Anda di halaman 1dari 65

2004

http. www.kalbe.co.id/cdk
International Standard Serial Number: 0125 913X

Daftar isi :
142. Alergi

2. Editorial
4. English Summary
Artikel
5.
8.
11.
15.
19.
22.
27.
31.

Alergi Merupakan Penyakit Sistemik Iris Rengganis


Alergi dan Imunologi pada Penyakit Akibat Kerja Karnen Baratawidjaja
Alergi Lateks pada Pekerja Kesehatan Teguh Harjono Karjadi
Perbaikan Kualitas Hidup pada Karyawan Penderita Alergi Samsuridjal
Djauzi, Teguh Harjono Karjadi
Peranan Antihistamin pada Inflamasi Alergi Iris Rengganis
United Airway Diseases apakah itu ? Heru Sundaru
Penatalaksanaan LES pada Berbagai Target Organ Nanang Sukmana
Keterlibatan Paru dan Pleura pada SLE Zuljasri Albar

35. Populasi Mesocyclops aspericornis pada Pengendalian Jentik Aedes


aegypti Menggunakan Metode Simulasi Kandang Nyamuk RA Yuniarti,
Umi Widyastuti
38. Uji Efikasi Formulasi Cair (Liquid) Bacillus thuringiensis H-14 Galur
Lokal pada Berbagai Fermentasi terhadap Jentik Nyamuk Vektor di
Laboratorium Blondine Ch.P, Damar Tri Boewono
42. Uji Efikasi Insektisida Abate 500 EC secara Pengabutan terhadap Nyamuk
Aedes aegypti Hasan Boesri, Damar Tri Boewono, Hadi Suwasono
Keterangan Gambar Sampul :
Sel mast mengeluarkan faktor kemotaktik dan
spasmogenik; spasmogen langsung menyebabkan bronkokonstriksi dan mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil,
edema dan migrasi sel, sedangkan faktor kemotaktik menyebabkan akumulasi granulosit, eosinofil, basofil, makrofag dan trombosit; sel-sel ini
memproduksi molekul-molekul inflamasi yang
selanjutnya menghasilkan respons lambat dan
reaksi inflamasi kronik seperti terlihat pada
asma.
Faktor lain yang berkontribusi antara lain hipersekresi bronkus (M), hipertrofi otot polos (SM)
dan infiltrasi seluler (CI).

46. Tingkat Aktivitas Kholinesterase, Pengetahuan dan Cara Pengelolaan


Pestisida pada Petani/Buruh Penyemprot Apel di Desa Gubuk Klakah,
Jawa Timur Sri Sugihati Slamet, Nimah Bawahab
49. Status Kesehatan Petani Perkebunan Rakyat Pengguna Paraquat
Dibandingkan dengan Petani bukan Pengguna Paraquat di Lampung
Selatan Janahar Murad, D. Mutiatikum, SR. Muktiningsih
53. Risiko Pemajanan Benzen terhadap Pekerja dan Cara Pemantauan Biologis
Satmoko Wisaksono
56.
57.
60.
61.
62.
64.

Produk Baru
Kegiatan Ilmiah
Internet untuk Dokter
Kapsul
Abstrak
RPPIK

EDITORIAL
Alergi semua orang, bahkan awampun pasti pernah mendengar
istilah ini tetapi meskipun demikian, masalah sebenarnya cukup
kompleks karena berhubungan dengan reaksi tubuh terhadap zat/benda
yang dianggap asing; dan gejalanya dapat bermanifestasi di berbagai
organ/sistem tubuh; oleh karena itu ada yang menganggap alergi
merupakan penyakit sistemik seperti pada artikel pembuka Cermin
Dunia Kedokteran edisi ini.
Artikel lain membahas alergi dari berbagai sudut, dan juga mengenai
pengobatannya.
Artikel tambahan berkaitan dengan masalah keracunan, terutama
insektisida, ditampilkan bersama beberapa makalah mengenai upaya
pemberantasan vektor penyakit malaria dan demam berdarah.
Semoga rangkaian artikel ini dapat menambah wawasan Sejawat
sekalian,
Selamat Tahun Baru 2004

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

2004

International Standard Serial Number: 0125 913X

KETUA PENGARAH
Prof. Dr Oen L.H. MSc

PEMIMPIN UMUM
Dr. Erik Tapan

REDAKSI KEHORMATAN

Staf Ahli Menteri Kesehatan,


Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.

KETUA PENYUNTING
Dr. Budi Riyanto W.

PELAKSANA

Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang.

Sriwidodo WS.

Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno


SKM, MScD, PhD.

TATA USAHA

Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Indonesia, Jakarta

Dodi Sumarna

Prof. Dr. R. Budhi Darmojo

Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort


Laboratorium Ortodonti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti,
Jakarta

ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval,
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta
10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. (021)4208171
E-mail : cdk@kalbe.co.id
Website : http://www.kalbe.co.id/cdk

NOMOR IJIN

DEWAN REDAKSI

151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma

DR. Arini Setiawati


Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta

Dr. B. Setiawan Ph.D

Prof. Dr.
Zahir MSc.

Sjahbanar

Soebianto

PENCETAK
PT Temprint

http://www.kalbe.co.id/cdk
PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai


aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut.
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus
untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau
dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus
disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para
pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan
abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri
abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam
bentuk disket program MS Word. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap,
disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/
skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan
tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan

urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila
terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to
Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).
Contoh:
1. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore.
London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.
3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. l990; 64: 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau
lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung
Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O.
Box 3117 Jakarta. Tlp. (021) 4208171. E-mail : redaksiCDK@yahoo.com
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan Cermin
instansi/lembaga/bagian
Dunia Kedokteran No. 142, 2004
tempat kerja si penulis.

English Summary
POPULATION
DENSITIES
OF
MESOCYCLOPS ASPERICORNIS IN
RELA-TION TO AEDES AEGYPTI
LARVAL CONTROL; CAGE SIMULATION STU-DIES

THE EFFICACY OF LIQUID FORMULATION LOCAL STRAIN OF BACILLUS


THURINGIENSIS H-14 AT VARIOUS
CONCENTRATION AGAINST MOSQUITOES LARVAE VECTOR IN
LABORATORIUM

RA Yuniarti, Umi Widyastuti


Vector Reservoir Control Research
Unit, National Institute of Health
Research and Development, Department of Health Republic of Indonesia,
Salatiga, Indonesia

A study was conducted to


determine the increase of population densites of Mesocyclops
aspericornis in relation to Aedes
aegypti growth, during larval control. The study was conducted
using a cage simulation approach. To stimulate possible field
interactions between M. aspericornis and Ae. aegypti, two Ae.
aegypti breeding colonies (one
of which was inoculated with M.
aspericornis) were set up for a 12week observation period. The
following were recorded weekly :
immature, adult mosquito numbers and adult copepods. In the
treated plastic jars the M. aspericornis population increased exponentially in response to the
abundant Ae. aegypti larvae,
within 3 weeks. Alter that period the
population density of Ae. aegypti
larvae in the treated jar decreased
to zero within 7 weeks. In the absence of newly emerging Ae.
aegypti adults, the adult population in the treated cage decreased to zero within 12 weeks. Survival
rate of M. aspercornis was 2,5-3
months in the plastic jars containing 2 liters of water with food
source.
Cermin Dunia Kedokt. 2004; 142: 35-7

ray, uwi

Blondine ChP, Damar Tri Boewono


Vector Reservoir Control Research
Unit, National Institute of Health
Research and Development, Department of Health Republic of Indonesia,
Salatiga, Indonesia

Bacillus thuringiensis H-14


which is also called Bt H-14 is a
specific target bioinsecticide
against insects. It is safe to
mammals and doesnt cause
environmental pollution. An efficacy test of the liquid formulation local strain of Bacillus
thuringiensis H-14 fermented at 18
hours, 20 hours, 22 hours, 24 hours
and 25 hours was conducted.
The aim of this study was to
investigate the efficacy of
liquid formulation local strain of
B. thuringiensis H-14 at various
fermentation against the third
instar larvae of Anopheles
aconitus and Culex quinquefasciatus. The results showed,
Total Viable Cell (TVC) and Total
Viable Spore Count (TVSC) liquid
formulation local strain of B.
thuringiensis H-14 at 18 hours, 20
hours, 22 hours, 24 hours and 25
hours were 4,5x 07 cells/ml and
10,9x10 7 spores/ml; 5,5x10 8
cells/ml and 8,6x108 spores/ml;
10,2x108 cells/ml and 9,0x108
spores/ml; 10,0x108 cells/ml and
12,8x108
spores/ml;
9,2x108
cells/ml and 11,2x108 spores/ml
respectively. The concentration of
liquid formulation local strain of B.
thuringiensis H-14 for controlling
50% and 90% the third instar An.
aconitus larvae at 18 hours, 20

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

hours, 22 hours, 24 hours and 25


hours fermentation were 0,016
ml/l (LC50), 0,082 ml/1 (LC90);
0,009 ml/1 (LC50), 0,058 ml/1
(LC90); 0,008 ml/1 (LC50), 0,021
ml/1 (LC90);0,002 ml/1 (LC50), 0,008
ml/1 (LC90) and 0,005 ml/1 (LC50),
0,021 ml/1 (LC90) after exposure
for 24 hours respectively. At 48
hours of exposure these were
0,012 ml/1 (LC50), 0,078 ml/1
(LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,011
ml/1 (LC90); 0,005 ml/1 (LC50),
0,016 ml/1 (LC90);0,001 ml/1 (LC50),
0,004 ml/1 (LC90); and 0,001 ml/1
(LC50), 0,012 ml/1 (LC90) respectively. The efficacy test of liquid
formulation local strain of B.
thuringiensis H-14 against the third
instar Cx. quinquefasciatus larvae
of 50% and 90% at 18 hours, 20
hours, 22 hours, 24 hours and 25
hours fermentation were 0,002
ml/l (LC50), 0,008 mm (LC90);
0,002 ml/1 (LC50), 0,009 ml/1
(LC90); 0,002 ml/1 (LC50), 0,013
ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50),
0,002 ml/1 (LC90); and 0,001 ml/1
(LC50), 0,002 ml/1 (LC90) respectively. The smaller concentration
of liquid formulation local strain
of B. thuringiensis H-14 controlled 50% and 90% third instar
An. aconitus and Cx. quinquefasciatus larvae at 24 hours
fermentation respectively. The
liquid formulation local strain of B.
thuringiensis H-14 is effective for
controlling mosquitoes larvae.
Cermin Dunia Kedokt. 2004; 142: 38-41

bcp, dtb

Bersambung ke halaman 7.

Artikel
OPINI

Alergi Merupakan Penyakit Sistemik


Iris Rengganis
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Alergi dapat merupakan gangguan hipersensitivitas lokal
atau sistemik. Kulit dan saluran napas adalah organ yang paling
sering terpajan alergen dan terlibat dalam penyakit alergi.
Reaksi alergi dapat juga terjadi di jaringan vaskular, traktus
gastrointestinal, atau organ lain. Anafilaksis merupakan bentuk
reaksi alergi sistemik yang paling berbahaya.
Reaksi alergi yang kompleks dapat digambarkan sebagai
berikut: reaksi diawali dengan pajanan terhadap alergen yang
ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC), dipecah menjadi peptida-peptida kecil, diikat molekul HLA (MHC II),
bergerak ke permukaan sel dan dipresentasikan ke sel Th-2 (gb.
1). Sel Th-2 diaktifkan dan memproduksi sitokin-sitokin antara
lain IL-4 dan IL-13 yang memacu switching produksi IgG ke
IgE oleh sel B, terjadi sensitisasi sel mast dan basofil, sedangkan IL-5 mengaktifkan eosinofil yang merupakan sel inflamasi
utama dalam reaksi alergi. Selain itu sel residen juga melepas
mediator dan sitokin yang juga menimbulkan gejala alergi.1-3

Gambar 1. Reaksi alergi tipe 1


Dikutip dari Holgate ST. Allergy. Mosby, Times Mirror International Publ.
Ltd. 1995:1.1.
Dibacakan pada Simposium PIN II PERALMUNI, 21-22 Juni 2003, Hotel
Sahid Jaya, Jakarta

INFLAMASI ALERGI MERUPAKAN PENYAKIT SISTEMIK


Studi epidemiologi secara konsisten menunjukkan bahwa
asma dan rinitis alergi sering ditemukan bersamaan pada satu
penderita, sehingga dianggap merupakan satu penyakit saluran
napas. Inflamasi mukosa nasal dan bronkus berperan dalam
patogenesis asma dan rinitis. Baik saluran napas atas maupun
bawah menunjukkan gambaran infiltrasi sel inflamasi yang
sama, melibatkan sel Th2, sel mast, basofil, eosinofil, IgE,
mediator kimia seperti histamin, leukotrien dan molekul adhesi,
sitokin seperti IL-4, -5, -13, RANTES, GM-CSF. Antara gen
dan lingkungan terjadi sinergi dan lingkungan menentukan
ekspresi penyakit alergi.4-7
Studi patofisiologi menyokong adanya hubungan erat
antara rinitis dan asma, meskipun ada perbedaannya. Saluran
napas atas dan bawah diduga dipengaruhi oleh suatu proses
inflamasi yang serupa, yang mungkin dapat menetap dan diperberat oleh mekanisme yang saling berhubungan ini. Penyakit
alergi dapat bersifat sistemik. Provokasi bronkial menyebabkan
inflamasi nasal dan provokasi nasal menyebabkan inflamasi
bronkial. Saat menentukan diagnosis rinitis atau asma, baik
saluran napas bawah dan atas sebaiknya dievaluasi.4
Inflamasi alergi melibatkan sumsum tulang dan proses
sistemik yang berperan dalam mempertahankan gejala dan
penyakit. Peran potensial signal saluran napas - sumsum tulang
diinduksi oleh alergen. Sumsum tulang merupakan sumber
inflamasi kronis yang memberikan persediaan sel-sel efektor
matang.8 Meskipun alergi makanan hanya berawal dari pajanan
mukosa saluran cerna terhadap makanan, manifestasi alergi
biasanya terjadi di luar saluran cerna dengan gejala yang dapat
mengenai berbagai organ.9
Dermatitis alergi terlihat pada anak di bawah usia 5 tahun
dan sekitar 80% anak-anak tersebut akan menderita rinitis
alergi atau asma. Sensitisasi kulit terhadap alergen dapat memacu sel Th2 untuk memproduksi IL-4, IL-5, aktivasi sel mast,
eosinofil dan sel B untuk memproduksi IgE. Derajat berat

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

dermatitis alergi dapat mempengaruhi perjalanan alergi saluran


napas.10,11
Patofisiologi penyakit alergi melibatkan pengerahan berbagai sel efektor dari sirkulasi, rangsangan sumsum tulang/
sistemik. Reaksi alergi yang sistemik menunjukkan respons di
berbagai organ seperti saluran napas atas dan bawah, kulit dan
saluran cerna. Oleh karena itu terapi harus diarahkan terhadap
manifestasi lokal dan sistemik.12
HISTAMIN
Efek histamin adalah pada organ sasaran, direk atau
indirek terhadap aktivasi berbagai sel inflamasi dan sel efektor
yang berperan pada penyakit alergi. Reseptor histamin ditemukan pada sel basofil, sel mast, neutrofil, eosinofil, limfosit,
makrofag, sel epitel dan endotel. Oleh karena itu histamin diduga berperan dalam modulasi sel-sel tersebut.13
Sel-sel yang berperan pada patofisiologi alergi seperti
sudah diketahui adalah sel APC, sel T, sel B, sel mast dan
basofil. Oleh karena itu sasaran terapi dapat ditujukan terhadap
sel-sel tersebut atau mengubah molekul adhesi dan kemoatraktan serta mencegah terjadinya ikatan histamin yang dilepas pada inflamasi dan reseptornya di organ sasaran.14
Antihistamin sebagai Antiinflamasi
Histamin disimpan dalam granul sitoplasma basofil dan sel
mast. Histamin berperan dalam fase cepat yang memodulasi
respons vaskular dan saluran napas melalui reseptornya yang
juga ditemukan pada sel-sel inflamasi/ jaringan. Jadi peran
histamin tidak hanya terbatas pada fase dini saja, tetapi juga
pada fase kronis. Antihistamin inhibitor berkompetisi pada
reseptor histamin. Penghambat reseptor H1 digunakan pada
terapi alergi yang diperantai IgE. Obat-obat tersebut telah tersedia, tetapi penggunaan generasi antihistamin pertama (klorfeniramin, bromfeniramin, difenhidramin, klemastin, hidroksizin) terbatas, karena adanya efek samping sedasi primer dan
menyebabkan keringnya membran mukosa. Kontroversi penggunaan antihistamin (AH) pada asma di waktu yang lalu disebabkan karena AH lama mempunyai efek sedasi, antikolinergik dan antiserotonergik. Dengan adanya AH generasi
kedua dan ketiga, banyak peneliti yang menelaah ulang efek
AH terhadap asma. Antihistamin generasi kedua (loratadin,
cetirizin) dan ketiga (feksofenadin, desloratadin) bekerja menghambat reseptor histamin H1, di samping efek antiinflamasi.
Azelastin merupakan preparat antihistamin topikal yang digunakan secara intranasal yang tidak menunjukkan efek
samping sistemik. Terapi antihistamin generasi kedua dan
ketiga berguna pada penderita rinitis alergi yang juga menderita
asma. Hal tersebut diduga oleh karena ekspresi ICAM-1 yang
dicegah antihistamin sehingga infiltrasi eosinofil ke jaringan
juga dicegah (gambar 2). Pemberian antihistamin intramuskular atau intravena dalam pengobatan anafilaksis sistemik
hanya efektif terhadap gejala kulit dan gastrointestinal, tetapi
tidak efektif pada vaskular yang kolaps atau obstruksi jalan
napas.1, 14
Inflamasi Persisten Minimal
Inflamasi Persisten Minimal (IPM) dapat didefinisikan sebagai suatu proses inflamasi yang selalu terjadi pada setiap
6

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

subyek yang terpajan alergen walaupun tanpa gejala. Dengan


kata lain, senantiasa harus disadari adanya inflamasi kronis
pada asma dan rinitis, walaupun pada fase klinis laten. Konsep
ini merupakan hal yang paling penting, sehinga proses inflamasi harus tetap diterapi walaupun tidak disertai gejala. ICAM1 yang merupakan petanda inflamasi diekspresikan di epitel /
endotel konjungtiva subyek yang sensitif terhadap tepung sari,
baik pada musim semi ataupun bukan dan pada subyek yang
sensitif terhadap tungau debu rumah. Suatu penelitian menemukan adanya hubungan antara ICAM-1 dan inflamasi persisten
minimal, dan ICAM-1 secara konsisten terdeteksi pada penderita tanpa gejala yang secara kontinyu terpajan tungau debu
rumah dan alergen alamiah lainnya. 15

Gambar 2. Eosinofil dan ICAM-1


Dikutip dari Holgate ST. Allergy 2nd ed. Elsevier Science Ltd. 2002:291.

KESIMPULAN
Alergi merupakan reaksi sistemik yang melibatkan berbagai komponen sistem imun seperti sel-sel inflamasi, mediator, sitokin, sel endotel, epitel dan molekul adhesi. Inflamasi
melibatkan pengerahan berbagai sel inflamasi dari sirkulasi ke
jaringan yang dimungkinkan oleh peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM-1.Berbagai antihistamin generasi kedua dan ketiga dapat menghambat ekspresi ICAM-1 yang
merupakan petanda inflamasi sehingga dapat mencegah influks
eosinofil ke jaringan dan terjadinya inflamasi.

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kishiyama JL, Adelman DC. Gangguan Alergi dan Imunologi.


Dalam: Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam, Buku 2..
Penerbit Salemba Medika 2003. Hal. 165-174
Fireman P. The mechanisms of allergic inflammation. The Allergy
and Asthma Report. AAAAI Meeting, March 1999.
Schleimer RP. Introduction: Systemic Aspects of Allergic Disease.
JACI 2000; 106: A191.
Bousquet J., Cauwenberge P. Allergy Rhinitis and Its Impact on
Asthma Initiative. 2001; 3-8.
Leynaett B, Neukirch F, Damoly P. Epidemiological evidence for
asthma and rhinitis comorbodity. JACI 2000; 106: S201-5.
Barnas KC. Evidence for common genetic elements in allergic
disease. JACI 2000; 106: S192-S200.

7.

United Airways Disease. Resources for Health Professionals.


http://www.worldallergy.org/professional/allergy.
8.
Inman MD. Bone marrow events in animal models of allergic
inflamma-tion and hypersensitiveness. JACI 2000; 106: S235-S241.
9.
Sicherer S. Determinants of systemic manifestations of food allergy.
JACI 2000; 106: S251-7
10. Beck LA, Leung DYM. Allergen sensitization through the skin
induces systemic allergic responses. JACI 2000; 106: S258-63.
11. Bochner BS. Systemic activation of basophils and eosinophils :
Markers and consequences. JACI 2000; 106: A292-S302.

12. Bachert C. The role of histamine in allergic diseases: re-appraisal of


its inflammatory potential. Allergy 2002; 57: 287-296.
13. Marshall GD. Therapeutic options in allergic diseases:
Antihistamines as anti allergic agents. JACI 2000; 106: S302-9.
14. Marone G. New Insights into the Inflammatory Responses. ACAAI
Meeting November 16-20, 2001, Orlando, USA.
15. Canonica PW. Ciprandi G, Pesce GP, Buscaglia S, Paoliere F,
Bagnasco M. ICAM-1 on epithelial cells in allergic subjects: a
hallmark of allergic inflammation. Int Arch Allerg Immunol 1995;
107: 99-102.

English Summary
Sambungan dari halaman 4

EFFICACY TEST OF ABATE 500EC FOGGING ON AEDES AEGYPTI LARVAE


Hasan Boesri, Damar Tri Boewono, Hadi Soewasono
Vector Reservoir Control Research Unit, National Institute of Health Research and
Development, Department of Health, Republic of Indonesia, Salatiga, Indonesia

A trial of Abate 500 EC was conducted in the morning using thermal


residual fogging in Salatiga municipality in 1998. The Air Bioassay test for
all insecticides tested showed that on observation in the laboratory,
spraying dis-tance of 2 meter result in 100 % mortality of Aedes aegypti,
after 24 doses of 60 ml/ha, 100 ml/ha, 120 ml/ha, 240 ml/ha and Icon 25
EC dose of 75 ml/ha.
Cermin Dunia Kedokt. 2004; 142: 42-5

hbi, dtb, hso

Better alone than in bad company

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

IKHTISAR

Alergi dan Imunologi


pada Penyakit Akibat Kerja
Karnen Baratawidjaja
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakulas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Kemajuan dalam bidang industri sampai sekarang telah
menghasilkan sekitar 70.000 jenis bahan berupa logam, kimia,
pelarut, plastik, karet, pestisida, gas, dan sebagainya yang digunakan secara umum dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan kenyaman dan kemudahan bagi penduduk di seluruh
dunia. Namun di lain pihak, bahan-bahan tersebut menimbulkan berbagai dampak seperti cedera dan penyakit. Cedera
akibat kerja dapat bersifat ergonomik, ortopedik, fisik, mengenai mata, telinga dan lainnya. Penyakit-penyakit akibat
pajanan di lingkungan kerja dapat berupa toksik, infeksi,
kanker, gangguan hati, saraf, alat reproduksi, kardiovaskular,
kulit dan saluran napas.1-6
Biological dan chemical terrorism yang mulai banyak
dikhawatirkan ditujukan untuk menimbulkan kematian atau
penyakit pada manusia, hewan dan tanaman dengan menggunakan bahan seperti anthrax, cacar, virus ensefalitis yang dikeringkan dan dijadikan bubuk sehingga mudah disebarkan.4

PENYAKIT AKIBAT KERJA


Penyakit pertama yang diduga merupakan Penyakit Akibat
Kerja (PAK) adalah silikosis yang sudah terjadi pada masa
manusia membuat peralatan dari batu api.1
Pengetahuan mengenai PAK masih terbatas karena sulitnya melakukan studi epidemiologi; hal ini disebabkan berbagai
hal seperti definisi PAK yang belum jelas, praktek higiene
industri dan cara-cara laporan yang berbeda, tidak ada studi
kontrol, tidak mungkin menentukan gejala minimal, banyak
karyawan tidak melapor dan sudah meninggalkan tempat kerja
sewaktu penelitian dilakukan sehingga hanya ditemukan
survivor population. Hal tersebut terlihat dari sedikitnya laporan PAK di Indonesia. PAK tersering adalah yang mengenai
saluran napas yaitu asma dan rinitis. PAK imunologik lain
yaitu pneumonitis hipersensitif yang mengenai paru dan PAK
yang mengenai kulit.6
Dibacakan pada Simposium Occupational Diseases, Allergy Clinical Immunology, Millennium Sirih Hotel, Jakarta, 22-23 Februari 2003

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Asma Akibat Kerja


Asma Akibat Kerja (AAK) ditandai dengan obstruksi
saluran napas yang variabel dan bronkus hiperesponsif yang
disebabkan oleh inflamasi bronkial akut dan kronis. Hal tersebut bermula dari inhalasi debu, uap, gas yang diproduksi atau
digunakan karyawan atau secara tidak sengaja ditemukan
dalam lingkungan kerja. Ciri dari semua asma kronis adalah
iritabilitas berlebihan terhadap berbagai rangsangan/faktor
dalam lingkungan kerja.2,6
Asma yang timbul dalam lingkungan kerja dibedakan
dalam dua kategori. Pertama adalah asma yang disebabkan
bahan/faktor dalam lingkungan kerja dan kedua asma yang
sudah ada sebelum bekerja dan dipicu (eksaserbasi) oleh bahan/
faktor dalam lingkungan kerja.5 Pada karyawan yang sudah
menderita asma sebelum bekerja, 15% akan memburuk akibat
pajanan terhadap bahan/ faktor dalam lingkungan kerja.6
Reactive Airways Dysfunction Syndrome
Reactive Airways Dysfunction Syndrome (RADS) atau
irritant induced asthma adalah reaksi non-imunologik serupa
asma yang terjadi setelah satu kali pajanan terhadap kadar
iritan (Toluen Diisosianat/TDI, klorin, fosgen) yang tinggi.
Hipereaktivitas bronkus dapat menetap sedikitnya satu tahun
pasca pajanan tersebut. Pajanan terhadap iritan kadar rendah
untuk jangka waktu yang lama dapat juga menimbulkan reaksi
serupa.7,8
Dewasa ini, sekitar 250 bahan dalam lingkungan kerja
sudah diketahui dapat menimbulkan asma. Bahan-bahan dengan berat molekul tinggi (HMW seperti bahan asal hewan,
tanaman seperti tepung, kopi, soya) biasanya menginduksi
sintesis IgE dan memicu reaksi asma alergi tipe I. Bahan
dengan berat molekul rendah (LMW) seperti TDI, Trimellitic
Anhydride/TMA, platina, nickel merupakan hapten yang berikatan dengan protein pembawa asal tubuh yang dapat memacu
sintesis IgE. Bahan HMW berhubungan, sedang bahan LMW
tidak berhubungan dengan atopi. HMW biasanya menimbulkan

reaksi dini dan lambat, sedangkan LMW reaksi lambat terisolasi. 1,5,8
Bisinosis
Bisinosis adalah gejala saluran napas serupa asma dalam
berbagai derajat yang disebabkan oleh pajanan terhadap serat
kapas. Oleh karena gejala awal bisinosis terjadi pada hari kerja
pertama yang biasanya hari Senin, bisinosis disebut juga
Monday morning fever atau Monday moning chest tightness
atau Monday morning asthma. Bisinosis lebih sering ditemukan pada karyawan pemintalan yang terpajan debu kapas kadar
tinggi dibanding karyawan pertenunan.9
DIAGNOSIS ASMA AKIBAT KERJA
Untuk menegakkan diagnosis AAK, perlu diketahui riwayat atopi, penilaian pajanan, imunologi (molekular dan selular), foto paru dan fisiologi seperti hipereaktivitas bronkus,
fungsi paru serial, uji inhalasi spesifik yang merupakan gold
standard.2, 7,10
Pneumonitis hipersensitif
Pneumonitis hipersensitif (PH) adalah penyakit parenkim
paru akibat pajanan dan sensitisasi terhadap berbagai debu
organik, misalnya produk bakteri, jamur dan protein asal tanaman. Diisosianat yang digunakan dalam produksi poliuretan,
busa, plastik dapat pula menimbulkan PH. Reaksi yang terjadi
pada PH dewasa ini dianggap sebagai campuran reaksi Tipe III
dan Tipe IV.5
Rinitis akibat kerja
Dapat berupa alergi atau non-alergi. Pada umumnya,
bahan-bahan yang menimbulkan AAK juga dapat menimbulkan Rinitis Alergi Akibat Kerja (RAAK).2 Seperti halnya
dengan asma, rinitis dapat sudah diderita karyawan sebelum
bekerja dan eksaserbasinya dipacu oleh bahan di lingkungan
kerja.11 Pada orang atopi, lateks dapat menimbulkan reaksi Tipe
I seperti AAK dan atau RAAK dan urtikaria, atau reaksi Tipe
IV (mercaptobenzotiazol, thiuram), berupa dermatitis kontak.10,12,13,14
Berbagai iritan di lingkungan kerja dapat merangsang
membran mukosa nasal dan menimbulkan rinitis iritan nonalergi dengan gejala iritasi yang predominan. Adanya perbaikan waktu malam, akhir minggu, dan libur menunjang diagnosis
rinitis oleh iritan. Lingkungan kerja dengan perubahan suhu
yang cepat atau gerakan udara berlebihan dapat merupakan
faktor fisik yang relevan dalam timbulnya rinitis vasomotor.11
Di samping itu, bau-bauan seperti wewangian, asap rokok,
pewangi ruangan dan lainnya dapat pula menimbulkan eksaserbasi rinitis. Bahan korosif dapat merusak sistem olfaktorius
dan menimbulkan obstruksi dan post-nasal drip yang permanen.10
Dermatitis dan urtikaria akibat kerja
Penyakit kulit akibat kerja dapat berupa dermatitis dan
urtikaria. Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua PAK,
terbanyak bersifat nonalergi atau iritan. Sekitar 90.000 jenis
bahan sudah diketahui dapat menimbulkan dermatitis.15

Dermatitis kontak alergi dapat terjadi bila bahan LMW


seperti lateks dan nickel, sebagai hapten berikatan dengan
protein pembawa di kulit dan menimbulkan dermatitis kontak
alergi Tipe IV. Urtikaria dapat terjadi akibat kontak dengan
bahan dalam lingkungan kerja yang menimbulkan urtikaria
alergi Tipe I (lateks) atau urtikaria nonalergi. Faktor fisik lingkungan kerja seperti tekanan, panas, dingin dan lainnya dapat
juga menimbulkan urtikaria nonalergi (urtikaria fisik).16
Penanganan PAK
Penanganan PAK harus dilakukan secara obyektif dan
ditekankan pada lingkungan kerja. Menghindari pajanan bahan
penyebab merupakan cara terbaik, namun tidak selalu mudah.
Keluar dari tempat kerja tidak selalu menghasilkan remisi gejala. Penggunaan alat proteksi harus dilembagakan. Di samping
itu penanganan farmakologik dapat merupakan cara yang
sangat efektif.2,7,10
Pre-employment testing
Pemeriksaan alergi sebelum bekerja tidak dianjurkan pada
karyawan tanpa asma karena hasil tes kulit positif terhadap
bahan HMW dalam masyarakat cukup tinggi. Jalan keluarnya
ialah menasehatkan bahwa bila kelak terjadi sensitisasi terhadap bahan lingkungan kerja, akan dapat menjadi alasan
untuk dipindahkan dari tempat pekerjaannya.8
KESIMPULAN
Berbagai bahan/faktor dalam lingkungan kerja dapat menimbulkan dampak berupa cedera dan PAK. PAK alergi yang
ditemukan terbanyak mengenai saluran napas (AAK dan
RAAK). Bahan/faktor lingkungan kerja dapat memicu terjadinya asma/rinitis atau menimbulkan eksaserbasi asma/rinitis
yang sudah ada. AAK dan RAAK dapat pula terjadi melalui
mekanisme nonalergi-imunologi atau iritan. Pada umumnya
bahan HMW menimbulkan reaksi Tipe I dan hanya beberapa
bahan jenis LMW sebagai hapten mengikat protein pembawa
asal tubuh yang dapat menginduksi produksi IgE. Penyakit
alergi-imun tersering kedua adalah PAK yang mengenai kulit
berupa dermatitis kontak dan urtikaria kontak yang dapat ditimbulkan baik oleh faktor alergi, maupun nonalergi.
Penelitian mengenai PAK di Indonesia masih perlu ditingkatkan.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.

4.
5.

LaDou J. The practice in occupational disease. Dalam: LaDou (ed).


Occupational and Environmental Medicine. Lange Medical Books/
McGraw-Hill. NY 1997: 1-5
Shames RS, Adelman DC. Clinical Immunology. Dalam: LaDou
(ed). Occupational and Environmental Medicine. Lange Medical
Books/ McGraw-Hill. NY 1997: 180-203.
Rempell DM, Janowitz IL. Ergonomics & the prevention of
occupational injuries. Dalam: LaDou (ed). Occupational and
Environmental Medicine. Lange Medical Books/McGraw-Hill. NY
1997: 41-63.
Franz DR. Biologic and Chemical Terrorism. Dalam: Bowler RM,
Cone JE (eds). Occupational Medicine Secrets. Hanley & Belfus,
Inc. Philadelphia. 1999:147-150.
Balmes JR, Scanell CH. Occupational Lung Diseases. Dalam:
LaDou (ed). Occupational and Environmental Medicine. Lange
Medical Books/ McGraw-Hill. NY 1997: 305-27

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

6.

Bardana EJ. Occupational Asthma. Dalam: Slavin RG, Reisman RE


(eds). Asthma. ACP, Philadelphia 2002:173-90.
7.
Quirce S. Evaluation of workers with suspected occupational
allergy. AAAAI Meeting, March, NY 2002.
8.
Beckett WS. Occupational Asthma. Dalam: Bowler RM, Cone JE
(eds). Occupational Medicine Secrets. Hanley & Belfus, Inc.
Philadelphia. 1999: 189-92.
9.
Baratawidjaja KG. Bisinosis dan hubungannya dengan obstruksi
kronis. Tesis, 1989.
10. Puchner TC, Fink JN. Occupational Allergy. Dalam: Lasley MV,
Altman LC (eds). Immunol. Allerg. Clin. N. Am. Rhinitis. May
2000: 303-22.
11. Shusterman D. Upper respiratory tract disorders. Dalam: LaDou
(ed). Occupational and Environmental Medicine. Lange Medical
Books/ McGraw-Hill. NY 1997: 291-304.

12. Orfan N, Reed R, Dykkewicz M et al. Occupational asthma in a


latex doll manufacturing plant. JACI 1994; 94:826-30.
13. Carillo T, Blanco C, Quiralte J et al. Prevalence of latex allergy
among greenhouse workers. JACI 1995 ; 96: 699-701.
14. Baratawidjaja KG, Sukmana N, Baratawidjaja IR, Darwis A, Jusuf
L, Hendrata AP. A study of latex hypersensitivity among latex
glove workers, 5th West-Pacific Allergy Symposium-7th KoreaJapan Joint Allergy Symposium, Monduzzi (ed.). International
Proceedings Division, June 1997.
15. Adams MR. Occupational Skin Disorders. Dalam: LaDou (ed).
Occupa-tional and Environmental Medicine. Lange Medical
Books/McGraw-Hill. NY 1997: 272-90.
16. Hein R. Chronic urticaria: impact of allergic inflammation. Allergy
2002; 57 (S 75): 19-24.

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE FEBRUARI MEI 2004


Bulan

Tanggal
6-8

16-19
Februari
24-28

Kegiatan Ilmiah
21st Century Challenge to Improve Professionalism
& Quality of Anesthesia Services in Indonesia
International Course on Metabolic and Clinical
Nutrition 2004
The 13th ASMIHA : Advances in Cardiovascular
Medicine : From Bench to Bedside and Beyond
PIT Feto-Maternal

25-26

5-7

Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (KPPIK
FKUI 2004)
Simposium 'Controversies in Internal Medicine'

Maret
6-7

5th Jakarta Antimicrobial Update (JADE) 2004


1-2
The Fourth Congress of Asian Pacific Society of
Atherosclerosis and Vascular Diseases
Mei

6-9
4th Jakarta Nephrology Hypertension (JNHC)
28-30

Tempat dan Sekretariat


Hotel Gran Melia, Jakarta
Telp : 021-391 2526, 31907069
Fax : 021-31907069
Email : idsai@centrin.net.id
Hotel Acacia, Jakarta
Telp : 021-3106737
Fax : 021-3106443
Email: cme_fkui@yahoo.com
Discovery Kartika Plaza Hotel, Bali
Telp : 021-568 4093 ext. 3508, 0361- 223 190
ext. 15, 0361-257 518
Fax : 021-560 8239, 0361-257 518
Hotel Gran Melia, Jakarta
Telp : 021-392 8721
Fax : 021-391 5041
Hotel Borobudur Jakarta
Telp : 021-3106737
Fax : 021-3106443
Email: cme_fkui@yahoo.com
Hotel Sahid Jaya, Jakarta
Telp : 021-31903775
Fax : 021-31903776
Email: pipinfo@indosat.net.id
Website: www.interna.fk.ui.ac.id
Hotel Borobudur, Jakarta
Telp : 021-3908157, 3925491
Fax : 021-3929106
E-mail: tropik@indosat.net.id
Bali International Convention Centre
Telp : 62-21-570 5800 ext. 423/ 421
Fax : 62-21-570 5798
E-mail : secretariat@apsavd2004.org
Situs : http://www.apsavd2004.org
Hotel Borobudur, Jakarta
Telp : 021-314 9208
Fax : 021-315 5551
Email : inasn@link.net.id, pernefri@cbn.net.id,
jnhc@cbn.net.id

Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbe.co.id/calendar>>Complete

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

PRAKTIS

Alergi Lateks
pada Pekerja Kesehatan
Teguh Harjono Karjadi
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Lateks adalah produk yang dibuat dari bahan karet. Karet
didapat dari getah pohon Hevea brasiliensis yang berasal dari
hutan Amazon di negara Brazil. Lateks merupakan bahan
utama beberapa produk seperti sarung tangan, kateter urin,
tensimeter, karet spuit, peralatan gigi, kondom, berbagai alat
rumah tangga,dan lain-lain.
Alergi terhadap bahan lateks dilaporkan pertama kali pada
tahun 1927 di Jerman berupa urtikaria akibat pemakaian dental
prosthesis. Pada tahun 1980 seiring dengan ditemukannya
AIDS dan penyakit infeksi virus lainnya, maka diperkenalkan
universal precaution, yang menyebabkan penggunaan sarung
tangan lateks meningkat pesat, dan disertai pula dengan peningkatan prevalensi alergi terhadap lateks.1,2,3,4
Sebagai gambaran, kebutuhan sarung tangan lateks di
Amerika mencapai 20 miliar pasang selama 1999. Kebutuhan
yang demikian banyak dapat meningkatkan kemungkinan
sensitisasi/alergi lateks pada masyarakat terutama yang bekerja
di bidang kesehatan. Selama ini yang tersering adalah
dermatitis kontak; tetapi antara 1988-1992 di Amerika Serikat
tercatat 1000 kasus reaksi sistemik (reaksi hipersensitivitas
tipe I / IgE) yang berhubungan dengan alergi lateks, 15 kasus di
antaranya fatal.4,5
PREVALENSI
Telah banyak penelitian mengenai alergi lateks di luar
negeri, prevalensi sensitisasi lateks pada petugas/pekerja kesehatan 6,9%-30%.6-11 Di Indonesia telah dilakukan beberapa
penelitian sensitisasi pada pekerja produk lateks dengan prevalensi 3,13 6,3%.12,13
Prevalensi sensitisasi pada masyarakat umum 0,8-6,4%,
tertinggi pada masyarakat yang sering kontak dengan lateks
seperti donor darah. Pada pasien yang sering mengalami operasi prevalensi sensitisasi 11,5%, pasien spina bifida prevalensi
mencapai 35-64,5%; pada pasien hemodialisis prevalensi senDibacakan pada acara Simposium Occupational Diseases & Allergy-Clinical
Immunology, Hotel Millennium Sirih, 22-23 Februari 2003.

sitisasi 14,6%.1,14
Atopi merupakan faktor predisposisi terpenting terjadinya
sensitisasi lateks; pada suatu penelitian, 61% petugas kesehatan
yang positif terhadap sensitisasi lateks merupakan individu
atopi; demikian pula pada pasien spina bifida terlihat gambaran
yang hampir sama.1,9,15
Penelitian oleh Sub Bagian Alergi-Imunologi Klinik
RSCM-FKUI pada 6 rumah sakit di Jakarta dengan metode
potong lintang (cross sectional), menggunakan kuesioner dan
tes prick atas 600 perawat dan 277 petugas administrasi mendapatkan :
1. Sensitisasi pada 34 orang perawat (5,8%) dan 4 orang
petugas administrasi (1,4%).
2. Klinis yang dihubungkan dengan paparan lateks pada
perawat :
a. Rinitis 81 orang (14%)
b. Dermatitis kontak 21 orang (3,6%)
c. Urtikaria 47 orang (8,1%)
d. Batuk-batuk 21 orang (3,6%)
e. Konjungtivitis 27 orang (4,6%)
f. Sesak 15 orang (2,5%)
3. Atopi :
a. 196 (34%) perawat atopi, 21 orang (3,6%) di antaranya
dengan tes prick positif (+).
b. 381 (66%) perawat non atopi, 14 orang (2,3%) di antaranya dengan tes prick positif (+).
c. Bila kedua kelompok tersebut dibandingkan maka terdapat
perbedaan bermakna (p=0,008).
Antigen lateks
Getah karet alam (natural rubber latex) merupakan gabungan partikel yang mengandung 35% cis 1,4 polysoprene
(karet), 55-60% air, 5-10% bahan lain (protein, karbohidrat,
resin, dan lain-lain) berasal dari pohon Hevea brasiliensis.
Protein yang terdapat dalam getah karet antara 1-1,8% tergantung dari tempat tumbuh, spesies, tempat penyemaian, saat
Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 11

ini telah terdeteksi sebanyak 200 jenis; telah diketahui beberapa protein yang menyebabkan reaksi alergi (tabel 1).1,16,17
Selain protein, getah karet mengandung lipid, karbohidrat,
kalium, magnesium, seng, mangan, tembaga, besi.
Sebagian besar protein alergen yang terdeteksi di dalam
karet alam juga terdeteksi pada produk barang jadi lateks,
kadang-kadang dalam keadaan terurai atau bergabung dengan
protein lain sewaktu pengolahan. Selain menambah alergen,
pemrosesan (klorinisasi, enzim pencernaan, pemanasan) juga
dapat mengurai protein alergen menjadi nonalergenik. Dalam
sarung tangan non-ammoniated didapat 240 polipeptida,
hanya 25% dari peptida tersebut yang bereaksi dengan IgE
pasien yang alergi terhadap lateks.3,16
Table 1. Latex allergens and their characteristics
Allergen
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.
Hev.

b1
b2
b3
b4
b5
b01
b02
b03
b7
b8
b9
b10

Subcellular localization
Large rubber particles
Lutoids
Small rubber particles
Lutoids
Cytoplasm
Lutoids
Lutoids
Lutoids
Cytoplasm
Cytoplasm
Cytoplasm
Mitochondria

Antigen lateks pada sarung tangan dapat menyebabkan


reaksi alergi sistemik melalui paparan langsung pada kulit maupun penyebaran melalui udara yang diperkirakan terbawa oleh
bedak/talk yang ada pada sarung tangan, menyebabkan rinitis,
asma bronkial, reaksi anafilaktik.18,19,20
Getah karet diolah menjadi bahan baku lateks melalui
proses:
1)
Pengawetan di lapangan. Getah karet yang terkumpul
di-beri amoniak (proses ini menentukan kekuatan lateks).
2)
Penampungan di tangki, bertujuan untuk mendapatkan
lateks yang homogen.
3)
Pengendapan. Lateks diendapkan 24 jam agar terjadi
gumpalan (endapan) kompleks fosfor, amoniak dan magnesium. Proses ini bertujuan untuk meminimalkan magnesium
sehingga pada proses sentrifugasi tercapai stabilitas.
4)
Sentrifugasi. Untuk mendapatkan endapan karet
dengan kadar 61-63%.
5)
Homogenisasi. Cream karet yang didapat dari
sentrifugasi dicampur dalam tangki besar, terjadi
homogenisasi.
6)
Pengecekan ulang stabilizer dan penyimpanan.
Setelah proses ini bahan lateks akan diproses lebih lanjut menjadi barang jadi lateks.1,16
PATOFISIOLOGI
Klinis alergi lateks terbanyak adalah reaksi hipersensitivitas tipe I dan sebagian lagi tipe IV (disebabkan oleh zat
penambah dalam pemrosesan lateks menjadi bahan jadi).
Tipe I
12 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Alergen/lateks masuk ke dalam tubuh akan ditangkap oleh


makrofag yang bertindak sebagai APC, setelah diproses maka
antigen akan dipresentasikan ke sel limfosit Th2 melalui ikatan
MHC klas II, selanjutnya sel T akan merangsang sel B untuk
membentuk IgE dan akan terikat pada sel mast, basofil,
eosinofil. Apabila terdapat paparan ulang maka antigen akan
diikat oleh IgE sehingga sel mast/basofil/eosinofil pecah mengeluarkan mediator yang menyebabkan timbulnya keluhan
asma, rinokonjungtivitis, urtikaria, reaksi anafilaksis.
Tipe IV
Alergen lateks setelah kontak dengan kulit akan merusak
sel langerhans yang menyebabkan sel tersebut matang serta
berubah fungsi sebagai APC, akan membawa antigen lateks ke
kelenjar limfe untuk dipresentasikan ke sel ThI melalui ikatan
MHC klas II. Ikatan ini akan mengeluarkan berbagai sitokin
antara lain IL-2, IFN, MAF/MIF yang menyebabkan :
1) Sel T akan berproliferasi dan teraktivasi.
2) Makrofag akan teraktivasi.
3) Sel keratinosit dirangsang untuk mengekspresikan MHC II
dan ICAM -1.
Hal tersebut di atas menyebabkan terjadinya inflamasi di
kulit.21,22
Sensitisasi dan jalan masuk alergen
Dari awal kontak dengan alergen lateks sampai timbulnya
gejala klinis diperkirakan membutuhkan waktu 3 bulan - 20
tahun. Kontak dengan alergen terjadi di mukosa (mulut, vagina,
uretra, rektum), dermis, parenteral yang kemudian menyebabkan gejala klinis. Masuknya alergen melalui dermis dan
saluran napas, menyebabkan reaksi sistemik yang lebih ringan
daripada masuknya alergen melalui mukosa dan parenteral;
kematian akibat reaksi alergi sistemik yang disebabkan lateks
yang tercatat oleh FDA sebagian besar karena balon pada
pemeriksaan barium enema. Hubungan antara sensitisasi dan
HLA didapat pada HLAOR4 dan DQ8.3,23,24,25
GEJALA KLINIS
Respon klinis alergi tipe I (cepat) terjadi setelah 15 menit
sampai 2 jam pasca paparan alergen, berbeda dengan alergi
obat yang memerlukan waktu beberapa menit setelah terpapar.
Klinis yang terjadi :
1. Kutaneus
: pruritus, eritema, rash tak spesifik, urtikaria
2. Mata
: konjungtivitis, angioedema
3. Hidung
: rinitis
4. Bronkus
: edema faring, bronkospasme, takipnoe
5. Gastrointestinal : kram perut, mual, muntah, edema usus
(bowel).
6. Kardiovaskular : takikardi, hipotensi, shock, kematian
Respon klinis alergi tipe IV (dermatitis kontak) terjadi 48 72 jam setelah alergen kontak dengan kulit. Kelainan kulit/
dermatitis akan menjadi kronis bila paparan kontak alergen
berlangsung lama dan berangsur-angsur hilang bila kontak
dihentikan. Reaksi hipersensitif ini disebabkan oleh bahan
kimia aditif dan akselerator (thiuram, karbamat, amines dan
benzotiazol) pada proses pembuatan sarung tangan.
Yang tersering menyebabkan reaksi alergi pada petugas

kesehatan adalah pemakaian sarung tangan dan barang karet


(seperti kateter, dll) saat melakukan tindakan dan pemeriksaan
kesehatan.1,2,4,26
Reaksi silang
Alergi lateks mempunyai reaksi silang secara serologis dan
klinis dengan buah-buahan seperti advokat, pisang, kiwi,
pepaya, kentang, tomat.
Epitop antigen di karet yang bereaksi silang dengan buahbuahan dapat dilihat dalam tabel 2. 1,16,27
DIAGNOSIS
Dimulai dengan anamnesis tentang paparan dan hubungannya dengan klinis, lama kerja, frekuensi pemaparan, riwayat
pembedahan (riwayat reaksi alergi pada operasi sebelumnya),
riwayat alergi buah-buahan, riwayat penyakit alergi, keluarga
atopi.
Pemeriksaan fisik sesuai dengan klinis yang timbul.
Pemeriksaan tambahan patch test, skin test (prick test,
intradermal test), tes provokasi (menggunakan sarung tangan,
jari atau paparan inhalasi) atau IgE spesifik (RAST) 1,4,16

KESIMPULAN
1) Alergi lateks akan lebih sering dijumpai di kalangan
pekerja kesehatan.
2) Diagnosis alergi lateks ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan tambahan (tes prick, tes
patch, IgE, dan lain-lain).
3) Atopi, lama kerja, frekuensi kontak, merupakan faktor
predisposisi terjadinya alergi lateks.
4) Pencegahan berupa penghindaran kontak dengan lateks

pada individu yang mempunyai riwayat alergi terhadap barang


lateks (balon, karet gelang, kondom, dan lain-lain) atau mempunyai riwayat alergi terhadap buah-buahan.
Table 2.

Hevea proteins sharing epitopes with structural homologies


similar to protein from other sources

Allergen
Hev b 1
Hev b 2
Hev b 3
Hev b 5

Protein from Other Sources


Papain (5 identical trimers and 2 identical tetramers)
Endo-1,3 -glucanases (N. tabacum, tomato, potato)
47% sequence homology with P.ev b 1
Kiwi, bulkwheat and potato acidic proteins (e.g.
kiwi fruit pKIWI501 protein and potato stolon tip
protein)
Wheat germ agglutinin, ragweed, lectins (barley,
rice), class I endochitinases (avocado, banana,
chestnut) (PRP3 family)
Pathogenesis-related proteins (win I, win 2 in
potato, CPB20 and PRP4 in tobacco; Gly m in
soybean, DRP Zea mays), metalloproteinase from
Bacillus subtilis
Patatin (Solanaceae: potato (Sol t 1), tomato,
tobacco
Tree, grass and weed pollen, banana, etc.
Enolase of Ricinus communis (Euphorbiaceae) and
Cladosporium herbarum (Cla h 6), tomato
MnSOD in Aspergillus fumigatus (Asp f 6)

Hev b 6.02
Hev b 6.03

Hev b 7
Hev b (profilin)
Hev b 9
(Enolase)
Hev b 10
(Mn-superoxide
dismutase)
Hevamine
(class III chitinase)
Lysozyme
Triosephosphate
isomerase

Chitinases/lysozymes (fig, papaya, avocado, banana,


cucumber)
Fig, papaya
Triosephosphate isomerase in spinach, tomato, rice
and Arabidosis thaliana

Diagram diagnosis tersangka alergi terhadap lateks:


Riwayat dan kriteria standar untuk lateks

Negatif

Positif

SPT/IgE spesifik (+)


Simtomatik
alergi lateks

Hindari lateks

SPT/IgE spesifik (-)


Dermatitis

Patch test

Positif : identifikasi kontak alergi


Negatif : terapi sebagai iritan
dermatitis

SPT/IgE spesifik (+)


Klinis (-)

Tes provokasi
(menggunakan sarung
tangan, dll)

SPT /IgE spesifik (-)

Penggunaan
lateks aman

Positif : hindari lateks


Negatif : pencegahan primer

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 13

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

14.

Didier E. IgE-mediated allergy from natural rubber latex. Belgium: The


UCB Institute of Allergy, 2000.
Slater JE.Allergy reactions to natural rubber. Ann Allerg 1992;68:203-11.
Slater JE. Latex allergy. J Allerg Clin Immunol 1994;94: 139-49.
Sussman GL, Beezhold DH. Allergy to latex rubber. Ann Intern Med.
1995; 122:43-6.
Charous BL, Blanco C, Tarlo S et al. Natural rubber latex allergy after 12
years: Recommendations and perspectives. J Allerg Clin Immunol 2002;
109: 31-4.
Garabrant DH, Schweitzer S. Epidemiology of latex sensitization and
allergies in health care workers. J Allerg Clin Immunol 2002;110:S82-95.
Kibby T, Akl M. Prevalence of latex sensitization in a hospital employee
population. An Allerg Asthma & Immunol 1997; 78: 41-4.
Tarlo SM, Sussman GL, Holness DL. Latex sensitivity in dental students
and staff: a cross-sectional study. J Allerg Clin Immunol 1997; 99: 396401.
Douglas R, Czarny D, Morton J, OHehir RE. Prevalence of IgEmediated allergy to latex in hospital nursing staff. Aust NZ J Med
1997;27:165-9.
Vandenplas O, Delwiche JP, Evrard G et al. Prevalence of occupational
asthma due to latex among hospital personnel. Am J Respir Crit Care
Med 1995;151:54-60.
Yassin MS, Lierl MB, Fischer TJ, OBrien K, Cross J, Steinmetz C.
Latex allergy in hospital employees. Ann Allerg 1994; 72: 245-9.
Ariestina HRA. Reaksi sensitisasi alergen lateks pada Kelompok
Terpajan dan Tidak Terpajan serta Faktor-Faktor yang Berhubungan
(Disertasi). FKUI, Jakarta 2002.
Baratawidjaja KG, Sukmana N, Baratawidjaja IR, Darwis A, Jusuf L,
Hendrata AP. A Study of latex hypersensitivity among latex glove factory
workers. 5th West-Pacific Allergy Symposium. 7th Korea Japan Joint
Allergy Symposium 1997. June 11-14;215-20.
Bernardini R, November E, Lombardi E, Mezzetti P, Cianferoni A, Danti
AD et al. Prevalence of and risk factors for latex sensitization in patients
with spina bifida. J. Urol. 1998; 160: 1775-8.

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

15. Liss GM, Sussman GL, Deal K, Brown S, Cividino M, et al. Latex
allergy: Epidemiological study of 1351 hospital workers. Occup Environ
Med 1997; 54(S): 335-42.
16. Kurup VP, Fink JN. The Spectrum of immunologic sensitization in latex
allergy. In: Johansson SGO ed. Eur J Allerg and Clin Immunol 2001; 56:
1-12.
17. Jaeger D, Kleinhans D, Czuppon AB, Baur X. Latex-specific protein
causing immediate-type cutaneus, nasal, bronchial, and systemic
reactions. J Allerg Clin Immunol 1992;89:759-68.
18. Tomazic VJ, Shampaine EL, Lamanna A, Withrow TJ, Adkinson NF,
Hamilton RG. Cornstarch powder on latex products is an allergen carrier.
J Allerg Clin Immunol 1994; 93: 751-8.
19. Tarlo SM, Sussman G, Contala
20. A, Swanson MC. Control of airborne latex by use of powder-free latex
glove. J Allerg Clin Immunol 1994; 93: 985-9.
21. Beezhold D, Beck WC. Surgical glove powder bind latex antigens. Arch
Surg. 1992; 127: 1354-7.
22. Roitt I, Brostoff I, Male D. Hypersensitivity type IV. In: Roitt (ed).
Immunology. 4th ed. London: Mosby; 1996. pp.25.1-25.12.
23. Baratawidjaja KG. Bab VII:Reaksi hipersensitivitas. Dalam: Imunologi
Dasar. ed 3. Jakarta: Penerbit FKUI 1996, 76-97.
24. Poley GE, Slater JE. Latex allergy. J Allerg Clin Immunol 2000; 105:
1054-62.
25. Nguyen DH, Burns MW, Shapiro GG, Mayo ME, Murrey M, Mitchell
ME. Intra operative cardiovascular collapse secondary to latex allergy. J
Urol 1991; 146: 571-4.
26. Ownby DR, Tomlanovich M, Sammons N, McCullough J. Anaphylaxis
associated with latex allergy during barium enema examinations. AJR
1991; 156: 903-8.
27. Hesse A, Hintzerstern JV, Peters KP, Koch HU, Hornstein OP. Allergic
and irritant reactions to rubber gloves in medical health services. J Am
Acad Dermatol 1991; 25: 831-9.
28. Blanco C, Carrillo T, Castillo R, Quiralte J, Cuevas M. Latex allergy :
clinical features and crossreactivity with fruits.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Perbaikan Kualitas Hidup


pada Karyawan Penderita Alergi
Samsuridjal Djauzi, Teguh H. Karjadi
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Penyakit alergi sering dijumpai di masyarakat. Kekerapan
penyakit ini meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup
menuju pola hidup masyarakat maju. Perubahan pembangunan
dari sektor pertanian ke sektor gaya hidup masyarakat termasuk
penggunaan selimut, karpet di rumah serta polusi udara merupakan faktor yang dapat meningkatkan kekerapan penyakit
alergi terutama penyakit alergi pernapasan.
Seperti juga anggota masyarakat lain maka para karyawan
berisiko untuk menderita penyakit alergi dan risiko ini dapat
bertambah jika lingkungan di tempat kerja memudahkan paparan terhadap berbagai alergen dan iritan.
Di lain pihak penyakit alergi menurunkan produktivitas
kerja. Di Amerika Serikat rinitis alergik misalnya mengakibatkan kehilangan 811.000 hari kerja setiap tahun. Karyawan
penderita alergi yang masuk kerja produktivitasnya menurun
akibat gejala penyakit maupun pengaruh efek samping terapi.
Mereka mengeluh mudah lelah, sulit berkonsentrasi dan sakit
kepala.1 Di lain pihak penderita alergi sudah sewajarnya tetap
diberi kesempatan bekerja. Dokter perusahaan dapat mengupayakan meningkatkan kualitas hidup pekerja yang menderita
alergi melalui penyuluhan, penatalaksanaan penyakit alergi
yang baik serta menghindari paparan terhadap bahan yang menimbulkan alergi.
PEMAHAMAN KUALITAS HIDUP
Dewasa ini penatalaksanaan penyakit sudah mempertimbangkan peningkatan kualitas hidup penderita. Kualitas
hidup merupakan konsep mengenai karakter fisik maupun
psikologis dalam konteks sosial. Rinitis alergik misalnya tidak
hanya dianggap merupakan penyakit yang menimbulkan berbagai gejala seperti bersin, rinorea, hidung tersumbat tetapi
juga mempertimbangkan pengaruh penyakit ini terhadap kehidupan sosial penderita. Penderita juga mengalami gangguan
tidur, masalah emosional, penurunan aktivitas dan fungsi sosial
penderita.
Untuk mengukur kualitas hidup telah dikembangkan berbagai kuesioner. Kuesioner generik yang mengukur fungsi fisik

dan psikologis pada umumnya tanpa memperhatikan penyakit


yang diderita. Sedangkan kuesioner lain dikaitkan dengan
penyakit yang diderita (disease specific questionnaire). Di
samping itu tersedia kuesioner yang lebih rinci yang mengukur
kualitas hidup kelompok tertentu misalnya Adolescent Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire untuk kelompok
umur 12 sampai 17 tahun.2
Tolak ukur menilai kualitas hidup penderita penyakit alergi
saluran napas, antara lain :
1. Kuesioner skor gejala kualitas hidup rinokonjunktivitis
menyeluruh (Overall Rhinoconjunctivitis Quality of Life
Questionnaire System Score).
2. Kuesioner gangguan aktivitas dan produktivitas kerja
spesifik alergi.
Bousquet menunjukkan pada beberapa keadaan kualitas hidup
penderita rinitis alergi lebih buruk daripada penderita asma
(tabel 1).
Tabel 1. Kualitas Hidup Penderita Rinitis Alergi dan Asma.3

Fungsi fisik
Fungsi sosial
Peran (fisik)
Peran (sosial)
Kejiwaan
Lelah
Nyeri
Persepsi umum

Asma

Rinitis

80
84
66
70
66
59
74
57

89
73
61
64
65
55
77
62

Pengukuran kualitas hidup dapat digunakan untuk menilai


manfaat terapi dalam uji klinik.
DIAGNOSIS DAN PILIHAN TERAPI
Untuk meningkatkan kepedulian karyawan terhadap penyakit alergi perlu dilakukan penyuluhan kesehatan. Cukup
banyak karyawan penderita rinitis alergi menyangka terkena
influenza atau infeksi saluran napas. Begitu pula penyakit asma

Dibacakan pada Simposium Occupational Diseases, Allergy Clinical Immunology,


Millennium Sirih Hotel, Jakarta, 22-23 Februari 2003

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 15

0
Mean Change from Baseline

sehingga sering diabaikan dan cukup banyak kasus yang tak


dapat didiagnosis dengan baik. Kemampuan dokter perusahaan
dalam mendiagnosis penyakit alergi juga perlu ditingkatkan.
Pilihan terapi dalam penyakit alergi dewasa ini dimudahkan dengan terbitnya berbagai panduan seperti panduan GINA
dan Canada.4,5 Antihistamin non sedatif dapat mengurangi
gangguan aktivitas kerja.6

-2
-4
-6

**

-8

A. Activity Impairment
50

**

-10

45

-12

Work Impairment

*
**

Activity Impairment

40
120 mg

P
e

Plasebo

Classroom
Impairment

180 mg

35
Gambar 2.
30
25
20
Baseline
Placebo +

Week 1

Week 2
60 mg fexofenadine bid

Change from baseline at end study in overall work, activity,


and classroom impairment.* P004 versus placebo and**
P001 versus placebo

Namun panduan tersebut tidak dapat sepenuhnya diterapkan pada perusahaan yang mempunyai sumber dana terbatas.
Sebagian besar o
bat yang dianjurkan masih merupakan obat yang mahal
dan tak terjangkau oleh dana perusahaan. Dalam menilai cost
effectiveness suatu terapi perlu dikembangkan pemahaman
mengenai biaya langsung dan tidak langsung.7

Table 2. SF-36 scores : Median (Quartile 1 Quartile 3).8

Physical functioning (PF)


Cetirizine
Placebo
p Value
Role physical (RP)
Cetirizine
Placebo
p Value
Bodily pain (BP)
Cetirizine
Placebo
p Value
General health (GH)
Cetirizine
Placebo
p Value
Vitality (VT)
Cetirizine
Placebo
p Value
Social functioning (SF)
Cetirizine
Placebo
p Value
Role emotional (RE)
Cetirizine
Placebo
p Value
Mental health (MH)
Cetirizine
Placebo
p Value

Baseline

Week I

Week 6

87,5 (72,597,5)
87,5 (72,597,5)
NS

95,0 (85,0100,0)
92,5 (75,0100,0)
NS

95,0 (90,0100,0)
90,0 (72,597,6)
0,0007

50,0 (25,075,0)
50,0 ( 0,075,0)
NS

100,0 (75,0100,0)
50,0 (25,0100,0)
0,0001

100,0 (75,0100,0)
50,0 (25,0100,0)
0,0001

62,0 (41,0100,0)
62,0 (41,0 92,0)
NS

77,0 (62,0100,0)
64,0 (25,0100,0)
0,0001

84,0 (74,0100,0)
62,0 (51,0100,0)
0,0001

47,0 (32,062,0)
52,0 (35,067,0)
NS

57,0 (47,072,0)
52,0 (35,072,0)
NS

67,0 (52,077,0)
52,0 (37,067,0)
0,0001

50,0 (40,065,0)
50,0 (40,065,0)
NS

65,0 (50,075,0)
50,0 (40,070,0)
0,0001

70,0 (55,080,0)
50,0 (33,370,0)
0,0001

62,5 (50,075,0)
62,6 (50,075,0)
NS

75,0 (62,5100,0)
75,0 (50,0 87,5)
0,0014

87,5 (75,0100,0)
62,5 (37,587,5)
0,0001

66,67 (33,33100,0)
66,67 (33,33100,0)
NS

100,0 (66,67100,0)
66,67(33,33100,0)
0,0014

100,0 (100,0100,0)
66,67(33,33100,0)
0,001

60,0 (44,076,0)
60,0 (52,072,0)
NS

68,0 (60,080,0)
60,0 (52,076,0)
0,0015

76,0 (64,088,0)
60,0 (48,072,0)
0,001

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Improvement (in units of score)

30

Cetirizine : week1-baseline
Placebo : week 1-baseline
Cetirizine : week 6-baseline

20

Placebo : week 6-baseline

10

-10
Physical functioning
Bodily pain
Vitality
Role emotional
Role physical
General health
Social functioning
Mental health
Gambar 3. Perbaikan kualitas hidup pada penggunaan antihistamin generasi baru.

Manfaat perbaikan kualitas hidup antihistamin baru menggunakan instrumen skor SF-36 dapat dilihat pada tabel 2.8
Penggunaan antihistamin generasi baru ternyata selain
memperbaiki gangguan kerja, juga aktivitas sehari-hari dan
sekolah seperti terlihat pada gambar 2. Dengan demikian
program pelatihan karyawan dapat memberikan hasil yang diinginkan.9
Secara keseluruhan perbaikan kualitas hidup penggunaan antihistamin generasi baru dapat dilihat pada gambar 3.8
Terlihat adanya perbaikan kualitas hidup dari semua pasien
yang diobati dengan cetirizin dibandingkan dengan plasebo.

PERAN LINGKUNGAN KERJA


Di lingkungan kerja dapat dijumpai berbagai alergen dan
faktor pencetus penyakit alergi. Alergen hirup misalnya dapat
dilihat pada tabel 3.
Menghindari alergen merupakan dasar pencegahan penyakit alergi namun sulit dilakukan sehingga perannya dalam
terapi menjadi kurang berarti.1 Langkah-langkah meningkatkan
kualitas hidup karyawan penderita alergi dapat disusun sebagai
berikut :
1) Membuat desain ruangan kerja dengan risiko paparan
terhadap alergen dan polutan kurang
2) Menyeleksi calon karyawan dan menempatkannya dalam
lingkungan kerja yang paparan alergen dan polutannya kurang
3) Penyuluhan kesehatan pada karyawan
4) Diagnosis penyakit alergi
5) Pilihan terapi yang mempertimbangkan kualitas hidup
karyawan
6) Melakukan modifikasi lingkungan kerja, jika perlu memindahkan karyawan.
Tabel 3. Berbagai macam alergen dan polutan1

1. Tungau debu rumah (mites) : Dermatophagoides pteronyssinus ( Der p)


Dermatophagoides farinae.(Der f)
Lepidoglyphus maynei (Lep d)
Blomia tropicalis ( Blo t)
Tungau debu rumah ini dapat merupakan faktor pencetus serangan
rinitis dan Asma.
2. Bulu Binatang : kucing
anjing,
kuda,
sapi
kelinci
3. Jamur

: Candida albicans
Saccharomyces cerevisiae
Pityrosporum

4. Serangga

: kecoa
diptera

5. Inhalan lain

: Ficus benjamina (Java willow).

6. Alergen Makanan
7. Alergen Okupasional
8. Lateks
9. Polutan

: polutan udara di luar rumah


polutan di dalam rumah
polutan kendaraan
asap rokok.

10. Obat

Dengan demikian dokter perusahaan dapat meningkatkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 17

kualitas hidup karyawan penderita alergi sehingga sumber daya


manusia di perusahaan dapat dimanfaatkan dengan baik. Untuk
melaksanakan hal tersebut perlu dipertimbangkan keadaan
setempat.

4.
5.
6.

KEPUSTAKAAN
1.
2.

3.

Bousquet J, Cauwenberge P, Khaltaev N. Allergic Rhinitis and Its Impact


on Asthma. J Allerg Clin Immunol 2001;108: S147-336.
Meltzer EO, Casale TB, Nathan RA, Thompson AK. Once-daily
fexofenadine HCL improves quality of life and reduces work and activity
impairment in patients with seasonal allergic rhinitis. Ann Allerg Asthma
Immunol 1999; 83:311-7.
Passalacqua G, Bousquet J, Bachert C, et al. The clinical safety of H1
receptor antagonists. An EAACI position paper. Allergy 1996; 51:666-75.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

7.
8.

9.

Global Strategy for Asthma Management and Prevention, National


Institute of Health, National Lung Heart and Blood Institute, Bethesda
2002 (Revised).
Boulet LP. Canadian Asthma Consensus Report. CMAJ, 1999;161(11
suppl): S1-61.
Tanner LA, Reilly M, Meltzer EO, Bradford JE, Mason J. Effect of
fexofenadine HCl on quality of life and work, classroom, and daily
activity impairment in patients with seasonal allergic rhinitis. Am. J.
Managed Care 1999; 5(4): S235-47.
Lim TK., Asthma Management : Evidence Based Studies and Their
Implication for Cost-Efficacy. Asia Pacific J. Allerg. and Immunol. 1999;
17: 195-202.
Bousquet J, Duchateu J, Pignat JC et al. Improvement of quality of life
by treatment with cetirizine in patients with perennial allergic rhinitis as
determined by a French version of the SF-36 questionnaire. J Allerg. Clin
Immunol 1996; 98: 309-16.
Hindmarch, Shamsi Z. Antihistamines: models to assess sedative
properties, assessment of sedation, safety and other side-effects. Clin. and
Experimental Allerg. 1999; 29(Suppl.3): 133-42.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Peranan Antihistamin
pada Inflamasi Alergi
Iris Rengganis
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Inflamasi merupakan proses yang vital untuk semua
organisme dan berperan baik dalam mempertahankan kesehatan maupun dalam terjadinya berbagai penyakit. Biasanya inflamasi berupa respons protektif tubuh terhadap trauma atau
invasi mikroba yang berbahaya melalui jalan klasik dengan
gejala sakit (dolor), panas (calor), merah (rubor), bengkak
(tumor) dan hilangnya fungsi (functio laesa). Secara mikroskopis, inflamasi menunjukkan gambaran yang kompleks seperti
dilatasi arteriol, kapiler dan venul; peningkatan permeabilitas
dan arus darah; eksudasi cairan, termasuk protein plasma;
migrasi leukosit ke fokus inflamasi. Akumulasi leukosit yang
disusul dengan aktivasi sel merupakan kejadian sentral dalam
patogenesis hampir semua inflamasi. Bila reaksi inflamasi tidak
terjadi, pejamu akan menjadi imunokompromais. Sekarang kita
sudah mengetahui inflamasi pada tingkat molekuler dan seluler.
Bentuk inflamasi akut dan kronis terbanyak ditimbulkan oleh
pengerahan komponen humoral dan seluler dari sistem imun.
Eliminasi bahan asing secara imunologis terjadi dalam berbagai
tahap yang terintegrasi1-6.
INFLAMASI ALERGI
Proses alergi adalah kompleks, dimulai dengan pajanan
alergen-alergen yang ditangkap oleh Antigen Presenting Cell
(APC). Sel dendritik di saluran napas dan sel langerhans di
kulit, masing-masing berperan sebagai APC pada asma dan
dermatitis atopi. Setelah alergen ditangkap, lalu alergen dipecah menjadi peptida-peptida kecil, dalam APC peptida diikat
molekul HLA (MHC II) menjadi kompleks peptida-HLA,
kemudian dibawa ke permukaan APC dan dipresentasikan ke
sel Th2 CD4+ yang MHC II dependen. Th2 diaktifkan dan
memproduksi sitokin. Sementara epitel (endotel) mengekspresikan molekul adhesi dan menimbulkan infiltrasi sel darah
putih terutama eosinofil yang melepas mediator dan sitokin
yang menimbulkan gejala alergi dan kerusakan jaringan. Dalam
jaringan sel-sel inflamasi dan sel residen melepas mediator dan
terjadi interaksi yang kompleks sehingga menimbulkan reaksi
alergi kronis. Bila kulit, hidung atau saluran napas subjek atopi
Dibacakan pada acara Simposium Allergy dan Clinical Immunology Update,
Hotel Marcopolo, Lampung, 12-13 April 2003

dirangsang dengan alergen, dalam beberapa menit akan terjadi


fase cepat reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan Coombs
berupa kemerahan dan bentol di kulit, gejala bersin, hidung
berair dan atau mengi. Respons inflamasi alergi kulit, di mukosa saluran napas atas dan bawah adalah sama, meskipun
respons organ sasarannya berbeda. Di tiga tempat tersebut,
terjadi degranulasi sel mast dan aktivasi sel T dengan profil
sitokin Th2, aktivasi sel epitel dan sel endotel, pengerahan leukosit ke jaringan terutama eosinofil.
Fase cepat dapat diikuti oleh fase lambat yang puncaknya
terjadi antara 6-8 jam dan kemudian menghilang secara perlahan. Di kulit fase lambat ditandai dengan edema, merah dan
indurasi yang menimbulkan bengkak, di hidung berupa obstruksi dan di paru mengi yang menetap.1-6
Minimal Persistent Inflammation (MPI)
Inflamasi sudah ditemukan pada subjek alergi tanpa gejala.
Asma dan rinitis dalam masa laten harus dianggap sebagai
penyakit inflamasi kronis. Mengapa konsep tersebut penting ?
Sel eosinofil dan ekspresi ICAM-1 yang merupakan petanda
penting pada alergi, selalu ditemukan di epitel konjungtiva,
nasal penderita rinitis alergi dan di epitel bronkus, cairan bilas
bronkus pada pasien asma yang alergi terhadap tungau debu
rumah dan alergen lainnya meskipun sedang tidak menunjukkan gejala. Fenomena tersebut menetap selama ada pajanan
dengan tungau debu rumah/alergen lainnya dan disebut Minimal Persistent Inflammation (MPI). MPI dapat menerangkan
sebagian sebab hipereaktivitas non-spesifik pada subjek alergi
dan kronisitas penyakit alergi. Penyakit rinitis alergi, asma,
dermatitis atopi, urtikaria kronis idiopatik merupakan penyakit
kronis yang dapat menimbulkan berbagai gangguan pada tidur,
konsentrasi belajar di sekolah, pekerjaan, kegiatan fisik,
rekreasi, sosial, bahkan karier, sehingga bila gangguan terjadi
kronis seiring dengan perjalanan penyakit, akan menurunkan
pula kualitas hidup. Atas dasar adanya hubungan antara derajat
inflamasi dengan derajat berat penyakit, telah pula dipikirkan
strategi untuk menggunakan MPI dengan menekan ekspresi
ICAM-1 dan influks eosinofil sebagai sasaran terapi farmakoCermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 19

logis. Proses inflamasi hendaknya diobati sebelum pasien


menunjukkan gejala. MPI yang dihambat akan mengurangi
gejala dan derajat berat penyakit yang secara tidak langsung
akan meningkatkan kualitas hidup. Di negara maju, sudah
banyak dianjurkan untuk tidak hanya menggunakan gejala
klinis saja, tetapi juga kualitas hidup sebagai parameter dalam
terapi7-16.
HAMBATAN EKSPRESI ICAM-1
A. Cetirizin
Cetirizin menghambat influks sel inflamasi eosinofil dan
ekspresi ICAM-1 di hidung, konjungtiva dan bronkus yang ditimbulkan alergen melalui uji nasal, konjungtiva dan bronkus.17
B. Terfenadin
Terfenadin menghambat infiltrasi sel proinflamasi terutama eosinofil dan ekspresi ICAM-1 di epitel nasal pada
pasien dengan rinitis alergi.17
C. Fexofenadin
Fexofenadin menurunkan ekspresi ICAM-1 pada cell line
epitel konjungtiva dan fibroblas manusia yang lebih bermakna
dibanding terfenadin. Fexofenadin juga menghambat kemotaksis dan adherens eosinofil pada biakan endotel vena umbilikalis
manusia dan penglepasan ECP dari eosinofil.18
Hambatan terhadap asma
Penelitian dengan cara single-blind, placebo-controlled
study dilakukan untuk menilai efek astemizol, bromfeniramin,
cetirizin, klorfeniramin, clemastin, siproheptadin dan terfenadin
versus plasebo terhadap provokasi dengan histamin dan metakolin. Dosis yang diberikan adalah dosis yang dianjurkan
pabrik, sebagai dosis tunggal, 2-4 jam sebelum uji provokasi.
Dibandingkan dosis histamin/metakolin yang diperlukan untuk
menimbulkan penurunan 20% FEV1 (PC20FEV1) dengan plasebo. Dalam studi ini semua antihistamin menghambat efek
bronkokonstriksi histamin dan tidak ditemukan antihistamin
yang menghambat efek bronkokonstriksi metakolin.17
PERAN CETIRIZIN PADA INFLAMASI DAN
KUALITAS HIDUP
Kualitas hidup telah diteliti pada berbagai penyakit yang
ternyata menurun bermakna pada penyakit alergi seperti rinokonjungtivitis dan asma19. Pasien menunjukkan adanya gangguan tidur, aktivitas dan stres, penurunan fungsi fisik maupun
mental yang mengakibatkan gangguan vitalitas serta persepsi
kesehatan secara umum. Pemberian cetirizin kepada pasien
dengan rinitis alergi tidak hanya mengurangi gejala, tetapi juga
meningkatkan kualitas hidup20.
Molekul adhesi ICAM-1 diekspresikan di sel epitel dalam
beberapa menit setelah reaksi alergi terjadi dan berperan dalam
migrasi sel inflamasi seperti eosinofil. ICAM-1 dan eosinofil
adalah petanda spesifik inflamasi alergi. Berbagai studi menunjukkan bahwa cetirizin dapat menghambat ekspresi ICAM1 dan influks eosinofil baik in vitro maupun in vivo21,22.
Cetirizin menghambat kemotaksis eosinofil dan ekspresi
adhesi eosinofil dalam biakan sel endotel in vitro. Efek cetirizin
telah diteliti dengan double blind, randomized study terhadap
respons cepat dan lambat kulit dari alergen/pollen dan plasebo
20 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

pada pasien dengan rinitis alergi pollen. Tes kulit dilakukan


sebelum pemberian cetirizin dan 3 hari setelah pemberian
cetirizin 20 mg atau plasebo. Pada pasien yang mendapat
cetirizin ditemukan penurunan ekspresi ICAM-1 dan infiltrasi
sel inflamasi17.
Cetirizin juga menurunkan influks sel inflamasi eosinofil
dan ekspresi ICAM-1 di epitel hidung, konjungtiva dan
bronkus pasien alergi yang diuji dengan alergen. Pemberian
cetirizin 2x15 mg menurunkan jumlah eosinofil dalam cairan
bilas bronkus pasien asma yang bermakna dibanding dengan
plasebo. Pemberian cetirizin (2x10-15mg/hari) kepada subjek
asma alergi pollen yang ringan selama 4 hari menunjukkan
perbaikan asmanya. Beberapa studi menunjukkan adanya efek
proteksi dari cetirizin terhadap fase cepat dan fase lambat asma.
Pemberian cetirizin 2x15 mg/hari menunjukkan lebih banyak
perbaikan FEV1 dibanding dengan plasebo23.
KESIMPULAN
1. Reaksi alergi bukanlah fenomena yang sementara, tetapi
merupakan proses inflamasi yang kompleks dan kronis.
2. Meskipun tidak menunjukkan gejala selama terpajan
dengan alergen, subyek alergi selalu menunjukkan MPI yang
dapat berperan dalam hipereaktivitas dan kronisitas.
3. Penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma, dermatitis atopi,
urtikaria kronis idiopatik merupakan penyakit kronis yang
dapat menimbulkan gangguan tidur, belajar, kegiatan fisik, rekreasi, sosial dan karier, sehingga dapat menurunkan kualitas
hidup.
4. Dianjurkan agar kualitas hidup dapat digunakan sebagai
parameter dalam terapi penyakit alergi di samping gejala klinis.
5. Terapi optimal penyakit alergi hendaknya dapat memodulasi fenomena inflamasi dan mengontrol MPI agar gejala dapat
ditekan dan dicegah.
6. Pemberian cetirizin kepada penderita alergi dapat mengurangi ekspresi ICAM-1 dan menghambat kemotaksis eosinofil,
mengurangi gejala serta meningkatkan kualitas hidup.

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Cotran, RS. Inflammation: Historical Perspective. Dalam: Gallin JI,


Snyderman R (eds). Inflammation. Lippincot Williams & Wilkins. Ed.3.
Philadelphia. 1999; 5-12.
Fireman P. The Mechanisms of Allergic Inflammmation. The Allergy and
Asthma Report. AAAAI March 1999.
Kay AB. Allergic Inflammation Under the Microscope. 2nd International
Symposium on Allergy Management.. Cannes, France. 9th December
2000.
Johansson SGO. Milestones in Understanding Allergy and Its Diagnosis.
2nd International Symposium on Allergy Management. Cannes, France .9th
December 2000.
Blumenthal M. The Gene Behind the Disease. The Allergy and Asthma
Report. AAAAI, March 1999.
Howarth P. Allergic Inflammation in Airways Disease: Challenges for
New Century. Allergic Inflammation in Y2K. ICACI 2000, October 16,
2000, Sydney.
Calderon E, Lockey RF. A Possible Role for Adhesion Molecules in
Asthma. J Allerg Clin Immunol 1992; 90: 852-65.
Gundel RH, Wegner CD, Torcellini CA, Letts RG. The Role of Intercellular Adhesion Molecule 1 in Chronic Inflammation. Clin Exp Allergy
1992; 22: 569-78.

9.

10.
11.
12.
13.
14.
15.

Woolcock J. The Burden of Asthma. XII International Congress of


Allergology and Clinical Immunology in conjunction with the Asian
Pacific Association of Allergology and Clinical Immunlogy and the West
Pacific Allergy Symposium. Sydney 15-20 October 2000.
Pariente PD, LePen C, Los F, Bousquet J. Quality of Life Outcomes and
the Use of Antihistamines in a French National Population Based Sample
of Patients with Perennial Rhinitis. Pharmacoeconomics 1997; 12:585-95.
Meltzer EO. Does Rhinitis Compromise Night-time Sleep and Daytime
Productivity? Symposium on Quality of Life in Allergic Rhinitis. EAACI
Meeting, Lisbon, July 2, 2000.
Settipane RA. Complications of Allergic Rhinitis. Allergy and Asthma
Proc. 1999 ; 209-13.
Sheffer AL. Conclusion and Recommendation for the Future Assesment
Relating to Asthma Fatalities. Dalam: Sheffer AL (ed). Fatal Asthma.
Marcel Dekker, Inc. New York 1996 ; 537-40.
Pawankar R. Allergy A Systemic Disease Affecting Quality of Life. 2nd
Malaysian Congess of Allergy and Immunology. Jan. 19-22, 2001. Kuala
Lumpur.
Busquet J, Bullinger M, Fayoi C et al. Assessment of Quality of Life in
Patients with Perennial Allergic Rhinitis with the French version of the

16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

SF-36 Health Status Questionnaires. J Allergy Clin Immunol 1994; 94:


182-8.
Vignola AM, Chanez P, Campbell AM et al. Airway Inflammation in
Mild Intermittent and in Persistent Asthma. Am J Respir Crit Care Med
1998; 157 : 403-9.
Malick A,Grant JA. Antihistamines in the Treatment of Asthma.Allergy
1997; 52 : (S340) 55-66.
Simon E. Are the anti-allergic properties of H1 of any clinical relevance ?
New controversies in allergy. Symposium 18th Congress of the European
Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI98).
Bousguet J. Symposium Quality of Life in Allergic Rhinitis.EAACI
Meeting, Lisbon, July 2, 2000.
Bachert C. Symposium Quality of Life in Allergic Rhinitis. EAACI
Meeting Lisbon, July 2, 2000.
Walsh GM. The Clinical Relevance of the Anti-inflammatory Properties
of Antihistamines. Allergy 2000; 55 : 53-61.
Bagnasco M, Canonica GW. Influence of H1-receptor Antagonist on
Adhesion Molecules and Cellular Traffic. Allergy 1995; 50 : 17- 23
Meltzer EO.The Use of Anti-H1 Drugs in Mild Asthma. Allergy 1995; 24:
41-7.

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 21

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

United Airway Disease


apakah itu ?
Heru Sundaru
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Berkembangnya ilmu kedokteran membuat para dokter
mengambil spesialisasi, bahkan super spesialisasi. Hal ini
mungkin bermanfaat pada penyakit-penyakit yang jarang atau
sulit tetapi pada penyakit-penyakit yang sering seperti asma
dan rinitis tidak selalu tepat. Rinitis alergik dan asma sering
dikelompokkan sebagai penyakit saluran napas bagian atas dan
bagian bawah, meskipun pada kenyataannya kedua penyakit
tersebut sering terdapat pada penderita yang sama; penatalaksanaannya sering dilakukan oleh dua spesialis yang berbeda.
Seorang spesialis paru atau penyakit dalam yang menangani asma sering terfokus pada gejala sesak pasien dan
sangat sedikit menaruh perhatian kepada saluran napas bagian
atas atau bahkan saluran cerna. Demikian pula sebaliknya ahli
THT terfokus kepada hidung atau sinus, tanpa pernah menanyakan keluhan asmanya; padahal dalam praktek sangat
banyak kaitan antara saluran napas bagian atas dan bawah atau
lebih spesifik lagi kaitan rinitis dan asma.
Kalau dicermati dalam praktek sering didapatkan (a) asma
bersama-sama rinitis (b) infeksi virus saluran napas bagian atas
mendahului eksaserbasi asma (c) rinitis sebagai faktor risiko
untuk asma dan (d) infeksi sinusitis paranasal berkaitan dengan
asma; terutama pada pasien anak. Begitu eratnya hubungan
asma dan rinitis sehingga ada peneliti yang menyatakan keduanya merupakan kesatuan penyakit yang disebut rinobronkitis1
atau United Airway Disease.2 Kenyataan di atas mendukung
konsep bahwa alergi sebenarnya bukan merupakan penyakit
satu organ sasaran, melainkan kelainan yang melibatkan
banyak organ. Tidak salah kalau dikatakan alergi merupakan
penyakit sistemik.3
Asma bronkial dan rinitis alergik, termasuk dalam golongan penyakit atopi. Sebagai penyakit atopi keduanya sering
dijumpai pada seorang penderita. Penjelasan mengapa bisa
terjadi bersama-sama, belum sepenuhnya terungkap. Faktanya
kejadian rinitis lebih sering dijumpai dibanding asma; tetapi
bila hal tersebut terjadi pada seorang penderita, pengobatan
lebih sering ditujukan pada keluhan asmanya dan mengabaikan
Dibacakan pada acara Seminar Sehari United Airway Disease, Hotel
Acacia,10 Mei 2003.

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

gejala rinitisnya. Hal ini sebenarnya kurang menguntungkan,


karena pengobatan rinitis tidak jarang memperbaiki asmanya.
Makalah ini akan membahas hubungan asma dan rinitis,
ditinjau dari hubungan anatomi fisiologi, epidemiologi, reaktivitas saluran napas, serta pengaruh obat anti rinitis terhadap
asma, serta mekanismenya.
ANATOMI DAN FISIOLOGI
Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi
dua bagian, sebagai penghantar dan pertukaran udara. Meskipun dari hidung sampai ke alveoli anatomisnya berbeda, tetapi
fungsinya merupakan suatu kesatuan. Sebagai saluran napas
terdepan, hidung berfungsi (1) menghangatkan, melembabkan
dan menyaring udara (2) sebagai organ penciuman dan (3)
konservasi uap air dan panas terhadap udara lingkungan.
Fungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara ini
pada dasarnya untuk melindungi saluran napas bagian bawah
terhadap pengaruh udara dingin, kering maupun udara kotor
karena polusi. Bila hidung tidak berfungsi karena sesuatu hal,
maka saluran napas bagian bawah akan terkena dampaknya.
Rongga hidung dapat digambarkan sebagai ruangan kaku yang
tepinya dibatasi oleh tulang-tulang wajah dan perubahan saluran napasnya disebabkan oleh perubahan ketebalan jaringan
mukosa; hal ini karena jaringan mukosa hidung banyak mengandung pembuluh darah yang membentuk sinusoid-sinusoid.
Pembuluh darah ini dipengaruhi oleh sistem saraf di sekitar
rongga hidung sehingga mudah melebar dan menyempit. Sebaliknya bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai cincin
kartilago yang tidak lengkap, yang kemudian dilengkapi oleh
otot polos. Makin ke distal kartilago ini makin kecil, akhirnya
hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan mempengaruhi diameter saluran napas.
Obstruksi saluran napas dapat terjadi karena : (1) vasodilatasi, (2) edema jaringan, (3) sumbat mukus, (4) kontraksi
otot polos. Pada rinitis peranan vasodilatasi sangat menonjol.
Hal ini terbukti bila diberi obat golongan alfa adrenergik, obstruksi hidung akan segera berkurang atau hilang dan hal ini

tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada asma, yang bronkusnya mengandung otot polos berespons sangat baik terhadap
agonis beta 2.
Meskipun obstruksi hidung sangat mengganggu, tetapi
tidak mengancam jiwa penderita, karena ia masih dapat bernapas melalui mulut. Sebaliknya obstruksi total bronkus akan
menyebabkan kolaps paru dan shunting aliran darah dari
jantung kanan ke kiri.
Rongga hidung mempunyai andil 50% pada resistensi
saluran napas dan hal ini berarti penting pada fungsi alveoli.
Bernapas melalui mulut atau trakeostomi dapat menyebabkan
kolaps alveoli dan shunting aliran darah dari jantung kanan ke
kiri. Hilangnya peranan humidifikasi akan menimbulkan masalah, terutama bila udara yang dihirup dingin dan kering, karena
akan mengeringkan sekret dan menyebabkan spasme bronkus
di saluran napas bagian bawah. Untuk mengatasi hal tersebut,
produksi sekret akan bertambah, yang selanjutnya akan meningkatkan gejala penyakit paru. Oleh karena itu salah satu
tujuan pengobatan adalah mengembalikan fungsi hidung untuk
melindungi saluran napas bagian bawah.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara hidung dan
bronkus. Perbedaan yang menonjol adalah (1) hidung mengandung sinusoid-sinusoid yang sangat berperan pada obstruksi hidung, sementara vasodilatasi kurang berperan pada
asma (2) sekret hidung mudah dikeluarkan sedangkan pada
asma dapat menyumbat (3) otot-otot polos dijumpai pada
bronkus, tidak pada saluran hidung. Agaknya istilah the nose
consists of two congested bronchi without smooth muscles ada
benarnya.4
Dalam beberapa hal terdapat kesamaan rinitis dan asma,
keduanya didasari oleh reaksi inflamasi.5
EPIDEMIOLOGI
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa asma dan
rinitis sering terdapat bersama-sama. Gejala-gejala hidung dilaporkan pada 28 - 78% penderita asma dibandingkan yang
hanya 20% pada masyarakat luas. Demikian pula rinitis alergik
dapat dijumpai pada 19 - 38% penderita asma, jauh lebih tinggi
dibandingkan hanya 3-5% di masyarakat.6-7 Dari suatu survei
yang melibatkan 6563 penduduk, diagnosis rinitis alergik atau
asma yang baru, didapatkan 2 sampai 4 kali lebih tinggi pada
penduduk yang mempunyai salah satu dari kedua penyakit tadi
dibanding penduduk yang riwayatnya tidak mempunyai kedua
penyakit tadi.8
Settipane dkk9 meneliti 690 mahasiswa yang tidak menderita asma, diikuti selama 23 tahun. Mereka yang pada tahun
1961 mempunyai gejala hidung, menderita asma 3 kali lebih
sering (10,5%) dibanding tanpa rinitis (3,6%) (tabel 1).
Tabel 1. Rinitis alergik sebagai faktor risiko timbulnya asma baru : 23
tahun pemantauan.9
Diagnosis sewaktu
mahasiswa
Rinitis alergik
musiman dan bukan
musiman
Bukan rinitis alergik
Total

Total
risiko
162

Asma
baru
17

Nilai P

10.5

< 0.002

528

19

3.6

690

36

5.2

* Tidak ada riwayat asma saat ini atau sebelumnya

Hipereaktivitas saluran napas


Hipereaktivitas saluran napas erat kaitannya dengan asma
bronkial, dan merupakan salah satu kriteria diagnosis.10 Manifestasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi setelah
terpajan udara dingin, bau menyengat, debu, asap, atau uap di
udara. Di laboratorium hipereaktivitas dapat diukur melalui uji
provokasi bronkus dengan metakolin, histamin atau kegiatan
jasmani. Umumnya terdapat hubungan antara derajat hipereaktivitas dengan derajat beratnya asma.
Banyak penelitian melaporkan bahwa pasien-pasien dengan rinitis alergik tanpa disertai asma secara klinis sering
menunjukkan hipereaktivitas bronkus. Prevalensinya berbedabeda tergantung metode dan definisi reaktivitas yang dipakai.
Diperkirakan 11% sampai 32% penderita rinitis menunjukkan
hipereaktivitas bronkus dalam derajat lebih ringan dibanding
penderita asma dengan inhalasi zat-zat seperti histamin, metakolin atau karbakol.11-12 Di antara penderita rinitis alergik
musiman tanpa asma terjadi kenaikan reaktivitas bronkus
selama musim tepung sari (pollen). Madonni dkk11 melaporkan kenaikan insiden hipereaktivitas bronkus pada penderita
rinitis alergik musiman sebelum dan selama musim tepung sari
dari 11% menjadi 48%. Juga dilaporkan bahwa penderita rinitis
alergik perennial mempunyai derajat reaktivitas yang lebih
tinggi dibanding rinitis alergik musiman.13
Meskipun ada peneliti yang menyatakan reaktivitas bronkus dalam derajat asma pada penderita rinitis merupakan faktor
resiko untuk asma (PC20 metakolin < 8 mg/ml)13, penelitian
lain menemukan bahwa hipereaktivitas bronkus pada penderita
rinitis tidak bermanfaat dalam meramalkan penderita rinitis
untuk berkembang menjadi asma.14
Sampai sekarang masih sulit menentukan apakah rinitis
merupakan manifestasi pertama dari alergi pernapasan yang
kebetulan mempunyai asma atau mempunyai peranan langsung
sebagai penyebab asma. Masalah ini memerlukan penelitian
epidemiologi jangka panjang pada penderita dengan rinitis
alergik, termasuk penilaian reaktivitas bronkus. Data penelitian
laboratorium maupun hasil terapi akan sangat membantu.15
EFEK TERAPI RINITIS TERHADAP ASMA
Dalam menilai hubungan asma dan rinitis, efek terapi secara tidak langsung memperkuat dugaan tersebut. Dua macam
obat yang sering dipakai pada pengobatan rinitis alergik yaitu
kortikosteroid aerosol intranasal dan antihistamin.
Kortikosteroid aerosol intranasal
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai keefektifan kortikosteroid intranasal pada penderita rinitis alergik
musiman dan perenial. Corren dkk16 melakukan penelitian
pengaruh beklometason intranasal pada penderita rinitis alergik
musiman yang mempunyai asma. Reaktivitas bronkus meningkat selama musim tepung sari pada penderita yang mendapat plasebo tetapi tidak meningkat pada penderita yang mendapat terapi kortikosteroid. Karena penderita yang diselidiki
terlalu sedikit, tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam hal
gejala asma, nilai arus puncak ekspirasi maupun nilai-nilai
spirometri. Namun demikian paling tidak dapat disimpulkan
bahwa terapi profilaksis kortikosteroid intranasal dapat mencegah peningkatan reaktivitas bronkus selama musim tepung
Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 23

sari pada penderita rinitis yang disertai asma.


Herrikson dkk17 serta Watson dkk18 melakukan penelitian
pada penderita rinitis perenial yang juga mempunyai asma.
Setelah 4 minggu memakai budesonide intranasal terjadi perbaikan obstruksi hidung, pernapasan mulut berkurang dibanding dengan kontrol. Perbaikan fungsi hidung ini juga
menurunkan gejala asma serta kejadian asma akibat kegiatan
jasmani.20 Menurut Watson dkk18 perbaikan asma ini mungkin
berhubungan dengan perbaikan fungsi hidung dan bukan efek
langsung pada saluran napas bagian bawah. Kedua penelitian di
atas juga didukung oleh Wood dan Eggleston19 bahwa
triamsinolon intranasal juga menurunkan reaktivitas saluran
napas bagian atas dan bawah terhadap pemajanan dengan
alergen bulu kucing.
Antihistamin
Histamin merupakan salah satu mediator yang penting
pada asma alergik. Sebagai antagonis reseptor H1, antihistamin
mempunyai pengaruh pada fungsi paru. Penelitian menunjukkan bahwa obat ini dapat memperbaiki gejala dan fungsi paru
pada asma. Oleh karena itu, tidak seperti pada kortikosteroid
intranasal, perbaikan yang didapat karena antihistamin pada
asma tidak hanya disebabkan perbaikan saluran napas bagian
atas.
Penelitian pada generasi pertama antihistamin menunjukkan sangat sedikit efek perbaikannya pada asma20 dan efek
sampingnya sangat mengganggu; oleh karena itu antihistamin
ditinggalkan; tetapi dengan munculnya generasi kedua antihistamin yang dikatakan lebih aman dan bekerja lebih spesifik
terhadap reseptor H1, menjadi menarik untuk dipelajari
kembali.21
Rafferty dkk22 menunjukkan bahwa terfenadin dapat mengurangi gejala asma serta kebutuhan bronkodilator dan sedikit
memperbaiki fungsi paru, tetapi memerlukan dosis sangat besar
yaitu 240-540 mg sehari. Grant dkk23 melaporkan bahwa
cetirizin 15-20 mg sehari dapat mengurangi gejala rinitis dan
asma, namun perbaikan fungsi paru tidak berbeda bermakna
dibanding plasebo. Perlu dikemukakan bahwa pemakaian antihistamin perlu mempertimbangkan selain kefektifannya juga
keamanan. Jika mungkin untuk pengobatan alergi dipakai antihistamin generasi kedua yang selain efektif, aman dan dapat
dikatakan hampir bebas efek samping. Sejauh ini obat-obat
yang memenuhi kriteria tadi adalah loratadin, setirizin dan
feksofenadin. Ketiga obat tersebut selain mempunyai efek
antihistamin juga anti-inflamasi alergik, artinya dapat menghambat migrasi eosinofil. Seperti diketahui eosinofil berperan
penting pada inflamasi alergi yang terjadi pada rinitis alergik
maupun asma.24-25 Penelitian menunjukkan bahwa ketiga antihistamin tadi mampu menekan produksi atau penampilan
ICAM-1 (inter-cellular adhesion molecule-1) pada sel endotel
kapiler,26-31 yang diperlukan untuk migrasi eosinofil dari
kapiler ke jaringan. Konsekuensi pemakaian obat yang mempunyai aksi antihistamin maupun anti-inflamasi adalah berkurangnya gejala dan menurunnya reaktivitas jaringan terhadap
zat-zat yang memprovokasinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antihistamin khususnya generasi kedua bermanfaat pada rinitis yang disertai asma.
Pada penelitian paralel acak buta ganda terkontrol, kembali
24 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Ciprandi dkk32 melaporkan pemberian terfenadin secara kontinyu selama 12 bulan pada anak-anak sekolah yang menderita
rinokonjungtivitis dan atau asma intermiten ringan yang alergi
tungau debu rumah. Dibanding dengan pasien yang mendapat
plasebo, pasien yang mendapat terapi terfenadin 1 mg/kgBB
menunjukkan perbaikan gejala alergi secara bermakna (p<
0,003) dan penurunan inflamasi terlihat dari infiltrasi sel
radang dan ekspresi ICAM-1 di hidung (p<0,001). Absensi
sekolah dan kunjungan ke dokter juga berkurang (p<0,003).
Tidak didapatkan efek samping pada kedua kelompok.
Laporan terakhir dari Ciprandi dkk33 menyatakan bahwa
pemberian cetirizin jangka panjang tidak saja mengurangi
gejala alergi saluran napas bagian atas dan bawah (Gb. 1 dan 2)
tetapi juga biaya pemakaian obat tambahan seperti pemakaian
obat anti asma steroid topikal dan antibiotik dibandingkan
pemakaian obat bila perlu (tabel 2).
Tabel 2. Rerata biaya pengobatan setiap anak selama 6 bulan33
Cetirizin (dosis tambahan)
Cetirizin reguler
Albuterol inhalasi
Fluticasone inhalasi
Acetaminophen
Antibiotik
Total

Placebo (US$)
20.01
0.50
17.38
13.8
208.7
279.54

Cetirizin (US$)
3.5
43.7
0.38
11.55
16.2
18.2
181.83

Mekanisme hubungan asma dan rinitis


Meskipun terdapat bukti-bukti bahwa rinitis alergik mempengaruhi asma tetapi mekanisme yang menghubungkan disfungsi saluran napas atas dan bawah dapat dikatakan belum
terungkap. Berbagai teori diajukan untuk menerangkan hubungan antara rinitis dan asma, antara lain :
(1) refleks naso-bronkial.
(2) meningkatnya inhalasi melalui mulut terhadap udara
dingin, kering atau alergen inhalasi.
(3) drainase post-nasal bahan-bahan inflamasi ke saluran
napas bagian bawah.
(4) absorpsi mediator atau faktor kemotaktik.
(5) menurunnya respons terhadap adrenergik beta.
Refleks naso-bronkial, terungkap dari penelitian Kaufman
dan Wirght34 yang membuktikan pemberian silikat di mukosa
hidung manusia bukan penderita asma menyebabkan peningkatan resistensi saluran napas bagian bawah. Spasme bronkus
yang terjadi pada pemberian silikat di hidung ternyata dapat
dihambat dengan atropin34 dan reseksi saraf trigeminus35; kejadian tersebut mendukung peranan refleks kolinergik. Meskipun masih terdapat silang pendapat, Yan dan Salome36 melakukan uji provokasi histamin pada hidung penderita rinitis alergi
dan asma yang stabil, ternyata didapatkan penurunan volume
ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) lebih dari 10% pada 8
dari 12 penderita. Cepatnya respons saluran napas bagian
bawah menunjukkan adanya kemungkinan peranan refleks
naso-bronkial. Tetapi penelitian Little dkk37 tidak menyokong
peranan refleks naso-bronkial, karena dengan pemberian fenilefrin yang bukan anti-kolinergik, refleks naso-bronkial dapat
dihambat.
Pernapasan mulut terjadi akibat hidung tersumbat oleh
edem jaringan dan sekret. Penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa bernapas melalui mulut meningkatkan kemungkinan terjadinya serangan asma karena kegiatan jasmani.38 Perbaikan
fungsi hidung diduga dapat memperbaiki gejala asma. Hal ini
karena udara yang dihirup akan disaring, dihangatkan dan dilembabkan dulu sebelum mencapai bronkus. Alergen dan
polutan akan tersaring di hidung.
Drainase bahan-bahan inflamasi dari saluran napas bagian
atas ke saluran napas bagian bawah mungkin terjadi (post-nasal
drip). Meskipun pada kelinci percobaan rinosinusitis dapat
meningkatkan reaktivitas saluran napas,39 Bardin, dkk40 membuktikan dengan zat radioaktif, tidak ada aspirasi cairan sinus
ke dalam bronkus.
Akibat reaksi alergi sangat mungkin terjadi absorbsi zatzat mediator atau kemotaktik, sebelum akhirnya mencapai
bronkus.16 Teori ini menyatakan bahwa pada penyakit atopi,
termasuk di dalamnya asma dan rinitis, kepekaan reseptor selselnya menurun terhadap rangsangan adrenergik beta.
KESIMPULAN
Penelitian epidemiologik menunjukkan bahwa rinitis alergik dan asma sering terdapat bersama-sama, dan hipereaktivitas
bronkus non spesifik dapat dijumpai pada sebagian penderita
rinitis alergik tanpa gejala asma. Sampai sekarang belum jelas
mekanisme hubungan rinitis alergik dan asma, meskipun keduanya merupakan penyakit inflamasi. Pada penderita rinitis
yang juga asma, kortikosteroid intranasal dan antihistamin
khususnya generasi kedua dapat mengurangi gejala asma dan
bahkan pada sebagian penderita dapat memperbaiki fungsi paru
dan reaktivitas bronkus. Meskipun pengobatan rinitis alergik
mempunyai efek perbaikan asma, belum jelas apakah pengobatan rinitis dapat mempengaruhi perjalanan penyakit asma.
KEPUSTAKAAN
1.

Simon FER. Allergic rhinobronchitis: the asthma-allergic rhinitis link. J


Allerg Clin Immunol 1994; 104 : 534-40.
2.
Passalacqua G Ciprandi G, Canonica GW. United airway diseases: therapeutic implication. Thorax 2000: 55(Suppl 2)S26-S27.
3.
Schleimer RP, Togias AG. Introduction. Systemic Aspects of Allergic
Diseases. J Allerg Clin Immnunol 2000; 106(Suppl): 191s
4.
Mygind N, Bisgaard H. Applied anatomy of the airways. Dalam : Mygind
N, Pipkorn F, Dahl R, eds. Rhinitis and asthma. Similarities and
differences. Copenhagen: Munksgaard. 1990: 21-37.
5.
Persson CCA. Pipkorn U. Pathogenesis and pharmacology of asthma and
rhinitis. Dalam : Mygind N, Pipkorn F, Dahl R, eds. Rhinitis and asthma.
Similarities and differences. Copenhagen. Munksgaard, 1990: 275-88.
6.
Smith JM. Epidemiology and natural history of asthma, allergic rhinitis
and atopic dermatitis. Dalam: Middleton E, Reed CE, Ellis EF, Adkinson
NF. eds. Allergy : Principle and practice. 3rd ed. St. Louis: Mosby, 1988:
891-929.
7.
Dahl R. Rhinitis and asthma. Dalam : Mygind N, Naclerio RM, eds.
Allergic and non allergic rhinitis. Clinical aspects. Copenhagen: Munksgaard, 1993: 184-8.
8.
Broder I, Higgin MW, Mathews KP, Keller B. Epidemiology of asthma
and allergic rhinitis in a total community. Tecumseh, Michigan. J Allerg
Clin Immunol 1974; 54: 100-10.
9.
Settipane RJ, Hagy GW, Settipane GA. Longterm risk factors for
developing asthma and rhinitis : a 23-year follow up study of college
students. Allerg Proc 1994; 15: 21-5.
10. NHLBI/WHO Workshop report. Global Initiative for Asthma. Publication
No. 95-3859. January 1995; 1-176.
11. Madonini E, Briatico-Vangosa B, Pappacoda A, Maccagini G, Cardani A,
Saporiti F. Seasonal increased bronchial reactivity in allergic rhinitis. J
Allerg Clin Immunol 1987; 79: 358-63.

12. Ramsdale EH, Morris MM, Roberts RS, Hargreave FE. Asymptomatic
bronchial hyperresponsiveness in rhinitis. J Allerg Clin Immunol 1985;
75: 573-7.
13. Verdiani P, Di Carlo S, Baronti A. Different prevalence and degree of
nonspesific bronchial hyperreactivity between seasonal and perennial
rhinitis. J Allerg Clin Immunol 1990; 86: 576-82.
14. Prieto L, Berto JM, Guiterrez V. Airway responsiveness to metacholine
and risk of asthma in patients with allergic rhinitis. Ann Allerg 1994; 72:
534-9.
15. Corren J. Allergic rhinitis and asthma: How important is the link ? J
Allerg Clin Immunol 1997; 99: 5781-6.
16. Corren J. Adinoff AD, Buchmeier AD, Irvin CG. Nasal beclomethasone
prevents the seasonal increase in bronchial responsiveness in patients
with allergic rhinitis and asthma. J Allerg Clin Immunol 1992; 98: 250-6.
17. Henriksen JW, Wenzel A. Effect of an intranasal administered corticosteroid (budesonide) on nasal obstruction, mouth breathing and
asthma. Am Rev Respir Dis 1984; 130: 1014-8.
18. Watson WTA, Becker AB, Simmons FER. Treatment of allergic rhinitis
with intranasal corticosteroids in patients with mild asthma: Effect on
lower airway responsiveness. J Allerg Clin Immunol 1993; 91: 97-101.
19. Wood RA, Eggleston PA. The effects of intranasal steroids on nasal and
pulmonary response to cat exposure. Am J Respir Crit Care Med 1995;
151: 315-20.
20. Karlin JM. The use of antihistamines in asthma. Ann Allerg 1972; 30:
342-7.
21. Meltzer EO. The use of anti-H1 drugs in mild asthma. Allergy 1995; 50:
41-7.
22. Rafferty P, Jackson L, Smith R, Holgate ST. Terfenadine: a potent H1receptor antagonist in the treatment of grass pollen sensitive asthma. Br J
Clin Pharmacol 1990; 30: 229-35.
23. Grant JA, Nicodemus CF, Findaly SR et al. Cetirizine in patients with
seasonal allergic rhinitis and concomitant asthma: prospective
randomized, placebo-controlled trial. J Allerg Clin Immunol 1995; 95:
723-32.
24. Cristina Seminario M, Gleich GJ. The role of eosinophils in the
pathogenesis of asthma. Curr Op Immunol 1994; 6: 860-4.
25. Mygid N. Pathophysiology of allergic rhinitis. Eur Respir Rev 1994; 4:
248-51.
26. Paolieri F, Battifora M, Riccio AM et al. Terfenadine and fexofenadine
reduce in vitro ICAM-1 expression on human continuous cell link. Ann
Allerg Asthma Immunol 1998; 81: 601-7.
27. Abdelaziz MM, Devalia JL. Kahir OA et al. Effect of fexofenadine on
eosinophil-induced changes in epithelial permeability and cytokine release from nasal epithelial cells of patients with seasonal allergic rhinitis. J
Allerg Clin Immunol 1998; 101: 410-20
28. Vignola AM, Crampetle L, Mondain M et al. Inhibitory activity of
loratadine and descarboethoxyloratadine on expression of ICAM-1 and
HLA-DR by nasal epithelial cells. Allergy 1995; 50: 2000-3.
29. Redier H, Chanez P, De Vos C et al. Inhibitory effect of cetirizine on
bronchial eosinophil recruitment induced by allergen inhalation challenge
in allergic patients with asthma. J Allerg Clin Immunol 1992; 90: 215-24.
30. Ciprandi G, Buscaglia S, Pesce G et al. Cetirizine reduces inflammatory
cell recruitment and ICAM-1 (or CD-54) expression on conjunctival
epithelium in both early and late phase reaction after allergen-specific
challenge. J Allerg Clin Immunol 1995; 95: 612-21.
31. Fadel R, Herpin-Richard N, Rilioux JP, Henocq E. Inhibitory effect of
cetirizine 2 HCl on eosinophil migration in vivo. Clin Allerg 1987; 17:
373-9.
32. Ciprandi G, Ricca V, Tosca M, Landi M, Passalaeque G, Cononica GW.
Continuous antihistamine treatment controls allergic inflammation and
reduces respiratory morbidity in children with mite allergy. Allergy 1999;
54: 358-65.
33. Ciprandi G, Tosca M, Passalaequa G, Cononica G. Longterm cetirizine
treatment reduces allergic symptoms and drug prescriptions in children
with mite allergy. Ann Allerg Asthma Immunol 2001; 87: 222-6.
34. Kaufman J, Wright GW. The effect of nasal and nasopharyngeal irritation
on airway resistance in man. Am Rev Resp Dis 1969; 100: 626-30.
35. Kaufman J, Chen JC, Wright GW. The effect of trigeminal resection on
reflex bronchoconstriction after nasal and nasopharyngeal irritation in
man. Am Rev Resp Dis 1970; 101: 768-9.
36. Yan K, Salome C. The response of the airways to nasal stimulation in
asthmatics with rhinitis. Eur J Resp Dis 1983; (suppl): 105-8.

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 25

37. Little NT, Carlisle CC,Millman RP, Braman SS. Changes in airway resistance following nasal provocation.Am Rev Respir Dis 1990;141:580-3.
38. Shurtman-Ellstein R, Zeballos RJ, Buckley JM, Souhrada JF. The beneficial effect of nasal aerating in exercise induced broncho-constriction.
Am Rev Respir Dis 1978; 118: 65-73.

39. Brugman SM, Larson GL, Henson PM, Honor J, Irvin CG. Increased
airway responsiveness associated with sinusitis in a rabbit model . Am
Rev Resp Dis; 147: 314-20.
40. Bardin PG, Van-Heerden BB, Joubert JR. Absence of pulmonary
aspiration of sinus contents in patients with asthma and sinusitis. J Allerg
Clin Immunol 1990; 86: 82-8.

Gambar 1. Rerata skor mingguan gejala saluran napas bagian atas (rinitis) selama 24 minggu.* Perbedaan
bermakna (p < 0.05). (Ciprandi dkk : Ann Allerg Asthma Immunol, 2001; 807: 222-6)

Gambar 2. Rerata skor mingguan saluran napas saluran bawah (asma) selama 24 minggu.* Perbedaan bermakna
(p < 0.05). (Ciprandi dkk : Ann Allerg Asthma Immunol, 2001; 807: 222-6).

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

PRAKTIS

Penatalaksanaan LES
pada Berbagai Target Organ
Nanang Sukmana
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi
klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat1,2,3. Pada
keadaan awal, sering sulit dikenal sebagai LES, karena
manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini
penyebab LES belum diketahui; ada dugaan faktor genetik,
infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi
LES.4,5,6,7
Prevalensi bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai
saat ini belum pernah dilaporkan. Pada dekade terakhir terlihat
adanya kenaikan kasus yang berobat di RSCM Jakarta. Salah
satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk
ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus LES
yang perlu diketahui sehingga diagnosis lebih dini dan
pengobatan lebih adekuat. Baron dkk8 melaporkan keter-libatan
ginjal lebih sering ditemukan pada LES dengan onset usia
kurang dari 18 tahun. Sedangkan pada penelitian Font dkk9 lesi
diskoid dan serositis lebih sering ditemukan sebagai manifestasi awal pasien LES laki-laki, sedangkan artritis lebih
jarang. Samanta dkk10 pada penelitian populasi Asia dan kulit
putih di Inggris melaporkan kelainan ginjal lebih sering
ditemukan di populasi Asia. Wanita lebih sering terkena
dibanding laki-laki dan umumnya pada kelompok usia
produktif.
PATOGENESIS LES
Kelainan sistem imun pada LES ditandai dengan berbagai
faktor dan lingkungan yang mampu mengubah sistem imun
tersebut yang mungkin sudah didasari kelainan genetik, seper-ti
terlihat pada gambar 1.
Antigen dari luar yang akan diproses oleh makrofag (APC)
akan menyebabkan berbagai keadaan seperti: apoptosis,
aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa antigen
di tubuh tidak dikenal (selanjutnya disebut Self Antigen) contoh
nucleosomes, U1RP dan Ro/SS-A. Antigen tersebut akan
diproses seperti umumnya antigen lain oleh APC dan sel B.
Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat oleh sel B
Dibacakan pada acara Simposium Allergy & Clinical Immunology Update,
Hotel Marcopolo, Lampung, 12-13 April 2003

pada reseptornya untuk selanjutnya menghasilkan suatu antibodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk oleh
peptida ini dan antibodi yang dibentuk oleh antigen eksternal
akan merusak organ target (glomerulus, sel endotel dan
thrombosit). Di sisi lain antibodi juga dapat berikatan dengan
antigennya untuk membentuk komplek imun (IC) yang dapat
merusak berbagai organ tubuh bila terjadi endapan.
Aktivasi sel T dan sel B tersebut sebetulnya akan dikontrol oleh gen-gen yang berbeda, yang mungkin dapat
direspon tubuh dengan cara pembersihan antigen atau komplek
imun di dalam sirkulasi.
Perubahan abnormal di dalam sistem imun tersebut dapat
mempresentasikan protein RNA, DNA dan phospholipid ke
dalam sistem imun tubuh. Beberapa autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat
berikatan dengan glycoprotein II dan III di dinding trombosit
dan eritrosit. Di sisi lain antibodi juga dapat bereaksi dengan
antigen sitoplasmik trombosit dan eritrosit yang akhirnya akan
menyebabkan proses apoptosis.

Gambar 1. Patogenesis LES

Peningkatan komplek imun di sirkulasi sering ditemukan


Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 27

pada penderita LES dan keadaan ini sering menimbulkan


kerusakan jaringan bila terjadi pengendapan. Komplek imun
tersebut dapat juga berkaitan dengan komplemen yang akhirnya berikatan dengan reseptor C3b di sel darah merah yang
akan menimbulkan hemolisis. Bila komplek imun melalui
hepar maka akan dieliminasi dengan cara mengikat C3bR dan
bila melalui limpa akan diikat oleh FcR. IgG. Ketidakmampuan kedua organ tersebut akan menimbulkan manifestasi klinik
berupa hemolisis.
Deposit komplek imun sirkulasi (CIC) tidak sederhana
karena melibatkan aktivasi berbagai komplemen, PMN dan
berbagai mediator inflamasi lainnya yang timbul karena
kerusakan/disfungsi sel endotel pembuluh darah.
Berbagai keadaan sitokin yang terjadi pada LES ialah :
penurunan jumlah IL-1dan peningkatan IL-6, IL-4 dan IL-6.
Ketidakseimbangan sitokin ini dapat meningkatkan aktivasi sel
B untuk membentuk antibodi.
Berbagai keadaan sel T dan Sel B yang terjadi pada LES:
1. Sel T
- Limfopenia
- Penurunan sel T supresor
- Peningkatan sel T helper
- Penurunan memori dan CD4
- Penurunan aktivasi sel T supresor
- Peningkatan aktivasi sel T helper
2. Sel B
- Aktivasi dan poliklonal sel B
- Peningkatan terhadap respon sitokin
PENATALAKSANAAN LES
Salah satu aspek penting pada penatalaksanaan LES ialah
adanya beberapa perbedaan pendapat Hal ini muncul karena
laporan beberapa sentra yang mengemukakan keberhasilan
pengobatan dan sampai sekarang belum ada satu panduan
umum penatalaksanaan/pengobatan LES yang dapat diterima
semua pihak.6,7,11 Keadaan ini sebetulnya dapat diatasi dengan
dengan menentukan jenis LES dan derajat penyakitnya.
Dengan makin berkembangnya beberapa pemeriksaan penunjang maka deteksi dini LES dapat dengan mudah dilakukan.8,11,12
Beberapa pertanyaan sebelum melakukan penatalaksanaan LES yaitu :6,10,11
1. Apakah pasien masuk kriteria ARA atau tidak.
2. Bila tidak, apakah pasien memenuhi kriteria biopsi. .
Dengan panduan biopsi apakah pasien termasuk LES atau
diskoid lupus.
3. Apakah keluhan yang muncul merupakan bagian dari
penyakit konektif lainnya.
4. Setelah mengetahui LES, pastikan organ sasaran yang
terkena dan derajat sakitnya.
5. Adakah penyakit lain yang dapat terjadi bersamaan dengan
LES. Bila ada tentukan apakah primer atau sekunder.
6. Upaya pengobatan ditujukan untuk meningkatkan kualitas
hidup dengan mempertimbangkan untung-rugi dari suatu
regimen pengobatan.
Dari hal-hal tersebut di atas kita dapat mulai penatalaksanaan LES dengan baik; beberapa keberhasilan pengobat28 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

an dapat dijadikan panduan penatalaksanaan sesuai dengan


derajat dan target organ sasaran yang terkena. Mengingat
pengobatan akan berlangsung lama bahkan dapat seumur hidup
maka pemberian obat harus rasional, efek samping se-minimal
mungkin, mempunyai efektifitas tinggi, obat mudah didapat
dan murah11,13,14. Pada makalah ini akan dibahas penatalaksanaan Lupus eritematosus sistemik, yang terbagi dua
kelompok yaitu :
1. Penatalaksanaan umum.
2. Pengobatan farmakologis.
PENATALAKSANAAN UMUM
1. Kelelahan
Hampir setengah penderita LES mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena penyakit lain yaitu: anemia,
demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi
pengobatan dan emotional stress. Gejala ini merupakan manifestasi yang berhubungan dengan disfungsi sitokin dalam proses
inflamasi sehingga peningkatan keluhan dapat sebagai
parameter aktivitas inflamasi. Upaya mengurangi kelelahan di
samping pemberian obat ialah : cukup istirahat, batasi aktivi-tas
dan mampu mengubah gaya hidup.3,15,16
2. Merokok
Walaupun prevalensi LES lebih banyak pada wanita,
cukup banyak wanita perokok. Kebiasaan merokok akan
mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena Raynaud
yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan
yang terkandung pada sigaret/rokok.6,15,16
3. Cuaca
Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya ada dua musim akan tetapi pada
sebagian penderita LES khususnya dengan keluhan artritis
sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi 15,16.
4. Stres dan trauma fisik
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan
emosi dan trauma fisik dapat mempengaruhi sistem imun
melalui : penurunan respon mitogen limfosit, menurunkan
fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK
(Natural Killer).6,15,16
Keadan stres tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan
dengan aktivasi LES-nya. Umumnya beberapa peneliti sependapat bahwa stres dan trauma fisik sebaiknya dikurangi atau
dihindari karena keadaan yang prima akan memperbaiki penyakitnya7,15.
5. Diet
Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien LES,
makanan yang berimbang dapat memperbaiki kondisi tubuh.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa minyak ikan (fish oil)
yang mengandung eicosapentanoic acid dan docosahexanoic
acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan
pada penderita dengan hiperkolesterol perlu pembatasan
makanan agar kadar lipid kembali normal.6,7,15
6. Sinar matahari (sinar ultra violet)

Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga


gelombang, dua dari tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm)
berperan dalam proses fototoksik. Gelombang ini terpapar
terutama pada pukul 10 pagi s/d pukul 3 sore, sehingga semua
pasien LES dianjurkan untuk menghindari paparan sinar
matahari pada waktu-waktu tersebut.4,7,15
7. Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen
tinggi akan memperberat LES, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada penderita
LES yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan
menggunakan obat yang mengandung estrogen.4,6,7,15
PENGOBATAN FARMAKOLOGIS
1. Steroid sistemik
Yang paling penting pada pengobatan LES adalah pertimbangan untuk memilih regimen pengobatan karena
pengobatan akan berlangsung lama, dengan berbagai efek
samping yang akan terjadi.6,12,15,16,17
LES dibagi dua kelompok besar (Dubois)16,17 yaitu :
a. Kelompok ringan
Termasuk pada kelompok ini ialah :demam, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan, kelelahan dan
sakit kepala.
b. Kelompok berat
Termasuk pada kelompok ini ialah : efusi pleura dan
perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik, trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis, lupus pneumonitis dan perdarahan paru.
Keuntungan pembagian ini ialah untuk menentukan dosis
steroid atau obat lainnya.
2. Panduan umum derajat LES ringan15,16,17
- Aspirin dan obat antiinflamasi non steroid merupakan
pilihan utama.
- Dosis disesuaikan dengan derajat penyakitnya.
- Penambahan obat anti malaria hanya dikhususkan bila ada
skin rash dan lesi di mukosa membran.
- Bila pengobatan di atas gagal, dapat ditambah prednison
2,5 mg-5 mg/hari, dapat dinaikkan secara bertahap 20% tiap 12 minggu, sesuai kebutuhan.
3. Panduan umum derajat LES berat4,6,13,15,16,17
- Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama.
- Obat anti inflamasi non steroid dan anti malaria tidak
diberikan.
- Pemberian prednison dan lama pemberian disesuaikan
dengan kelainan organ sasaran yang terkena.
Pengobatan pada kasus-kasus khusus
1. Anemia hemolitik autoimun.1,4,15,18
Prednison : 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kgbb/hari)
Bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum ada
perbaikan maka dosis dapat ditingkatkan sampai 100 mg-120
mg/hari. Umunmya respon penuh akan dicapai dalam 8-12
minggu.
2. Trombositopenia otoimun.6,15,18
Prednison : 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kgbb./hari).

Bila tidak ada respon dalam 4 minggu ditambahkan


Imunoglobulin intravena (IVIG) 0,4 mg/kgbb./hari selama 5
hari berturut-turut.
3. Vaskulis sistemik akut.4,15,18
Prednison : 60-100 mg/hari, umumnya respon akan terlihat dalam beberapa hari; kecuali pada kasus dengan komplikasi gangren di tungkai, respon terlihat dalam beberapa
minggu. Pada keadaan akut diberikan steroid parenteral.
4. Perikarditis1,15,18
- Ringan : obat anti inflamasi non steroid atau anti malaria.
Bila dengan obat ini tidak efektif dapat diberi prednison
20-40 mg/hari.
Berat : prednison 1 mg /kgbb./hari.
5. Miokarditis15,18
Prednison 1 mg/kgbb/hari; bila tidak efektif dapat dikombinasi dengan siklofosfamid.
6. Efusi pleura1,6,15,18
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, lakukan pungsi
pleura/drainage.
7. Lupus pneumonitis1,6,15,16,17,18
Prednison 1-1,5 mg/kgbb./hari selama 4-6 minggu.
8. Lupus serebral1,6,12,15,18
- Metil prednisolon 2 mg/kgbb./hari untuk 3-5 hari, bila
berhasil dilanjutkan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan
perlahan.
- Metil prednisolon pulse dosis selama 3 hari berturut-turut.
LUPUS NEPHRITIS (LN)
Penatalaksanaan umun15,16,17
1. Bila tidak ada kontraindikasi semua pasien dengan LES
sebaiknya dibiopsi. Biopsi dapat diulang jika dalam perjalanan
pengobatan gejalanya menetap atau memburuk.
2. Diet rendah garam jika ditemukan hipertensi, rendah
lemak jika ada hiperlipidemia atau sindrom nefritis, begitu juga
diet rendah protein disesuaikan dengan derajat penyakit-nya.
Kalsium dapat diberikan untuk mengurangi efek samping
osteoporosis karena steroid.
3. Diuretika dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan.
4. Pemeriksaan rutin periodik meliputi pemeriksaan :
Sedimen urin.
Urin 24 jam ( protein)
Kreatinin dan CCT
Albumin serum
C3
10. anti DNA
Pemeriksaan diulang sesuai dengan perkembangan penyakit:
1. Pantau efek samping steroid dan komplikasi yang terjadi
selama pengobatan (infeksi dll).
2. Hindari pemberian salisilat dan obat inflamasi non steroid
karena akan memperberat kerja ginjal.
3. Penanganan hipertensi yang baik.
4. Hindari kehamilan bila LN masih aktif.
5. Aspirin hanya diberikan selektif bila ada anti fosfolipid.
Pengobatan

LN

secara

umum

(memenuhi

kriteria

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 29

ARA)1,4,6,15,16,17,18
Prednison : 1 mg/kgbb. /hari untuk 6-12 minggu. Setelah
itu dapat diturunkan secara bertahap.
Pengelolaan LN sampai sekarang masih kontroversial.
Tujuan utamanya adalah mencegah perburukan penyakit.

KEPUSTAKAAN
1.
2.

Panduan pengobatan sesuai kelas WHO15,17


Kelas I : Tidak ada pengobatan khusus.
Kelas II : Mesangial (IIA) tidak memerlukan pengobatan.
Pada pasien kelas II B; dengan protein lebih 1 g, titer DNA
tinggi, dan C3 rendah dapat diberi prednison 20mg/hari selama
6 minggu sampai 3 bulan, setelah itu diturunkan bertahap.
Kelas III : Umumnya pemberian steroid digabung dengan
siklofosfamid
Kelas IV : Prednison : 1 mg/kgbb/ hari selama 6-12
minggu
Kelas V
: Umumnya tidak diberi siklofosfamid.

3.

Protokol pemberian siklofosfamid 15,17,18


Dosis 0,5-1 g/m2 luas permukaan badan diberikan secara
bolus (per infus) tiap bulan selama 6 bulan selanjutnya tiap 3
bulan sampai 1-2 tahun kemudian, atau total dosis mencapai 10
g.
Protokol pemberian pulse metil prednisolon15,17,18
Dosis 1 g IV (bolus) selama 3 hari berturut-turut. Diindikasikan pada :
1. Oliguria akut (renal failure).
2. Lupus serebral dengan koma.
3. Lupus krisis (acute serious SLE)

9.

PENUTUP
Penatalaksanaan LES masih terus berkembang, berbagai
sentra melakukan penelitian dalam upaya meningkatkan
kualitas hidup pasien LES. Tersedianya sarana laboratorium
dan diagnostik yang memadai memudahkan diagnosis dini.
Tingkat ekonomi pasien perlu dipertimbangkan dengan bijak
agar pembiayaan dapat ditekan sekecil mungkin dengan
memilih pemeriksaan yang sangat diperlukan sesuai dengan
skala prioritas.

14.

4.
5.
6.
7.
8.

10.
11.
12.

13.

15.
16.

17.
18.

Pisetsky DS, Glikeson G, Clair EW. Systemic Lupus Erythematosus.


Diagnosis and treatment. Med Clin North Am. 1997 ; 81 : 113-27.
Mills JA. Systemic Lupus Erythematosus.N Engl J Med 1994; 330:18716.
Boumpas DT, Austin HA, Fessler BJ, Balow JE, Klippel JH, Locksin
MD. Systemic Lupus Erythematosus : Emerging Concept. Ann Intern
Med, 1995; 122 : 940-50.
Steinberg AD, Gourley MF, Klinman DM, Tsokos GC, Zscott DE, Krieg
AM. Systemic Lupus Erythematosus. NIH Conference. Ann Intern Med,
1991 ; 115 : 548-57.
Lewkonia RM. The clinical genetic of lupus. Lupus 1992 ; 1 : 55-62.
Pisetsky DS, Gilkeson G. Systemic Lupus Erythematosus. Med Clin
North Am, 1997 ; 81 : 113-127.
Hochberg MC. The epidemiology of Systemic Lupus Erythematosus.
Dalam: Wallace DJ, Hahn BH eds. Dubois'Lupus Erythematosus, fourth
ed. Philadelphia : William & Wilkins, 1997 : 93-104.
Barron KS, Silverman ED, Gonzales J, Reveile JD. Clinical, serologic
and immunogenetic studies in childhood onset Systemic Lupus
Erythematosus. Arthritis Rheum, 1993 ; 36 : 348-54.
Font J, Cervera R, Novorro et al. Systemic Lupus Erythematosus in men;
Clinical and immunological characteristics. Ann Rheum Dis 1992; 51:
1050-2.
Samanta A, Feehally J, Roy S, Nichol FE, Sheldon PJ, Walls J. High
prevalence of systemic disease and mortality in Asian subjects with
Systemic Lupus Erythematosus. Ann Rheum Dis, 1991 ; 50 : 490-2.
Wallace DJ. The Clinical presentation of SLE Dalam : Wallace DJ, Hahn
BH, eds. Dubois'Lupus Erythematosus, fourth ed. Philadelphia. William
& Wilkins, 1997 ; 627-634.
Wallace DJ, Metzger AL. Systemic Lupus Erythematosus and the
nervous system. Dalam : Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois' Systemic
Lupus Erythematosus, fourth ed. Philadelphia : William & Wilkins, 1997
: 723-754.
Schur PH. Third International Conferences on Systemic Lupus Erythematosus. Arthritis and Rheumatism, 1992 ; 35 : 1238-1240.
Kater L. Systemic Lupus Erythematosus. Diagnosis and treatment.
Advance Posgraduate Course on Immunology. Jakarta, 7-9 November
1994.
Faille HB, Kater L. Lupus Erythematosus. Dalam : Dela Faille HB, Kater,
eds. Multi system Autoimmune Disease.Elsevier Science BV, 1994:85121.
Kashgarn M. Lupus nephritis: pathology, pathogenesis, clinical
correlation and prognosis. Dalam: Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois'
Systemic Lupus Erythematosus, fourth ed. Philadelphia : William &
Wilkins,1997;1037-51.
Wallace DJ, Hahn BH, Kleppel JH. Lupus nephritis. Dalam : Wallace DJ,
Hahn BH, eds. Dubois' Systemic Lupus Erythematosus, fourth ed.
Philadelphia : William & Wilkins, 1997 ; 1053-65.
Kumberly RP. Steroid use in Systemic Lupus Erythematosus. Dalam:
Lahita RG (ed) Systemic Lupus Erythematosus, second ed. New York;
Churchill Livingstone, 1992 : 967-23.

Death is the farthest limit of our changing life


(Horace)

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Keterlibatan Paru dan Pleura


pada SLE
Zuljasri Albar
Sub Bagian Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit
radang kronik sistemik yang timbul akibat proses otoimun.
Penyakit ini dapat mengenai setiap organ tubuh, dengan
frekuensi dan derajat yang berbeda-beda pada tiap penderita.
Sebagai contoh, keterlibatan ginjal 74%, SSP 54%, paru 44%
selama perjalanan penyakit.1 Istilah lupus nefritis atau lupus
serebritis sudah sering didengar, sedangkan lupus pneumonitis
atau lupus pleuritis relatif jarang. Mengingat keterlibatan paruparu dan pleura pada SLE cukup sering ditemukan bahkan ada
penelitian yang menyatakan sampai 90%2, kami mencoba
meneliti kekerapan keterlibatan paru dan pleura pada penderita
SLE. Penelitian retrospektif ini tidak dapat memastikan penyebab keterlibatan paru dan pleura karena memerlukan
pemeriksaan lebih khusus seperti spirometri, bilas bronkus,
biopsi transbronkhial dan lain-lain1-4 yang tidak dilakukan
seperti terlihat dalam catatan medik penderita. Di lain pihak,
mengetahui penyebab kelainan paru dan pleura pada SLE
memang sangat sulit karena SLE sendiri dapat menimbulkan
kelainan paru dan pleura akibat kelainan perikardium, gagal
jantung, uremia atau sindrom nefrotik2. Keterlibatan paru dan
pleura yang cukup tinggi pada SLE merupakan peringatan
untuk memberikan perhatian kepada hal ini karena keterlambatan penanganannya akan mempengaruhi prognosis.
BAHAN DAN CARA
Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan mengevaluasi rekam medik penderita SLE yang dirawat di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) selama periode 1 Januari
1996 s/d 31 Desember 2000. Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan kriteria American Rheumatology Association (ARA).
Keterlibatan paru dan pleura ditetapkan berdasarkan adanya
kelainan pada pemeriksaan jasmani dan atau foto toraks.

HASIL
Dari 48 rekam medik yang ditemukan, hanya 34 penderita
yang memenuhi kriteria diagnostik SLE dari ARA5. Usia penderita berkisar antara 13-50 tahun. Sebagian besar (33 kasus)
adalah wanita, sedangkan penderita pria hanya 1 kasus, berusia
20 tahun (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi penderita SLE berdasarkan usia dan jenis kelamin.

Usia

Jenis kelamin

11-15 tahun
16-20 tahun
21-25 tahun
26-30 tahun
31-35 tahun
36-40 tahun
41-45 tahun
46-50 tahun

Wanita
2
9
7
6
4
1
3
1

Pria
1
-

Jumlah

33

Tabel 2. Penderita SLE dengan keterlibatan paru dan pleura.


Usia

Jenis kelamin

11-15 tahun
16-20 tahun
21-25 tahun
26-30 tahun
31-35 tahun
36-40 tahun
41-45 tahun
46-50 tahun

Wanita
2
6
4
1
4
2
1

Pria
1
-

Jumlah

20

Kelainan paru pada pemeriksaan jasmani berupa ronkhi


basah halus nyaring, ronkhi basah halus dan kasar, pleural
Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 31

friction rub dan perkusi redup atau pekak didapatkan pada 20


kasus. Hanya 1 kasus yang tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan jasmani (kasus 9). Pada pemeriksaan radiologik
(foto toraks), kelainan berupa infiltrat, edema paru dan efusi
pleura didapatkan pada 17 kasus. Tidak terdapat peninggian
diafragma. Penderita SLE yang menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan jasmani dan foto toraks - dengan perkataan lain
tanda keterlibatan paru dan pleura - sebanyak 21 kasus
(61.8%).
Sesak napas merupakan keluhan utama pada 11 kasus
(tabel 3). Dari 11 kasus ini gagal ginjal kronik ditemukan pada
4 kasus, gagal jantung kongestif 2 kasus, pneumonia 6 kasus; 4
kasus pneumonia/bronkhopneumonia ditemukan bersama-sama
dengan gagal ginjal kronik; 2 kasus pneumonia lain berdiri
sendiri (kasus 1 dan 11). Demam dan batuk sebagai keluhan
utama hanya terdapat pada 1 kasus. Keluhan utama yang lain
ialah miksi nyeri, lemah, mata dan kaki bengkak, nyeri ulu hati,
sakit kepala hebat, demam, tak mau makan, tungkai lemah dan
perdarahan bibir.
Tabel 3.

Hubungan sesak napas sebagai keluhan utama dengan gagal


ginjal kronik, gagal jantung kongestif dan pneumonia/
bronkhopneumonia

No.
kasus

Keluhan utama
Sesak napas

Gagal ginjal
kronik

Gagal jantung
kongestif

Pneumonia/
Bronkhopneumonia

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
-

+
+

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

Diagnosis pneumonia ditegakkan pada 13 kasus, 3 di


antaranya disertai efusi pleura. Sebagai keluhan utama,
kelainan paru/pleura ditemukan pada 3 kasus.
Efusi pleura ditemukan pada 5 kasus, 1 di antaranya
bersama-sama dengan TB paru, sedangkan pleural friction rub
hanya pada 1 kasus (kasus 11) (Tabel 4). Tidak ditemukan
perdarahan paru. Sejumlah 13 penderita diketahui pernah menderita SLE, lamanya berkisar antara 1 bulan sampai 14 tahun.
Uji serologi berupa ANA atau anti-dsDNA dilakukann pada 5
penderita dengan hasil positip pada semua kasus dengan titer
berkisar antara 767 sampai 1588.3 (titer normal <200). Fungsi
paru hanya diperiksa pada 1 penderita yang telah menderita
SLE selama 3 tahun. Hasilnya didapatkan restriksi sedang.
32 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Tabel 4.

Bentuk keterlibatan paru dan pleura pada SLE1.

No.
Kasus

PN/
BP

Efusi
pleura

Perdarahan

Peninggian
diafragma

Nonspesifik

Tuberkulosis

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

+
+
+
+
+

+
+
+
-

+
+

Dari 21 kasus dengan keterlibatan paru dan pleura, pada 12


kasus ditemukan kondisi yang mungkin berperan dalam
keterlibatan tersebut, yaitu gagal ginjal kronik (5 kasus), tuberkulosis paru (2 kasus), sindrom nefrotik (2 kasus), gagal
jantung kongestif (2 kasus) dan kelainan perikardium (efusi
perikard - 1 kasus).Pada 9 kasus lainnya, keterlibatan paru dan
pleura diduga merupakan akibat langsung SLE atau unfeksi
nonspesifik berupa pneumonia/bronkopneumonikia (tabel 5).
Dari 21 kasus SLE dengan keterlibatan paru dan pleura, 9
penderita meninggal; 5 karena gagal ginjal kronik, 1 karena
gagal napas dan 3 karena syok septik dengan pneumonia
disebutkan sebagai penyebab.
Tabel 5.

Faktor-faktor yang diduga berperan dalam keterlibatan paru


dan pleura pada SLE2.

Jenis kelainan
SLE/infeksi
Gagal ginjal kronik
Tuberkulosis paru
Sindroma nefrotik
Gagal jantung kongestif
Efusi perikard
Jumlah

Jumlah
9
5
2
2
2
1
21

DISKUSI
Dari seri ini kelainan paru dan pleura ditemukan sebanyak
61.8%; jika 2 kasus tuberkulosis paru tidak dimasukkan, angkanya sebesar 55,9%; kira-kira sama dengan yang dilaporkan
dalam kepustakaan, yaitu antara 50-90%6,7, 38-89%2,4, 5060%.8,9 Inflamasi paru sering ditemukan pada otopsi penderita
SLE. Dengan pemeriksaan yang lebih khusus, prevalensi di
atas lebih tinggi lagi. Penelitian fisiologik pada penderita SLE
menunjukkan adanya kelainan restriktif paru sebagaimana
terlihat dari : penurunan kapasitas difusi pada 80% kasus, penurunan volume paru pada 65% kasus dan penurunan saturasi
oksigen arterial pada 55% kasus (Guenter dan Welch, 1982);

pada seri ini hanya 1 kasus yang menunjukkan kelainan


restriktif sedang pada spirometri. Secara klinis, sebagian besar
penderita dengan kelainan paru mengeluh sesak napas disrtai
batuk produktif(2,3). Sebelum menetapkan kelainan paru dan
pleura sebagai penyebab sesak napas perlu dipikirkan penyebab
lain, misalnya kelainan jantung karena kadang-kadang keduanya ditemukan bersama-sama.
Keluhan utama yang paling sering pada SLE dengan
kelainan paru/pleura ialah sesak napas (11 dari 21 kasus). Pada
11 kasus ini ditemukan juga kelainan lain yang mungkin
berperan dalam mengakibatkan sesak napas itu, yaitu gagal
ginjal kronik, gagal jantung kongestif, TB paru dan efusi
perikard. Menetapkan SLE sebagai penyebab gangguan paru/
pleura memang tidak mudah.2,8 Banyak faktor harus dipertimbangkan. Keane dan Lynch mengemukakan bahwa dalam
satu penelitian post-mortem, pada setiap kasus lupus pneumonitis yang didiagnosis secara klinis dapat pula diterangkan oleh
faktor-faktor lain seperti infeksi, aspirasi, gangguan fungsi
jantung atau gagal ginjal.2 Pemeriksaan yang lebih agresif diperlukan bukan hanya untuk memastikan ada tidaknya kelainan
paru/pleura, melainkan juga untuk mencari penyebab dan
bentuk kelainan paru/pleura tersebut karena bentuk keterlibatan
paru/pleura pada SLE sangat bervariasi. Keterlibatan ini dapat
berupa pneumonitis, pleuritis dengan atau tanpa efusi, perdarahan paru, emboli paru, hipertensi paru dan shrinking lung
syndrome.1,2,6
Kelainan paru pada pemeriksaan jasmani berupa ronkhi
basah kasar dan halus.3 Pada seri ini kelainan yang ditemukan
berupa ronkhi basah halus nyaring, ronkhi basah halus dan
kasar; pada keterlibatan pleura didapatkan pleural friction rub
dan perkusi redup atau pekak yang ditemukan pada 20 kasus.
Gambaran radiologis menunjukkan infiltrat nonspesifik
yang tersebar mungkin sebagai akibat infeksi atau SLE.2,3,4
Pada seri ini kelainan yang ditemukan berupa infiltrat, edema
paru dan efusi pleura pada 18 kasus.
Pleuritis merupakan kelainan pleuropulmoner yang paling
sering ditemukan. Paling sedikit 2/3 penderita SLE mengalami
pleuritis dengan atau tanpa efusi pada satu waktu dalam perjalanan penyakitnya. Gejala ini merupakan keluhan utama pada
5% kasus. Keluhan yang paling sering ialah nyeri dada sebagai
keluhan utama. Bunyi gesekan pleura disertai demam terdapat
pada 1 kasus. Efusi pleura ditemukan sebanyak 40-60%, biasanya sedikit dan bilateral.2,3,4 Pada seri ini efusi pleura ditemukan sebanyak 28.5%, lebih sering unilateral (4 kasus) dibandingkan dengan efusi bilateral (2 kasus). Pada 1 kasus
terdapat juga tuberkulosis paru. Dengan pemeriksaan antibodi
antinuklir (ANA), anti ds-DNA dan sel LE pada cairan pleura
dapat diketahui penyebab efusi.2,9 Pemeriksaan ini tidak
dilakukan pada seri ini.
Diagnosis pneumonia ditegakkan pada 13 kasus dengan
usia berkisar antara 15-35 tahun. Sebagian besar di bawah 20
tahun (6 kasus 66.7%), lama menderita SLE rata-rata 2 tahun.
Ini sesuai dengan kepustakaan bahwa penderita pneumonitis
akut biasanya berusia muda dan merupakan keluhan utama
pada 50% kasus. Pneumonitis lupus dapat akut atau kronik.
Bentuk akut menyerupai pneumonia dan menunjukkan gejala
demam, dispnea, batuk dan kadang-kadang hemoptisis. Ter-

dapat ronkhi basah kasar dan halus.2,3 Pneumonitis akut harus


dibedakan dari infeksi. Jika timbul keragu-raguan dilakukan
bilas bronkhoalveolar. Pneumonitis lupus kronik muncul dalam
bentuk penyakit paru interstitial difus dan ditandai oleh sesak
napas jika beraktifitas, batuk kering dan ronkhi basah basal.
Secara histopatologi gambarannya tidak spesifik, berupa kerusakan dan nekrosis dinding alveoli, sebukan sel radang,
edema, perdarahan dan membran hialin.2,3,8
Tidak ditemukan perdarahan paru pada seri ini. Perdarahan
paru berupa batuk dan hemoptisis atau dalam bentuk infiltrat
paru tidak sering ditemukan, tetapi merupakan bentuk SLE
yang sangat serius. Mortalitasnya tinggi, dapat mencapai 70%.
Diperkirakan kelainan ini akibat vaskulitis paru. Penyebab lain
perdarahan paru seperti pneumonia akibat virus harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding. Perdarahan paru merupakan keluhan utama atau satu-satunya pada 1-2% kasus. Biasanya timbul akut dan rekuren.
Hipertensi pulmoner tidak dapat dinilai pada seri ini
karena data kurang lengkap. Hipertensi pulmoner pada SLE
mirip dengan hipertensi pulmoner idiopatik. Penderita menunjukkan sesak napas, foto toraks normal dan kelainan
restriktif pada pemeriksaan fungsi paru. Sering ditemukan
fenomena Raynaud.Adanya hipertensi pulmoner dipastikan
dengan Doppler dan kateterisasi jantug. Penyebab lain hipertensi pulmoner harus disingkirkan. Penting untuk mencari
emboli paru multipel dan lokalisasi trombosis vena dalam. Jika
timbul keragu-raguan, perlu dilakukan angiografi paru. Juga
harus disingkirkan kemungkinan sindrom antibodi antifosfolipid dengan pembekuan intrapulmoner.
Istilah shrinking lung syndrome dipakai untuk melukiskan
suatu kompleks peninggian diafragma disertai penurunan
fungsinya. Pada seri ini tidak tampak peninggian diafragma
pada foto toraks, sehingga diperoleh kesan sindrom ini tidak
ada. Mungkin kelainan ini berperan dalam sesak napas yang tak
dapat dijelaskan, tanpa kelainan parenkim paru.2,6
Hubungan antara ANA, anti-dsDNA dan lama menderita
SLE dengan keterlibatan paru/pleura tidak dapat dinilai karena
data tidak lengkap.
Dari 21 kasus SLE dengan keterlibatan paru dan pleura, 9
penderita meninggal (42,8%); 5 kasus meninggal karena gagal
ginjal kronik (23.8%), 1 kasus karena gagal napas akibat
kejang-kejang pada lupus serebri dan pneumonia (4.7%) dan 3
kasus (14.2%) karena syok septik akibat pneumonia (2 kasus),
meningitis (1 kasus). Pada satu seri penelitian pernah dilaporkan kematian pada SLE akibat keterlibatan paru dan pleura
tidak tinggi, yaitu sebanyak 7.9% (3 dari 38 kasus). Tetapi jika
dihitung kasus per kasus, mortalitas pada pneumonitis lupus
akut cukup tinggi yaitu 50%.2
RINGKASAN/KESIMPULAN
Keterlibatan paru dan pleura pada SLE cukup sering
terjadi. Di samping SLE, terdapat faktor lain yang berperan
dalam keterlibatan ini, yaitu gagal ginjal kronik, gagal jantung,
sindrom nefrotik, kelainan perikardium, infeksi dan tuberkulosis. Dengan pemeriksaan yang lebih khusus seperti spirometri, bilas bronkhus, biopsi transbronkhial dan lain-lain,
angka keterlibatan paru dan pleura akan lebih tinggi. Pe-

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 33

meriksaan yang lebih khusus ini selain memberikan angka


keterlibatan yang lebih tinggi, juga memungkinkan penentuan
diagnosis etiologik yang lebih cepat. Diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk menilai keterlibatan paru dan pleura pada
SLE.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.

Gladman DD, Urowitz MB. Systemic Lupus Erythematosus Clinical


and laboratory features. Dalam Klippel JH (ed.) Primer on the Rheumatic
Diseases. 11th ed. Arthritis Foundation, Atlanta; GA, 1997; hal 251-7.
Keane MP, Lynch III JP. Pleuropulmonary manifestations of systemic
lupus erythematosus. Thorax 2000; 55(2): 159-66.
Orens JB, Martinez FJ, Lynch JP III. Pleuropulmonary manifestations of
systemic lupus erythematosus. Rheum Dis Clin North Am 1994; 20 : 15993.

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

4.
5.
6.
7.
8.
9.

Haupt HM, Moore GW, Hutchins GM. The lung in systemic lupus
erythematosus. Analysis of the pathologic changes in 120 patients. Am J
Med 1981; 71 : 791-8.
Tan EM, Cohen AS, Fries JF et al. Special article : The resived criteria
for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthr. Rheum
1982; 25 : 1271-7.
Prakash UBS. Rheumatologic diseases. Dalam : Baum GL, Wolinsky E
(eds.) Textbook of Pulmonary Diseases. 5th ed, New York : Little, Brown
& Co, 1994; hal 1471-6.
Mills JA. Medical Progress : Systemic Lupus Erythematosus. New Engl J
Med 1994; 330 : 26; 1871-9.
Quismorio Jr, FP. Pulmonary manifestations of Systemic Lupus
Erythematosus. Dalam : Wallace DJ, Hahn BJ (eds). Dubois Lupus
Erythematosus. 5th ed, Baltimore : Williams & Wilkins, 1997, hal 673-92.
Petri MA. Systemic Lupus Erythematosus : Clinical aspects. Dalam :
Koopman WJ (ed). Arthritis and Allied Conditions A Textbook of
Rheumatology. 14th ed, Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins,
2001; hal 1455-79.

HASIL PENELITIAN

Populasi Mesocyclops aspericornis


pada Pengendalian Jentik
Aedes aegypti Menggunakan Metode
Simulasi Kandang Nyamuk
RA Yuniarti, Umi Widyastuti
Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Salatiga

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan intuk mengetahui peningkatan populas Mesocyclops
aspericornis pada pengendalian jentik nyamuk Aedes aegypt di laboratorium menggunakan metode simulasi kandang nyamuk.
Penelitian ini dilakukan di dalam kandang nyamuk, yang tempat perindukan
nyamuknya (stoples plastik) diberi Mesocyclops aspericornis. Penelitian dilakukan
selama 12 minggu pengamatan, dengan menghitung jumlah Mesocyclops aspericornis,
pradewasa dan dewasa Aedes aegypti, 1 (satu) minggu sekali. Hasl penelitian menunjukkan bahwa populasi copepoda M. aspericornis meningkat secara eksponensial
dengan adanya jentik Ae. aegypti yang melimpah sebagai sumber makanan, dalam
waktu 3 minggu. Setelah 3 minggu, kepadatan populasi jentik nyamuk Ae. aegypti
terlihat menurun, demikian pula jumlah nyamuk yang dihasilkannya. Setelah minggu
ke-7 tidak dtemukan jentik.
M. aspericornis mampu bertahan hidup antara 2,5-3 bulan di dalam stoples plastik
dengan volume air 2 liter, dan makanan yang cukup.

PENDAHULUAN
Penyakit demam berdarah di Indonesia sampai saat ini
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit
demam berdarah dilaporkan pertama kali terjadi di kota
Surabaya dan Jakarta tahun 1968. Pada tahun 1985 penyakit ini
telah meluas sampai 26 dari 27 provinsi di Indonesia. Penyakit
tersebut endemis di kota-kota besar, kota kecil dan pedesaan.1
Berbagai upaya untuk mengendalikan vektor penyakit tersebut
telah dilakukan baik secara kimia, fisik, maupun secara hayati.
Timbulnya resistensi nyamuk terhadap insektisida mendorong dikembangkannya jasad hayati sebagai alternatif untuk
mengendalikan jentik nyamuk vektor. Salah satu jasad hayati
yang digunakan adalah Mesocyclops aspericornis. M. aspericornis telah dilaporkan sebagai jasad pengendali jentik Aedes
Dibacakan pada Seminar Hasil-hasil Penelitian Stasiun Penelitian Vektor
Penyakit, Salatiga, 24 Maret 1998

albopictus di ban roda bekas di New Orleans Timur.2 Species


ini juga telah digunakan dalam pengendalian jentik nyamuk
Aedes aegypti di Honduras.3 Pada penelitian menggunakan
metode simulasi kandang, dengan M. darwini populasi jentik
Ae. aegypti berhasil diturunkan dalam waktu 3 minggu dan
semua dewasa nyamuk mati dalam waktu 8 minggu.4 Dilaporkan pula bahwa populasi M. longisetus meningkat secara
eksponensial dengan melimpahnya jentik Ae. aegypti.5
Evaluasi secara laboratorium sangat diperlukan sebelum
dilakukan usaha pengendalian vektor penyakit di lapangan.
Salah satu cara untuk mengetahui kemampuan berkembangnya
M. aspericornis pada pengendalian jentik nyamuk adalah
dengan menggunakan kandang nyamuk di laboratorium, sebagai tempat hidup nyamuk vektor.
Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

35

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui populasi M.


aspericornis pada pengendalian jentik Ae. Aegypti di dalam
kandang nyamuk di laboratorium.
BAHAN DAN CARA KERJA
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Stasiun Penelitian
Vektor Penyakit, Salatiga, pada bulan Mei sampai Agustus
1997.
B. Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan jasad hayati Copepoda M.
aspericornis betina yang berukuran 1,3 mm dan nyamuk Ae.
aegypti betina umur 5 hari yang kenyang darah, masing-masing
25 ekor.
C. Cara Kerja
Prosedur penelitian dilakukan menurut metode Brown et
al. (1991) yang dimodifikasi4, sebagai berikut:
M. aspericornis dan nyamuk Ae. aegypti diperoleh dari
hasil pemeliharaan di laboratorium Stasiun Penelitian Vektor
Penyakit, Salatiga.
M. aspericornis betina sebanyak 25 ekor dimasukkan ke
dalam stoples plastik yang berisi 2 liter akuades, sedangkan
untuk kontrol, stoples tidak diberi M. aspericornis.
Masing-masing stoples tadi dimasukkan ke dalam kandang
yang terpisah dengan ukuran 60x60x60 cm3, kemudian nyamuk
Ae. aegypti betina kenyang darah sebanyak 25 ekor dimasukkan ke dalam kandang tersebut. Medium di dalam stoples
digunakan untuk tempat bertelur dan tempat hidup stadium
pradewasa Ae. aegypti.
Setiap 2 hari sekali nyamuk diberi makan darah marmut,
sedangkan untuk pemelihaan stadium pradewasa Ae. aegypti
diberi makanan berupa dog food setiap hari.
Percobaan dilakukan selama 3 bulan dengan waktu pengamatan setiap 1 minggu sekali. Pengamatan dilakukan dengan
cara menghitung jumlah M. aspericornis, stadium pradewasa
dan dewasa Ae. aegypti.
Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali.
Suhu dan pH air selama pengamatan berkisar antara 2225 C dan 7.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi M. aspericornis, pradewasa dan dewasa Ae.
aegypti selama 12 minggu pengamatan, menggunakan metode
simulasi kandang nyamuk, disajikan pada Tabel 1 dan
Gambar 1.
Pada kandang perlakuan terlihat bahwa populasi Copepoda
M. aspericornis meningkat secara eksponensial dengan adanya
jentik Ae. aegypti yang melimpah, sebagai sumber makanan,
dalam 3 minggu. Peningkatan jumlah Copepoda M. aspericornis terjadi pada minggu ke-2 (346 ekor), dan pada minggu
ke-3 mencapai jumlah terbanyak yaitu 387 ekor, selanjutnya
berangsur menurun, hingga pada minggu ke-12 menjadi 23
ekor. Peningkatan populasi M. aspericornis terjadi karena
adanya populasi jentik nyamuk vektor yang melimpah sebagai
sumber makanan, di dalam stoples yang digunakan sebagai
36 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

tempat hidup M. aspericornis dan pradewasa nyamuk Ae.


aegypti. Dengan menurunnya populasi jentik Ae. aegypti yang
merupakan makanan Copepoda M. aspericornis, jumlah
Copepoda juga menurun; hal ini sesuai dengan keseimbangan
populasi di alam, yang diatur oleh adanya sumber makanan
alternatif. Penurunan jumlah M. aspericornis dapat disebabkan
oleh kanibalisme di antara copepoda itu sendiri karena pada
kondisi makanan yang minim M. aspericornis cenderung
menjadi kanibal.6 Keterbatasan makanan menyebabkan reproduksi dan perkembangan copepoda menjadi lebih lama, karena
menurunkan produktivitas clutch (kantong air), yang meliputi
penurunan ukuran kantong telur dan pertumbuhan kantong
telur yang lebih lama.6 Predasi M. aspericornis menyebabkan
jumlah pradewasa yang menjadi dewasa sedikit sekali bahkan
pada minggu ke-7 sudah habis, sehingga pada pengamatan
minggu ke-12 tidak dijumpai nyamuk dewasa Ae. aegypti lagi
(Gambar 1).
Tabel 1. Jumlah M. aspericornis, pradewasa dan dewasa Ae. aegypti
selama 12 minggu pengamatan.

Minggu

0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

M. aspericornis
Kontrol
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Perlk.
25
28
346
387
340
298
281
278
248
269
222
30
23

Jumlah*
Pradewasa
Ae. aegypti
Kontrol
Perlk.
0
0
17
0
695
469
1556
71
1210
33
1225
31
1379
3
1175
0
1112
0
1280
0
1223
0
1372
0
1200
0

Dewasa
Ae. aegypti
Kontrol
Perlk.
25
25
25
25
29
25
55
25
63
29
72
32
75
35
88
34
92
22
130
15
185
7
139
3
139
0

Keterangan :
Purata 3 X ulangan

Di dalam kandang kontrol, pradewasa Ae. aegypti pada


minggu 1 sudah memperlihatkan peningkatan (17 ekor),
selanjutnya meningkat lagi pada minggu ke-2 dan ke-3
berturut-turut 695 dan 1556 ekor. Sedangkan jumlah dewasa
Ae. aegypti meningkat mulai minggu ke-2 (29 ekor) dan
mencapai jumlah terbanyak pada minggu ke-10 (185 ekor).
Jumlah pradewasa dan dewasa nyamuk Ae. aegypti meningkat
sampai batas daya dukung kandang yang optimum; yang
dibatasi oleh faktor kompetisi makanan dan ruang (kandang). 7
Dari hasil pengamatan diketahui pula bahwa Copepoda M.
aspericornis mampu bertahan hidup antara 2,5-3 bulan dalam
stoples plastik dengan volume air 2 (dua) liter, dan makanan
yang cukup.
KESIMPULAN
Populasi Copepoda M. aspericornis meningkat secara
eksponensial dengan adanya jentik Ae. aegypti yang melimpah
sebagai sumber makanan dalam 3 minggu. Akibatnya kepadatan populasi jentik Ae. aegypti terlihat menurun, demikian pula

jumlah nyamuk yang dihasilkannya. Setelah minggu ke-7 tidak


ditemukan jentik nyamuk lagi. M. aspericornis mampu bertahan hidup antara 2,5-3 bulan, dalam stoples plastik dengan
volume air 2 (dua) liter, dan makanan yang cukup.

2.
3.
4.

UCAPAN TERIMA KASIH


Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala
Stasiun Penelitian Vektor Penyakit dan Ketua Kelompok Peneliti SPVP, yang
telah memberi saran dan bimbingan hingga selesainya makalah ini. Di
samping itu kami ucapkan terima kasih kepada para teknisi yang telah
membantu pelaksanaan penelitian ini.

5.
6.

KEPUSTAKAAN
1.

7.

Sumarmo. Dengue Haemorrhagic Fever in Indonesia. Pathogenesis and


Management of Dengue Haemorrhagic Fever in Southeast Asia. Seameo
Tropmed. Bangkok, 1987 vol. 18(3).

Marten GG, ES Bordes, Nguyen. Evaluation of Cyclopoid Copepods for


Ae. albopictus Control in Tires.. New Orleans Mosquito Control Board.
New Orleans. LA, 1990; 70126.
Marten. GG, G Borjas, Cush M, Fernandez E, Reid JW. Control of Larval
Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) by Cyclopoid Copepods in Peridomestic Breeding Containers. J Med Entomol. 1994; 31(1): 36-44.
Kay BH, Cabral CP, Sleigh AC, Brown MD, Ribeiro ZM, Vasconcelos
AW. Laboratory Evaluation of Brazilian Mesocyclops (Copepoda :
Cyclopidae) for Mosquito Control. J Med Entomol, 1992; 29(4): 599-602.
Brown MD, Kay BH, Hendrikz JK.. Evaluation of Australian Mesocyclops (Cyclopoida : Cyclopidae) for Mosquito Control. Entomological
Society of America, 1991; 28(5): 618-23.
Williamson CE. Copepoda. In: Ecology aad Classification of North
American Freshwater Invertebrates. Academic Press Inc, 1991; 787-822.
Brown MD, Kay BH, Greenwood JG. The Predation Efficiency of NorthEastern Australian Mecocyclops (Copepoda : Cyclopoida) on Mosquito
Larvae. Bull Plankton Soc Japan, Spec, 1991; Vol 329-38.

Jumlah nyamuk

Jumlah Copepoda

1800

400

M.aspericornis
Nymk.pradewasa(K)
Nymk.pradewasa(P)
Ae.aegypti(P)
Ae.aegypti(K)

1600
1400

300

1200
1000
200
800
600
100

400
200

0
0

10

11

12

Minggu pengamatan

Gambar 1. Jumlah M. aspericornis, pradewasa, dan dewasa Ae. aegypti selama 12 minggu pengamatan.

Happy they who steadily pursue a middle course

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

37

HASIL PENELITIAN

Uji Efikasi Formulasi Cair (Liquid)


Bacillus thuringiensis H-14 Galur Lokal
pada Berbagai Fermentasi terhadap
Jentik Nyamuk Vektor
di Laboratorium
Blondine Ch.P, Damar Tri Boewono
Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Salatiga

ABSTRAK
Bacillus thuringiensis H-14 yang juga disebut dengan Bt H-14 adalah bioinsektisida yang bersifat spesifik terhadap target serangga sasaran, aman bagi golongan mamalia, dan tidak mencemari lingkungan. Uji efikasi formulasi cair Bt H-14 galur
lokal dilakukan pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam. Tujuan
penelitian untuk mengetahui efikasi Bt H-14 galur lokal pada berbagai fermentasi
terhadap jentik Anopheles aconitus dan Culex quinquefasciatus instar I akhir.
Hasil perhitungan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup formulasi cair Bt H-14
galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam berturut-turut
adalah 4,5x107 sel/ml dan 10,9x107 spora/ml; 5,5x108 sel/ml dan 8,6x108 spora/ml;
10,2x108 sel/ml dan 9,0x108 spora/ml; 10,0x108 sel/ml dan 12,8x108 spora/ml; sera
9,2x108 sel/ml dan 11,2x108 spora/ml. Konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus instar I akhir selama 24 jam pengujian
pada frmentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam berturut-turut adalah 0,016
ml/1 (LC50), 0,082 ml/1 (LC90); 0,009 ml/1 (LC50), 0,058 ml/1 (LC90); 0,008 ml/l
(LC50), 0,021 ml/1 (LC90); 0,002 ml/l (LC50), 0,008 ml/l (LC90) serta 0,005 ml/1 (LC50)
dan 0,021 ml/1 (LC90). Pada 48 jam pengujian, membutuhkan konsentrasi sebesar 0,012
ml/ (LC50), 0,078 ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,011 ml/1 (LC90); 0,005 ml/1
(LC50), 0,016 ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,004 ml/1 (LC90); serta 0,001 ml/1
(LC50) dan 0,012 ml/1 (LC90). Konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan 50%
dan 90% jentik Cx. quinquefasciatus instar I akhir selama 24 jam pengujian pada
fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam berturut-turut adalah 0,002 ml/1
(LC50), 0,008 ml/1 (LC90); 0,002 ml/1 (LC50), 0,009 ml/1 (LC90); 0,002 ml/l (LC50),
0,013 ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,002 ml/1 (LC90); serta 0,001 ml/1 (LC50)
dan 0,002 ml/1 (LC90). Konsentrasi terkecil formulasi cair Bt H-14 galur lokal unuk
mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus adalah
konsentrasi pada fermentasi 24 jam Bt H-14 galur lokal. Dengan demikian formulasi
cair Bt H-14 galur lokal efektif dalam mengendalikan jentik nyamuk vektor.
Kata kunci: Uji efkasi, Bt H-14 galur lokal, An. aconitus, Cx. quinquefasciatus
PENDAHULUAN
Penggunaan Bacillus thuringiensis H-14 untuk pengendalian vektor malaria Anopheles aconitus dan vektor filaria Culex
38 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

quinquefasciatus telah dilakukan di laboratorium Pusat Antar


Universitas (PAU), Yogyakarta dan Balai Penelitian Vektor
Penyakit (BPVRP), Salatiga. Bacillus thuringiensis H-14

adalah agen mikrobial yang bersifat spesifik terhadap target


serangga sasaran khususnya jentik nyamuk dan jentik lalat
hitam. Aman bagi golongan mamalia, dan tidak mencemari
lingkungan sehingga dapat dikembangkan sebagai agen pengendali vektor, khususnya vektor malaria dan flaria.
Salah satu karakteristik B. thuringiensis H-14 adalah
dapat memproduksi kristal protein toksik di dalam sel
bersama-sama dengan spora pada saat sel mengalami
sporulasi(1).
Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal hasil temuan
BPVRP yang diperbanyak dalam formulasi cair (liquid)
telah diketahui mempunyai daya bunuh yang tinggi terhadap
jentik nyamuk vektor (2).
Mengingat pentingnya penurunan kasus malaria dan
filaria, maka perlu dilakukan penelitian pengendalian jentik
An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus menggunakan jasad
hayati B. thuringinesis H-14 galur lokal.
Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal formulasi
cair akan diuji patogenisitasnya pada 18 jam, 20 jam, 22 jam,
24 jam dan 25 jam fermentasi dengan tujuan untuk memperoleh
dosis galur lokal yang efektif dalam mengendalikan jentik
nyamuk vektor.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efikasi
formulasi cair (liquid) B. thuringiensis H-14 galur lokal
pada berbagai fermentasi terhadap jentik An. aconitus dan
Cx. quinquefasciatus di laboratorium.

BAHAN DAN CARA KERJA


Bahan
Formulasi cair (liquid) B. thuringiensis H-14 galur lokal.
Jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus instar III akhir
hasil kolonisasi laboratorium.
Cara Kerja
1) Identifikasi koloni B. thuringiensis H.-14 galur lokal
Inokulasi B. thuringiensis H-14 galur lokal pada media
agar miring NYSMA diinkubasikan selama 48 jam pada suhu
30C. Biakan murni yang diperoleh dalam media NYSMA
dimurnikan kembali dengan cara diinokulasi pada media BHIA
(Brain Heart Infusion Agar) yang telah diberi 0,00018% antibiotik Chloramphenicol untuk menghambat pertumbuhan bakteri
lain seperti Pseudomonas, Streptococcus dan Staphylococcus,
sehingga diperoleh koloni tunggal B. thuringiensis H-14 yang
kemudian diinkubasikan selama 48 jam pada suhu 30 C.
Sesudah 48 jam diamati morfologinya, dilakukan pengecatan
koloni B. thuringiensis H-14 tunggal tersebut dengan menggunakan Napthalene black 2 menit dan Gurrs improved R66
selama 1 menit untuk melihat adanya kristal protein toksin dan
spora yang benar-benar murni (tidak terkontaminasi). Dari
kultur murni B. thuringiensis H-14 galur lokal yang diperoleh,
diambil 1 ose (sengkelit) dan dimasukkan ke dalam 50 ml
TPB (Tryptose Phosphate Broth) dalam Erlenmeyer berukuran 250 ml, kemudian digoyang (shake) selama 24 jam,
175 rpm pada suhu 30 C. Sesudah diinkubasi, dibuat
pengecatan kembali kultur tersebut, untuk melihat spora dan
kristal protein toksik yang benar-benar murni. Biakan murni
yang diperoleh diinokulasikan lagi ke dalam 100 ml TPB

(perlakuan 1), dan digoyang selama 24 jam, 175 rpm, pada


suhu 30 C.
2) Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal
Lima puluh inokulum yang diambil dari 100 ml TPB
(perlakuan 1), dimasukkan ke dalam fermenter steril berisi 950
ml TPB, pada suhu 30C, 300 rpm dan aerasi 10%. Dilakukan sampling pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam
dan 25 jam. Sesudah itu dilakukan penghitungan jumlah sel
hidup dan jumlah spora hidup menurut Soesanto (1992) serta
uji patogenisitasnya pada berbagai fermentasi.
3) Uji patogenisitas formulasi cair B. thuringiensis H-14
galur lokal.
Untuk mendapatkan konsentrasi formulasi cair B.
thuringiensis H-14 galur lokal yang efektif (LC50 dan LC90)
membunuh jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus
dilakukan cara WHO (1989)(3). Larutan stok formulasi cair B.
thuringiensis H-14 galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam,
22 jam, 24 jam dan 25 jam, dibuat dengan cara mengambil
0,1 ml formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal dari
masing-masing fermentasi dan berturut-turut dimasukkan ke
dalam beaker glass berukuran 500 ml, ditambahkan 99,9 ml
akuades dan dikocok sampai homogen. Dari masingmasing larutan stok tersebut selanjutnya diambil berturutturut sebanyak 1 ml, 3 ml, 5 ml, 7 ml, 10 ml, 30 ml dan 50 ml
menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam mangkok
plastik yang berisi 20 ekor jentik An. aconius instar III akhir
dengan jumlah akuades sebanyak 99 ml, 97 ml, 95 ml, 93 ml,
90 ml dan 70 ml untuk memperoleh konsentrasi final yang
dibutuhkan yaitu 0,0001 ml/1, 0,0003 ml/1, 0,0005 ml/1,
0,0007 ml/1, 0,001 ml/1, 0,003 ml/1 dan 0,005 ml/1 berturutturut dalam volume total sebanyak 100 ml. Ulangan dilakukan
sebanyak 3 kali. Sebagai kontrol, mangkok plastik hanya diisi
dengan 100 ml akuades dan 20 ekor jentik An. aconitus.
Pengujian patogenisitas formulasi cair B. thuringiensis H14 galur lokal terhadap jentik Cx. quinquefasciatus instar
III akhir, dilakukan dengan cara yang sama.
Kematian jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus
diamati setelah 24 jam dan 48 jam pengujian. Penentuan nilai
LC50 dan LC90 mengggunakan analisis probit (3).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penghitungan jumlah sel hidup dan jumlah spora
hidup formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada
fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam serta uji
patogenisitasnya terhadap jentik An. aconitus instar III akhir
disajikan pada Tabel 1.
Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal selama 18
jam menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup
masing-masing sebesar 4,5x107 sel/ml dan 10,9x107 spora/ml
yang dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus
pada konsentrasi 0,016 ml/ (LC50) dan 0,082 ml/1 (LC90)
selama 24 pengujian. Pada pengujian selama 48 jam dibutuhkan konsentrasi sebesar 0,012 ml/1 (LC50) dan 0,078 ml/1
(LC90). Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal selama
20 jam, menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup
berturut-turut sebesar 5,0x108 sel/ml dan 8,6x108 spora/ml
yang dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus
Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 39

pada dosis 0,009 ml/1 (LC50) dan 0,058 ml/1 (LC90) selama
24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam membutuhkan
konsentrasi 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,011 ml/1 (LC90). Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal selama 22 jam,
menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup
berturut-turut sebesar 10,2x108 sel/ml dan 9,0x108 spora/ml
yang dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus
pada konsentrasi 0,008 ml/1 (LC50) dan 0,021 ml/1 (LC90)
selama 24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam membutuhkan konsentrasi 0,005 ml/l (LC50) dan 0,016 ml/1 (LC90).
Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal selama 24 jam,
menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup
masing-masing sebesar 10,0x108 sel/ml dan 12,8x108 spora/ml
dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus pada
konsentrasi 0,002 ml/l (LC50) dan 0,008 ml/1 (LC90) selama
24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan
konsentrasi sebesar 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,004 ml/1 (LC90).
Fermentasi 25 jam menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah
spora hidup masing-masing sebesar 9,2x108 sel/ml dan
11,2x108 spora/ml dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik
An. aconitus pada konsentrasi 0,005 ml/1 (LC50) dan 0,021
ml/1 (LC90) selama 24 jam pengujian. Pada pengujian selama
48 jam, dibutuhkan konsentrasi sebesar 0,001 ml/1 (LC50) dan
0,012 ml/1 (LC90). Konsentrasi terkecil untuk mengendalikan
jentik An. aconitus adalah formulasi cair B. thuringiensis H-14
galur lokal pada fermentasi 24 jam yaitu LC90 (0,008 ml/1)
diikuti fermentasi 22 jam (0,021 ml/1), fermentasi 20 jam
(0,058 ml/l) dan fermentasi 18 jam (0,082 ml/1). Sedangkan
konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan jentik An.
aconius pada fermentasi 25 jam adalah sama dengan fermentasi pada 22 jam yaitu 0,021 ml/1 (LC90). Ini menunjukkan bahwa toksin bakteri B. thuringiensis H-14.(1)
Tabel 1. Jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup formulasi cair B.
thuringiensis H-14 galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22
jam, 24 jam dan 25 jam serta uji patogenisitasnya terhadap
jentik nyamuk Anopheles aconitus
Bt H-14
Galur
Lokal (jam)

Jumlah
sel hidup

Jumlah
spora hidup

18
20
22
24
25

4,5x107
5,0x108
10,2x108
10,0x108
9,2x108

10,9x107
8,6x108
9,0x108
12,8x108
1,2x108

Kematian 50% dan 90% jentik


An. aconitus
24 jam (ml/l)
48 jam (ml/l)
LC50
LC90
LC50
LC90
0,016
0,082
0,012
0,078
0,009
0,058
0,001
0,011
0,008
0,021
0,005
0,016
0,002
0,008
0,001
0,004
0,005
0,021
0,001
0,012

Pertumbuhan yang baik untuk memperbanyak spora dan


kristal formulasi cair B. thuringiensis galur lokal adalah pada
24 jam fermentasi. Hal ini sesuai dengan fase pertumbuhan
bakteri B. thuringiensis yang sempurna pada 24 jam inkubasi.
Hasil perhitungan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup
formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada
fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam serta uji
patogenisitasnya terhadap jentik Cx. quinquefasciatus instar III
akhir disajikan pada Tabel 2.
Jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup B. thuringiensis
H-14 masing-masing sebesar 4,5x107 sel/ml dan 10,9x107
spora/ml, mampu mengendalikan 50% dan 90% jentik Cx.
40 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Tabel 2. Jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup formulasi cair B.
thuringiensia H-14 galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam,
22 jam, 24 jam dan 25 jam serta uji patogenisitasnya terhadap
jentik Culex quinquefasciatus
Bt H-14
Galur
Lokal (jam)

Jumlah
sel hidup

Jumlah
spora hidup

18
20
22
24
25

4,5x107
5,0x108
10,2x108
10,0x108
9,2x108

10,9x107
8,6x108
9,0x108
12,8x108
1,2x108

Kematian 50% dan 90% jentik


Cx. quinquefasciatus
24 jam (ml/l)
48 jam (ml/l)
LC50
LC90
LC50
LC90
0,002
0,008
0,001
0,006
0,002
0,009
0,001
0,005
0,002
0,013
0,001
0,004
0,001
0,002
0,001
0,001
0,001
0,003
0,001
0,002

quinquefasciatus instar I akhir pada konsentrasi 0,002 ml/1


(LC50) dan 0,008 ml/l (LC90) selama 24 jam pengujian pada
fermentasi 18 jam. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan
konsentrasi sebesar 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,006 ml/1 (LC90).
Fermentasi B. thuringiensis H-14 selama 20 jam, memperoleh
jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup masing-masing
sebesar 5,0x108 sel/ml dan 8,6x108 spora/ml, mampu mengendalikan 50% dan 90% jentik Cx. quinquefasciatus pada konsentrasi 0,002 ml/1 (LC50) dan 0,009 ml/1 (LC90) selama 24 jam
pengujian. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan konsentrasi
sebesar 0,001 ml/l (LC50) dan 0,005 ml/1 (LC90). Fermentasi
selama 22 jam, menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah
spora hidup masing-masing sebesar 10,2x108 sel/ml dan
9,0x108 spora/ml, mampu mengendalikan 50% dan 90% jentk
Cx. quinquefscitus pada konsentrasi 0,002 ml/l (LC50) dan
0,013 ml/1 (LC90) selama 24 jam pengujian. Pengujian selama
48 jam, membutuhkan konsentrasi sebesar 0,001 ml/l (LC50)
dan 0,004 ml/1 (LC90). Fermentasi selama 24 jam, menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup masingmasing sebesar 10,0x108 sel/ml dan 12,8x108 spora/ml mampu
mengendalikan 50% dan 90% jentik Cx. quinquefasciatus pada
konsentrasi 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,002 ml/l (LC90) selama
24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan
konsentrasi sebesar 0,001 ml/l pada LC50 dan LC90. Fermentasi formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada
fermentasi 25 jam, menghasilkan jumlah sel hidup dan spora
hidup masing-masing sebesar 9,2x108 sel/ml dan 11,2x108
spora/ml, mampu mengendalikan 50% dan 90% jentik Cx.
quinquefasciatus pada konsentrasi 0,001 ml/l (LC50) dan 0,003
ml/l (LC90) selama 24 jam pengujian. Pengujian selama 48
jam, membutuhkan konsentrasi sebesar 0,001 ml/1 (LC50) dan
0,002 ml/1 (LC90). Seperti halnya jentik An. aconitus, konsentrasi terendah untuk mengendalikan jentik Cx. quinquefasciatus
adalah konsentrasi pada 24 jam fermentasi yaitu LC90 (0,002
ml/1). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan spora dan kristal B. thuringiensis H-14 optimal atau
sempurna selama 24 jam fermentasi. Perbedaan konsentrasi B.
thuringiensis H-14 galur lokal pada berbagai fermentasi dapat
disebabkan oleh perilaku makan instar jentik, ada tidaknya
toksin di daerah makan jentik (larval feeding zone) serta
tingkat sedimentasi/pengendapan yang dapat mempengaruhi
efektivitasnya(4). Berdasarkan perilaku makan jentik, maka
jentik An. aconitus biasa mengambil makanan di daerah permukaan air (lebih kurang 1-2 mm) sedangkan di bawah per-

mukaan air, merupakan daerah makan jentik Cx. quinquefasciatus (5). Jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup tidak
sama pada berbagai fermentasi formulasi cair B. thuringiensis
H-14 galur lokal (Tabel 1, 2), tetapi hal ini tidak prinsipil; yang
lebih penting adalah toksisitas atau daya bunuhnya terhadap
jentik nyamuk (6).

formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada tempattempat perindukan jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus menggunakan konsentrasi aplikasi terkecil.
KEPUSTAKAAN
1.
2.

KESIMPULAN DAN SARAN


Konsentrasi formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur
lokal yang terkecil dan efektif mengendalikan jentik An.
aconitus dan Cx. quinquefasciatus adalah konsentrasi pada
fermentasi 24 jam dengan jumlah sel hidup dan spora hidup
masing-masing sebesar 10,0x108 sel/ml dan 12,8x108 spora/ml
dan dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus dan
Cx. quinquefasciatus berturut-turut pada konsentrasi 0,002 ml/l
(LC50), 0,008 ml/l (LC90); 0,001 ml/l (LC50), 0,002 ml/l
(LC90); selama 24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam,
membutuhkan konsentrasi 0,001 ml/l (LC50), 0,004 ml/l
(LC90) untuk jentik An. aconitus dan 0,001 ml/l (LC50 dan
LC90) bagi jentik Cx. quinquefasciatus.

3.
4.
5.

6.
7.

WHO. Data sheet on the biological control agent Bacillus


thuringiensis serotype H-14. WHO/VBC, 1979; 79.750.13 p.
Blondine ChP. Penggunaan strain lokal Bacillus thuringiensis
sebagai pengendalian vektor jentik nyamuk. Laporan Akhir
Penelitian Rutin. 1998/1999.
Finney DJ. Probit Analysis, 3rded. Cambridge Univ. Press.
London. 1971.
Mulla MS, Darwazeh HA, Aly C. Laboratory and field studies
on new formulations of two microbial agents against
mosquitoes. Bull. Soc. Vector. Ecol., 1986; 1 (2) : 255-63.
Becker N, Djakaria S, Kaiser A, Zulhasril O, Ludwig HW.
Efficacy of a new larvae tablet formulations of an
Asporogenus strain of Bacillus thuringiensis israelensis
against of Adese aegypti. Bull. Soc. Vector. Ecol.. 1991; 16
(1): 1-7.
Bulla LA,Jr, Faust RM, Wabiko H, Raymond KC. Insecticidal
Bacilli in DA Dubanau (ed) : The Molucular Biology of the
Bacilli. Acad. Press. Inc. London, 1985; p.186-210.
WHO. Informal consultation of becterial formulations for
effective vector control in endemic area. WHO/VBC, 1989;
89.979.

Penelitian akan dilanjutkan dengan melakukan penebaran

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 41

HASIL PENELITIAN

Uji Efikasi Insektisida Abate 500 EC


secara Pengabutan terhadap
Aedes aegypti
Hasan Boesri, Damar Tri Boewono, Hadi Suwasono
Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Salatiga

ABSTRAK
Uji penyemprotan terhadap Aedes aegypti menggunakan alat thermal fogging
dengan insektisida Abate 500 EC (dosis 60, 100, 120, dan 240 ml/ha) dan Icon 25 EC
(dosis 75 ml/ha) telah dilakukan pada pagi hari di perumahan Kotamadya Salatiga,
tahun 1998. Hasil evaluasi uji hayati (air bioassay) menunjukkan bahwa dengan jarak
2 meter, dosis 100, 120, dan 240 ml/ha mampu memberikan efek kematian Aedes
aegypti sebesar 100%, setelah diamati selama 24 jam di laboratorium.

PENDAHULUAN
Di Indonesia penyebaran Aedes aegypti sebagai penular
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) makin meluas
sesuai perkembangaan lingkungan.(1) Salah satu cara untuk
menghadapi letusan penyakit DBD adalah penyemprotan
dengan sistim thermal fogging karena memiliki kelebihan dapat
memberikan kabut yang banyak sehingga dapat masuk ke
dalam ruangan secara merata. Sejak tahun 1972 hingga
sekarang digunakan insektisida Malathion 96 EC.(3)
Meskipun belum ada tanda-tanda kekebalan Aedes aegypti,
dipandang perlu melakukan uji coba insektisida alternatif.
Bahan kimia aktif temefos (Abate) diketahui efektif membunuh
nyamuk dan serangga lainnya(4). Penelitian ini bertujuan untuk
menguji efektivitas beberapa dosis insektisida Abate 500 EC
secara thermal fogging terhadap nyamuk Aedes aegypti.

BAHAN DAN METODE


Serangga uji adalah nyamuk Aedes aegypti betina
kenyang darah berumur 3-5 hari yang diambil dari tempat
koloni nyamuk. Alat yang digunakan berupa kurungan pemaparan berukuran 12x12x12 cm, aspirator, tabung penimpan
(cup), kapas, kain kasa, karet dan penyimpan nyamuk (box).
42 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Insektisida yang digunakan adalah Abate 500 EC dosis 60


ml/ha, 100 ml/ha, 120 ml/ha, 240 ml/ha dan Icon 25 EC dosis
75 ml/ha.
Cara Kerja
Pengujian dilakukan di daerah pemukiman penduduk di
Desa Kauman Kidul Kecamatan Sidorejo dan pemukiman
penduduk di Desa Warak, Kecamatan Sidomukti, Kodya
Salatiga, pada bulan Nopember 1998. Pada uji bioassay, sebelum penyemprotan disiapkan terlebih dahulu kurungan
nyamuk berukuran 12x12x12 cm, Kurungan tersebut digantung
setinggi 1.60 meter dari tanah baik di dalam maupun di luar
rumah, ditempatkan pada jarak 5 meter dari rute penyemprotan. Tiap lokasi menggunakan 25 kurungan dan masingmasing kurungan berisi 25 ekor nyamuk Aedes aegypti betina
kenyang darah. Pengamatan dan penghitungan jumlah nyamuk
yang mati atau pingsan dilakukan 15 menit dan 30 menit pasca
penyemprotan. Setelah 60 menit, nyamuk di dalam kurungan
dipindahkan ke dalam monocup bersih (tidak terkontaminasi)
menggunakan aspirator kemudian dipelihara di laboratorium
untuk diamati jumlah kematiannya setelah 24 jam. Sebagai
kontrol dilakukan seperti di atas di daerah pembanding (tanpa
penyemprotan). Suhu dan kelembaban nisbi udara selama

periode pengujian diukur dan dicatat. Kriteria efikasi insektisida ditentukan berdasarkan persentase nyamuk pingsan
(knockdown) dan kematian (mortalitas) pada periode waktu
uji.(5)
Analisa data
Kriteria efikasi diambil berdasarkan waktu pingsan (knock
down time) 50% dan 100% dari jumlah nyamuk uji. Persentase
kematian dihitung dari data yang telah dikoreksi dengan jumlah
nyamuk pingsan dan mati pada kontrol sbb :
Jumlah nyamuk pingsan /mati
Persentase nyamuk pingsan/mati = ---------------------------------------- x 100%
Jumlah nyamuk uji

Koreksi data
Jika persentase kematian pada kontrol antara 5-20% maka
data harus dikoreksi dengan rumus Abbot sbb :
A -B
A.1 = --------------- x 100%
100 -B
Keterangan :
A.1 = Persentase kematian setelah dikoreksi
A
= Persentase kematian nyamuk uji
B
= Persentase nyamuk kontrol

Bila kematian pada kontrol lebih besar dari 20%, maka


pengujian dianggap gagal dan harus diulang. Efikasi insektisida dinyatakan baik, apabila hasil pengujian menunjukkan
angka kematian 90-100%; kurang baik jika kematian kurang
dari 90%.(5)
Pengujian
Data dianalisis dengan uji F dalam Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan 10 (sepuluh) rumah ulangan dan
dilanjutkan dengan Uji Duncan (multiple range test) pada taraf
5% dan 1%.(6)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian uji insektisida Abate 500 EC dosis 60,
100, 120, 240 ml/ha yang dibandingkan dengan Icon 25 EC
dosis 75 ml/ha terhadap nyamuk Aedes aegypti dan Culex
quinquefasciatus disajikan pada tabel 1 dan tabel 2.
Pada penelitian ini pengaruh insektisida terhadap kematian
nyamuk uji ditentukan oleh angka kematian 24 jam pasca
pengabutan.(7)

Kematian nyamuk Aedes aegypti di luar rumah


Pengamatan 15 menit pasca pengabutan dosis 60 dan 100
ml/ha masing-masing mendapatkan jumlah nyamuk pingsan
sebanyak 0,00%, dosis 120 ml/ha sebanyak 1,00%. dosis 240
ml/ha sebanyak 10.75% dan Icon dosis 75 ml/ha sebanyak
53,75%. Pengamatan 30 menit pasca pengabutan dosis 60ml/ha
mendapatkan jumlah nyamuk pingsan sebanyak 0,50%, dosis
100 ml/ha sebanyak 0,75%, dosis 120 ml/ha sebanyak 1,75%,
dosis 240 ml/ha sebanyak 13,50% dan Icon EC dosis 75 ml/ha
sebanyak 53,5%. Pengamatan 1 jam pasca pengabutan dosis 60

ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk pingsan sebanyak 0,50%,


dosis 100 ml/ha sebanyak 2,25%, dosis 120 ml/ha sebanyak
10,25%, dosis 240 ml/ha sebanyak 43,75% dan Icon 25 EC
dosis 75 ml/ha sebanyak 75,25%. Pengamatan 2 jam pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk pingsan
sebanyak 5,50%, dosis 100 ml/ha sebanyak 15,00%, dosis 120
ml/ha sebanyak 38,75%, dosis 240 ml/ha sebanyak 87,50% dan
Icon EC dosis 75 ml/ha sebanyak 93,75%. Pengamatan 4 jam
pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menunjukkan jumlah nyamuk
mati sebanyak 10,50%, dosis 100 ml/ha sebanyak 40,75%,
doiss 120 ml/ha sebanyak 38,75%, dosis 240 ml/ha sebanyak
100,00% dan Icon EC dosis 75 ml/ha sebanyak 100,00%.
Pengamatan 8 jam pasca pengabutan dosis 60ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk mati sebanyak 48,00%, dosis 100
ml/ha sebanyak 93,25%, dosis 120 ml/ha sebanyak 100,00%,
dosis 240 ml/ha sebanyak 100,00% dan Icon 25 EC dosis 75
ml/ha sebanyak 100.00%. Pengamatan 12 jam pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menunjukkan jumlah nyamuk mati sebanyak
52,00%, dosis 100,120,240 ml/ha (Abate 500 EC) dan Icon 25
EC dosis 75ml/ha masing-masing sebanyak 100,00%. Pengamatan 24 jam pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menghasilkan
jumlah nyamuk mati sebanyak 52,25%,dosis 100,120,240
ml/ha (Abate 500EC) dan Icon 25 EC dosis 75 ml/ha masingmasing sebanyak 100,00%.
Kematian nyamuk uji Aedes aegypti di dalam rumah
Pengamatan 15 menit pasca pengabutan dosis 60, 100
ml/ha masing-masing menghasilkan jumlah nyamuk pingsan
sebanyak 0,00%, dosis 120 ml ml/ha sebanyak 0,75%, dosis
240 ml/ha sebanyak 18,50% dan icon 25 EC dosis 75 ml/ha
sebanyak 59,50%. Pengamatan 30 menit pasca pengabutan
dosis 60 ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk pingsan sebanyak
0,05%, dosis 100 ml/ha sebanyak 2.75% dan dosis 120 ml/ha
sebanyak 7,75%, dosis 240 ml/ha sebanyak 32,75% dan icon
25 EC dosis 75 ml/ha sebanyak 59,50%. Pengamatan 1 jam
pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menunjukkan jumlah nyamuk
pingsan sebanyak 1,00%, dosis 100 ml/ha sebanyak 9,50% dan
dosis 120 ml/ha sebanyak 18,00%, dosis 240 ml/ha sebanyak
70,75% dan icon 25 EC dosis 75 ml/ha sebanyak 83,25%.
Pengamatan 2 jam pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menunjukkan jumlah nyamuk pingsan sebanyak 8,25%, dosis 100 ml/ha
sebanyak 39,25% dan dosis 120 ml/ha sebanyak 47,00%, dosis
240 ml/ha sebanyak 99,75% dan icon 25 EC dosis 75 ml/ha
sebanyak 98,00%. Pengamatan 4 jam pasca pengabutan dosis
60 ml/ha diperoleh jumlah nyamuk mati sebanyak 20,25%
dosis 100 ml/ha sebanyak 56,50 % dan dosis 120 ml/ha
sebanyak 85,25% dosis 240 ml/ha dan icon 25 EC dosis 75
ml/ha masing-masing sebanyak 100,00%. Pengamatan 8 jam
pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menunjukkan jumlah nyamuk
mati sebanyak 55,50%, dosis 100 ml/ha sebanyak 99,75% dan
dosis 120 ml/ha dosis 240 ml/ha, dan icon 25 EC dosis 75ml/ha
sebanyak 100,00%. Pengamatan 12 jam pasca pengabutan
dosis 60 ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk mati sebanyak
61,25% dosis 100 ml/ha sebanyak 99,75% dan dosis 120 ml/ha,
dosis 240 ml/ha (Abate500 EC) dan dosis 75 ml/ha (Icon 25
EC) masing-masing sebanyak 100,00%. Pengamatan 24 jam
pasca pangabutan dosis 60 ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk
Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

43

mati sebanyak 75/75%, dosis 100, 120, 240 ml/ha. (Abate500


EC) dan dosis 75 ml/ha (Icon 25 EC) masing-masing sebanyak
100,00 % (Gambar 1).
Analisis menggunakan uji F pada rancangan acak kelompok dan dilanjutkan uji Duncan, menghasilkan bahwa antara
keempat dosis 60, 100, 120, 240 ml/ha insektisida Abate.500
EC, yang dibandingkan dengan dosis 75 ml/ha Icon 25 EC
pada pengabutan di luar rumah maupun di dalam rumah menunjukkan perbedaan bermakna pada tiap periode pengamatan
(P > 0,05). Hal ini karena pengaruh daya bunuh pada perbedaan dosis aplikasi, sehingga diperoleh kisaran kematian Aedes
aegypti pada setiap dosis.
Pada waktu pelaksanaan penelitian kecepatan angin
berkisar 0-4 km per jam, suhu udara berkisar 24,0-26,00 C di
dalam rumah dan 25,5-29,00 C di luar rumah. Pada awal pengamatan kelembaban udara di dalam rumah berkisar 63,0-76,0%
dan 62,0-72,0% di luar rumah. Sedangkan pada akhir pengamatan kelembaban udara 62,0-68,0% di dalam rumah dan
62,0-67,0% di luar rumah.
KT 50 dan KT 90 di luar rumah
Hasil perhitungan menggunakan program analisis probit,
menunjukkan bahwa pada pengabutan di luar rumah dosis 60

ml/ha terhadap nyamuk Aedes aegypti, KT 50 nya 14,3 jam;


dosis 100 ml/ha - 3,7 jam, dosis 120 ml/ha - 2,3 jam, dosis 240
ml/ha - 0,9 jam dan dosis 75 ml/ha Icon 25 EC - 0,3 jam.
Sedangkan KT 90 pada pengabutan terhadap nyamuk Aedes
aegypti di luar rumah dosis 60 ml/ha sebesar 76,0 jam; dosis
100 ml/ha sebesar 8,0 jam, dosis 120 ml/ha - 5,8 jam, dosis 240
ml/ha - 2,4 jam dan dosis 75 ml/ha Icon 25 EC - 1,7 jam.
KT 50 dan KT90 di dalam rumah
Hasil perhitungan menggunakan program analisis probit,
menunjukkan bahwa pada pengabutan di dalam rumah dosis 60
ml/ha terhadap nyamuk Aedes aegypti, KT50 nya - 9,0 jam;
dosis 100 ml/ha - 2,6 jam, dosis 120 ml/ha - 1,8 jam, dosis 240
ml/ha - 0,5 jam dan dosis 75 ml/ha Icon 25 EC - 0,2 jam.
Sedangkan KT90 pada pengabutan terhadap nyamuk Aedes
aegypti di dalam rumah dosis 60 ml/ha diperoleh sebesar 36,9
jam; dosis 100 ml/ha - 26,5 jam, dosis 120 ml/ha - 4,8 jam,
dosis 240 ml/ha - 1,4 jam dan dosis 75 ml/ha Icon 25 EC - 1,2
jam. Hasil analisis probit kematian nyamuk setelah 24 jam
pengabutan di dalam dan di luar rumah berdasarkan KT50 dan
KT90 menunjukkan bahwa semua dosis (60,100,120,240
ml/ha)
efektif
(Gambar
2).

100
90
80

Persentase kematian

70
60
50
40
30
20
10
0
60.ml/ha

100.ml/ha.]

120.ml/ha

240.ml/ha

75.ml/ha.Icon 25 EC

Dosis Abate 500 EC


Dalam rumah

Luar rumah

Kontrol

Gambar 1. Histogram kematian nyamuk Aedes aegypti di dalam dan luar rumah akibat pengabutan insektisida Abate 500 EC dan Icon 25 EC di
pemukiman penduduk

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

80
70
LT .50.dalam rumah
LT .90.dalam rumah
LT .50.luar rumah
LT .90.luar rumah

Waktu (Jam)

60
50
40
30
20
10
0
60.ml/ha

100.ml/ha

120.ml/ha

240.ml/ha

75 ml/ha Icon 25
EC

Dosis Abate 500 EC


Gambar 2. Lethal time (lt) 50 dan 90 nyamuk Aedes aegypti pada pengabutan di dalam dan luar rumah dengan insektisida Abate 500EC
dan Icon 25 EC.

KESIMPULAN
Dosis insektisida Abate 500 EC efektif membunuh
nyamuk Aedes aegypti di dalam maupun di luar rumah adalah
100,120,240 ml/ha. Dosis tersebut pada uji efikasi menghasilkan kematian nyamuk sebanyak 100,00%. Dosis 60 ml/ha
insektisida Abate 500 EC secara thermal fogging kurang efektif membunuh Aedes aegypti. KT90 pada pengabutan terhadap
Aedes aegypti di luar rumah dosis 100 ml/ha adalah 8,0 jam,
dosis 120 ml/ha adalah 5,8 jam dan dosis 240 ml/ha adalah 2,4
jam. Sedangkan KT90 di dalam rumah dosis 100 ml/ha adalah
6,5 jam,dosis 120 ml/ha - 4,8 jam dan dosis 240 ml/ha - 1,4
jam.
KEPUSTAKAAN
1.

Hasan Boesri, Sukarno, Tri Suwaryono, M. Yasid, Sudipuryanto. Ke-

2.

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

padatan telur Aedes aegypti dan Aedes albopictus berdasarkan ketinggi-an


daerah pemukiman di Jawa Tengah, Maj. Parasitol. Indon.1995; 8 (1).
Hasan Boesri, Sumardi, Tri Suwaryono, Moh. Yasid, Heru Priyanto.
Pengaruh pengasapan (thermal fogging) dengan insektisida Lorsban 480
EC, Icon 25 EC dan Malathion 96 EC terhadap larva Aedes aegypti dan
Culex quinquefasciatus. Maj. Kes. Masy. 1996;54.
Sudyono. Malathion. Ditjen. P3M. Departemen Kesehatan RI. Jakarta,
1983.
Tarumingkeng RC. Pengantar Toksikologi Pestisida. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, 1989.
Komisi Pestisida. Pedoman Efikasi Insektisida di Indonesia. Depar-temen
Pertanian. Jakarta, 1978.
Steel RGD, Tprrie JH. Prinsip dan Potensial Statistika. cet. ketiga.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 1993.
WHO. Chemical methods for the control of artropo vectors and insect of
public health importance. 1984.
Departemen Kesehatan. Pedoman Pelaksanaan Program Pemberantasan
DBD. Ditjen. P3M. Departemen Kesehatan. RI. Jakarta, 1987.
Suharyono. Penanggulangan DBD dengan fogging Malathion pada
tempat penularan potensial di Jakarta. Maj. Kesehatan. Dep.Kes. 1987.

A certain peace is better and safer than an expected victory

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

45

HASIL PENELITIAN

Tingkat Aktivitas Kholinesterase,


Pengetahuan dan Cara Pengelolaan
Pestisida pada Petani/Buruh
Penyemprot Apel di Desa Gubuk
Klakah, Jawa Timur
Sri Sugihati Slamet, Nimah Bawahab
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK
Dalam upaya meningkatkan produksi, petani menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama, penyakit tanaman serta jasad pengganggu lainnya. Penggunaan
pestisida terbesar yaitu pada tanaman holtikultura apel. Penyemprotan dan pengelolaan
yang tidak benar akan menyebabkan keracunan pestisida yang dapat ditunjukkan
dengan Pemeriksaan Aktifitas Kholinesterase; untuk mengetahui tingkat keracunannya,
dilakukan penelitian tentang tingkat aktivitas kholinesterase, pengetahuan dan cara
pengelolaan pestisida pada petani/buruh penyemprot apel di dua musim.
Pengukuran tingkat aktivitas kholinesterase darah petani/buruh penyemprot menggunakan alat Tintometer kit. Pengumpulan data mengenai pengetahuan dan cara pengelolaan pestisida menggunakan instrumen kuesioner.
Hasil pemeriksaan menunjukkan penurunan aktivitas kholinesterase < 62,5% terjadi pada 4% petani/buruh di musim kemarau dan 13% di musim hujan. Tingkat
pengetahuan pestisida > 64% petani/buruh baik dan pengelolaan pestisida > 78% baik,
walaupun yang mendapat penyuluhan hanya 55%. Frekuensi penyemprotan 3-4 kali/
minggu meningkat 32% dari musim kemarau ke musim penghujan.

PENDAHULUAN
Dalam upaya peningkatan produksi pertanian dan pengendalian hama, penyakit tanaman serta jasad pengganggu lainnya,
petani menggunakan pestisida. Pestisida digunakan terutama
dalam proses tanam jenis tanaman holtikultura.
Berdasarkan data petugas penyuluh pertanian lapangan
(PPL) tanaman holtikultura yang paling banyak menggunakan
pestisida adalah tanaman apel; upaya untuk mempertahankan
buah apel dari serangan hama dilakukan penyemprotan pestisida baik pada musim kemarau maupun pada musim peng46 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

hujan. Cara pengelolaan pestisida yang tidak baik dapat mengganggu kesehatan manusia. Golongan pestisida organofosfat
dan karbamat dapat menghambat aktivitas kolinesterase, sehingga untuk mengetahui gambaran tentang paparan petani/
buruh penyemprot apel pada musim kemarau dan musim penghujan serta tingkat pengetahuan dan pengelolaan pestisida,
dilakukan penelitian tingkat aktivitas kholinesterase dan
pengetahuan serta cara pengelolaan pestisida petani/buruh penyemprot apel di Desa Gubuk Klakah, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

TUJUAN PENELITIAN
Menetapkan tingkat aktivitas kholinesterase darah petani
penyemprot apel pada musim kemarau dan musim penghujan.
Menetapkan pengetahuan dan perilaku petani penyemprot
apel dalam pengelolaan pestisida.
METODA PENELITIAN

Metoda penelitian cross-sectional

Sampel adalah petani apel atau buruh


penyemprot kebun apel di desa Gubuk Klakah Kabupaten
Malang Jawa Timur.
CARA PENELITIAN
I. Pengukuran tingkat aktivitas kholinesterase petani atau
buruh penyemprot.
Petani atau buruh penyemprot diambil sampel darahnya
sebanyak 0,01ml, kemudian diukur kadar kholinesterasenya
dengan menggunakan alat Tintometer Kit. Pengukuran dilakukan yaitu pada musim kemarau dan musim penghujan.
II. Pengumpulan data mengenai pengetahuan, sikap dan
cara petani dalam pengelolaan pestisida.
Data diperoleh melalui wawancara menggunakan instrumen kuesioner yang mencakup pengetahuan, bahaya, penggunaan pakaian pelindung, cara penyemprotan, cara pengelolaan pestisida dan apakah pernah mendapat penyuluhan
mengenai pestisida.
HASIL PENELITIAN
1) Sebanyak 100 orang petani apel dan buruh penyemprot
kebun apel berhasil terkumpul di desa Gubuk Klakah, Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Hasil pengukuran kholinesterase darah mereka dengan
menggunakan Tintometer Kit pada kedua musim yaitu musim
kemarau dan musim penghujan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.

Tingkat Aktivitas Kholinesterase darah petani/buruh


penyemprot Apel di desa Gubuk Klakah, Jawa Timur

Aktivitas Kholinesterase
darah (%)
100
87,5
75
62,5
50

Jumlah Petani/buruh (N : 100)


Musim Kemarau
Musim Penghujan
(%)
(%)
33
47
16
3
1

10
43
32
11
2

Tingkat aktivitas kholinesterase darah pada 70% merupakan batas, bahwa seseorang mulai keracunan pestisida dan memerlukan istirahat. Namun alat ini hanya bisa mendeteksi
tingkat aktivitas kholinesterase pada 75% dan 62,5%. Sehingga
yang diduga beracun adalah tingkat aktivitas kholinesterase
<62,5%.
Pada musim kemarau 4% petani/buruh tingkat aktivitas
kholinesterasenya < 62,5%, sedangkan pada musim hujan mencapai 13% petani/buruh penyemprot.
2) Hasil wawancara terhadap responden petani/buruh penyemprot apel dengan menggunakan instrumen kuesioner yang

sama, dan dilakukan 2 kali yakni pada musim kemarau dan


musim penghujan dengan tehnik bertanya berbeda. Adapun
data mengenai pengetahuan pestisida, baik mencakup jenis
pestisida yang digunakan, bahaya pestisida, manfaat pakaian
pelindung, bahaya makan, minum dan merokok waktu menyemprot, dapat diketahui pada Tabel 2.
Tabel 2.

No.

1.

2.

3.

4.

Pengetahuan Responden tentang Pestisida di Desa Gubuk


Klakah, Jawa Timur

Pengetahuan Pestisida

Jumlah Responden (N = 100)


Musim
Musim
Kemarau (%)
Penghujan (%)

Jenis Pestisida
Tahu < 4 jenis pestisida
Tahu > 4 jenis pestisida
Tidak tahu

16
71
13

13
75
12

Bahaya Pestisida
Beracun
Tidak beracun

83
17

84
16

64

65

11

11

25

24

83
8
9

90
5
5

Manfaat pakaian pelindung


- Melindungi tubuh dari
keracunan pestisida
- Melindungi tubuh dari
panas dan hujan
- Tidak tahu
Bahaya merokok, makan
dan minum sewaktu
menyemprot
- Menyebabkan keracunan
- Menghambat pekerjaan
- Tidak tahu

Baik mengenai jenis pestisida, bahaya pestisida, manfaat


pakaian pelindung dan bahaya makan-minum atau merokok
selama penyemprotan, pengetahuan responden > 64% adalah
baik. Jawaban tidak tahu terbanyak (24%-25% responden)
adalah tentang manfaat pakaian pelindung.
Data pengetahuan responden mengenai cara penyimpanan,
cara penyemprotan, frekuensi penyemprotan dan cara membersihkan bekas percikan/tumpahan pestisida dapat dilihat pada
Tabel 3.
Sebagian besar responden memahami cara pengelolaan
pestisida seperti yang ditunjukkan >79% responden dan kedua
jawaban antara kedua musim cukup konsisten, frekuensi penyemprotan pada musim hujan meningkat 32% dari musim
kemarau untuk penyemprotan 3-4 kali per minggu.
Data responden yang pernah maupun tidak pernah mendapat penyuluhan tentang pestisida dapat dilihat pada Tabel 4.
DISKUSI
Tingkat aktivitas kholinesterase darah petani/buruh penyemprot apel < 62,5% pada musim kemarau 4% dan meningkat pada musim hujan yang mencapai 13%.
Makin tingginya tingkat keracunan pada musim hujan karena
frekuensi penyemprotan meningkat, frekuensi penyemprotan 34 kali per minggu meningkat sampai 32% (Tabel 3) karena
pada musim hujan pestisida yang telah disemprotkan akan
Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

47

cepat hilang dan terbawa air hujan, sehingga perlu penambahan


frekuensi penyemprotan agar dihasilkan tanaman yang bebas
hama penyakit.
Tingkat aktivitas kholinesterase <70% merupakan batas bahwa
seseorang sudah mencapai tahap keracunan pestisida(7).
Pengetahuan > 64% petani/buruh penyemprot tentang pestisida baik, dan perlakuan terhadap pengelolaan pestisida >78%
petani/buruh baik, walaupun hanya 55% petani/buruh yang
mendapat penyuluhan.
Frekuensi penyemprotan pada musim hujan meningkat
32% untuk 3-4 kali per minggu,

Tabel 3. Pengetahuan Responden tentang Pengelolaan Pestisida.

No.

1.

2.

3.

4.

Pengetahuan Cara
Pengelolaan Pestisida
Cara penyimpanan pestisida :
- Dalam botol khusus
pestisida
- Dalam tas plastik
- Lain-lain
Cara penyemprotan :
- Tidak berlawanan arah
angin
- Tidak menyemprot pada
waktu panas terik
- Tidak tahu

Jumlah Responden (N = 100)


Musim
Musim
Kemarau (%)
Penghujan (%)
91

95

9
-

5
-

79

88

10

11

Tabel 4.
No.

Responden yang pernah mendapat penyuluhan pestisida.

Dapat Penyuluhan

Jumlah Responden (N = 100)


Musim Kemarau
Musim Penghujan
(%)
(%)

1.

Pernah

55

58

2.

Tidak pernah

45

42

KESIMPULAN
1) Tingkat aktivitas kholinesterase yang menunjukkan batas
keracunan < 62,5% ditemukan 4% petani/buruh penyemprot
pada musim kemarau dan pada musim hujan mencapai 13%
petani/buruh penyemprot.
2) Pengetahuan > 64% petani/buruh penyemprot tentang pestisida baik, sedangkan perlakuan terhadap pengelolaan pestisida > 78% baik, walaupun hanya 55% yang mendapat penyuluhan.
Frekuensi penyemprotan pada musim hujan meningkat 32%
untuk 3-4 kali penyemprotan per 4 mingguan.

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.

Frekuensi penyemprotan ratarata per minggu :


1 - 2 kali
3 - 4 kali
5 - 6 kali

78
19
3

38
51
11

Cara membersihkan bekas


percikan :
- Dicuci dengan kain
- Dicuci dengan air bersih
- Dicuci dengan sabun + air

1
9
90

1
8
91

4.
5.
6.

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

7.

Fahmi. Pencemaran Pestisida di Indonesia, Bahan penataran Pestisida


Regional bagi Petugas Hygiene & Sanitasi Tingkat Kabupaten dan
Propinsi, Sub Dit. P3M Pestisida Dit.Jen. P3M Dep.Kes. RI, 1982.
Sub Dit. Pestisida. Peraturan-Peraturan tentang Pestisida, Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta. 1978.
KOMPES. Pengembangan Industri Pestisida di Indonesia. Media Pestisida 1983;.6:8.
Dit.Jen. P3M Dep.Kes. RI. Usulan Pengendalian Pencemaran dan Keracunan Pestisida, Sub Dit. P2 Pestisida Dit.Jen. Pengendalian Pencemaran
dan Keracunan Pestisida, Jakarta, 1985; 3.
Thomas LC. Colorimetric Chemical Analytical Method. Sansbury
England, The Thintometer Ltd., 1974.
Untuk, K. Pengendalian Hama Terpadu dan Masalah Penggunaan Pestisida, WALHI, Jakarta. 1982.
WHO. Organophosphorus Insecticide : A General Introduction Environmental Health Criteria, 63 WHO Geneva, 1986.

HASIL PENELITIAN

Status Kesehatan Petani


Perkebunan Rakyat
Pengguna Paraquat Dibandingkan
dengan Petani bukan Pengguna
Paraquat di Lampung Selatan
Janahar Murad, D. Mutiatikum, SR. Muktiningsih
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK
Penggunaan herbisida telah terbukti bermanfaat meningkatkan hasil pertanian
maupun perkebunan. Salah satu bahan aktif herbisida yang secara luas digunakan
adalah paraquat, bahan aktif ini telah digunakan di Indonesia sejak tahun 1974. Karena
sifat kimia dan toksisitasnya maka pada tahun 1979 statusnya diubah menjadi pestisida
terbatas pakai yang hanya boleh digunakan oleh instansi atau perorangan yang telah
mendapat izin.
Pada akhir tahun delapanpuluhan beberapa kelompok perkebunan rakyat di
Lampung Selatan masih menggunakan herbisida tersebut setelah mendapat pelatihan.
Untuk melihat keberhasilan pelatihan tersebut dilakukan penelitian status kesehatan
pengguna herbisida dengan bahan aktif paraquat dibandingkan dengan petani bukan
pengguna paraquat. Kedua kelompok pengguna dan bukan pengguna paraquat masingmasing 50 orang diusahakan dari kelompok usia yang sama, demikian juga kebiasaan
merokok serta tingkat pendidikan yang hampir sama.
Karena keracunan paraquat tidak menunjukkan gejala yang spesifik, pemeriksaan
pengaruh herbisida ini dilihat melalui antara lain: kesehatan umum, tingkat anemia,
tekanan darah, Hb, Foto toraks untuk mengetahui terjadinya fibrosis, fungsi hati
(SGOT, SGPT, alkalifosfatase, bilirubin) serta fungsi ginjal (ureum dan kreatinin).
Status kesehatan kelompok pengguna herbisida dan bukan pengguna herbisida
tidak berbeda bermakna.
Kata kunci: Herbisida, Paraquat.

PENDAHULUAN
Penggunaan herbisida untuk mengendalikan gulma pertanian atau perkebunan dapat meningkatkan hasil pertanian;
salah satu bahan aktif herbisida yang digunakan secara luas
adalah paraquat. Senyawa ini berupa racun kontak yang sangat
aktif pada bagian tanaman yang hijau. Paraquat tidak bekerja
sistemik jadi tidak merusak perakaran, struktur tanah dan tidak

mengganggu tanaman utama. Senyawa ini banyak digunakan


di perkebunan seperti perkebunan teh, kopi, karet, kelapa
sawit.
Herbisida dengan bahan aktif paraquat telah digunakan di
Indonesia sejak tahun 1974. Sifat racun paraquat tidak spesifik
dan absorbsi lambat yang dalam jangka panjang dapat
menyebabkan kerusakan paru-paru (fibrosis), gangguan fungsi
Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 49

hati dan fungsi ginjal manusia yang terpapar. Karena sifat


racun tersebut, maka pada tahun 1979 senyawa ini ditetapkan
menjadi herbisida terbatas dengan ketentuan antara lain hanya
boleh digunakan oleh perorangan atau badan hukum tertentu
yang memiliki izin menggunakan yang diberikan oleh Menteri
Pertanian atau pejabat yang ditunjuk.
Pada awalnya hanya perkebunan baik swasta maupun
milik negara yang diberi izin penggunaan, tetapi para petani
perkebunan rakyat juga membutuhkan herbisida ini, sehingga
pada tahun 1988 Dinas Perkebunan Lampung melakukan
pelatihan dan penyuluhan pada petani kopi di kecamatan
Pagelaran Lampung Selatan. Sejak 1988 petani kopi daerah ini
sudah menggunakan herbisida Gramoxon dengan bahan aktif
paraquat untuk membasmi tanaman pengganggu pada perkebunan kopi mereka. Untuk mengetahui keberhasilan pelatihan/penyuluhan dilakukan studi tentang status kesehatan petani
perkebunan rakyat pengguna paraquat dibandingkan dengan
petani bukan pengguna paraquat.
TUJUAN
Tujuan Umum : Melindungi masyarakat dari dampak negatif
pengguna herbisida.
Tujuan Khusus : Mengetahui status kesehatan petani pengguna herbisida berbahan aktif paraquat yang telah mendapat
pelatihan/penyuluhan dibandingkan dengan bukan pengguna.
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan suatu studi cross sectional untuk
mengetahui perbedaan status kesehatan antara petani pengguna
paraquat yang telah mendapat pelatihan/penyuluhan dan petani
bukan pengguna paraquat. Populasi kasus ini adalah masyarakat petani kopi di daerah Tangkit Serdang dan Talang Lebar
kecamatan Pagelaran dan sebagai kontrol petani padi di daerah
yang sama.
Pengumpulan data dilakukan dengan:
1) Kuesioner untuk kasus dan kontrol meliputi: lokasi, identitas responden, riwayat pekerjaan, sanitasi lingkungan, riwayat kesehatan kerja dan riwayat kesehatan umum.
2) Pemeriksaan kesehatan meliputi: keadaan kesehatan
umum, tingkat anemia, tekanan darah, Hb, foto Toraks untuk
mengetahui adanya fibrosis, tes fungsi hati (SGPT, SGOT,
alkali fosfatase, bilirubin) dan tes fungsi ginjal, (ureum dan
kreatinin).
Pemeriksaan kesehatan umum dilakukan oleh dokter
puskesmas setempat. Pemeriksaan rontgen di UPF Radiologi
RSU A. Moeloek, sedangkan pemeriksaan fungsi hati dan
ginjal dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah Tanjung
Karang Lampung. Analisis perbedaan status kesehatan dilakukan dengan uji test.
HASIL
Petani kopi di kecamatan Pagelaran Lampung Selatan
telah menggunakan herbisida dengan bahan aktif paraquat
lebih dari 5 tahun.

Tidak Pernah
Jumlah

12
50

24
100

Sebagian besar petani (76%) pernah mengikuti penyuluhan tentang pengolahan herbisida dengan bahan aktif paraquat
(Tabel 1).
Tabel 2. Frekuensi penyemprotan dalam bulan/tahun
Lama
1 2 bulan
3 4 bulan
5 6 bulan
7 8 bulan
Tidak mengisi
Jumlah

Jumlah yang menyemprot


n
%
9
18
26
52
10
20
3
6
2
4
50
100

Tabel 3. Frekuensi penyemprotan dalam hari/bulan.

1 4 hari
5 8 hari
9 12 hari
13 16 hari
> 16 hari
Tidak mengisi

Jumlah yang menyemprot


n
%
27
54
14
28
5
10
1
2
2
4
1
2

Jumlah

50

Lama

100

Tabel 4. Frekuensi penyemprotan dalam jam/hari


Lama
1 2 jam
3 4 jam
5 6 jam
> 6 jam
Jumlah

Jumlah yang menyemprot


n
%
6
12
35
70
7
14
2
4
50
100

Sekitar 72% petani melakukan penyemprotan antara 3 6


bulan pertahun dengan frekuensi penyemprotan 1 8 hari
perbulan (82%) dan 9 12 hari perbulan (10%), tiap hari penyemprotan lamanya 3 4 jam (70%) (Tabel 2, 3, 4).
Demografi responden sampel dan kontrol adalah homogen (Tabel 5).
Perilaku responden sampel dan kontrol yang berhubungan dengan kesehatan homogen (Tabel 6).
Kesehatan umum, sistem peredaran darah dan sistem pernafasan baik sampel maupun kontrol normal (Tabel 7).
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan dilakukan terhadap darah tepi, fungsi hati
dan fungsi ginjal. Hasil pemeriksaan dibandingkan antara
sampel dan kontrol dengan uji t (t test) dengan tingkat
kemaknaan 0,05 dan derajat kebebasan n1 + n2 2 dengan
n1=n2=50.
Tabel 5. Demografi responden.

Tabel 1. Petani yang mengikuti penyuluhan penggunaan paraquat.


No.
Mengikuti
Penyuluhan
Pernah

Ikhwal

n
38

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Sampel
n

Jumlah sampel
%
76

Kelompok Umur

Kontrol
%

15 35 tahun
> 35 tahun

18
32

36
64

17
33

34
66

Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan

49
1

98
2

49
1

98
2

Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi

4
30
9
6
1

8
60
18
12
2

3
31
9
6
1

6
62
18
12
2

Pekerjaanselain petani
Tidak ada
Pedagang
Pegawai negeri
Pensiun
Lain-lain

37
2
11

74
4
22

37
2
11

74
4
22

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Kesehatan umum baik


Tekanan darah normal
Jantung normal
Bunyi jantung normal
Anemia
Auskultasi normal
Rontgen (foto torax) normal
Lesi TB aktif
Lesi TB non aktif

Sampel
n
%

Kontrol
n
%

Merokok
Tidak merokok

45
5

90
10

44
6

88
12

Minum alkohol
Tidak minum alkohol

11
39

22
79

12
38

74
76

Tempatmembersihkan alat semprot


Di sumur
Di kamar mandi
Di sungai
Lain-lain
Tidak mengisi

3
29
18
-

60
58
36
-

3
1
25
17
4

60
2
50
34
8

Tempat melakukan pengenceran


Di rumah
Di tempat menyemprot
Tidak mengisi

2
48
-

4
96
-

46
4

92
8

Mandi sesudah menyemprot


Tidak mandi sesudah menyemprot

44
6

88
12

43
7

86
14

Pakaian dicuci setiap selesai


bekerja
Pakaian tidak dicuci setiap selesai
bekerja

33

66

41

82

17

34

18

Hasil pemeriksaan darah tepi sampel dan kontrol tidak berbeda


bermakna (Tabel 8).
Ada perbedaan bermakna pada kadar alkali fosfatase
(p=0,05), sedangkan hasil pemeriksaan ginjal tidak ada perbedaan bermakna (Tabel 9, 10).
Tabel 7. Status kesehatan umum, peredaran darah dan sistem pernafasan.
No.

Pemeriksaan

Sampel
n
%

50
47
50
48
1
47
46
2
2

100
94
100
96
2
94
92
4
4

Tabel 8. Hasil pemeriksaan darah tepi


Pemeriksaan
Hb (g %)
Leukosit (/mm)
Eritrosit x 106 (/mm)
Trombosit x 103 (/mm)
LED mm/jam

Pemeriksaan
Ikhwal

100
82
98
98
98
88
6
4

Sampel

Kontrol

11 18,4
4.100 15.500
3,1 6,1
144 416
0 9,9

8,8 18,1
4.450 10.200
2,9 6,1
200 500
3 8,1

Tabel 9. Hasil pemeriksaan fungsi hati

Tabel 6. Perilaku responden yang berhubungan dengan kesehatan.

No.

50
41
49
49
49
44
3
2

Kontrol
n
%

SGOT (u/l)
SGPT (u/l)
Alkali fosfatase (u/l)
Bilirubin total (mg%)
Bilirubin direk (mg%)
Bilirubin indirek (mg%)

Sampel

Kontrol

23 61
9 43
61 216
0,32 1,2
0,12 0,46
0,22 0,88

14 106
8 46
68 156
0,37 1,6
0,10 0,50
0,20 1,09

Tabel 10. Hasil pemeriksaan fungsi ginjal


Pemeriksaan
Ureum (mg %)
Kreatinin (mg %)

Sampel

Kontrol

18 57
0,11 1,5

10 46
0,48 1,47

PEMBAHASAN
Pada masing-masing kelompok sampel dan kontrol hanya
ada 1 orang perempuan. Tingkat pendidikan terakhir yang terbanyak adalah Sekolah Dasar (sampel 60% dan kontrol 62%).
Sebagian besar petani tidak mempunyai pekerjaan lain (sampel
dan kontrol masing-masing 74%). Kedua kelompok mempunyai kebiasaan merokok yang hampir sama (kelompok
sampel 90% dan kelompok kontrol 88% perokok); demikian
juga kebiasaan minum beralkohol, kelompok sampel 78% dan
kelompok kontrol 76% tidak minum minuman beralkohol.
Dari uraian di atas terlihat bahwa kedua kelompok ini
homogen. Kebiasaan lain yang berhubungan dengan kesehatan pada kedua kelompok seperti tempat penyimpanan, tempat
membersihkan alat semprot, melakukan pengenceran, kebiasaan mandi setelah menyemprot dan pencucian pakaian
kerja hampir sama (Tabel 6). Karena kelompok sampel adalah
petani perkebunan kopi dan kelompok kontrol sebagian besar
adalah petani padi, perbedaan hanya terdapat pada pestisida
yang digunakan. Kelompok sampel mengguna-kan herbisida
dengan bahan aktif paraquat di samping pesti-sida lain, sedangCermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 51

kan kelompok kontrol menggunakan pesti-sida golongan fosfat


organik, karbamat dan piretrin sintetis.
Dari hasil pemeriksaan kesehatan yang terdiri dari kesehatan umum, tingkat anemia, tekanan darah, keadaan
jantung, tidak terdapat perbedaan antara kedua kelompok.
Pemeriksaan rontgen (sinar X) paru kelompok sampel terdapat 5 orang yang tidak normal yang disebabkan oleh infeksi
tuberkulosis (3 orang aktif dan 2 orang non aktif). Kelainan ini
tidak ada hubungannya dengan pengguna paraquat. Keracunan paraquat sistemik terutama dapat dilihat pada paru antara 24
48 jam setelah menelan lebih kurang 50 ml paraquat pekat,
berupa pembengkakan paru dan setelah beberapa hari dapat
terjadi fibrosis (1 orang). Dari hasil foto rontgen baik kelompok kontrol maupun kelompok sampel tidak terdapat kelainan
tersebut.
Pada pemeriksaan kulit dan kuku juga tidak didapatkan
kelainan oleh pengaruh penggunaan paraquat.
Pada pemeriksaan laboratorium klinis meliputi pemeriksaan hemoglobin (Hb). Harga normal untuk Hb adalah
antara 12-18 g%. Pada pemeriksaan tahap awal 50 sampel
terdapat 3 orang dengan Hb di bawah normal yaitu 11,0; 11,5
dan 11,6 g%, sedangkan pada kelompok kontrol juga terdapat
3 orang di bawah normal yaitu 8,8; 11,5 dan 11,8 g%, tidak
ada perbedaan antara sampel dan kontrol. Pada pemeriksaan
leukosit kelompok sampel ada satu orang dengan kadar leukosit melebihi batas normal tetapi hal ini tidak ada hubung-annya
dengan penggunaan paraquat. Pada pemeriksaan eritro-sit tidak
terdapat penyimpangan dan tidak ada perbedaan yang
bermakna pada kedua kelompok. Pada pemeriksaan Laju
Endap Darah (LED) tidak terdapat penyimpangan pada kedua
kelompok. Pada pemeriksaan SGOT tidak terdapat perbedaan
yang bermakna antara kedua kelompok, hal ini tidak ada
hubungannya dengan penggunaan paraquat, sedangkan pada
pemeriksaan SGPT kelompok sampel ada tiga orang yang

melewati batas normal yaitu 40, 42 dan 43, dan kelompok


kontrol ada tiga orang yang melewati harga normal yaitu 38,
41 dan 46 secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna.
Pada pemeriksaan alkali fosfatase kelompok sampel 47 orang
(94%) dalam batas normal dan 3 orang (6%) di atas normal,
sedangkan pada kelompok kontrol 49 orang (98%) dalam batas
normal 1 orang (2%) di atas normal. Walaupun perbedaan ini
bermakna secara statistik tetapi secara klinis tidak terdapat
perbedaan. Pemeriksaan bilirubin total, bilirubin direk dan
indirek untuk kelompok sampel dan kontrol tidak menghasilkan perbedaan yang bermakna baik secara statistik maupun
secara klinis.
Status kesehatan kedua kelompok sampel dan kontrol ini
tidak berbeda; petani pengguna paraquat sebagian besar (76%)
sudah mengikuti pelatihan pengelolaan paraquat, sedangkan
yang belum pernah mengikuti pelatihan mendapat bimbingan
dari petani yang sudah dilatih.
KESIMPULAN
Tidak terdapat perbedaan status kesehatan antara kelompok pengguna herbisida dengan bahan aktif paraquat dan
kelompok yang tidak menggunakan herbisida tersebut. Dapat
disimpulkan bahwa pelatihan yang diberikan kepada para
petani cukup efektif dan bermanfaat.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.

Haddad LM, Winchester JF. Clinical Management of Poisoning and Drug


Overdose. WB Saunders Co, 1983.
Dreisbach RH. Handbook of Poisoning. 11th ed; Maruzen Asia Edition,
1983.
Cassarett and Doulls Toxicology: The Basic Science of Poisons. 2nd ed;
Macmillan Publ. Co. Inc. New York, 1875.
Moss D. Liver Function Test. Medicine International, 1994; 7 (28).

Better be friends at a distance than enemies near each other

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Risiko Pemajanan Benzen


terhadap Pekerja
dan Cara Pemantauan Biologis
Satmoko Wisaksono
Direktorat Pengawasan Nazaba, Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN
Tenaga kerja merupakan kelompok individu yang terlibat
dalam kegiatan kerja dan mengharapkan imbalan dalam bentuk
upah kerja. Di Indonesia ketentuan tentang lama kerja yang
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah adalah 8 jam sehari
atau 40 jam dalam seminggu.
Pemajanan terhadap tenaga kerja beserta lingkungan
kerjanya secara terus-menerus akan merupakan beban fisik dan
psikologis bagi tenaga kerja yang akhirnya menyebabkan
penyakit akibat kerja.(1,2)
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per. 01/Men/1981
mengenai kewajiban melapor penyakit akibat kerja, mengatur
bahwa terdapat 30 jenis penyakit akibat kerja yang berhubungan dengan bahan kimia termasuk benzen dan homolognya
yang beracun.
Beberapa peraturan penunjang lainnya yang berhubungan
dengan kesehatan kerja adalah :
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No: Per. 02/Men/1980
tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No: Per. 03/Men/1982
tentang Pelayanan Kesehatan Kerja.
Makalah ini menguraikan risiko pemajanan benzen terhadap pekerja dan cara pemantauannya secara biologis.
Di negara maju seperti Amerika OSHA (Occupational
Safety and Health Administration) mengawasi penyakit akibat
kerja ini secara ketat, termasuk keracunan akibat pemajanan
bahan kimia.
Perkembangan yang pesat dalam sampling udara, ditambah dengan fakta bahwa benzen meracuni darah (hematotoksik), maka nilai ambang batas benzen ditekan terus
menerus.(5,6,7)
Dalam hal nilai ambang batas, masing-masing negara
belum seragam; misalnya, di Jerman 8 ppm, Australia,
Denmark, Finlandia, Jepang, Belanda, dan Amerika menetapkan 10 ppm., sedangkan Swedia menetapkan 5 ppm. Di
Indonesia sesuai dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja
Nomor SE 01/Men/1997 nilai ambang batas untuk benzen
adalah 10 ppm.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1) Benzen = benzol, cyclohexatriene, phenyl hydride, coal
napthta.(4)
2) Sifat Fisika dan Kimia
Benzen merupakan senyawa hidrokarbon aromatik dengan
rantai tertutup tidak jenuh, rumus kimia C6H6. Dalam keadaan
normal merupakan cairan tak berwarna, jernih(1,2,4,8,10,11), berbau khas dan mudah terbakar.(4,8,11)
Titik didih 80,1C, titik cair 5,5 C.(4)
Indeks bias 1,5011, larut dalam 1430 bagian air, dapat
campur dengan asam asetat glasial, aseton, etanol, eter,
karbondisulfida, karbon tetraklorida, kloroform dan minyak.(4)
Benzen termasuk bahan pelarut yang baik, secara kimia
cukup stabil; tetapi mudah mengalami reaksi substitusi menjadi bentuk halogen, nitrat dan derivat alkil.(11)
3) Tancampurkan (incompatibility)
Campuran benzen dengan bromipentafluorida, klorintrifluorida, klorin, oksigen (cair), ozon, perklorat, perklorilfluorida, aluminium klorida, permanganat, asam sulfat, perak
perklorat atau natrium peroksida dapat menimbulkan api dan
ledakan. Sedangkan campuran benzen dengan anhidrida
kromat, nitril perklorat atau natrium peroksida dapat menimbulkan nyala(4)
4) Penggunaan
Senyawa benzen dan hidrokarbon aromatik lainnya secara
luas digunakan sebagai bahan bakar, bahan pelarut, bahan
tambahan. Karena sifatnya yang cepat kering, maka benzen
digunakan secara luas dalam industri perekat dan pernis.
Selain itu benzen juga digunakan sebagai bahan antara
dalam pembuatan stirena, fenol, sikloheksana, dan zat organik
lain; pembuatan deterjen, pestisida, zat warna, linoleum, pelarut lilin, resin, penghapus cat, dan lain-lain. Benzen juga
merupakan bahan penting dalam penerbangan dan motor serta
penyiapan produk farmasi.(1,2,4,8,11,12)
5) Sumber
Benzen dapat ditemukan dalam asap rokok sekitar 47-64
ppm tergantung jenis rokoknya. Selain itu ditemukan dalam air
hujan meskipun konsentrasinya rendah antara 0,1-0,5 ug/l.
Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 53

Pada industri pengilangan minyak bumi, batu bara serta ter


arang, benzen dan derivatnya diperoleh dari hasil langsung
maupun sampingan.(8,11,12)
6) Risiko tubuh terhadap pemaparan benzen
a) Metabolisme
Keracunan benzen umumnya terjadi melalui inhalasi uap,
walaupun benzen dapat berpenetrasi melalui kulit(4). Gejala
keracunan hebat adalah kejang-kejang, koma, dan akhirnya
meninggal.
Benzen apabila tidak segera dikeluarkan melalui ekspirasi,
maka akan diabsorbsi ke dalam darah.(8,11)
Benzen larut dalam cairan tubuh dalam konsentrasi sangat
rendah dan secara cepat berakumulasi dalam jaringan lemak
karena kelarutannya yang tinggi dalam lemak.
Apabila benzen tertelan atau terinhalasi, maka 50% akan
keluar melalui ekspirasi(4,5,11), atau ke luar bersama urin.(4,11)
Metabolisme terjadi di dalam hati; benzen dioksidasi menjadi hidroksi benzen, 1,2 dihidroksi benzen atau 1,4 dihidroksi
benzen.(3,4,8,11) Hidroksi benzen (fenol) kemudian mengalami
konjugasi dengan sulfat anorganik menjadi senyawa fenilsulfat
dan hidroksi benzen lain yang akhirnya diekskresi melalui
urin. Jalur ini disebut Major Pathway.
Beberapa peneliti Rusia menyatakan bahwa ekskresi fenilsulfat mencapai puncaknya 4-8 jam setelah pemaparan benzen.
b) Reaksi terhadap pemaparan akut benzen.
Keracunan melalui mulut.
Tertelannya 9 12 g benzen melalui mulut akan menimbulkan tanda-tanda seperti: jalan sempoyongan, muntah,
denyut nadi cepat, delirium, pneumonitis, hilang kesadaran;
kehilangan kestabilan, dan koma.(3,4,5,7,11)
Sedangkan pada konsentrasi sedang, benzen dapat menyebabkan pusing, lemah, mual, sesak napas, dan rasa sesak di
dada.(7,12)
Keracunan melalui kulit.
Bila benzen terpapar di kulit, maka akan diabsorbsi, tetapi
lebih kecil jika dibandingkan dengan absorbsi mukosa saluran
napas. Secara lokal, benzen merupakan iritan kuat menimbulkan bercak merah dan terbakar serta menghilangkan lemak
pada lapisan keratin yang menyebabkan dermatitis kering serta
bersisik.(4,7,10,11)
Keracunan inhalasi.
Penguapan benzen dalam konsentrasi tinggi akan menyebabkan keracunan; paling banyak akibat penghirupan/inhalasi.
Pada tingkat permulaan, benzen terutama berpengaruh
terhadap susunan saraf pusat. Tanda-tanda utamanya ialah
perasaan mengantuk, pusing, sakit kepala, vertigo, delirium,
dan kehilangan kesadaran.(4,5,7,11)
Pada pemaparan akut tingkat sedang dapat menyebabkan
sindrom prenarkosis yang khas ialah sakit kepala, perasaan
pusing, atau mabuk, dan kadang-kadang mengalami iritasi
ringan pada saluran napas dan cerna.
Pemaparan akut dengan konsentrasi tinggi dapat menyebabkan sesak napas, euforia, tinitus, dan anestesia yang
dalam. Bila tidak segera ditolong, dapat terjadi kegagalan pernapasan, dan kejang.(1,2,11)
Pengaruh terhadap sel
Benzen mempengaruhi sel hemopoetik darah tepi dan
54 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

sumsum tulang.
Otopsi menunjukkan adanya tanda-tanda perdarahan di
otak, perikardium, saluran kemih, membran mukosa dan
kulit.(3,7,11)
7) Pemaparan benzen kronis
Pemaparan benzen kronis secara inhalasi pada manusia
dengan kadar rendah menyebabkan gejala psikologis. Gejala
tersebut dipengaruhi oleh variasi individu, antara lain keadaan
gizi, faktor genetik, keadaan imunologis tertentu, dan penggunaan alkohol atau obat-obatan.
Tanda-tanda yang dihubungkan dengan pemaparan benzen
kronis secara inhalasi berupa sakit kepala, pusing, kelelahan,
anoreksia. dispnea, gangguan penglihatan, pucat, vertigo dan
hilang kesadaran.(3,7,11)
Pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan beberapa
pengaruh seperti hiperbilirubinemi, splenomegali, adrenomegali, anemia hemolitik, anemia aplastik, gangguan sistim
limfatik, retikulositosis, leukopeni, pansitopeni, eosinofili,
basofili, trombositopeni, monositosis, hiperplasi sumsum
tulang dan penyimpangan kromosom.(3,4,5,8,11)
Pengaruh pemaparan kronis melalui inhalasi mempunyai
tiga tingkatan, ialah :
Pemaparan konsentrasi rendah, menghasilkan perubahan
sangat sedikit, hampir tidak jelas pada sistem hemopoetik.
Pemaparan konsentrasi sedang akan mempengaruhi sintesis enzim tertentu, sensitisasi dan anemia.

Pemaparan konsentrasi tinggi dapat menimbulkan gangguan sel darah yang irreversibel.(3,4,11)
a) Pengaruh fisiologis
Tenaga kerja yang terpapar kadar rendah secara kronis,
menunjukkan tanda-tanda gangguan susunan saraf pusat(4,11),
dan gangguan pandangan.(11)
Pengaruh utama keracunan benzen kronis adalah terhadap
susunan saraf pusat yang mungkin tidak dapat segera dikenali
karena gejalanya tidak spesifik seperti sakit kepala, anoreksia,
vertigo, dan sebagainya.
Sedangkan konsentrasi yang sangat tinggi menyebabkan
sensitisasi jantung terhadap katekolamin dengan gejala denyut
nadi cepat, sakit kepala, muntah, kehilangan kesadaran.(11)
Pada penelitian terakhir ternyata benzen menurunkan
tekanan darah arteri dan perifer. Gejala ini akan hilang bila
pemaparan dihentikan.(3,4,11)
b) Pengaruh pada kulit
Pemaparan benzen pada kulit akan mengakibatkan kulit
menjadi peka (dermal sensitizer).
Pemaparan jangka lama dapat menimbulkan luka bakar.
Bila kulit terkena benzen terus menerus, maka lemak kulit
akan hilang, menyebabkan eritema, kulit bersisik dan kering.
Pada beberapa kasus terjadi pembentukan vesikula, dan
papula.(2,4,11)
c) Pengaruh hematologis
Pengaruh benzen terhadap sistem hemopoetik telah lama
diketahui; gejalanya dapat dibagi atas tiga golongan sebagai
berikut :
Tingkat awal
Pada tingkat awal dapat terjadi gangguan pembekuan
darah yang disebabkan oleh perubahan fungsi, morfologi dan

jumlah trombosit, juga dapat menurunkan pembentukan semua


komponen darah.
Jika dapat didiagnosis dan segera diobati, dapat sembuh
sempurna (reversibel).
Tingkat lebih lanjut
Pada tingkat lanjut, sumsum tulang menjadi hiperplastik
kemudian hipoplastik, metabolisme besi terganggu, terjadi
perdarahan sistemik.
Diagnosis dan pengobatan harus cepat dan tepat dan
hindari pemaparan selanjutnya.
Dalam pemeriksaan jumlah eritrosit kurang dari 3,5 juta,
leukosit kurang dari 4500, jumlah trombosit menurun, besi
meningkat. Bila tidak segera ditangani berlanjut ke fase ketiga.
Fase ketiga
Dalam fase ini dapat terjadi aplasi sumsum tulang yang
progresif. Mungkin ada penekanan regenerasi sumsum tulang
dengan adanya kerusakan sel darah tepi, yang akhirnya mengakibatkan kelambatan daya regenerasi.(1,3,5,8,11)
d) Pengaruh pada sub sel
Pada pekerja yang terpapar benzen bertahun-tahun akan
terjadi penyimpangan kromosom dalam limfosit darah
tepi.(2,5,11)
Pemantauan Biologis pada Pemaparan Benzen
Pengukuran kadar benzen
Secara kuantitatif pemantauan biologis sangat penting
untuk mengetahui tanda permulaan keracunan akibat pemaparan benzen dan hidrokarbon lainnya.
Pengukuran benzen dalam darah sebetulnya bukan indikator yang tepat pada kasus pemaparan benzen karena secara
relatif benzen akan cepat menghilang; kira-kira 50% benzen
akan keluar bersama udara pernapasan. Namun pengukuran
kadar benzen dalam darah tetap diperlukan sebagai bukti
bahwa seseorang terpapar benzen. Pengukuran tersebut menggunakan metode kromatografi gas.(5,7,11)
Metabolit utama benzen adalah fenol. Pada percobaan
menggunakan kelinci, kira-kira 25-50% benzen dimetabolisasi
menjadi fenol(2). Oleh karenanya fenol dalam urin merupakan
indikator yang baik dalam hal pemaparan benzen.(4,5,7,11)
Peningkatan kadar fenol dalam urin menunjukkan adanya
pemaparan benzen 8-10 jam sebelumnya. Pemaparan benzen
di udara 25-30 ppm dapat menaikkan ekskresi fenol sampai
100 atau 200 mg/1 urin. Nilai fenol normal dalam urin adalah
20-30 mg/l.(3,11)
Ekskresi fenol dalam urin dapat diukur secara kuantitatif
dengan spektrofotometri menggunakan reaksi indol-fenol.(7)
Pemeriksaan hematologis dan sitologis
Keracunan benzen pada manusia dan hewan percobaan
dapat diketahui dari pemeriksaan darah karena menyebabkan
makroeritrositosis.(1,3,5,11) yang diketahui melalui peningkatan
mean corpuscular volume (MCV) .(2)
Selain indikator di atas terdapat indikator dini lain yaitu
limfositopeni.(1,5,11)
Hal di atas dapat diketahui melalui Complete Blood Count
(CBC) yaitu pemeriksaan darah lengkap termasuk hitung
jumlah trombosit, leukosit, eritrosit dan hitung jenis leukosit.(2)

DISKUSI
Banyak peneliti mengatakan bahwa pemaparan benzen
dapat menyebabkan kerusakan sistem hemopoetik. Namun
sampai saat ini penelitian epidemiologis terhadap gejala yang
ditimbulkan hasilnya belum memuaskan.
Program pengawasan medis telah diketahui secara umum,
namun belum ada prosedur pemantauan yang baku, sehingga
hasilnya sulit ditafsirkan.
Kesulitan penafsiran dalam pemantauan dapat dilihat,
misalnya dalam hal :
Pemantauan kadar benzen dalam darah hanya menunjukkan adanya pemaparan pada saat itu.
Kasus makroeritrositosis selain diakibatkan oleh pemaparan benzen juga diakibatkan oleh defisiensi asam folat,
vitamin B12, penggunaan alkohol berlebihan, dan penyakit
hati.
Dalarn hal penentuan nilai ambang batas masih terdapat
perbedaan antar negara, namun ada kecenderungan untuk
menurunkan kadar ambangnya.
KESIMPULAN
Risiko pemaparan benzen terhadap pekerja di lingkungan
kerja perlu diperhatikan dan dipikirkan cara penanggulangannya.
Dalam hal pemantauan biologis, perlu keseragaman
metode agar hasil yang diperoleh mudah ditafsirkan.
SARAN
Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja berhubungan
dengan benzen untuk mendapatkan data dasar dan seterusnya
dilakukan pemeriksaan berkala.
Penggunaan alat pelindung diri yang tepat..
Adanya laboratorium rujukan mengingat benzen dalam
darah hilang relatif cepat.
KEPUSTAKAAN
Dreisbach RH. Handbook of Poisoning. 10th ed. Lange Med Publ, 1980.
Proctor NH. Chemical Hazard of the Work Place, Philadelphia, Toronto:
JB Lippincott Co, 1980.
3.
Goldfrauh. Toxicologic Emergencies 5thed. Norwalk, Connecticutt. 1994.
4.
Panduan Bahan Berbahaya 1A Edisi I. Departemen Kesehatan RI. 1985.
5.
Goldstein BD Biological and ambient monitoring of benzene in the
workplace. J Occup. Med, 1986.
6.
Tsai SP, Wen CP, et al. Restropective mortality and medical surveillance
studies of works in areas of refineries. J Occup. Med, 1983
7.
Buraena. S . Pemantauan biologis dan lingkungan akibat benzene. Maj
Kes Mas Indon. 1990.
8.
Helinberg B. Benzene : Standards, occurence and exposure. Ind Med,
1985
9.
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE 01/Men/1997 tentang
Nilai Ambang Batas. Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja.
Departemen Tenaga Kerja.
10. Sumamur PK Keselamatan Kerja & Pencegahan Kecelakaan. PT
Gunung Agung Jakarta, 1995
11. Cavender Finis Aromatic Hydrocarbons. Dalam: Clayton GD, Clayton
FE. Pattys Industrial Hygiene and Toxicology, 4th ed. Vol II Part B
Toxicology. John Wiley & Sons Inc. New York / Chichester / Brisbane /
Toronto / Singapore, 1993
12. Budiman F . Pengamanan Risiko Bahan Kimia pada Pemaparan dalam
Penggunaan. Training Course on Health Risk Assessment. 1990.

1.
2.

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 55

Produk Baru
Kaltrofen gel
Komposisi
Tiap gram gel mengandung ketoprofen 0,025 g.
Farmakologi
Ketoprofen merupakan anti-inflamasi non-steroid (AINS)
dengan daya analgesik, anti inflamasi.
Hanya sebagian kecil ketoprofen diserap pada pemakaian
topikal.
Indikasi
Trauma ringan, terutama yang disebabkan oleh cedera sewaktu
berolah raga, terkilir, tendinitis, kontusio tendon dan otot,
pembengkakan, dan nyeri pascatrauma.
Dosis dan Cara Pemakaian
Oleskan 2 - 3 kali sehari pada daerah yang nyeri atau
meradang, lakukan pijatan lembut dan lama untuk menjamin
penetrasi gel. Lama pemberian maksimal 7 hari. Sebaiknya
tidak digunakan pada anak-anak karena belum terbukti keamanannya.
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap AINS, pasien yang menderita atau
mempunyai riwayat asma bronkial atau alergi.
Infeksi kulit, eksem atau luka terbuka, dan dermatitis
eksudatif.
Ketoprofen jelly sebaiknya tidak digunakan pada pasien
yang mempunyai reaksi alergi berupa asma, rinitis atau
urtikaria yang disebabkan asetosal dan AINS yang lain.
Efek Samping
Reaksi kulit seperti pruritus dan eritema lokal, terutama
bila terpapar sinar matahari atau sinar ultraviolet. Sebaiknya
penderita menghindari paparan sinar matahari selama
pengobatan dengan Kaltrofen gel.
Pemakaian jangka panjang dapat menimbulkan reaksi

hipersensitif.
Walaupun pada penggunaan topikal jarang terjadi,
beberapa efek samping dilaporkan pada penggunaan sistemik;
efek samping minor yang bersifat sementara, antara lain
gangguan pencernaan seperti dispepsia, mual, konstipasi, diare,
nyeri ulu hati dan beberapa gangguan pencernaan lainnya. Efek
lain yang jarang terjadi antara lain nyeri kepala, pusing,
bingung, vertigo, mengantuk, udem, perubahan emosi dan
gangguan tidur. Efek samping utama yang jarang terjadi
adalah: ulkus peptikum dan perdarahan. Reaksi hematologi
termasuk trombositopeni, gangguan hati atau ginjal, reaksi
pada kulit, bronkospasme dan reaksi anafilaksis sangat jarang
terjadi.
Peringatan dan Perhatian
Jangan digunakan pada selaput lendir atau mata.
Hati-hati penggunaannya pada pasien dengan riwayat atau
sedang mengalami perdarahan saluran cerna aktif, tukak
lambung, penyakit radang pada saluran cerna atau gangguan
ginjal berat meskipun efek sistemiknya minimal.
Wanita hamil atau menyusui : Kaltrofen gel sebaiknya
tidak digunakan pada wanita hamil dan menyusui.
Sebaiknya tidak digunakan pada anak-anak di bawah 12
tahun kecuali atas petunjuk dokter.
Segera hentikan pemakaian jika terjadi kemerahan pada
kulit setelah pemakaian.
Seperti obat-obat AINS lainnya, ketoprofen tidak menyembuhkan penyakitnya.
Interaksi Obat
Belum pernah dilaporkan adanya interaksi antara Kaltrofen
gel dengan obat lain; namun dianjurkan untuk melakukan pengawasan pada pasien yang mendapat pengobatan kumarin.
Kemasan
Jelly : Tube 30 g, No. Reg. DKL 0111631828A1

Marketing Office:
PT. KALBE FARMA Tbk
Gedung Enseval, Jl. Letjend. Suprapto, Jakarta 10510
PO Box 3105 JAK, Jakarta Indonesia
Tlp.: (021) 428 73888-89, Fax. : (021) 428 73680
Website : http://www.kalbe.co.id
Hotline service (bebas pulsa): 0-800-123-0-123, Senin Jumat (07.00-15.30)

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Kegiatan Ilmiah

Simposium Terintegrasi Heart Brain Soul, World Trade


Center Jakarta, 27 September 2003
Diantara beta blocker yang digunakan untuk gagal jantung,
Carvedilol tampaknya paling unggul. Secara teoritis, Carvedilol
(V-Bloc) lebih unggul karena memiliki penghambatan reseptor
beta1, beta2, dan alpha1. Secara praktis manfaat Carvedilol pada
gagal jantung telah teruji pada berbagai uji klinis. Hal ini disampaikan oleh Prof. DR. dr. Teguh Santoso, PhD, SpPD-KKV
dalam salah satu sesi kuliahnya pada acara Simposium Terintegrasi yang diadakan oleh CME FKUI bekerja sama dengan PT
Kalbe Farma Tbk di Gedung World Trade Center Jakarta (foto).
Laporan lengkap dari simposium, bisa diakses di
http://www.kalbe.co.id/seminar. Pada topik yang diberi tanda
Breaking News, berarti peserta simposium bisa memperoleh berita
dalam bentuk cetak (print) bersamaan dengan acara di Stand
Kalbe Farma, dan bisa langsung diakses pada homepage Kalbe
Farma.
Diabetes Update, Hotel Borobudur Jakarta, 6 Desember 2003
Bertempat di Hotel Borobudur Jakarta, malam Minggu, 6
Desember 2003, diselenggarakan suatu acara bagi para spesialis
khususnya mereka yang meminati penyakit kencing manis (DM).
Para peserta diajak berbincang seraya berbagi pengalaman dalam
menangani pasien kencing manis. Sebagai pengantar, menurut dr.
Sarwono, SpPD selaku moderator, di Indonesia rerata penderita
DM yang datang berobat dan diterapi memiliki kondisi sel beta
pankreas tinggal 50 persen saja. Padahal makin cepat diketahui
makin baik.
Seminar Doctor's Career Update, Aula FKUI Jakarta, 12-13
September 2003
Profesi dokter kini makin membias. Banyak yang menjadikan
pendidikan dokter hanya sebagai dasar, sehingga ada dokter yang

berprofesi sebagai direktur, menekuni politik, atau malah kerja di


bank. Padahal seyogyanya seorang dokter tetap harus konsisten
karena ada banyak pilihan karir yang tersedia dan masih berhubungan dengan pendidikannya. Dr. Yanto Kadarusman, SpOGKFER selaku Wakil Dekan III Fakultas Kedokteran UI menyampaikan hal tersebut dalam sambutannya pada acara Seminar
Doctor's Career Update di Aula Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Jakarta tanggal 12-13 September 2003 lalu.
Kuliah Doktor : Cara Mudah Mengenali Gangguan Pendengaran & Keseimbangan Akibat Bising dan Getaran, Aula
FKUI Salemba Jakarta, 4 September 2003
Kendaraan bajaj merupakan kendaraan angkutan yang sangat
populer di Jakarta, karena selain tarifnya murah juga sangat
meriah. Meriah karena alat angkut jenis ini memang terkenal
dengan tingkat kebisingannya yang cukup tinggi. Kebisingan
tersebut tentu saja akan merugikan, terutama untuk pengemudinya.
Bahkan menurut Dr. dr. Jenny T. Basruddin, SpTHT berdasarkan
hasil penelitiannya diketahui 72.28% pengemudi bajaj mengalami
gangguan kesehatan telinga.
15th Weekend Course on Cardiology (WECOC), Hotel
Shangri-La Jakarta, 11-13 September 2003
Hipertensi dalam kehamilan melalui 2 tahapan kejadian, yaitu
tahap I dan II. Pada tahap I diketahui adanya peran plasenta abnormal yang merupakan biang keladi kejadian preeklamsi, namun
begitu plasenta lahir masalah akan teratasi. Tahap I dapat diikuti
dengan tahap II dengan terjadinya kelainan sistemik pada ibu.
Pada tahap ini terjadi penurunan aliran darah ke semua organ yang
akhirnya mengakibatkan disfungsi multiorgan. Penjelasan tersebut
dipaparkan Dr. Ganesja M. Harimurti pada kuliahnya dalam acara
15th Weekend Course on Cardiology yang diselenggarakan di
Hotel Shangri-La Jakarta, 11-13 September 2003.

Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003

57

Simposium Penatalaksanaan Kanker Payudara Terpadu,


Hotel Borobudur- Jakarta, 18 Oktober 2003
Paclitaxel sebagai kemoterapi tunggal lini pertama pada
kanker payudara metastasis memperlihatkan respon antara 3060%, dan sebagai lini kedua 20-40%. Sedangkan dalam beberapa
kombinasi paclitaxel dengan gemcitabine diperoleh respon 39,9%
lebih baik secara bermakna dibandingkan dengan paclitaxel
(Paxus) secara tunggal 25,6%. Demikian diungkapkan dr. Ronald
A. Hukom, SpPD-Onk dalam simposium "Penanggulangan Kanker
Payudara Terpadu Paripurna" yang diadakan di hotel Borobudur
18 Oktober 2003 lalu.
Bincang sehat bersama Dr. Ang Peng Tiam, Hotel Borobudur
Jakarta, 7 September 2003
Meskipun terapi kanker saat ini telah mencapai banyak sekali
kemajuan, namun tak ada satu pun jenis terapi yang efektif untuk
pasien kanker kecuali dengan kerjasama kelompok terapi yaitu ahli
bedah, radioterapi, kemoterapi dan terapi suportif. Hal ini
terungkap pada acara 'Bincang sehat bersama Dr. Ang Peng Tiam'
di Hotel Borobudur Jakarta, beberapa waktu lalu.
The 5th International Meeting on Respiratory Care Indonesia
(RESPINA), Jakarta Convention Center, 17-20 September
2003
Bila menemukan pasien dengan gejala sakit pada ulu
hati/dada, atau batuk darah, yang keduanya bersamaan dengan
siklus menstruasi, pikirkan kemungkinan adanya gejala thoracic
endometriosis syndrome. Penyakit ini memang khusus dialami
wanita yang sering kali berpindah-pindah dokter karena keluhannya tak sembuh-sembuh dan dengan berbagai pemeriksaan ternyata hasilnya normal. Dr. Yanto Kadarusman, SpOG menekankan hal ini dalam sesi kuliahnya di acara The 5th International
Meeting on Respiratory Care Indonesia (RESPINA), yang berlangsung di Jakarta Convention Center.
Forum Diabetes Nasional I : Diabetes dan Aterosklerosis,
Hotel Sanur Beach - Denpasar, 20-21 September 2003
Kasus Diabetes Mellitus (DM) saat ini makin meningkat di
masyarakat dan muncul kecenderungan bergesernya usia penderita

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

yang sebelumnya banyak terjadi di usia lebih dari 40 tahun,


sekarang justru mulai sering ditemukan di usia 2530 tahun. Hal
ini disampaikan oleh ketua PB PERKENI pusat, dr. Sidartawan
Soegondo, Sp.PD-KEMD, dalam pembukaan acara seminar Forum
Diabetes Nasional I di Bali beberapa waktu lalu.
Muktamar Nasional VI PERABOI, Hotel Grand Candi
Semarang, 18-20 September 2003
Sampai saat ini modalitas utama terapi kanker kepala dan
leher adalah operasi dan radioterapi, dengan kemoterapi sebagai
terapi ajuvan. Namun yang paling penting adalah penanganan
secara multidisiplin dari dokter bedah, bedah plastik, radioterapi,
onkologi medik dan terapi suportif. Hal ini disampaikan Prof. Dr.
Sunarto Reksoprawiro, Sp.B.Onk dalam kuliahnya pada acara
Muktamar Nasional VI Persatuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia
(PERABOI) di Semarang tanggal 18-20 September 2003.
Konas Gerontologi 2003, Jakarta , 1-3 Oktober 2003
Orang lanjut usia (> 65 tahun) sangat rentan terhadap pelbagai
keluhan, baik bersifat psikologis maupun fisik. Demikian ungkap
Guru Besar Ilmu Kesehatan Jiwa FKUI, Sasanto Wibisono saat
memberikan ceramah tentang: Kontroversi dalam Pengobatan
Depresi Usia Lanjut, di Jakarta Convention Center, Rabu 1
Oktober 2003. Acara tersebut merupakan sesi pertama dari acara
ilmiah mengenai Gerontologi yang berlangsung hingga tanggal 3
Oktober 2003 di Jakarta. Selain simposium untuk para dokter juga
diselenggarakan seminar awam.
Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2003,
Jakarta, 27-28 September 2003
Bertempat di Hotel Sahid Jaya Jakarta, beberapa waktu yang
lalu Bagian Penyakit Dalam FKUI menyelenggarakan acara rutin
tahunan Current Diagnosis dan Treatment in Internal Medicine.
Yang menjadi tema untuk tahun 2003 ini adalah "Practical
Guidelines in Daily Practice". Simposium yang diadakan selama
dua hari di penghujung bulan September 2003 tersebut dihadiri
oleh sekitar 1000 dokter dari pelbagai kota. Topik-topik yang
dibawakan antara lain: PPOK, Asma Bronkiale, Nyeri, Hipertensi,
Tukak Lambung, Hepatitis, dll.

Simposium Recent Advances in Management of Cervical


Cancer and Ovarian Cancer, Hotel Borobudur Jakarta, 29-30
September 2003
Standar pilihan kemoterapi tunggal maupun kombinasi
sebagai kemoterapi lini pertama untuk kasus kanker ovarium
epitelial (Epithelial Ovarian Cancer=EOC) adalah Cisplatin,
Carboplatin, Cyclophosphamide, dan Paclitaxel. Peran kemoterapi
ini terutama pada stadium III, IV dan stadium II dengan derajat
diferensiasi yang buruk. Hal ini menjadi salah satu pembahasan
dalam pertemuan dokter ginekologi-onkologi Indonesia (ISGO)
2003 yang berlangsung di Hotel Borobudur Jakarta pada tanggal
29-30 September 2003.
17th Asia Pacific Cancer Conference, Discovery Kartika Plaza
Hotel - Bali, 8-11 Oktober 2003(Breaking News)
Tepat pkl 19:30 WITA, acara pembukaan "17th Asia Pacific
Cancer Conference" dimulai. Tampak hadir sekaligus membuka
konferensi yang diselenggarakan 8-11 Oktober 2003 ini adalah
Menkes RI Ahmad Sujudi. Konferensi ini diikuti oleh pelbagai
organisasi yang peduli terhadap kanker se-Asia Pasifik. Asia
Pacific Cancer Conference (APCC) adalah sebuah kegiatan dalam
bentuk kongres ilmiah di bidang penyakit kanker se-Asia Pasifik.
Konferensi ini merupakan acara ilmiah rutin dari APFOCC (Asia
Pacific Federation on Cancer Control).
The 5th National Brain and Heart Symposium & XIIIth Post
International Atherosclerosis Society Symposium (IAS), Hotel
Sahid Jaya Jakarta, 3-5 Oktober 2003
Penanganan penyakit pada sistem saraf dan sistem kardiovaskuler hendaknya harus diupayakan secara terpadu agar pasien
senantiasa mendapatkan pelayanan yang optimal, dr. Lukman H.
Makmun menyampaikan hal ini dalam sambutannya di acara The
5th National Brain and Heart Symposium. Menurut beliau, selain
penataksanaan yang optimal pasien juga harus diupayakan untuk
mendapatkan upaya preventif agar angka kesakitan dan kematian
akibat stroke bisa ditekan semaksimal mungkin, begitu pula angka
kecacatan yang ditimbulkan akibat penyakit tersebut.
Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Balikpapan, 7-11
Oktober 2003
Kesehatan merupakan masalah pokok dan menjadi kebutuhan
vital setiap individu. Sehingga sudah menjadi kewajiban
pemerintah, masyarakat, para dokter serta paramedis, rumah sakit,
ormas dan organisasi profesi di bidang kesehatan lainnya untuk
selalu mengupayakan terciptanya masyarakat yang sehat. Demikian disampaikan Walikota Balikpapan Bapak H. Imdaad Hamid,
SE, yang mewakili Gubernur Propinsi Kalimantan Timur, membuka acara Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Kongres Nasional PERHATI, Grand Bali Beach, 12-16
Oktober 2003
Pada dasarnya antihistamin mempunyai efektifitas yang sama,
meskipun terdapat variasi individual antar penderita. Karenanya
ada kemungkinan suatu antihistamin mungkin kurang responsif
pada seseorang, sementara antihistamin lain lebih responsif.
Demikian pula efek sedasi suatu antihistamin, yang umumnya
ditemukan pada pemakaian antihistamin kelompok klasik. Oleh
karena itu golongan obat ini tidak dianjurkan bagi penderita yang
memerlukan konsentrasi tinggi dalam aktifitas sehari-harinya.
Seminar Berhenti Merokok, RS Persahabatan Jakarta, 22
Oktober 2003
"Rokok adalah pintu gerbang narkoba" begitu papar

dr.Ahmad Hudoyo SpP(K). Sebagai latar belakangnya, diungkap


hasil suatu penelitian yang pernah dilakukan di RS Persahabatan
Jakarta bahwa di antara 70 kasus pecandu narkoba yang diteliti, 68
orang berawal dari merokok. Bukan hanya itu saja, kebanyakan
para perokok pun berasal dari keluarga tak mampu. Rata-rata biaya
yang dikeluarkan oleh para perokok tersebut, sekitar 40% dari
jumlah penerimaannya. Misalnya, ada pekerja yang hanya memperoleh pendapatan Rp 10.000 tetapi rajin membelanjakan 1 pak
rokok Rp 5.500 per hari. Tragis memang, sesal dr. Hudoyo.
6th International Conference of the Asian Clinical Oncology
Society, Seoul-Korea, 16-19 November 2003
Konferensi perhimpunan onkologi klinik se-Asia ke-6 ini
pada akhirnya berhasil terlaksana, setelah sebelumnya tertunda
sekian bulan akibat wabah Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS) yang merajalela beberapa waktu lalu. Dengan mengambil
tema Better Care for Asian Cancer Patients, konferensi tersebut
cukup menarik minat sekitar 200 dokter dari beberapa bidang ilmu
seperti bedah onkologi, hematologi onkologi medik, dan lainnya.
Acara berlangsung selama empat hari di Hotel Lotte, Seoul, Korea.
8th Asian Pacific Society of Respirology Congress, Sunway
Lagoon Resort Hotel - Selangor, 1-4 Desember 2003
Pada awal Desember 2003 lalu telah diselenggarakan 8th
Asian Pacific Society of Respirology Congress di Sunway Lagoon
Resort Hotel, Petaling Jaya, Selangor, yang berjarak sekitar 30 km
dari Kuala Lumpur, Malaysia. Acara tersebut dibuka secara resmi
oleh Paduka Seri Sultan Perak Darul Ridzuan, Sultan Azlah Shah,
dan diikuti oleh kurang lebih 600 dokter dari Asia-Pasifik. Selain
itu pertemuan itu juga menghadirkan beberapa pembicara dari luar
Asia Pasifik seperti Australia, Amerika, Belgia dan Jerman.
Jakarta Diabetes Meeting, Hotel Borobudur Jakarta, 6-7
Desember 2003
Obesitas merupakan faktor risiko yang penting dalam terjadinya diabetes melitus tipe 2. Suatu penelitian epidemiologi yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa individu dengan
Indeks Massa Tubuh (BMI) > 35 akan memiliki 30-40 kali risiko
terkena diabetes dan 2-4 kali risiko menderita penyakit lainnya.
Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Slamet Suyono yang membawa
topik berjudul Diabesity pada acara Jakarta Diabetes Meeting di
hotel Borobudur, Jakarta tanggal 6-7 Desember 2003 lalu.
6th Asia-Pacific Congress of Medical Virology, Hotel ShangriLa - Kuala Lumpur, 710 Desember 2003
Asia Pacific of Medical Virology (APCMV) merupakan salah satu
kegiatan ilmiah yang diadakan teratur setiap 3 tahun. APCMV
yang ke-6 kali ini dilaksanakan di Hotel Shangri-La, Kuala
Lumpur pada tanggal 7 10 Desember 2003. Sekitar 300 peserta
dari 30 negara ikut berperan serta dalam kegiatan yang mengambil
tema "Viral InfectionConfronting the Challenges in the 21 th
Century" ini.
Seminar Sehari Konvensi Perdana HTA Indonesia, Hotel
Aryaduta - Jakarta, 6 Desember 2003
Perkembangan teknologi kedokteran (termasuk obat-obatan)
sangat pesat saat ini. Masing-masing produsen (vendor) ingin alat
yang diciptakannya bisa dipergunakan semaksimal mungkin. Hal
inilah yang membuat kemajuan teknologi tersebut, layaknya pisau
bermata dua, bisa menguntungkan sekaligus merugikan pelbagai
pihak terutama pasien. Pembiayaan kesehatan menjadi membengkak. Untuk mengantisipasi inilah, baru-baru ini diadakan
seminar sehari Konvensi Perdana HTA Indonesia di Jakarta.

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

59

INTERNET UNTUK DOKTER


Panduan AMA bagi para Dokter Internet
Guna mengantisipasi makin berkembangnya media komunikasi antar pasien dan dokter di Amerika Serikat, maka Asosiasi
Dokter negara tersebut mengeluarkan pedoman pemanfaatan
internet bagi para dokter, seperti yang bisa dibaca pada website
AMA, http://www.ama-assn.org/.
Dalam pengantarnya disebutkan bahwa penggunaan media
tulis dan bercakap-cakap secara langsung maupun via telepon saat
ini telah menjadi bentuk tradisional dari komunikasi informasi
kesehatan. Dengan teknologi maju saat ini, aplikasi internet yang
digunakan dalam rangka berkomunikasi antara para dokter, termasuk dengan pasien merupakan suatu bentuk yang menjanjikan.
Surat elektronik (e-mail) mengambil tempat yang cukup penting
saat ini sebagai salah satu metode komunikasi yang ada antara
pasien dan tenaga kesehatan.
E-mail bisa digunakan para dokter untuk menjelaskan maupun menindaklanjuti instruksi yang telah diberikan. Menggunakan
e-mail, secara tidak langsung menciptakan suatu rekaman atas
instruksi yang diberikan.
Dengan e-mail juga, para dokter bisa membuat link
(hyperlink) ke materi pendidikan dan sumber-sumber pengetahuan
kesehatan lainnya di internet. Dengan penggunaan yang terus
menerus dari internet, e-mail bisa merupakan suatu hal yang
sederhana dan ampuh.
Berikut ini ditulis beberapa butir panduan untuk aktivitas
tersebut. Tentu harus dipahami bahwa internet (termasuk e-mail)
di Amerika Serikat merupakan hal yang sudah dimanfaatkan dan
menjadi kebutuhan sehari-hari warga di sana.
Panduan ini diperuntukkan bagi para dokter yang memilih
menggunakan e-mail untuk membantu pasien-pasiennya:
a. Sediakan waktu untuk mengakses e-mail. Sebaiknya sangat
berhati-hati menggunakan e-mail untuk keadaan emergensi.
Melihat kondisi infra struktur di Indonesia, penulis tidak menganjurkan penggunaan e-mail untuk keadaan emergensi.
b. Beritahu pasien akan isu-isu privasi, misalnya dengan menggunakan e-mail, bisa saja e-mail kita terbaca oleh orang lain.
c. Pasien juga harus diberitahu, jika ada, e-mail address lain dari
dokter, selain e-mail address yang biasa digunakan.
Atau e-mail address dokter pengganti yang biasa digunakan sewaktu dokter pergi berlibur (sayangnya di Indonesia, belum semua
dokter memiliki e-mail address, apalagi lebih dari satu).
d. Jika mungkin, dokter harus mempunyai arsip baik elektronik
maupun cetakan dari komunikasi via e-mail dengan pasien.
e. Beberapa hal lain bisa menggunakan komunikasi via e-mail
seperti: pengulangan resep, penjadualan perjanjian, dll.
f. Beritahu pasien untuk mencantumkan jenis transaksi pada
Subject e-mail seperti [prescription], [appointment], [medical
advice], [billing question].
g. Begitu juga, minta pasien mencantumkan nama dan nomor
identifikasi mereka pada body / isi setiap e-mail yang dikirim.
h. Konfigurasi 'automatic reply' untuk memberitahu bahwa pesan
telah diterima, dan minta pasien untuk melakukan hal yang sama
sehingga dokter tahu bahwa e-mailnya telah sampai ke tujuan.

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

i. Buatlah daftar pasien yang bisa berkonsultasi via e-mail.


j. Jangan sekali-kali mengirim e-mail ke banyak orang dengan
membiarkan semua e-mail address yang dituju terbaca. Gunakan
fasilitas bcc (blind carbon copy), agar e-mail address penerima
terjaga kerahasiaannya.
k. Hindari bertutur kata secara kasar, menunjukkan kemarahan,
kritik yang pedas atau menjelek-jelekkan pihak lain
l. Terapkan suatu signature (semacam kelompok text) yang
berisi nama lengkap, informasi bagaimana menghubungi (telp, HP,
dll) dan peringatan akan keamanan berkomunikasi via e-mail.
Jadikan signature ini, standar dari setiap e-mail yang terkirim.
m. Minta pasien untuk menulis e-mail sepadat mungkin. Ringkas
tetapi jelas.
n. Saat komunikasi via e-mail menjadi terlalu panjang dan
bertele-tele, ada baiknya mengingatkan pasien untuk bertemu
langsung atau telpon mereka.
o. Ingatkan pasien untuk mematuhi panduan.
p. Jika berkali-kali telah diingatkan, namun tetap tidak mematuhi, sangat bijaksana untuk segera mengakhiri komunikasi via email ini.
Panduan medikolegal dan administratif
Buat kesepakatan antara pasien dengan dokter sebagai
informed consent atas penggunaan e-mail. Hal ini harus didiskusikan terlebih dahulu dan ditandatangani serta didokumentasi dalam
medical record (catatan medik pasien). Perjanjian harus mencakup
hal-hal seperti:
a. Panduan syarat-syarat dalam berkomunikasi.
b. Instruksi kapan dan bagaimana bisa mengunjungi tempat
praktek atau menelpon.
c. Menjelaskan mekanisme keamanan suatu tempat, yang terdiri
dari:
penggunaan screen saver yang berpassword untuk semua pc
di kantor, rumah sakit dan rumah.
tidak boleh meng-forward informasi identitas pasien kepada
pihak ke-tiga (III) tanpa ijin pasien.
tidak boleh menggunakan e-mail address pasien untuk keperluan marketing.
tidak menggunakan e-mail address bersama (baik dokter maupun pasien).
selalu mencermati (cek berulang-ulang) isi kolom to sebelum
dikirim.
d. pastikan bahwa jika terjadi kegagalan teknis, tidak ada
kehilangan informasi yang bisa membahayakan institusi kesehatan.
Demikian beberapa panduan yang bisa dijadikan referensi
bagi dokter internet di Indonesia. Terlihat bahwa aturan tersebut
hanya diperuntukan bagi konsultasi pribadi. Untuk konsultasi
umum seperti pada pelbagai website dan mailinglist yang marak
saat ini di Indonesia, penulis belum memperoleh referensi
panduannya; pada prinsipnya sama seperti konsultasi via media
cetak maupun elektronik lainnya seperti televisi maupun
majalah/koran.

Kapsul
BELLS PALSY
Apa sebenarnya Bells palsy
Bells palsy merupakan kelumpuhan (relatif) mendadak otot-otot wajah sesisi; dapat mencemaskan karena umumnya terjadi tanpa gejala pendahuluan dan menyebabkan wajah miring/mencong;
sehingga dikacaukan dengan gejala gangguan peredaran darah otak (stroke).
Berbeda dari Gangguan Peredaran Darah Otak, kelumpuhan wajah sesisi ini tidak dibarengi
dengan kelumpuhan anggota badan/tubuh lainnya.
Apa penyebabnya
Bells palsy disebabkan oleh pembengkakan n. facialis sesisi; akibatnya pasokan darah ke saraf
tersebut terhenti, menyebabkan kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls/rangsangnya terganggu; akibatnya perintah otak untuk menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat diteruskan.
Kausanya tidak diketahui, umumnya dianggap akibat infeksi semacam virus herpes simpleks;
virus tersebut dapat dormant (tidur) selama beberapa tahun, dan akan aktif jika yang bersangkutan
terkena stres fisik ataupun psikik.
Sekalipun demikian Bells palsy tidak menular.
Apa gejalanya
Otot-otot wajah satu sisi lumpuh sehingga wajah menjadi miring/mencong, kelopak mata tidak
dapat menutup sehingga bola mata akan berair terus-menerus, sebaliknya akan kering di malam hari
(jika tidur).
Kesulitan berbicara dapat terjadi akibat mulut/bibir yang tertarik ke satu sisi. Kadang-kadang
kemampuan mengecap/merasa juga terganggu dan suara-suara terdengar lebih keras di satu sisi yang
terkena.
Siapa yang rentan terhadap Bells palsy
Umumnya mengenai remaja usia 20-an dan lanjut usia setelah 60 tahun.
Wanita hamil, penderita diabetes melitus dan pasca flu juga lebih berisiko.
Bagaimana pengobatannya
Kebanyakan akan pulih tanpa pengobatan dalam 2 minggu; tetapi umumnya digunakan
kortikosteroid seperti prednison dan antivirus seperti asiklovir dalam 2 3 hari pertama; pengobatan
dini dengan cara ini memperbaiki prognosis sampai 20%.
Kira-kira 70% sembuh dalam beberapa bulan, 15% masih merasa sedikit kelemahan.
Pada kira-kira 10 20% pasien, Bells palsy dapat terulang.

brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

61

ABSTRAK
RISIKO DEMENSIA
Silent brain infarct area infark
yang terlihat pada CT scan dan/atau
MRI sering ditemukan secara kebetulan, terutama di kalangan lanjut
usia. Suatu penelitian di Belanda bertujuan mencari hubungan antara adanya
silent brain infarct dengan terjadinya
demensia di kemudian hari pada 1015
orang sehat berusia 60-90 tahun
mereka menjalani uji psikoneurologik
dan MRI pada tahun 1995-1996 dan
diulang pada 1999-2000.
Selama 3697 person-years (rata-rata
per orang 3,6 tahun), 30 di antara 1015
peserta di atas menunjukkan gejala
demensia; dan ternyata adanya gambaran silent brain infarct meningkatkan
risiko demensia hazard ratio 2,26
(95%CI: 1,09 4,70), juga dikaitkan
dengan lebih buruknya hasil uji psikoneurologik dan penurunan fungsi kognitif global yang lebih cepat. Infark
talamus tanpa gejala (silent) dikaitkan
dengan penurunan daya ingat, sedangkan infark non talamik tanpa gejala
dengan ketrampilan psikomotor; jika
dipilah lebih lanjut, penurunan kognitif
hanya ditemukan pada kelompok yang
menderita infark tambahan selama
periode follow up.
Para peneliti menyimpulkan bahwa
orang tua dengan silent brain infarct
lebih berisiko menderita demensia dan
penurunan fungsi kognitif yang lebih
cepat.
N. Engl. J. Med. 2003; 348: 1215-22

brw

HUBUNGAN ANTARA TROMBOSIS DAN ATEROSKLEROSIS


Pada 299 pasien trombosis vena
dalam di tungkai (deep vein thrombosis
/DVT) dilakukan USG karotis, dibandingkan dengan 150 orang kontrol
untuk mencari hubungan antara aterosklerosis dengan trombosis.
Ternyata sedikitnya 1 plak karotis
terdeteksi pada 72 dari 153 pasien
trombosis spontan (47,1%; 95%CI:

39,1-55,0) dibandingkan dengan 40 di


antara 146 pasien trombosis sekunderpasien dengan faktor risiko seperti kanker, postpartum, trauma/fraktur tungkai, imobilisasi lebih dari 1 minggu
atau pengguna estrogen; dan di kalangan kontrol ditemukan pada 48 di antara
150 orang (32,0%; 95%CI: 24,5-39,5).
Odd ratio plak karotis di kalangan
trombosis spontan adalah sebesar 2,3
(95%CI: 1,4-3,7) dibandingkan dengan
trombosis sekunder, dan sebesar 1,8
(95%CI: 1,1-2,9) dibandingkan dengan
kontrol.
Para peneliti menyimpulkan terdapat hubungan antara aterosklerosis
dengan trombosis vena spontan, atau
terdapat faktor risiko bersama antara
dua keadaan tersebut.
N. Engl. J. Med. 2003; 348: 1435-41

brw

MANFAAT BUDESONID PADA


ASMA
Telah dilakukan studi acak butaganda terhadap 7241 pasien di 32
negara untuk menilai manfaat budesonid pada pasien asma persisten
ringan kurang dari 2 tahun dan belum
pernah menggunakan glukokortikoid.
Pasien berusia 5-66 tahun mendapat
budesonid atau plasebo sekali sehari
selama 3 tahun di luar pengobatan
asma reguler mereka; dosisnya 200 ug
untuk usia<11 tahun, dan 400 ug untuk
usia11 tahun. Sedikitnya satu kali
serangan asma berat diderita oleh 198
dari 3568 pasien plasebo dan 117 dari
3597 pasien budesonid (hazard ratio
0,56; 95%CI 0,45-0,71, p<0,0001).
Pasien budesonid lebih sedikit membutuhkan kortikosteroid sistemik dan
lebih lama bebas gejala daripada pasien
plasebo. Dibandingkan dengan plasebo,
budesonid meningkatkan FEV1 postbronkodilator sebesar 1,48% (p <
0,0001) setelah 1 tahun dan 0,88%
(p=0,0005) setelah 3 tahun; sedangkan
FEV1 prabronkodilator meningkat
2,24% (p < 0,0001) setelah 1 tahun dan
1,71% (p < 0001) setelah 3 tahun.
Di lain pihak budesonid menghambat pertumbuhan di kalangan anak
< 11 tahun; selama 3 tahun hambatan
pertumbuhan sebesar 1,34 cm; terutama di tahun pertama 0,58 cm,
sedangkan di tahun ke dua 0,43 cm dan
di tahun ke tiga 0,33 cm.

RISIKO ALERGI KACANG


Studi kohort atas 13971 anak prasekolah di Inggris dilakukan untuk
mencari data mengenai anak yang
alergi terhadap kacang. Ditemukan 49
anak yang alergi kacang, dan dari 36
anak yang diuji, 23 positif terhadap
peanut challenge test; tidak ditemukan
sensitisasi prenatal terhadap diet ibu
dan IgE spesifik kacang tidak ditemukan dalam darah tali pusat.
Ternyata kejadian alergi kacang dikaitkan dengan asupan susu kedelai
atau formula kedelai (OR 2,6; 95%CI:
1,3-5,2), dengan adanya ruam sendi
dan lipatan kulit (OR 2,6; 95%CI: 1,45,0) dan dengan adanya ruam berair
dan berkerak (OR 5,2; 95%CI: 2,710,2).
Analisis selanjutnya juga menunjukkan adanya hubungan dengan penggunaan salep/lotion kulit yang mengandung minyak kacang (OR 6,8;
95%CI: 1,4-32,9).

CANDESARTAN
Pengamatan atas 20 pasien hemodialisis kronis menunjukkan bahwa
keadaan steady-state candesartan dua
kali lebih tinggi jika dibandingkan
dengan orang normal; oleh karena itu
penggunaannya pada pasien gagal
ginjal harus dititrasi lebih cermat.

N. Engl. J. Med. 2003; 348: 977-85

Clin.Drug Invest.2003; 23(8) : 545-50

brw

brw

62 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Lancet 2003; 361: 1071-76

brw

ABSTRAK
TERAPI SULIH HORMON
Womens Health Initiative merupakan studi longitudinal yang melibatkan
16 608 wanita berusia 50 79 tahun
postmenopause dengan intact uterus
selama sedikitnya 3 tahun. Mereka
mendapat conjugated equine estrogen
0.625 mg + 2.5 mg medroksiprogesteron/hari,atau plasebo.
Setelah periode follow up 5,2
tahun, panitia pemantau manganjurkan
penghentian penggunaan hormon karena peningkatan risikonya melebihi
potensi manfaatnya.
Terapi hormon tersebut dikaitkan
dengan peningkatan risiko penyakit
jantung koroner (hazard ratio 1,24;
95%CI: 1.00-1.54) 95%CI setelah
penyesuaian: 0,97-1,60). Peningkatan
risiko ini terutama dalam 1 tahun pertama (hazard ratio: 1,81; 95%CI: 1,093,01). Meskipun wanita yang mendapat
terapi hormon juga tingkat LDLnya
lebih tinggi, peningkatan biomarker
lain tidak mempengaruhi risiko penyakit jantung koroner tersebut secara
bermakna.
N. Engl. J. Med. 2003; 349: 523-34

brw
ESTROGEN
DAN
ATEROSKLEROSIS
Laporan penelitian lain juga menyimpulkan bahwa terapi estrogen atau
kombinasi estrogen-progesteron tidak
memperlambat proses aterosklerosis.
Para peneliti di AS melakukan
penelitian atas 226 wanita postmenopause (usia rata-rata 63,5 tahun) yang
mempunyai sedikitnya satu lesi koroner. Mereka dibagi atas grup kontrol,
grup estrogen yang mendapat 17betaestradiol 1 mg dan grup estrogenprogestin yang mendapat 1 mg 17betaestradiol + 5 mg medroksiprogesteron
asetat.
Setelah 3,3 tahun, perubahan keadaan stenosis koroner di kalangan
kontrol sebesar 1,89 0,78% dibandingkan dengan kelompok estrogen
sebesar 2,18 0,76% dan di kelompok

estrogen-progestin sebesar 1,24


0,80% (p=0,66).
Perbedaan rata-rata antara kelompok estrogen dan kelompok kontrol
sebesar 0,29% (95%CI: -1,83 - +2,36)
dan perbedaan rata-rata antara kelompok kombinasi dengan kelompok
kontrol sebesar -0,65% (95%CI: -2,87 +1,57).
Kematian terjadi pada 4 orang di
kelompok kontrol, 2 di kelompok estrogen dan 3 di kelompok kombinasi;
penyebabnya kardiovaskuler (5 kasus),
kanker paru (1 kasus), sepsis (1 kasus)
sirosis kriptogenik (1 kasus) dan gagal
napas (1 kasus).
N. Engl. J. Med. 2003; 349 : 535-45

brw
PROGNOSIS PASIEN ICU
Studi yang dilakukan atas 851
pasien ICU di 15 rumahsakit di AS
menunjukkan bahwa 539 (63,3%)
dapat lepas dari ventilator, 146 (17,2%)
meninggal saat masih menggunakan
ventilator dan 166 (19,5%) lainnya
dilepas dari ventilator.
Di antara yang dilepas dari ventilator
tersebut, 160 (96,4%) meninggal di
rumahsakit, termasuk 145 (87,3%)
yang meninggal di ICU; hanya 6
(3,6%) yang bisa keluar dari rumahsakit.
Faktor yang menentukan pelepasan
ventilator tersebut ialah persepsi
dokter terhadap keinginan pasien,
ramalan dokternya terhadap kemungkinan survival, ramalan dokternya
terhadap status kognitifnya dan faktor
penggunaan obat inotropik dan vasopresor. Faktor usia dan perburukan
fungsi organ ternyata bukan faktor
penentu pada penelitian ini.
N. Engl. J. Med. 2003; 349 : 1123-32

brw
TERAPI OSTEOPOROSIS UNTUK
PRIA
Selama ini terapi osteoporosis
terutama diberikan pada wanita; para
peneliti di Boston, AS memberikan

alendronat 10 mg/hari, atau hormon


paratiroid 40 ug. sc/hari, atau keduanya
pada 83 pria usia 46 85 tahun dengan
densitas tulang rendah.
Sejumlah 28 pria mendapat alendronat selama 30 bulan, sedangkan
hormon paratiroid baru diberikan setelah 6 bulan dan dilanjutkan sampai 24
bulan. Asupan kalsium dijaga sekitar
1000 1200 mg/hari dan semua peserta
mendapat 400 IU vitamin D/hari.
Setelah 30 bulan ternyata densitas
tulang yang diukur di vertebra lumbal
lebih banyak meningkat secara bermakna di kelompok paratiroid (p
0,001), sedangkan densitas tulang di
femoral neck meningkat secara bermakna di kelompok paratiroid, dibandingkan dengan kelompok alendronat
(p 0,001).
Setelah 12 bulan perubahan kadar
alkalifosfatase serum lebih besar secara
bermakna di kelompok paratiroid, dibandingkan baik terhadap kelompok
alendronat (p 0,001) maupun terhadap kelompok kombinasi (p0,001).
Disimpulkan bahwa alendronat
mengurangi kemampuan hormon paratiroid dalam meningkatkan densitas
tulang di vertebra lumbal dan femoral
neck pria, mungkin karena melemahkan stimulasi hormon paratiroid pada
pembentukan tulang.
N. Engl. J. Med. 2003; 349: 216-26

brw
PENURUN DEMAM
Studi perbandingan pada 252 anak
berusia 6 bulan 14 tahun yang menderita demam dilakukan untuk membandingkan efektivitas ibuprofen 10
mg/kgbb. oral, nimesulid 2.5 mg/kgbb
oral dan dipiron 10 mg/kgbb. im.
Semua cara tersebut efektif menurunkan demam dalam 2 jam pengamatan; paling efektif adalah dipiron
im (p=0.0036).
Clin. Drug Invest. 2003; 23(8) : 519-26

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Brw
63

Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1.

2.

3.

4.

5.

Bisinosis disebabkan oleh reaksi alergi terhadap :


a) Tungau
b) Debu rumah
c) Kapas
d) Bulu binatang
e) Serat sintetis
Logam yang sering menyebabkan dermatitis kontak :
a) Nikel
b) Emas
c) Perak
d) Tembaga
e) Lateks
Pada rinitis, jalan napas/hidung terganggu terutama akibat:
a) Edema jaringan
b) Sumbat mukus
c) Kontraksi otot polos
d) Vasodilatasi
e) Hipersekresi
Leukosit yang mengandung histamin :
a) Eosinolfil
b) Basofil
c) Netrofil
d) Limfosit
e) Polimorfonuklear
Yang bukan sediaan antialergi :
a) Klemastin

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

6.

7.

8.

b) Cetirizin
c) Terfenadin
d) Siproheptadin
e) Efedrin
Keracunan organofosfat dapat dideteksi melalui pengukuran :
a) Hemoglobin
b) Aktivitas kolinesterase
c) SGOT/ SGPT
d) Ureum - kreatinin
e) Asetilkholin
Pajanan akut terhadap benzen, terbaik diketahui melalui
pengukuran/pemeriksaan :
a) Hemoglobin
b) Hitung trombosit
c) SGOT/ SGPT
d) Urine lengkap
e) Fenol dalam urine
Paraquat bersifat :
a) Insektisida
b) Herbisida
c) Rodentisida
d) Exfoliativa
e) Fungisida

Anda mungkin juga menyukai