Anda di halaman 1dari 3

Senin, Maret 02, 2009

Pelayanan Kependudukan

Pelayanan Kependudukan, Hak atau Kewajiban Warga?


Oleh: Azas Tigor Nainggolan

“Ini pak uangnya”, bisik seorang ibu sambil menyodorkan selembar uang kertas dua puluhan
ribu rupiah pada petugas saat menerima KTPnya di kelurahan. “Wah pak ini perlu uang bensin
biar petugas mau langsung ke rumah melakukan pengukuran”, minta seorang petugas sebuah
kecamatan pada seorang warga yang hendak mengurus surat pengantar kepemilikan tanah. “Ini
gak bener, masa kita harus ngurangin jatah proyek sebenarnya hanya untuk memberi jatah pada
lurah, Dekel dan TPK. Kalo gak dikasih katanya uang proyek tersebut gak bakal diturunin”,
protes seorang pengurus RW terhadap perilaku koruptif dan memeras di sekitarnya.

Begitu pula dalam hal pengurusan keperluan administrasi kependudukan yang sering dilakukan
oleh warga Jakarta. Pengurusan KTP merupakan kepentingan yang sering dan selalu
memberikan cerita atau pengalaman kekesalan tersendiri. “Siapa bilang gratis? Urus saja
KTPnya di koran,” umpat seorang petugas saat memarahi warga yang memprotes dan menolak
memberikan uang tambahan. Warga tersebut mengatakan bahwa koran memuat berita bahwa
mengurus KTP gratis. Memang benar, seharusnya pengurusan KTP harus mudah, seperti
digratiskan sebagai wujud difasilitasinya hak kependudukan oleh aparatur pemrov.
Kependudukan adalah hak dasar warga bukan kewajiban warga dan harus dinikmati sebagai
bentuk perlindungan hak-hak kemanusiaan warga. Pemikiran kritis inilah yang mendasari
gubernur Jakarta agar warganya menjadi tuan rumah di kotanya bukan sebagai pengungsi di
kotanya sendiri tanpa identitas.

Suasana atau dialog kesal dan kecewa atas buruknya pelayanan atau perilaku aparatur pemprov
di kelurahan, kecamatan atau kantor pemprov lainnya masih masih menjadi masalah warga saat
mengurus pelayanan kependudukannya. Bahkan mungkin kita sebagai warga pernah
mengalaminya seperti kejadian di atas. Protes atau kritik atas perilaku tidak melayani itu adalah
gambaran ketidak-pahaman aparat birokrasi terhadap pemikiran dan sikap gubernur dalam
membangun pelayanan publik termasuk kependudukan untuk warga Jakarta secara baik.
Gubernur selalu menekankan agar aparat birokrasi pemprov menjadi pamong yang baik, bersikap
melayani (bukan dilayani) dan banyak mendengarkan (bukan banyak omong kepada) warga.
Tidak dipahami dan belum terwujudnya sikap melayani yang diinginkan gubernur itu
menunjukkan masih suburnya pola hubungan terbalik, yakni warga melayani aparat pemprovnya.

Terbaliknya hubungan ini menjadikan sesuatu yang merupakan hak warga menjadi kewajiban
warga, kewajiban aparat menjadi hak dan dibebankan pada warganya. Pembalikan hubungan
seperti akan memperburuk citra dan persepsi warga terhadap pemprovnya. Kelemahan dan
kekurangan aparat pemprov dalam memberikan pelayanan kependudukan atau publik ini
akhirnya akan menjadi getah atau cerita buruk bagi gubernur. Pelayanan publik seperti bidang
kependudukan ini adalah bentuk yang sangat dekat dan akrab atau strategis bagi kehidupan
warga. Apabila pelayanan strategis ini tidak dipenuhi, warga akan kehilangan atau menjadi cacat
secara administratif dan tidak dapat menikmati pelayanan lainnya yang menentukan kehidupan
warga.

Sikap dan pemahaman inilah yang ada dalam kebijakan gubernur yang menaruh keinginan besar
agar warga dilayani secara baik dan manusiawi dengan menempatkan aparat pemprov atau aparat
birokrasi sebagai ujung tombak pelayanan hingga ke bawah. Dalam prinsip-prinsip hak dasar
atau hak asasi, pelayanan kependudukan adalah salah satu hak dasar yang dilindungi dan diatur
dalam Kovenan Internasional Tahun 1966 tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(Kovenan Ekosob). Kovenan Ekosob ini mengakui dan memerintahkan negara-negara peserta
atau anggota PBB agar memenuhi hak-hak warga untuk mendapatkan pelayanan publik seperti
kesehatan, pendidikan, administrasi kependudukan agar dapat hidup serta berkembang secara
manusiawi.

Perlindungan dan penghormatan terhadap hak atas pelayanan publik atau pelayanan
kependudukan ini juga dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dasar di tingkat nasional maupun
internasional lainnya. Secara jelas telah diatur dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Tahun 1948
serta UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Ketiga ketentuan Hak Aasi di atas
menegaskan bahwa perlunya sebuah bentuk perlindungan dan pelayanan yang baik oleh aparat
pemprov agar kemanusiaan warga sebagai citra Sang Pencipta dapat dihidupi di Jakarta.
Tindakan dalam bentuk apapun, entah pembiaran atau mempersulit warga mendapatkan hak
tersebut adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Berbagai bentuk pelayanan publik kependudukan telah diatur dalam ketentuan tersebut sebagai
hak dasar dan berpengaruh bagi kehidupan sebagai manusia, misalnya pelayanan KTP, Surat
Akta Lahir, Surat Kematian atau Surat Nikah. Apabila seseorang tidak diberikan atau difasilitasi
haknya untuk mendapatkan Akta Lahir maka kelak akan sulit mendapatkan KTP dan akan sulit
menikah secara resmi. Atau juga jika tidak memiliki KTP maka warga yang memerlukan
kesehatan gratis (Gakin) akan sulit mendapatkannya karena tidak bisa mendapatkan SKTM
sebab tidak memiliki KTP. Proses ini menunjukkan betapa penting dan berharganya pelayanan
kependudukan bagi hidup warga. Terlihat bahwa misalnya tanpa KTP maka seseorang tidak
diakui sebagai warga dan kehilangan sarana penunjang hak-hak hidupnya.

Baru-baru ini diumumkan bahwa Dinas Kependudukan akan meluncurkan program pelayanan
pembuatan KTP Keliling, menjemput dan mendekatkan diri langsung kepada warga yang
memerlukan di kampung-kampung. Tentunya warga yang tinggal di kampung-kampung adalah
mayoritas warga miskin dan kurang memiliki akses pada layanan publik. Rencana program KTP
Keliling ini menunjukkan Dinas Kependudukan memiliki sensitivitas terhadap pemenuhan hak
warga, pelayanan publik yang pro warga dan memperhitungkan kepentingan warga. Berkeliling
secara langsung seperti ini tentunya untuk lebih mempermudah dan mengontrol pembuatan KTP
yang mungkin saja selama ini sering sulit didapatkan di kelurahan-kelurahan. Adanya pelayanan
KTP Keliling ini akan menjadi pembanding pelayanan yang sama di kelurahan.

Ada baiknya juga bahwa kemudian atau berikutnya pelayanan KTP Keliling ini juga
dikembangkan pada pelayanan pembuatan Akta Kelahiran atau layanan kependudukan lainnya.
Keberadaan layanan kependudukan langsung dan mudah seperti ini jadi sangat penting bagi
warga agar hidup secara manusiawi tanpa diskriminasi, tidak hanya warga yang berduit saja bisa
mendapatkan hak kependudukannya tetapi warga miskin juga. Berangkat dari pengalaman
kurang mengenakkan dan kritik warga terhadap pelayanan publik selama ini maka perlu ada
perbaikan perilaku dan kesadaran aparatur birokrasi dalam pelayanan kependudukan. Perubahan
sikap aparat untuk tidak minta dilayani tetapi melayani dan memfasilitasi warga agar terpenuhi
hak-hak dasar kependudukannya. Selain itu juga ada baiknya untuk membantu terwujudnya
perubahan dan perbaikan layanan publik kependudukan dapat dilakukan dengan:
• Membangun prosedur pelayanan publik yang menggunakan pemenuhan kepentingan warga
paling miskin sebagai indikator pencapaian
• Mensosialisasikan semua prosedur dan mengevaluasikannya secara terbuka dan berkelanjutan
• Membangun sebuah mekanisme dan Pusat Pengaduan Pelayanan Publik agar dapat membantu
terwujudnya perubahan dan perbaikan pelayanan.

Ketiga langkah di atas merupakan sebuah tawaran yang dapat dilakukan oleh pemprov bersama
warga.

Anda mungkin juga menyukai