Anda di halaman 1dari 15

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Krisis energi mengakibatkan pemadaman listrik, antrian gas dan minyak


tanah dan banyak lagi efek negatif sebagai akibatnya. Penyebabnya karena harga
bahan bakar minyak (BBM) melonjak tajam, dan energi minyak bumi yang mulai
langka dan sulit. Maka diperlukan energi alternatif lainnya yang dapat memenuhi
kebutuhan energi dimasa depan. Ada beberapa pilihan pengganti sebagai
alternatif, salah satunya adalah beralih kepada batubara dan bahan ini tersedia di
bumi pertiwi Indonesia. Batubara mengandung gas metana yang dikenal dengan
Coalbed Methane (CBM). Pendatang baru ini sering diartikan sebagai Calon
Bahan bakar Masa depan dan keberadaannya sangat menjanjikan. Batubara
merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat digunakan untuk sumber
energi. Sumber energi yang terdapat dalam batubara adalah energi panas yang
pemanfaataannya mempunyai cakupan yang sangat luas diantaranya untuk bahan
bakar, pembangkit listrik, dan lain sebagainya. Indonesia memiliki potensi lapisan
batubara yang besar, yang dapat dimanfaatan potensi kandungan gas metana di
dalamnya. Salah satu gas yang dapat dimanfaatkan untuk sumber energi adalah

CH4 atau metana. Gas metana batubara merupakan campuran gas hidrokarbon

dengan komposisi dominan gas metana (CH4) 90- 95% dan gas lainnya seperti

karbondioksida (CO2 ) dan nitrogen (N2 ) dalam jumlah yang sedikit (Scott,
1993). CBM dapat dimanfaatkan sebagai sumberdaya terbarukan yang dapat
menggantikan peranan sumberdaya minyak dan gas bumi di Indonesia yang
ramah lingkungan. Potensi Coalbed Methane di Indonesia adalah 453,3 trillion
cubic feet (TCF). Potensi sumber daya ini menyebar di Sumatera, Kalimantan, dan
Sulawesi. Tetapi potensi terbesar terdapat di cekungan Sumatera Selatan dengan
cadangan tidak kurang dari 183 TCF (Permana, 2007).

Universitas Sriwijaya
2

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Coal Bed Methane.

1.3. Manfaat Penulisan


Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui perkembangan
CBM dan potensi cadangan CBM di Indonesia, sehingga diharapkan dapat
dimanfaatkan secara optimal.

1.4. Permasalahan
Krisis energi mengakibatkan pemadaman listrik, kenaikan harga bahan bakar
yang merugikan masyarakat. Hal ini disebabkan produksi minyak bumi yang
makin menurun dan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia yang makin tinggi.
Maka diperlukan energi alternatif lainnya yang dapat memenuhi kebutuhan energi
dimasa depan. Indonesia yang terletak pada setting tektonik tumbukan lempeng
menyebabkan terbentuk banyak cekungan. Diantaranya sebagai tempat
pengendapan batubara. Batubara mengandung gas metana yang dikenal dengan
Coalbed Methane (CBM). Energi CBM ini sering diartikan sebagai calon bahan
bakar atau energi masa depan dan keberadaannya sangat menjanjikan untuk
dikembangkan.

1.5. Metodologi Penulisan


Metode penulisan yang digunakan adalah studi pustaka yang merupakan
studi pengambilan data-data eksplorasi CBM dan kondisi geologi Indonesia yang
telah ada sebelumnya. Penyusunan penulisan ini dilakukan dengan melakukan
pengumpulan data dari berbagai sumber, yaitu dari internet, buku, jurnal yang
berhubungan dengan Coalbed Methane (CBM).

Universitas Sriwijaya
3

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Coal Bed Methane (Gas Metana Batubara)


CBM merupakan gas yang umumnya methana yang dikandung di dalam
batubara. Gas tersebut terletak di dalam mikropori batubara dan bagian retakan
yang ada di batubara( cleats ). CBM tidak berbau, tidak berwarna dan sangat
mudah terbakar. CBM adalah gas alam dengan dominan gas metana dan disertai
oleh sedikit hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon dalam batubara hasil
dari beberapa proses kimia dan fisika. CBM sama seperti gas alam konvensional
yang kita kenal saat ini, namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan
batubara sebagai source rock dan reservoirnya. Sedangkan gas alam yang kita
kenal saat ini, walaupun sebagian ada yang bersumber dari batubara,
diproduksikan dari reservoir pasir, gamping maupun rekahan batuan beku. Hal
lain yang membedakan keduanya adalah cara penambangannya dimana reservoir
CBM harus direkayasa terlebih dahulu sebelum gasnya dapat diproduksikan.
Secara umum, di Indonesia terdapat dua endapan batubara yang dianggap
prospek mengandung keterdapatan adanya CBM. Endapan batubara berumur
Miosen dianggap sebagai endapan yang paling prospektif. Walaupun memiliki
kualitas yang rendah, tetapi endapannya sangat tebal berada pada kedalaman
target CBM serta memiliki kandungan abu yang sangat rendah. Kekurangannya,
karena batubara Miosen masih muda, maka memiliki kandungan moisture yang
tinggi, sehingga kemungkinan membutuhkan penanganan yang khusus dalam
proses dewatering ketika ekploitasi CBM nantinya. Sebaliknya batubara yang
berumur Eosen yang memiliki kualitas yang lebih tinggi dianggap kurang
prospektif untuk pengembangan CBM karena ketebalan endapannya tipis dan
terdapat pada kedalaman yang sangat dalam. Walaupun demikian pada beberapa
area, batubara jenis ini kemungkinan juga cukup prospektif mengandung
keterdapatan adanya CBM.

Universitas Sriwijaya
4

2.2. Proses Terbentuknya CBM


CBM terbentuk bersama air, nitrogen dan karbondioksida ketika material
tumbuhan tertimbun dan berubah menjadi batubara karena panas dan proses kimia
selama waktu geologi yang sering disebut dengan coalification. Jumlah
kandungan CBM dalam lapisan batubara sangat tergantung pada kedalaman dan
kualitas batubaranya. Semakin dalam lapisan batubara terbenam dari permukaan
tanah, sebagai hasil dari tekanan formasi batuan di atasnya, semakin tinggi nilai
energi dari batubara tersebut, dan semakin banyak pula kandungan CBM. CBM
berasal dari material organik tumbuhan tinggi, melalui beberapa proses kimia dan
fisika (dalam bentuk panas dan tekanan secara menerus) yang berubah menjadi
gambut dan akhirnya terbentuk batubara. Selama berlangsungnya proses

pemendaman dan pematangan, material organik akan mengeluarkan air, CO 2, gas


metana dan gas lainnya.
Selain melalui proses kimia, CBM dapat terbentuk dari aktifitas bakteri
metanogenik dalam air yang terperangkap dalam batubara khususnya lignit. CBM
diproduksi dengan cara terlebih dahulu merekayasa batubara (sebagai reservoir)
agar didapatkan cukup ruang sebagai jalan keluar gasnya. Proses rekayasa diawali
dengan memproduksi air (dewatering) agar terjadi perubahan kesetimbangan
mekanika. Setelah tekanan turun, gas batubara akan keluar dari matriks
batubaranya. Gas metana kemudian akan mengalir melalui rekahan batubara
(cleat) dan akhirnya keluar menuju lobang sumur. Puncak produksi CBM
bervariasi antara 2 sampai 7 tahun. Sedangkan periode penurunan produksi
decline) lebih lambat dari gas alam konvensional. CBM mempunyai multi guna
antara lain dapat dijual langsung sebagai gas alam, dijadikan energi dan sebagai
bahan baku industri.
Eksploitasi CBM tidak akan merubah kualitas matrik batubara dan
menguntungkan para penambang batubara, karena gas emisinya telah
dimanfaatkan sehingga lapisan betubara tersebut menjadi aman untuk di tambang,
selain itu CBM ini termasuk salah satu sumber energi yang ramah lingkungan
(Lemigas, ESDM., 2010). Gas methane sebagai komponen utama CBM
merupakan molekul yang memberikan radiasi 70 kali lebih besar dari karbon
dioksida, tetapi efek yang ditimbulkannya lebih pendek sekitar 8-12 tahun. Oleh

Universitas Sriwijaya
5

karena itu dalam proses pemroduksian CBM harus ditinjau aspek lingkungannya
juga.

2.3. Potensi CBM di Indonesia


Indonesia memiliki potensi sumber daya Coal Bed Methane (CBM) sekitar
450 Triliun Cubic Feet (TCF). Cadangan CBM sebesar itu tersebar pada sebelas
areal cekungan (basin) batubara di berbagai lokasi di Indonesia, baik di Sumatera,
Jawa, Kalimantan danSulawesi. Program diversifikasi energi antara lain dengan
mengembangan dan memanfaatkan CBM serta biofuel. Cadangan ini merupakan
yang terbesar ke-enam di Dunia.
Kesebelas basin lokasi CBM itu adalah Sumatera Selatan (183 TCF),
Barito (101,6 TCF), Kutei (89,4 TCF) dan Sumatera Tengah (52,5 TCF) untuk
kategori high prospective. Basin Tarakan Utara (17,5 TCF), Berau (8,4 TCF),
Ombilin (0,5 TCF), Pasir/Asam-Asam (3,0 TCF) dan Jatibarang (0,8) memiliki
kategori modarate. Sedang basin Sulawesi (2,0 TCF) dan Bengkulu (3,6 TCF)
berkategori low prospective. Berdasarkan data Departemen ESDM, potensi
cadangan CBM yang berada di Indonesia mencapai 453,3 trillion cubic feet (TCF)
yang berada di Sumatera Selatan dengan cadangan sebesar 183 TCF, Barito
dengan cadangan 101,6 TCF, Kutai sebesar 80,4 TCF, Sumatera bagian tengah
sebesar 52,5 TCF, Tarakan Utara sebesar 17,5 TCF, Berau sebesar 8,4 TCF,
Ombilin sebesar 0,5 TCF, Pasir/Asem sebesar 3,0 TCF, Jatibarang sebesar 0,8
TCF, Sulawesi bagian barat daya sebesar 2 TCF, Bengkulu sebesar 3,6 TCF.
Data terbaru mencatat jumlah sumber daya batubara Indonesia sebesar
total 90.451,87 juta ton, yang sebagian besar berupa batubara peringkat rendah
dan menengah. Dengan kandungan batubara sebesar itu, diyakini bahwa Indonesia
juga memiliki kandungan CBM yang besar. Survei terbaru mengenai CBM di
Indonesia yang menghasilkan prediksi potensi CBM di beberapa cekungan
batubara Indonesia dilakukan oleh Advances Resources International (ARI) pada
tahun 2002 (Gambar 2.1). Survei ini dilakukan atas pemintaan Dirjen Migas dan
atas biaya Asian Development Bank (ADB).

Universitas Sriwijaya
6

Gambar 2.1. Potensi CBM Indonesia (ARI, 2003)

Hasil survei tersebut diketahui bahwa potensi CBM Indonesia sebesar 453
Triliun Cubic Feef (Tcf) potensial gas in place yang terdapat pada lapisan
batubara pada kedalaman 500- 4500 m (Tabel 2.1) . Selain yang dilakukan oleh
ARI, hingga saat ini belum ada survei terpadu komprehensif lainnya yang
dilakukan untuk memperoleh perhitungan seluruh potensi CBM yang terdapat di
seluruh cekungan batubara Indonesia secara lebih akurat (ESDM., 2003).

Tabel 2.1. Potensi CBM Indonesia (ARI, 2003)

Universitas Sriwijaya
7

Sedangkan berdasar data (ESDM, 2003), potensi cadangan CBM yang


berada di Indonesia mencapai 453,3 trillion cubic feet (TCF) yang berada di
Sumatera Selatan dengan cadangan sebesar 183 TCF, Barito dengan cadangan
101,6 TCF, Kutai sebesar 80,4 TCF, Sumatera bagian tengah sebesar 52,5 TCF,
Tarakan Utara sebesar 17,5 TCF, Berau sebesar 8,4 TCF, Ombilin sebesar 0,5
TCF, Pasir/Asem sebesar 3,0 TCF, Jatibarang sebesar 0,8 TCF, Sulawesi bagian
barat daya sebesar 2 TCF, Bengkulu sebesar 3,6 TCF.

2.4. Prospek CBM dalam Hal Ekonomi dan Teknologi


Dibandingkan gas alam, CBM memiliki periode produksi lebih lambat.
Umumnya produksi terbesar atau puncak produksi terjadi pada periode tahun
produksi ke 2 hingga ke 7. Sedang lama periode produksi pada kisaran 10 hingga
20 tahun. Lebih pendek dibandingkan dengan gas alam yang bisa mencapai 30
hingga 40 tahun. Pengembangan energi alternatif ini membutuhkan insentif,
seperti pola bagi hasil yang atraktif. Tujuannya, agar banyak investor yang
berminat mengembangkan salah satu energi alternatif pengganti gas bumi ini. Ini
adalah proyek baru dan diharapkan kontrak term-nya sangat atraktif sehingga
dapat mencapai keekonomian pengembangan CBM.
Bentuk insentif yang diinginkan adalah bagi hasil yang lebih baik dari bagi
hasil minyak dan gas. Paling tidak, bagi hasil CBM sama dengan bagi hasil
minyak di daerah pedalaman atau frontier. Di daerah pedalaman, bagi hasilnya
selama ini 65 persen untuk pemerintah, sedangkan 45 persen bagian kontraktor.
Padahal bagi hasil biasanya, 85 persen bagian pemerintah, sedangkan kontraktor
hanya 15 persen. Permintaan bagi hasil tinggi kepada investor dikarenakan
kegiatan ekplorasi CBM memiliki resiko tinggi. Apalagi pada tahun awal produksi
yang dihasilkan hanya air, yang secara bertahap baru menghasilkan CBM. Juga
sumur yang dibutuhkan untuk memproduksi CBM lebih banyak. Perhitungannya,
biaya eksplorasi satu sumur CBM sekitar US$ 400 ribu, lebih rendah dari minyak
atau gas yang rata-rata US$ 1 juta. Namun karena jumlah sumurnya lebih banyak,
sehingga total investasinya tetap tinggi.
Soal insentif, memang salah satunya bisa melalui bagi hasil. Yang lainnya
bisa berupa kredit investasi CBM seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Di sana,

Universitas Sriwijaya
8

semula dunia usaha enggan memproduksi CBM. Namun, setelah pemerintah


memberikan kredit pengembang CBM, dunia usaha jadi berminat. Saat ini
pemanfaatan CBM mencapai 12 persen dari total energi Amerika Serikat. Usaha
CBM diatur UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Migas, Permen No. 40 tahun 2006
Tentang Penetapan dan Penawaran wilayah Kerja Migas (Permen ini
disempurnakan Permen No. 35 Tahun 2008), dan Permen No. 33 Tahun 2006
Tentan Pengusahaan Gas Metana Batubara (disempurnakan dengan Permen No.
36 Tahun 2008).
Penyediaan listrik yang berkelanjutan dapat dilakukan dengan cara
diversifikasi energi. Provinsi Kalsel sebagai salah satu lumbung energi nasional
memiliki peran penting dalam usaha diversifikasi energi. Diversifikasi energi
menitik-beratkan pada usaha mencari alternatif sumber daya energi selain minyak
dan gas. Saat ini, pasokan listrik di wilayah Kalsel dan Kalteng berasal dari
batubara (dengan dua unit PLTU), tenaga air (3 unit PLTA), dan minyak bumi dan
gas (29 unit PLTD/gas). Dari berbagai unit pembangkit ini, masih terjadi defisit
listrik terutama saat beban puncak antara 20 hingga 70 Mega Watt. Untuk
mengatasi hal ini, pemerintah mengambil kebijakan untuk membangun
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di mulut tambang dengan pertimbangan
ketersediaan sumber daya batubara yang cukup melimpah di
wilayah Kalimantan. Namun demikian, karena batubara bukanlah termasuk dalam
kategori clean energy maka pembangunan CBM di masa mendatang menjadi
sangat strategis dalam penyediaan energi karena CBM termasuk clean energy dan
potensinya cukup besar.
Peningkatan kebutuhan energi di masa mendatang, seperti minyak bumi,
gas, dan batubara, akan terus terjadi seiring dengan pertumbuhan ekonomi baik di
tingkat regional, nasional, dan dunia. Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan
minyak bumi sebagai sumber energi utama dalam memenuhi kebutuhan energi
nasionalnya karena dua hal. Pertama, beban impor minyak bumi akan terus
memberatkan APBN karena Indonesia telah menjadi negara net-importer minyak
bumi. Kedua, rasio cadangan produksi minyak bumi saat ini menunjukkan
cadangannya hanya cukup untuk 18 tahun. Menyadari kenyataan tersebut,
kebijakan pembangunan energi nasional diarahkan untuk diversifikasi energi

Universitas Sriwijaya
9

dengan beralih dari minyak bumi ke gas bumi dan batubara yang memiliki rasio
cadangan produksi masing-masing hingga 60 dan 240 tahun.

2.5. Permasalahan dalam mengembangkan CBM di Indonesia


Sementara hingga kini, tentu menjadi pertanyaan kita semua akan hal,
mengapa dengan potensi sebesar itu, penggunaan CBM sebagai sumber energi
masih sangat minim? menurut penulis setidaknya ada 3 kendala yang
menyebabkan pengembangan CBM di Indonesia masih sangat minim.
1. Penggunaan lahan
Tumpang tindih lahan masih menjadi kendala utama pengembangan CBM,
terutama tumpang tindih pemakaian lahan dengan PKP2B/ KP Batubara.
Selain itu seperti yang diketahui hampir cadangan batu bara di Indonesia
terletak di daerah hutan. Hal ini makin diperkuat dengan kenyataan bahwa
umur produksi CBM yang hanya berkisar 20 tahun. Oleh karena itu resiko ini
makin memperkuat kesulitan dalam pengembangan CBM.
2. Harga gas yang menurun akibat produksi CBM yang besar
Selain itu tantangan datang dari Paul OKeefe, direktur eksekutif bidang
energy AON Risk Services, yang mengatakan berkat produksi CBM yang
besar di Amerika Serikat mengakibatkan harga gas di Amerika turun secara
signifikan. "CBM punya efek dramatis dalam menurunkan harga gas di
Amerika Serikat. Karena ada begitu banyak produksi gas, harganya menjadi
lebih murah. Inilah yang terjadi di Amerika sebagai hasil pengembangan
CBM," jelas O'Keefe usai menjadi pembicara dalam Energy Risk Conference
di Hotel Shangrila, Jakarta, Kamis (10/3).
3. Investasi awal yang besar
Harga sumur CBM yang berikisar antara 0.5-1 juta dollar per sumurnya .
Memang relatif murah namun produksi gas CBM per sumur yang relatif
rendah menjadikan ini tetap sebuah investasi yang mahal di bidang migas.
Karna akan membutuhkan waktu yang lama bagi perusahan untuk
mengembalikan modal apalagi untuk memperoleh keuntungan . Oleh karena
itu investor harus berpikir dua kali dalam melaksanakan investasi di bidang
ini.
4. Terbatasnya Infrastruktur
Meskipun relatif berhubungan dengan industri migas, infrastruktur dan
peralatan penunjang pengembangan Coal Bed Methane cenderung berbeda

Universitas Sriwijaya
10

dengan industri Migas, sehingga dibutukan effort lebih bagi investor dalam
mengembangkan industri ini, yakni dengan cara mengimpor peralatan CBM
ini dari Negara lain. Selain itu, infrastruktur ini juga berkaitan dengan
kurangnya data evaluasi seperti data well, seismic dan coal properties.
Selain beberapa persoalan diatas pengembangan CBM memiliki beberapa
pemicu diantaranya:
1. Kenaikan harga minyak di pasar internasional, sehingga Indonesia yang sejak
tahun 2004 sudah menjadi importir netto minyak bumi dan menjalankan
kebijakan subsidi energi sejak lama harus mencari energi alternatif lain
sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi.
2. Teknologi dalam pengembangan CBM bukanlah teknologi baru karena
teknologi CBM terbukti sudah dilakukan di negeri AS dan sukses.
3. Tumbuhnya pasar domestik gas sebagai akibat tumbuhnya industrialisasi,
penambahan pembangunan pembangkit tenaga listrik, dan bertambahnya
pemukiman.
4. Kurangnya pasokan gas (gas shortage) untuk kebutuhan domestik karena
produksi gas konvensional dari wilayah-wilayah kerja yang ada sudah terikat
kontrak dengan negara-negara asing selaku pembeli.
5. Potensi sumber daya CBM di Indonesia yang menjanjikan. Nomor enam
terbesar di Dunia dengan 453 TCF.Naiknya harga gas di pasar domestik
dikarenakan produksi gas Indonesia yang terus menurun.
6. Pemerintah berencana memberikan insentif kepada para pengembang CBM.
7. CBM merupakan clean energy yaitu Penggunaan CBM untuk pembangkit
listrik atau coalbed methane-fueled power plant akan menghasilkan clean
electrity atau green electric city (energi listrik yang bersih dan ramah
lingkungan). Dikatakan, pemanfaatan CBM memang terutama sebagai
pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Negara-negara tertentu seperti
Cina, telah melangkah lebih jauh dalam pemanfaatan CBM. Misalnya,
sebagai pengganti bahan bakar minyak bagi kendaraan bermotor.
Pemerintah telah memprediksi suatu penurunan produksi gas menjadi 7.3
milyar feet kubik per hari pada tahun ini, lebih rendah dari 7.9 milyar feet kubik
per hari yang tercatat pada tahun 2008, disebabkan ladang-ladang yang sudah tua.
Berdasarkan cetak-biru untuk pengembangan CBM, pemerintah menargetkan
produksi 1 milyar feet kubik standar per hari, atau sekitar setara 0.18 juta barel
minyak, pada tahun 2025. Meskipun memiliki berbagai tantangan dalam

Universitas Sriwijaya
11

pengembangannya, fakta lapangan menunjukkan pengembangan CBM memiliki


prospek yang cerah, bahkan pemerintah melansir hingga Oktober 2012 sudah
ditandatangani 24 KKS WK CBM. Selain itu, tentu kita harus bijak, terus menerus
menggantungkan diri pada penggunaan energi fosil akan sangat rentan
mempengaruhi perekonomian nasional, karena status Indonesia sebagai net
importer, maka sudah seharusnya pemerintah berusaha untuk terus melakukan
diversifikasi energi, salah satu nya adalah dengan mengembangkan CBM ini.

2.6. Manfaat pengembangan CBM di Indonesia


Potensi CBM di Indonesia apabila dikembangkan dengan baik dapat
berdampak pada perekonomian bangsa maupun lingkungan. Indonesia tidak bisa
lagi mengandalkan minyak bumi sebagai sumber energi utama dalam memenuhi
kebutuhan energi nasionalnya karena dua hal. Pertama, beban impor minyak bumi
akan terus memberatkan APBN karena Indonesia telah menjadi negara net-
importer minyak bumi. Kedua, rasio cadangan produksi minyak bumi saat ini
menunjukkan cadangannya hanya cukup untuk 18 tahun.
Menyadari kenyataan tersebut, kebijakan pembangunan energi nasional
diarahkan untuk diversifikasi energi dengan beralih dari minyak bumi ke gas bumi
dan batubara yang memiliki rasio cadangan produksi masing-masing hingga 60
dan 240 tahun (ESDM., 2003). Potensi CBM di Indonesia memiliki keunggulan
teknis untuk dikembangkan, terutama berada di tempat yang dangkal (500 m-
1500m dibawah permukaan). Dengan biaya pengeboran murah, karena tidak
membutuhkan eksplorasi maupun infrastruktur khusus tetapi bisa menggunakan
data dan infrastruktur migas yang sudah ada, sebagai keuntungan awal sebelum
penambangan batubara serta lokasinya yang ada di daratan serta memiliki pasar
yang bagus.

Pada aspek lingkungan, pembakaran CBM menghasilkan emisi CO 2 yang


jauh lebih sedikit daripada pembakaran batubara, sehingga berdampak dalam

pengurangan efek pemanasan global yang terjadi. Sebagai contoh, emisi CO 2 per
unit listrik yang dihasilkan dari pembakaran batubara sub bituminus adalah 1180

ton per GWH (Gega Watt Hour), batubara bituminus menghasilkan 600 ton CO2
per GWH, sedangkan hasil pembakaran CBM hanya menghasilkan 25 ton per

Universitas Sriwijaya
12

GWH. Pembakaran CBM juga bebas sulfur sehingga tidak menghailkan sulfur
oksida yang dikenal bisa mengakibatkan polusi dan hujan asam

BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Jumlah Cadangan CBM di Indonesia yang merupakan peringkat enam di
Dunia merupakan prospek besar dalam pengembangan CBM di Indonesia.
Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa lapangan gas Indonesia sedang
mengalami proses penurunan produksi. CBM merupakan energy alternatif yang
dapat digunakan untuk menjawab tantangan energi gas Indonesia di masa depan.
Di Indonesia tedapat beberapa lokasi tumbukan lempeng, baik yang terbentuk di
sebelah barat dan selatan Indonesia, maupun yang terjadi di Indonesia bagian
timur. Akibat dari tumbukan lempeng tersebut terbentuklah cekungan tempat

Universitas Sriwijaya
13

pembentukan batubara. Batubara mengandung gas metana yang dikenal dengan


Coalbed Methane (CBM). Coal Bed Methane merupakan gas alam dengan
kandungan dominan gas metana (CH4) dan sedikit hidrokarbon lainnya serta gas
non-hidrokarbon dalam batubara. Sumber daya batubara Indonesia sebesar total
90.451,87 juta ton, Cadangan Coal Bed Methane (CBM) Indonesia saat ini cukup
besar sekitar 453 TCF yang sebagian besar berupa batubara peringkat rendah dan
menengah. Dengan kandungan batubara sebesar itu, diyakini bahwa Indonesia
juga memiliki kandungan CBM yang besar.

3.2. Saran
Untuk meningkatkan keterambilan CBM yang ada dapat digunakan teknik
ECBM (Enhanced CoalBed Methane Recovery) dengan menginjeksikan gas N

dan CO2 saat pengambilan CBM. Dengan keberadaan potensi CBM yang besar di
Indonesia maka di perlukan pengembangan potensi CBM oleh pemerintah pusat,
daerah dan swasta dalam peningkatan kesejahteraan dan keberlanjutan masa
depan bahan bakar di Indonesia. Pemerintah harus melakukan penelitian lebih
lanjut dan meningkatkan sosialisasi CBM sebagai bahan bakar yang efektif dan
ramah lingkugan kepada masayarakat. Dan diharapkan pemerintah dapat
mempublikasikan potensi CBM Indonesia di dunia Internasional sehingga
pengembangan pengetahuan teknologi terbaru dari CBM diperoleh dalam
meningkaatkan perekonomian bangsa yang dapat mendatangkan investor asing
ataupun dalam negeri guna bekerjasama dalam penambangan dan peningkatan
produksi Coalbed Methane (CBM) di Indonesia.

Universitas Sriwijaya
14

DAFTAR PUSTAKA

Adam Farizi,Safrian. 2007. Coal Bed Methane; dari dalam bumi memba-
wa solusi sebuah tinjauan singkat dari segi teknis dan keekonomian,
Teknik Perminyakan ITB: Bandung.
Admin. 2013. Mengenal Potensi Coalbed Methane di Indonesia. (online)
http://www.migasreview.com/post/1417414635/mengenal-potensi-coalbed
-methane-di-indonesia.html (Diakses tanggal 15 Februari 2017).
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2003. Rekaman Kegiatan dan
Pengembangan Geologi 2002. Bandung: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi. Hal. 282 284.
Permana, A.K. 2007. Coal Characteristics of Sarolangun Pauh Region:
Implication for Coalbed Methane Potential. Bandung: Jurnal Sumber
Daya Geologi Vol. 18 No. 6 Hal. 351.

Universitas Sriwijaya
15

Pradana, Yusuf. 2014. Pemanfaatan Coal Bed Methane untuk Pemenuhan Energi
Indonesia. (online) http://www.kompasiana.com/yusuf.pradana/peman-
faatan-coal-bed-methane-untuk-pemenuhan-energi-indonesia_564c7cdf30-
7a61b815b33689 (Diakses tanggal 15 Februari 2017).

Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai