PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
(7,6
Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
Lembar Pengesahan
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Mengetahui,
Direktur,
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Ketua
Sekretaris
Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas
Kedokteran Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp OT(K), M.Kes yang telah memberikan
kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister
Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Universitas Udayana.
2.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. AA Raka Sudewi, SpS(K)
atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sebagai mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
3.
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree, Prof. Dr. dr. Wimpie, I. Pangkahila,
SpAnd., FAACS yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program
Studi Ilmu Biomedik combined degree.
4.
Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan
fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Bagian
Ilmu Kesehatan Mata.
5.
Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. Putu
Budhiastra, SpM (K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan
spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.
6.
Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr.
AAA Sukartini Djelantik, SpM (K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti program
pendidikan spesialisasi, memberi petunjuk, serta bimbingan selama menjalani pendidikan
spesialisasi.
7.
dr. Putu Budhiastra, SpM (K) sebagai pembimbing I yang telah meluangkan waktu,
memberikan petunjuk dan pengarahan, sejak awal penulisan sampai dapat menyelesaikan
tesis ini.
8.
Prof. DR. Dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH selaku pembimbing II yang selalu
memberikan bimbingan dan pengarahan hingga terselesaikannya tesis ini.
9.
Prof. dr. N. K. Niti Susila, SpM (K), Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH,Ph.D, dan dr. I
Made Agus Kusumadjaja, SpM (K) selaku penguji atas semua masukan, koreksi dan saran
dalam penyelesaian tesis ini.
10. Prof. Dr. dr. AA Budhiartha, SpPD-KEMD dan paramedis Poliklinik Ilmu Penyakit Dalam
Divisi Endokrin Metabolik RSUP Sanglah atas izin dan bantuan kerjasamanya dalam
pengumpulan sampel penelitian.
11. Prof. DR. Ir. I.B Putra Manuaba, M.Phil dan dr. I Made Muliarta, S.Ked, M.Kes atas
masukannya mengenai penulisan dan statistik penelitian.
12. Dr. dr. Anak Agung Wiradewi Lestari, S.Ked, Sp.PK dan dr. I Nyoman Wande, Sp.PK serta
seluruh petugas laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah atas izin dan kerjasamanya
dalam pengambilan sampel penelitian.
13. dr. A.A Mas Putrawati Triningrat, SpM atas ide penelitian, bimbingan dan pengarahan
selama penelitian sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
14. Seluruh Konsulen Ilmu Kesehatan Mata serta dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu
Biomedik Combined Degree atas segala bimbingannya.
15. Seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama ini
16. Seluruh paramedik di Poliklinik Mata RSUP Sanglah atas bantuan dan kerjasamanya dalam
pengumpulan sampel penelitian.
17. Para Pasien. Pendidikan spesialis yang saya jalani tidak akan berhasil tanpa bantuan para
pasien. Terima kasih telah menyediakan tenaga serta waktunya untuk ikut berpartisipasi
dalam penelitian ini.
18. Semua pihak yang telah terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
pendidikan spesialis yang saya jalani. Terima kasih untuk semua bantuan yang telah
diberikan.
Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda dan Ibunda kami Drs. Ida Bagus Aryadi dan
(alm) Ida Ayu Warsiti, yang telah memberikan bekal pendidikan yang cukup, motivasi dan
semangat kepada penulis. Ayahanda dan Ibunda Mertua Ida Bagus Tantra dan I Gusti Ayu Alit
Suryathi, terimakasih atas dorongan dan motivasinya selama ini. Akhirnya kepada suami tercinta
Ida Bagus Hariyana, BSBA dan ketiga buah hati tersayang Ida Bagus Erik Tahayana, Ida bagus
Arik Tahayana, Ida Bagus Triputran Tahayana, terimakasih atas doa, dorongan semangat dan
pengertian selama penulis menyelesaikan pendidikan dan penelitian ini.
Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi perkembangan
pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan IImu Kesehatan Mata. Perkenankanlah penulis
memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekhilafan dan prilaku yang kurang berkenan selama
mengikuti pendidikan dan penelitian ini di Bagian Ilmu kesehatan Mata FK Unud RSUP Sanglah
Denpasar. Akhir kata, semoga Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa, selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Penulis
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
Halaman
ii
LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................
iii
iv
vi
ABSTRAK ..................................................................................................
ABSTRACT .................................................................................................
xi
DAFTAR ISI
xii
Xvi
DAFTAR GAMBAR...
Xvii
Xviii
Xx
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
2.2.2 Patogenesis..
10
11
14
2.3.1 Definisi........................
14
14
2.3.3 Diagnosis.............
16
2.3.4 Penatalaksanaan..
16
2.4 Interleukin-6
17
2.4.1 Definisi
17
17
20
20
20
21
2.6 Antioksidan..
23
2.6.1 Definisi.
23
23
2.7 Astaxanthin..
24
2.7.1 Definisi..
24
25
26
27
30
31
31
32
33
33
33
33
33
34
35
35
35
36
39
40
40
4.6.1.1 Pengacakan....................................................................
40
4.6.1.2 Blinding.........................................................................
40
40
44
45
47
48
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Subjek Penelitian..............................
51
57
64
7.2 Saran................................................
64
65
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..........................................................................
73
DAFTAR TABEL
Halaman
5.1
5.2
49
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1
2.2
15
2.3
16
2.4
19
2.5
23
2.6
25
3.1
31
4.1
32
4.2
36
4.3
44
5.1
46
ADA
AGE
Cat
= Katalase
DCCT
DM
= Diabetes Mellitus
DME
DNA
DR
= Diabetic Retinopathy
GPx
= Glutation Peroxidase
H2O2
= Hidrogen Peroksida
HBA1C
= Haemoglobin Adult 1c
HRP
IDF
ILM
IL-6
= Interleukin 6
IL-1
= Interleukin 1
IMT
JNC
NF-k
NPDR
O0 dan O1
O2 dan O3
O2-
= Superoksida
-
OH
= Hidroksil
PDR
= Populasi
P1
RA
= Random Alokasi
RAGE
Riskesdas
ROS
RPE
RS
= Random Sampling
= Sampel
SIL-6R
SOD
SPSS
TMB
TNF-
UKPDS
VEGF
WESDR
WHO
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
73
Lampiran 2
74
Lampiran 3
Penjelasan Penelitian...........................
75
LLampiran 4
78
Lampiran 5
79
LLampiran 6
81
82
LLampiran 8
83
LLampiran 9
84
Lampiran 7
BAB I
PENDAHULUAN
15,7%. Hasil studi epidemiologi di Bali oleh Divisi Endokrin Metabolik FK Unud tahun 20052010 diperoleh prevalensi DM 5,9% (Dwipayana, 2013). Diperkirakan angka ini akan menjadi
lebih tinggi, karena terjadi peningkatan pola hidup yang beresiko untuk menderita DM (Iskandar
dan Kartasasmita, 2013).
Diabetic Retinopathy (DR) merupakan komplikasi mikrovaskular di retina yang paling
banyak ditemukan akibat penyakit DM (Frank, 2004). Berdasarkan stadiumnya, DR
diklasifikasikan menjadi stadium Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) dan
Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR). Stadium NPDR diklasifikasikan menjadi stadium
ringan, sedang dan berat (Chibber dkk, 2007; American Academy of Ophthalmology and Staff,
2011-2012a).
Mekanisme terjadinya DR belum dapat dijelaskan secara pasti. Beberapa teori
menyebutkan, terpaparnya hiperglikemia dalam waktu lama dapat menginduksi perubahan faktor
biochemical, hemodynamic, dan endocrine yang memicu terjadinya reaksi inflamasi dan stres
oksidatif, menyebabkan gangguan pembuluh darah kapiler retina
proliferasi sel endotel dan penebalan membran basement yang mengakibatkan oklusi dan leakage
dari pembuluh darah retina (Chibber dkk, 2007; Gupta dkk, 2007). Phenomena imun dan reaksi
inflamasi kronis diduga berpengaruh terhadap patogenesis dan progresivitas DR (Doganay dkk,
2002).
Beberapa studi saat ini difokuskan pada peranan sitokin Interleukin-6
(IL-6) dalam
perkembangan DR. Hal ini diasumsikan bahwa hiperglikemia bisa menyebabkan aktivasi IL-6
yang berperan dalam perkembangan dan progresivitas DR (Kojima dkk, 2001). Hiperglikemia
menyebabkan peningkatan sintesis macrophages Receptor for Advanced Glication End Product
(RAGE) dan melalui induksi faktor transkripsional proinflamasi yaitu Nuclear Factor kappa-
(NF-k) terjadi peningkatan petanda sitokin proinflamasi seperti IL-6 (Swenarchuk dkk,
2008). Sitokin ini dapat memediasi sintesis protein fase akut yang dapat menginisiasi dan
mendukung proses inflamasi pada dinding pembuluh darah (Hu dkk, 2004). Interleukin-6 (IL-6)
merupakan salah satu sitokin proinflamasi yang digunakan sebagai inflammatory marker untuk
menilai progresivitas DR (Doganay dkk, 2002; Lee dkk, 2008).
Hiperglikemia dapat memicu suatu stres oksidatif yaitu tidak seimbangnya antara radikal
bebas dengan antioksidan di dalam tubuh. Terdapat beberapa jalur yang menghubungkan stress
oksidatif dengan keadaan hiperglikemia sehingga mengakibatkan DR (Kowluru dan Chan,
2007). Hiperglikemia tidak hanya membentuk
melemahkan mekanisme antioksidan endogen melalui glikasi dari enzim-enzim pengurai dan
pengurangan antioksidan molekul rendah, contohnya glutation. Kekacauan pengaturan reseptor
selama stress oksidatif mengaktivasi mikroglia
mendapatkan bentuk yang teraktivasi (Liou, 2010). Proses-proses ini mempercepat kematian sel
retina dan meningkatkan permeabilitas vaskuler serta sumbatan yang akan mengakibatkan DR
(Banday dkk, 2010). Pemberian terapi antioksidan dapat menjadi salah satu pilihan pada
pencegahan penyakit mikrovaskular dan makrovaskular pada penderita DM (Pennathur dan
Heinecke, 2004). Antioksidan dianggap mempunyai efek yang potensial karena bekerja pada dua
level yang berbeda yaitu dengan menghambat terbentuknya ROS dan meningkatkan pertahanan
antioksidan melalui peran beberapa enzym (Kowluru dan Chan, 2007).
Penderita NPDR ringan sampai saat ini belum banyak diberikan intervensi pengobatan.
Penderita NPDR ringan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan rutin setiap 9 bulan untuk
menilai progresifitasnya dan kontrol gula darah yang teratur (American Academy of
Ophthalmology and Staff, 2011-2012a). Beberapa peneliti melakukan penelitian pada hewan
coba mengenai pemberian antioksidan dan penelitian lainnya dilakukan pada beberapa relawan
mengenai efektifitas antioksidan dalam mencegah progresifitas DR. Belum ada suatu ketentuan
yang menganjurkan apakah antioksidan tertentu harus diberikan dengan dosis pasti sehingga
penanganan penderita NPDR stadium ringan dapat maksimal yang akhirnya mencegah
progresifitasnya ke stadium sedang dan berat (Kowluru dkk, 2008).
Astaxanthin (3,3-dihydroxy-,-carotene-4,4-dione) adalah antioksidan yang popular
saat ini. Astaxanthin merupakan pigmen karotenoid utama dan dapat ditemukan pada hewan
yang hidup di air seperti salmon, udang dan lobster (Guerin dkk, 2003). Selain itu astaxanthin
juga dapat ditemukan pada mikroalga seperti Haematococcus Pluvialis. Astaxanthin memiliki
aktivitas antioksidan 10 kali lipat lebih tinggi dari beta karoten dan 1000 kali lipat lebih efektif
dari vitamin E (Suseela dan Toppo, 2006; Santocono dkk, 2007). Astaxanthin tidak pernah
menjadi prooksidan yang dapat menyebabkan oksidasi di dalam tubuh (Denise dan Thomas,
2002). Astaxanthin juga memiliki efek anti inflamasi dan anti oksidatif dengan menghambat
produksi ROS dan sitokin serta melalui inhibisi fosporilasi faktor transkripsional proinflamasi
yaitu NF-k yang mengakibatkan produksi IL-6 menurun (Kim, 2010; Swanson, 2012).
Diabetic Retinopathy (DR) merupakan suatu low-grade chronic inflammatory
condition (Khalfaoui dkk, 2008). Jumlah penduduk yang mempunyai faktor risiko untuk
menderita gangguan penglihatan dan kebutaan karena DM diperkirakan akan meningkat dua kali
lipat 30 tahun yang akan datang. Penting sekali untuk mengembangkan cara untuk
mengidentifikasi, pencegahan, dan pengobatan retinopati pada stadium awal daripada menunggu
sampai munculnya gangguan pada penglihatan. Astaxanthin sebagai antioksidan dan
antiinflamasi dapat sebagai pilihan terapi NPDR, tetapi belum ada suatu ketentuan mengenai
pemberiannya dan dosisnya. Dari latar belakang tersebut diatas dapat di buat rumusan masalah
sebagai berikut.
1.3
Manfaat Penelitian
3. Penanganan penderita NPDR ringan lebih optimal, tidak hanya evaluasi rutin setiap 9
bulan saja.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
sentralis yang memperdarahi bagian dalam retina. Saat menembus lamina kribrosa ketebalan
dinding pembuluh darah akan berkurang separuhnya, sehingga secara struktural pembuluh darah
intraokular ini adalah pembuluh darah arteriola. Arteriola dan venula besar terdapat di lapisan
serabut saraf dan lapisan sel ganglion. Perjalanan venula selalu menyertai arteriola dan beberapa
kali akan saling bersilangan. Pembuluh darah retina merupakan end-vessel yang tidak
beranastomosis, mempunyai sel endotel dengan tight junction sehingga membentuk inner-bloodretinal barier yang sifatnya impermeable (American Academy of Ophthalmology and Staff,
2011-2012a).
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Retina Pigment Epitelium
Retina Pigment Epitelium (RPE) merupakan lapisan sel berbentuk kuboid bila dilihat
pada potongan melintang yang terletak antara membran bruch dan retina. Sel kuboid tersebut
lebih padat dan lebih tinggi pada daerah makula daripada di perifer. Di fovea kepadatan sel RPE
mencapai 5000 sel/mm2dengan ukuran kecil (10-14 mikron) sedangkan di daerah retina perifer
berkisar 2000 sel/mm2 dengan ukuran yang lebih besar (60 mikron) dan lebih datar (Marmor,
2003). Sel RPE memiliki konfigurasi apeks dan basal. Pada sisi apeks berhadapan langsung
dengan sel fotoreseptor dan sisi basal berhubungan dengan membran bruch yang mengandung
nukleus dan mitokondria. Setiap sel RPE berhubungan di bagian lateral melalui ikatan erat dan
tersusun rapat dengan adanya intercellular junctional complexes disebut zonula occludentes dan
zonula adherens yang berperan sebagai outer blood retinal barrier (Sharma dan Ehinger, 2003;
American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012b).
Sel RPE memiliki beberapa fungsi antara lain membantu proses fagositosis segmen luar
fotoreseptor, metabolisme dan penyimpanan vitamin A, serta fungsi barrier dan transport untuk
asam laktat, glukosa, asam amino dan asam askorbat (American Academy of Ophthalmology and
Staff, 2011-2012b). Sel RPE juga memproduksi Interleukin-6 (IL-6) sebagai respon terhadap
suatu reaksi inflamasi sehingga sel ini dianggap mempunyai peran penting dalam terjadinya
reaksi inflamasi di retina pada DR (Kauffmann dkk, 1994).
2.2
Diabetic Retinopathy
dikatakan suatu low-grade chronic inflammatory condition (Doganay dkk, 2002; Khalfaoui
dkk, 2008).
Jumlah penderita DM diseluruh dunia saat ini lebih dari 170 juta dan diperkirakan akan
mencapai 366 juta penderita pada tahun 2030 (Kowluru dan Chan, 2007). Di Amerika Serikat
terdapat 16 juta penderita DM dan setiap tahunnya ditemukan 8000 kasus kebutaan baru yang
disebabkan oleh DR (Bhavsar, 2009). Indonesia oleh International Diabetes Federation (IDF)
menempati urutan ke sembilan di dunia dengan jumlah penderita DM 7,0 juta dan akan
meningkat menjadi urutan ke enam pada tahun 2030 dengan penderita DM sebanyak 120 juta
jiwa. World Health Organization (WHO) melaporkan pada tahun 2000 terdapat 8,4 juta
penderita DM di Indonesia dan diperkirakan tahun 2030 meningkat menjadi 21,3 juta jiwa.
Hasil survey Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 diperoleh prevalensi DM di daerah
urban Indonesia untuk usia diatas 15 tahun berkisar 15,7%. Hasil studi epidemiologi di Bali oleh
Divisi Endokrin Metabolik
(Dwipayana, 2013). Peningkatan angka kejadian DM terpicu dengan meningkatnya faktor risiko
seperti kurangnya aktifitas fisik, kurang mengkonsumsi makanan berserat tinggi, merokok,
kelebihan kolesterol, kegemukan atau obesitas. Diperkirakan angka ini akan lebih tinggi, karena
terjadi peningkatan pola hidup yang berisiko untuk menderita DM (Iskandar dan Kartasasmita,
2013).
2.2.2 Patogenesis
Patogenesis terjadinya DR belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa teori menyebutkan,
terpaparnya hiperglikemia dalam waktu lama dapat menginduksi perubahan faktor biochemical,
hemodynamic, dan endocrine
menyebabkan gangguan pembuluh darah kapiler retina berupa hilangnya perisit, proliferasi sel
endotel dan penebalan membran basement yang mengakibatkan oklusi dan leakage dari
pembuluh darah retina (Chibber dkk, 2007; Gupta dkk, 2007). Phenomena imun dan reaksi
inflamasi kronis diduga berpengaruh terhadap patogenesis dan progresivitas DR (Doganay dkk,
2002; Meleth dkk, 2005).
2.2.3 Klasifikasi dan Faktor Risiko
Diabetic Retinopathy (DR) diklasifikasikan menjadi stadium awal atau Non Proliferative
Diabetic Retinopathy (NPDR) dan stadium lanjut atau Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR).
NPDR diklasifikasikan menjadi stadium ringan, sedang dan berat, sedangkan PDR
diklasifikasikan menjadi stadium awal, risiko tinggi dan lanjut (Chibber dkk, 2007; American
Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
Pemeriksaan fundus pada pasien NPDR ditemukan gambaran microaneurysms,
perdarahan intraretina berupa dot dan blot, hard exudates,vena beading, infark pada nerve fiber
layer dan area nonperfusi. Pada pasien PDR ditemui adanya suatu proliferasi jaringan
fibrovaskuler yang melewati lapisan internal limiting membrane (ILM) pada retina (Banday dkk,
2010; American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
Beberapa faktor yang berpengaruh dalam kejadian DR adalah lamanya seseorang
menderita DM, kontrol kadar gula darah, hipertensi, dan obesitas. Satu penelitian melaporkan
bahwa kadar gula dan tekanan darah yang terkontrol menurunkan risiko terjadinya DR (Varma
dkk, 2007).
Lamanya menderita DM berhubungan dengan peningkatan prevalensi DR. Pada pasien
DM tipe I 25-50% menunjukkan tanda DR dalam 10 tahun, meningkat menjadi 75-95% dalam
15 tahun dan hampir 100% dalam jangka waktu 30 tahun. Pasien DM tipe II 23% menunjukkan
tanda NPDR setelah 11-13 tahun, 41% setelah 14-16 tahun, dan 60% setelah 16 tahun di
diagnosa DM (Bhavsar, 2009). Sedangkan menurut Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic
Retinopathy (WESDR) 99% pasien DM tipe I dan 60% pasien DM tipe II akan mengalami DR
dalam jangka waktu 20 tahun (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
Kadar gula darah yang tidak terkontrol menyebabkan seseorang lebih cepat mengalami DR
(American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a). Suatu studi oleh Diabetes
Control and Complication Trial (DCCT) dan United Kingdom Prospective Diabetes Study
(UKPDS) menunjukkan bahwa kadar gula darah yang terkontrol akan menurunkan risiko dan
progresifitas DR (Pennathur dan Heinecke, 2004; Bhavsar, 2009). DCCT juga menyatakan
pengendalian gula darah secara intensif akan mengurangi progresifitas DR ke arah severe NPDR,
PDR dan insiden edema makula (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
Pemeriksaan laboratorium yang penting pada pasien DM dan merupakan indikator yang
digunakan dalam pengontrolan kadar gula darah adalah Haemoglobin Adult 1c (HbA1c) (Leslie
dan Cohen, 2009). HbA1c atau A1c adalah HbA1 yang terikat secara spesifik dengan glukosa
pada N-terminal valin dari rantai beta membentuk pre-HbA1c yang tidak stabil (basa schiff) dan
selanjutnya melalui penyusunan kembali dengan reaksi Amadori membentuk HbA1c
(ketoamin) yang stabil. Pada tes HbA1c dapat diperoleh informasi rata-rata kadar glukosa darah
selama 40-60 hari terakhir, sesuai dengan waktu paruh eritrosit dan untuk mengetahui kualitas
pengendalian glukosa darah pada pasien DM dalam kurun waktu tersebut, sehingga tes HbA1C
digunakan sebagai monitoring penatalaksanaan DM, namun kadar HbA1C tidak memiliki
korelasi dengan derajat keparahan DR seseorang (Hardjoeno, 2003; Dwipayana dkk, 2010).
Penelitian retrospektif oleh Maa dan Sullivan (2007) terhadap 607 pasien menunjukkan bahwa
kadar HbA1C seseorang tidak mencerminkan keadaan DR pasien tersebut namun reduksi 1 unit
(8%-7%) HbA1C akan menurunkan risiko DR 30% (Kowluru dan Chan, 2007). Penelitian oleh
American Diabetes Association (ADA) kadar HbA1C kurang dari 7% diduga dapat mengurangi
terjadinya progesifitas DR (Bhavsar, 2009).
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang berperan dalam kejadian DR.
Hipertensi menyebabkan terjadinya dilatasi pada arteri besar 15% dan arteri kecil seperti retina
45% (Suzuma dkk, 2001). Hipertensi yang kronis pada penderita DM menyebabkan gangguan
sirkulasi mikrovaskular sehingga terjadi gangguan perfusi nutrisi dan oksigen dijaringan
termasuk retina yang mengakibatkan DR (Levy dkk, 2008). Beberapa kepustakaan lainnya
2.3
2.3.1 Definisi
Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) ringan adalah suatu keadaan awal yang
terjadi diretina berupa microaneurysms karena adanya dilatasi pembuluh darah retina pada
penderita DM (Bhavsar, 2009; American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
2.3.2 Patogenesis
Patogenesis terjadinya NPDR ringan diduga karena pada keadaan hiperglikemia yang
lama menginduksi perubahan faktor biochemical yaitu meningkatnya glikasi non-enzymatic,
Diagnosis NPDR stadium ringan ditegakkan selain dari anamnesa ditemukan adanya
riwayat DM, pada pemeriksaan slit-lamp biomicroscopy dengan lensa condensing 78 atau
dengan fundus fotograph ditemukan adanya microaneurysms satu kuadran pada daerah inner
nuclear layer berupa gambaran titik kemerahan (dot) dengan batas tegas, ukuran kurang dari
1/12 dari diameter optic disc, diameternya bervariasi 12-100 mikron, dan lokasi tersering pada
posterior pole, area temporal dari fovea (Chibber dkk, 2007; Gupta dkk, 2007). Microaneurysms
ini merupakan tanda klinis awal adanya suatu lesi retina pada penderita DM (American Academy
of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
2.3.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan NPDR ringan saat ini belum banyak diberikan intervensi pengobatan.
Penderita NPDR ringan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan rutin setiap 9 bulan untuk
menilai progresifitasnya dan yang terpenting pasien dengan NPDR ringan dikonsulkan ke
endocrinologist untuk menilai kontrol terhadap gula darah (Gupta dkk, 2007).
2.4
Interleukin-6
2.4.1 Definisi
Interleukin-6 (IL-6) adalah salah satu sitokin proinflamasi yang dihubungkan dengan
resistensi insulin pada DM tipe II dan merupakan sitokin multifungsi karena mempunyai fungsi
penting dalam respon imun, reaksi fase akut dan hematopoesis (Pradhan dkk, 2001; Funatsu dkk,
2003; Baiomy dkk, 2004). Sitokin merupakan protein-protein kecil yang disekresikan oleh selsel tertentu dari sistem kekebalan tubuh yang membawa sinyal antara sel-sel lokal, dan memiliki
efek pada sel-sel lain. Sitokin bekerja dengan mengikat reseptor-reseptor membran spesifik, yang
kemudian membawa sinyal ke sel melalui second messenger (tirosin kinase), untuk mengubah
aktivitasnya (ekspresi gen). Beberapa sifat umum pada sitokin seperti sekresinya singkat dan
membatasi diri, selain itu aktivitas sitokin dapat lokal maupun sistemik, sitokin dapat bereaksi
dengan tempatnya diproduksi baik dalam sel yang memproduksinya (autocrine action) maupun
pada sel yang letaknya berdekatan (paracrine action). Bila diproduksi dalam jumlah banyak
sitokin dapat masuk ke sirkulasi dan bekerja secara sistemik. Sitokin mempunyai nama yang lain
diantaranya limfokin (sitokin yang dihasilkan limfosit), monokin (sitokin yang dihasilkan
monosit), kemokin (sitokin dengan aktivitas kemotaktik) dan interleukin (sitokin yang dihasilkan
oleh satu leukosit dan beraksi pada leukosit lainnya (Abbas dan Lichtman, 2005).
2.4.2 Hubungan Interleukin-6 dengan DR
Interleukin-6 (IL-6) dikenal sebagai hepatocyte stimulating factor dan plasmocytoma
growth factor (Abbas dan Lichtman, 2005).
berpengaruh pada banyak jenis sel sasaran (Pradhan dkk, 2001). Adanya peningkatan produksi
IL-6 dihubungkan dengan penyakit autouimun, inflamasi kronis dan keganasan (Kauffmann dkk,
1994). IL-6 dapat disintesa oleh bermacam sel seperti makrofag, fibroblast, sel epidermal. Pada
organ mata IL-6 dapat ditemukan di sel RPE, sel epitel kornea, iris dan badan siliar serta dapat
disintesa di sel endotel pada kapiler retina (Baiomy dkk, 2004). Teraktivasinya IL-6 secara
skematis dapat dilihat pada gambar 2.4. An Advanced Glication End Product (AGE) pathway
merupakan salah satu jalur yang aktif pada hiperglikemia dan mempunyai efek sebagai
proinflamasi dan prooksidan (Negrean dkk, 2007). AGE dapat berinteraksi dengan reseptor
spesifik yaitu Receptor for Advanced Glication End Product (RAGE) dengan cara meningkatkan
sintesisnya, selanjutnya RAGE menginduksi faktor transkripsional proinflamasi yaitu Nuclear
Factor kappa- (NF-k) untuk memproduksi sitokin proinflamasi seperti IL-6, Tumor
Necrosing Factor- (TNF-) dan Interleukin 1- (IL-1) (Swenarchuk dkk, 2008). Sitokin ini
dapat memediasi sintesis protein fase akut yang dapat menginisiasi dan mendukung proses
inflamasi pada dinding pembuluh darah (Hu dkk, 2004). Loukovaara dkk (2004) dan Pradhan
dkk (2001) menyatakan hiperglikemia dapat memicu inflamasi melalui peningkatan stress
oksidatif dan induksi faktor transkripsional proinflamasi yaitu NF-k. Shimizu dkk (2002)
melaporkan IL-6 merupakan salah satu sitokin pro inflamasi yang meningkat jumlahnya pada
DR dan dapat dipakai sebagai indikator dalam menentukan stadium DR serta memprediksi
Diabetic Macular Edema (DME). Kadar IL-6 plasma normal adalah 1,01-1,96 pg/mL namun
pada penderita NPDR berkisar antara 1,20-4,92 pg/mL dan pada penderita PDR adalah 2,6619,72 pg/mL (Mostafa dkk, 2005). Doganay dkk (2002) menduga adanya peningkatan AGE pada
progresivitas DR menyebabkan terjadinya peningkatan produksi IL-6 oleh sel muller retina.
Interleukin-6 (IL-6) juga diproduksi oleh sel RPE dan Soluble IL-6 Receptors (SIL-6R) yang
menyebabkan proliferasi pada sel RPE (Baiomy dkk, 2004). Beberapa peneliti menyatakan
adanya hubungan antara inflammatory marker dan adesi sel molekul dengan stadium DR,
sehingga IL-6 merupakan salah satu sitokin proinflamasi yang dipakai sebagai inflammatory
marker untuk menilai progresivitas DR (Hartnett dkk, 2000; Doganay dkk, 2002; Lee dkk,
2008).
2.5
Stres Oksidatif
2.5.1 Definisi
Stres oksidatif adalah suatu keadaan di dalam tubuh berupa meningkatnya jumlah radikal
bebas melebihi kapasitas kemampuan netralisasi antioksidan sehingga mengakibatkan ketidak
seimbangan jumlah radikal bebas dengan antioksidan di dalam tubuh (Atalay dan Laaksonen,
2002). Pada kondisi fisiologis, antioksidan sebagai sistem pertahanan dalam tubuh dapat
melindungi sel dan jaringan melawan radikal bebas yang terbentuk. Tubuh membentuk radikal
bebas secara terus menerus baik melalui proses metabolisme sel normal, maupun respon
terhadap pengaruh dari luar tubuh dan meningkatnya usia seseorang juga menyebabkan
peningkatan pembentukan radikal bebas di dalam tubuh (William, 2006; Winarsi, 2007).
oksidatif pada retinopati dapat dilihat pada gambar 2.4. Hiperglikemia tidak hanya membentuk
ROS tetapi juga melemahkan mekanisme antioksidan endogen melalui glikasi dari enzim-enzim
pengurai dan pengurangan antioksidan molekul rendah, contohnya glutation. Pergeseran pada
keseimbangan redoks akibat penguraian metabolisme energi dari karbohidrat dan lemak juga
berkontribusi terhadap terjadinya stress oksidatif pada individu dengan diabetes (Kowluru dan
Chan, 2007; Banday dkk, 2010). Kekacauan pengaturan reseptor selama stress oksidatif
mengaktivasi mikroglia memproduksi sitokin proinflamasi untuk mendapatkan bentuk yang
teraktivasi (Liou, 2010).Terdapat suatu hipotesis yang menyatakan bahwa peristiwa awal yang
menyebabkan terjadinya stress oksidatif pada hiperglikemia adalah meningkatnya pembentukan
ROS, yang terjadi pada tingkat mitokondria, sebagai konsekuensi meningkatnya metabolisme
glukosa intraseluler (Pennathur dan Heinecke, 2004).
Pada kondisi normal terdapat keseimbangan untuk pertahanan dan stimuli anti inflamasi
pada fungsi retina sedangkan pada kondisi hiperglikemia sistem pertahanan antioksidan
intraselular menurun, enzim-enzim yang bertanggung jawab dalam metabolisme sel berkurang
sedangkan sitokin proinflamasi, kemokin dan respon selular meningkat. Proses-proses tersebut
menyebabkan kerusakan pada tingkat makromolekul seperti DNA, lipid, protein dan karbohidrat,
terjadi gangguan pada homeostasis selular dan generasi dari ROS. Hal ini akan mempercepat
proses kematian sel retina, meningkatkan permeabilitas vaskuler serta sumbatan yang akan
mengakibatkan DR (Banday dkk, 2010). Pemberian terapi antioksidan dapat menjadi salah satu
pilihan pada pencegahan penyakit mikrovaskular dan makrovaskular pada penderita DM
(Pennathur dan Heinecke, 2004). Antioksidan dianggap mempunyai efek yang potensial karena
bekerja pada dua level yang berbeda yaitu dengan menghambat terbentuknya ROS dan
meningkatkan pertahanan antioksidan melalui peran beberapa enzym (Kowluru dan Chan, 2007).
2.6
Antioksidan
2.6.1 Definisi
Antioksidan adalah zat yang dapat menghambat atau memperlambat proses oksidasi.
Dalam pengertian kimia, antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron, tetapi dalam
arti biologis antioksidan adalah semua senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan
dengan cara mencegah terbentuknya oksidan yang berlebihan (Pangkahila, 2007). Keefektifan
antioksidan tergantung dari seberapa kuat daya oksidasinya dibanding dengan molekul yang lain.
Semakin mudah teroksidasi maka semakin efektif anti oksidan tersebut (Halliwell dan
Gutteridge, 2007).
2.6.2
internal disebut juga antioksidan primer, yaitu antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri.
Secara alami tubuh mampu menghasilkan antioksidan sendiri namun dengan bertambahnya usia,
kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan alami akan semakin berkurang. Antioksidan
internal bekerja dengan cara menangkal terbentuknya radikal bebas yaitu sebagai pemberi atom
hydrogen seperti Super Oxide Dismutase (SOD), Glutation Peroxidase (GPx), Katalase (Cat).
Antioksidan eksternal disebut juga antioksidan sekunder, yaitu antioksidan yang berasal dari
makanan atau didapat dari luar tubuh. Tidak dihasilkan oleh tubuh tetapi berasal dari makanan
seperti vitamin A, vitamin C, vitamin E, selenium, flavonoid dan lain-lain. Antioksidan eksternal
bekerja dengan cara meredam atau menetralisir antioksidan yang sudah terbentuk melalui
pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipid ke bentuk yang lebih stabil
(Setiati, 2003; Winarsi, 2007).
2.7
Astaxanthin
2.7.1 Definisi
Astaxanthin
(3,3-dihydroxy-,-carotene-4,4-dione)
merupakan
suatu
pigmen
karotenoid alami yang memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan kuat dan dapat ditemukan
secara luas di alam seperti pada hewan-hewan air yaitu salmon, udang dan lobster sehingga
memberikan warna merah muda pada hewan tersebut karena terakumulasi astaxanthin (sterlie
dkk,2000; Guerin dkk, 2003; Hussein dkk, 2006). Astaxanthin juga ditemukan pada mikroalga
yang hidup di perairan seluruh dunia, seperti Haematococcus Pluvialis yang merupakan satu
satunya alga hijau dengan kandungan astaxanthin 1000-3000 kali lipat astaxanthin yang
diakumulasi pada daging ikan salmon (Suseela dan Toppo, 2006).
2.7.2 Komposisi Kimia, Absorpsi, Metabolisme, Dosis dan Efek samping
Astaxanthin terbentuk dari rantai 40-karbon poliene, yang menjadi tulang punggung
molekulnya. Rantai ini diakhiri dengan kelompok siklik (cincin) yang dilengkapi dengan
kelompok oksigen fungsional. Struktur karotenoid berbeda potensinya berdasarkan pigmen yang
dimiliki dan gugus hidroksi yang dimiliki pada bagian terminalnya membuat astaxanthin sangat
berbeda dibandingkan karotenoid lainnya (Higuera-Ciapara dkk, 2006).
Karotenoid diabsorpsi secara pasif pada sel mukosa usus yang disertai dengan
pembentukan asam empedu pada lumen usus kecil dan setelah memasuki peradaran darah,
karotenoid terdapat di berbagai jaringan tubuh seperti hati, lemak, pankreas, ginjal, paru adrenal,
lien, jantung, tiroid, testis, ovarium, dan mata. Penyimpanan karotenoid terbesar terdapat di hati
dan jaringan lemak (sterlie dkk, 2000; Odeberg dkk, 2003).
Seperti golongan karotenoid lainnya, astaxanthin memiliki sifat lipofilik dengan
bioavailabilitas oral yang rendah (Zaripheh dan Erdman, 2002; Odeberg dkk, 2003). Suatu studi
pada hewan coba diperoleh bahwa astaxanthin dapat melewati blood-retinal barrier selanjutnya
akan tersimpan di retina (Guerin dkk, 2003). Penelitian pada manusia yang dilakukan oleh
Osterlie dkk. (2000) menyatakan kadar maksimum astaxanthin tercapai dalam waktu 6 jam
setelah mengkonsumsi astaxanthin oral, dengan masa paruh 21 jam.
Penelitian pada manusia menggunakan astaxanthin oral dosis berbeda dari 4 mg/hari
sampai dengan 100 mg/hari dengan durasi pemberian sehari sampai satu tahun. Dosis aman yang
pernah dilaporkan yaitu penggunaan astaxanthin 40 mg/hari selama 8 minggu atau 4 mg/hari
selama 1 tahun. Dosis astaxanthin yang direkomendasikan berbeda-beda pada tiap negara, seperti
di Eropa 4 mg/hari, di Amerika 5 mg/hari, dan di Jepang 6 mg/hari (Fasset dan Coombes, 2011).
Beberapa efek samping pemberian astaxanthin yang pernah dilaporkan berupa terjadinya
peningkatan pigmentasi kulit, perubahan hormonal, penurunan libido, penurunan tekanan darah,
penurunan kadar kalsium darah, pembesaran payudara pada laki-laki, namun hal ini tidak
bermakna secara statistik. Belum pernah dilaporkan tentang adanya toksisitas pada pemberian
astaxanthin pada beberapa studi klinis yang telah dilakukan (Fasset dan Coombes, 2011).
2.7.3 Astaxanthin sebagai Antioksidan
Astaxanthin melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif melalui dua mekanisme yaitu
menetralkan singlet oksigen dan peroksidasi lipid. Astaxanthin menunjukkan aktivitas kuat
dalam mencerna radikal bebas dan memberikan perlindungan melawan peroksidasi lipid dan
kerusakan oksidasi oleh membran sel dan jaringan. Astaxanthin menetralkan singlet oksigen
melalui mekanisme fisik, yaitu energi yang berlebihan dari singlet oksigen tersebut ditransfer ke
struktur karotenoid yang kaya akan elektron dan mengubah energinya menjadi panas sehingga
tidak terbentuk singlet oksigen lagi serta bereaksi dengan radikal lain untuk mencegah dan
menghentikan reaksi rantai sehingga mampu melindungi komponen sel lain (lemak, protein,
DNA) dari kerusakan oleh radikal bebas (Guerin dkk, 2003).
Astaxanthin dikatakan lebih kuat dibandingkan antioksidan lainnya seperti beta karoten,
lutein, likopen, dan vitamin E. Senyawa ini lebih efektif 1000 kali dibandingkan vitamin E dan
10 kali lebih kuat dibandingkan beta karoten dalam mengikat singlet oksigen. Untuk
menghambat peroksidasi lipid, astaxanthin bahkan lebih kuat dibandingkan vitamin E (Suseela
dan Toppo, 2006).
Ada beberapa jenis antioksidan yang pada keadaan tertentu dapat menjadi prooksidan
sehingga memiliki efek negatif dengan menyebabkan oksidasi di dalam tubuh. Antioksidan dari
golongan karotenoid yang dapat menjadi prooksidan yaitu -karoten, lycopene dan zeaxanthin,
bahkan antioksidan yang sudah sangat dikenal seperti vitamin C, vitamin E dan zinc dapat
menjadi prooksidan, sedangkan astaxanthin tidak pernah menjadi prooksidan (Denise dan
Thomas, 2002). Hal ini merupakan faktor penting lain yang membedakan astaxanthin dari
antioksidan lain dan dikatakan bahwa astaxanthin memiliki kekuatan antioksidan yang luar biasa
(Guerin dkk, 2003; Mc.Nulty dkk, 2006).
2.7.4 Peranan Astaxanthin Terhadap Mata
Astaxanthin memiliki efek antiinflamasi dan antioksidatif dengan menghambat produksi
ROS dan sitokin seperti TNF- dan IL-6, selain itu melalui inhibisi phosporilasi faktor
transkripsional proinflamasi yaitu NF-k yang menyebabkan produksi IL-6 menurun (Kim,
2010; Swanson, 2012).
Penelitian tentang manfaat astaxanthin dilakukan dalam 10 tahun terakhir sehingga
banyak khasiat lain dari suplemen makanan ini yang belum diketahui. Penelitian dilakukan pada
hewan coba, menunjukkan hasil positif dan beberapa penelitian kemudian ditingkatkan pada
manusia. Penelitian-penelitian dilakukan pada tikus dengan diabetes tipe II, didapatkan bahwa
astaxanthin mengurangi keparahan penyakit dengan memperlambat toksisitas glukosa dan
melindungi sel pancreas dari gangguan fungsi akibat kerusakan oksidatif (Kowluru dkk, 2008).
Astaxanthin 0,05% pada tikus mereduksi sitokin inflamasi dan sirkulasi ROS, sedangkan
astaxanthin 0,02% dengan gula darah yang terkontrol dapat mencegah terbentuknya ROS
(Swanson, 2012). Penelitian Preuss dkk (2009) pemberian astaxanthin 25 mg/kg pada tikus
menurunkan insulin resisten 13,5% (p<0,05) dan IL-6 sebanyak 10,5% (p<0,05). Beberapa
penelitian juga dilakukan dalam bidang kesehatan mata manusia. Penelitian yang dilakukan oleh
Manabe dkk (2007) menyatakan bahwa astaxanthin dapat menurunkan produksi ROS dan
menghambat translokasi serta aktivasi NF-k pada tingkat mitokondria. Penelitian lainnya yang
dilakukan oleh Iwabayashi dkk (2009) menyatakan penggunaan astaxanthin 12 mg/hari selama 8
minggu menurunkan kortisol 23 % (p<0,05), mereduksi LDH 6,5% (p<0,01) dan menurunkan
HbA1c 4 % (p<0,01). Yasunori dkk (2006) meneliti penggunaan astaxanthin 5 mg selama 4
minggu untuk kelelahan mata atau astenopia, didapatkan hasil keluhan kelelahan mata menurun
54%. Suatu penelitian oleh Akira dkk (2004) didapatkan hasil perbaikan yang signifikan pada
penurunan astenopia dan akomodasi yang positif pada kelompok yang diberi astaxanthin 4 mg
(p<0,05) dan 12 mg (p<0,01). Penelitian oleh Kenji dkk (2005) didapatkan dosis optimum per
hari yaitu 6 mg (n=10) selama periode 4 minggu adalah dengan membandingkan kelelahan mata
menggunakan skala analog visual berdasarkan pertanyaan dan nilai akomodasi. Penelitian
randomized placebo controlled lainnya oleh Yasunori dkk (2005) didapatkan terjadi peningkatan
aliran darah retina pada kelompok yang diberi astaxanthin 6 mg selama 4 minggu (n=14,
p<0,01).
Hiperglikemia yang lama dapat menyebabkan menurunnya sistem pertahanan antioksidan
tubuh dan meningkatnya stress oksidatif serta keadaan inflamasi berupa peningkatan sitokin pro
inflamasi seperti IL-6 sehingga terjadi gangguan pada pembuluh darah kapiler retina yaitu
hilangnya perisit, proliferasi sel endotel dan penebalan membran basement mengakibatkan oklusi
kapiler dan nonperfusi pada retina (Chibber dkk, 2007). Pemberian terapi antioksidan dapat
menjadi salah satu pilihan pada pencegahan penyakit mikrovaskular dan makrovaskular pada
penderita DM
membantu mencegah progresifitas DR. Di Indonesia ataupun di Bali belum pernah dilakukan
penelitian mengenai pemberian astaxanthin pada penderita NPDR sehingga belum terdapat data
kadar IL-6 pada penderita NPDR dengan pemberian astaxanthin dosis 8 mg.
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1
Kerangka Berpikir
Diabetic retinopathy (DR) dapat diakibatkan oleh paparan hiperglikemia dalam jangka
waktu lama. Hal ini berakibat pada gangguan biokimia, hemodinamika, dan endokrin yang
berujung pada kerusakan endotel retina. Progresifitas DR dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal antara lain umur dan jenis kelamin sedangkan yang termasuk faktor
eksternal adalah lama Diabetes mellitus (DM), penyakit sistemik kronis, merokok, obesitas,
penggunaan obat antiinflamasi non steroid, penggunaan kortikosteroid (obat imunosupresan),
penggunaan vitamin antioksidan, infeksi intraokular, kepatuhan minum obat penelitian.
Beberapa studi saat ini difokuskan pada peranan sitokin Interleukin-6 (IL-6) dalam
perkembangan DR, yang diasumsikan bahwa hiperglikemia bisa menyebabkan aktivasi IL-6.
Stress oksidatif serta inflamasi kronis pada penderita DM mempunyai peran penting dalam
progresivitas DR. Diduga terdapat hubungan antara inflamasi, disfungsi endotel dengan DR,
sehingga IL-6 digunakan sebagai serum inflammatory marker untuk menilai progresivitas
DR. Pemberian terapi antioksidan dapat menjadi salah satu pilihan pada pencegahan penyakit
mikrovaskular dan makrovaskular pada penderita DM. Antioksidan dianggap mempunyai
efek yang potensial karena bekerja pada dua level yang berbeda yaitu dengan menghambat
terbentuknya Reactive Oxygen Species (ROS) dan meningkatkan pertahanan antioksidan
melalui peran beberapa enzim.
3.2 Konsep Penelitian
DM tipe
II
Diabetic
Retinopathy
Faktor internal:
- Umur
- Jenis kelamin
Astaxanthin
Kadar IL-6
Faktor eksternal :
- Lama DM
- Penyakit sistemik
kronis
- Merokok
- Obesitas
- Penggunaan obat
antiinflamasi non
steroid
- Penggunaan
kortikosteroid (obat
imunosupresan)
- Penggunaan
vitamin antioksidan
- Infeksi intraokular
- Kepatuhan minum
obat penelitian
Gambar 3.1
Bagan kerangka konsep penelitian
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan perluasan Randomized, Double
Blinded, Placebo-Control, Pre and Posttest Group Design (Poccok, 2008) untuk mengetahui
penurunan kadar Interleukin-6 (IL-6) pada penderita Diabetes Mellitus (DM) tipe II dengan Non
Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) ringan antara kelompok yang tidak mendapat
astaxanthin dengan kelompok yang mendapat astaxanthin 8 mg. Rancangan penelitian secara
skematis digambarkan sebagai berikut:
O0
P
O2
RA
O1
P1
O3
Gambar 4.1
Rancangan Penelitian
Keterangan:
P = Populasi; S = Sampel; RA = Random Alokasi.
O0 dan O1 : pengamatan kadar IL-6 sebelum perlakuan.
K : Kontrol dengan pemberian plasebo per hari selama 4 minggu.
P1 : Perlakuan dengan pemberian 8 mg astaxanthin per hari selama 4 minggu.
O2 dan O3 : pengamatan kadar IL-6 setelah perlakuan
b. Subjek sedang mendapat pengobatan antiinflamasi non steroid, kortikosteroid atau obat
imunosupresan lainnya dalam satu bulan terakhir.
c. Subjek sedang mengkonsumsi vitamin antioksidan (vitamin A dan E) dalam satu bulan
terakhir.
d. Subjek yang merokok dalam satu bulan terakhir.
e. Subjek dengan infeksi dan atau inflamasi intraokular.
f. Subjek dengan kelainan pada segmen anterior dan posterior mata yang dapat
mengganggu visualisasi saat pemeriksaan retina
g. Subjek dengan tekanan intraokular 21 mmHg atau dengan glaukoma sekunder.
h. Subjek yang alergi terhadap obat astaxanthin.
i. Subjek dengan kadar Haemoglobin Adult 1c (Hba1c) 8%.
4.3.2.2 Besar Sampel
Besar sampel yang diperlukan untuk masing-masing kelompok dihitung
berdasarkan
2 2
f(,)
( 2-1 )2
1.
2.
3.
4.
5.
2-1 = (2,54-1,52) adalah rerata hasil akhir rerata awal (dikutip dari kepustakaan
Mostafa dkk, 2005).
n=
2 2
f(,)
( 2-1 )2
n = 2 x (1,11)2
x 7,9
(2,54-1,52 ) 2
n = 19,4 ~ 20 subjek (individu)
Jadi jumlah sampel penelitian sebesar 40 sampel (individu), masing-masing kelompok 20 sampel
(individu).
4.3.2.3 Cara Pemilihan Sampel
Sampel dipilih dengan tehnik randomisasi blok permutasi dari populasi terjangkau.
Sampel yang dipilih adalah pasien DM tipe II dengan komplikasi NPDR ringan pada satu atau
kedua mata, namun bila salah satu mata ternyata sudah termasuk NPDR stadium sedang atau
berat, maka pasien tidak termasuk dalam sampel.
4.4
Variabel Penelitian
2.
3.
Variabel kendali adalah umur, jenis kelamin, lama DM, kepatuhan minum obat penelitian
Variabel Bebas
Variabel Tergantung
Kadar IL-6 dalam plasma
Astaxanthin 8 mg
Variabel Kendali
4.4.2
1.
Diabetes Mellitus (DM) tipe II adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula dalam darah plasma puasa >126mg/dl, gula darah plasma 2 jam
setelah makan glukosa >200mg/dl dan selama tes oral toleransi glukosa atau glukosa plasma
sewaktu >200mg/dl, disertai keluhan klasik seperti poliuria, polidipsia, polifagia
(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011); sedang dan atau memiliki riwayat mendapat
terapi obat-obatan anti diabetes dari dokter penyakit dalam yang didapat dari wawancara dan
rekam medis pasien.
2.
Lama menderita Diabetes Mellitus (DM) adalah lamanya pasien mengetahui dirinya terkena
DM yaitu saat pertama kali didiagnosis DM sampai saat penelitian dilakukan. Data
diperoleh dari wawancara dan rekam medis pasien serta dinyatakan dalam tahun.
3.
Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) ringan adalah suatu keadaan awal yang
terjadi di retina berupa microaneurysms pada daerah inner nuclear layer karena adanya
dilatasi pembuluh darah retina pada penderita DM (Bhavsar, 2009).
Pemeriksaan
menggunakan slit lamp biomikroskopi dengan lensa condensing 78 dioptri dan dengan
pemeriksaan foto fundus-retina (Visucam Carl Zeiss)
menggunakan reagan RayBio Human IL-6 ELISA Kit (RayBiotech, Inc.) dan satuan IL-6
dinyatakan dalam pg/mL. Pemeriksaan dikerjakan di laboratorium pusat yang sudah
terakreditasi yaitu Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar.
5.
Astaxanthin merupakan suatu pigmen karotenoid alami yang memiliki aktivitas biologis
sebagai antioksidan yang kuat (sterlie dkk, 2000). Astaxanthin diberikan pada satu
kelompok dengan dosis 8 mg per hari selama 4 minggu.
6.
Umur adalah lama waktu hidup ditentukan dari tanggal kelahiran sampai datang ke rumah
sakit saat penelitian berdasarkan kartu tanda penduduk atau kartu keluarga. Umur
dinyatakan dalam tahun.
7.
Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis dan
fenotip sejak seseorang lahir yang diperoleh melalui catatan rekam medis pasien.
8.
Obesitas adalah suatu keadaan terakumulasinya jaringan lemak secara berlebihan di tubuh.
Obesitas dapat diukur dengan indeks massa tubuh (IMT) yaitu berat badan dalam kilogram
(kg) dibagi tinggi dalam meter (m2). Disebut obesitas bila IMT lebih dari atau sama dengan
30 kg/m2.
9.
Perokok adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi rokok dalam
kurun waktu lebih dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui
teknik wawancara.
10. Penyakit sistemik yang kronis adalah subjek yang sedang menderita penyakit hipertensi,
hiperlipidemia, kardiovaskular, penyakit keganasan yang diperoleh melalui catatan rekam
medis pasien.
11. Pengguna kortikosteroid adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi
obat kortikosteroid dalam kurun waktu satu bulan terakhir, diperoleh melalui teknik
wawancara.
12. Pengguna anti inflamasi non steroid adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah
mengkonsumsi antiinflamasi non steroid, dalam kurun waktu satu bulan terakhir, yang
diperoleh melalui teknik wawancara.
13. Pengguna vitamin antioksidan adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah
mengkonsumsi vitamin antioksidan (vitamin A dan E) dalam kurun waktu satu bulan
terakhir, yang diperoleh melalui teknik wawancara.
14. Infeksi intraokular adalah subjek yang sedang menderita peradangan pada segmen anterior
dan atau segmen posterior bola mata, antara lain konjungtivitis, keratitis, ulkus kornea,
uveitis anterior dan posterior, yang ditentukan dengan pemeriksaan slit lamp dan
funduskopi.
15. Plasebo adalah sediaan yang diberikan kepada subjek selama penelitian, tidak mengandung
bahan farmakologis dan tidak memiliki efek terapi.
16. Alergi terhadap obat astaxanthin adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah alergi
berupa gatal dan kemerahan pada kulit setelah mengkonsumsi astaxanthin, yang diperoleh
melalui teknik wawancara.
17. Kepatuhan minum obat penelitian adalah kepatuhan subjek dalam mengkonsumsi sediaan
obat yang diberikan selama penelitian yaitu dua tablet sehari selama empat minggu. Patuh
apabila sisa obat kurang dari 20%.
4.5
Instrumen Penelitian
Prosedur Penelitian
menggunakan etiket yang bertuliskan A dan B yang hanya diketahui oleh pabrik obat. Botol obat
diurut dan penderita mendapat obat sesuai dengan urutan blok permutasi komputer.
4.6.2 Pelaksanaan Penelitian
Adapun urutan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Anamnesis meliputi nama, umur, jenis kelamin, riwayat penyakit sebelumnya (riwayat
dengan menggunakan slit lamp dan funduskopi. Pada anamnesis dilakukan dengan melihat
catatan rekam medis untuk mengetahui riwayat DM, berapa lama menderita DM, terapi yang
diperoleh, kontrol terhadap DM, hasil kadar gula berdasarkan pengecekan laboratorim yang
dilakukan. Dilanjutkan dengan pemeriksaan visus menggunakan E chart atau snellen chart,
kemudian dilakukan pemeriksaan tekanan intraokular dengan tonometri schiotz dan bila hasilnya
kurang dari 21 mmHg, pupil penderita kemudian dilebarkan dengan sikloplegik (mydriatil
0,5%). Setelah pupil lebar, dilakukan pemeriksaan menggunakan slit lamp biomikroskopi dengan
lensa condensing 78 dioptri dan fotofundus-retina (Visucam Carl Zeiss) untuk menentukan
stadium NPDR. Subjek penelitian selanjutnya dialokasikan secara random menjadi dua
kelompok yaitu, kelompok pemberian plasebo dan astaxanthin 8 mg.
3.
Pengambilan sampel darah dilakukan dua kali yaitu saat sebelum perlakuan dan sesudah
perlakuan. Darah diambil melalui vena cubiti sebanyak 3 cc dengan menggunakan spuite 3 cc
setelah sebelumnya dilakukan desinfeksi pada tempat pengambilan. Masing-masing sampel
darah vena yang diambil ditampung dalam tabung yang berisi Lithium Heparin dan dibalik
beberapa kali untuk mengulang pencampuran darah. Sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan 2
3 x 103 rpm selama 15 menit. Sampel darah akan diberikan label sesuai dengan nomor urut blok
permutasi komputer. Pengambilan sampel darah dilakukan oleh petugas laboratorium Patologi
Klinik RS Sanglah Denpasar, kemudian sampel darah yang telah berisi plasma disimpan pada
suhu -40 oC hingga dilakukan pemeriksaan.
4.
IL-6 yang terkandung dalam plasma akan terikat pada anti-human IL-6 monoclonal antibody
yang telah dilapisi pada sumuran. Sumuran kemudian dicuci dan ditambahkan biotinylated antihuman IL-6 antibody. Sumuran kembali dicuci untuk membuang biotinylated antibody yang
tidak terikat. Konjugat Streptavidin-Horse Radish Peroxidase (HRP) kemudian ditambahkan.
Sumuran kembali dicuci dan ditambahkan larutan substrat 3,3,5,5-Tetra Methyl Benzidine
(TMB), menghasilkan warna biru yang sebanding dengan kadar IL-6 dalam plasma. Stop
solution mengubah warna biru menjadi kuning, dan intensitas warna diukur pada panjang
gelombang 450 nm. Reagensia yang dipakai adalah RayBio Human IL-6 ELISA Kit
(RayBiotech, Inc.) untuk mengukur secara kuantitatif kadar IL-6 dalam plasma. Reagensia ini
dipakai hanya untuk penelitian, tidak untuk keperluan diagnostik maupun terapi. Hasil
pemeriksaan yang didapat kemudian akan dikumpulkan oleh peneliti, selanjutnya dianalisis
untuk mengetahui perbedaan rerata kadar IL-6 plasma pada pasien NPDR ringan saat awal dan
setelah empat minggu pemberian plasebo dan pemberian astaxanthin 8 mg.
5
Sediaan obat dipesan dipabrik obat farmasi yang digunakan oleh peneliti. Sediaan obat dibuat
sama dalam bentuk, ukuran, warna maupun rasa dan dikemas dalam kemasan botol yang sama.
Sediaan obat tidak diketahui isinya baik oleh peneliti maupun subjek. Botol obat diberi label
menggunakan etiket bertuliskan A dan B yang isinya hanya diketahui oleh pabrik obat. Botol
obat diurut dan penderita mendapat obat sesuai dengan urutan blok permutasi komputer. Sediaan
obat A dan B masing-masing diberikan kepada subjek dengan dosis satu kali dua kapsul sehari
selama empat minggu.
6. Follow-up
Semua subjek di follow-up pada minggu ke dua pemberian obat untuk meyakinkan kepatuhan
subjek dalam mengkonsumsi obat, dan bila subjek tidak datang saat follow-up, subjek akan
diingatkan melalui telpon dan atau dikunjungi kerumahnya. Semua peristiwa yang terjadi selama
follow-up pada kedua kelompok dicatat dan dibandingkan satu sama lain. Setelah penelitian
selesai pabrik obat akan menyampaikan kepada peneliti komposisi sediaan obat A dan B.
4.7
Alur Penelitian
Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian maka dibuat alur penelitian yang
Kriteria Eksklusi
Subjek
sedang
menderita
penyakit sistemik yang kronis
Subjek sedang mendapat
pengobatan antiinflamasi non
steroid, kortikosteroid atau obat
imunosupresan lainnya dalam
satu bulan terakhir.
Subjek mengkonsumsi vitamin
antioksidan (vitamin A dan E)
dalam satu bulan terakhir.
Subjek yang merokok dlm 1 bln
terakhir.
Subjek dengan infeksi dan atau
inflamasi intraokular
Subjek alergi dengan
astaxanthin
Subjek dengan kelainan pada
segmen anterior & posterior
mata
Subjek dengan tekanan
intraokular >21 mmHg atau
dengan glaukoma sekunder.
Subjek dengan kadar
Haemoglobin Adult 1c (Hba1c)
8%.
Sample
Kriteria Inklusi
Pasien DM tipe II dg NPDR
ringan pd satu mata atau kedua
mata usia 40-75 th
Informed consent
Eligible sample
Randomisasi blok
Kelompok K
Kelompok P1
Pemeriksaan kadar IL-6 (awal)
Kelompok K
Plasebo
Kelompok P1
Astaxanthin 8 mg
Hasil
Analisis
Kesimpulan
4.8
tabel induk. Selanjutnya dilakukan serangkaian tahapan analisis data untuk menjawab
permasalahan penelitian. Adapun tahapan analisis data sebagai berikut :
1.
Seleksi data yaitu editing, coding dan tabulasi dimasukkan pada file navigator program
Stastical Package for The Social Sciences (SPSS).
2.
Untuk menggambarkan karakteristik umum dan distribusi berbagai variabel. Data berskala
kategorik dideskripsikan dalam bentuk frekuensi dan persentase sedangkan untuk data
berskala numerik dalam bentuk rerata dan standar deviasi.
3.
Uji Normalitas menggunakan Shapiro-Wilk, jumlah sampel < 50 untuk menguji apakah data
penelitian berdistribusi normal atau tidak.
4.
Uji Homogenitas Varians antar Kelompok dengan Uji-Levene untuk menganalisis varians
variabel antar kelompok pemberian plasebo, astaxanthin 8 mg, apakah data penelitian
homogen atau tidak.
5.
Menguji perbedaan kadar IL-6 antara kelompok dengan pemberian plasebo, dan astaxanthin
8 mg dianalisis dengan uji-t untuk 2 kelompok tidak berpasangan jika distribusi data normal,
dan uji Mann Whitney jika distribusi data tidak normal. Batas kemaknaan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebesar 5% dengan ketentuan : bermakna bila p <0,05
tidak bermakna bila p 0,05
dan
BAB V
HASIL PENELITIAN
Pasien DM tipe II dg NPDR yg datang ke Poli Mata & Poli Ilmu Penyakit Dalam
Divisi Endokrin Metabolik RSUP Sanglah Dps mulai Juli 2013 s/d Des 2013
Kriteria Inklusi n=41
Kriteria Eksklusi n=11
(n=52 subjek)
-3 hipertensi
-1 hipertensi&hiperkolesterol
Sample n=41
-1 cancer
-2 hiperkolesterol
Refused Informed
Informed consent
-4 katarak
consent=1
Eligible sample n=40
Randomisasi blok
Drop out =0
Drop out =0
20 subjek dianalisis
20 subjek dianalisis
5.1
Karakteristik
Umur (Tahun)
(RerataSD)
Jenis Kelamin {n (%)}
Laki-laki
Perempuan
Lama DM (Tahun)
(RerataSD)
Kadar
HbA1C
(RerataSD)
(pg/mL)
IMT (kg/m2)
Nilai p
60,28,7
64,37,9
0,123*
13 (65,0)
7 (35,0)
15 (75,0)
5 (25,0)
0,490**
6,77,9
10,910,8
0,290***
6,80,8
6,50,7
0,190*
25,94,0
24,43,6
0,227*
0 (0,0)
6 (30,0)
1 (5,0)
9 (45,0)
4 (20,0)
1 (5,0)
4 (20,0)
3 (15,0)
5 (25,0)
7 (35,0)
(RerataSD)
Pendidikan {n (%)}
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan tinggi
0,604**
pada kelompok NPDR ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg dan 75% pada kelompok NPDR
ringan yang mendapat plasebo. Rerata lama (Diabetes Mellitus) DM pada kelompok NPDR
ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg adalah 6,77,9 tahun sedangkan kelompok NPDR
ringan yang mendapat plasebo 10,910,8 tahun. Berdasarkan variabel kadar (Haemoglobin Adult
1c) HbA1C diperoleh rerata kadar HbA1C pada kelompok NPDR ringan yang mendapat
astaxanthin 8 mg sebesar 6,80,8pg/mL sedangkan kelompok NPDR ringan yang mendapat
plasebo adalah 6,50,7 pg/mL. Rerata Indeks Massa Tubuh (IMT) pada kelompok NPDR ringan
yang mendapat astaxanthin 8 mg adalah 25,94,0 kg/m2 sedangkan kelompok NPDR ringan
yang mendapat plasebo 24,43,6 kg/m2. Sebagian besar pasien kelompok NPDR ringan yang
mendapat astaxanthin 8 mg berpendidikan setingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) dengan
persentase 45%, sedangkan kelompok NPDR ringan yang mendapat plasebo sebagian besar
berpendidikan perguruan tinggi dengan persentase 35%. Tidak terdapat perbedaan antara kedua
kelompok dalam karakteristik subjek penelitian.
5.2
Perbedaan Kadar IL-6 Plasma Awal dan 4 Minggu Pemberian Astaxanthin dan
Plasebo pada Pasien NPDR Ringan
Perbedaan kadar IL-6 plasma awal dan 4 minggu pemberian astaxanthin dan plasebo
pada pasien NPDR ringan dianalisis dengan uji Mann-whitney karena setelah dilakukan uji
normalitas dengan Shapiro-Wilk didapatkan nilai p>0,05.
Tabel 5.2
Perbedaan Kadar IL-6 Plasma Awal dan 4 Minggu Pemberian Astaxanthin dan Plasebo pada
Pasien NPDR Ringan
Kelompok
Variabel
Nilai p
NPDR ringan dg
pemberian
astaxanthin 8 mg
NPDR ringan dg
pemberian plasebo
2,62,3
1,30,7
0,043*
1,91,4
3,14,1
0,758*
-0,72,0
1,84,0
0,046*
Kadar IL-6
Plasma awal
(pg/mL)
(RerataSD)
Kadar IL-6
Plasma
4 minggu
(pg/mL)
(RerataSD)
Beda Kadar
IL-6 Plasma
4 minggu awal
(pg/mL)
(RerataSD)
*Uji Mann-Whitney
Tabel 5.2 memperlihatkan rerata kadar IL-6 plasma awal sebesar 2,62,3 pg/mL dan 4
minggu setelah diberikan astaxanthin 1,91,4 pg/mL. Beda rerata kadar IL-6 awal dan 4 minggu
pada kelompok NPDR ringan yang diberikan astaxanthin 8 mg sebesar -0,72,0 pg/mL. Pada
kelompok NPDR ringan yang diberikan plasebo didapatkan rerata kadar IL-6 plasma awal
sebesar 1,30,7 pg/mL dan 4 minggu setelah diberi plasebo 3,14,1 pg/mL. Beda rerata kadar
IL-6 awal dan 4 minggu pada kelompok NPDR ringan yang diberikan plasebo sebesar 1,84,0
pg/mL. Perbedaan rerata kadar IL-6 plasma pada kedua kelompok bermakna secara statistik
(p<0,05).
Selama penelitian tidak ada drop out yang terjadi pada subjek di kedua kelompok. Terdapat
7 subjek yang menyisakan obat, yaitu pada kelompok NPDR ringan dengan pemberian
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1
Subjek Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan perluasan Randomized, Double-Blinded,
Placebo-Control, Pre and Posttest Group Design, melibatkan 40 subjek penelitian yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok 20 pasien
Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg dan
kelompok 20 pasien NPDR ringan yang tidak mendapat astaxanthin. Subjek penelitian kemudian
dilakukan pengambilan darah vena untuk mengukur kadar Interleukin-6 (IL-6) plasma awal dan
4 minggu pemberian astaxanthin 8 mg dan plasebo. Karakteristik subjek dalam penelitian ini
meliputi umur, jenis kelamin, lama Diabetes Mellitus (DM), kadar (Haemoglobin Adult 1c)
HbA1c, Indeks Massa Tubuh (IMT), dan pendidikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Xiao-ling dkk. (2006) di Cina mendapatkan rerata umur
pasien NPDR 60,758,74 tahun dan Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR) 63,6510,04
tahun. Mostafa dkk. (2005) menemukan rerata umur pasien NPDR adalah 557 tahun dan PDR
58,55 tahun. Penelitian ini didapatkan rerata umur kelompok pasien NPDR ringan yang
mendapat astaxanthin 8 mg lebih rendah yaitu 60,28,7 tahun dibandingkan kelompok pasien
NPDR ringan yang mendapat plasebo yaitu 64,37,9 tahun.
Umur merupakan salah satu faktor risiko terjadinya Diabetic Retinopathy (DR) pada
penderita DM. Beberapa penelitian melaporkan prevalensi DR mengalami peningkatan dengan
bertambahnya umur (Sulaiman, 2004). Hal ini dapat terjadi karena dengan bertambahnya umur
terjadi penurunan fungsi tubuh oleh proses apoptosis sel yang dimulai pada umur > 45tahun.
Selain itu pada keadaan hiperglikemia yang kronis terjadi reaksi inflamasi dan stres oksidatif
yang mempercepat terjadinya apoptosis sel di retina sehingga mengakibatkan terjadinya keadaan
retinopati. Kedua hal tersebut menjelaskan mengapa orang tua lebih rentan terhadap kejadian DR
yang akhirnya ditemukan meningkat dengan bertambahnya usia (Kowluru dan Chan, 2007).
Penelitian-penelitian lain dilakukan di berbagai negara mendapatkan hasil yang bervariasi
mengenai predileksi jenis kelamin pada pasien DR. Penelitian oleh Hartnett dkk. (2000)
memperoleh DR lebih banyak ditemukan pada perempuan yaitu 55% dan pada laki-laki sebesar
45%. Penelitian yang dilakukan oleh Meleth dkk. (2005) di Amerika mendapatkan hasil yang
berbeda yaitu DR ditemukan lebih banyak pada laki-laki sebesar 61,3% dan perempuan sebesar
38,7%. Funatsu dkk. (2003) dalam penelitiannya yang dilakukan di Jepang melaporkan hal yang
berbeda karena DR ditemukan sama pada laki maupun perempuan sebesar 50%. Penelitian ini
didapatkan persentase subjek berjenis kelamin laki-laki cenderung lebih tinggi dibandingkan
perempuan di kedua kelompok. Kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat astaxanthin 8
mg diperoleh persentase subjek berjenis kelamin laki-laki 65% dan perempuan sebesar 35%.
Kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat plasebo diperoleh persentase subjek berjenis
kelamin laki-laki 75% dan perempuan sebesar 25%.
Pada penelitian ini didapatkan NPDR ringan lebih banyak terjadi pada jenis kelamin lakilaki. Hal ini dapat disebabkan karena gaya hidup dan status sosial ekonomi seperti kebiasaan
laki-laki yang sebagian besar merupakan perokok, mengkonsumsi kopi, alkohol dan minuman
ringan/bersoda sehingga DM dengan komplikasinya berupa DR ditemukan lebih banyak pada
laki-laki berbanding terbalik dengan perempuan yang tidak memiliki kebiasaan tersebut.
Beberapa faktor lainnya seperti variasi metabolisme masing-masing individu, ras, pemeriksaan
terhadap retina sampai ditegakkannya diagnosa dan perbedaan sampel masing-masing penelitian
dapat mempengaruhi predileksi jenis kelamin pasien DR (Javadi dkk, 2009).
Lee dkk. (2008) di Korea melaporkan rerata lama DM pasien DR adalah 15,176,91
tahun. Funatsu dkk. (2003) di Jepang menemukan rerata lama DM pasien DR adalah 16,99,4
tahun. Penelitian oleh Doganay dkk. (2002) yang dilakukan di Turki mendapatkan rerata lama
DM pasien NPDR dan PDR masing-masing 9,61,1 tahun dan 23,71,3 tahun. Mostafa dkk.
(2005) menemukan rerata lama DM pasien NPDR adalah 15,22,5 tahun dan pasien PDR adalah
26,11,7 tahun. Penelitian oleh Niazi dkk. (2010) di Pakistan mendapatkan lama DM
mempunyai hubungan dengan derajat retinopati diabetik (p<0,001). Suatu retrospektif studi di
Cina oleh Bin-Bin dkk. (2012) menemukan adanya hubungan yang signifikan antara lama DM
dengan terjadinya DR (p<0,001). Penelitian ini memperoleh rerata lama DM kelompok pasien
NPDR ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg lebih singkat yaitu 6,77,9 tahun, sedangkan
kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat plasebo lebih lama yaitu 10,910,8 tahun.
Lama DM merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya
DR. Paparan hiperglikemia dalam waktu lama dapat meningkatkan perubahan biokimiawi dan
fisiologi, berupa perubahan seluler pada membran basalis sel retina sehingga terjadi kerusakan
pada pembuluh darah kapiler retina berupa hilangnya perisit, proliferasi sel endotel dan
penebalan membran basement yang mengakibatkan oklusi kapiler dan nonperfusi pada retina
(Chibber dkk, 2007; American Academy of Opthalmology and Staff, 2011-2012a). Satu
penelitian mendapatkan lama DM 5 sampai 10 tahun mempunyai resiko NPDR 5 kali
dibandingkan DM kurang dari 5 tahun dan DM lebih dari 10 tahun mempunyai resiko 32 kali
menjadi NPDR (Niazi dkk, 2010).
Penelitian oleh Hartnett dkk. (2000) memperoleh rerata kadar HbA1c pada pasien NPDR
adalah 10,32,2%Hb, sedangkan pasien PDR 10,01,6%Hb. Meleth dkk. (2005) mendapatkan
rerata kadar HbA1c pada pasien NPDR ringan dan sedang adalah 7,431,2%Hb, sedangkan
pasien dengan NPDR berat 8,41,7%Hb. Penelitian ini didapatkan rerata kadar HbA1c
kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg lebih tinggi yaitu 6,80,8%Hb,
sedangkan rerata kadar HbA1c kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat plasebo
ditemukan lebih rendah yaitu 6,50,7%Hb.
Haemoglobin Adult 1c (HbA1C) merupakan salah satu indikator indeks biokimia yang
paling baik dipergunakan dalam pengontrolan kadar gula darah karena merupakan rerata gula
darah dalam 3-4 bulan terakhir (Gomero dkk, 2008). Kadar HbA1C berbanding lurus dengan
kadar gula darah, artinya bila kadar gula darah meningkat maka pembentukan HbA1C semakin
cepat, yang akhirnya dapat mempercepat terjadinya komplikasi mikrovaskular. Sesuai dengan
kriteria yang dipakai oleh Konsensus Penatalaksanaan Diabetes Melitus di Indonesia, maka yang
dianggap kadar gula darah terkontrol buruk adalah mereka dengan kadar HbA1C >8%. Kadar
gula darah yang tidak terkontrol akan menyebabkan seseorang lebih cepat mengalami komplikasi
berupa DR. The Diabetes Control and Complication (DCCT) dan United Kingdom Prospective
Diabetes Study (UKPDS) menyatakan kontrol gula darah yang baik akan mengurangi resiko
terjadinya DR (American Academy of Ophalmology and Staff, 2011-2012a). Ozmen dkk. (2007)
melaporkan bahwa kadar HbA1C>10% dapat mengakibatkan DR sebesar 82,2%. Varma dkk.
(2007) menemukan setiap peningkatan kadar HbA1C 1% mempunyai resiko terjadinya DR
sebesar 1,22 kali. Penurunan kadar HbA1C sebesar 1% akan menurunkan resiko DR 35-75%
(Sudoyo dkk, 2006). Kadar HbA1C tidak memiliki korelasi dengan derajat keparahan DR.
Penelitian oleh Maa dan Sullivan (2007) mendapatkan bahwa kadar HbA1C seseorang tidak
mencerminkan keadaan DR pasien tersebut.
Bin-bin dkk. (2012) dalam penelitiannya di Cina mendapatkan rerata IMT pasien DR
adalah 24,613,45 kg/m2 sedangkan Xiao-ling dkk. (2006) mendapatkan rerata IMT pasien
NPDR adalah 24,603,76 kg/m2 dan PDR 24,453,63 kg/m2. Pada penelitian ini ditemukan
rerata IMT kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg adalah 25,94,0
kg/m2, sedangkan kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat plasebo 24,43,6 kg/m2.
Indeks Massa Tubuh (IMT) diperoleh dengan suatu pengukuran yang membandingkan
antara berat badan (kg) dan tinggi badan (m2) dan merupakan indikator untuk mengidentifikasi
obesitas pada orang dewasa. Satu penelitian melaporkan bahwa selain hiperglikemia faktorfaktor lainnya seperti tekanan darah, obesitas dan peningkatan tigliserida berhubungan dengan
prevalensi retinopati (Van Leiden dkk, 2002). Penelitian lainnya melaporkan terdapat hubungan
antara obesitas dan keadaan resistensi insulin yang dapat membuat adiposit dan sekresi sitokin
ditubuh seperti Interleukin-6 (IL-6) meningkat (Bastard dkk, 2000). Vosarova dkk. (2001)
mendapatkan kadar IL-6 mempunyai hubungan dengan persentase lemak tubuh, namun tidak
berkorelasi dengan sensitifitas insulin pd orang Indian Pima. Obesitas merupakan bentuk
inflamasi yang kronis. Pada keadaaan obesitas terjadi gangguan keseimbangan adipositokin yang
dilepaskan. Sel adiposit berusaha mempertahankan keseimbangan energi dengan melepaskan
beberapa sitokin salah satunya IL-6. Pada keadaan inflamasi kronis seperti obesitas, IL-6
mengalami peningkatan jumlahnya ditubuh yang mengakibatkan kerusakan atau disfungsi pada
endotel termasuk pembuluh darah retina sehingga terjadi keadaan retinopati (Van Leiden dkk,
2002).
Wicaksono dkk. (2012) dalam penelitiannya di Purwokerto mendapatkan DR lebih
banyak ditemukan pada pasien dengan tingkat pendidikan SMA (Sekolah Menengah Atas) atau
sederajat yaitu sebesar 35,1%. Penelitian ini didapatkan sebagian besar pasien pada kelompok
NPDR ringan yang diberikan astaxanthin 8 mg memiliki status pendidikan SMA yaitu sebesar
45% dan pada NPDR ringan yang diberikan plasebo sebagian besar pasien memiliki status
pendidikan Perguruan Tinggi yaitu sebesar 35%.
Tingkat pendidikan seseorang dapat mengembangkan pengetahuan dan kemampuan diri
sendiri untuk terbentuknya tindakan atau prilaku seseorang. Penelitian Wicaksono (2012)
menyimpulkan terdapat hubungan antara pengetahuan tentang DM dengan prilaku pencegahan
DR. Pentingnya menghubungkan tingkat pendidikan pasien dengan pemahaman pasien tentang
penyakitnya dan faktor-faktor lain yang berisiko, pengobatan yang dicari, resiko komplikasi
yang terjadi, deteksi dini, pemeriksaan rutin, selain itu gaya hidup, status sosial ekonomi, status
nutrisi merupakan hal yang tak kalah penting peranannya dalam kejadian DR. Pasien dengan
tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah untuk memahami DR dan lebih cepat mencari
pelayanan kesehatan sehingga DR lebih banyak ditemukan pada NPDR stadium ringan (Noble
dan Chaudhary, 2010).
6.2
faktor transkripsional proinflamasi yaitu Nuclear Factor kappa- (NF-k) untuk memproduksi
sitokin proinflamasi, seperti IL-6 (Swenarchuk dkk, 2008).
Antioksidan berperan dalam menetralisir kerja radikal bebas sehingga proses oksidasi
tidak terjadi. Antioksidan seperti astaxanthin merupakan antioksidan eksternal mempunyai
pigmen karotenoid alami dengan aktivitas biologisnya 1000 kali lebih efektif dari vitamin E dan
10 kali lebih kuat dibandingkan beta karoten dan tidak pernah menjadi prooksidan di tubuh
(Denise dan Thomas, 2002; Suseela dan Toppo, 2006). Astaxanthin mempunyai efek anti
inflamasi dan anti oksidatif dengan menghambat produksi ROS dan sitokin seperti IL-6 (Kim,
2010). Beberapa penelitian tentang astaxanthin pada hewan coba menunjukkan hasil yang baik
kemudian penelitian ditingkatkan pada manusia. Diharapkan dengan pemberian astaxanthin
terjadi penurunan kadar IL-6 ditubuh dan akan mencegah kerusakan fungsi sel, yang berarti
memperbaiki perfusi seluler dan mencegah kerusakan lebih lanjut akibat DM (Kowluru dan
Chan, 2007).
Interleukin 6 (IL-6) merupakan salah satu sitokin proinflamasi yang meningkat
jumlahnya pada DR dan digunakan sebagai inflammatory marker untuk menilai progresivitas DR
(Doganay dkk, 2002; Lee dkk, 2008). Pemeriksaan IL-6 pada penelitian ini diambil dari plasma.
IL-6 ditemukan hampir di seluruh cairan biologis namun serum dan plasma merupakan sampel
yang paling umum digunakan, karena paling mudah didapat dan tidak invasif. Pada organ mata
IL-6 ditemukan di sel RPE, sel epitel kornea, iris, dan badan siliar (Baiomy dkk, 2004).
Hubungan kadar IL-6 dengan progresivitas DR dipaparkan oleh beberapa peneliti. Penelitian
mengenai peran IL-6 dalam perkembangan DR telah dilakukan dan memiliki rentang nilai yang
bervariasi di berbagai negara (Mostafa dkk., 2005; Lee dkk., 2008). Penelitian Lee dkk. (2008) di
Korea menemukan kadar IL-6 plasma pasien NPDR ringan sebesar 1,311,03 pg/mL.
Penelitian ini ditemukan rerata kadar IL-6 plasma awal pada kelompok NPDR ringan
yang diberikan astaxanthin 8 mg sebesar 2,62,3pg/mL dan pada kelompok NPDR ringan yang
diberikan plasebo sebesar 1,30,7 pg/mL. Rerata kadar IL-6 plasma awal pasien NPDR ringan
pada kelompok yang diberikan astaxanthin 8 mg dalam penelitian ini ditemukan lebih tinggi dan
pada kelompok NPDR ringan yang diberikan plasebo lebih rendah dibandingkan penelitian Lee
dkk. (2008) di Korea, kemungkinan karena terdapat faktor-faktor yang berpengaruh pada kadar
IL-6 plasma belum sepenuhnya dikontrol pada
astaxanthin 8 mg pada penelitian ini. Adanya perbedaan etnik dan ras juga dapat mempengaruhi
hasil yang didapat.
Beberapa penelitian tentang astaxanthin awalnya dicobakan pada hewan coba
menunjukkan hasil yang baik, kemudian penelitian ditingkatkan pada manusia. Penelitian oleh
Manabe dkk. (2007) mendapatkan pemberian astaxanthin dapat menurunkan produksi ROS dan
menghambat translokasi serta aktivasi NF-kB pada tingkat mitokondria. Iwabayashi dkk. (2009)
melaporkan konsumsi astaxanthin 12 mg/hari selama 8 minggu menurunkan kortisol 23 %
(p<0,05), mereduksi LDH 6,5% (p<0,01) dan menurunkan kadar HbA1C 4 % (p<0,01).
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran kadar IL-6 awal dan 4 minggu setelah
diberikan astaxanthin dan plasebo untuk mengetahui perbedaan kadar IL-6 sebagai respon
inflamasi dalam progresivitas DR. Penelitian ini ditemukan rerata kadar IL-6 plasma awal
sebesar 2,62,3 pg/mL dan 4 minggu setelah diberikan astaxanthin 1,91,4 pg/mL. Beda rerata
kadar IL-6 awal dan 4 minggu pada kelompok NPDR ringan yang diberikan astaxanthin 8 mg
sebesar -0,72,0 pg/mL. Pada kelompok NPDR ringan yang diberikan plasebo didapatkan rerata
kadar IL-6 plasma awal sebesar 1,30,7 pg/mL dan 4 minggu setelah diberi plasebo 3,14,1
pg/mL. Beda rerata kadar IL-6 awal dan 4 minggu pada kelompok NPDR ringan yang diberikan
plasebo sebesar 1,84,0 pg/mL. Perbedaan rerata kadar IL-6 pada kedua kelompok bermakna
secara statistik (p<0,05). Dapat disimpulkan bahwa pada kelompok NPDR ringan yang diberikan
astaxanthin 8 mg terjadi penurunan reaksi inflamasi yang lebih tinggi ditandai dengan
menurunnya kadar IL-6 yang lebih besar dibandingkan kelompok NPDR ringan yang diberikan
plasebo. Hal ini dapat terjadi karena antioksidan seperti astaxanthin dengan efek anti inflamasi
dan antioksidannya menyebabkan penurunan reaksi inflamasi maupun stress oksidatif ditubuh
yang mengakibatkan produksi IL-6 menurun.
Beberapa
hal
yang
dapat
mempengaruhi
kadar
IL-6
plasma
adalah
umur,
obesitas/kegemukan, keadaan inflamasi atau infeksi yang kronis, penyakit autoimun, keganasan,
konsumsi obat antioksidan, konsumsi obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), konsumsi obat
kortikosteroid, perokok, alkoholik. Beberapa faktor tersebut telah dikontrol pada desain
penelitian ini melalui kriteria eksklusi, sehingga faktor-faktor tersebut diharapkan tidak
berpengaruh terhadap kadar IL-6 plasma pasien NPDR ringan. Belum ada penelitian yang
meneliti kadar IL-6 plasma pasien NPDR ringan pada etnik atau ras yang berbeda sehingga perlu
dibuktikan melalui penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar dan melibatkan
multisenter. Perlunya pemeriksaan kadar IL-6 plasma pada populasi normal di Bali karena
adanya perbedaan populasi, etnik dan ras tentunya akan memberikan rentang nilai IL-6 yang
bervariasi.
Nilai aplikatif dari penelitian ini adalah IL-6 plasma dapat digunakan sebagai indikator
dalam menilai progresivitas DR serta pemberian astaxanthin perlu diberikan pada NPDR ringan
karena dapat menurunkan kadar IL-6. Pemeriksaan kadar IL-6 plasma secara rutin tidak perlu
dilakukan pada setiap pasien NPDR stadium ringan karena selain pemeriksaan ini tergolong
mahal terdapat masa kadaluarsa dari kit IL-6. Hal selanjutnya yang dapat dipertimbangkan
adalah pemberian antioksidan seperti astaxanthin sebagai salah satu strategi dalam
memperlambat progresivitas DR. Pentingnya edukasi kepada pasien DM mengenai gaya hidup,
pola makan, asupan nutrisi yang mengandung antioksidan sehingga komplikasi DM berupa DR
dapat dihindari.
Kadar IL-6 plasma pada penelitian ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Kelemahan dari
penelitian ini adalah riwayat penyakit sistemik, merokok, penggunaan obat-obatan pada pasien
didapatkan melalui wawancara, kepatuhan minum obat penelitian serta tidak dilakukan analisis
mengenai faktor-faktor resiko pada DM yang memang sangat sulit untuk dikendalikan sehingga
hal ini dapat sebagai sumber bias dalam penelitian. Penelitian ini tidak dilakukan penilaian
terhadap kadar IL-6 plasma pada populasi normal. Nilai normal (cut off point) kadar IL-6 plasma
pada populasi normal di Bali belum pernah diteliti, sehingga belum diketahui berapa sebenarnya
kadar IL-6 plasma pada populasi normal di Bali.
Pada penelitian ini semua subjek di follow-up pada minggu kedua pemberian obat dan
diakhir penelitian jumlah obat dihitung untuk menilai kepatuhan subjek dalam mengkonsumsi
obat. Tidak ada drop out yang terjadi pada subjek di kedua kelompok. Terdapat 7 subjek yang
menyisakan obat, yaitu pada kelompok NPDR ringan dengan pemberian astaxanthin 8 mg
didapatkan 3 subjek menyisakan obat masing-masing 2 tablet, 5 tablet dan 8 tablet. Pada
kelompok NPDR ringan dengan pemberian plasebo ditemukan 4 subjek menyisakan obat
masing-masing 2 tablet, 4 tablet, 6 tablet, dan 8 tablet.
Beberapa efek samping pemberian astaxanthin yang pernah dilaporkan berupa terjadinya
peningkatan pigmentasi kulit, perubahan hormonal, penurunan libido, penurunan tekanan darah,
penurunan kadar kalsium darah, pembesaran payudara pada laki-laki. Belum pernah dilaporkan
tentang adanya toksisitas pada pemberian astaxanthin di beberapa studi klinis yang telah
dilakukan (Fasset dan Coombes, 2011). Selama penelitian berlangsung tidak ditemukan adanya
efek samping tersebut namun 1 subjek merasakan kesemutan pada kaki dan tangan setelah
mengkonsumsi obat penelitian.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan astaxanthin menurunkan kadar
Interleukin-6 (IL-6) plasma secara signifikan pada pasien NPDR ringan.
7.2 Saran
1. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kadar normal IL-6 plasma dengan pemberian
astaxanthin dosis berbeda sehingga diketahui dosis standar yang dapat dipakai untuk pasien
NPDR ringan.
2. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui progresivitas DR dengan pemberian
astaxanthin, sehingga dapat diketahui pengaruh pemberian astaxanthin terhadap terjadinya
progresivitas DR.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K., dan Lichtman, A.H. 2005. Cellular and Molecular Immunology. Fifth edition.
W.B. Saunders Company, Philadelphia, Pennsylvania.p. 243-73
Akira, N., Ryoko, I., Yasuhiro, O., Yakuso, A., Daisuke, N., Chika, H., dkk. 2004. Changes in
Visual Function Following Peroral Astaxanthin. Japan J. Clin. Opthal., 58 (6):1051-54
American Academy of Ophthalmology and Staff. 2011-2012a. Retina and Vitreous. United State
of America: American Academy of Ophthalmology. p. 109-32
American Academy of Ophthalmology and Staff. 2011-2012b. Fundamental and Principles of
Ophthalmology. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 273318
Atalay, M., dan Laaksonen, D.E. 2002. Diabetes, Oxidative Stress and Physical Exercise.
Journal of Sports Science and Medicine, 1: 1-14
Baiomy, A.A., Arafa, L.F., dan Ghanem, A.A., 2004. Relationship Between Vascular
Endothelial Growth Factor and Interleukin-6 in Diabetic Retinopathy. Pakistan Journal
of Biological Sciences, 7 (11): 1858-65
Banday, M.Z., Bashir, A., dan Hag , E. 2010. Molecular Pathobiology of Diabetic Retinopathy.
Bioresearch Bullletin, 3:102-15
Bastard, J.P., Jardel, C., Bruckert, E., Blondy, P., Capeau, J., Lavile, M., dkk. 2000. Elevated
Levels of Interleukin 6 Are Reduced in Serum and Subcutaneous Adipose Tissue of
Obese Women after Weight Loss. J Clin Endocrinol Metab., 85: 3338-42
Bhavsar,
A.R.2009.
Diabetic
Retinopathy.
Available
from
:
URL
http://emedicine.medscape.com/article/1225122-overview. Last update 6 Oktober 2009
Bin-Bin, H., Li,W., Yun-Juan, G., Jun-Feng H., Ming L.,dkk. 2012. Factors Associated with
Diabetic Retinopathy in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus. International Journal of
Endocrinology.p.1-8
Chaturvedi, N. 2007. The Burden of Diabetes and its Complications: Trends and Implications for
Intervention. Diabetes Res Clin Pract., 76 (3):S3-S12
Chibber, R., Ben-Mahmud, B.M., Chibber, S., dan Kohner, E.M. 2007. Leukocytes in Diabetes
Retinopathy. Current Diabetes Reviews, 3:3-14
Denise, M.D., dan Thomas, W.M., 2002. Carotenoids: Linking Chemistry, Absorption, and
Metabolism to Potential Roles in Human Health and Desease. In: Enrique, C., Lester,
P.(eds) Handbook of Antioxidants. 2nd edition. New York, Basel: Marcel Dekker inc. p.
189-274
Doganay, S., Evereklioglu, C., Er, H., Trkz, Y., Sevin, A., Mehmet, M., dan avli, H. 2002.
Comparison of Serum NO, TNF-, IL-1, sIL-2R, IL-6 and IL-8 Levels with Grades of
Retinopathy in Patient with Diabetes Mellitus. Eye Nature Publishing Group, 16:163-70
Dwipayana, P. 2013. Penatalaksanaan Kelainan Retina Terkini. Diagnosis dan Manajemen
Peri-operative pada Diabetes Mellitus. Seminar dalam Rangka HUT RS Indera Propinsi
Bali ke-11. Sabtu 2 maret 2013
Dwipayana, P., Suastika, K., Saraswati, I.M.R., Gotera, W.B., Budhiarta, A.A.G., Sutanegara,
dkk. 2010. Prevalensi Sindroma Metabolik pada Populasi Penduduk Bali, Indonesia.
Naskah Lengkap Joint symposium Surabaya, Metabolic Cardiovascular Disease,
Surabaya, 282-88
Fasset, R.G., dan Coombes, J.S. 2011. Astaxanthin : A Potential Therapeutic Agent in
Cardiovascular Disease. Marine Drugs, 9:447-65
Forrester, J.V., Dick, A.D., Mcmenamin, P.G., dan Lee, W.R. 2002. Embryology and Early
Development of The Eye and Adnexa. In : The Eye Basic Science in Practice. 2nd edition.
London.p. 78-93
Frank, R.N. 2004. Diabetic Retinopathy. N Engl J Med., 350: 48-58
Funatsu, H., Yamashita, H., Ikeda, T., Mimura, T., Eguchi, S., Hori, S., dkk. 2003. Vitreous
Level of Interleukin-6 and Vascular Endothelial Growth Factor are Related to Diabetic
Macular Edema. American Academy of Ophthalmology, 110:1690-6
Giacco, F., dan Brownlee, M. 2010. Oxidative Stress and Diabetic Complications. Circ Res.,
107:1058-70
Gomero, A., McDade, T., Williams, S., dan Lindau, S.T. 2008. Dried Blood Spot Measurement
of Glycosylated Hemoglobin (HbA1C) in Wave 1 of National Social Life, Health &
Aging Project (NSHAP). The National Social Life,Health&Aging Project.p.1-10
Guerin, M., Hutley, M.E., dan Olaizola, M. 2003. Haematococcus Astaxanthin: Applications for
Human Health and Nutrition. Trends in Biotechnology, 21:210-15
Gupta, V., Gupta, A., Dogra, M.R., dan Singh, R. 2007. Diabetic Retinopathy: Atlas and text. 1
st
. edition. New Delhi. Jaypee Brothers.p.23-50
Halliwell, B., dan Gutteridge, J.M.C. 2007. Free Radicals in Biology and Medicine. Fourth
edition, Oxford University Press, New York. p. 19-633
Hardjoeno, H. 2003. Tes Diabetes Melitus. Tes Pengendalian Diabetes Melitus dalam
Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik Bagian dari Standar Pelayanan Medik.
Lephas. Makassar. Hal.167-199
Hartnett, M.E., Stratton, R.D., Browne, R.W., Rosner, B.A., Lanham, R.J., dan Armstrong, D.
2000. Serum Markers of Oxidative Stress and Severity of Diabetic Retinopathy. Diabetes
care, 23:234-40
Higuera-Ciapara, I., Felix-Valenzuela, L., dan Goycoolea, F.M. 2006. Astaxanthin: A Review of
its Chemistry and Applications. Critical Review in Food Science and Nutrition, 46: 18596
Hu, F.B., Meigs, J.B., Li, T.Y., Rifai, N., dan Manson, J.E. 2004. Inflammatory Markers and
Risk of Developing Type 2 Diabetes in Women. Diabetes, 53:693-700
Hussein, G., Sankawa, U., Goto, H., Matsumoto, K., dan Watanabe, H. 2006. Astaxanthin, a
Carotenoid with Potential in Human Health and Nutrition.J.Nat.Prod., 69(3):443-9
Iskandar, E. dan Kartasasmita, A. 2013. Penatalaksanaan Kelainan Retina Terkini. Diabetic
Retinopathy Update. Seminar dalam Rangka HUT RS Indera Propinsi Bali ke-11. Sabtu 2
maret 2013
Iwabayashi, M., Fujioka, N., Nomoto, K., Miyazaki, R., Takahashi, H., Hibino, S., dkk. 2009.
Efficacy and Safety of Eight-Week Treatment with Astaxanthin in Individuals Screened
for Increased Oksidatif Stress Burden. J. Anti Aging Med.,6(4):15-21
Jakus,V. 2000. The Role of Free Radicals, Oxidative Stress and Antioxidant Systems in Diabetic
Vascular Disease. Bratisl Lek Listy.,101 (10): 541-51
Javadi, M.A., Katibeh, M., Rafati, N., Dehghan, M.H., Zayeri, F., Yaseri, M., dkk. 2009.
Prevalence of Diabetic Retinopathy in Tehran Province: A population-based Study. BMC
Ophthalmology.9 (12):1-8
Kauffmann, D.J.H., Meurs, J.C.V., Mertens, D.A.E., Peperkamp, E., Master, C., dan Gerritsen,
M.E.1994. Cytokines in Vitreous Humor: Interleukin-6 is Elevated in Proliferative
Vitreoretinopathy. Investigative Ophthalmology & Visual Science, 35:900-6
Kenji, S., Kazuhiro, O., Takuya, N., Yasuhiro, S., Shinki, C., Kazuhiko, Y., dkk. 2005. Effects of
Astaxanthin on Accommodation and Asthenopia-Dose Finding Study in Healthy
Volunteers. J. Clin. Therap. Med., 21(6):637-50
Khalfaoui, T., Lizard, G., dan Ouertani, M.A. 2008. Adhesion Molecules (ICAM-1 and VCAM1) and Diabetic Retinopathy in Type 2 Diabetes. J Mol Hist., 39:234-49
Kim, Y.H. 2010. Down Regulation of IL-6 Production by Astaxanthin Via ERK-, MSK-, and
NF-kB Mediated Signals in Activated Microglia. Int Immunopharmacol., 10 (12): 156072
Kojima, S., Yamada, T., dan Tamai, M. 2001. Quantitative Analysis of Interleukin-6 in Vitreous
from Patients with Proliferative Vitreoretinal Diseases. Japanese Journal of
Ophthalmology, 45(1): 40-5
Kowluru, R.A., dan Chan, P. 2007. Oxidative Stress and Diabetic Retinopathy. Hindawi
Publishing Corporation. Experimental Diabetes Research,10:1-12
Kowluru, R.A., Menon, B., dan Gierhart, D.L. 2008. Beneficial Effect of Zeaxanthin on Retinal
Metabolic Abnormalities in Diabetic Rats. Investigative Ophthalmology & Visual
Science, 49 (4):1645-50
Lee, J.H., Lee, W., Kwon, O.H., Kim, J.H., Kwon, O.W., Kim, K.H., dkk. 2008. Cytokine
Profile of Peripheral Blood in Type 2 Diabetes Mellitus Patients with Diabetic
Retinopathy. Annals of Clinical & Laboratory Science, 38(4): 361-7
Leslie, R.D.G, dan Cohen, R.M. 2009. Biologic Variability in Plasma Glucose, Haemoglobin
A1C, and Advanced Glycation End Products Associated with Diabetes Complication. J.
Diabetes Sci Technol., 3(4): 635-43
Levy, B.I., Schiffrin, E.L., Mourad, J.J., Agostini, D., Vicaut, E., Safar, M.E., dkk. 2008.
Impaired Tissue Perfusion. A Pathology Common to Hypertension, Obesity, and Diabetes
Mellitus. Microcirculation and Cardiovascular Risk Factor. p: 968-76
Liou, G.I. 2010. Diabetic retinopathy: Role of Inflammation and Potential Therapies for Antiinflammation. World J Diabetes., 1(1): 12-8
Loukovaara, S., Immoneu, R., Koistinen, J., Hiilesmaa dan Kaaja. 2004. Inflammatory Markers
and Retinopathy in Pregnancies Complicated with Type I Diabetes. Eye, 30:123-28
Maa, A.Y., dan Sullivan, B.R. 2007. Relationship of Haemoglobin A1C with The Presence and
Severity of Retinopathy Upon Initial Screening of Type II Diabetes Mellitus. American
Journal of Opthalmology,144 (3):456-7
Manabe, E., Handa, O., Naito, Y., Mizushima,K., Akagiri, S., Adachi, S., dkk. 2007. Astaxanthin
Protect Mesangial Cells from Hyperglicemia-induced, Oxidative Signaling. J Cellular
Biochem., 103(6):1925-37
Marmor, M.F. 2003. Retinal Pigment Epithelium. In Yanoff, M., Duker, J.S., Ausburger, J.J.
Alm, A. editors. Opthalmology. 2nd edition. St Louis, Mosby.p. 775-8
Mc.Nulty, H.P., Byun,J., Lockwood, S.F., Jacob, R.F., dan Mason, R.P. 2006. Differential
Effects of Carotenoid on Lipid Peroxidation Due to Membrane Interactions: X-Ray
Diffraction Analysis. Biochimica et Biophysica Acta, 1768:167-74
Meleth, A.D., Agrn, E., Chan, C.C., Reed, G.F., Arora, K., Byrnes, G., dkk. 2005. Serum
Inflammatory Markers in Diabetic Retinopathy. Investigative Ophthalmology & Visual
Science, 46(11):4295-4301
Mostafa, M.S.Z., Samy, N., Afify, M., Hashem, M., dan Azeb, A. 2005. Evaluation of Plasma
Endothelin-1 and Serum Inflammatory Markers in Patients with Diabetic Retinopathy. J
Med Sci., 5 (1):35-42
Negrean, M. 2006. Advanced Glycation End Product (AGE) and Their Role in The Pathogenesis
of Chronic Complication of Diabetes Mellitus. A Journal of Clinical Medicine, I (2): 5966
Negrean, M., Stirban, A., Stratmann, B., Gawlowski, T., Horstmann, T., Gtting, C., dkk. 2007.
Effects of Low and High Advanced Glycation End Product Meals on Macro and
Microvascular Endothelial Function and Oxidative Stress in Patients with type 2 Diabetes
Mellitus. Am J Clin Nutr., 85: 1236-43
Niazi, M.K., Akram, A., Naz, M.A., dan Awan, S. 2010. Duration of Diabetes as a Significant
Factor for Retinopathy. Pak J Opthalmology, 26(4):182-86
Noble, J., dan Chaudhary,V. 2010. Five Things You Know About Diabetic Retinopathy.
Canadian Medical Association Journal,182(5):1646
Odeberg, J.M., Lignell, ., Pettersson, A., dan Hglund, P. 2003. Oral Bioavailability of The
Antioxidant Astaxanthin in Human is Enhanced by Incorporation of Lipid Based
Formulations. European Journal of Pharmaceutical Sciences, 19:299-304
sterlie, M., Bjerkeng, B., dan Liaaen-Jensen, S. 2000. Plasma Appearance and Distribution of
Astaxanthin E/Z and R/S Isomers in Plasma Lipoproteins of Men After Single Dose
Administration of Astaxanthin. J Nutr Biochem., 11: 482-90
Ozmen, B., Guclu, F., Kafesciler, S., Ozmen, D., dan Hekimsay, Z. 2007. The Relationship
Between Glycosylated Haemoglobin and Diabetic Retinopathy In Patient With Type 2
Diabetes. Turk Jem., 11:10-15.
Pangkahila, W. 2007. Anti Aging Medicine : Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas
Hidup. Cetakan ke-1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hal: 8-17
Pennathur, S., dan Heinecke, J.W. 2004. Mechanisms of Oxidative Stress in Diabetes:
Implications For The Pathogenesis of Vascular Disease and Antioxidant Therapy.
Frontiers in Bioscience, 9:565-74
Swanson, L. 2012. Astaxanthin shows Diabetes Potential. Journal of Food Science. Available
from : URL: http://www.swansonvitamins.com/ru-articles/cardiovascular. Last update: 2
Mei 2012
Swenarchuk, L.E., Whetter, L.E., dan Adamis, A.P. 2008. The Role of Inflamation in the
Pathophysiology of Diabetic retinopathy. In: Duh, E.J. (ed) Diabetic Retinopathy. New
Jersey: Humana press. p. 303-26
Ueno,Y., Kizaki, M., Nakagiri, R., Kamiya, T., Sumi, H., dan Osawa, T. 2002. Dietary
Glutathione Protects Rats from Diabetic Nephropathy and Neuropathy. J Nutr., 132:897900
Van Leiden, H.A., Dekker, J., Moll, A.C., Nijpels, G., Heine, R.J., Bouter, L.M., dkk. 2002.
Blood Pressure, Lipids, and Obesity Are Associated with Retinopathy. Diabetes Care,
25:1320-25
Varma, R., Marcias, G., Torres, M., Klein, R., Pena, F., dan Azen, S. 2007. Biologic Risk Factor
Associated With Diabetic Retinopathy. The Los Angeles latino Eye Study. J
Opthalmology.,114:1332-40
Vosarova, B., Weyer, C., Hanson, K., Tataranni, P.A., Bogardus, C., dan Pratley, R.E. 2001.
Circulating Interleukin-6 in Relation to Adiposity, Insulin Action, and Insulin Secretion.
Obes Res., 9(7):414-7
Wicaksono, A.P., Muchtasar, B., dan Jatmiko,W. 2012. The Relationship Between Knowledge
and Social Support with The Behavior of Diabetic Retinopathy Prevention at DM
Sufferers in Prof.DR.Margono Soekarjo General Hospital of Purwokerto. Jurnal Univ
Muhammadiyah, 11: 58-69
William, D.L. 2006. Oxidation, Antioxidants and Cataract Formation: A Literature Review.
Veterinary Ophthalmology, 9 (5): 292-8
Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Cetakan ke 2 , Kanisnus Yogyakarta.
p. 50-5
Xiao-ling, C., Fang,W., dan Li-nong, J. 2006. Risk Factor of Diabetic Retinopathy in Type 2
Diabetic patients. Chin Med J., 119 (10): 822-26
Yasunori, N., Miharu, M., Jiro, T., Akitoshi, K., Yoshiharu, H., Yuri, S., dan Hiroki, T. 2005.
The Effects of Astaxanthin on Retinal Capillary Blood Flow in Normal Volunteers. J.
Clin.Therap. Med., 21(5):537-42
Yasunori, N., Miharu, M., Hiroki, T., dan Shigeaki, O. 2006. The Supplementation Effect of
Astaxanthin on Accommodation and Asthenopia. J. Clin. Therap. Med., 22(1):41-54
Zaripheh, S., dan Erdman, J.W. 2002. Factors That Influence The Bioavailability of
Xanthophylls. American Society for Nutritional Sciences. J. Nutr., 132:531-34
Pemberian terapi antioksidan dapat menjadi salah satu pilihan pada pencegahan DR.
Antioksidan dianggap mempunyai efek yang potensial karena dapat menghambat terbentuknya
ROS dan meningkatkan pertahanan antioksidan tubuh. Astaxanthin merupakan antioksidan yang
popular saat ini. Astaxanthin memiliki aktifitas antioksidan 10 kali lipat lebih tinggi dari beta
carotene, 1000 kali lipat lebih efektif dari vitamin E, memiliki efek anti inflamasi dan tidak
menjadi prooksidan. Terdapat penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa astaxanthin
sebagai anti inflamasi dan dapat mengurangi kerusakan pada retina akibat stres oksidatif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar IL-6 dengan perkembangan
stadium DR. Diharapkan dengan penelitian ini pemahaman mengenai bagaimana terjadinya dan
perkembangan DR akan menjadi lebih baik, sehingga penanganan berupa pencegahan dapat
dilakukan.
Bila bapak/ibu bersedia menjadi sampel penelitian, kami mohon untuk menandatangani
surat persetujuan dan datang kontrol pada waktu yang telah kami tentukan. Data mengenai
bapak/ibu akan kami rahasiakan. Pada penelitian ini kami akan melakukan pemeriksaan kadar
IL-6 melalui pengambilan darah vena, selanjutnya bapak/ibu memperoleh sediaan obat dalam
bentuk kapsul yang dikonsumsi 2 kapsul/hari selama 4 minggu dan pada akhir minggu ke 4 (saat
sediaan obat habis) kami akan periksa kembali kadar IL-6 dalam darah bapak/ibu. Biaya yang
diperlukan untuk pemeriksaan akan ditanggung oleh peneliti. Jika hasil pemeriksaan kadar IL-6
telah diketahui, maka hasil pemeriksaan tersebut akan kami sampaikan kepada bapak/ibu. Hasil
pemeriksaan akan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian seperti yang dimaksud diatas.
Dengan ikut serta dalam penelitian ini, berarti bapak/ibu ikut berperan serta dalam
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya etiopatogenesis dan perkembangan stadium DR.
Demikian penjelasan ini kami sampaikan, dan atas kesediaan bapak/ibu ikut serta
menjadi sampel atau koresponden dalam penelitian ini, kami sampaikan banyak terima kasih.
Bila ada hal-hal yang belum jelas atau terdapat keluhan, bapak/ibu dapat datang kapan saja atau
menghubungi dokter yang merawat selama penelitian ini. Bapak/ibu dapat menghubungi
peneliti:
Umur
Alamat
Telepon
Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap mengenai maksud, tujuan dan manfaat penelitian
ini, maka menyatakan setuju dan bersedia ikut serta dalam penelitian ini. Saya bersedia mentaati
semua peraturan yang diberikan. Saya mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian
ini bila saya menginginkan dan tidak akan merusak hubungan dokter-pasien dengan saya.
.....................................
Peneliti
Saksi
....................................
1.
No Sampel
2.
No CM
3.
Tgl pemeriksaan :
4.
Nama
5.
Umur
6.
Jenis Kelamin
7.
Pekerjaan
8.
Pendidikan
9.
Alamat
:
Tlp
: Ada / tidak
12. Riwayat DM
: lama ..
a. Hipertensi
b. Jantung
: Ada / tidak
c. Keganasan
a. AISN
b. Kortikosteroid
c. Imunosupresan
OS
VA
PH
Palpebra
Konjungtiva
Kornea
AC
Iris/Pupil
Lensa
Vitreus
Fundus
18. Diagnosis
Lampiran 6
TABEL INDUK PENELITIAN
NO
NAMA
NG
3
4
5
6
UL
GMS
MS
MW
P
L
P
L
SMA
SMA
SD
SD
IL6
(2)
SISA
0BAT
0.111
0.78
74
167
6.5
69
185
3.969
3.757
6.9
60
152
0.557
1.226
7.6
75
169
2.117
1.003
1.671
2.006
7.2
2.786
1.226
2.5
7.5
2.229
1.449
5.7
2.117
2.121
30
5.2
1.449
0.891
6.9
8.518
3.332
3 BL
5.8
0.669
1.114
WK
59
SMA
50
169
IBS
66
PT
69
175
87
165
83
161
63
154
59
160
71
154
3 BL
6.5
5.136
0.891
7.8
0.223
4.075
6 BL
6.7
2.34
3.009
10
5.6
4.075
0.891
15
7.5
1.671
1.671
21
7.2
1.003
2.563
6.5
1.783
1.416
13
7.8
8.711
6.091
IL6(1)
IL6(2)
SISA
0BAT
9
10
11
12
13
AAG0
AA
IAMS
KGD
WS
63
65
62
65
59
L
L
P
L
P
SMA
SD
SMA
SD
SD
14
DL
49
PT
74
156
15
RBY
63
PT
78
156
64
159
55
165
62
160
66
156
70
163
16
17
18
19
20
N0
1
2
3
4
5
6
IBMG
NSW
WM
IKM
PS
NAMA
NU
MS
NNA
PG
S
KS
67
59
73
58
51
L
L
L
L
L
USIA
JK
72
68
50
65
71
68
L
L
L
L
L
SMA
SMA
SMA
PT
SMA
37
0.78
0.78
6.4
0.557
1.56
64
1.56
0.78
10
7.6
3.332
3.438
7.3
1.894
16.238
23
6.7
1.894
1.449
5.6
1.783
1.114
63
SD
66
154
65
169
54
155
TDK
1.003
5.7
SWA
0.666
5.4
155
60
2.5
62
70
KR
166
PT
10
1.56
74
PT
1.783
6.7
160
70
13
97
71
176
MP
1.783
54
168
1.894
6.9
170
11
60
SMA
67
168
20
0.669
1.003
12
PK
60
SD
60
164
6.3
1.226
0.223
69
163
1.726
9.624
85
168
10
7.3
2.117
7.522
53
165
26
5.7
1.56
2.674
58
168
6 BL
5.7
0.669
8.96
59
151
6 BL
5.6
0.334
0.334
58
151
29
6.6
0.728
0.669
58
167
6.2
0.638
0.78
88
177
7 BL
6.6
1.63
1.114
13
14
15
16
17
18
19
20
FN
WJ
AM
KS
NK
IGMS
IAMW
GS
45
69
75
60
64
75
67
56
SMA
PT
PT
SMP
SMA
SMP
PT
SMA
NAMA
IL-6 (AWAL)
IL-6 (4 MINGGU)
NG
0.466
0.111
2.006
0.78
UL
3.969
3.757
GMS
0.557
1.226
MS
2.117
1.003
MW
1.671
2.006
WK
2.786
1.226
IBS
2.229
1.449
AAG0
2.117
2.121
10
AA
1.449
0.891
11
IAMS
8.518
3.332
12
KGD
0.669
1.114
13
WS
5.136
0.891
14
DL
0.223
4.075
15
RBY
2.34
3.009
16
IBMG
4.075
0.891
17
NSW
1.671
1.671
18
WM
1.003
2.563
19
IKM
1.783
1.416
20
PS
8.711
6.091
SMF
NAMA
NU
IL-6 (AWAL)
1.894
IL-6 (4 MINGGU)
1.783
MS
1.783
1.56
NNA
0.666
1.003
PG
0.78
0.78
0.557
1.56
KS
1.56
0.78
3.332
3.438
SWA
1.894
16.238
MP
1.894
1.449
10
KR
1.783
1.114
11
0.669
1.003
12
PK
1.226
0.223
13
FN
1.726
9.624
14
WJ
2.117
7.522
15
AM
1.56
2.674
16
KS
0.669
8.96
17
NK
0.334
0.334
18
IGMS
0.728
0.669
19
IAMW
0.638
0.78
20
GS
1.63
1.114
SMF
Patologi Klinik
FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar
Valid
N
Missing
Percent
Total
Percent
Percent
20
100.0%
.0%
20
100.0%
20
100.0%
.0%
20
100.0%
20
100.0%
.0%
20
100.0%
20
100.0%
.0%
20
100.0%
20
100.0%
.0%
20
100.0%
20
100.0%
.0%
20
100.0%
Tests of Normality
Perlaku
an
umur pasien
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
.153
df
Shapiro-Wilk
Sig.
20
.200*
Statistic
.925
df
Sig.
20
.121
lama DM
HbA1C
.142
20
.200*
.938
20
.219
.237
20
.005
.794
20
.001
.183
20
.078
.880
20
.018
.118
20
.200*
.934
20
.187
.176
20
.107
.936
20
.205
95%
Confidence
Interval of the
Difference
F
umur Equal
pasien variances
assumed
.394
Equal
variances
not
assumed
HbA1C Equal
variances
assumed
.668
Sig.
.534
t
1.579
df
Sig.
(2Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference Lower Upper
38
.123
-4.150
2.628 -9.470
1.170
37.595
1.579
.123
-4.150
2.628 -9.472
1.172
.190
.310
.419 1.336
38
.232
-.160
.780
Equal
variances
not
assumed
1.336 36.777
.190
.310
.232
NPar Tests
Descriptive Statistics
N
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
lama DM
40
8.83
9.594
37
perlakuan
40
1.50
.506
Ranks
perlaku
an
lama DM
Mean Rank
Sum of Ranks
20
18.55
371.00
20
22.45
449.00
Total
40
Test Statisticsb
lama DM
Mann-Whitney U
161.000
-.160
.780
Wilcoxon W
371.000
-1.059
.290
.301a
Missing
Percent
Total
Percent
Percent
40
100.0%
.0%
40
100.0%
pendidikan * perlakuan
40
100.0%
.0%
40
100.0%
JENIS KELAMIN
Crosstab
Perlakuan
A
jenis kelamin
perempuan
laki-laki
Total
Total
12
13
15
28
20
20
40
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
Df
.476a
.490
.119
.730
.478
.489
.731
Linear-by-Linear
Association
.464
N of Valid Casesb
.496
40
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.00.
PENDIDIKAN
Crosstab
Perlakuan
A
pendidikan
Total
TDK SEK0LAH
SD
10
SMP
SMA
14
S1
D2
D3
20
20
40
Total
Chi-Square Tests
Value
Df
.366
Pearson Chi-Square
4.543a
.604
Likelihood Ratio
5.014
.542
Linear-by-Linear
Association
.195
.658
N of Valid Cases
40
Valid
N
Missing
Percent
Total
Percent
Percent
20
100.0%
.0%
20
100.0%
20
100.0%
.0%
20
100.0%
Tests of Normality
perlaku
an
imt
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.135
20
.200*
.958
20
.510
.124
20
.200*
.968
20
.707
Levene's
Test for
Equality of
Variances
F
imt
Equal
variances
assumed
Sig.
Equal
variances
not assumed
df
Sig.
Std. 95% Confidence
(2- Mean Error Interval of the
Difference
taile Differe Differe
d)
nce
nce
Lower Upper
38 .227 1.49026 1.21341 -.96615 3.94667
KADAR IL-6
perlakuan
kadar IL-6
A
(1)
B
kadar IL-6
A
(2)
B
PerbedaanIL A
B
kadar IL-6
(1)
kadar IL-6
(2)
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
perlakuan Statistic
df
Sig.
A
,256
20 ,001
B
,189
20 ,061
A
,194
20 ,048
B
,326
20 ,000
Total
N
Percent
20 100,0%
20 100,0%
20 100,0%
20 100,0%
20 100,0%
20 100,0%
Shapiro-Wilk
Statistic
df
Sig.
,798
20 ,001
,894
20 ,032
,869
20 ,011
,670
20 ,000
PerbedaanIL A
,150
20 ,200*
B
,363
20 ,000
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
,946
,644
20 ,316
20 ,000
Descriptives
perlakuan
kadar IL-6
(1)
Mean
95% Confidence
Interval for Mean
Statistic
Lower Bound
Upper Bound
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
kadar IL-6
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
95% Confidence
Interval for Mean
Std.
Error
2,67380 ,533755
1,55664
3,79096
2,47456
2,06150
5,698
2,387023
,223
8,711
5% Trimmed Mean
Median
8,488
2,559
1,660 ,512
2,354 ,992
1,37200 ,165182
1,02627
1,71773
1,32078
1,56000
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
,546
,738714
,334
3,332
2,998
1,197
,726
,512
,898
,992
1,98110 ,323313
Lower Bound
Upper Bound
(2)
PerbedaanIL A
95% Confidence
Interval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
95% Confidence
Interval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
Mean
95% Confidence
Interval for Mean
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Lower Bound
Upper Bound
Lower Bound
Upper Bound
Lower Bound
Upper Bound
1,30440
2,65780
1,85667
1,43250
2,091
1,445901
,111
6,091
5,980
1,979
1,412
2,079
3,13040
1,17046
5,09034
2,56372
1,28150
17,537
4,187777
,223
16,238
16,015
2,467
2,116
4,254
-,6927
-1,6360
,2506
,512
,992
,936415
,512
,992
,45069
-,6956
-,3510
4,062
2,01555
-5,19
3,85
9,04
1,89
-,323 ,512
Kurtosis
Mean
95% Confidence
Interval for Mean
Lower Bound
Upper Bound
1,199 ,992
1,7584 ,90225
-,1300
3,6468
1,2126
,0530
16,281
4,03497
-1,00
5% Trimmed Mean
Median
Variance
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Range
Interquartile Range
Skewness
Kurtosis
14,34
15,35
1,48
2,165 ,512
4,302 ,992
Mann-Whitney Test
Ranks
perlakuan
kadar IL-6
A
(1)
B
Total
kadar IL-6
A
(2)
B
Total
PerbedaanIL A
B
Total
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
N
20
20
40
20
20
40
20
20
40
Mean
Rank
24,23
16,77
Sum of
Ranks
484,50
335,50
21,10
19,90
422,00
398,00
16,83
336,50
24,18
483,50
Test Statisticsb
kadar IL-6
kadar IL-6
(1)
(2)
PerbedaanIL
125,500
188,000
126,500
335,500
398,000
336,500
Z
-2,017
Asymp. Sig. (2-tailed) ,044
,745
a
Exact Sig. [2*(1-tailed ,043
,758a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: perlakuan
-,325
-1,989
,047
,046a