menghargai satu sama lain. Tat Twam Asi juga landasan dasar salah satu ajaran Etika Hindu :
Arimbawa maksudnya punya pertimbangan kemanusiaan, punya rasa kasihan, ingin
menolong, dapat memaafkan, sehingga dalam memperlakukan atau menindak orang lain
mengukur pada diri sendiri. Sebelum bertindak tanya dulu kepada diri sendiri Bagaimana
seandainya aku diperlakukan artau ditindak demikian? Bila menimbulkan rasa tak enak,
menyakitkan, maka sebaiknya orang tidak diperlakukan demikian : bila menyenangkan atau
membahagiakan (dalam arti positif) sebaiknya dilakukan.
3. Karena yakin dengan Hukum Karma Phala bahwa, setiap perbuatan pasti akan membawa
akibat, maka orang menjaga sikap dan perilakunya agar selamat (anggraksa cara rahayu)
termasuk menjaga pikiran.
Yadiastun riangen-angen maphala juga ika
Artinya, walaupun baru hanya dalam pikiran akan membawa akibat itu (ss).
Siapakari tan temung ayu masadana sarwa ayu, nyata katemwaning ala masadhana sarwa
ala
Artinya, siapa yang tak akan memperoleh kebaikan bila sudah didasari dengan perbuatan
baik?
Pastilah hal-hal yang buruk akan dituai bila didasari dengan perbuatan buruk (Arjuna
10.12.7). Keyakinan pada Karma Phala jelas menjadi dasar dan sekaligus kontrol dalam
berpikir, berkata, dan berbuat. Demikianlah keyakinan pada Hukum Karma Phala
menumbuhkan Etika Hindu.
4. Berdasarkan keyakinan pada Punarbhawa bahwa, bila orang berperilaku buruk dalam
hidupnya akan lahir menjadi makhluk yang lebih rendah, mungkin menjadi manusia cacat
bahkan mungkin menjadi binatang tergantung derajat keburukan perilakunya, sebaiknya
bila dalam hidupnya didominasi oleh perbuatan-perbuatan baik, maka kelak ia akan lahir
pada tingkat makhluk yang lebih mulia seperti menjadi manusia yang lebih rupawan, pintar,
murah rezeki, memperoleh jalan hidup yang lebih baik, lebih berwibawa, dsb, maka mesti
menjaga tingkah lakunya agar dapat menjelma dalam tingkat yang lebih tinggi derajatnya,
lebih baik dalam segala hal, minimal tidak jatuh menjadi makhluk yang lebih rendah/lebih
sengsara.
5. Karena yakin dengan adanya sorga yaitu alam tempat arwah yang sangat
menyenangkan, alam tempat meinkmati suka cita bagi arwah yang pada waktu hidupnya
banyak berbuat baik. Apalagi yakin dengan adanya moksa yang lebih tinggi lagi daripada
sorga yaitu menyatunya Atma dengan Brahman (Tuhan) bagi yang berhasil melepaskan diri
dari belenggu papa dengan berbuat baik (Subhakarma) menikmati Sat cit ananda atau
Suka tan pawali dukha, artinya suka yang tak akan pernah kembali menemukan duka,
dengan kata lain mencapai kebahagiaan abadi. Etika atau sila semakin menjauhkan orang
dari neraka dan menghantarkan untuk semakin dekat dengan sorga dan moksa. Keyakinan
ini mendorong orang untuk beretika, lebih semaangat untuk menegakkan sila dalam
hidupnya.
Demikianlah dasar-dasar etika Hindu itu yang berpijak pada keimanan Hindu.
C. BENAR DAN SALAH
Berbicara soal benar dan salah dalam hubungan etika tidaklah seperti ilmu pasti. Ada yang
memberikan batasan sebagai berikut :
Segala sesuatu yang dapat menolong dunia ini melalui jalan yang telah ditentukan oleh
Sang Hyang Widhi adalh benar, dan segala sesuatu yang menghalangi jalan ini adalah
salah (Mantra : 1983.91). Kalau kita berpikir secara hitam putih, maka dapat dikatakan
sebagai berikut :
Benar adalah yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku, dan semua yang melanggar
norma adalah salah.
Norma itu adalah kaedah aturan, ada norma agama, ada norma hukum, norma kesusilaan,
norma kewajaran, norma adat, dsb. Dalam kehidupan bermasyarakat tidaklah cukup
mengukur benar dan salah itu dari cara-cara yang hitam putih itu yang hanya bersandar
pada norma-norma. Karena variasi permasalahan ada bermacam-macam, maka masih
diberlakukan pertimbangan-pertimbangan yang dibarengi dengan analisa-analisa sehingga
kesimpulan tentang benar dan salah itu bijak dan arif. Disamping menentukan benar dan
salah dengan norma-norma yang ada, juga sangat perlu mempertimbangkan :
1. Apa sebabnya dan apa motifnya perbuatana itu?
2. Apa ekses atau dampak yang dapat ditumbulkan?
Kalau berpikir secara hitam-putih, membunuh orang adalah salah, mencuri, berbohong
adalah salah. Tapi ada orang membunuh pembunuh menyerangnya, dalam keadaan
terdesak dan tak ada jalan lain yang dapat dipilih untuk menyelamatkan masyarakat. Kalau
kedua contoh permsalahan ini diukur dari norma-norma saja secara hitam putih cenderung
hasilnya menjadi tidak benar. Berkenan dengan persoalan seperti ini ada berapa prinsip
yang disebut prinsip-prinsip etika.
1. Prinsip-Prinsip Etika
a. Prinsip Kebebasan
Memberikan kepada setiap orang suatu kebebasan untuk menggunakan hak-haknya
misalnya, hak untuk menjelsakan duduk persoalan yang sebenarnya, hak bertanya, hak
untuk membela diri, hak untuk menentukan pilihan, dsb adalah etis (benar).
b. Prinsip Kebenaran
Seperti namanya prinsip ini lebih menekankan pada kebenaran, yang penting benar,
masalah untung rugi adalah masalaha lain, masalah baik buruk adalah resiko. Jadi prinsip in
mencari siapa dan apa yang benar, siapa, dan apa yang salah.
c. Prinsip Keadilan
Keadilan adalah memperlakukan orang secara seimbang, tapi nukan sama rata sama rasa.
Karena adil adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya sesuai
dengan kesalahan atau jasa yang diperbuatnya, juga sesuai menurut kedudukan masingmasing. Bila seseorang bersalah haknya adalah dihukum, sedangkan orang yang berjasa
haknya adalah diberi penghargaan sesuai berat ringan kesalahan atau besar kecil jasa yang
dilakukannya. Menghkum penjahat dan menghargai penjasa, adalah etis, sebaliknya tidak
menghukum penjahat dan menekan penjasa adalah tidak etis. Dalam hal ini ada sloka Tata
manut lungguh maksudnya, penghormatan dan tata krama masing-masing sesuai dengan
posisi dan status masing-masing.
d. Prinsip Kerahasiaan
Prinsip ini adalah prinsip yang melihat dari segi derajat kerahasiaan sesuatu. Setiap orang
punya rahasia pribadi masing-masing. Tidaklah etis membeberkan rahasia orang tidak pada
tempatnya, kecuali memang hal rahasia itu yang dibahas. Maling kawakan pun dibilang
maling, akan tersinggung. Tidak etis apabila mengatakan orang maling di muka umu bila
permasalahan yang sedang dibahas tidak ada sangkut pautnya dengan predikat maling itu.
e. Prinsip Tidak Merugikan
Prinsip ini berpatokan asal tidak merugikan orang lain. Apapun perbuatan seseorang yang
Pahala orang yang dapat mengendalikan indriya sedikitnya ada 7 macam, yaitu :
a. Kadirgha yusan : panjang umur
b. Ulah rahayu : perilaku menjadi baik dan benar
c. Pagehing yoga : teguh melaksanakan yoga
d. Kasaktin : memperoleh kekuatan batin
e. Yasa : buah ibadah, nama baik
f. Dharma : memiliki kebenaran dan keadilan
g. Artha : menjadi hartawan, keberhasilan. (SS. 72)
B. DASA KARMA PATHA
Dasa Karma Phala adalah sepuluh pengendalian gerak/karma, yang terdiri dari 4
pengendalian Sabda ( kata-kata), 3 pengendalian Bayu (perilaku), dan 3 Idep (pikiran).
1. Pengendalian Sabda :
a. Tan ujar Ahala : tidak berkata-kata jahat dan tidak berkata-kata jorok
b. Tan ujar apergas : tidak berkat-kata kasar (keras bernada marah)
c. Tan ujar pisuna : tidak memfintah
d. Tan ujar mithya : tidak berkata bohong. (SS. 75)
2. Pengendalian Bayu :
a. Tan anghala-hala : tidak berbuat jahat/kejam
b. Tan amati-mati : tidak membunuh
c. Tan paradara : tidak berzinah. (SS. 76)
3. Pengendalian Idep :
a. Tan engin mwang dengkya ri drebyaning len :
tidak dengki dan menginginkan pada milik orang lain
b. Tan krodha ring sarwa satwa :
tidak membunuh makhluk lain
c. Mamituhwa hanaring karma phala :
yakin adanya hukum karma. (SS. 74)
Berkenaan dengan Anghala-hala dan ujar ahala (berbuat jahat) ada Upanisad menjelaskan
sebagai berikut :
Orang yang berkata secara tidak benar dan merugikan orang lain, itu merupakan
kejahatan. Itu adalah benar-benar sutu kejahatan.
(Brh. Ary. Up. III. 2)
Orang yang bernapsa secara tidak benar dan merugikan orang lain, itu merupakan suatu
kejahatan, itu benar-benar suatu kejahatan.
(Brh. Ary. Up. III. 3)
Orang yang melihat sesuatu secara tidak benar dan merugikan orang lain, itu merupakan
suatu kejahatan. Itu benar-benar suatu kejahatan.
(Brh. Ary. Up. III. 4)
Orang yang mendengarkan sesuatu secara tidak benar dan merugikan orang lain, itu
merupakan suatu kejahatan. Itu benar-benar suatu kejahatan.
(Brh. Ary. Up. III. 5)
Orang yang berpikir secara tidak benar dan merugikan orang lain, itu merupakan suatu
kejahatan. Itu benar-benar suatu kejahatan.
(Brh. Ary. Up. III. 6)
Artinya : Dadi pwang niscaya jnana lumekas tak ujar, lumekasang maprawerthi
Bila keputusan hati telah terbentuk maka keluarlah kata-kata dan gerak perilaku.
(88. 79)
Jenis atau model serta sifat kata-kata ataupun perilaku yang timbul, sangat tergantung pada
Niscaya Jnana.
Jadi, kemampuan melakukan Wiweka sangat membantu untuk menjadi lebih bijak dan lebih
arif dalam Angraksa acara rahayu (menjaga agar perilaku tetap benar dan baik). Disini
dibutuhkan ketangkasan berpikir. Dalam Kekawin Niti Sastra ada syair sbb :
Artinya : Wenten wang sugih artha hina sabhimuktinya alpa ring bhusana,
Wenten wong guna manta sila naya hima anut rikang durjana,
Wang dirghayusa wredha hina ytan anuting dhamosastro lahen,
Yekung janma nirarthaka traya wilangnya uripnya nir tan padon.
Ada orang kaya harta tapi sangat kurang dalam berpakaian dan makan-minum.
Ada orang terpelajar dan susila, tetapi kurang tangkas berpikir akhirnya mengikuti orangorang jahat.
Ada lagi orang tua yang sudah lama hidup, tapi perilakunya serba menyimpang dari dharma.
Ketiga orang tersebut adalh orang tak sempurna, percuma saja hidup tak ada gunanya.
Menurut Kitab Manawa Dharma Sastra ; diantara yang hidup manusia punya kelebihan daya
pikir (Manah), maka kualitas manusia sangat ditentukan oleh kualitas daya pikirnya.
Artinya : Ri sakweing sarwa bhuta ikang jatma wong jugaa wenang gumawayaken Subha
Asubha Karma, Kuneng panentaksana ri subhakarma juga ikang asubha karma, phalaning
dadi wwangika.
Diantara makhluk mnusia sajalah yang mengerti tentang perbuatan baik atau buruk.
Gunanya hidup menjadi manusia adalah untuk merubah perbuatan-perbuatan buruk ke
dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan benar.
(SS. 2)
2. Sifat Bawaan dan Sifat Dasar Manusia
a. YONI
Karma terdahulu akan berpengaruh pada sifat bawaan manusia. Arwah manusia diikuti oleh
catatan karmanya yang mau tak mau harus dipertanggungjawabkan di alam akhirat.
Setelah habis dinikmati atau dipertanggungjawabkan, masih ada bekas karma itu disebut
Karma Wasana.
Karma Wasana menjadi Yoni dibawa lahir ke dunia. Yoni inilah mewarnai sifat bakat, bahkan
nasib yang lahir. Justru kesempatan lahir menjadi manusia adalah untuk memperbaiki karma
yang telah menjadi Yoni ini yang akumulasinya menjadi sifat bawaan.
b. DAIWI SAMPAT ASURI SAMPAT
Disamping sifat bawaan, tiap manusia mempunyai sifat dasar. Setiap manusia mempunyai
sifat-sifat keraksasaan yang disebut Asuri Sampat.
Asuri Sampat adalah sifat dari Sarira atau tubuh manusia yang terbentuk dari Panca
Maha Bhuta yang berasal dari Prakerthi yang bersifat gelap (Rau), tanpa kesadaran.
Daiwi Sampat adalah sifat Atman yang berbentuk dari Panca Dewa Atma, berasal dari
Purusa yang bersifat terang (Ketu), sadar, suci, ringan, hidup, dsb.
Asuri Sampat muncul dalam bentuk kata nafsu, sedangkan Daiwi Sampat muncul dalam
bentuk kata suci.
Orang yang bermaksud menjadi bijak, arif, dan susila, perlu belajar membedakan apa
sebenarnya diri ini, kemudian membedakan hasrat atau keinginan yang muncul sewaktuwaktu.
Diri ini sesungguhnya Atman atau Sarira (badan)?
Jadi tubuh adalah alat sehingga sang diri sesngguhnya adalah Atman yang menggunakan
tubuh sebagai alat.
Atman adalah tuan; tuanlah semestinya mengendalikan alat bukan alat memperalat tuan.
Bila timbul keinginan yang bersifat nafsu tanpa kesadaran itu berarti keinginan alat (Asuri
Sampat) bukan keinginan diri kita yang sejati, maka perlu dipertimbangkan matang-matang
sebelum berbuat.
Bila timbul keinginan yang luhur penuh kesadaran itulah keinginan diri kita yang
sesungguhnya, maka jangan ragu untuk mengikuti karena Daiwi Sampat (kata hati suci)
selalu benar dan tidak pernah mencelakakan kata orang bijksana.
c. TRI GUNA SAKTI
Ada lagi yang berpengaruh pada alam pikiran (Citta) setiap manusia, yaitu 3 sifat Guna yang
disebut Tri Guna Sakti :
1) Sattwam
Sattwam atau Sattwika adalah sifat guna yang serba baik.
Arinya : Ikang ambek duga-duga drdha, maso ta ya wruh ta ya ri palenan ing wastu lawan
maryada, wruh ta yeng iswara tatwa, widagda ya, mamanis ta ya denya n pametwaken
wuwusnya, mahaiep pindakara nyawaknya, yeka laksananing citta sattwika.
Pikiran yang jujur, polos, cerdas dapat membedakan kepalsuan dan kesejatian sesuatu,
dapat memahami falsafah ke-Tuhanan, cekatan (berfikir), manis caranya berbicara, halus
lembut perilakunya, demikian gejala-gejala pikiran Sattwam.
(W. Pt. T. 17)
2) Rajah
Rajah atau Rajasika adalah sifat yang ambisius.
Artinya : Ikang ambek krura, lawan ikang ulah krodha katatakut darpata ya sashika ya,
panasbharam lobha, capala hasta, capala pada, wakcapaka, tan hana kasihnya. Paleh-paleh
masiga, yeka laksananing citta si rajah ngaranya.
Pikiran yang dahsyat (Angkara), murka menakutkan, suka memaksa dengan serius, ambisius
dan loba, ringan tangan, ringan kaki, latah, tidak punya rasa kasihan, susah dilarang,
demikianlah yang disebut Rajasika.
(W. Pt. T. 19)
3) Tamah
Pikiran Tamah atau Tamasika adalah pikiran yang bebal dan gelap.
Artinya : Ikang ambek wedi wedi, luhya angemeh wuk turu, bwat angdwa-dwa, agelen
amati-mati, paleh-paleh, putek hati, abwat ulatnya, yeka citta sit amah ngaranya.
Sifat pikiran yang penakut, letih, lesi penidur, pembohong, bebal, suka membunuh,
sembrono, murung hati, berat mulut, berat mata (suka muram), demikianlah sifat-sifat yang
disebut Tamasika.
(W. Pt. T. 19)
Ketiga sifat Guna ini (Sattwam, Rajah, Tamah) mempengaruhi pikiran; satu sama lain saling
berebut sehingga terjadi tarik-menarik yang sangat kuat.
Sifat mana yang dominan itulah yang akan mewarnai Niscaya Jnana yang kemudian
memberi corak pada ucapan dan perilaku. Itulah sebabnya perlu Wiweka untuk dapat
menentukan yang mana yang harus patut diikuti dan yang mana yang tidak harus diikuti.