Definisi
Gas Metana Batubara (GMB) atau biasa disebut dengan Coal Bed Methana (CBM)
Batubara adalah batuan yang kaya karbon berasal dari bahan tumbuhan (gambut) yang
terakumulasi di rawa-rawa dan kemudian terkubur bersamaan dengan terjadinya prosesproses geologi yang terjadi. Dengan meningkatnya kedalaman penguburan, bahan tanaman
mengalami pembatubaraan dengan kompaksi / pemampatan, melepaskan zat fluida (air,
karbon dioksida, hidrokarbon ringan, termasuk metana) karena mulai berubah menjadi
batubara. Dengan pembatubaraan dengan pendekatan yang sedang berlangsung, batubara
menjadi semakin diperkaya dengan karbon DNA terus mengusir zat terbang. Pembentukan
metana dan hidrokarbon lain adalah hasil dari pematangan termal pada bara, dan mulai di
sekitar sub-bituminous A untuk tahap tinggi mengandung bitumen-bitumen peringkat C,
dengan jumlah metan yang dihasilkan meningkat secara signifikan. [1]
diikuti oleh keluarnya gas-gas metan. Itulah sebabnya seringkali terdengar adanya
ledakan tambang yang merupakan akibat terbakarnya gas metan yang terakumulasi
dilubang tambang. Untuk mengurangi resiko ledakan terowongan tambang serta
memanfaatkan gas metan yang keluar inilah maka ide CBM muncul sebagai solusi
untuk dua hal yang saling berhubungan. Dalam proses pengeluaran air inilah gas akan
secara bersama-sama ikut terproduksi. Jumlah air yang terproduksi semakin lama
semakin berkurang sedangkan jumlah gas yang ikut terproduksi bertambah. Proses ini
disebut dewatering. Proses dewatering ini memakan waktu yang cukup lama
bahkan hingga 3 tahun untuk mengetahui sebesarapa besar kapasitas produksi sumur
ini. Berbeda dengan proses produksi minyak dan gas konvensional dimana tekanan
gas cukup besar sehingga gas akan keluar dahulu yang kemudian akan diikuti oleh air.
Dibawah ini perbandingan komposisi air dan gas pada proses pengurasan air hingga
proses memproduksi gas. [1]
memiliki tekanan yang sangat rendah. Bahkan sering diperlukan kompressor untuk
mempompakan gas ke penampungan. [1]
konstan dengan peningkatan produksi gas serta penurunan tekanan alir dasar
sumur yang sangat rendah bahkan dapat diabaikan. Awalnya, sumur CBM
dipenuhi dengan air karena terbebaskan pada saat proses coalifikasi. Air mengisi
jaringan cleat yang utama. Untuk memproduksikan gas maka air yang mengisi
sebagian besar cleat harus dikeluarkan. Secara teori, produksi air akan
mengurangi tekanan hydarulic pada batubara karena pelepasan gas. Proses ini
dikenal sebagaidewatering. Waktu proses dewatering dan jumlah air yang
terproduksi sangat bervariasi. Akibatnya akan sangat sulit untuk memperkirakan
pengaruhnya dalam hal keekonomiannya. Oleh karena itu, lapisan batubara harus
dikontrol dengan sifat fisiknya. Sifat fisik utama yang mempengaruhi efisiensi
prosesdewatering antara lain permeabilitas, kandungan gas yang diserap, kura
permeabilitas relatif dan kurva tekanan kapiler, koefiesien difusi dan desorption
isoterm. Diakhir tahap pertama, sumur akan memiliki tekanan alir dasar sumur
yang minimum.
Tahap kedua ditandai dengan menurunnya produksi air dan meningkatnya laju
produksi gas. Permeabilitas relatif air akan menurun dan permeabilitas relatif gas
akan naik. Batas terluar menjadi sangat signifikan dan laju pelepasan gas akan
berubah secara dinamis. Batas antara tahap II dan III ditandai dengan dicapainya
puncak laju alir gas. Selama tahap III proses dewatering tetap terjadi tapi
jumlahnya sangat sedikit bahkan dapat diabaikan. [1]
6000 TCF (trillion cubic feet) gas CBM di tempat (Original Gas In Place
OGIP). Negara-negara yang telah memproduksikan CBM secara komersial adalah
Amerika Serikat, Kanada, Australia, India, dan China. Produksi CBM di seluruh
dunia saat ini berada di level 6 BCFD (Miliar kaki kubik per hari). Sekitar 5 BCFD
produksi CBM berada di Amerika Serikat yang merupakan 10% dari total produksi
gasnya. [2]
Indonesia memiliki cadangan coalbed methane (CBM) yang cukup besar yaitu sekitar
350-400 triliun cubic feet (TCF) atau ketujuh di dunia. Cadangan itu tersebar di
berbagai cekungan yang ada. Potensi sumberdaya yang begitu besar ini seharusnya
dikembangkan menjadi salah satu sumber energi alternatif pengganti BBM.
Berdasarkan data Bank Dunia, konsentrasi potensi terbesar terletak di Kalimantan dan
Sumatera. Di Kalimantan Timur, antara lain tersebar di Kabupaten Berau dengan
kandungan sekitar 8,4 TCS, Pasir/Asem (3 TCS), Tarakan (17,5 TCS), dan Kutai
(80,4 TCS). Kabupaten Barito, Kalimantan Tengah (101,6 TCS). Sementara itu di
Sumatera Tengah (52,5 TCS), Sumatera Selatan (183 TCS), dan Bengkulu 3,6 TCS,
sisanya terletak di Jatibarang, Jawa Barat (0,8 TCS) dan Sulawesi (2 TCS).
12. Kontraktor dapat mengelola data hasil kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di
Wilayah Kerjanya yang meliputi perolehan, pengadministrasian, pengolahan,
penataan, penyimpanan, dan pemeliharaan selama jangka waktu kontrak; kecuali
pemusnahan data.
13. Kontraktor dapat mengalihkan, menyerahkan, dan memindahtangankan sebagian
atau seluruh hak dan kewajibannya (participating interest) kepada pihak lain
setelah mendapat persetujuan Menteri berdasarkan pertimbangan Badan
Pelaksana.
14. Kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) dan pengutamaan pasokan ke
pasar domestik.
Pemerintah mendapat bagian awal yang disebut First Tranche Petroleum (FTP)
sebesar 10% langsung (non-share) dari Gross Revenue (GR). Kemudian setelah GR
dikurangi FTP dan Cost Recovery (CR), Pemerintah mendapat bagian bersih (setelah
mendapat tambahan hasil pemotongan pajak dengan effective tax rate 44% dari bagian
Kontraktor) 55% dari Equity To be Split (ETS). Sehingga total hak Pemerintah adalah
10% GR ditambah 55% ETS. Sementara hak Kontraktor adalah CR ditambah 45%
ETS.
Sampai Desember 2011 ada 42 Wilayah Kerja (WK) CBM yang telah ditandangani
kontrak PSC-nya. Terdiri dari 7 kontrak ditandatangani di tahun 2008, 13 kontrak di
tahun 2009, 3 kontrak di tahun 2010, dan 19 kontrak di tahun 2011 (termasuk 3 kontrak
terakhir yang ditandatangani pada tanggal 19 Desember 2011). Semua KKKS CBM
tersebut
masih
berstatus
eksplorasi,
belum
menyerahkan
Rencana
[2]
Pengembangan Lapangan (Plan of Development/PoD).
Sumur CBM rata-rata menghasilkan hanya sekitar 200 MSCFD. Jadi untuk menghasilkan
2-3 MMSCFD diperlukan sekitar 10-15 sumur setelah dewatering period antara 6 bulan
sampai 5 tahun. Jadi dapat dibayangkan berapa lama modal investor akan kembali apabila
menggunakan prosedur yang sama seperti dalam PSC migas konvensional. Tentunya akan
lebih baik dan lebih fair apabila gas dimanfaatkan untuk kepentingan bersama (artinya
sudah ada pembagian hasil) daripada dibakar. [2]
TEKNOLOGI TERAKHIR
Sebagai informasi, sumber daya terbesar sebesar 6,49 TCS ada di blok Sangatta-1 dengan
operator Pertamina hulu energi methane Kalimantan A dengan basin di Kutai. Disusul Indragiri
hulu dengan operator Samantaka mineral prima dengan basin Sumatera Selatan yang mempunyai
sumber daya 5,50 TCS, dan sumber daya paling rendah terlatak di blok Sekayu yang dioperatori
Medco SBM Sekayo dengan basin Sumatera Selatan, dengan sumber daya 1,70 TCS. [3]
Gambar 9. Sumur CBM dioperatori Medco, dikabupaten Muara Enim, Sumur Rambutan,
Sumatra Selatan. [3]
Daftar Pustaka:
[1] http://rhaydenmazzrhezky.blogspot.co.id/2014/09/coal-bed-methane-cbm.html
[2] http://gamil-opinion.blogspot.co.id/2012/05/pengembangan-gas-metana-batubara.html
[3] http://majalahenergi.com/forum/energi-baru-dan-terbarukan/bentuk-energi-baru/coal-bed-methan-bentuk-energi-masa-depan