Anda di halaman 1dari 216

ABSTRAKS

Barangkali tidak banyak orang yang tahu bahwa pada era pergerakan nasional
hingga akhir kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, Cianjur pernah melahirkan
seorang tokoh pendidikan yang memiliki concern terhadap pemberdayaan kaum
perempuan. Selain itu, tidak banyak pula orang yang menyinggung bahwa selama
kurun waktu kurang lebih 48 tahun Cianjur pernah dijadikan sebagai ibukota
Karesidenan Priangan, yang pada perkembangannya sekarang telah berubah nama
menjadi Propinsi Jawa Barat. Sebagai salah satu kabupaten tertua di Priangan,
Cianjur termasuk salah satu daerah yang tidak dapat mangkir dari penetrasi VOC,
pemerintah kolonial Inggris dan Belanda, sehingga dalam rentang sejarahnya Cianjur
telah mengalami berbagai transformasi sosial budaya dalam berbagai aspek, salah
satunya adalah pendidikan.
Pada medio dasawarsa kedua abad ke-20, tepatnya pada tahun 1916, telah
berdiri sebuah lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan bagi kaum
perempuan. Sekolah ini bernama Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden
Siti Djenab bersama-sama dengan Raden Aria Muharram Wiranatakusumah yang
pada saat itu menjabat sebagai Bupati Cianjur. Modus pendirian Sakola Kautamaan
Istri dilatarbelakangi oleh suatu kondisi dimana kaum perempuan acap kali
memperoleh perlakuan diskriminatif, hanya karena alasan-alasan yang kurang logis.
Misalnya terjadi sebuah kondisi dimana orang tua akan lebih memperhatikan
pendidikan bagi anak laki-laki dibanding anak perempuannya hanya karena alasan
bahwa anak laki-laki pada akhirnya nanti akan menjadi seorang kepala keluarga
sedangkan perempuan akan dibawa oleh suaminya. Karena itu, wajar jika saat
pertama kali sekolah ini menancapkan pondasinya di kabupaten Cianjur, badai caci
maki pun langsung menghembus ke permukaan. Bertolak dari hal tersebut, maka
dilakukan penelitian sejarah pendidikan yang mengangkat tokoh pendidikan
perempuan di Cianjur.
Penelitian ini merupakan penelitian Sejarah Pemikiran Pendidikan. Oleh
karena obyek penelitian ini difokuskan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan
dunia pendidikan, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sejarah
pendidikan. Adapun data-data yang dijadikan rujukan diperoleh melalui sumber buku,
makalah, tulisan ilmiah dan berbagai arsip meskipun sifatnya masih sangat sederhana.
Sumber tertulis lainnya diperoleh pula dari Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Umum Fakultas
Sastra Universitas Padjadjaran Bandung dan Arsip Daerah pemerintah daerah
(PEMDA) Kabupaten Cianjur. Selain itu, untuk menambah referensi yang sudah ada,
penulis melakukan wawancara dengan beberapa orang saksi sejarah yang pernah
mengalami kontak langsung dengan sang tokoh.
Data-data yang diperoleh dari kedua sumber ini -tertulis dan wawancaraselanjutnya dianalisis dengan pendekatan kritik sejarah untuk memperoleh sebuah
konklusi yang lebih mendekati kebenaran. Kritik sejarah ini berfungsi menetapkan
validasi dari sumber-sumber sejarah, menguraikannya kepada unsur-unsurnya yang
baku serta membuat perbandingan serta evaluasi antara satuan-satuannya satu
persatu.

iii

Setelah dilakukan penelitian, dapat diketahui bahwa Raden Siti Djenab,


penggagas Sakola Kautamaan Istri Cianjur, adalah seorang aktifis perempuan Cianjur
yang terlahir dari keluarga menak. Namun demikian, orang tuanya bukan berasal dari
kalangan birokrat yang memiliki posisi strategis dalam arena pengambilan kebijakan.
Karena itu, pendirian Sakola Kautamaan Istri ini merupakan hasil kerja keras dan
jerih payah Raden Siti Djenab sebagai upaya untuk meningkatkan derajat kaum
perempuan Sunda khususnya dan perempuan Indonesia pada umumnya. Proyek
kemanusiaan yang berjangkauan ke depan itu ditempuh oleh Raden Siti Djenab demi
memupus realitas keterbelakangan, penindasan, kebodohan, kesewenang-wenangan
serta dominasi kaum laki-laki yang kerap menciptakan sekat-sekat dikotomis yang
tidak menguntungkan bagi kaum perempuan. Melalui pendidikan, Raden Siti Djenab
berusaha mengurai benang kusut relasi antara laki-laki dan perempuan yang terkesan
timpang dan tidak adil itu.
Secara historis, gagasan Raden Siti Djenab untuk mendirikan Sakola
Kautamaan Istri terinspirasi oleh kedua pendahulunya, yakni Raden Dewi Sartika dan
Raden Ayu Lasminingrat. Raden Dewi Sartika adalah sang pionir yang pertama kali
menelurkan gagasan tentang pemberdayaan pendidikan bagi kaum perempuan di tatar
Sunda. Pandangannya tentang wanita ideal yang tersimpul dalam slogannya yang
terkenal Nu bisa hirup! (yang dapat hidup) telah mengarahkan seluruh denyut
hidupnya untuk memperjuangkan nasib dan derajat kaum perempuan. Berkat tekad
dan upaya Raden Dewi Sartika-lah, Sakola Kautamaan Istri perdana mengejewantah
di Kabupaten Bandung. Sementara Raden Ayu Lasminingrat adalah seorang wanita
kreatif yang banyak mengarang buku-buku cerita untuk anak-anak. Karena melihat
adanya nilai positif bagi kaum perempuan dari model sekolah yang dikembangkan
oleh sahabatnya, Dewi Sartika, ia memutuskan untuk mendirikan Sakola Kautamaan
Istri di Garut.
Model pendidikan yang dikembangkan oleh Raden Siti Djenab, memiliki
karakteristik yang hampir serupa dengan model pendidikan yang digulirkan oleh
Raden Dewi Sartika dan Raden Ayu Lasminingrat. Kendati demikian, Raden Siti
Djenab mampu melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan Sakola
Kautamaan Istri agar sesuai dengan kondisi riil yang ia hadapi dalam konteks sosiokultural struktur masyarakat Cianjur. Adapun konsep pendidikan yang dirumuskan
oleh Raden Siti Djenab, secara umum dapat dibandingkan dengan konsep pendidikan
dua pendahulunya. Implementasi konsep itu sendiri tertuang dalam sistem pendidikan
dan proses belajar mengajar yang diterapkan di Sakola Kautamaan Istri Cianjur, di
antaranya dengan memfokuskan materi pelajaran pada keterampilan wanita sebagai
salah satu upaya pemberdayaan pendidikan bagi kaum perempuan. Meskipun dalam
proses pendiriannya mengadopsi dari Sakola Kautamaan Istri yang diprakarsai oleh
Raden Dewi Sartika dan Raden Ayu Lasminingrat, namun demikian bagi masyarakat
Cianjur lahirnya gagasan yang dikemukakan oleh Raden Siti Djenab telah
memberikan harapan tersendiri bagi perkembangan pendidikan bagi kaum perempuan
di Cianjur.

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur tak henti-hentinya penulis panjatkan kepada yang memiliki
segala keindahan yang dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
tesis ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah ke hadapan Nabi
Muhammad SAW yang telah menuntun umat manusia ke jalan kebenaran.
Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk melengkapi dan memenuhi syarat yang
telah ditetapkan dalam menempuh studi pada Konsentrasi Pendidikan Islam Program
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun
tema yang diangkat penulis adalah upaya pemberdayaan bagi kaum perempuan di
Kabupaten Cianjur yang diprakarsai oleh salah seorang tokoh pendidikan, yaitu
Raden Siti Djenab. Tentunya pemilihan tokoh serta lokasi penelitian yang bertempat
di Cianjur menjadi pertimbangan tersendiri bagi penulis. Selama ini para tokoh yang
banyak dipublikasikan dan dijadikan sebagai subyek penelitian adalah mereka yang
sudah dikenal banyak orang. Sehubungan dengan itu, penulis tergugah untuk
mengangkat tokoh pendidikan yang berasal dari Kabupaten Cianjur. Terlebih karena
hingga penelitian ini dilakukan, penulis hanya menemukan 2 (dua) referensi yang
mengangkat kiprah Raden Siti Djenab dalam dunia pendidikan, yaitu hasil penelitian
Edi S. Ekadjati dkk. yang bertemakan Sejarah Pendidikan Jawa Barat dan hasil
penelitian Reiza D. Dienaputra yang mengangkat tema Sejarah Cikal Bakal
Cianjur.

Hal ini tentunya menjadi kesulitan tersendiri bagi penulis karena literatur yang
dapat dijadikan referensi sangatlah sedikit. Sehingga untuk melengkapi data-data
yang diperlukan, penulis harus melakukan berbagai wawancara dengan saksi hidup
yang pernah mengalami kontak langsung dengan Raden Siti Djenab. Selain itu,
penulis juga menelusuri beberapa manuskrip tentang Kabupaten Cianjur di Kantor
Arsip Nasional Republik Indonesia, ditambah dengan data-data yang tersimpan di
Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Cianjur.
Selama penelitian ini dilakukan, tidak sedikit kepenatan dan kesulitan yang
dihadapi oleh penulis. Namun berkat kesungguhan dan kerja keras serta dorongan
dari berbagai pihak, alhmadulillah segala kepenatan dan kesulitan tersebut dapat
diatasi dengan sebaik-baiknya hingga tesis ini dapat diselesaikan. Sehubungan
dengan itu, selaiknyalah penulis menghaturkan ungkapan terima kasih yang tiada
terhingga kepada orang-orang yang telah memberikan dukungan baik moril maupun
materil kepada penulis selama proses penelitian ini dilaksanakan, di antaranya kepada
para dosen Program Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah mendidik penulis selama kurang lebih 3 (tiga) tahun hingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini. Meskipun tidak dapat penulis sampaikan satu persatu,
namun kasih sayang serta didikan yang telah tercurahkan dari mereka tidak akan
luntur sampai kapan pun.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Abuddin
Nata, MA yang telah meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukan beliau sebagai
Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum UIN Jakarta untuk membimbing

vi

penulis selama menyelesaikan tesis ini. Selanjutnya penulis juga menghaturkan


terima kasih yang tiada terhingga kepada Prof. Dr. Badri Yatim, MA yang telah
bersedia mencurahkan ide serta gagasannya untuk membimbing penulis, terutama
pengenalan terhadap penelitian sejarah yang masih sangat samar untuk diraba bagi
penulis. Semoga Allah SWT. senantiasa menyertai kesuksesan mereka dalam
menjalankan aktifitasnya.
Proses penelitian dalam rangka penulisan tesis ini telah memakan waktu
kurang lebih 10 bulan. Rentang waktu tersebut tentunya sedikit banyak telah
berpengaruh juga pada intensitas penulis dalam menjalankan rutinitas di Project
Implementation Committee (PIC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan PIC; Prof. Dr. Suwito, MA,
yang juga merangkap sebagai Ketua Konsentrasi Pendidikan Islam pada Program
Pascasarjana UIN Jakarta, Kusmana, MA, selaku koordinator lapangan PIC, my elder
brother; Eva Nugraha, M. Ag., sang bendahara; Mama Nia Sumianingsih, SE, the
best partner; Ahmadi Sahmi Sitompul dan Anna Ianah yang juga turut memberikan
semangat serta dukungan yang tiada hentinya. Terlebih karena selama penelitian ini
dilakukan, tidak sedikit waktu kerja yang tersita untuk melakukan berbagai macam
kegiatan yang berkenaan dengan penelusuran data.
Selama proses penelusuran data-data, penulis dihadapkan pada berbagai
kesulitan di antaranya ketika membaca, memahami serta menganalisis validasi data.
Terlebih karena data-data yang diperoleh masih berbentuk manuskrip dan masih
dikemas dalam Bahasa Belanda. Selain itu, minimnya literatur yang berkenaan

vii

dengan biografi sang tokoh sudah barang tentu menjadi kesulitan tersendiri bagi
penulis. Untuk mempermudah menelusuri jejak sejarah sang tokoh, selama proses
penelitian ini dilakukan penulis banyak dibantu oleh beberapa saksi hidup yang
pernah mengalami kontak langsung dengan Raden Siti Djenab, di antaranya: Drs. H.
Mangun Sudarso, satu-satunya menantu almarhum yang masih hidup, Drs. H. Ahmad
Hindarsah, salah seorang pensiunan guru pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Cianjur tahun 1975, R. Hj. Ule Djulaeha, salah seorang di antara murid
Sakola Kautamaan Istri Cianjur dan Drs. H. Iim Abdurrachim beserta staff pada
Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Cianjur. Informasi yang telah
mereka berikan telah menjadikan penelitian ini sebagai suatu hadiah terindah bagi
seluruh karuhun Cianjur.
Dalam menemukan tema penelitian yang tepat, penulis dibantu oleh salah
seorang pituin Cianjur, Yayan Sopyan, M. Ag. yang saat ini sedang menjabat sebagai
Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Tanpa ide serta gagasan dari beliau, penelitian ini tidak
mungkin bisa terjadi. You re my inspiration...!.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan PPs UIN
Jakarta; Khoeron, Nurbani, Emi, Iin, Waqi, Busahdiar, Maddais serta kawan-kawan
lainnnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Tidak lupa pula Lelis, Neni,
Sadiyah, Guntur, Rusydi serta Rahmat Hidayatullah. Terima kasih telah
menghadirkan rangkaian kata serta untaian kalimat yang indah sehingga tesis ini bisa
lebih dinikmati. Akan selalu penulis rindukan keceriaan, kebersamaan, keindahan

viii

bahkan hingga kegundahan hati kita selama menjalani proses pembelajaran.


Perjalanan masa studi kita sungguh menggugah jiwa, menggairahkan hati nurani
untuk selalu berbagi dalam lingkar persahabatan.
Ungkapan terima kasih selanjutnya penulis haturkan kepada papa dan mama
tercinta; Noor Rachmat Suwandi, B. Sc. Tek. dan Tien Sutini, juga kepada E. A.
Bakri dan E. Hafsah yang telah memberikan motivasi baik moril maupun materil
serta doa yang tulus kepada penulis. My Lovely Brother; Achmad Farid Zaenuri.
Sukses selalu...! Untuk almamaterku Yayasan Madrasah Tanwiriyyah Cianjur serta
kawan-kawan Pesanggrahan; Ummu, Eni, Yuni, Teh Siefa, Irma dan Cing Amat,
terima kasih atas rental gratisnya selama penulis menyelesaikan tesis ini. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan pula kepada seluruh anggota Pusat Studi Wanita
(PSW) UIN Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu; Dra. Tati
Hartimah, MA, Yudhi Munadi, M. Ag., Mumin Rauf, S. Ag., Marlia Ulfah, SE. I.,
atas pinjaman buku-buku yang berkenaan dengan gender mainstreaming. Semoga
Allah SWT. memberikan pahala yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah
memberikan dorongan kepada penulis selama menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak sekali kekurangan yang terdapat
pada tesis ini. Sehubungan dengan itu, kritik serta saran yang membangun akan
penulis terima dengan hati.
Jakarta, Juni 2007

Penulis

ix

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah


Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sistem pendidikan yang

diintroduksikan oleh pemerintah Belanda dan kemudian dianut oleh bangsa Indonesia
adalah sistem pendidikan yang bersifat dualistis, yakni sistem pendidikan Eropa dan
sistem pendidikan Pribumi. Hal ini tentunya tidak terlepas dari adanya suatu
fenomena yang berjalan beriringan dengan munculnya sistem perkebunan Eropa serta
perluasan birokrasi kolonial. Pada saat itu, perkembangan sistem perkebunan Eropa
(European Plantation) di suatu daerah atau wilayah akan selalu diikuti oleh
terjadinya perluasan birokrasi pemerintah kolonial Belanda. Sedangkan di lain pihak
penyusunan birokrasi kolonial modern menuntut adanya prasyarat lain, yakni
pendidikan.1
Sistem yang dibangun pada pendidikan dualistis ini menciptakan suatu garis
pemisah yang cukup tajam antara dua subsistem, yaitu sistem sekolah Eropa dan
sistem sekolah pribumi. Dengan adanya sistem dualistis seperti itu, bisa dibedakan

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg Sejarah Cikal Bakal
Cianjur dan Perkembangannya Hingga 1942, (Bandung: Prolitera, 2004), hal. 63.

adanya empat kategori sekolah sebagai perpaduan antara kedua subsistem tersebut,
yakni:
1. Sekolah Eropa. Sekolah ini sepenuhnya memakai model sekolah negeri
Belanda dengan menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar,
terlebih karena sekolah tersebut adalah khusus diperuntukkan bagi anak-anak
yang berasal dari Eropa.2
2. Sekolah bagi pribumi yang memakai Bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar. Pada abad ke-20, sekolah ini identik dengan Sekolah Kelas Satu
(Eerste Klasse).
3. Sekolah bagi pribumi yang memakai bahasa daerah sebagai bahasa pengantar.
Pada perkembangan selanjutnya, sekolah ini identik dengan Sekolah Kelas
Dua (Tweede Klasse).
4. Sekolah yang memakai sistem pribumi.3 Sekolah semacam ini sebetulnya
sudah ada sebelum kedatangan pemerintah kolonial Belanda ke Indonesia,
seiring dengan kedatangan ulama dari tanah Arab yang bernama Syarif
Hidayatullah ke Pulau Jawa, tepatnya ke daerah Sembung, Cirebon. Dengan
demikian, sekolah yang dimaksud adalah sekolah yang dikelola secara

Edi S. Ekajati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (Sampai Dengan Tahun 1950),
(Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, 1986), hal. 42
3
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari
Kolonialisme Sampai Imperialisme, (Jakarta: Gramedia, 1990), Jilid 2, hal. 76.

langsung oleh masyarakat pribumi yang disebut dengan Geestelijke Scholen


(Sekolah-sekolah Agama) atau lebih dikenal dengan nama pesantren.
Sistem seperti ini berlangsung hampir di semua wilayah di Indonesia,
termasuk Jawa Barat. Jauh sebelum mengenal sekolah model Barat, Jawa Barat sudah
lebih dahulu mengenal sekolah-sekolah yang menggunakan sistem pribumi. Sekolahsekolah dengan sistem pribumi ini oleh pemerintah kolonial Belanda disebut sebagai
Geestelijke Scholen (Sekolah-sekolah Agama) sementara di kalangan pribumi lebih
dikenal dengan nama pesantren.
Secara sederhana pesantren diartikan sebagai suatu lembaga pendidikan
tempat menimba ilmu-ilmu agama Islam. Idealnya sebuah pesantren akan terdiri dari
beberapa elemen, di antaranya: (1) Pondok, (2) Mesjid, (3) Santri, (4) Kyai, dan (5)
Kitab kuning. Sebuah pesantren pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan
Islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah
bimbingan seorang guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Terdapat tiga alasan
utama kenapa pesantren senantiasa menyediakan asrama atau pondok bagi para
santrinya; Pertama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya
tentang Islam akan menarik para santri yang datang dari jauh. Dengan demikian,
untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dilaksanakan secara
berkesinambungan, para santri harus meninggalkan kampung halamannya dan
menetap di lokasi yang dekat dengan kediaman kyai. Kedua, hampir semua pesantren

berada di desa-desa di mana tidak tersedia fasilitas akomodasi yang cukup untuk
dapat menampung para santri. Dengan demikian diperlukan adanya asrama khusus
bagi para santri. Ketiga, adanya sikap take and give antara kyai dengan santrinya, di
mana para santri akan menganggap kyai seolah-olah sebagai ayahnya sendiri. Begitu
pula dengan keberadaan sebuah mesjid, karena mesjid merupakan elemen yang tidak
dapat dipisahkan dengan pesantren. Kedudukan mesjid sebagai pusat pendidikan
dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universal dari sistem pendidikan
tradisional Islam. Keberadaan para santri juga akan menjadi elemen yang sangat
penting pada sebuah pesantren, di mana para santrilah yang nanti akan bertindak
sebagai subyek pendidikan. Pada perkembangan selanjutnya, santri dibagi menjadi
dua bagian, yakni santri mukim dan santri kalong. Secara otomatis, kyai juga akan
menjadi elemen yang paling esensial dari suatu pesantren.4
Elemen terpenting lainnya dari sebuah pesantren adalah adanya kegiatan
pengajian Kitab Kuning. Dinamakan Kitab Kuning karena pada saat itu kertas yang
digunakan untuk menulis buku-buku atau kitab berasal dari Timur Tengah berwarna
kuning. Kondisi seperti ini mulai dilakukan pada awal abad ke dua puluh.
Sehubungan dengan itu, Bruinessen memiliki pemahaman tersendiri mengenai Kitab

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1985), Cet. IV, hal. 44 - 60.

Kuning. Kitab Kuning diartikan sebagai buku-buku berhuruf Arab yang biasa
digunakan di lingkungan pesantren dan dicetak di atas kertas berwarna kuning.5
Perkembangan pesantren di Jawa Barat cukup pesat. Pada 1856, di Cianjur
telah ada 27 pesantren, dengan jumlah guru 27 orang. Dengan demikian, setiap
pesantren dikelola oleh seorang guru. Jumlah santri yang menimba ilmu di pesantrenpesantren tersebut seluruhnya berjumlah 1.090 orang, atau sepadan dengan asumsi 40
orang untuk masing-masing pesantren. Sebagai bahan perbandingan, pada tahun yang
sama Kabupaten Bandung memilliki 57 pesantren, Kabupaten Sumedang 84
pesantren, kabupaten Sukapura 3 pesantren dan kabupaten Limbangan 53 pesantren.
Adapun jumlah santri adalah 1.292 orang di Kabupaten Bandung, 2.017 orang di
Kabupaten Sumedang, 35 di Kabupaten Sukapura dan 688 orang di Kabupaten
Limbangan.6
Adapun lembaga pendidikan yang pertama kali didirikan oleh pemerintah
kolonial Belanda adalah Sekolah Artileri di Meester Cornelis (sekarang menjadi
Jatinegara, Jakarta Timur), yang didirikan pada permulaan abad ke-19 tepatnya tahun
1806 mulai dibuka. Dua tahun berikutnya, yakni pada 1808, Daendels mulai berkuasa
di Indonesia. Dalam hal ini, Daendels merancang untuk mendirikan sekolah di Jawa
Barat namun seiring dengan kedatangan Inggris dan berkuasanya Raffles di Pulau
5

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), Cet. III, hal. 131 142.
6
Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 64.

Jawa pada 1811, rencana itu tidak terealisasikan. Namun demikian, pada tahun 1809
Daendels telah berhasil mendirikan pendidikan bidan sebagai bagian dari usaha
pemeliharaan kesehatan rakyat. Pada tahun yang sama Daendels juga telah
mendirikan tiga buah sekolah gadis (ronggeng) di Cirebon, meskipun dalam
pelaksanaannya sekolah ini dikelola di bawah tanggungan sultan.
Pada perkembangan selanjutnya, yakni pada 1816 kekuasaan atas Pulau
Jawa kembali beralih ke tangan Belanda. Pada saat itu penyelenggaraan sekolahsekolah diserahkan kepada C. G. C. Reinwardt, dan untuk yang pertama kalinya
bertempat di Jakarta dibuka sekolah yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak
Eropa yaitu Europeesche Lagere School (ELS) pada 24 Februari 1817. Sekolah ini
pun dikembangkan menjadi 7 (tujuh) buah di seluruh Pulau Jawa, yakni 2 (dua buah)
di Jakarta, tepatnya di Weltevreden dan Movenvliet, serta masing-masing 1 (satu)
buah di daerah Cirebon, Semarang, Surakarta, Surabaya dan Gresik.7
Pada 1891, pemerintah Belanda mulai memperkenalkan Politik Etis
(Eitische Politick). Politik Etis merupakan garis politik kolonial baru yang
diintroduksikan secara resmi oleh van Demen sebagai anggota Perlemen Belanda.
Dalam pidatonya pada 1891 dikemukakan adanya keharusan untuk memisahkan
keuangan Indonesia dari negeri Belanda. Selain itu, Demen juga meniscayakan
adanya kemajuan dan kesejahtaraan rakyat serta ekspansi yang pada umumnya
7

Edi S. Ekajati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 41- 42.

menuju pada suatu politik yang konstruktif. Perjuangan politik kolonial yang
progresif itu kemudian diteruskan oleh Van Kol, Van Deventer dan Brooschooft.
Dalam salah satu tulisannya pada majalah De Gids berjudul Hutang Kehormatan,
Van Deventer menyatakan bahwa hasil dari panen yang sangat berharga melalui
sistem Tanam Paksa, Negeri Belanda telah memperoleh keutungan berjuta-juta
gulden. Sebagai contoh, antara tahun 1867 hingga 1878 keuntungan yang diperoleh
Belanda tidak kurang dari 187 juta gulden. Hal ini menjadi hutang budi Belanda
terhadap rakyat Indonesia yang perlu dikembalikan, sekalipun dalam bentuk lain
karena hal tersebut merupakan hutang kehormatan.
Anjuran Van Deventer tersebut kemudian terkenal dengan sebutan Trilogi
Van Deventer atau Trias Etika, yaitu: Pendidikan, Irigasi dan Emigrasi. Oleh karena
para pendukung Politik Etis mempunyai pengaruh yang besar dan luas, maka Politik
Etis mendapat dukungan dari semua golongan. Mereka menyatakan bahwa
pemerintah Belanda harus memperhatikan kepentingan pribumi dan membantu
Indonesia, salah satunya dengan pendidikan. Dalam bidang pendidikan, pemerintah
Belanda memfokuskan salah satu kebijakannya pada pokok-pook pikiran sebagai
berikut:
a. Diberikannya kemungkinan yang luas untuk menerapkan sistem pendidikan dan
pengetahuan Barat bagi masyarakat bumiputera. Oleh karena itu, maka Bahasa

Belanda diharapkan dapat menjadi pengantar di sekolah-sekolah yang


diperuntukkan bagi pribumi.
b. Memberikan pendidikan rendah bagi golongan bumiputera yang disesuaikan
dengan kebutuhan mereka.
Kebijakan tersebut merupakan realisasi daripada Politik Etis dalam bidang
pendidikan yang telah mengakibatkan adanya dampak-dampak diantaranya:
diselenggarakannya pendidikan bagi golongan atas, dengan demikian masyarakat
Indonesia lambat laun dapat menduduki posisi yang sampai saat itu hanya dapat
diduduki oleh orang Belanda. Selain itu, masyarakat Indonesia juga mencapai
kemajuan bahasa dan kebudayaan Barat karena kesempatan untuk belajar Bahasa
Belanda pun semakin diperluas. Sekolah-sekolah yang sudah didirikan sebelumnya
oleh pemerintah Belanda pun mulai mengalami penataan yang lebih baik.8
Pada masa pergerakan di Karesidenan Priangan banyak berdiri lembagalembaga pendidikan yang dikelola langsung oleh masyarakat pribumi, diantaranya
adalah sekolah yang didirikan di Tasikmalaya yaitu HIS Bersubdisi yang lebih
dikenal dengan sebutan HIS Pasundan. Sekolah ini didirikan sebagai realisasi
program sebuah lembaga bernama Bale Pawulangan Pasundan yang berdiri pada
1924 dan diketuai oleh Ahmad Atmadja. Selain itu, di Kabupaten Bandung berdiri
pula Ksatrian Instituut yang dipelopori oleh Dr. E. F. E. Douwes Dekker yang
8

Edi S. Ekajati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 54-56

terkenal dengan nama Dr. Danudurdjo Setiabudi. Sekolah ini didirikan pada
November 1924 dan bertujuan untuk menumbuhkan jiwa nasional dan pendidikan ke
arah manusia yang berpikiran merdeka.9
Namun hal yang dipandang menarik adalah berdirinya 3 (tiga) sekolah yang
khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan. Pada tanggal 16 Januari 1904 di
propinsi Jawa Barat, tepatnya di Kota Bandung, telah berdiri Sakola Istri yang
diprakarsai oleh Raden Ayu Dewi Sartika. Menyusul 3 (tiga) tahun kemudian berdiri
satu lembaga yang memiliki konsentrasi yang sama dengan Raden Ayu Dewi Sartika,
yaitu Sekolah Kautamaan Istri Ayu Lasminingrat. Sekolah ini didirikan di Garut pada
tahun 1907 oleh Raden Ayu Lasminingrat dengan nama Sekolah Kautamaan Istri.
Setelah itu, pada 1916 berdiri Sakola Kautamaan Istri yang berlokasi di kota Cianjur.
Sekolah ini didirikan pada masa pemerintahan Bupati Cianjur, Raden Aria Muharram
Wiranatakusumah dan diprakarsai oleh Raden Siti Djenab.10
Sekolah-sekolah yang disebutkan di atas memiliki concern yang sama,
yakni meningkatkan kualitas sumber daya manusia wanita Sunda pada khususnya dan
wanita Indonesia pada umumnya. Selain itu, sekolah-sekolah tersebut meniscayakan
kaum wanita untuk mencapai kemajuan dalam segala bidang tanpa melupakan
kodratnya sebagai seorang wanita. Alasan lain dari Raden Ayu Dewi Sartika, Raden

Edi S. Ekajati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 86-90
Edi S. Ekajati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 80 - 85

10

Siti Djenab dan Raden Ayu Lasminingrat mendirikan Sakola Kautamaan Istri juga
karena adanya keinginan yang kuat untuk mendobrak paham lama bahwa kaum
wanita tidak wajib untuk mendapat pendidikan yang layak seperti anak laki-laki pada
umumnya.
Suryadi mengemukakan bahwa salah satu bentuk ketidakadilan gender yang
seringkali menimpa kaum perempuan adalah kuatnya paham diskriminasi perempuan
terhadap laki-laki. Diskriminasi seperti ini misalnya terjadi pada sebuah kondisi di
mana orang tua akan lebih memperhatikan pendidikan bagi anak laki-laki dibanding
anak perempuannya. Alasannya sangat klise, di antaranya bahwa anak laki-laki pada
akhirnya nanti akan menjadi seorang kepala keluarga sedangkan perempuan akan
dibawa oleh suaminya. Alasan lain yang mencuat adalah faktor ekonomi. Jika ada
sebuah keluarga yang tergolong tidak mampu, maka orang tua akan lebih
mementingkan pendidikan anak laki-lakinya untuk masuk ke sekolah formal tanpa
mempertimbangkan potensi dan prestasi yang dimiliki oleh anak-anak perempuannya.
Dengan demikian, kaum perempuan tidak memiliki daya intelektual yang tinggi
dibanding

dengan

kaum

laki-laki,

sehingga

seringkali

kaum

perempuan

terdiskriminasikan karena alasan-alasan yang kurang logis.11

11

Ace Suryadi dan Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, (Bandung: PT.
Genesindo, 2004), hal. 70.

10

Terlebih pada saat itu, kondisi realitas perempuan yang berasal dari
golongan menak (priyayi) memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan kaum
perempuan pada umumnya. Anak-anak gadis dari golongan priyayi usia kanak-kanak
hingga usia 10 tahun memiliki kehidupan yang berbeda dengan anak-anak gadis
seusianya yang berasal dari golongan masyarakat biasa. Perbedaan tersebut antara
lain terletak pada batasan yang mengurangi kebebasan mereka dalam bermain.
Mereka dilarang untuk bermain sembarangan kecuali dengan teman-teman yang
memiliki derajat yang sama dengan mereka. Begitu pula dengan jenis permainan dan
tempat yang digunakan untuk bermain, tidak semua jenis permainan dapat dimainkan
secara bebas oleh anak-anak gadis dari golongan priyayi. Permainan yang mereka
miliki tidak sebanyak seperti permainan anak-anak gadis biasa pada umumnya.
Adapun jenis permainan yang boleh dimainkan oleh mereka antara lain:
bermain bersama sambil bernyanyi-nyanyi menjelang senja atau di bawah sinar
bulan, mendengarkan cerita dari para dayang atau pengasuh dan bemain teka-teki.
Khusus bagi para anak-anak gadis yang berasal dari keluarga pejabat kabupaten,
selain mendapat permainan seperti yang telah disebutkan di atas, mereka
mendapatkan arahan dan pelajaran tentang tarian yang diiringi dengan gamelan.
Selain peraturan-peraturan di atas, mereka juga tidak diperkenankan bermain di alam
bebas dan terbuka kecuali di halaman-halaman yang luas, pendopo-pendopo dan
paseban-paseban yang ada di sekitar rumahnya.

11

Pendidikan yang diterima oleh para anak gadis dari kalangan priyayi pada
umumnya cukup dengan pelajaran agama, salah satunya dengan belajar membaca AlQuran. Terlebih pada saat itu, belum ada peraturan yang mewajibkan mereka untuk
sekolah. Jumlah sekolah yang ada pada saat itu juga tergolong masih sangat sedikit.
Maka jumlah anak-anak gadis yang mendapat pendidikan formal di sekolah pun
masih sangat terbatas dan hanya boleh diikuti oleh golongan-golongan tertentu saja.
Walaupun anak-anak dari kalangan kaum priyayi mendapat hak-hak istimewa, namun
mereka tidak dengan sendirinya dapat menikmati hak-hak tersebut. Dalam hal
pendidikan misalnya, anak laki-laki mendapatkan prioritas yang lebih utama
dibanding dengan anak-anak perempuan. Adat istiadat dan kondisi sosial yang
berkembang pada saat itu membuat anak perempuan lebih terikat pada lingkungan
rumah tangga.12
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila konsep yang dikemukakan
oleh Raden Dewi Sartika, Raden Ayu Lasminingrat dan Raden Siti Djenab lebih
menitikberatkan pada upaya pemberdayaan pendidikan pada kaum perempuan,
khususnya kaum perempuan yang berada di Jawa Barat. Hal tersebut direalisasikan
dengan mendirikan sekolah yang khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan.

12

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


Proyek Buku Terpadu, 1985), hal. 34

12

Bertolak dari permasalahan tersebut di atas, perlu kiranya dilakukan


penelitian yang lebih mendalam mengenai eksistensi dan konsep pendidikan bagi
kaum wanita Sunda seperti yang sudah dikemukakan di atas. Namun demikian, pada
penelitian ini penulis tidak membahas ketiga tokoh tersebut secara keseluruhan.
Adapun tokoh yang akan menjadi obyek penelitian kali ini adalah Raden Siti Djenab,
pendiri Sakola Kautamaan Istri yang didirikan pada tahun 1916 di Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat.
Sehubungan dengan itu, penulis akan mengambil tema Konsep
Pendidikan Raden Siti Djenab (Upaya Pemberdayaan Pendidikan Bagi Kaum
Perempuan di Cianjur Dari Tahun 1916 1942).

B.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat

diidentifikasi beberapa masalah yang akan dimunculkan, di antaranya mengenai


sejarah singkat kota Cianjur sejak berdiri pada tahun 1677, sistem pendidikan yang
ada di Cianjur sebelum tahun 1916 serta situasi masyarakat Cianjur sebelum
berdirinya Sakola Kautamaan Istri. Selain itu, perlu diketahui pula kondisi awal
pendidikan untuk kaum perempuan di Cianjur sebelum berdirinya Sakola Kautamaan
Istri dan alasan Raden Siti Djenab mendirikan Sakola Kautamaan Istri.

13

Sehubungan dengan adanya berbagai kondisi yang timbul pada saat itu,
terdapat kemungkinan bahwa Raden Siti Djenab mendirikan Sakola Kautamaan Istri
terinspirasi oleh salah satu tokoh yang memiliki peranan yang sangat penting dalam
dunia pendidikan di daerah Jawa Barat. Dengan demikian, alasan kenapa sekolah
yang didirikan oleh Siti Djenab dinamakan Sakola Kautamaan Istri pun patut
dipertanyakan.
Untuk memprakarsai sebuah lembaga pendidikan, diperlukan adanya
perencanaan yang matang dari pihak penyelenggara sehingga perlu diketahui apakah
proses pendirian Sakola Kautaman Istri dilakukan oleh Raden Siti Djenab secara
individu atau kelompok. Dalam hal ini akan diketahui pula siapa yang telah memberi
motivasi atau pengaruh kepada Raden Siti Djenab dalam mengaplikasikan
gagasannya mendirikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum perempuan di
Cianjur.
Setelah proses pendirian Sakola Kautamaan Istri selesai dilaksanakan, perlu
diketahui pula bagaimana pola dan sistem pendidikan yang diterapkan oleh Raden
Siti Djenab dalam mendidik siswanya pada Sakola Kautamaan Istri. Bahkan respon
yang muncul dari pemerintah Kabupaten Cianjur pada saat itu sangat penting pula
untuk diketahui.
Hal yang tidak kalah penting lainnya untuk dikaji adalah kemungkinan
adanya korelasi antara konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Raden Siti Djenab

14

dengan konsep yang dikemukakan oleh Raden Dewi Sartika di Kabupaten Bandung
dan Raden Ayu Lasminingrat di Kabupaten Garut karena tidak tertutup kemungkinan
bahwa Raden Siti Djenab terinspirasi oleh kedua tokoh tersebut.

C.

Pembatasan Masalah
Penelitian ini merupakan penelitian pemikiran pendidikan yang menggunakan

pendekatan sejarah. Namun demikian, karena fokus penelitian lebih diarahkan pada
aspek-aspek pendidikan maka secara spesifik masalah-masalah yang terdapat dalam
penelitian ini dititikberatkan pada masalah-masalah pendidikan, dan concern
pendidikan yang akan dianalisis adalah konsep pendidikan kaum perempuan yang
dikemukakan oleh Raden Siti Djenab. Sedangkan lokasi yang akan menjadi objek
penelitian adalah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Adapun rentang waktu yang akan diteliti dibatasi pada tahun 1916 1942.
Hal ini disesuaikan dengan awal didirikannya Sakola Kautamaan Istri Cianjur pada
tahun 1916 hingga akhir kekuasaan pemerintah kolonial Belanda pada 1942 karena
setelah kedatangan pemerintah Jepang seluruh sistem pendidikan warisan Belanda
yang ada di Indonesia dirubah total menjadi sistem pendidikan Jepang.

15

D.

Perumusan Masalah
Berdasarkan pada pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, maka

masalah-masalah yang terdapat pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kiprah Raden Siti Djenab dalam bidang pendidikan khususnya
pendidikan bagi perempuan di Cianjur?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Raden Siti Djenab dalam
mengaplikasikan gagasannya?
3. Bagaimana pola dan sistem pendidikan yang diterapkan oleh Raden Siti
Djenab dalam mendidik siswanya pada Sakola Kautamaan Istri?
4. Bagaimana korelasi antara konsep pendidikan umum dengan pendidikan
agama yang dikemukakan oleh Raden Siti Djenab?
5. Bagaimana korelasi antara konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Raden
Dewi Sartika, Raden Ayu Lasminingrat dan Raden Siti Djenab?

E.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kiprah Raden Siti Djenab dalam

bidang pendidikan, khususnya pendidikan bagi kaum perempuan di Kabupaten


Cianjur, serta mengetahui pola dan sistem pendidikan yang diterapkannya dalam
mendidik siswanya pada Sakola Kautamaan Istri.

16

Dengan dilaksanakannya penelitian ini, dapat diketahui pula faktor-faktor


yang mempengaruhi Raden Siti Djenab dalam mengaplikasikan gagasannya untuk
mendirikan Sakola Kautamaan Istri. Selain itu, karena proses pendirian sekolah ini
mengadopsi dari sekolah yang sudah ada sebelumnya yakni Sakola Istri yang
didirikan oleh Raden Dewi Sartika dan Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh
Raden Ayu Lasminingrat maka penelitian ini juga akan bertujuan untuk mengetahui
korelasi konsep pendidikan yang dikemukakan oleh ketiga tokoh tersebut.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya dari penelitian ini adalah bagaimana
Raden Siti Djenab mengintegrasikan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan
agama yang diterapkan pada Sakola Kautamaan Istri. Hal tersebut dipandang perlu
untuk dikaji karena sekolah yang didirikan oleh Raden Siti Djenab tersebut bukanlah
sekolah yang berciri khas agama Islam.

F.

Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada sivitas

akademika pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya tentang konsep
pendidikan yang dikemukakan oleh Raden Siti Djenab. Selain itu, penelitian ini
juga diharapkan akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pengembangan
wawasan yang lebih luas kepada masyarakat tentang suatu konsep mengenai upaya
pemberdayaan pendidikan bagi kaum perempuan. Hal lain yang tidak kalah

17

pentingnya adalah hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi
dan masukan bagi pemerintah daerah (PEMDA) Kabupaten Cianjur dalam
menyusun rencana strategis pengembangan kualitas sumber daya kaum perempuan
Sunda yang berada di Kabupaten Cianjur. Selebihnya, semoga dengan
dilaksanakannya penelitian ini masyarakat Cianjur khususnya, dan masyarakat luas
pada umumnya dapat mengenal lebih jauh tentang sosok seorang perempuan
pribumi dari Cianjur yang berhasil mengembangkan konsep pendidikan bagi kaum
perempuan di Jawa Barat yaitu Raden Siti Djenab.

G.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian Sejarah Pemikiran Pendidikan. Oleh

karena obyek penelitian ini difokuskan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan
dunia pendidikan, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sejarah
pendidikan.13 Dalam menyusun laporan penelitian sejarah, peneliti dihadapkan pada
masalah khusus dalam penulisan dan penafsiran data sejarah. Penelitian sejarah
sendiri baru bisa dimulai setelah peneliti telah mengidentifikasi suatu pertanyaan
yang membingungkan dan kemudian merumuskannya dengan benar. Dalam hal ini

13

Imam Barnadib, Arti dan Metode Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP
IKIP, 1982), hal. 51.

18

peneliti menggunakan proses induktif dalam menyusun kesimpulan dari fakta-fakta


yang sudah diketahui.14

1. Sumber dan Jenis Data yang Digunakan


Sumber dan jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah:
a. Sumber tertulis.15 Sumber tertulis ini diperoleh melalui sumber buku,
makalah, tulisan ilmiah dan berbagai arsip meskipun sifatnya masih sangat
sederhana. Sumber tertulis lainnya diperoleh pula dari Arsip Nasional
Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia,
Perpustakaan Umum Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung dan
Arsip Daerah pemerintah daerah (PEMDA) Kabupaten Cianjur.
b. Foto. Dari keseluruhan dokumen yang ditelusuri oleh peneliti, foto adalah
salah satu sumber yang dianggap lebih mudah ditemukan oleh peneliti
dibanding dengan dokumen pribadi. Meskipun hanya satu eksemplar foto
Raden Siti Djenab yang ditemukan, setidaknya foto yang diperoleh telah
menghasilkan data-data deskriptif yang cukup berharga dan ditelaah dari segi
subjektif serta dianalisis secara induktif.16

14

Consuelo G. Sevilla dkk., Pengantar Metode Penelitian, terj. Alimuddin Tuwu, (Jakarta: UI
Press, 1993), hal. 70.
15
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),
Cet. XVIII, hal. 113 - 114
16
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, hal. 14 16.

19

2. Teknik Perolehan Data


Data-data yang dikumpulkan pada penelitian ini diperoleh melalui:
a. Library research (kajian pustaka). Seperti yang telah dikemukakan di atas
bahwa referensi yang ditemukan juga masih sangat sedikit. Dari literatur yang
penulis gunakan, hanya terdapat beberapa data primer yang bisa dijadikan
sebagai rujukan. Selebihnya, peneliti menemukan data-data melalui makalahmakalah dan website. Tulisan-tulisan tersebut dibaca, selanjutnya dianalisis
kemudian disimpulkan. Dalam hal ini, penulis menemukan beberapa kendala
dalam menelaah data-data karena terdapat beberapa persepsi mengenai data
yang disampaikan oleh masing-masing penulis. Terlebih karena penelitian ini
menggunakan pendekatan sejarah, maka jika terdapat beberapa perbedaan
pendapat seperti waktu dan tempat kejadian, hal tersebut meniscayakan
peneliti untuk dapat membandingkan serta menganalisis antara data yang satu
dengan yang lainnya secara tajam.17
b. Field Research. Selama penelitian ini dilaksanakan, peneliti juga melakukan
wawancara yang mendalam (in-depth interview) kepada sumber-sumber yang
dianggap tahu tentang eksistensi Raden Siti Djenab dan Sakola Kautamaan
Istri. Abdurrahman memiliki pandangan tersendiri terhadap proses wawancara
yang akan dilakukan oleh seorang peneliti dimana terdapat beberapa kode etik
17

Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Metode Penelitian
Sejarah, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hal. 106.

20

tertentu agar informan dengan segala senang hati bersedia memberikan


jawaban atau penjelasan, di antaranya meminimalisir adanya kesan memaksa,
pengajuan pertanyaan dikemas dalam gaya bahasa yang mudah dipahami oleh
informan, tidak menyinggung perasaan, dll.18 Dalam hal ini peneliti telah
melakukan wawancara di antaranya: 1) Raden Hj. Ule Djulaeha, salah seorang
siswi Sakola Kautamaan Istri dan pernah bertemu dengan Raden Siti Djenab,
2) Drs. H. Muhammad Mangun Sudarso, salah satu keluarga Raden Siti
Djenab yang masih hidup, dan 3) Dra. Hj. Aan Hasanah, salah satu guru
Sakola Kautamaan Istri meskipun dalam proses pembelajarannya, sekolah
tersebut telah berganti nama menjadi Sekolah Kejuruan Keterampilan Pertama
(SKKP). Terdapat beberapa kendala ketika peneliti melakukan wawancara
karena kebanyakan informan yang dimintai keterangan sudah lanjut usia,
sehingga diperlukan ketelitian yang sangat tajam dalam menginput dan
menganalisis data. Sehubungan dengan itu, penulis menggunakan sistem snow
bowling effect dimana informasi yang berasal dari seorang informan
dibandingkan dengan informan yang lain sehingga data tersebut jelas dan
dianggap valid.

18

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. II, hal. 58

21

3. Teknik Pengolahan Data


Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa sumber dan jenis data yang
diperoleh pada penelitian ini salah satunya adalah berupa sumber tertulis, baik yang
ditulis tangan dalam bentuk manuskrip maupun yang sudah dicetak dalam bentuk
buku. Jenis data lain juga diperoleh dalam bentuk foto yang setidaknya dapat
memberikan informasi penting lainnya dari seorang tokoh yang bernama Raden Siti
Djenab. Data-data yang diperoleh pada penelitian ini sedikit banyak juga melibatkan
orang-orang yang terkait langsung dengan tokoh yang diteliti melalui proses
wawancara. Hal ini dipandang perlu karena mereka pernah mengalami kontak
langsung dengan sang tokoh. Setelah data-data tersebut diperoleh, peneliti mengolah
data-data tersebut dengan cara dibaca dan kemudian dianalisis dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Tentunya hal ini bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan,
terlebih karena salah satu diantara data-data yang diolah sebagian kecil masih
berbentuk manuskrip-manuskrip yang dikemas dalam Bahasa Belanda.
Data-data yang diperoleh dari kedua sumber ini -tertulis dan wawancaraselanjutnya dianalisis dengan pendekatan kritik sejarah untuk memperoleh sebuah
konklusi yang lebih mendekati kebenaran. Kritik sejarah ini berfungsi menetapkan
validasi dari sumber-sumber sejarah, menguraikannya kepada unsur-unsurnya yang
baku serta membuat perbandingan serta evaluasi antara satuan-satuannya satu
persatu.

22

4. Bentuk Pelaporan
Bentuk

laporan

penelitian

yang

disampaikan

dikemukakan

dengan

menggunakan pendekatan deskriptif analisis, yakni mendeskripsikan semua data-data


yang sudah diperoleh dan dianalisis sehingga menjadi satu bentuk kesatuan yang utuh
dan menyeluruh serta sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan
sebelumnya.19

19

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, hal. 193 - 214

23

BAB II
SEJARAH CIANJUR
DAN PERKEMBANGANNYA HINGGA TAHUN 1942

A. Sejarah Berdirinya Cianjur


Jauh sebelum kedatangan VOC dan pemerintah kolonial Belanda, pada
tahun 1620 di bagian Barat Pulau Jawa telah terbentuk sebuah wilayah politik yang
bernama Priangan. Wilayah ini berada di bawah kekuasaan Mataram yang
sebelumnya dikuasai oleh Kerajaan Sumedang Larang. Salah satu bentuk penataan
wilayah yang dilakukan oleh Mataram adalah dengan membentuk kabupaten. Adapun
kabupaten-kabupaten pertama yang dibentuk Mataram antara tahun 1641 1645
adalah Sumedang, Sukapura, Bandung, Parakanmuncang dan Karawang.1
Pada

perkembangan

selanjutnya,

yakni

pada

masa

pemerintahan

Amangkurat I yang berkuasa pada 1645 1677, Mataram kembali melakukan


penataaan dengan membentuk wilayah politik baru setingkat kabupaten, yang
dinamakan ajeg. Selama kurun waktu antara 1656 1657 Amangkurat I telah berhasil
mendirikan sembilan ajeg, yaitu: Sumedang, Bandung, Parakanmuncang, Sukapura,

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg Sejarah Cikal Bakal
Cianjur dan Perkembangannya Hingga 1942, (Bandung: Prolitera, 2004), hal. 11. Dikutip dari F de
Haan, Priangan; De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur Tot 1811, Deerde
Deel (Batavia: G. Kolff & Co., 1912), hal. 59; K. F. Holle, Geschiedenis der PreangerRegentschappen, TBG, XVII, hal. 235, 341 343; juga R. A. Kern, Geschiedenis der PreangerRegentschappen; Kort Overzigt (Bandung: De Vries & Fabricius, 1898), hal. 12.

Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaja (Galuh) dan Sekace (Galunggung atau


Sindangkasih). Penataan yang dilakukan oleh Amangkurat I ini merupakan penataan
terakhir yang dilakukan Mataram atas wilayah Priangan. Setelah menguasai Priangan
selama kurang lebih 57 tahun (16201677), Mataram kemudian menyerahkan
Priangan kepada VOC secara bertahap. Proses penyerahan wilayah ini dilakukan
selama 2 (dua) tahap; tahap pertama dilakukan pada 1677, dan tahap kedua dilakukan
pada 1705.2
Keinginan VOC untuk menguasai wilayah Priangan tidak terlepas dari
berbagai kepentingan politisnya, di antaranya: Pertama, tujuan politik, dengan
membentuk daerah pemisah antara dua kerajaan yang pada saat itu masih menjadi
lawan VOC, yakni Banten dan Mataram. Kedua, tujuan ekonomi, dengan melakukan
pemungutan hasil bumi untuk kepentingan perdagangannya.3 Berdasarkan kedua
kepentingan tersebut, jelas terlihat bahwa penyerahan Priangan dari Mataram kepada
VOC telah memberikan ruang tersendiri bagi VOC untuk bisa melakukan berbagai
inovasi sesuai dengan harapannya secara lebih leluasa. Dengan demikian, penyerahan
Priangan secara bertahap, otomatis telah membawa angin segar bagi VOC untuk
merealisasikan kepentingan politik dan ekonominya tersebut.
Pada saat yang bersamaan dengan proses penyerahan pertama sebagian
wilayah Priangan Barat, maka berakhirlah kekuasaan Mataram di tanah Priangan.
2

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 12.


Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 1900 Dari Emporium
Sampai Imperium, Jilid I, (Jakarta: Gramedia, 1987),hal. 243.
3

25

Pada bagian wilayah ini akhirnya dibentuk sebuah padaleman dengan nama Cianjur
dengan menjadikan Cikundul sebagai pusatnya. Adapun orang yang dipercaya untuk
memimpin padaleman disebut dengan dalem. Dalem pertama yang memangku
jabatan padaleman adalah dalem Raden Aria Wira Tanu I, yang berkuasa selama
rentang waktu antara 1677 1691. Selanjutnya, tampuk pemerintahan diserahkan
kepada Aria Wira Tanu II, dan pada saat yang bersamaan Cianjur resmi menjadi
sebuah kabupaten. Perubahan status atas Cianjur ini ditandai dengan pengakuan VOC
terhadap keberadaan Aria Wira Tanu II sebagai regent (bupati) Cianjur pada 1691
yang sekaligus dinobatkan menjadi bupati pertama Kabupaten Cianjur. Aria Wira
Tanu II sendiri menjabat sebagai bupati Cianjur hingga 1707. Dienaputra kembali
mengutarakan bahwa kelahiran Cianjur sebagai sebuah kabupaten jelas memiliki
keunikan tersendiri dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain yang dibentuk
oleh Mataram.
Sebetulnya dalam perjanjian yang disepakati pada 19 20 Oktober 1677
yang disepakati sebagai awal penyerahan kekuasaan Priangan dari Mataram kepada
VOC tidak disebutkan secara eksplisit tentang penyerahan wilayah Cianjur. Hal
tersebut disebabkan karena pada saat itu padalemen Cianjur belum dibentuk oleh
dalem Cikundul. Namun dalam traktat Mataram VOC dijelaskan bahwa wilayahwilayah yang diserahkan Mataram kepada VOC meliputi; Pertama, Wilayah sebelah
Timur Sungai Untung Jawa (Cisadane) hingga Sungai Karawang (Citarum), ke
sebelah Utara hingga Laut Jawa, ke sebelah Selatan hingga Laut Hindia. Kedua,

26

wilayah sebelah Barat Sungai Karawang (Citarum) hingga Sungai Pamanukan, ke


sebelah Selatan hingga Laut Jawa, ke sebelah Utara hingga Laut Jawa.4 Posisi Cianjur
sendiri berada sebelum Sungai Karawang (Citarum). Bahkan saat ini Sungai Citarum
dijadikan sebagai wilayah perbatasan antara Kabupaten Cianjur dengan Kabupaten
Bandung. Dengan demikian, Cianjur sudah masuk menjadi wilayah kekuasaan VOC
sejak masa penyerahan wilayah tahap pertama dari Mataram kepada VOC pada
rentang waktu antara 19 20 Oktober 1677.

B. Perkembangan Wilayah dan Sistem Politik


Setelah berubah status menjadi kabupaten pada akhir abad ke-17, Cianjur
mulai melakukan penataan. Salah satu penataan yang dilakukan oleh Aria Wira Tanu
II adalah dengan membentuk Ibukota Kabupaten Cianjur yang berada di Pamoyanan.
Namun hal itu tidak berlangsung lama karena mulai 1707 atau seiring dengan naiknya
Aria Wira Tanu III sebagai Bupati Cianjur, ibukota kabupaten dipindahkan ke
Kampung Cianjur. Berkat upaya yang dilakukan oleh Aria Wira Tanu III inilah untuk
yang pertama kalinya Cianjur mengalami penataan hingga berhasil dikembangkan
menjadi sebuah nagri yang layak menyandang sebutan ibu kota kabupaten. Atas
perannya membangun kampung Cianjur tersebut, Aria Wira Tanu III akhirnya
dikenal sebagai pendiri Kabupaten Cianjur. Selain itu, Aria Wira Tanu III juga

Bayu Surianingrat, Sajarah Cianjur sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur,
(Jakarta: Rukun Warga Cianjur, 1982), hal. 54-55.

27

dikenal sebagai bupati pertama di Priangan yang berhasil menyerahkan hasil


penanaman kopi kepada VOC.
Kesuksesan Aria Wira Tanu III yang telah menjadikan Cianjur sebagai
kabupaten pertama yang berhasil menyerahkan hasil penanaman kopinya kepada
VOC, secara tidak langsung telah menjadikan Cianjur sebagai sentra produsen kopi di
Priangan. Kesuksesan ini mendorong VOC untuk memberikan hadiah kepada Aria
Wira Tanu III dalam bentuk perluasan wilayah baru. Pemberian hadiah dalam bentuk
wilayah politik kepada Bupati Cianjur ini terjadi pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Van Swoll (17131718). Adapun daerah yang diberikan kepada Bupati Aria
Wira Tanu III adalah Distrik Jampang yang terletak di bagian Timur Cianjur Selatan.
Pada saat itu, Distrik Jampang diperkirakan telah dihuni oleh 300 kepala keluarga
(huisgezin). Sedangkan wilayah kedua yang dijadikan sebagai hadiah kepada Bupati
Aria Wira Tanu III adalah Sagarakidul yang terletak di Cianjur Selatan atau terletak
di sebelah Barat Distrik Jampang hingga perbatasan Banten. Pemberian hadiah ini
terjadi pada rentang waktu antara 1718 1725 atau pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Zwaadekroon. Tidak hanya itu, sejak 1724 Cianjur juga
mengalami pemekaran wilayah dengan memasukkan Kampung Baru menjadi bagian
dari kabupaten. Wilayah ini diberikan VOC berdasarkan permintaan yang diajukan
sendiri oleh Aria Wira Tanu III.5

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 14-15

28

Pemekaran wilayah selanjutnya terjadi pada 1748 dengan memasukkan


Cibalagung sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Cianjur. Pemekaran ini terjadi
ketika Aria Wira Tanu IV menjabat sebagai Bupati Cianjur pada rentang waktu antara
1727 1761. Tidak hanya itu, mulai tahun 1752 Cikalong juga mulai dimasukkan
menjadi bagian dari kabupaten.6
Memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan Daendels, Cianjur
mengalami tiga kali penataan wilayah. Penataan wilayah pertama terjadi pada 1808
dengan memasukkan Cianjur ke dalam Landdrostambt der Jacatrache en dan
Preanger Bovenlanden (Wilayah-wilayah Jakarta dan Priangan yang berada di
daaerah hulu sungai). Selain Cianjur terdapat pula kabupaten-kabupaten lain yang
dimasukkan

ke dalam

Landdrostambt, di antaranya: Tanggerang, Karawang,

Buitenzorg, Sumedang, Bandung dan Parakanmuncang.7


Penataan kedua terjadi pada 20 Juni 1810. Penataan kali ini bersamaan
dengan dihapusnya Karawang serta dialihkannya Tanggerang dan Batavia ke dalam
wilayah Bataviansche Ommelanden, sedangkan Cianjur, Sumedang, Bandung dan
Parakanmuncang digabungkan dengan Limbangan dan Sukapura. Wilayah baru ini
dinamakan Jakartrasche en Cheribonsche Preanger Regentschappen (Karesidenan

Bayu Surianingrat, Sajarah Cianjur, hal. 64. Lihat juga Reiza D. Dienaputra, Cianjur:
Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 15
7
Landdrostambt der Jacatrache en Preanger Bovenlanden merupakan salah satu di antara 12
Landdrostambt yang dibentuk Daendels antara 1808 1809. Adapun sebelas Landdrostambt lainnya
adalah; Banten, de Ommelanden van Batavia, de Tjerebosche Preanger-Regentschappen, Cirebon,
Tegal, Pekalongan, Semarang,Jepara, Juwana, Rembang, dan Pantai Timur.

29

Priangan Jakarta dan Cirebon). Sedikit berbeda dengan penataan sebelumnya,


penataan wilayah yang dilakukan pada 1810 ini secara eksplisit lebih banyak
didasarkan atas pertimbangan ekonomi. Hal ini ditandai dengan dibaginya wilayah
atas daerah produsen kopi dengan daerah yang bukan produsen kopi. Dengan
demikian, Jakartrasche en Cheribonsche Preanger Regentschappen terdiri atas
daerah-daerah yang di dalamnya termasuk ke dalam produsen kopi di Priangan.
Namun belum genap satu tahun menjalani hasil penataan wilayah yang kedua,
Cianjur kembali mengalami penataan wilayah. Penataan wilayah ini terjadi pada 2
Maret 1811, yakni dengan memasukkan Cianjur, Bandung, Parakanmuncang dan
sebagian Sumedang ke dalam wilayah Bataviansche Regentschappen. Penataan yang
ketiga ini sekaligus menjadi penataan terakhir yang dialami Cianjur selama
pemerintahan Daendels.
Selain penataan wilayah, kehadiran Daendels juga berpengaruh pada
pembangunan infrastruktur jalan raya. Hal ini terbukti dengan perintah yang
dikeluarkan Daendels pada 1808, yaitu membangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg)
yang menghubungkan ujung Barat dan ujung Timur Pulau Jawa. Dengan
dibangunnya Jalan Raya Pos, perjalanan dari Batavia menuju Surabaya jika
menggunakan kereta kuda dapat ditempuh dalam waktu sembilan hari. Keberadaan
Cianjur yang pada saat itu memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian
Belanda, dipilih oleh Daendels sebagai salah satu wilayah yang harus dilalui oleh
Jalan Raya Pos. Pembangunan jalan pada wilayah Jawa bagian barat antara lain

30

meliputi: Batavia Buitenzorg Puncak Cianjur Bandung Sumedang. Selain


upaya pembangunan Jalan Raya Pos, Daendels juga membangun jembatan serta jalan
untuk pengangkutan berat dengan menggunakan kerbau atau kuda. Adapun salah satu
jembatan yang dibangun di Cianjur adalah jembatan yang melintas di atas Sungai
Cisokan. Sedangkan untuk melewati sungai-sungai yang lebar seperti Sungai
Citarum, Daendels menyediakan tempat-tempat penyeberangan khusus dengan
menggunakan perahu tambang.8
Selain perkembangan yang berhubungan langsung dengan sarana jalan raya,
untuk mendukung kelancaran perjalanan di sepanjang Jalan Raya Pos, pada setiap
sembilan kilometer dibangun sebuah pendopo yang dapat digunakan untuk
beristirahat sekaligus mengganti kuda. Adapun salah satu pendopo yang dibangun di
Cianjur terdapat di Cisokan. Selain itu, di tempat-tempat tertentu terdapat
pesanggerahan yang dapat digunakan para pejabat dan para pengawalnya untuk
beristirahat selama dalam perjalanan.9
Kedatangan pemerintah kolonial Inggris pada 1811, secara otomatis
berpengaruh terhadap keberadaan wilayah Cianjur. Sejak 1813, Cianjur bersamasama dengan Bandung, Sumedang, Limbangan dan Sukapura dimasukkan ke dalam
Karesidenan Buitenzorg. Keputusan ini diambil atas usulan sebuah komisi yang
terdiri atas Th. Mc Quoid dan Van Lawicj van Pabst dan diajukan pada 31 Desember

8
9

Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, hal. 362.


Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, hal. 362.

31

1812. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 1815, sejalan dengan pemisahan wilayah
Priangan dan Buitenzorg, Cianjur secara resmi dimasukkan ke dalam Karesidenan
Priangan (Preanger-Regentschappen), dan Th. Mc Quoid bertindak sebagai residen.
Hingga penelitian ini dilakukan, tidak diketahui secara pasti dimana pusat ibukota
Karesidenan Priangan pada saat itu. Namun asumsi awal yang bisa dikembangkan
adalah pada saat itu Cianjur menjadi salah satu sentral jalur Jalan Raya Pos, yakni:
Batavia Buitenzorg Puncak Cianjur Bandung Sumedang, sehingga tidak
menutup kemungkinan bahwa pada saat itu ibukota Karesidenan Priangan berada di
Kabupaten Cianjur. Selain itu, data yang dikemukakan oleh Dienaputra menyebutkan
bahwa dari beberapa penelusuran yang ia lakukan, pada 1819 Cianjur dipastikan
sudah menjadi ibukota Karesidenan Priangan.
Karesidenan Priangan yang lahir di era Raffles tersebut dibentuk melalui
resolusi pada 13 Februari 1813. Adapun pengumuman pembentukan serta
peresmiannya dilakukan pada 10 Agustus 1815. Di luar Priangan, karesidenan lain
yang dibentuk berdasarkan resolusi tersebut antara lain; Banten, Buitenzorg, Cirebon,
Tegal, Pekalongan, Kedu, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Jepara dan Juwana,
Rembang, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Besuki dan Panarukan. Dengan
demikian, terdapat 16 karesidenan di Jawa yang dibentuk oleh Raffles. Selain

32

menempatkan residen, Raffles juga menempatkan seorang asisten residen di hampir


seluruh karesidenan.10
Keberadaan Th. Mc Quoid sebagai residen Priangan tidak berlangsung
lama. Kurang lebih satu tahun kemudian, tepatnya 3 Agustus 1816, tampuk
kekuasaan kembali beralih dari pemerintah Inggris ke tangan Belanda dan
mengangkat P. W. L. van Motman sebagai residen Priangan. Dalam kedudukannya
sebagai residen Priangan, Motman merangkap sebagai super-intendentie (pengawas
tertinggi) pemungutan pajak pada penanaman kopi. Dalam hal ini perlu dijelaskan
bahwa ketika Raffles menguasai Priangan sejak 1811, pada

1813 VOC mulai

mengalami kebangkrutan sehingga kekuasaan atas tanam paksa kopi harus dipegang
oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada saat itu, Cianjur dipimpin oleh Raden
Adipati Wiratanudatar VI dan dalam proses peralihan kepada bupati selanjutnya
yakni Raden Adipati Prawiradiredja I. Dengan demikian, Raden Adipati
Wiratanudatar VI merupakan satu-satunya bupati yang mengalami masa-masa transisi
dari VOC kepada pemerintah kolonial Belanda. Sehingga tidak mengherankan ketika
kekuasaan Inggris berakhir, tanah Priangan jatuh ke tangan pemerintah kolonial
Belanda.
Namun demikian, sebagaimana halnya Daendels, pengaruh kekuasaan
Raffles juga tidak hanya dirasakan pada bentuk penataan wilayah saja, tetapi juga
infrastruktur jalan. Tetapi pembangunan infrastruktur jalan yang dilakukan pada era
10

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 18

33

Raffles tidak sebanyak pembangunan infrastruktur yang dilakukan semasa Daendels.


Pembangunan yang dilakukan Raffles hanya sebatas membangun jalan-jalan baru ke
pedalaman pada beberapa ruas Jalan Raya Pos yang telah dibangun Daendels.11

C. Penanaman Paksa Kopi


Seperti telah dipaparkan di awal bahwa tanam paksa kopi di Cianjur mulai
diberlakukan sejak Raden Aria Wiratanu III menjabat sebagai bupati Cianjur III
sehingga ia dijuluki sebagai bupati pertama di Karesidenan Priangan yang berhasil
menyerahkan hasil penanaman kopinya kepada VOC. Bahkan berkat keberhasilannya
menjadikan Cianjur sebagai sentra produsen kopi di Priangan telah mendorong VOC
untuk memberikan hadiah kepada Aria Wiratanu III berupa wilayah kekuasaan baru
di daerah Cianjur Selatan. Sistem tanam paksa ini terus berlangsung meskipun
kekuasaan beralih kepada pemerintah kolonial Belanda.
Setelah perpindahan kekuasaan VOC kepada pemerintah kolonial Belanda pada
1813, tanaman kopi tetap menjadi tanaman komersial utama yang ditanam di Cianjur.
Keuntungan besar yang berhasil diperoleh VOC melalui Preanger Stelsel menjadi
pendorong kuat bagi pemerintah kolonial Belanda dalam mempertahankan Cianjur
sebagai sentra penghasil kopi di Priangan, terlebih untuk mempertahankan sistem
eksploitasi yang sebelumnya sudah diintroduksikan oleh VOC. Begitu pentingnya arti
ekonomis tanaman kopi bagi pemerintah kolonial Belanda dapat dilihat dari relatif
11

Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, hal. 362.

34

panjangnya usia tanaman kopi sebagai tanaman paksa. Berbeda dengan jenis-jenis
tanaman paksa lainnya, seperti kina, tembakau dan gula, keberadaan kopi sebagai
tanaman paksa di seluruh Karesidenan Priangan terus dipertahankan hingga awal
abad ke-20.
Namun demikian, perkembangan tanaman kopi di Cianjur sepanjang abad ke-19
dan abad ke-20 tidak selamanya meningkat. Dalam jarak waktu antara 18321863
jumlah tanaman kopi di Cianjur cenderung menurun, terbukti pada 1832 tanaman
kopi di Cianjur menjadi nomor dua terbanyak setelah Bandung. Pada saat itu tanaman
kopi di Cianjur berjumlah 13.017.006 batang sedangkan tanaman kopi di Bandung
mencapai 15.942.158 batang. Tapi jika dibandingkan dengan kabupaten lain di
Priangan, yakni Kabupaten Sumedang, Kabupaten Limbangan dan Kabupaten
Sukapura, tanaman kopi di Cianjur masih jauh lebih banyak. Memasuki awal 1864,
jumlah tanaman kopi di Cianjur kembali meningkat dari 13.602.297 batang menjadi
13.619.303 batang. Namun demikian, jumlah seluruh tanaman kopi di Cianjur pada
1864 masih berada di bawah Kabupaten Bandung yang pada saat itu jumlah tanaman
kopinya mencapai 20.041.750 batang.12
Perjalanan tanam paksa kopi dan perkembangannya di Pulau Jawa ternyata
tidak selamanya berjalan mulus, berjangkitnya serangan hamawedang dan penyakit
daun pada akhir dasawarsa kedelapan abad ke-19 mengakibatkan hancurnya sebagian
tanaman kopi dari jenis arabika. Hancurnya tanaman kopi dari jenis arabika ini diikuti
12

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 35.

35

oleh munculnya jenis tanaman kopi baru yakni jenis liberia (Coffea Liberica Bull)
dan tanaman kopi dari jenis robusta (Coffea Robusta Linden). Dengan munculnya
kedua jenis kopi ini, spesies liberia menjadi pilihan pertama untuk menggantikan kopi
jenis arabika karena memiliki daya tahan tinggi terhadap serangan hama kopi.
Keunggulan lainnya, kopi jenis liberia ini bisa menyesuaikan terhadap kekeringan,
kemampuan tumbuh di tanah gersang, memiliki pohon kuat serta relatif tidak
memerlukan penanganan hortikultura yang intensif. Penggantian jenis kopi arabika
terhadap liberia otomatis memerlukan waktu yang ralatif lama, akibatnya terjadi
penurunan yang cukup signifikan terhadap jumlah tanaman kopi yang tumbuh di
Cianjur. Jika dibandingkan dengan tahun 1864, jumlah tanaman kopi di Cianjur pada
1890 hanya mencapai 5.243.389 batang dan memperlihatkan penurunan hingga
mencapai 62% atau sejumlah 8.35.914 batang.
Sebagaimana halnya pada akhir abad ke-19, memasuki abad ke-20, keberadaan
tanaman paksa kopi di Cianjur mengalami penurunan. Pada 1904, jumlah tanaman
paksa kopi yang dimiliki Cianjur hanya 2.374.269 batang atau menurun 2.869.120
batang jika dibandingkan dengan tahun 1890. Pada 1910, tanaman paksa kopi di
Cianjur kembali mengalami penurunan hingga jumlahnya mencapai 1.599.277
batang. Memasuki tahun-tahun terakhir diberlakukannya tanaman kopi sebagai
tanaman paksa, jumlah tanaman paksa kopi kembali mengalami penurunan menjadi

36

1.091.137 batang, sehingga pada 1916 hanya tersisa 508.140 batang atau 21% dari
seluruh tanaman paksa kopi di Karesidenan Priangan.13

D. Perpindahan Ibu Kota Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung


Memasuki abad ke-19, sejalan dengan perkembangan yang berhasil dicapai,
pemerintah kolonial Belanda memberikan sebuah fungsi baru pada Kabupaten
Cianjur, yaitu sebagai pusat kekuasaan kolonial. Keberadaan Cianjur sebagai pusat
kekuasaan kolonial ini ditandai dengan dijadikannya Kabupaten Cianjur sebagai ibu
kota Karesidenan Priangan. Dengan fungsi tersebut, kedudukan Cianjur di mata
pemerintah kolonial Belanda mengalami peningkatan. Pasca Cianjur menjadi pusat
pemerintah kolonial di Karesidenan Priangan, secara politis status Cianjur berada
setingkat lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Priangan.
Untuk menjajaki secara jelas dan rinci kapan untuk kali pertama Cianjur
menyandang fungsi sebagai ibu kota Karesidenan Priangan, tentunya bukanlah hal
yang mudah. Hingga penelitian ini dilakukan, belum ada bukti-bukti yang mampu
memberikan keterangan yang pasti tentang awal mula Cianjur dijadikan sebagai ibu
kota Karesidenan Priangan. Namun terdapat salah satu karya Jacob Wouter de Klein
yang menjelaskan tentang awal mula Kabupaten Cianjur dijadikan sebagai ibu kota
Karesidenan Priangan. Selanjutnya, karya tulis Klein ini sering digunakan sebagai

13

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 39.

37

acuan oleh beberapa penulis untuk menjelaskan awal mula Kabupaten Cianjur
dijadikan sebagai ibu kota Karesidenan Priangan.
Berdasarkan data-data yang terdapat pada uraian Klein, disebutkan bahwa pada
1829 pemerintah kolonial Belanda telah menempatkan seorang residen untuk
bertugas di Cianjur, sehingga timbul interpretasi bahwa pada 1829 merupakan
permulaan dijadikannya Cianjur sebagai ibu kota Karesidenan Priangan. Dalam hal
ini Dienaputra menambahkan bahwa kesalahan interpretasi ini sebetulnya bisa
dihindari apabila diadakan penelusuran lebih lanjut atas sumber yang dijadikan acuan
Klein, yakni staatsblad 1829 No. 57 yang menyatakan bahwa penanaman kopi
(koffij-kultuur) yang didasarkan pada besluit yang dikeluarkan pemerintah kolonial
Belanda pada 30 Juni 1829 tersebut ternyata tidak ada satu pun kalimat yang
menjelaskan tentang penempatan seorang residen di Cianjur.14
Dengan demikian, uraian Klein yang menyatakan bahwa pada 1829 telah
ditempatkan seorang residen di Cianjur jelas tidak dimaksudkan untuk menyatakan
bahwa sejak tahun tersebut ditempatkan seorang residen di Cianjur, tetapi untuk
menegaskan tentang residen yang diangkat di Cianjur pada tahun tersebut
sebagaimana residen-residen yang lain di Karesidenan Priangan. Pada saat itu,
14

Menyangkut personel, staatsblad tersebut hanya menjelaskan bahwa untuk mendukung


penanaman kopi di Karesidenan Priangan ditetapkan sejumlah personel sebagai berikut: (1) Satu orang
residen, (2) Satu orang asisten residen, (3) Satu orang kommies kelas satu, (4) Satu orang kommies
kelas duan, (5) Satu orang kommies kelas tiga, (6) Satu orang controleur kelas satu, (7) Satu orang
controleur kelas dua, yang masing-masing ditempatkan di Kabupaten Bandung dan Kabupaten
Cianjur, (8) Satu orang controleur kelas tiga, (9) Tiga orang pakhuismeester (kepala gudang, dan (10)
Tiga orang juru tulis. Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 41-42.
Dikutip dari Staatsblad van Nederlandsch_Indie over het Jaar 1829 No. 57

38

Karesidenan Priangan sendiri dipimpin oleh seorang residen yang bernama O. C.


Holmberg de Beckfeld yang berkuasa selama kurun waktu 1828-1837.
Dari hasil penelusuran Dienaputra terhadap beberapa arsip, diperoleh temuan
tentang awal kali Cianjur dijadikan sebagai ibu kota Karesidenan Priangan. Sumber
tersebut berupa empat buah arsip surat beserta berkas-berkas laporan yang ditulis oleh
Residen Priangan P. W. L. van Motman, yang ditujukan kepada Sekretaris Negara
Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Secretaris van Staat Gouverneur General over
Nederlandsch Indie).
Dari arsip tersebut diperoleh data bahwa arsip surat pertama, tertanggal 9 April
1819 merupakan surat pengantar untuk laporan kegiatan Motman selama kurun waktu
Januari hingga akhir Maret 1819. Arsip surat kedua, tertanggal 5 Juli 1819
merupakan surat pengantar Motman untuk berkas laporan tugasnya selama kurun
waktu April hingga akhir Juni 1819. Arsip surat ketiga, tertanggal 15 November 1819
merupakan surat pengantar untuk berkas laporan Motman selama kurun waktu Juli
hingga akhir September 1819. Adapun arsip surat keempat, tertanggal 17 Januari
1820 merupakan surat pengantar Motman untuk laporan tugasnya selama kurun
waktu tiga bulan terakhir pada 1819, yakni Oktober-Desember 1819.15
Dengan demikian, dari beberapa arsip surat Motman tersebut, jelas
memperlihatkan bahwa tempat dibuatnya surat-surat tersebut adalah Tjanjor
(Cianjur). Fakta bahwa Motman mengirimkan surat-surat laporannya dari Cianjur ini
15

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 43

39

dapat diinterpretasikan bahwa pada 1819 Cianjur telah menjadi tempat kedudukan
residen Priangan. Hal ini berarti pada saat itu Cianjur telah dijadikan sebagai ibu kota
Karesidenan Priangan.
Apabila kedua pendapat yang masing-masing dikemukakan oleh Klein dan
Dienaputra tersebut ditelaah lebih mendalam, sepertinya penjelasan Dienaputra
dipandang lebih tepat dengan menyebutkan bahwa pada pada 1819 Cianjur telah
menyandang sebagai ibu kota Karesidenan Priangan. Selain itu, apabila kita menoleh
ke belakang telah disampaikan bahwa ketika Raffles mengusai Priangan selama
kurun waktu 1811-1816, pada 1815 Cianjur resmi ditetapkan sebagai salah satu
bagian dari Karesidenan Priangan. Bahkan bisa juga diperkirakan bahwa pada saat itu
Cianjur sudah dijadikan sebagai ibu kota Karesidenan Priangan.
Pada masa awal menjadi ibukota Karesidenan Priangan, Kabupaten Cianjur
terletak 1500 kaki di atas permukaan laut dan memiliki luas wilayah 3731 pal
persegi.16 Pada saat yang sama, luas keseluruhan Karesidenan Priangan mencapai
8929 pal persegi atau sebanding dengan 13.393,5 km2. Adapun tiga kabupaten
lainnya yang berada di Karesidenan yang sama, yaitu: Sumedang, Bandung dan
Limbangan masing-masing memiliki luas wilayah 2452 pal persegi, 1527 pal persegi
dan 1219 pal persegi. Selain itu, pada Karesidenan Priangan terdapat dua buah

16

1 pal sebanding dengan jarak 1,5 km. Dengan demikian, luas wilayah Kabupaten Cianjur
pada saat itu sebanding dengan 5596.5 km2. Pal juga sering digunakan sebagai ukuran jarak sejauh 1,5
km yang ditandai dengan tonggak batu. Lih. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. III, hal. 638

40

vrijeland, yakni Vrijeland Sukabumi seluas 686 pal persegi dan Vrijeland Ciputri
seluas 165 pal persegi. Dengan demikian, Cianjur tercatat sebagai kabupaten terluas
yang ada di Karesidenan Priangan 17
Selama Cianjur menyandang fungsi sebagai ibukota Karesidenan Priangan
dapat dikatakan cukup banyak mengalami perubahan yang signifikan. Dalam lingkup
ekonomi, keberadaan Cianjur sebagai sentra penghasil kopi di Priangan mengalami
pasang surut. Setelah mengalami masa-masa keemasan pada tahun 1825-1828,
produksi kopi di Kabupaten Cianjur mengalami kemunduran hingga masa akhir
menjadi ibukota Karesidenan Priangan. Perubahan lain yang cukup mendasar selama
Cianjur menjadi ibukota karesidenan adalah perubahan pada kondisi demografis.
Posisi strategis yang dimiliki Cianjur sebagai pusat pemerintahan kolonial sekaligus
pusat produksi dan perdagangan, tidak hanya mengakibatkan bertambahnya
penduduk pribumi yang tinggal di Cianjur. Perubahan yang signifikan juga terjadi
dengan bertambahnya penduduk asing yang tinggal di Cianjur, khususnya bangsa
Eropa dan Cina.18 Kondisi seperti ini mengindikasikan bahwa Cianjur telah
mengalami proses pergeseran fungsi, yang pada awalnya hanya sebagai kota hunian
pribumi, berubah menjadi kota hunian multi etnis dan bangsa.

17

Reiza D. Dienaputra dkk., Laporan Penelitian, Dari Cianjur ke Bandung Studi tentang
Proses dan Dampak Perpindahan Ibukota Karesidenan Priangan Terhadap Perkembangan Kota
Cianjur dan Bandung (1864-1942), (Bandung: Proyek Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional:2002), hal. 13-14.
18
Reiza D. Dienaputra dkk., Laporan Penelitian, Dari Cianjur ke Bandung, hal. 16-17

41

Namun keberadaan Cianjur sebagai ibu kota Karesidenan Priangan relatif tidak
berlangsung lama. Selama kurang lebih 48 tahun sejak 1816 atau pada 1864,
pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk memindahkan ibukota Karesidenan
Priangan dari Cianjur ke kabupaten lain. Terdapat beberapa hipotesis tentang alasan
perpindahan ibukota ini, di antaranya menyebutkan bahwa perpindahan tersebut
dikarenakan adanya faktor geologis, khususnya berkenaan dengan keberadaan
Gunung Gede. Selama Cianjur menjadi ibukota karesidenan, Gunung Gede sempat
beberapa kali mengeluarkan lahar panasnya. Sehingga letak geografis Cianjur yang
dekat dengan Gunung Gede mengakibatkan kota ini senantiasa mengalami kerusakan
serius yang diakibatkan dari letusan-letusan dan lahar panas yang dikeluarkan gunung
tersebut.19
Terlepas dari hipotesis berlatar geologis tersebut, keberadaan Cianjur sebagai
ibukota Karesidenan Priangan atau pusat kekuasaan kolonial sejak awal memang
telah menimbulkan pro kontra. Jauh sebelum itu terjadi, pada 1819 Andreas de Wilde
pernah mengusulkan untuk memindahkan ibukota Karesidenan Priangan ke Bandung.
Usulan tersebut diajukan dengan alasan supaya daerah pedalaman Priangan bisa lebih
cepat berkembang sehingga tidak ketinggalan oleh daerah-daerah lain di sekitar
Batavia. Namun usulan ini tidak disetujui oleh pemerintah kolonial Belanda.
Usulan perubahan lain yang pernah dimunculkan berkaitan dengan keberadaan
Cianjur sebagai ibu kota karesidenan juga pernah terjadi pada dasawarsa kelima abad
19

Reiza D. Dienaputra dkk., Laporan Penelitian, Dari Cianjur ke Bandung, hal. 27

42

ke-19. Usulan kali ini yaitu untuk membagi Karesidenan Priangan menjadi dua.
Pertama, karesidenan yang berada di sebelah barat, yang terdiri atas Cianjur,
Sukabumi dan Bandung, dengan Cianjur sebagai ibu kota. Kedua, karesidenan yang
berada di sebelah timur, yang terdiri atas Limbangan, Sukapura dan Sumedang,
dengan Singaparna atau Tasikmalaya sebagai ibu kota. Dukungan ini mendapat
respon yang positif dari Residen Priangan P. J. Overhand melalui secarik nota yang
dikirimkannya kepada pemerintah kolonial Belanda pada 1849, namun tidak disetujui
oleh pemerintah kolonial.20
Rencana perpindahan ibu kota Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung
sebenarnya telah disampaikan oleh Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud pada
1856. Usulan kali ini dilakukan dengan alasan karena adanya perkembangan yang
cukup pesat yang berhasil dicapai oleh Kabupaten Bandung. Namun demikian,
dengan segala keterbatasan sumber, setidaknya dapat dikedepankan dua alasan
penting yang melatarbelakangi perpindahan ibukota Karesidenan Priangan dari
Cianjur ke Bandung. Pertama, alasan geologis, yakni labilnya kondisi Gunung Gede
yang mengakibatkan rentannya kedudukan Cianjur bila sewaktu-waktu terjadi
bencana meletusnya gunung tersebut. Kedua, alasan pengembangan wilayah,
khususnya wilayah pedalaman yang diindikasikan memiliki potensi besar untuk
dikembangkan menjadi wilayah yang produktif dan strategis. Relatif panjangnya
jarak waktu
20

antara perintah pemindahan oleh Ferdinand Pahud pada 1856 dan

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 46

43

pelaksanaan pemindahan pada 1864 sebenarnya merupakan suatu hal yang menarik
untuk dikaji, namun hal ini menjadi kesulitan tersendiri untuk bisa memberikan
penjelasan lebih lanjut.
Dalam hal ini Dienaputra mengemukakan dua kemungkinan yang terjadi yang
bisa dikedepankan, pertama, relatif lamanya pelaksanaan pemindahan ibu kota
Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung kemungkinanan disebabkan karena
masih adanya pro kontra yang cukup tajam antara pihak yang setuju dan pihak yang
tidak setuju dengan pemindahan ibu kota Karesidenan Priangan dari Cianjur ke
Bandung. Kedua, perpindahan karesidenan bukanlah hal yang mudah dan perlu
persiapan yang cukup matang. Perpindahan ibu kota Karesidenan Priangan dari
Cianjur ke Bandung tidak hanya sekedar memindahkan lokasi ibu kota, tetapi juga
memindahkan

suluruh

suprastruktur

pemerintahan

karesidenan

beserta

kelengkapannya, termasuk juga pengadaan berbagai infrastruktur pada ibu kota yang
baru.21
Pemindahan secara resmi ibu kota Karesidenan Priangan dari Cianjur ke
Bandung dalam perkembangan selanjutnya tidak hanya berpengaruh pada
perkembangan ibu kota Karesidenan Priangan yang baru tetapi juga membawa
pengaruh bagi bekas ibu kota Karesidenan Priangan, yakni Cianjur. Bagi Kabupaten
Bandung, dengan diperolehnya fungsi baru sebagai ibu kota Karesidenan, telah
meningkatkan arti penting keberadaan Bandung di mata pemerintah kolonial Belanda.
21

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 46-47.

44

Sebaliknya, bagi Cianjur, dengan hilangnya fungsi sebagai ibu kota Karesidenan
Priangan, telah memperlihatkan berkurangnya arti penting Cianjur di mata
pemerintah kolonial Belanda. Perbedaan kondisi yang langsung terjadi pasca
pemindahan ibu kota Karesidenan Priangan lebih tampak pengaruhnya dalam
perkembangan Cianjur pada waktu-waktu selanjutnya.22
Pasca Cianjur tidak lagi menjadi ibu kota Karesidenan Priangan, budidaya
tanaman kopi di Cianjur diwarnai oleh fenomena didirikannya perkebunanperkebunan swasta. Hal ini dibuktikan dengan didirikannya perkebunan kopi swasta
pertama yang dibuka di Cianjur, tepatnya pada distrik pelabuhan.

E. Pembangunan Infrastruktur Transportasi


Seiring dengan meningkatnya investor asing dalam bidang perkebunan, pada
perkembangan selanjutnya di Cianjur dibangun jalan kereta api. Perkembangan jalan
kereta api ini dilakukan secara bertahap dengan cara melanjutkan pembangunan jalur
kereta api pertama di Jawa bagian barat, yakni jalur Batavia-Buitenzorg yang telah
beroperasi sejak 31 Januari 1873. Tahap pertama pembangunan jalan kereta api di
Cianjur, menghubungkan Cicurug dengan Buitenzorg. Lintasan sepanjang 27
kilometer tersebut berhasil diselesaikan pada 5 Oktober 1881. Lintasan kereta api
selanjutnya dibangun di Cianjur dengan mengambil lintasan Cicurug-Cianjur.
Lintasan ini berhasil diselesaikan pada 21 Maret 1882 dengan panjang lintasan 30
22

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 50-51.

45

kilometer. Pembangunan selanjutnya dilakukan untuk menghubungkan Sukabumi


dengan Cianjur. Pembangunan sepanjang 30 kilometer ini berhasil diselesaikan pada
10 Mei 1883. Selanjutnya pembangunan lintasan kereta api di Cianjur tahap akhir
berhasil diselesaikan pada 17 Mei 1884 untuk menghubungkan Cianjur dengan ibu
kota Karesidenan Priangan, yaitu Bandung.23
Dengan selesainya seluruh jalur lintasan kereta api yang menghubungkan
Buitenzorg-Cianjur serta Cianjur-Bandung, maka sejak 1884 perjalanan dari Cianjur
ke Buitenzorg serta perjalanan dari Cianjur ke Bandung, waktunya bisa lebih
dipersingkat. Demikian pula untuk perjalanan dari Cianjur ke Batavia. Sebagai
contoh, untuk perjalanan dari Cianjur-Buitenzorg yang semula memerlukan waktu
tempuh 8 (delapan) jam dengan menggunakan kereta kuda, sejak dibangunnya
lintasan kereta api hanya memerlukan waktu selama 2,5 jam. Adapun untuk
perjalanan dari Cianjur-Bandung yang semula memerlukan waktu tempuh 5,5 jam
dengan menggunakan kereta kuda, dengan kereta api bisa dipersingkat menjadi 2
jam.24
Untuk lebih mengoptimalkan nilai ekonomis, di sepanjang lintasan jalan kereta
api di wilayah Cianjur dibangun halte dan stasiun pemberhentian. Pada jalur
Buitenzorg-Cianjur, terdapat 2 stasiun dan 11 halte yang dibangun di wilayah

23

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg., hal. 59.


Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 59. Dikutip dari
Staatblad van Nederlandsh-Indie over het Jaar 1864, No. 54; Tourist Guide to Buitenzorg, the
Preanger and Central Java, (Weltevreden: Official Tourist Bureau, 1913), hal. 27, 34 dan 42.
24

46

kabupaten Cianjur, yaitu stasiun Sukabumi dan stasiun Cianjur. Adapun sebelas halte
yang dibangun di Kabupaten Cianjur terdapat di Cicurug, Parung Kuda,Cibadak,
Karang Tengah, Cisaat, Gandasoli, Cirengas, Lampegan, Cibeber dan Cilaku.
Sedangkan untuk jalur Cianjur-Bandung dibangun 3 halte pemberhentian yang
terdapat di Maleber, Sela Jambe dan Cipeuyeum.
Seiring dengan terjadinya pembangunan jalur-jalur baru pada jalur kereta api,
sejak 1894 jalur kereta api yang melintasi Cianjur telah tersambung dengan jalur
kereta api di Jawa bagian tengah,yakni Cilacap-Yogya. Jalur ini resmi beroperasi
sejak 20 Juli 1887. Bersambungnya jalur kereta api tersebut ditandai pula oleh
peristiwa penting lainnya sepanjang perkembangan jalan kereta api di Jawa, yakni
bersambungnya lintasan Barat (Westerlijnen) untuk trayek Batavia-Yogyakarta
dengan lintasan Timur (Oosterlijnen) untuk trayek Surabaya-Yogyakarta.
Pada jalur kereta api yang menghubungkan antara Cianjur hingga Cilacap dan
Yogya terjadi setelah dibangunnya beberapa jalur baru antara Bandung dan
Kesugihan. Pembangunan jalur ini berlangsung dalam empat tahap. Pertama,
pembangunan jalur kereta api Bandung-Cicalengka yang selesai dilaksanakan pada
10 September 1884. Kedua, dilakukan untuk menghubungkan Cicalengka dengan
Garut. Jalur ini secara resmi dibuka pada 14 Agustus 1889. Ketiga, pembangunan
jalur kereta api dari Cibatu (Garut) hingga Tasikmalaya. Jalur ini diresmikan pada 16
September 1893. Keempat, menghubungkan antara Tasikmalaya hingga Kesugihan.
Pembangunan tahap akhir ini selesai pada 1 November 1894. Dengan selesainya

47

seluruh jalur kereta api dari Bandung hingga Kesugihan (Cilacap) pada akhir 1894,
maka sejak saat itu perjalanan dari Cianjur ke arah timur bisa terus bersambung
hingga Cilacap dan Yogya. Tersambungnya jalur dari Cianjur ke Cilacap secara
otomatis telah menambah jumlah pelabuhan laut yang bisa dicapai secara langsung
dari Cianjur. Sebelum 1894, Batavia adalah satu-satunya pelabuhan laut yang bisa
dicapai dari Cianjur.
Kereta yang masuk ke wilayah Cianjur tidak hanya kereta barang, tetapi juga
kereta penumpang. Untuk kereta penumpang tersedia tiga pilihan kelas, yakni kelas 1,
kelas 2 dan kelas 3. Kereta kelas 3 diperuntukkan bagi penduduk pribumi, dengan
papan nama bertuliskan inlanders. Perbedaan kelas dalam kereta api ini sekaligus
memperlihatkan perbedaan tarif penumpang. Kelas 1 ditetapkan tarif 5,5 sen per
kilometer untuk setiap penumpang. Kelas 2 ditetapkan tarif 3 sen per kilometer untuk
setiap penumpang. Adapun kelas 3 ditetapkan tarif 1 sen per kilometer untuk setiap
penumpang.25
Di samping penggunaan infrastruktur jalan kereta api, secara bertahap dibangun
pula infrastruktur jalan raya. Berkenaan dengan pembangunan infrastruktur jalan
raya, ada lima kelas jalan raya yang telah dibangun di Cianjur, yakni kelas A (jalan
propinsi), kelas B (jalan dengan maksimal beban 3.00 kilogram), kelas C (maksimal
beban 1.500 kilogram), kelas D (jalan yang tidak bisa dilalui truk dan bus), dan kelas
E (jalan yang tidak bisa dilalui segala jenis kendaraan bermotor). Untuk kelas A,
25

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 62

48

antara lain telah dibangun ruas jalan yang menghubungkan Cianjur-Pacet-CimacanHanjawar-Puncak sepanjang 26,123 kilometer. Untuk kelas B, antara lain telah
dibangun ruas jalan yang menuju halteu-halteu kereta api di Cipeuyeum, Ciranjang,
Cilaku, dan Cibeber. Untuk kelas C, antara lain telah dibangun ruas jalan
Warungjambe-Maleber, Cisokan-Cidamar dan Ciranjang-Jati-Bojongpicung. Untuk
kelas D, antara lain telah dibangun ruas jalan Bayabang-Cigeundang, RancagoongKaliastana, dan ruas jalan Warungkondang-Tegalega. Untuk kelas E, antara lain telah
berhasil dibangun ruas jalan Sindangbarang-Cidaun, Tegalsapi-Cibodas, dan
Cimapag-Takokak. Apabila diinventarisasi secara keseluruhan, hingga dasawarsa
keempat abad ke-20, di seluruh kabupaten Cianjur telah berhasil dibangun ruas jalan
sepanjang 286,3 kilometer. Dari panjang jalan tersebut, 26 kilometer terdiri dari jalan
beraspal, 185,8 kilometer merupakan jalan yang terdiri atas pecahan batu (steenslag),
dan 74,5 kilometer merupakan jalan rumput (graswegen). Pada 1932 telah berhasil
ditingkatkan jalan desa ruas Ciaripin-Citalahab dan Takokak-Bungamelur, serta jalan
perkebunan ruas Bungamelur-Nyalindung dan Cibancet-Sindangbarang.26

F. Perkembangan Institusi Pendidikan


Pada abad ke-18 daerah kekuasaan kompeni di Indonesia, terutama di Pulau
Jawa semakin luas. Hal ini di antaranya ditandai dengan semakin besar monopoli
kekuasaan atas tanaman kopi di Jawa Barat, terlebih Kabupaten Cianjur yang pada
26

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 62-63

49

saat itu dijadikan sebagai produsen kopi terbesar di Karesidenan Priangan. Namun
demikian, kewajiban yang harus diemban rakyat pun semakin berat. Untuk keperluan
usahanya itu, kompeni membutuhkan bantuan tenaga rakyat Indonesia dalam
menjalankan sistem tanam paksanya. Faktor inilah yang kemudian mendorong
kompeni untuk merencanakan pembukaan sekolah-sekolah di Indonesia, khususnya
di Pulau Jawa. Tetapi rencana tersebut akhirnya gagal karena kekuasaan Indonesia
diambil alih oleh pemerintah Kolonial Belanda yang dikenal dengan pemerintahan
Hindia Belanda-nya.
Pemerintah kolonial juga ternyata merasakan kebutuhan akan tenaga kerja
yang terdidik, sehingga timbul pikiran untuk mengadakan pendidikan bagi rakyat
umum di Indonesia. Timbulnya gagasan tersebut didukung pula oleh dorongan faham
Aufklarung yang menghendaki kemajuan bagi rakyat umum. Namun rencana tersebut
harus kandas di tengah jalan karena pecahnya Revolusi Prancis. Rovolusi Prancis
yang meletus pada 1789 kemudian menjalar hampir ke seluruh benua Eropa, tak
terkecuali Belanda. Akibatnya beberapa negara Eropa jatuh ke tangan Prancis yang
pada saat itu dipimpin oleh Napoleon Bonaparte. Di Negeri Belanda sendiri,
Napoleon menempatkan saudaranya, Louis (Lodewijk) Napoleon sebagai raja.
Salah satu akibat daripada Revolusi Prancis adalah terjadinya perubahan
dalam bidang sosial, di antaranya bidang pendidikan dan pengajaran. Hal ini
disebabkan karena perhatian yang cukup besar dari Napoleon terhadap bidang
tersebut. Perubahan yang mendasar yang pertama kali dibangun oleh Napoleon

50

adalah memasukkan pendidikan ke dalam tanggungan pemerintah setelah sebelumya


hanya dapat dirasakan oleh kalangan atas. Pendidikan dan pengajaran rendah,
menengah dan tinggi disusun dan disentralisir sehingga pendidikan dan pengajaran
tidak lagi menjadi monopoli golongan atas semata.27 Pengaruh Revolusi Prancis
dalam bidang pendidikan menjalar pula hingga ke Indonesia. Pada 1807, Raja
Belanda yang pada saat itu dijabat oleh Louis Napoleon, mengangkat Daendels
menjadi Gubernur Jenderal untuk berkuasa di Indonesia. Tahun berikutnya, yakni
pada 1808 Daendels berangkat ke Indonesia.
Seiring dengan perkembangan zaman dan berubahnya berbagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, pada permulaan abad ke-19
tepatnya tahun 1806 mulai dibuka Sekolah Artileri di Meester Cornelis (sekarang
menjadi Jatinegara, Jakarta Timur). Dua tahun berikutnya yakni pada 1808 Daendels
memerintahkan kepada para bupati di Pulau Jawa, termasuk di dalamnya bupati di
Karesidenan Priangan untuk mendirikan sekolah-sekolah di setiap distrik yang
memberikan pendidikan berdasarkan adat istiadat, undang-undang dan pokok-pokok
pengertian keagamaan (Islam). Namun rencana tersebut tidak terealisasikan
disebabkan karena pada 1811 kekuasaan atas Pulau Jawa diambil alih oleh Raffles
dari Inggris. Masih dalam pemerintahan Daendels, pada 1809, untuk pertama kalinya
diselenggarakan pendidikan bidan sebagai bagian dari usaha pemeliharaan kesehatan
27

Edi S. Ekadjati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (Sampai Dengan Tahun 1950),
(Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, 1986), hal. 39-40.

51

rakyat. Adapun para pengajarnya adalah para dokter yang berada di Batavia (Jakarta)
dengan menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Selain itu, dengan
dalih untuk memajukan seni tari rakyat, pada tahun yang sama didirikan tiga buah
sekolah gadis (ronggeng) di Cirebon yang berada di bawah tanggungan sultan.
Selama 4 (empat) tahun para gadis ini diajarkan pelajaran menari, menyanyi,
membaca dan menulis. Pada dasarnya, sekolah ini memang sengaja didirikan untuk
mendemoralisasikan pemuda/pemudi Indonesia, dengan demikian semangat heroisme
dan patriotisme rakyat Indonesia semakin menurun dan tidak menaruh perhatian
terhadap agitasi atau hasutan politik. Namun pihak penyelengara sekolah memberikan
kebijakan kepada para siswi yang berasal dari keluarga tidak mampu untuk
dibebaskan dari biaya pendidikan.28
Pada dasarnya, secara sederhana sistem perkebunan Eropa (European
Plantation) di suatu wilayah senantiasa diikuti oleh terjadinya perluasan birokrasi
pemerintah kolonial Belanda. Terlebih karena Belanda sendiri memiliki kepentingan
lain yaitu mencetak tenaga kerja yang ahli dan terdidik. Dengan demikian, tidaklah
mengerankan jika dikatakan bahwa sistem pendidikan yang dibangun di Jawa Barat
merupakan suatu fenomena yang seiring berjalan beriringan dengan munculnya
sistem perkebunan Eropa serta perluasan birokrasi pemerintah kolonial. Namun
demikian, meskipun Belanda memberikan kesempatan kepada rakyat pribumi untuk
mengenyam pendidikan, tetap saja terdapat suatu garis pemisah yang tajam antara
28

Edi S. Ekadjati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 39-40.

52

kedua subsistem, yakni sekolah Eropa dan sekolah pribumi. Sebetulnya hal tersebut
dipandang wajar terjadi karena tujuan utama pemerintah kolonial Belanda
menyelenggarakan pendidikan bagi kaum pribumi hanyalah untuk kepentingan sistem
tanam paksa semata, dimana para tenaga kerja memiliki keahlian yang baik dalam
melaksanakan setiap tugas yang diberikan. Seperti telah dikemukakan pada
pembahasan sebelumnya, dengan diberlakukannya sistem dualistis tersebut,
setidaknya bisa dibedakan empat kategori sekolah sebagai perpaduan antara kedua
subsistem tersebut, yakni:
1. Sekolah Eropa. Sekolah ini sepenuhnya memakai model sekolah negeri
Belanda dengan menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar,
terlebih karena para siswa yang belajar di sekolah tersebut adalah khusus
diperuntukkan bagi anak-anak yang berasal dari Eropa. Sekolah seperti ini
direalisasikan oleh pemerintah kolonial Belanda salah satunya dengan
mendirikan sekolah pertama yang diperuntukkan bagi anak-anak Eropa,
yaitu Europeesche Lagere School (ELS). Sekolah ini mulai dibuka pada 24
Februari 1817 di Jakarta seiring dengan beralihnya kekuasaan pemerintah
kolonial Belanda atas VOC di Pulau Jawa pada 1816. Adapun sistem yang
digunakan pada ELS adalah mencontoh sekolah dasar yang ada di Negeri
Belanda.29

29

Edi S. Ekajati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat., hal. 42

53

2. Sekolah pribumi kelas satu. Sekolah ini diperuntukkan bagi rakyat pribumi
yang berasal dari golongan menengah ke atas, dan bagi masyarakat Cianjur
sendiri sekolah ini disebut sebagai sekolah bagi kaum menak (priyayi).
Dalam melaksanakan sistem belajar mengajar, sekolah ini hampir sama
dengan sekolah Eropa karena menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar. Perbedaannya terletak pada status anak didiknya karena siswa/i
yang belajar di sekolah tersebut berasal dari rakyat pribumi. Namun
demikian, hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka karena dapat
disejajarkan

dengan

anak-anak

Eropa

lainnya

dalam

mengenyam

pendidikan.
3. Sekolah pribumi kelas dua. Berbeda dengan sekolah pribumi kelas satu,
sekolah ini diperuntukkan bagi rakyat pribumi yang berasal dari golongan
menengah ke bawah. Selama melaksanakan proses belajar mengajar, bahasa
yang digunakan sebagai pengantar adalah Bahasa Indonesia. Meskipun
demikian, sekolah pribumi baik sekolah kelas satu maupun kelas dua tetap
dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda.
4. Sekolah pribumi.30 Seperti kedua sekolah pribumi yang telah dikemukakan
sebelumnya, sekolah ini pun adalah sekolah yang diperuntukkan bagi
masyarakat pribumi. Perbedaannya terletak pada sistem pembelajarannya

30

Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari
Kolonialisme Sampai Imperialisme, (Jakarta: Gramedia, 1990), Jilid 2, hal. 76.

54

yang langsung dikelola oleh rakyat pribumi, biaya yang dikeluarkan selama
proses pendidikan berlangsung pun dibebankan kepada pengelola. Pendirian
sekolah seperti ini sebetulnya sudah pernah dirancang oleh Daendels pada
awal kepemimpinannya di Pulau Jawa tahun 1808 dengan memerintahkan
kepada para bupati, termasuk bupati Cianjur yang pada saat itu dijabat oleh
Raden Adipati Wira Tanu Datar VI untuk mendirikan sekolah-sekolah yang
memberikan pendidikan berdasarkan adat istiadat, undang-undang dan
pokok-pokok pengertian keagamaan (Islam). Namun rencana tersebut gagal
seiring dengan kedatangan Inggris. Dalam perkembangannya sekolah ini
disebut dengan Geestelijke Scholen (Sekolah-sekolah Agama) atau lebih
dikenal dengan nama pesantren.
Munculnya pesantrean di Jawa Barat bermula dari lembaga pendidikan yang
didirikan oleh ulama dari tanah Arab yang bernama Syarif Hidayatullah ke Pulau
Jawa, tepatnya ke daerah Sembung, Cirebon pada 1470.31Lembaga pendidikan
tersebut mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam kepada kaum muslimin, khususnya
bagi para muallaf (orang yang baru memeluk Islam) serta menyiapkan kader-kader
muballigh. Para kader muballigh tersebut kemudian dikirim ke daerah pedalaman
dengan tugas menyebarkan agama Islam ke seluruh penduduk Sunda. Berkat usaha
31

Hal ini sepadan dengan keterangan yang menyebutkan bahwa pada tahun yang sama
Cirebon kedatangan seorang ulama besar agama Islam yang bernama Syeikh Syarif Hidayatullah.
Beliau adalah seorang putera yang terlahir dari pasangan Syarif Abdulah dan Rara Santang atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Syarifah Modaim. Sejarah Kuningan, http://www.kuningan.go.id/
modules.php?op=modload&name=Sections&file=index&req=viewarticle&artid=119&page=1

55

tersebut, maka berdirilah pesantren-pesantren lain pada hampir seluruh wilayah di


Jawa Barat yang dipimpin oleh murid-murid Syarif Hidayat. Ekadjati mencatat
beberapa pesantren yang berdiri pada abad ke-18, di antaranya: Pesantrean Buntet di
Cirebon yang didirikan oleh Kyai Muqayyin pada tahun 1750 dan Pesantren
Lengkong di Kuningan yang didirikan oleh Syekh Haji Muhammad Dako yang lebih
dikenal dengan sebutan Eyang Dako. Pesantren ini berdiri pada dasawarsa kedua
abad ke-19. Selain dua pesantren tersebut, pada 1847 di Sumedang berdiri pula
pesantren yang didirikan oleh Kyai Asyrofuddin.32
Data-data tersebut sebetulnya belum cukup mewakili keseluruhan pesantren
yang berada di Jawa Barat, namun demikian, perkembangan pesantren di Jawa Barat
cukup pesat. Pada 1856, di Cianjur telah ada 27 pesantren, dengan jumlah guru 27
orang. Dengan demikian, setiap pesantren dikelola oleh seorang guru. Jumlah murid
yang menimba di pesantren tersebut seluruhnya berjumlah 1.090 orang, atau sepadan
dengan asumsi 40 orang untuk masing-masing pesantren. Sebagai bahan
perbandingan, pada tahun yang sama Kabupaten Bandung memilliki 57 pesantren,
Kabupaten Sumedang 84 pesantren, kabupaten Sukapura 3 pesantren dan kabupaten
Limbangan 53 pesantren. Adapun jumlah murid yang belajar di masing-masing
pesantren adalah 1.292 orang untuk pesantren di Kabupaten Bandung, 2.017 orang

32

Edi S. Ekadjati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 20-34.

56

untuk pesantren di Kabupaten Sumedang, 35 orang untuk pesantren di Kabupaten


Sukapura dan 688 orang untuk pesantren di Kabupaten Limbangan.33
Kurang lebih 17 tahun kemudian atau pada 1873, jumlah pesantren di
Kabupaten Cianjur meningkat dengat pesat hingga 174 pesantren. Dari 174 pesantren
tersebut, 139 pesantren terdapat di Afdeling Cianjur. Sisanya, 35 pesantren berada di
Afdeling Sukabumi. Peningkatan jumlah pesantren hingga hampir tujuh kali lipat
dalam waktu kurang dari dua dasawarsa ini merupakan peningkatan jumlah pesantren
kedua terbesar di antara kabupaten-kabupaten lain di Priangan. Peningkatan jumlah
pesantren yang paling besar dialami oleh Kabupaten Sukapura, dari 3 pesantren pada
1856 menjadi 79 pesantren pada 1873. Sejumlah 34 pesantren terletak di Afdeling
Sukapura, dan selebihnya yakni 45 pesantren terletak di Afdeling Sukapura Kolot.
Namun demikian, apabila ditinjau dari segi kuantitas, jumlah pesantren yang dimiliki
Cianjur hingga 1873 merupakan yang terbesar di antara kabupaten-kabupaten lain di
Priangan. Kabupaten Bandung, yang pada saat itu telah menjadi ibu kota Karesidenan
Priangan, meskipun mengalami peningkatan jumlah pesantren, peningkatannya tidak
sepesat yang dialami Cianjur. Jumlah pesantren di Bandung pada 1856 ada 57
pesantren. Jumlah ini meningkat menjadi 162 pesantren pada 1873, yang berarti
terpaut 12 pesantren apabila dibandingkan Kabupaten Cianjur. Dari 162 pesantren di
Kabupaten Bandung, 45 sekolah berada di Afdeling Bandung dan 17 pesantren

33

Reiza, D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 64. Lih. ANRI,
Koleksi Arsip Priangan, Politiek Verslag 1856, Bundel 1/2.

57

berada di Afdeling Cicalengka.34 Di dua kabupaten lain di luar Cianjur, Sukapura dan
Bandung, juga mengalami peningkatan jumlah pesantren. Di kabupaten Sumedang,
dari 84 pesantren pada 1856 menjadi 122 pesantren pada 1873. Dari jumlah tersebut,
22 pesantren terletak di Afdeling Sumedang dan 100 pesantren terletak di Afdeling
Tasikmalaya. Kabupaten Limbangan, yang pada 1856 memiliki 53 pesantren, pada
1873 tercatat memiliki 68 pesantren.35
Seiring dengan terjadinya peningkatan jumlah pesantren, secara tidak
langsung terjadi pula peningkatan jumah guru. Pada 1856, jumlah guru hanya
mencapai 27 orang, namun memasuki 1873 jumlahnya meningkat menjadi 171 orang
guru. Dari 171 orang guru tersebut, 136 orang guru bertugas di Afdeling Cianjur dan
sisanya sebanyak 35 orang mengajar pada pesantren-pesantren di Afdeling Sukabumi.
Dengan demikian, dibandingkan Afdeling Sukabumi, jumlah guru yang terdapat di
Afdeling Cianjur tidak sebanding dengan jumlah pesantren yang dimiliki yakni 139
pesantren. Melihat perbandingan jumlah pesantren dan guru yang tidak sama tersebut,
bisa dipastikan terdapat guru di Afdeling Cianjur yang mengajar lebih dari satu
pesantren.
Selain ditandai dengan terjadinya peningkatan jumlah pesantren serta para
pengajar, terjadi pula peningkatan jumlah santri yang menimba ilmu di pesantren di
Kabupaten Cianjur. Peningkatan jumlah santri di pesantren untuk seluruh Kabupaten

34
35

Reiza, D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal 64-65


Reiza, D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 64-65.

58

Cianjur mencapai 2.791 orang santri, yakni dari 1.090 orang santri pada 1856
menjadi 3.881 orang pada 1873. Peningkatan jumlah santri hingga lebih dari tiga kali
lipat ini menandakan besarnya antusias penduduk Cianjur untuk menimba pendidikan
di pesantren. Dari 3.881 orang santri pada pesantren di Kabupaten Cianjur, sebanyak
2.872 orang berada di Afdeling Cianjur dan sisanya sebanyak 1.009 orang berada di
Afdeling Sukabumi. Apabila diperinci, dari 2.872 orang santri yang berada di
Afdeling Cianjur, sebanyak 1.671 orang berasal dari kabupaten Cianjur dan sisanya
sebanyak 1.201 orang santri berasal dari luar Kabupaten Cianjur. Dari angka tersebut
diperoleh gambaran bahwa untuk Afdeling Cianjur, tiap-tiap pesantren rata-rata
memiliki santri 20 orang dengan asumsi 2872 murid dibagi dengan 139 pesantren.
Untuk Afdeling Sukabumi, dari 1.009 orang santri yang menimba ilmu di pesantren,
sebanyak 947 santri berasal dari Kabupaten Cianjur dan sisanya sebanyak 62 orang
santri berasal dari luar Kabupaten Cianjur. Dengan demikian, tiap-tiap pesantren di
Afdeling Sukabumi rata-rata memiliki santri sebanyak 29 orang dengan asumsi 1.009
santri dibagi dengan 35 pesantren

36

Adapun rata-rata jumlah santri yang dimiliki

pesantren di Kabupaten Cianjur pada 1873 sebanyak 22 orang dengan asumsi 3.881
santri dibagi 174 pesantren. Jumlah rata-rata ini menunjukkan adanya penurunan
apabila dibandingkan jumlah rata-rata santri yang dimiliki pesantren di Kabupaten
Cianjur pada 1856 dengan asumsi 1.090 santri dibagi 27 pesantren.37

36
37

Reiza, D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 66


ANRI, Koleksi Arsip Priangan, Politiek Verslag 1873, Bundel 1/19

59

Berbeda dengan sekolah-sekolah yang dikelola dengan sistem pesantren,


perkembangan sekolah yang dikelola dengan sistem Barat di Cianjur tidak terlalu
pesat. Salah satu faktor penyebab lambatnya perkembangan infrastruktur pendidikan
model Barat di Cianjur, yaitu keberadaan Cianjur yang tidak lagi menjadi Ibu Kota
Karesidenan Priangan sejak 1864. Oleh karena itu, berbeda dengan Cianjur,
perkembangan infrastruktur pendidikan di ibu kota Karesidenan Priangan yang baru,
Bandung, lebih cepat. Hingga akhir 1885, di Afdeling Cianjur baru dijumpai adanya
satu buah sekolah rendah Eropa. Sekolah rendah yang dikelola seorang kepala
sekolah dan seorang guru bantu wanita ini memiliki murid sebanyak 46 orang, yang
terdiri atas 24 pria dan 22 wanita, serta tersebar di Laagste Klasse (kelas rendah)
sebanyak 15 orang, Middelste Klasse (kelas pertengahan) 22 orang, dan Hoogste
Klasse (kelas atas) 9 orang.
Memasuki dasawarsa terakhir abad ke-19, jumlah sekolah rendah yang
menggunakan sistem Barat ini tidak mengalami perubahan. Sejak 1890, sekolah
rendah yang lebih dikenal dengan Tweede Klasse School ini dipimpin oleh K. M .
Hage. Hage diangkat menjadi kepala sekolah pada Tweede Klasse School Cianjur
sejak 12 November 1890. Ia dibantu oleh seorang guru bantu, yaitu J. C. Mattern,
yang telah diangkat pemerintah sejak 28 September 1888. Pada saat itu jumlah murid
yang sekolah di Tweede Klasse School Cianjur tercatat ada 26 orang. Satu tahun
kemudian yakni pada 1891 meningkat menjadi 34 orang yang tersebar di Laagste
Klasse sebanyak 18 orang, Middelste Klasse 13 orang, dan Hoogste Klasse 3 orang.

60

Untuk mengoperasikan kepentingan Tweede Klasse School Cianjur, pemerintah


kolonial setidaknya mengeluarkan dana f. 7.290, dengan perincian f. 5.400 digunakan
untuk gaji guru bantu (hulponderwijs), dan f. 90 untuk gaji seorang pembantu
(bediende).
Keberadaan Tweede Klasse School sebagai satu-satunya sekolah model
Barat di Afdeling Cianjur terus bertahan hingga awal abad ke-20. Meskipun tidak
terjadi penambahan sekolah model Barat, jumlah murid yang bersekolah di Tweede
Klasse School Cianjur terus meningkat. Pada akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1895,
jumlah murid yang bersekolah di Tweede Klasse School Cianjur berjumlah 54 orang.
Hal ini berarti meningkat 20 orang dibandingkan pada 1891 atau meningakat 12
orang dibandingkan jumlah murid pada 1894. Dilihat dari tingkat pendidikan,
sebanyak 28 orang duduk di laagste klasse, 23 orang duduk di middelste klasse, dan 3
orang duduk di hoogste klasse. Di samping adanya peningkatan jumlah murid, tweede
klasse school Cianjur juga mengalami pergantian kepala sekolah dari K. M. Hege
kepada D. Rottier. Pengangkatan D. Rottier sebagai kepala sekolah Tweede Klasse
School Cianjur dimulai sejak 4 Mei 1893.38
Sama halnya dengan akhir abad ke-19, pada awal abad ke-20, jumlah murid
di Tweede Klasse School Cianjur cenderung meningkat. Dari 43 orang murid yang
tercatat pada 1903, memasuki 1904, jumlahnya meningkat menjadi 64 orang. Murid38

Reiza, D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 68. Dikutip dari
Algemeen Verslag van het Middelbaaren Lager Onderwijs voor Europeanen in Nederlandch-Indies
over 1895 (Batavia: Landsdrukkerij, 1896), hal. 163-165 dan 208-209.

61

murid Tweede Klasse School Cianjur yang berjumlah 64 orang tersebut tersebar di
tiga tingkatan kelas, masing-masing 37 orang di laagste klasse, 20 orang di Middelste
Klasse, dan 7 orang di Hoogste Klasse.
Untuk operasionalnya Tweede Klasse School Cianjur, pemerintah kolonial
Belanda pada 1904 mengeluarkan dana f. 5.790. Dana tersebut digunakan untuk
menggaji seorang guru yang sekaligus sebagai kepala sekolah, seorang guru bantu,
dan seorang pembantu. Untuk gaji seorang guru yang bukan guru bantu sebesar f.
4.200 setiap tahun atau f. 350 setiap bulan, untuk gaji seorang guru bantu sebesar f.
1.500 setiap tahun atau f. 125 setiap bulan, dan untuk gaji seorang pemantu sebesar f.
90 setiap tahun atau f. 7,5 setiap bulan. Dari gambaran tersebut, dibandingkan
anggaran yang dikeluarkan pada 1891, jumlah anggarang yang diberikan oleh
pemerintah kolonial Belanda pada 1904 untuk menggaji para guru dan pembantu di
tweede klasse school Cianjur berkurang f. 1.500. Pengurangan terbesar dialami pada
1904 oleh pos anggaran yang digunakan untuk menggaji guru yang bukan guru bantu,
yakni f. 1.200 atau dari f. 5.400 pada 1891 menjadi f. 4200. Sisanya sebesar f. 300
terjadi pada pos anggaran untuk menggaji seorang guru bantu, yakni dari f. 1.800
pada 1891 menjadi f. 1.500 pada 1904. Salah satu kemungkinan alasan terjadinya
penurunan gaji para guru ini yaitu telah banyaknya jumlah guru yang dimiliki
pemerintah kolonial

Belanda serta terjadinya penambahan jumlah sekolah di

berbagai daerah. Hal ini menuntut adanya penyebaran anggaran pendidikan yang
lebih merata. Di samping tercatat sebagai satu-satunya Openbare Lagere School di

62

Afdeling Cianjur, hingga 1904 Tweede Klasse School Cianjur juga tercatat sebagai
salah satu dari 12 Openbare Lagere Scholen di Priangan.
Memasuki dasawarsa kedua hingga berakhirnya kekuasaan pemerintah
kolonial, perkembangan infrastruktur pendidikan di Cianjur terlihat lebih dinamis
dibanding periode sebelumnya. Hal ini tidak hanya ditandai oleh terjadinya
peningkatan jumlah murid tetapi ditandai pula oleh munculnya berbagai sekolah baru,
baik yang menggunakan sistem Barat maupun sistem pribumi. Beragamnya jenjang
dan jenis pendidikan yang berdiri di Cianjur dalam abad ke-20 tidak bisa dilepaskan
dari munculnya dua aliran pendekatan yang berbeda dalam menentukan jenis dan
sasaran pendidikan yang dilaksanakan. Pendekatan pertama, yang dikenal dengan
pendekatan elitis, diintroduksikan olek Snouck Hurgronje dan J. H. Abendanon yang
pada saat itu menjabat sebagai direktur pendidikan pemerintah kolonial pada 19001905. Sesuai dengan sasarannya, sistem ini bertujuan untuk menghasilkan golongan
elit Indonesia berpendidikan Barat (westernized), yang berorientasi pada birokrasi,
paternalistis, kooperatif, sekuler, dan dapat menjadi panutan bagi golongan bawah
masyarakat tanah jajahan. Pendekatan elitis ini lebih menghendaki bentuk pendidikan
model Barat dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Sekolah-sekolah yang didirikan untuk tujuan pertama, misalnya sekolah pribumi
kelas satu (Eerste Klasse Inlandsche School), HIS (Hollandsche-Inlandsche School),
AMS (Opleiding Scholen voor Inlandsche Ambtenaren), dan STOVIA (School tot
Opleiding van Inlandsche Artsen). Pendekatan kedua, yang dikenal dengan

63

pendidikan untuk rakyat banyak (Mass Education) atau pendekatan non-elit,


diintroduksikan oleh Idenburg dan Van Heutsz (Gubernur Jendral Hindia Belanda
sejak 1904 hingga 1909). Sesuai dengan sasarannya untuk mengasilkan tenaga kerja
yang terampil dan terlatih, pendekatan Mass Education ini lebih memilih konsep
pendidikan dasar yang praktis dengan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar. Sekolah-sekolah yang dibangun dari pendekatan Mass Education, antara
lain sekolah-sekolah kejuruan dan sekolah teknik. Adapun sekolah kejuruan yang
terdapat di Jawa Barat di antaranya39:
1. Sekolah Perkebunan (Cultuurschool) di Bogor yang didirikan pada 1911. Sekolah
ini terbuka bagi murid-murid lulusan sekolah rendah.
2. Sekolah Pertanian Menengah Atas (Middelbare Landbouw School) di Bogor yang
didirikan pada 1920.
3. Sekolah Pertanian Desa (Desa Landbouwchooltjes) di Soreang, Bandung yang
didirikan pada 1910.
Pemerintah Hindia Belanda membuka sekolah-sekolah kejuruan tersebut
dengan pertimbangan bahwa tanah/daerah Jawa Barat sangat subur sehingga
meniscayakan tersedianya tenaga-tenaga yangterdidik untuk mengolahnya. Selain itu,
sekolah-sekolah tersebut mengalami pembinaan yang cukup baik, hal ini terjadi
sebagai akibat pelaksanaan Politik Etis dimana Pemerintah Hindia Belanda banyak
mencurahkan perhatian pada bidang pendidikan.
39

Edi S. Ekadjati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 66.

64

Sekolah-sekolah baru yang didirikan di Cianjur sepanjang dasawarsa kedua


abad ke-20 hingga 1942, dapat dibedakan atas sekolah-sekolah pendidikan rendah
(lagere onderwijs) dan sekolah-sekolah pendidikan kejuruan (vakonderwijs). Dengan
kata lain, hingga berakhirnya pemerintah kolonial Belanda, sekolah-sekolah untuk
pendidikan menengah atau lanjutan dan pendidikan tinggi tidak pernah didirikan di
Cianjur. Sekolah-sekolah rendah yang dimiliki Cianjur pada abad ke-20 tidak hanya
sekolah rendah yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar tetapi
juga sekolah rendah yang menggunakan bahasa pribumi sebagai bahasa pengantar.
Sekolah-sekolah rendah tersebut, ada yang didirikan oleh pemerintah dan ada pula
yang didirikan oleh swasta. Setidaknya hingga 1942 terdapat empat buah sekolah
rendah di Cianjur yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Keempat sekolah rendah tersebut yaitu40:

1. Openbare Europeesche Lagere School (Sekolah Dasar Eropa)


Sebetulnya Europeesche Lagere School (ELS) yang lebih dikenal dengan
nama Sekolah Dasar Eropa sudah berdiri pada tanggal 24 Februari 1817. Sekolah
ini berlokasi di Jakarta dan mencontoh sekolah dasar yang ada di negeri Belanda.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tahun 1818 yang menitikberatkan
penyelenggaraan sekolah-sekolah rendah bagi anak-anak Belanda, maka pada
tahun 1820 sekolah jenis ELS dikembangkan menjadi 7 unit, yakni: 2 unit di
40

Edi S. Ekadjati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 70-71.

65

Jakarta, tepatnya di Weltwvreden dan Molenvliet, dan masing-masing 1 unit di


Cirebon, Semarang, Surakarta, Surabaya dan Gresik. Adapun materi yang
disampaikan antara lain: menulis, membaca, berhitung, Bahasa Belanda, sejarah
dan ilmu bumi.41
Selanjutnya, seiring dengan berkuasanya Gubernur Jenderal Van den
Bosh, yang lebih dikenal sebagai bapak Cultuurstelsel atau Tanam Paksa di
Indonesia pada 1830, dengan alasan kebutuhan akan tenaga kerja yang terdidik
maka pada 1833 jumlah sekolah dasar di Indonesia dikembangkan menjadi 19
buah. Tidak hanya hanya itu, pada 1845 sekolah dasar tersebut bertambah
menjadi 25 buah dan pada 1858 menjadi 57 buah. Pada perkembangan
selanjutnya, yakni pada 1895 sekolah dasar ditambah menjadi 159, kemudian
pada 1902 meningkat kembali menjadi 173 buah.
Khusus untuk Kabupaten Cianjur sendiri, pada 1925, jumlah murid yang
menimba ilmu pada Europeesche Lagere School (ELS) Cianjur berjumlah 98
orang murid atau menurun tujuh orang dibandingkan jumlah murid pada 1924.
Dari 98 orang murid ELS Cianjur tersebut, tercatat 45 orang murid berkebangsaan
Eropa (19 pria, 26 wanita), 34 orang pribumi (15 pria, 19 wanita), dan 19 orang
Timur Asing (17 pria, 2 wanita). Dilihat dari tingkatan pendidikan, murid-murid
tersebut mengisi hampir semua tingkatan kelas yang tersedia. Untuk kelas
pendahuluan (voorklasse) ada 5 orang siswa, yang terdiri atas 1 orang murid
41

Edi S. Ekadjati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 42.

66

Eropa dan 4 orang pribumi. Untuk kelas satu, ada 14 orang siswa, yang terdiri
atas 6 orang Eropa, 6 orang pribumi, dan dua orang Timur Asing. Untuk kelas
dua, ada 11 orang siswa, yang terdiri atas 5 orang Eropa, 3 orang pribumi, dan 3
Timur Asing. Untuk kelas tiga ada 14 orang siswa, yang terdiri atas 9 orang Eropa
dan 5 orang pribumi. Untuk kelas empat ada 17 orang siswa, yang terdiri atas 10
orang Eropa, 4 pribumi, dan 3 Timur Asing. Untuk kelas lima, ada 8 orang siswa,
yang terdiri atas 4 orang Eropa, 1 orang pribumi, dan 3 orang Timur Asing. Untuk
kelas enam, ada 15 orang siswa, yang terdiri atas 5 orang Eropa, 7 orang pribumi
dan 3 orang Timur Asing. Untuk kelas tujuh, ada 13 orang siswa, yang terdiri atas
5 orang Eropa, 4 orang pribumi, dan 5 orang Timur Asing. Dari gambaran data
siswa di tiap-tiap kelas tersebut tampak bahwa dari keseluruhan 7 (tujuh)
tingkatan kelas yakni 1 kelas pendahuluan ditambah dengan 6 kelas jumlah
murid pribumi di sebagian besar tingkatan selalu kalah banyak dibandingkan
murid Eropa. Hanya pada kelas pendahuluan dan kelas lima saja, jumlah murid
pribumi terlihat lebih banyak dari jumlah murid Eropa. Jumlah tenaga pengajar
yang bertugas di Europeesche Lagere School Cianjur tercatat ada 4 orang, yang
terdiri atas 2 orang guru pria, yang satu di antaranya sekaligus bertugas sebagai
kepala sekolah, serta 2 orang guru wanita.42

42

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 71-72.

67

2. Openbare Hollandsch-Inlandsche School (Sekolah Dasar Pribumi-Belanda)


Sekolah seperti ini diperuntukkan bagi anak-anak priyayi dengan
menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam proses
pembelajaran. HIS sendiri dirancang untuk memberi kemungkinan yang lebih
besar kepada murid-murid untuk melanjutkan pendidikan dan mempersiapkan
diri memasuki sistem pendidikan kolonial. Hal tersebut dilakukan dengan alasan
bahwa HIS dibuka atas desakan masyarakat bumiputra, khususnya mayarakat
golongan kelas atas karena Sekolah Kelas Satu ternyata tidak memenuhi syarat
untuk menjadikan murid-muridnya dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi. Dalam pelaksanaannya, HIS yang didirikan pada 1914 ini memang
dimaksudkan sebagai standenschool, yaitu sekolah berdasarkan status. Dengan
demikian, pemerintah membuat ketentuan yang dituangkan dalam Stb. 1914 No.
359 untuk menentukan status sosial seseorang sehingga berhak memasukkan
bakatnya ke HIS. Adapun kategori tersebut dibagi ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:
(1) Kategori A, khusus bagi kaum bangsawan, pejabat tinggi, dan karyawan
swasta yang berpenghasilan bersih lebih dari 75 gulden per bulan, (2) Kategori B,
diperuntukkan bagi seseorang yang orang tuanya alumni dari MULO dan
Kweekschool ke atas, dan (3) Kategori C, bagi pegawai, pengusaha kecil, militer,
petani, nelayan dan orang tua yang pernah mendapat pendidikan dari HIS.43

43

Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 58-59

68

Namun berdasarkan hasil penelitian komisi HIS diketahui bahwa ternyata


murid-murid yang menimba ilmu di HIS lebih banyak berasal dari golongan
menengah ke bawah. Hal tersebut disebabkan salah satunya karena HIS dibuka
pula oleh pihak swasta, di antaranya oleh Paguyuban Pasundan dengan
mendirikan HIS Pasundan pada 1922. Berdasarkan hal tersebut, maka HIS telah
membuka kesempatan mobilitas sosial karena terlepas dari ketentuan pemerintah,
HIS telah membuka kesempatan bagi golongan masyarakat yang memiliki
penghasilan rendah dan pihak swasta untuk memeperoleh pendidikan dengan
sistem kolonial (Barat). Dengan demikian, hal ini menunjukkan adanya
peningkatan pendidikan bagi golongan Bumiputra. Bahkan lama belajar di HIS
akhirnya ditambah dari 5 (lima) tahun menjadi 6 (enam) tahun hingga akhirnya
bertambah lagi menjadi 7 (tujuh) tahun. Pada waktu itu, di Jawa Barat terdapat 5
buah sekolah HIS negeri yang masing-masing bertempat di Jakarta, Bandung,
Sumedang, Ciamis dan Kuningan. Sedangkan HIS Pasundan (swasta) terdapat di
Bandung, Ciparay, Sukabumi, Cianjur, Bogor, Karawang, Purwakarta dan
Tasikmalaya.44 Dengan demikian, di Kabupaten Bandung selain terdapat HIS
negeri juga terdapat HIS yang didirikan oleh Paguyuban Pasundan. Adapun HIS
yang berdiri di Cianjur adalah HIS yang pengelolaannya berada di bawah
naungan pihak swasta (Paguyuban Pasundan).

44

Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 59

69

Khusus untuk Kabupaten Cianjur sendiri, jumlah murid yang menimba


ilmu di Hollandsce Inlandsce School (HIS) hingga akhir 1925 berjumlah 294
orang siswa. Jumlah ini naik 5 orang dibandingkan jumlah murid pada 1924.
Semua siswa yang belajar di HIS Cianjur adalah siswa pribumi yang tidak
beragama Kristen dan tersebar di 7 tingkatan kelas. Untuk kelas satu ada 45 orang
siswa terdiri dari 30 pria dan 15 wanita. Untuk kelas dua, ada 57 orang siswa
terdiri atas 36 pria dan 21 wanita. Untuk kelas tiga ada 44 orang siswa terdiri
terdiri atas 28 pria dan 16 wanita. Untuk kelas empat ada 43 orang siswa terdiri
atas 28 pria dan 15 wanita. Untuk kelas lima, terdapat 35 orang siswa yang terdiri
atas 30 orang pria dan 5 wanita. Untuk kelas enam ada 37 orang siswa terdiri atas
31 pria dan 6 wanita. Untuk kelas tujuh, ada 27 orang siswa terdiri dari 15 pria
dan 12 wanita. Jumlah guru yang ditugaskan oleh pemerintah kolonial untuk
mengelola HIS Cianjur ada 7 orang terdiri atas seorang guru berkebangsaan
Eropa, dua orang guru pribumi yang memiliki diploma dari Hogere Kweekschool
(HKS), dan empat orang pribumi yang memiliki diploma dari Kweekschool.
Dilihat dari status sosial orang tua, di antara para murid yang bersekolah
di HIS Cianjur tidak ditemukan murid yang berasal dari keluarga bupati ataupun
keluarga pejabat tinggi. Namun demikian, berdasarkan tabel status sosial yang
dibuat Sartono Kartodirjo, dari 294 murid HIS Cianjur sebagian besar atau 218
murid berasal dari keluarga kelas menengah. Di antara murid-murid tersebut, 78
orang murid (54 pria dan 24 wanita) berasal dari keluarga yang orang tuanya

70

bekerja sebagai pegawai pamong praja dengan penghasilan kurang dari f. 100
setiap bulan dan 140 orang murid (105 pria dan 35 wanita) berasal dari keluarga
yang orang ruanya bergerak di bidang swasta. Sisanya sebanyak 76 orang murid
(45 pria an 31 wanita) berasal dari kelas atas. Murid-murid tersebut adalah murid
yang orang tuanya bekerja sebagai pegawai pamong praja dengan penghasilan di
atas f. 100 sebulan.45

3. Openbare Schakelschool (Sekolah Peralihan)


Sekolah ini merupakan sekolah peralihan dari Sekolah Desa 3 tahun
(Volkschool) yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar ke
sekolah dasar yang menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Adapun lama belajar dari sekolah ini adalah 5 tahun. Hal ini berarti bahwa muridmurid terpilih dari Volkschool dapat melanjutkan ke dua tingkatan sekolah, yakni
ke Vervolgschool (Sekolah Lanjutan) atau ke Schakelschool (Sekolah Peralihan).
Di Jawa Barat sendiri, sekolah ini pertama kali didirikan di Bandung pada tahun
1921, sedangkan di Jakarta pada tahun 1924.46
Pada Kabupaten Cianjur, Schakelscholen (Sekolah Peralihan) ini berdiri
pada 1925 dan baru memiliki siswa sebanyak 28 orang yang terdiri atas 21 pria
dan 7 wanita. Memasuki awal dasawarsa keempat abad ke-20, jumlah murid yang

45
46

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 72-73.


Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 60.

71

bersekolah di Schakelscholen Cianjur meningkat menjadi 113 orang. Pada saat


didirikan, yakni 1925, semua siswa yang bersekolah di Schakelschool Cianjur
adalah penduduk pribumi. Karena baru didirikan, maka semua murid di
Schakelschool Cianjur duduk di kelas satu. Dilihat dari status sosial orang tua,
murid-murid yang bersekolah di Schakelschool Cianjur umumnya berasal dari
kelas bawah. Adapun jumlah murid yang berasal dari kelas bawah ini tercatat 25
orang terdiri atas 18 pria dan 7 wanita. Pekerjaan orang tua murid dari kelas
bawah ini beraneka ragam, antara lain kepala desa, pegawai pemerintahan desa,
tukang, pedagang kecil dan petani. Sisanya 3 orang berasal dari kelas menengah
dengan perincian, dua orang murid berasal dari keluarga yang orang tuanya
bekerja sebagai pegawai pamong praja dengan penghasilan kurang dari f. 100 dan
satu orang berasal dari keluarga yang orang tuanya bergerak dalam bidang swasta.
Kehadiran Schakelschool di Cianjur cukup istimewa mengingat hingga 1925,
untuk seluruh Jawa, Schakelschool hanya bisa dijumpai di Bogor, Bandung,
Ciamis, Kebumen, Purworejo, Semarang dan Malang. Dengan berdirinya
Schakelschool, peluang penduduk Cianjur, khususnya mereka yang berasal dari
kelas bawah, untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi semakin
terbuka lebar.47

47

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 73

72

4. Bijzonder Hollandsch Chineesche School (Sekolah Dasar Swasta untuk orang


Cina)
Sekolah yang didirikan pada tahun 1908 ini diperuntukkan bagi anak-anak
keturunan Timur asing, khususnya bangsa Cina. Sekolah ini menggunakan
Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dan lama belajarnya adalah 7 tahun. Di
Jawa Barat HSC antara lain terdapat di Cianjur, Bandung dan Jakarta.48
Sebagaimana halnya sekolah rendah yang menggunakan bahasa Belanda
sebagai bahasa pengantar, sekolah rendah yang menggunakan bahasa daerah sebagai
bahasa pengantar secara umum bisa dibedakan atas sekolah pemerintah dan sekolah
swasta. Khusus untuk sekolah rendah swasta yang menggunakan bahasa daerah
sebagai bahasa pengantar, jumlahnya lebih banyak dibandingkan sekolah rendah
swasta yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengatar. Sekolah-sekolah
rendah yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar yang didirikan di
Cianjur pada abad ke-20, antara lain Volkschool (sekolah rakyat atau sekolah desa),
Vervolgschool (Sekolah Lanjutan), Openbare Inlandsche School der Tweede Klasse
(Sekolah Dasar Kelas Dua), sekolah Sarekat Islam (SI) Lokal, Ksatrian School, dan
HIS Pasundan.
Jenis pendidikan volkschool mulai banyak didirikan di Cianjur sejak awal
dasawarsa kedua abad ke-20. Sesuai dengan namanya, sekolah rendah ini ditujukkan
bagi pendududk pribumi di daerah-daerah pedesaan. Pelajaran utama yang diberikan
48

Edi S. Ekadjati dkk. Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 58.

73

di volkschool, yaitu membaca, menulis, berhitung, dan keterampilan. Lama


pendidikan selama tiga tahun. Pada awalnya, sekolah desa ini kurang mendapat
perhatian dari penduduk pribumi, namun setelah pemerintah kolonial turut campur
secara lebih aktif, yang di antaranya dilakukan dengan mengubah sekolah rendah
tersebut sebagai sekolah khusus untuk desa, perhatian penduduk mulai berubah dan
menyambutnya dengan antusias. Besarnya perhatian penduduk terhadap sekolah
rendah ini dapat dilihat dari banyaknya sekolah desa yang berhasil dibuka di Cianjur.
Hingga akhir dasawarsa kedua abad ke-20, di Afdeling Cianjur berhasil didirikan 108
sekolah desa. Dalam kurun waktu yang sama, Tasikmalaya telah memiliki 251
sekolah, Bandung 239 sekolah, Garut 175 sekolah, Sumedang 139 sekolah dan
Sukabumi 104 sekolah. Guru-guru yang memberikan pelajaran di sekolah desa di
Cianjur pada umumnya para lulusan sekolah kelas dua pribumi (Inlandsche Lagere
School der Tweede Klasse) yang memiliki prestasi baik. Sebelum memberikan
pelajaran, para lulusan sekolah kelas dua tersebut terlebih dahulu mendapat kursus
persiapan selama satu tahun di sekolah guru negeri.49
Seiring dengan meningkatnya permintaan dari desa-desa untuk mendirikan
sekolah sejenis, memasuki dasawarsa keempat abad ke-20, jumlah sekolah di desa
Cianjur terus mengalami peningkatan. Pada 1933, jumlah volkschool di Cianjur
mencapai 155 sekolah atau meningkat 47 sekolah dibandingkan dasawarsa kedua
49

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 74. Dikutip dari
Arsip Nasional Republik Indonesia, Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Barat), Penerbitan
Sumber-sumber Sejarah No. 8, (Jakarta: arsip Nasional Republik Indonesia, 1976), hal. 99-100

74

abad ke-20. adapun jumlah seluruh murid yang menimba ilmu di seluruh volkschool
di Kabupaten Cianjur hingga dasawarsa keempat abad ke-20 berjumlah 14.357 orang.
Untuk mengelola seluruh volkschool di Cianjur terdapat 302 orang sebagai tenaga
pengajar.
Dalam hal ini, para lulusan volkschool yang ingin melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi, diwajibkan untuk melanjutkan studinya di vervolgschool
(Sekolah Lanjutan). Hingga dasawarsa keempat abad ke-20, terdapat 10 buah
vervolgschool yang didirikan di Cianjur. Kesepuluh vervolgschool tersebut tersebar di
daerah Cianjur, Cibeber, Pacet, Ciranjang, Cikalong Kulon, Sukanagara, dan
Sindangbarang. Pada awal dasawarsa keempat abad ke-20 terdapat 1.094 murid
lulusan volkschool yang menimba ilmu di seluruh vervolgschool di Kabupaten
Cianjur.
Adapun Openbare Inlandsche School der Tweede Klasse atau sekolah
rendah pribumi kelas dua adalah sekolah yang diperuntukkan bagi penduduk pribumi
dari kelas menengah. Lama pendidikan untuk sekolah rendah kelas dua ini adalah
lima tahun. Sekolah rendah kelas dua banyak didirikan di distrik-distrik sehingga
dikenal dengan nama sekolah distrik. Hingga 1933 terdapat 15 sekolah rendah kelas
dua di seluruh Kabupaten Cianjur. Sekolah-sekolah kelas dua ini tersebar di daerah
Cianjur, Cibeber, Pacet, Ciranjang, Cikalong Kulon, Sukanagara, dan Sindangbarang.
Untuk memberikan pelajaran kepada 2.000 orang murid sekolah rendah kelas dua,

75

ada 66 tenaga pengajar. Murid-murid yang berjumlah 2.000 orang di seluruh sekolah
rendah kelas dua di Kabupaten Cianjur tersebar di lima tingkatan kelas.
Sedangkan Sekolah Sarekat Islam merupakan sekolah rendah yang didirikan
oleh Sarekat Islam yang dinamai Sekolah SI lokal. Hingga awal dasawarsa keempat
abad ke-20 telah berhasil didirikan 3 buah sekolah SI lokal di Kabupaten Cianjur.
Ketiga sekolah SI lokal tersebut terdapat di desa Cianjur Kaler, Cipanas dan Desa
Jambudipa. Pada 1933, terdapat guru 5 orang dan 219 orang murid yang menimba
ilmu di seluruh sekolah-sekolah SI lokal.
Kesatrian School juga turut meramaikan maraknya lembaga pendidikan di
Cianjur. Sekolah ini didirikan oleh Ksatrian Instituut yang berpusat di Bandung.
Kesatrian School Cianjur merupakan satu dari dua sekolah Ksatrian Instituut yang
didirikan oleh mantan tokoh Indische Partij, E.F.E Douwes Dekker yang lebih
dikenal dengan nama Dr. Danudirdjo Setiabudi. Lembaga ini adalah kelanjutan dari
sebuah sekolah swasta di Jalan Kebon Kalapa 17 Bandung yang dipimpin oleh Ny. H.
F. Mayer-Elenbaas. Diceritakan bahwa pada saat itu Douwes Dekker baru keluar dari
penjara di Jakarta, kemudian ia berusaha untuk mendapat pekerjaan pada sekolah
yang dipimpin oleh Ny. Mayer. Hal ini juga disampaikan kepada Residen Priangan
dan direspon dengan mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal Van Limburg
Stirum untuk meminta pertimbangan dan menyatakan keberatan residen atas maksud
Douwes Dekker. Hal itu dilakukan mengingat suami Ny. Mayer tercatat sebagai
seorang komunis, dan residen memiliki kehawatiran seandainya Douwes Dekker

76

bekerja bersama dengan Ny. Mayer maka besar kemungkinan ia akan terpengaruh
dengan paham komunis dan bergerak menentang pemerintah.50
Akan tetapi Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum ternyata berpendapat
lain. Melalui surat rahasia nomor da/1 tanggal 15 Januari 1921, Gubernur menyatakan
bahwa bagi seorang yang mengalami tekanan batin seperti Douwes Dekker, lebih
baik diberi kesempatan untuk mendapatkan nafkah secara legal, daripada menghasut
rakyat. Dengan adanya pernyataan gubernur, maka residen pun menyetujui maksud
Douwes Dekker tersebut. Akhirnya, sejak bulan September 1922 ia diperkenankan
bekerja pada sekolah Ny. Mayer dan diangkat sebagai guru pada sekolah tersebut.
Sejak itulah Douwes Dekker mencurahkan perhatian dan mengabdikan diri
sepenuhnya terhadap dunia pendidikan, dengan cita-cita agar dapat membantu rakyat
bumiputera dalam meningkatkan pendidikan.
Selama kurang lebih satu tahun bekerja, yaitu pada 1923, sekolah Ny.
Mayer berganti nama menjadi Prianger Instituut van de Vereeniging Colksonderwijs
(Institut Priangan dari Perserikatan Pendidikan Rakyat), dan Douwes Dekker
diangkat menjadi direktur MULO dari lembaga pendidikan tersebut.
Kurikulum yang diterapkan pada Priangan Institut disesuaikan dengan
kurikulum Europeesche Lagere School (ELS) dengan ditambah Bahasa Belanda, hal
itu pun dilakukan karena adanya desakan dari orang tua murid. Douwes Dekker
sendiri sebenarnya tidak setuju dengan kurikulum pendidikan yang telah didirikan
50

Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 88-89.

77

oleh pemerintah tersebut karena dianggap tidak berdiri atas dasar nasional. Douwes
Dekker menghendaki agar pendidikan di sekolahnya lebih difokuskan pada
pembinaan sikap hidup agar memiliki harga diri dan kesadaran nasional yang kuat.
Atas dasar itulah, maka pada bulan November 1924, sekolah tersebut berganti nama
menjadi Ksatrian Instituut. Salah satu tujuan penting dibukanya lembaga pendidikan
olah Ksatrian Instituut, yaitu memperkuat dan menciptakan rasa harga diri,
pengembangan inisiatif dan kesadaran kemerdekaan, meninggikan peradaban sendiri
berdasarkan rasa cinta kepada lingkungan, tanah air, bangsa, dan kepada
kemanusiaan. Untuk menunjang tujuan tersebut, kurikulum di sekolah rendah
Ksatrian Cianjur diarahkan pada pengjaran berdasarkan jiwa nasional dan pendidikan
ke arah manusia yang berpikiran merdeka. Kurikulum yang mulai dijalankan sejak
1924 ini mengubah kurikulum lama yang bentuknya disesuaikan dengan kurikulum
ELS ditambah pelajaran Bahasa Belanda.51
HIS Pasundan Cianjur didirikan oleh Panguyuban Pasundan. Adapun HIS
pertama yang didirikan oleh Panguyuban Pasundan adalah HIS Tasikmalaya yang
dibangun pada 1922.52 HIS Pasundan Cianjur, yang didirikan setelah berdirinya HIS
Pasundan Tasikmalaya, merupakan satu Di antara beberapa HIS Pasundan yang
memiliki gedung pendidikan sendiri yang cukup representatif. Pada akhir kekuasaan
pemerintahan kolonial Belanda, jumlah murid di HIS Pasundan Cianjur lebih banyak
51

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 76.


Sjarif Amin, Perjoangan Paguyuban Pasundan (1914-1942), (Bandung: Sumur Bandung,
1984), hal. 75
52

78

dibandingkan jumlah murid HIS Pasundan pada umumnya. Jumlah murid HIS
Pasundan Cianjur pada 1941 ada 501 orang murid. Jumlah murid tersebut, hanya bisa
diungguli oleh HIS Pasundan Bandung, yang memiliki murid 619 orang, selain HIS
Pasundan Puurwakarta yang memiliki murid 519 orang. Selain diajarkan mata
pelajaran umum, murid-murid HIS Pasundan Cianjur juga diberikan pelajaranpelajaran yang menjadi identitas sekolah, antara lain tarian Sunda, lagu Sunda,
pencak silat, bahasa dan sastera Sunda, serta agama Islam.
Di luar sekolah-sekolah rendah tersebut, ada beberapa sekolah rendah lain
yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar yang dikelola oleh pihak
swasta. Satu di antaranya adalah Arabische School Janatoettalib Wal Miskin (Sekolah
Rendah Arab Janatoettalib wal Miskin). Sekolah yang khusus untuk orang Arab ini,
di Cianjur hanya ada satu sekolah yang dipimpin oleh Raden Mamoer. Lembaga
pendidikan swasta lain, yang termasuk sekolah rendah dan mengalami perkembangan
pesat pada abad ke- 20 yaitu sekolah-sekolah rendah yang oleh pemerintah kolonial
dikategorikan kedalam Mohammedaansche Godsdienstscholen (Sekolah Agama
Islam).53
Sekolah rendah lain yang memiliki orientasi keagamaan yang tetap
berkembang di Cianjur adalah sekolah zending (zendingschool). Hingga akhir
dasawarsa abad ke-20, di Cianjur ada tiga sekolah zending. Sekolah-sekolah tersebut
mendapat subsidi dari pemerintah kolonial belanda. Di luar Cianjur, daerah lain di
53

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal.77

79

Karesidenan Priangan yang memiliki sekola zending, yaitu Bandung (4 sekolah),


Sukabumi (2 sekolah), Garut (1 sekolah), da Tasikmalaya (1 sekolah).
Adapun mengenai pendidikan kejuruan (vakonderwijs), ada tiga sekolah
kejuruan yang berdiri di Cianjur pada abad ke-20. Ketiga sekolah kejuruan tersebut
adalah Inlandsche Meisjesschool der Vereeniging Kautamaan Istri (Sekolah Kejuruan
Wanita Kautamaan Istri), Vakschool Pasundan Istri (Sekolah Kejuruan Pasundan
Istri), dan Lanbouwschool (Sekolah Pertanian). Sekolah Wanita Kautamaan Istri
Cianjur merupakan sekolah kejuran pertama yang didirikan di Cianjur. Sekolah
kejuran wanita yang didirikan pada 1906 ini merupakan perpaduan antara Sekolah
Istri yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika dan Sekolah Kautamaan Istri yang
didirikan oleh Raden Ayu Lasminingrat (Istri Bupati Garut R. A. A. Wira Tanu Datar
VIII).54 Sekolah ini adalah sekolah yang didirikan oleh Raden Ayu Siti Djenab dan
akan menjadi fokus pembahasan pada materi selanjutnya.
Sejalan dengan keberadaannya sebagai Meisje Vervolgschool, Sekolah
Wanita Kautamaan Istri Cianjur hanya menerima murid-murid wanita yang telah
lulus sekolah rakyat (volkschool). Dengan demikian, begitu diterima di Sekolah
Kejuruan Wanita Kautamaan Istri, murid-murid wanita tersebut langsung duduk di
kelas empat. Lama pendidikan di Sekolah Kejuruan Wanita Kautamaan Istri selama
tiga tahun. Sebagaimana pelajaran yang diberikan di Sekolah Istri Dewi Sartika dan
Sekolah Kautamaan Istri Lasminingrat lainnya, pelajaran yang diberikan pada murid54

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 78.

80

murid Sekolah Kejuruan Wanita Kautamaan Istri Cianjur, antara lain berhitung,
menulis, bahasa Sunda, bahasa Belanda, bahasa Melayu, Budi Pekerti, Agama, serta
pengetahuan (keterampilan) wanita, seperti membatik dan merenda. Pada masa awal
pendiriannya, Sekolah Kejuruan wanita Kautamaan Istri Cianjur yang dipimpin oleh
Raden Siti Djenab hanya memiliki murid 27 orang. Jumlah ini dari tahun ketahun
semakin meningkat, adapun lulusan Sekolah Kejuruan Wanita Kautamaan Istri
Cianjur ada yang melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru Van Deventer di
Bandung atau ke sekolah guru di Salatiga.55
Selain Sakola Kautamaan Istri, berdiri pula Sekolah Kejuruan Wanita
Pasundan Istri (Pasi-Vakschool) yakni sekolah kejuruan wanita yang didirikan oleh
Pasundan Istri (PASI). Keberadaan Pasi-Vakschool di Cianjur bisa dikatakan
istimewa mengingat untuk seluruh Jawa Barat hanya ada 3 buah Pasi-Vakschool. Dua
Pasi-Vakschool lainnya terdapat di Bandung dan Sukabumi. Di luar sekolah kejuruan
PASI juga membuka Atikan Murangkalih Istri (AMI), yakni semacam kursus yang
ditujukkan bagi murid-murid wanita yang telah menyelesaikan sekolah kelas dua.
Dalam kursus yang memungut biaya pendidikan sangat murah ini, para murid
diberikan pelajaran-pelajaran rumah tangga. Sebagaimana halnya Pasi-Vakschool,
keberadaan AMI di Cianjur pun istimewa karena untuk seluruh Jawa Barat, AMI
hanya bisa ditemukan di tiga tempat lain, yaitu Bogor, Tasikmalaya, dan Bandung.

55

Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 84-85.

81

Selanjutnya, pada abad ke-20 berdiri pula Sekolah Pertanian Desa


(Desalandbouwschool) Cianjur yang dirancang sebaagai satu-satunya sekolah
kejuruan non-wanita yang didirikan di Cianjur. Sekolah yang didirikan atas prakarsa
mantan Bupati Cianjur ini terletak di desa Sabandar dan memerlukan lama
pendidikan selama dua tahun. Adapun materi pokok pelajarannya bersifat teoritis dan
praktis. Kurangnya perhatian penduduk terhadap sekolah pertanian menimbulkan
kesulitan tersendiri bagi sekolah pertanian Cianjur untuk terus mempertahankan
keberadaannya. Setelah sempat terhenti selama beberapa waktu, sekolah pertanian
Cianjur dibuka kembali pada 1918, dengan mendapat subsisidi dari pemerintah
kolonial. Pembukaan kembali sekolah pertanian ini ditandai oleh dibentuknya sebuah
komisi. Komisi tersebut diketuai oleh asisten residen Cianjur, serta para anggota yang
terdiri atas Bupati Cianjur, controleur Cianjur, guru pertanian, Patih Cianjur, serta
dua orang pekerja tetap petani pribumi. Pada saat pembukaan, jumlah murid yag
terdaftar mencapai 30 orang. Dalam perkembangannya, jumlah murid baru yang
mendaftarkan diri di sekolah pertanian Cianjur cenderung menurun. Pada akhirnya,
sekolah pertanian Cianjur ini dibubarkan kembali. Adapun gedung dan tanah bekas
sekolah pertanian

Cianjur dimanfaatkan

sebagai stasion percobaan untuk

mengembangkan berbagai tanaman pribumi.56


Pada perkembangan selanjutnya, yakni pada 18 Maret 1942, Gubernur
Jenderal Hindia Belanda Tjarda Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Militer
56

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 78-79

82

(Legercommandant)

Ter

Poorten

atas

nama

Pemerintah

Hindia

Belanda

menandatangani Kapitulasi di Kalijati (Subang) sebagai pernyataan menyerah tanpa


syarat kepada tentara Jepang. Akhirnya semua perlawanan dihentikan tanpa ada
pertempuran

yang

sengit.

Padahal

pada

mulanya

mereka

senantiasa

mengumandangkan semboyan labih baik mati daripada bertekuk lutut.


Dengan berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia memasuki
suatu periode baru yaitu periode pemerintah kedudukan militer Jepang. Jepang
menyerbu Indonesia karena tanah air kita karena kaya akan bahan-bahan mentah dan
tenaga manusia. Hal ini sepadan dan memiliki dampak yang signifikan terhadap
kelangsungan perang pasifik serta sesuai dengan cita-cita politik ekspansi Jepang saat
itu.
Jika dibandingkan dengan pemerintahan kolonial Belanda, zaman
kedudukan Jepang di Indonesia memperlihatkan gambaran yang buruk mengenai
pendidikan. Hal ini dibuktikan salah satunya dengan dihapusnya sekolah-sekolah
menengah yang ada di seluruh tanah air, termasuk sekolah-sekolah menengah yang
ada di Cianjur. Kendala lain yang muncul adalah minimnya guru-guru yang
diperuntukkan bagi sekolah-sekolah menengah karena pemerintah kolonial Belanda
tidak mempersiapkan secara khusus guru-guru yang ada di Indonesia untuk sekolahsekolah menengah, terlebih menengah atas sehingga sampai terakhir dari masa
penjajahan Belanda hanya terdapat beberapa orang guru Indonesia yang mempunyai
wewenang penuh untuk mengajar di sekolah lanjutan. Kesulitan lain yang dihadapi

83

adalah mengenai buku pelajaran karena semua buku pelajaran saat itu ditulis dalam
Bahasa Belanda, sedangkan pemerintah Jepang sendiri melarang seluruh bangsa
Indonesia untuk menggunakan bahasa tersebut. 57
Kondisi seperti ini juga berimplikasi pada terhentinya proses belajar
mengajar pada Sakola Kautamaan Istri yang dikelola oleh Raden Siti Djenab di
Cianjur karena pemerintah Jepang telah menutup seluruh sekolah lanjutan yang ada di
Indonesia. Namun demikian, pemerintah Jepang telah melakukan beberapa reformasi
pendidikan salah satunya dengan menjadikan sekolah dasar 3 tahun menjadi 6 tahun.
Sistem seperti ini masih tetap digunakan hingga sekarang.
Dasar dari pendidikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Bangsa
Jepang pada saat itu hanya sebatas pada pengabdian kepada pemerintah dengan tidak
mengindahkan pertumbuhan dan perkembangan pribadi sang anak didik. Terlebih
karena pada saat itu pendidikan pun diliputi dengan suasana perang. Kalau pun
terdapat nyanyian-nyanyian, semboyan-semboyan dan berbagai macam latihan yang
diajarkan di sekolah dilakukan semata-mata hanya untuk persiapan lahir batin
menghadapi peperangan. Bahkan untuk menghapuskan ingatan rakyat Indonesia
kepada pemerintah Belanda, pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai macam
kebijakan, di antaranya:
1. Kewajiban untuk menggunakan Bahasa Indonesia pada semua jenjang
pendidikan.
57

Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 107-108

84

2. Memasukkan materi Bahasa Jepang ke dalam mata pelajaran di sekolah.


3. Melakukan latihan-latihan militer di semua sekolah
4. Mengenalkan adat istiadat dan sejarah Jepang kepada rakyat Indonesia
5. Mempelajari ilmu bumi yang ditinjau dari sudut geopolitis
Sistem pengajaran pada zaman pemerintahan Jepang banyak mengalami
perubahan karena sistem penggolongan baik menurut golongan bangsa maupun
menurut status sosial dihapuskan. Dengan demikian terdapat integrasi terhadap
berbagai macam sekolah yang sejenis. Sejak zaman Jepang, Bahasa Indonesia pun
mulai digunakan di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan.58

58

Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 108-109

85

BAB III
RIWAYAT HIDUP RADEN SITI DJENAB

Tidak banyak sumber tertulis yang merekam riwayat hidup Raden Siti
Djenab. Sejauh penelitian ini dilakukan, penulis hanya menemukan beberapa catatan
tertulis tentang sosok tokoh pendidikan perempuan asal Cianjur ini. Data tersebut di
antaranya diperoleh dari Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Cianjur.
Data dari sumber ini pun hanya menampilkan laporan singkat tentang sejarah hidup
Raden Siti Djenab. Adapun sumber tertulis lainnya merupakan hasil penelitian
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah yang dilakukan oleh Edi S. Ekadjati dkk. dan telah dikemas
dalam sebuah buku.1 Namun demikian, ilustrasi tentang Raden Siti Djenab yang
dipaparkan di dalam buku tersebut juga tidak memuat informasi yang ekstensif
tentang sejarah hidup sang tokoh. Pembahasan tentang aspek ini hanya muncul dalam
salah satu sub bab yang sangat ringkas. Selain itu, pada bagian-bagian lain masih
terdapat deskripsi data-data yang tidak konsisten dan saling bertentangan antara satu
sama lain, nampak masih seperti sebuah kepingan puzzle yang belum tersusun.

Edi S. Ekadjati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (Sampai Dengan Tahun 1950),
(Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, 1986), hal. 73-74. Berdasarkan hasil wawancara dengan putera-puteri Raden Siti
Djenab pada November 1980.

Oleh karena itu, untuk memperoleh data yang lebih komprehensif, penulis
merasa perlu secara langsung terjun ke medan penelitian untuk menelusuri informasi
tentang kisi-kisi kehidupan Raden Siti Djenab melalui penuturan orang-orang yang
pernah kontak secara langsung dengan beliau, baik keluarganya maupun siswi yang
pernah mengeyam pendidikan di Sakola Kautamaan Istri pimpinan beliau.
Data-data yang diperoleh dari kedua sumber ini -tertulis dan wawancaraselanjutnya dianalisis dengan pendekatan kritik sejarah untuk memperoleh sebuah
konklusi yang lebih mendekati kebenaran. Kritik sejarah ini berfungsi menetapkan
validasi dari sumber-sumber sejarah, menguraikannya kepada unsur-unsurnya yang
baku serta membuat perbandingan serta evaluasi antara satuan-satuannya satu
persatu.2

A. Latar Belakang Keluarga


Raden Siti Djenab adalah tokoh yang memiliki concern besar terhadap
dunia pendidikan, terutama pendidikan bagi kaum perempuan. Ia terlahir dari
pasangan Raden Martadilaga dan Nyi Raden Siti Marjah pada tahun 1890.3 Adapun
sumber lain dari Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Cianjur

Hasan Utsman, Manhaj al-Bahts al-Trkh, (Mesir: Dar al-Marif, tt), Cet. IV, Hal.159,
terj. Tim Penerjemah Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di
Jakarta, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departeman Agama R.I., 1986.
3
Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 73.

87

menyebutkan bahwa Raden Siti Djenab dilahirkan di Cianjur pada tahun 1884.4 Data
yang terakhir ini senada dengan keterangan yang diberikan oleh Muhammad Mangun
Sudarso, salah satu menantu Raden Siti Djenab yang menikah dengan puteri
bungsunya, Siti Nani Khaerani pada 1962. Dalam hal ini, terdapat perbedaan
pendapat mengenai waktu lahir Raden Siti Djenab. Pendapat pertama mengatakan
bahwa Raden Siti Djenab lahir pada tahun 1890, sedangkan pendapat yang kedua
mengatakan bahwa Raden Siti Djenab dilahirkan pada tahun 1884. Perbedaan
pendapat seperti ini wajar terjadi karena adanya perbedaan sumber (informan) dan
waktu penelitian. Penelitian pertama dilakukan oleh Ekadjati pada tahun 1980,
sedangkan penelitian kedua dilakukan Tim Peneliti Arsip dan Perpustakaan Daerah
Kabupaten Cianjur pada tahun 2005. Selain itu, fokus penelitian yang dilakukan juga
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Penelitian pertama megambil tema
tentang sejarah perkembangan pendidikan di Jawa Barat hingga tahun 1950,
sedangkan penelitian yang kedua lebih difokuskan pada penelusuran tokoh-tokoh
karuhun Cianjur.
Raden Siti Djenab sendiri terlahir dari golongan menak (priyayi). Ayahnya
merupakan seorang tokoh yang cukup terkemuka di Cianjur, sementara ibunya
seorang putri keturunan ningrat dari Brebes, Jawa Tengah. Hingga penelitian ini
dilakukan, tidak ditemukan data otentik yang menyebutkan tentang profesi dari kedua

Data Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Cianjur, Jl. Selamet Riyadi No. 1

Cianjur .

88

orang tua Raden Siti Djenab. Kendati demikian, perlu digarisbawahi informasi yang
diperoleh dari Sudarso, menantu Raden Siti Djenab dari anak bungsunya yaitu Raden
Siti Nani Khaerani, yang menyebutkan bahwa Raden Martadilaga sesungguhnya
bukanlah penduduk asli Cianjur, namun berasal dari daerah Priangan Timur. Beliau
memiliki kebiasaan hijrah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menimba ilmuilmu agama Islam, sehingga dijuluki orang yang nyantri.5 Raden Siti Djenab sendiri
adalah putri ketiga dari delapan bersaudara, yaitu: (1) R. A. Abdurrakhman, (2) Nyi
Raden Siti Aisah, (3) Ir. R. H. Muh. Enoch, (4) Nyi Raden Siti Djenar (5) Nyi Raden
Siti Rukiyah, (6) Raden Mustarom, dan (7) Nyi Raden Siti Kuraesin.
Ekadjati mengemukakan bahwa saudara Raden Siti Djenab yang paling
tua, Abdurrakhman, pernah menjabat sebagai Bupati Meester Cornelis (sekarang
menjadi Jatinegara, Jakarta Timur). Selain itu, Enoch, kakaknya yang ketiga
dinobatkan sebagai insinyur praktek pertama di Indonesia, sementara Siti Djenar
pernah menjabat sebagai Ketua Komisi I Kantor Pos Cianjur. Tidak hanya itu,
adiknya,

Raden

Mustarom

juga

pernah

menjabat

sebagai

Patih

Kepala

Volksvoorlichtingdienst di Kantor Karesidenan Bogor dan adik bungsunya, Siti


Kuraesin, menjabat sebagai Kepala Urusan Pegawai Rumah Sakit CBZ Jakarta.6
Namun Ekadjati sendiri tidak menyebutkan secara pasti kapan saudara-saudara Raden

Hasil wawancara penulis dengan H. Muhammad Mangun Sudarso dan istrinya, Raden Hj.
Sutiar, bertempat di kediaman mereka di Jl. Dr. Muwardi, belakang No. 184, Cianjur, Senin, 26
September 2005, pukul 10.30 11.30 WIB
6
Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 73

89

Siti Djenab tersebut menjabat dan menduduki posisinya masing-masing. Kendati


demikian, dapat dipastikan bahwa keluarga Raden Siti Djenab termasuk ke dalam
kategori keluarga menak dan berpendidikan. Hal tersebut dibuktikan dengan
banyaknya saudara Raden Siti Djenab yang menduduki posisi penting baik untuk
skala Cianjur maupun Priangan. Bahkan ada sebahagian kalangan yang berpendapat
bahwa kesuksesan karir Raden Siti Djenab di dunia pendidikan sebenarnya tidak
terlepas dari peran serta dan pengaruh sang kakanda, yakni R. A. Abdurrakhman,
yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Meester Cornelis (Jatinegara) di wilayah
Priangan.

B. Latar Belakang Pendidikan


Ekadjati menyebutkan bahwa pada tahun 1904 Raden Siti Djenab lulus dari
Hollandsch Inlandsche School (HIS) dalam usia 20 tahun.7 Namun ia sendiri tidak
menjelaskan secara eksplisit sejak kapan dan dimana Raden Siti Djenab mengenyam
pendidikan HIS. Selain itu, dalam buku yang sama Ekadjati menyebutkan bahwa HIS
sendiri baru berdiri pada tahun 1914. HIS yang mulai didirikan pada tahun 1914 ini
merupakan penjelmaan dari Sekolah Kelas Satu.8 Wiriaatmadja mengemukakan
bahwa sesudah dilaksanakannya Politik Etis pada kurang lebih 1900, Sekolah Kelas

7
8

Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 73


Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 58

90

Satu ini pada tahun 1915 dikembangkan menjadi Hollansch Inlandsche School (HIS:
Sekolah Dasar).9
Menurut asumsi penulis, nampaknya Raden Siti Djenab mengenyam
pendidikan dasar di Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Tweede Klasse).
Asumsi ini berlandaskan pada data yang menyebutkan bahwa pada penghujung abad
ke-19 hanya terdapat dua model Sekolah Dasar Negeri, yaitu: pertama, Sekolah
Dasar Kelas Satu (De Scholen der Eerste Klasse) yang dikhususkan untuk anak-anak
golongan Bumiputra yang terhormat, seperti anak-anak bangsawan dan tokoh-tokoh
terkemuka, dengan masa belajar 3 (tiga) tahun, kedua, Sekolah Dasar Kelas Dua (De
Scholen der Tweede Klasse) yang diperuntukkan untuk masyarakat umum dengan
masa belajar 5 tahun.10 Di Afdeling Cianjur sendiri pada saat itu hanya terdapat
sekolah model yang kedua ini.
Asumsi ini selaras dengan keterangan yang dikemukakan oleh Dienaputra:

Memasuki dasawarsa terakhir abad ke-19, jumlah sekolah


rendah yang menggunakan sistem Barat ini tidak mengalami
perubahan. Sejak 1890, sekolah rendah yang lebih dikenal dengan
Tweede Klasse School ini dipimpin oleh K.M. Hage... Keberadaan
Tweede Klasse School sebagai satu-satunya sekolah model Barat
di Afdeling Cianjur terus bertahan hingga awal abad ke-20 .11

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,


1985), hal. 43-44.
10
Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 45
11
Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg Sejarah Cikal Bakal
Cianjur dan Perkembangannya Hingga 1942, (Bandung: Prolitera, 2004), hal. 67

91

Kemungkinan lain Raden Siti Djenab melewati pendidikan dasarnya di


Sekolah Dasar Kelas Satu (De Scholen der Eerste Klasse) di Bandung, karena selain
beliau keturunan menak (priyayi), kebetulan ayahnya juga berasal dari daerah ini,
yang pada saat itu Bandung sendiri merupakan salah satu dari 5 (lima) kabupaten
pada Keresidenan Priangan (Jawa Barat).
Tidak dapat dipastikan secara jelas apakah Raden Siti Djenab pernah masuk
ke Sekolah Lanjutan atau tidak, karena pada abad ke-19 pemerintah belum
mengadakan pendidikan lanjutan untuk masyarakat pribumi. Hanya ada satu Sekolah
Lanjutan pada saat itu, yaitu HBS (Hoogere Burger School), yakni Sekolah
Menengah yang hanya dikhususkan untuk gadis-gadis remaja Eropa yang dibuka
pada tahun 1882.12 Pendidikan tingkat lanjutan yang dapat dinikmati oleh golongan
bumiputra baru berkembang pada abad ke-20 dengan dibukanya sekolah-sekolah
seperti MULO (Sekolah Menengah) pada tahun 1914 dan AMS pada tahun 1919
sebagai sekolah lanjutan dari MULO sekaligus merupakan persiapan untuk memasuki
perguruan tinggi.13
Terlepas dari minimnya dokumentasi sejarah tentang jenjang pendidikan
Raden Siti Djenab, tidak dapat dipungkiri kenyataan bahwa beliau adalah profil
seorang perempuan yang memiliki antusiasme besar terhadap dunia pendidikan.
Menurut catatan Ekadjati, Raden Siti Djenab pernah melakukan praktikum mengajar

12
13

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hal. 61.


Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal.61

92

pada Sekolah Dasar Kelas Dua (Tweede Inlandse School) yang terletak di daerah
Joglo, Cianjur,14 sebelum mengkonsentrasikan diri di Sakola Kautamaan Istri yang
akan dirintis olehnya kemudian.
Setelah kurang lebih dua tahun menjadi guru magang (kweekeling) di
sekolah tersebut, Raden Siti Djenab mulai menaruh perhatian yang lebih serius
terhadap pendidikan kaum perempuan. Akhirnya ia mengajukan usul kepada bupati
untuk mendirikan Sakola Kautamaan Istri dan memulai karirnya dengan mengajar di
sekolah tersebut. Sakola Kautamaan Istri merupakan sekolah yang memiliki concern
terhadap pemberdayaan pendidikan bagi kaum perempuan, sehingga murid-murid
yang belajar di sekolah ini khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan yang tinggal
di wilayah Cianjur dan sekitarnya. Adapun pendiri dari sekolah ini adalah Raden Siti
Djenab bersama-sama dengan Raden Aria Muharram Wiranatakusumah15, yang pada
saat itu menjabat sebagai Bupati Cianjur sebelum beliau dialihtugaskan ke Bandung.
Raden Aria Muharram Wiranatakusumah adalah bupati/regent pertama pada
Kabupaten Cianjur yang berasal dari luar keturunan dalem Cikundul. Perlu diketahui
bahwa sejak berdiri tahun 1677, bupati Cianjur selalu berasal dari karuhun Cikundul.
Pada tahun 1912, R. Aria Muharram Wiranatakusumah diangkat menjadi regent
Cianjur menggantikan mertuanya, Raden Aria Adipati Prawiradireja II yang menjabat

14

Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal.74


Arsip Pribadi H. Abbas Sahabuddin, Ketua YPI Gedong Asem, Cianjur, Asal Usul Tanah
Gedong Asem dan Yayasan pendidikan Islam Riyadhul Muttaqien, Gedong Asem, Cianjur, 27 Maret
1993.
15

93

sebagai regent Cianjur dari tahun 1863 1910. Dengan demikian, kesuksesan R. Aria
Muharram Wiranatakusumah tidak terlepas dari peran serta mertuanya yang berasal
dari keturunan dalem Cikundul.16
Hindarsah, salah seorang guru pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Cianjur yang pensiun pada 1975 mengemukakan bahwa pada saat itu semua orang
yang aktif di dunia pendidikan pada khususnya dan masyarakat Cianjur pada
umumnya merasa heran dan takjub dengan kepribadian dan kemampuan akademis
yang dimiliki oleh Raden Siti Djenab. Belum lagi jika dipertimbangkan cermin
realitas sosial pada saat itu, dimana kiprah kaum perempuan di Cianjur pada
khususnya maupun di Indonesia pada umumnya belum begitu menggema seperti
sekarang ini. Menyeruaknya opini bahwa seorang perempuan hanya memiliki tugas
di dapur, sumur dan kasur nampak sangat mengakar di kalangan masyarakat pada saat
itu. Belum lagi pengaruh dari pemerintah Kolonial Belanda yang acap kali
mendeskriditkan eksistensi kaum perempuan dalam keterlibatan aktif di kancah
perpolitikan dan pendidikan di Indonesia. Kenyataan ini pula yang dialami oleh
Raden Siti Djenab pada saat itu di Cianjur. Namun seiring pergerakan rotasi waktu,
opini itu perlahan-lahan mulai menyusut, terutama ketika beliau diangkat menjadi
guru dan menjabat sebagai kepala sekolah pada Sakola Kautamaan Istri yang
didirikan dan diprakarsai oleh beliau sendiri atas persetujuan Bupati Cianjur, Raden
Aria Muharram Wiranatakusumah. Hampir semua orang dari kalangan elit politik dan
16

Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 190.

94

dunia pendidikan mendukung niat beliau untuk mendirikan sekolah yang


diperuntukkan bagi kaum perempuan di Cianjur, kendati tidak sedikit orang yang
menolak dan mencemooh ide Raden Siti Djenab tersebut.
Tentang aspek lain menyangkut kepribadian Raden Siti Djenab, Hindarsah
menandaskan, bahwa masyarakat Cianjur pada saat itu tidak berani menatap dan
memandang wajah Raden Siti Djenab ketika bertemu dengan beliau, lantaran rasa
hormat dan penghargaan mereka terhadap beliau. Cahaya kewibawaan begitu jelas
terpancar dari raut mukanya sehingga tidak sedikit orang yang merasa sungkan dan
malu untuk bertemu dengannya.17

C. Karir di Sakola Kautamaan Istri


Ekadjati mengemukakan bahwa Sakola Kautamaan Istri Cianjur didirikan
pada 1906 oleh Raden Siti Djenab bersama-sama dengan Bupati Raden Aria
Muharram Wiranatakusumah sebelum yang belakangan ini dialihtugaskan ke
Bandung. Sementara itu Dienaputra menyebutkan bahwa pada 1906, jabatan Bupati
Cianjur diduduki oleh Raden Aria Adipati Prawiradiredja II, sedangkan
Wiranatakusumah sendiri menjabat sebagai Bupati Cianjur pada 1912-1920.
Keterangan Dienaputra ini sesuai dengan data yang penulis temukan dari
dokumentasi koran Bogor tentang Bupati Cianjur dari Masa ke Masa. Dengan

17

Hasil wawancara penulis dengan H. Ahmad Hindarsah, bertempat di kediaman beliau Jl.
Siliwangi, Gg. Guntur II No. 2101 , Cianjur, Senin, 26 September 2005, pukul 09.000 11.00 WIB.

95

demikian, dapat diduga bahwa proses pendirian Sakola Kautamaan Istri Cianjur
berdiri antara tahun 1912 hingga 1920, yakni sepadan dengan kurun waktu masa
jabatan Wiranatakusumah sebagai Bupati Cianjur.
Dugaan ini nampaknya mendekati kesimpulan yang pasti karena hal ini
secara eksplisit diafirmasi oleh penuturan Wiriaatmadja yang menandaskan:

Setelah memperoleh tanggapan positif dari masyarakat yang


haus akan pendidikan, pengurus Kautamaan Istri kemudian
memperlebar kegiatannya dengan membuka sekolah-sekolah baru.
Pada tahun 1913 dibuka Sakolah Kautamaan Istri II di Bandung,
dan sekolah-sekolah Kautamaan Istri lainnya di kota Pasundan
dan Minangkabau. Perinciannya adalah sebagai berikut:
Tasikmalaya, tahun 1913; Padang Panjang, tahun 1915;
Sumedang, tahun 1916; Cianjur, tahun 1916; Ciamis, tahun 1917;
Cicurug, tahun 1918; Kuningan, tahun 1922; dan Sukabumi, tahun
1926 .18

Menurut Ekadjati selanjutnya, Sakola Kautamaan Istri Cianjur yang


didirikan oleh R. Aria Muharram Wiranatakusumah bersama-sama dengan Raden Siti
Djenab merupakan perpaduan antara Sakola Raden Dewi di Bandung dan Sekolah
Kautamaan Istri di Garut.19 Sakola Raden Dewi merupakan sekolah yang didirikan
oleh Raden Ayu Dewi Sartika pada tanggal 16 Januari 1904 di Paseban Kulon,
Bandung. Sekolah ini diberi nama Sakola Raden Dewi yang diperuntukkan bagi
kaum wanita Sunda yang tinggal di daerah Bandung dan sekitarnya. Adapun tujuan
utama didirikannya sekolah ini adalah untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya

18
19

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hal. 81


Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 74.

96

Masyarakat (SDM) wanita Sunda pada khususnya dan wanita Indonesia pada
umumnya. Selain itu sekolah ini juga meniscayakan kaum wanita untuk mencapai
kemajuan dalam segala bidang tanpa melupakan kodratnya.20
Sementara itu, Sekolah Kautamaan Istri yang bertempat di Kota Garut, Jawa
Barat, didirikan oleh Raden Ayu Lasminingrat pada tahun 1907. Pada awal
pendiriannya, proses pembelajaran dilaksanakan di lingkungan Pendopo Garut,
dengan mengambil tempat di ruang gamelan. Di sekolah tersebut beliau mulai
mendidik beberapa orang putri bangsawan dan anak-anak pesuruh yang ada di
lingkungan kabupaten. Mereka dididik dan diajari membaca, menulis serta berbagai
keterampilan wanita. Raden Ayu Lasminingrat mendirikan sekolah tersebut karena
beliau memiliki sifat dan jiwa pendidik serta menaruh perhatian yang cukup besar
terhadap pendidikan bagi kaum wanita. Selain itu, beliau juga terinspirasi oleh
gagasan-gagasan Raden Dewi Sartika yang kerap kali datang mengunjunginya.
Proses pendiriannya pun tidak terlalu sulit, karena Raden Ayu Lasminingrat adalah
istri seorang Bupati Garut yang bernama R. A. A. Wiratanudatar VIII yang memiliki
kebijakan dan wewenang yang tinggi. Selain itu, beliau juga mendapat dukungan
moril dan materil dari para pejabat pemerintah pada saat itu.21
Penjelasan yang dikemukakan oleh Ekadjati bahwa Sakola Kautamaan Istri
Raden Siti Djenab merupakan perpaduan antara Sakola Raden Dewi di Bandung dan
20

Indonesia Media Online, Januari 2001, Memperingati Hari Lahirnya Raden Dewi Sartika
Tanggal 4 Desember 2000, http://www.indonesiamedia.com/2001/jan/tokoh-0101-dewisartika.htm
21
Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 83 84.

97

Sekolah Kautamaan Istri di Garut, semakin memperjelas kekeliruan Ekadjati sendiri


tentang tahun berdirinya Sakola Kutamaan Istri Cianjur. Bagaimana mungkin sekolah
yang didirikan oleh Siti Djenab pada tahun 1906 mengadopsi sekolah Raden Ayu
Lasminingrat yang didirikan pada tahun 1907? Dengan demikian, jelaslah bahwa
Sakola Kautamaan Istri Cianjur bukan didirikan pada tahun 1906 sebagaimana
disinyalir oleh Ekajati, melainkan pada tahun 1916 ketika jabatan bupati Cianjur
diduduki oleh R. Aria Muharram Wiranatakusumah.
Sakola Kautamaan Istri merupakan Meisje Vervolg School, yakni sekolah
lanjutan setelah tamat Sekolah Desa (Volkschool) selama 3 (tiga) tahun. Adapun
jangka waktu yang harus ditempuh pada Sakola Kautamaan Istri adalah (tiga) 3
tahun. Oleh karena itu murid-murid yang diterima di sekolah tersebut adalah anakanak gadis yang telah tamat Sekolah Dasar. Dengan kata lain, Sakola Kautamaan Istri
Cianjur adalah sekolah lanjutan dari Sekolah Desa (Volkschool) 3 (tiga) tahun, dan
murid-murid yang diterima di sekolah itu langsung masuk di kelas IV. Adapun
kurikulum yang dipakai di Sakola Kautamaan Istri pada dasarnya sama dengan
kurikulum yang dipakai di Sekolah Raden Dewi, yaitu berhitung, menulis, Bahasa
Sunda,

Bahasa

Belanda,

Bahasa

Melayu,

Budi

Pekerti,

Agama

dan

Pengetahuan/Keterampilan Wanita seperti; membatik, menjahit, merenda dan lainlain.


Pada awal kepemimpinannya sebagai kepala sekolah, Sakola Kautamaan
Istri hanya memiliki murid sebanyak 27 orang. Namun demikian, jumlah tersebut

98

sudah cukup menggembirakan untuk sebuah lembaga pendidikan yang baru dirintis,
terlebih pada perkembangan selanjutnya jumlah murid di Sakola Kautamaan Istri
semakin meningkat.
Setiap hari Raden Siti Djenab berangkat ke sekolah dan tiba sebelum
pelajaran dimulai. Semua pekerjaannya di sekolah dilakukan dengan gesit, lincah dan
cepat. Setelah lonceng berbunyi, dengan memakai pakaian berupa kain panjang dan
kemben, kebaya sunda, selendang dan sandal selop, beliau segera beraktifitas. Setelah
murid-murid masuk ke kelas, Raden Siti Djenab berkeliling kelas untuk memonitor
seluruh proses belajar mengajar di Sakola Kautamaan Istri. Para staff pengajar yang
sudah berdiri di depan kelas, biasanya keluar sebentar untuk menyapa beliau dan
bersalaman dengan salam menurut tata cara Sunda, yaitu dengan cara berjabat tangan
dengan posisi badan sedikit membungkuk kemudian mencium punggung tangan
orang yang disalaminya. Hal tersebut dilakukan seseorang sebagai rasa hormat dan
simpati kepada orang yang memiliki derajat yang lebih tinggi, dan biasanya
dilakukan kepada orang tua, guru serta sanak famili yang usia atau garis
keturunannya lebih tinggi.

Apabila ada hal-hal penting yang harus dibicarakan

segera, maka moment seperti ini terkadang digunakan oleh Raden Siti Djenab untuk
berdiskusi dengan tenaga pengajar tersebut. Semua rutinitas tersebut dilakukannya
dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apa pun.
Raden Siti Djenab adalah seorang guru sekaligus pemimpin yang tegas dan
bijaksana. Ia senantiasa mengharapkan agar semua siswinya dapat menjadi orang

99

yang disiplin dalam semua hal. Salah satu bentuk kedisiplinan yang diterapkan
kepada para siswinya adalah adanya larangan untuk membeli makanan (jajan) di luar
sekolah tanpa sepengetahuan beliau dan/atau dewan guru. Hal itu dilakukan agar para
siswi dapat berhati-hati dalam memilih jenis makanan yang dijajakan di warungwarung karena dikhawatirkan makanan-makanan yang dijual tidak dikemas dengan
kemasan yang higienis sehingga memungkinkan adanya bakteri atau kotoran yang
berasal dari asap, polusi yang ada di lingkungan sekitarnya. Namun demikian, tetap
saja ada beberapa orang siswi yang nekat jajan di luar sekolah. Menurut pengakuan
Djulaeha, para siswi dibantu oleh seorang tukang warung yang bernama Ibu Ikah dari
Bojong Herang. Ia kerapkali membantu para siswi dengan menjajakan makanan ke
Sakola Kautamaan Istri, dan hal itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tanpa
sepengetahuan Raden Siti Djenab. Terkecuali jika para siswi tersebut ingin membeli
makanan bersama-sama dengan siswi yang lainnya, maka dengan senang hati
beberapa dewan guru atau bahkan Raden Siti Djenab sendiri mengantarkan mereka
untuk membeli makanan. Hal tersebut juga hanya boleh dilakukan apabila mereka
melakukannya secara bersama-sama dan tentunya didampingi oleh Raden Siti Djenab
atau guru yang lainnya. Raden Siti Djenab juga ikut mendampingi para siswinya
untuk memilih jenis makanan yang akan dikonsumsi oleh mereka. Dengan demikian,
Raden Siti Djenab sangat mengutamakan agar kebersamaan dapat dipelihara oleh
anak didiknya.22

22

Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB.

100

Dari semua peraturan yang telah ditetapkan di atas, Raden Siti Djenab
mengeluarkan satu kebijakan tersendiri bagi siswinya yang sedang mengidap
penyakit menular atau siswi yang masih dalam tahap penyembuhan. Menurut
keterangan dari Djulaeha, pernah suatu ketika salah seorang diantara para siswi
sedang mengidap penyakit TBC. Maka untuk menjaga kesehatan dan meminimalisir
adanya penularan bakteri kepada siswi atau guru lainnya, maka Raden Siti Djenab
mengizinkan kepada siswi tersebut untuk meninggalkan pelajaran hingga ia betulbetul dinyatakan sembuh. Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi pada siswi saja,
jika ada salah seorang guru yang mengidap penyakit yang sama, maka Raden Siti
Djenab juga mengizinkan kepada guru tersebut untuk beristirahat total. Mereka
ditempatkan di ruang tersendiri yang disebut dengan natrium. Djulaeha menjelaskan,
salah seorang teman sekolahnya yang terjangkit TBC harus menjalani perawatan
intensif dan dilarang untuk mengikuti proses pembelajaran. Kendati pun demikian,
seluruh siswi mendapat fasilitas untuk berobat gratis ke dokter atau rumah sakit.
Adapun salah seorang guru Sakola Kautamaan Istri yang pernah mengalami hal
serupa adalah Ibu Rukmini, yakni mengidap penyakit TBC. Ia juga mendapat fasilitas
yang sama dengan siswi lainnya, yakni ditempatkan di natrium dan mendapat fasilitas
berobat gratis.
Namun untuk menjaga perasaannya, Raden Siti Djenab memberikan
penjelasan kepada siswi dan guru tersebut bahwa dengan dikeluarkannya kebijakan
seperti itu bukan berarti Raden Siti Djenab mendiskriditkan keberadaannya di

101

sekolah. Bahkan sebaliknya, hal tersebut dilakukan sebagai bentuk kepedulian dan
salah satu bukti bahwa Raden Siti Djenab tetap memberikan kesempatan dan hak
yang sama kepada seluruh siswinya untuk menuntut ilmu, meskipun dalam keadaan
yang kurang memungkinkan. Setiap hari Raden Siti Djenab tidak henti-hentinya
memberikan motivasi untuk kesembuhan dan kepulihan kondisi fisik dan psikisnya.
Setelah siswi yang mengidap penyakit tersebut dinyatakan sembuh, maka dia
diperkenankan untuk mengikuti pelajaran seperti biasa dan dapat bergabung kembali
dengan teman-temannya yang lain.23
Semua anak didik Raden Siti Djenab yang menimba ilmu di Sakola
Kautamaan Istri merasakan kenyamanan yang luar biasa. Terlebih ada kebanggaan
tersendiri bagi mereka karena memperoleh kesempatan untuk melanjutkan sekolah
yang pada saat itu masih dipandang tabu oleh masyarakat pada umumnya. Adapun
lulusan atau alumni dari Sakola Kautamaan Istri kebanyakan melanjutkan studi ke
Van Deventer

School di Bandung. Tercatat dalam sejarah beberapa nama

diantaranya: Najmiati, Sarimaya, Kania, Romah Sutresna dan Nunung Kurniasih.


Bahkan setelah tamat dari Van Deventer, Najmiati melanjutkan pendidikannya ke
Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool) di Salatiga.24

23

Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB.
24
Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 85. Dikutip dari hasil
wawancara beliau dengan putera puteri Raden Siti Djenab di Cianjur pada bulan November 1980.

102

Tidak lama setelah menjabat sebagai pimpinan sekolah, Siti Djenab


kemudian menikah dengan Tb. Djatradijaya, salah seorang guru Hollandsch
Inlandsche School (HIS) di Cianjur yang berasal dari Banten. Tidak jelas kapan dan
di mana Siti Djenab melangsungkan pernikahannya, yang pasti dari pernikahannya
tersebut Siti Djenab dianugerahi lima orang putera puteri, yaitu: (1) Tb. Akhmad
Sudarsono, (2) Tb. Akhmad Muhammad, (3) Rd. Siti Rakhmat, (4) Rd. Siti Harsini
dan (5) Rd. Siti Nani Khaerani. Sampai akhirnya pada tahun 1926 Siti Djenab
ditinggal wafat oleh suaminya yang tercinta.
Menurut data yang diperoleh, semua putera puteri Raden Siti Djenab sudah
meninggal dunia. Sebelumnya mereka menimba ilmu pengetahuan pada Hollandsch
Inlandsche School (HIS) di Cianjur. Sampai saat ini keluarga terdekat yang masih
hidup adalah menantu beliau dari anak bungsunya yang bernama Rd. Siti Nani
Khaerani (lahir 1926 wafat April 1992 M), yaitu H. Muhammad Mangun Sudarso.
Sudarso adalah seorang guru pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
kabupaten Cianjur yang pensiun pada tahun 1960.25 Ia lahir di Cianjur pada tanggal 4
April 1922, ayahnya berasal dari Pekalongan dan ibunya berasal dari Bogor.
Sudarso menikah dengan Rd. Siti Nani Khaerani pada tahun 1962, namun
selama kurang lebih 30 tahun berumah tangga, mereka tidak dikaruniai anak sampai
akhirnya Rd. Siti Nani Khaerani wafat pada bulan April 1992. Sebelum menikah
25

Selama bertugas pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sudarso pernah mengajar
di kecamatan Mande, kecamatan Kadupandak dan kecamatan Cugenang. Beliau juga pernah menjabat
sebagai penilik Depdikbud pada Rayon Pacet dan Cianjur.

103

dengan Rd. Siti Nani Khaerani, Sudarso pernah menikah dengan Raden Hj. Sutiar
pada tahun 1942 dan dikaruniai 3 (tiga) orang anak yang bernama (1) Drs. Asikin, (2)
Cecep Suherlan, dan (3) Sartika. Cecep Suherlan dan Sartika meninggal dunia ketika
usia mereka masih anak-anak, sedangkan putera sulungnya yakni Asikin adalah
seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas di kabupaten Bandung, Jawa
Barat dan pensiun pada tahun 1998.26
Seperti halnya Raden Dewi Sartika dan Raden Ayu Lasminingrat, Raden
Siti Djenab banyak mendapat halangan dan rintangan dari masyarakat, namun semua
itu dilaluinya dengan tenang dan sabar. Terlebih pada saat itu, ia juga mendapat
dukungan moril dari suaminya, Raden Tb. Djatradijaya. Namun hal tersebut tidak
berlangsung lama, karena pada tahun 1926 ia ditinggal wafat oleh suaminya
tercinta.27 Berkat kegigihan dan semangatnya yang berkobar, Raden Siti Djenab tetap
teguh berusaha melaksanakan cita-citanya untuk memajukan kaum wanita sampai
beliau pensiun. Berkat jasa-jasanya itu, Raden Siti Djenab dianugerahi Bintang
Oranje Nassau voor Vrouw en Verdienste dari pemerintah kolonial Belanda pada
masa kepemimpinan Gubernur General Tjarda Van Starkenborg Stachouwer
memegang kekuasaan di Indonesia.

26

Hasil wawancara penulis dengan H. Muhammad Mangun Sudarso dan istrinya, Raden Hj.
Sutiar, bertempat di kediaman mereka di Jl. Dr. Muwardi, belakang No. 184, Cianjur, Senin, 26
September 2005, pukul 10.30 11.30 WIB.
27
Ajip Rosidi dkk., Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia dan Budaya Termasuk Budaya
Cirebon dan Betawi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000), hal. 600.

104

Pada tahun 1950, Raden Siti Djenab pensiun. Setahun kemudian, yakni pada
tanggal 28 Februari 1951 ia menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia 61
tahun, setelah sekian lama mendarmabaktikan hidupnya di bidang pendidikan kaum
wanita di Cianjur, Jawa Barat.

105

Raden Martadilaga
RA. Abdurrakhman

Nyi Raden Siti Aisah

Raden Siti Djenab + Tb. Djatradijaya

Tb. Ahmad Sudarso


Tb. Akhmad Muhammad
Raden Siti Rakhmat
Raden Siti Harsini

R. H. Muh. Enoch

Nyi Raden Siti Djenar

Nyi Raden Siti Rukiyah

Raden Mustarom

Nyi Raden Siti Kuraesin


Nyi Raden Siti Marjah

Raden Siti Nani Khaerani

BAB IV
KONSEP PENDIDIKAN RADEN SITI DJENAB
Pada pembahasan sebelumnya sempat disinggung bahwa konsep
pendidikan yang digulirkan oleh Raden Siti Djenab sedikit banyak mengadopsi
konsep pendidikan yang sebelumnya pernah dikemukakan oleh Raden Dewi Sartika
dan Raden Ayu Lasminingrat. Sehubungan dengan itu, pada pembahasan ini akan
dijelaskan mengenai konsep pendidikan tentang pemberdayaan kaum perempuan
yang digulirkan oleh tiga tokoh tersebut.

A. Konsep Pendidikan Menurut Raden Dewi Sartika


Raden Dewi Sartika yang lahir di Bandung pada 4 Desember 1884 merupakan
putri pertama dan putra kedua dari hasil perkawinan Raden Rangga Somanagara
dengan Raden Ayu Rajapermas. Di lingkungan keluarganya, Uwi, demikian
panggilan akrab Raden Dewi Sartika adalah seorang perempuan yang terlahir dari
keluarga menak. Ketika Raden Dewi Sartika lahir, ayahnya menjabat sebagai Patih
Afdeling Mangunreja. Tujuh tahun kemudian ayahnya dilantik menjadi Patih
Bandung.1
Karena ayahnya menjabat sebagai Patih Bandung, maka Raden Dewi Sartika
dan saudara-saudaranya diperbolehkan mengikuti sekolah di Eerste Klasse School

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,


1985), hal. 41.

yakni sekolah setingkat sekolah dasar, yang sebetulnya diperuntukkan bagi anak-anak
Belanda dan peranakan. Di sana mereka mendapat kesempatan belajar Bahasa
Belanda dan Bahasa Inggris. Sehari-hari Raden Dewi Sartika berpembawaan agak
berbeda dari anak wanita umumnya, gerak geriknya lincah, sigap dan berani.
Bicaranya pun lugas dengan tutur kata yang tegas dan terkadang bernada keras,
kendati sehari-hari ia mengenakan kebaya dan kain panjang.2
Namun kebahagiaan sebagai kaum menak tersebut tidak berlangsung lama,
pada 1893 Patih Somanegara harus mengalami pengasingan ke Ternate. Hal tersebut
terjadi karena Somanegara dituduh menjadi tersangka percobaan pembunuhan
terhadap residen, asisten residen, Bupati Bandung yang baru, sekretaris dan kontrolir.
Pemeriksaan dilakukan terhadap 56 orang saksi dan delapan orang tertuduh, salah
satu diantaranya adalah patih Bandung Raden Rangga Somanegara dan ayahnya
seorang pensiunan Jaksa Kepala, Raden Demang Soeria Dipraja. Sebagai tindakan
pendahuluan atas dakwaan terhadap keterlibatannya, Somanegara mendapat hukuman
jabatan dengan tindakan administratif dialihtugaskan menjadi Patih di Onderafdeling
Mangunreja (Sukapurakolot) pada Afdeling Tasikmalaya. Namun berdasarkan
pemeriksaan lanjutan, gubernur jenderal memutuskan untuk membuang pimpinan dan
pelaku peristiwa yang pada saat itu dikenal dengan Peristiwa Dinamit Bandung ke

Yan Dayono, Memperingati Hari Lahirnya Raden Dewi Sartika Tanggal 4 Desember 2000,

hal. 2

106

luar pulau Jawa. Somanegara dibuang ke Ternate, sedangkan ayahandanya yakni


Demang Soeria Dipraja dibuang ke Pontianak.3
Kejadian tersebut terjadi ketika Raden Dewi Sartika masih berusia 9 tahun.
Oleh karena ayahnya menjadi orang buangan, maka sekolah tempat ia belajar yakni
Sekolah Kelas Satu (eerste klasse) yang disediakan untuk anak-anak menak Bandung,
memecatnya dari sekolah. Bahkan ironisnya, tidak ada sekolah mana pun yang mau
menerimanya, hingga pendidikannya terputus. Sedangkan ibunya, Rajapermas
mengikuti ayahnya yang menjalani pembuangan ke Ternate. Sejak saat itu, Raden
Dewi Sartika dipelihara oleh uwanya yang menjadi patih afdeling Cicalengka. Dari
istri patih Cicalengka itulah Raden Dewi Sartika memperoleh berbagai pengetahuan
tentang keterampilan wanita, yang pada saat itu dipandang perlu dikuasai oleh
seorang wanita menak Sunda. Selain itu, Raden Dewi Sartika juga mendapat
pelajaran dari istri kontrolir Cicalengka, P. Roo de la Faile yang dikenal memiliki
minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Nyonya kontrolir itu memberi pelajaran
kepada Raden Dewi Sartika sebagaimana halnya anak-anak menak lainnya yang
mengenyam pendidikan di sekolah.4
Pada waktu itu Raden Dewi Sartika sudah memperlihatkan minat terhadap
usaha dalam mendidik kaumnya. Bila ada kesempatan bermain dengan sesama gadis
para menak, Raden Dewi Sartika sering bermain sekolah-sekolahan, dimana ia
3

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hal. 13-14


Ajip Rosidi, Manusia Sunda Sebuah Esai Tentang Tokkoh-Tokoh Sastra dan Sejarah Op.
Cit., hal. 124-125
4

107

bertindak sebagai guru sedangkan teman-temannya sebagai murid. Ia juga sering


membantu teman-temannya yang buta huruf untuk membacakan surat-surat yang
mereka terima.
Tidak lama kemudian, ibunya kembali dari pembuangan karena ayahnya
meninggal dunia. Sejak saat itu Raden Dewi Sartika meninggalkan Cicalengka dan
mengikuti ibunya yang tinggal di Bandung. Ibunya, Rajapermas mengalami kesulitan
yang sangat luar biasa, terlebih karena seluruh harta kekayaannya habis disita oleh
pemerintah. Selama ini ia menggantungkan hidupnya kepada suaminya. Oleh karena
itu, ketika Somanegara meninggal dunia tanpa memberinya pensiun atau warisan
yang berharga, kehidupannya menjadi sangat memprihatinkan. Untuk mencari nafkah
sendiri, ia tidak memiliki suatu keterampilan, terlebih pada saat itu kaum perempuan
tidak biasa bekerja mencari nafkah. Akhirnya karena tidak kuat menahan beban hidup
yang begitu sulit, Rajapermas meninggal dunia.
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, nasib wanita pribumi dari golongan
menak maupun dari masyarakat golongan menengah ke bawah sungguh sangat
memprihatinkan. Mereka tidak diberi kesempatan untuk berkembang, hanya hidup
terkurung di dalam rumah bertugas melayani kebutuhan suami. Salah satu kondisi
yang sangat menyedihkan adalah ketika suaminya meninggal, maka sang istri tidak
dapat berbuat banyak. Sehingga kaum wanita pada waktu itu sangat tergantung
kepada kaum pria, seperti yang pernah dialami oleh ibunda Raden Dewi Sartika,
Rajapermas. Keadaan seperti ini menyadarkan Raden Dewi Sartika bahwa selayaknya

108

kaum wanita harus mampu hidup mandiri dan trampil berkarya supaya menjadi tiang
keluarga yang kokoh. Dengan demikian, meniscayakan adanya pendidikan yang
khusus diperuntukkan bagi kaum wanita untuk dibina sesuai dengan fitrahnya,
sehingga di kemudian hari mereka menjadi ibu yang baik dan sanggup melindungi
keluarganya. Raden Dewi Sartika percaya bahwa dari ibu yang baik akan lahir
generasi yang baik. Hal itulah yang menjadi landasan Raden Dewi Sartika
mencetuskan gagasan mendirikan sekolah wanita pribumi yang pertama di Indonesia.
Seperti yang diungkapnya pada salah satu karangannya sebagai berikut:

Menurut pendapat saya, barangkali dalam hal ini bagi


wanita tidak akan sangat banyak berbeda dengan pria.
Disamping pendidikan yang baik, ia harus dibekali
pelajaran dengan sekolah yang bermutu. Perluasan
pengetahuan akan berpengaruh kepada moral wanita
pribumi. Pengetahuan tersebut hanya diperolehnya dari
sekolah 5

Pada tahun 1902 Raden Dewi Sartika mulai melakukan kegiatan pendidikan
dengan memberikan pendidikan kepada sanak keluarganya dari kaum wanita. Di
antaranya mendidik mereka merenda, memasak, menjahit, membaca, menulis dan
sebagainya. Kegiatan ini dilakukan di sebuah ruangan kecil di belakang rumah ibunya
di Bandung. Sebagai imbalan atas pelajaran yang diberikan Raden Dewi Sartika,
mereka yang mengikuti proses belajar membawakan Raden Dewi Sartika dan ibunya
makanan, beras, garam, buah-buahan dan sebagainya.

Yan Dayono, Memperingati Hari Lahirnya Raden Dewi Sartika Tanggal 4 Desember 2000,
Op. Cit., hal. 3.

109

Raden Dewi Sartika kemudian mengajukan permohonan kepada bupati R.


A. Martanegara untuk mendirikan sebuah sekolah yang khusus diperuntukkan bagi
kaum perempuan. Martanegara sangat terkejut ketika mengetahui Raden Dewi Sartika
putri mantan Patih Bandung bermaksud menghadapnya. Ia semakin terkejut manakala
mendengar gagasan Raden Dewi Sartika yang menyiratkan keinginan untuk
mendirikan sekolah bagi kaum wanita pribumi. Namun rasa haru dan kagumnya
disembunyikan di dasar lubuk hatinya. R. A. Martanegara tidak langsung
menyanggupi untuk menolong Raden Dewi Sartika, karena ia perlu waktu untuk
merundingkan gagasan tersebut dengan sejumlah sahabat serta kerabat dekatnya.
Tak lama setelah itu Raden Dewi Sartika dipanggil agar menghadap Bupati
Bandung di Pendopo Dalem. Dengan hati berdebar dan was-was Raden Dewi Sartika
memenuhi panggilan tersebut. Pada saat inilah R.A. Martanegara mengatakan kepada
Raden Dewi Sartika :

Nya atuh Uwi, ari Uwi panting jeung keukeuh hayang


mah, mugi-mugi bae dimakbul ku Allah nu ngawasa
sakalian alam, urang nyoba-nyoba nyieun sakola
sakumaha kahayang Uwi. Pikeun nyegah bisi aya ka teu
ngeunah di akhir, sekolah teh hade lamun di pendopo
wae heula. Lamun katanyaan henteu aya naon-naon, pek
bae pindah ka tempat sejen 6

Ucapan Bupati Bandung tersebut menandakan dukungan dan perlindungan


atas rencananya mendirikan sekolah untuk wanita pribumi. Maka pada tanggal 16
6

Erwin Kustiman, Dewi


rakyat.com/cetak/1203/04/ 0108.htm

Sartika,

Jasa

110

Besar

Terlupakan,

http://www.pikiran-

Januari 1904, Sakola Istri berhasil dibentuk. Tenaga pengajarnya masih berjumlah 3
(tiga) orang yakni Raden Dewi Sartika sendiri dan dibantu oleh dua orang saudara
sepupunya Ny. Poerwa dan Nyi Oewid.
Pandangan falsafi Raden Dewi Sartika tentang visi kehidupan seorang wanita
terepresentasikan dalam ungkapannya yang sangat populer, yaitu; Nu bisa hirup!.
Melalui slogan inilah dapat ditelusuri konsep pendidikan menurut Raden Dewi
Sartika. Sejak semula, Raden Dewi sartika tidak setuju dengan konsep dan model
pendidikan tradisional yang membuat wanita tidak berdaya yang nasibnya tergantung
sama sekali kepada pria. Ketidakberdayaannya menyebabkan kemerosotan wanita
secara ekonomis, dan kemunduran kedudukannya baik secara politis maupun sosial.7
Keterbelakangan kehidupan kaum wanita memiliki implikasi besar terhadap
dinamika kehidupan bangsa. Karena itu, kaum wanita mesti terlibat dalam berbagai
aspek kehidupan dan turut serta mengarungi perubahan-perubahan yang terjadi di
sekitarnya. Apabila hal ini diimplementasikan, maka derajat kaum wanita akan
semakin diperhitungkan oleh kaum laki-laki.
Di dalam bukunya, Rochiati mengutip perkataan Raden Dewi Sartika tentang
hal ini:

Apabila kita sudah sampai sedemikian jauh, maka


perubahan ini akan merupakan suatu permulaan dari
perubahan dalam kehidupan pribumi, di mana laki-laki
akan lebih menghargai kaum wanitanya.8
7
8

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hal. 89.


Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hal. 90.

111

Dalam setiap kesempatan, Raden Dewi Sartika selalu menekankan visi


kesetaraan ini, sesuai dengan pandangannya yang jauh ke depan tentang
kemungkinan lapangan kerja bagi kaum wanita;

Sesudah bertahun-tahun lamanya, wanita akan dapat


sederajat dengan pria. Bahkan kini di Jawa Tengan kita
mempunyai lurah-lurah wanita. Mengapa di masa depan
orang tidak akan mempunyai pejabat-pejabat wanita,
misalnya untuk polisi susila, mantri cacar wanita, dokterdokter wanita, dan lain-lainnya? .9

Cita-cita Raden Dewi Sartika yang berjangkauan luas ke depan itu benarbenar diperjuangkan olehnya dengan mendirikan Sakola Kautamaan Istri sebagai
media untuk mewujudkan visi dan gagasan-gagasan revolusionernya. Di sinilah letak
aspek genuin Raden Dewi Sartika jika disandingkan dengan para pejuang wanita
lainnya pada masa revolusi -Kartini misalnya- yaitu kemampuannya menurunkan ide
dan gagasannya secara langsung ke wilayah praktis-realistis.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pendidikan menurut Raden Dewi
Sartika

adalah

seperangkat

instrumen

yang

digunakan

dalam

rangka

mentansformasikan wawasan kepada seseorang, terutama kaum wanita, agar dapat


bermanfaat dalam kehidupannya. Melalui pendidikan inilah seorang wanita mampu
menghadapi tantangan zaman, memperbaiki derajat kemanusiaannya, terlibat aktif

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hal. 99.

112

dalam proses perubahan, dan bergerak ke arah kebangsawanan budi pekerti.


Sementara tujuan pendidikan itu sendiri menurut Raden Dewi Sartika -sesuai dengan
pepatah orang tua-, yaitu membuat seorang anak menjadi sehat wal-afiyat, jasmani
maupun rohani.
Pada peringatan 35 tahun berdirinya Sekolah Raden Dewi, tepatnya pada
tanggal 16 Januari 1939, Raden Dewi Sartika mendapat bintang emas dari Pemerintah
Belanda sebagai penghargaan atas jasa-jasanya bagi masyarakat. Sebelumnya Raden
Dewi Sartika juga memperoleh bintang perak dari Pemerintah Belanda sebagai
penghargaan atas jasa-jasanya dalam bidang pendidikan. Dengan demikian Raden
Dewi Sartika tidak hanya dihargai bangsa sendiri tapi juga oleh bangsa yang
menjajahnya.
Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang dan berliku, Raden Dewi
Sartika menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 11 September 1947 dan
dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana dipemakaman Cigagadon,
Desa Rahayu, Kecamatan Cineam. Namun tiga tahun kemudian makamnya
dipindahkan ke kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar
Bandung.

B. Konsep Pendidikan Menurut Raden Ayu Lasminingrat


Raden Ayu Lasminingrat dilahirkan pada tahun 1843 di Kota Intan, Garut.
Beliau adalah putri Raden Muhammad Musa, Kepala Penghulu Kabupaten Garut,

113

pendiri Sekolah Raja, dan pada saat itu menjabat sebagai penasehat pemerintah.
Meskipun terlahir dari keturunan bangsawan, Raden Ayu Lasminingrat tidak
disekolahkan, karena pada saat itu di Garut belum ada sekolah khusus untuk kaum
wanita. Sebagai gantinya, beliau disekolahkan di rumah Kontroleur Levisan, seorang
bangsa Belanda. Di sana Raden Ayu Lasminingrat belajar menulis, membaca, Bahasa
Belanda, kebudayaan Barat dan pengetahuan lainnya yang berhubungan dengan
kewanitaan.10 Raden Ayu Lasminingrat adalah seorang wanita yang memiliki otak
yang cerdas, kemauan keras, cita-cita yang tinggi dan tekun belajar, maka segala
pengetahuan yang diperolehnya dapat dikuasainya dengan cepat, sehingga beliau
menjadi wanita Sunda pertama yang fasih berbahasa Belanda dengan orang-orang
Belanda yang ada di Garut waktu itu.
Walaupun Raden Ayu Lasminingrat memiliki harkat dan derajat yang cukup
tinggi, baik di lingkungan keluarga maupun dalam ketajaman intelektual, semua itu
tidak sepenuhnya membahagiakan hati beliau. Kehidupan kaum wanita Sunda
khususnya dan wanita Indonesia pada umumnya, yang masih erat terbelengggu
kebodohan akibat adat lama akibat penjajahan, selalu menjadi bahan pemikiran
beliau. Dalam hal ini, beliau telah merasakan apa arti pendidikan dan pengetahuan
bagi kehidupan manusia. Terlebih karena pada saat itu, kaum perempuan Sunda

10

Babad
&section=I, hal.1

Salira,

http://su.wikipwdia.org/w/index.php?title=Lasminingrat&action=edit

114

belum mendapat hak sebagaimana kaum laki-laki dalam memperoleh kebebasan


untuk menuntut ilmu di sekolah.
Bertolak dari permasalahan di atas, Ayu Lasminingrat berusaha mendobrak
adat lama yang tidak mengizinkan kaum wanita memperoleh pendidikan. Pada tahun
1907 beliau membuka Sekolah Kautamaan Istri di lingkungan Pendopo Garut,
dengan mengambil tempat di ruang gamelan. Di sekolah tersebut beliau mulai
mendidik beberapa orang putri bangsawan dan anak-anak pesuruh yang ada di
lingkungan kabupaten. Mereka dididik dan diajari membaca, menulis serta berbagai
keterampilan wanita.
Raden Ayu Lasminingrat mendirikan sekolah tersebut karena beliau memiliki
sifat dan jiwa pendidik serta menaruh perhatian yang cukup besar terhadap
pendidikan bagi kaum wanita. Selain itu, beliau tergugah oleh gagasan-gagasan
Raden Dewi Sartika yang seringkali berkunjung kepadanya. Proses pendiriannya pun
tidak terlalu sulit, karena Raden Ayu Lasminingrat adalah istri seorang Bupati Garut
yang bernama R. A. A. Wiratanudatar VIII, yang memiliki kebijakan dan wewenang
yang tinggi. Selain itu, beliau juga mendapat dukungan moril dan materil dari para
pejabat pemerintah yang sedang berkuasa pada saat itu.11
Namun demikian, untuk mendapatkan murid yang mau belajar di Sekolah
Kautamaan Istri ternyata tidaklah mudah. Hal ini terutama disebabkan karena
11

Edi S. Ekadjati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (Sampai Dengan Tahun 1950),
(Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, 1986), hal. 83

115

pengaruh adat lama yang beranggapan bahwa kaum wanita tidak perlu memperoleh
pendidikan di sekolah. Membaca situasi seperti itu, Raden Ayu Lasminingrat
mengerahkan anak-anak gadis dari sanak familinya dan anak-anak gadis para pegawai
negeri untuk menjadi murid pada sekolah yang didirikannya.
Untuk memperkuat status sekolah tersebut, Raden Ayu Lasminingrat
didampingi oleh Dr. Meulder menghadap kepada Gubernur Jenderal di Istana Bogor
untuk memohon izin pendirian sekolah gadis tersebut. Usaha Ayu Lasminingrat
tersebut membuahkan hasil. Akhirnya Sekolah Kautamaan Istri yang didirikan oleh
beliau disahkan sebagai sebuah organisasi yang disebut Vereeneging Kautamaan
Istri Schoalen dengan akte notaris nomor 12 tanggal 12 Februari 1913. Dengan
adanya pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda tersebut, maka jumlah Sakola
Kautamaan Istri menjadi berkembang. Selanjutnya, sekolah yang sama dan sejenis
juga berdiri di Disrik Tarogong, Cikajang, Bayongbong, dan kota-kota lain di Jawa
Barat, seperti Tasikmalaya,

Cianjur, Sukabumi, Cicurug, Purwakarta dan

Rangkasbitung.12 Perkembangan Sakola Kautamaan Istri tersebut terkait pula dengan


dibentuknya Perkumpulan Kautamaan Istri yang didirikan pada 5 November 1910.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam hal ini Wiriaatmadja
mencatat awal pendirian Sakola Kautamaan Istri di berbagai wilayah di Jawa Barat,
diantaranya: Sakola Kautamaan Istri Tasikmalaya yang didirikan pada 1913,
menyusul kemudian Sakola Kautamaan Istri Sumedang dan Cianjur yang berdiri pada
12

Edi S. Ekadjati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 84

116

1916 serta Ciamis yang mendirikan Sakola Kautamaan Istri pada 1917. Tidak hanya
itu, pada 1918 di Cicurug turut didirikan pula Sakola Kautamaan Istri yang disusul
kemudian dengan Kuningan yang mendirikan Sakola Kautamaan Istri pada 1922 dan
Sukabumi pada 1926. Selain di Jawa Barat, tercatat pula Sekolah Istri yang didirikan
di Padang Panjang pada 1915.13
Konsep pendidikan menurut Raden Ayu Lasminingrat sebenarnya tertuang
pada sistem pendidikan yang diterapkan di Sekolah Kautamaan Istri. Misalnya,
kurikulum yang diajarkan tidak jauh berbeda dengan sekolah yang didirikan oleh
Raden Dewi Sartika, seperti menulis, membaca dan keterampilan wanita; menjahit,
menyulam, merenda, merajut, membatik, membuat hiasan dari kerangka daundaunan, serat nanas yang sudah diberi warna, membuat taplak meja, alas duduk,
selimut dan kerajinan tangan lainnya. Adapun guru-guru yang mengajar di Sekolah
Kautamaan Istri adalah keluarga Raden Ayu Lasminingrat, diantaranya Surianingrum,
Raden Rajakusumah, Murtasiah dan Raden Ayu Lasminingrat sendiri.
Selain sebagai pendidik, Raden Ayu Lasminingrat juga seorang penulis wanita
(sastrawati) angkatan pertama. Beberapa buah penanya berupa buku-buku bahasa
Sunda antara lain Warnasari Jilid I dan Warnasari Jilid II, dicetak dan diterbitkan oleh
Balai Pustaka dan dijadikan koleksi Perpustakaan Rakyat pada tiap-tiap Sekolah
Dasar untuk dipinjamkan kepada anak-anak sekolah dan umum. Buku tersebut

13

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hal. 81

117

merupakan buku hasil terjemahan dari Bahasa Belanda yang isinya memuat tentang
kumpulan dongeng-dongeng.14
Buku-buku karya Raden Ayu Lasminingrat memang memenuhi selera anakanak, terlebih karena gaya bahasa yang dikemas pun cukup menarik untuk dibaca.
Hal ini disebabkan karena selain Raden Ayu Lasminingrat mempunyai kemampuan
tinggi dan pengetahuan yang luas, beliau juga mahir berbahasa Belanda. Pada saat itu,
bahasa Belanda merupakan salah satu bahasa asing Eropa yang sangat berpengaruh
dalam pergaulan dan bidang kehidupan lainnya, terutama dalam bidang ilmu
pengetahuan. Penguasaannya terhadap bahasa Belanda tidak hanya terbatas pada
percakapan dengan orang-orang Belanda saja, tetapi juga mampu berbicara secara
baik dan benar dengan Gubernur Jenderal yang menjabat pada saat itu.
Selain itu, pengetahuannya tentang Bahasa Belanda digunakan pula untuk
menerjemahkan buku-buku bahasa asing tersebut ke dalam bahasa Sunda. Sesuai
dengan bakat pembawaan Raden Ayu Lasminingrat yang senang akan pendidikan
anak-anak, maka buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah buku-buku yang
bertemakan pendidikan anak-anak. Hal itu dilakukannya atas pertimbangan bahwa
pada saat itu buku-buku bacaan untuk anak-anak dalam bahasa Sunda masih sangat
terbatas, dan buku-buku ilmu pengetahuan yang ada di negeri kita pada saat itu
kebanyakan ditulis dalam Bahasa Belanda. Berkat usaha dan kegiatannya tersebut,

14

Edi S. Ekadjati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 72-73. Lihat juga Babad
Salira, hal. 1

118

maka tidaklah mengherankan apabila Raden Ayu Lasminingrat memiliki ketajaman


intelektual yang tinggi dibanding wanita-wanita Sunda lainnya pada waktu itu,
terutama di daerahnya sendiri. Hal ini salah satunya disebabkan karena pergaulannya
dengan orang-orang pandai baik dari kalangan pribumi maupun orang asing.15
Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa Sakola Kautamaan Istri
didirikan oleh Raden Ayu Lasminingrat pada 1907. Namun selanjutnya nama Sakola
Kautamaan Istri ini diganti menjadi Sakola Istri. Sakola Istri ini tetap memiliki
peranan yang sama dengan Sakola Kautamaan Istri, yakni meningkatkan kapasitas
sumber daya manusia perempuan pribumi khususnya dan perempuan Indonesia pada
umumnya. Jika Sakola Kautamaan Istri dahulu berlokasi di lingkungan pendopo
Garut, maka Sakola Istri yang didirikan sebagai pengembangan Sakola Kautamaan
Istri ini berlokasi di dekat alun-alun kota Garut, yang sekarang menjadi Sekolah
Menengah Umum (SMU) 1 Garut.
Kendati demikian, di tengah kesibukannya di sekolah, Ayu Lasminingrat tetap
melakukan kegiatan rutinnya yaitu menerjemahkan buku-buku berbahasa Belanda ke
dalam Bahasa Sunda, diantaranya Warnasari dari Verhalen van Moeder de Gans,
Kulit Kalde dari Putri Bianca dan buku-buku Bahasa Belanda lainnya. Buku-buku
tersebut kemudian disadur sedemikian rupa sehingga menjadi cerita berseling
dangding, yakni buku cerita yang dalam salah satu atau beberapa paragraf, pesan
moral yang dikandung dalam paragraf tersebut disampaikan dalam bentuk pupuh
15

Edi S. Ekadjati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 73

119

(irama lagu Sunda yang menggunakan tangga nada pentatonis baik pelog atau
slendro). Hal ini dilakukan dengan tujuan agar para pembaca yang pada saat itu masih
memiliki pendidikan dalam taraf rendah dapat dengan mudah mencerna dan
memahami maksud dari buku yang disampaikan.16
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan menurut Raden
Ayu Lasminingrat tidak jauh berbeda dengan ide tentang pendidikan sebagaimana
dikonsepsikan oleh Dewi Sartika, yaitu proses transmisi wawasan kepada kaum
wanita untuk dijadikan sebagai bekal pribadi dalam menjalani kehidupan sejak dari
unit terkecil, yaitu keluarga, sampai unit yang paling besar, yaitu negara. Senada
dengan Dewi Sartika, Raden Ayu Lasminingrat berharap agar pendidikan ini dapat
memperbaiki derajat kemanusiaan kaum wanita di tengah-tengah kaum pria.
Berkat jasa dan jerih payahnya dalam memajukan pendidikan bagi kaum
perempuan, selain diangugerahi penghargaan, Raden Ayu Lasminingrat juga
memperoleh gaji tetap dari Pemerintah Kolonial Belanda. Raden Ayu Lasminingrat
wafat pada 1948 dalam usia 105 tahun dan dimakamkan di belakang Mesjid Agung
Garut. Selanjutnya, lembaga pendidikan yang dirintisnya bersama sang suami
dilanjutkan oleh putera dari saudara sepupunya yang bernama Nu Raden
Purnamaningrat.17

16
17

Edi S. Ekadjati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 73


Babad Salira, hal. 1

120

C. Konsep Pendidikan Menurut Raden Siti Djenab


1. Konsep Berdirinya Sakola Kautamaan Istri
Dalam uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa sebetulnya konsep
pendidikan menurut Raden Siti Djenab secara langsung terefleksi dalam tujuan
didirikannya Sakola Kautamaan Istri. Sakola Kautamaan Istri merupakan cermin
dari semua ide dan gagasan Raden Siti Djenab untuk meningkatkan kualitas
sumber daya kaum perempuan. Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden
Siti Djenab di Cianjur bersama dengan Bupati Raden Aria Muharram
Wiranatakusumah ini telah banyak memberikan kontribusi yang cukup berarti
bagi perkembangan pendidikan kaum perempuan di Cianjur pada saat itu.
Diantara kontribusi yang telah disumbangkan Raden Siti Djenab dengan
mendirikan Sakola Kautamaan Istri adalah memberikan kesempatan kepada para
perempuan Indonesia pada umumnya dan perempuan pituin Cianjur pada
khususnya untuk mengenyam pendidikan yang layak diperolehnya. Selain itu,
eksistensi Sakola Kautamaan Istri semakin mempertegas gagasan bahwa kaum
perempuan pun memiliki hak yang sama dengan kaum lak-laki untuk memperoleh
pendidikan yang setara dengan kaum laki-laki. Dalam kenyataannya, saat ini tidak
sedikit kaum perempuan yang menimba ilmu pengetahuan melebihi jenjang
pendidikan yang diperoleh oleh kaum lak-laki. Meskipun hal tersebut bukanlah
satu-satunya parameter yang mengindikasikan keberhasilan pendidikan antara
laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika

121

Indonesia mampu melahirkan sosok-sosok perempuan berwibawa seperti Kartini,


Raden Dewi Sartika, Raden Ayu Lasminingrat, Raden Siti Djenab dan tokohtokoh perempuan lainnya.
Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden Siti Djenab sendiri
mulai dibuka pada tahun ajaran 1916. Kiprahnya semula dimulai dengan
mengajar sebagai guru magang di Sekolah Dasar Kelas Dua (Tweede Inlandse
School) yang terletak di daerah Joglo, Cianjur. Pada perkembangan selanjutnya,
Raden Siti Djenab dipercaya untuk memimpin sekolah yang dirintisnya bersamasama dengan Bupati Raden Aria Muharram Wiranatakusumah sehingga ia
dinobatkan menjadi kepala sekolah pertama di Sakola Kautamaan Istri. Bahkan
tercatat sebagai kepala sekolah pertama di Kabupaten Cianjur yang berasal dari
kaum perempuan. Pada awal kepemimpinannya, Sakola Kautamaan Istri memiliki
murid sebanyak 27 orang. Jumlah tersebut sudah cukup menggembirakan untuk
sebuah lembaga pendidikan yang baru dirintis, terlebih pada perkembangan
selanjutnya jumlah murid di Sakola Kautamaan Istri semakin meningkat.18
Adapun para siswi yang belajar di sekolah ini kebanyakan para gadis yang
notabene berasal dari golongan menengah ke atas (menak), sehingga akan sulit
menemukan para siswi yang berasal dari golongan menengah ke bawah meskipun dalam perjalanan selanjutnya kalangan yang terakhir ini mulai
memperoleh kesempatan untuk bergabung di sekolah tersebut- pada saat itu.
18

Edi S. Ekadjati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 85

122

Namun realitas ini harus digarisbawahi dalam konteks historis yang berlaku pada
saat itu, di mana subsistem pendidikan yang dibangun oleh pemerintah kolonial
dengan membedakan pendidikan bagi kaum menak pribumi dan masyarakat
pribumi lainnya masih terasa sangat kental. Meskipun tidak semua kaum
perempuan bisa melanjutkan studi ke Sakola Kautamaan Istri, fenomena
terciptanya peluang baru bagi kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan
khusus, merupakan sebuah indikasi kemajuan dan perkembangan yang signifikan
dalam struktur dan realitas masyarakat Cianjur pada saat itu.
Sebagaimanan

dipaparkan

sebelumnya,

bahwa

pada

permulaan

pembukaan sekolah tersebut, banyak sekali cemoohan dan ejekan dari


masyarakat, terutama dari orang-orang yang fanatik beragama. Demikian pula
halnya jika merujuk pada adat istiadat dan kondisi sosial saat itu, anak-anak gadis
dari golongan priyayi usia kanak-kanak hingga usia 10 tahun memiliki kehidupan
yang berbeda dengan anak-anak gadis seusianya yang bukan berasal dari
golongan menak. Perbedaan tersebut antara lain terletak pada batasan yang
mengurangi kebebasan mereka dalam bermain. Mereka dilarang untuk bermain
sembarangan kecuali dengan teman-teman yang memiliki derajat yang sama
dengan mereka. Begitu pula dengan jenis permainan dan tempat yang digunakan
untuk bermain, tidak semua jenis permainan dapat dimainkan secara bebas oleh
anak-anak gadis dari golongan priyayi. Permainan yang mereka miliki tidak
sebanyak seperti permainan anak-anak gadis biasa pada umumnya.

123

Adapun jenis permainan yang boleh dimainkan oleh mereka antara lain:
bermain bersama sambil bernyanyi-nyanyi menjelang senja atau di bawah sinar
bulan, mendengarkan cerita dari para dayang atau pengasuh dan bemain teka-teki.
Khusus bagi anak-anak gadis yang berasal dari keluarga pejabat kabupaten, selain
mendapat permainan seperti yang telah disebutkan di atas, mereka memperoleh
arahan dan pelajaran tentang tarian yang diiringi dengan gamelan. Selain
peraturan-peraturan di atas, mereka juga tidak diperkenankan bermain di alam
bebas dan terbuka kecuali di halaman-halaman yang luas, pendopo-pendopo dan
paseban-paseban yang ada di sekitar rumahnya.19
Pendidikan yang mereka terima pada umumnya cukup dengan pelajaran
agama, salah satunya dengan belajar membaca Al-Quran, karena pada saat itu
belum ada sistem yang mewajibkan mereka untuk sekolah. Jumlah sekolah yang
ada pada saat itu juga tergolong masih sangat sedikit. Maka jumlah anak-anak
gadis yang mendapat pendidikan formal di sekolah pun masih sangat terbatas dan
hanya boleh diikuti oleh golongan-golongan tertentu saja. Walaupun anak-anak
dari kalangan kaum priyayi mendapat hak-hak istimewa, namun mereka tidak
dengan sendirinya dapat menikmati hak-hak tersebut. Dalam hal pendidikan
misalnya, anak laki-laki mendapatkan prioritas yang lebih utama dibanding
dengan anak-anak perempuan. Adat istiadat dan kondisi sosial yang berkembang

19

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hal. 33-34.

124

pada saat itu membuat anak perempuan lebih terikat pada lingkungan rumah
tangga.
Wiriaatmadja

mengemukakan

berbagai

alasan

tentang

keberatan-

keberatan masyarakat Sunda pada saat itu untuk menyekolahkan anak-anak gadis
mereka pada sekolah-sekolah formal, dengan alasan di antaranya:
a. Tugas utama perempuan hanyalah di dapur, sumur dan kasur.
b. Pendidikan bagi kaum perempuan masih dipandang tidak perlu dan tidak
bermanfaat.
c. Adanya anggapan bahwa menggabungkan anak laki-laki dengan anak-anak
perempuan dalam satu kelas dan/atau sekolah adalah hal yang dianggap
kurang baik menurut etika.
d. Anak-anak perempuan pada usia muda sudah banyak membantu orang tuanya
untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
e. Bertentangan dengan adat istiadat.
f. Anak perempuan akan cepat menikah.
g. Anak perempuan yang mengenyam bangku sekolah akan sulit dalam memilih
jodoh.
h. Meskipun anak perempuan sekolah, mereka tidak akan bekerja seperti lakilaki sehingga pendidikannya akan dipandang sia-sia.

125

i. Anak perempuan yang sekolah dikhawatirkan akan bersikap sombong kepada


suaminya, terlebih apabila pendidikan suaminya lebih rendah.20
Semua kebebasan dan pendidikan yang dapat dinikmati oleh anak-anak
perempuan, termasuk di dalamnya anak-anak gadis dari golongan priyayi, akan
berakhir apabila mereka sudah menginjak usia dewasa. Ukuran dewasa bagi
gadis-gadis remaja yang hidup pada saat itu sangat cepat, yakni usia 10-12 tahun.
Pada usia inilah mereka sudah harus mempersiapkan diri untuk menyongsong
kehidupan berkeluarga dengan memasuki dunia pingitan.
Seluruh anak-anak gadis akan mengalami dunia pingitan, di mana mereka
sudah harus mulai bekerja dengan membantu orang tuanya untuk mengasuh adikadik mereka yang masih kecil, belajar memasak, menjahit, dan kecakapankecakapan lain yang perlu dimiliki oleh seorang ibu rumah tangga. Kendati
demikian, mereka masih mempunyai waktu senggang untuk bertemu dan
berbincang-bincang dengan teman sebayanya, pergi mengaji ke rumah kyai,
membaca Al-Quran dan sebagainya.21
Dalam kondisi seperti itulah, Raden Siti Djenab tergugah hatinya untuk
mendirikan sebuah sekolah yang khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan di
Cianjur, yang kemudian dikenal dengan nama Sakola Kautamaan Istri. Sekolah

20
21

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hal. 34.


Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hal. 35.

126

ini dipersiapkan untuk mencetak sosok-sosok perempuan yang mandiri dan


berwawasan luas.

2. Sistem Pendidikan di Sakola Kautamaan Istri


Sehubungan dengan sistem pendidikan Sakola Kautamaan Istri, penulis
mencatat beberapa elemen penting yang menjadi faktor penunjang keberhasilan
sebuah lembaga pendidikan. Sebagian besar data ini diperoleh melalui informasi
saksi-saksi sejarah yang sempat terlacak oleh penulis. Data ini kemudian diolah
dengan menggunakan pendekatan interpretatif.

a. Guru
Salah satu bentuk ketidakadilan gender yang seringkali menimpa kaum
perempuan adalah perilaku diskriminatif kaum laki-laki terhadap perempuan.
Diskriminasi seperti ini misalnya terjadi pada sebuah kondisi dimana orang
tua akan lebih memperhatikan pendidikan bagi anak laki-laki dibanding anak
perempuannya. Alasannya sangat klise, di antaranya adalah pandangan bahwa
anak laki-laki suatu saat akan menjadi seorang kepala keluarga sementara
perempuan akan dibawa oleh sang suami. Alasan lain yang mencuat adalah
faktor ekonomi. Jika ada sebuah keluarga yang tergolong tidak mampu, maka
orang tua akan lebih mementingkan pendidikan anak laki-lakinya untuk
masuk ke sekolah formal tanpa mempertimbangkan potensi dan prestasi yang

127

dimiliki oleh anak-anak perempuannya. Dengan demikian, kaum perempuan


saat itu tidak memiliki daya intelektual yang tinggi dibanding dengan kaum
laki-laki, sehingga seringkali kaum perempuan terdiskriminasikan karena
alasan-alasan yang kurang logis, termasuk di antaranya diskriminasi dalam
penentuan guru-guru atau tenaga pengajar di berbagai sekolah formal.22
Sehubungan dengan itu, di Sakola Kautamaan Istri, Raden Siti Djenab
merancang para pengajar atau guru yang sengaja diambil dari para tokoh
perempuan Cianjur yang dianggap memiliki semangat juang yang tinggi
terhadap perkembangan dan kemajuan kaum perempuan. Oleh karena Sakola
Kautamaan Istri ini diperuntukkan bagi kaum perempuan, maka para guru
yang mengajar di sekolah tersebut juga terdiri dari kaum perempuan. Salah
satu tujuan diberlakukan kebijakan seperti ini adalah agar masyarakat dapat
menyaksikan dan mampu memberikan penilaian bahwa kaum perempuan juga
mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam upaya pemberdayaan
pendidikan.
Penulis mencatat beberapa nama guru yang mengajar pada tahun
ajaran 1936 /1937 di Sakola Kautamaan Istri, di antaranya; Ibu Tito, Ibu Emi
(pada saat itu dipercaya untuk mengajar mata pelajaran Bahasa Belanda), Ibu
Cua, Ibu Cito, Ibu Rukmini, Ibu Hemi, Ibu Anggi, Ibu Ea dan Raden Siti

22

Ace Suryadi dan Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, (Bandung: PT.
Genesindo, 2004), hal. 70.

128

Djenab sendiri yang merangkap sebagai kepala sekolah.23 Oleh karena


keterbatasan sumber dan data yang tersedia, penulis hanya bisa menyajiikan
beberapa nama dewan guru yang mengajar pada waktu itu. Hal ini disebabkan
karena tidak adanya dokumentasi atau arsip tertulis dari Kantor Arsip dan
Perpustakaan Daerah tentang keseluruhan jumlah guru yang mengajar di
Sakola Kautamaan Istri selama rentang sekolah itu beroperasi. Penelusuran ini
semakin muskil karena kenyataan bahwa pada saat ini Sakola Kautamaan Istri
sudah tidak dibuka lagi.
Kendati demikian, dapat dipastikan bahwa semua tenaga pengajar
yang mengajar pada Sakola Kautamaan Istri merupakan guru-guru pilihan
yang sengaja direkrut oleh Raden Siti Djenab untuk membantu beliau dalam
merealisasikan cita-citanya mengangkat derajat kaum perempuan. Meskipun
demikian, Raden Siti Djenab tidak serta merta memberikan peluang secara
cuma-cuma kepada kaum perempuan di Cianjur untuk mengajar pada Sakola
Kautamaan Istri yang dipimpinnya. Walaupun kebijakan untuk mengangkat
staff pengajar ada di tangannya, namun Raden Siti Djenab tetap
mempertimbangkan kemampuan para calon guru yang akan mengajar di
sekolahnya.

23

Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB.

129

Marjam, mantan kepala Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) Kabupaten


Cianjur menandaskan bahwa setiap guru yang akan mengajar di Sakola
Kautamaan Istri harus memiliki kriteria sebagai berikut24:
1. Memiliki kecakapan yang tinggi tentang dunia pendidikan
2. Memiliki keterampilan khususnya di bidang keterampilan wanita, seperti:
memasak, menjahit, merenda, mengurus bayi, dan sebagainya.
3. Memiliki kemampuan untuk memberikan motivasi kepada anak didiknya
4. Memiliki semangat juang yang tinggi terhadap perkembangan dan
kemajuan kaum perempuan
Djulaeha menambahkan bahwa ia memiliki pandangan tersendiri
tentang prasyarat lain yang harus dimiliki oleh calon guru yang akan mengajar
di

Sakola

Kautamaan

Istri.

Meskipun

Raden

Siti

Djenab

tidak

menyampaikannya secara eksplisit, tapi Djulaeha menangkap kesan bahwa


semua guru yang mengajar di Sakola Kautamaan Istri berasal dari golongan
menak (priyayi).

Duka atuh nya, da Ibu Djenab mah tara nyanggemkeun saha


anu kedah ngawulang di Sakola Kautamaan Istri. Tapi
katinggalna mah, sigana anu janten guru seuseueurna menak.
Cobi wae ku rama Neng Eva perhatoskeun, Ibu Emi, Ibu Tito,
Ibu Cua, Ibu Rukmini, pan sadayana oge menak Cianjur?

24

Hasil wawancara penulis dengan Hj. Marjam, mantan Kepala Sekolah Kepandaian Puteri
(SKP) Kabupaten Cianjur periode 1963-1992, bertempat di kediaman beliau Jl. K. H. Hasyim Asyari
Cianjur, tanggal 29 Agustus 2006 pukul 10.00-12.00 WIB.

130

Malih Ibu Hemi, Ibu Anggi sareng Ibu Ea oge ngawulang di


sakola Ibu Djenab. 25
Penulis berasumsi bahwa Raden Siti Djenab sengaja mengeluarkan
kebijakan untuk mengangkat para staff pengajar yang berasal dari golongan
menak karena mereka mengenyam pendidikan yang setingkat lebih tinggi
dibanding dengan orang-orang yang berasal dari golongan menengah ke
bawah, sehingga dipandang memiliki kualitas yang lebih baik. Secara
otomatis kesempatan untuk mengajar di Sakola Kautamaan Istri pun
diprioritaskan bagi orang-orang yang dari golongan menak.
Terlepas dari semua kriteria yang dipaparkan di atas, dalam
perkembangannya sekarang ini seorang guru sudah selaiknya memiliki
kemampuan di bidang ilmu pendidikan dan keguruan karena dengan keahlian
yang dimiliki itulah ia dapat melakukan tugas dan fungsinya secara maksimal.
Menguasai materi kurikulum secara menyeluruh merupakan syarat lain yang
harus dimiliki seseorang untuk menjadi guru yang dianggap profesional.
Selain itu, ia juga dituntut untuk dapat mengaplikasikan materi kurikulum
dalam kehidupan sehari-hari supaya dapat dijadikan suri tauladan yang baik
bagi anak didiknya. Seorang guru juga harus dapat memilih metodologi
pengajaran yang tepat agar anak didik mampu menyerap dan menguasai
seluruh materi yang disampaikan oleh guru. Selanjutnya, seorang guru
25

Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101, Cianjur, Minggu, 30 Juli 2006, pukul 16.10 17.35 WIB

131

selaiknya memiliki disiplin dan loyalitas yang tinggi dalam melaksanakan


tugasnya.

Dengan

kriteria-kriteria

tersebut

guru

diharapkan

dapat

mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya untuk menciptakan suasana


belajar yang efektif menuju sistem pendidikan yang lebih baik.26
Slavin menambahkan bahwa selain kriteria di atas, seorang guru
diharapkan memiliki sifat yang hangat, ramah, humoris, peduli terhadap
sesame, memiliki perencanaan yang matang, mau bekerja keras, memiliki jiwa
kepemimpinan, antusias, menularkan kecintaan terhadap belajar kepada
siswanya, cakap bertutur kata, memahami pokok persoalan/materi pelajaran
yang akan disampaikan, menguasai keterampilan dalam mengajar, bisa
mendidik siswanya, memiliki bahan-bahan dan sumber-sumber belajar,
berfikir kritis, memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah, mengetahui
peraturan dan pengetahuan diri sendiri, memahami siswa dan cara belajarnya,
mampu mengaplikasikan penelitian pendidikan, memiliki keterampilan
mengajar dan berkomunikasi dengan baik serta mampu merefleksikan semua
aspek yang telah dilakukan27

b. Kurikulum

26

Khaerul Hakim, Problematika Guru, Kapan Usai?, http://re-searchengines.com/0805


khaerul.html, hal. 2
27
Robert E. Slavin, Educational Psycology Theory and Practice, (USA: Paramount
Publishing, 1994), hal. 5

132

Kurikulum merupakan salah satu alat yang dianggap penting dalam


menciptakan keberhasilan suatu pendidikan. Tanpa adanya kurikulum yang
baik maka sasaran dan tujuan pendidikan pun akan sulit untuk dicapai. Secara
etimologis, istilah kurikulum sendiri berasal dari Bahasa Latin, yakni
curriculum yang pada awalnya memiliki makna a running course, atau dalam
Bahasa Prancis yakni courier, yang artinya berlari. Istilah tersebut kemudian
digunakan sebagai sejumlah mata pelajaran (courses) yang harus ditempuh
oleh seseorang untuk mencapai suatu penghargaan dalam dunia pendidikan,
yang dikenal dengan nama ijazah.28
Adapun pengertian kurikulum secara lebih luas dapat diartikan sebagai
semua aktivitas dan kegiatan yang dilakukan oleh murid di sekolah dan telah
direncanakan untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan yang
diharapkan.29
Setiap kurikulum pada setiap jenjang pendidikan tentunya berbedabeda karena hasil yang diharapkan oleh masing-masing sekolah juga berbedabeda. Kurikulum yang dirancang pada Sekolah Dasar (SD) akan berbeda
dengan kurikulum yang disusun pada Madrasah Ibtidaiyah (MI). Begitu pula
dengan kurikulum yang dirancang pada Sekolah Menengah Umum (SMU)

28

Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Prakteik, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999), hal. 3
29
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Prakteik, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999), hal. 4

133

akan berbeda dengan kurikulum yang khusus dirancang pada Sekolah


Menengah Kejuruan (SMK). Dengan demikian, semua jenis lembaga
pendidikan memiliki karakteristik tersendiri dalam menyusun kurikulum yang
akan diterapkan pada sekolahnya masing-masing. Hal ini tentunya dengan
tidak mengenyampingkan peranan pemerintah yang berwenang dalam
mengeluarkan berbagai kebijakan, dalam hal ini adalah Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang pada mulanya bernama Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) atau Departemen Agama (Depag)
bagi lembaga pendidikan yang berciri khas agama Islam.
Demikian pula kasus yang terjadi pada Sakola Kautamaan Istri
Cianjur. Kurikulum yang diajarkan pada sekolah ini dirancang menyesuaikan
kurikulum yang sudah ditetapkan pemerintah kolonial, yakni dengan mengacu
pada Tweede Klasse School sambil melakukan modifikasi model kurikulum
sekolah kejuruan. Kurikulum yang mengikuti sistem pemerintah kolonial
diantaranya dengan memasukkan materi Bahasa Belanda sebagai salah satu
mata pelajaran yang wajib diajarkan kepada para siswi. Adapun materi
berhitung, menulis, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu dan Olah Raga merupakan
mata pelajaran yang juga diajarkan di sekolah-sekolah umum lainnya. Selain
materi-materi yang telah disebutkan di atas, materi pelajaran yang diajarkan di
Sakola Kautamaan Istri juga disesuaikan dengan kebutuhan kaum perempuan
dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dirancang untuk membuktikan

134

bahwa materi-materi keterampilan wanita merupakan mata pelajaran khusus


yang dipelajari di Sakola Kautamaan Istri dan tidak diajarkan di sekolahsekolah lain.
Perlu dikemukakan sebuah catatan penting berkaitan dengan
kurikulum yang diterapkan di Sakola Kautamaan istri, yaitu implementasi
materi pelajaran agama (Islam) yang sama sekali tidak lazim diajarkan di
sekolah-sekolah umum yang ada pada saat itu. Barangkali point ini memiliki
signifikansi tersendiri jika diletakkan dalam kerangka sejarah kurikulum
pendidikan di Indonesia.
Berikut adalah materi-materi yang diajarakan oleh Raden Siti Djenab
dan guru-guru lainnya di Sakola Kautamaan Istri:
Tabel 1.
Daftar Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri
NO

MATERI

KATEGORI

Berhitung

Pendidikan Umum

Menulis

Pendidikan Umum

Bahasa Sunda

Pendidikan Umum

Bahasa Belanda

Pendidikan Umum

Bahasa Melayu

Pendidikan Umum

Budi Pekerti/Akhlak

Pendidikan Agama

Agama

Pendidikan Agama

135

Membatik

Pendidikan Keterampilan Wanita

Menjahit

Pendidikan Keterampilan Wanita

10

Merenda

Pendidikan Keterampilan Wanita

11

Menambal

Pendidikan Keterampilan Wanita

12

Menyulam

Pendidikan Keterampilan Wanita

13

Memasak

Pendidikan Keterampilan Wanita

14

Menyajikan Makanan

Pendidikan Keterampilan Wanita

15

Memelihara Bayi

Pendidikan Keterampilan Wanita

16

PPPK

Pendidikan Umum

17

Olah raga

Pendidikan Umum

Apabila dilihat dari tabel di atas, dapat diprosentasikan bahwa mata


pelajaran keterampilan wanita lebih mendominasi, yakni 47,05 %, disusul
kemudian dengan materi umum sebanyak 41,17 % dan materi pelajaran
agama sebanyak 11,76 %. Penambahan jumlah mata pelajaran pada
keterampilan wanita sengaja dilakukan karena Sakola Kautamaan Istri
merupakan sekolah yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan sekolahsekolah lainnya yang ada di Cianjur pada saat itu. Sehingga mata pelajaran
yang diajarkan kepada para siswinya pun lebih difokuskan pada materi-materi
tentang pendidikan keterampilan wanita.

136

Raden Siti Djenab tentunya memiliki alasan tersendiri untuk


menentukan materi yang akan diajarkan kepada para anak didiknya. Seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa pada saat itu gerak langkah kaum
perempuan sangatlah terbatas. Kaum perempuan tidak bisa menikmati
kebebasan untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, serta mengembangkan
bakat dan potensinya. Bahkan kaum perempuan mendapatkan perlakuan yang
diskriminatif. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh paham
kolonialisme yang membatasi hak-hak kaum perempuan.30 Dengan demikian,
diberikannya kesempatan kepada kaum perempuan untuk mengenyam
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, memiliki nilai tersendiri pada
masyarakat Indonesia saat itu.
Sehubungan dengan itulah, maka Raden Siti Djenab mengeluarkan
kebijakan untuk memperbanyak porsi pendidikan keterampilan wanita hingga
47,05 %. Dengan berbekal keterampilan yang dimiliki oleh para alumni
Sakola Kautamaan Istri, diharapkan

mereka dapat

mengembangkan

potensinya ke arah yang lebih baik. Sehingga pandangan negatif sebagian


besar masyarakat bahwa kaum perempuan hanya bisa kerja di dapur, kasur
dan sumur pun bisa dieliminir secara bertahap. Bahkan pada tataran yang
lebih praktis, dalam perkembangannya kemudian banyak di antara para
alumni yang memanfaatkan keterampilan mereka dengan membuka lapangan
30

Ace Suryadi dan Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, hal. 42.

137

pekerjaan pada bidang keterampilan wanita, seperti: membuka jasa menjahit


pakaian, penyelenggara event organizer acara pernikahan, bisnis chatering,
bisnis garmen dan sebagainya.
Dengan kondisi seperti itu, kaum perempuan dapat membuktikan
bahwa mereka tidak selalu memiliki peran pasif dalam keluarga. Namun
sebaliknya, kaum perempuan tidak hanya memiliki keahlian di bidang
domestik semata, namun juga mampu beraktifitas di wilayah publik. Bahkan
dengan keahlian yang dimilikinya, kaum perempuan pun pada akhirnya
memiliki peranan yang cukup penting dalam menunjang ekonomi keluarga.
Berikut adalah prosentase materi pelajaran pada Sakola Kautamaan
Istri:

Tabel 2.
Prosentase Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri
MATERI

NO

JUMLAH

PROSENTASE

Umum

41, 17 %

Agama

11,76 %

Keterampilan Wanita

47,05 %

17

100 %

138

Klasifikasi materi pelajaran yang tercantum pada tabel di atas disusun


dengan alasan bahwa sekolah ini diperuntukkan bagi para gadis, oleh karena
itu materi yang diajarkan kepada para murid lebih banyak didominasi oleh
materi-materi yang berkenaan dengan keterampilan wanita.
Berikut adalah rincian dari materi-materi dimaksud, antara lain:
a. Pendidikan dalam berumah tangga. Materi ini meliputi pelajaran
bagaimana cara menyapu dan mengepel lantai, mengatur peralatan rumah
tangga, membersihkan debu, menjahit, merenda, menyulam, membatik
dan menambal pakaian.
b. Mempelajari adat dan tata cara yang disesuaikan dengan kedudukan
masing-masing siswi. Jika siswi itu berasal dari kalangan menak, maka
yang harus diperhatikan di antaranya adalah tata krama apabila dia
menghadapi seseorang yang memiliki tingkat atau derajat yang lebih
tinggi, yang sederajat dan yang lebih rendah dari dia. Sebaliknya, apabila
siswi tersebut berasal dari golongan rendah atau somah, maka dia hanya
akan mempelajari adat somah saja.
c. Materi yang berkenaan dengan kegiatan di dapur. Materi ini mencakup
tata cara mencuci piring, panci, gelas, memasak, menggoreng, mencuci
beras, dan tata letak peralatan makan di meja makan serta adab di tempat
makan, baik di meja maupun lesehan (ngampar).

139

d. Belajar merawat orang sakit, antara lain: Menyiapkan makanan khusus


untuk orang yang sakit dan memberikan obat. Hal seperti ini dilakukan
sebagai antisipasi jika ada sanak keluarganya yang sedang sakit.
e. Mempelajari ajaran-ajaran agama Islam dengan dibatasi pada membaca
serta tadarus Al-Quran. Apabila si anak sudah lebih besar, maka ia akan
diajarkan tentang kaifiyat shalat, puasa, dan ibadah-ibadah yang lainnya. 31
f. Untuk olah raga, diajarkan beberapa materi di antaranya: Volly dan kasti.
Tidak sedikit prestasi yang telah diraih oleh Sakola Kautamaan Istri
karena sekolah ini seringkali mengikuti berbagai perlombaan olah raga.
Namun ada hal unik yang perlu dicatat bahwa meskipun para siswi
mengikuti perlombaan olah raga, mereka tetap memiliki kewajiban untuk
memakai seragam sekolah lengkap, yakni; kebaya, kain dan selendang.
Selain pakaian tersebut, dalam seragam keseharian, khusus untuk para
siswi yang rambutnya panjang harus dikepang satu, tidak boleh diurai atau
dikepang dua. Adapun bagi para siswi yang rambutnya pendek, tidak
terkena aturan apa-apa. Ikat rambut yang digunakan pun harus seragam
memakai karet, tidak boleh ditambah dengan embel-embel dasi, pita atau
hiasan rambut yang lainnya. Untuk pakaian seragam yang telah disebutkan
di atas, Raden Siti Djenab membebaskan para siswinya untuk memakai
pakaian warna apa saja, yang penting memakai kebaya, kain dan
31

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hal. 74-75.

140

selendang.32 Djulaeha menambahkan bahwa sebetulnya pakaian seragam


yang diberlakukan di Sakola Kautamaan Istri terkadang mengganggu
aktifitas mereka dalam bekerja, terutama ketika berjalan jauh. Namun
semua itu dilakukan karena mereka menghormati Raden Siti Djenab
sebagai guru dan pimpinan sekolah.
Selain mata pelajaran yang telah disebutkan di atas, para siswi yang
menuntut ilmu di Sakola Kautamaan Istri juga mendapat pengetahuan tentang
tata krama berjalan ngempor atau ngesod. Ngempor merupakan tata krama
berjalan yang diperuntukkan bagi seseorang yang akan bertemu dengan
pejabat tinggi, seperti bupati (regent), patih atau wedana. Adapun tata caranya
adalah sebagai berikut:
1. Sebelum memasuki gedung kabupaten, dia diwajibkan untuk melepas alas
kakinya (pada saat itu yang lazim digunakan adalah tarumpah atau bakiak,
yakni sejenis sandal yang terbuat dari kayu dan diikat dengan tali dengan
bahan dasar karet). Namun demikian, pada saat itu tidak semua orang
dapat membeli atau memakai sandal. Jangankan untuk membeli sandal,
sudah bisa makan saja, sudah jauh lebih baik.
2. Ketika memasuki ruangan kabupaten, dia masih diperkenankan untuk
berjalan seperti biasa, namun diwajibkan untuk sedikit membungkukkan
32

Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB.

141

badan setengah ruku dalam shalat dan menundukkan kepala jika


bertemu dengan para penjaga kabupaten.
3. Untuk dapat memasuki ruangan utama bupati, seseorang tidak
diperkenankan berjalan tegak seperti layaknya orang berjalan biasa.
Namun diharuskan untuk berjalan dengan posisi jongkok, gaya berjalan
seperti inilah yang disebut dengan ngempor atau ngesod.
4. Ngempor mulai dilakukan dengan terlebih dahulu memposisikan badan
untuk jongkok ketika memasuki pintu utama ruang bupati.
5. Kemudian dia mulai berjalan jongkok dengan posisi kedua tangan
menopang setiap langkah kaki yang digerakkan.
6. Selama berjalan menuju kursi patih, wedana atau bupati, dia tidak
diperkenankan untuk menengadahkan atau mengangkat kepalanya hingga
dia berada persis di depan bupati serta menunggu sampai bupati
mempersilahkannya untuk mengangkat kepala atau bangkit dari jongkok.
7. Adapun tata cara berjalan untuk meninggalkan kursi bupati, tidak jauh
berbeda dengan tata cara seperti yang telah disebutkan di atas. Selama
masih berada di ruangan bupati, dia diharuskan ngempor dalam posisi

142

mundur ke belakang. Setelah keluar dari ruangan utama bupati, barulah


dia diperkenankan berjalan seperti biasa.33
Hindarsah menandaskan bahwa tatakrama berjalan ngempor/ngesod
tidak terlepas dari adanya warisan budaya yang diciptakan oleh penjajah
Belanda yang dikenal dengan budaya feodalisme.34 Budaya feodalisme
digulirkan pemerintah Belanda dengan cara membedakan harkat dan derajat
sesama manusia. Budaya feodalisme pulalah yang mengantarkan Indonesia
akan terjadinya kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan yang
berimplikasi pada pengebirian hak-hak perempuan di wilayah publik.35
Selain itu, pada masa pergerakan nasional tradisi ngempor atau ngesod
masih sering digunakan. Hal ini salah satunya disebabkan karena pada masa
pra kemerdekaan pengaruh kerajaan di beberapa wilayah di Indonesia sangat
kuat, sehingga wajar jika tradisi-tradisi yang biasa digunakan di kerajaan
terintegrasi ke dalam sistem pemerintahan selanjutnya. Dengan demikian,
Raden Siti Djenab tentunya mempunyai alasan tersendiri kenapa ia
memperkenalkan budaya ngempor atau ngesod kepada para anak didiknya.

33

Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB
34
Hasil wawancara penulis dengan H. Hindarsah, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi,
Gg. Guntur II No. 2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB
35
Ace Suryadi dan Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, (Bandung:
Genesindo, 2004), hal. 43-44.

143

Jika dilihat dari tradisi yang berkembang saat ini, budaya jalan ngesod
atau ngempor yang biasa dilakukan pada masa kerajaan dan diadopsi oleh
Raden Siti Djenab sangatlah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bentuk
penghormatan yang dikenal dalam ajaran Islam tidak harus diungkapkan
dalam bentuk fisik ngesod atau ngempor tetapi juga bisa dalam bentuk
lain, misalnya dengan cara menghormati dan mendukung kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat pada saat itu.
Dalam perkembangannya sekarang ini, budaya jalan ngesod atau
ngempor tidak lagi dipergunakan pada kantor-kantor bupati yang ada di tatar
Sunda. Namun demikian, hal itu dilakukan dengan tidak mengurangi rasa
hormat masyarakat kepada para pejabat pemerintahan yang sedang berkuasa.
Djulaeha, salah seorang murid Raden Siti Djenab pada Sakola
Kautamaan Istri, mengakui bahwa ia memiliki kenangan tersendiri selama
menjalani proses belajarnya di sekolah tersebut. Kerap kali ia dipercaya oleh
para dewan guru untuk mengantar surat ke kantor pos. Hal tersebut terjadi
karena para murid yang lain belum banyak mengetahui tentang mekanisme
pengiriman surat melalui kantor pos. Tentunya hal ini menjadi kebanggaan
tersendiri baginya, karena dengan demikian ia menjadi cukup populer di mata
para dewan guru. Selain itu, ia juga merasakan banyak manfaat dari tugas
yang didelegasikan kepada dirinya itu. Lantaran intensitasnya yang cukup

144

tinggi untuk mengunjungi kantor pos, ia menjadi tahu persis letak dan cara
untuk mengirim surat, wesel dll.
Biasanya, sebelum meminta salah seorang anak didiknya untuk pergi
ke kantor pos, Raden Siti Djenab terlebih dahulu menawarkan tugas tersebut
kepada para siswinya dan bertanya kepada mereka siapa yang bersedia
mengantarkan surat ke kantor pos. Djulaeha, adalah salah satu siswi yang
senantiasa mengacungkan tangannya sambil menegaskan kesediaannya untuk
mengantarkan surat. Selain dirinya, Engkom juga merupakan salah satu siswi
yang senantiasa siap menerima tugas tersebut, bahkan mereka terkadang
beranjak ke kantor pos bersama-sama. Djulaeha juga menambahkan, bahwa
selama di perjalanan ia sering dihadang dan diledek oleh para siswa dari HIS
Cianjur yang secara kebetulan letaknya berdekatan dengan kantor pos. Mereka
senantiasa mengejek siswi Sakola Kautamaan Istri seraya menghalang-halangi
jalan masuk ke kantor pos. Ketika peristiwa tersebut disampaikan kepada
Raden Siti Djenab, maka mimik geram tanda kemarahan akan nampak jelas
terlihat dari sorot matanya, karena tidak senang jika para siswinya diejek oleh
orang lain. Sebagai kepala sekolah, beliau tidak mengharapkan hal seperti itu
menimpa siswi-siswinya.36

36

Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Minggu, 26 Maret 2006, pukul 10.30 13.00 WIB.

145

Hal itu jelas menandakan bahwa Raden Siti Djenab memiliki kepekaan
dan kepedulian yang cukup tinggi terhadap para anak didiknya. Raden Siti
Djenab tidak hanya seorang sosok guru yang senantiasa digugu dan ditiru,
namun juga seorang sosok ibu yang senantiasa menjaga anaknya dari segala
macam mara bahaya.

c. Proses Belajar Mengajar


Sejak didirikannya Sakola Kautamaan Istri pada 1916, tugas yang
harus diemban oleh Raden Siti Djenab sebagai kepala sekolah sangatlah berat,
terlebih pada saat itu beliau juga merangkap menjadi tenaga pengajar pada
sekolah tersebut. Ditambah pula dengan respon dari masyarakat sekitar yang
tidak mendukung didirikannya sekolah yang khusus diperuntukkan bagi kaum
perempuan. Animo masyarakat atas prakarsa Raden Siti Djenab dalam
mendirikan sekolah ini mendapat tantangan yang cukup berat, terutama dari
kalangan wanita priyayi. Kecaman dan cemoohan banyak dilemparkan kepada
Raden Siti Djenab yang telah berani menentang adat kebiasaan bangsawan,
bekerja keras dengan tenaga dan budi akal, demi kelangsungan sekolahnya
tercinta. Bahkan tidak jarang ejekan keluar dari murid-murid Hollandsch
Inlandsche School (HIS) di Cianjur, terutama jika pertandingan kasti antara
kedua sekolah tersebut dikuasai oleh Sakola Kautamaan Istri sebagai
pemenang. Mereka sering mengejek dengan ungkapan: Awewe-awewe

146

tukang nyambel teh, rek nahaon maraen kasti oge? (Wanita-wanita yang
kerjanya bikin sambal, buat apa ikut bermain kasti?).37 Kemungkinan besar
kata-kata tersebut sering terucap sebagai ungkapan kekesalan murid HIS
Cianjur karena kekalahan mereka dalam mengikuti pertandingan kasti antar
sekolah, terlebih diketahui bahwa siswi-siswi Sakola Kautamaan Istri
memakai seragam sekolah yang lengkap (kebaya, kain, selendang) selama
pertandingan berlangsung.
Jabatan sebagai kepala sekolah yang diemban oleh Raden Siti Djenab
sangatlah berat, terlebih dalam perkembangannya jumlah murid yang
menimba ilmu di Sakola Kautamaan Istri semakin bertambah. Namun karena
terbatasnya sumber yang tersedia, penulis tidak bisa memastikan secara pasti
berapa jumlah murid sekolah tersebut dari tahun ke tahun. Dalam
menjalankan tugasnya sehari-hari, Raden Siti Djenab senantiasa dibantu oleh
para tenaga pengajar yang lain untuk mendidik para siswinya. Meskipun
Raden Siti Djenab dan para tenaga pengajar tersebut merangkap juga sebagai
ibu rumah tangga, namun semua itu dilalui oleh mereka dengan hati ikhlas,
tulus, sungguh-sungguh dan penuh kecintaan.
Setiap hari Raden Siti Djenab berangkat ke sekolah dan tiba sebelum
pelajaran dimulai. Semua pekerjaan di sekolah dilakukan dengan gesit, lincah
37

Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Minggu, 26 Maret 2006, pukul 10.30 13.00 WIB.

147

dan cepat. Setelah lonceng berbunyi, dengan memakai pakaian berupa kain
panjang dan kemben, kebaya Sunda, selendang dan sandal selop, beliau segera
beraktifitas. Setelah murid-murid masuk ke kelas, Raden Siti Djenab
berkeliling kelas untuk memonitor seluruh proses belajar mengajar di Sakola
Kautamaan Istri. Para staff pengajar yang sudah berdiri di depan kelas,
biasanya keluar sebentar untuk menyapa beliau dan bersalaman dengan salam
menurut tata cara sunda, yaitu dengan cara berjabat tangan dengan posisi
badan sedikit membungkuk kemudian mencium punggung tangan orang yang
disalaminya. Hal tersebut dilakukan seseorang sebagai rasa hormat dan
simpati kepada orang yang memiliki serajat yang lebih tinggi, biasanya
dilakukan kepada orang tua, guru serta sanak famili yang usia atau garis
keturunannya lebih tinggi. Apabila ada hal-hal penting yang harus dibicarakan
segera, maka moment seperti ini terkadang digunakan oleh Raden Siti Djenab
untuk berdiskusi dengan tenaga pengajar tersebut.38
Jika dicermati secara seksama, proses belajar mengajar yang
diterapkan di Sakola Kautamaan Istri cenderung menggunakan kerangka
pendekatan yang bernuansa feodalistik. Hal ini terkait erat dengan latar
belakang Raden Siti Djenab yang berasal dari golongan keluarga menak.
Selain itu, realitas sosial yang berlaku pada saat itu masih mencerminkan
38

Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101, Cianjur, Minggu, 26 Maret 2006, pukul 10.30 13.00 WIB

148

paradigma perbedaan kelas yang sangat tajam, di mana status sosial seorang
keturunan bangsawan masih sangat disegani dan dihormati. Fenomena ini
tidak terlepas dari pengaruh budaya kerajaan yang mengakar dalam sejarah
sosial masyarakat Sunda tradisional.
Menurut keterangan Djulaeha, saat itu guru-guru yang mengajar di
Sakola Kautamaan Istri sangat sungkan terhadap Raden Siti Djenab. Bahkan
untuk menyerahkan buku saja, seorang guru harus menghadap beliau sambil
menundukkan kepala. Kendati demikian, mereka menganggap sikap seperti
itu sebagai sesuatu yang lumrah, karena hal tersebut menyangkut urusan etika
dan kebiasaan yang sudah berlaku mapan pada saat itu.39
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, beberapa materi yang
diajarkan dalam kurikulum Sakola Kautamaan Istri juga masih sangat kental
bercorak feodal. Pelajaran tentang tata krama berjalan ngempor atau ngesod,
misalnya,

merupakan

representasi

dari

budaya

feodal

yang

tetap

dipertahankan dalam sistem pendidikan Sakola Kautamaan Istri. Ngempor itu


sendiri merupakan tata krama berjalan yang diperuntukkan bagi seseorang
yang akan bertemu dengan pejabat tinggi, seperti bupati (regent), patih atau
wedana.

39

Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101, Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB

149

d. Metode Pembelajaran
Metode merupakan salah satu komponen yang menempati peranan
yang tidak kalah penting dengan komponen lainnya dalam proses
pembelajaran. Tidak ada satu pun kegiatan belajar mengajar yang tidak
menggunakan metode pengajaran. Dalam menggunakan metode terkadang
guru harus menyesuaikan dengan kondisi dan suasana kelas. Jumlah siswa
siswi yang ada di ruang kelas juga akan sedikit mempengaruhi metode yang
akan digunakan oleh seorang guru. Untuk menentukan metode yang tepat,
guru harus merujuk pada tujuan interuksional yang harus dicapai pada
masing-masing pelajaran. Dengan demikian guru akan lebih mudah
menentukan metode yang akan dipilih guna menunjang pencapaian tujuan
yang telah dirumuskan tersebut.40
Pada proses belajar mengajar, biasanya seorang guru akan
menggunakan metode gabungan. Dengan demikian sangat jarang guru yang
hanya menggunakan satu metode saja dalam menyampaikan materi pelajaran
kepada

murid-muridnya.

Penggunaan

satu

metode

akan

cenderung

menghasilkan kegiatan belajar mengajar tampak kaku dan membosankan.


Anak didik terlihat kurang bergairah karena kejenuhan dan kemalasan akan
menyelimuti kegiatan belajarnya. Kondisi seperti ini tentunya tidak akan
menguntungkan baik bagi anak didik maupun guru.

40

Syaiful Bahri Djamarah dkk., Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996),

hal. 83.

150

Proses belajar mengajar sangat erat kaitannya dengan metode


pembelajaran.

Tujuan

pembelajaran

akan

tercapai

jika

metodologi

pembelajaran yang digunakan dalam proses belajar mengajar tepat pada


sasaran. Sehubungan dengan itu, Nata mengemukakan beberapa prinsip yang
perlu diperhatikan dalam metodologi pembelajaran:
1. Penguasaan

terhadap prinsip dan

variasi

metodologi pengajaran

merupakan bagian ketrampilan yang harus dikuasai oleh setiap pendidik.


Selain harus menguasai pengetahuan atau ilmu yang akan diajarkannya
juga ia harus menguasai cara menyampaikan pengetahuan atau ilmu
tersebut secara efisien dan efektif.
2. Penguasaan ilmu secara sempurna mengharuskan seorang pendidik secara
terus

menerus meningkatkan pengetahuannya serta meningkatkan

penguasaannya terhadap metodologi menyampaikan pengetahuan tersebut


dengan menguasai prinsip, teknik dan variasi pengajaran.
3. Harus disadari bahwa seorang pendidik harus sudah siap sebelum terjun
sebagai pendidik.
4. Ketepatan dan kesesuaian metode yang diterapkan atau yang digunakan
dalam suatu pengajaran sangat bergantung pada kemampuan si pendidik
dalam memilih metode tersebut.41

41

Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di


Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 274-278

151

Dalam melaksanakan proses belajar mengajar, Raden Siti Djenab


senantiasa menggunakan metode gabungan antara metode ceramah, tanya
jawab, diskusi dan praktikum dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
Metode yang terakhir inilah yang sering digunakan oleh para guru yang
mengajar di Sakola Kautamaan Istri Cianjur. Metode praktikum dilakukan
sehubungan dengan banyaknya materi yang meniscayakan adanya praktek
lapangan, seperti memasak, menjahit, merenda, menyulam, membatik,
menambal dan materi-materi lain yang berkenaan dengan pengetahuan
keterampilan wanita.
Dalam perkembangannya kemudian, praktikum banyak dijadikan
sebagai salah satu metode pembelajaran pada mata pelajaran yang
meniscayakan adanya praktek dari materi yang disampaikan, seperti: mata
pelajaran olah raga, pramuka, Palang Merah Remaja (PMR), kesenian, dan
sebagainya.
Sebetulnya, jauh sebelum Raden Siti Djenab menggunakan metode
praktikum sebagai metode pembelajaran pada Sakola Kautamaan Istri, konsep
seperti ini pernah digulirkan pula oleh John Dewey pada paruh terakhir abad

152

ke-19. Konsep yang diintroduksikan John Dewey ini dikenal dengan teori
pragmatisme.42
Bashori menandaskan bahwa pemikiran John Dewey tentang
pendidikan tidak terlepas dari pengaruh Charle Darwin (1809-1882) dengan
karyanya yang sangat fenomenal yakni teori evolusi. Teori evolusi sendiri
meniscayakan kehidupan di dunia ini sebagai suatu proses yang dimulai dari
tingkatan yang paling rendah hingga berkembang dan meningkat dari waktu
ke waktu. Dengan demikian, manusia dituntut agar dapat menjalani kehidupan
secara dinamis dan berkesinambungan karena pada dasarnya semua manusia
memiliki kapasitas menuju ke arah yang lebih baik, dan perubahan tersebut
salah satunya dapat dilalui melalui sebuah proses pengalaman, yakni
pendidikan.
Dewey meyakini bahwa pengalaman (experience) merupakan salah
satu kunci dalam menelusuri filsafat pragmatisme karena pengalaman
merupakan keseluruhan aktifitas manusia yang mencakup segala proses yang
saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam sebuah lingkungan
42
Pada dasarnya teori pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang dipandang
sangat dominan selama hampir satu abad karena dianggap sebagai cermin dari sifat-sifat kehidupan
Amerika. Bahkan Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme sangat identik dengan Amerika
karena memiliki pengaruh terhadap kehidupan intelektual di Amerika. Sebagian besar rakyat Amerika
menganggap bahwa pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakikat, metafisis serta
hal-hal yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan sangat teoritis. Sedangkan
rakyat Amerika sendiri pada umumnya menginginkan hasil yang konkrit karena sesuatu yang dianggap
penting meniscayakan adanya kegunaan. Oleh karena itu, pertanyaan what is selaiknya dieliminir
dengan pertanyaan what for dalam tataran filsafat praktis. Lih. Tauhid Bashori, Pragmatisme
Pendidikan (Telaah atas Pemikiran John Dewey), http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j13.html, hal. 2

153

sosial. Filsafat pragmatisme dibangun berdasarkan sebuah asumsi bahwa


pengetahuan berasal dari sebuah pengalaman dan akan kembali menuju pada
pengalaman. Selanjutnya, untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman
tersebut diperlukan pendidikan yang dijadikan sebagai sebuah proses
transformasi.43
Oleh karena itu, wajar adanya jika Dewey sendiri menjadikan sebuah
lembaga pendidikan sebagai miniatur komunitas yang menggunakan
pengalaman-pengalaman sebagai sebuah pijakan. Dengan demikian, seluruh
anak didik diharapkan dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan
mengembangkan

potensi

serta

keahlian

yang

dimilikinya.

Metode

kebersamaan itu pulalah yang selanjutnya diadopsi oleh Raden Siti Djenab
dalam proses belajar mengajar di Sakola Kautamaan Istri Cianjur.
Berikut adalah metode-metode yang senantiasa digunakan oleh Raden
Siti Djenab dan guru-guru di Sakola Kautamaan Istri dalam menyampaikan
materi pelajaran kepada para siswinya.

43

Tauhid Bashori, Pragmatisme Pendidikan (Telaah atas Pemikiran John Dewey),


http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html, hal. 3

154

Tabel 3.
Metode Pembelajaran yang Digunakan pada Materi Pelajaran Sakola
Kautamaan Istri44 (sumber / hasil analisa?)
MATERI

NO

METODE

Berhitung

Ceramah dan tanya jawab

Menulis

Ceramah dan praktek

Bahasa Sunda

Ceramah, diskusi dan tanya jawab

Bahasa Belanda

Ceramah dan praktek

Bahasa Melayu

Ceramah dan praktek

Budi Pekerti/Akhlak

Ceramah, diskusi, tanya jawab dan praktek

Agama

Ceramah, diskusi, tanya jawab dan praktek

Membatik

Ceramah dan praktek

Menjahit

Ceramah dan praktek

10

Merenda

Ceramah dan praktek

11

Menambal

Ceramah dan praktek

12

Menyulam

Ceramah dan praktek

13

Memasak

Ceramah dan praktek

14

Menyajikan Makanan

Ceramah dan praktek

15

Memelihara Bayi

Ceramah dan praktek

16

PPPK

Ceramah dan praktek

44

Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Minggu, 26 Maret 2006, pukul 10.30 13.00 WIB

155

17

Olah raga

Ceramah dan praktek

Selain metode-metode yang disebutkan pada tabel di atas, dan jika


merujuk pada teori pragmatisme yang dibangun John Dewey, tidak heran
jika Raden Siti Djenab juga menggunakan metode kebersamaan dalam
melaksanakan proses belajar mengajar. Metode seperti ini dilakukan dengan
tujuan agar para siswi di Sakola Kautamaan Istri dapat berkerja dan
melakukan pengalaman-pengalaman mereka secara cooperative. Selain itu,
hal ini dapat membiasakan mereka untuk team work (kerja tim) dalam
melaksanakan semua aktifitas pada saat proses pembelajaran berlangsung.
Metode praktek dan metode kebersamaan yang digunakan oleh Raden Siti
Djenab telah menciptakan suatu nuansa baru bagi para siswi di Sakola
Kautamaan Istri. Kedua metode ini juga merupakan metode yang paling
disukai oleh para siswi.
Raden Siti Djenab adalah seorang guru sekaligus pemimpin yang
tegas namun bijaksana. Apabila ada salah seorang muridnya yang
melakukan kesalahan, maka beliau akan menghukum murid tersebut sesuai
dengan kesalahannya. Pernah suatu ketika, Raden Siti Djenab marah besar
kepada salah satu muridnya karena jajan sembarangan di luar sekolah tanpa
sepengetahuan beliau dan dewan guru lainnya.

156

Dengan metode kebersamaan yang digunakannya, maka segala


aktifitas belajar dilaksanakan secara bersama-sama antara murid yang satu
dengan murid yang lainnya. Misalnya, apabila ada kesempatan untuk
menonton sebuah pertunjukan teater di alun-alun Kota Cianjur, maka Raden
Siti Djenab akan mengajak para siswinya untuk menonton pementasan
tersebut secara bersama-sama. Hal lain yang dilakukan secara bersamasama adalah memasak karena memasak merupakan salah satu mata
pelajaran yang harus diikuti oleh setiap siswi di Sakola Kautamaan Istri.
Materi yang disampaikan juga bermacam-macam, di antaranya meliputi:
membuat kue basah, kue kering, kue bolu, hidangan untuk sarapan pagi,
makan siang, makan malam, sop, makanan ringan seperti keripik, serta tata
cara pengolahan makanan dari bahan dasar umbi-umbian. Kue-kue yang
dibuat dari bahan dasar umbi-umbian diolah menjadi makanan yang enak,
lezat dan sehat. Adapun jenis makanan tersebut antara lain: papais sampeu,
peuyeum, ranggesing, biji salak, dan makanan-makanan khas Sunda
lainnya.45 Metode-metode yang diterapkan Raden Siti Djenab kepada muridmurid di Sakola Kautamaan Istri tersebut sengaja diberlakukan dengan
tujuan agar setiap murid senantiasa dapat berperan aktif dalam
melaksanakan segala aktifitasnya, baik selama masih belajar di Sakola
45

Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Minggu, 26 Maret 2006, pukul 10.30 13.00 WIB

157

Kautamaan Istri maupun setelah mereka terjun ke tengah-tengah masyarakat


luas.
Dalam hal ini, Bashori menandaskan bahwa salah satu tujuan
pendidikan adalah sejauh mana anak didik memiliki kemampuan untuk
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan
kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal.46 Hal ini senada dengan
yang disampaikan Dewey bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan
kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya
menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula guru harus
menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.
Dengan demikian, metode kebersamaan dipandang cukup relevan guna
mengakomodir partisipasi para siswa dalam melaksanakan proses belajar
mengajar.

e. Media Pengajaran serta Sarana dan Prasarana


Media yang dimaksud dalam pembahasan ini merupakan media atau
alat bantu yang dapat digunakan sebagai perantara atau pengantar guru
dalam menyampaikan materi pelajaran. Dengan demikian, media merupakan

46

Tauhid Bashori, Pragmatisme Pendidikan, hal. 3-4

158

wahana penyalur informasi atau penyalur pesan dari seorang guru kepada
muridnya.47
Dalam proses belajar mengajar, kehadiran media memiliki arti yang
cukup penting. Apabila ditemukan sebuah kondisi di mana murid merasa
sulit menerima materi yang disampaikan, maka keberadaan media
pengajaran akan membantu mereka dalam memahami materi pelajaran.
Dengan demikian, kerumitan bahan yang akan disampaikan kepada anak
didik dapat disederhanakan dengan bantuan media.
Setiap materi pelajaran tentunya memiliki tingkat kesukaran yang
bervariasi. Pada satu sisi keberadaan media sangatlah diperlukan dalam
membantu memperlancar proses pemahaman siswa terhadap materi yang
disampaikan, seperti globe, grafik, gambar, peta, mesin jahit, mesin ketik,
dan sebagainya. Namun di sisi lain, terkadang ada pula mata pelajaran yang
tidak meniscayakan adanya media sebagai alat bantu. Media juga dapat
digunakan sebagai salah satu strategi yang digunakan oleh guru untuk
meminimalisir adanya kejenuhan dalam belajar yang dialami oleh para
siswa.48
Sehubungan dengan itu, hampir semua materi yang disampaikan
oleh Raden Siti Djenab kepada para siswinya selalu menggunakan media

47
48

Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, hal. 136


Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, hal. 157

159

pengajaran sebagai alat bantu. Meskipun pada saat itu media pengajaran
yang digunakan sifatnya masih sangat sederhana. Adapun media yang
digunakan oleh Raden Siti Djenab selama proses belajar mengajar antara
lain dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 4.
Media Pengajaran yang Digunakan pada Materi Pelajaran Sakola
Kautamaan Istri
MATERI

NO

MEDIA

Berhitung

Sapu lidi, batu kerikil

Menulis

Buku garis tiga

Bahasa Sunda

Bahasa Belanda

Bahasa Melayu

Budi Pekerti/Akhlak

Agama

Membatik

Canting, kain, tinta

Menjahit

Kain, jarum, benang, mesin jahit, gunting

10

Merenda

Kain, jarum, benang, mesin jahit

11

Menambal

Kain, jarum, benang

12

Menyulam

Alat sulaman, benang, jarum

160

13

Memasak

Kompor, penggorengan, panci, dll.

14

Menyajikan Makanan

Piring, sendok, garpu, gelas, dll.

15

Memelihara Bayi

Popok, kain, boneka, dll.

16

PPPK

Kotak P3K, kain perban, obat luka,dll.

17

Olah raga

Bola kasti, alat pemukul, bola volley dll.

Untuk dapat menunjang proses belajar mengajar, Sakola Kautamaan


Istri Cianjur menyediakan berbagai fasilitas guna memperlancar proses
pembelajaran dan meningkatkan pemahaman para siswi tentang materi yang
diajarkan oleh guru. Adapun sarana dan pra sarana yang tersedia pada
Sakola Kautamaan Istri antara lain:
a. Gedung sekolah, yang terletak di sebelah Timur gedung kabupaten
(sekarang digunakan menjadi Sekolah Dasar Negeri Ibu Djenab I)
b. Lapangan olah raga
c. Perpustakaan
d. Ruangan untuk menjahit, menyulam, merenda dan menambal
e. Ruangan untuk membatik.
f. Ruangan untuk memasak (dapur).
g. Ruangan untuk latihan PPPK.

161

h. Laboratorium khusus kewanitaan. Ruangan ini digunakan untuk


praktikum tata cara merawat bayi, tata cara makan dan menghidangkan
makanan.49

f. Sumber Budget
Anggaran keuangan merupakan salah satu hal penting yang tidak
dapat dilupakan dalam sebuah sistem pendidikan, karena segala aktifitas
pembelajaran yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga pendidikan
meniscayakan adanya manajemen keuangan yang baik dan efisien. Untuk
lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan pemerintah
biasanya mendapat alokasi dana dari kas pemerintah yang sudah dirancang
sebelumnya. Namun pada lembaga-lembaga pendidikan yang berdiri sendiri
(swasta), budget yang digunakan untuk berbagai keperluan pendidikan
dialokasikan dari swadaya masyarakat, SPP para murid dan kas yayasan.
Untuk memenuhi semua kebutuhan selama proses pembelajaran
berlangsung, Sakola Kautamaan Istri mewajibkan para siswinya untuk
membayar SPP sebesar 5 sen/bulan. SPP tersebut dibayar dari mulai

49

Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB.

162

memasuki tahun ajaran hingga siswi tersebut lulus sekolah.50 Jumlah ini
diketahui pada tahun ajaran 1936/1937 ketika Djulaeha belajar di Sakola
Kautamaan Istri.

g. Lulusan/Alumni
Konsep dasar didirikannya Sakola Kautamaan Istri memiliki tujuan
untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) kaum
perempuan sehingga dapat mencapai kemajuan dalam berbagai bidang
terutama dalam bidang pendidikan maupun kehidupan sosial lainnya tanpa
melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan. Hal tersebut dilakukan
agar kelak seorang istri dapat bangkit menjadi ibu yang teladan, penuh
kesabaran, ramah, riang, dan baik di lingkungan keluarga maupun di
lingkungan masyarakat.51 Dengan demikian Sakola Kautamaan Istri
merupakan sekolah yang khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan
sebagai sarana pembelajaran menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia
dan sejahtera serta penuh dengan rasa kasih sayang.
Tidak seperti sekolah-sekolah lainnya di Cianjur, pada kesempatan
melepas murid-murid yang tamat sekolah dari Sakola Kautamaan Istri,

50

Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB.
51
Edi S. Ekajati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 69.

163

Raden Siti Djenab tidak mewajibkan anak didiknya untuk mengadakan


acara yang disebut dengan samen, yakni acara yang diperuntukkan bagi
murid-murid yang telah berhasil naik kelas ke jenjang berikutnya atau
pelepasan bagi murid-murid yang telah menyelesaikan masa studinya, yakni
3 (tiga) tahun.
Tradisi semacam ini juga berbeda dengan yang biasa dilakukan oleh
Raden Dewi Sartika ketika melepas anak didiknya pada akhir tahun ajaran.
Di Sakola Kautamaan Istri pimpinan Raden Dewi Sartika, beliau senantiasa
mengadakan acara kenaikan kelas. Acara ini biasanya dilaksanakan
menjelang bulan Ramadhan. Adapun format acara dirancang sedemikian
rupa sehingga banyak menampilkan berbagai macam hiburan, diantaranya
diisi dengan pementasan sandiwara, tari-tarian, dan nyanyian hingga
pameran kerajinan. Jenis kerajinan yang dipamerkan adalah hasil buah
tangan para siswi Sakola Kautamaan Istri dalam menggambar, membatik,
merenda, menjahit, menyulam, menisik dan kerajinan-kerajinan tangan
lainnya.52
Acara tersebut biasanya dihadiri juga oleh para undangan yang
terdiri dari pembesar setempat, seperti bupati, wedana, nyonya-nyonya dari
golongan menak, orang tua murid, keluarga serta masyarakat umum.
Adapun hidangan yang disajikan kepada para tamu adalah beraneka macam
52

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika., hal. 91-92

164

makanan dan minuman yang diolah oleh para siswi, seperti bajigur, kue
apem, rangginang, opak, ubi rebus, papais, talam dan makanan-makanan
tradisional khas Sunda lainnya. Hal ini dilakukan agar para tamu undangan,
terlebih para orang tua murid dapat melihat tingkat kemajuan yang dimiliki
oleh para siswi di Sakola Kautamaan Istri.53
Para lulusan Sakola Kautamaan Istri biasanya melanjutkan sekolah
ke Sekolah Van Deventer, yakni sekolah yang disiapkan untuk menjadi
calon guru. Selain itu, mereka juga dapat melanjutkan ke sekolah perawat
dan kebidanan. Namun ada juga lulusan sekolah ini yang langsung menikah
dan menjadi ibu rumah tangga.
Selama Sakola Kautamaan Istri Cianjur berdiri, tercatat dalam
sejarah beberapa nama alumni di antaranya: Sufiah, Najmiati, Sarimaya,
Kania, Romah Sutresna dan Nunung Kurniasih. Bahkan setelah tamat dari
Van Deventer, Najmiati melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pendidikan
Guru (Kweekschool) di Salatiga.54

3. Konsep Pendidikan Menurut Raden Siti Djenab


Untuk menelusuri konsep pendidikan menurut Raden Siti Djenab, penulis
merasa perlu untuk melibatkan beberapa pandangan Raden Siti Djenab terhadap

53
54

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika., hal. 91-92


Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, Op. Cit., hal. 85

165

pelbagai problematika sosial yang sempat menjadi perhatiannya pada saat itu.
Kendati beliau sendiri tidak menggeluti wacana tersebut secara intensif - alih-alih
menuangkan gagasannya dalam kajian yang sistematis - aspek ini akan sangat
membantu dalam rangka merumuskan ide-ide pendidikan yang digagas oleh
beliau.
Secara garis besar, pandangan Raden Siti Djenab terhadap pelbagai isu
yang akan disoroti ini, didasarkan pada keterangan yang diberikan oleh beberapa
saksi sejarah yang sempat melakukan kontak personal dengan beliau.

a. Pemberdayaan Kaum Perempuan Melalui Pendidikan


Pada pembahasan-pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa
Raden Siti Djenab merupaka tokoh wanita Sunda Cianjur yang memiliki
gairah yang cukup tinggi terhadap pemberdayaan kaum perempuan dalam
bidang pendidikan. Ia tidak menghendaki ketika para kaum perempuan bisa
dengan seenaknya dilecehkan dan dipandang tidak memiliki harkat serta
derajat yang sama dengan kaum laki-laki. Kekhawatiran tersebut terbukti
dengan banyaknya cemoohan yang dilontarkan salah satunya oleh kaum lakilaki yang mengenyam pendidikan di HIS Cianjur ketika teman-teman
perempuannya belajar di Sakola Kautamaan Istri pimpinan Raden Siti Djenab.
Tentunya kondisi seperti ini mengindikasikan adanya diskriminasi terhadap

166

kaum perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan


bidangnya masing-masing.
Raden Siti Djenab memiliki pandangan tersendiri dalam memahami
berbagai keterpurukan yang banyak dialami oleh kaum perempuan. Ia
beranggapan bahwa hal utama yang menyebabkan terciptanya jurang pemisah
yang cukup menukik antara laki-laki dan perempuan adalah pendidikan.
Fenomena seperti ini banyak terjadi dimana para gadis belia yang selaiaknya
masih bisa menikmati indahnya bangku sekolah harus rela dinikahkan secara
paksa oleh orang tuanya. Selain itu, banyaknya anggapan bahwa kaum
perempuan tidak diwajibkan untuk memiliki pendidikan yang lebih tinggi
merupakan indikator lain yang biasa dimunculkan. Belum lagi anggapan
miring dari kaum priyayi yang menyebutkan bahwa derajat kaum perempuan
tidak boleh sama bahkan tidak boleh melebihi dari kaum laki-laki.
Bertolak dari realitas seperti itulah Raden Siti Djenab memandang
bahwa kaum perempuan juga memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki
untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Dengan demikian,
kaum laki-laki tidak lagi bisa memandang sebelah mata terhadap kemampuan
dan kapabelitas yang dimiliki oleh kaum perempuan. Raden Siti Djenab
sendiri tidak memungkiri bahwa tugas perempuan yang utama adalah
mengandung, melahirkan, mendidik anak-anaknya dan mengurus rumah
tangga dengan baik. Namun demikian, hal tersebut tidak dengan serta merta

167

dapat melegitimasi bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan lain untuk


berkiprah di luar rumah. Karena dalam kenyataannya banyak kaum
perempuan yang akhirnya bekerja sebagai buruh pabrik, buruh sawah, dan
pekerjaan-pekerjaan lainnya karena suaminya tidak memiliki penghasilan
yang layak bagi keluarga sehingga meniscayakan para istri untuk bekerja
ekstra, tidak hanya sebagai ibu rumah tangga tetapi juga sebagai orang yang
menunjang ekonomi keluarga.
Keprihatinan Raden Siti Djenab tersebut diaplikasikan dengan membuka
Sakola Kautamaan Istri sebagai sarana yang dapat menunjang kaum
perempuan untuk belajar lebih banyak dan mengembangkan keterampilan
yang mereka miliki secara lebih mendalam. Sehingga kaum perempuan yang
memiliki keinginan untuk beraktivitas dapat memiliki lapangan pekerjaan
yang lebih baik dibanding dengan menjadi pekerja kasar.
Sehubungan dengan itu, kurikulum pendidikan pada Sakola Kautamaan
Istri Cianjur dirancang dalam bentuk konsep pendidikan bagi kaum
perempuan. Dari keseluruhan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, materi
keterampilan wanita menempati posisi hingga 47% dibanding dengan materimateri yang lainnya, yakni pendidikan agama dan pendidikan umum. Hal
tersebut dimaksudkan untuk membuktikan bahwa untuk melakukan aktivitasaktivitas yang biasa dilakukan oleh kaum perempuan seperti: menjahit,

168

merenda, membatik, merawat bayi, memasak dan yang lainnya bukanlah


sesuatu hal yang dianggap mudah.
Adapun salah satu dampak positif yang dapat dimunculkan dengan
didirikannya lembaga pendidikan bagi kaum perempuan seperti yang
dikemukakan di atas adalah tersedianya kesempatan yang luas serta fasilitas
yang lengkap bagi kaum perempuan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin
untuk mengasah keterampilan mereka dalam menghadapi dunia pekerjaan
sehingga meminimalisir terjunnya kaum perempuan di tengah lapangan
pekerjaan yang kurang bisa dihargai, seperti kuli di pabrik-pabrik atau
perkebunan. Bahkan seringkali kaum perempuan diberi upah yang jauh lebih
rendah dibanding dengan para pekerja lainnya dari golongan kaum lak-laki
meskipun mereka memiliki prestasi kerja yang sama atau bahkan melebihi
kemampuan yang dimiliki oleh kaum laki-laki.

b. Problem Poligami
Pada masa hidup Raden Siti Djenab, praktek poligami merupakan tradisi
yang sangat mengakar di masyarakat. Kendati pun demikian, Raden Siti
Djenab dan para perempuan intelek yang sudah maju -termasuk juga di
dalamnya kaum perempuan dari golongan priyayi- sangat menentang habishabisan praktek poligami. Hindarsah mengemukakan bahwa antara tahun
1930 hingga akhir abad ke-20, praktek poligami banyak dilakukan oleh

169

golongan kyai, baik kyai di kota maupun di desa. Meskipun pernyataan


tersebut tidak didasari atas hasil penelitian melainkan pengamatan dari realitas
sosial yang terjadi pada saat itu, namun dengan banyak ditemukannya
fenomena kyai yang memiliki istri lebih dari satu dapat dijadikan salah satu
indikator bahwa praktek poligami memang banyak dilakukan oleh para kyai.
Bahkan sangat jarang ditemukan kyai yang hanya memiliki satu orang istri
Selain dari pada itu, tradisi menikah pada usia muda masih menjadi
kebiasaan yang tak terelakkan. Sehingga wajar jika ditemukan kondisi pada
beberapa sekolah di Cianjur diantaranya Volkshool terjadi ketimpangan
kuantitas antara laki-laki dan perempuan. Banyak siswi-siswi yang tidak
melanjutkan sekolahnya hingga selesai, bahkan di beberapa kelas seperti kelas
4 dan kelas 5 jumlah muridnya hanya mencapai 4-5 orang. Hal tersebut salah
satunya disebabkan karena mereka menikah muda. Hindarsah menambahkan
bahwa pada umumnya mereka menikah karena dijodohkan oleh orang tuanya.
Fenomena lain yang bisa ditemukan adalah jika terdapat sebuah sekolah
yang letaknya berdekatan dengan pondok pesantren, maka sudah bisa
dipastikan bahwa di kelas 5 dan 6 jarang sekali ditemukan murid perempuan.
Kebanyakan dari mereka dijadikan sebagai istri para kyai dari pondok
pesantren yang letaknya berdekatan dengan sekolah tempat mereka menuntut
ilmu. Biasanya mereka dijadikan sebagai istri kedua, ketiga atau keempat
karena para kyai sebelumnya sudah menikah dengan istri pertamanya. Ketika

170

hal tersebut dikonfirmasi ulang, Hindarsah menjelaskan bahwa adalah suatu


kebanggaan tersendiri jika seorang perempuan dapat menikah dengan seorang
kyai, walaupun mereka tidak dijadikan sebagai istri pertama.55
Kehidupan kaum perempuan Sunda pada saat itu memang sedikit
memprihatinkan, tidak hanya berlaku pada perempuan dari golongan
menengah ke bawah tetapi juga berlaku bagi perempuan dari golongan kaum
menak. Apabila mereka menikah, seringkali calon suaminya adalah pilihan
orang tua mereka. Keturunan dan pangkat serta kekayaan calon menantu
merupakan ukuran-ukuran yang sering dipertimbangkan baik-baik oleh orang
tua. Namun demikian, pembangkangan terhadap calon suami ada kalanya
terjadi, misalnya karena calon suami usianya terlalu tua, sudah beristri, atau
karena alasan-alasan lain.
Wiriaatmadja mengemukakan hasil penelitiannya bahwa poligami di
kalangan priyayi dipandang sebagai hal yang umum terjadi. Sebagaimana de
Haan menyampaikan dalam bukunya: Para bupati Priangan biasanya
mempunyai banyak selir di samping istri-istri mereka yang sebenarnya.
Seorang istri priyayi pernah mengemukakan pendapatnya tentang
praktek poligami yang dialaminya sendiri bahwa ternyata hanya namanya saja
yang dianggap sebagai sesuatu hal yang baik, padahal dalam kenyataannya

55

Hasil wawancara penulis dengan H. Ahmad Hindarsah, bertempat di kediaman beliau Jl.
Siliwangi, Gg. Guntur II No. 2101, Cianjur, Minggu, 26 Maret 2006 WIB.

171

hanya menimbulkan perpecahan, kecemburuan hingga berdampak pada


ditinggalkannya keluarga dan berbagai macam kesulitan lainnya di kedua
belah pihak. Bahkan kadang terjadi karena sakit hati, seorang istri tidak lagi
dapat hidup seia sekata dengan suaminya, apabila suaminya pergi ke rumah
istri mudanya. Kondisi seperti itu acapkali menyebabkan istri pertama ingin
mencari hiburan di luar rumah sehingga pekerjaan rumah tangga menjadi
terbengkalai, demikian juga dengan kesejahteraan anak-anaknya.56
Namun demikian, kondisi seperti itu tidak serta merta membuat istri
seorang priyayi yang dipoligami meminta cerai kepada suaminya. Beberapa
alasan yang menyebabkan mereka tidak berani meminta cerai diantaranya
adalah perasaan khawatir dan takut terbuang dari masyarakat karena sudah
berani membangkang dari suami yang berasal dari golongan menak atau
ningrat. Kondisi lain yang dapat dijadikan alasan adalah karena ia tidak
bekerja dan tidak memiliki kecakapan atau keterampilan tertentu untuk dapat
menopang hidupnya sendirian. Dilematis memang, karena bekerja keras ia
tidak bisa, sementara ia juga merasa tertekan dengan kehidupan rumah
tangganya yang seperti itu. Bahkan Wiriaatmadja jelas-jelas mengemukakan
bahwa seorang perempuan yang meminta cerai kepada suaminya akan
dianggap sebagai perempuan yang kurang baik. Dengan demikian, jika ia
meminta cerai kepada suaminya dengan alasan seperti yang dikemukakan di
56

Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hal. 35

172

atas, ia akan mengalami nasib yang sama. Bahkan untuk masalah materi dan
kekayaan, ia akan mengalami penurunan yang sangat drastis. Terlebih
masyarakat sekitar juga akan menganggapnya sebagai seorang perempuan
yang tidak patut dijadikan istri sehingga alasan perceraian sama sekali tidak
akan diperdulikan dan dipertanyakan kembali.
Dalam hal ini, Jawad mengemukakan bahwa meskipun dalam pandangan
umum masyarakat bahwa perceraian itu akan mendapatkan celaan sosial,
namun perceraian adalah suatu fenomena alami dan tidak dapat dielakkan
dalam sebuah pergaulan hidup manusia.57

c. Perempuan dan Prostitusi


Prostitusi merupakan sebuah fenomena dimana seorang perempuan
dapat dengan leluasa menyerahkan dirinya untuk dinikmati oleh kaum lakilaki dengan memberikan imbalan sesuatu dengan pelayanan yang diberikan
oleh perempuan tersebut. Dalam dunia prostitusi, perempuan seperti itu
disebut sebagai wanita tuna susila (WTS) atau lebih dikenal di mata
masyarakat luas sebagai pelacur. Praktek prostitusi tidak hanya terjadi di kotakota metropolis saja, tetapi juga mampu mengakar di kota-kota kecil. Adapun
alasan kaum perempuan melakukan praktek prostitusi tersebut salah satunya
disebabkan karena kondisi ekonomi yang sangat sulit yang dihadapi oleh
keluarganya sementara mereka sendiri tidak memiliki keterampilan yang

57

Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender,
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. v

173

khusus untuk dikomersilkan. Sehingga prostitusi dijadikan sebagai pilihan


terakhir bagi mereka untuk memenuhi tuntutan hidup yang semakin sulit.
Dalam membahas mengenai prostitusi, Raden Siti Djenab beranggapan
bahwa praktek prostitusi sangat sulit untuk dihilangkan. Betapa tidak, selama
ini gadis-gadis belia yang tidak mengenyam pendidikan biasanya tidak
mampu hidup mandiri di atas kaki sendiri karena mereka tidak dididik untuk
bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Seperti telah dijelaskan pada
paragraf sebelumya bahwa kondisi kawin muda dan kawin paksa secara tidak
langsung telah mengebiri kaum perempuan untuk menimba ilmu pengetahuan
yang lebih tinggi.
Oleh karenanya, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah
dan mengurangi praktek prostitusi, Raden Siti Djenab meniscayakan untuk
mendirikan sekolah-sekolah

yang khusus

diperuntukkan bagi kaum

perempuan dalam jumlah yang lebih banyak sehingga mereka

dapat

menikmati pendidikan yang lebih baik. Pendidikan yang dimaksud tidak


semata-mata hanya untuk belajar membaca, menulis, menjahit, merajut dan
keterampilan wanita yang lainnya melainkan juga untuk memberikan
wawasan dan meningkatkan pendidikan moral anak bangsa. Anak harus
dididik melalui pribadi yang dapat berfikir kreatif dan mampu menghargai
dirinya sendiri. Dengan timbulnya kesadaran akan harga dirinya, maka
perempuan bisa memberikan alasan yang rasional atas keinginannya sendiri
terhadap perkawinan yang dipaksakan oleh orang tuanya. Selain itu, melalui
pendidikan yang baik, perempuan juga dapat memberikan masukan,

174

berdiskusi secara logis bahkan menentang paksaan suami yang hanya


menuruti hawa nafsunya atau menjalani pernikahan atas dasar pemenuhan
hasrat seksual semata. Kesadaran akan menghargai diri sendiri juga dapat
dibuktikan kaum perempuan dengan tidak menjual diri kepada laki-laki yang
hanya ingin melampiaskan nafsu birahinya. Dengan demikian, praktek
prostitusi dapat diminimalisir dengan baik.

D. Korelasi Antara Konsep Pendidikan Raden Dewi Sartika, Raden Ayu


Lasminingrat dan Raden Siti Djenab
Untuk menggabungkan antara konsep yang dikemukakan oleh Raden Siti
Djenab dengan konsep yang digagas oleh Raden Dewi Sartika dan Raden Ayu
Lasminingrat tentang pendidikan tidaklah mudah. Diperlukan adanya ketelitian yang
mendalam untuk memahami, menelusuri serta menelaah setiap hal yang
diwacanakan. Namun pada dasarnya, konsep pendidikan yang dikemukakan oleh
ketiga tokoh tersebut tidaklah berbeda. Ketiga sekolah yang dikembangkan oleh para
tokoh pendidikan dari Tatar Sunda ini memiliki visi yang sama dalam upaya
pemberdayaan bagi kaum perempuan Sunda pada khususnya maupun perempuan
Indonesia pada umumnya untuk memupus realitas keterbelakangan, penindasan,
kebodohan serta kesewenang-wenangan yang berdampak pada terbangunnya sekat
antara derajat laki-laki dan perempuan.

175

Raden Dewi Sartika sebagai pelopor pembaharu pendidikan bagi kaum


perempuan di Jawa Barat, memulai gerakannya dengan membuka Sakola Istri yang
diperuntukkan bagi kaum perempuan yang ada di daerah Bandung dan sekitarnya.
Raden Dewi Sartika senantiasa menggembor-gemborkan wacana bahwa hasil yang
diharapkan dari lulusan Sakola Istri adalah: Nu Bisa Hirup!. Artinya para gadis
remaja lulusan Sakola Istri hendaknya dapat hidup mandiri serta mampu menghadapi
tantangan zaman yang sedang dan akan dilaluinya. Wacana seperti ini dikembangkan
karena sejak awal Raden Dewi Sartika tidak setuju dengan konsep pendidikan
tradisional yang membuat kaum perempuan tidak berdaya, sehingga nasibnya harus
selalu bergantung pada kaum laki-laki. Ketidakberdayaan ini pada akhirnya
berimplikasi pada kemerosotan kaum perempuan secara ekonomis serta kemunduran
kedudukannya baik secara politis maupun sosial.58
Dalam hal ini, keterbelakangan kehidupan kaum perempuan mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan bangsa karena perempuan adalah ibu
bangsa. Raden Dewi Sartika sendiri mengamati berbagai perubahan mendasar yang
terjadi di Indonesia, khususnya Jawa Barat. Ia memandang bahwa pendidikan model
Barat telah menyebabkan beberapa perubahan dalam kehidupan, diantaranya
perubahan norma-norma kehidupan. Kaum laki-laki telah terlebih dahulu mengalami
perubahan ini karena mereka didahulukan mengalami proses pendidikan Barat.
Sementara itu, jika kaum perempuan sendiri tidak dilibatkan untuk maju dan
58

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hal. 89

176

berproses, maka akan terjadi kepincangan dalam masyarakat yang mungkin dapat
menimbulkan malapetaka.
Perubahan lain terjadi pada ukuran kebangsawanan, dimana perubahan nilai
yang dibangun sekarang ini sedang menuju ke arah kebangsawanan budi pekerti,
bukan semata-mata karena kelahiran. Raden Dewi Sartika sendiri termasuk orang
yang mendukung proses ini karena kebangsawanan budi pekerti semacam ini salah
satunya bisa dibentuk melalui proses pendidikan. Bertolak dari permasalahan itulah
maka kaum perempuan pun layak mendapatkan pendidikan.
Bagi kehidupan kaum perempuan, pendidikan dapat memberikan kecakapan
tertentu sehingga ia dapat berdiri sendiri dan tidak hanya selalu bergantung pada
suami atau ayahnya saja. Pada kondisi yang berbeda, kaum perempuan bisa bekerja
dan membiayai hidupnya sendiri bahkan mungkin keluarganya. Terlebih di zaman
sekarang ini, tidak sedikit kaum ibu yang bertugas tidak hanya sebagai ibu rumah
tangga tetapi juga membantu suaminya untuk mencari nafkah. Bahkan tidak menutup
kemungkinan apabila penghasilan yang diterima oleh seorang istri lebih banyak
daripada penghasilan suami. Melalui proses pendidikan, kaum perempuan dapat
memiliki kedudukan sosialnya sendiri, tidak bergantung pada kedudukan atau status
sosial suami dalam masyarakat. Kemandirian kaum perempuan dalam aspek ekonomi

177

dan sosial ini sedikit banyak dapat mengangkat derajat dirinya yang selama ini tidak
ada sama sekali.59
Adapun konsep pendidikan yang dikembangkan oleh Raden Ayu
Lasminingrat dimulai dengan mendirikan Sakola Kautamaan Istri yang berlokasi di
Kabupaten Garut. Konsep yang dibangun oleh Raden Ayu Lasminingrat tidak jauh
berbeda dengan konsep yang digulirkan sebelumnya oleh Raden Dewi Sartika karena
pada kurun waktu tertentu mereka acapkali bertemu dan berbincang-bincang
mengenai sekolah yang dirintis mereka masing-masing. Pertemuan tersebut sering
terjadi dimungkinkan karena pada saat itu Raden Ayu Lasminingrat adalah istri
seorang Bupati Garut dan Raden Dewi Sartika sendiri adalah putri seorang patih yang
cukup disegani di Kabupaten Bandung.
Dalam mengimplementasikan gagasannya, Raden Ayu Lasminingrat
memiliki kekhasan tersendiri dibanding dengan Raden Dewi Sartika. Raden Ayu
Lasminingrat lebih memfokuskan diri untuk menuangkan ide serta gagasannya dalam
bentuk buku. Tercatat beberapa hasil penanya berupa buku-buku Bahasa Sunda antara
lain Warnasari Jilid I dan Warnasari Jilid II, Kulit Kalde dan buku-buku lainnya.
Warnasari merupakan buku hasil terjemahan dari buku berbahasa Belanda yaitu
Verhalen van Moeder de Gans, sedangkan Kulit Kalde merupakan hasil terjemahan
dari Putri Bianca. Buku-buku tersebut berisi tentang dongeng-dongeng yang
diperuntukkan bagi anak-anak usia sekolah dasar sehingga tidak heran jika buku
59

Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hal. 90

178

Warasari banyak ditemukan di perpustakaan-perpustakaan Sekolah Dasar (SD) di


Jawa Barat. Raden Ayu Lasminingrat memang sangat menyukai dunia kanak-kanak
sehingga ia banyak menulis buku tentang anak-anak. Buku-buku tersebut disusun
dengan gaya bahasa yang indah dan dikemas cukup menarik untuk dibaca dan
memenuhi selera anak-anak. Hal itu dilakukannya atas pertimbangan bahwa pada saat
itu buku-buku bacaan untuk anak-anak dalam bahasa Sunda masih sangat terbatas,
dan buku-buku ilmu pengetahuan yang ada di negeri kita pada saat itu kebanyakan
ditulis dalam Bahasa Belanda.
Dalam perkembangannya kemudian, buku-buku tersebut kemudian disadur
sedemikian rupa sehingga menjadi cerita berseling dangding, yakni buku cerita yang
dalam salah satu atau beberapa paragraf, pesan moral yang dikandung dalam paragraf
tersebut disampaikan dalam bentuk pupuh (irama lagu Sunda yang menggunakan
tangga nada pentatonis baik pelog atau slendro). Hal ini dilakukan dengan tujuan agar
para pembaca yang pada saat itu masih memiliki pendidikan dalam taraf rendah dapat
dengan mudah mencerna dan memahami maksud dari buku yang disampaikan.
Sementara itu, Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden Siti
Djenab pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah yang telah
didirikan oleh dua orang pendahulunya, yakni Raden Dewi Sartika dan Raden Ayu
Lasminingrat. Hanya saja terdapat beberapa modifikasi serta improvisasi yang
berbeda jika diletakkan dalam kerangka budaya lokal yang melingkupi kehidupan
Raden Siti Djenab di Cianjur. Namun pada dasarnya, pola pengembangan sistem

179

pendidikan Sakola Kautamaan Istri yang dipimpin oleh Raden Siti Djenab banyak
mengadopsi dari Sakola Kautamaan Istri yang dipimpin oleh Raden Dewi Sartika dan
Raden Ayu Lasminingrat, terutama masalah kurikulum.
Adapun beberapa aspek yang dipandang berbeda diantaranya adalah
masalah corak kehidupan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa corak
kehidupan yang senantiasa dibangun oleh Raden Dewi Sartika adalah bercorak
demokrat, dimana tidak ada stratifikasi antara golongan menak dan masyarakat biasa
pada umumnya. Hal tersebut dimungkinkan atas dasar pengalaman pribadi Raden
Dewi Sartika sendiri ketika ia pernah merasakan kehidupan yang memprihatinkan
yakni ketika ayahnya, Somanegara harus diasingkan ke Ternate karena tuduhan
pembunuhan pada Peristiwa Dinamit Bandung. Setelah itu, Raden Dewi Sartika
kemudian ditinggal pergi oleh ibunya, Rajapermas. Kondisi seperti itu sedikit banyak
telah mempengaruhi pola pikir Raden Dewi Sartika tentang adanya konsep kesetaraan
derajat kemanusiaan antara si kaya dan si miskin karena ia pernah mengalami dua
kondisi tersebut.
Selanjutnya, konsep yang difokuskan oleh Raden Ayu Lasminingrat lebih
mengarah pada pendidikan bagi para gadis remaja dan anak-anak. Hal tersebut salah
satunya dibuktikan dengan diterjemahkannya berbagai buku bacaan dari Bahasa
Belanda ke dalam Bahasa Sunda yang berisi tentang dongeng-dongeng atau cerita
fiksi, diantaranya Warnasari dan Kulit Kalde. Buku-buku tersebut dikemas dengan
gaya bahasa yang nenarik dan disesuaikan dengan minat baca anak-anak gadis.

180

Konsep Sakola Kautamaan Istri yang dikembangkan oleh Raden Ayu Laminingrat
sedikit banyak juga mengadopsi dari konsep Sakola Kautamaan Istri yang dirintis
oleh Raden Dewi Sartika. Terlebih pada saat itu, mereka berdua sering melakukan
kontak dan menghadiri berbagai macam pertemuan baik yang bersifat personal
maupun karesidenan karena Reden Ayu Lasminingrat sendiri adalah seorang istri
Bupati Garut sementara Raden Dewi Sartika adalah putri seorang Patih Bandung.
Dengan demikian, mereka bisa lebih leluasa berdiskusi tentang sekolah yang mereka
rintis.
Meskipun demikian, tidak selamanya konsep yang dikembangkan oleh
Raden Dewi Sartika diadopsi secara keseluruhan oleh Raden Ayu Laminingrat.
Dalam mengaplikasikan gagasannya, Raden Ayu Lasminingrat mempunyai metode
pembelajaran tersendiri yang sebelumnya tidak digunakan oleh Raden Dewi Sartika.
Selama proses belajar mengajar, Raden Ayu Lasminingrat sering menggunakan
metode pupuh walaupun tidak semua mata pelajaran disampaikan dalam bentuk
pupuh. Pupuh dianggap efektif oleh Raden Ayu Lasminingrat untuk membantu para
siswi dalam mencerna materi pelajaran, terlebih materi-materi pelajaran yang bersifat
pesan moral. Berikut adalah salah satu contoh tembang kasundaan dengan
menggunakan Pupuh Asmarandana yang biasa digunakan dalam menyampaikan
pesan moral tentang makna hidup manusia di dunia:

181

Asmarandana
Eling-eling mangka eling
Rumingkang di bumi alam
Darma wawayangan bae
Raga taya pangawasa
Lamun kasasar lampah
Napsu nu matak kaduhung
Badan anu katempuhan

Sementara itu, Raden Siti Djenab sendiri terlahir, dididik dan dibesarkan
dari golongan menak hingga karir pendidikan mampu mengharumkan dirinya.
Kondisi kehidupan yang mendukungnya, telah menciptakan corak feodalisme antara
golongan menak dan masyarakat biasa pada umumnya. Hal tersebut diaplikasikan
pada

Sakola

Kautamaan

Istri

yang

dirintisnya

bersama

dengan

Bupati

Wiranatakusumah. Telah kita kenal sebelumnya, pola jalan ngempor atau ngesod
yang senantiasa dipupuk dan diajarkan oleh Raden Siti Djenab kepada anak didiknya
ketika hendak bertemu dengan petinggi kabupaten atau karesidenan. Ditambah lagi
beberapa tatakrama yang meniscayakan orang yang derajatnya lebih rendah untuk
dapat menghormati orang yang derajatnya lebih tinggi, seperti tatakrama
mengucapkan salam menurut adat menak yaitu dengan mencium tangannya seraya
membungkukkan badan setengah ruku . Hal-hal seperti itulah yang mengindikasikan

182

kentalnya corak feodalisme yang terjadi di Cianjur pada saat itu. Namun demikian,
tentunya hal tersebut tidak mengurangi makna akan adanya kesetaraan derajat
manusia di mata Allah SWT.
Salah satu hal yang mungkin sedikit berbeda antara Sakola Kautamaan Istri
yang didirikan oleh Raden Siti Djenab dibanding dengan sekolah yang didirikan oleh
Raden Dewi Sartika dan Raden Ayu Lasminingrat adalah masalah kurikulum tentang
pengetahuan agama. Pada Sakola Kautamaan Istri yang dipimpinnya, Raden Dewi
Sartika hanya memberikan materi 1 (satu) mata pelajaran untuk pengetahuan agama,
atau berkisar 11 % dari keseluruhan materi pelajaran yang diajarkan, yaitu: Menjahit,
menambal, menyulam, merenda, memasak, menyajikan makanan, PPPK dan
memelihara bayi. Kondisi seperti ini terjadi pula pada Sakola Kautamaan Istri Raden
Ayu Lasminingrat. Berbeda dengan Sakola Kautamaan Istri Raden Siti Djenab,
materi untuk ilmu pengetahuan agama dibagi menjadi 2 (dua) mata pelajaran, yaitu:
Budi Pekerti/Akhlak dan Pengetahuan Agama. Hal itu sebanding dengan 12 % dari
17 materi pelajaran yang diajarkan. Dengan demikian, Raden Siti Djenab telah
menempatkan pengetahuan agama pada posisi yang berbeda dibanding dengan
materi-materi lainnya.
Hal lain yang dianggap berbeda adalah metode pembelajaran yang
digunakan oleh Raden Siti Djenab dengan Raden Ayu Lasminingrat. Raden Ayu
Lasminingrat senanatiasa menggunakan metode pupuh dalam proses pembelajaran,

183

sedangkan Raden Siti Djenab kerapkali menggunakan metode kebersamaan dalam


mengaplikasikan materi pelajaran kepada anak didiknya.
Perlu dikemukakan sebuah catatan penting lainnya berkaitan dengan proses
pendirian sekolah yang didirikan oleh ketiga tokoh dimaksud. Jika diamati secara
lebih seksama, proses pendirian Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden
Dewi Sartika dan Raden Ayu Lasminingrat tidaklah serumit proses pendirian sekolah
yang didirikan oleh Raden Siti Djenab. Kondisi tersebut terjadi karena Raden Dewi
Sartika adalah putri seorang patih yang cukup ternama di Kabupaten Bandung, dan
Raden Ayu Lasminingrat sendiri adalah seorang istri Bupati Garut yang memiliki
otoritas yang tinggi pada daerah yang dipimpinnya. Sehingga adanya keinginan dari
mereka untuk memberdayakan kaum perempuan pun bukanlah hal yang mustahil
untuk dilakukan. Sementara itu Raden Siti Djenab sendiri hanyalah seorang putri dari
kalangan menengah biasa, bahkan orang tuanya sendiri bukanlah orang yang
memiliki pengaruh yang berarti terhadap pembuatan kebijakan di Kabupaten Cianjur.
Meskipun sama-sama terlahir dari golongan menak, tetapi orang tua Raden Siti
Djenab hanya berada pada tatanan wilayah sosial semata sehingga mereka menempati
posisi yang dihargai di kalangan masyarakat Cianjur pada saat itu. Bertolak dari
kondisi seperti itu, jelas terlihat bahwa upaya yang dilakukan oleh Raden Siti Djenab
untuk mendirikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum perempuan lebih sulit
dibanding dengan dua orang pendahulunya.

184

Selain daripada itu, kesulitan lain yang dihadapi oleh Raden Siti Djenab
ketika mendirikan Sakola Kautamaan Istri adalah besarnya pengaruh para pemuka
agama (ajengan) yang ada di Cianjur pada saat itu. Telah dipaparkan sebelumnya
bahwa pada kurun waktu antara 1856 hingga awal abad ke-20 jumlah pesantren yang
ada di Cianjur mencapai 174 pesantren dari 537 pesantren yang ada di wilayah
Priangan, dengan rincian 174 pesantren yang terdapat di Kabupaten Cianjur, 79
pesantren di Kabupaten Sukapura, 162 pesantren di Kabupaten Bandung dan 122
pesantren di Kabupaten Sumedang. Dengan demikian, Cianjur merupakan kabupaten
yang paling produktif mendirikan lembaga pendidikan tradisional berupa pesantren.
Kondisi seperti ini sedikit banyak berpengaruh terhadap upaya Raden Siti Djenab
dalam proses pendirian Sakola Kautamaan Istri karena sebagian besar golongan yang
menentang untuk didirikannya sekolah bagi kaum perempuan adalah dari kelompok
ajengan (kyai). Sehingga tidak heran jika pada proses selanjutnya, Raden Siti Djenab
meminta persetujuan kepada Bupati Wiranatakusumah untuk bersama-sama
mendirikan sekolah yang dirintisnya tersebut.

185

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Cianjur merupakan salah satu kabupaten tertua di Priangan yang masih bisa
bertahan hingga sekarang. Wilayah politik yang didirikan sejak 1677 ini tidak hanya
mengalami penetrasi dari VOC tetapi juga dari pemerintah kolonial Inggris dan
Belanda. Namun demikian, penetrasi yang dialami Cianjur semasa pemerintahan
kolonial Belanda jauh lebih luas dan mendasar. Tanpa bisa dihindari, selama
berlangsungnya penetrasi pemerintah kolonial Belanda pada 1816 hingga 1942,
banyak perubahan yang terjadi di Cianjur, baik wilayah, ekonomi, politik hingga
pendidikan. Tentunya semua perubahan ini didorong oleh beberapa faktor yang
mempengaruhinya.
Sejak berdiri pada 1677, Kabupaten Cianjur telah mengalami beberapa kali
penataan wilayah diantaranya perluasan yang dilakukan pada masa pemerintahan
Bupati Aria Wiratanu III yaitu wilayah Jampang di Cianjur Selatan hingga perbatasan
Banten. Wilayah ini diberikan oleh Gubernur Jenderal Van Swall sebagai hadiah
kepada bupati karena keberhasilannya menjadikan Cianjur sebagai produsen kopi
terbesar di Karesidenan Priangan pada saat itu. Selanjutnya penataan wilayah kedua
terjadi ketika Cianjur bersama Sumedang, Bandung, Parakanmuncang, Limbangan
dan Sukapura digabungkan menjadi satu wilayah penghasil kopi di Priangan. Selain

itu, dibangunnya Jalan Raya Pos yang melintang di jalur Buitenzorg Puncak
Cianjur Bandung pada masa kekuasaan Daendels tentunya menjadi keuntungan
tersendiri bagi Cianjur karena sering dilalui oleh para pedagang dan pejabat
pemerintah kolonial. Dalam proses menuju perkembangan sarana dan infrastruktur,
Cianjur juga memperoleh fasilitas jalan kereta api yang digunakan sebagai salah satu
jalur untuk menghubungkan Batavia Sukabumi Cianjur Bandung. Sehingga
tidak mengherankan jika pada kurun waktu kurang lebih 48 tahun Cianjur pernah
dijadikan sebagai ibukota Karesidenan Priangan.
Dalam bidang pendidikan, hingga akhir kekuasaan pemerintah kolonial
Belanda pada 1942, sedikitnya terdapat beberapa baik yang didirikan atas prakarsa
pemerintah maupun yang diprakarsai oleh pihak swasta. Sekolah-sekolah yang
didirikan di Cianjur tersebut tersebar di daerah Cianjur, Cibeber, Pacet, Ciranjang,
Cikalong Kulon, Sukanagara, dan Sindangbarang. Adapun sekolah-sekolah tersebut
antara antara lain: (1) Openbare Europeesche Lagere School (Sekolah Dasar Eropa),
(2) Openbare Schakelschool (Sekolah Peralihan), (3) Openbare HollandschInlandsche School (Sekolah Dasar Pribumi-Belanda), (4) Bijzonder Hollandsch
Chineesche School (Sekolah Dasar Swasta untuk orang Cina), (5) Openbare
Inlandsche School der Tweede Klasse (Sekolah Dasar Kelas Dua), (6) Sekolah
Sarekat Islam (SI), (7) Kesatrian School (Sekolah Lanjutan), (8) Hollandsch
Inlandsche-School (HIS) Pasundan, (9) Arabische School Janatoettalib Wal Miskin
(Sekolah Rendah Arab Janatoettalib wal Miskin), (10) Zendingschool (Sekolah

178

Zending), (11) Inlandsche Meisjesschool der Vereeniging Kautamaan Istri (Sekolah


Lanjutan Keterampilan Perempuan), (12) Sekolah Kejuruan Wanita Pasundan Istri
(Pasi-Vakschool), (13) Sekolah Pertanian Desa (Desalandbouwschool) dan (14)
Sakola Kautamaan Istri.
Sakola Kautamaan Istri sebagai sekolah pertama yang memiliki concern
terhadap pendidikan kaum perempuan, memiliki keunikan tersendiri bagi masyarakat
Kabupaten Cianjur pada saat itu. Sekolah yang didirikan pada tahun 1916 ini, oleh
sebahagian masyarakat dianggap sebagai sekolah yang nyeleneh karena dianggap
menentang adat istiadat lama yang melarang kaum perempuan untuk mengenyam
pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki. Dalam hal ini, Raden Siti Djenab
sebagai pendiri sekolah tersebut mendapat banyak kecaman dan cemoohan dari
masyarakat, terlebih dari kalangan kaum priyayi. Terlebih pada saat itu, masyarakat
belum memiliki pemahaman yang komprehensif tentang pentingnya dunia
pendidikan, baik pendidikan secara umum maupun pendidikan

bagi kaum

perempuan. Bahkan terdapat beberapa kelompok yang merasa keberatan jika anak
gadisnya melanjutkan pendidikan pada sekolah formal atau ke jenjang yang lebih
tinggi. Adapun alasan-alasan yang dikemukakan antara lain menyebutkan bahwa
tugas utama perempuan hanyalah di dapur, sumur dan kasur. Dengan demikian
pendidikan bagi kaum perempuan masih dipandang tidak perlu dan tidak bermanfaat.
Selain itu adanya anggapan bahwa menggabungkan anak laki-laki dengan anak-anak

179

perempuan dalam satu kelas dan/atau sekolah masih dianggap sebagai sesuatu hal
yang kurang baik menurut etika.
Alasan lain yang mencuat adalah permasalahan tradisi yang mengakar di
masyarakat yang salah satunya menyebutkan bahwa anak-anak perempuan pada usia
muda atau menginjak masa remaja diwajibkan membantu orang tuanya untuk
mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebagai sarana persiapan menuju jenjang
pernikahan. Selain itu, menyelenggarakan pendidikan bagi kaum perempuan masih
dipandang sebagai sesuatu hal yang bertentangan dengan adat istiadat karena pada
dasarnya anak perempuan akan cepat menikah sehingga walaupun ia mengenyam
pendidikan yang lebih tinggi akan dianggap sebagai sesuatu hal yang percuma untuk
dilakukan.
Terkait dengan masalah itulah, maka anak perempuan yang mengenyam bangku
sekolah diprediksikan akan mengalami kesulitan ketika memilih jodoh. Selain itu,
sebahagian masyarakat masih menganggap bahwa meskipun anak perempuan
sekolah, mereka tidak akan bekerja seperti laki-laki sehingga pendidikannya akan
dipandang sia-sia. Adapun alasan lain yang senantiasa digembor-gemborkan adalah
adanya kekhawatiran jika anak perempuan mereka disekolahkan maka anak tersebut
akan bersikap sombong kepada suaminya, terlebih apabila pendidikan suaminya lebih
rendah.
Secara sederhana potret pendidikan bagi kaum perempuan yang terjadi di
Cianjur sebelum didirikannya Sakola Kautamaan Istri menggambarkan bahwa seluruh

180

anak-anak gadis pada usia remaja mengalami dunia pingitan. Mereka dituntut untuk
dapat membantu orang tuanya mengasuh adik-adik mereka yang masih kecil,
menyiapkan makanan, mencuci pakaian, dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga
lainnya. Namun demikian, mereka masih mempunyai waktu senggang untuk bertemu,
bermain dan berbincang-bincang dengan teman sebayanya, pergi mengaji ke rumah
kyai, membaca Al-Quran dan sebagainya. Kondisi seperti ini tidak hanya dialami
oleh anak-anak gadis dari golongan menengah ke bawah tetapi juga anak-anak gadis
dari golongan menak (priyayi).
Sehubungan dengan adanya realitas seperti itulah Raden Siti Djenab akhirnya
tergugah untuk mendirikan sekolah yang khusus diperuntukkan bagi kaum
perempuan. Raden Siti Djenab memandang bahwa kaum perempuan juga memiliki
hak yang sama dengan kaum laki-laki untuk mendapatkan pendidikan yang setinggitingginya sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Melalui pendidikan kaum
perempuan akan mendapat nilai plus tersendiri ketika berhadapan dengan kaum lakilaki dalam mengembangkan potensi serta gagasannya. Dengan demikian, kaum
perempuan tidak lagi bisa dipandang sebelah mata karena alasan-alasan yang tidak
logis. Melalui pendidikan kaum perempuan juga dapat disejajarkan dengan kaum
laki-laki dalam memperoleh kesempatan yang luas serta fasilitas yang lengkap untuk
menimba ilmu sebanyak mungkin serta mengasah keterampilan mereka dalam
menghadapi dunia pekerjaan sehingga meminimalisir terjunnya kaum perempuan di
tengah lapangan pekerjaan yang kurang bisa dihargai, seperti menjadi buruh di

181

pabrik-pabrik atau perkebunan. Bahkan melalui pendidikan kaum perempuan


setidaknya memperoleh harapan yang lebih luas untuk diberi upah yang sebanding
dengan upah yang diterima oleh para pekerja lainnya dari golongan kaum lak-laki.
Dalam mengaplikasikan gagasannya, Raden Dewi Sartika terinspirasi oleh
dua pendahulunya yakni Raden Dewi Sartika dan Raden Ayu Lasminingrat yang
memiliki concern yang sama dalam meningkatkan derajat kaum perempuan melalui
pendidikan. Sekolah Kautamaan Istri Raden Dewi Sartika yang berdiri 12 tahun lebih
awal dari Sakola Kautamaan Istri Raden Siti Djenab dijadikan sebagai salah satu
pedoman dalam mengembangkan proses belajar mengajar di sekolah yang dirintisnya
tersebut. Selain itu, Raden Siti Djenab juga mengadopsi sistem yang dikembangkan
oleh Raden Ayu Lasminingrat dalam mengaplikasikan gagasannya melalui Sakola
Kautamaan Istri yang didirikannya. Seperti yang dialami oleh 2 (dua) seniornya,
Raden Siti Djenab juga pernah mengalami masa-masa pahit ketika gagasannya tidak
didukung oleh masyarakat sekitar Cianjur. Namun berkat kerja keras dan
kegigihannya, akhirnya Sakola Kautamaan Istri mampu bersaing dengan sekolahsekolah lain yang ada di Cianjur. Selain itu, Raden Siti Djenab juga mendapat
dukungan yang tulus dari keluarga, suami dan kerabat dekatnya. Hal tersebut
tentunya menjadi motivasi tersendiri bagi Raden Siti Djenab untuk terus berkiprah di
dunia pendidikan kaum perempuan.
Sehubungan dengan itu, pada awal proses pendirian Sakola Kautamaan Istri,
Raden

Siti

Djenab

meminta persetujuan

182

kepada

Raden

Aria

Muharram

Wiranatakusumah yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Cianjur untuk
bersama-sama mendirikan sekolah tersebut. Meskipun demikian, tetap saja ada
cemoohan yang datang dari para praktisi pendidikan yang bertugas di sekolahsekolah lain di Cianjur yang setingkat dengan Sakola Kautamaan Istri, di antaranya
Hollandsch Inlandsche-School (HIS).
Raden Siti Djenab adalah seorang sosok perempuan Sunda yang gigih
memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, terlebih kaum perempuan Sunda pituin.
Hal tersebut salah satunya tercermin ketika ia masih berusia 14 tahun, tepatnya pada
1904, Raden Siti Djenab lulus dari Hollandsch Inlandsche School (HIS). Saat itu ia
sudah menaruh perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan dengan melakukan
praktikum mengajar pada Sekolah Dasar (Tweede Inlandse School) yang terletak di
daerah Joglo, Cianjur. Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan kemajuan
pesat yang dimilikinya, Raden Siti Djenab diangkat menjadi guru magang
(kweekeling) dan pada tahun 1916 ia mulai mengajar di Sakola Kautamaan Istri.
Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa Sakola Kautamaan Istri merupakan
sekolah yang memiliki concern terhadap pemberdayaan pendidikan bagi kaum
perempuan, sehingga murid-murid yang belajar di sekolah ini khusus diperuntukkan
bagi kaum perempuan yang tinggal di wilayah Cianjur dan sekitarnya. Sekolah
tersebut dirintisnya bersama-sama dengan R. Aria Muharram Wiranatakusumah, yang
pada saat itu menjabat sebagai bupati Cianjur yang ke-11, sebelum beliau
dialihtugaskan ke Bandung.

183

Sebagai seorang guru sekaligus pemimpin pada Sakola Kautamaan Istri,


Raden Siti Djenab melakukan semua aktifitasnya dengan gesit, lincah dan cepat.
Setelah lonceng berbunyi, dengan memakai pakaian berupa kain panjang dan kemben,
kebaya sunda, selendang dan sandal selop, beliau segera beraktifitas. Dalam
melaksanakan aktifitasnya sebagai seorang guru, Sakola Kautamaan Istri Cianjur
dibantu oleh beberapa orang gruru perempuan, di antaranya: (1) Ibu Tito, (2) Ibu Emi
(pada saat itu dipercaya untuk mengajar mata pelajaran Bahasa Belanda, (3) Ibu Cua,
(4) Ibu Cito, (5) Ibu Rukmini, (6) Ibu Hemi, (7) Ibu Anggi, (8) Ibu Ea dan (9) Ibu
Raden Siti Djenab sendiri yang merangkap sebagai kepala sekolah.
Kurikulum yang diajarkan pada Sakola Kautamaan Istri Cianjur dirancang
mengikuti kurikulum yang sudah ditetapkan pemerintah kolonial Belanda dan
dipadukan dengan kurikulum bagi sekolah kejuruan. Selain itu, materi pelajaran juga
disesuaikan dengan kebutuhan kaum perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun materi-materi yang diajarkan oleh Raden Siti Djenab dan guru-guru lainnya
di Sakola Kautamaan Istri antara lain: Berhitung, Menulis, Bahasa Sunda, Bahasa
Belanda, Bahasa Melayu, Budi Pekerti/Akhlak, Agama, Membatik, Menjahit,
Merenda, Menambal, Menyulam, Memasak, Menyajikan Makanan, Memelihara
Bayi, PPPK, dan Olah raga.
Adapun metode pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran
antara lain: metode ceramah, tanya jawab, diskusi dan praktikum. Metode yang
terakhir inilah yang sering digunakan oleh para guru yang mengajar di Sakola

184

Kautamaan Istri Cianjur. Metode praktikum dilakukan sehubungan dengan


banyaknya materi yang meniscayakan adanya praktek lapangan, seperti memasak,
menjahit, merenda, menyulam, membatik, menambal dan materi-materi lain yang
berkenaan dengan pengetahuan keterampilan wanita. Selain metode-metode yang
disebutkan pada tabel di atas, Raden Siti Djenab juga menggunakan metode
kebersamaan dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Metode seperti ini
dilakukan dengan tujuan agar para siswi di Sakola Kautamaan Istri dapat berkerja
secara cooperative dan membiasakan diri untuk team work (kerja tim) dalam
melaksanakan semua aktifitas baik pada saat proses pembelajaran berlangsung
maupun sebagai proses pembelajaran di masa mendatang. Metode praktek dan
metode kebersamaan yang digunakan oleh Raden Siti Djenab telah menciptakan
suatu nuansa baru bagi para siswi di Sakola Kautamaan Istri. Menurut keterangan dari
salah satu murid Sakola Kautamaan Istri, kedua metode ini juga merupakan metode
yang paling disukai oleh para siswi.
Untuk

memenuhi

semua

kebutuhan

selama

proses

pembelajaran

berlangsung, Sakola Kautamaan Istri mewajibkan para siswinya untuk membayar


SPP sebesar 5 sen/bulan. SPP tersebut dibayar dari mulai memasuki tahun ajaran
hingga siswi tersebut lulus sekolah. Sedangkan para lulusan Sakola Kautamaan Istri
biasanya melanjutkan sekolah ke Sekolah Van Deventer, yakni sekolah yang
disiapkan untuk menjadi calon guru. Selain itu, mereka juga dapat melanjutkan ke
sekolah perawat dan kebidanan. Namun ada juga lulusan sekolah ini yang langsung

185

menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Selama Sakola Kautamaan Istri Cianjur
berdiri, tercatat dalam sejarah beberapa nama alumni di antaranya: Sufiah, Najmiati,
Sarimaya, Kania, Romah Sutresna dan Nunung Kurniasih. Bahkan setelah tamat dari
Van Deventer, Najmiati melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Guru
(Kweekschool) di Salatiga.
Konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Raden Siti Djenab melalui
Sakola Kautamaan Istri ini sepadan dengan konsep yang dikemukakan oleh Raden
Dewi Sartika dan Raden Ayu Lasminingrat. Raden Dewi Sartika menuangkan ide dan
gagasannya melalui Sakola Istri yang dirintisnya di Bandung, sedangkan Raden Ayu
Lasminingrat menuangkannya melalui Sekolah Kautamaan Istri yang didirikan di
Garut. Ketiga lembaga pendidikan ini memiliki concern yang sama yakni
peningkatan kualitas sumber daya manusia perempuan Indonesia pada umumnya dan
perempuan Sunda pituin pada khususnya. Gagasan yang dicanangkan oleh Raden Siti
Djenab sendiri dilakukan sebagai salah satu upaya dalam pemberdayaan pendidikan
kaum perempuan di Cianjur, Jawa Barat.
Konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Raden Dewi Sartika, Raden
Ayu Lasminingrat dan Raden Siti Djenab tidaklah jauh memiliki perbedaan. Ketiga
sekolah yang dikembangkan oleh para tokoh pendidikan perempuan dari tatar Sunda
ini memiliki visi yang sama dalam upaya pemberdayaan bagi kaum perempuan Sunda
pada khususnya maupun perempuan Indonesia pada umumnya untuk memupus

186

realitas keterbelakangan, penindasan, kebodohan serta kesewenang-wenangan yang


berdampak pada terbangunnya sekat antara derajat laki-laki dan perempuan.
Namun demikian, meskipun memiliki concern yang sama di bidang
pendidikan perempuan, hal tersebut tidak serta merta menunjukkan bahwa proses
pembelajaran yang dilaksanakan pada masing-masing Sekolah Kautamaan Istri
tersebut memiliki nilai yang sama, terdapat beberapa modifikasi yang menjadi ciri
khas dari masing-masing sekolah. Sebagai sekolah pertama yang mengembangkan
pendidikan bagi kaum perempuan, Sakola Kautamaan Istri Raden Dewi Sartika
memang tidak terlalu banyak menonjolkan berbagai terobosan. Tetapi minimal
dengan dibukanya sekolah yang khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan Sunda
pituin di Bandung, Jawa Barat, hal ini sudah menjadikan Sakola Kautamaan Istri
sebagai sekolah yang memiliki nilai plus tersendiri dibanding dengan sekolah-sekolah
umum lainnya.
Moto hidup yang senantiasa diggembor-gemborkan oleh Raden Dewi
Sartika kepada anak didiknya adalah: Nu Bisa Hirup! . Artinya para gadis remaja
lulusan Sakola Istri hendaknya dapat hidup mandiri serta mampu dalam menghadapi
tantangan zaman yang sedang dan akan dilaluinya. Wacana seperti ini dikembangkan
karena sejak awal Raden Dewi Sartika tidak setuju dengan konsep pendidikan
tradisional yang membuat kaum perempuan tidak berdaya, sehingga nasibnya harus
selalu bergantung pada kaum laki-laki. Ketidakberdayaan ini pada akhirnya

187

berimplikasi pada kemerosotan kaum perempuan secara ekonomis serta kemunduran


kedudukannya baik secara politis maupun sosial.
Kelebihan

lain

yang

dimiliki

oleh

Raden

Dewi

Sartika

dalam

mengaplikasikan gagasannya di bidang pendidikan kaum perempuan adalah


penanaman paham demokratis yang senantiasa disanjung-sanjungnya. Raden Dewi
Sartika tidak pernah membeda-bedakan status antara golongan menak dan masyarakat
biasa pada umumnya. Hal tersebut mungkin didasari atas pengalaman pribadi Raden
Dewi Sartika sendiri ketika ia pernah merasakan kehidupan yang memprihatinkan
yakni ketika ayahnya, Somanegara harus diasingkan ke Ternate karena tuduhan
pembunuhan. Tidak lama kemudian, Raden Dewi Sartika kemudian ditinggal pergi
oleh ibunya, Rajapermas. Kondisi seperti itu sedikit banyak telah mempengaruhi pola
pikir Raden Dewi Sartika tentang adanya konsep kesetaraan derajat kemanusiaan
antara si kaya dan si miskin karena ia pernah mengalami dua kondisi tersebut.
Konsep pendidikan yang digulirkan dan dikembangkan oleh Raden Ayu
Lasminingrat senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Raden Dewi Sartika
yaitu mendirikan Sakola Kautamaan Istri yang berlokasi di Kabupaten Garut. Dalam
mengimplementasikan gagasannya, Raden Ayu Lasminingrat memiliki kekhasan
tersendiri dibanding dengan Raden Dewi Sartika. Raden Ayu Lasminingrat lebih
memfokuskan diri untuk menuangkan ide serta gagasannya dalam bentuk buku.
Tercatat beberapa hasil penanya berupa buku-buku Bahasa Sunda antara lain
Warnasari Jilid I dan Warnasari Jilid II, Kulit Kalde dan buku-buku lainnya.

188

Warnasari merupakan buku hasil terjemahan dari buku berbahasa Belanda yaitu
Verhalen van Moeder de Gans, sedangkan Kulit Kalde merupakan hasil terjemahan
dari Putri Bianca. Buku-buku tersebut berisi tentang dongeng-dongeng yang
diperuntukkan bagi anak-anak usia sekolah dasar sehingga tidak heran jika buku
Warnasari banyak ditemukan di perpustakaan-perpustakaan Sekolah Dasar (SD) di
Jawa Barat. Raden Ayu Lasminingrat memang sangat menyukai dunia kanak-kanak
sehingga ia banyak menulis buku tentang anak-anak. Buku-buku tersebut disusun
dengan gaya bahasa yang indah dan dikemas cukup menarik untuk dibaca dan
memenuhi selera anak-anak. Hal itu dilakukannya atas pertimbangan bahwa pada saat
itu buku-buku bacaan untuk anak-anak dalam bahasa Sunda masih sangat terbatas,
dan buku-buku ilmu pengetahuan yang ada di negeri kita pada saat itu kebanyakan
ditulis dalam Bahasa Belanda.
Dalam perkembangannya kemudian, buku-buku tersebut kemudian disadur
sedemikian rupa sehingga menjadi cerita berseling dangding, yakni buku cerita yang
dalam salah satu atau beberapa paragraf, pesan moral yang dikandung dalam paragraf
tersebut disampaikan dalam bentuk pupuh (irama lagu Sunda yang menggunakan
tangga nada pentatonis baik pelog atau slendro). Hal ini dilakukan dengan tujuan agar
para pembaca yang pada saat itu masih memiliki pendidikan dalam taraf rendah dapat
dengan mudah mencerna dan memahami maksud dari buku yang disampaikan.
Selain itu, dalam mengaplikasikan gagasannya, Raden Ayu Lasminingrat
mempunyai metode pembelajaran tersendiri yang sebelumnya tidak digunakan oleh

189

Raden Dewi Sartika. Selama proses belajar mengajar, Raden Ayu Lasminingrat
sering menggunakan metode pupuh walaupun tidak semua mata pelajaran
disampaikan dalam bentuk pupuh. Pupuh dianggap efektif oleh Raden Ayu
Lasminingrat untuk membantu para siswi dalam mencerna materi pelajaran, terlebih
materi-materi pelajaran yang bersifat pesan moral.
Adapun Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden Siti Djenab pada
dasarnya tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah yang telah didirikan oleh dua
orang pendahulunya, yakni Raden Dewi Sartika dan Raden Ayu Lasminingrat.
Namun demikian, terdapat beberapa perbedaan yang mendasar mengenai corak
kehidupan yang dikembangkan oleh Raden Siti Djenab dengan Raden Dewi Sartika.
Selama

melaksanakan proses pembelajaran, Sakola Kautamaan Istri kerapkali

menanamkan konsep feodalisme yang pada akhirnya terbangun dalam diri para
siswinya. Hal ini mungkin terjadi karena Raden Siti Djenab sendiri terlahir, dididik
dan dibesarkan dari golongan menak yang pada saat itu menjadi kebanggaan
tersendiri bagi masyarakat Cianjur. Meskipun demikian, kondisi itu tidak serta merta
membuat Raden Siti Djenab menjadi sombong dan angkuh. Semua dilakukan dengan
tidak mengurangi rasa hormat dan mengurangi makna akan adanya kesetaraan derajat
manusia di mata Allah SWT. Terlebih karena pada saat itu budaya yang berkembang
di Cianjur meniscayakan masyarakat untuk senantiasa menanamkan tradisi menak.
Perbedaan lain yang mencuat adalah Raden Siti Djenab tidak menuangkan
gagasannya dalam bentuk buku seperti yang dilakukan oleh Raden Ayu

190

Lasminingrat. Hingga penelitian ini dilakukan, penulis tidak menemukan data-data


otentik yang menjelaskan tentang hasil karya Raden Siti Djenab. Namun demikian,
atas jasa-jasanya dalam mengembangkan pendidikan bagi kaum perempuan, Raden
Siti Djenab mendapat penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda yang pada saat
itu sedang dijabat oleh seorang Gubernur General yang bernama Tjarda Van
Starkenborg Stachouwer. Adapun penghargaan yang diterima oleh Raden Siti Djenab
adalah Bintang Oranje Nassau voor Vrouw en Verdienste yakni bintang
penghargaan yang diberikan kepada seorang wanita yang berjasa terhadap kemajuan
kaum perempuan.
Perlu dikemukakan pula bahwa dalam mengimplementasikan materi
pelajaran agama, Raden Siti Djenab menempatkan porsi dua kali lipat lebih banyak
dibanding dengan Raden Dewi Sartika dan Raden Ayu Lasminingrat. Raden Siti
Djenab memberikan 2 (dua) mata pelajaran dari 17 mata pelajaran yang diajarkan
yaitu: Budi Pekerti/Akhlak dan Pengetahuan Agama, sedangkan Raden Dewi Sartika
dan Raden Ayu Lasminingrat hanya memberikan 1 (satu) mata pelajaran agama
kepada anak didiknya. Hal semacam ini mungkin masih dianggap sebagai sesuatu
yang aneh karena pada zaman pemerintahan kolonial Belanda materi pelajaran agama
(Islam) tidak lazim diajarkan di sekolah-sekolah umum yang ada pada saat itu.
Dengan demikian, penempatan materi pengetahuan agama pada porsinya yang lebih
banyak memiliki signifikansi tersendiri jika diletakkan dalam kerangka sejarah
kurikulum pendidikan di Jawa Barat.

191

Penulis berasumsi bahwa alasan diberikannya porsi materi pendidikan


agama yang lebih banyak pada Sakola Kautamaan Istri Raden Siti Djenab antara lain
disebabkan karena besarnya pengaruh dari para pemuka agama (ajengan) yang ada di
Cianjur pada saat itu. Terlebih jika dibandingkan dengan dua pendahulunya, Raden
Siti Djenab bukanlah seorang keluarga kabupaten seperti halnya Raden Dewi Sartika
dan Raden Ayu Lasminingrat. Sehingga dipandang wajar ketika dalam proses
pendirian Sakola Kautamaan Istri, Raden Siti Djenab terlebih dahulu meminta
persetujuan kepada Wiranatakusumah yang pada saat itu sedang menjabat sebagai
Bupati Cianjur.

B. Saran-saran
Dengan dilakukannya penelitian ini, penulis memiliki setitik harapan yang
mungkin dapat diaplikasikan oleh para pakar maupun praktisi pendidikan yang
memiliki gairah serta geliat untuk meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan
Sunda khususnya maupun perempuan Indonesia pada umumnya. Sehubungan dengan
itu, penulis berharap agar di kemudian hari penelitian tentang Raden Siti Djenab yang
memiliki peran sebagai salah satu tokoh pendidikan kaum perempuan dari Cianjur ini
dapat dilakukan lebih mendalam.
Selain itu, Pemerintah Daerah (PEMDA) Cianjur sebagai salah satu wadah
untuk menginspirasikan ide serta gagasan masyarakat Cianjur diharapkan dapat
melakukan proses penelusuran data terhadap tokoh-tokoh pribumi Cianjur, baik tokoh

192

yang memiliki konsentrasi pada bidang pendidikan maupun bidang-bidang lainnya.


Hal tersebut dipandang perlu mengingat hingga saat ini belum banyak dilakukan
penelitian yang mempublikasikan tokoh-tokoh pituin karuhun Cianjur. Kalau pun
ada, jumlahnya masih sangat sedikit. Dalam tahap yang lebih konkrit, PEMDA
Cianjur dapat mempublikasikan data-data tersebut dengan menerbitkannya dalam
bentuk buku sehingga dapat diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
Selanjutnya penulis berharap kepada seluruh sivitas akademika serta
masyarakat Cianjur pada umumnya agar dapat mengenali tokoh-tokoh yang memiliki
peran yang cukup signifikan terhadap perkembangan pendidikan bagi kaum
perempuan.

193

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos, 1999, Cet. II
Algemeen Verslag van het Middelbaaren Lager Onderwijs voor Europeanen in
Nederlandch-Indies over 1895 Batavia: Landsdrukkerij, 1896.
Ali, Abdullah, Trilogi Riset, Penelitian, Statistik dan Penulisan Skripsi, Cirebon, Biro
Riset dan Badan Penerbit IAIN Sunan Gunung Djati Fakultas Tarbiyah
Cirebon, 1988.
Amin, Sjarif, Perjoangan Paguyuban Pasundan (1914-1942), Bandung: Sumur
Bandung, 1984.
Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Cianjur, Jl. Selamet Riyadi No. 1 Cianjur.
Arsip Nasional Republik Indonesia, Koleksi Arsip Priangan, Politiek Verslag 1856,
Bundel 1/2.
--------- , Politiek Verslag 1873, Bundel 1/19.
--------- , Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Barat), Penerbitan Sumbersumber Sejarah No. 8, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1976.
Arsip Pribadi H. Abbas Sahabuddin, Ketua YPI Gedong Asem, Cianjur, Asal Usul
Tanah Gedong Asem dan Yayasan pendidikan Islam Riyadhul Muttaqien,
Gedong Asem, Cianjur, 27 Maret 1993.
Azra, Azyumardi dkk., Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2002, Cet II.
Barnadib, Imam, Arti dan Metode Sejarah Pendidikan, Yogyakarta: Yayasan
Penerbitan FIP IKIP Yogyakarta, 1982.
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam
di Indonesia, Bandung: Mizan, 1999, Cet. III.
Burhanuddin, Jajat (ed), Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002.
Dayono, Yan, Indonesia Media Online, Januari 2001, Memperingati Hari Lahirnya
Raden
Dewi
Sartika
Tanggal
4
Desember
2000,
http://www.indonesiamedia.com/2001/jan/tokoh-0101-dewisartika.htm
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1990.
Departemen Pendidikan Nasional, Guru di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan dan
Perjuangannya Sejak Zaman Kolonial Belanda Hingga Era Reformasi, ed.

194

Dedi Supriadi, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah


Direktorat Tenaga Kependidikan, 2003.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985, Cet. IV.
Dienaputra dkk., Reiza D., Laporan Penelitian, Dari Cianjur ke Bandung Studi
tentang Proses dan Dampak Perpindahan Ibukota Karesidenan Priangan
Terhadap Perkembangan Kota Cianjur dan Bandung (1864-1942), Bandung:
Proyek Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional:2002.
----------, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg Sejarah Cikal Bakal Cianjur dan
Perkembangannya Hingga 1942, Bandung: Prolitera, 2004
Djamarah dkk., Syaiful Bahri, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1996.
Djojosuroto, Kinayati, dan Sumaryati, Prinsip-prinsip Dasar dalam Penelitian
Bahasa dan Sastra untuk Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Bandung: Nuansa, 2000.
Ekajati dkk., Edi S., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (Sampai Dengan Tahun
1950, Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986.
Haan, F de, Priangan; De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur
Tot 1811, Deerde Deel, Batavia: G. Kolff & Co., 1912.
Hermawan, Asep, Pedoman Praktis Metodologi Penelitian Bisnis untuk Skripsi,
Tesis, Disertasi, Jakarta: Lembaga Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas
Trisakti, 2003, Cet. I.
Holle, K. F., Geschiedenis der Preanger-Regentschappen, TBG, XVII, hal. 235, 341
343; juga R. A. Kern, Geschiedenis der Preanger-Regentschappen; Kort
Overzigt Bandung: De Vries & Fabricius, 1898.
Idi, Abdullah, Pengembangan Kurikulum Teori dan Prakteik, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999.
Jawad, Haifaa A., Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam atas Kesetaraan
Jender, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2002.
Kartodirjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 1900 Dari
Emporium sampai Imperium, Jilid I, Jakarta: Gramedia, 1987.
---------, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari
Kolonialisme Sampai Imperialisme, Jakarta: Gramedia, 1990, Jilid 2.
Kustiman, Erwin, Dewi Sartika, Jasa Besar Terlupakan, http://www.pikiranrakyat.com/cetak/1203/04/ 0108.htm

195

Media Online, Indonesia, Januari 2001, Memperingati Hari Lahirnya Raden Dewi
Sartika
Tanggal
4
Desember
2000,
http://www.indonesiamedia.com/2001/jan/tokoh-0101-dewisartika.htm
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004, Cet. XVIII.
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Pronk, L., De Bestuursreorganisatie-Mullemeirter op Java en Madoera en baar
beteekenis voor het beden, Leiden: M. Dubbeldeman, 1929.
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Metode
Penelitian Sejarah, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1986.
Rosidi, Ajip, dkk., Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia dan Budaya Termasuk Budaya
Cirebon dan Betawi, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000
---------, Manusia Sunda Sebuah Esai Tentang Tokoh-Tokoh Sastra dan Sejarah,
Jakarta: Inti Idayu Press, 1984.
Salira, Babad, http://su.wikipwdia.org/w/index.php?title=Lasminingrat&action=edit
&section=I
Sejarah Kuningan, http://www.kuningan.go.id/modules.php?op=modload&name
=Sections&file=index&req=viewarticle&artid=119&page=1
Sevilla dkk., Consuelo G., Pengantar Metode Penelitian, terj. Alimuddin Tuwu,
Jakarta: UI Press, 1993.
Staatblad van Nederlandsh-Indie over het Jaar 1864, No. 54; Tourist Guide to
Buitenzorg, the Preanger and Central Java, Weltevreden: Official Tourist
Bureau, 1913.
Surianingrat, Bayu, Sajarah Cianjur sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul
Cianjur, Jakarta: Rukun Warga Cianjur, 1982.
Suryadi, Ace dan Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan,
Bandung: PT. Genesindo, 2004.
Utsman, Hasan, Manhaj al-Bahts al-Trkh, Mesir: Dar al-Marif, tt, Cet. IV, terj.
Tim Penerjemah Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi
Agama/IAIN di Jakarta, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, Departeman Agama R.I., 1986.
Wawancara dengan H. Ahmad Hindarsah, bertempat di kediaman beliau Jl.
Siliwangi, Gg. Guntur II NO. 2101 , Cianjur, Senin, 26 September 2005,
pukul 09.000 11.00 WIB.

196

Wawancara dengan H. Muhammad Mangun Sudarso, bertempat di kediaman beliau


Jl. Dr. Muwardi, belakang No. 184, Cianjur, Senin, 26 September 2005,
pukul 10.30 11.30 WIB.
Wawancara dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti Djenab
pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg.
Guntur II No. 2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30
WIB.
Wiriaatmadja, Rochiati, Dewi Sartika, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Proyek Buku Terpadu, 1985
Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1999.

Robert E. Slavin, Educational Psycology Theory and Practice, (USA: Paramount


Publishing, 1994), hal. 5

197

Silsilah Keluarga RadenSiti Djenab

Raden Martadilaga

RA. Abdurrakhman

Nyi Raden Siti Aisah

Raden Siti Djenab + Tb. Djatradijaya

Tb. Ahmad Sudarso


Tb. Akhmad Muhammad
Raden Siti Rakhmat
Raden Siti Harsini

R. H. Muh. Enoch

Nyi Raden Siti Djenar

Nyi Raden Siti Rukiyah

Raden Mustarom

Nyi Raden Siti Marjah

Nyi Raden Siti Kuraesin

Raden Siti Nani Khaerani

Anda mungkin juga menyukai