Anda di halaman 1dari 61

Pembakaran Batubara Serbuk Pada PLTU

Pembakaran Batubara Serbuk Pada PLTU


Penulis: Paula
Metode Pulverized Coal Combustion atau PCC pada pembakaran
bahan bakar saat ini masih digunakan oleh Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU), terutama PLTU yang berkapasitas besar. Hal ini
disebabkan karena sistem PCC yang digunakan oleh PLTU adalah
teknologi yang jelas sudah terbukti sangat handal. Upaya perbaikan
dan peningkatkan kinerja PLTU terutama dilakukan untuk
meningkatkan tekanan dan suhu uap yang dihasilkan dalam proses
pembakaran bahan bakar.
Perkembangan teknologi ini dimulai dari sub critical steam,
dilanjutkan dengan super critical steam, dan ultra super critical steam.
Beberapa PLTU yang sudah memanfaatkan teknologi ultra super
critical steam atau USC adalah pembagkit di teluk Tachibana, Jepang.
Pada PLTU tersebut boilernya berkapasitas 1050 MW yang dibuat
oleh Babcock Hitachi. Boiler tersebut mampu menghasilkan tekanan
uap sebesar 25 Mpa dan suhunya dapat mencapai
hingga 600/610.
Pada metode PCC, batubara diremuk terlebih dahulu dengan
memanfaatkan coal pulverizer sampai ukuran 200 mesh, kemudian
udara pembakaran disemprotkan kedalam boiler untuk dibakar.
Metode pembakaran ini cukup sensitid dengan kualitas batubara yang
digunakan, khususnya sifat ketergerusan, sifat fauling, sifat slagging,
dan kadar air. Biasanya batubara yang dipakai untuk boiker PCC
adalah batubara yang sifat ketergersannya dengan HGI di atas 40 serta
kadar airnya juga kurang dari 30 persen. Selain itu rasio bahan
bakarnya kurang dari 2. Metode pembakaran dengan PCC akan
menghasilkan abu clicker as sebanyak 15 persen dan sisa abu lainnya
adalah fly ash.
Saat pembakaran dilakukan, senyawa Nitrogen yang terkandung
dalam batu bara akan mengalami oksidasi untuk membentu NOx.
Sementara itu Nitrogen yang terdapat dalam udara pembakaran juga
akan mengalami oksidasi suhu tinggi yang juga akan membentuk

NOx yang biasa disebut sebagai thermal NOx. Total emisis NOx di
dalam gas buang mencapai 80 hingga 90 persen. Salah satu upaya
untuk mengatasi NOx ini adalah dengan melakukan tindakan denitrasi
di boiler ketika proses pembakaran batubara sedang berlangsung
dengan cara memanfaatkan sifat reduksi NOx di dalam batubara.
Posted by Nunu Hamdani at 8:42 AM
http://jumro.blogspot.co.id/2013/03/pembakaran-batubara-serbukpada-pltu.html

Pembakaran Batubara (Pulverized Fuel) 2


MECHANICAL / THERMODYNAMICS
BY ONNY

Batubara yang digunakan pada suatu PLTU untuk proses pembakaran,


mengalami beberapa proses secara mekanis untuk meningkatkan
efisiensi pembakaran. Berikut akan saya jelaskan secara singkat
proses-proses yang terjadi:

1. Yang pertama adalah proses grinding. Batubara yang akan masuk


ke dalam furnace digrinding terlebih dahulu menjadi berukuran
serbuk. Alat grindingnya bernama Pulverizer, untuk itulah batubara
yang sudah berbentuk serbuk dinamakan Pulverized Fuel. Tujuan
utama dari proses ini adalah untuk lebih meningkatkan efisiensi
pembakaran, karena ukuran batubara yang kecil berupa serbuk akan
lebih mudah terbakar daripada masih berukuran aslinya. Di sisi lain
juga agar lebih mudah mengontrol proses pembakaran yang terjadi di
dalam furnace secara otomatis. Sebagai gambaran saja, sebuah

pembangkit listrik tenaga uap dengan bahan baku batubara, yang


memiliki kapasitas beban listrik 610 MW dapat menghabiskan 300
ton batubara setiap jam.

Pulverizer

Batubara yang mengalami grinding akan melewati classifier


sebelum ia keluar dari pulverizer menuju furnace. Classifier adalah
semacam krepyak yang berfungsi sebagai ayakan, sehingga batubara
yang sudah berukuran sesuai dengan yang diinginkan bisa melewati
classifier dan menuju furnace. Sedangkan yang masih berukuran
terlalu besar akan digrinding lagi.

2. Proses kedua adalah proses transport batubara dari pulverizer


menuju furnace sekaligus proses pengeringan batubara tersebut.
Batubara tersebut ditransport menuju furnace dengan menggunakan
media udara panas. Panas dari udara ini dijaga di temperatur 68
Celcius. Panas dari udara inilah yang berfungsi untuk mengeringkan
batubara sebelum ia masuk ke dalam furnace. Tujuan utama
mengeringkan batubara ini juga untuk lebih meningkatkan efisiensi
porses pembakaran. Dapat dibayangkan apabila batubara yang masih
dalam kondisi basah (akibat hujan misalnya) masuk ke dalam furnace
lalu dibakar, pasti akan lebih banyak membutuhkan waktu karena
harus menunggu batubara tersebut kering terlebih dahulu. Lain halnya
apabila batubara yang digunakan sudah kering, pulverized fuel yang
dicampur dengan udara panas di dalam furnace akan lebih cepat untuk
dipicu terbakar oleh flame ignitor. Flame ignitor adalah pemicu api, di

kendaraan bermotor alat ini berupa busi yang digunakan untuk


memicu terjadinya pembakaran di ruang bakar.
http://artikel-teknologi.com/pembakaran-batubara-pulverized-fuel-2/

Teknologi Pembakaran Pada PLTU Batubara

Posted by imambudiraharjo on March 6, 2009

Pendahuluan

Klasifikasi kualitas batubara secara umum terbagi 2, yaitu pembagian


secara ilmiah dalam hal ini berdasarkan tingkat pembatubaraaan, dan
pembagian berdasarkan tujuan penggunaannya. Berdasarkan urutan
pembatubaraannya, batubara terbagi menjadi batubara muda (brown
coal atau lignite), sub bituminus, bituminus, dan antrasit. Sedangkan
berdasarkan tujuan penggunaannya, batubara terbagi menjadi
batubara uap (steam coal), batubara kokas (coking coal atau
metallurgical coal), dan antrasit.

Batubara uap merupakan batubara yang skala penggunaannya paling


luas. Berdasarkan metodenya, pemanfataan batubara uap terdiri dari
pemanfaatan secara langsung yaitu batubara yang telah memenuhi
spesifikasi tertentu langsung digunakan setelah melalui proses
peremukan (crushing/milling) terlebih dulu seperti pada PLTU
batubara, kemudian pemanfaatan dengan memproses terlebih dulu
untuk memudahkan penanganan (handling) seperti CWM (Coal Water

Slurry), COM (Coal Oil Mixture), dan CCS (Coal Cartridge System),
dan selanjutnya pemanfataan melalui proses konversi seperti
gasifikasi dan pencairan batubara

Pada PLTU batubara, bahan bakar yang digunakan adalah batubara


uap yang terdiri dari kelas sub bituminus dan bituminus. Lignit juga
mulai mendapat tempat sebagai bahan bakar pada PLTU belakangan
ini, seiring dengan perkembangan teknologi pembangkitan yang
mampu mengakomodasi batubara berkualitas rendah.

Gambar 1. Skema pembangkitan listrik pada PLTU batubara

(Sumber: The Coal Resource, 2004)

Pada PLTU, batubara dibakar di boiler menghasilkan panas yang


digunakan untuk mengubah air dalam pipa yang dilewatkan di boiler
tersebut menjadi uap, yang selanjutnya digunakan untuk
menggerakkan turbin dan memutar generator. Kinerja pembangkitan
listrik pada PLTU sangat ditentukan oleh efisiensi panas pada proses
pembakaran batubara tersebut, karena selain berpengaruh pada
efisiensi pembangkitan, juga dapat menurunkan biaya pembangkitan.

Kemudian dari segi lingkungan, diketahui bahwa jumlah emisi CO2


per satuan kalori dari batubara adalah yang terbanyak bila
dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya, dengan perbandingan
untuk batubara, minyak, dan gas adalah 5:4:3. Sehingga berdasarkan
uji coba yang mendapatkan hasil bahwa kenaikan efisiensi panas
sebesar 1% akan dapat menurunkan emisi CO2 sebesar 2,5%, maka
efisiensi panas yang meningkat akan dapat mengurangi beban
lingkungan secara signifikan akibat pembakaran batubara. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa teknologi pembakaran (combustion
technology) merupakan tema utama pada upaya peningkatan efisiensi
pemanfaatan batubara secara langsung sekaligus upaya antisipasi isu
lingkungan ke depannya.

Pada dasarnya metode pembakaran pada PLTU terbagi 3, yaitu


pembakaran lapisan tetap (fixed bed combustion), pembakaran
batubara serbuk (pulverized coal combustion /PCC), dan pembakaran
lapisan mengambang (fluidized bed combustion / FBC). Gambar 3 di
bawah ini menampilkan jenis jenis boiler yang digunakan untuk
masing masing metode pembakaran.

Gambar 2. Tipikal boiler berdasarkan metode pembakaran

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)

Pembakaran Lapisan Tetap

Metode lapisan tetap menggunakan stoker boiler untuk proses


pembakarannya. Sebagai bahan bakarnya adalah batubara dengan
kadar abu yang tidak terlalu rendah dan berukuran maksimum sekitar
30mm. Selain itu, karena adanya pembatasan sebaran ukuran butiran
batubara yang digunakan, maka perlu dilakukan pengurangan jumlah
fine coal yang ikut tercampur ke dalam batubara tersebut. Alasan
tidak digunakannya batubara dengan kadar abu yang terlalu rendah
adalah karena pada metode pembakaran ini, batubara dibakar di atas
lapisan abu tebal yang terbentuk di atas kisi api (traveling fire grate)
pada stoker boiler. Bila kadar abunya sangat sedikit, lapisan abu tidak
akan terbentuk di atas kisi tersebut sehingga pembakaran akan
langsung terjadi pada kisi, yang dapat menyebabkan kerusakan yang
parah pada bagian tersebut. Oleh karena itu, kadar abu batubara yang
disukai untuk tipe boiler ini adalah sekitar 10 15%. Adapun tebal
minimum lapisan abu yang diperlukan untuk pembakaran adalah 5cm.

Gambar 3. Stoker Boiler

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)

Pada pembakaran dengan stoker ini, abu hasil pembakaran berupa fly
ash jumlahnya sedikit, hanya sekitar 30% dari keseluruhan. Kemudian
dengan upaya seperti pembakaran NOx dua tingkat, kadar NOx dapat
diturunkan hingga sekitar 250 300 ppm. Sedangkan untuk
menurunkan SOx, masih diperlukan tambahan fasilitas berupa alat
desulfurisasi gas buang.

Pembakaran Batubara Serbuk (Pulverized Coal Combustion/PCC)

Saat ini, kebanyakan PLTU terutama yang berkapasitas besar masih


menggunakan metode PCC pada pembakaran bahan bakarnya. Hal ini
karena sistem PCC merupakan teknologi yang sudah terbukti dan
memiliki tingkat kehandalan yang tinggi. Upaya perbaikan kinerja
PLTU ini terutama dilakukan dengan meningkatkan suhu dan tekanan
dari uap yang dihasilkan selama proses pembakaran.
Perkembangannya dimulai dari sub critical steam, kemudian super
critical steam, serta ultra super critical steam (USC). Sebagai contoh
PLTU yang menggunakan teknologi USC adalah pembangkit no. 1
dan 2 milik J-Power di teluk Tachibana, Jepang, yang boilernya
masing masing berkapasitas 1050 MW buatan Babcock Hitachi.
Tekanan uap yang dihasilkan adalah sebesar 25 MPa (254.93
kgf/cm2) dan suhunya mencapai 600/610 (1 stage reheat cycle).
Perkembangan kondisi uap dan grafik peningkatan efisiensi
pembangkitan pada PCC ditunjukkan pada gambar 4 di di bawah ini.

Gambar 4. Perkembangan kondisi uap PLTU

(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)

Pada PCC, batubara diremuk dulu dengan menggunakan coal


pulverizer (coal mill) sampai berukuran 200 mesh (diameter 74m),
kemudian bersama sama dengan udara pembakaran disemprotkan
ke boiler untuk dibakar. Pembakaran metode ini sensitif terhadap
kualitas batubara yang digunakan, terutama sifat ketergerusan
(grindability), sifat slagging, sifat fauling, dan kadar air (moisture
content). Batubara yang disukai untuk boiler PCC adalah yang
memiliki sifat ketergerusan dengan HGI (Hardgrove Grindability
Index) di atas 40 dan kadar air kurang dari 30%, serta rasio bahan
bakar (fuel ratio) kurang dari 2. Pembakaran dengan metode PCC ini
akan menghasilkan abu yang terdiri diri dari clinker ash sebanyak
15% dan sisanya berupa fly ash.

Gambar 5. PCC Boiler

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)

Ketika dilakukan pembakaran, senyawa Nitrogen yang ada di dalam


batubara akan beroksidasi membentuk NOx yang disebut dengan fuel
NOx, sedangkan Nitrogen pada udara pembakaran akan mengalami
oksidasi suhu tinggi membentuk NOx pula yang disebut dengan
thermal NOx. Pada total emisi NOx dalam gas buang, kandungan fuel
NOx mencapai 80 90%. Untuk mengatasi NOx ini, dilakukan
tindakan denitrasi (de-NOx) di boiler saat proses pembakaran
berlangsung, dengan memanfaatkan sifat reduksi NOx dalam
batubara.

Gambar 6. Proses denitrasi pada boiler PCC

(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)

Pada proses pembakaran tersebut, kecepatan injeksi campuran


batubara serbuk dan udara ke dalam boiler dikurangi sehingga
pengapian bahan bakar dan pembakaran juga melambat. Hal ini dapat
menurunkan suhu pembakaran, yang berakibat pada menurunnya
kadar thermal NOx.

Selain itu, sebagaimana terlihat pada gambar 6 di atas, bahan bakar


tidak semuanya dimasukkan ke zona pembakaran utama, tapi
sebagian dimasukkan ke bagian di sebelah atas burner utama. NOx
yang dihasilkan dari pembakara utama selanjutnya dibakar melalui 2
tingkat. Di zona reduksi yang merupakan pembakaran tingkat pertama
atau disebut pula pembakaran reduksi (reducing combustion),
kandungan Nitrogen dalam bahan bakar akan diubah menjadi N2.
Selanjutnya, dilakukan pembakaran tingkat kedua atau pembakaran
oksidasi (oxidizing combustion), berupa pembakaran sempurna di
zona pembakaran sempurna. Dengan tindakan ini, NOx dalam gas
buang dapat ditekan hingga mencapai 150 200 ppm. Sedangkan
untuk desulfurisasi masih memerlukan peralatan tambahan yaitu alat
desulfurisasi gas buang.

Pembakaran Lapisan Mengambang (Fluidized Bed Combustion/FBC)

Pada pembakaran dengan metode FBC, batubara diremuk terlebih


dulu dengan menggunakan crusher sampai berukuran maksimum
25mm. Tidak seperti pembakaran menggunakan stoker yang
menempatkan batubara di atas kisi api selama pembakaran atau
metode PCC yang menyemprotkan campuran batubara dan udara
pada saat pembakaran, butiran batubara dijaga agar dalam posisi
mengambang, dengan cara melewatkan angin berkecepatan tertentu
dari bagian bawah boiler. Keseimbangan antara gaya dorong ke atas
dari angin dan gaya gravitasi akan menjaga butiran batubara tetap
dalam posisi mengambang sehingga membentuk lapisan seperti fluida
yang selalu bergerak. Kondisi ini akan menyebabkan pembakaran
bahan bakar yang lebih sempurna karena posisi batubara selalu

berubah sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik dan


mencukupi untuk proses pembakaran.

Karena sifat pembakaran yang demikian, maka persyaratan spesifikasi


bahan bakar yang akan digunakan untuk FBC tidaklah seketat pada
metode pembakaran yang lain. Secara umum, tidak ada pembatasan
yang khusus untuk kadar zat terbang (volatile matter), rasio bahan
bakar (fuel ratio) dan kadar abu. Bahkan semua jenis batubara
termasuk peringkat rendah sekalipun dapat dibakar dengan baik
menggunakan metode FBC ini. Hanya saja ketika batubara akan
dimasukkan ke boiler, kadar air yang menempel di permukaannya
(free moisture) diharapkan tidak lebih dari 4%. Selain kelebihan di
atas, nilai tambah dari metode FBC adalah alat peremuk batubara
yang dipakai tidak terlalu rumit, serta ukuran boiler dapat diperkecil
dan dibuat kompak.

Bila suhu pembakaran pada PCC adalah sekitar 1400 1500, maka
pada FBC, suhu pembakaran berkisar antara 850 900 saja
sehingga kadar thermal NOx yang timbul dapat ditekan. Selain itu,
dengan mekanisme pembakaran 2 tingkat seperti pada PCC, kadar
NOx total dapat lebih dikurangi lagi.

Kemudian, bila alat desulfurisasi masih diperlukan untuk penanganan


SOx pada metode pembakaran tetap dan PCC, maka pada FBC,
desulfurisasi dapat terjadi bersamaan dengan proses pembakaran di

boiler. Hal ini dilakukan dengan cara mencampur batu kapur (lime
stone, CaCO3) dan batubara kemudian secara bersamaan dimasukkan
ke boiler. SOx yang dihasilkan selama proses pembakaran, akan
bereaksi dengan kapur membentuk gipsum (kalsium sulfat). Selain
untuk proses desulfurisasi, batu kapur juga berfungsi sebagai media
untuk fluidized bed karena sifatnya yang lunak sehingga pipa
pemanas (heat exchanger tube) yang terpasang di dalam boiler tidak
mudah aus.

Gambar 7. Tipikal boiler FBC

(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)

Berdasarkan mekanisme kerja pembakaran, metode FBC terbagi 2


yaitu Bubbling FBC dan Circulating FBC (CFBC), seperti
ditampilkan pada gambar 7 di atas. Dapat dikatakan bahwa Bubbling
FBC merupakan prinsip dasar FBC, sedangkan CFBC merupakan
pengembangannya.

Pada CFBC, terdapat alat lain yang terpasang pada boiler yaitu
cyclone suhu tinggi. Partikel media fluidized bed yang belum bereaksi
dan batubara yang belum terbakar yang ikut terbang bersama aliran
gas buang akan dipisahkan di cyclone ini untuk kemudian dialirkan

kembali ke boiler. Melalui proses sirkulasi ini, ketinggian fluidized


bed dapat terjaga, proses denitrasi dapat berlangsung lebih optimal,
dan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi dapat tercapai. Oleh
karena itu, selain batubara berkualitas rendah, material seperti
biomasa, sludge, plastik bekas, dan ban bekas dapat pula digunakan
sebagai bahan bakar pada CFBC. Adapun abu sisa pembakaran
hampir semuanya berupa fly ash yang mengalir bersama gas buang,
dan akan ditangkap lebih dulu dengan menggunakan Electric
Precipitator sebelum gas buang keluar ke cerobong asap (stack).

Gambar 8. CFBC Boiler

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)

Pada FBC, bila tekanan di dalam boiler sama dengan tekanan udara
luar, disebut dengan Atmospheric FBC (AFBC), sedangkan bila
tekanannya lebih tinggi dari pada tekanan udara luar, sekitar 1 MPa,
disebut dengan Pressurized FBC (PFBC).

Faktor tekanan udara pembakaran memberikan pengaruh terhadap


perkembangan teknologi FBC ini. Untuk Bubbling FBC berkembang
dari PFBC menjadi Advanced PFBC (A-PFBC), sedangkan untuk

CFBC selanjutnya berkembang menjadi Internal CFBC (ICFBC) dan


kemudian Pressurized ICFBC (PICFBC).

PFBC

Pada PFBC, selain dihasilkan panas yang digunakan untuk


memanaskan air menjadi uap untuk memutar turbin uap, dihasilkan
pula gas hasil pembakaran yang memiliki tekanan tinggi yang dapat
memutar turbin gas, sehingga PLTU yang menggunakan PFBC
memiliki efisiensi pembangkitan yang lebih baik dibandingkan
dengan AFBC karena mekanisme kombinasi (combined cycle) ini.
Nilai efisiensi bruto pembangkitan (gross efficiency) dapat mencapai
43%.

Sesuai dengan prinsip pembakaran pada FBC, SOx yang dihasilkan


pada PFBC dapat ditekan dengan mekanisme desulfurisasi bersamaan
dengan pembakaran di dalam boiler, sedangkan NOx dapat ditekan
dengan pembakaran pada suhu relatif rendah (sekitar 860) dan
pembakaran 2 tingkat. Karena gas hasil pembakaran masih
dimanfaatkan lagi dengan mengalirkannya ke turbin gas, maka abu
pembakaran yang ikut mengalir keluar bersama dengan gas tersebut
perlu dihilangkan lebih dulu. Pemakaian CTF (Ceramic Tube Filter)
dapat menangkap abu ini secara efektif. Kondisi bertekanan yang
menghasilkan pembakaran yang lebih baik ini secara otomatis akan
menurunkan kadar emisi CO2 sehingga dapat mengurangi beban
lingkungan.

Gambar 9. Prinsip kerja PFBC

(Sumber: Coal Note, 2001)

Untuk lebih meningkatkan efisiensi panas, unit gasifikasi sebagian


(partial gasifier) yang menggunakan teknologi gasifikasi lapisan
mengambang (fluidized bed gasification) kemudian ditambahkan
pada unit PFBC. Dengan kombinasi teknologi gasifikasi ini maka
upaya peningkatan suhu gas pada pintu masuk (inlet) turbin gas
memungkinkan untuk dilakukan.

Pada proses gasifikasi di partial gasifier tersebut, konversi karbon


yang dicapai adalah sekitar 85%. Nilai ini dapat ditingkatkan menjadi
100% melalui kombinasi dengan pengoksidasi (oxidizer).
Pengembangan lebih lanjut dari PFBC ini dinamakan dengan
Advanced PFBC (A-PFBC), yang prinsip kerjanya ditampilkan pada
gambar 10 di bawah ini. Efisiensi netto pembangkitan (net efficiency)
yang dihasilkan pada A-PFBC ini sangat tinggi, dapat mencapai 46%.

Gambar 10. Prinsip kerja A-PFBC

(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)

ICFBC

Penampang boiler ICFBC ditampilkan pada gambar 11 di bawah ini.

Gambar 11. Penampang boiler ICFBC

(Sumber: Coal Note, 2001)

Seperti terlihat pada gambar, ruang pembakaran utama (primary


combustion chamber) dan ruang pengambilan panas (heat recovery
chamber) dipisahkan oleh dinding penghalang yang terpasang miring.
Kemudian, karena pipa pemanas (heat exchange tube) tidak terpasang
langsung pada ruang pembakaran utama, maka tidak ada
kekhawatiran terhadap keausan pipa sehingga pasir silika digunakan

sebagai pengganti batu kapur untuk media FBC. Batu kapur masih
tetap digunakan sebagai bahan pereduksi SOx, hanya jumlahnya
ditekan sesuai dengan keperluan saja.

Di bagian bawah ruang pembakaran utama terpasang windbox untuk


mengalirkan angin ke boiler, dimana angin bervolume kecil dialirkan
melalui bagian tengah untuk menciptakan lapisan bergerak (moving
bed) yang lemah, dan angin bervolume besar dialirkan melewati
kedua sisi windbox tersebut untuk menimbulkan lapisan bergerak
yang kuat. Dengan demikian maka pada bagian tengah ruang
pembakaran utama akan terbentuk lapisan bergerak yang turun secara
perlahan, sedangkan pada kedua sisi ruang tersebut, media FBC akan
terangkat kuat ke atas menuju ke bagian tengah ruang pembakaran
utama dan kemudian turun perlahan lahan, dan kemudian terangkat
lagi oleh angin bervolume besar dari windbox. Proses ini akan
menciptakan aliran berbentuk spiral (spiral flow) yang terjadi secara
kontinyu pada ruang pembakaran utama. Mekanisme aliran spiral dari
media FBC ini dapat menjaga suhu lapisan mengambang supaya
seragam. Selain itu, karena aliran tersebut bergerak dengan sangat
dinamis, maka pembuangan material yang tidak terbakar juga lebih
mudah.

Kemudian, ketika media FBC yang terangkat kuat tersebut sampai di


bagian atas dinding penghalang, sebagian akan berbalik menuju ke
ruang pengambilan panas. Karena pada ruang pengambilan panas
tersebut juga dialirkan angin dari bagian bawah, maka pada ruang
tersebut akan terbentuk lapisan bergerak yang turun perlahan juga.
Akibatnya, media FBC akan mengalir dari ruang pembakaran utama

menuju ke ruang pengambilan panas kemudian kembali lagi ke ruang


pembakaran utama, membentuk aliran sirkulasi (circulating flow) di
antara kedua ruang tersebut. Menggunakan pipa pemanas yang
terpasang pada ruang pengambilan panas, panas dari ruang
pembakaran utama diambil melalui mekanisme aliran sirkulasi tadi.

Secara umum, perubahan volume angin yang dialirkan ke ruang


pengambilan panas berbanding lurus dengan koefisien hantar panas
secara keseluruhan. Dengan demikian maka hanya dengan mengatur
volume angin tersebut, tingkat keterambilan panas serta suhu pada
lapisan mengambang dapat dikontrol dengan baik, sehingga
pengaturan beban dapat dilakukan dengan mudah pula.

Untuk lebih meningkatkan kinerja pembangkitan, proses pada ICFBC


kemudian diberi tekanan dengan cara memasukkan unit ICFBC ke
dalam wadah bertekanan (pressurized vessel), yang selanjutnya
disebut dengan Pressurized ICFBC (PICFBC). Dengan mekanisme ini
maka selain uap air, akan dihasilkan pula gas hasil pembakaran
bertekanan tinggi yang dapat digunakan untuk memutar turbin gas
sehingga pembangkitan secara kombinasi (combined cycle) dapat
diwujudkan.

Pembangkitan Kombinasi Dengan Gasifikasi Batubara

Peningkatan efisiensi pembangkitan dengan mekanisme kombinasi


melalui pemanfaatan gas sintetis hasil proses gasifikasi seperti pada
A-PFBC, selanjutnya mengarahkan teknologi pembangkitan untuk
lebih mengintensifkan penggunaan teknologi gasifikasi batubara ke
dalam sistem pembangkitan. Upaya ini akhirnya menghasilkan sistem
pembangkitan yang disebut dengan Integrated Coal Gasification
Combined Cycle (IGCC).

Karena tulisan ini hanya membahas perkembangan teknologi


pembangkitan listrik, maka penjelasan tentang bagaimana proses
gasifikasi batubara berlangsung tidak akan diterangkan disini.

IGCC

Garis besar diagram alir pembangkit listrik sistem IGCC ditampilkan


pada gambar 12 di bawah ini.

Gambar 12. Tipikal IGCC

(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)

Seperti terlihat pada gambar, pada sistem ini terdapat alat gasifikasi
(gasifier) yang digunakan untuk menghasilkan gas, umumnya bertipe
entrained flow. Yang tersedia di pasaran saat ini untuk tipe tersebut
misalnya Chevron Texaco (lisensinya sekarang dimiliki GE Energy),
E-Gas (lisensinya dulu dimiliki Dow, kemudian Destec, dan terakhir
Conoco Phillips ), dan Shell. Prinsip kerja ketiga alat tersebut adalah
sama, yaitu batubara dan oksigen berkadar tinggi dimasukkan
kedalamnya kemudian dilakukan reaksi berupa oksidasi sebagian
(partial oxidation) untuk menghasilkan gas sintetis (syngas), yang
85% lebih komposisinya terdiri dari H2 dan CO. Karena reaksi
berlangsung pada suhu tinggi, abu pada batubara akan melebur dan
membentuk slag dalam kondisi meleleh (glassy slag). Adapun panas
yang ditimbulkan oleh proses gasifikasi dapat digunakan untuk
menghasilkan uap bertekanan tinggi, yang selanjutnya dialirkan ke
turbin uap.

Oksigen yang digunakan untuk proses gasifikasi dihasilkan dari


fasilitas Air Separation Unit (ASU). Unit ini berfungsi untuk
memisahkan oksigen dari udara melalui mekanisme cryogenic
separation, menghasilkan oksigen berkadar sekitar 95%. Selain
oksigen, pada ASU juga dihasilkan nitrogen yang digunakan sebagai
media inert untuk feeding batubara ke gasifier, selain dapat pula
digunakan untuk menurunkan suhu pada combustor sehingga emisi
NOx dapat terkontrol.

Pada gas sintetis, selain H2 dan CO juga dihasilkan unsur lain yang
tidak ramah lingkungan seperti HCN, H2S, NH3, COS, uap air raksa,
dan char. Oleh karena itu, gas harus diproses terlebih dulu untuk
menghilangkan bagian tersebut sebelum dikirim ke turbin gas. Gas
buang dari turbin gas kemudian mengalir ke Heat Recovery Steam
Generator (HRSG) yang berfungsi mengubah panas dari gas tersebut
menjadi uap air, yang selanjutnya dialirkan menuju turbin uap.
Dengan mekanisme seperti ini, efisiensi netto pembangkitan yang
dihasilkan juga jauh melebihi pembangkitan pada sistem biasa (PCC)
yang saat ini mendominasi. Selain efisiensi pembangkitan, kelebihan
lain IGCC adalah sangat rendahnya kadar emisi polutan yang
dihasilkan, fleksibilitas bahan bakar yang dapat digunakan,
penggunaan air yang 30-40% lebih rendah dibanding PLTU
konvensional (PCC), tingkat penangkapan CO2 yang signifikan, slag
yang dapat dimanfaatkan untuk material pekerjaan konstruksi, dan
lain lain.

Sebagai contoh adalah Nuon IGCC yang terletak di Buggenum,


Belanda, berkapasitas 250MW. Pembangkit ini menghasilkan efisiensi
netto sebesar 43% (Low Heating Value), dengan performansi baku
mutu lingkungan yang sangat bagus. Emisi NOx yang dihasilkan
sangat rendah yaitu kurang dari 10 ppm, kemudian efisiensi
pembuangan sulfur di atas 99%, tingkat emisi flyash, senyawa klorida
dan logam berat mudah menguap yang bisa dibilang nol, serta air
limbah yang bisa diresirkulasi kembali sehingga tidak ada buangan air
limbah ke lingkungan.

Di samping kelebihan tersebut, terdapat pula kelemahan pada sistem


IGCC yang dikembangkan saat ini, misalnya, besarnya kapasitas
pembangkitan yang ditentukan berdasarkan banyaknya unit dan
model turbin gas yang akan digunakan. Contohnya untuk turbin gas
GE Frame 7FA yang berkapasitas 275MW. Apabila IGCC akan
dioperasikan dengan kapasitas pembangkitan 275MW, berarti cukup 1
unit yang dipasang. Bila 2 unit yang akan digunakan, berarti kapasitas
pembangkitan menjadi 550MW, dan bila 3 unit maka akan menjadi
825MW. Kemudian bila kapasitas pembangkitan yang diinginkan
adalah di bawah 200MW, maka model yang dipakai bukan lagi GE
Frame 7FA, tapi GE 7FA yang berkapasitas 197MW. Demikian pula
bila menghendaki kapasitas pembangkitan yang lebih kecil lagi, maka
GE 6FA yang berkapasitas 85MW dapat digunakan.

Dengan kombinasi antara model dan banyaknya unit turbin gas yang
akan digunakan ini, selain akan membatasi kapasitas pembangkitan
pada IGCC, sebenarnya juga akan mempersempit rentang operasi.
Misalnya ketika akan menurunkan beban pada saat operasi puncak,
hal itu mesti dilakukan dengan menurunkan beban pada turbin gas.
Penurunan beban turbin gas ini otomatis akan menurunkan efisiensi
pembangkitan dan akibat yang kurang baik pada emisi polutan yang
dihasilkan. Kelemahan lain yang perlu dicermati dari sistem IGCC
saat ini adalah ongkos pembangkitan per kW dan operation &
maintenance (O & M) yang lebih mahal, serta availability factor (AF)
yang lebih rendah dibanding PCC.

Sejarah IGCC dimulai pada tahun 1970 ketika perusahaan STEAG


dari Jerman Barat mengembangan IGCC berkapasitas 170MW. Jauh

setelahnya, proyek demonstration plant IGCC bernama Cool Water


diluncurkan di AS pada tahun 1984, yang mengoperasikan IGCC
berkapasitas 120MW sampai dengan tahun 1989. Sampai tulisan ini
dibuat, sebenarnya belum ada unit IGCC yang murni komersial.
Penyebab utamanya adalah investasi pembangunannya yang besar,
serta teknologi IGCC yang belum terbukti. Teknologi IGCC disini
maksudnya adalah rangkaian proses dari keseluruhan bangunan
(building block) yang membentuk sistem IGCC utuh. Hal ini perlu
ditekankan karena teknologi dari masing masing unit pada IGCC
misalnya gasifier, HRSG, turbin gas, turbin uap, dan yang lainnya
merupakan teknologi yang sudah terbukti. Selama perkembangan
yang berlangsung sekitar 20 tahun lebih sejak proyek Cool Water, unit
IGCC yang beroperasi secara komersial saat ini baik di AS maupun di
Eropa pada awalnya berstatus demonstration plant. Contoh beberapa
plant IGCC tersebut adalah

1. Tampa Electric Polk 250MW IGCC Power Station, terletak di


Florida, AS. IGCC ini beroperasi sejak September 1996 dibawah
proyek Tampa, menggunakan gasifier dari Chevron Texaco (sekarang
GE Energy). Bahan bakar yang digunakan adalah batubara dan
petroleum coke (petcoke). Masalah yang dihadapi adalah lebih
rendahnya tingkat konversi karbon dibandingkan dengan nilai yang
direncanakan. Pernah pula terjadi fauling pada gas cooler.

2. Wabash River 260MW IGCC Power Station, terletak di Indiana,


AS. Beroperasi sejak September 1995 dibawah proyek Wabash River,
pembangkit ini menggunakan teknologi gasifikasi dari Global Energy
(saat ini bagian dari Conoco Phillips). Sejak berakhirnya proyek dari

Departemen Energi AS (DOE) pada tahun 2001, bahan bakar yang


digunakan adalah petcoke 100%.

3. Nuon 250MW IGCC Power Station, terletak di Buggenum,


Belanda. IGCC ini bermula dari proyek Demkolec yang dimulai pada
bulan Januari 1994. Teknologi yang digunakan adalah dari Shell, yang
bahan bakarnya adalah batubara dicampur dengan biomassa (sludge
dan sampah kayu) untuk lebih mengurangi emisi CO2. Masalah yang
pernah terjadi adalah kebocoran pipa gas cooler dan timbulnya fauling
pada gas cooler ketika campuran sludge sekitar 4-5%.

Gambar 13. Nuon IGCC, Buggenum

(Sumber: Thomas Chhoa, Shell Gas & Power, 2005)

4. Elcogas 300MW IGCC Power Station, terletak di Puertollano,


Spanyol. Pembangkit IGCC ini beroperasi sejak Juni 1996 dibawah
proyek Puertollano, menggunakan teknologi gasifikasi dari Prenflow
(saat ini bagian dari Shell). Bahan bakarnya berupa campuran petcoke
dan batubara berkadar abu 40% dengan perbandingan 50:50. Di
bawah program dari Uni Eropa, plant ini direncanakan sebagai tempat
untuk proyek pengambilan CO2 (CO2 recovery) dan produksi H2.

Dengan mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya efisiensi


pembangkitan yang tinggi, faktor ramah lingkungan, dan teknologi
gasifikasi yang sudah terbukti, upaya untuk lebih mengurangi
kelemahan IGCC sudah mulai dilakukan.

Selain dari segi biaya, dilakukan pula upaya untuk lebih


meningkatkan efisiensi pembangkitan, yaitu dengan menambahkan
sel bahan bakar (fuel cell) ke dalam sistem IGCC. Dengan demikian,
akan terdapat 3 jenis kombinasi pembangkitan pada sistem yang baru
ini yaitu turbin gas, turbin uap, dan fuel cell. Metode pembangkitan
ini disebut dengan Integrated Coal Gasification Fuel Cell Combined
Cycle (IGFC), yang diagram alirnya ditampilkan pada gambar 16 di
bawah ini.

Gambar 14. Tipikal IGFC

(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)

Pada sel bahan bakar, pembangkitan listrik dilakukan secara langsung


melalui reaksi elektrokimia antara hidrogen dan oksigen sehingga
tingkat kerugian energinya sedikit dan efisiensi pembangkitannya
tinggi. Hidrogen tersebut dapat berasal dari gas alam, gas bio, atau
gas hasil gasifikasi batubara. Berdasarkan material yang digunakan
untuk elektrolitnya, sel bahan bakar terbagi 4 yaitu Phosphoric-Acid
Fuel Cell (PAFC), Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC), Solid-Oxide
Fuel Cell (SOFC), dan Proton-Exchange Membrane Fuel Cell
(PEFC). Di bawah ini ditampilkan karakteristik dari keempat jenis sel
bahan bakar tersebut.

Tabel 1. Karakteristik Sel Bahan Bakar

(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)

Dari tabel di atas terlihat bahwa sel bahan bakar yang sesuai untuk
kombinasi pembangkitan dengan turbin gas adalah SOFC, karena
reaksinya menghasilkan suhu yang sangat tinggi.

Dibandingkan dengan PCC, pembangkitan dengan metode IGFC ini


secara teoretis mampu mengurangi emisi CO2 sebesar 30%.
Kelebihan lainnya adalah tingginya efisiensi pembangkitan yang
dapat dicapai yaitu minimal 55%. Disamping kelebihan tersebut,
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum IGFC benar
benar dapat diaplikasikan secara komersial. Yang pertama adalah
urgensi pematangan teknologi IGCC, karena IGFC pada dasarnya
adalah pengembangan dari IGCC. Kemudian, perlunya
pengembangan sel bahan bakar yang berefisiensi tinggi tapi murah,
untuk mendukung biaya pembangkitan yang kompetitif ke depannya.

Penutup

Perkembangan teknologi pembakaran pada PLTU batubara telah


disajikan di atas. Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu
teknologi yang berkembang tidak terlepas dari hal pokok yang disebut
3E, yaitu Engineering (sisi teknis), Economy (sisi ekonomis), dan
Environment (sisi lingkungan). Pada tahap awal, faktor Economy
mungkin menjadi pertimbangan utama untuk pembangunan fasilitas
pembangkitan, diikuti Engineering, dan terakhir Environment. Namun
seiring dengan upaya pengurangan polusi atau pencemaran
lingkungan yang menyebabkan makin ketatnya baku mutu
lingkungan, terlihat bahwa urutan 3E tersebut mulai berubah. Faktor
Environment secara perlahan menempati urutan pertama dalam
pertimbangan pengembangan teknologi, kemudian Engineering, dan
terakhir justru Economy.

Mengambil contoh IGCC, adalah wajar bila tahap awal


perkembangannya pasti memerlukan biaya yang besar. Namun seiring
dengan menguatnya isu lingkungan dan matangnya teknologi
tersebut, biaya itu akan menurun dan pada waktu tertentu akan
kompetitif terhadap teknologi yang sudah ada. Sebaliknya, teknologi
pembangkitan yang ada, misalnya PCC yang saat ini mendominasi,
lambat laun akan semakin mahal untuk mengakomodasi standar mutu
lingkungan yang semakin ketat, dan pada akhirnya justru malah akan
membebani dari segi ekonomi. Di bawah ini ditampilkan
perbandingan biaya pembangkitan antara IGCC dan PCC di AS
selama kurun 20 tahun terakhir, dan prediksinya di masa depan.

Gambar 15. Perbandingan Biaya Pembangkitan per kW IGCC dan


PCC di AS

(Sumber: JCOAL Journal, vol.3, Jan. 2006)

Dari grafik di atas terlihat bahwa selama 20 tahun terakhir, biaya


pembangkitan untuk PCC meningkat sekitar 50%. Peningkatan
tersebut diakibatkan oleh penambahan peralatan untuk mengurangi
beban lingkungan, misalnya fasilitas desulfurisasi (FGD). Sebaliknya,
biaya pembangkitan per kW pada IGCC justru semakin menurun, dan
diharapkan pada tahun 2010, nilainya akan sama dengan pada PCC,
yaitu sekitar $1200.

Referensi

1. Amick, Phil, Coal Gasification Flexibility for Fuels & Products,


ConocoPhillips, 2005

2. Baardson, John A., Coal to Liquids: Shell Coal Gasification with


Fischer-Tropsch Synthesis, Baardson Energy LLC, 2003.

3. Chhoa, Thomas, Shell Gasification Business in Action, Shell Gas &


Power, 2005.

4. JCOAL, Coal Science Handbook, Japan Coal Energy Center, 2005.

5. JCOAL, JCOAL Journal Vol. 2, Nov. 2005, Japan Coal Energy


Center, 2005.

6. JCOAL, JCOAL Journal Vol. 3, Jan. 2006, Japan Coal Energy


Center, 2006.

7. JCOAL, JCOAL Journal Vol. 4, Mar. 2006, Japan Coal Energy


Center, 2006.

8. Material Presentasi, Idemitsu Kosan Co., Ltd, 2003.

9. Sekitan no Kiso Chishiki, Sekitan Shigen Kaihatsu Kabushiki


Kaisha.

10. Shigen Enerugi- Chou Shigen Nenryou Bu, Ko-ru No-to 2001
Nen Ban, Shigen Sangyou Shinbunsha, 2001.

11. Sema, Tohru, Karyoku Hatsuden Souron, Denki Gakkai, 2002.

12. WCI, The Coal Resource, World Coal Institute, 2004.

Samarinda, 2006.
https://imambudiraharjo.wordpress.com/2009/03/06/teknologipembakaran-pada-pltu-batubara/

Arah Perkembangan Proyek IGCC Dunia*

Posted by imambudiraharjo on September 15, 2009

Oleh: Kazuhiro Ohta

(Senior Engineer, Thermal Power Project, Mitsubishi Heavy Industry)

1. Pendahuluan

Batubara memiliki cadangan yang tersebar merata di seluruh dunia,


serta harga yang relatif murah. Di antara sumber energi primer
lainnya, pemanfaatan batubara di dunia saat ini mencapai sekitar 28%.
Dan kurang lebih 40% dari total pembangkitan listrik dunia dihasilkan
dari PLTU berbahan bakar batubara. Dibandingkan dengan gas alam,
jumlah CO2 per kalori yang dihasilkan oleh batubara adalah 1.5
kalinya, sedangkan emisi CO2 yang dikeluarkan oleh PLTU batubara
juga tinggi, yaitu 0.88 kg-CO2/kWh. Oleh karena itu, teknologi
pembangkitan berefesiensi tinggi berbahan bakar batubara yang
mampu menghasilkan emisi CO2 yang lebih sedikit menjadi suatu
urgensi sekarang ini. Dalam hal ini, upaya pengembangan terus
dilakukan khususnya terhadap IGCC (Integrated Gasification
Combined Cycle) yang menjadi teknologi utama pembangkitan.

Di Jepang sendiri, pengembangan IGCC bertipe air-blown yang


memiliki tingkat efisiensi dan kehandalan yang tinggi dilakukan
bersama oleh 9 perusahaan listrik ditambah J-Power serta Pusat
Penelitian Ketenagalistrikan (CRIEPI = Central Research Institute of
Electric Power Industry), dengan mendapatkan bantuan pemerintah.
Saat ini yang merupakan langkah akhir pengembangan menuju ke
tahap komersial, seluruh perusahaan listrik secara bersama sama
mendirikan Clean Coal Power Research Institute yang merupakan
proyek nasional, dan merencanakan uji coba demonstration plant
IGCC berkapasitas 250MW yang sekarang sedang dibangun (gambar

1), pada musim gugur 2007. (Catatan: operasi telah dimulai pada
September 2007).

Tulisan ini akan menerangkan keadaan proyek proyek IGCC di luar


Jepang, serta penjelasan tentang IGCC beremisi nol yang evaluasinya
saat ini sedang serius dilakukan.

Gambar 1. Demonstration plant IGCC 250MW

Clean Coal Power Research Institute

2. Kondisi Operasional Beberapa Proyek IGCC

Saat ini, di AS dan Eropa telah beroperasi 4 unit plant IGCC yang
menggunakan batubara, dengan masing masing output
pembangkitan sebesar kurang lebih 300MW.

Operasional seluruh plant tersebut dimulai pada paruh kedua tahun


1990an, menggunakan penggas (gasifier) bertipe oxygen-blown.

Meskipun proses gasifikasi pada tipe oxygen-blown ini lebih mudah,


tapi karena produksi oksigen memerlukan energi yang besar, maka
efisiensi transmisi yang tinggi belum tentu dapat diwujudkan. Selain

itu, karena keempat unit IGCC itu juga didesain untuk mampu
mengakomodasi penggunaan gas alam, maka tingkat kehandalannya
untuk proses yang khusus menggunakan bahan bakar batubara
(syngas firing) juga kurang.

Garis besar proyek ditampilkan pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Proyek-proyek IGCC di dunia

Gambar 2. Syngas firing availability dari IGCC di luar Jepang

Dari keempat proyek itu, pencapaian syngas firing availability hanya


sekitar 70 80%, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.

(1) Wabash River (AS)

Dengan bantuan departemen energi (DOE) sebesar 40% (Clean Coal


Technology ProgramIV), proyek IGCC dimulai pada tahun 1993
sebagai upaya repowering pembangkit listrik yang telah ada. Setelah
3 tahun melewati uji coba, proyek ini masuk ke tahap komersial.
Sempat stop terkait masalah bisnis, perusahan yang didirikan kembali

dengan nama SG Solutions ini akhirnya kembali beroperasi pada


tahun 2005.

Sejak tahun 2000, syngas firing availability telah melampaui 70%.

(2) Tampa (AS)

Proyek ini dilakukan sendiri oleh Tampa Electric Company pada


tahun 1994, dengan bantuan dari DOE sebesar 26% dari nilai proyek.
Setelah 4 tahun melalui langkah uji coba, akhirnya proyek masuk ke
tahap komersial.

Pada tahun 2004, syngas firing availability berhasil mencapai 80%.


Akan tetapi kalau dilihat dalam rentang tahunan, parameter itu
mengalami fluktuasi yang besar sejak tahun 2000.

(3) Buggenum (Belanda)

Proyek ini dipromosikan oleh komisi listrik Belanda (SEP), yang


didirikan dan dikelola oleh 4 perusahaan listrik. Saat ini, kepemilikan
plant dipegang oleh NUON (perusahaan penyuplai listrik, gas, air, dan
panas). Proyek ini sendiri dimulai pada tahun 1990. Setelah melewati
4 tahun uji coba, operasi komersial mulai berjalan sejak tahun 1998.

Avalibility-nya mengalami peningkatan secara konsisten, dan pada


tahun 2004 berhasil mencapai 70%. Dan sejak tahun 2001, mulai

dilakukan pembakaran kombinasi (multifuel combustion) dengan


mencampur biomasa. Saat ini, komposisi biomasa pada pembakaran
kombinasinya adalah 30%wt.

(4) Puertollano

Proyek ini dipromosikan oleh badan bersama yang terdiri dari 8


perusahaan listrik Eropa dan 3 fabrikan (EDF, ENEL, National Power,
Siemens, dll), dengan dana bantuan 9% dari Uni Eropa. Dimulai pada
tahun 1993, proyek ini sudah beroperasi secara komersial saat ini.

Availability-nya mengalami peningkatan secara konsisten, dan pada


tahun 2001 berhasil mencapai 60%. Namun performanya menurun
setelah itu.

3. Perkembangan di AS

Rencana pembangunan PLTU batubara mulai marak di AS, sebagai


akibat dari kenaikan harga gas alam belakangan ini, serta adanya
upaya pemanfaatan sumber daya energi yang melimpah di dalam
negeri. IGCC banyak mendapatkan perhatian disini, terutama
dikaitkan dengan sudut pandang perbaikan fungsi lingkungan.

Lebih lanjut, evaluasi sedang dilakukan terhadap beberapa proyek


IGCC yang ditargetkan beroperasi pada tahun 2010, yang
mengasumsikan aplikasi tax privilege dari EPACT (Energy Policy
Act) yang diundangkan sejak Agustus 2005.

Proyek proyek IGCC yang diajukan berdasarkan EPACT


ditampilkan pada gambar 3

Untuk perusahaan listrik, AEP (American Electric Power) sedang


mengevaluasi proyek IGCC berkapasitas 600MW yang rencananya
dibangun di Ohio dan West Virginia, yang saat ini berada pada tahap
FEED (Front End Engineering Design, desain mendetil untuk
perkiraan biaya proyek). Efisiensi transmisi dari plant itu
direncanakan sebesar 38.6% (HHV). Hal yang sama juga dilakukan
oleh Duke Energy (perusahaan listrik) yang sedang melakukan FEED
terhadap IGCC berkapasitas 600MW.

Gambar 3. Proyek proyek IGCC di AS

Di Eropa, Nuon (perusahaan listrik) sudah mengumumkan proyek


Magnum yang akan dimulai pada tahun 2011, berupa IGCC
berkapasitas 1200MW berbahan bakar kombinasi batubara dan
biomasa, yang terletak di Eemeshaven, Belanda bagian utara. Di
Jerman, Siemens juga mengumumkan proyek IGCC berkapasitas
1000MW.

Disamping itu, fabrikan turbin gas juga ikut terlibat dalam proyek
IGCC melalui penyediaan penggas dan turbin gas dalam satu paket,
setelah sebelumnya mereka mengakuisisi teknologi penggas. Pada

tahun 2004, GE mengakuisisi divisi teknologi penggas ChevronTexaco, sementara di tahun 2006, Siemens mengakuisisi teknologi
GSP (Gaskombinat Schwarze Pumpe) dari Sustec (Swiss).

Fabrikan utilitas utama (main utilities) IGCC juga mengumumkan


kerja sama dengan perusahaan engineering, serta secara aktif
melakukan perencanaan dan kampanye IGCC.

Tabel 2 menampilkan kerja sama antara fabrikan utilitas utama IGCC


dan perusahaan EPC di AS dan Eropa.

Tabel 2. Kolaborasi fabrikan utama penggas/GT dengan perusahaan


EPC

4. Perkembangan di Asia

Di Cina saat ini sedang berlangsung fabrikasi dan operasional


penggas batubara untuk keperluan industri kimia, dengan lisensi
teknologi penggas dari Amerika dan Eropa.

Selain itu, untuk menargetkan beroperasinya pembangkit listrik


berbahan bakar batubara berkapasitas 400MW yang memiliki emisi
nol pada tahun 2020, beberapa perusahaan listrik dan batubara
bersama-sama mendirikan GreenGen company pada tahun 2005.

Lebih jauh, pusat penelitian teknologi termal Xian juga mulai


melakukan penelitian teknologi gasifikasi sejak 1997. Mulai tahun
2005, dilakukan uji coba gasifikasi dengan menggunakan penggas
berkapasitas proses 36ton batubara per hari. Dan pada tahun 20008
direncanakan akan merampungkan penggas berkapasitas 1000 ton per
hari.

5. Perkembangan IGCC Beremisi Nol.

Untuk mewujudkan emisi nol, evaluasi terhadap IGCC yang


dikombinasikan dengan fasilitas penangkapan CO2 (CO2 capture)
mulai banyak dilakukan belakangan ini.

Metode penangkapan CO2 pada pembangkit listrik berbahan bakar


batubara terbagi dua, yaitu, pertama, penangkapan pada gas buang
hasil pembakaran batubara; kedua, penangkapan pada gas bahan
bakar (fuel gas) sebelum pembakaran di turbin gas. Tambahan
peralatan berupa fasilitas penangkapan CO2 diperlukan jika akan
dilakukan proses tersebut. Dan dengan proses penangkapan CO2 ini,
efisiensi transmisi menjadi berkurang sehingga harga pokok
pembangkitan akan naik.

Untuk penangkapan CO2 pada gas buang hasil pembakaran,


pengembangan berskala pilot plant sedang dilakukan, baik di Jepang
maupun di luar Jepang. Sedangkan pada IGCC, karena proses
penangkapannya dinilai memiliki kelebihan maka evaluasi
pembangunan demonstration plant yang mengkombinasikan

penangkapan CO2 juga sedang dilakukan di Amerika, Eropa, maupun


Australia. Kelebihan itu antara lain adalah sedikitnya gas CO2 yang
diproses karena CO2 dapat dibuang pada kondisi gas terkompresi,
serta rendahnya kenaikan harga pokok pembangkitan sebagai akibat
dari kecilnya penurunan efisiensi plant, bila dibandingkan dengan
proses pada gas buang hasil pembakaran. Kecilnya penurunan
efisiensi plant tersebut dikarenakan tingginya kadar CO2 yang akan
diproses.

Di AS, pada tahun 2002 presiden Bush mengumumkan proyek


FUTURE-GEN yang memiliki output 275MW, dengan tujuan untuk
isolasi CO2 dan pemanfaatan hidrogen. Kemudian pada September
2005, FutureGen Industrial Alliance didirikan oleh beberapa kalangan
seperti perusahaan listrik dan batubara, dan saat ini sudah mengikat
kontrak dengan DOE. Sebagaimana yang diumumkan, lokasi
pembangunan akan ditentukan pada tahun 2007, serta operasional
direncanakan akan dimulai pada tahun 2012.

Di Australia, diumumkan pula proyek ZeroGen dengan output


100MW, yang direncanakan beroperasi pada tahun 2010. Sedangkan
di Inggris dan Jerman, saat ini sedang dilakukan FS untuk IGCC
dengan kemampuan penangkapan CO2, berkapasitas 450MW.

Pada tabel 3 ditampilkan proyek IGCC utama dan IGCC beremisi nol.

Tabel 3. Proyek IGCC dan IGCC beremisi nol

Penangkapan CO2 memerlukan evaluasi yang menyeluruh, karena


prosesnya bukan hanya memisahkan saja, tapi yang juga penting
adalah menyimpan dan mengisolasi CO2 tersebut secara aman. Dari
sebuah penelitian dilaporkan bahwa kapasitas penyimpanan CO2 di
seluruh dunia mencapai sekitar 10.5 trilyun ton, yang berarti setara
dengan 400 kali jumlah CO2 yang dihasilkan oleh setiap negara pada
tahun 2003.

Pada gambar 4 ditampilkan salah satu penelitian tentang kapasitas


penyimpanan CO2 di dunia, tapi tidak termasuk pembuangan ke laut
(ocean disposal). Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa 90%
dari kemampuan penyimpanan CO2 adalah berupa isolasi di dalam
tanah, yaitu di lapisan akuifer (baik di wilayah darat maupun laut).
Untuk itu, maka diperlukan pemantapan teknologi isolasi CO2 secara
aman. Saat ini, salah satu metode isolasi CO2 yang diterapkan
terutama di AS dan Eropa adalah EOR (Enhanced Oil Recovery).
Teknologi ini memberikan keuntungan secara ekonomis karena dapat
meningkatkan produksi minyak mentah, melalui injeksi CO2 ke
lapangan minyak untuk menurunkan viskositas minyaknya.

Adapun kapasitas isolasi CO2 berbeda, tergantung dari daerahnya.

Hubungan antara jumlah emisi CO2 yang dihasilkan oleh beberapa


negara dan kapasitas isolasinya ditampilkan pada gambar 5. Di AS
dan eks Uni Soviet, kemampuan penyimpanannya sangat besar, yaitu
melebihi 2 trilyun ton, sehingga kapasitas penyimpanan terhadap
jumlah emisi CO2 juga besar. Sedangkan di Jepang, kapasitas
penyimpanannya kecil sehingga diperlukan pertimbangan yang

matang tentang keterbatasan suatu daerah untuk isolasi CO2. Hal ini
dikarenakan kapasitas isolasi CO2 sangat berlainan tergantung
daerahnya.

Gambar 4. Kapasitas penyimpanan CO2 dunia

Gambar 5. Emisi
penyimpanannya

CO2

beberapa

negara

dan

kapasitas

6. Penutup

Batubara adalah sumber energi yang relatif murah dan tersebar luas di
dunia, serta diperkirakan akan terus digunakan sebagai salah satu
sumber energi utama.

IGCC yang dikombinasikan dengan turbin gas mutakhir memiliki


efisiensi yang tinggi, dapat mengurangi unit emisi CO2 sekitar 1520% bila dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar
batubara konvensional. Kondisi ini berlaku secara universal, tidak
tergantung pada daerah atau negara tertentu saja. Penulis berharap
agar tingkat kehandalan dan operasional demonstration plant IGCC
berkapasitas 250MW yang merupakan proyek nasional dapat segera

diverifikasi, sehingga teknologi tersebut dapat disebarluaskan ke


seluruh dunia.

* Terjemah bebas dari artikel berjudul Sekai no IGCC purojekuto no


doukou yang dimuat di JCOAL Journal Vol 6, November 2006.
https://imambudiraharjo.wordpress.com/2009/09/15/arahperkembangan-proyek-igcc-dunia/

clean coal technology

Pentingnya Penerapan Teknologi Batubara yang Ramah Lingkungan


(Clean Coal Technology) di Indonesia

1. Pendahuluan

Untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan


untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan, Presiden telah
menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Berdasarkan
Perpres tersebut peranan batubara dalam bauran energi nasional akan
ditingkatkan dari 15,34% pada tahun 2006 menjadi lebih dari 35%
pada tahun 2025 (termasuk didalamnya adalah 2% kebutuhan
batubara untuk proses pencairan). Dengan mempertimbangkan
kenaikan konsumsi energi pertahunnya, kebutuhan batubara untuk

kepentingan dalam negeri pada tahun 2025 diperkirakan lebih dari


220 juta ton atau meningkat sekitar 5 kali lipat dibandingkan
kebutuhan pada tahun 2006 sebesar 48 juta ton (Sembiring, 2007).
Sebagian besar batubara akan dipakai untuk bahan bakar pada
pembangkit listrik dan pada tahun 2025 diperkirakan lebih dari 80%
kebutuhan listrik Indonesia akan dipenuhi oleh pembangkit listrik
berbahan bakar batubara (Napitupulu, 2006) walaupun, pembakaran
batubara untuk menghasilkan energi melepas polutan berupa SOx,
NOx dan partikel halus (abu terbang) yang ikut bersama gas buang ke
lingkungan dan isu-isu pemanasan global yang disebabkan oleh gas
CO2 dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara semakin sering
dibicarakan dalam forum-forum internasional maupun domestik.
Untuk menjawab isu-isu international dan domestik oleh adanya
peningkatan pemanfaatan batubara tersebut, Indonesia sudah harus
mulai menyiapkan suatu strategi dalam mengurangi emisi gas polutan
dan green house gas yang disebabkan oleh pemanfaatan batubara
melalui penerapan teknologi batubara yang ramah lingkungan (clean
coal technology selanjutnya disingkat CCT). Tulisan ini bertujuan
membahas perkembangan CCT di dunia dan kemungkinan
penerapannya di Indonesia. Mudah-mudahan dapat menjadi masukan
bagi para pengambilan keputusan di Indonesia dalam membuat peta
jalan teknologi batubara yang ramah lingkungan (Clean Coal
Technology Road Map).

2.

Teknologi batubara yang ramah lingkungan (CCT)

CCT dikembangkan sejak tahun 1970-an pada mulanya


dimaksudkan untuk mengurangi polutan seperti SOx, NOx dan
partikel halus (abu terbang) yang dilepas saat pembakaran batubara.
SOx dan NOx adalah polutan penyebab hujan asam. Selanjutnya
proses konversi batubara menjadi gas atau minyak juga dikatagorikan
CCT karena mengkonversi belerang dan nitrogen menjadi H2S dan

NH3 yang lebih mudah dibersihkan dari gas buang. Saat ini
pengembangan CCT juga diarahkan untuk mengurangi emisi CO2
dengan harapan pada masa mendatang, energi dari batubara yang
cadangannya sangat besar didunia dapat dimanfaatkan tanpa
menyebabkan terjadinya pemanasan global.

2.1 CCT untuk mengurangi SOx, NOx dan partikel halus.


CCT untuk mengurangi SOx, NOx dan partikel halus yang
dilepas saat pembakaran batubara meliputi teknologi benefisiasi
batubara, teknologi pembakaran batubara dan teknologi pengolahan
gas buang (flue gas teratment).
2.1.1 Teknologi Benefisiasi Batubara
Benefisiasi batubara adalah proses penghilangan pengotor
(bebatuan, debu, pyrit, dll) dari batubara untuk menghasilkan produk
yang lebih bersih. Bebatuan dan debu meningkatkan kandungan abu
batubara dan mengganggu proses pembakaran atau proses
pemanfaatan selanjutnya sementara itu pyrite melepas SOx saat
pembakaran batubara. Benefisiasi batubara dapat dilakukan dengan
cara fisika, kimia dan biologi.
Pengotor batubara seperti partikel debu, bebatuan dan mineral
pyrite dapat dipisahkan secara fisika. Pemisahan dilakukan dengan
memanfaatkan perbedaan berat jenis antara batubara dan pengotor
dengan menggunakan air atau fluida lain sebagai media. Batuan atau
pengotor lain yang mempunyai berat jenis lebih besar dari media
tenggelam didalam media sedangkan batubara karena berat jenisnya
yang lebih kecil terapung diatas media. Bila pengotor (pyrit) menjadi
satu dalam partikel batubara maka penggerusan batubara harus
dilakukan sampai suatu ukuran dimana pyrit dan batubara telah
terpisah (terliberasi). Bila ukuran pyrit terlalu kecil (<60 mesh)
pemisahan batubara dengan pyrit dapat dilakukan dengan cara flotasi

melalui pengaturan sifat permukaan (hydrophobicity) dari pyrit dan


batubara. Bila derajat liberasi pyrit dari batubara sangat tinggi,
pemisahan secara fisika dapat menghilangkan pyrite dari batubara
sampai 90% dengan demikian emisi gas SOx oleh karena pembakaran
batubara (pyrite) dapat ditekan maksimal.
Belerang yang terikat secara kimia dalam bentuk senyawa
organik dalam batubara dan nitrogen tidak dapat dipisahkan secara
fisika. Pembersihan batubara dari belerang organik dilakukan dengan
cara kimia menggunakan zat-zat kimia seperti lelehan natrium/kalium
hidroksida (molten caustic), kaporit dan lain-lain.
Pembersihan batubara dari belerang secara biologi dilakukan
dengan menggunakan bakteri yang berfungsi sebagai katalis pengoksidasi pyrite menjadi feri sulfat dan asam sulfat. Bakteri yang
umum digunakan untuk oksidasi pyrite adalah thiobacillus
ferrooxidant. Proses biologi ini relatif murah tetapi sangat lambat.
2.1.2 Teknologi pembakaran batubar
Ada banyak teknologi untuk membakar batubara tetapi yang
umum dipakai pada pembangkit listrik adalah teknologi pembakaran
batubara halus (pulverized coal combustion selanjutnya disingkat
PCC) dan teknologi pembakaran batubara dalam unggun terfluidakan
(fluidized bed combustion selanjutnya disingkat FBC).
2.1.2.1 Teknologi PCC
Pada teknologi PCC, batubara terlebih dulu digerus halus
menjadi berukuran lebih kecil dari 200 mesh kemudian batubara halus
tersebut diinjeksikan bersama dengan udara kedalam ruang
pembakaran melalui suatu alat pembakar (burner) yang berada
dibagian bawah ruang pembakaran yang bersuhu tinggi. Partikelpartikel batubara tersebut kemudian terbakar melepaskan panas untuk
memanaskan pipa-pipa air di dinding-dinding ruangan pembakaran
menghasilkan uap air bertekanan dan bersuhu tinggi untuk

menggerakkan turbin atau generator pembangkit listrik. Temperatur


pembakaran batubara pada PCC umumnya lebih tinggi dari 1300oC.
Teknologi PCC ini dipakai pada sebagian besar pembangkit listrik
berbahan bakar batubara yang ada di dunia.
NOx terbentuk lebih mudah pada temperatur tinggi dalam
kondisi oksigen yang cukup. Pada teknologi PCC karena temperatur
operasinya sangat tinggi sumber NOx tidak hanya berasal dari
batubara (fuel NOx) tetapi juga dari reaksi antara nitrogen dan
oksigen dalam udara (thermal NOx). Pembentukan NOx dapat
dikurangi dengan cara mengatur udara untuk keperluan pembakaran
(air staging) dan penggunaan pembakar yang menghasilkan NOx
rendah (Low NOx burners).
Air staging dilakukan dengan membagi udara untuk keperluan
pembakaran menjadi dua aliran yaitu aliran udara primer (70-90%
dari kebutuhan udara) dan udara sekunder (10-30% kebutuhan udara).
Batubara hanya dicampur dengan udara primer sehinga pada
pembakaran dengan udara primer, terbentuk zona yang miskin
oksigen atau kaya karbon (fuel rich). Zona tersebut menghambat
terbentuknya NOx dan mempromosi terjadinya reaksi reduksi antara
NOx dan karbon menjadi CO2 dan N2. Pada pembakaran dengan
udara sekunder walaupun terdapat zona kaya oksigen tetapi pada zona
tersebut temperatur tidak terlalu tinggi dengan demikian NOx yang
terbentuk akan lebih sedikit. Jumlah NOx yang terbentuk dapat
dikurangi lagi dengan menggunakan Low-NOx burners. Alat ini
mengatur campuran udara primer dan batubara sedemikian rupa
sehingga lidah api yang terbentuk bercabang beberapa bagian
membuat temperatur pada lidah api tidak terlalu tinggi sehingga
menghambat terbentuknya NOx.
Teknologi PCC tidak dapat menangkap SOx dengan baik
karena temperatur ruang pembakaran yang sangat tinggi (>1300oC).
SOx dapat ditangkap dengan batu kapur (CaCO3) atau abu batubara

membentuk senyawa sulfat (CaSO4, MgSO4, dll) tetapi senyawa


sulfat tersebut terdekomposisi lagi melepas SO2 pada temperatur
yang tinggi (>1100oC). Dengan demikian teknologi PCC mutlak
memerlukan pengolah gas buang untuk menangkap SO2 bila batubara
yang dibakar berkadar belerang tinggi.
2.1.2.2 Teknologi FBC
Unggun terfluidakan dibuat dengan mengalirkan gas/udara
dengan kecepatan tertentu melewati suatu unggun (tumpukan partikel
yang terdiri dari batubara, batu kapur dan abu batubara) sehingga
partikel tersebut bergerak laksana fluida tidak jatuh ke dasar ruang
pembakaran dan tidak terbang meninggalkan ruang pembakaran.
Ketinggian unggun dari dasar tungku tergantung dari kecepatan udara,
ukuran, jumlah dan berat jenis partikel. Umpan FBC adalah batubara
dan batu kapur yang berukuran kasar (1-5 mm) sehingga mengurangi
biaya penggerusan batubara. Batubara dan batu kapur diumpankan ke
ruang pembakaran secara kontinu sementara itu material habis pakai
(spent material) yang terdiri dari abu batubara, kalsium sulfat, dan
kalsium tak bereaksi dikeluarkan dari ruang pembakaran. Jumlah
material yang dimasukkan dan dikeluarkan dari ruang pembakaran
dibuat seimbang sehingga tinggi unggun dalam ruang pembakaran
terjaga tetap selama proses pembakaran berlangsung.
Pencampuran yang sempurna antara batubara dan batu kapur dan
suhu pembakaran yang rendah (800-900oC) dalam sistem FBC
meningkatkan efisiensi penangkapan SOx dan mengurangi
pembentukan NOx sehingga pada kondisi tertentu teknologi FBC
tidak memerlukan teknologi pengolahan gas buang terutama teknologi
pengurangan SOx (flue gas desulphurization) yang relatif mahal.
Kelebihan lain dari FBC adalah FBC bisa dipakai untuk membakar
batubara dengan kualitas yang lebih bervarisasi. Keutungankeuntungan tersebut membuat sistem FBC cukup menarik untuk
dipakai pada pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Walaupun

demikian penelitian-penelitian terkini menunjukkan sistem FBC


menghasilkan senyawa organik dan N2O yang lebih banyak pada gas
buang dibandingkang sistem PCC dan senyawa-senyawa in-organik
tertentu dalam abu batubara menyebabkan terjadinya aglomerasi yang
mengganggu proses fluidisasi.
2.1.3 Teknologi Pengoalahan Gas Buang (Flue gas Treatment)
Teknologi pengolahan gas buang meliputi teknologi penangkapan
NOx, SOx dan partikel halus (abu terbang/fly ash) dalam gas buang
sebelum dilepas ke atmosfir. NOx dalam gas buang dihilangkan
dengan cara mereaksikannya dengan gas amonia (NH3) dengan
bantuan katalis menjadi N2 dan air. Proses ini biasa disebut Selective
Catalytic Reduction (SCR). Reaksi penghilangan NOx dengan SCR
adalah sebagai berikut:

4NO + 4NH3 +O2 4N2 + 6H2O


Temperatur optimum reaksi de-NOx tersebut adalah 350-450oC
dan reaksi berjalan baik pada konsentrasi oxygen diatas 2%.
Komponen yang aktif sebagai katalis adalah vanadium oksida,
tungsten oksida dan beberapa logam mulia dengan titanium oksida
sebagai support atau carrier-nya. Bila katalis yang digunakan adalah
zeolit proses konversi NOx menjadi N2 dan air dapat dilakukan pada
temperatur diatas 650oC. SCR dipatenkan tahun 1957 di amerika dan
dengan SCR ini lebih dari 90% NOx dalam gas buang dapat
dihilangkan.
Emisi SO2 telah menjadi perhatian sejak 1929 diawali oleh protes
para petani pada sebuah PLTU di Inggris (Barton Electricity Work di
Manchester) karena SO2 dari PLTU tersebut telah merusak tanah
mereka. Teknologi yang digunakan untuk menangkap SO2 dalam gas
buang biasa disebut dengan Flue Gas Desulphurization (FGD).
Sampai tahun 1973 hanya ada 42 FGD di dunia tetapi pada tahun

2000 telah terdapat 678 dengan kapasitas total lebih kurang 229 giga
watt (Mullan 2004). Lebih dari 90% SO2 dapat dihilangkan dengan
FGD.
SO2 adalah gas yang bersifat asam sehingga sorbent yang cocok
untuk menangkap SO2 adalah alkali, biasanya kapur atau natrium
hidroksida. Kapur biasanya digunakan untuk menangkap SO2 dari
PLTU yang berkapasitas besar karena lebih murah dibanding natrium
hidroksida. Hasil samping proses menggunakan kapur adalah gypsum
yang dapat dipakai sebagai bahan bangunan sedangkan penggunaan
natrium hidroksida menghasilkan Natrium sulfite/bisulfite yang dapat
digunakan di industri bubuk kertas.
Ada dua alat yang umum digunakan untuk menangkap partikel
halus (abu terbang/fly ash) dalam gas buang yaitu fabric filters dan
electrostatic precipitator (ESP). Fabric filter adalah saringan yang
terbuat dari kain berbentuk seperti karung. Gas buang yang
mengandung partikel halus dilewatkan melalui karung tersebut
menghasilkan gas yang bersih dan meninggalkan partikel dalam
karung. Efisiensi proses dengan fabric filter ini bisa mencapai 99%
tetapi kerugiannya adalah tingginya pressure drop pada filter yang
mengkonsumsi banyak energi.
Pemisahan dengan ESP dilakukan dengan memberi muatan
listrik pada partikel dalam gas buang. Partikel yang bermuatan listrik
tersebut selanjutnya ditangkap dengan cara melewatkannya pada
suatu permukaan (elektroda pengumpul) yang mempunyai muatan
berlawanan. Bagian penting dari ESP adalah alat penghasil voltase
tinggi yang biasa disebut transformer-rectifier (T-R) sets, elektroda
pemberi muatan dan elektroda pengumpul. T-R set meningkatkan
voltase listrik dari sekitar 400 volt menjadi sekitar 50.000 volt dan
merubah arus AC menjadi DC. Elektroda pemberi muatan terhubung
dengan T-R set menghasilkan medan listrik yang mengionisasi
(memberi muatan) gas buang. Elektroda ini biasanya berupa kawat

dengan diameter sekitar 3mm yang diberi beban dibagian bawahnya


untuk menjaga posisi agar tetap tegak vertikal. Elektroda pengumpul
biasanya dalam bentuk plat yang dibawahnya terdapat wadah
penampung (hopper) abu terbang. Salah satu cara melepas fly ash dari
elektroda pengumpul adalah dengan memberi getaran pada elektroda
sehingga abu terbang jatuh kedalam penampung. Efisiensi ESP bisa
mencapai 99% tetapi efisiensi menurun bila resistivitas dari abu
terbang meningkat.
2.2 Teknologi konversi batubara
Batubara dapat dikonversikan menjadi gas sintetis untuk bahan
baku industri kimia, dimethil ether (DME) dan bahan bakar minyak
(kerosene, gasoline, diesel, dll). Pada tulisan ini hanya akan dibahas
proses konversi batubara menjadi minyak (pencairan batubara/coal
liquefaction). Proses konversi batubara menjadi minyak dapat
dilakukan melalui cara langsung maupun cara tidak langsung. Pada
proses pencairan tak langsung batubara dikonversikan menjadi gas
kemudian gas yang terbentuk diproses lebih lanjut menjadi minyak
sintetis. Proses pencairan tak langsung telah dilakukan secara
komersial di Afrika Selatan sejak tahun 1956 oleh SASOL (South
African Synthetic Oil Ltd). Proses SASOL dimulai dengan proses
gasifikasi menggunakan oksigen dan uap air pada tekanan dan
temperatur tinggi untuk memproduksi gas sintesis (syngas) dengan
komponen utama berupa gas CO dan H2. Dengan proses Fisher
Tropsch CO dan H2 direaksikan pada tekanan dan temperatur sedang
dan dengan katalis senyawa besi sehingga diperoleh senyawasenyawa hidrokarbon dalam kisaran C1-C15 yang merupakan bahan
bakar cair (Van Dyk, 2004).
Proses pencairan batubara langsung adalah dengan cara
melakukan hidrogenasi terhadap batubara sehingga diperoleh produk
cairan yang mirip dengan minyak mentah (petroleum crude). Reaksi
antara batubara dengan hidrogen dilakukan dalam suatu reaktor pada

suhu 450C dan tekanan 15Mpa dengan menggunakan katalis dan


pelarut (solvent). Minyak mentah yang dihasilkan kemudian diproses
lebih lanjut dalam kilang minyak untuk menghasilkan minyak sintetis.
Satu-satunya pereaksi yang digunakan untuk proses pencairan ini
adalah gas hidrogen. Sumber hidrogen dapat diperoleh dari berbagai
cara antara lain melalui steam reforming dari gas alam, elektrolisa air
dan gasifikasi batubara. Karakteristik produk yang dihasilkan
biasanya masih dipengaruhi oleh bahan baku batubaranya yakni
mengandung banyak senyawa aromatik. Saat ini teknologi pencairan
batuabara cara langsung dikembangkan oleh Jepang (Brown Coal
Liquefaction, BCL) dan Amerika Serikat (Headwaters Technology
Innovation, HTI). Jepang telah berhasil melakukan ujicoba pilot plant
pencairan kapasitas 50 ton batubara/hari di Victoria, Australia.
Sedangkan Amerika Serikat sudah membangun pilot plant kapasitas
600 ton batubara/hari di Catlettsburg, Kentucky, USA. Untuk
mewujudkan pabrik komersial pencairan batubara, Indonesia telah
memilih teknologi BCL dari Jepang.
Berbeda dengan pembakaran batubara yang mengoksidasi
belerang dan nitrogen menjadi SOx dan NOx, pada proses pencairan
dan gasifikasi batubara terjadi reaksi reduksi yang melibatkan
hidrogen menghasilkan H2S dan NH3 yang sangat mudah ditangkap
meskipun konsentrasinya kecil sehingga pengotor dalam gas buang
dapat ditekan sampai minimal. Dalam hal emisi CO2 proses pencairan
cara tak langsung menghasilkan emisi CO2 lebih besar (efisiensi
energi 45%) dibandingkan cara langsung (efisiensi 60%) (Makino,
2007).
Dari segi lingkungan (emisi CO2) keputusan Indonesia untuk
memilih teknologi pencairan batubara cara langsung sudah tepat.
2.3 Teknologi untuk mengurangi dan atau menangkap CO2
Pengurangan emisi CO2 dari batubara per unit energi yang
dihasilkan dilakukan dengan meningkatkan efisiensi produksi energi.

Usaha peningkatan efisiensi pembangkit listrik berbahan bakar


batubara semakin giat dilakukan semenjak krisis energi tahun 1970-an
dan setelah adanya kekuatiran akan pemanasan global. Sebagian
teknologi dengan efisiensi tinggi telah komersial (supercritical steam,
Presurrized Fluidized Bed Combustion/PFBC) dan sebagian masih
dalam tahap pengembangan (Integrated Gasification Combined
Cycle/IGCC,
Advance
Presurrized
Fluidized
Bed
Combustion/APFBC, Intregated Gasification Fuel Cell/IGFC, dll).
Berikut akan diuraikan sebagian dari teknologi-teknologi tersebut.
2.3.1 PCC dengan kondisi uap air supercritical (supercritical steam)
Kondisi uap air dinamakan subcritical bila tekanannya dibawah
221,2 bar, diatas tekanan tersebut dinamakan supercritical yaitu suatu
kondisi dimana uap air berperilaku seperti gas pada umumnya atau
tidak dapat dibedakan sifatnya antara uap air (steam) dan gas.
Pembangkit listrik teknologi PCC umumnya mempunyai kondisi uap
subcritical dengan efisiensi bisa dibawah 30% bila kualitas
batubaranya rendah (tinggi kandungan air dan abu), kapasitasnya
kecil dan umurnya sudah tua. Efisiensi PCC kondisi uap subcritical
umumnya berkisar 35-36% untuk pembangkit listrik yang baru,
dengan kapasitas besar dan membakar batubara dengan kualitas yang
lebih baik (bituminous). Pada kondisi uap supercritical, efisiensi PCC
dapat meningkat sampai berkisar 43-45%.
Pembangkit listrik PCC dengan kondisi uap supercritical pertama
kali dibuat pada tahun 1959 dengan kondisi uap 345 bar and
650/565/565C. Pembangkit ini tidak berfungsi maksimal karena
mengalami masalah mekanik dan material. Saat ini oleh adanya
penggunaan baja austenit yang berkadar krom tinggi, kerusakan
turbine uap oleh adanya supercritical steam dapat dihindari. Dari 22,4
GWe pembangkit listrik berbahan bakar batubara di negara-negara
OECD yang dikonstruksi pada kurun waktu tahun 1997-2000,
terdapat 19,4 GWe (lebih dari 85%) adalah supercritical (Mullan

2004). Sampai dengan tahun 2006 di China terdapat 40 pembangkit


listrik dengan kondisi uap supercritical dan pada tahun 2007 ada 110
pembangkit listrik supercritical di China yang sedang dikonstruksi
dan sedang dalam negoisasi (Huan, 2007).
2.3.2 Advanced Pressurised Fluid Bed Combustion (APFBC)

Peningkatan efiseinsi dengan teknologi yang menggunakan turbin uap


saja seperti pada PCC tidak dapat dilakukan maksimal karena ada
kendala material dan efisiensi thermodinamik. Oleh sebab itu
dikembangkan teknologi PLTU-batubara terbaru yang disamping
menggunkan turbin uap juga turbin gas dalam daur terkombinasi
(combined cycle). Teknologi APFBC adalah teknologi hybrid antara
teknologi gasifikasi parsial dan teknologi pembakaran arang batubara
dalam unggun terfluidakan pada tekanan tinggi (PFBC). Sistem
APFBC menghasilkan gas dari proses gasifikasi parsial untuk bahan
bakar dan gas panas hasil pembakaran arang batubara untuk
menggerakkan turbin gas. Sementara itu turbin uap pada proses ini
digerakkan oleh uap yang dihasilkan oleh panas pembakaran arang
dan panas pembakaran gas setelah melalui turbin gas.
Keunggulan APFBC dibandingkan IGCC adalah adanya konversi
batubara menjadi energi panas yang sempurna walaupun suhu dan
tekanan operasi APFBC relative lebih rendah (<1000oC, 15 bar).
Karena suhunya yang rendah, gas dari proses gasifikasi dapat
langsung dibersihkan dari pengotornya tanpa terlebih dahulu
melakukan proses pendinginan yang banyak membuang energi.
Efesiensi panas kotor dan bersih diperkirakan masing-masing 50,5%
dan 46%. APFBC merupakan gabungan teknologi PFBC yang sudah
komersial dan teknologi gasifikasi dalam unggun terfluidakan yang
lebih mudah dikonstruksi dan dioperasikan dengan demikian
diperkirakan pengembangan dan komersialisasi APFBC tidak akan
mengalami hambatan yang berarti. Kelemahan teknologi APFBC

adalah tidak dapat menghasilkan gas buang murni CO2 yang siap
ditangkap dan disimpan.
2.3.3 Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC) dan Integrated
Gasification Fuel Cell (IGFC)
IGCC adalah sistem pembangkit listrik melalui proses gasifikasi
batubara. Sistem ini menggunakan oksigen atau uap air sebagai
pereaksi proses gasifikasi dengan tujuan menghasilkan gas buang
dengan konsentrasi CO2 yang hampir murni yang siap ditangkap dan
disimpan. Umumnya jenis proses gasifikasi yang dipakai dalam
system IGCC adalah jenis entrained bed dengan suhu gasifikasi diatas
suhu titik leleh abu batubara (>1300oC). Karena suhu gasifikasinya
yang tinggi, gas-gas hasil proses gasifikasi harus didinginkan dengan
alat tukar panas sebelum dilakukan proses penyaringan partikel.
Proses pendinginan tersebut menghasilkan uap air untuk
menggerakkan turbin uap sementara itu gas yang didinginkan setelah
melalui proses penyaringan, dibakar untuk menghasilkan gas panas
(>1300oC) untuk menggerakkan turbin gas. Karena suhu gasifikasi
proses IGCC sangat tinggi, hampir semua batubara dapat digasifikasi
sempurna dan dipakai untuk proses IGCC asal batubara tersebut bisa
dihaluskan dengan ukuran lebih kecil dari 200 mesh.
Pembangkit listrik berbahan bakar batubara sistem IGCC
menghasilkan tingkat emisi yang sangat rendah, efisiensi yang sangat
tinggi (gross thermal effeciency 48% dan net thermal effeciency 43%
atau lebih) dan konstruksinya dapat dilakukan secara bertahap. Tahap
awal adalah dibikin pembangkit listrik berbahan bakar gas alam,
selanjutnya bila dananya cukup dilakukan konstruksi reaktor
gasifikasi batubara untuk menggantikan gas alam. Walaupun
demikian proses ini membutuhkan investasi yang sangat tinggi.
IGFC merupakan integrasi gasifikasi batubara dengan fuel cell,
gas turbin dan steam turbin. Sistem ini memiliki efesiensi panas
tertinggi (gross thermal effeciency 59,6% dan net thermal effeciency

53,3%). Pada pembangkit listrik IGFC batubara digasifikasi dengan


pereaksi oksigen dan/atau steam. Gas produk gasifikasi kemudian
didinginkan dan bersihkan dari pengotor (partikulat dan asam).
Sebagian gas bersih kemudian digunakan sebagai bahan bakar fuel
cell untuk membangkitkan energi listrik. Sebagian gas produk lainnya
dicampur dengan gas buang fuel cell (yang masih memiliki nilai
kalor) digunakan sebagai bahan bakar pada gas turbin untuk
membangkitkan energi listrik. Panas yang masih terkandung pada flue
gas dari gas turbin kemudian dimanfaatkan untuk membangkitkan
steam turbin. IGFC menghasilkan tingkat emisi yang sangat rendah,
karena emisi gas CO2 dapat dengan mudah ditangkap untuk disimpan
atau dimanfaatkan untuk beberapa keperluan (seperti EOR).
3. Peluang penerapan CCT di Indonesia
Dari hasil kajian Direktorat Inventarisasi dan Sumber Daya
Mineral (DIM), Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral
(Rubiyanto, 2005), sumber daya batubara Indonesia mencapai 57,85
miliar ton yang tersebar di Sumatera sebesar 27,40 miliar ton,
Kalimantan 30,17 miliar ton dan sisanya di Sulawesi, Papua, dan
Jawa. Ditinjau dari peringkatnya, batubara Indonesia cukup
bervariasi, yakni mulai dari lignit (58,7%), sub-bituminus (26,7%),
bituminus (14,3%) sampai antrasit (0,3%). Dengan demikian,
batubara peringkat rendah mendominasi sumber daya batubara secara
keseluruhan. Batubara peringkat rendah mempunyai kadar air tinggi
sehingga dalam pemanfaatannya sebagai sumber energi, batubara
peringkat rendah melepas CO2 lebih banyak dibanding batubara
peringkat tinggi per satuan energi yang dihasilkan.
Pada tahun 2025 produksi listrik Indonesia diperkirakan sebesar
349.416 GWH dengan 88% (307.486 GWH) akan dipenuhi dari
PLTU batubara (Napitupulu, 2006). Saat ini pembangkit listrik
berbahan bakar batubara di Indonesia adalah menggunakan teknologi
pulverized coal combustion (PCC) dengan kondisi uap subcritical

yang mempunyai efisiensi rendah. Bila digunakan batubara peringkat


rendah dengan kalori 4500 kkal dan efisiensi PLTU sebesar 32,1%
maka kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik pada tahun 2025
adalah sebesar 183 juta ton/tahun. Bila kadar karbon dari batubara
peringkat rendah adalah 50% maka emisi CO2 yang dikeluarkan
PLTU batubara pada tahun 2025 adalah sekitar 336 juta ton/tahun.
Sedangkan Emisi SO2 dan NO2 pada tahun 2025 bila rata-rata kadar
belerang batubara Indonesia 0,5% dan kadar nitrogen 0,6% dan semua
belerang dan nitrogen dalam batubara menjadi SO2 dan NO2 adalah
18 juta ton SO2/tahun dan 36 juta ton NO2/tahun bila tidak
menggunakan FGD dan SCR.
Batubara adalah sumber energi yang murah terutama untuk
pembangkit listrik tetapi batubara juga dikenal sebagai bahan bakar
yang berpotensi besar mengotori lingkungan, oleh sebab itu adalah
penting menerapkan teknologi batubara yang ramah lingkungan.
Berikut adalah contoh pemanfaatan batubara dibeberapa negara yang
bisa menjadi bahan pelajaran. Pada tahun 1992 telah terjadi kegagalan
dalam pengolahan gas buang di PLTU Mae Moh di Thailand yang
mengotori lingkungan sekitarnya semenjak saat itu ada penolakan
yang kuat dari masyarakat Thailand terhadap PLTU-batubara. Pada
tahun 2000-2001 karena penolakan tersebut, ada dua PLTU-batubara
(1400 MW Hin Krut dan 734 MW Bo Nok) yang terpaksa diganti
bahan bakarnya dari batubara menjadi gas alam (Suksumek, 2007).
Oleh sebab itu sampai saat ini energi primer Thailand masih di
dominasi oleh minyak dan gas alam (>70%). Di lain pihak konsumsi
batubara di Jepang adalah 176 juta ton (2005) atau empat kali lebih
besar dibandingkan dengan konsumsi Indonesia atau sembilan kali
lipat lebih besar dibandingkan konsumsi batubara Thailand. Tetapi
tidak ada penolakan dari masyarakat Jepang terhadap PLTU-batubara
hal ini disebabkan karena penggunaan batubara di Jepang sangat
memperhatikan aspek lingkungan. Jepang mempunyai PLTU-batubara
dengan efisiensi rata-rata diatas 40% atau tertinggi di dunia. Semua

PLTU-batubara di Jepang dilengkapi dengan FGD dan 2/3 PLTU


dilengkapi dengan SCR (Findsen, 2007). Oleh sebab itu tingkat emisi
SOx, NOx dan partikel halus dari PLTU di Jepang adalah terendah di
dunia. Boleh dikatakan kunci sukses pemanfaatan batubara di suatu
negara adalah penerapan teknologi batubara yang ramah lingkungan.
Agar upaya penggunaan batubara sebagai tulang punggung
energi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Perpres No.5/2006
berhasil, Indonesia sudah harus mulai mengaplikasikan teknologi
batubara yang ramah lingkungan. Peningkatan efisiensi PLTUbatubara menjadi sangat penting karena batubara indonesia sebagian
besar adalah batubara peringkat rendah yang melepas CO2 lebih
banyak per satuan energi sementara itu teknologi PCC supercritical
yang berefisiensi tinggi sudah tersedia di pasar. Indonesia juga akan
membangun PLTU kapasitas kecil (7-10MW) di Indonesia timur
(Irian Jaya, Maluku) yang karena kecilnya kapasitas tersebut menjadi
mahal kalau dilengkapi FGD, dalam hal ini PLTU dengan teknologi
FBC menjadi alternatif agar PLTU tersebut mempunyai emisi SO2
yang rendah. Indonesia juga harus mulai mengembangkan teknologi
gasifikasi (entrained bed) karena dengan sistem gasifikasi akan
dihasilkan PLTU daur kombinsi (combined cycle) dengan efisiensi
yang tinggi sekaligus dapat dilakukan penangkapan CO2 untuk
selanjutnya disimpan atau digunakan lebih lanjut.
4.

Kesimpulan

Kebutuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri pada tahun


2025 diperkirakan lebih dari 220 juta ton atau meningkat sekitar 5 kali
lipat dibandingkan kebutuhan pada tahun 2006 sebesar 48 juta ton.
Emisi CO2, SO2 dan NO2 yang dilepas dari PLTU-batubara saja
pada tahun 2025 diperkirakan adalah 336 juta ton CO2/tahun, 18 juta
ton SO2/tahun dan 36 juta ton NO2/tahun bila PLTU-batubara
tersebut tidak menggunakan FGDdan SCR dan masih menggunakan
teknologi lama (subcritical steam). Sejalan dengan meningkatnya

pemanfaatan batubara, pada tahun-tahun mendatang diperkirakan


antipati masyarakat pada penggunaan batubara sebagai sumber energi
akan meningkat bila tidak ada upaya serius mengurangi dampak
lingkungannya. Salah satu upaya yang diusulkan adalah pembuatan
peta jalan (road map) teknologi batubara yang ramah lingkungan
(CCT) beserta peraturan atau perundang-undangan yang
mendukungnya.
Teknologi batubara yang ramah lingkungan (CCT) dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu teknologi untuk
mengurangi SOx, NOx dan partikel halus dan teknologi pengurangan
dan penangkapan CO2 dari proses pemanfaatan batubara. Teknologi
yang pertama sudah terbukti secara komersial sedangkan teknologi
yang kedua sebagian sudah komersial (PCC dengan supercritical
steam dan PFBC) dan sebagian masih dalam tahap pengembangan.
Dalam jangka pendek peta jalan teknologi batubara yang ramah
lingkungan berisi tentang keharusan penerapanCCT untuk
mengurangi SOx, NOx dan partikel halus serta peningkatan efisiensi
PLTU-batubara melalui teknologi yang telah komersial saat ini.
Dalam jangka menengah teknologi peningkatan efisiensi melalui
sistem daur kombinasi (combined cycle) atau PLTU-batubara berbasis
proses gasifikasi sudah harus bisa diterapkan. Program jangka
panjang adalah penerapan teknologi penangkapan CO2. Penerapan
teknologi gasifikasi batubara menjadi semakin penting pada masa
mendatang karena PLTU yang mempunyai efisiensi tinggi dan
beremisi sangat rendah (near zero emission power plant) akan
berbasis teknologi gasifikasi. Pemerintah juga harus mulai mendorong
percepatan pengembangan teknologi batubara bersih yang lain agar
kebijakan penggunaan batubara sesuai Perpres No.5/2006 tidak
disesali di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Brockway D.J. and Simpson M., Potential Greenhouse Gas Emission
Reductions from Future Lignite-Fired Power Generation in Victoria
and South Australia ATSE Focus No 108, July/August 1999
Eden Napitupulu, Indonesia Operasikan PLTN Pada 2014, :Media
Indonesia, Rabu, 8 Februari 2006
Findsen, J., Result of APEC Study:Environmental Regulations to
promote clean coal in Developing APEC Economics, Proceeding
APEC Clean Fossil Energy Seminar, Xian, China, 2007
Huan Q., The development of Coal Fired Power Generation in
China Proceeding APEC Clean Fossil Energy Seminar, Xian, China,
2007
Makino, E., Daulay, B., Review on Coal Liquefaction, Mineral &
Energi, Vol.5 No.2, Juni, 2007
Mandal P.K., Efficiency Improvement in Pulverized Coal Based
Power Station Coal -Combustion & X-Ray Division, NTPC Limited,
Research & Development Centre, 8A, Sector-24, Noida, U.P., 201301
Mc. Mullan, J.,Fossil Fuel Power Generation State of the Art
PowerClean R, D&D Thematic Network, report, 2004
Rubiyanto I., Indonesian Coal Policy Prospect and Implementation
Proceeding APEC Clean Fossil Energy Technical and Policy Seminar
Cebu City, Philippines, 26-29 January 2005
Sembiring S.F., An Overview Of The New Proposed System Of
Mining Licences In Indonesia, Proceeding The Asia Miner Investing
in Mining Conference,Sydney, Australia, 2007
Suksumek S., Coal demand outlook in Thailand, Proceeding APEC
Clean Fossil Energy Seminar, Xian, China, 2007

Van Dyk, J.C., Keyser M.J., Coertzen, M., SASOLs Unique Position
in Syngas Production from South African Coal Sources Using
SASOL-Lurgi Fixed Bed Dry Bottom Gasifiers SASOL Technology
R & D Division, Syngas and Coal Technologies, 2004
Diposkan oleh Dr. Huda di 17.59
http://coalutilization.blogspot.co.id/2012/04/clean-coaltechnology.html
http://coalutilization.blogspot.co.id/2012/04/clean-coaltechnology.html

Anda mungkin juga menyukai