Anda di halaman 1dari 105

TESIS

ASTAXANTHIN MENURUNKAN KADAR INTERLEUKIN-6


PLASMA PADA NON PROLIFERATIVE DIABETIC
RETINOPATHY RINGAN:UJI KLINIK TERKENDALI

IDA AYU PERTAMI DEWI

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014

TESIS

ASTAXANTHIN MENURUNKAN KADAR INTERLEUKIN-6


PLASMA PADA NON PROLIFERATIVE DIABETIC
RETINOPATHY RINGAN:UJI KLINIK TERKENDALI

IDA AYU PERTAMI DEWI


NIM 1014128101

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014

ASTAXANTHIN MENURUNKAN KADAR INTERLEUKIN-6


PLASMA PADA NON PROLIFERATIVE DIABETIC
RETINOPATHY RINGAN:UJI KLINIK TERKENDALI
(7,6

(7,6
Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana

IDA AYU PERTAMI DEWI


NIM 1014128101

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI


PADA TANGGAL : 6 MEI 2014

Pembimbing I,

dr. I Putu Budiastra, SpM(K)

Pembimbing II,

Prof. DR. Dr. I Gde Raka Widiana,SpPD-KGH

NIP. 19540508 1980121001

NIP. 1956 0707 1982111001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik


Program Pascasarjana
Universitas Udayana

Direktur,
Program Pascasarjana
Universitas Udayana

Prof.Dr.dr. Wimpie, I. Pangkahila,SpAnd.,FAACS Prof.Dr.dr. A.A.Raka Sudewi,SpS(K)


NIP. 19461213 1971071001
NIP. 19590215 1985102001

Tesis Ini Telah Diuji Pada


Tanggal 6 Mei 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana


Universitas Udayana No: 1244/UN 14.4/HK/2014 , Tanggal 6 Mei 2014

Ketua

: dr. Putu Budhiastra, Sp.M (K)

Sekretaris

: Prof. DR. Dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH

1. Prof. dr. N. K. Niti Susila, SpM (K)


2. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D
3. dr. I Made Agus Kusumadjaja, SpM (K)

UCAPAN TERIMA KASIH


Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa, atas berkah-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari
sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini, izinkan penulis dengan setulus hati menghaturkan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada :
1.

Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas
Kedokteran Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp OT(K), M.Kes yang telah memberikan
kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister
Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Universitas Udayana.

2.

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. AA Raka Sudewi, SpS(K)
atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sebagai mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Udayana.

3.

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree, Prof. Dr. dr. Wimpie, I. Pangkahila,
SpAnd., FAACS yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program
Studi Ilmu Biomedik combined degree.

4.

Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan
fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Bagian
Ilmu Kesehatan Mata.

5.

Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. Putu
Budhiastra, SpM (K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan
spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.

6.

Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr.
AAA Sukartini Djelantik, SpM (K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti program
pendidikan spesialisasi, memberi petunjuk, serta bimbingan selama menjalani pendidikan
spesialisasi.

7.

dr. Putu Budhiastra, SpM (K) sebagai pembimbing I yang telah meluangkan waktu,
memberikan petunjuk dan pengarahan, sejak awal penulisan sampai dapat menyelesaikan
tesis ini.

8.

Prof. DR. Dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH selaku pembimbing II yang selalu
memberikan bimbingan dan pengarahan hingga terselesaikannya tesis ini.

9.

Prof. dr. N. K. Niti Susila, SpM (K), Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH,Ph.D, dan dr. I
Made Agus Kusumadjaja, SpM (K) selaku penguji atas semua masukan, koreksi dan saran
dalam penyelesaian tesis ini.

10. Prof. Dr. dr. AA Budhiartha, SpPD-KEMD dan paramedis Poliklinik Ilmu Penyakit Dalam
Divisi Endokrin Metabolik RSUP Sanglah atas izin dan bantuan kerjasamanya dalam
pengumpulan sampel penelitian.
11. Prof. DR. Ir. I.B Putra Manuaba, M.Phil dan dr. I Made Muliarta, S.Ked, M.Kes atas
masukannya mengenai penulisan dan statistik penelitian.
12. Dr. dr. Anak Agung Wiradewi Lestari, S.Ked, Sp.PK dan dr. I Nyoman Wande, Sp.PK serta
seluruh petugas laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah atas izin dan kerjasamanya
dalam pengambilan sampel penelitian.
13. dr. A.A Mas Putrawati Triningrat, SpM atas ide penelitian, bimbingan dan pengarahan
selama penelitian sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

14. Seluruh Konsulen Ilmu Kesehatan Mata serta dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu
Biomedik Combined Degree atas segala bimbingannya.
15. Seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama ini
16. Seluruh paramedik di Poliklinik Mata RSUP Sanglah atas bantuan dan kerjasamanya dalam
pengumpulan sampel penelitian.
17. Para Pasien. Pendidikan spesialis yang saya jalani tidak akan berhasil tanpa bantuan para
pasien. Terima kasih telah menyediakan tenaga serta waktunya untuk ikut berpartisipasi
dalam penelitian ini.
18. Semua pihak yang telah terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
pendidikan spesialis yang saya jalani. Terima kasih untuk semua bantuan yang telah
diberikan.
Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda dan Ibunda kami Drs. Ida Bagus Aryadi dan
(alm) Ida Ayu Warsiti, yang telah memberikan bekal pendidikan yang cukup, motivasi dan
semangat kepada penulis. Ayahanda dan Ibunda Mertua Ida Bagus Tantra dan I Gusti Ayu Alit
Suryathi, terimakasih atas dorongan dan motivasinya selama ini. Akhirnya kepada suami tercinta
Ida Bagus Hariyana, BSBA dan ketiga buah hati tersayang Ida Bagus Erik Tahayana, Ida bagus
Arik Tahayana, Ida Bagus Triputran Tahayana, terimakasih atas doa, dorongan semangat dan
pengertian selama penulis menyelesaikan pendidikan dan penelitian ini.
Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi perkembangan
pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan IImu Kesehatan Mata. Perkenankanlah penulis
memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekhilafan dan prilaku yang kurang berkenan selama
mengikuti pendidikan dan penelitian ini di Bagian Ilmu kesehatan Mata FK Unud RSUP Sanglah

Denpasar. Akhir kata, semoga Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa, selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Denpasar, April 2014

Penulis

ABSTRAK

ASTAXANTHIN MENURUNKAN KADAR INTERLEUKIN-6 PLASMA PADA NON


PROLIFERATIVE DIABETIC RETINOPATHY RINGAN:UJI KLINIK TERKENDALI
Diabetic Retinopathy (DR) merupakan komplikasi mikrovaskular pada Diabetes Mellitus
(DM) dan penyebab kebutaan paling sering pada usia produktif. Hiperglikemia menyebabkan
terjadinya reaksi inflamasi dan stres oksidatif dalam patogenesis DR sudah banyak dipaparkan
oleh peneliti, namun peran antioksidan dalam mengurangi progresifitas DR masih menjadi
perdebatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberian astaxanthin 8 mg dapat
menurunkan kadar Interleukin-6 (IL-6) pada penderita Non Proliferative Diabetic Retinopathy
(NPDR) ringan. Penelitian clinical trial dengan perluasan Randomized, Double Blinded,
Placebo-Control, Pre and Posttest Group Design ini dilaksanakan pada bulan Juli 2013 Desember 2013 di Poliklinik Mata RSUP Sanglah Denpasar Bali. Jumlah sampel yang
memenuhi kriteria eligibilitas sebanyak 40 pasien NPDR ringan terbagi menjadi 20 pasien
sebagai kelompok perlakuan yang diberikan astaxanthin 8 mg dan 20 pasien NPDR ringan yang
diberikan plasebo sebagai kelompok kontrol. Pengambilan sampel darah vena untuk pemeriksaan
kadar IL-6 plasma dilakukan sebelum dan setelah pemberian astaxanthin 8 mg serta plasebo
selama 4 minggu. Perbedaan kadar rerata IL-6 plasma dianalisis dengan uji Mann-whitney.
Perbedaan rerata kadar IL-6 plasma awal dan 4 minggu pada kelompok NPDR ringan yang
mendapat astaxanthin 8 mg adalah -0,72,0 pg/mL sedangkan pada kelompok NPDR ringan
yang mendapat plasebo 1,84,0 pg/mL (p<0,05). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
disimpulkan astaxanthin menurunkan kadar IL-6 plasma secara signifikan pada pasien NPDR
ringan.
Kata kunci : Diabetes Mellitus (DM) tipe II, Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR)
ringan, Interleukin-6 (IL-6), Astaxanthin

ABSTRACT

ASTAXANTHIN DECREASED PLASMA INTERLEUKIN-6 LEVEL IN MILD NON


PROLIFERATIVE DIABETIC RETINOPATHY :
RANDOMIZED CLINICAL TRIAL
Diabetic Retinopathy (DR) is a microvascular complication of Diabetes Mellitus (DM)
and leading cause blindness in working age people. Hiperglycemia induces inflammation and
oxidative stress in pathogenesis of DR has been described, but the role of antioxidants in
reducing progression of DR is still being debated. This study aimed to determine whether plasma
Interleukin-6 (IL-6) levels in mild Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) with
astaxanthin 8 mg lower than with placebo. This clinical trial study with Randomized, Double
Blinded, Placebo-Control, Pre and Posttest Group Design was conducted on July-December
2013 at eye clinic of Sanglah Public General Hospital Denpasar, Bali. There were 40 patients
collected as subjects, divided into 20 mild NPDR patients with astaxanthin 8 mg and 20 mild
NPDR patients with placebo. Examination of plasma IL-6 levels performed before and after give
astaxantin 8 mg and placebo for 4 weeks. Analysis was conducted with Mann-whitney test.
Mean plasma IL-6 levels in mild NPDR patients with astaxanthin 8 mg was -0,72,0 pg/mL
while in mild NPDR patients with placebo was 1,84,0 pg/mL (p <0,05). The result of this study
concluded that astaxanthin was proved significally decreased IL-6 in mild NPDR.
Keywords : Diabetes Mellitus (DM) type II, Mild Non Proliferative Diabetic Retinopathy
(NPDR), Interleukin-6 (IL-6), Astaxanthin

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...................................................................................

PRASYARAT GELAR ..............................................................................

ii

LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................

iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...........................................................

iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ...........................................

UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................

vi

ABSTRAK ..................................................................................................

ABSTRACT .................................................................................................

xi

DAFTAR ISI

xii

DAFTAR TABEL .......................................................................................

Xvi

DAFTAR GAMBAR...

Xvii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG..

Xviii

DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................

Xx

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penelitian.

1.4 Manfaat Penelitian...

1.4.1 Manfaat Teoritis ....

1.4.2 Manfaat Praktis.......

BAB II KAJIAN PUSTAKA


2.1 Anatomi dan Fisiologi Retina dan Retina Pigment Epitelium.

2.1.1 Struktur Anatomi Retina ........................................................

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Retina Pigment Epitelium..................

2.2 Diabetic Retinopathy.

2.2.1 Definisi dan Epidemiologi......

2.2.2 Patogenesis..

10

2.2.3 Klasifikasi dan Faktor Risiko.....

11

2.3 Non Proliferative Diabetic Retinopathy Ringan..............................

14

2.3.1 Definisi........................

14

2.3.2 Patogenesis .................

14

2.3.3 Diagnosis.............

16

2.3.4 Penatalaksanaan..

16

2.4 Interleukin-6

17

2.4.1 Definisi

17

2.4.2 Hubungan Interleukin-6 dengan DR...

17

2.5 Stres Oksidatif..................................................................................

20

2.5.1 Definisi ...

20

2.5.2 Radikal Bebas dan ROS .........................................

20

2.5.3 Stres Oksidatif pada DR......................................................

21

2.6 Antioksidan..

23

2.6.1 Definisi.

23

2.6.2 Klasifikasi dan Mekanisme Kerja

23

2.7 Astaxanthin..

24

2.7.1 Definisi..

24

2.7.2 Komposisi Kimia, Absorpsi, Metabolisme, Dosis dan Efek


Samping..

25

2.7.3 Astaxanthin sebagai Antioksidan..

26

2.7.4 Peranan Astaxanthin Terhadap Mata

27

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN


3.1 Kerangka Berpikir ..

30

3.2 Konsep Penelitian............

31

3.3 Hipotesis Penelitian .......

31

BAB IV METODE PENELITIAN


4.1 Rancangan Penelitian...

32

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian......

33

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian...........

33

4.3.1 Populasi Penelitian..........

33

4.3.2 Sampel Penelitian .........

33

4.3.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian .....................

33

4.3.2.2 Besar Sampel........

34

4.3.2.3 Cara Pemilihan Sampel........................

35

4.4 Variabel Penelitian...

35

4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel.......

35

4.4.2 Definisi Operasional Variabel.

36

4.5 Instrumen Penelitian.........................................................................

39

4.6 Prosedur Penelitian...........................................................................

40

4.6.1 Tahap Persiapan......................................................................

40

4.6.1.1 Pengacakan....................................................................

40

4.6.1.2 Blinding.........................................................................

40

4.6.2 Pelaksanaan Penelitian............................................................

40

4.7 Alur Penelitian ................................................................................

44

4.8 Analisis Data ...........

45

BAB V HASIL PENELITIAN


5.1 Karakteristik Subjek Penelitian........

47

5.2 Perbedaan Kadar IL-6 Plasma Awal dan 4 Minggu Pemberian


Astaxanthin dan Plasebo pada Pasien NPDR Ringan.....................

48

BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Subjek Penelitian..............................

51

6.2 Perbedaan Kadar IL-6 Plasma Awal dan 4 Minggu Pemberian


Astaxanthin dan Plasebo pada Pasien NPDR Ringan ........

57

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN


7.1 Simpulan .........................................

64

7.2 Saran................................................

64

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

65

LAMPIRAN-LAMPIRAN ..........................................................................

73

DAFTAR TABEL
Halaman

5.1

Karakteristik Subjek Penelitian ............................................................. 47

5.2

Perbedaan Kadar IL-6 Plasma Awal dan 4 Minggu Pemberian


Astaxanthin dan Plasebo pada Pasien NPDR Ringan...........................

49

DAFTAR GAMBAR
Halaman

2.1

Anatomi Retina ....................................................................................

2.2

Patogenesis NPDR ...................................................................

15

2.3

NPDR Ringan ......................................................................................

16

2.4

Interleukin-6 dalam Inflamasi.

19

2.5

Mekanisme Stress Oksidatif pada DR..

23

2.6

Struktur Kimia Astaxanthin..

25

3.1

Bagan Konsep Penelitian ......................................................................

31

4.1

Rancangan Penelitian ............................................................................

32

4.2

Skema Hubungan Antar Variabel ........................................................

36

4.3

Skema Alur Penelitian .

44

5.1

Profil Penelitian ....

46

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

ADA

= American Diabetes Association

AGE

= Advanced Glication End Product

Cat

= Katalase

DCCT

= Diabetes Control and Complication Trial

DM

= Diabetes Mellitus

DME

= Diabetic Macular Edema

DNA

= Deoxyribosa Nucleic Acid

DR

= Diabetic Retinopathy

GPx

= Glutation Peroxidase

H2O2

= Hidrogen Peroksida

HBA1C

= Haemoglobin Adult 1c

HRP

= Horse Radish Peroxidase

IDF

= International Diabetes Federation

ILM

= Interna Limitans Membran

IL-6

= Interleukin 6

IL-1

= Interleukin 1

IMT

= Indeks Massa Tubuh

JNC

= Joint National Committee

= Kontrol dengan pemberian plasebo per hari selama 4 minggu.

NF-k

= Nuclear Factor kappa-

NPDR

= Non Proliferative Diabetic Retinopathy

O0 dan O1

= Pengamatan kadar IL-6 sebelum perlakuan

O2 dan O3

= Pengamatan kadar IL-6 setelah perlakuan

O2-

= Superoksida
-

OH

= Hidroksil

PDR

= Proliferative Diabetic Retinopathy

= Populasi

P1

= Perlakuan dengan pemberian 8 mg astaxanthin per hari selama 4 minggu

RA

= Random Alokasi

RAGE

= Receptor Advanced Glication End

Riskesdas

= Riset Kesehatan Dasar

ROS

= Reactive Oxygen Species

RPE

= Retina Pigment Epitelium

RS

= Random Sampling

= Sampel

SIL-6R

= Soluble IL-6 Receptors

SOD

= Super Oxide Dismutase

SPSS

= Stastical Package for The Social Sciences

TMB

= Tetra Methyl Benzidine

TNF-

= Tumor Necrosing Factor-

UKPDS

= United Kingdom Prospective Diabetes Study

VEGF

= Vascular Endothelial Growth Factor

WESDR

= Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy

WHO

= World Health Organization

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Kelaikan Etik .............................

73

Lampiran 2

Surat Ijin Penelitian ....................

74

Lampiran 3

Penjelasan Penelitian...........................

75

LLampiran 4

Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan .................

78

Lampiran 5

Kuisioner Penelitian ...............................................

79

LLampiran 6

Tabel Induk penelitian ...........................................

81

Kadar IL-6 kelompok plasebo.

82

LLampiran 8

Kadar IL-6 kelompok astaxanthin...

83

LLampiran 9

Out Put SPSS...........................................................

84

Lampiran 7

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebutaan merupakan masalah kesehatan yang serius di berbagai belahan dunia hingga kini.
Kebutaan adalah suatu keadaan tidak mampu melihat karena terjadinya kerusakan pada organ
mata sehingga mengakibatkan gangguan dalam aktivitas sehari-hari. Kebutaan dapat disebabkan
oleh berbagai macam penyakit diantaranya Diabetic Retinopathy (DR). DR di negara
berkembang seperti Indonesia menjadi penyebab kebutaan yang paling sering setelah katarak
(Frank, 2004).
Diabetic Retinopathy (DR) adalah salah satu komplikasi dari penyakit Diabetes Mellitus
(DM) berupa kelainan retina akibat gangguan mikrovaskular yang disebabkan oleh hiperglikemia
dalam waktu lama. DR sering terjadi pada penderita DM usia 20-74 tahun dan hampir semua
pasien diabetes tipe I dan >60% pasien diabetes tipe II menderita retinopati (Banday dkk, 2010;
American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
Angka kebutaan karena DR di dunia diperkirakan semakin meningkat seiring dengan
lamanya menderita DM. Jumlah penderita DM diseluruh dunia saat ini lebih dari 170 juta dan
diperkirakan akan mencapai 366 juta penderita pada tahun 2030 (Kowluru dan Chan, 2007). Di
Amerika Serikat terdapat 16 juta penderita DM dan setiap tahunnya ditemukan 8000 kasus
kebutaan baru yang disebabkan oleh DR (Bhavsar, 2009). World Health Organization (WHO)
melaporkan pada tahun 2000 terdapat 8,4 juta penderita DM di Indonesia dan diperkirakan tahun
2030 meningkat menjadi 21,3 juta jiwa. Hasil survey Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007 diperoleh prevalensi DM di daerah urban Indonesia untuk usia diatas 15 tahun berkisar

15,7%. Hasil studi epidemiologi di Bali oleh Divisi Endokrin Metabolik FK Unud tahun 20052010 diperoleh prevalensi DM 5,9% (Dwipayana, 2013). Diperkirakan angka ini akan menjadi
lebih tinggi, karena terjadi peningkatan pola hidup yang beresiko untuk menderita DM (Iskandar
dan Kartasasmita, 2013).
Diabetic Retinopathy (DR) merupakan komplikasi mikrovaskular di retina yang paling
banyak ditemukan akibat penyakit DM (Frank, 2004). Berdasarkan stadiumnya, DR
diklasifikasikan menjadi stadium Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) dan
Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR). Stadium NPDR diklasifikasikan menjadi stadium
ringan, sedang dan berat (Chibber dkk, 2007; American Academy of Ophthalmology and Staff,
2011-2012a).
Mekanisme terjadinya DR belum dapat dijelaskan secara pasti. Beberapa teori
menyebutkan, terpaparnya hiperglikemia dalam waktu lama dapat menginduksi perubahan faktor
biochemical, hemodynamic, dan endocrine yang memicu terjadinya reaksi inflamasi dan stres
oksidatif, menyebabkan gangguan pembuluh darah kapiler retina

berupa hilangnya perisit,

proliferasi sel endotel dan penebalan membran basement yang mengakibatkan oklusi dan leakage
dari pembuluh darah retina (Chibber dkk, 2007; Gupta dkk, 2007). Phenomena imun dan reaksi
inflamasi kronis diduga berpengaruh terhadap patogenesis dan progresivitas DR (Doganay dkk,
2002).
Beberapa studi saat ini difokuskan pada peranan sitokin Interleukin-6

(IL-6) dalam

perkembangan DR. Hal ini diasumsikan bahwa hiperglikemia bisa menyebabkan aktivasi IL-6
yang berperan dalam perkembangan dan progresivitas DR (Kojima dkk, 2001). Hiperglikemia
menyebabkan peningkatan sintesis macrophages Receptor for Advanced Glication End Product
(RAGE) dan melalui induksi faktor transkripsional proinflamasi yaitu Nuclear Factor kappa-

(NF-k) terjadi peningkatan petanda sitokin proinflamasi seperti IL-6 (Swenarchuk dkk,
2008). Sitokin ini dapat memediasi sintesis protein fase akut yang dapat menginisiasi dan
mendukung proses inflamasi pada dinding pembuluh darah (Hu dkk, 2004). Interleukin-6 (IL-6)
merupakan salah satu sitokin proinflamasi yang digunakan sebagai inflammatory marker untuk
menilai progresivitas DR (Doganay dkk, 2002; Lee dkk, 2008).
Hiperglikemia dapat memicu suatu stres oksidatif yaitu tidak seimbangnya antara radikal
bebas dengan antioksidan di dalam tubuh. Terdapat beberapa jalur yang menghubungkan stress
oksidatif dengan keadaan hiperglikemia sehingga mengakibatkan DR (Kowluru dan Chan,
2007). Hiperglikemia tidak hanya membentuk

Reactive Oxygen Species (ROS) tetapi juga

melemahkan mekanisme antioksidan endogen melalui glikasi dari enzim-enzim pengurai dan
pengurangan antioksidan molekul rendah, contohnya glutation. Kekacauan pengaturan reseptor
selama stress oksidatif mengaktivasi mikroglia

memproduksi sitokin proinflamasi untuk

mendapatkan bentuk yang teraktivasi (Liou, 2010). Proses-proses ini mempercepat kematian sel
retina dan meningkatkan permeabilitas vaskuler serta sumbatan yang akan mengakibatkan DR
(Banday dkk, 2010). Pemberian terapi antioksidan dapat menjadi salah satu pilihan pada
pencegahan penyakit mikrovaskular dan makrovaskular pada penderita DM (Pennathur dan
Heinecke, 2004). Antioksidan dianggap mempunyai efek yang potensial karena bekerja pada dua
level yang berbeda yaitu dengan menghambat terbentuknya ROS dan meningkatkan pertahanan
antioksidan melalui peran beberapa enzym (Kowluru dan Chan, 2007).
Penderita NPDR ringan sampai saat ini belum banyak diberikan intervensi pengobatan.
Penderita NPDR ringan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan rutin setiap 9 bulan untuk
menilai progresifitasnya dan kontrol gula darah yang teratur (American Academy of
Ophthalmology and Staff, 2011-2012a). Beberapa peneliti melakukan penelitian pada hewan

coba mengenai pemberian antioksidan dan penelitian lainnya dilakukan pada beberapa relawan
mengenai efektifitas antioksidan dalam mencegah progresifitas DR. Belum ada suatu ketentuan
yang menganjurkan apakah antioksidan tertentu harus diberikan dengan dosis pasti sehingga
penanganan penderita NPDR stadium ringan dapat maksimal yang akhirnya mencegah
progresifitasnya ke stadium sedang dan berat (Kowluru dkk, 2008).
Astaxanthin (3,3-dihydroxy-,-carotene-4,4-dione) adalah antioksidan yang popular
saat ini. Astaxanthin merupakan pigmen karotenoid utama dan dapat ditemukan pada hewan
yang hidup di air seperti salmon, udang dan lobster (Guerin dkk, 2003). Selain itu astaxanthin
juga dapat ditemukan pada mikroalga seperti Haematococcus Pluvialis. Astaxanthin memiliki
aktivitas antioksidan 10 kali lipat lebih tinggi dari beta karoten dan 1000 kali lipat lebih efektif
dari vitamin E (Suseela dan Toppo, 2006; Santocono dkk, 2007). Astaxanthin tidak pernah
menjadi prooksidan yang dapat menyebabkan oksidasi di dalam tubuh (Denise dan Thomas,
2002). Astaxanthin juga memiliki efek anti inflamasi dan anti oksidatif dengan menghambat
produksi ROS dan sitokin serta melalui inhibisi fosporilasi faktor transkripsional proinflamasi
yaitu NF-k yang mengakibatkan produksi IL-6 menurun (Kim, 2010; Swanson, 2012).
Diabetic Retinopathy (DR) merupakan suatu low-grade chronic inflammatory
condition (Khalfaoui dkk, 2008). Jumlah penduduk yang mempunyai faktor risiko untuk
menderita gangguan penglihatan dan kebutaan karena DM diperkirakan akan meningkat dua kali
lipat 30 tahun yang akan datang. Penting sekali untuk mengembangkan cara untuk
mengidentifikasi, pencegahan, dan pengobatan retinopati pada stadium awal daripada menunggu
sampai munculnya gangguan pada penglihatan. Astaxanthin sebagai antioksidan dan
antiinflamasi dapat sebagai pilihan terapi NPDR, tetapi belum ada suatu ketentuan mengenai

pemberiannya dan dosisnya. Dari latar belakang tersebut diatas dapat di buat rumusan masalah
sebagai berikut.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah pemberian astaxanthin 8 mg dapat menurunkan kadar IL-6 pada penderita NPDR
ringan?

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui pemberian astaxanthin 8 mg dapat menurunkan kadar IL-6 pada
penderita NPDR ringan.

1.3

Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis


1. Dapat diketahui hubungan antara sitokin proinflamasi IL-6 pada penderita DM terhadap
perkembangan terjadinya NPDR ringan.
2. Dapat memberikan solusi penanganan yang optimal pada penderita NPDR ringan.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Memberikan informasi mengenai pilihan antioksidan yang dapat membantu menangani
pasien NPDR stadium ringan sehingga dapat mencegah perkembangan menjadi stadium
lanjut.
2. Memberikan informasi pilihan dosis antioksidan yang dapat diberikan untuk penderita
NPDR ringan, sehingga dapat menjadi prosedur standar.

3. Penanganan penderita NPDR ringan lebih optimal, tidak hanya evaluasi rutin setiap 9
bulan saja.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1

Anatomi, Fisiologi Retina dan Retina Pigment Epitelium

2.1.1 Struktur Anatomi Retina


Retina merupakan lapisan sel yang menyelubungi bagian dalam bola mata, strukturnya sangat
tipis, halus dan berupa membran transparan. Terbagi menjadi dua bagian yaitu lapisan
neurosensoris dan lapisan Retina Pigment Epitelium (RPE). Di bagian anterior lapisan RPE
berubah menjadi lapisan epitel berpigmen badan siliar dan iris, sedangkan lapisan neurosensoris
berubah menjadi lapisan tak berpigmen badan siliar dan iris. Retina secara histologis terdiri dari
sepuluh lapisan yaitu RPE, lapisan sel batang dan kerucut, membran limitans eksterna, lapisan
inti luar, lapisan pleksiform luar, lapisan inti dalam, lapisan pleksiform dalam, lapisan sel
ganglion, lapisan serabut saraf, dan membran limitans interna (Forrester dkk, 2002; American
Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a). Selain itu retina banyak mengandung asam
lemak tak jenuh dan terjadi penyerapan oksigen serta oksidasi glukosa tertinggi dibandingkan
dengan jaringan lain di tubuh sehingga retina lebih rentan terhadap stres oksidatif (Banday dkk,
2010).
Vaskularisasi retina ditunjang oleh dua sumber pendarahan yaitu pembuluh koriokapilaris
dari koroid yang memperdarahi bagian luar retina, serta percabangan pembuluh arteri-vena retina

sentralis yang memperdarahi bagian dalam retina. Saat menembus lamina kribrosa ketebalan
dinding pembuluh darah akan berkurang separuhnya, sehingga secara struktural pembuluh darah
intraokular ini adalah pembuluh darah arteriola. Arteriola dan venula besar terdapat di lapisan
serabut saraf dan lapisan sel ganglion. Perjalanan venula selalu menyertai arteriola dan beberapa
kali akan saling bersilangan. Pembuluh darah retina merupakan end-vessel yang tidak
beranastomosis, mempunyai sel endotel dengan tight junction sehingga membentuk inner-bloodretinal barier yang sifatnya impermeable (American Academy of Ophthalmology and Staff,
2011-2012a).
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Retina Pigment Epitelium
Retina Pigment Epitelium (RPE) merupakan lapisan sel berbentuk kuboid bila dilihat
pada potongan melintang yang terletak antara membran bruch dan retina. Sel kuboid tersebut
lebih padat dan lebih tinggi pada daerah makula daripada di perifer. Di fovea kepadatan sel RPE
mencapai 5000 sel/mm2dengan ukuran kecil (10-14 mikron) sedangkan di daerah retina perifer
berkisar 2000 sel/mm2 dengan ukuran yang lebih besar (60 mikron) dan lebih datar (Marmor,
2003). Sel RPE memiliki konfigurasi apeks dan basal. Pada sisi apeks berhadapan langsung
dengan sel fotoreseptor dan sisi basal berhubungan dengan membran bruch yang mengandung
nukleus dan mitokondria. Setiap sel RPE berhubungan di bagian lateral melalui ikatan erat dan
tersusun rapat dengan adanya intercellular junctional complexes disebut zonula occludentes dan
zonula adherens yang berperan sebagai outer blood retinal barrier (Sharma dan Ehinger, 2003;
American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012b).
Sel RPE memiliki beberapa fungsi antara lain membantu proses fagositosis segmen luar
fotoreseptor, metabolisme dan penyimpanan vitamin A, serta fungsi barrier dan transport untuk
asam laktat, glukosa, asam amino dan asam askorbat (American Academy of Ophthalmology and

Staff, 2011-2012b). Sel RPE juga memproduksi Interleukin-6 (IL-6) sebagai respon terhadap
suatu reaksi inflamasi sehingga sel ini dianggap mempunyai peran penting dalam terjadinya
reaksi inflamasi di retina pada DR (Kauffmann dkk, 1994).

Gambar 2.1 Anatomi retina


(American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b)

2.2

Diabetic Retinopathy

2.2.1 Definisi dan Epidemiologi


Diabetic Retinopathy (DR) merupakan salah satu komplikasi akibat penyakit Diabetes
Mellitus (DM)

yang dihubungkan dengan phenomen imun dan reaksi inflamasi sehingga

dikatakan suatu low-grade chronic inflammatory condition (Doganay dkk, 2002; Khalfaoui
dkk, 2008).
Jumlah penderita DM diseluruh dunia saat ini lebih dari 170 juta dan diperkirakan akan
mencapai 366 juta penderita pada tahun 2030 (Kowluru dan Chan, 2007). Di Amerika Serikat
terdapat 16 juta penderita DM dan setiap tahunnya ditemukan 8000 kasus kebutaan baru yang
disebabkan oleh DR (Bhavsar, 2009). Indonesia oleh International Diabetes Federation (IDF)
menempati urutan ke sembilan di dunia dengan jumlah penderita DM 7,0 juta dan akan

meningkat menjadi urutan ke enam pada tahun 2030 dengan penderita DM sebanyak 120 juta
jiwa. World Health Organization (WHO) melaporkan pada tahun 2000 terdapat 8,4 juta
penderita DM di Indonesia dan diperkirakan tahun 2030 meningkat menjadi 21,3 juta jiwa.
Hasil survey Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 diperoleh prevalensi DM di daerah
urban Indonesia untuk usia diatas 15 tahun berkisar 15,7%. Hasil studi epidemiologi di Bali oleh
Divisi Endokrin Metabolik

FK Unud tahun 2005-2010 diperoleh prevalensi DM 5,9%

(Dwipayana, 2013). Peningkatan angka kejadian DM terpicu dengan meningkatnya faktor risiko
seperti kurangnya aktifitas fisik, kurang mengkonsumsi makanan berserat tinggi, merokok,
kelebihan kolesterol, kegemukan atau obesitas. Diperkirakan angka ini akan lebih tinggi, karena
terjadi peningkatan pola hidup yang berisiko untuk menderita DM (Iskandar dan Kartasasmita,
2013).
2.2.2 Patogenesis
Patogenesis terjadinya DR belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa teori menyebutkan,
terpaparnya hiperglikemia dalam waktu lama dapat menginduksi perubahan faktor biochemical,
hemodynamic, dan endocrine

yang memicu terjadinya reaksi inflamasi dan stres oksidatif,

menyebabkan gangguan pembuluh darah kapiler retina berupa hilangnya perisit, proliferasi sel
endotel dan penebalan membran basement yang mengakibatkan oklusi dan leakage dari
pembuluh darah retina (Chibber dkk, 2007; Gupta dkk, 2007). Phenomena imun dan reaksi
inflamasi kronis diduga berpengaruh terhadap patogenesis dan progresivitas DR (Doganay dkk,
2002; Meleth dkk, 2005).
2.2.3 Klasifikasi dan Faktor Risiko
Diabetic Retinopathy (DR) diklasifikasikan menjadi stadium awal atau Non Proliferative
Diabetic Retinopathy (NPDR) dan stadium lanjut atau Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR).

NPDR diklasifikasikan menjadi stadium ringan, sedang dan berat, sedangkan PDR
diklasifikasikan menjadi stadium awal, risiko tinggi dan lanjut (Chibber dkk, 2007; American
Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
Pemeriksaan fundus pada pasien NPDR ditemukan gambaran microaneurysms,
perdarahan intraretina berupa dot dan blot, hard exudates,vena beading, infark pada nerve fiber
layer dan area nonperfusi. Pada pasien PDR ditemui adanya suatu proliferasi jaringan
fibrovaskuler yang melewati lapisan internal limiting membrane (ILM) pada retina (Banday dkk,
2010; American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
Beberapa faktor yang berpengaruh dalam kejadian DR adalah lamanya seseorang
menderita DM, kontrol kadar gula darah, hipertensi, dan obesitas. Satu penelitian melaporkan
bahwa kadar gula dan tekanan darah yang terkontrol menurunkan risiko terjadinya DR (Varma
dkk, 2007).
Lamanya menderita DM berhubungan dengan peningkatan prevalensi DR. Pada pasien
DM tipe I 25-50% menunjukkan tanda DR dalam 10 tahun, meningkat menjadi 75-95% dalam
15 tahun dan hampir 100% dalam jangka waktu 30 tahun. Pasien DM tipe II 23% menunjukkan
tanda NPDR setelah 11-13 tahun, 41% setelah 14-16 tahun, dan 60% setelah 16 tahun di
diagnosa DM (Bhavsar, 2009). Sedangkan menurut Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic
Retinopathy (WESDR) 99% pasien DM tipe I dan 60% pasien DM tipe II akan mengalami DR
dalam jangka waktu 20 tahun (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
Kadar gula darah yang tidak terkontrol menyebabkan seseorang lebih cepat mengalami DR
(American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a). Suatu studi oleh Diabetes
Control and Complication Trial (DCCT) dan United Kingdom Prospective Diabetes Study
(UKPDS) menunjukkan bahwa kadar gula darah yang terkontrol akan menurunkan risiko dan

progresifitas DR (Pennathur dan Heinecke, 2004; Bhavsar, 2009). DCCT juga menyatakan
pengendalian gula darah secara intensif akan mengurangi progresifitas DR ke arah severe NPDR,
PDR dan insiden edema makula (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
Pemeriksaan laboratorium yang penting pada pasien DM dan merupakan indikator yang
digunakan dalam pengontrolan kadar gula darah adalah Haemoglobin Adult 1c (HbA1c) (Leslie
dan Cohen, 2009). HbA1c atau A1c adalah HbA1 yang terikat secara spesifik dengan glukosa
pada N-terminal valin dari rantai beta membentuk pre-HbA1c yang tidak stabil (basa schiff) dan
selanjutnya melalui penyusunan kembali dengan reaksi Amadori membentuk HbA1c
(ketoamin) yang stabil. Pada tes HbA1c dapat diperoleh informasi rata-rata kadar glukosa darah
selama 40-60 hari terakhir, sesuai dengan waktu paruh eritrosit dan untuk mengetahui kualitas
pengendalian glukosa darah pada pasien DM dalam kurun waktu tersebut, sehingga tes HbA1C
digunakan sebagai monitoring penatalaksanaan DM, namun kadar HbA1C tidak memiliki
korelasi dengan derajat keparahan DR seseorang (Hardjoeno, 2003; Dwipayana dkk, 2010).
Penelitian retrospektif oleh Maa dan Sullivan (2007) terhadap 607 pasien menunjukkan bahwa
kadar HbA1C seseorang tidak mencerminkan keadaan DR pasien tersebut namun reduksi 1 unit
(8%-7%) HbA1C akan menurunkan risiko DR 30% (Kowluru dan Chan, 2007). Penelitian oleh
American Diabetes Association (ADA) kadar HbA1C kurang dari 7% diduga dapat mengurangi
terjadinya progesifitas DR (Bhavsar, 2009).
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang berperan dalam kejadian DR.
Hipertensi menyebabkan terjadinya dilatasi pada arteri besar 15% dan arteri kecil seperti retina
45% (Suzuma dkk, 2001). Hipertensi yang kronis pada penderita DM menyebabkan gangguan
sirkulasi mikrovaskular sehingga terjadi gangguan perfusi nutrisi dan oksigen dijaringan
termasuk retina yang mengakibatkan DR (Levy dkk, 2008). Beberapa kepustakaan lainnya

menyebutkan hipertensi menginduksi pelepasan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)


yang diduga terlibat dalam progresivitas DR. Peningkatan VEGF mengakibatkan penebalan
membran basal mikrovaskular retina, peningkatan permeabilitas vaskular dan pembentukan
pembuluh darah baru (Suzuma dkk, 2001). UKPDS melaporkan bahwa hipertensi yang
terkontrol dapat menurunkan risiko progresivitas retinopati sampai 34% (American Academy of
Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
Obesitas merupakan faktor risiko lainnya yang mempunyai peran penting dalam DR.
Obesitas ditentukan dari nilai IMT (Indeks Massa Tubuh), diperoleh dengan suatu pengukuran
yang membandingkan antara berat badan (kg) dan tinggi badan (m2). Beberapa penelitian
menyebutkan terdapat hubungan antara obesitas dengan keadaan retinopati. Pada keadaaan
obesitas terjadi gangguan keseimbangan adipositokin yang dilepaskan. Sel adiposit berusaha
mempertahankan keseimbangan energi dengan melepaskan beberapa sitokin salah satunya
Interleukin-6 (IL-6). Peningkatan IL-6 ditubuh mengakibatkan kerusakan/disfungsi pada endotel
termasuk pembuluh darah retina yang akhirnya mengakibatkan DR (Van Leiden dkk, 2002).

2.3

Non Proliferative Diabetic Retinopathy Ringan

2.3.1 Definisi
Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) ringan adalah suatu keadaan awal yang
terjadi diretina berupa microaneurysms karena adanya dilatasi pembuluh darah retina pada
penderita DM (Bhavsar, 2009; American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
2.3.2 Patogenesis
Patogenesis terjadinya NPDR ringan diduga karena pada keadaan hiperglikemia yang
lama menginduksi perubahan faktor biochemical yaitu meningkatnya glikasi non-enzymatic,

meningkatnya polyol pathway, teraktivasinya protein kinase C dan meningkatnya hexosamine


pathway sehingga memicu terbentuknya radikal bebas. Perubahan faktor hemodynamic, berupa
terganggunya aliran darah karena vasodilatasi dan hypercoaguable state yaitu disfungsi platelet,
sel darah merah dan leukosit sehingga terjadi peningkatan adesi leukosit ke dinding endotel
diikuti dengan keadaan leukostasis yang akhirnya memicu inflamasi kronis. Perubahan faktor
lainnya yaitu endocrine faktor berupa ketidak seimbangan antara pro-angiogenic/positive
regulator dengan anti-angiogenic/negativeregulator (Chibber dkk, 2007; Gupta dkk, 2007).
Perubahan faktor-faktor tersebut menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler berupa
hilangnya perisit pembuluh darah kapiler retina yang pada keadaan normal perbandingan sel
endotel dan perisit adalah 1:1. Diketahui perisit berfungsi mempertahankan integritas struktur
dari pembuluh darah kapiler retina serta berperan dalam autoregulasi sel, sedangkan sel endotel
berfungsi menjaga keutuhan blood retinal barrier. Hilangnya perisit pada DM menyebabkan
perbandingan sel endotel dan perisit menjadi 4:1 sehingga daerah tersebut kehilangan tonus dan
terjadi vasodilatasi, yang akhirnya memicu terbentuknya microaneurysms (Kowluru dan Chan,
2007; Banday dkk, 2010).

Gambar 2.2 Patogenesis NPDR


(Chibber dkk, 2007)
2.3.3 Diagnosis

Diagnosis NPDR stadium ringan ditegakkan selain dari anamnesa ditemukan adanya
riwayat DM, pada pemeriksaan slit-lamp biomicroscopy dengan lensa condensing 78 atau
dengan fundus fotograph ditemukan adanya microaneurysms satu kuadran pada daerah inner
nuclear layer berupa gambaran titik kemerahan (dot) dengan batas tegas, ukuran kurang dari
1/12 dari diameter optic disc, diameternya bervariasi 12-100 mikron, dan lokasi tersering pada
posterior pole, area temporal dari fovea (Chibber dkk, 2007; Gupta dkk, 2007). Microaneurysms
ini merupakan tanda klinis awal adanya suatu lesi retina pada penderita DM (American Academy
of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).

Gambar 2.3 NPDR ringan


(Chibber dkk, 2007)

2.3.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan NPDR ringan saat ini belum banyak diberikan intervensi pengobatan.
Penderita NPDR ringan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan rutin setiap 9 bulan untuk
menilai progresifitasnya dan yang terpenting pasien dengan NPDR ringan dikonsulkan ke
endocrinologist untuk menilai kontrol terhadap gula darah (Gupta dkk, 2007).
2.4

Interleukin-6

2.4.1 Definisi

Interleukin-6 (IL-6) adalah salah satu sitokin proinflamasi yang dihubungkan dengan
resistensi insulin pada DM tipe II dan merupakan sitokin multifungsi karena mempunyai fungsi
penting dalam respon imun, reaksi fase akut dan hematopoesis (Pradhan dkk, 2001; Funatsu dkk,
2003; Baiomy dkk, 2004). Sitokin merupakan protein-protein kecil yang disekresikan oleh selsel tertentu dari sistem kekebalan tubuh yang membawa sinyal antara sel-sel lokal, dan memiliki
efek pada sel-sel lain. Sitokin bekerja dengan mengikat reseptor-reseptor membran spesifik, yang
kemudian membawa sinyal ke sel melalui second messenger (tirosin kinase), untuk mengubah
aktivitasnya (ekspresi gen). Beberapa sifat umum pada sitokin seperti sekresinya singkat dan
membatasi diri, selain itu aktivitas sitokin dapat lokal maupun sistemik, sitokin dapat bereaksi
dengan tempatnya diproduksi baik dalam sel yang memproduksinya (autocrine action) maupun
pada sel yang letaknya berdekatan (paracrine action). Bila diproduksi dalam jumlah banyak
sitokin dapat masuk ke sirkulasi dan bekerja secara sistemik. Sitokin mempunyai nama yang lain
diantaranya limfokin (sitokin yang dihasilkan limfosit), monokin (sitokin yang dihasilkan
monosit), kemokin (sitokin dengan aktivitas kemotaktik) dan interleukin (sitokin yang dihasilkan
oleh satu leukosit dan beraksi pada leukosit lainnya (Abbas dan Lichtman, 2005).
2.4.2 Hubungan Interleukin-6 dengan DR
Interleukin-6 (IL-6) dikenal sebagai hepatocyte stimulating factor dan plasmocytoma
growth factor (Abbas dan Lichtman, 2005).

IL-6 dibentuk oleh banyak macam sel dan

berpengaruh pada banyak jenis sel sasaran (Pradhan dkk, 2001). Adanya peningkatan produksi
IL-6 dihubungkan dengan penyakit autouimun, inflamasi kronis dan keganasan (Kauffmann dkk,
1994). IL-6 dapat disintesa oleh bermacam sel seperti makrofag, fibroblast, sel epidermal. Pada
organ mata IL-6 dapat ditemukan di sel RPE, sel epitel kornea, iris dan badan siliar serta dapat
disintesa di sel endotel pada kapiler retina (Baiomy dkk, 2004). Teraktivasinya IL-6 secara

skematis dapat dilihat pada gambar 2.4. An Advanced Glication End Product (AGE) pathway
merupakan salah satu jalur yang aktif pada hiperglikemia dan mempunyai efek sebagai
proinflamasi dan prooksidan (Negrean dkk, 2007). AGE dapat berinteraksi dengan reseptor
spesifik yaitu Receptor for Advanced Glication End Product (RAGE) dengan cara meningkatkan
sintesisnya, selanjutnya RAGE menginduksi faktor transkripsional proinflamasi yaitu Nuclear
Factor kappa- (NF-k) untuk memproduksi sitokin proinflamasi seperti IL-6, Tumor
Necrosing Factor- (TNF-) dan Interleukin 1- (IL-1) (Swenarchuk dkk, 2008). Sitokin ini
dapat memediasi sintesis protein fase akut yang dapat menginisiasi dan mendukung proses
inflamasi pada dinding pembuluh darah (Hu dkk, 2004). Loukovaara dkk (2004) dan Pradhan
dkk (2001) menyatakan hiperglikemia dapat memicu inflamasi melalui peningkatan stress
oksidatif dan induksi faktor transkripsional proinflamasi yaitu NF-k. Shimizu dkk (2002)
melaporkan IL-6 merupakan salah satu sitokin pro inflamasi yang meningkat jumlahnya pada
DR dan dapat dipakai sebagai indikator dalam menentukan stadium DR serta memprediksi
Diabetic Macular Edema (DME). Kadar IL-6 plasma normal adalah 1,01-1,96 pg/mL namun
pada penderita NPDR berkisar antara 1,20-4,92 pg/mL dan pada penderita PDR adalah 2,6619,72 pg/mL (Mostafa dkk, 2005). Doganay dkk (2002) menduga adanya peningkatan AGE pada
progresivitas DR menyebabkan terjadinya peningkatan produksi IL-6 oleh sel muller retina.
Interleukin-6 (IL-6) juga diproduksi oleh sel RPE dan Soluble IL-6 Receptors (SIL-6R) yang
menyebabkan proliferasi pada sel RPE (Baiomy dkk, 2004). Beberapa peneliti menyatakan
adanya hubungan antara inflammatory marker dan adesi sel molekul dengan stadium DR,
sehingga IL-6 merupakan salah satu sitokin proinflamasi yang dipakai sebagai inflammatory
marker untuk menilai progresivitas DR (Hartnett dkk, 2000; Doganay dkk, 2002; Lee dkk,
2008).

Gambar 2.4 Interleukin-6 dalam Inflamasi


(Negrean, 2006)

2.5

Stres Oksidatif

2.5.1 Definisi
Stres oksidatif adalah suatu keadaan di dalam tubuh berupa meningkatnya jumlah radikal
bebas melebihi kapasitas kemampuan netralisasi antioksidan sehingga mengakibatkan ketidak
seimbangan jumlah radikal bebas dengan antioksidan di dalam tubuh (Atalay dan Laaksonen,
2002). Pada kondisi fisiologis, antioksidan sebagai sistem pertahanan dalam tubuh dapat
melindungi sel dan jaringan melawan radikal bebas yang terbentuk. Tubuh membentuk radikal
bebas secara terus menerus baik melalui proses metabolisme sel normal, maupun respon
terhadap pengaruh dari luar tubuh dan meningkatnya usia seseorang juga menyebabkan
peningkatan pembentukan radikal bebas di dalam tubuh (William, 2006; Winarsi, 2007).

2.5.2 Radikal bebas dan ROS


Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan
pada bagian terluar orbitnya, sehingga menjadi komponen yang tidak stabil dan menjadi sangat
reaktif (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012b). Radikal bebas memiliki
dua sifat yaitu reaktivitas tinggi karena kecenderungannya menarik elektron dan dapat mengubah
suatu molekul menjadi suatu radikal bebas karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron
pada molekul lain. Pembentukan radikal bebas dapat berasal dari dalam maupun luar tubuh.
Proses inflamasi dan iskemia merupakan salah satu pembentukan radikal bebas didalam tubuh
melalui proses non-enzimatik karena terjadi reaksi oksigen dengan senyawa organik melalui
cara ionisasi dan radiasi (Pham-Huydkk, 2008).
Reactive Oksigen Species (ROS) adalah radikal bebas yang terdiri dari oksigen. Oksigen
mengandung radikal bebas seperti radikal hydroxyl, radikal superoxide anion, radikal hydrogen
peroxide, oxygen tunggal, radikal nitric oxide dan peroxynitrite merupakan spesies reaktif tinggi
pada nukleus dan membran sel merusak secara biologi seperti DeoxyRiboNucleicacid (DNA),
protein, karbohidrat dan lemak (Pham-Huy dkk, 2008). Terdapat tiga tipe utama ROS, yaitu
radikal superoksida (O2-) terbentuk bila terjadi kehilangan elektron saat proses rantai transport
elektron, hidrogen peroksida (H2O2) dihasilkan saat terjadinya dismutasi superoksida dan
hidroksil (OH) yang bersifat sangat reaktif bereaksi dengan purin dan pirimidin menyebabkan
penghancuran strand dan berakhir dengan kerusakan DNA (Jakus, 2000; Winarsi, 2007).
2.5.3 Stres Oksidatif pada DR
Stress oksidatif dan inflamasi kronis pada pasien DM mempunyai peran penting dalam
progresivitas DR (Banday dkk, 2010). Terdapat beberapa jalur yang menghubungkan stress
oksidatif dengan keadaan hiperglikemia sehingga mengakibatkan DR. Mekanisme stress

oksidatif pada retinopati dapat dilihat pada gambar 2.4. Hiperglikemia tidak hanya membentuk
ROS tetapi juga melemahkan mekanisme antioksidan endogen melalui glikasi dari enzim-enzim
pengurai dan pengurangan antioksidan molekul rendah, contohnya glutation. Pergeseran pada
keseimbangan redoks akibat penguraian metabolisme energi dari karbohidrat dan lemak juga
berkontribusi terhadap terjadinya stress oksidatif pada individu dengan diabetes (Kowluru dan
Chan, 2007; Banday dkk, 2010). Kekacauan pengaturan reseptor selama stress oksidatif
mengaktivasi mikroglia memproduksi sitokin proinflamasi untuk mendapatkan bentuk yang
teraktivasi (Liou, 2010).Terdapat suatu hipotesis yang menyatakan bahwa peristiwa awal yang
menyebabkan terjadinya stress oksidatif pada hiperglikemia adalah meningkatnya pembentukan
ROS, yang terjadi pada tingkat mitokondria, sebagai konsekuensi meningkatnya metabolisme
glukosa intraseluler (Pennathur dan Heinecke, 2004).
Pada kondisi normal terdapat keseimbangan untuk pertahanan dan stimuli anti inflamasi
pada fungsi retina sedangkan pada kondisi hiperglikemia sistem pertahanan antioksidan
intraselular menurun, enzim-enzim yang bertanggung jawab dalam metabolisme sel berkurang
sedangkan sitokin proinflamasi, kemokin dan respon selular meningkat. Proses-proses tersebut
menyebabkan kerusakan pada tingkat makromolekul seperti DNA, lipid, protein dan karbohidrat,
terjadi gangguan pada homeostasis selular dan generasi dari ROS. Hal ini akan mempercepat
proses kematian sel retina, meningkatkan permeabilitas vaskuler serta sumbatan yang akan
mengakibatkan DR (Banday dkk, 2010). Pemberian terapi antioksidan dapat menjadi salah satu
pilihan pada pencegahan penyakit mikrovaskular dan makrovaskular pada penderita DM
(Pennathur dan Heinecke, 2004). Antioksidan dianggap mempunyai efek yang potensial karena
bekerja pada dua level yang berbeda yaitu dengan menghambat terbentuknya ROS dan
meningkatkan pertahanan antioksidan melalui peran beberapa enzym (Kowluru dan Chan, 2007).

Gambar 2.5 Mekanisme Stress Oksidatif pada DR


( Kowluru dan Chan, 2007)

2.6

Antioksidan

2.6.1 Definisi
Antioksidan adalah zat yang dapat menghambat atau memperlambat proses oksidasi.
Dalam pengertian kimia, antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron, tetapi dalam
arti biologis antioksidan adalah semua senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan
dengan cara mencegah terbentuknya oksidan yang berlebihan (Pangkahila, 2007). Keefektifan
antioksidan tergantung dari seberapa kuat daya oksidasinya dibanding dengan molekul yang lain.
Semakin mudah teroksidasi maka semakin efektif anti oksidan tersebut (Halliwell dan
Gutteridge, 2007).
2.6.2

Klasifikasi dan Mekanisme Kerja


Antioksidan terdiri dari antioksidan internal dan antioksidan eksternal. Antioksidan

internal disebut juga antioksidan primer, yaitu antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri.
Secara alami tubuh mampu menghasilkan antioksidan sendiri namun dengan bertambahnya usia,

kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan alami akan semakin berkurang. Antioksidan
internal bekerja dengan cara menangkal terbentuknya radikal bebas yaitu sebagai pemberi atom
hydrogen seperti Super Oxide Dismutase (SOD), Glutation Peroxidase (GPx), Katalase (Cat).
Antioksidan eksternal disebut juga antioksidan sekunder, yaitu antioksidan yang berasal dari
makanan atau didapat dari luar tubuh. Tidak dihasilkan oleh tubuh tetapi berasal dari makanan
seperti vitamin A, vitamin C, vitamin E, selenium, flavonoid dan lain-lain. Antioksidan eksternal
bekerja dengan cara meredam atau menetralisir antioksidan yang sudah terbentuk melalui
pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipid ke bentuk yang lebih stabil
(Setiati, 2003; Winarsi, 2007).

2.7

Astaxanthin

2.7.1 Definisi
Astaxanthin

(3,3-dihydroxy-,-carotene-4,4-dione)

merupakan

suatu

pigmen

karotenoid alami yang memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan kuat dan dapat ditemukan
secara luas di alam seperti pada hewan-hewan air yaitu salmon, udang dan lobster sehingga
memberikan warna merah muda pada hewan tersebut karena terakumulasi astaxanthin (sterlie
dkk,2000; Guerin dkk, 2003; Hussein dkk, 2006). Astaxanthin juga ditemukan pada mikroalga
yang hidup di perairan seluruh dunia, seperti Haematococcus Pluvialis yang merupakan satu
satunya alga hijau dengan kandungan astaxanthin 1000-3000 kali lipat astaxanthin yang
diakumulasi pada daging ikan salmon (Suseela dan Toppo, 2006).
2.7.2 Komposisi Kimia, Absorpsi, Metabolisme, Dosis dan Efek samping
Astaxanthin terbentuk dari rantai 40-karbon poliene, yang menjadi tulang punggung
molekulnya. Rantai ini diakhiri dengan kelompok siklik (cincin) yang dilengkapi dengan

kelompok oksigen fungsional. Struktur karotenoid berbeda potensinya berdasarkan pigmen yang
dimiliki dan gugus hidroksi yang dimiliki pada bagian terminalnya membuat astaxanthin sangat
berbeda dibandingkan karotenoid lainnya (Higuera-Ciapara dkk, 2006).

Gambar 2.6 Struktur Kimia Astaxanthin


(Higuera-Ciapara dkk, 2006)

Karotenoid diabsorpsi secara pasif pada sel mukosa usus yang disertai dengan
pembentukan asam empedu pada lumen usus kecil dan setelah memasuki peradaran darah,
karotenoid terdapat di berbagai jaringan tubuh seperti hati, lemak, pankreas, ginjal, paru adrenal,
lien, jantung, tiroid, testis, ovarium, dan mata. Penyimpanan karotenoid terbesar terdapat di hati
dan jaringan lemak (sterlie dkk, 2000; Odeberg dkk, 2003).
Seperti golongan karotenoid lainnya, astaxanthin memiliki sifat lipofilik dengan
bioavailabilitas oral yang rendah (Zaripheh dan Erdman, 2002; Odeberg dkk, 2003). Suatu studi
pada hewan coba diperoleh bahwa astaxanthin dapat melewati blood-retinal barrier selanjutnya
akan tersimpan di retina (Guerin dkk, 2003). Penelitian pada manusia yang dilakukan oleh
Osterlie dkk. (2000) menyatakan kadar maksimum astaxanthin tercapai dalam waktu 6 jam
setelah mengkonsumsi astaxanthin oral, dengan masa paruh 21 jam.
Penelitian pada manusia menggunakan astaxanthin oral dosis berbeda dari 4 mg/hari
sampai dengan 100 mg/hari dengan durasi pemberian sehari sampai satu tahun. Dosis aman yang
pernah dilaporkan yaitu penggunaan astaxanthin 40 mg/hari selama 8 minggu atau 4 mg/hari
selama 1 tahun. Dosis astaxanthin yang direkomendasikan berbeda-beda pada tiap negara, seperti
di Eropa 4 mg/hari, di Amerika 5 mg/hari, dan di Jepang 6 mg/hari (Fasset dan Coombes, 2011).

Beberapa efek samping pemberian astaxanthin yang pernah dilaporkan berupa terjadinya
peningkatan pigmentasi kulit, perubahan hormonal, penurunan libido, penurunan tekanan darah,
penurunan kadar kalsium darah, pembesaran payudara pada laki-laki, namun hal ini tidak
bermakna secara statistik. Belum pernah dilaporkan tentang adanya toksisitas pada pemberian
astaxanthin pada beberapa studi klinis yang telah dilakukan (Fasset dan Coombes, 2011).
2.7.3 Astaxanthin sebagai Antioksidan
Astaxanthin melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif melalui dua mekanisme yaitu
menetralkan singlet oksigen dan peroksidasi lipid. Astaxanthin menunjukkan aktivitas kuat
dalam mencerna radikal bebas dan memberikan perlindungan melawan peroksidasi lipid dan
kerusakan oksidasi oleh membran sel dan jaringan. Astaxanthin menetralkan singlet oksigen
melalui mekanisme fisik, yaitu energi yang berlebihan dari singlet oksigen tersebut ditransfer ke
struktur karotenoid yang kaya akan elektron dan mengubah energinya menjadi panas sehingga
tidak terbentuk singlet oksigen lagi serta bereaksi dengan radikal lain untuk mencegah dan
menghentikan reaksi rantai sehingga mampu melindungi komponen sel lain (lemak, protein,
DNA) dari kerusakan oleh radikal bebas (Guerin dkk, 2003).
Astaxanthin dikatakan lebih kuat dibandingkan antioksidan lainnya seperti beta karoten,
lutein, likopen, dan vitamin E. Senyawa ini lebih efektif 1000 kali dibandingkan vitamin E dan
10 kali lebih kuat dibandingkan beta karoten dalam mengikat singlet oksigen. Untuk
menghambat peroksidasi lipid, astaxanthin bahkan lebih kuat dibandingkan vitamin E (Suseela
dan Toppo, 2006).
Ada beberapa jenis antioksidan yang pada keadaan tertentu dapat menjadi prooksidan
sehingga memiliki efek negatif dengan menyebabkan oksidasi di dalam tubuh. Antioksidan dari
golongan karotenoid yang dapat menjadi prooksidan yaitu -karoten, lycopene dan zeaxanthin,

bahkan antioksidan yang sudah sangat dikenal seperti vitamin C, vitamin E dan zinc dapat
menjadi prooksidan, sedangkan astaxanthin tidak pernah menjadi prooksidan (Denise dan
Thomas, 2002). Hal ini merupakan faktor penting lain yang membedakan astaxanthin dari
antioksidan lain dan dikatakan bahwa astaxanthin memiliki kekuatan antioksidan yang luar biasa
(Guerin dkk, 2003; Mc.Nulty dkk, 2006).
2.7.4 Peranan Astaxanthin Terhadap Mata
Astaxanthin memiliki efek antiinflamasi dan antioksidatif dengan menghambat produksi
ROS dan sitokin seperti TNF- dan IL-6, selain itu melalui inhibisi phosporilasi faktor
transkripsional proinflamasi yaitu NF-k yang menyebabkan produksi IL-6 menurun (Kim,
2010; Swanson, 2012).
Penelitian tentang manfaat astaxanthin dilakukan dalam 10 tahun terakhir sehingga
banyak khasiat lain dari suplemen makanan ini yang belum diketahui. Penelitian dilakukan pada
hewan coba, menunjukkan hasil positif dan beberapa penelitian kemudian ditingkatkan pada
manusia. Penelitian-penelitian dilakukan pada tikus dengan diabetes tipe II, didapatkan bahwa
astaxanthin mengurangi keparahan penyakit dengan memperlambat toksisitas glukosa dan
melindungi sel pancreas dari gangguan fungsi akibat kerusakan oksidatif (Kowluru dkk, 2008).
Astaxanthin 0,05% pada tikus mereduksi sitokin inflamasi dan sirkulasi ROS, sedangkan
astaxanthin 0,02% dengan gula darah yang terkontrol dapat mencegah terbentuknya ROS
(Swanson, 2012). Penelitian Preuss dkk (2009) pemberian astaxanthin 25 mg/kg pada tikus
menurunkan insulin resisten 13,5% (p<0,05) dan IL-6 sebanyak 10,5% (p<0,05). Beberapa
penelitian juga dilakukan dalam bidang kesehatan mata manusia. Penelitian yang dilakukan oleh
Manabe dkk (2007) menyatakan bahwa astaxanthin dapat menurunkan produksi ROS dan
menghambat translokasi serta aktivasi NF-k pada tingkat mitokondria. Penelitian lainnya yang

dilakukan oleh Iwabayashi dkk (2009) menyatakan penggunaan astaxanthin 12 mg/hari selama 8
minggu menurunkan kortisol 23 % (p<0,05), mereduksi LDH 6,5% (p<0,01) dan menurunkan
HbA1c 4 % (p<0,01). Yasunori dkk (2006) meneliti penggunaan astaxanthin 5 mg selama 4
minggu untuk kelelahan mata atau astenopia, didapatkan hasil keluhan kelelahan mata menurun
54%. Suatu penelitian oleh Akira dkk (2004) didapatkan hasil perbaikan yang signifikan pada
penurunan astenopia dan akomodasi yang positif pada kelompok yang diberi astaxanthin 4 mg
(p<0,05) dan 12 mg (p<0,01). Penelitian oleh Kenji dkk (2005) didapatkan dosis optimum per
hari yaitu 6 mg (n=10) selama periode 4 minggu adalah dengan membandingkan kelelahan mata
menggunakan skala analog visual berdasarkan pertanyaan dan nilai akomodasi. Penelitian
randomized placebo controlled lainnya oleh Yasunori dkk (2005) didapatkan terjadi peningkatan
aliran darah retina pada kelompok yang diberi astaxanthin 6 mg selama 4 minggu (n=14,
p<0,01).
Hiperglikemia yang lama dapat menyebabkan menurunnya sistem pertahanan antioksidan
tubuh dan meningkatnya stress oksidatif serta keadaan inflamasi berupa peningkatan sitokin pro
inflamasi seperti IL-6 sehingga terjadi gangguan pada pembuluh darah kapiler retina yaitu
hilangnya perisit, proliferasi sel endotel dan penebalan membran basement mengakibatkan oklusi
kapiler dan nonperfusi pada retina (Chibber dkk, 2007). Pemberian terapi antioksidan dapat
menjadi salah satu pilihan pada pencegahan penyakit mikrovaskular dan makrovaskular pada
penderita DM

(Pennathur dan Heinecke, 2004). Antioksidan seperti astaxanthin diketahui

menekan aktivitas yang merusak sel-sel dan mengakibatkan komplikasi-komplikasi yang


berhubungan dengan diabetes. Para peneliti meyakini bahwa kemampuan sebagai antioksidan
kuat dari astaxanthin dapat mengurangi kerusakan akibat stres oksidatif pada retina, keradangan
dan kematian sel adalah alasan mengapa astaxanthin dapat menjadi suplemen yang efektif untuk

membantu mencegah progresifitas DR. Di Indonesia ataupun di Bali belum pernah dilakukan
penelitian mengenai pemberian astaxanthin pada penderita NPDR sehingga belum terdapat data
kadar IL-6 pada penderita NPDR dengan pemberian astaxanthin dosis 8 mg.

BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1

Kerangka Berpikir
Diabetic retinopathy (DR) dapat diakibatkan oleh paparan hiperglikemia dalam jangka

waktu lama. Hal ini berakibat pada gangguan biokimia, hemodinamika, dan endokrin yang
berujung pada kerusakan endotel retina. Progresifitas DR dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal antara lain umur dan jenis kelamin sedangkan yang termasuk faktor
eksternal adalah lama Diabetes mellitus (DM), penyakit sistemik kronis, merokok, obesitas,
penggunaan obat antiinflamasi non steroid, penggunaan kortikosteroid (obat imunosupresan),
penggunaan vitamin antioksidan, infeksi intraokular, kepatuhan minum obat penelitian.
Beberapa studi saat ini difokuskan pada peranan sitokin Interleukin-6 (IL-6) dalam
perkembangan DR, yang diasumsikan bahwa hiperglikemia bisa menyebabkan aktivasi IL-6.
Stress oksidatif serta inflamasi kronis pada penderita DM mempunyai peran penting dalam
progresivitas DR. Diduga terdapat hubungan antara inflamasi, disfungsi endotel dengan DR,
sehingga IL-6 digunakan sebagai serum inflammatory marker untuk menilai progresivitas
DR. Pemberian terapi antioksidan dapat menjadi salah satu pilihan pada pencegahan penyakit
mikrovaskular dan makrovaskular pada penderita DM. Antioksidan dianggap mempunyai

efek yang potensial karena bekerja pada dua level yang berbeda yaitu dengan menghambat
terbentuknya Reactive Oxygen Species (ROS) dan meningkatkan pertahanan antioksidan
melalui peran beberapa enzim.
3.2 Konsep Penelitian

DM tipe
II

Diabetic
Retinopathy

Faktor internal:
- Umur
- Jenis kelamin

Astaxanthin

Kadar IL-6

Faktor eksternal :
- Lama DM
- Penyakit sistemik
kronis
- Merokok
- Obesitas
- Penggunaan obat
antiinflamasi non
steroid
- Penggunaan
kortikosteroid (obat
imunosupresan)
- Penggunaan
vitamin antioksidan
- Infeksi intraokular
- Kepatuhan minum
obat penelitian

: Variabel yang diukur


: Variabel yang tidak diukur

Gambar 3.1
Bagan kerangka konsep penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian


Pemberian astaxanthin 8 mg dapat menurunkan kadar IL-6 pada penderita NPDR ringan.

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1

Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan perluasan Randomized, Double

Blinded, Placebo-Control, Pre and Posttest Group Design (Poccok, 2008) untuk mengetahui
penurunan kadar Interleukin-6 (IL-6) pada penderita Diabetes Mellitus (DM) tipe II dengan Non
Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) ringan antara kelompok yang tidak mendapat
astaxanthin dengan kelompok yang mendapat astaxanthin 8 mg. Rancangan penelitian secara
skematis digambarkan sebagai berikut:

O0
P

O2

RA
O1

P1

O3

Gambar 4.1
Rancangan Penelitian

Keterangan:
P = Populasi; S = Sampel; RA = Random Alokasi.
O0 dan O1 : pengamatan kadar IL-6 sebelum perlakuan.
K : Kontrol dengan pemberian plasebo per hari selama 4 minggu.
P1 : Perlakuan dengan pemberian 8 mg astaxanthin per hari selama 4 minggu.
O2 dan O3 : pengamatan kadar IL-6 setelah perlakuan

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Poliklinik Mata dan Poliklinik Ilmu Penyakit Dalam Divisi
Endokrin Metabolik RSUP Sanglah Denpasar mulai Juli 2013 sampai dengan Desember 2013.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi target penelitian ini adalah semua pasien DM tipe II dengan komplikasi NPDR.
Populasi terjangkau penelitian ini adalah semua pasien DM tipe II dengan komplikasi NPDR
yang datang ke Poliklinik Mata dan Poliklinik Ilmu Penyakit Dalam Divisi Endokrin Metabolik
RSUP Sanglah Denpasar mulai Juli 2013 sampai dengan Desember 2013.
4.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah semua pasien DM tipe II dengan komplikasi NPDR yang
datang ke Poliklinik Mata dan Poliklinik Ilmu Penyakit Dalam Divisi Endokrin Metabolik RSUP
Sanglah Denpasar mulai Juli 2013 sampai dengan Desember 2013 yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi.
4.3.2.1 Kriteria inklusi
a. Pasien DM tipe II dengan NPDR ringan pada satu mata atau kedua mata.
b. Pasien berusia antara 40-75 tahun.
c. Pasien bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani informed consent.

4.3.2.2 Kriteria eksklusi


a. Subjek sedang menderita penyakit sistemik yang kronis.

b. Subjek sedang mendapat pengobatan antiinflamasi non steroid, kortikosteroid atau obat
imunosupresan lainnya dalam satu bulan terakhir.
c. Subjek sedang mengkonsumsi vitamin antioksidan (vitamin A dan E) dalam satu bulan
terakhir.
d. Subjek yang merokok dalam satu bulan terakhir.
e. Subjek dengan infeksi dan atau inflamasi intraokular.
f. Subjek dengan kelainan pada segmen anterior dan posterior mata yang dapat
mengganggu visualisasi saat pemeriksaan retina
g. Subjek dengan tekanan intraokular 21 mmHg atau dengan glaukoma sekunder.
h. Subjek yang alergi terhadap obat astaxanthin.
i. Subjek dengan kadar Haemoglobin Adult 1c (Hba1c) 8%.
4.3.2.2 Besar Sampel
Besar sampel yang diperlukan untuk masing-masing kelompok dihitung

berdasarkan

rumus (Pocock, 2008) :


n=

2 2

f(,)

( 2-1 )2
1.

Interval Kepercayaan sebesar 95%, yaitu = 0,05

2.

Power penelitian sebesar 80%, yaitu = 0,20

3.

Nilai f(,) pada tabel = 7,9 (Pocock, 2008)

4.

Standar deviasi () = 1,11 (dikutip dari kepustakaan Mostafa dkk, 2005)

5.

2-1 = (2,54-1,52) adalah rerata hasil akhir rerata awal (dikutip dari kepustakaan
Mostafa dkk, 2005).

Besar sampel berdasarkan kadar IL-6 :

n=

2 2

f(,)

( 2-1 )2
n = 2 x (1,11)2

x 7,9

(2,54-1,52 ) 2
n = 19,4 ~ 20 subjek (individu)
Jadi jumlah sampel penelitian sebesar 40 sampel (individu), masing-masing kelompok 20 sampel
(individu).
4.3.2.3 Cara Pemilihan Sampel
Sampel dipilih dengan tehnik randomisasi blok permutasi dari populasi terjangkau.
Sampel yang dipilih adalah pasien DM tipe II dengan komplikasi NPDR ringan pada satu atau
kedua mata, namun bila salah satu mata ternyata sudah termasuk NPDR stadium sedang atau
berat, maka pasien tidak termasuk dalam sampel.

4.4

Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel


1.

Variabel bebas adalah astaxanthin 8 mg

2.

Variabel tergantung adalah kadar IL-6 dalam plasma

3.

Variabel kendali adalah umur, jenis kelamin, lama DM, kepatuhan minum obat penelitian
Variabel Bebas

Variabel Tergantung
Kadar IL-6 dalam plasma

Astaxanthin 8 mg

Variabel Kendali

Umur, Jenis kelamin, Lama DM,


Kepatuhan minum obat penelitian

Gambar 4.2 Skema Hubungan antar Variabel

4.4.2
1.

Definisi Operasional Variabel

Diabetes Mellitus (DM) tipe II adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula dalam darah plasma puasa >126mg/dl, gula darah plasma 2 jam
setelah makan glukosa >200mg/dl dan selama tes oral toleransi glukosa atau glukosa plasma
sewaktu >200mg/dl, disertai keluhan klasik seperti poliuria, polidipsia, polifagia
(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011); sedang dan atau memiliki riwayat mendapat
terapi obat-obatan anti diabetes dari dokter penyakit dalam yang didapat dari wawancara dan
rekam medis pasien.

2.

Lama menderita Diabetes Mellitus (DM) adalah lamanya pasien mengetahui dirinya terkena
DM yaitu saat pertama kali didiagnosis DM sampai saat penelitian dilakukan. Data
diperoleh dari wawancara dan rekam medis pasien serta dinyatakan dalam tahun.

3.

Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) ringan adalah suatu keadaan awal yang
terjadi di retina berupa microaneurysms pada daerah inner nuclear layer karena adanya
dilatasi pembuluh darah retina pada penderita DM (Bhavsar, 2009).

Pemeriksaan

menggunakan slit lamp biomikroskopi dengan lensa condensing 78 dioptri dan dengan
pemeriksaan foto fundus-retina (Visucam Carl Zeiss)

yang dilakukan oleh dokter

spesialis mata (dr PB dan dr AN).


4.

Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin proinflamasi yang dihubungkan dengan penyakit


autouimun, inflamasi kronis dan keganasan (Kauffmann dkk, 1994) serta resistensi insulin
pada DM tipe II (Baiomy dkk, 2004). Kadar IL-6 diukur dengan metode Elisa,

menggunakan reagan RayBio Human IL-6 ELISA Kit (RayBiotech, Inc.) dan satuan IL-6
dinyatakan dalam pg/mL. Pemeriksaan dikerjakan di laboratorium pusat yang sudah
terakreditasi yaitu Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar.
5.

Astaxanthin merupakan suatu pigmen karotenoid alami yang memiliki aktivitas biologis
sebagai antioksidan yang kuat (sterlie dkk, 2000). Astaxanthin diberikan pada satu
kelompok dengan dosis 8 mg per hari selama 4 minggu.

6.

Umur adalah lama waktu hidup ditentukan dari tanggal kelahiran sampai datang ke rumah
sakit saat penelitian berdasarkan kartu tanda penduduk atau kartu keluarga. Umur
dinyatakan dalam tahun.

7.

Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis dan
fenotip sejak seseorang lahir yang diperoleh melalui catatan rekam medis pasien.

8.

Obesitas adalah suatu keadaan terakumulasinya jaringan lemak secara berlebihan di tubuh.
Obesitas dapat diukur dengan indeks massa tubuh (IMT) yaitu berat badan dalam kilogram
(kg) dibagi tinggi dalam meter (m2). Disebut obesitas bila IMT lebih dari atau sama dengan
30 kg/m2.

9.

Perokok adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi rokok dalam
kurun waktu lebih dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui
teknik wawancara.

10. Penyakit sistemik yang kronis adalah subjek yang sedang menderita penyakit hipertensi,
hiperlipidemia, kardiovaskular, penyakit keganasan yang diperoleh melalui catatan rekam
medis pasien.

11. Pengguna kortikosteroid adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi
obat kortikosteroid dalam kurun waktu satu bulan terakhir, diperoleh melalui teknik
wawancara.
12. Pengguna anti inflamasi non steroid adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah
mengkonsumsi antiinflamasi non steroid, dalam kurun waktu satu bulan terakhir, yang
diperoleh melalui teknik wawancara.
13. Pengguna vitamin antioksidan adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah
mengkonsumsi vitamin antioksidan (vitamin A dan E) dalam kurun waktu satu bulan
terakhir, yang diperoleh melalui teknik wawancara.
14. Infeksi intraokular adalah subjek yang sedang menderita peradangan pada segmen anterior
dan atau segmen posterior bola mata, antara lain konjungtivitis, keratitis, ulkus kornea,
uveitis anterior dan posterior, yang ditentukan dengan pemeriksaan slit lamp dan
funduskopi.
15. Plasebo adalah sediaan yang diberikan kepada subjek selama penelitian, tidak mengandung
bahan farmakologis dan tidak memiliki efek terapi.
16. Alergi terhadap obat astaxanthin adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah alergi
berupa gatal dan kemerahan pada kulit setelah mengkonsumsi astaxanthin, yang diperoleh
melalui teknik wawancara.
17. Kepatuhan minum obat penelitian adalah kepatuhan subjek dalam mengkonsumsi sediaan
obat yang diberikan selama penelitian yaitu dua tablet sehari selama empat minggu. Patuh
apabila sisa obat kurang dari 20%.

4.5

Instrumen Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


oftalmologi, dan pengambilan sampel darah. Untuk menegakkan diagnosis NPDR ringan
digunakan lembar pemeriksaan status oftalmologis dan lembar kuisioner penelitian, E chart atau
snellen chart, tonometri schiotz, funduskopi atau lensa 78, slit lamp, anestesi topikal (pantocain
0,5%), dan sikloplegik (mydriatil 0,5%). Peralatan yang digunakan dalam pengambilan sampel
darah untuk pengukuran kadar IL-6 adalah sarung tangan steril, kapas alkohol, tourniket, spuit 3
cc disposible, reagan RayBio Human IL-6 ELISA Kit (RayBiotech, Inc.) dan diukur dengan
metode Elisa.
4.6

Prosedur Penelitian

4.6.1 Tahap persiapan


4.6.1.1 Pengacakan
Subjek penelitian diseleksi dipoliklinik mata RS Sanglah Denpasar dan dan Poliklinik
Ilmu Penyakit Dalam Divisi Endokrin Metabolik RSUP Sanglah Denpasar. Wawancara dan
pemeriksaan mata dilakukan oleh peneliti. Setelah diperoleh sampel yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi penelitian, selanjutnya dijelaskan tentang maksud dan tujuan penelitian serta
menandatangani informed consent. Sampel dibagi secara acak berdasarkan tehnik randomisasi
blok permutasi dengan komputer terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok tanpa pemberian
astaxanthin (plasebo) dan kelompok pemberian astaxanthin 8 mg.
4.6.1.2 Blinding
Peneliti maupun subjek tidak mengetahui obat yang diberikan. Sediaan obat dibuat sama
dalam bentuk, ukuran, warna maupun rasa dan dikemas dalam kemasan botol yang sama.
Sediaan obat dipesan dipabrik obat yang digunakan oleh peneliti. Botol obat diberi label

menggunakan etiket yang bertuliskan A dan B yang hanya diketahui oleh pabrik obat. Botol obat
diurut dan penderita mendapat obat sesuai dengan urutan blok permutasi komputer.
4.6.2 Pelaksanaan Penelitian
Adapun urutan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Anamnesis meliputi nama, umur, jenis kelamin, riwayat penyakit sebelumnya (riwayat

diabetes melitus, hipertensi, hiperlipidemia, keganasan), riwayat penyakit sekarang, riwayat


pengobatan berdasarkan lembar kuisioner penelitian. Data kemudian dicatat dalam tabel induk.
2.

Diagnosis pasien NPDR ringan ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan

dengan menggunakan slit lamp dan funduskopi. Pada anamnesis dilakukan dengan melihat
catatan rekam medis untuk mengetahui riwayat DM, berapa lama menderita DM, terapi yang
diperoleh, kontrol terhadap DM, hasil kadar gula berdasarkan pengecekan laboratorim yang
dilakukan. Dilanjutkan dengan pemeriksaan visus menggunakan E chart atau snellen chart,
kemudian dilakukan pemeriksaan tekanan intraokular dengan tonometri schiotz dan bila hasilnya
kurang dari 21 mmHg, pupil penderita kemudian dilebarkan dengan sikloplegik (mydriatil
0,5%). Setelah pupil lebar, dilakukan pemeriksaan menggunakan slit lamp biomikroskopi dengan
lensa condensing 78 dioptri dan fotofundus-retina (Visucam Carl Zeiss) untuk menentukan
stadium NPDR. Subjek penelitian selanjutnya dialokasikan secara random menjadi dua
kelompok yaitu, kelompok pemberian plasebo dan astaxanthin 8 mg.
3.

Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan sampel darah dilakukan dua kali yaitu saat sebelum perlakuan dan sesudah
perlakuan. Darah diambil melalui vena cubiti sebanyak 3 cc dengan menggunakan spuite 3 cc
setelah sebelumnya dilakukan desinfeksi pada tempat pengambilan. Masing-masing sampel
darah vena yang diambil ditampung dalam tabung yang berisi Lithium Heparin dan dibalik

beberapa kali untuk mengulang pencampuran darah. Sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan 2
3 x 103 rpm selama 15 menit. Sampel darah akan diberikan label sesuai dengan nomor urut blok
permutasi komputer. Pengambilan sampel darah dilakukan oleh petugas laboratorium Patologi
Klinik RS Sanglah Denpasar, kemudian sampel darah yang telah berisi plasma disimpan pada
suhu -40 oC hingga dilakukan pemeriksaan.
4.

Pemeriksaan IL-6 plasma

IL-6 yang terkandung dalam plasma akan terikat pada anti-human IL-6 monoclonal antibody
yang telah dilapisi pada sumuran. Sumuran kemudian dicuci dan ditambahkan biotinylated antihuman IL-6 antibody. Sumuran kembali dicuci untuk membuang biotinylated antibody yang
tidak terikat. Konjugat Streptavidin-Horse Radish Peroxidase (HRP) kemudian ditambahkan.
Sumuran kembali dicuci dan ditambahkan larutan substrat 3,3,5,5-Tetra Methyl Benzidine
(TMB), menghasilkan warna biru yang sebanding dengan kadar IL-6 dalam plasma. Stop
solution mengubah warna biru menjadi kuning, dan intensitas warna diukur pada panjang
gelombang 450 nm. Reagensia yang dipakai adalah RayBio Human IL-6 ELISA Kit
(RayBiotech, Inc.) untuk mengukur secara kuantitatif kadar IL-6 dalam plasma. Reagensia ini
dipakai hanya untuk penelitian, tidak untuk keperluan diagnostik maupun terapi. Hasil
pemeriksaan yang didapat kemudian akan dikumpulkan oleh peneliti, selanjutnya dianalisis
untuk mengetahui perbedaan rerata kadar IL-6 plasma pada pasien NPDR ringan saat awal dan
setelah empat minggu pemberian plasebo dan pemberian astaxanthin 8 mg.
5

Pemberian sediaan obat

Sediaan obat dipesan dipabrik obat farmasi yang digunakan oleh peneliti. Sediaan obat dibuat
sama dalam bentuk, ukuran, warna maupun rasa dan dikemas dalam kemasan botol yang sama.
Sediaan obat tidak diketahui isinya baik oleh peneliti maupun subjek. Botol obat diberi label

menggunakan etiket bertuliskan A dan B yang isinya hanya diketahui oleh pabrik obat. Botol
obat diurut dan penderita mendapat obat sesuai dengan urutan blok permutasi komputer. Sediaan
obat A dan B masing-masing diberikan kepada subjek dengan dosis satu kali dua kapsul sehari
selama empat minggu.
6. Follow-up
Semua subjek di follow-up pada minggu ke dua pemberian obat untuk meyakinkan kepatuhan
subjek dalam mengkonsumsi obat, dan bila subjek tidak datang saat follow-up, subjek akan
diingatkan melalui telpon dan atau dikunjungi kerumahnya. Semua peristiwa yang terjadi selama
follow-up pada kedua kelompok dicatat dan dibandingkan satu sama lain. Setelah penelitian
selesai pabrik obat akan menyampaikan kepada peneliti komposisi sediaan obat A dan B.

4.7

Alur Penelitian
Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian maka dibuat alur penelitian yang

ditunjukkan dengan bagan alur penelitian pada Gambar 4.3

Kriteria Eksklusi
Subjek
sedang
menderita
penyakit sistemik yang kronis
Subjek sedang mendapat
pengobatan antiinflamasi non
steroid, kortikosteroid atau obat
imunosupresan lainnya dalam
satu bulan terakhir.
Subjek mengkonsumsi vitamin
antioksidan (vitamin A dan E)
dalam satu bulan terakhir.
Subjek yang merokok dlm 1 bln
terakhir.
Subjek dengan infeksi dan atau
inflamasi intraokular
Subjek alergi dengan
astaxanthin
Subjek dengan kelainan pada
segmen anterior & posterior
mata
Subjek dengan tekanan
intraokular >21 mmHg atau
dengan glaukoma sekunder.
Subjek dengan kadar
Haemoglobin Adult 1c (Hba1c)
8%.

Pasien DM tipe II dg NPDR

Pasien DM tipe IIPersetujuan


dg NPDR yg
datang ke
Komisi
Poli Mata & Poli
Ilmu
Penyakit
Etik PPS Unud Dalam
Divisi Endokrin Metabolik RSUP Sanglah
Dps mulai Juli 2013 s/d Des 2013.

Sample

Kriteria Inklusi
Pasien DM tipe II dg NPDR
ringan pd satu mata atau kedua
mata usia 40-75 th

Informed consent

Eligible sample

Randomisasi blok

Kelompok K

Kelompok P1
Pemeriksaan kadar IL-6 (awal)

Kelompok K
Plasebo

Kelompok P1
Astaxanthin 8 mg

Pemeriksaan kadar IL-6 (4 minggu)

Hasil

Analisis

Kesimpulan

Gambar 4.3 Skema Alur Penelitian

4.8

Analisis Data Statistik


Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam formulir penelitian kemudian direkam dalam

tabel induk. Selanjutnya dilakukan serangkaian tahapan analisis data untuk menjawab
permasalahan penelitian. Adapun tahapan analisis data sebagai berikut :
1.

Seleksi data yaitu editing, coding dan tabulasi dimasukkan pada file navigator program
Stastical Package for The Social Sciences (SPSS).

2.

Untuk menggambarkan karakteristik umum dan distribusi berbagai variabel. Data berskala
kategorik dideskripsikan dalam bentuk frekuensi dan persentase sedangkan untuk data
berskala numerik dalam bentuk rerata dan standar deviasi.

3.

Uji Normalitas menggunakan Shapiro-Wilk, jumlah sampel < 50 untuk menguji apakah data
penelitian berdistribusi normal atau tidak.

4.

Uji Homogenitas Varians antar Kelompok dengan Uji-Levene untuk menganalisis varians
variabel antar kelompok pemberian plasebo, astaxanthin 8 mg, apakah data penelitian
homogen atau tidak.

5.

Menguji perbedaan kadar IL-6 antara kelompok dengan pemberian plasebo, dan astaxanthin
8 mg dianalisis dengan uji-t untuk 2 kelompok tidak berpasangan jika distribusi data normal,
dan uji Mann Whitney jika distribusi data tidak normal. Batas kemaknaan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebesar 5% dengan ketentuan : bermakna bila p <0,05
tidak bermakna bila p 0,05

dan

BAB V
HASIL PENELITIAN

Selama peneltian, dilakukan pemeriksaan terhadap 52 pasien Non Proliferative Diabetic


Retinopathy (NPDR) ringan dan yang memenuhi kriteria inklusi 41 orang, 1 orang menolak ikut
serta dalam penelitian setelah mendapatkan informed consent, sehingga egilible sample
berjumlah 40 orang. Sampel tersebut dialokasikan secara random dan dilakukan blinding
menjadi 2 kelompok yaitu 20 subjek kelompok perlakuan dengan pemberian astaxanthin 8 mg
dan 20 subjek kelompok kontrol dengan pemberian plasebo. Berikut profil penelitian
ditampilkan dalam gambar 5.1 di bawah ini :

Pasien DM tipe II dg NPDR yg datang ke Poli Mata & Poli Ilmu Penyakit Dalam
Divisi Endokrin Metabolik RSUP Sanglah Dps mulai Juli 2013 s/d Des 2013
Kriteria Inklusi n=41
Kriteria Eksklusi n=11
(n=52 subjek)
-3 hipertensi
-1 hipertensi&hiperkolesterol
Sample n=41
-1 cancer
-2 hiperkolesterol
Refused Informed
Informed consent
-4 katarak
consent=1
Eligible sample n=40

Randomisasi blok

Kelompok Astaxanthin 8 mg (n=20)


Pemeriksaan kadar Il-6 awal dan 4 minggu

Kelompok Plasebo (n=20)


Pemeriksaan kadar IL-6 awal dan 4 minggu

Drop out =0

Drop out =0

20 subjek dianalisis

20 subjek dianalisis

Gambar 5.1 Profil Penelitian

5.1

Karakteristik Subjek Penelitian


Tabel 5.1
Karakteristik Subjek Penelitian (n=40 orang)
Kelompok
NPDR ringan
NPDR ringan dengan
dengan pemberian
pemberian plasebo
astaxanthin 8 mg
n=20
n=20

Karakteristik

Umur (Tahun)
(RerataSD)
Jenis Kelamin {n (%)}
Laki-laki
Perempuan
Lama DM (Tahun)
(RerataSD)
Kadar
HbA1C
(RerataSD)

(pg/mL)

IMT (kg/m2)

Nilai p

60,28,7

64,37,9

0,123*

13 (65,0)
7 (35,0)

15 (75,0)
5 (25,0)

0,490**

6,77,9

10,910,8

0,290***

6,80,8

6,50,7

0,190*

25,94,0

24,43,6

0,227*

0 (0,0)
6 (30,0)
1 (5,0)
9 (45,0)
4 (20,0)

1 (5,0)
4 (20,0)
3 (15,0)
5 (25,0)
7 (35,0)

(RerataSD)
Pendidikan {n (%)}
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan tinggi

0,604**

* Uji t tidak berpasangan


** Uji Chi square
*** Uji Mann-whitney
Tabel 5.1 memperlihatkan karakteristik subjek penelitian. Pasien pada kelompok NPDR
ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg memiliki rerata umur 60,28,7 tahun dan rerata umur
pasien kelompok NPDR ringan yang mendapat plasebo adalah 64,37,9 tahun. Jenis kelamin
laki-laki ditemukan lebih banyak dibandingkan perempuan pada kedua kelompok yaitu 65%

pada kelompok NPDR ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg dan 75% pada kelompok NPDR
ringan yang mendapat plasebo. Rerata lama (Diabetes Mellitus) DM pada kelompok NPDR
ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg adalah 6,77,9 tahun sedangkan kelompok NPDR
ringan yang mendapat plasebo 10,910,8 tahun. Berdasarkan variabel kadar (Haemoglobin Adult
1c) HbA1C diperoleh rerata kadar HbA1C pada kelompok NPDR ringan yang mendapat
astaxanthin 8 mg sebesar 6,80,8pg/mL sedangkan kelompok NPDR ringan yang mendapat
plasebo adalah 6,50,7 pg/mL. Rerata Indeks Massa Tubuh (IMT) pada kelompok NPDR ringan
yang mendapat astaxanthin 8 mg adalah 25,94,0 kg/m2 sedangkan kelompok NPDR ringan
yang mendapat plasebo 24,43,6 kg/m2. Sebagian besar pasien kelompok NPDR ringan yang
mendapat astaxanthin 8 mg berpendidikan setingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) dengan
persentase 45%, sedangkan kelompok NPDR ringan yang mendapat plasebo sebagian besar
berpendidikan perguruan tinggi dengan persentase 35%. Tidak terdapat perbedaan antara kedua
kelompok dalam karakteristik subjek penelitian.
5.2

Perbedaan Kadar IL-6 Plasma Awal dan 4 Minggu Pemberian Astaxanthin dan
Plasebo pada Pasien NPDR Ringan
Perbedaan kadar IL-6 plasma awal dan 4 minggu pemberian astaxanthin dan plasebo

pada pasien NPDR ringan dianalisis dengan uji Mann-whitney karena setelah dilakukan uji
normalitas dengan Shapiro-Wilk didapatkan nilai p>0,05.

Tabel 5.2
Perbedaan Kadar IL-6 Plasma Awal dan 4 Minggu Pemberian Astaxanthin dan Plasebo pada
Pasien NPDR Ringan

Kelompok

Variabel

Nilai p

NPDR ringan dg
pemberian
astaxanthin 8 mg

NPDR ringan dg
pemberian plasebo

2,62,3

1,30,7

0,043*

1,91,4

3,14,1

0,758*

-0,72,0

1,84,0

0,046*

Kadar IL-6
Plasma awal
(pg/mL)
(RerataSD)
Kadar IL-6
Plasma
4 minggu
(pg/mL)
(RerataSD)
Beda Kadar
IL-6 Plasma
4 minggu awal
(pg/mL)
(RerataSD)
*Uji Mann-Whitney

Tabel 5.2 memperlihatkan rerata kadar IL-6 plasma awal sebesar 2,62,3 pg/mL dan 4
minggu setelah diberikan astaxanthin 1,91,4 pg/mL. Beda rerata kadar IL-6 awal dan 4 minggu
pada kelompok NPDR ringan yang diberikan astaxanthin 8 mg sebesar -0,72,0 pg/mL. Pada
kelompok NPDR ringan yang diberikan plasebo didapatkan rerata kadar IL-6 plasma awal
sebesar 1,30,7 pg/mL dan 4 minggu setelah diberi plasebo 3,14,1 pg/mL. Beda rerata kadar
IL-6 awal dan 4 minggu pada kelompok NPDR ringan yang diberikan plasebo sebesar 1,84,0
pg/mL. Perbedaan rerata kadar IL-6 plasma pada kedua kelompok bermakna secara statistik
(p<0,05).
Selama penelitian tidak ada drop out yang terjadi pada subjek di kedua kelompok. Terdapat
7 subjek yang menyisakan obat, yaitu pada kelompok NPDR ringan dengan pemberian

astaxanthin 8 mg didapatkan 3 subjek menyisakan obat masing-masing 2 tablet, 5 tablet dan 8


tablet. Pada kelompok NPDR ringan dengan pemberian plasebo ditemukan 4 subjek menyisakan
obat masing-masing 2 tablet, 4 tablet, 6 tablet, dan 8 tablet. Ditemukan adanya 1 subjek pada
kelompok NPDR ringan dengan pemberian astaxanthin 8 mg merasakan kesemutan pada kaki
dan tangan setelah mengkonsumsi obat penelitian.

BAB VI
PEMBAHASAN
6.1

Subjek Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan perluasan Randomized, Double-Blinded,
Placebo-Control, Pre and Posttest Group Design, melibatkan 40 subjek penelitian yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok 20 pasien
Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg dan
kelompok 20 pasien NPDR ringan yang tidak mendapat astaxanthin. Subjek penelitian kemudian
dilakukan pengambilan darah vena untuk mengukur kadar Interleukin-6 (IL-6) plasma awal dan
4 minggu pemberian astaxanthin 8 mg dan plasebo. Karakteristik subjek dalam penelitian ini
meliputi umur, jenis kelamin, lama Diabetes Mellitus (DM), kadar (Haemoglobin Adult 1c)
HbA1c, Indeks Massa Tubuh (IMT), dan pendidikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Xiao-ling dkk. (2006) di Cina mendapatkan rerata umur
pasien NPDR 60,758,74 tahun dan Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR) 63,6510,04
tahun. Mostafa dkk. (2005) menemukan rerata umur pasien NPDR adalah 557 tahun dan PDR
58,55 tahun. Penelitian ini didapatkan rerata umur kelompok pasien NPDR ringan yang

mendapat astaxanthin 8 mg lebih rendah yaitu 60,28,7 tahun dibandingkan kelompok pasien
NPDR ringan yang mendapat plasebo yaitu 64,37,9 tahun.
Umur merupakan salah satu faktor risiko terjadinya Diabetic Retinopathy (DR) pada
penderita DM. Beberapa penelitian melaporkan prevalensi DR mengalami peningkatan dengan
bertambahnya umur (Sulaiman, 2004). Hal ini dapat terjadi karena dengan bertambahnya umur
terjadi penurunan fungsi tubuh oleh proses apoptosis sel yang dimulai pada umur > 45tahun.
Selain itu pada keadaan hiperglikemia yang kronis terjadi reaksi inflamasi dan stres oksidatif
yang mempercepat terjadinya apoptosis sel di retina sehingga mengakibatkan terjadinya keadaan
retinopati. Kedua hal tersebut menjelaskan mengapa orang tua lebih rentan terhadap kejadian DR
yang akhirnya ditemukan meningkat dengan bertambahnya usia (Kowluru dan Chan, 2007).
Penelitian-penelitian lain dilakukan di berbagai negara mendapatkan hasil yang bervariasi
mengenai predileksi jenis kelamin pada pasien DR. Penelitian oleh Hartnett dkk. (2000)
memperoleh DR lebih banyak ditemukan pada perempuan yaitu 55% dan pada laki-laki sebesar
45%. Penelitian yang dilakukan oleh Meleth dkk. (2005) di Amerika mendapatkan hasil yang
berbeda yaitu DR ditemukan lebih banyak pada laki-laki sebesar 61,3% dan perempuan sebesar
38,7%. Funatsu dkk. (2003) dalam penelitiannya yang dilakukan di Jepang melaporkan hal yang
berbeda karena DR ditemukan sama pada laki maupun perempuan sebesar 50%. Penelitian ini
didapatkan persentase subjek berjenis kelamin laki-laki cenderung lebih tinggi dibandingkan
perempuan di kedua kelompok. Kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat astaxanthin 8
mg diperoleh persentase subjek berjenis kelamin laki-laki 65% dan perempuan sebesar 35%.
Kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat plasebo diperoleh persentase subjek berjenis
kelamin laki-laki 75% dan perempuan sebesar 25%.

Pada penelitian ini didapatkan NPDR ringan lebih banyak terjadi pada jenis kelamin lakilaki. Hal ini dapat disebabkan karena gaya hidup dan status sosial ekonomi seperti kebiasaan
laki-laki yang sebagian besar merupakan perokok, mengkonsumsi kopi, alkohol dan minuman
ringan/bersoda sehingga DM dengan komplikasinya berupa DR ditemukan lebih banyak pada
laki-laki berbanding terbalik dengan perempuan yang tidak memiliki kebiasaan tersebut.
Beberapa faktor lainnya seperti variasi metabolisme masing-masing individu, ras, pemeriksaan
terhadap retina sampai ditegakkannya diagnosa dan perbedaan sampel masing-masing penelitian
dapat mempengaruhi predileksi jenis kelamin pasien DR (Javadi dkk, 2009).
Lee dkk. (2008) di Korea melaporkan rerata lama DM pasien DR adalah 15,176,91
tahun. Funatsu dkk. (2003) di Jepang menemukan rerata lama DM pasien DR adalah 16,99,4
tahun. Penelitian oleh Doganay dkk. (2002) yang dilakukan di Turki mendapatkan rerata lama
DM pasien NPDR dan PDR masing-masing 9,61,1 tahun dan 23,71,3 tahun. Mostafa dkk.
(2005) menemukan rerata lama DM pasien NPDR adalah 15,22,5 tahun dan pasien PDR adalah
26,11,7 tahun. Penelitian oleh Niazi dkk. (2010) di Pakistan mendapatkan lama DM
mempunyai hubungan dengan derajat retinopati diabetik (p<0,001). Suatu retrospektif studi di
Cina oleh Bin-Bin dkk. (2012) menemukan adanya hubungan yang signifikan antara lama DM
dengan terjadinya DR (p<0,001). Penelitian ini memperoleh rerata lama DM kelompok pasien
NPDR ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg lebih singkat yaitu 6,77,9 tahun, sedangkan
kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat plasebo lebih lama yaitu 10,910,8 tahun.
Lama DM merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya
DR. Paparan hiperglikemia dalam waktu lama dapat meningkatkan perubahan biokimiawi dan
fisiologi, berupa perubahan seluler pada membran basalis sel retina sehingga terjadi kerusakan
pada pembuluh darah kapiler retina berupa hilangnya perisit, proliferasi sel endotel dan

penebalan membran basement yang mengakibatkan oklusi kapiler dan nonperfusi pada retina
(Chibber dkk, 2007; American Academy of Opthalmology and Staff, 2011-2012a). Satu
penelitian mendapatkan lama DM 5 sampai 10 tahun mempunyai resiko NPDR 5 kali
dibandingkan DM kurang dari 5 tahun dan DM lebih dari 10 tahun mempunyai resiko 32 kali
menjadi NPDR (Niazi dkk, 2010).
Penelitian oleh Hartnett dkk. (2000) memperoleh rerata kadar HbA1c pada pasien NPDR
adalah 10,32,2%Hb, sedangkan pasien PDR 10,01,6%Hb. Meleth dkk. (2005) mendapatkan
rerata kadar HbA1c pada pasien NPDR ringan dan sedang adalah 7,431,2%Hb, sedangkan
pasien dengan NPDR berat 8,41,7%Hb. Penelitian ini didapatkan rerata kadar HbA1c
kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg lebih tinggi yaitu 6,80,8%Hb,
sedangkan rerata kadar HbA1c kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat plasebo
ditemukan lebih rendah yaitu 6,50,7%Hb.
Haemoglobin Adult 1c (HbA1C) merupakan salah satu indikator indeks biokimia yang
paling baik dipergunakan dalam pengontrolan kadar gula darah karena merupakan rerata gula
darah dalam 3-4 bulan terakhir (Gomero dkk, 2008). Kadar HbA1C berbanding lurus dengan
kadar gula darah, artinya bila kadar gula darah meningkat maka pembentukan HbA1C semakin
cepat, yang akhirnya dapat mempercepat terjadinya komplikasi mikrovaskular. Sesuai dengan
kriteria yang dipakai oleh Konsensus Penatalaksanaan Diabetes Melitus di Indonesia, maka yang
dianggap kadar gula darah terkontrol buruk adalah mereka dengan kadar HbA1C >8%. Kadar
gula darah yang tidak terkontrol akan menyebabkan seseorang lebih cepat mengalami komplikasi
berupa DR. The Diabetes Control and Complication (DCCT) dan United Kingdom Prospective
Diabetes Study (UKPDS) menyatakan kontrol gula darah yang baik akan mengurangi resiko
terjadinya DR (American Academy of Ophalmology and Staff, 2011-2012a). Ozmen dkk. (2007)

melaporkan bahwa kadar HbA1C>10% dapat mengakibatkan DR sebesar 82,2%. Varma dkk.
(2007) menemukan setiap peningkatan kadar HbA1C 1% mempunyai resiko terjadinya DR
sebesar 1,22 kali. Penurunan kadar HbA1C sebesar 1% akan menurunkan resiko DR 35-75%
(Sudoyo dkk, 2006). Kadar HbA1C tidak memiliki korelasi dengan derajat keparahan DR.
Penelitian oleh Maa dan Sullivan (2007) mendapatkan bahwa kadar HbA1C seseorang tidak
mencerminkan keadaan DR pasien tersebut.
Bin-bin dkk. (2012) dalam penelitiannya di Cina mendapatkan rerata IMT pasien DR
adalah 24,613,45 kg/m2 sedangkan Xiao-ling dkk. (2006) mendapatkan rerata IMT pasien
NPDR adalah 24,603,76 kg/m2 dan PDR 24,453,63 kg/m2. Pada penelitian ini ditemukan
rerata IMT kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg adalah 25,94,0
kg/m2, sedangkan kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat plasebo 24,43,6 kg/m2.
Indeks Massa Tubuh (IMT) diperoleh dengan suatu pengukuran yang membandingkan
antara berat badan (kg) dan tinggi badan (m2) dan merupakan indikator untuk mengidentifikasi
obesitas pada orang dewasa. Satu penelitian melaporkan bahwa selain hiperglikemia faktorfaktor lainnya seperti tekanan darah, obesitas dan peningkatan tigliserida berhubungan dengan
prevalensi retinopati (Van Leiden dkk, 2002). Penelitian lainnya melaporkan terdapat hubungan
antara obesitas dan keadaan resistensi insulin yang dapat membuat adiposit dan sekresi sitokin
ditubuh seperti Interleukin-6 (IL-6) meningkat (Bastard dkk, 2000). Vosarova dkk. (2001)
mendapatkan kadar IL-6 mempunyai hubungan dengan persentase lemak tubuh, namun tidak
berkorelasi dengan sensitifitas insulin pd orang Indian Pima. Obesitas merupakan bentuk
inflamasi yang kronis. Pada keadaaan obesitas terjadi gangguan keseimbangan adipositokin yang
dilepaskan. Sel adiposit berusaha mempertahankan keseimbangan energi dengan melepaskan
beberapa sitokin salah satunya IL-6. Pada keadaan inflamasi kronis seperti obesitas, IL-6

mengalami peningkatan jumlahnya ditubuh yang mengakibatkan kerusakan atau disfungsi pada
endotel termasuk pembuluh darah retina sehingga terjadi keadaan retinopati (Van Leiden dkk,
2002).
Wicaksono dkk. (2012) dalam penelitiannya di Purwokerto mendapatkan DR lebih
banyak ditemukan pada pasien dengan tingkat pendidikan SMA (Sekolah Menengah Atas) atau
sederajat yaitu sebesar 35,1%. Penelitian ini didapatkan sebagian besar pasien pada kelompok
NPDR ringan yang diberikan astaxanthin 8 mg memiliki status pendidikan SMA yaitu sebesar
45% dan pada NPDR ringan yang diberikan plasebo sebagian besar pasien memiliki status
pendidikan Perguruan Tinggi yaitu sebesar 35%.
Tingkat pendidikan seseorang dapat mengembangkan pengetahuan dan kemampuan diri
sendiri untuk terbentuknya tindakan atau prilaku seseorang. Penelitian Wicaksono (2012)
menyimpulkan terdapat hubungan antara pengetahuan tentang DM dengan prilaku pencegahan
DR. Pentingnya menghubungkan tingkat pendidikan pasien dengan pemahaman pasien tentang
penyakitnya dan faktor-faktor lain yang berisiko, pengobatan yang dicari, resiko komplikasi
yang terjadi, deteksi dini, pemeriksaan rutin, selain itu gaya hidup, status sosial ekonomi, status
nutrisi merupakan hal yang tak kalah penting peranannya dalam kejadian DR. Pasien dengan
tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah untuk memahami DR dan lebih cepat mencari
pelayanan kesehatan sehingga DR lebih banyak ditemukan pada NPDR stadium ringan (Noble
dan Chaudhary, 2010).

6.2

Perbedaan Kadar Interleukin-6 (IL-6) Plasma Awal dan 4 Minggu Pemberian

Astaxanthin dan Plasebo pada Pasien NPDR Ringan

Beberapa studi penelitian mendukung hipotesa dari hubungan kausal antara


hiperglikemia, stres oksidatif dan inflamasi kronis. Hiperglikemia menyebabkan terjadinya
peningkatan produksi senyawa oksigen reaktif sebagai stres oksidatif (Giacco dan Brownlee,
2010). Hiperglikemia juga dapat menyebabkan reaksi inflamasi melalui peningkatan stres
oksidatif dan mengaktivasi faktor transkripsi Nuclear Factor kappa- (NF-k). Teraktivasinya
faktor tersebut memicu produksi mediator dan sitokin inflamasi seperti IL-6, sehingga terjadi
proses kaskade inflamasi secara sistemik (Chaturvedi, 2007). Stres oksidatif telah menjadi
penyebab komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular terkait dengan DM. Selain stres
oksidatif, inflamasi yang kronis dipercaya mempunyai peran penting dalam perkembangan DR
(Banday dkk, 2010). Beberapa peneliti meyakini, dengan pemberian antioksidan seperti
astaxanthin dapat mencegah terjadinya penyakit mikrovaskular dan makrovaskular pada
penderita DM (Pennathur dan Heinecke, 2004).
Stres oksidatif merupakan keadaan berupa ketidakseimbangan jumlah radikal bebas dan
antioksidan dalam tubuh. Stres oksidatif ditemukan meningkat pada keadaan hiperglikemia
melalui beberapa mekanisme yaitu jika terjadi glikasi yang labil, autooksidasi glukosa dan
aktivasi jalur metabolisme poliol (Ueno dkk, 2002). Hal tersebut mengakibatkan intensitas
proses oksidasi sel tubuh normal menjadi semakin tinggi dan menimbulkan kerusakan yang lebih
parah di dalam tubuh termasuk mata. Proses oksidasi yang terjadi pada DM adalah reaksi glikasi
yaitu reaksi non enzimatik antara asam amino dengan gugus aldehid dari glukosa yang akan
menghasilkan senyawa dikarbonil dan Advanced Glication End Products (AGES). AGE
merupakan salah satu jalur aktif pada hiperglikemia yang mempunyai efek proinflamasi dan
prooksidan (Negrean dkk, 2007). AGE bereaksi dengan reseptor spesifiknya untuk menginduksi

faktor transkripsional proinflamasi yaitu Nuclear Factor kappa- (NF-k) untuk memproduksi
sitokin proinflamasi, seperti IL-6 (Swenarchuk dkk, 2008).
Antioksidan berperan dalam menetralisir kerja radikal bebas sehingga proses oksidasi
tidak terjadi. Antioksidan seperti astaxanthin merupakan antioksidan eksternal mempunyai
pigmen karotenoid alami dengan aktivitas biologisnya 1000 kali lebih efektif dari vitamin E dan
10 kali lebih kuat dibandingkan beta karoten dan tidak pernah menjadi prooksidan di tubuh
(Denise dan Thomas, 2002; Suseela dan Toppo, 2006). Astaxanthin mempunyai efek anti
inflamasi dan anti oksidatif dengan menghambat produksi ROS dan sitokin seperti IL-6 (Kim,
2010). Beberapa penelitian tentang astaxanthin pada hewan coba menunjukkan hasil yang baik
kemudian penelitian ditingkatkan pada manusia. Diharapkan dengan pemberian astaxanthin
terjadi penurunan kadar IL-6 ditubuh dan akan mencegah kerusakan fungsi sel, yang berarti
memperbaiki perfusi seluler dan mencegah kerusakan lebih lanjut akibat DM (Kowluru dan
Chan, 2007).
Interleukin 6 (IL-6) merupakan salah satu sitokin proinflamasi yang meningkat
jumlahnya pada DR dan digunakan sebagai inflammatory marker untuk menilai progresivitas DR
(Doganay dkk, 2002; Lee dkk, 2008). Pemeriksaan IL-6 pada penelitian ini diambil dari plasma.
IL-6 ditemukan hampir di seluruh cairan biologis namun serum dan plasma merupakan sampel
yang paling umum digunakan, karena paling mudah didapat dan tidak invasif. Pada organ mata
IL-6 ditemukan di sel RPE, sel epitel kornea, iris, dan badan siliar (Baiomy dkk, 2004).
Hubungan kadar IL-6 dengan progresivitas DR dipaparkan oleh beberapa peneliti. Penelitian
mengenai peran IL-6 dalam perkembangan DR telah dilakukan dan memiliki rentang nilai yang
bervariasi di berbagai negara (Mostafa dkk., 2005; Lee dkk., 2008). Penelitian Lee dkk. (2008) di
Korea menemukan kadar IL-6 plasma pasien NPDR ringan sebesar 1,311,03 pg/mL.

Penelitian ini ditemukan rerata kadar IL-6 plasma awal pada kelompok NPDR ringan
yang diberikan astaxanthin 8 mg sebesar 2,62,3pg/mL dan pada kelompok NPDR ringan yang
diberikan plasebo sebesar 1,30,7 pg/mL. Rerata kadar IL-6 plasma awal pasien NPDR ringan
pada kelompok yang diberikan astaxanthin 8 mg dalam penelitian ini ditemukan lebih tinggi dan
pada kelompok NPDR ringan yang diberikan plasebo lebih rendah dibandingkan penelitian Lee
dkk. (2008) di Korea, kemungkinan karena terdapat faktor-faktor yang berpengaruh pada kadar
IL-6 plasma belum sepenuhnya dikontrol pada

kelompok NPDR ringan yang diberikan

astaxanthin 8 mg pada penelitian ini. Adanya perbedaan etnik dan ras juga dapat mempengaruhi
hasil yang didapat.
Beberapa penelitian tentang astaxanthin awalnya dicobakan pada hewan coba
menunjukkan hasil yang baik, kemudian penelitian ditingkatkan pada manusia. Penelitian oleh
Manabe dkk. (2007) mendapatkan pemberian astaxanthin dapat menurunkan produksi ROS dan
menghambat translokasi serta aktivasi NF-kB pada tingkat mitokondria. Iwabayashi dkk. (2009)
melaporkan konsumsi astaxanthin 12 mg/hari selama 8 minggu menurunkan kortisol 23 %
(p<0,05), mereduksi LDH 6,5% (p<0,01) dan menurunkan kadar HbA1C 4 % (p<0,01).
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran kadar IL-6 awal dan 4 minggu setelah
diberikan astaxanthin dan plasebo untuk mengetahui perbedaan kadar IL-6 sebagai respon
inflamasi dalam progresivitas DR. Penelitian ini ditemukan rerata kadar IL-6 plasma awal
sebesar 2,62,3 pg/mL dan 4 minggu setelah diberikan astaxanthin 1,91,4 pg/mL. Beda rerata
kadar IL-6 awal dan 4 minggu pada kelompok NPDR ringan yang diberikan astaxanthin 8 mg
sebesar -0,72,0 pg/mL. Pada kelompok NPDR ringan yang diberikan plasebo didapatkan rerata
kadar IL-6 plasma awal sebesar 1,30,7 pg/mL dan 4 minggu setelah diberi plasebo 3,14,1
pg/mL. Beda rerata kadar IL-6 awal dan 4 minggu pada kelompok NPDR ringan yang diberikan

plasebo sebesar 1,84,0 pg/mL. Perbedaan rerata kadar IL-6 pada kedua kelompok bermakna
secara statistik (p<0,05). Dapat disimpulkan bahwa pada kelompok NPDR ringan yang diberikan
astaxanthin 8 mg terjadi penurunan reaksi inflamasi yang lebih tinggi ditandai dengan
menurunnya kadar IL-6 yang lebih besar dibandingkan kelompok NPDR ringan yang diberikan
plasebo. Hal ini dapat terjadi karena antioksidan seperti astaxanthin dengan efek anti inflamasi
dan antioksidannya menyebabkan penurunan reaksi inflamasi maupun stress oksidatif ditubuh
yang mengakibatkan produksi IL-6 menurun.
Beberapa

hal

yang

dapat

mempengaruhi

kadar

IL-6

plasma

adalah

umur,

obesitas/kegemukan, keadaan inflamasi atau infeksi yang kronis, penyakit autoimun, keganasan,
konsumsi obat antioksidan, konsumsi obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), konsumsi obat
kortikosteroid, perokok, alkoholik. Beberapa faktor tersebut telah dikontrol pada desain
penelitian ini melalui kriteria eksklusi, sehingga faktor-faktor tersebut diharapkan tidak
berpengaruh terhadap kadar IL-6 plasma pasien NPDR ringan. Belum ada penelitian yang
meneliti kadar IL-6 plasma pasien NPDR ringan pada etnik atau ras yang berbeda sehingga perlu
dibuktikan melalui penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar dan melibatkan
multisenter. Perlunya pemeriksaan kadar IL-6 plasma pada populasi normal di Bali karena
adanya perbedaan populasi, etnik dan ras tentunya akan memberikan rentang nilai IL-6 yang
bervariasi.
Nilai aplikatif dari penelitian ini adalah IL-6 plasma dapat digunakan sebagai indikator
dalam menilai progresivitas DR serta pemberian astaxanthin perlu diberikan pada NPDR ringan
karena dapat menurunkan kadar IL-6. Pemeriksaan kadar IL-6 plasma secara rutin tidak perlu
dilakukan pada setiap pasien NPDR stadium ringan karena selain pemeriksaan ini tergolong
mahal terdapat masa kadaluarsa dari kit IL-6. Hal selanjutnya yang dapat dipertimbangkan

adalah pemberian antioksidan seperti astaxanthin sebagai salah satu strategi dalam
memperlambat progresivitas DR. Pentingnya edukasi kepada pasien DM mengenai gaya hidup,
pola makan, asupan nutrisi yang mengandung antioksidan sehingga komplikasi DM berupa DR
dapat dihindari.
Kadar IL-6 plasma pada penelitian ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Kelemahan dari
penelitian ini adalah riwayat penyakit sistemik, merokok, penggunaan obat-obatan pada pasien
didapatkan melalui wawancara, kepatuhan minum obat penelitian serta tidak dilakukan analisis
mengenai faktor-faktor resiko pada DM yang memang sangat sulit untuk dikendalikan sehingga
hal ini dapat sebagai sumber bias dalam penelitian. Penelitian ini tidak dilakukan penilaian
terhadap kadar IL-6 plasma pada populasi normal. Nilai normal (cut off point) kadar IL-6 plasma
pada populasi normal di Bali belum pernah diteliti, sehingga belum diketahui berapa sebenarnya
kadar IL-6 plasma pada populasi normal di Bali.
Pada penelitian ini semua subjek di follow-up pada minggu kedua pemberian obat dan
diakhir penelitian jumlah obat dihitung untuk menilai kepatuhan subjek dalam mengkonsumsi
obat. Tidak ada drop out yang terjadi pada subjek di kedua kelompok. Terdapat 7 subjek yang
menyisakan obat, yaitu pada kelompok NPDR ringan dengan pemberian astaxanthin 8 mg
didapatkan 3 subjek menyisakan obat masing-masing 2 tablet, 5 tablet dan 8 tablet. Pada
kelompok NPDR ringan dengan pemberian plasebo ditemukan 4 subjek menyisakan obat
masing-masing 2 tablet, 4 tablet, 6 tablet, dan 8 tablet.
Beberapa efek samping pemberian astaxanthin yang pernah dilaporkan berupa terjadinya
peningkatan pigmentasi kulit, perubahan hormonal, penurunan libido, penurunan tekanan darah,
penurunan kadar kalsium darah, pembesaran payudara pada laki-laki. Belum pernah dilaporkan
tentang adanya toksisitas pada pemberian astaxanthin di beberapa studi klinis yang telah

dilakukan (Fasset dan Coombes, 2011). Selama penelitian berlangsung tidak ditemukan adanya
efek samping tersebut namun 1 subjek merasakan kesemutan pada kaki dan tangan setelah
mengkonsumsi obat penelitian.

BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan astaxanthin menurunkan kadar
Interleukin-6 (IL-6) plasma secara signifikan pada pasien NPDR ringan.

7.2 Saran
1. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kadar normal IL-6 plasma dengan pemberian
astaxanthin dosis berbeda sehingga diketahui dosis standar yang dapat dipakai untuk pasien
NPDR ringan.
2. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui progresivitas DR dengan pemberian
astaxanthin, sehingga dapat diketahui pengaruh pemberian astaxanthin terhadap terjadinya
progresivitas DR.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., dan Lichtman, A.H. 2005. Cellular and Molecular Immunology. Fifth edition.
W.B. Saunders Company, Philadelphia, Pennsylvania.p. 243-73
Akira, N., Ryoko, I., Yasuhiro, O., Yakuso, A., Daisuke, N., Chika, H., dkk. 2004. Changes in
Visual Function Following Peroral Astaxanthin. Japan J. Clin. Opthal., 58 (6):1051-54
American Academy of Ophthalmology and Staff. 2011-2012a. Retina and Vitreous. United State
of America: American Academy of Ophthalmology. p. 109-32
American Academy of Ophthalmology and Staff. 2011-2012b. Fundamental and Principles of
Ophthalmology. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 273318
Atalay, M., dan Laaksonen, D.E. 2002. Diabetes, Oxidative Stress and Physical Exercise.
Journal of Sports Science and Medicine, 1: 1-14
Baiomy, A.A., Arafa, L.F., dan Ghanem, A.A., 2004. Relationship Between Vascular
Endothelial Growth Factor and Interleukin-6 in Diabetic Retinopathy. Pakistan Journal
of Biological Sciences, 7 (11): 1858-65
Banday, M.Z., Bashir, A., dan Hag , E. 2010. Molecular Pathobiology of Diabetic Retinopathy.
Bioresearch Bullletin, 3:102-15
Bastard, J.P., Jardel, C., Bruckert, E., Blondy, P., Capeau, J., Lavile, M., dkk. 2000. Elevated
Levels of Interleukin 6 Are Reduced in Serum and Subcutaneous Adipose Tissue of
Obese Women after Weight Loss. J Clin Endocrinol Metab., 85: 3338-42
Bhavsar,
A.R.2009.
Diabetic
Retinopathy.
Available
from
:
URL
http://emedicine.medscape.com/article/1225122-overview. Last update 6 Oktober 2009
Bin-Bin, H., Li,W., Yun-Juan, G., Jun-Feng H., Ming L.,dkk. 2012. Factors Associated with
Diabetic Retinopathy in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus. International Journal of
Endocrinology.p.1-8
Chaturvedi, N. 2007. The Burden of Diabetes and its Complications: Trends and Implications for
Intervention. Diabetes Res Clin Pract., 76 (3):S3-S12
Chibber, R., Ben-Mahmud, B.M., Chibber, S., dan Kohner, E.M. 2007. Leukocytes in Diabetes
Retinopathy. Current Diabetes Reviews, 3:3-14
Denise, M.D., dan Thomas, W.M., 2002. Carotenoids: Linking Chemistry, Absorption, and
Metabolism to Potential Roles in Human Health and Desease. In: Enrique, C., Lester,

P.(eds) Handbook of Antioxidants. 2nd edition. New York, Basel: Marcel Dekker inc. p.
189-274
Doganay, S., Evereklioglu, C., Er, H., Trkz, Y., Sevin, A., Mehmet, M., dan avli, H. 2002.
Comparison of Serum NO, TNF-, IL-1, sIL-2R, IL-6 and IL-8 Levels with Grades of
Retinopathy in Patient with Diabetes Mellitus. Eye Nature Publishing Group, 16:163-70
Dwipayana, P. 2013. Penatalaksanaan Kelainan Retina Terkini. Diagnosis dan Manajemen
Peri-operative pada Diabetes Mellitus. Seminar dalam Rangka HUT RS Indera Propinsi
Bali ke-11. Sabtu 2 maret 2013
Dwipayana, P., Suastika, K., Saraswati, I.M.R., Gotera, W.B., Budhiarta, A.A.G., Sutanegara,
dkk. 2010. Prevalensi Sindroma Metabolik pada Populasi Penduduk Bali, Indonesia.
Naskah Lengkap Joint symposium Surabaya, Metabolic Cardiovascular Disease,
Surabaya, 282-88
Fasset, R.G., dan Coombes, J.S. 2011. Astaxanthin : A Potential Therapeutic Agent in
Cardiovascular Disease. Marine Drugs, 9:447-65
Forrester, J.V., Dick, A.D., Mcmenamin, P.G., dan Lee, W.R. 2002. Embryology and Early
Development of The Eye and Adnexa. In : The Eye Basic Science in Practice. 2nd edition.
London.p. 78-93
Frank, R.N. 2004. Diabetic Retinopathy. N Engl J Med., 350: 48-58
Funatsu, H., Yamashita, H., Ikeda, T., Mimura, T., Eguchi, S., Hori, S., dkk. 2003. Vitreous
Level of Interleukin-6 and Vascular Endothelial Growth Factor are Related to Diabetic
Macular Edema. American Academy of Ophthalmology, 110:1690-6
Giacco, F., dan Brownlee, M. 2010. Oxidative Stress and Diabetic Complications. Circ Res.,
107:1058-70
Gomero, A., McDade, T., Williams, S., dan Lindau, S.T. 2008. Dried Blood Spot Measurement
of Glycosylated Hemoglobin (HbA1C) in Wave 1 of National Social Life, Health &
Aging Project (NSHAP). The National Social Life,Health&Aging Project.p.1-10
Guerin, M., Hutley, M.E., dan Olaizola, M. 2003. Haematococcus Astaxanthin: Applications for
Human Health and Nutrition. Trends in Biotechnology, 21:210-15
Gupta, V., Gupta, A., Dogra, M.R., dan Singh, R. 2007. Diabetic Retinopathy: Atlas and text. 1
st
. edition. New Delhi. Jaypee Brothers.p.23-50
Halliwell, B., dan Gutteridge, J.M.C. 2007. Free Radicals in Biology and Medicine. Fourth
edition, Oxford University Press, New York. p. 19-633

Hardjoeno, H. 2003. Tes Diabetes Melitus. Tes Pengendalian Diabetes Melitus dalam
Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik Bagian dari Standar Pelayanan Medik.
Lephas. Makassar. Hal.167-199
Hartnett, M.E., Stratton, R.D., Browne, R.W., Rosner, B.A., Lanham, R.J., dan Armstrong, D.
2000. Serum Markers of Oxidative Stress and Severity of Diabetic Retinopathy. Diabetes
care, 23:234-40
Higuera-Ciapara, I., Felix-Valenzuela, L., dan Goycoolea, F.M. 2006. Astaxanthin: A Review of
its Chemistry and Applications. Critical Review in Food Science and Nutrition, 46: 18596
Hu, F.B., Meigs, J.B., Li, T.Y., Rifai, N., dan Manson, J.E. 2004. Inflammatory Markers and
Risk of Developing Type 2 Diabetes in Women. Diabetes, 53:693-700
Hussein, G., Sankawa, U., Goto, H., Matsumoto, K., dan Watanabe, H. 2006. Astaxanthin, a
Carotenoid with Potential in Human Health and Nutrition.J.Nat.Prod., 69(3):443-9
Iskandar, E. dan Kartasasmita, A. 2013. Penatalaksanaan Kelainan Retina Terkini. Diabetic
Retinopathy Update. Seminar dalam Rangka HUT RS Indera Propinsi Bali ke-11. Sabtu 2
maret 2013
Iwabayashi, M., Fujioka, N., Nomoto, K., Miyazaki, R., Takahashi, H., Hibino, S., dkk. 2009.
Efficacy and Safety of Eight-Week Treatment with Astaxanthin in Individuals Screened
for Increased Oksidatif Stress Burden. J. Anti Aging Med.,6(4):15-21
Jakus,V. 2000. The Role of Free Radicals, Oxidative Stress and Antioxidant Systems in Diabetic
Vascular Disease. Bratisl Lek Listy.,101 (10): 541-51
Javadi, M.A., Katibeh, M., Rafati, N., Dehghan, M.H., Zayeri, F., Yaseri, M., dkk. 2009.
Prevalence of Diabetic Retinopathy in Tehran Province: A population-based Study. BMC
Ophthalmology.9 (12):1-8
Kauffmann, D.J.H., Meurs, J.C.V., Mertens, D.A.E., Peperkamp, E., Master, C., dan Gerritsen,
M.E.1994. Cytokines in Vitreous Humor: Interleukin-6 is Elevated in Proliferative
Vitreoretinopathy. Investigative Ophthalmology & Visual Science, 35:900-6
Kenji, S., Kazuhiro, O., Takuya, N., Yasuhiro, S., Shinki, C., Kazuhiko, Y., dkk. 2005. Effects of
Astaxanthin on Accommodation and Asthenopia-Dose Finding Study in Healthy
Volunteers. J. Clin. Therap. Med., 21(6):637-50
Khalfaoui, T., Lizard, G., dan Ouertani, M.A. 2008. Adhesion Molecules (ICAM-1 and VCAM1) and Diabetic Retinopathy in Type 2 Diabetes. J Mol Hist., 39:234-49

Kim, Y.H. 2010. Down Regulation of IL-6 Production by Astaxanthin Via ERK-, MSK-, and
NF-kB Mediated Signals in Activated Microglia. Int Immunopharmacol., 10 (12): 156072
Kojima, S., Yamada, T., dan Tamai, M. 2001. Quantitative Analysis of Interleukin-6 in Vitreous
from Patients with Proliferative Vitreoretinal Diseases. Japanese Journal of
Ophthalmology, 45(1): 40-5
Kowluru, R.A., dan Chan, P. 2007. Oxidative Stress and Diabetic Retinopathy. Hindawi
Publishing Corporation. Experimental Diabetes Research,10:1-12
Kowluru, R.A., Menon, B., dan Gierhart, D.L. 2008. Beneficial Effect of Zeaxanthin on Retinal
Metabolic Abnormalities in Diabetic Rats. Investigative Ophthalmology & Visual
Science, 49 (4):1645-50
Lee, J.H., Lee, W., Kwon, O.H., Kim, J.H., Kwon, O.W., Kim, K.H., dkk. 2008. Cytokine
Profile of Peripheral Blood in Type 2 Diabetes Mellitus Patients with Diabetic
Retinopathy. Annals of Clinical & Laboratory Science, 38(4): 361-7
Leslie, R.D.G, dan Cohen, R.M. 2009. Biologic Variability in Plasma Glucose, Haemoglobin
A1C, and Advanced Glycation End Products Associated with Diabetes Complication. J.
Diabetes Sci Technol., 3(4): 635-43
Levy, B.I., Schiffrin, E.L., Mourad, J.J., Agostini, D., Vicaut, E., Safar, M.E., dkk. 2008.
Impaired Tissue Perfusion. A Pathology Common to Hypertension, Obesity, and Diabetes
Mellitus. Microcirculation and Cardiovascular Risk Factor. p: 968-76
Liou, G.I. 2010. Diabetic retinopathy: Role of Inflammation and Potential Therapies for Antiinflammation. World J Diabetes., 1(1): 12-8
Loukovaara, S., Immoneu, R., Koistinen, J., Hiilesmaa dan Kaaja. 2004. Inflammatory Markers
and Retinopathy in Pregnancies Complicated with Type I Diabetes. Eye, 30:123-28
Maa, A.Y., dan Sullivan, B.R. 2007. Relationship of Haemoglobin A1C with The Presence and
Severity of Retinopathy Upon Initial Screening of Type II Diabetes Mellitus. American
Journal of Opthalmology,144 (3):456-7
Manabe, E., Handa, O., Naito, Y., Mizushima,K., Akagiri, S., Adachi, S., dkk. 2007. Astaxanthin
Protect Mesangial Cells from Hyperglicemia-induced, Oxidative Signaling. J Cellular
Biochem., 103(6):1925-37
Marmor, M.F. 2003. Retinal Pigment Epithelium. In Yanoff, M., Duker, J.S., Ausburger, J.J.
Alm, A. editors. Opthalmology. 2nd edition. St Louis, Mosby.p. 775-8

Mc.Nulty, H.P., Byun,J., Lockwood, S.F., Jacob, R.F., dan Mason, R.P. 2006. Differential
Effects of Carotenoid on Lipid Peroxidation Due to Membrane Interactions: X-Ray
Diffraction Analysis. Biochimica et Biophysica Acta, 1768:167-74
Meleth, A.D., Agrn, E., Chan, C.C., Reed, G.F., Arora, K., Byrnes, G., dkk. 2005. Serum
Inflammatory Markers in Diabetic Retinopathy. Investigative Ophthalmology & Visual
Science, 46(11):4295-4301
Mostafa, M.S.Z., Samy, N., Afify, M., Hashem, M., dan Azeb, A. 2005. Evaluation of Plasma
Endothelin-1 and Serum Inflammatory Markers in Patients with Diabetic Retinopathy. J
Med Sci., 5 (1):35-42
Negrean, M. 2006. Advanced Glycation End Product (AGE) and Their Role in The Pathogenesis
of Chronic Complication of Diabetes Mellitus. A Journal of Clinical Medicine, I (2): 5966
Negrean, M., Stirban, A., Stratmann, B., Gawlowski, T., Horstmann, T., Gtting, C., dkk. 2007.
Effects of Low and High Advanced Glycation End Product Meals on Macro and
Microvascular Endothelial Function and Oxidative Stress in Patients with type 2 Diabetes
Mellitus. Am J Clin Nutr., 85: 1236-43
Niazi, M.K., Akram, A., Naz, M.A., dan Awan, S. 2010. Duration of Diabetes as a Significant
Factor for Retinopathy. Pak J Opthalmology, 26(4):182-86
Noble, J., dan Chaudhary,V. 2010. Five Things You Know About Diabetic Retinopathy.
Canadian Medical Association Journal,182(5):1646
Odeberg, J.M., Lignell, ., Pettersson, A., dan Hglund, P. 2003. Oral Bioavailability of The
Antioxidant Astaxanthin in Human is Enhanced by Incorporation of Lipid Based
Formulations. European Journal of Pharmaceutical Sciences, 19:299-304
sterlie, M., Bjerkeng, B., dan Liaaen-Jensen, S. 2000. Plasma Appearance and Distribution of
Astaxanthin E/Z and R/S Isomers in Plasma Lipoproteins of Men After Single Dose
Administration of Astaxanthin. J Nutr Biochem., 11: 482-90
Ozmen, B., Guclu, F., Kafesciler, S., Ozmen, D., dan Hekimsay, Z. 2007. The Relationship
Between Glycosylated Haemoglobin and Diabetic Retinopathy In Patient With Type 2
Diabetes. Turk Jem., 11:10-15.
Pangkahila, W. 2007. Anti Aging Medicine : Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas
Hidup. Cetakan ke-1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hal: 8-17
Pennathur, S., dan Heinecke, J.W. 2004. Mechanisms of Oxidative Stress in Diabetes:
Implications For The Pathogenesis of Vascular Disease and Antioxidant Therapy.
Frontiers in Bioscience, 9:565-74

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di


Indonesia, PB.PERKENI. Jakarta
Pham-Huy, L.A., He, H., dan Pham-Huy, C. 2008. Free Radicals, Antioxidants in Disease and
Health. Int J Biomed Sci., 4(2): 89-96
Poccok, S.J. 2008. Clinical Trial. A Practical approach. New York. A Willey Medical
Publication.p.128
Pradhan, A.D., Manson, J.E., Rifai, N., Buring, J.E., dan Ridker, P.M. 2001. C-Reactive Protein,
Interleukin 6, and Risk of Developing Type 2 Diabetes Mellitus. JAMA., 286:327-34
Preuss, H., Echard, B., Bagchi, D., Perricone, V.N., dan Yamashita, E. 2009. Astaxanthin Lower
Blood pressure and Lessens The Activity of The Renin-Angiotensin System in Zucker
fatty Rats. J.Funct.Fds., I:13-22
Santocono, M., Zuria, M., Berrettini, M., Fedeli, D., dan Falcioni, G. 2007. Lutein, Zeaxanthin
and Astaxanthin Protect Against DNA Damage in SK-N-SH Human Neuroblastoma
Cells Induced by Reactive Nitrogen Species. Journal of Photochemistry and
Photobiology B, 88:1-10
Setiati, S. 2003. Radikal Bebas, Antioksidan, dan Proses Menua: Medika no. 6 tahun XXIX.
Jakarta, p. 366
Sharma, R.K., dan Ehinger, B.E.J. 2003. Development and Structure of The Retina. In :
Kaufman P.L., Alm , A. editors. Physiology of The Eye. 10th edition. Missouri, Mosby.p.
319-47
Shimizu, E., Funatsu, H., Yamashita, H., dan Hori, S. 2002. Plasma level of Interleukin-6 is an
Indicator for Predicting Diabetic Macular Edema. Jap. J. Ophthalmol., 46:78-83
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., dan Simadibrata, M. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UI, 1857-9.
Sulaiman, Suhaiza, Mkthar, A.N., Ismail, Jeriah. dkk. 2004. Glicemic Control Among Type II
Diabetics Patiens in Kelantan. NCD Malaysia, 3(3):1-5
Suseela, M.R., dan Toppo, K. 2006. Haematococcus Pluvialis A Green Alga, Richest Natural
Source of Astaxanthin. Current Science, 90(12):1602-03
Suzuma, I., Hata,Y., Clermont, A., Pokras,F., Rook, S.L., Suzuma, K., dkk. 2001. Cyclic Strecth
and Hypertension Induce Retinal Expression of Vascular Endothelial Growth Factor and
Vascular Endothelial Growth Factor Receptor-2. Potential Mechanism for Exacerbation
of Diabetic Retinopathy by Hypertension. Diabetes, 50: 444-54

Swanson, L. 2012. Astaxanthin shows Diabetes Potential. Journal of Food Science. Available
from : URL: http://www.swansonvitamins.com/ru-articles/cardiovascular. Last update: 2
Mei 2012
Swenarchuk, L.E., Whetter, L.E., dan Adamis, A.P. 2008. The Role of Inflamation in the
Pathophysiology of Diabetic retinopathy. In: Duh, E.J. (ed) Diabetic Retinopathy. New
Jersey: Humana press. p. 303-26
Ueno,Y., Kizaki, M., Nakagiri, R., Kamiya, T., Sumi, H., dan Osawa, T. 2002. Dietary
Glutathione Protects Rats from Diabetic Nephropathy and Neuropathy. J Nutr., 132:897900
Van Leiden, H.A., Dekker, J., Moll, A.C., Nijpels, G., Heine, R.J., Bouter, L.M., dkk. 2002.
Blood Pressure, Lipids, and Obesity Are Associated with Retinopathy. Diabetes Care,
25:1320-25
Varma, R., Marcias, G., Torres, M., Klein, R., Pena, F., dan Azen, S. 2007. Biologic Risk Factor
Associated With Diabetic Retinopathy. The Los Angeles latino Eye Study. J
Opthalmology.,114:1332-40
Vosarova, B., Weyer, C., Hanson, K., Tataranni, P.A., Bogardus, C., dan Pratley, R.E. 2001.
Circulating Interleukin-6 in Relation to Adiposity, Insulin Action, and Insulin Secretion.
Obes Res., 9(7):414-7
Wicaksono, A.P., Muchtasar, B., dan Jatmiko,W. 2012. The Relationship Between Knowledge
and Social Support with The Behavior of Diabetic Retinopathy Prevention at DM
Sufferers in Prof.DR.Margono Soekarjo General Hospital of Purwokerto. Jurnal Univ
Muhammadiyah, 11: 58-69
William, D.L. 2006. Oxidation, Antioxidants and Cataract Formation: A Literature Review.
Veterinary Ophthalmology, 9 (5): 292-8
Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Cetakan ke 2 , Kanisnus Yogyakarta.
p. 50-5
Xiao-ling, C., Fang,W., dan Li-nong, J. 2006. Risk Factor of Diabetic Retinopathy in Type 2
Diabetic patients. Chin Med J., 119 (10): 822-26
Yasunori, N., Miharu, M., Jiro, T., Akitoshi, K., Yoshiharu, H., Yuri, S., dan Hiroki, T. 2005.
The Effects of Astaxanthin on Retinal Capillary Blood Flow in Normal Volunteers. J.
Clin.Therap. Med., 21(5):537-42
Yasunori, N., Miharu, M., Hiroki, T., dan Shigeaki, O. 2006. The Supplementation Effect of
Astaxanthin on Accommodation and Asthenopia. J. Clin. Therap. Med., 22(1):41-54

Zaripheh, S., dan Erdman, J.W. 2002. Factors That Influence The Bioavailability of
Xanthophylls. American Society for Nutritional Sciences. J. Nutr., 132:531-34

Lampiran 3. Penjelasan Penelitian

INFORMASI YANG DIBERIKAN KEPADA SUBJEK PENELITIAN


Astaxanthin Menurunkan Kadar Interleukin-6 Plasma Pada Non Proliferative Diabetic
Retinopathy Ringan:Uji Klinik Terkendali

Bapak dan ibu Yth,


Non Proliferatif Diabetic Retinopathy (NPDR) Ringan merupakan salah satu stadium
Diabetic retinopathy (DR) yaitu komplikasi dari penderita Diabetes Mellitus (DM) berupa
kelainan retina akibat hiperglikemia dalam jangka waktu lama. Sampai saat ini DR merupakan
salah satu penyebab kebutaan di dunia dan diperkirakan semakin meningkat seiring dengan
lamanya menderita DM.
Mekanisme terjadinya DR belum dapat dijelaskan secara pasti. Diduga hiperglikemia
yang lama memicu reaksi inflamasi dan stres oksidatif yang akhirnya berdampak pada kerusakan
retina. Penelitian saat ini difokuskan pada peranan sitokin proinflamasi yaitu Interleukin-6 (IL6) dalam perkembangan DR, sehingga IL-6 digunakan sebagai serum inflammatory marker
untuk menilai progresivitas DR. Selain itu hiperglikemia dapat memicu stres oksidatif yaitu
tidak seimbangnya antara radikal bebas dengan antioksidan di dalam tubuh. Hiperglikemia tidak
hanya membentuk reactive oxygen species (ROS) tetapi juga melemahkan mekanisme
antioksidan tubuh yang dapat mempercepat kematian sel retina dan mengakibatkan DR.

Pemberian terapi antioksidan dapat menjadi salah satu pilihan pada pencegahan DR.
Antioksidan dianggap mempunyai efek yang potensial karena dapat menghambat terbentuknya
ROS dan meningkatkan pertahanan antioksidan tubuh. Astaxanthin merupakan antioksidan yang
popular saat ini. Astaxanthin memiliki aktifitas antioksidan 10 kali lipat lebih tinggi dari beta
carotene, 1000 kali lipat lebih efektif dari vitamin E, memiliki efek anti inflamasi dan tidak
menjadi prooksidan. Terdapat penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa astaxanthin
sebagai anti inflamasi dan dapat mengurangi kerusakan pada retina akibat stres oksidatif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar IL-6 dengan perkembangan
stadium DR. Diharapkan dengan penelitian ini pemahaman mengenai bagaimana terjadinya dan
perkembangan DR akan menjadi lebih baik, sehingga penanganan berupa pencegahan dapat
dilakukan.
Bila bapak/ibu bersedia menjadi sampel penelitian, kami mohon untuk menandatangani
surat persetujuan dan datang kontrol pada waktu yang telah kami tentukan. Data mengenai
bapak/ibu akan kami rahasiakan. Pada penelitian ini kami akan melakukan pemeriksaan kadar
IL-6 melalui pengambilan darah vena, selanjutnya bapak/ibu memperoleh sediaan obat dalam
bentuk kapsul yang dikonsumsi 2 kapsul/hari selama 4 minggu dan pada akhir minggu ke 4 (saat
sediaan obat habis) kami akan periksa kembali kadar IL-6 dalam darah bapak/ibu. Biaya yang
diperlukan untuk pemeriksaan akan ditanggung oleh peneliti. Jika hasil pemeriksaan kadar IL-6
telah diketahui, maka hasil pemeriksaan tersebut akan kami sampaikan kepada bapak/ibu. Hasil
pemeriksaan akan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian seperti yang dimaksud diatas.
Dengan ikut serta dalam penelitian ini, berarti bapak/ibu ikut berperan serta dalam
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya etiopatogenesis dan perkembangan stadium DR.

Demikian penjelasan ini kami sampaikan, dan atas kesediaan bapak/ibu ikut serta
menjadi sampel atau koresponden dalam penelitian ini, kami sampaikan banyak terima kasih.
Bila ada hal-hal yang belum jelas atau terdapat keluhan, bapak/ibu dapat datang kapan saja atau
menghubungi dokter yang merawat selama penelitian ini. Bapak/ibu dapat menghubungi
peneliti:

dr. I A Pertami Dewi


Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fk UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
Telepon : 081 238 01487

Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)

Yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama

Umur

Alamat

Telepon

Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap mengenai maksud, tujuan dan manfaat penelitian
ini, maka menyatakan setuju dan bersedia ikut serta dalam penelitian ini. Saya bersedia mentaati
semua peraturan yang diberikan. Saya mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian
ini bila saya menginginkan dan tidak akan merusak hubungan dokter-pasien dengan saya.

Denpasar, ............................. 2013


Tanda tangan pasien

.....................................

Peneliti

Dr Ida Ayu Pertami Dewi

Saksi

....................................

Lampiran 5. Kuisioner Penelitian

1.

No Sampel

2.

No CM

3.

Tgl pemeriksaan :

4.

Nama

5.

Umur

6.

Jenis Kelamin

7.

Pekerjaan

8.

Pendidikan

9.

Alamat

:
Tlp

10. Riwayat merokok

: merokok / tidak; jumlah ...... ; lama .......

11. Riwayat alergi


astaxanthin

: Ada / tidak

12. Riwayat DM

: lama ..

13. Riwayat penyakit lain

a. Hipertensi

: Ada / tidak; lama ......

b. Jantung

: Ada / tidak

c. Keganasan

: Ada / tidak; jenis .......

14. Riwayat terapi

a. AISN

: Ada / tidak; lama ......

b. Kortikosteroid

: Ada / tidak; lama ......

c. Imunosupresan

: Ada / tidak; lama ......

d. Antioksidan (vitamin A & E) : Ada / tidak; lama ......


15. Vital sign

: TD: ............ mmHg; N: ........ X/mnt; R: ........ X/mnt;


t: .........C; TB/BB: m2/kg

16. Status General

17. Status oftalmologi


OD

OS
VA
PH
Palpebra
Konjungtiva
Kornea
AC
Iris/Pupil
Lensa
Vitreus
Fundus

18. Diagnosis

19. Kadar HbA1C

20. Kadar IL-6

Lampiran 6
TABEL INDUK PENELITIAN

NO

NAMA

NG

3
4
5
6

UL
GMS
MS
MW

KELOMPOK PERLAKUAN ASTAXANTHIN 8 MG


LAMA
IL6
USIA JK PDKN BB TB
DM
HBA1C (1)
5.9
0.466
70
L
SD
63 172
3
165
7.7
2.006
45
P
SMP
64
1
44
47
68
70

P
L
P
L

SMA
SMA
SD
SD

IL6
(2)

SISA
0BAT

0.111

0.78

74

167

6.5

69

185

3.969

3.757

6.9

60

152

0.557

1.226

7.6

75

169

2.117

1.003

1.671

2.006

7.2

2.786

1.226

2.5

7.5

2.229

1.449

5.7

2.117

2.121

30

5.2

1.449

0.891

6.9

8.518

3.332

3 BL

5.8

0.669

1.114

WK

59

SMA

50

169

IBS

66

PT

69

175

87

165

83

161

63

154

59

160

71

154

3 BL

6.5

5.136

0.891

7.8

0.223

4.075

6 BL

6.7

2.34

3.009

10

5.6

4.075

0.891

15

7.5

1.671

1.671

21

7.2

1.003

2.563

6.5

1.783

1.416

13

7.8

8.711

6.091

IL6(1)

IL6(2)

SISA
0BAT

9
10
11
12
13

AAG0
AA
IAMS
KGD
WS

63
65
62
65
59

L
L
P
L
P

SMA
SD
SMA
SD
SD

14

DL

49

PT

74

156

15

RBY

63

PT

78

156

64

159

55

165

62

160

66

156

70

163

16
17
18
19
20

N0
1
2
3
4
5
6

IBMG
NSW
WM
IKM
PS

NAMA
NU
MS
NNA
PG
S
KS

67
59
73
58
51

L
L
L
L
L

USIA

JK

72

68
50
65
71
68

L
L
L
L
L

SMA
SMA
SMA
PT
SMA

KELOMPOK PERLAKUAN PLASEBO


TB
LAMA
HBA1C
PDKN BB
DM
7
SD
58 170
15
SMP
PT
PT
SMA
SD

37

0.78

0.78

6.4

0.557

1.56

64

1.56

0.78

10

7.6

3.332

3.438

7.3

1.894

16.238

23

6.7

1.894

1.449

5.6

1.783

1.114

63

SD

66

154

65

169

54

155

TDK

1.003

5.7

SWA

0.666

5.4

155

60

2.5

62
70

KR

166

PT

10

1.56

74

PT

1.783

6.7

160

70

13

97

71

176

MP

1.783

54

168

1.894

6.9

170

11

60

SMA

67

168

20

0.669

1.003

12

PK

60

SD

60

164

6.3

1.226

0.223

69

163

1.726

9.624

85

168

10

7.3

2.117

7.522

53

165

26

5.7

1.56

2.674

58

168

6 BL

5.7

0.669

8.96

59

151

6 BL

5.6

0.334

0.334

58

151

29

6.6

0.728

0.669

58

167

6.2

0.638

0.78

88

177

7 BL

6.6

1.63

1.114

13
14
15
16
17
18
19
20

FN
WJ
AM
KS
NK
IGMS
IAMW
GS

45
69
75
60
64
75
67
56

SMA

PT

PT

SMP

SMA

SMP

PT

SMA

KELOMPOK PERLAKUAN ASTAXANTHIN 8 MG


NO

NAMA

IL-6 (AWAL)

IL-6 (4 MINGGU)

NG

0.466

0.111

2.006

0.78

UL

3.969

3.757

GMS

0.557

1.226

MS

2.117

1.003

MW

1.671

2.006

WK

2.786

1.226

IBS

2.229

1.449

AAG0

2.117

2.121

10

AA

1.449

0.891

11

IAMS

8.518

3.332

12

KGD

0.669

1.114

13

WS

5.136

0.891

14

DL

0.223

4.075

15

RBY

2.34

3.009

16

IBMG

4.075

0.891

17

NSW

1.671

1.671

18

WM

1.003

2.563

19

IKM

1.783

1.416

20

PS

8.711

6.091

Denpasar, 12 April 2014


Mengetahui Ka.Bagian
Patologi Klinik

SMF

FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar

Dr.dr.AA Wiradewi Lestari, Sp.PK


NIP.197704022002122007

KELOMPOK PERLAKUAN PLASEBO


N0
1

NAMA
NU

IL-6 (AWAL)
1.894

IL-6 (4 MINGGU)
1.783

MS

1.783

1.56

NNA

0.666

1.003

PG

0.78

0.78

0.557

1.56

KS

1.56

0.78

3.332

3.438

SWA

1.894

16.238

MP

1.894

1.449

10

KR

1.783

1.114

11

0.669

1.003

12

PK

1.226

0.223

13

FN

1.726

9.624

14

WJ

2.117

7.522

15

AM

1.56

2.674

16

KS

0.669

8.96

17

NK

0.334

0.334

18

IGMS

0.728

0.669

19

IAMW

0.638

0.78

20

GS

1.63

1.114

Denpasar, 12 April 2014


Mengetahui Ka.Bagian

SMF

Patologi Klinik
FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar

Dr.dr.AA Wiradewi Lestari, Sp.PK


NIP.197704022002122007

Lampiran 9. Out Put SPSS

UMUR, LAMA DM, KADAR HBA1C

Case Processing Summary


Cases
Perlaku
an
umur pasien
lama DM
HbA1C

Valid
N

Missing

Percent

Total

Percent

Percent

20

100.0%

.0%

20

100.0%

20

100.0%

.0%

20

100.0%

20

100.0%

.0%

20

100.0%

20

100.0%

.0%

20

100.0%

20

100.0%

.0%

20

100.0%

20

100.0%

.0%

20

100.0%

Tests of Normality
Perlaku
an
umur pasien

Kolmogorov-Smirnova
Statistic
.153

df

Shapiro-Wilk

Sig.
20

.200*

Statistic
.925

df

Sig.
20

.121

lama DM
HbA1C

.142

20

.200*

.938

20

.219

.237

20

.005

.794

20

.001

.183

20

.078

.880

20

.018

.118

20

.200*

.934

20

.187

.176

20

.107

.936

20

.205

a. Lilliefors Significance Correction


*. This is a lower bound of the true significance.

Independent Samples Test


Levene's
Test for
Equality of
Variances

t-test for Equality of Means

95%
Confidence
Interval of the
Difference

F
umur Equal
pasien variances
assumed

.394

Equal
variances
not
assumed
HbA1C Equal
variances
assumed

.668

Sig.
.534

t
1.579

df

Sig.
(2Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference Lower Upper

38

.123

-4.150

2.628 -9.470

1.170

37.595
1.579

.123

-4.150

2.628 -9.472

1.172

.190

.310

.419 1.336

38

.232

-.160

.780

Equal
variances
not
assumed

1.336 36.777

.190

.310

.232

NPar Tests
Descriptive Statistics
N

Mean

Std. Deviation

Minimum

Maximum

lama DM

40

8.83

9.594

37

perlakuan

40

1.50

.506

Ranks
perlaku
an
lama DM

Mean Rank

Sum of Ranks

20

18.55

371.00

20

22.45

449.00

Total

40

Test Statisticsb
lama DM
Mann-Whitney U

161.000

-.160

.780

Wilcoxon W

371.000

-1.059

Asymp. Sig. (2-tailed)

.290

Exact Sig. [2*(1-tailed


Sig.)]

.301a

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: perlakuan

JENIS KELAMIN, PENDIDIKAN


Case Processing Summary
Cases
Valid
N

Missing

Percent

Total

Percent

Percent

jenis kelamin * perlakuan

40

100.0%

.0%

40

100.0%

pendidikan * perlakuan

40

100.0%

.0%

40

100.0%

JENIS KELAMIN
Crosstab
Perlakuan
A
jenis kelamin

perempuan
laki-laki

Total

Total

12

13

15

28

20

20

40

Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction

Likelihood Ratio

Asymp. Sig. (2sided)

Df

.476a

.490

.119

.730

.478

.489

Fisher's Exact Test

Exact Sig. (2sided)

.731

Linear-by-Linear
Association

.464

N of Valid Casesb

.496

40

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.00.

PENDIDIKAN
Crosstab
Perlakuan
A
pendidikan

Total

TDK SEK0LAH

SD

10

SMP

SMA

14

S1

D2

D3

20

20

40

Total

Chi-Square Tests
Value

Df

Asymp. Sig. (2sided)

Exact Sig. (1sided)

.366

Pearson Chi-Square

4.543a

.604

Likelihood Ratio

5.014

.542

Linear-by-Linear
Association

.195

.658

N of Valid Cases

40

a. 10 cells (71.4%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is .50.

INDEKS MASSA TUBUH (IMT)


Case Processing Summary
Cases
perlaku
an
imt

Valid
N

Missing

Percent

Total

Percent

Percent

20

100.0%

.0%

20

100.0%

20

100.0%

.0%

20

100.0%

Tests of Normality
perlaku
an
imt

Kolmogorov-Smirnova
Statistic

df

Shapiro-Wilk

Sig.

Statistic

df

Sig.

.135

20

.200*

.958

20

.510

.124

20

.200*

.968

20

.707

a. Lilliefors Significance Correction


*. This is a lower bound of the true significance.

Independent Samples Test

Levene's
Test for
Equality of
Variances

F
imt

Equal
variances
assumed

Sig.

t-test for Equality of Means

.008 .930 1.228

Equal
variances
not assumed

df

Sig.
Std. 95% Confidence
(2- Mean Error Interval of the
Difference
taile Differe Differe
d)
nce
nce
Lower Upper
38 .227 1.49026 1.21341 -.96615 3.94667

1.228 37.715 .227 1.49026 1.21341 -.96676 3.94728

KADAR IL-6

perlakuan
kadar IL-6
A
(1)
B
kadar IL-6
A
(2)
B
PerbedaanIL A
B

kadar IL-6
(1)
kadar IL-6
(2)

Case Processing Summary


Cases
Valid
Missing
N
Percent
N
Percent
20 100,0%
0 ,0%
20 100,0%
0 ,0%
20 100,0%
0 ,0%
20 100,0%
0 ,0%
20 100,0%
0 ,0%
20 100,0%
0 ,0%

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
perlakuan Statistic
df
Sig.
A
,256
20 ,001
B
,189
20 ,061
A
,194
20 ,048
B
,326
20 ,000

Total
N
Percent
20 100,0%
20 100,0%
20 100,0%
20 100,0%
20 100,0%
20 100,0%

Shapiro-Wilk
Statistic
df
Sig.
,798
20 ,001
,894
20 ,032
,869
20 ,011
,670
20 ,000

PerbedaanIL A
,150
20 ,200*
B
,363
20 ,000
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.

,946
,644

20 ,316
20 ,000

Descriptives
perlakuan
kadar IL-6
(1)

Mean
95% Confidence
Interval for Mean

Statistic
Lower Bound
Upper Bound

5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum

kadar IL-6

Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
95% Confidence
Interval for Mean

Std.
Error

2,67380 ,533755
1,55664
3,79096
2,47456
2,06150
5,698
2,387023
,223
8,711

5% Trimmed Mean
Median

8,488
2,559
1,660 ,512
2,354 ,992
1,37200 ,165182
1,02627
1,71773
1,32078
1,56000

Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean

,546
,738714
,334
3,332
2,998
1,197
,726
,512
,898
,992
1,98110 ,323313

Lower Bound
Upper Bound

(2)

PerbedaanIL A

95% Confidence
Interval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
95% Confidence
Interval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
95% Confidence
Interval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness

Lower Bound
Upper Bound

Lower Bound
Upper Bound

Lower Bound
Upper Bound

1,30440
2,65780
1,85667
1,43250
2,091
1,445901
,111
6,091
5,980
1,979
1,412
2,079
3,13040
1,17046
5,09034
2,56372
1,28150
17,537
4,187777
,223
16,238
16,015
2,467
2,116
4,254
-,6927
-1,6360
,2506

,512
,992
,936415

,512
,992
,45069

-,6956
-,3510
4,062
2,01555
-5,19
3,85
9,04
1,89
-,323 ,512

Kurtosis
Mean
95% Confidence
Interval for Mean

Lower Bound
Upper Bound

1,199 ,992
1,7584 ,90225
-,1300
3,6468
1,2126
,0530
16,281
4,03497
-1,00

5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis

14,34
15,35
1,48
2,165 ,512
4,302 ,992

Mann-Whitney Test

Ranks
perlakuan
kadar IL-6
A
(1)
B
Total
kadar IL-6
A
(2)
B
Total
PerbedaanIL A
B
Total

Mann-Whitney U
Wilcoxon W

N
20
20
40
20
20
40
20
20
40

Mean
Rank
24,23
16,77

Sum of
Ranks
484,50
335,50

21,10
19,90

422,00
398,00

16,83

336,50

24,18

483,50

Test Statisticsb
kadar IL-6
kadar IL-6
(1)
(2)
PerbedaanIL
125,500
188,000
126,500
335,500
398,000
336,500

Z
-2,017
Asymp. Sig. (2-tailed) ,044
,745
a
Exact Sig. [2*(1-tailed ,043
,758a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: perlakuan

-,325

-1,989
,047
,046a

Anda mungkin juga menyukai