Anda di halaman 1dari 11

TUGAS KAJIAN TENTANG GAS METANA BATUBARA

Definisi
Gas Metana Batubara (GMB) atau biasa disebut dengan Coal Bed Methana (CBM)
Batubara adalah batuan yang kaya karbon berasal dari bahan tumbuhan (gambut) yang
terakumulasi di rawa-rawa dan kemudian terkubur bersamaan dengan terjadinya prosesproses geologi yang terjadi. Dengan meningkatnya kedalaman penguburan, bahan tanaman
mengalami pembatubaraan dengan kompaksi / pemampatan, melepaskan zat fluida (air,
karbon dioksida, hidrokarbon ringan, termasuk metana) karena mulai berubah menjadi
batubara. Dengan pembatubaraan dengan pendekatan yang sedang berlangsung, batubara
menjadi semakin diperkaya dengan karbon DNA terus mengusir zat terbang. Pembentukan
metana dan hidrokarbon lain adalah hasil dari pematangan termal pada bara, dan mulai di
sekitar sub-bituminous A untuk tahap tinggi mengandung bitumen-bitumen peringkat C,
dengan jumlah metan yang dihasilkan meningkat secara signifikan. [1]

Gambar 1. Proses Pematangan Batubara[1]


Batubara dangkal memiliki peringkat rendah dan mungkin belum bias menghasilkan metana
dalam jumlah yang besar. Lebih dalam batu bara ini terkubur maka akan mengalami tingkat
pematangan metana yang lebih tinggi.
PROSES PEMBUATAN
Mengeluarkan Gas Metan pada Batubara
Gas metan tersimpan dalam batubara sebagai komponen gas yang teradsorpsi
pada atau di dalam matriks batubara dan gas bebas dalam struktur micropore atau
cleat lapisan batubara. Gas ini berada di tempat tempat yg menjebaknya terutama
karena adanya tekanan reservoir. Apabila kita dapat mengurangi tekanan reservoir ini,
maka memungkinkan gas yang terperangkap akan dapat keluar dari micropore pada
batubara ini. Untuk mengeluarkan gas metan ini tentusaja harus mengurangi tekanan
dengan mengalirkan seluruh fluida yang ada terutama air. Air akan sangat banyak
terdapat dalam sela-sela lapisan (cleat) juga micropore (porositas mikro) pada
batubara ini. Pada proses penambangan batubara, sering juga dijumapi air ini.
Seringkali air membanjiri pada lubang-lubang pertambangan batubara. Dan tentu saja

diikuti oleh keluarnya gas-gas metan. Itulah sebabnya seringkali terdengar adanya
ledakan tambang yang merupakan akibat terbakarnya gas metan yang terakumulasi
dilubang tambang. Untuk mengurangi resiko ledakan terowongan tambang serta
memanfaatkan gas metan yang keluar inilah maka ide CBM muncul sebagai solusi
untuk dua hal yang saling berhubungan. Dalam proses pengeluaran air inilah gas akan
secara bersama-sama ikut terproduksi. Jumlah air yang terproduksi semakin lama
semakin berkurang sedangkan jumlah gas yang ikut terproduksi bertambah. Proses ini
disebut dewatering. Proses dewatering ini memakan waktu yang cukup lama
bahkan hingga 3 tahun untuk mengetahui sebesarapa besar kapasitas produksi sumur
ini. Berbeda dengan proses produksi minyak dan gas konvensional dimana tekanan
gas cukup besar sehingga gas akan keluar dahulu yang kemudian akan diikuti oleh air.
Dibawah ini perbandingan komposisi air dan gas pada proses pengurasan air hingga
proses memproduksi gas. [1]

Gambar 2. Proses Pengeluaran Gas Metan pada Batubara[1]

Tahap Produksi CBM


Tentusaja pada saat awal sumur ini dipompa hanya air yang diproduksi. Setelah
tekanan pori-porinya berkurang maka gas akan keluar. Proses awal inilah yang
memerlukan kesabaran, karena dapat memakan waktu hingga 3 tahun, bahkan
mungkin 5 tahun masih akan memproduksi air.
Walaupun memakan waktu cukup lama, saat ketika memproduksi air ini akan tetap
terproduksi gas metana walau dalam jumlah yang sangat kecil. Juga gas ini tentu saja

memiliki tekanan yang sangat rendah. Bahkan sering diperlukan kompressor untuk
mempompakan gas ke penampungan. [1]

Gambar 3. Grafik Produksi Methane[1]

Perbedaan CBM dengan Gas Konvensional


Gas konvensional memiliki tekanan cukup tinggi sehingga produksi awalnya
sangat besar dengan sedikit atau bahkan tanpa air yang ikut terproduksi. Dengan
tekanan yang seringkali sangat tinggi ini menjadikan gas ini dapat ditransfer
melalui pipa tanpa perlu pompa. Gas konvensional berisi metana C1H4 dan
komponen-komponen gas hidrokarbon lainnya, bahkan dapat juga mengandung
gas butana atau bahkan pentana yang sering kali menghasilkan kondensat
Gas CBM seringkali berada pada lapisan batubara yang dangkal, sehingga
memiliki tekanan yang sangat rendah. Pada masa produksi awal justru hampir
100% air. Dengan tekanan rendah ini maka apabila akan mengalirkan gas ini
memerlukan kompressor untuk mendorong ke penampungan gas. Isinya diatas
95% hanya metana. Gas lainnya sangat sedikit. Sehingga sering disebut drygas
atau gas kering. [1]

Penyimpanan Gas pada Reservoir CBM


Methane terdapat dalam batubara karena salah satu dari tiga tahap berikut
yaitu : (a) Sebagai molekul yang terserap pada permukaan organik, (b) Sebagai
gas bebas dalam pori atau rekahan, dan (c) Terlarut dilarutan dalam coalbed
(Rightmire, C T et al., 1984). Namun, methane dalam jumlah besar terdapat dalam
batubara terserap pada lapisan monomolecular dan hanya ada sedikit gas bebas
yang berada pada cleat. Proses penyerapan ini dipengaruhi oleh tekanan,
temperatur dan tingkatan batubara. Peningkatan tekanan dan tingkatan batubara
dan penurunan temperatur, maka kapasitas methane dalam batubara akan
meningkat. Jadi umumnya lapisan batubara yang lebih dalam memiliki jumlah
metahane yang lebih besar pada rank yang sama, selain itu, semakin tinggi rank
maka kapasitas penyimpanan akan meningkat pula. [1]

Gambar 4. Hasil dari Proses Produksi (Lapisan)


Jumlah methane yang dihasilkan dari proses perubahan dari peat menjadi
anthracite lebih besar dari pada kapasitas batubara untuk menyerapnya.
jumlah methane (dan gas-gas yang lainnya) yang dihasilkan selama proses
coalifikasiumumnya meleang bihi kapasitas penyimpanan batubara, dan kelebihan
methane ini seringkali bermigrasi ke sekeliling lapisan. Contohnya, kandungan
gas yan tertinggi untuk batubara anthracite di Amerika sebesar 21.6 m3/ton3,
hanya sekitar 12% dari jumlah methane yang dihasilkan selama prosescoalifikasi
secara teoritis (Boyer, 2012). Fakta ini dapat dijelaskan karena tekanan
tekanannya saat ini telah berkurang banyak dibandingkan tekannanya saat
terbentuk dan jumlah gas yang dihasilkan biasanya melebihi kapasitas penyerapan
lapisan batubara.
Hubungan antara tekanan dan kapasitas batubara dapat dijelaskan
menggunakan Langmuirs Isoterm. Secara umum, kaspasitas batubara untuk
menyerap gas berupa fungsi non-linear tekanan. Desorption isoterm menunjukkan
kosentrasi gas yang terserap pada matriks abtubara berubah sebagai fungsi
tekanan gas bebas di sistem cleat batubara. Oleh karena itu, ini menunjukkan
hubungan antara aliran di sistem matriks dan aliran di sistem cleat. Hubungan
non-linear didefinisikan dengan persamaan Langmuir.
Hasil lain dari proses coalifikasi adalah air. Air memiliki tempat yang penting
dalam analisa CBM. Air dapat tersimpan dibatubara melalui dua cara, yaitu : (a)
sebagai air yang terikat di matriks batubara dan (b) sebagai air bebas pada cleat.
Matriks yang mengikat air tidak mobile dan menunjukkan pengaruh yang
signifikan dalam recovery methane dari batubara. Namu, air bebas pada cleat
merupakan salah satu parameter yang penting dalam produksi methane. Air bebas
bersifat mobile pada saturasi air yang tinggi (lebih besar dari 30%). Banyak
endapan batubara merupakan sistem aquifer yang aktif dan saturasi airnya 100%
pada cleat. [1]

Mekanisme Perpindahan Gas Dalam Reservoir


Produksi CBM melalui 3 tahap selama life-timenya. Kelakuannya sangat
berbeda dari sumur gas konvensional. Profil produksi sumur CBM ditunjukkan
pada Gambar 4. Selama tahap I, sumur CBM mengalami produksi air yang

konstan dengan peningkatan produksi gas serta penurunan tekanan alir dasar
sumur yang sangat rendah bahkan dapat diabaikan. Awalnya, sumur CBM
dipenuhi dengan air karena terbebaskan pada saat proses coalifikasi. Air mengisi
jaringan cleat yang utama. Untuk memproduksikan gas maka air yang mengisi
sebagian besar cleat harus dikeluarkan. Secara teori, produksi air akan
mengurangi tekanan hydarulic pada batubara karena pelepasan gas. Proses ini
dikenal sebagaidewatering. Waktu proses dewatering dan jumlah air yang
terproduksi sangat bervariasi. Akibatnya akan sangat sulit untuk memperkirakan
pengaruhnya dalam hal keekonomiannya. Oleh karena itu, lapisan batubara harus
dikontrol dengan sifat fisiknya. Sifat fisik utama yang mempengaruhi efisiensi
prosesdewatering antara lain permeabilitas, kandungan gas yang diserap, kura
permeabilitas relatif dan kurva tekanan kapiler, koefiesien difusi dan desorption
isoterm. Diakhir tahap pertama, sumur akan memiliki tekanan alir dasar sumur
yang minimum.
Tahap kedua ditandai dengan menurunnya produksi air dan meningkatnya laju
produksi gas. Permeabilitas relatif air akan menurun dan permeabilitas relatif gas
akan naik. Batas terluar menjadi sangat signifikan dan laju pelepasan gas akan
berubah secara dinamis. Batas antara tahap II dan III ditandai dengan dicapainya
puncak laju alir gas. Selama tahap III proses dewatering tetap terjadi tapi
jumlahnya sangat sedikit bahkan dapat diabaikan. [1]

Gambar 5. Tahapan Perpindahan Gas


POTENSI INDONESIA DALA MENGEKSPLORASI GAS METAN & SHALE GAS
Potensi serta Cadangan CBM Dunia dan Indonesia
Mayoritas cadangan (reserve) CBM yang telah teridentifikasi terdapat di Rusia,
Amerika Serikat (termasuk Alaska), China, Australia, Kanada, Inggris (UK), India,
Ukraina, dan Kazakhstan. Berdasarkan estimasi, secara worldwide terdapat lebih dari

6000 TCF (trillion cubic feet) gas CBM di tempat (Original Gas In Place
OGIP). Negara-negara yang telah memproduksikan CBM secara komersial adalah
Amerika Serikat, Kanada, Australia, India, dan China. Produksi CBM di seluruh
dunia saat ini berada di level 6 BCFD (Miliar kaki kubik per hari). Sekitar 5 BCFD
produksi CBM berada di Amerika Serikat yang merupakan 10% dari total produksi
gasnya. [2]
Indonesia memiliki cadangan coalbed methane (CBM) yang cukup besar yaitu sekitar
350-400 triliun cubic feet (TCF) atau ketujuh di dunia. Cadangan itu tersebar di
berbagai cekungan yang ada. Potensi sumberdaya yang begitu besar ini seharusnya
dikembangkan menjadi salah satu sumber energi alternatif pengganti BBM.
Berdasarkan data Bank Dunia, konsentrasi potensi terbesar terletak di Kalimantan dan
Sumatera. Di Kalimantan Timur, antara lain tersebar di Kabupaten Berau dengan
kandungan sekitar 8,4 TCS, Pasir/Asem (3 TCS), Tarakan (17,5 TCS), dan Kutai
(80,4 TCS). Kabupaten Barito, Kalimantan Tengah (101,6 TCS). Sementara itu di
Sumatera Tengah (52,5 TCS), Sumatera Selatan (183 TCS), dan Bengkulu 3,6 TCS,
sisanya terletak di Jatibarang, Jawa Barat (0,8 TCS) dan Sulawesi (2 TCS).

Gambar 6. Sumberdaya CBM di Indonesia[2]


Sementara di Indonesia hingga Desember 2011 beberapa Wilayah Kerja (WK) CBM
baru dalam proses sertifikasi cadangan, sehingga angka yang ada baru merupakan
potensi sumberdaya CBM saja, yaitu sebesar 453,3 TCF yang terdapat dalam 11
cekungan (basin) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Potensi sumberdaya
CBM ini lebih besar dibandingkan sumberdaya gas konvensional sebesar 384,7 TCF.

Faktor Yang Mendorong Pengusahaan CBM


Beberapa pemicu pengusahaaan CBM di Indonesia:

1. Kenaikan harga minyak di pasar internasional, sehingga Indonesia yang sejak


tahun 2004 sudah menjadi importir netto minyak bumi dan menjalankan
kebijakan subsidi energi sejak lama harus mencari energi alternatif lain sebagai
upaya mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi.
2. Tumbuhnya pasar domestik gas sebagai akibat tumbuhnya industrialisasi,
penambahan pembangunan pembangkit tenaga listrik, dan bertambahnya
pemukiman.
3. Kurangnya pasokan gas (gas shortage) untuk kebutuhan domestik karena
produksi gas konvensional dari wilayah-wilayah kerja yang ada sudah terikat
kontrak dengan negara-negara asing selaku pembeli.
4. Potensi sumber daya CBM di Indonesia yang menjanjikan.
5. Naiknya harga gas di pasar domestik.

Dasar Hukum dan Model Tata Kelola Pengusahaan CBM


Dasar hukum:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) dan (3).
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi.
3. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bumi yang telah diamandemen dengan PP No. 34/2005 (Pasal 1 ayat 2,
6, dan 7 Pasal 103).
4. Permen ESDM 1669K/30/MPE/1998 tentang Implementasi Bisnis Gas Metana
Batubara.
5. Permen ESDM No. 033 Tahun 2006 yang diamandemen dengan Permen ESDM
No. 036 Tahun 2008 tentang Pengusahaan Gas Metana Batubara.
Model tata kelola pengusahaan CBM:
1. Aktivitas CBM termasuk dalam rejim minyak dan gas bumi.
2. Kendali manajemen dipegang oleh BPMIGAS.
3. Model Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau Production Sharing
Contract (PSC).
4. Kontraktor adalah Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberikan
wewenang untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah
kerja CBM berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana.
5. Kontraktor menyediakan seluruh dana, teknologi, dan tenaga ahli yang
dibutuhkan dalam operasi CBM.
6. Kontraktor menanggung risiko kegiatan.
7. Kontraktor mendapatkan pengembalian seluruh biaya operasi.
8. Produksi yang telah dikurangi biaya operasi, dibagi antara Pemerintah dan
Kontraktor.
9. Kontraktor diijinkan mengadakan eksplorasi selama 6 s.d. 10 tahun, dan
eksploitasi 20 tahun atau lebih, dengan total jangka waktu kontrak 30 tahun.
10. Kontraktor wajib mengembalikan sebagian Wilayah Kerjanya secara bertahap
atau seluruhnya kepada Menteri melalui Badan Pelaksana, sesuai dengan Kontrak
Kerja Sama.
11. Seluruh barang operasi/peralatan yang diimpor dan dibeli Kontraktor menjadi
milik Pemerintah setelah tiba di Indonesia, kecuali peralatan yang disewa.

12. Kontraktor dapat mengelola data hasil kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di
Wilayah Kerjanya yang meliputi perolehan, pengadministrasian, pengolahan,
penataan, penyimpanan, dan pemeliharaan selama jangka waktu kontrak; kecuali
pemusnahan data.
13. Kontraktor dapat mengalihkan, menyerahkan, dan memindahtangankan sebagian
atau seluruh hak dan kewajibannya (participating interest) kepada pihak lain
setelah mendapat persetujuan Menteri berdasarkan pertimbangan Badan
Pelaksana.
14. Kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) dan pengutamaan pasokan ke
pasar domestik.
Pemerintah mendapat bagian awal yang disebut First Tranche Petroleum (FTP)
sebesar 10% langsung (non-share) dari Gross Revenue (GR). Kemudian setelah GR
dikurangi FTP dan Cost Recovery (CR), Pemerintah mendapat bagian bersih (setelah
mendapat tambahan hasil pemotongan pajak dengan effective tax rate 44% dari bagian
Kontraktor) 55% dari Equity To be Split (ETS). Sehingga total hak Pemerintah adalah
10% GR ditambah 55% ETS. Sementara hak Kontraktor adalah CR ditambah 45%
ETS.

Gambar 7. Tata Hitung Fiskal PSC CBM[2]

Road Map Pengembangan CBM di Indonesia


Menurut road map pengembangan CBM, upaya eksplorasi dan eksploitasi CBM
sudah dimulai sejak tahun 1998. Tahun 2004 Pemerintah (melalui LEMIGAS)
mensponsori pemboran sumur CBM di Blok Rambutan (Sumatera Selatan). Tahun
2008 kontrak CBM model Production Sharing Contract (PSC) ditandatangani untuk
yang pertama kalinya. Tahun 2011 Pemerintah menargetkan pemanfaatan CBM lebih
awal untuk mengenergisasi pembangkit listrik skala kecil (mini) dengan kapasitas 1
MWe (mega watt listrik). Lalu secara bertahap sampai tahun 2025 akan dilakukan
pengembangan lapangan CBM secara komersial sampai mencapai level produksi
1500 MMSCFD secara nasional dengan tingkat produksi rata-rata 250 MSCFD per
sumur. [2]

Gambar 8. Road MAP pengembangan CBM di Indonesia[2]

Program Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan CBM


Program percepatan pengembangan dan pemanfaatan CBM jangka pendek dan
jangka panjang seperti yang dipaparkan Ditjen Migas pada salah satu Lokakarya
CBM di Januari 2010: [2]
Jangka Pendek (2009 s.d. 2011):
1. Penyusunan Pedoman Pengusahaan Gas Metana Batubara;
2. Penyesuaian Ketentuan Pokok dan Syarat-Syarat KKS CBM;
3. Percepatan pelaksanaan Firm Commitment oleh 5 (lima) KKS CBM (Blok
CBM Sekayu, Blok CBM Sangatta I, Blok CBM Kutai, Blok CBM Tanjung
Enim, dan Blok CBM Barito Banjar II untuk produksi pada/sebelum tahun
2011;
4. Penyelesaian monetisasi lapangan Rambutan (Pilot Project CBM) yang telah
dibiayai oleh APBN dalam rangka pemanfaatan CBM untuk kelistrikan tahun
2011;
5. Identifikasi rencana pemanfaatan CBM untuk pembangkit listrik, terutama
listrik pedesaan di sekitar 5 (lima) Blok CBM pada butir di atas oleh PLN;
6. Penyusunan RKAP dan RUPTL oleh PLN;
7. Penawaran 25 (dua puluh lima) wilayah kerja CBM sampai dengan tahun 2011;
8. Kajian Pemberian Insentif Pengusahaan CBM. [2]
Jangka Panjang (2012 s.d. 2025):
1. Penandatanganan 20 (dua puluh) KKS.
2. Penawaran 70 (tujuh puluh) wilayah kerja CBM sampai dengan tahun 2014;
3. Produksi CBM sebesar 500 MMSCFD pada tahun 2015;
4. Produksi CBM sebesar 1000 MMSCFD pada tahun 2020;
5. Produksi CBM sebesar 1500 MMSCFD pada tahun 2025. [2]

Sampai Desember 2011 ada 42 Wilayah Kerja (WK) CBM yang telah ditandangani
kontrak PSC-nya. Terdiri dari 7 kontrak ditandatangani di tahun 2008, 13 kontrak di
tahun 2009, 3 kontrak di tahun 2010, dan 19 kontrak di tahun 2011 (termasuk 3 kontrak
terakhir yang ditandatangani pada tanggal 19 Desember 2011). Semua KKKS CBM
tersebut
masih
berstatus
eksplorasi,
belum
menyerahkan
Rencana
[2]
Pengembangan Lapangan (Plan of Development/PoD).

Komersialisasi CBM Sebelum PoD


Program jangka pendek Pemerintah terkait pemanfaatan CBM yang sedang diupayakan
saat ini adalah terwujudnya pemenuhan kebutuhan bahan bakar gas untuk kelistrikan
mulai tahun 2011, baru kemudian seiring peningkatan produksi, CBM akan diarahkan
untuk pemenuhan kebutuhan gas bumi nasional. Seperti yang diberitakan website
BPMIGAS (www.bpmigas.go.id, 4 November 2011), Indonesia telah memulai
memanfaatkan gas non konvensional untuk pembangkit listrik. Hal ini ditandai dengan
penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) mengenai jual beli CBM dari Virginia
Indonesia Company (VICO) kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada tanggal 4
November 2011. Melalui MoU ini, VICO akan memasok 0,5 MMSCFD (juta kaki kubik
per hari) CBM ke PLN dalam jangka waktu minimal 5 tahun. Pasokan CBM ini berasal
dari KKKS CBM Sanga-sanga di Kalimantan Timur. Nota Kesepahaman ini masih
bersifat tidak mengikat, akan tetapi pihak yang terlibat saat ini sedang bekerja untuk
merumuskan butir-butir kesepakatan penjualan gas yang akan menjadi bagian dari
Perjanjian Jual Beli Gas atau Gas Sales and Purchase Agreement (GSPA). Perjanjian ini
akan ditandatangani kemudian dan akan menjadi dasar untuk pengiriman gas yang
diharapkan akan dimulai di akhir 2011. Pada fase dewatering, PLN membeli listrik dari
pengembang CBM untuk melistriki warga, khususnya di sekitar lokasi pengembangan
CBM. Pada fase produksi, cakupan pemanfaatan CBM akan diperluas. Gas metana yang
dihasilkan akan dibeli PLN bisa dalam bentuk gas, CNG maupun LNG, untuk memasok
pembangkit besar setempat maupun di lokasi lain. [2]
Skenario komersialisasi CBM sebelum PoD merupakan salah satu bentuk insentif bagi
Kontraktor dan diakomodir dalam Artikel 6.3 kontrak PSC CBM, yang mengatur hal-hal
berikut:
1. Sebelum adanya persetujuan PoD oleh Pemerintah, CBM yang diproduksikan
selama fase eksplorasi dapat dijual ke pasar domestik berdasarkan perjanjian jualbeli gas, dan harus dengan persetujuan Pemerintah Indonesia melalui BPMIGAS.
2. Pembagian langsung dari Gross Revenue, tidak dipotong biaya Cost Recovery,
dengan porsi netto setelah pajak 55% untuk Pemerintah dan 45% untuk
Kontraktor. [2]
Earlier commercialization atau pemanfaatan CBM pre-PoD ini memberikan keuntungan
bagi kedua belah pihak, baik Pemerintah maupun Kontraktor KKS:
1. Bagi Pemerintah: dapat segera merasakan manfaat kerja sama dengan
menggunakan produksi CBM untuk pembangkit tenaga listrik.
2. Bagi Investor (Kontraktor): mereka dapat mendapatkan pengembalian lebih awal
terhadap biaya yang telah dikeluarkan, meskipun belum tentu kembali modal.

Sumur CBM rata-rata menghasilkan hanya sekitar 200 MSCFD. Jadi untuk menghasilkan
2-3 MMSCFD diperlukan sekitar 10-15 sumur setelah dewatering period antara 6 bulan
sampai 5 tahun. Jadi dapat dibayangkan berapa lama modal investor akan kembali apabila
menggunakan prosedur yang sama seperti dalam PSC migas konvensional. Tentunya akan
lebih baik dan lebih fair apabila gas dimanfaatkan untuk kepentingan bersama (artinya
sudah ada pembagian hasil) daripada dibakar. [2]
TEKNOLOGI TERAKHIR
Sebagai informasi, sumber daya terbesar sebesar 6,49 TCS ada di blok Sangatta-1 dengan
operator Pertamina hulu energi methane Kalimantan A dengan basin di Kutai. Disusul Indragiri
hulu dengan operator Samantaka mineral prima dengan basin Sumatera Selatan yang mempunyai
sumber daya 5,50 TCS, dan sumber daya paling rendah terlatak di blok Sekayu yang dioperatori
Medco SBM Sekayo dengan basin Sumatera Selatan, dengan sumber daya 1,70 TCS. [3]

Gambar 9. Sumur CBM dioperatori Medco, dikabupaten Muara Enim, Sumur Rambutan,
Sumatra Selatan. [3]
Daftar Pustaka:
[1] http://rhaydenmazzrhezky.blogspot.co.id/2014/09/coal-bed-methane-cbm.html
[2] http://gamil-opinion.blogspot.co.id/2012/05/pengembangan-gas-metana-batubara.html
[3] http://majalahenergi.com/forum/energi-baru-dan-terbarukan/bentuk-energi-baru/coal-bed-methan-bentuk-energi-masa-depan

Anda mungkin juga menyukai