Anda di halaman 1dari 27

SENGKETA LINGKUNGAN

(Yesi Arnita,1207112196)
Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang
ditimbulkan adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan.
Sengketa lingkungan (environmental disputes) merupakan species dari genus
sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal
diartikan: Dispute. A conflict or controversy; a confllct of claims or rights; an assertion of a
rlght, claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other
Terminologi penyelesaian sengketa rujukan bahasa Inggrisnya pun beragam: dispute
resolution, conflict management, conflict settlement, conflict intervention.
Dalam suatu sengketa, termasuk sengketa lingkungan, tidak hanya berdurasi
perse1isihan para pihak ansich, tetapi perselisihan yang diiringi adanya tuntutan (claim).
Tuntutan adalah atribut primer dari eksistensi suatu sengketa (konflik). Dengan demikian,
rumusan Pasal 1 angka 19 UUPLH yang hanya mengartikan sengketa lingkungan sekedar
perselisihan antara dua pihak atau lebih tanpa mencantumkan claim terasa kurang
lengkap dan tidak merepresentasikan secara utuh keberadaan suatu sengketa. Siapakah
sesungguhnya para pihak yang berkonfiik dalam sengketa lingkungan? Atau, siapakah subyek
sengketa lingkungan itu dan apa pula yang disengketakan (objek sengketa lingkungan)?
Membaca keseluruhan naskah yuridis UUPLH, tampaknya tidak satu Pasal pun yang
memberikan jawaban otentik-stipulatif atas pertanyaan tersebut. Namun, melalui metode
penafsiran [interpretatie (methode)] dapat di tentukan subyek sengketa lingkungan, yakni:
para pihak yang berselisih. Meski disadari bahwa dalam pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan (sustalnable development) yang paling penting adalah: how to prevent
dispute, not how to settle dispute sesuai dengan adagium: prevention Is better than cure,
dan pepatah yang tidak tersangkal kebenarannya: an ounce of prevention is worth a pound
of cure.
Namun, bukan berarti hukum (UUPLH) harus mengesampingkan sengketa
lingkungan tanpa penyelesaian. Sebagai kenyataan yang senantiasa terjadi dan menggejala,
sengketa lingkungan membutuhkan penyelesaian yuridis untuk melindungi kepentingan

korban pencemaran-perusakan lingkungan sekaligus menyelamatkan lingkungan melalui


pendekatan hukum.
Konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh
hukum, bukan diperintah oleh manusia. Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan
dan penguasa tunduk kepada hukum.
Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang
merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka
tersebut merupakan katup penekan (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa
kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan
peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan kebenaran dan
keadilan.
Dalam hal ini tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari
penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa
atau pelanggaran hukum. Dalam perkembangan sejarah perlindungan hukum di Indonesia,
khusus mengenai perlindungan hukum melalui gugatan perwakilan (class actions) dan hak
gugat organisasi (legal standing/ius standi) sedang hangat-hangatnya dibicarakan baik dalam
kalangan akademi, maupun di kalangan penasehat hukum, lembaga swadaya masyarakat dan
di kalangan badan peradilan sendiri.
Oleh karena baru mengenal konsep gugatan perwakilan (class actions), maka masih
banyak kalangan praktisi hukum memberikan pengertian gugatan perwakilan (class actions)
identik atau sama dengan pengertian hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) pada hal
pengertian gugatan perwakilan (class actions) berbeda dengan pengertian gugatan organisasi
(legal standing). Perbedaan yang prinsipil antara gugatan perwakilan (class actions) dengan
hak gugat organisasi (legal standing) antara lain: dalam gugatan perwakilan (class actions)
adalah :
1. Seluruh anggota kelas (class representatives dan class members) sama-sama langsung
mengalami atau menderita suatu kerugian.

2. Tuntutannya dapat berupa ganti kerugian berupa uang (monetary damage) dan/atau
tuntutan pencegahan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang sifatnya deklaratif.
Sedangkan dalam hak gugatan organisasi (legal standing), adalah :
1. Oganisasi tersebut tidak mengalami kerugian langsung, kerugian dalam konteks
gugatan organisasi (legal standing) lebih dilandasi suatu pengertian kerugian yang
bersifat publik.
2. Tuntutan organisasi (legal standing) tidak dapat berupa ganti kerugian berupa uang,
kecuali ganti kerugian yang telah dikeluarkan organisasi untuk penanggulangannya
objek yang dipermasalahkannya dan tuntutannya hanya berupa permintaan pemulihan
(remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu (injunction) yang bersifat deklaratif.
Secara materiel hukum nasional telah mengatur gugatan perwakilan (class actions) dan hak
gugat organisasi (legal standing/ius standi), namun hukum acara yang ditunjuk sebagai
hukum formil yang mempertahankan hukum materieal tersebut belum diatur.
1. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar Pengadilan
a. Sengketa Lingkungan Hidup :
Subyek Sengketa :
Pencemar/Perusak >< Korban Pencemaran/Perusakan Obyek Sengketa
Pencemaran Perusakan Aktual
Pencemaran Perusakan Potensial
b. Prinsip-prinsip penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
1. Para pihak secara suka rela bersedia dan berkeinginan menyelesaikan sengketa
secara bermusyawarah.
2. Pihak ke tiga yang bertindak sebagai fasilitator/ mediator/arbiter disetujui oleh para
pihak dan harus netral
3. Masing-masing pihak tidak bertahan pada posisinya.

4. Para pihak tidak mempunyai kecurigaan yang berlebihan


5. Persyaratan atau bentuk tuntutan harus rasional

c. Kapan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup


1. Hakim memberikan perintah untuk mengadakan negosiasi atau mediasi
2. Masyarakat mengajukan tuntutan ganti kerugian atau tindakan tertentu
3. Pemerintah menjatuhkan sanksi administrasi berupa tindakan penyelamatan,
penanggulangan, memulihan dan tindakan tertentu lainnya.
4. Penanggung jawab kegiatan keberatan atas ganti rugi atau tindakan tertentu yang
harus dilakukan.
5. Para pihak sepakat untuk menyelesaikan sendiri
d. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup :
Dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan
secara sukarela para pihak yang bersengketa ( Pasal 30 Undang Undang
Pengelolaan LH ).
Tujuan

Melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa dengan cara cepat dan
efisien
Sasaran :
1. Pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat dihentikan
2. Ganti kerugian dapat diberikan
3. Penanggung jawab usaha/kegiatan menaati peraturan perundangan di bidang LH
4. Pemulihan lingkungan dapat dilaksanakan

Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan : (extrajudicial settlement of


dispute alternative dispute resolution, ADR) Ps. 31 Undang Undang Pengelolaan
LH, menyebutkan Penyelesaian sengketa LH di luar pengadilan, diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan bentuk dan besarnya ganti rugi, dan/atau Tindakan
tertentu, guna Menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif
terhadap lingkungan hidup.
2. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Pengadilan
Dalam UUPLH, pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan terdapat pada Pasal
30-39. Menurut Pasal 30 ayat (1) UUPLH: Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat
ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para
pihak yang bersengketa
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui sarana hukum pengadilan dilakukan
dengan mengajukan gugatan lingkungan berdasarkan Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 1365 BW
tentang ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad). Atas
dasar ketentuan ini, masih sulit bagi korban untuk berhasil dalam gugatan lingkungan,
sehingga kemungkinan kalah perkara besar sekali. Kesulitan utama yang dihadapi korban
pencemaran sebagai penggugat adalah :
1. membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 BW, terutama unsur
kesalahan (schuld) dan unsur hubungan kausal. Pasal 1365 BW mengandung asas
tanggunggugat berdasarkan kesalahan (schuld aansprakelijkheid), yang dapat
dipersamakan dengan Liability based on fault dalam sistem hukum AngloAmerika. Pembuktian unsur hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dengan
kerugian penderitaan tidak mudah. Sangat sulit bagi penderita untuk menerangkan
dan membuktikan pencemaran lingkungan secara ilmiah, sehingga tidaklah pada
tempatnya.
2. Masalah beban pembuktian (bewijslast atau burde of proof) yang menurut Pasal
1865 BW/Pasal 163 HIR Pasal 283 R.Bg. merupakan kewajiban penggugat.
Padahal, dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal
hukum dan seringkali berada pada posisi ekonomi lemah, bahkan sudah berada
dalam keadaan sekarat (seperti dalam Tragedi Ajinomoto di Mojokerto).

Sungguh berat dan terasa tidak adil mewajibkan penderita yang memerlukan ganti
kerugian untuk membuktikan kebenaran gugatanya. Menyadari kelemahan tersebut, Hukum
Lingkungan Keperdataan(privaatrechtelijk miliuerecht) mengenal asaa tanggunggugat
mutlak (strick liability-risico aansprakelijkheid) yang dianut pula oleh Pasal 35 UUPLH.
Tanggunggugat mutlak timbul seketika pada pada saat terjadinya perbuatan, tampa
mempersoalkankesalahantergugat.
Apakah asas strict liability diterapkan untuk semua gugatan lingkungan? Asas strict
liability lazimnya hanya hanya diimplementasikan pada types of situation tertentu
(kasuistik) . termasuk types of situation bagi berlakunya strick liability adalah extrahazardous activities yang menurut Pasal 35 UUPLH meliputi sengketa lingkungan akibat
kegiatan usaha yang :
a) Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan
b) Menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B-3) dan atau,
c) Menghasilkan limbah B-3.
d) Kegiatan pengelolaan zat dan limbah radioaktif berdasarkan Pasal 28 Undangundang nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
e) Pencemaran lingkungan laut di Zona Ekonomi Eklusif Indonesia sedasar Pasal 11
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eklusif Indonesia.
f) Pencemaran minyak di laut (wilayah) sebagaimana ditentukan dalam Keputusan
Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on
Civil Liability Oil Pollution Damage CLC (vide penyempurnaanya tahun 1992)
JO. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978 tentang Pengesahan International
Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for
Oil Pollution Damage (Fund Convention).
Ukuran dampak besar dan penting tentu sangat saintifik dan membutuhkan
pengaturan hukum yang cermat demi terjaminnya kepastian hukum. Sebelum
berlakunya UUPLH, asas strick liability telah pula diterapkan secara selectif oleh Pasal
21 UUPLH.[8] .

Tujuan penerapan asas tanggunggugat mutlak adalah: untuk memenuhi rasa


keadilan; mensejalankan dengan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya
alam dan lingkungan; serta mendorong badan usaha yang berisiko tinggi untuk
menginternalisasikan biaya. sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya.[9] Hukum
Lingkungan Keperdataan tidak saja mengenal sengketa lingkungan antara individu,
tetapi juga atas nama kelompok masyarakat dengan kepentingan yang sama melalui
gugatan kelompok class action actio popularis.
Di Amerika Serikat class action diterapkan terhadap pencemaran lingkungan
tidak hanya menyangkut hak milik atau kerugian, tetapi juga kepentingan lingkungan
yang baik dan sehat bagi warga masyarakat. Class action, penting dalam kasus
pencemaran (perusakan) lingkungan yang menyangkut kerugian terhadap a mass of
people yang awam dalam ilmu. Seseorang atau beberapa orang anggota kelompok
dapat menggugat atau digugat sebagai pihak yang mendapat kuasa atas nama semua,
dengan syarat:
1. The class is so numerous that Joinder of all members is impracticable.
2. There are guestions of law or fact common to the class.
3. The claims or defenses of the representative parties are typical of the claims or
defenaes of the class.
4. The representative parties will fairly and adeguately protect the interestsof the class.
Pasal 37 UUPLH memberikan pengaturan gugatan perwakilan yang menjadi
simbol kemajuan UUPLH dan merupakan pengakuan pertama atas class action
dalam peraturan perundang-undanga nasional di Indonesia.
Tetapi, rumusan Pasal 37 ayat (2) UUPLH yang menggariskan: instansi
pemerintah dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat masih delematis. Bertindak
yang bagaimana? Penjelasannya hanya mengatakan Cukup Jelas. Apakah dengan
mengajukan gugatan atas nama masyarakat? Kalau ini yang dimaksud jelas
menyimpang dari karakter class action: penggugat adalah warga masyarakat, bukan
badan publik. PP yang dibutuhkan niscaya akan mengatur lebih lanjut Pasal 37 ayat
(2) UUPLH untuk menentukan batas-batas tindakan instansi pemerintah termaksud.

Pengakuan class action oleh UUPLH jelas membutuhkan penyesuaian yuridis


HukumAcara Perdata yang berlaku. Class action jangan ditumbuhkan dengan lus
standi lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Organisasi Lingkungan Hidup (OLH)
sebutan UUPLH. Pasal 38 UUPLH memberikan pengaturan mengenai hak
menggugat ius standi standing to sue atau legal standing OLH.
Kasus lingkungan memang mempunyai sifat spesifik, yaitu adanya kepentingan
ekologis. Ancaman yang menimpa kelestarian satwa langka atau hutan slindung,
misalnya, akibat ulah manusia memerlukan kuasa untuk berperkara demi kepentingan
ekologis dan publik. Gajah, harimau, pohon-pohon, benda cagar budaya tidak dapat
maju menggugat di pengadilan. Menghadapi situasi seperti inilah peranan OLH yang
secara nyata bergerak dibidang lingkungan sangat penting terhadap gugatan konservasi.
Bertumpu pada ketentuan Pasal 38 UUPLH, OLH yang dapat mengajukan
gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan harus memenuhi persyaratan:
berbadan hukum atau yayasan, dan bertujuan melestarikan fungsi lingkungan. Lebih
dari itu, mengingat bagian terbesar dari Hukum Lingkungan adalah Hukum
Administrasi, maka perlu diketahui bahwa penyelesaian sengketa lingkungan dapat pula
berupa gugatan oleh seseorang atau badan hukum perdata ke Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) karena kepentingannya (atas lingkungan hidup yang baik dan sehat)
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN izin) di bidang
lingkungan berdasarkan Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (UU PERATUN).
Gugatan ke PTUN berisi tuntutan agar KTUN (izin) dinyatakan batal atau tidak
sah, sehingga putusan (hakim PTUN) segera menghentikan pencemaran lingkungan
akibat izin lingkungan yang tidak cermat.
3. Penyelesalan Sengketa Lingkungan Alternatif
Respons atas ketidakpuasan (dissatisfaction) penyelesaian sengketa lingkungan melalui
proses litigasi yang konfrontatif dan zwaarwichtig (njelimet) adalah extrajudicial
settlement of disputes atau populer disebut alternativedispute resolution (ADR), yaitu
penyelesaian konflik lingkungan secara komprehensif di luar pengadilan. ADR merupakan
pengertian

konseptual

yang

mengaksentuasikan

mekanisme

penyelesaian

sengketa

lingkungan melalui: negotiation, conciliation, mediation, fact finding, dan


arbitration.
Terdapat juga bentuk-bentuk kombinasi yang dalam kepustakaan dinamakan hybrid
semisal mediasi dengan arbitrasi yang disingkat med-arb.Penyelesaian sengketa
lingkungan alternatif ini menurut UUPLH dinamakan penyelesaian ssengketa lingkungan
hidup di luar pengadilan. Berdasarkan Pasal 31 UUPLH, penyelesaian sengketa lingkungan
di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi dan/atau tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau
terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan.
Pola penyelesaian sengketa lingkungan dalam ketentuan UUPLH tersebut tampak sebagai
koreksi atas kekeliruan sistem Tim Tripihak menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH} yang dirasa
tidak sesuai dengan ketentuan hukum lingkungan yang dikenal di negara maju seperti:
Jepang, Amerika Serikat dan Kanada, yaitu ADR. Namun sayangnya, penyelesaian model
UULH tampaknya masih melekat dalam Penjelasan Pasal 31 UUPLH. Para pihak yang
berkepentingan meliputi: ko-rban, pelaku dan instansi pemerintah terkait yang populer
disebut Tim Tripihakala.
UULH, justru oleh UUPLH ditambah lagi dengan melibatkan pihak yang mempunyai
kepedulian terhadap lingkungan (OLH). Bukankah ini telah memodifikasi Tim Tripihak
menjadi Catur Pihak? Efektifkah? Kita tunggu perkembangannya.
Bertumpu pada Pasal 32 UUPLH, penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 31 UUPLH dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik
yang tidak memiliki kewenangan mengambil, keputusan maupun yang memiliki kewenangan
mengambil keputusan untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan.
Adanya kata dapat untuk membantu dalam formulasi Pasal 31 UUPLH,
penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan berdasarkan UUPLH tidaklah
dipersyaratkan mempergunakan santunan, jasa pihak ketiga netral, baik yang tidak
memiliki kewenangan mengambil keputusan (konsiliasi atau mediasi) maupun melalui
pihak ketiga netral yang memiliki kewenangan mengambil keputusan (arbitrasi), tetapi
boleh dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa (negosiasi).

Penggunaan jasa pihak ketiga netral dalam penyelesaian sengketa lingkungan sebatas
yang dikehendaki para pihak dan tergantung pada kebutuhan kasus perkasus. Di negaranegara maju, ternyata mengutamakan sarana hukum mediasi sebagai upaya penyelesaian.
sengketa lingkungan yang efektif.
Hal ini wajar, mengingat, mediasi memiliki keunggulan-keunggulan komperatif apabila
dibandingkan dengan penyelesaian sengketa secara arbitrasi dan litigasi. Apakah di Indonesia
mediasi akan menjadi wahana penyelesaian sengketa lingkungan yang efektif dan efisien
dibandingkan dengan arbitrasi maupun litigasi.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak
dan bersifat sukarela. Para pihak juga bebas untuk menentukan lembaga penyedia jasa yang
membantu penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga penyedia jasa menyediakan
pelayanan jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan menggunakan bantuan arbiter
atau mediator atau pihak ketiga lainnya.
Apabila para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa atau
salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan.
Berdasarkan Pasal 30 UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan
berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan
hidup sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Apabila telah dipilih upaya
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan
hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau
para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan
tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap
lingkungan hidup. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat

digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan
maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan
sengketa lingkungan hidup.
Dalam rangka menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, maka
mekanismenya menggunakan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan

cara

konsultasi,

negosiasi,

mediasi,

konsiliasi,

atau

penilaian

ahli.

Mekanisme penyelesaian sengketa dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:


a. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
b. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud di atas diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan
tertulis.
c. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud di atas tidak dapat
diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat
diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang
mediator.
d. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan
bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil
mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak,
maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
e. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah
dapat dimulai.

f. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator dengan memegang
teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh ) hari harus tercapai kesepakatan
dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
g. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan
mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
h. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat wajib selesai dilaksanakan
dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
i. Apabila usaha perdamaian tersebut tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan
kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga
arbitrase atau arbitrase adhoc.
4. Pengertian Gugatan Perwakilan (Class Actions) dan Gugatan Organisasi (Legal
Standing)
a. Pengertian gugatan perwakilan (class actions)
Rumusan gugatan perwakilan (class actions) yang diberikan oleh para ahli hukum
Indonesia pada prinsipnya memberikan pengertian dan rumusan yang hamper bersesuaian
satu sama lain. Mas Achmad Santosa memberikan pengertian class actions (gugatan
perwakilan) adalah merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan
hak prosedural bagi satu atau sejumlah orang (jumlah yang tidak banyak) bertindak sebagai
penggugat untuk memperjuangkan kepentingan ratusan, ribuan atau jutaan orang lainnya
yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian.
Orang atau orang (lebih dari satu) yang tampil sebagai penggugat disebut sebagai wakil kelas
(representative class), sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilinya disebut dengan
class members.Az. Nasution memberikan pengertian dan persyaratan gugatan kelompok
(class actions) yang dapat diadili oleh Pengadilan apabila :
a) Penggugatnya berjumlah besar, sehingga tidak praktis apabila digunakan secara perkara
biasa

(b) Seorang atau beberapa orang dari kelompok itu mengajukan gugatannya sebagai
perwakilan
(c) Terdapat masalah hukum dan fakta gugatan atau perlawanan bersama
(d) Wakil yang bersidang harus mampu mempertahankan kepentingan kelompok.
Erman Rajagukguk, dkk., memberikan pengertian, class actions adalah suatu cara
yang diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu
masalah, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai perwakilan
kelompok tanpa harus turut serta dari setiap anggota kelompok.
Selain itu ada juga yang memberikan pengertian gugatan perwakilan (class actions)
sebagai suatu metode atau cara bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan yang sejenis
untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien dan seseorang yang akan
turut serta dalam gugatan perwakilan (class actions) harus memberikan persetujuan kepada
perwakilan.
Lebih lanjut Erman Rajagukguk, dkk., menyatakan keterlibatan pengadilan dalam
gugatan class actions sangat besar setiap perwakilan untuk maju ke pengadilan harus
mendapat persetujuan dari Pengadilan dengan memperhatikan:
a. Class actions merupakan tindakan yang paling baik untuk mengajukan gugatan.
b. Mempunyai kesamaan tipe tuntutan yang sama.
c. Penggugatnya sangat banyak
d. Perwakilan layak/patut.
b. Pengertian gugatan organisasi (legal standing)
Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara luas yaitu akses orang
perorangan atau kelompok/organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat. Legal standing,
Standing tu Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok
orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan
perdata (Civil Proceding) disederhanakan sebagai hak gugat.

Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip tiada gugatan tanpa
kepentingan hukum (poit dinterest point daction). Kepentingan hokum (legal interest)
yang dimaksud di sini adalah merupakan kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan
(propietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung
(injury in fact).
Perkembangan hukum konsep hak gugat konvensional berkembang secara pesat
seiring pula dengan perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak
(public interest law) di mana seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak
sebagai penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi
dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan, masyarakat luas
atas pelanggaran hak-hak public seperti lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak
Civil dan Politik.
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Paulus Effendi
Lotulung, yang menyatakan dalam bidang lingkungan hidup dapat terjadi suatu keadaan
dimana suatu organisasi atau kelompok orang mengajukan gugatan dengan mendasarkan
kepada kepentingan yang tidak bersifat diri pribadi mereka atau kelompok mereka, tetapi
mengatas namakan kepentingan umum atau kepentingan orang banyak (masyarakat) atau
yang disebut sebagai algemeen belang.
Pendapat yang memberikan hak gugat kepada suatu organisasi/lembaga swadaya
masyarakat (legal standing) berangkat dari teori yang dikemukakan oleh Prof. Christoper
Stone, yang memberikan hak hukum kepada objek-objek alam (natural object) seperti hutan,
laut, sungai, gunung sebagai objek alam yang layak memiliki hak hukum dan adalah tidak
bijaksana jika dianggap sebaliknya dikarenakan sifatnya yang inanimatif (tidak dapat
berbicara) tidak diberi suatu hak hukum.
Selanjutnya Stone berpendapat, organisasi lingkungan yang memiliki data dan alasan
untuk menduga bahwa suatu proyek/kegiatan bakal merusak lingkungan, kelompok tersebut
dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar mereka ditunjuk sebagai wali
(guardian) dari objek alam tersebut untuk melakukan pengawasan maupun pengurusan
terhadap objek alam terhadap indikasi pelanggaran atas hak hukum.

5. Gugatan Perwakilan (Class Actions) dan Hak Gugatan Organisasi (Legal Standing) di
Pengadilan Tata Usaha Negara
a. Gugatan perwakilan (class actions) di Pengadilan Tata Usaha Negara
Menurut dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang dapat
bertindak sebagai penggugat dalam sengketa tata usaha negara ialah:
a. Seseorang (atau beberapa orang masing-masing selaku pribadi);
b. Badan hukum perdata, yaitu setiap badan yang bukan badan hukum publik, seperti
perusahaan-perusahaan

swasta,

organisasi-organisasi,

atau

perkumpulanperkumpulan

kemasyarakatan yang dapat diwakili oleh pengurusnya yang ditunjuk oleh anggaran
dasarnya. Pada prinsipnya objek sengketa yang dapat diajukan di Pengadilan Tata Usaha
Negara ada 2 macam: Pertama surat keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 butir ke 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi
tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang bersifat final, konkrit, individual, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Kedua, surat keputusan tata usaha negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu apabila
badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan, sedang hal itu menjadi
kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan tata usaha negara lajimnya
disebut keputusan fiktif negatif.
Dari uraian di atas secara limitatif telah ditentukan pihak-pihak yang dapat menjadi
penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah seseorang atau badan hukum perdata
yang kepentingannya merasa dirugikan atas diterbitkannya surat keputusan tata usaha negara.
Kepentingan kerugian yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sifatnya
adalah kepentingan yang bersifat pribadi yang secara langsung diderita atau dirugikan atas
penerbitan surat keputusan yang merugikan tersebut, jadi kepentingan kerugian di sini tidak
bersifat derefatif. Berbeda halnya seperti kepentingan yang dimaksud dalam gugatan

perwakilan (class actions) kepentingan yang dirugikan di sini tidak bersifat individual atau
telah lebih condong kepentingan publik atau masyarakat orang banyak, apalagi misi
kepentingan dalam kepastian hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) misi
kepentingannya bukan kepentingan pribadi secara langsung, melainkan kepentingan objek
alam atau kepentingan masyarakat yang menurut visi anggaran dasar atau rumah tangganya
mengatur untuk itu. Timbul suatu pertanyaan, bagaimana apabila ada pelanggaran terhadap
kaedah-kaedah hukum administrasi negara atau tata usaha negara yang sifat kepentingannya
tidak bersifat individual tetapi secara faktual menimbulkan kerugian bagi publik atau
masyarakat atau seseorang/organisasi yang secara tidak langsung menderita kerugian akibat
tindakan hukum badan atau pejabat tata usaha negara, apakah dimungkinkan sengketa ini
dapat diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Seperti layaknya prosedur gugatan perwakilan (class actions) apalagi gugatan yang
diajukan berdasarkan hak gugat organisasi kemasyarakatan? Untuk menjawab pertanyaan di
atas terlebih dahulu akan dibahas mengenai tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan
kaedah hukum administrasi negara atau tata usaha negara. Administrasi negara mempunyai
kewenangan, warga memiliki hak, sedangkan sebaliknya warga serta administrasi negara
memperoleh pula kewajiban.
Administrasi negara di dalam melaksanakan tugas sebagai publik servis, memiliki
keleluasan untuk menentukan kebijakan-kebijakan, namun demikian sikap tindaknya tersebut
harus dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum.
Dalam posisi demikian peranan Hukum Administrasi Negara (HAN) sangat dominan
dan penting, sebab inti hakikat HAN adalah: 1) memungkinkan administrasi negara untuk
menjalankan fungsinya. 2) melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara dan
juga melindungi administrasi itu sendiri.
Kepustakaan hukum mengenai konsep tanggung gugat negara, mengandung makna
negara dapat digugat atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan pemerintah.
Konsep tanggung gugat negara ini mengandung pengertian tersedianya sarana hukum bagi
warga negara untuk mengajukan gugatan terhadap badan pemerintah juga merupakan sarana
penegakan hukum lingkungan administratif.

Pemerintah/eksekuti dalam menjalankan fungsinya merupakan pihak yang melayani


dan warga masyarakat merupakan pihak yang dilayani. Pelayanan yang baik dalam
pemerintahan adalah sarana menuju masyarakat negara yang sejahtera (welfare state).
Pelayanan dimaksud pada dasarnya merupakan cerminan dari perbuatan pemerintah yang
tidak saja berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku (wetmatigheid dan
rechtmatigheid), akan tetapi lebih dari itu bahwa administrasi dalam menyelenggarakan
pemerintahan harus juga berdasarkan kepatutan (billijkheid) serta kesusilaan, sehingga
dibutuhkan kecermatan dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, khususnya dalam
membuat keputusan (beschikking) oleh karena bukanlah ada semboyan lebih baik secara dini.
Gugatan hukum lingkungan administratif dapat terjadi karena kesalahan dalam proses
penerbitan suatu keputusan tata usaha negara yang berdampak penting terhadap lingkungan.
Gugatan tata usaha negara di samping sebagai sarana untuk menekan pejabat tata usaha
negara agar mematuhi prosedural, juga sebagai sarana perlindungan hukum bagi rakyat.
Prosedur adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui baik oleh organ negara/tata usaha
negara/instansi maupun oleh warga masyarakat sebelum keputusan/ketetapan dikeluarkan.
Prosedur diperlukan untuk melahirkan suatu keputusan yang baik, tanpa mengikuti prosedur
tertentu dalam melahirkan keputusan sulit dibayangkan akibat hukum yang menjadi tujuan
dari suatu keputusan.
Penegakan hukum merupakan suatu kewajiban, pelanggar hukum baik tertulis
maupun tidak tertulis harus diberi sanksi termasuk sikap tindak administrasi negara dalam
menjalankan tugasnya yang salah dalam memberikan administrasi perizinan. Jadi pelanggar
atas hukum administrasi negara baik itu administrasi Negara itu sendiri maupun masyarakat
pengguna administrasi itu sendiri harus diberikan sanksi adminsitratif. Sanksi administratif
misalnya seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 meliputi: paksaan
pemerintah,21 pembayaran sejumlah uang tertentu,22 dan pencabutan izin usaha dan atau
kegiatan.23 Paksaan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UUPLH dapat
berupa:
a. Tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran.
b. Tindakan untuk mengakhiri pelanggaran

c. Tindakan menanggulangi akibat yang timbul


d. Tindakan penyelamatan
e. Tindakan pemulihan.
Tindakan pemberian izin, pencabutan izin, pengawasan dan pemberian sanksi seperti di atas
adalah merupakan tindakan administratif, sehingga apabila timbul Sengketa maka sengketa
tersebut adalah merupakan sengketa hukum administrasi negara yang menjadi yuridiksi
Badan Peradilan Administrasi/PTUN. Hal ini dapat dilihat dalam perkara yang diajukan oleh
Puliono di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan yang bertindak untuk atas nama 167 orang
penduduk Sawit Seberang, yang mengajukan gugatan terhadap Kanwil BPN Kota Medan dan
PTPN IV (Perkara No.01/G/2000/PTUN.Mdn). Menurut penggugat tanah seluas 1050 ha
yang terletak di Kabupaten Langkat setempat dikenal dengan Sawit Seberang adalah tanah
milik penggugat yang diambil secara paksa pada jaman orde baru, oleh karena itu penggugat
memohon kepada Kanwil BPN agar mengukur dan mengeluarkan tanah seluas 1050 ha dari
HGU PTPN IV yang telah berakhir haknya. Perkara ini sebenarnya merupakan perkara yang
dapat diajukan secara gugatan perwakilan (class actions) akan tetapi sayang pemeriksaannya
tidak dilakukan menurut prosedur pemeriksaan alasan gugatan perwakilan (class actions).
Perkara yang hampir sama, yang diajukan oleh Khairul Anwar, dkk., v., BPN Kabupaten Deli
Serdang,

dkk.,

di

Pengadilan

Tata

Usaha

Negara

Medan

tahun

2000

No.18/G/2000/PTUN.Mdn., juga diperiksa seperti proses pemeriksaan gugatan biasa di


Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, belum menerapkan suatu asas-asas hokum yang
terdapat dalam gugatan perwakilan (class actions).
b. Hak gugatan organisasi (legal standing/ius standi) di Pengadilan Tata Usaha Negara
Setelah berdirinya Peradilan Tata Usaha Negara perkembangannya sangat
menggembirakan, hal ini dapat dilihat dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
dalam kasus yang terkenal sebagai kasus Dana Raboisasi, yang diajukan WALHI, dkk.,
sebagai Penggugat v. Presiden RI dalam kapasitas pejabat negara, terhadap pembatalan Surat
Keputusan Presiden No.42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman Kepada Perusahaan
Perseroan (Persero) PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT. IPTN).

Dikatakan sangat menggembirakan karena secara tidak disadari telah memperluas arti
kepentingan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, sebab dalam perkara tersebut
pengadilan telah menerima organisasi kemasyarakatan sebagai penggugat di Pengadilan Tata
Usaha Negara yang walaupun sebahagian dari penggugat dinyatakan tidak berkualitas
sebagai penggugat yang akhirnya dikeluarkan sebagai penggugat.
Kepentingan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 merupakan
kepentingan perseorangan/individual yang langsung mengalami/ menderita kerugian atas
diterbitkannya objek sengketa/surat keputusan tata usaha negara, dalam kapasitas gugatan
organisasi, sudah barang tentu kepentingan yang dirugikan itu tidak langsung dialami oleh
organisasi itu. Adapun dasar pertimbangan pengadilan menerima dan menetapkan hak
standing LSM dalam kasus ini adalah:
1. Bahwa tujuan organisasi tersebut adalah benar-benar melindungi lingkungan hidup atas
menjaga kelestarian alam, dimana tujuan tersebut harus tercantum dan dapat dilihat dalam
anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
2. Bahwa organisasi yang bersangkutan haruslah berbentuk badan hukum ataupun yayasan.
3. Bahwa organisasi tersebut harus secara berkesinambungan menunjukkan adanya
kepedulian terhadap perlindungan lingkungan hidup yang nyata di masyarakat.24 Putusan
pengadilan terdahulu diikuti lagi dalam perkembangan hokum berikutnya yang menerima
organisasi sebagai pihak penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, misalnya dalam
perkara 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT, antara Yayasan Lembaga Pengembangan Hukum
Lingkungan Indonesia/Indonesian Centre for Environment Law (ICEL), dkk., v. Menteri
Pertanian RI, dkk., yang mempermasalahkan surat keputusan yang diterbitkan oleh Tergugat
No.107/Kpts/KB.430/2/2001 tgl. 7 Pebruari 2001 tentang Pelepasan secara terbatas 35B
(BOLLGARD) sebagaimana diusulkan PT. Monagro Kimia. Menurut penggugat pemberian
surat izin tersebut harus memakai AMDAL. Agar ada suatu kesamaan bentuk maupun
tahapan-tahapan yang akan dilalui dalam pengajuan dan penyelesaian gugatan perwakilan
(class actions), sebaiknya diatur dalam suatu peraturan hukum acara sebagai payung beracara
menurut prosedur gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugatan organisasi (legal
standing).
6. Penerapan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Indonesia

Penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup pada UU No 32 Tahun 2009 melengkapi dari


undang-undang sebelumnya,sebagaimana yang tercantum pada Bab XIII UU No 32 Tahun
2009 dikatakan bahwa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dapat ditempuh melalui
pengadilan atau diluar pengadilan (pasal 84 ayat 1).Pada bagian kedua tentang penyelesaian
sengketa Lingkungan Hidup diluar pengadilan,dikatakan pada pasal 85 (1) bahwa
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dilakukan untuk mencapai
kesepakatan mengenai :
1. Bentuk dan besarnya ganti rugi;
2. Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau peruskan;
3. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau
perusakan; dan/atau
4. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Bentuk-bentuk penyelesaian lingkungan hidup diluar pengadilan ini menganut konsep
Alternative Dispute Resolution (ADR),yang dilakukan dalam wujud mediasi ataupun
arbritasi.Dan pada bagian inilah peran Polri dapat masuk dan ikut serta menjadi seorang
mediator dalam pelaksanaan mediasi.Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa ini memang
memperkenankan untuk hadirnya orang ketiga sebagai penengah dan bukan penentu
kebijakan.
Sedangkan penyelesaian sengketa melalui peradilan diatur pada bagian ketiga UU No 32
Tahun 2009 dan terdiri dari :
1. Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
2. Tanggung Jawab Mutlak
3. Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah
4. Hak Gugat Masyarakat
5. Hak gugat Organisasi Lingkungan Hidup
6. Gugatan Administratif

Akan tetapi dibalik ini semua,UU No 32 Tahun 2009 mengenal apa yang dinamakan asas
Ultimum Remedium,yakni mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya
terakhir setelah penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.Yang mana penerapan
asas ini,hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu,yaitu pemidanaan terhadap
pelanggaran baku mutu air limbah,emisi,dan gangguan.
Jika dilihat dari penerapan hukum secara perdata,Hak gugat pemerintah dan pemerintah
daerah,hak gugat masyarakat dan hak gugat organisasi lingkungan hidup merupakan bentukbentuk pengamalan konsep axio popularis,class action dan legal standing.Konsep-konsep ini
merupakan terobosan hukum yang sangat baik dalam penerapannya.Penerapan hukum
perdata ini juga diikuti engan berbagai persyaratan seperti pelaksanaan hak gugat oleh
pemerintah bisa dilakukan oleh Kejaksaan,pelaksanaan clas action yang dapat dilakukan oleh
orang atau sekelompok orang dan pelaksanaan hak gugat oleh organisasi Lingkungan yang
harus memenuhi persyaratan organisasi sesuai dengan apa yang diatur dalam UU No 32
Tahun 2009 ini.
Ancaman hukuman yang ditawarkan oleh UU No 32 Tahun 2009 ini juga cukup
komprehensif,misalkan mengenai pasal-pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana dan
perdata yang mengancam setiap pelanggaran peraturan dibidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup,baik perseorangan,korporasi,maupun pejabat.Contoh yang
paling konkret adalah porsi yang diberikan pada masalah AMDAL.Sekurangnya terdapat 23
pasal yang mengatur mengenai AMDAL,tetapi pengertian dari AMDAL itu sendiri berbeda
antara UU No 32/2009 dengan UU No 23/1997,yakni hilangnya dampak besar.Hal-hal baru
mengenai AMDAL yang termuat pada undang-undang terbaru ini antara lain:
1. AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
2. Penyusunan dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun
dokumen AMDAL;
3. Komisi penilai AMDAL pusat,Provinsi,maupun Kab/Kota wajib memiliki lisensi
AMDAL;
4. AMDAL dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penertiban izin lingkungan;

5. Izin

lingkungan

diterbitkan

oleh

Menteri,Gubenur,Bupati/Walokota

sesuai

kewenangannya.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas,ada pengaturan yang tegas dan tercantum dalam UU No
32 Tahun 2009 ini ,yaitu dikenakannya sanksi pidana dan sanksi perdata terkait pelanggaran
bidang AMDAL.Hal-hal yang terkait dengan sanksi tersebut berupa :
1. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan;
2. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat
kompetensi;
3. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi
dengan dokumen AMDAL atau UPL/UKL

Proses Penegakan Hukum Lingkungan melalui Prosedur Perdata


Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan
tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap
lingkungan hidup. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, dapat
digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan
maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan
sengketa lingkungan hidup.
Pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan
penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
A. Ganti Rugi
Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup,
mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu.
Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu, hakim dapat menetapkan pembayaran
uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.

B. Tanggung Jawab Mutlak


Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan
bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun,
bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban
membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar
ganti rugi jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup disebabkan oleh:

adanya bencana alam atau peperangan; atau

adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau

adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup

Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga, pihak ketiga bertanggung
jawab membayar ganti rugi.
C. Daluwarsa untuk Pengajuan Gugatan
Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang
waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan dihitung
sejak saat korban mengetahui adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya
dan beracun
D. Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup untuk Mengajukan Gugatan
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau
melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang
merugikan perikehidupan masyarakat.

Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok
masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup
dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai
dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Hak mengajukan gugatan tersebut terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan
tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan:

berbentuk badan hukum atau yayasan;

dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan


dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup;

telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat,
dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku
Proses Penegakan Hukum Lingkungan melalui Prosedur Pidana
1. Penyidikan
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tersebut berwenang:

melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan


tindak pidana di bidang lingkungan hidup;

melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang lingkungan hidup;

meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup;

melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan


dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;

melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti,


pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan
barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di
bidang lingkungan hidup;

meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang lingkungan hidup.

2.Pembuktian
Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas :
a.

keterangan saksi;

b.

keterangan ahli;

c.

surat;

d.

petunjuk;

e.

keterangan terdakwa; dan /atau

f.

alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tersebut memberitahukan dimulainya penyidikan
dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tersebut menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut
Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Penyidikan tindak pidana
lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif dilakukan oleh penyidik
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Proses Penegakan Hukum Lingkungan melalui Prosedur Administrasi
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana dan UU nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terhadap
pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:

perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau

penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau

perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau

mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.

Tindak pidana yang diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik formil dan delik
materil. Menurut Sukanda Husin (2009: 122) delik materil dan delik formil dapat
didefensikan sebagai berikut:
1.

Dellik materil (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum yang menyebabkan
pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu memerlukan pembuktian
pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti izin.

2.

Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturanaturan hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak diperlukan
pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi cukup dengan
membuktikan pelanggaran hukum administrasi.
Pendekatan hukum lingkungan dari sudut pidana ini ditentukan padanestapa atau sanksi pidana yang
yang dijatuhkan oleh negara kepada warganegara yang menjadi tersangka, dan yang diduga telah melakukan
tindak pidana pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, karena rumusan dalam ketentuan pasal-pasal
pidana dalam Undang-Undang Nomor .32 Tahun 2009 mengakibatkan timbulnya kerusakan dan
tercemarnya lingkungan hidup secara keseluruhannya..Dengan demikian, unsur-unsur perbuatan pidana
terhadap lingkunganhidup dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.Barang siapa yang secara nyata melawan hukum.
2.Karena sengaja atau karena kealpaannya.
3.Ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
4.Perbuatan yang menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup.
5.Perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup.
6.Mengakibatkan orang mati atau luka berat (membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain).

7.Diancam dengan pidana.Perbuatan pidana terhadap lingkungan hidup dapat dijatuhkan pidana apabila
syarat esensial yang berupa kesalahan, dan kesalahan itu dapat dipertanggungjawabkan secara pidana,
sehingga merupakan suatu perbuatan pidana. Di samping syarat esensial, unsur-unsur perbuatan pidana juga
harusterpenuhi, sehingga dapatlah dijatuhi pidana. Adapun pertanggungjawabkan pidana dalam pasal-pasal
tersebut dapat dikenakan kepada siapa saja baik perorangan, masyarakat maupun badan hukum yang telah
memenuhi unsur perbuatan pidana tadi
Mengenai ketentuan Pidana yang terdapat dalam UU no 32 tahun 2009 telah diatur dalam
Bab xv Pasal 97 Pasal 118 UUPLH mengenai sanksi dan denda dendanya .

Anda mungkin juga menyukai