Anda di halaman 1dari 18

TUGAS TEKNOLOGI BATUBARA

PEMANFAATAN BATUBARA UNTUK PLTU

Disusun Oleh :

Nama : Isdianti Permata

NIM : 03031381520054

Kelas :B

FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN TEKNIK KIMIA

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2015 / 2016
Teknologi Pembakaran Pada PLTU Batubara
 Pendahuluan

Klasifikasi kualitas batubara secara umum terbagi 2, yaitu pembagian secara ilmiah dalam hal ini
berdasarkan tingkat pembatubaraaan, dan pembagian berdasarkan tujuan penggunaannya. Berdasarkan
urutan pembatubaraannya, batubara terbagi menjadi batubara muda (brown coal atau lignite), sub
bituminus, bituminus, dan antrasit. Sedangkan berdasarkan tujuan penggunaannya, batubara terbagi
menjadi batubara uap (steam coal), batubara kokas (coking coal atau metallurgical coal), dan antrasit.

Batubara uap merupakan batubara yang skala penggunaannya paling luas. Berdasarkan metodenya,
pemanfataan batubara uap terdiri dari pemanfaatan secara langsung yaitu batubara yang telah
memenuhi spesifikasi tertentu langsung digunakan setelah melalui proses peremukan
(crushing/milling) terlebih dulu seperti pada PLTU batubara, kemudian pemanfaatan dengan
memproses terlebih dulu untuk memudahkan penanganan (handling) seperti CWM (Coal Water
Slurry), COM (Coal Oil Mixture), dan CCS (Coal Cartridge System), dan selanjutnya pemanfataan
melalui proses konversi seperti gasifikasi dan pencairan batubara

Pada PLTU batubara, bahan bakar yang digunakan adalah batubara uap yang terdiri dari kelas sub
bituminus dan bituminus. Lignit juga mulai mendapat tempat sebagai bahan bakar pada PLTU
belakangan ini, seiring dengan perkembangan teknologi pembangkitan yang mampu mengakomodasi
batubara berkualitas rendah.

Gambar 1. Skema pembangkitan listrik pada PLTU batubara

(Sumber: The Coal Resource, 2004)

Pada PLTU, batubara dibakar di boiler menghasilkan panas yang digunakan untuk mengubah
air dalam pipa yang dilewatkan di boiler tersebut menjadi uap, yang selanjutnya digunakan untuk
menggerakkan turbin dan memutar generator. Kinerja pembangkitan listrik pada PLTU sangat
ditentukan oleh efisiensi panas pada proses pembakaran batubara tersebut, karena selain berpengaruh
pada efisiensi pembangkitan, juga dapat menurunkan biaya pembangkitan. Kemudian dari segi
lingkungan, diketahui bahwa jumlah emisi CO2 per satuan kalori dari batubara adalah yang terbanyak
bila dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya, dengan perbandingan untuk batubara, minyak, dan
gas adalah 5:4:3. Sehingga berdasarkan uji coba yang mendapatkan hasil bahwa kenaikan efisiensi
panas sebesar 1% akan dapat menurunkan emisi CO2 sebesar 2,5%, maka efisiensi panas yang
meningkat akan dapat mengurangi beban lingkungan secara signifikan akibat pembakaran batubara.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa teknologi pembakaran (combustion technology)
merupakan tema utama pada upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan batubara secara langsung
sekaligus upaya antisipasi isu lingkungan ke depannya.

Pada dasarnya metode pembakaran pada PLTU terbagi 3, yaitu pembakaran lapisan tetap (fixed
bed combustion), pembakaran batubara serbuk (pulverized coal combustion /PCC), dan pembakaran
lapisan mengambang (fluidized bed combustion / FBC). Gambar 3 di bawah ini menampilkan jenis –
jenis boiler yang digunakan untuk masing – masing metode pembakaran.

Gambar 2. Tipikal boiler berdasarkan metode pembakaran

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)

 Pembakaran Lapisan Tetap

Metode lapisan tetap menggunakan stoker boiler untuk proses pembakarannya. Sebagai bahan
bakarnya adalah batubara dengan kadar abu yang tidak terlalu rendah dan berukuran maksimum sekitar
30mm. Selain itu, karena adanya pembatasan sebaran ukuran butiran batubara yang digunakan, maka
perlu dilakukan pengurangan jumlah fine coal yang ikut tercampur ke dalam batubara tersebut. Alasan
tidak digunakannya batubara dengan kadar abu yang terlalu rendah adalah karena pada metode
pembakaran ini, batubara dibakar di atas lapisan abu tebal yang terbentuk di atas kisi api (traveling fire
grate) pada stoker boiler. Bila kadar abunya sangat sedikit, lapisan abu tidak akan terbentuk di atas kisi
tersebut sehingga pembakaran akan langsung terjadi pada kisi, yang dapat menyebabkan kerusakan
yang parah pada bagian tersebut. Oleh karena itu, kadar abu batubara yang disukai untuk tipe boiler ini
adalah sekitar 10 – 15%. Adapun tebal minimum lapisan abu yang diperlukan untuk pembakaran
adalah 5cm.

Gambar 3. Stoker Boiler


Pada pembakaran dengan stoker ini, abu hasil pembakaran berupa fly ash jumlahnya sedikit,
hanya sekitar 30% dari keseluruhan. Kemudian dengan upaya seperti pembakaran NOx dua tingkat,
kadar NOx dapat diturunkan hingga sekitar 250 – 300 ppm. Sedangkan untuk menurunkan SOx, masih
diperlukan tambahan fasilitas berupa alat desulfurisasi gas buang.

 Pembakaran Batubara Serbuk (Pulverized Coal Combustion/PCC)

Saat ini, kebanyakan PLTU terutama yang berkapasitas besar masih menggunakan metode PCC
pada pembakaran bahan bakarnya. Hal ini karena sistem PCC merupakan teknologi yang sudah terbukti
dan memiliki tingkat kehandalan yang tinggi. Upaya perbaikan kinerja PLTU ini terutama dilakukan
dengan meningkatkan suhu dan tekanan dari uap yang dihasilkan selama proses pembakaran.
Perkembangannya dimulai dari sub critical steam, kemudian super critical steam, serta ultra super
critical steam (USC). Sebagai contoh PLTU yang menggunakan teknologi USC adalah pembangkit no.
1 dan 2 milik J-Power di teluk Tachibana, Jepang, yang boilernya masing – masing berkapasitas 1050
MW buatan Babcock Hitachi. Tekanan uap yang dihasilkan adalah sebesar 25 MPa (254.93 kgf/cm2)
dan suhunya mencapai 600℃/610℃ (1 stage reheat cycle). Perkembangan kondisi uap dan grafik
peningkatan efisiensi pembangkitan pada PCC ditunjukkan pada gambar 4 di di bawah ini.

Gambar 4. Perkembangan kondisi uap PLTU

(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)

Pada PCC, batubara diremuk dulu dengan menggunakan coal pulverizer (coal mill) sampai
berukuran 200 mesh (diameter 74μm), kemudian bersama – sama dengan udara pembakaran
disemprotkan ke boiler untuk dibakar. Pembakaran metode ini sensitif terhadap kualitas batubara yang
digunakan, terutama sifat ketergerusan (grindability), sifat slagging, sifat fauling, dan kadar air
(moisture content). Batubara yang disukai untuk boiler PCC adalah yang memiliki sifat ketergerusan
dengan HGI (Hardgrove Grindability Index) di atas 40 dan kadar air kurang dari 30%, serta rasio
bahan bakar (fuel ratio) kurang dari 2. Pembakaran dengan metode PCC ini akan menghasilkan abu
yang terdiri diri dari clinker ash sebanyak 15% dan sisanya berupa fly ash.
Gambar 5. PCC Boiler

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)

Ketika dilakukan pembakaran, senyawa Nitrogen yang ada di dalam batubara akan beroksidasi
membentuk NOx yang disebut dengan fuel NOx, sedangkan Nitrogen pada udara pembakaran akan
mengalami oksidasi suhu tinggi membentuk NOx pula yang disebut dengan thermal NOx. Pada total
emisi NOx dalam gas buang, kandungan fuel NOx mencapai 80 – 90%. Untuk mengatasi NOx ini,
dilakukan tindakan denitrasi (de-NOx) di boiler saat proses pembakaran berlangsung, dengan
memanfaatkan sifat reduksi NOx dalam batubara.

Gambar 6. Proses denitrasi pada boiler PCC

(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)


Pada proses pembakaran tersebut, kecepatan injeksi campuran batubara serbuk dan udara ke
dalam boiler dikurangi sehingga pengapian bahan bakar dan pembakaran juga melambat. Hal ini dapat
menurunkan suhu pembakaran, yang berakibat pada menurunnya kadar thermal NOx.

Selain itu, sebagaimana terlihat pada gambar 6 di atas, bahan bakar tidak semuanya dimasukkan
ke zona pembakaran utama, tapi sebagian dimasukkan ke bagian di sebelah atas burner utama. NOx
yang dihasilkan dari pembakara utama selanjutnya dibakar melalui 2 tingkat. Di zona reduksi yang
merupakan pembakaran tingkat pertama atau disebut pula pembakaran reduksi (reducing combustion),
kandungan Nitrogen dalam bahan bakar akan diubah menjadi N2. Selanjutnya, dilakukan pembakaran
tingkat kedua atau pembakaran oksidasi (oxidizing combustion), berupa pembakaran sempurna di zona
pembakaran sempurna. Dengan tindakan ini, NOx dalam gas buang dapat ditekan hingga mencapai 150
– 200 ppm. Sedangkan untuk desulfurisasi masih memerlukan peralatan tambahan yaitu alat
desulfurisasi gas buang.

 Pembakaran Lapisan Mengambang (Fluidized Bed Combustion/FBC)

Pada pembakaran dengan metode FBC, batubara diremuk terlebih dulu dengan menggunakan
crusher sampai berukuran maksimum 25mm. Tidak seperti pembakaran menggunakan stoker yang
menempatkan batubara di atas kisi api selama pembakaran atau metode PCC yang menyemprotkan
campuran batubara dan udara pada saat pembakaran, butiran batubara dijaga agar dalam posisi
mengambang, dengan cara melewatkan angin berkecepatan tertentu dari bagian bawah boiler.
Keseimbangan antara gaya dorong ke atas dari angin dan gaya gravitasi akan menjaga butiran batubara
tetap dalam posisi mengambang sehingga membentuk lapisan seperti fluida yang selalu bergerak.
Kondisi ini akan menyebabkan pembakaran bahan bakar yang lebih sempurna karena posisi batubara
selalu berubah sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik dan mencukupi untuk proses
pembakaran.

Karena sifat pembakaran yang demikian, maka persyaratan spesifikasi bahan bakar yang akan
digunakan untuk FBC tidaklah seketat pada metode pembakaran yang lain. Secara umum, tidak ada
pembatasan yang khusus untuk kadar zat terbang (volatile matter), rasio bahan bakar (fuel ratio) dan
kadar abu. Bahkan semua jenis batubara termasuk peringkat rendah sekalipun dapat dibakar dengan
baik menggunakan metode FBC ini. Hanya saja ketika batubara akan dimasukkan ke boiler, kadar air
yang menempel di permukaannya (free moisture) diharapkan tidak lebih dari 4%. Selain kelebihan di
atas, nilai tambah dari metode FBC adalah alat peremuk batubara yang dipakai tidak terlalu rumit, serta
ukuran boiler dapat diperkecil dan dibuat kompak.

Bila suhu pembakaran pada PCC adalah sekitar 1400 – 1500℃, maka pada FBC, suhu pembakaran
berkisar antara 850 – 900℃ saja sehingga kadar thermal NOx yang timbul dapat ditekan. Selain itu,
dengan mekanisme pembakaran 2 tingkat seperti pada PCC, kadar NOx total dapat lebih dikurangi lagi.

Kemudian, bila alat desulfurisasi masih diperlukan untuk penanganan SOx pada metode
pembakaran tetap dan PCC, maka pada FBC, desulfurisasi dapat terjadi bersamaan dengan proses
pembakaran di boiler. Hal ini dilakukan dengan cara mencampur batu kapur (lime stone, CaCO3) dan
batubara kemudian secara bersamaan dimasukkan ke boiler. SOx yang dihasilkan selama proses
pembakaran, akan bereaksi dengan kapur membentuk gipsum (kalsium sulfat). Selain untuk proses
desulfurisasi, batu kapur juga berfungsi sebagai media untuk fluidized bed karena sifatnya yang lunak
sehingga pipa pemanas (heat exchanger tube) yang terpasang di dalam boiler tidak mudah aus.
Gambar 7. Tipikal boiler FBC

(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)

Berdasarkan mekanisme kerja pembakaran, metode FBC terbagi 2 yaitu Bubbling FBC dan
Circulating FBC (CFBC), seperti ditampilkan pada gambar 7 di atas. Dapat dikatakan bahwa Bubbling
FBC merupakan prinsip dasar FBC, sedangkan CFBC merupakan pengembangannya.

Pada CFBC, terdapat alat lain yang terpasang pada boiler yaitu cyclone suhu tinggi. Partikel
media fluidized bed yang belum bereaksi dan batubara yang belum terbakar yang ikut terbang bersama
aliran gas buang akan dipisahkan di cyclone ini untuk kemudian dialirkan kembali ke boiler. Melalui
proses sirkulasi ini, ketinggian fluidized bed dapat terjaga, proses denitrasi dapat berlangsung lebih
optimal, dan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi dapat tercapai. Oleh karena itu, selain batubara
berkualitas rendah, material seperti biomasa, sludge, plastik bekas, dan ban bekas dapat pula digunakan
sebagai bahan bakar pada CFBC. Adapun abu sisa pembakaran hampir semuanya berupa fly ash yang
mengalir bersama gas buang, dan akan ditangkap lebih dulu dengan menggunakan Electric
Precipitator sebelum gas buang keluar ke cerobong asap (stack).

Gambar 8. CFBC Boiler

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)


Pada FBC, bila tekanan di dalam boiler sama dengan tekanan udara luar, disebut dengan
Atmospheric FBC (AFBC), sedangkan bila tekanannya lebih tinggi dari pada tekanan udara luar,
sekitar 1 MPa, disebut dengan Pressurized FBC (PFBC).

Faktor tekanan udara pembakaran memberikan pengaruh terhadap perkembangan teknologi


FBC ini. Untuk Bubbling FBC berkembang dari PFBC menjadi Advanced PFBC (A-PFBC), sedangkan
untuk CFBC selanjutnya berkembang menjadi Internal CFBC (ICFBC) dan kemudian Pressurized
ICFBC (PICFBC).

PFBC

Pada PFBC, selain dihasilkan panas yang digunakan untuk memanaskan air menjadi uap untuk
memutar turbin uap, dihasilkan pula gas hasil pembakaran yang memiliki tekanan tinggi yang dapat
memutar turbin gas, sehingga PLTU yang menggunakan PFBC memiliki efisiensi pembangkitan yang
lebih baik dibandingkan dengan AFBC karena mekanisme kombinasi (combined cycle) ini. Nilai
efisiensi bruto pembangkitan (gross efficiency) dapat mencapai 43%.

Sesuai dengan prinsip pembakaran pada FBC, SOx yang dihasilkan pada PFBC dapat ditekan
dengan mekanisme desulfurisasi bersamaan dengan pembakaran di dalam boiler, sedangkan NOx dapat
ditekan dengan pembakaran pada suhu relatif rendah (sekitar 860℃) dan pembakaran 2 tingkat. Karena
gas hasil pembakaran masih dimanfaatkan lagi dengan mengalirkannya ke turbin gas, maka abu
pembakaran yang ikut mengalir keluar bersama dengan gas tersebut perlu dihilangkan lebih dulu.
Pemakaian CTF (Ceramic Tube Filter) dapat menangkap abu ini secara efektif. Kondisi bertekanan
yang menghasilkan pembakaran yang lebih baik ini secara otomatis akan menurunkan kadar emisi CO2
sehingga dapat mengurangi beban lingkungan.

Gambar 9. Prinsip kerja PFBC

(Sumber: Coal Note, 2001)

Untuk lebih meningkatkan efisiensi panas, unit gasifikasi sebagian (partial gasifier) yang
menggunakan teknologi gasifikasi lapisan mengambang (fluidized bed gasification) kemudian
ditambahkan pada unit PFBC. Dengan kombinasi teknologi gasifikasi ini maka upaya peningkatan
suhu gas pada pintu masuk (inlet) turbin gas memungkinkan untuk dilakukan.
Pada proses gasifikasi di partial gasifier tersebut, konversi karbon yang dicapai adalah sekitar
85%. Nilai ini dapat ditingkatkan menjadi 100% melalui kombinasi dengan pengoksidasi (oxidizer).
Pengembangan lebih lanjut dari PFBC ini dinamakan dengan Advanced PFBC (A-PFBC), yang prinsip
kerjanya ditampilkan pada gambar 10 di bawah ini. Efisiensi netto pembangkitan (net efficiency) yang
dihasilkan pada A-PFBC ini sangat tinggi, dapat mencapai 46%.

Gambar 10. Prinsip kerja A-PFBC

(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)

ICFBC

Penampang boiler ICFBC ditampilkan pada gambar 11 di bawah ini.

Gambar 11. Penampang boiler ICFBC

(Sumber: Coal Note, 2001)

Seperti terlihat pada gambar, ruang pembakaran utama (primary combustion chamber) dan
ruang pengambilan panas (heat recovery chamber) dipisahkan oleh dinding penghalang yang terpasang
miring. Kemudian, karena pipa pemanas (heat exchange tube) tidak terpasang langsung pada ruang
pembakaran utama, maka tidak ada kekhawatiran terhadap keausan pipa sehingga pasir silika
digunakan sebagai pengganti batu kapur untuk media FBC. Batu kapur masih tetap digunakan sebagai
bahan pereduksi SOx, hanya jumlahnya ditekan sesuai dengan keperluan saja.
Di bagian bawah ruang pembakaran utama terpasang windbox untuk mengalirkan angin ke
boiler, dimana angin bervolume kecil dialirkan melalui bagian tengah untuk menciptakan lapisan
bergerak (moving bed) yang lemah, dan angin bervolume besar dialirkan melewati kedua sisi windbox
tersebut untuk menimbulkan lapisan bergerak yang kuat. Dengan demikian maka pada bagian tengah
ruang pembakaran utama akan terbentuk lapisan bergerak yang turun secara perlahan, sedangkan pada
kedua sisi ruang tersebut, media FBC akan terangkat kuat ke atas menuju ke bagian tengah ruang
pembakaran utama dan kemudian turun perlahan – lahan, dan kemudian terangkat lagi oleh angin
bervolume besar dari windbox. Proses ini akan menciptakan aliran berbentuk spiral (spiral flow) yang
terjadi secara kontinyu pada ruang pembakaran utama. Mekanisme aliran spiral dari media FBC ini
dapat menjaga suhu lapisan mengambang supaya seragam. Selain itu, karena aliran tersebut bergerak
dengan sangat dinamis, maka pembuangan material yang tidak terbakar juga lebih mudah.

Kemudian, ketika media FBC yang terangkat kuat tersebut sampai di bagian atas dinding
penghalang, sebagian akan berbalik menuju ke ruang pengambilan panas. Karena pada ruang
pengambilan panas tersebut juga dialirkan angin dari bagian bawah, maka pada ruang tersebut akan
terbentuk lapisan bergerak yang turun perlahan juga. Akibatnya, media FBC akan mengalir dari ruang
pembakaran utama menuju ke ruang pengambilan panas kemudian kembali lagi ke ruang pembakaran
utama, membentuk aliran sirkulasi (circulating flow) di antara kedua ruang tersebut. Menggunakan
pipa pemanas yang terpasang pada ruang pengambilan panas, panas dari ruang pembakaran utama
diambil melalui mekanisme aliran sirkulasi tadi.

Secara umum, perubahan volume angin yang dialirkan ke ruang pengambilan panas berbanding
lurus dengan koefisien hantar panas secara keseluruhan. Dengan demikian maka hanya dengan
mengatur volume angin tersebut, tingkat keterambilan panas serta suhu pada lapisan mengambang
dapat dikontrol dengan baik, sehingga pengaturan beban dapat dilakukan dengan mudah pula.

Untuk lebih meningkatkan kinerja pembangkitan, proses pada ICFBC kemudian diberi tekanan
dengan cara memasukkan unit ICFBC ke dalam wadah bertekanan (pressurized vessel), yang
selanjutnya disebut dengan Pressurized ICFBC (PICFBC). Dengan mekanisme ini maka selain uap air,
akan dihasilkan pula gas hasil pembakaran bertekanan tinggi yang dapat digunakan untuk memutar
turbin gas sehingga pembangkitan secara kombinasi (combined cycle) dapat diwujudkan.

Pembangkitan Kombinasi Dengan Gasifikasi Batubara

Peningkatan efisiensi pembangkitan dengan mekanisme kombinasi melalui pemanfaatan gas sintetis
hasil proses gasifikasi seperti pada A-PFBC, selanjutnya mengarahkan teknologi pembangkitan untuk
lebih mengintensifkan penggunaan teknologi gasifikasi batubara ke dalam sistem pembangkitan. Upaya
ini akhirnya menghasilkan sistem pembangkitan yang disebut dengan Integrated Coal Gasification
Combined Cycle (IGCC).

Karena tulisan ini hanya membahas perkembangan teknologi pembangkitan listrik, maka penjelasan
tentang bagaimana proses gasifikasi batubara berlangsung tidak akan diterangkan disini.

IGCC

Garis besar diagram alir pembangkit listrik sistem IGCC ditampilkan pada gambar 12 di bawah ini.
Gambar 12. Tipikal IGCC

(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)

Seperti terlihat pada gambar, pada sistem ini terdapat alat gasifikasi (gasifier) yang digunakan
untuk menghasilkan gas, umumnya bertipe entrained flow. Yang tersedia di pasaran saat ini untuk tipe
tersebut misalnya Chevron Texaco (lisensinya sekarang dimiliki GE Energy), E-Gas (lisensinya dulu
dimiliki Dow, kemudian Destec, dan terakhir Conoco Phillips ), dan Shell. Prinsip kerja ketiga alat
tersebut adalah sama, yaitu batubara dan oksigen berkadar tinggi dimasukkan kedalamnya kemudian
dilakukan reaksi berupa oksidasi sebagian (partial oxidation) untuk menghasilkan gas sintetis (syngas),
yang 85% lebih komposisinya terdiri dari H2 dan CO. Karena reaksi berlangsung pada suhu tinggi, abu
pada batubara akan melebur dan membentuk slag dalam kondisi meleleh (glassy slag). Adapun panas
yang ditimbulkan oleh proses gasifikasi dapat digunakan untuk menghasilkan uap bertekanan tinggi,
yang selanjutnya dialirkan ke turbin uap.

Oksigen yang digunakan untuk proses gasifikasi dihasilkan dari fasilitas Air Separation Unit
(ASU). Unit ini berfungsi untuk memisahkan oksigen dari udara melalui mekanisme cryogenic
separation, menghasilkan oksigen berkadar sekitar 95%. Selain oksigen, pada ASU juga dihasilkan
nitrogen yang digunakan sebagai media inert untuk feeding batubara ke gasifier, selain dapat pula
digunakan untuk menurunkan suhu pada combustor sehingga emisi NOx dapat terkontrol.

Pada gas sintetis, selain H2 dan CO juga dihasilkan unsur lain yang tidak ramah lingkungan
seperti HCN, H2S, NH3, COS, uap air raksa, dan char. Oleh karena itu, gas harus diproses terlebih dulu
untuk menghilangkan bagian tersebut sebelum dikirim ke turbin gas. Gas buang dari turbin gas
kemudian mengalir ke Heat Recovery Steam Generator (HRSG) yang berfungsi mengubah panas dari
gas tersebut menjadi uap air, yang selanjutnya dialirkan menuju turbin uap. Dengan mekanisme seperti
ini, efisiensi netto pembangkitan yang dihasilkan juga jauh melebihi pembangkitan pada sistem biasa
(PCC) yang saat ini mendominasi. Selain efisiensi pembangkitan, kelebihan lain IGCC adalah sangat
rendahnya kadar emisi polutan yang dihasilkan, fleksibilitas bahan bakar yang dapat digunakan,
penggunaan air yang 30-40% lebih rendah dibanding PLTU konvensional (PCC), tingkat penangkapan
CO2 yang signifikan, slag yang dapat dimanfaatkan untuk material pekerjaan konstruksi, dan lain –
lain.

Sebagai contoh adalah Nuon IGCC yang terletak di Buggenum, Belanda, berkapasitas 250MW.
Pembangkit ini menghasilkan efisiensi netto sebesar 43% (Low Heating Value), dengan performansi
baku mutu lingkungan yang sangat bagus. Emisi NOx yang dihasilkan sangat rendah yaitu kurang dari
10 ppm, kemudian efisiensi pembuangan sulfur di atas 99%, tingkat emisi flyash, senyawa klorida dan
logam berat mudah menguap yang bisa dibilang nol, serta air limbah yang bisa diresirkulasi kembali
sehingga tidak ada buangan air limbah ke lingkungan.

Di samping kelebihan tersebut, terdapat pula kelemahan pada sistem IGCC yang dikembangkan
saat ini, misalnya, besarnya kapasitas pembangkitan yang ditentukan berdasarkan banyaknya unit dan
model turbin gas yang akan digunakan. Contohnya untuk turbin gas GE Frame 7FA yang berkapasitas
275MW. Apabila IGCC akan dioperasikan dengan kapasitas pembangkitan 275MW, berarti cukup 1
unit yang dipasang. Bila 2 unit yang akan digunakan, berarti kapasitas pembangkitan menjadi 550MW,
dan bila 3 unit maka akan menjadi 825MW. Kemudian bila kapasitas pembangkitan yang diinginkan
adalah di bawah 200MW, maka model yang dipakai bukan lagi GE Frame 7FA, tapi GE 7FA yang
berkapasitas 197MW. Demikian pula bila menghendaki kapasitas pembangkitan yang lebih kecil lagi,
maka GE 6FA yang berkapasitas 85MW dapat digunakan.

Dengan kombinasi antara model dan banyaknya unit turbin gas yang akan digunakan ini, selain
akan membatasi kapasitas pembangkitan pada IGCC, sebenarnya juga akan mempersempit rentang
operasi. Misalnya ketika akan menurunkan beban pada saat operasi puncak, hal itu mesti dilakukan
dengan menurunkan beban pada turbin gas. Penurunan beban turbin gas ini otomatis akan menurunkan
efisiensi pembangkitan dan akibat yang kurang baik pada emisi polutan yang dihasilkan. Kelemahan
lain yang perlu dicermati dari sistem IGCC saat ini adalah ongkos pembangkitan per kW dan operation
& maintenance (O & M) yang lebih mahal, serta availability factor (AF) yang lebih rendah dibanding
PCC.

Sejarah IGCC dimulai pada tahun 1970 ketika perusahaan STEAG dari Jerman Barat
mengembangan IGCC berkapasitas 170MW. Jauh setelahnya, proyek demonstration plant IGCC
bernama Cool Water diluncurkan di AS pada tahun 1984, yang mengoperasikan IGCC berkapasitas
120MW sampai dengan tahun 1989. Sampai tulisan ini dibuat, sebenarnya belum ada unit IGCC yang
murni komersial. Penyebab utamanya adalah investasi pembangunannya yang besar, serta teknologi
IGCC yang belum terbukti. Teknologi IGCC disini maksudnya adalah rangkaian proses dari
keseluruhan bangunan (building block) yang membentuk sistem IGCC utuh. Hal ini perlu ditekankan
karena teknologi dari masing – masing unit pada IGCC misalnya gasifier, HRSG, turbin gas, turbin
uap, dan yang lainnya merupakan teknologi yang sudah terbukti. Selama perkembangan yang
berlangsung sekitar 20 tahun lebih sejak proyek Cool Water, unit IGCC yang beroperasi secara
komersial saat ini baik di AS maupun di Eropa pada awalnya berstatus demonstration plant. Contoh
beberapa plant IGCC tersebut adalah

1. Tampa Electric Polk 250MW IGCC Power Station, terletak di Florida, AS. IGCC ini beroperasi
sejak September 1996 dibawah proyek Tampa, menggunakan gasifier dari Chevron Texaco
(sekarang GE Energy). Bahan bakar yang digunakan adalah batubara dan petroleum coke (petcoke).
Masalah yang dihadapi adalah lebih rendahnya tingkat konversi karbon dibandingkan dengan nilai
yang direncanakan. Pernah pula terjadi fauling pada gas cooler.

2. Wabash River 260MW IGCC Power Station, terletak di Indiana, AS. Beroperasi sejak September
1995 dibawah proyek Wabash River, pembangkit ini menggunakan teknologi gasifikasi dari Global
Energy (saat ini bagian dari Conoco Phillips). Sejak berakhirnya proyek dari Departemen Energi
AS (DOE) pada tahun 2001, bahan bakar yang digunakan adalah petcoke 100%.

3. Nuon 250MW IGCC Power Station, terletak di Buggenum, Belanda. IGCC ini bermula dari proyek
Demkolec yang dimulai pada bulan Januari 1994. Teknologi yang digunakan adalah dari Shell,
yang bahan bakarnya adalah batubara dicampur dengan biomassa (sludge dan sampah kayu) untuk
lebih mengurangi emisi CO2. Masalah yang pernah terjadi adalah kebocoran pipa gas cooler dan
timbulnya fauling pada gas cooler ketika campuran sludge sekitar 4-5%.

Gambar 13. Nuon IGCC, Buggenum

(Sumber: Thomas Chhoa, Shell Gas & Power, 2005)

4. Elcogas 300MW IGCC Power Station, terletak di Puertollano, Spanyol.  Pembangkit IGCC ini
beroperasi sejak Juni 1996 dibawah proyek Puertollano, menggunakan teknologi gasifikasi dari
Prenflow (saat ini bagian dari Shell). Bahan bakarnya berupa campuran petcoke dan batubara
berkadar abu 40% dengan perbandingan 50:50. Di bawah program dari Uni Eropa, plant ini
direncanakan sebagai tempat untuk proyek pengambilan CO2 (CO2 recovery) dan produksi H2.

Dengan mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya efisiensi pembangkitan yang tinggi, faktor
ramah lingkungan, dan teknologi gasifikasi yang sudah terbukti, upaya untuk lebih mengurangi
kelemahan IGCC sudah mulai dilakukan.

Selain dari segi biaya, dilakukan pula upaya untuk lebih meningkatkan efisiensi pembangkitan, yaitu
dengan menambahkan sel bahan bakar (fuel cell) ke dalam sistem IGCC. Dengan demikian, akan
terdapat 3 jenis kombinasi pembangkitan pada sistem yang baru ini yaitu turbin gas, turbin uap, dan
fuel cell. Metode pembangkitan ini disebut dengan Integrated Coal Gasification Fuel Cell Combined
Cycle (IGFC), yang diagram alirnya ditampilkan pada gambar 16 di bawah ini.

Gambar 14. Tipikal IGFC


(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)

Pada sel bahan bakar, pembangkitan listrik dilakukan secara langsung melalui reaksi elektrokimia
antara hidrogen dan oksigen sehingga tingkat kerugian energinya sedikit dan efisiensi
pembangkitannya tinggi. Hidrogen tersebut dapat berasal dari gas alam, gas bio, atau gas hasil
gasifikasi batubara. Berdasarkan material yang digunakan untuk elektrolitnya, sel bahan bakar terbagi 4
yaitu Phosphoric-Acid Fuel Cell (PAFC), Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC), Solid-Oxide Fuel Cell
(SOFC), dan Proton-Exchange Membrane Fuel Cell (PEFC). Di bawah ini ditampilkan karakteristik
dari keempat jenis sel bahan bakar tersebut.

Tabel 1. Karakteristik Sel Bahan Bakar

(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)

Dari tabel di atas terlihat bahwa sel bahan bakar yang sesuai untuk kombinasi pembangkitan dengan
turbin gas adalah SOFC, karena reaksinya menghasilkan suhu yang sangat tinggi.

Dibandingkan dengan PCC, pembangkitan dengan metode IGFC ini secara teoretis mampu
mengurangi emisi CO2 sebesar 30%. Kelebihan lainnya adalah tingginya efisiensi pembangkitan yang
dapat dicapai yaitu minimal 55%. Disamping kelebihan tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan sebelum IGFC benar – benar dapat diaplikasikan secara komersial. Yang pertama adalah
urgensi pematangan teknologi IGCC, karena IGFC pada dasarnya adalah pengembangan dari IGCC.
Kemudian, perlunya pengembangan sel bahan bakar yang berefisiensi tinggi tapi murah, untuk
mendukung biaya pembangkitan yang kompetitif ke depannya.

Penutup

Perkembangan teknologi pembakaran pada PLTU batubara telah disajikan di atas. Secara umum
dapat dikatakan bahwa suatu teknologi yang berkembang tidak terlepas dari hal pokok yang disebut 3E,
yaitu Engineering (sisi teknis), Economy (sisi ekonomis), dan Environment (sisi lingkungan). Pada
tahap awal, faktor Economy mungkin menjadi pertimbangan utama untuk pembangunan fasilitas
pembangkitan, diikuti Engineering, dan terakhir Environment. Namun seiring dengan upaya
pengurangan polusi atau pencemaran lingkungan yang menyebabkan makin ketatnya baku mutu
lingkungan, terlihat bahwa urutan 3E tersebut mulai berubah. Faktor Environment secara perlahan
menempati urutan pertama dalam pertimbangan pengembangan teknologi, kemudian Engineering, dan
terakhir justru Economy.

Mengambil contoh IGCC, adalah wajar bila tahap awal perkembangannya pasti memerlukan biaya
yang besar. Namun seiring dengan menguatnya isu lingkungan dan matangnya teknologi tersebut,
biaya itu akan menurun dan pada waktu tertentu akan kompetitif terhadap teknologi yang sudah ada.
Sebaliknya, teknologi pembangkitan yang ada, misalnya PCC yang saat ini mendominasi, lambat laun
akan semakin mahal untuk mengakomodasi standar mutu lingkungan yang semakin ketat, dan pada
akhirnya justru malah akan membebani dari segi ekonomi. Di bawah ini ditampilkan perbandingan
biaya pembangkitan antara IGCC dan PCC di AS selama kurun 20 tahun terakhir, dan prediksinya di
masa depan.

Gambar 15. Perbandingan Biaya Pembangkitan per kW IGCC dan PCC di AS

(Sumber: JCOAL Journal, vol.3, Jan. 2006)

Dari grafik di atas terlihat bahwa selama 20 tahun terakhir, biaya pembangkitan untuk PCC meningkat
sekitar 50%. Peningkatan tersebut diakibatkan oleh penambahan peralatan untuk mengurangi beban
lingkungan, misalnya fasilitas desulfurisasi (FGD). Sebaliknya, biaya pembangkitan per kW pada
IGCC justru semakin menurun, dan diharapkan pada tahun 2010, nilainya akan sama dengan pada
PCC, yaitu sekitar $1200.
Seperti kita ketahui bahwa PLTU batu bara merupakan jenis pembangkit terbesar
yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia (PLN) untuk mengatasi kekurangan
pasokan listrik dan untuk mengurangi ketergantungan BBM pada PLTD (Diesel). Ini
tercermin pada program percepatan listrik nasional tahap pertama dan kedua,
walaupun porsinya dikurangi di tahap kedua.
Untuk itu, saya ingin menulis secara singkat sistem kerja PLTU batubara yang saya
ketahui dan berdasar pada referensi.

Prinsip Kerja PLTU Batubara 

Secara umum prinsip kerja PLTU batubara dapat dilihat pada gambar di bawah,
silahkan klik gambar untuk memperjelas atau memperbesarnya.

Keterangan gambar :

1. Cooling tower
2. Cooling water pump
3. Transimission line 3 phase 
4. Transformer 3-phase
5. Generator Listrik 3-phase
6. Low pressure turbine
7. Boiler feed pump
8. Condenser
9. Intermediate pressure turbine
10. Steam governor valve
11. High pressure turbine
12. Deaerator
13. Feed heater
14. Conveyor batubara
15. Penampung batubara
16. Pemecah batubara
17. Tabung Boiler
18. Penampung abu batubara
19. Pemanas
20. Forced draught fan
21. Preheater
22. combustion air intake
23. Economizer
24. Air preheater
25. Precipitator
26. Induced air fan
27. Cerobong

Prinsip kerja PLTU batubara secara singkat adalah sebagai berikut :

1. Batubara dari luar dialirkan ke penampung batubara dengan conveyor (14)


kemudian dihancurkan dengan the pulverized fuel mill (16) sehingga menjadi tepung
batubara.

2. Kemudian batubara halus tersebut dicampur dengan udara panas (24) oleh forced
draught fan (20) sehingga menjadi campuran udara panas dan bahan bakar (batu
bara).

3. Dengan tekanan yang tinggi, campuran udara panas dan batu bara disemprotkan
kedalam Boiler sehingga akan terbakar dengan cepat seperti semburan api.

4. Kemudian air dialirkan keatas melalui pipa yang ada dinding Boiler, air tersebut
akan dimasak dan menjadi uap, dan uap tersebut dialirkan ke tabung boiler (17)
untuk memisahkan uap dari air yang terbawa.

5. Selanjutnya uap dialirkan ke superheater(19) untuk melipatgandakan suhu dan


tekanan uap hingga mencapai suhu 570°C dan tekanan sekitar 200 bar yang
meyebabkan pipa ikut berpijar merah.

6. Uap dengan tekanan dan suhu yang tinggi inilah yang menjadi sumber tenaga
turbin tekanan tinggi (11) yang merupakan turbin tingkat pertama dari 3 tingkatan.

7. Untuk mengatur turbin agar mencapai set point, kita dapat menyeting steam
governor valve (10) secara manual maupun otomatis.

8. Suhu dan tekanan uap yang keluar dari Turbin tekanan tinggi (11) akan sangat
berkurang drastis, untuk itu uap ini dialirkan kembali ke boiler re-heater (21) untuk
meningkatkan suhu dan tekanannya kembali.

9. Uap yang sudah dipanaskan kembali tersebut digunakan sebagai penggerak turbin
tingkat kedua atau disebut turbin tekanan sedang (9), dan keluarannya langsung
digunakan untuk menggerakkan turbin tingkat 3 atau turbin tekanan rendah (6).

10. Uap keluaran dari turbin tingkat 3 mempunyai suhu sedikit diatas titik didih,
sehingga perlu di alirkan ke condensor (8) agar menjadi air untuk dimasak ulang.

11. Air tersebut kemudian dialirkan melalui deaerator (12) oleh feed pump (7) untuk
dimasak ulang. awalnya dipanaskan di feed heater (13) yang panasnya bersumber
dari high pressure set, kemudian ke economiser (23) sebelum di kembalikan ke
tabung boiler(17).

12. Sedangkan Air pendingin dari condensor akan di semprotkan kedalam cooling
tower (1) , dan inilah yang meyebabkan timbulnya asap air pada cooling tower.
kemudian air yang sudah agak dingin dipompa balik ke condensor sebagai air
pendingin ulang.

13. Ketiga turbin di gabung dengan shaft yang sama dengan generator 3 phase (5),
Generator ini kemudian membangkitkan listrik tegangan menengah ( 20-25 kV).

14. Dengan menggunakan transformer 3 phase (4) , tegangan dinaikkan menjadi


tegangan tinggi berkisar 250-500 kV yang kemudian dialirkan ke sistem transmisi 3
phase.

15. Sedangkan gas buang dari boiler di isap oleh kipas pengisap(26) agar melewati
electrostatic precipitator (25) untuk mengurangi polusi dan kemudian gas yg sudah
disaring akan dibuang melalui cerobong (27)

Anda mungkin juga menyukai