CITIZENS’ CHARTER :
Terobosan Baru Penyelenggaraan
Pelayanan Publik di Indonesia1
Dr. Partini2
Bambang W icaksono, MSi.3
“ Saya salah seorang warga kota yang mengurus izin IMB ke UPTSA Kota Yogyakarta beberapa bulan
lalu. Saya memang awalnya tidak tahu persyaratannya, hanya saja pada saat di UPTSA dijelaskan
oleh salah seorang petugas beberapa kekurangan persyaratan yang harus saya penuhi. Pada hari
berikutnya, saya datang lagi ke UPTSA dan kebetulan ditemui oleh petugas yang berbeda. Petugas
tersebut mengatakan bahwa saya masih kurang persyaratan lagi sehingga saya harus bolak-balik lagi
sampai tiga kali ke rumah untuk melengkapinya. Saya heran mengapa kok kekurangannya tidak
diberitahukan sekalian. Antara petugas satu dengan petugas lainnya juga terkesan tidak sama dalam
memahami persyaratan yang dibutuhkan sehingga membingungkan warga masyarakat ...” [FGD
Kepuasan Layanan Masyarakat, 29 September 2004].4
Pendahuluan
Pengalaman dari salah seorang warga pengguna layanan di atas berangkali hanya
merupakan sekelumit dari contoh kasus yang memperlihatkan masih belum
profesionalnya kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Isu
mengenai penyelenggaraan pelayanan publik saat ini menjadi isu kebijakan yang aktual
di masyarakat seiring dengan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
di Indonesia. Bahkan dalam UU Tentang Pemerintahan Daerah yang baru [hasil revisi
UU. No.22/ 1999] dalam pasal 16 (ayat 1a), disebutkan bahwa pemerintah mempunyai
tanggung jawab, kewenangan dan menentukan standar pelayanan minimal. Terlepas
dari kejelasan tentang substansi standar pelayanan minimal yang masih banyak
diperdebatkan, namun ketentuan ini setidaknya memberikan suatu gambaran bahwa
tuntutan pada kinerja penyelenggaraan pelayanan publik yang profesional telah menjadi
bagian dari concern pemerintah pusat maupun daerah. Penyelenggaraan pelayanan
publik ini merupakan salah satu bidang kewenangan penting bagi pemerintah daerah
sehingga keberhasilan dalam membangun kinerja pelayanan publik secara profesional,
efisien, efektif dan akuntabel akan mengangkat citra positif pemerintah kabupaten/ kota
di mata warga masyarakatnya.
Kinerja pelayanan publik di Indonesia yang masih terlihat belum profesional
memang tidak terjadi begitu saja sebagai suatu taken for granted, namun merupakan
konsekuensi dari adanya desain birokrasi Indonesia yang memang tidak dipersiapkan
sebagai ‘pelayanan masyarakat’ [public servant]. Secara historis, semenjak masa kerajaan
sampai masa pemerintahan kolonial Belanda, birokrasi di Indo nesia telah ditempatkan
sebagai ‘instrumen kekuasaan’[Dwiyanto, dkk.2002] yang menopang berbagai
kepentingan politik dari penguasa. Pada posisi demikian, birokrasi sebenarnya telah
sejak lama lebih diperkenalkan pada nilai-nilai kekuasaan daripada nilai-nilai pemberian
1 Makalah Seminar Bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan [PSKK] UGM pada tanggal 28
Oktober 2004.
2 Staf Peneliti PSKK UGM & Fasilitator Forum Citizens’ Charter Kota Ambarawa.
3 Staf Peneliti PSKK UGM & Fasilitator Forum Citizens’ Charter Kota Yogyakarta.
4 PSKK UGM bekerjasama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta saat ini sedang melakukan penelitian
tentang kinerja pelayanan UPTSA Kota Yogyakarta untuk penyusunan Indeks Kepuasan Layanan
Masyarakat.
5 GDS [Governance and Decentralization Survey] tahun 2004 dilaksanakan di 8 Provinsi dengan cakupan
32 kabupaten/kota. Penelitian ini merupakan pre -test dalam skala besar untuk persiapan GDS 2
[2005] di lebih dari 250 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Penelitian ini merupakan kerjasama
antara Bank Dunia dengan PSKK UGM.
berbentuk pada tidak adanya kepastian waktu dan biaya, prosedur yang rumit, ketidak
jelasan informasi layanan, dan sebagainya. Karena warga tidak mampu memenuhi
‘aturan main’, maka Warga masyarakat kemudian memilih untuk mempergunakan jasa
perantara atau ‘calo’ ketika berhubungan dengan pejabat birokrasi. Tingginya animo
warga masyarakat untuk mempergunakan jasa perantara dalam pengurusan pelayanan
di instansi pemerintah, sebenarnya juga menunjukkan bahwa warga pengguna layanan
mulai berpikir rasional secara ekonomi. Dengan mempergunakan jasa perantara, warga
pengguna akan dapat menghemat banyak energi dan waktu yang banyak terbuang
hanya untuk menunggu waktu penyelesaian pelayanan yang tidak dapat dipastikan.
Warga pengguna kemudian mengkompensasi waktu pelayanan yang tidak efisien ini
dengan cara mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar jasa pengurusan yang
dilakukan oleh perantara.
Kinerja pelayanan birokrasi juga belum mampu menerapkan prinsip-prinsip
pelayanan publik berwawasan good governance, 6 yakni penyelenggaraan pelayanan
publik yang diantaranya menjunjung tinggi nilai-nilai transparansi, partisipasi, efisiensi,
akuntabilitas, serta menghargai martabat warga pengguna. Model pelayanan seperti ini
lebih berorientasi pada kepuasan layanan masyarakat [customer service], menghargai
inovasi pelayanan, tanggap terhadap dinamika lingkungan pelayanan, aspirasi dan
kebutuhan pengguna layanan. Model ini jauh
Gambar. 2 meninggalkan pendekatan konservatif
Pemberian 'Uang Rokok' Dalam Pengurusan
Pelayanan Menurut Rumah Tangga pelayanan yang lebih berorientasi pada juklak
60
yang diterapkan secara kaku. Pelayanan
50 publik yang berwawasan good governance
40
menuntut adanya kemampuan birokrasi untuk
30
responsif terhadap tantangan dan peluang
20
10 baru, tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan
0 rutin yang terkait fungsi instrumental
Sertifikat tanah SIM KTP
birokrasi, dan harus memiliki pemikiran
J a w a Luar Jawa
inovatif dan futuristik. Birokrasi juga harus
memiliki kompetensi untuk memberikan
Sumber: GDS 1+
pelayanan secara adil dan inklusif, serta
kemampuan untuk memberdayakan masyarakat atau stakeholders pelayanan
[Tjokrowinoto, 2004].
Hasil temuan penelitian GDS 1+ juga memperlihatkan bahwa penyelenggaraan
pelayanan publik masih belum sepenuhnya menerapkan prinsip transparansi,
khususnya mengenai biaya pelayanan. Pada gambar. 2 terlihat bahwa warga masyarakat
masih tetap memberikan ‘uang rokok’ setiap kali berhubungan dengan pejabat birokrasi
untuk mengurus pelayanan sertifikat tanah, SIM dan KTP. Praktik pemberian ‘uang
rokok’7 seperti ini tetap saja memperlihatkan tidak adanya transparansi biaya pelayanan.
Sebab, ketentuan biaya pelayanan yang terdapat dalam Peraturan Daerah ataupun
ketentuan resmi lainnya, tidak pernah mengatur tentang ‘uang sukarela’ atau ‘biaya
administrasi’ lain di luar biaya yang sudah dicantumkan secara resmi. Praktik pelayanan
seperti tetap memperlihatkan masih rendahnya profesionalisme birokrasi dalam
memberikan pelayanan kepada warga pengguna layanan. Salah satu ciri profesionalisme
dalam pemberian pelayanan adalah penyedia layanan tidak bersedia untuk menerima
pemberian dalam bentuk apapun dari pengguna layanan yang dapat mendorong mereka
6 Konsep pelayanan publik berwawasan good governance merupakan model pelayanan yang menitik
beratkan pada penerapan praktik good governance dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Model
ini di Indonesia diperkenalkan oleh Prof. Dr. Agus Dwiyanto untuk pelatihan pengembangan
pelayanan publik berwawasan good governance di Sumatera Utara.
7 Uang rokok berarti juga ‘uang suap’, meskipun sebagian pejabat lebih suka mempergunakan istilah
‘iuran sukarela’ atau ‘biaya administrasi’.
biasa dilakukan. Ini hanya mungkin dilakukan oleh warga pengguna yang memiliki
‘kelebihan’ uang, status, dan sejenisnya yang tidak dimiliki oleh warga masyarakat biasa.
Selain masalah diskriminasi pelayanan, problem yang dihadapi oleh warga
pengguna adalah sulitnya menemui pejabat birokrasi yang mempunyai otoritas
pelayanan. Misalnya, bila ada warga pengguna ingin meminta pengesahan berkas
persyaratan pelayanan dari pejabat, sering kali pejabat yang bersangkutan tidak berada
di ditempat. Hal ini membuat warga pengguna harus menghabiskan lebih banyak waktu
untuk menunggu pejabat birokrasi, sehingga ketepatan waktu pelayanan tidak pernah
dapat dipenuhi. Belum lagi pelayanan yang membutuhkan prosedur, persyaratan
khusus untuk melampirkan gambar, dan kegiatan peninjauan lapangan, seperti halnya
pada pelayanan IMBB tentu saja akan memperlukan waktu lebih lama lagi. Hasil
penelitian IRDA [ Indonesia Rapid Decentralization Appraisal] 8 menunjukkan bahwa
Kesulitan-kesulitan teknis seperti ini dialami oleh warga pengguna di berbagai tempat di
seluruh Indonesia. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa kinerja pelayanan birokrasi
masih belum menunjukkan adanya profesionalisme seperti yang diharapkan. Peraturan
yang ada seringkali tidak mudah dipahami oleh warga pengguna yang sebagian besar
berpendidikan rendah, sehingga banyak terjadi mis-komunikasi antara birokrasi dengan
warga pengguna.
Kondisi pelayanan seperti ini merupakan konsekuensi kurang efektifnya sosialisasi
kebijakan pelayanan kepada warga pengguna, disamping itu warga pengguna memang
tidak dilibatkan dan tidak diajak bicara tentang masalah pelayanan. Perumusan
kebijakan pelayanan, seperti penentuan biaya, waktu pelayanan, prosedur, dan
sebagainya, masih dilakukan secara sepihak oleh birokrasi. Dengan demikian, warga
pengguna hanya ditempatkan sebagai ‘obyek pelayanan’ yang dapat diperlakukan
sesuai dengan kemauan pejabat birokrasi. Contohnya, bila warga disuruh membayar
‘uang administrasi’ saat mengurus KTP, maka warga tak kuasa menolaknya meskipun
tidak pernah dijelaskan oleh birokrasi dipergunakan untuk apa uang tersebut,
bagaimana mekanisme pertanggung jawabannya, dan sebagainya. Selama ini dalam
perspektif banyak aparat birokrasi, warga masyarakat masih dipersepsikan sebagai
orang yang tidak mengetahui apapun tentang masalah pelayanan [untuk menyebut kata
lain, yakni sebagai orang ‘bodoh’]. Padahal di era reformasi ini penyelenggaraan
pelayanan publik harus berada dalam koridor sistem kepemerintahan yang baik, yakni
pelibatan tiga komponen pokok pemerintah, swasta dan masyarakat (civil society ).
Era reformasi memunculkan adanya kesadaran dari warga pengguna akan
pentingnya kinerja pelayanan yang tidak diskriminatif dan menghargai martabat serta
hak pengguna layanan. Warga pengguna mulai menginginkan adanya kemudahan
pelayanan, baik dalam hal persyaratan, prosedur, kepastian waktu, maupun transparansi
biaya yang harus dikeluarkan. Adanya tuntutan semacam ini karena praktik pemberian
pelayanan selama ini dinilai tidak transparan, kurang responsif terhadap kebutuhan
pengguna, serta rendahnya akuntabelitas pelayanan.
Dalam suatu kegiatan diskusi terarah dengan pengguna layanan UPTSA belum
lama ini, 9 terungkap bahwa sebenarnya warga pengguna bersedia mengeluarkan biaya
lebih tinggi asalkan pelayanan yang diterima dapat lebih cepat, tepat dan berpastian.
Pemikiran menarik bahkan muncul dari beberapa peserta FGD yang mengusulkan
perlunya biaya pelayanan diklasifikasikan secara jelas. Misalnya, biaya untuk pelayanan
normal, pelayanan cepat, serta pelayanan ‘super cepat’ tentu saja berbeda dari segi
8 IRDA adalah penelitian tentang implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia yang melibatkan
kalangan perguruan tinggi, LSM, dan stakeholder lainnya bekerjasama dengan The Asia Foundation
semenjak tahun 2001 – 2004.
9 FGD dalam rangka kegiatan penyusunan indeks kepuasan layanan masyarakat UPTSA Pemerintah
Kota Yogyakarta – PSKK UGM, tanggal 29 September 2004.
jumlah Rupiah yang dikeluarkan. Menurut sebagian warga pengguna, inilah yang
disebut sebagai “ keadilan” pelayanan, karena setiap warga pengguna dapat mengukur
kemampuan mereka masing-masing, apakah akan mempergunakan pelayanan cepat
atau pelayanan normal. Tentu saja sebagai suatu lontaran ide, usulan ini hendaknya
dapat disikapi sebagai suatu bentuk keinginan dari warga pengguna agar birokrasi
memiliki standar pelayanan yang jelas, terukur, predictable, dan memiliki kepastian.
Pelayanan publik di Indonesia juga dinilai masih belum partisipatif, artinya
melibatkan warga pengguna layanan dalam merumuskan berbagai kebijakan pelayanan.
Contoh, di beberapa daerah karena penyelenggaraan pelayanan publik dianggap sebagai
potensi untuk menaikkan Pendapatan Asli Daerah [PAD], maka kenaikan tariff
pelayanan di Puskesmas dinaikkan beberapa kali lipat hanya dalam waktu satu tahun.
Kenaikan tarif ini dilakukan secara sepihak oleh birokrasi tanpa melibatkan warga
pengguna dalam proses pengambilan keputusannya. Ini merupakan persoalan mendasar
yang harus dipecahkan bersama agar tujuan dari penyelenggaraan pelayanan publik
yang partisipatif dapat tercapai.
Budaya pelayanan birokrasi seperti ini tentu saja tidak terbentuk begitu saja,
melainkan melalui proses historis yang begitu panjang, yang dimulai dari masa kerajaan,
masa kolonia Belanda, masa Orde Lama, masa orde baru sampai reformasi. Pada masa
kerajaan, birokrasi yang terbentuk adalah birokrasi yang memiliki ciri-ciri budaya
kekuasaan, diantaranya; (1) Penguasa menganggap dan menggunakan adminsitrasi
publik sebagai urusan pribadi, (2) administrasi adalah perluasaan rumah tangga istana,
(3) tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi raja, dan (4) para pejabat kerajaan dapat
bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja.
Pada masa kolonial , terutama di bawah penjajahan Belanda kondisinya tidak jauh
berbeda. Kedatangan Belanda sebagai penguasa justru melanggengkan sistem yang telah
dibangun oleh sistem pemerintahan kerajaan. Pada masa kolonial sistem paternalistik
semakin mengakar dan menjadi ‘jiwa’ sistem birokrasi di Indonesia. Struktur birokrasi
disusun secara hierarki yang dibalut dalam ‘sistem Bapakisme’ atau patrimonial [Thoha,
2003:7]. Pejabat pada hierarki bawah harus tunduk dan tidak berani bertindak jika belum
memperoleh ‘restu’ atau ‘petunjuk’ dari pejabat hierarki atas. Surat-surat dinas yang
berasal dari pejabat hierarki bawah selalu diakhiri dengan kata-kata manis ‘ mohon arahan
dan petunjuk’ dari pejabat hierarki atas. Budaya minta petunjuk ini merupakan sikap
sopan [proper behavior] yang harus dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan lebih
rendah. Tidak ada rasa salah dan ‘malu’ [ inappropriate] jika meminta petunjuk, karena
sikap ini menunjukkan agar tidak melampaui kekuasaan yang berada di luar
kekuasaannya.
Praktik dalam birokrasi seperti ini menjadi terinternalisasi yang membuat pejabat
birokrasi memposisikan dirinya sebagai ‘elite’ dalam kehidupan masyarakat. Birokrasi
memiliki ‘kekuasaan’ seperti halnya yang dimiliki oleh keluarga kerajaan. Pada awal
pembentukan birokrasi di Indonesia, kelompok inilah yang disebut sebagai ‘kelompok
Priyayi’. Kata ‘Priyayi’ menunjuk pada pejabat birokrasi yang dulu banyak berasal dari
keluarga/ kerabat kerajaan. Dengan demikian, pada awalnya banyak pejabat birokrasi di
Indonesia dapat menduduki suatu jabatan bukan hanya karena faktor pendidikan atau
kapabilitas, melainkan karena menjadi ‘priyayi’ yang dianggap sebagai orang berstatus
sosial tinggi di masyarakat.
10 Theo AJ. Toonen & Jos CN Raadschelders , Backgroundpaper for the Presentation on Public Sector
Reform in Western Europe, Conference on Comparative Civil Service Systems, School of Public and
Environmental Affairs (SPEA), Indiana University, Bloomington (IN), april 5 - 8, 1997. This paper is
produced in the context of a comparative research project on public sector reform in Central, Eastern
and in Western Europe (dir: Joachim Jens Hesse, Oxford/Berlin)
11 Denhardt, Janet V. & Robert B. Denhardt. 2003. The New Public Service, M.E. Sharpe,Inc., New
York.
lebih berorientasi pada kualitas output dan outcome layanan, daripada prosedur layanan
yang dibuat secara rigid.
Selandia Baru (New Zealand) memulai program reformasi manajemen pelayanan
publik pada pertengahan tahun 1980-an, melalui adanya kebijakan yang bersifat “ top-
down” untuk melakukan privatisasi pada sektor-sektor pelayanan Pemerintah yang
dianggap memungkinkan untuk dilakukan. Sistem pengawasan kinerja birokrasi yang
didasarkan pada otoritas, digantikan dengan sistem “market incentives” , artinya kontrol
terhadap kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan tidak dapat lagi hanya
didasarkan pada otoritas politik, tetapi juga melibatkan mekanisme pasar yang
melibatkan “ customers” dan stakeholders pelayanan. Kinerja pelayanan birokrasi juga
lebih difokuskan pada output atau produk layanan yang dihasilkan, bukannya pada
input layanan (anggaran) dan sebagainya. Hal ini membawa konsekuensi pada lebih
diperhatikannya masalah kualitas atau mutu dari suatu produk layanan yang dihasilkan
oleh birokrasi menurut perspektif pengguna layanan, jadi pelayanan bukan semata-mata
dilihat dalam konteks ketersediaan anggaran operasional pelayanan yang diberikan oleh
Pemerintah.
Birokrasi pelayanan di Selandia Baru mulai diperkenalkan pada adanya suatu
“ kontrak kerja pelayanan” , baik antara Pemerintah dengan Badan/ Instansi Penyedia
Layanan (providers). Pemerintah menerapkan adanya kontrak pelayanan kepada Badan-
Badan Pemberi layanan agar dapat memenuhi kinerja pelayanan yang telah ditetapkan
dalam kontrak tersebut. Kepala Badan/ Instansi pelayanan (di Indonesia Kepala
Dinas/ Badan), dapat menegosiasikan kontrak pelayanan ini kepada para aparatur
birokrasi pelayanan di Badan/ instansi pelayanan tersebut guna mencapai kesamaan visi
pelayanan. Birokrasi juga diperkenalkan pada sistem anggaran yang lebih difokuskan
pada pencapaian kinerja pegawai dalam memberikan pelayanan, artinya pemberian
insentif akan diberikan pada pegawai birokrasi yang memiliki kinerja pelayanan baik
dilihat dari indikator-indikator kinerja yang telah ditetapkan. Penerapan model-model
pelayanan baru ini ternyata membawa perubahan besar dalam birokrasi pelayanan di
Selandia Baru.
Pemerintah Australia demikian pula telah melakukan upaya reformasi manajemen
pelayanan publik semenjak tahun 1980-an. Adanya program baru yang digulirkan pada
masa pemerintahan Perdana Menteri Robert Hawke pada tahun 1983 berupa “ managing
for result” telah membawa banyak perubahan pada kinerja birokrasi Pemerintah. Para
pejabat birokrasi didorong untuk mempergunakan proses perencanaan yang
mengadopsi model “corporate-style” untuk mengidentifikasi prioritas, tujuan, sasaran,
dan perbaikan manajemen anggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Upaya
serupa juga dilakukan oleh Pemerintah Inggris pada masa pemerintahan Perdana
Menteri Margaret Thatcher, dimana penerapan pendekatan “ Citizens’ Charter”
dilakukan sebagai bentuk responsibilitas Pemerintah sebagai penyedia layanan untuk
menyusun standar pemberian pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
pengguna layanan. Pemerintah Inggris memiliki asumsi dasar yang berperspektif
ekonomi bahwa buruknya kinerja birokrasi dapat terjadi karena adanya faktor monopoli
pelayanan oleh birokrasi, transaksi biaya tinggi dalam birokrasi, dan masalah distorsi
informasi yang turut memperburuk terjadinya inefisiensi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
Birokrasi pemerintah Malaysia juga mulai menerapkan reformasi pelayanan publik
pada tahun 1996 dengan dicanangkannya program Visi Malaysia 2020 [Sarji, 1996]. Salah
satu langkah kebijakan reformasi pelayanan publik yang dilakukan adalah merombak
budaya birokrasi menjadi budaya kerja yang berorientasi pada kualitas pelayanan.
Pemerintah Malaysia sangat menaruh perhatian dan komitmen besar untuk
memfokuskan pada kebutuhan pengguna layanan [ focus on the customer] dalam
12 Lihat: Osborne, David & Peter Plastrik. 2000. “Memangkas Birokrasi : Lima Strategi Menuju
Pemerintahan Wirausaha”, penerjemah Abdul Rosyid & Ramelan., PPM Jakarta.
pengguna. Hal ini yang mendorong Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM
bekerjasama dengan Ford Foundation melakukan kegiatan eksperimentasi pelembagaan
model Citizens’ Charter [‘Kontrak Pelayanan’] dalam penyelenggaraan pelayanan publik
di Indonesia. Melalui berbagai pertimbangan yang mendasarinya, kemudian kegiatan ini
dilakukan di tiga kota dengan mengambil tiga kasus pelayanan yang berbeda pula,
yakni kota Blitar [pelayanan puskesmas], kota Yogyakarta [pelayanan akta kelahiran],
dan kota Ambarawa [pelayanan KTP dan HO]. Ketiga lokasi eksperimentasi Citizens’
Charter tersebut dipilih atas dasar adanya komitmen dan dukungan yang tinggi dari
pimpinan daerah, seperti bupati dan walikota setempat. Lingkungan birokrasi sebagai
tempat kegiatan pelembagaan Citizens’ Charter amat dipengaruhi oleh budaya birokrasi
yang masih bersifat patrilineal. Oleh karenanya, tanpa adanya dukungan yang kuat dari
pimpinan birokrasi setempat, kegiatan pelembagaan ini menjadi suatu keniscayaan.
Citizens’ Charter adalah suatu pendekatan dalam penyelenggaraan pelayanan publik
yang menempatkan pengguna layanan sebagai pusat perhatian. Artinya, kebutuhan dan
kepentingan pengguna layanan harus menjadi pertimbangan utama dalam keseluruhan
proses penyelenggaraan pelayanan publik. Untuk mencapai maksud tersebut, Citizens’
Charter mendorong penyedia layanan untuk bersama dengan pengguna layanan dan
pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyepakati jenis, prosedur, waktu, biaya,
serta cara pelayanan. Kesepakatan tersebut harus mempertimbangkan keseimbangan
hak dan kewajiban antara penyedia layanan, pengguna layanan, serta stakeholder.
Kesepakatan inilah yang nantinya menjadi dasar praktik penyelenggaraan pelayanan
publik.
Citizens’ Charter diperlukan karena beberapa hal. Pertama, untuk memberikan
kepastian pelayanan yang meliputi waktu, biaya, prosedur, dan cara pelayanan. Kedua,
pemberian informasi mengenai hak dan kewajiban pengguna layanan, penyedia layanan,
dan stakeholder lainnya dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pelayanan. Ketiga,
untuk mempermudah pengguna layanan, warga, dan stakeholder lainnya dalam
mengontrol praktik penyelenggaraan pelayanan. Keempat , untuk mempermudah
manajemen pelayanan memperbaiki kinerja penyelenggaraan pelayanan. Kelima, untuk
membantu manajemen pelayanan mengidentifikasi kebutuhan, harapan, dan aspirasi
pengguna layanan serta stakeholder lainnya.
Tujuan pelembagaan Citizens’ Charter adalah membuat pelayanan publik menjadi
lebih responsif, yaitu sesuai antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat, transparan
baik dari segi waktu, biaya, maupun cara pelayanan, serta akuntabel. Selain itu, dengan
adanya Citizens’ Charter, pengguna pelayanan juga dapat mengakses informasi
pelayanan dan melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pelayanan serta
menghargai martabat dan kedudukan pengguna layanan sebagai warga yang berdaulat.
Di lain sisi, bagi penyedia layanan, Citizens’ Charter bermanfaat untuk memudahkan
evaluasi terhadap kinerja pelayanan dan membantu memahami kebutuhan dan aspirasi
w arga serta stakeholder mengenai penyelenggaraan pelayanan publik. Citizens’ Charter
juga memberikan kesadaran pada masyarakat bahwa pelayanan publik bukan hanya
tanggung jawab pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab semua termasuk warga dan
pengguna layanan.
Fase pelembagaan Citizens’ Charter ada empat, yakni promosi, formulasi,
implementasi dan evaluasi. Pada fase promosi , kegiatan utama yang dilakukan adalah
mengenalkan kepada publik tentang pendekatan Citizens’ Charter dan membangun
kesepakatan pelayanan antara penyedia, pengguna dan stakeholders pelayanan lainnya,
serta pembentukan Forum Citizens’ Charter di tiap-tiap kota. Pada fase formulasi ,
kegiatan utama yang dilakukan adalah mempersiapkan instrumen bagi keperluan survei
pengguna jasa, menganalisis data hasi survei, serta menyusun draft kesepakatan berupa
‘Kontrak Pelayanan’ yang berisi janji perbaikan pelayanan ke depan oleh birokrasi. Pada
fase implementasi , kegiatan utama adalah menerapkan ‘Kontrak Pelayanan’ yang telah
disepakati ini dalam penyelenggaraan pelayanan sehari-hari. Terdapat beberapa
kegiatan yang menyertainya, seperti adanya uji publik terhadap ‘Kontrak Pelayanan,
talkshow, dialog dengan pejabat birokrasi, anggota DPRD, serta penerbitan semacam
buletin tentang ‘Kontrak Pelayanan’. Sedangkan pada fase evaluasi , kegiatan utama
yang dilakukan adalah melihat sejauh mana perubahan cara pelayanan yang telah
dilakukan setelah diterapkannya ‘Kontrak Pelayanan’. Perubahan pelayanan terutama
dilihat pada aspek keramahan atau etika pelayanan, kepastian dan transparansi biaya,
kepastian waktu pelayanan, kepastian prosedur, respon petugas terhadap keluhan
warga pengguna, dukungan sarana prasarana pelayanan, serta mengindentifikasi
berbagai bentuk pelanggaran dari ‘Kontrak Pelayanan’.
Pengalaman selama menjalankan proses pelembagaan Citizens’ Charter di Blitar,
Yogyakarta, dan Ambarawa menghasilkan banyak manfaat yang dapat dipetik bagi
upaya perbaikan kinerja penyelenggaraan pelayanan publik di masa mendatang. Baik
pihak mitra lokal, birokrasi pemerintah, maupun anggota Forum Citizens’ Charter di tiga
kota ini sepakat bahwa adanya kegiatan eksperimentasi seperti ini setidaknya
memberikan manfaat pada tiga hal mendasar, yakni (1) perubahan budaya dan norma
pelayanan birokrasi; (2) terselenggaranya manajemen pelayanan publik yang partisipatif,
transparan, dan akuntabel; (3) sebagai bentuk kegiatan advokasi pemberdayaan
stakeholders di luar birokrasi; (4) membuka ruang dan kesempatan interaksi yang lebih
luas antara birokrasi dengan masyarakat; serta (5) munculnya wacana untuk
mengadopsi konsep citizens charter dalam penyusunan peraturan daerah (perda)
tentang pelayanan publik.
Citizens’ Charter telah mencoba memperkenalkan adanya suatu proses perubahan
norma atau nilai-nilai pelayanan baru kepada birokrasi dan warga pengguna layanan
tentang pentingnya etika dalam pemberian pelayanan. Citizens’ Charter memberikan
kepada birokrasi maupun stakeholders pelayanan lainnya suatu bentuk perubahan
budaya (mindset) pelayanan yang jauh lebih humanis, egalitarian, dan nondiskriminatif
dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Para pejabat birokrasi telah mulai dapat
merasakan pentingnya suatu sosok birokrasi yang menghargai dan memperhatikan
dengan sungguh-sungguh hak-hak warga pengguna layanan. Demikian pula warga
pengguna, anggota Forum Citizens’ Charter dan stakeholders pelayanan lainnya mulai
terbuka wawasan mereka tentang pentingnya melakukan kontrol terhadap kualitas
kinerja pelayanan birokrasi agar tidak melanggar hak-hak dasar pada warga masyarakat
pada umumnya. Pejabat birokrasi juga mulai mengenal dan membiasakan diri pada
penerapan ‘budaya melayani’ ( culture of serving) dalam menjalankan tugas-tugas
pelayanan kepada masyarakat. Budaya melayani yang diperkenalkan dalam Citizens’
Charter ini adalah budaya yang mengajarkan adanya penghargaan atas hak dan
kewajiban, baik dari pihak pengguna maupun penyedia layanan
Citizens’ Charter memberikan suatu pengalaman pada birokrasi untuk
mengembangkan suatu manajemen penyelenggaraan pelayanan publik yang
memberikan kesempatan lebih nyata pada pelibatan stakeholders pelayanan dalam proses
pengambilan kebijakan. Proses kegiatan untuk melakukan survei pengguna layanan
misalnya, telah memberikan suatu perspektif baru di kalangan pejabat birokrasi maupun
anggota forum tentang relevansi survei pelanggan bagi perbaikan responsivitas
pelayanan. Kegiatan ini juga telah memungkinkan stakeholders pelayanan untuk
mengetahui berbagai kendala maupun masalah yang terjadi dalam keseluruhan proses
pelayanan, terutama menyangkut aspek biaya, waktu, prosedur atau mekanisme, dan
sebagainya. Dengan demikian, Citizens’ Charter telah memulai mendorong pada birokrasi
pemerintah untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip transparansi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Birokrasi menjadi terbiasa untuk ‘mendengar’ apa
yang menjadi aspirasi stakeholders pelayanan dan menjadikan birokrasi merasa
Penutup
Istilah Citizens’ Charter diambil dari istilah yang berkembang di Barat, di Indonesia
padanan kata yang dipandang mempunyai makna yang sama adalah dengan isitlah
“ Kontrak Pelayanan” . Bila para politisi atau anggota legislatif harus menandatangani
‘Kontrak Politik” atau ‘Kontrak Sosial’ dengan konstituen yang diwakilinya, maka dalam
pelayanan publik suatu “ kontrak pelayanan” merupakan bentuk kesepakatan bersama
antara penyedia dengan pengguna layanan. Kesepakatan ini dirumuskan dengan tujuan
agar kinerja penyelenggaraan pelayanan publik menjadi lebih transparan, responsif dan
akuntabel. Model Citizens’ Charter diharapkan akan lebih menempatkan warga pengguna
sebagai stakeholder pelayanan penting, serta menjadi pusat perhatian birokrasi. Sebagai
pusat perhatian, berarti sistem pelayanan [term of services] seperti prosedur, mekanisme,
kepastian waktu dan biaya pelayanan, informasi layanan, harus didasarkan pada
aspirasi, kebutuhan dan harapan pengguna layanan. Citizens’ Charter menawarkan suatu
pendekatan dalam pemberian pelayanan publik yang lebih manusiawi, artinya
menghargai martabat dan hak-hak sebagai pengguna layanan, seperti adanya standar
sapaan, keramahan dan menjadikan aspirasi pengguna layanan sebagai kekuatan untuk
melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Penerapan Citizens” Charter dalam proses pemberian pelayanan publik akan
mendorong birokrasi untuk melakukan perubahan mindset dan kultur pelayanan yang
diskriminatif. Dengan menciptakan kultur pelayanan, maka berbagai praktik pelayanan
yang merugikan pengguna layanan, seperti kolusi, korupsi, ‘uang suap’, dan sebagainya
akan dapat dikurangi. Aparatur birokrasi juga akan didorong untuk profesional, mampu
mengembangkan nilai-nilai partisipatif dalam penyelenggaraan pelayanan publik
melalui pelembagaan survei pelanggan, serta memperkuat akuntabilitas
penyelenggaraan pelayanan kepada warga pengguna layanan. Arogansi birokrasi secara
sistematis akan berkurang karena pejabat birokrasi akan menempatkan diri sebagai
‘ service provider’ , bukannya seorang penguasa. Kinerja pelayanan akan jauh lebih
akuntabel karena forum multistakeholders akan turut mengawasi kinerja birokrasi,
sekaligus menjadi mitra birokrasi bagi perbaikan kualitas pelayanan.
Referensi
Denhardt, Janet V. & Robert B. Denhardt. 2003. The New Public Service: Serving, Not
Steering, M.E. Sharpe, New York.
Dwiyanto, Agus. 2004. Pelatihan Pengembangan Pelayanan Publik Yang Berwawasan Good
Governance, Proposal pelatihan, tidak dipublikasikan.
Dwiyanto, Agus. Dkk. 2002. Reformasi Birokrasi di Indonesia, Pusat Studi Kependudukan
dan Kebijakan UGM, Yogyakarta.
Governance and Decentralization Survey 1+. 2004. Laporan Penelitian, Kerjasama Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM – Bank Dunia, Yogyakarta, tidak
dipublikasikan.
Osborne, David & Peter Plastrik. 2000. Memangkas Birokrasi : Lima Strategi Menuju
Pemerintahan W irausaha, penerjemah Abdul Rosyid & Ramelan., PPM Jakarta.
Sarji, Ahmad. 1996. Civil Service Reforms: Toward Malaysia’s Vision 2020, Pelanduk
Publications, Selangor.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Tjokrowinoto, Moeljarto. 2004. Birokrasi Dalam Polemik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.