Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN UMUM

II.1. Potensi Coal Bed Methane (CBM) Di Indonesia


Menurut data Kementerian ESDM (2012), di Indonesia sudah banyak
daerah dengan potensi Coal Bed Methane (CBM) yang cukup tinggi. Dari studi
awal diperoleh sekitar 213 TCF CBM gas in place, dan studi ini menjadikan
Indonesia sebagai negara ke-7 dengan potensi Coal Bed Methane (CBM) tertinggi
di dunia. Studi lainnya mencatat bahwa sekitar 453,3 TCF potensial CBM tersebar
di 11 coal basin di Indonesia (Gambar 2.1), yaitu di Ombilin, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Jatibarang, Barito, Kutai, Taraan, Berau, Pasir, Asam-asam, dan
Sulawesi Tenggara, dengan cadangan terbesar di Sumatera Selatan sebesar 183
tcf. Meskipun Indonesia memiliki potensi CBM yang sangat besar, akan tetapi
lingkungan atau daerah yang harus dikembangkan hampir semuanya merupakan
daerah yang memiliki karakter yang sangat menantang. Sejak bulan April 2005
telah dilakukan pengeboran satu sumur di Pandopo Rambutan, Prabumulih,
Sumatera Selatan oleh Badan Litbang ESDM dan Lemigas.

Sumber: Data Kementerian ESDM


Gambar 2.1. Potensi Coal Bed Methane (CBM) di Indonesia

II-1
II-2

II.2. Cadangan Coal Bed Methane (CBM) Dunia


Estimasi cadangan metana dunia bervariasi (Gambar 2.2)
2.2), namun
perkiraan 1997 dari US Geological Survey memperkirakan lebih dar
dari 700 triliun
cu ft (20 Tm³)
³) metana di AS. Pada harga gas alam sebesar US $ 6,05 per juta Btu
(US $ 5.73/GJ),
.73/GJ), bahwa volume bernilai US $ 4,37 triliun. Setidaknya 100 triliun
cu ft (2,8 Tm³) itu secara ekonomi layak untuk menghasilkan. Di Kanada, British
Columbia diperkirakan memiliki sekitar 90 triliun cu ft (2.500 km3) gas metana.
Sampai saat ini satu--satunya
satunya provinsi dengan komersial sumur gas metan yaitu
Alberta, diperkirakan memiliki sekitar 170 × 1012 cu ft (4.800 km3) dari gas
metan secara ekonomis dapat diperoleh.

Sumber: Oilfield Review Summer 2009: 21, no. 2. © 2009 Schlumberger.


Gambar 2.2. Cadangan Coal Bed Methane (CBM) Dunia

II.3. Dampak Positif Pengembangan Coal Bed Methane (CBM)


Sumur Coal Bed Methane (CBM) dapat memberikan dampak positif
dengan mengurangi proses alamiah yang dikenal sebagai migrasi metana
metana, yang
terjadi saat kebocoran metana ke daerah penduduk dan mencemari sumber air.
Meskipun migrasi metana dapat terjadi secara alami atau dapat berasal dari
operasi pertambangan batubara, beberapa ahli percaya bahwa ekstraksi metana
dari lapisan batubara bersama
bersama dengan sumur pengembangan tambahan justru
II-3

menguatkan proses migrasi. Meskipun ada potensi dampak lingkungan yang


negatif yang berkaitan dengan CBM, ekstraksi dan pemanfaatan tidak
menyebabkan gas metan yang akan secara alamiah terbe
terbebaskan selama
pertambangan batubara
bara ke atmosfer. Sebagai gas rumah kaca, metana diyakini
paling kuat dari semua agen pemanasan. Dengan pemanfaatan dalam proses
combustible engine),
pembakaran (combustible engine gas ini akanmenjadi CO2 dan H2O yang dinilai
lebih ramah dibandingkan dengan melepas gas metan ke atmosfer. Membatasi
jumlah metana yang keluar sebagai gas metana tidak hanya bermanfaat bagi
lingkungan, namun juga meningkatkan aspek keselamatan penambangan. Saat ini
gas-gas
gas CBM masih diperlakukan seperti gas konvensional
konvensional dalam
pemanfaatannya (Gambar 2.3),
2.3) digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan gas
pada umumnya, sebagai feedgas (gas masukan bahan dasar) pada pembuatan
LNG, dapat dipipakan untuk konsumsi rumah tangga setelah diproses, dan dapat
digunakan sebagai penggerak dan bahan bakar
bak generator listrik.

Gambar 2.3.. Pemanfaatan Coal Bed Methane (CBM)


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1. Karakteristik Coal Bed Methane (CBM)

Karakteristik Coal Bed Methane (CBM) dipengaruhi oleh beberapa


parameter, yaitu lingkungan pengendapan, distribusi batubara, peringkat batubara,
kandungan gas, permeabilitas, porositas, struktur geologi, dan kondisi
hidrogeologi. Gas metana bukan satu-satunya gas yang terdapat dalam batubara,
tetapi gas ini dapat mencapai 80-95% dari total gas yang ada. Berbagai tipe
batubara memiliki tingkat penyerapan gas yang berbeda. Kapasitas penyerapan
batubara meningkat seiring dengan meningkatnya peringkat batubara, mulai dari
lignit hingga bituminus, kemudian menurun pada batubara bituminus tingkat
tinggi hingga antrasit (Gambar 3.1).

Sumber: Oilfield Review Summer 2009: 21, no. 2. © 2009 Schlumberger.


Gambar 3.1. Pengaruh type batubara terhadap produktifitas CBM

Coal Bed Methane (CBM) terdapat dalam dua bentuk, yaitu terserap
(adsorbed) dan bebas. Gas dapat tersimpan dalam mikropori batubara karena
batubara mempunyai kapasitas serap (adsorption) (Gambar 3.2). Besar kecilnya
kapasitas serap di dalam batubara dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
tekanan, temperatur, kandungan mineral, kandungan air, peringkat batubara, dan
komposisi maseral batubara. Semakin besar tekanan, kapasitas serapan juga
semakin besar.

III-1
III-2

Sumber: Geologi Magazine, ESDM


Gambar 3.2. Mekanisme masuknya Coal Bed Methane (CBM) kedalam batubara

Pada saat mendekati batas jenuh, kecepatan serapnya semakin berkurang.


Apabila tekanan berkurang maka akan memperbesar pelepasan gas ((desorption).
Oleh karena itu, dengan meningkatnya kedalaman, kandungan gas dalam batubara
akan semakin besar. Kelimpahan kandungan gas dalam batubara juga dipengaruhi
oleh komposisi maseral dalam batubara, yaitu mineral khas batubara. Potensi
pembentukan gas metana secara langsung akan berkaitan dengan komposisi
maseral. Maseral yang mengandung banyak hidrogen akan lebih banyak
silkan gas metana. Batubara yang kaya akan inertinit tidak akan
menghasilkan
menghasilkan metana yang banyak karena inertinit relatif berpotensi kecil untuk
menghasilkan hidrokarbon.
hidrokarbon Namun, maseral liptinit akan paling banyak
menghasilkan gas metana. Maseral liptinit cocok
ocok untuk proses hidrogenisasi
karena liptinit mempunyai kandungan hidrogen yang paling tinggi, disusul dengan
maseral vitrinit yang dapat dengan mudah terhidrogenisasi yang terdapat dalam
batubara peringkat rendah.
Gas metana batubara pada dasarnya hanya akan terikat pada fraksi organik
dari batubara. Dalam batubara terdapat pengotor dalam berbagai bentuk yang
biasanya disebut unsur mineral, atau dalam analisis kimia dicerminkan oleh
kandungan abu dan sulfurnya. Dalam hal ini unsur mineral tersebut menemp
menempati
ruang yang seharusnya dapat dipakai untuk menempelnya gas dalam mikropori
III-3

batubara. Semakin tinggi kandungan unsur mineral, semakin kecil kapasitas


serapan gasnya. Pada prinsipnya kandungan air (moisture) dalam batubara
mempunyai sifat yang sama dengan unsur mineral dalam kaitannya dengan
kapasitas serapan gas dalam batubara. Semakin tinggi kandungan air dalam
batubara, semakin kecil kapasitas serap gasnya.

III.2. Teknologi Produksi Coal Bed Methane (CBM)


Teknologi produksi Coal Bed Methane (CBM) telah mengalami banyak
perkembangan dalam 2 dekade terakhir. Teknik pemboran konvensional untuk gas
alam umumnya dapat diaplikasikan pada pemboran CBM. Sebelum pada tahap
komersial dimana CBM dapat diproduksi, dilakukan pengetesan sumur pada 4
atau 5 sumur pertama. Pemboran CBM umumnya hampir sama dengan pemboran
untuk minyak dan gas (Gambar 3.3). Bahkan dalam beberapa daerah, peralatan
pemboran hampir sama dengan pemboran untuk air. selain itu, di beberapa tempat
pemboran berarah (Directional Drilling) dan pemboran horizontal diterapkan
untuk mengoptimalkan produksi, tergantung daerah CBM-nya.

Sumber: Oilfield Review Summer 2009: 21, no. 2. © 2009 Schlumberger.


Gambar 3.3. Pemboran Coal Bed Methane (CBM)

Pemboran horizontal sekarang ini sedang dirintis untuk pemboran CBM.


Pemboran horizontal ini dilakukan dengan cara mengebor beberapa ratus kaki
III-4

secara vertikal kemudian dibelokkan secara horizontal sampai kurang lebih 4000
ft. Hydraulic Fracturing atau lebih dikenal sebagai Fracturing adalah suatu teknik
untuk meningkatkan luas area permukaan batubara. Sistem fluida dan additive
yang bisa digunakan pada sumur-sumur konvensional tidak cocok digunakan
untuk sumur-sumur CBM. Hal ini dikarenakan lapisan batubara memiliki
karakteristik yang unik sehingga dibutuhkan material yang spesial. Beberapa
keberhasilan dalam pengembangan CBM telah dicapai ketika suatu pemboran
dikoordinasikan dengan pertambangan batubara, dimana sumur-sumur dibor
sampai lapisan batubara (Coal Bed) atau sedikit diatasnya dimana gas mungkin
akan terproduksi pada saat pemboran berlangsung (Gambar 3.4). Batubara
kemudian ditambang dan kemungkinan lapisan diatasnya akan runtuh yang
membuat lubang besar (gob) yang mungkin akan berhubungan dengan lapisan
batubara diatas lapisan utamanya, gas yang terakumulasi di gob kemudian
dipompa melalui sumur-sumur yang ada.

Sumber: Oilfield Review Summer 2009: 21, no. 2. © 2009 Schlumberger.


Gambar 3.4. Teknik Pengeboran CBM
BAB IV
PEMBAHASAN

IV.1. Proses Pembentukan Coal Bed Methane (CBM)


Coal Bed Methane (CBM) adalah gas metana (CH4) yang dihasilkan dari
proses alami yang terjadi selama proses pembatubaraan (Gambar 4.1)
4.1). Sisa-sisa
tumbuhan yang mati akan membentuk suatu lapisan dan terawetkan melalui
proses biokimia.

Sumber: esdm.go.id
Gambar 4.1. Pembatubaraan dan proses terbentuknya CBM

Gas dalam batubara akan terbentuk


terbentuk secara biogenik akibat dekomposisi
oleh mikroorganisme lalu menghasilkan gas metana dan CO2. Selama proses
pembentukan batubara, sejumlah air dihasilkan bersama-sama
bersama sama dengan gas
(Gambar 4.2).

Gambar 4.2.. Proses terbentuknya CBM bersamaan dengan air

IV-1
IV-2

Pada tahap pembatubaraan yang lebih tinggi, tekanan dan temperatur juga
semakin tinggi (Gambar 4.3).
4.3). Batubara yang kaya akan kandungan karbon, akan
melepaskan kandungan zat terbangnya (volatile
( matter)) seperti metana, CO2, dan
air. Pada kondisi ini gas dalam
dalam batubara akan terbentuk secara termogenik.

Gambar 4.3.. Hubungan jenis batubara dan gas yang dihasilkan

Gas
as metana biogenik, yaitu gas metana yang terbentuk akibat aktivitas
mikroorganisme yang biasanya terjadi di rawa gambut. Gas jenis ini terbentuk
pada fasa awal proses pembatubaraan dengan temperatur rendah. Gas biogenik
dapat terjadi pada dua tahap, yaitu tahap awal dan tahap akhir dari proses
pembatubaraan. Pembentukan gas pada tahap awal diakibatkan oleh aktivitas
organisme pada tahap awal pembentukan
pembentukan batubara, dari gambut, lignit, hingga
subbituminus (Ro < 0,5%). Pembentukan gas ini harus disertai dengan proses
pengendapan yang cepat, sehingga gas tidak keluar ke permukaan.
Pembentukan gas pada tahap akhir diakibatkan oleh aktivitas
mikroorganisme
me juga, tetapi pada tahap ini lapisan batubara telah terbentuk
(Gambar 4.4).. Batubara umumnya juga berperan sebagai akuifer yang dapat
menyimpan dan mengalirkan air, sehingga aktivitas mikroorganisme dalam
akuifer dapat memproduksi gas biogenik.
Gas biogenik dari lapisan batubara subbituminus juga berpotensi menjadi
gas metana batubara. Gas biogenik tersebut terjadi oleh adanya reduksi bakteri
IV-3

dari CO2, yang menghasilkan


mengh metanogen dan bakteri anaerobik yang kuat.
Metanogen menggunakan H2 yang tersedia
edia untuk mengkonversi asetat dan CO2
menjadi metana sebagai produk sampingan metabolismenya. Beberapa metanogen
juga membuat amina, sulfida, dan metanol untuk memproduksi metana.

Gambar 4.4.. Aktfitas mikroorganisme pada pembentukan batubara

Aliran air yang terdapat dalam akuifer batubara dapat memperbaharui


aktivitas bakteri sehingga gas biogenik dapat berkembang hingga tahap akhir.
Pada saat penimbunan maksimum, temperatur maksimum pada lapisan batubara
mencapai 40-90°
90° C. Kondisi ini sangat ideal untuk
untuk pembentukan bakteri metana.
Metana akan terbentuk setelah aliran air bawah permukaan telah berada. Apabila
air tanah turun, tekanan pada reservoir ikut turun. Pada saat ini gas metana
batubara bermigrasi menuju reservoir dari sumber lapisan batubara. Per
Perulangan
kejadian ini merupakan regenerasi dari gas biogenik. Kejadian ini dipicu oleh
naiknya air tanah atau lapisan batubara yang tercuci oleh air. Hal tersebut yang
memberikan indikasi bahwa gas metana batubara merupakan energi yang dapat
diperbaharui.
Jenis
enis gas lainnya adalah gas metana termogenik yang dihasilkan pada saat
terjadinya proses pembatubaraan akibat kenaikan tekanan dan temperatur. Gas ini
terjadi pada batubara yang mempunyai peringkat batubara lebih tinggi, yaitu pada
IV-4

subbituminus A sampai high volatile bituminous ke atas (Ro > 0,6%). Proses
pembatubaraan akan menghasilkan batubara yang lebih kaya akan karbon dengan
membebaskan sejumlah zat terbang utama, yaitu metana (CH4), CO2, dan air.
Sumber karbon dari gas metana termogenik adalah murni dari batubara. Gas-gas
tersebut terbentuk secara cepat sejak peringkat batubara mencapai high volatile
bituminous hingga mencapai puncaknya pada saat peringkat batubara low volatile
bituminous (Ro = 1,6%).

IV.2. Batubara Sebagai Batuan Induk dan Reservoir


Lapisan batubara dapat sekaligus menjadi batuan induk dan reservoir.
Karena itu gas metana batubara dapat diproduksi secara insitu yang tersimpan
pada rekahan (macropore), mesopore, atau micropore (Gambar 4.5). Gas
tersimpan pada rekahan dan sistem pori sampai terjadi perubahan tekanan pada
reservoir oleh adanya air. Saat itulah gas kemudian keluar melalui matriks
batubara dan mengalir melalui rekahan yang terjadi pada saat pembatubaraan
terjadi karena memadatnya batubara oleh pengaruh tekanan dan temperatur
(devolatilization).

Sumber: esdm.go.id
Gambar 4.5. Batubara Sebagai Batuan Induk dan Reservoir

Bertambahnya peringkat batubara mengakibatkan air dalam batubara


keluar dan membentuk rekahan-rekahan. Rekahan tersebut umumnya ortogonal
IV-5

dan hampir tegak lurus dengan perlapisan. Rekahan yang dipengaruhi oleh
tektonik tidak ada bedanya dengan rekahan dari proses pembatubaraan.
Secara geometri rekahan pada batubara dibagi menjadi dua yaitu face
cleat, yaitu rekahan yang bersifat lebih menerus, sebagai rekahan primer, dengan
bidang rekahan tegak lurus dengan bidang perlapisan, dan butt cleat, yaitu
rekahan yang kurang menerus karena dibatasi oleh face cleat. Bidang rekahan ini
tegak lurus dengan face cleat. Selain itu diperlukan juga pemahaman mengenai
arah gaya tektonik (stress) yang terjadi pada daerah eksplorasi. Hal ini diperlukan
karena arah gaya tersebut dapat mempengaruhi permeabilitas batubara. Bila arah
gaya tektonik sejajar dengan arah face cleat batubara, maka permeabilitas akan
besar. Sebaliknya, apabila arah gaya tektonik berada tegak lurus dengan
arah face cleat, maka permeabilitas akan kecil. Hal ini disebabkan karena tekanan
yang diberikan bukan melewati face cleat, melainkan melalui butt cleat.
Rekahan batubara juga mempunyai komponen lain selain face dan butt
cleat, yaitu bukaan (aperture) yang dimensi celah yang terbuka dalam rekahan
tersebut, dan spasi (spacing) yang merupakan dimensi jarak antar-rekahan.
Rekahan yang bukaannya terisi oleh mineral akan cenderung menghambat gas
keluar dibandingkan dengan rekahan yang terbuka. Rekahan yang terisi ini
mengurangi permeabilitas dari batubara.
Spasi dan bukaan dalam rekahan batubara dipengaruhi oleh peringkat
batubara, tebal lapisan, dan maseral. Spasi dan bukaan rekahan batubara
berkurang dari peringkat batubara subbituminus hingga medium-low volatile
bituminous, kemudian bertambah lagi pada peringkat batubara antrasit. Keadaan
ini dikarenakan derajat pembatubaraan yang naik, sehingga akibat tekanan dan
temperatur, rekahan-rekahan yang ada cenderung mengecil.
Tebal lapisan batubara mempengaruhi perkembangan rekahan. Pada
lapisan batubara yang tipis, rekahan umumnya berkembang dibandingkan pada
lapisan batubara yang tebal. Lapisan batubara berciri mengkilap (kilap gelas),
biasanya dibentuk oleh maseral yang kaya vitrinit, sehingga mempunyai rekahan
yang banyak dibandingkan pada batubara yang kurang mengkilap (dull).
BAB V
PENUTUP

V.1. Kesimpulan
1. Coal Bed Methane (CBM) adalah gas metana (CH4) yang dihasilkan dari
proses alami yang terjadi selama proses pembatubaraan. Gas dalam
batubara akan terbentuk secara biogenik akibat dekomposisi oleh
mikroorganisme lalu menghasilkan gas metana dan CO2. Selama proses
pembentukan batubara, sejumlah air dihasilkan bersama-sama dengan
gas.
2. Gas tersimpan pada rekahan dan sistem pori sampai terjadi perubahan
tekanan pada reservoir oleh adanya air. Saat itulah gas kemudian keluar
melalui matriks batubara dan mengalir melalui rekahan yang terjadi pada
saat pembatubaraan terjadi karena memadatnya batubara oleh pengaruh
tekanan dan temperatur (devolatilization).

V.2. Saran
1. Pengembangan operasi penambangan Coal Bed Methane (CBM) harus
dilakukan secara baik, benar, dan dapat mengurangi dampak lingkungan
yang ada dari aktivitas tersebut.
2. Untuk pembaca, silahkan mencari referensi lain jika di dalam makalah
ini tidak terdapat data yang diinginkan.

V-1
DAFTAR PUSTAKA

_______. Coal Bed Methane. (online) https://www.slb.com Diakses Januari 2016.


Ahmed Al-Jubori and friend. 2009. Coalbed Methane: Clean Energy for the
World. Oilfield ReviewSummer 2009: 21, no. 2. Copyright © 2009
Schlumberger.
Dott, R.H. Hypotheses of An organic Origin, American Association of Geologist
Journal: 1969, 1-42.
Flores, R., Stricker, G., Meyer, J., Norton, P., Livingston, R., Jennings, M.,
Impact of Coal Bed Methane Development in River Basin, Wyoming,
ICCRC Paper:1999, 1-26.
Ibrahim, Muhammad Abdurachman. 2012. Gas Metana Batubara, Energi
Alternatif Non-Konvensional. (online) http://geomagz.geologi.esdm.go.id.
Diakses Januari 2016.
Kementerian ESDM. (n.d.). Sekilas Tentang Coalbed Methane (CBM). (online)
www.lemigas.esdm.go.id. Diakses Januari 2016.

vii
LAMPIRAN A
KAPASITAS PENYIMPANAN, TYPE BATUBARA, AND CBM

Sumber: Oilfield Review Summer 2009: 21, no. 2. © 2009 Schlumberger.

A-1
LAMPIRAN B
SUMUR (COAL BED METHANE) CBM

Sumber: Oilfield Review Summer 2009: 21, no. 2. © 2009 Schlumberger.

B-1
LAMPIRAN C
CBM VS CONVENTIONAL GAS PROJECT

C-1

Anda mungkin juga menyukai