,0)
75,0 (50,0 87,5)
0,0014
87,5 (75,0100,0)
62,5 (37,587,5)
0,0001
66,67 (33,33100,0)
66,67 (33,33100,0)
NS
100,0 (66,67100,0)
66,67(33,33100,0)
0,0014
100,0 (100,0100,0)
66,67(33,33100,0)
0,001
60,0 (44,076,0)
60,0 (52,072,0)
NS
68,0 (60,080,0)
60,0 (52,076,0)
0,0015
76,0 (64,088,0)
60,0 (48,072,0)
0,001
30
Cetirizine : week1-baseline
Placebo : week 1-baseline
Cetirizine : week 6-baseline
20
10
-10
Physical functioning
Bodily pain
Vitality
Role emotional
Role physical
General health
Social functioning
Mental health
Gambar 3. Perbaikan kualitas hidup pada penggunaan antihistamin generasi baru.
Manfaat perbaikan kualitas hidup antihistamin baru menggunakan instrumen skor SF-36 dapat dilihat pada tabel 2.8
Penggunaan antihistamin generasi baru ternyata selain
memperbaiki gangguan kerja, juga aktivitas sehari-hari dan
sekolah seperti terlihat pada gambar 2. Dengan demikian
program pelatihan karyawan dapat memberikan hasil yang diinginkan.9
Secara keseluruhan perbaikan kualitas hidup penggunaan antihistamin generasi baru dapat dilihat pada gambar 3.8
Terlihat adanya perbaikan kualitas hidup dari semua pasien
yang diobati dengan cetirizin dibandingkan dengan plasebo.
: Candida albicans
Saccharomyces cerevisiae
Pityrosporum
4. Serangga
: kecoa
diptera
5. Inhalan lain
6. Alergen Makanan
7. Alergen Okupasional
8. Lateks
9. Polutan
10. Obat
4.
5.
6.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
7.
8.
9.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Peranan Antihistamin
pada Inflamasi Alergi
Iris Rengganis
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Inflamasi merupakan proses yang vital untuk semua
organisme dan berperan baik dalam mempertahankan kesehatan maupun dalam terjadinya berbagai penyakit. Biasanya inflamasi berupa respons protektif tubuh terhadap trauma atau
invasi mikroba yang berbahaya melalui jalan klasik dengan
gejala sakit (dolor), panas (calor), merah (rubor), bengkak
(tumor) dan hilangnya fungsi (functio laesa). Secara mikroskopis, inflamasi menunjukkan gambaran yang kompleks seperti
dilatasi arteriol, kapiler dan venul; peningkatan permeabilitas
dan arus darah; eksudasi cairan, termasuk protein plasma;
migrasi leukosit ke fokus inflamasi. Akumulasi leukosit yang
disusul dengan aktivasi sel merupakan kejadian sentral dalam
patogenesis hampir semua inflamasi. Bila reaksi inflamasi tidak
terjadi, pejamu akan menjadi imunokompromais. Sekarang kita
sudah mengetahui inflamasi pada tingkat molekuler dan seluler.
Bentuk inflamasi akut dan kronis terbanyak ditimbulkan oleh
pengerahan komponen humoral dan seluler dari sistem imun.
Eliminasi bahan asing secara imunologis terjadi dalam berbagai
tahap yang terintegrasi1-6.
INFLAMASI ALERGI
Proses alergi adalah kompleks, dimulai dengan pajanan
alergen-alergen yang ditangkap oleh Antigen Presenting Cell
(APC). Sel dendritik di saluran napas dan sel langerhans di
kulit, masing-masing berperan sebagai APC pada asma dan
dermatitis atopi. Setelah alergen ditangkap, lalu alergen dipecah menjadi peptida-peptida kecil, dalam APC peptida diikat
molekul HLA (MHC II) menjadi kompleks peptida-HLA,
kemudian dibawa ke permukaan APC dan dipresentasikan ke
sel Th2 CD4+ yang MHC II dependen. Th2 diaktifkan dan
memproduksi sitokin. Sementara epitel (endotel) mengekspresikan molekul adhesi dan menimbulkan infiltrasi sel darah
putih terutama eosinofil yang melepas mediator dan sitokin
yang menimbulkan gejala alergi dan kerusakan jaringan. Dalam
jaringan sel-sel inflamasi dan sel residen melepas mediator dan
terjadi interaksi yang kompleks sehingga menimbulkan reaksi
alergi kronis. Bila kulit, hidung atau saluran napas subjek atopi
Dibacakan pada acara Simposium Allergy dan Clinical Immunology Update,
Hotel Marcopolo, Lampung, 12-13 April 2003
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
PENDAHULUAN
Berkembangnya ilmu kedokteran membuat para dokter
mengambil spesialisasi, bahkan super spesialisasi. Hal ini
mungkin bermanfaat pada penyakit-penyakit yang jarang atau
sulit tetapi pada penyakit-penyakit yang sering seperti asma
dan rinitis tidak selalu tepat. Rinitis alergik dan asma sering
dikelompokkan sebagai penyakit saluran napas bagian atas dan
bagian bawah, meskipun pada kenyataannya kedua penyakit
tersebut sering terdapat pada penderita yang sama; penatalaksanaannya sering dilakukan oleh dua spesialis yang berbeda.
Seorang spesialis paru atau penyakit dalam yang menangani asma sering terfokus pada gejala sesak pasien dan
sangat sedikit menaruh perhatian kepada saluran napas bagian
atas atau bahkan saluran cerna. Demikian pula sebaliknya ahli
THT terfokus kepada hidung atau sinus, tanpa pernah menanyakan keluhan asmanya; padahal dalam praktek sangat
banyak kaitan antara saluran napas bagian atas dan bawah atau
lebih spesifik lagi kaitan rinitis dan asma.
Kalau dicermati dalam praktek sering didapatkan (a) asma
bersama-sama rinitis (b) infeksi virus saluran napas bagian atas
mendahului eksaserbasi asma (c) rinitis sebagai faktor risiko
untuk asma dan (d) infeksi sinusitis paranasal berkaitan dengan
asma; terutama pada pasien anak. Begitu eratnya hubungan
asma dan rinitis sehingga ada peneliti yang menyatakan keduanya merupakan kesatuan penyakit yang disebut rinobronkitis1
atau United Airway Disease.2 Kenyataan di atas mendukung
konsep bahwa alergi sebenarnya bukan merupakan penyakit
satu organ sasaran, melainkan kelainan yang melibatkan
banyak organ. Tidak salah kalau dikatakan alergi merupakan
penyakit sistemik.3
Asma bronkial dan rinitis alergik, termasuk dalam golongan penyakit atopi. Sebagai penyakit atopi keduanya sering
dijumpai pada seorang penderita. Penjelasan mengapa bisa
terjadi bersama-sama, belum sepenuhnya terungkap. Faktanya
kejadian rinitis lebih sering dijumpai dibanding asma; tetapi
bila hal tersebut terjadi pada seorang penderita, pengobatan
lebih sering ditujukan pada keluhan asmanya dan mengabaikan
Dibacakan pada acara Seminar Sehari United Airway Disease, Hotel
Acacia,10 Mei 2003.
tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada asma, yang bronkusnya mengandung otot polos berespons sangat baik terhadap
agonis beta 2.
Meskipun obstruksi hidung sangat mengganggu, tetapi
tidak mengancam jiwa penderita, karena ia masih dapat bernapas melalui mulut. Sebaliknya obstruksi total bronkus akan
menyebabkan kolaps paru dan shunting aliran darah dari
jantung kanan ke kiri.
Rongga hidung mempunyai andil 50% pada resistensi
saluran napas dan hal ini berarti penting pada fungsi alveoli.
Bernapas melalui mulut atau trakeostomi dapat menyebabkan
kolaps alveoli dan shunting aliran darah dari jantung kanan ke
kiri. Hilangnya peranan humidifikasi akan menimbulkan masalah, terutama bila udara yang dihirup dingin dan kering, karena
akan mengeringkan sekret dan menyebabkan spasme bronkus
di saluran napas bagian bawah. Untuk mengatasi hal tersebut,
produksi sekret akan bertambah, yang selanjutnya akan meningkatkan gejala penyakit paru. Oleh karena itu salah satu
tujuan pengobatan adalah mengembalikan fungsi hidung untuk
melindungi saluran napas bagian bawah.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara hidung dan
bronkus. Perbedaan yang menonjol adalah (1) hidung mengandung sinusoid-sinusoid yang sangat berperan pada obstruksi hidung, sementara vasodilatasi kurang berperan pada
asma (2) sekret hidung mudah dikeluarkan sedangkan pada
asma dapat menyumbat (3) otot-otot polos dijumpai pada
bronkus, tidak pada saluran hidung. Agaknya istilah the nose
consists of two congested bronchi without smooth muscles ada
benarnya.4
Dalam beberapa hal terdapat kesamaan rinitis dan asma,
keduanya didasari oleh reaksi inflamasi.5
EPIDEMIOLOGI
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa asma dan
rinitis sering terdapat bersama-sama. Gejala-gejala hidung dilaporkan pada 28 - 78% penderita asma dibandingkan yang
hanya 20% pada masyarakat luas. Demikian pula rinitis alergik
dapat dijumpai pada 19 - 38% penderita asma, jauh lebih tinggi
dibandingkan hanya 3-5% di masyarakat.6-7 Dari suatu survei
yang melibatkan 6563 penduduk, diagnosis rinitis alergik atau
asma yang baru, didapatkan 2 sampai 4 kali lebih tinggi pada
penduduk yang mempunyai salah satu dari kedua penyakit tadi
dibanding penduduk yang riwayatnya tidak mempunyai kedua
penyakit tadi.8
Settipane dkk9 meneliti 690 mahasiswa yang tidak menderita asma, diikuti selama 23 tahun. Mereka yang pada tahun
1961 mempunyai gejala hidung, menderita asma 3 kali lebih
sering (10,5%) dibanding tanpa rinitis (3,6%) (tabel 1).
Tabel 1. Rinitis alergik sebagai faktor risiko timbulnya asma baru : 23
tahun pemantauan.9
Diagnosis sewaktu
mahasiswa
Rinitis alergik
musiman dan bukan
musiman
Bukan rinitis alergik
Total
Total
risiko
162
Asma
baru
17
Nilai P
10.5
< 0.002
528
19
3.6
690
36
5.2
Ciprandi dkk32 melaporkan pemberian terfenadin secara kontinyu selama 12 bulan pada anak-anak sekolah yang menderita
rinokonjungtivitis dan atau asma intermiten ringan yang alergi
tungau debu rumah. Dibanding dengan pasien yang mendapat
plasebo, pasien yang mendapat terapi terfenadin 1 mg/kgBB
menunjukkan perbaikan gejala alergi secara bermakna (p<
0,003) dan penurunan inflamasi terlihat dari infiltrasi sel
radang dan ekspresi ICAM-1 di hidung (p<0,001). Absensi
sekolah dan kunjungan ke dokter juga berkurang (p<0,003).
Tidak didapatkan efek samping pada kedua kelompok.
Laporan terakhir dari Ciprandi dkk33 menyatakan bahwa
pemberian cetirizin jangka panjang tidak saja mengurangi
gejala alergi saluran napas bagian atas dan bawah (Gb. 1 dan 2)
tetapi juga biaya pemakaian obat tambahan seperti pemakaian
obat anti asma steroid topikal dan antibiotik dibandingkan
pemakaian obat bila perlu (tabel 2).
Tabel 2. Rerata biaya pengobatan setiap anak selama 6 bulan33
Cetirizin (dosis tambahan)
Cetirizin reguler
Albuterol inhalasi
Fluticasone inhalasi
Acetaminophen
Antibiotik
Total
Placebo (US$)
20.01
0.50
17.38
13.8
208.7
279.54
Cetirizin (US$)
3.5
43.7
0.38
11.55
16.2
18.2
181.83
bahwa bernapas melalui mulut meningkatkan kemungkinan terjadinya serangan asma karena kegiatan jasmani.38 Perbaikan
fungsi hidung diduga dapat memperbaiki gejala asma. Hal ini
karena udara yang dihirup akan disaring, dihangatkan dan dilembabkan dulu sebelum mencapai bronkus. Alergen dan
polutan akan tersaring di hidung.
Drainase bahan-bahan inflamasi dari saluran napas bagian
atas ke saluran napas bagian bawah mungkin terjadi (post-nasal
drip). Meskipun pada kelinci percobaan rinosinusitis dapat
meningkatkan reaktivitas saluran napas,39 Bardin, dkk40 membuktikan dengan zat radioaktif, tidak ada aspirasi cairan sinus
ke dalam bronkus.
Akibat reaksi alergi sangat mungkin terjadi absorbsi zatzat mediator atau kemotaktik, sebelum akhirnya mencapai
bronkus.16 Teori ini menyatakan bahwa pada penyakit atopi,
termasuk di dalamnya asma dan rinitis, kepekaan reseptor selselnya menurun terhadap rangsangan adrenergik beta.
KESIMPULAN
Penelitian epidemiologik menunjukkan bahwa rinitis alergik dan asma sering terdapat bersama-sama, dan hipereaktivitas
bronkus non spesifik dapat dijumpai pada sebagian penderita
rinitis alergik tanpa gejala asma. Sampai sekarang belum jelas
mekanisme hubungan rinitis alergik dan asma, meskipun keduanya merupakan penyakit inflamasi. Pada penderita rinitis
yang juga asma, kortikosteroid intranasal dan antihistamin
khususnya generasi kedua dapat mengurangi gejala asma dan
bahkan pada sebagian penderita dapat memperbaiki fungsi paru
dan reaktivitas bronkus. Meskipun pengobatan rinitis alergik
mempunyai efek perbaikan asma, belum jelas apakah pengobatan rinitis dapat mempengaruhi perjalanan penyakit asma.
KEPUSTAKAAN
1.
12. Ramsdale EH, Morris MM, Roberts RS, Hargreave FE. Asymptomatic
bronchial hyperresponsiveness in rhinitis. J Allerg Clin Immunol 1985;
75: 573-7.
13. Verdiani P, Di Carlo S, Baronti A. Different prevalence and degree of
nonspesific bronchial hyperreactivity between seasonal and perennial
rhinitis. J Allerg Clin Immunol 1990; 86: 576-82.
14. Prieto L, Berto JM, Guiterrez V. Airway responsiveness to metacholine
and risk of asthma in patients with allergic rhinitis. Ann Allerg 1994; 72:
534-9.
15. Corren J. Allergic rhinitis and asthma: How important is the link ? J
Allerg Clin Immunol 1997; 99: 5781-6.
16. Corren J. Adinoff AD, Buchmeier AD, Irvin CG. Nasal beclomethasone
prevents the seasonal increase in bronchial responsiveness in patients
with allergic rhinitis and asthma. J Allerg Clin Immunol 1992; 98: 250-6.
17. Henriksen JW, Wenzel A. Effect of an intranasal administered corticosteroid (budesonide) on nasal obstruction, mouth breathing and
asthma. Am Rev Respir Dis 1984; 130: 1014-8.
18. Watson WTA, Becker AB, Simmons FER. Treatment of allergic rhinitis
with intranasal corticosteroids in patients with mild asthma: Effect on
lower airway responsiveness. J Allerg Clin Immunol 1993; 91: 97-101.
19. Wood RA, Eggleston PA. The effects of intranasal steroids on nasal and
pulmonary response to cat exposure. Am J Respir Crit Care Med 1995;
151: 315-20.
20. Karlin JM. The use of antihistamines in asthma. Ann Allerg 1972; 30:
342-7.
21. Meltzer EO. The use of anti-H1 drugs in mild asthma. Allergy 1995; 50:
41-7.
22. Rafferty P, Jackson L, Smith R, Holgate ST. Terfenadine: a potent H1receptor antagonist in the treatment of grass pollen sensitive asthma. Br J
Clin Pharmacol 1990; 30: 229-35.
23. Grant JA, Nicodemus CF, Findaly SR et al. Cetirizine in patients with
seasonal allergic rhinitis and concomitant asthma: prospective
randomized, placebo-controlled trial. J Allerg Clin Immunol 1995; 95:
723-32.
24. Cristina Seminario M, Gleich GJ. The role of eosinophils in the
pathogenesis of asthma. Curr Op Immunol 1994; 6: 860-4.
25. Mygid N. Pathophysiology of allergic rhinitis. Eur Respir Rev 1994; 4:
248-51.
26. Paolieri F, Battifora M, Riccio AM et al. Terfenadine and fexofenadine
reduce in vitro ICAM-1 expression on human continuous cell link. Ann
Allerg Asthma Immunol 1998; 81: 601-7.
27. Abdelaziz MM, Devalia JL. Kahir OA et al. Effect of fexofenadine on
eosinophil-induced changes in epithelial permeability and cytokine release from nasal epithelial cells of patients with seasonal allergic rhinitis. J
Allerg Clin Immunol 1998; 101: 410-20
28. Vignola AM, Crampetle L, Mondain M et al. Inhibitory activity of
loratadine and descarboethoxyloratadine on expression of ICAM-1 and
HLA-DR by nasal epithelial cells. Allergy 1995; 50: 2000-3.
29. Redier H, Chanez P, De Vos C et al. Inhibitory effect of cetirizine on
bronchial eosinophil recruitment induced by allergen inhalation challenge
in allergic patients with asthma. J Allerg Clin Immunol 1992; 90: 215-24.
30. Ciprandi G, Buscaglia S, Pesce G et al. Cetirizine reduces inflammatory
cell recruitment and ICAM-1 (or CD-54) expression on conjunctival
epithelium in both early and late phase reaction after allergen-specific
challenge. J Allerg Clin Immunol 1995; 95: 612-21.
31. Fadel R, Herpin-Richard N, Rilioux JP, Henocq E. Inhibitory effect of
cetirizine 2 HCl on eosinophil migration in vivo. Clin Allerg 1987; 17:
373-9.
32. Ciprandi G, Ricca V, Tosca M, Landi M, Passalaeque G, Cononica GW.
Continuous antihistamine treatment controls allergic inflammation and
reduces respiratory morbidity in children with mite allergy. Allergy 1999;
54: 358-65.
33. Ciprandi G, Tosca M, Passalaequa G, Cononica G. Longterm cetirizine
treatment reduces allergic symptoms and drug prescriptions in children
with mite allergy. Ann Allerg Asthma Immunol 2001; 87: 222-6.
34. Kaufman J, Wright GW. The effect of nasal and nasopharyngeal irritation
on airway resistance in man. Am Rev Resp Dis 1969; 100: 626-30.
35. Kaufman J, Chen JC, Wright GW. The effect of trigeminal resection on
reflex bronchoconstriction after nasal and nasopharyngeal irritation in
man. Am Rev Resp Dis 1970; 101: 768-9.
36. Yan K, Salome C. The response of the airways to nasal stimulation in
asthmatics with rhinitis. Eur J Resp Dis 1983; (suppl): 105-8.
37. Little NT, Carlisle CC,Millman RP, Braman SS. Changes in airway resistance following nasal provocation.Am Rev Respir Dis 1990;141:580-3.
38. Shurtman-Ellstein R, Zeballos RJ, Buckley JM, Souhrada JF. The beneficial effect of nasal aerating in exercise induced broncho-constriction.
Am Rev Respir Dis 1978; 118: 65-73.
39. Brugman SM, Larson GL, Henson PM, Honor J, Irvin CG. Increased
airway responsiveness associated with sinusitis in a rabbit model . Am
Rev Resp Dis; 147: 314-20.
40. Bardin PG, Van-Heerden BB, Joubert JR. Absence of pulmonary
aspiration of sinus contents in patients with asthma and sinusitis. J Allerg
Clin Immunol 1990; 86: 82-8.
Gambar 1. Rerata skor mingguan gejala saluran napas bagian atas (rinitis) selama 24 minggu.* Perbedaan
bermakna (p < 0.05). (Ciprandi dkk : Ann Allerg Asthma Immunol, 2001; 807: 222-6)
Gambar 2. Rerata skor mingguan saluran napas saluran bawah (asma) selama 24 minggu.* Perbedaan bermakna
(p < 0.05). (Ciprandi dkk : Ann Allerg Asthma Immunol, 2001; 807: 222-6).
PRAKTIS
Penatalaksanaan LES
pada Berbagai Target Organ
Nanang Sukmana
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi
klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat1,2,3. Pada
keadaan awal, sering sulit dikenal sebagai LES, karena
manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini
penyebab LES belum diketahui; ada dugaan faktor genetik,
infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi
LES.4,5,6,7
Prevalensi bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai
saat ini belum pernah dilaporkan. Pada dekade terakhir terlihat
adanya kenaikan kasus yang berobat di RSCM Jakarta. Salah
satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk
ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus LES
yang perlu diketahui sehingga diagnosis lebih dini dan
pengobatan lebih adekuat. Baron dkk8 melaporkan keter-libatan
ginjal lebih sering ditemukan pada LES dengan onset usia
kurang dari 18 tahun. Sedangkan pada penelitian Font dkk9 lesi
diskoid dan serositis lebih sering ditemukan sebagai manifestasi awal pasien LES laki-laki, sedangkan artritis lebih
jarang. Samanta dkk10 pada penelitian populasi Asia dan kulit
putih di Inggris melaporkan kelainan ginjal lebih sering
ditemukan di populasi Asia. Wanita lebih sering terkena
dibanding laki-laki dan umumnya pada kelompok usia
produktif.
PATOGENESIS LES
Kelainan sistem imun pada LES ditandai dengan berbagai
faktor dan lingkungan yang mampu mengubah sistem imun
tersebut yang mungkin sudah didasari kelainan genetik, seper-ti
terlihat pada gambar 1.
Antigen dari luar yang akan diproses oleh makrofag (APC)
akan menyebabkan berbagai keadaan seperti: apoptosis,
aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa antigen
di tubuh tidak dikenal (selanjutnya disebut Self Antigen) contoh
nucleosomes, U1RP dan Ro/SS-A. Antigen tersebut akan
diproses seperti umumnya antigen lain oleh APC dan sel B.
Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat oleh sel B
Dibacakan pada acara Simposium Allergy & Clinical Immunology Update,
Hotel Marcopolo, Lampung, 12-13 April 2003
pada reseptornya untuk selanjutnya menghasilkan suatu antibodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk oleh
peptida ini dan antibodi yang dibentuk oleh antigen eksternal
akan merusak organ target (glomerulus, sel endotel dan
thrombosit). Di sisi lain antibodi juga dapat berikatan dengan
antigennya untuk membentuk komplek imun (IC) yang dapat
merusak berbagai organ tubuh bila terjadi endapan.
Aktivasi sel T dan sel B tersebut sebetulnya akan dikontrol oleh gen-gen yang berbeda, yang mungkin dapat
direspon tubuh dengan cara pembersihan antigen atau komplek
imun di dalam sirkulasi.
Perubahan abnormal di dalam sistem imun tersebut dapat
mempresentasikan protein RNA, DNA dan phospholipid ke
dalam sistem imun tubuh. Beberapa autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat
berikatan dengan glycoprotein II dan III di dinding trombosit
dan eritrosit. Di sisi lain antibodi juga dapat bereaksi dengan
antigen sitoplasmik trombosit dan eritrosit yang akhirnya akan
menyebabkan proses apoptosis.
LN
secara
umum
(memenuhi
kriteria
ARA)1,4,6,15,16,17,18
Prednison : 1 mg/kgbb. /hari untuk 6-12 minggu. Setelah
itu dapat diturunkan secara bertahap.
Pengelolaan LN sampai sekarang masih kontroversial.
Tujuan utamanya adalah mencegah perburukan penyakit.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
9.
PENUTUP
Penatalaksanaan LES masih terus berkembang, berbagai
sentra melakukan penelitian dalam upaya meningkatkan
kualitas hidup pasien LES. Tersedianya sarana laboratorium
dan diagnostik yang memadai memudahkan diagnosis dini.
Tingkat ekonomi pasien perlu dipertimbangkan dengan bijak
agar pembiayaan dapat ditekan sekecil mungkin dengan
memilih pemeriksaan yang sangat diperlukan sesuai dengan
skala prioritas.
14.
4.
5.
6.
7.
8.
10.
11.
12.
13.
15.
16.
17.
18.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
PENDAHULUAN
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit
radang kronik sistemik yang timbul akibat proses otoimun.
Penyakit ini dapat mengenai setiap organ tubuh, dengan
frekuensi dan derajat yang berbeda-beda pada tiap penderita.
Sebagai contoh, keterlibatan ginjal 74%, SSP 54%, paru 44%
selama perjalanan penyakit.1 Istilah lupus nefritis atau lupus
serebritis sudah sering didengar, sedangkan lupus pneumonitis
atau lupus pleuritis relatif jarang. Mengingat keterlibatan paruparu dan pleura pada SLE cukup sering ditemukan bahkan ada
penelitian yang menyatakan sampai 90%2, kami mencoba
meneliti kekerapan keterlibatan paru dan pleura pada penderita
SLE. Penelitian retrospektif ini tidak dapat memastikan penyebab keterlibatan paru dan pleura karena memerlukan
pemeriksaan lebih khusus seperti spirometri, bilas bronkus,
biopsi transbronkhial dan lain-lain1-4 yang tidak dilakukan
seperti terlihat dalam catatan medik penderita. Di lain pihak,
mengetahui penyebab kelainan paru dan pleura pada SLE
memang sangat sulit karena SLE sendiri dapat menimbulkan
kelainan paru dan pleura akibat kelainan perikardium, gagal
jantung, uremia atau sindrom nefrotik2. Keterlibatan paru dan
pleura yang cukup tinggi pada SLE merupakan peringatan
untuk memberikan perhatian kepada hal ini karena keterlambatan penanganannya akan mempengaruhi prognosis.
BAHAN DAN CARA
Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan mengevaluasi rekam medik penderita SLE yang dirawat di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) selama periode 1 Januari
1996 s/d 31 Desember 2000. Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan kriteria American Rheumatology Association (ARA).
Keterlibatan paru dan pleura ditetapkan berdasarkan adanya
kelainan pada pemeriksaan jasmani dan atau foto toraks.
HASIL
Dari 48 rekam medik yang ditemukan, hanya 34 penderita
yang memenuhi kriteria diagnostik SLE dari ARA5. Usia penderita berkisar antara 13-50 tahun. Sebagian besar (33 kasus)
adalah wanita, sedangkan penderita pria hanya 1 kasus, berusia
20 tahun (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi penderita SLE berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Usia
Jenis kelamin
11-15 tahun
16-20 tahun
21-25 tahun
26-30 tahun
31-35 tahun
36-40 tahun
41-45 tahun
46-50 tahun
Wanita
2
9
7
6
4
1
3
1
Pria
1
-
Jumlah
33
Jenis kelamin
11-15 tahun
16-20 tahun
21-25 tahun
26-30 tahun
31-35 tahun
36-40 tahun
41-45 tahun
46-50 tahun
Wanita
2
6
4
1
4
2
1
Pria
1
-
Jumlah
20
No.
kasus
Keluhan utama
Sesak napas
Gagal ginjal
kronik
Gagal jantung
kongestif
Pneumonia/
Bronkhopneumonia
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
Tabel 4.
No.
Kasus
PN/
BP
Efusi
pleura
Perdarahan
Peninggian
diafragma
Nonspesifik
Tuberkulosis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
Jenis kelainan
SLE/infeksi
Gagal ginjal kronik
Tuberkulosis paru
Sindroma nefrotik
Gagal jantung kongestif
Efusi perikard
Jumlah
Jumlah
9
5
2
2
2
1
21
DISKUSI
Dari seri ini kelainan paru dan pleura ditemukan sebanyak
61.8%; jika 2 kasus tuberkulosis paru tidak dimasukkan, angkanya sebesar 55,9%; kira-kira sama dengan yang dilaporkan
dalam kepustakaan, yaitu antara 50-90%6,7, 38-89%2,4, 5060%.8,9 Inflamasi paru sering ditemukan pada otopsi penderita
SLE. Dengan pemeriksaan yang lebih khusus, prevalensi di
atas lebih tinggi lagi. Penelitian fisiologik pada penderita SLE
menunjukkan adanya kelainan restriktif paru sebagaimana
terlihat dari : penurunan kapasitas difusi pada 80% kasus, penurunan volume paru pada 65% kasus dan penurunan saturasi
oksigen arterial pada 55% kasus (Guenter dan Welch, 1982);
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Haupt HM, Moore GW, Hutchins GM. The lung in systemic lupus
erythematosus. Analysis of the pathologic changes in 120 patients. Am J
Med 1981; 71 : 791-8.
Tan EM, Cohen AS, Fries JF et al. Special article : The resived criteria
for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthr. Rheum
1982; 25 : 1271-7.
Prakash UBS. Rheumatologic diseases. Dalam : Baum GL, Wolinsky E
(eds.) Textbook of Pulmonary Diseases. 5th ed, New York : Little, Brown
& Co, 1994; hal 1471-6.
Mills JA. Medical Progress : Systemic Lupus Erythematosus. New Engl J
Med 1994; 330 : 26; 1871-9.
Quismorio Jr, FP. Pulmonary manifestations of Systemic Lupus
Erythematosus. Dalam : Wallace DJ, Hahn BJ (eds). Dubois Lupus
Erythematosus. 5th ed, Baltimore : Williams & Wilkins, 1997, hal 673-92.
Petri MA. Systemic Lupus Erythematosus : Clinical aspects. Dalam :
Koopman WJ (ed). Arthritis and Allied Conditions A Textbook of
Rheumatology. 14th ed, Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins,
2001; hal 1455-79.
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan intuk mengetahui peningkatan populas Mesocyclops
aspericornis pada pengendalian jentik nyamuk Aedes aegypt di laboratorium menggunakan metode simulasi kandang nyamuk.
Penelitian ini dilakukan di dalam kandang nyamuk, yang tempat perindukan
nyamuknya (stoples plastik) diberi Mesocyclops aspericornis. Penelitian dilakukan
selama 12 minggu pengamatan, dengan menghitung jumlah Mesocyclops aspericornis,
pradewasa dan dewasa Aedes aegypti, 1 (satu) minggu sekali. Hasl penelitian menunjukkan bahwa populasi copepoda M. aspericornis meningkat secara eksponensial
dengan adanya jentik Ae. aegypti yang melimpah sebagai sumber makanan, dalam
waktu 3 minggu. Setelah 3 minggu, kepadatan populasi jentik nyamuk Ae. aegypti
terlihat menurun, demikian pula jumlah nyamuk yang dihasilkannya. Setelah minggu
ke-7 tidak dtemukan jentik.
M. aspericornis mampu bertahan hidup antara 2,5-3 bulan di dalam stoples plastik
dengan volume air 2 liter, dan makanan yang cukup.
PENDAHULUAN
Penyakit demam berdarah di Indonesia sampai saat ini
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit
demam berdarah dilaporkan pertama kali terjadi di kota
Surabaya dan Jakarta tahun 1968. Pada tahun 1985 penyakit ini
telah meluas sampai 26 dari 27 provinsi di Indonesia. Penyakit
tersebut endemis di kota-kota besar, kota kecil dan pedesaan.1
Berbagai upaya untuk mengendalikan vektor penyakit tersebut
telah dilakukan baik secara kimia, fisik, maupun secara hayati.
Timbulnya resistensi nyamuk terhadap insektisida mendorong dikembangkannya jasad hayati sebagai alternatif untuk
mengendalikan jentik nyamuk vektor. Salah satu jasad hayati
yang digunakan adalah Mesocyclops aspericornis. M. aspericornis telah dilaporkan sebagai jasad pengendali jentik Aedes
Dibacakan pada Seminar Hasil-hasil Penelitian Stasiun Penelitian Vektor
Penyakit, Salatiga, 24 Maret 1998
35
Minggu
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
M. aspericornis
Kontrol
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Perlk.
25
28
346
387
340
298
281
278
248
269
222
30
23
Jumlah*
Pradewasa
Ae. aegypti
Kontrol
Perlk.
0
0
17
0
695
469
1556
71
1210
33
1225
31
1379
3
1175
0
1112
0
1280
0
1223
0
1372
0
1200
0
Dewasa
Ae. aegypti
Kontrol
Perlk.
25
25
25
25
29
25
55
25
63
29
72
32
75
35
88
34
92
22
130
15
185
7
139
3
139
0
Keterangan :
Purata 3 X ulangan
2.
3.
4.
5.
6.
KEPUSTAKAAN
1.
7.
Jumlah nyamuk
Jumlah Copepoda
1800
400
M.aspericornis
Nymk.pradewasa(K)
Nymk.pradewasa(P)
Ae.aegypti(P)
Ae.aegypti(K)
1600
1400
300
1200
1000
200
800
600
100
400
200
0
0
10
11
12
Minggu pengamatan
Gambar 1. Jumlah M. aspericornis, pradewasa, dan dewasa Ae. aegypti selama 12 minggu pengamatan.
37
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Bacillus thuringiensis H-14 yang juga disebut dengan Bt H-14 adalah bioinsektisida yang bersifat spesifik terhadap target serangga sasaran, aman bagi golongan mamalia, dan tidak mencemari lingkungan. Uji efikasi formulasi cair Bt H-14 galur
lokal dilakukan pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam. Tujuan
penelitian untuk mengetahui efikasi Bt H-14 galur lokal pada berbagai fermentasi
terhadap jentik Anopheles aconitus dan Culex quinquefasciatus instar I akhir.
Hasil perhitungan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup formulasi cair Bt H-14
galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam berturut-turut
adalah 4,5x107 sel/ml dan 10,9x107 spora/ml; 5,5x108 sel/ml dan 8,6x108 spora/ml;
10,2x108 sel/ml dan 9,0x108 spora/ml; 10,0x108 sel/ml dan 12,8x108 spora/ml; sera
9,2x108 sel/ml dan 11,2x108 spora/ml. Konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus instar I akhir selama 24 jam pengujian
pada frmentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam berturut-turut adalah 0,016
ml/1 (LC50), 0,082 ml/1 (LC90); 0,009 ml/1 (LC50), 0,058 ml/1 (LC90); 0,008 ml/l
(LC50), 0,021 ml/1 (LC90); 0,002 ml/l (LC50), 0,008 ml/l (LC90) serta 0,005 ml/1 (LC50)
dan 0,021 ml/1 (LC90). Pada 48 jam pengujian, membutuhkan konsentrasi sebesar 0,012
ml/ (LC50), 0,078 ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,011 ml/1 (LC90); 0,005 ml/1
(LC50), 0,016 ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,004 ml/1 (LC90); serta 0,001 ml/1
(LC50) dan 0,012 ml/1 (LC90). Konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan 50%
dan 90% jentik Cx. quinquefasciatus instar I akhir selama 24 jam pengujian pada
fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam berturut-turut adalah 0,002 ml/1
(LC50), 0,008 ml/1 (LC90); 0,002 ml/1 (LC50), 0,009 ml/1 (LC90); 0,002 ml/l (LC50),
0,013 ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,002 ml/1 (LC90); serta 0,001 ml/1 (LC50)
dan 0,002 ml/1 (LC90). Konsentrasi terkecil formulasi cair Bt H-14 galur lokal unuk
mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus adalah
konsentrasi pada fermentasi 24 jam Bt H-14 galur lokal. Dengan demikian formulasi
cair Bt H-14 galur lokal efektif dalam mengendalikan jentik nyamuk vektor.
Kata kunci: Uji efkasi, Bt H-14 galur lokal, An. aconitus, Cx. quinquefasciatus
PENDAHULUAN
Penggunaan Bacillus thuringiensis H-14 untuk pengendalian vektor malaria Anopheles aconitus dan vektor filaria Culex
38 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004
pada dosis 0,009 ml/1 (LC50) dan 0,058 ml/1 (LC90) selama
24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam membutuhkan
konsentrasi 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,011 ml/1 (LC90). Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal selama 22 jam,
menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup
berturut-turut sebesar 10,2x108 sel/ml dan 9,0x108 spora/ml
yang dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus
pada konsentrasi 0,008 ml/1 (LC50) dan 0,021 ml/1 (LC90)
selama 24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam membutuhkan konsentrasi 0,005 ml/l (LC50) dan 0,016 ml/1 (LC90).
Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal selama 24 jam,
menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup
masing-masing sebesar 10,0x108 sel/ml dan 12,8x108 spora/ml
dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus pada
konsentrasi 0,002 ml/l (LC50) dan 0,008 ml/1 (LC90) selama
24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan
konsentrasi sebesar 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,004 ml/1 (LC90).
Fermentasi 25 jam menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah
spora hidup masing-masing sebesar 9,2x108 sel/ml dan
11,2x108 spora/ml dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik
An. aconitus pada konsentrasi 0,005 ml/1 (LC50) dan 0,021
ml/1 (LC90) selama 24 jam pengujian. Pada pengujian selama
48 jam, dibutuhkan konsentrasi sebesar 0,001 ml/1 (LC50) dan
0,012 ml/1 (LC90). Konsentrasi terkecil untuk mengendalikan
jentik An. aconitus adalah formulasi cair B. thuringiensis H-14
galur lokal pada fermentasi 24 jam yaitu LC90 (0,008 ml/1)
diikuti fermentasi 22 jam (0,021 ml/1), fermentasi 20 jam
(0,058 ml/l) dan fermentasi 18 jam (0,082 ml/1). Sedangkan
konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan jentik An.
aconius pada fermentasi 25 jam adalah sama dengan fermentasi pada 22 jam yaitu 0,021 ml/1 (LC90). Ini menunjukkan bahwa toksin bakteri B. thuringiensis H-14.(1)
Tabel 1. Jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup formulasi cair B.
thuringiensis H-14 galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22
jam, 24 jam dan 25 jam serta uji patogenisitasnya terhadap
jentik nyamuk Anopheles aconitus
Bt H-14
Galur
Lokal (jam)
Jumlah
sel hidup
Jumlah
spora hidup
18
20
22
24
25
4,5x107
5,0x108
10,2x108
10,0x108
9,2x108
10,9x107
8,6x108
9,0x108
12,8x108
1,2x108
Tabel 2. Jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup formulasi cair B.
thuringiensia H-14 galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam,
22 jam, 24 jam dan 25 jam serta uji patogenisitasnya terhadap
jentik Culex quinquefasciatus
Bt H-14
Galur
Lokal (jam)
Jumlah
sel hidup
Jumlah
spora hidup
18
20
22
24
25
4,5x107
5,0x108
10,2x108
10,0x108
9,2x108
10,9x107
8,6x108
9,0x108
12,8x108
1,2x108
mukaan air, merupakan daerah makan jentik Cx. quinquefasciatus (5). Jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup tidak
sama pada berbagai fermentasi formulasi cair B. thuringiensis
H-14 galur lokal (Tabel 1, 2), tetapi hal ini tidak prinsipil; yang
lebih penting adalah toksisitas atau daya bunuhnya terhadap
jentik nyamuk (6).
formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada tempattempat perindukan jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus menggunakan konsentrasi aplikasi terkecil.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Uji penyemprotan terhadap Aedes aegypti menggunakan alat thermal fogging
dengan insektisida Abate 500 EC (dosis 60, 100, 120, dan 240 ml/ha) dan Icon 25 EC
(dosis 75 ml/ha) telah dilakukan pada pagi hari di perumahan Kotamadya Salatiga,
tahun 1998. Hasil evaluasi uji hayati (air bioassay) menunjukkan bahwa dengan jarak
2 meter, dosis 100, 120, dan 240 ml/ha mampu memberikan efek kematian Aedes
aegypti sebesar 100%, setelah diamati selama 24 jam di laboratorium.
PENDAHULUAN
Di Indonesia penyebaran Aedes aegypti sebagai penular
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) makin meluas
sesuai perkembangaan lingkungan.(1) Salah satu cara untuk
menghadapi letusan penyakit DBD adalah penyemprotan
dengan sistim thermal fogging karena memiliki kelebihan dapat
memberikan kabut yang banyak sehingga dapat masuk ke
dalam ruangan secara merata. Sejak tahun 1972 hingga
sekarang digunakan insektisida Malathion 96 EC.(3)
Meskipun belum ada tanda-tanda kekebalan Aedes aegypti,
dipandang perlu melakukan uji coba insektisida alternatif.
Bahan kimia aktif temefos (Abate) diketahui efektif membunuh
nyamuk dan serangga lainnya(4). Penelitian ini bertujuan untuk
menguji efektivitas beberapa dosis insektisida Abate 500 EC
secara thermal fogging terhadap nyamuk Aedes aegypti.
periode pengujian diukur dan dicatat. Kriteria efikasi insektisida ditentukan berdasarkan persentase nyamuk pingsan
(knockdown) dan kematian (mortalitas) pada periode waktu
uji.(5)
Analisa data
Kriteria efikasi diambil berdasarkan waktu pingsan (knock
down time) 50% dan 100% dari jumlah nyamuk uji. Persentase
kematian dihitung dari data yang telah dikoreksi dengan jumlah
nyamuk pingsan dan mati pada kontrol sbb :
Jumlah nyamuk pingsan /mati
Persentase nyamuk pingsan/mati = ---------------------------------------- x 100%
Jumlah nyamuk uji
Koreksi data
Jika persentase kematian pada kontrol antara 5-20% maka
data harus dikoreksi dengan rumus Abbot sbb :
A -B
A.1 = --------------- x 100%
100 -B
Keterangan :
A.1 = Persentase kematian setelah dikoreksi
A
= Persentase kematian nyamuk uji
B
= Persentase nyamuk kontrol
43
100
90
80
Persentase kematian
70
60
50
40
30
20
10
0
60.ml/ha
100.ml/ha.]
120.ml/ha
240.ml/ha
75.ml/ha.Icon 25 EC
Luar rumah
Kontrol
Gambar 1. Histogram kematian nyamuk Aedes aegypti di dalam dan luar rumah akibat pengabutan insektisida Abate 500 EC dan Icon 25 EC di
pemukiman penduduk
80
70
LT .50.dalam rumah
LT .90.dalam rumah
LT .50.luar rumah
LT .90.luar rumah
Waktu (Jam)
60
50
40
30
20
10
0
60.ml/ha
100.ml/ha
120.ml/ha
240.ml/ha
75 ml/ha Icon 25
EC
KESIMPULAN
Dosis insektisida Abate 500 EC efektif membunuh
nyamuk Aedes aegypti di dalam maupun di luar rumah adalah
100,120,240 ml/ha. Dosis tersebut pada uji efikasi menghasilkan kematian nyamuk sebanyak 100,00%. Dosis 60 ml/ha
insektisida Abate 500 EC secara thermal fogging kurang efektif membunuh Aedes aegypti. KT90 pada pengabutan terhadap
Aedes aegypti di luar rumah dosis 100 ml/ha adalah 8,0 jam,
dosis 120 ml/ha adalah 5,8 jam dan dosis 240 ml/ha adalah 2,4
jam. Sedangkan KT90 di dalam rumah dosis 100 ml/ha adalah
6,5 jam,dosis 120 ml/ha - 4,8 jam dan dosis 240 ml/ha - 1,4
jam.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
45
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Dalam upaya meningkatkan produksi, petani menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama, penyakit tanaman serta jasad pengganggu lainnya. Penggunaan
pestisida terbesar yaitu pada tanaman holtikultura apel. Penyemprotan dan pengelolaan
yang tidak benar akan menyebabkan keracunan pestisida yang dapat ditunjukkan
dengan Pemeriksaan Aktifitas Kholinesterase; untuk mengetahui tingkat keracunannya,
dilakukan penelitian tentang tingkat aktivitas kholinesterase, pengetahuan dan cara
pengelolaan pestisida pada petani/buruh penyemprot apel di dua musim.
Pengukuran tingkat aktivitas kholinesterase darah petani/buruh penyemprot menggunakan alat Tintometer kit. Pengumpulan data mengenai pengetahuan dan cara pengelolaan pestisida menggunakan instrumen kuesioner.
Hasil pemeriksaan menunjukkan penurunan aktivitas kholinesterase < 62,5% terjadi pada 4% petani/buruh di musim kemarau dan 13% di musim hujan. Tingkat
pengetahuan pestisida > 64% petani/buruh baik dan pengelolaan pestisida > 78% baik,
walaupun yang mendapat penyuluhan hanya 55%. Frekuensi penyemprotan 3-4 kali/
minggu meningkat 32% dari musim kemarau ke musim penghujan.
PENDAHULUAN
Dalam upaya peningkatan produksi pertanian dan pengendalian hama, penyakit tanaman serta jasad pengganggu lainnya,
petani menggunakan pestisida. Pestisida digunakan terutama
dalam proses tanam jenis tanaman holtikultura.
Berdasarkan data petugas penyuluh pertanian lapangan
(PPL) tanaman holtikultura yang paling banyak menggunakan
pestisida adalah tanaman apel; upaya untuk mempertahankan
buah apel dari serangan hama dilakukan penyemprotan pestisida baik pada musim kemarau maupun pada musim peng46 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004
hujan. Cara pengelolaan pestisida yang tidak baik dapat mengganggu kesehatan manusia. Golongan pestisida organofosfat
dan karbamat dapat menghambat aktivitas kolinesterase, sehingga untuk mengetahui gambaran tentang paparan petani/
buruh penyemprot apel pada musim kemarau dan musim penghujan serta tingkat pengetahuan dan pengelolaan pestisida,
dilakukan penelitian tingkat aktivitas kholinesterase dan
pengetahuan serta cara pengelolaan pestisida petani/buruh penyemprot apel di Desa Gubuk Klakah, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
TUJUAN PENELITIAN
Menetapkan tingkat aktivitas kholinesterase darah petani
penyemprot apel pada musim kemarau dan musim penghujan.
Menetapkan pengetahuan dan perilaku petani penyemprot
apel dalam pengelolaan pestisida.
METODA PENELITIAN
Aktivitas Kholinesterase
darah (%)
100
87,5
75
62,5
50
10
43
32
11
2
Tingkat aktivitas kholinesterase darah pada 70% merupakan batas, bahwa seseorang mulai keracunan pestisida dan memerlukan istirahat. Namun alat ini hanya bisa mendeteksi
tingkat aktivitas kholinesterase pada 75% dan 62,5%. Sehingga
yang diduga beracun adalah tingkat aktivitas kholinesterase
<62,5%.
Pada musim kemarau 4% petani/buruh tingkat aktivitas
kholinesterasenya < 62,5%, sedangkan pada musim hujan mencapai 13% petani/buruh penyemprot.
2) Hasil wawancara terhadap responden petani/buruh penyemprot apel dengan menggunakan instrumen kuesioner yang
No.
1.
2.
3.
4.
Pengetahuan Pestisida
Jenis Pestisida
Tahu < 4 jenis pestisida
Tahu > 4 jenis pestisida
Tidak tahu
16
71
13
13
75
12
Bahaya Pestisida
Beracun
Tidak beracun
83
17
84
16
64
65
11
11
25
24
83
8
9
90
5
5
47
No.
1.
2.
3.
4.
Pengetahuan Cara
Pengelolaan Pestisida
Cara penyimpanan pestisida :
- Dalam botol khusus
pestisida
- Dalam tas plastik
- Lain-lain
Cara penyemprotan :
- Tidak berlawanan arah
angin
- Tidak menyemprot pada
waktu panas terik
- Tidak tahu
95
9
-
5
-
79
88
10
11
Tabel 4.
No.
Dapat Penyuluhan
1.
Pernah
55
58
2.
Tidak pernah
45
42
KESIMPULAN
1) Tingkat aktivitas kholinesterase yang menunjukkan batas
keracunan < 62,5% ditemukan 4% petani/buruh penyemprot
pada musim kemarau dan pada musim hujan mencapai 13%
petani/buruh penyemprot.
2) Pengetahuan > 64% petani/buruh penyemprot tentang pestisida baik, sedangkan perlakuan terhadap pengelolaan pestisida > 78% baik, walaupun hanya 55% yang mendapat penyuluhan.
Frekuensi penyemprotan pada musim hujan meningkat 32%
untuk 3-4 kali penyemprotan per 4 mingguan.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
78
19
3
38
51
11
1
9
90
1
8
91
4.
5.
6.
7.
HASIL PENELITIAN
ABSTRAK
Penggunaan herbisida telah terbukti bermanfaat meningkatkan hasil pertanian
maupun perkebunan. Salah satu bahan aktif herbisida yang secara luas digunakan
adalah paraquat, bahan aktif ini telah digunakan di Indonesia sejak tahun 1974. Karena
sifat kimia dan toksisitasnya maka pada tahun 1979 statusnya diubah menjadi pestisida
terbatas pakai yang hanya boleh digunakan oleh instansi atau perorangan yang telah
mendapat izin.
Pada akhir tahun delapanpuluhan beberapa kelompok perkebunan rakyat di
Lampung Selatan masih menggunakan herbisida tersebut setelah mendapat pelatihan.
Untuk melihat keberhasilan pelatihan tersebut dilakukan penelitian status kesehatan
pengguna herbisida dengan bahan aktif paraquat dibandingkan dengan petani bukan
pengguna paraquat. Kedua kelompok pengguna dan bukan pengguna paraquat masingmasing 50 orang diusahakan dari kelompok usia yang sama, demikian juga kebiasaan
merokok serta tingkat pendidikan yang hampir sama.
Karena keracunan paraquat tidak menunjukkan gejala yang spesifik, pemeriksaan
pengaruh herbisida ini dilihat melalui antara lain: kesehatan umum, tingkat anemia,
tekanan darah, Hb, Foto toraks untuk mengetahui terjadinya fibrosis, fungsi hati
(SGOT, SGPT, alkalifosfatase, bilirubin) serta fungsi ginjal (ureum dan kreatinin).
Status kesehatan kelompok pengguna herbisida dan bukan pengguna herbisida
tidak berbeda bermakna.
Kata kunci: Herbisida, Paraquat.
PENDAHULUAN
Penggunaan herbisida untuk mengendalikan gulma pertanian atau perkebunan dapat meningkatkan hasil pertanian;
salah satu bahan aktif herbisida yang digunakan secara luas
adalah paraquat. Senyawa ini berupa racun kontak yang sangat
aktif pada bagian tanaman yang hijau. Paraquat tidak bekerja
sistemik jadi tidak merusak perakaran, struktur tanah dan tidak
Tidak Pernah
Jumlah
12
50
24
100
Sebagian besar petani (76%) pernah mengikuti penyuluhan tentang pengolahan herbisida dengan bahan aktif paraquat
(Tabel 1).
Tabel 2. Frekuensi penyemprotan dalam bulan/tahun
Lama
1 2 bulan
3 4 bulan
5 6 bulan
7 8 bulan
Tidak mengisi
Jumlah
1 4 hari
5 8 hari
9 12 hari
13 16 hari
> 16 hari
Tidak mengisi
Jumlah
50
Lama
100
Ikhwal
n
38
Sampel
n
Jumlah sampel
%
76
Kelompok Umur
Kontrol
%
15 35 tahun
> 35 tahun
18
32
36
64
17
33
34
66
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
49
1
98
2
49
1
98
2
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
4
30
9
6
1
8
60
18
12
2
3
31
9
6
1
6
62
18
12
2
Pekerjaanselain petani
Tidak ada
Pedagang
Pegawai negeri
Pensiun
Lain-lain
37
2
11
74
4
22
37
2
11
74
4
22
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Sampel
n
%
Kontrol
n
%
Merokok
Tidak merokok
45
5
90
10
44
6
88
12
Minum alkohol
Tidak minum alkohol
11
39
22
79
12
38
74
76
3
29
18
-
60
58
36
-
3
1
25
17
4
60
2
50
34
8
2
48
-
4
96
-
46
4
92
8
44
6
88
12
43
7
86
14
33
66
41
82
17
34
18
Pemeriksaan
Sampel
n
%
50
47
50
48
1
47
46
2
2
100
94
100
96
2
94
92
4
4
Pemeriksaan
Ikhwal
100
82
98
98
98
88
6
4
Sampel
Kontrol
11 18,4
4.100 15.500
3,1 6,1
144 416
0 9,9
8,8 18,1
4.450 10.200
2,9 6,1
200 500
3 8,1
No.
50
41
49
49
49
44
3
2
Kontrol
n
%
SGOT (u/l)
SGPT (u/l)
Alkali fosfatase (u/l)
Bilirubin total (mg%)
Bilirubin direk (mg%)
Bilirubin indirek (mg%)
Sampel
Kontrol
23 61
9 43
61 216
0,32 1,2
0,12 0,46
0,22 0,88
14 106
8 46
68 156
0,37 1,6
0,10 0,50
0,20 1,09
Sampel
Kontrol
18 57
0,11 1,5
10 46
0,48 1,47
PEMBAHASAN
Pada masing-masing kelompok sampel dan kontrol hanya
ada 1 orang perempuan. Tingkat pendidikan terakhir yang terbanyak adalah Sekolah Dasar (sampel 60% dan kontrol 62%).
Sebagian besar petani tidak mempunyai pekerjaan lain (sampel
dan kontrol masing-masing 74%). Kedua kelompok mempunyai kebiasaan merokok yang hampir sama (kelompok
sampel 90% dan kelompok kontrol 88% perokok); demikian
juga kebiasaan minum beralkohol, kelompok sampel 78% dan
kelompok kontrol 76% tidak minum minuman beralkohol.
Dari uraian di atas terlihat bahwa kedua kelompok ini
homogen. Kebiasaan lain yang berhubungan dengan kesehatan pada kedua kelompok seperti tempat penyimpanan, tempat
membersihkan alat semprot, melakukan pengenceran, kebiasaan mandi setelah menyemprot dan pencucian pakaian
kerja hampir sama (Tabel 6). Karena kelompok sampel adalah
petani perkebunan kopi dan kelompok kontrol sebagian besar
adalah petani padi, perbedaan hanya terdapat pada pestisida
yang digunakan. Kelompok sampel mengguna-kan herbisida
dengan bahan aktif paraquat di samping pesti-sida lain, sedangCermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 51
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
PENDAHULUAN
Tenaga kerja merupakan kelompok individu yang terlibat
dalam kegiatan kerja dan mengharapkan imbalan dalam bentuk
upah kerja. Di Indonesia ketentuan tentang lama kerja yang
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah adalah 8 jam sehari
atau 40 jam dalam seminggu.
Pemajanan terhadap tenaga kerja beserta lingkungan
kerjanya secara terus-menerus akan merupakan beban fisik dan
psikologis bagi tenaga kerja yang akhirnya menyebabkan
penyakit akibat kerja.(1,2)
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per. 01/Men/1981
mengenai kewajiban melapor penyakit akibat kerja, mengatur
bahwa terdapat 30 jenis penyakit akibat kerja yang berhubungan dengan bahan kimia termasuk benzen dan homolognya
yang beracun.
Beberapa peraturan penunjang lainnya yang berhubungan
dengan kesehatan kerja adalah :
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No: Per. 02/Men/1980
tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No: Per. 03/Men/1982
tentang Pelayanan Kesehatan Kerja.
Makalah ini menguraikan risiko pemajanan benzen terhadap pekerja dan cara pemantauannya secara biologis.
Di negara maju seperti Amerika OSHA (Occupational
Safety and Health Administration) mengawasi penyakit akibat
kerja ini secara ketat, termasuk keracunan akibat pemajanan
bahan kimia.
Perkembangan yang pesat dalam sampling udara, ditambah dengan fakta bahwa benzen meracuni darah (hematotoksik), maka nilai ambang batas benzen ditekan terus
menerus.(5,6,7)
Dalam hal nilai ambang batas, masing-masing negara
belum seragam; misalnya, di Jerman 8 ppm, Australia,
Denmark, Finlandia, Jepang, Belanda, dan Amerika menetapkan 10 ppm., sedangkan Swedia menetapkan 5 ppm. Di
Indonesia sesuai dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja
Nomor SE 01/Men/1997 nilai ambang batas untuk benzen
adalah 10 ppm.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1) Benzen = benzol, cyclohexatriene, phenyl hydride, coal
napthta.(4)
2) Sifat Fisika dan Kimia
Benzen merupakan senyawa hidrokarbon aromatik dengan
rantai tertutup tidak jenuh, rumus kimia C6H6. Dalam keadaan
normal merupakan cairan tak berwarna, jernih(1,2,4,8,10,11), berbau khas dan mudah terbakar.(4,8,11)
Titik didih 80,1C, titik cair 5,5 C.(4)
Indeks bias 1,5011, larut dalam 1430 bagian air, dapat
campur dengan asam asetat glasial, aseton, etanol, eter,
karbondisulfida, karbon tetraklorida, kloroform dan minyak.(4)
Benzen termasuk bahan pelarut yang baik, secara kimia
cukup stabil; tetapi mudah mengalami reaksi substitusi menjadi bentuk halogen, nitrat dan derivat alkil.(11)
3) Tancampurkan (incompatibility)
Campuran benzen dengan bromipentafluorida, klorintrifluorida, klorin, oksigen (cair), ozon, perklorat, perklorilfluorida, aluminium klorida, permanganat, asam sulfat, perak
perklorat atau natrium peroksida dapat menimbulkan api dan
ledakan. Sedangkan campuran benzen dengan anhidrida
kromat, nitril perklorat atau natrium peroksida dapat menimbulkan nyala(4)
4) Penggunaan
Senyawa benzen dan hidrokarbon aromatik lainnya secara
luas digunakan sebagai bahan bakar, bahan pelarut, bahan
tambahan. Karena sifatnya yang cepat kering, maka benzen
digunakan secara luas dalam industri perekat dan pernis.
Selain itu benzen juga digunakan sebagai bahan antara
dalam pembuatan stirena, fenol, sikloheksana, dan zat organik
lain; pembuatan deterjen, pestisida, zat warna, linoleum, pelarut lilin, resin, penghapus cat, dan lain-lain. Benzen juga
merupakan bahan penting dalam penerbangan dan motor serta
penyiapan produk farmasi.(1,2,4,8,11,12)
5) Sumber
Benzen dapat ditemukan dalam asap rokok sekitar 47-64
ppm tergantung jenis rokoknya. Selain itu ditemukan dalam air
hujan meskipun konsentrasinya rendah antara 0,1-0,5 ug/l.
Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 53
sumsum tulang.
Otopsi menunjukkan adanya tanda-tanda perdarahan di
otak, perikardium, saluran kemih, membran mukosa dan
kulit.(3,7,11)
7) Pemaparan benzen kronis
Pemaparan benzen kronis secara inhalasi pada manusia
dengan kadar rendah menyebabkan gejala psikologis. Gejala
tersebut dipengaruhi oleh variasi individu, antara lain keadaan
gizi, faktor genetik, keadaan imunologis tertentu, dan penggunaan alkohol atau obat-obatan.
Tanda-tanda yang dihubungkan dengan pemaparan benzen
kronis secara inhalasi berupa sakit kepala, pusing, kelelahan,
anoreksia. dispnea, gangguan penglihatan, pucat, vertigo dan
hilang kesadaran.(3,7,11)
Pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan beberapa
pengaruh seperti hiperbilirubinemi, splenomegali, adrenomegali, anemia hemolitik, anemia aplastik, gangguan sistim
limfatik, retikulositosis, leukopeni, pansitopeni, eosinofili,
basofili, trombositopeni, monositosis, hiperplasi sumsum
tulang dan penyimpangan kromosom.(3,4,5,8,11)
Pengaruh pemaparan kronis melalui inhalasi mempunyai
tiga tingkatan, ialah :
Pemaparan konsentrasi rendah, menghasilkan perubahan
sangat sedikit, hampir tidak jelas pada sistem hemopoetik.
Pemaparan konsentrasi sedang akan mempengaruhi sintesis enzim tertentu, sensitisasi dan anemia.
Pemaparan konsentrasi tinggi dapat menimbulkan gangguan sel darah yang irreversibel.(3,4,11)
a) Pengaruh fisiologis
Tenaga kerja yang terpapar kadar rendah secara kronis,
menunjukkan tanda-tanda gangguan susunan saraf pusat(4,11),
dan gangguan pandangan.(11)
Pengaruh utama keracunan benzen kronis adalah terhadap
susunan saraf pusat yang mungkin tidak dapat segera dikenali
karena gejalanya tidak spesifik seperti sakit kepala, anoreksia,
vertigo, dan sebagainya.
Sedangkan konsentrasi yang sangat tinggi menyebabkan
sensitisasi jantung terhadap katekolamin dengan gejala denyut
nadi cepat, sakit kepala, muntah, kehilangan kesadaran.(11)
Pada penelitian terakhir ternyata benzen menurunkan
tekanan darah arteri dan perifer. Gejala ini akan hilang bila
pemaparan dihentikan.(3,4,11)
b) Pengaruh pada kulit
Pemaparan benzen pada kulit akan mengakibatkan kulit
menjadi peka (dermal sensitizer).
Pemaparan jangka lama dapat menimbulkan luka bakar.
Bila kulit terkena benzen terus menerus, maka lemak kulit
akan hilang, menyebabkan eritema, kulit bersisik dan kering.
Pada beberapa kasus terjadi pembentukan vesikula, dan
papula.(2,4,11)
c) Pengaruh hematologis
Pengaruh benzen terhadap sistem hemopoetik telah lama
diketahui; gejalanya dapat dibagi atas tiga golongan sebagai
berikut :
Tingkat awal
Pada tingkat awal dapat terjadi gangguan pembekuan
darah yang disebabkan oleh perubahan fungsi, morfologi dan
DISKUSI
Banyak peneliti mengatakan bahwa pemaparan benzen
dapat menyebabkan kerusakan sistem hemopoetik. Namun
sampai saat ini penelitian epidemiologis terhadap gejala yang
ditimbulkan hasilnya belum memuaskan.
Program pengawasan medis telah diketahui secara umum,
namun belum ada prosedur pemantauan yang baku, sehingga
hasilnya sulit ditafsirkan.
Kesulitan penafsiran dalam pemantauan dapat dilihat,
misalnya dalam hal :
Pemantauan kadar benzen dalam darah hanya menunjukkan adanya pemaparan pada saat itu.
Kasus makroeritrositosis selain diakibatkan oleh pemaparan benzen juga diakibatkan oleh defisiensi asam folat,
vitamin B12, penggunaan alkohol berlebihan, dan penyakit
hati.
Dalarn hal penentuan nilai ambang batas masih terdapat
perbedaan antar negara, namun ada kecenderungan untuk
menurunkan kadar ambangnya.
KESIMPULAN
Risiko pemaparan benzen terhadap pekerja di lingkungan
kerja perlu diperhatikan dan dipikirkan cara penanggulangannya.
Dalam hal pemantauan biologis, perlu keseragaman
metode agar hasil yang diperoleh mudah ditafsirkan.
SARAN
Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja berhubungan
dengan benzen untuk mendapatkan data dasar dan seterusnya
dilakukan pemeriksaan berkala.
Penggunaan alat pelindung diri yang tepat..
Adanya laboratorium rujukan mengingat benzen dalam
darah hilang relatif cepat.
KEPUSTAKAAN
Dreisbach RH. Handbook of Poisoning. 10th ed. Lange Med Publ, 1980.
Proctor NH. Chemical Hazard of the Work Place, Philadelphia, Toronto:
JB Lippincott Co, 1980.
3.
Goldfrauh. Toxicologic Emergencies 5thed. Norwalk, Connecticutt. 1994.
4.
Panduan Bahan Berbahaya 1A Edisi I. Departemen Kesehatan RI. 1985.
5.
Goldstein BD Biological and ambient monitoring of benzene in the
workplace. J Occup. Med, 1986.
6.
Tsai SP, Wen CP, et al. Restropective mortality and medical surveillance
studies of works in areas of refineries. J Occup. Med, 1983
7.
Buraena. S . Pemantauan biologis dan lingkungan akibat benzene. Maj
Kes Mas Indon. 1990.
8.
Helinberg B. Benzene : Standards, occurence and exposure. Ind Med,
1985
9.
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE 01/Men/1997 tentang
Nilai Ambang Batas. Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja.
Departemen Tenaga Kerja.
10. Sumamur PK Keselamatan Kerja & Pencegahan Kecelakaan. PT
Gunung Agung Jakarta, 1995
11. Cavender Finis Aromatic Hydrocarbons. Dalam: Clayton GD, Clayton
FE. Pattys Industrial Hygiene and Toxicology, 4th ed. Vol II Part B
Toxicology. John Wiley & Sons Inc. New York / Chichester / Brisbane /
Toronto / Singapore, 1993
12. Budiman F . Pengamanan Risiko Bahan Kimia pada Pemaparan dalam
Penggunaan. Training Course on Health Risk Assessment. 1990.
1.
2.
Produk Baru
Kaltrofen gel
Komposisi
Tiap gram gel mengandung ketoprofen 0,025 g.
Farmakologi
Ketoprofen merupakan anti-inflamasi non-steroid (AINS)
dengan daya analgesik, anti inflamasi.
Hanya sebagian kecil ketoprofen diserap pada pemakaian
topikal.
Indikasi
Trauma ringan, terutama yang disebabkan oleh cedera sewaktu
berolah raga, terkilir, tendinitis, kontusio tendon dan otot,
pembengkakan, dan nyeri pascatrauma.
Dosis dan Cara Pemakaian
Oleskan 2 - 3 kali sehari pada daerah yang nyeri atau
meradang, lakukan pijatan lembut dan lama untuk menjamin
penetrasi gel. Lama pemberian maksimal 7 hari. Sebaiknya
tidak digunakan pada anak-anak karena belum terbukti keamanannya.
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap AINS, pasien yang menderita atau
mempunyai riwayat asma bronkial atau alergi.
Infeksi kulit, eksem atau luka terbuka, dan dermatitis
eksudatif.
Ketoprofen jelly sebaiknya tidak digunakan pada pasien
yang mempunyai reaksi alergi berupa asma, rinitis atau
urtikaria yang disebabkan asetosal dan AINS yang lain.
Efek Samping
Reaksi kulit seperti pruritus dan eritema lokal, terutama
bila terpapar sinar matahari atau sinar ultraviolet. Sebaiknya
penderita menghindari paparan sinar matahari selama
pengobatan dengan Kaltrofen gel.
Pemakaian jangka panjang dapat menimbulkan reaksi
hipersensitif.
Walaupun pada penggunaan topikal jarang terjadi,
beberapa efek samping dilaporkan pada penggunaan sistemik;
efek samping minor yang bersifat sementara, antara lain
gangguan pencernaan seperti dispepsia, mual, konstipasi, diare,
nyeri ulu hati dan beberapa gangguan pencernaan lainnya. Efek
lain yang jarang terjadi antara lain nyeri kepala, pusing,
bingung, vertigo, mengantuk, udem, perubahan emosi dan
gangguan tidur. Efek samping utama yang jarang terjadi
adalah: ulkus peptikum dan perdarahan. Reaksi hematologi
termasuk trombositopeni, gangguan hati atau ginjal, reaksi
pada kulit, bronkospasme dan reaksi anafilaksis sangat jarang
terjadi.
Peringatan dan Perhatian
Jangan digunakan pada selaput lendir atau mata.
Hati-hati penggunaannya pada pasien dengan riwayat atau
sedang mengalami perdarahan saluran cerna aktif, tukak
lambung, penyakit radang pada saluran cerna atau gangguan
ginjal berat meskipun efek sistemiknya minimal.
Wanita hamil atau menyusui : Kaltrofen gel sebaiknya
tidak digunakan pada wanita hamil dan menyusui.
Sebaiknya tidak digunakan pada anak-anak di bawah 12
tahun kecuali atas petunjuk dokter.
Segera hentikan pemakaian jika terjadi kemerahan pada
kulit setelah pemakaian.
Seperti obat-obat AINS lainnya, ketoprofen tidak menyembuhkan penyakitnya.
Interaksi Obat
Belum pernah dilaporkan adanya interaksi antara Kaltrofen
gel dengan obat lain; namun dianjurkan untuk melakukan pengawasan pada pasien yang mendapat pengobatan kumarin.
Kemasan
Jelly : Tube 30 g, No. Reg. DKL 0111631828A1
Marketing Office:
PT. KALBE FARMA Tbk
Gedung Enseval, Jl. Letjend. Suprapto, Jakarta 10510
PO Box 3105 JAK, Jakarta Indonesia
Tlp.: (021) 428 73888-89, Fax. : (021) 428 73680
Website : http://www.kalbe.co.id
Hotline service (bebas pulsa): 0-800-123-0-123, Senin Jumat (07.00-15.30)
Kegiatan Ilmiah
57
59
Kapsul
BELLS PALSY
Apa sebenarnya Bells palsy
Bells palsy merupakan kelumpuhan (relatif) mendadak otot-otot wajah sesisi; dapat mencemaskan karena umumnya terjadi tanpa gejala pendahuluan dan menyebabkan wajah miring/mencong;
sehingga dikacaukan dengan gejala gangguan peredaran darah otak (stroke).
Berbeda dari Gangguan Peredaran Darah Otak, kelumpuhan wajah sesisi ini tidak dibarengi
dengan kelumpuhan anggota badan/tubuh lainnya.
Apa penyebabnya
Bells palsy disebabkan oleh pembengkakan n. facialis sesisi; akibatnya pasokan darah ke saraf
tersebut terhenti, menyebabkan kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls/rangsangnya terganggu; akibatnya perintah otak untuk menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat diteruskan.
Kausanya tidak diketahui, umumnya dianggap akibat infeksi semacam virus herpes simpleks;
virus tersebut dapat dormant (tidur) selama beberapa tahun, dan akan aktif jika yang bersangkutan
terkena stres fisik ataupun psikik.
Sekalipun demikian Bells palsy tidak menular.
Apa gejalanya
Otot-otot wajah satu sisi lumpuh sehingga wajah menjadi miring/mencong, kelopak mata tidak
dapat menutup sehingga bola mata akan berair terus-menerus, sebaliknya akan kering di malam hari
(jika tidur).
Kesulitan berbicara dapat terjadi akibat mulut/bibir yang tertarik ke satu sisi. Kadang-kadang
kemampuan mengecap/merasa juga terganggu dan suara-suara terdengar lebih keras di satu sisi yang
terkena.
Siapa yang rentan terhadap Bells palsy
Umumnya mengenai remaja usia 20-an dan lanjut usia setelah 60 tahun.
Wanita hamil, penderita diabetes melitus dan pasca flu juga lebih berisiko.
Bagaimana pengobatannya
Kebanyakan akan pulih tanpa pengobatan dalam 2 minggu; tetapi umumnya digunakan
kortikosteroid seperti prednison dan antivirus seperti asiklovir dalam 2 3 hari pertama; pengobatan
dini dengan cara ini memperbaiki prognosis sampai 20%.
Kira-kira 70% sembuh dalam beberapa bulan, 15% masih merasa sedikit kelemahan.
Pada kira-kira 10 20% pasien, Bells palsy dapat terulang.
brw
61
ABSTRAK
RISIKO DEMENSIA
Silent brain infarct area infark
yang terlihat pada CT scan dan/atau
MRI sering ditemukan secara kebetulan, terutama di kalangan lanjut
usia. Suatu penelitian di Belanda bertujuan mencari hubungan antara adanya
silent brain infarct dengan terjadinya
demensia di kemudian hari pada 1015
orang sehat berusia 60-90 tahun
mereka menjalani uji psikoneurologik
dan MRI pada tahun 1995-1996 dan
diulang pada 1999-2000.
Selama 3697 person-years (rata-rata
per orang 3,6 tahun), 30 di antara 1015
peserta di atas menunjukkan gejala
demensia; dan ternyata adanya gambaran silent brain infarct meningkatkan
risiko demensia hazard ratio 2,26
(95%CI: 1,09 4,70), juga dikaitkan
dengan lebih buruknya hasil uji psikoneurologik dan penurunan fungsi kognitif global yang lebih cepat. Infark
talamus tanpa gejala (silent) dikaitkan
dengan penurunan daya ingat, sedangkan infark non talamik tanpa gejala
dengan ketrampilan psikomotor; jika
dipilah lebih lanjut, penurunan kognitif
hanya ditemukan pada kelompok yang
menderita infark tambahan selama
periode follow up.
Para peneliti menyimpulkan bahwa
orang tua dengan silent brain infarct
lebih berisiko menderita demensia dan
penurunan fungsi kognitif yang lebih
cepat.
N. Engl. J. Med. 2003; 348: 1215-22
brw
brw
CANDESARTAN
Pengamatan atas 20 pasien hemodialisis kronis menunjukkan bahwa
keadaan steady-state candesartan dua
kali lebih tinggi jika dibandingkan
dengan orang normal; oleh karena itu
penggunaannya pada pasien gagal
ginjal harus dititrasi lebih cermat.
brw
brw
brw
ABSTRAK
TERAPI SULIH HORMON
Womens Health Initiative merupakan studi longitudinal yang melibatkan
16 608 wanita berusia 50 79 tahun
postmenopause dengan intact uterus
selama sedikitnya 3 tahun. Mereka
mendapat conjugated equine estrogen
0.625 mg + 2.5 mg medroksiprogesteron/hari,atau plasebo.
Setelah periode follow up 5,2
tahun, panitia pemantau manganjurkan
penghentian penggunaan hormon karena peningkatan risikonya melebihi
potensi manfaatnya.
Terapi hormon tersebut dikaitkan
dengan peningkatan risiko penyakit
jantung koroner (hazard ratio 1,24;
95%CI: 1.00-1.54) 95%CI setelah
penyesuaian: 0,97-1,60). Peningkatan
risiko ini terutama dalam 1 tahun pertama (hazard ratio: 1,81; 95%CI: 1,093,01). Meskipun wanita yang mendapat
terapi hormon juga tingkat LDLnya
lebih tinggi, peningkatan biomarker
lain tidak mempengaruhi risiko penyakit jantung koroner tersebut secara
bermakna.
N. Engl. J. Med. 2003; 349: 523-34
brw
ESTROGEN
DAN
ATEROSKLEROSIS
Laporan penelitian lain juga menyimpulkan bahwa terapi estrogen atau
kombinasi estrogen-progesteron tidak
memperlambat proses aterosklerosis.
Para peneliti di AS melakukan
penelitian atas 226 wanita postmenopause (usia rata-rata 63,5 tahun) yang
mempunyai sedikitnya satu lesi koroner. Mereka dibagi atas grup kontrol,
grup estrogen yang mendapat 17betaestradiol 1 mg dan grup estrogenprogestin yang mendapat 1 mg 17betaestradiol + 5 mg medroksiprogesteron
asetat.
Setelah 3,3 tahun, perubahan keadaan stenosis koroner di kalangan
kontrol sebesar 1,89 0,78% dibandingkan dengan kelompok estrogen
sebesar 2,18 0,76% dan di kelompok
brw
PROGNOSIS PASIEN ICU
Studi yang dilakukan atas 851
pasien ICU di 15 rumahsakit di AS
menunjukkan bahwa 539 (63,3%)
dapat lepas dari ventilator, 146 (17,2%)
meninggal saat masih menggunakan
ventilator dan 166 (19,5%) lainnya
dilepas dari ventilator.
Di antara yang dilepas dari ventilator
tersebut, 160 (96,4%) meninggal di
rumahsakit, termasuk 145 (87,3%)
yang meninggal di ICU; hanya 6
(3,6%) yang bisa keluar dari rumahsakit.
Faktor yang menentukan pelepasan
ventilator tersebut ialah persepsi
dokter terhadap keinginan pasien,
ramalan dokternya terhadap kemungkinan survival, ramalan dokternya
terhadap status kognitifnya dan faktor
penggunaan obat inotropik dan vasopresor. Faktor usia dan perburukan
fungsi organ ternyata bukan faktor
penentu pada penelitian ini.
N. Engl. J. Med. 2003; 349 : 1123-32
brw
TERAPI OSTEOPOROSIS UNTUK
PRIA
Selama ini terapi osteoporosis
terutama diberikan pada wanita; para
peneliti di Boston, AS memberikan
brw
PENURUN DEMAM
Studi perbandingan pada 252 anak
berusia 6 bulan 14 tahun yang menderita demam dilakukan untuk membandingkan efektivitas ibuprofen 10
mg/kgbb. oral, nimesulid 2.5 mg/kgbb
oral dan dipiron 10 mg/kgbb. im.
Semua cara tersebut efektif menurunkan demam dalam 2 jam pengamatan; paling efektif adalah dipiron
im (p=0.0036).
Clin. Drug Invest. 2003; 23(8) : 519-26
Brw
63
Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
b) Cetirizin
c) Terfenadin
d) Siproheptadin
e) Efedrin
Keracunan organofosfat dapat dideteksi melalui pengukuran :
a) Hemoglobin
b) Aktivitas kolinesterase
c) SGOT/ SGPT
d) Ureum - kreatinin
e) Asetilkholin
Pajanan akut terhadap benzen, terbaik diketahui melalui
pengukuran/pemeriksaan :
a) Hemoglobin
b) Hitung trombosit
c) SGOT/ SGPT
d) Urine lengkap
e) Fenol dalam urine
Paraquat bersifat :
a) Insektisida
b) Herbisida
c) Rodentisida
d) Exfoliativa
e) Fungisida