Eva Fitriati - Konsep Pendidikan Perempuan Cianjur
Eva Fitriati - Konsep Pendidikan Perempuan Cianjur
Barangkali tidak banyak orang yang tahu bahwa pada era pergerakan nasional
hingga akhir kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, Cianjur pernah melahirkan
seorang tokoh pendidikan yang memiliki concern terhadap pemberdayaan kaum
perempuan. Selain itu, tidak banyak pula orang yang menyinggung bahwa selama
kurun waktu kurang lebih 48 tahun Cianjur pernah dijadikan sebagai ibukota
Karesidenan Priangan, yang pada perkembangannya sekarang telah berubah nama
menjadi Propinsi Jawa Barat. Sebagai salah satu kabupaten tertua di Priangan,
Cianjur termasuk salah satu daerah yang tidak dapat mangkir dari penetrasi VOC,
pemerintah kolonial Inggris dan Belanda, sehingga dalam rentang sejarahnya Cianjur
telah mengalami berbagai transformasi sosial budaya dalam berbagai aspek, salah
satunya adalah pendidikan.
Pada medio dasawarsa kedua abad ke-20, tepatnya pada tahun 1916, telah
berdiri sebuah lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan bagi kaum
perempuan. Sekolah ini bernama Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden
Siti Djenab bersama-sama dengan Raden Aria Muharram Wiranatakusumah yang
pada saat itu menjabat sebagai Bupati Cianjur. Modus pendirian Sakola Kautamaan
Istri dilatarbelakangi oleh suatu kondisi dimana kaum perempuan acap kali
memperoleh perlakuan diskriminatif, hanya karena alasan-alasan yang kurang logis.
Misalnya terjadi sebuah kondisi dimana orang tua akan lebih memperhatikan
pendidikan bagi anak laki-laki dibanding anak perempuannya hanya karena alasan
bahwa anak laki-laki pada akhirnya nanti akan menjadi seorang kepala keluarga
sedangkan perempuan akan dibawa oleh suaminya. Karena itu, wajar jika saat
pertama kali sekolah ini menancapkan pondasinya di kabupaten Cianjur, badai caci
maki pun langsung menghembus ke permukaan. Bertolak dari hal tersebut, maka
dilakukan penelitian sejarah pendidikan yang mengangkat tokoh pendidikan
perempuan di Cianjur.
Penelitian ini merupakan penelitian Sejarah Pemikiran Pendidikan. Oleh
karena obyek penelitian ini difokuskan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan
dunia pendidikan, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sejarah
pendidikan. Adapun data-data yang dijadikan rujukan diperoleh melalui sumber buku,
makalah, tulisan ilmiah dan berbagai arsip meskipun sifatnya masih sangat sederhana.
Sumber tertulis lainnya diperoleh pula dari Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Umum Fakultas
Sastra Universitas Padjadjaran Bandung dan Arsip Daerah pemerintah daerah
(PEMDA) Kabupaten Cianjur. Selain itu, untuk menambah referensi yang sudah ada,
penulis melakukan wawancara dengan beberapa orang saksi sejarah yang pernah
mengalami kontak langsung dengan sang tokoh.
Data-data yang diperoleh dari kedua sumber ini -tertulis dan wawancaraselanjutnya dianalisis dengan pendekatan kritik sejarah untuk memperoleh sebuah
konklusi yang lebih mendekati kebenaran. Kritik sejarah ini berfungsi menetapkan
validasi dari sumber-sumber sejarah, menguraikannya kepada unsur-unsurnya yang
baku serta membuat perbandingan serta evaluasi antara satuan-satuannya satu
persatu.
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur tak henti-hentinya penulis panjatkan kepada yang memiliki
segala keindahan yang dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
tesis ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah ke hadapan Nabi
Muhammad SAW yang telah menuntun umat manusia ke jalan kebenaran.
Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk melengkapi dan memenuhi syarat yang
telah ditetapkan dalam menempuh studi pada Konsentrasi Pendidikan Islam Program
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun
tema yang diangkat penulis adalah upaya pemberdayaan bagi kaum perempuan di
Kabupaten Cianjur yang diprakarsai oleh salah seorang tokoh pendidikan, yaitu
Raden Siti Djenab. Tentunya pemilihan tokoh serta lokasi penelitian yang bertempat
di Cianjur menjadi pertimbangan tersendiri bagi penulis. Selama ini para tokoh yang
banyak dipublikasikan dan dijadikan sebagai subyek penelitian adalah mereka yang
sudah dikenal banyak orang. Sehubungan dengan itu, penulis tergugah untuk
mengangkat tokoh pendidikan yang berasal dari Kabupaten Cianjur. Terlebih karena
hingga penelitian ini dilakukan, penulis hanya menemukan 2 (dua) referensi yang
mengangkat kiprah Raden Siti Djenab dalam dunia pendidikan, yaitu hasil penelitian
Edi S. Ekadjati dkk. yang bertemakan Sejarah Pendidikan Jawa Barat dan hasil
penelitian Reiza D. Dienaputra yang mengangkat tema Sejarah Cikal Bakal
Cianjur.
Hal ini tentunya menjadi kesulitan tersendiri bagi penulis karena literatur yang
dapat dijadikan referensi sangatlah sedikit. Sehingga untuk melengkapi data-data
yang diperlukan, penulis harus melakukan berbagai wawancara dengan saksi hidup
yang pernah mengalami kontak langsung dengan Raden Siti Djenab. Selain itu,
penulis juga menelusuri beberapa manuskrip tentang Kabupaten Cianjur di Kantor
Arsip Nasional Republik Indonesia, ditambah dengan data-data yang tersimpan di
Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Cianjur.
Selama penelitian ini dilakukan, tidak sedikit kepenatan dan kesulitan yang
dihadapi oleh penulis. Namun berkat kesungguhan dan kerja keras serta dorongan
dari berbagai pihak, alhmadulillah segala kepenatan dan kesulitan tersebut dapat
diatasi dengan sebaik-baiknya hingga tesis ini dapat diselesaikan. Sehubungan
dengan itu, selaiknyalah penulis menghaturkan ungkapan terima kasih yang tiada
terhingga kepada orang-orang yang telah memberikan dukungan baik moril maupun
materil kepada penulis selama proses penelitian ini dilaksanakan, di antaranya kepada
para dosen Program Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah mendidik penulis selama kurang lebih 3 (tiga) tahun hingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini. Meskipun tidak dapat penulis sampaikan satu persatu,
namun kasih sayang serta didikan yang telah tercurahkan dari mereka tidak akan
luntur sampai kapan pun.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Abuddin
Nata, MA yang telah meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukan beliau sebagai
Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum UIN Jakarta untuk membimbing
vi
vii
dengan biografi sang tokoh sudah barang tentu menjadi kesulitan tersendiri bagi
penulis. Untuk mempermudah menelusuri jejak sejarah sang tokoh, selama proses
penelitian ini dilakukan penulis banyak dibantu oleh beberapa saksi hidup yang
pernah mengalami kontak langsung dengan Raden Siti Djenab, di antaranya: Drs. H.
Mangun Sudarso, satu-satunya menantu almarhum yang masih hidup, Drs. H. Ahmad
Hindarsah, salah seorang pensiunan guru pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Cianjur tahun 1975, R. Hj. Ule Djulaeha, salah seorang di antara murid
Sakola Kautamaan Istri Cianjur dan Drs. H. Iim Abdurrachim beserta staff pada
Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Cianjur. Informasi yang telah
mereka berikan telah menjadikan penelitian ini sebagai suatu hadiah terindah bagi
seluruh karuhun Cianjur.
Dalam menemukan tema penelitian yang tepat, penulis dibantu oleh salah
seorang pituin Cianjur, Yayan Sopyan, M. Ag. yang saat ini sedang menjabat sebagai
Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Tanpa ide serta gagasan dari beliau, penelitian ini tidak
mungkin bisa terjadi. You re my inspiration...!.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan PPs UIN
Jakarta; Khoeron, Nurbani, Emi, Iin, Waqi, Busahdiar, Maddais serta kawan-kawan
lainnnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Tidak lupa pula Lelis, Neni,
Sadiyah, Guntur, Rusydi serta Rahmat Hidayatullah. Terima kasih telah
menghadirkan rangkaian kata serta untaian kalimat yang indah sehingga tesis ini bisa
lebih dinikmati. Akan selalu penulis rindukan keceriaan, kebersamaan, keindahan
viii
Penulis
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A.
diintroduksikan oleh pemerintah Belanda dan kemudian dianut oleh bangsa Indonesia
adalah sistem pendidikan yang bersifat dualistis, yakni sistem pendidikan Eropa dan
sistem pendidikan Pribumi. Hal ini tentunya tidak terlepas dari adanya suatu
fenomena yang berjalan beriringan dengan munculnya sistem perkebunan Eropa serta
perluasan birokrasi kolonial. Pada saat itu, perkembangan sistem perkebunan Eropa
(European Plantation) di suatu daerah atau wilayah akan selalu diikuti oleh
terjadinya perluasan birokrasi pemerintah kolonial Belanda. Sedangkan di lain pihak
penyusunan birokrasi kolonial modern menuntut adanya prasyarat lain, yakni
pendidikan.1
Sistem yang dibangun pada pendidikan dualistis ini menciptakan suatu garis
pemisah yang cukup tajam antara dua subsistem, yaitu sistem sekolah Eropa dan
sistem sekolah pribumi. Dengan adanya sistem dualistis seperti itu, bisa dibedakan
Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg Sejarah Cikal Bakal
Cianjur dan Perkembangannya Hingga 1942, (Bandung: Prolitera, 2004), hal. 63.
adanya empat kategori sekolah sebagai perpaduan antara kedua subsistem tersebut,
yakni:
1. Sekolah Eropa. Sekolah ini sepenuhnya memakai model sekolah negeri
Belanda dengan menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar,
terlebih karena sekolah tersebut adalah khusus diperuntukkan bagi anak-anak
yang berasal dari Eropa.2
2. Sekolah bagi pribumi yang memakai Bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar. Pada abad ke-20, sekolah ini identik dengan Sekolah Kelas Satu
(Eerste Klasse).
3. Sekolah bagi pribumi yang memakai bahasa daerah sebagai bahasa pengantar.
Pada perkembangan selanjutnya, sekolah ini identik dengan Sekolah Kelas
Dua (Tweede Klasse).
4. Sekolah yang memakai sistem pribumi.3 Sekolah semacam ini sebetulnya
sudah ada sebelum kedatangan pemerintah kolonial Belanda ke Indonesia,
seiring dengan kedatangan ulama dari tanah Arab yang bernama Syarif
Hidayatullah ke Pulau Jawa, tepatnya ke daerah Sembung, Cirebon. Dengan
demikian, sekolah yang dimaksud adalah sekolah yang dikelola secara
Edi S. Ekajati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (Sampai Dengan Tahun 1950),
(Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, 1986), hal. 42
3
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari
Kolonialisme Sampai Imperialisme, (Jakarta: Gramedia, 1990), Jilid 2, hal. 76.
berada di desa-desa di mana tidak tersedia fasilitas akomodasi yang cukup untuk
dapat menampung para santri. Dengan demikian diperlukan adanya asrama khusus
bagi para santri. Ketiga, adanya sikap take and give antara kyai dengan santrinya, di
mana para santri akan menganggap kyai seolah-olah sebagai ayahnya sendiri. Begitu
pula dengan keberadaan sebuah mesjid, karena mesjid merupakan elemen yang tidak
dapat dipisahkan dengan pesantren. Kedudukan mesjid sebagai pusat pendidikan
dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universal dari sistem pendidikan
tradisional Islam. Keberadaan para santri juga akan menjadi elemen yang sangat
penting pada sebuah pesantren, di mana para santrilah yang nanti akan bertindak
sebagai subyek pendidikan. Pada perkembangan selanjutnya, santri dibagi menjadi
dua bagian, yakni santri mukim dan santri kalong. Secara otomatis, kyai juga akan
menjadi elemen yang paling esensial dari suatu pesantren.4
Elemen terpenting lainnya dari sebuah pesantren adalah adanya kegiatan
pengajian Kitab Kuning. Dinamakan Kitab Kuning karena pada saat itu kertas yang
digunakan untuk menulis buku-buku atau kitab berasal dari Timur Tengah berwarna
kuning. Kondisi seperti ini mulai dilakukan pada awal abad ke dua puluh.
Sehubungan dengan itu, Bruinessen memiliki pemahaman tersendiri mengenai Kitab
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1985), Cet. IV, hal. 44 - 60.
Kuning. Kitab Kuning diartikan sebagai buku-buku berhuruf Arab yang biasa
digunakan di lingkungan pesantren dan dicetak di atas kertas berwarna kuning.5
Perkembangan pesantren di Jawa Barat cukup pesat. Pada 1856, di Cianjur
telah ada 27 pesantren, dengan jumlah guru 27 orang. Dengan demikian, setiap
pesantren dikelola oleh seorang guru. Jumlah santri yang menimba ilmu di pesantrenpesantren tersebut seluruhnya berjumlah 1.090 orang, atau sepadan dengan asumsi 40
orang untuk masing-masing pesantren. Sebagai bahan perbandingan, pada tahun yang
sama Kabupaten Bandung memilliki 57 pesantren, Kabupaten Sumedang 84
pesantren, kabupaten Sukapura 3 pesantren dan kabupaten Limbangan 53 pesantren.
Adapun jumlah santri adalah 1.292 orang di Kabupaten Bandung, 2.017 orang di
Kabupaten Sumedang, 35 di Kabupaten Sukapura dan 688 orang di Kabupaten
Limbangan.6
Adapun lembaga pendidikan yang pertama kali didirikan oleh pemerintah
kolonial Belanda adalah Sekolah Artileri di Meester Cornelis (sekarang menjadi
Jatinegara, Jakarta Timur), yang didirikan pada permulaan abad ke-19 tepatnya tahun
1806 mulai dibuka. Dua tahun berikutnya, yakni pada 1808, Daendels mulai berkuasa
di Indonesia. Dalam hal ini, Daendels merancang untuk mendirikan sekolah di Jawa
Barat namun seiring dengan kedatangan Inggris dan berkuasanya Raffles di Pulau
5
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), Cet. III, hal. 131 142.
6
Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 64.
Jawa pada 1811, rencana itu tidak terealisasikan. Namun demikian, pada tahun 1809
Daendels telah berhasil mendirikan pendidikan bidan sebagai bagian dari usaha
pemeliharaan kesehatan rakyat. Pada tahun yang sama Daendels juga telah
mendirikan tiga buah sekolah gadis (ronggeng) di Cirebon, meskipun dalam
pelaksanaannya sekolah ini dikelola di bawah tanggungan sultan.
Pada perkembangan selanjutnya, yakni pada 1816 kekuasaan atas Pulau
Jawa kembali beralih ke tangan Belanda. Pada saat itu penyelenggaraan sekolahsekolah diserahkan kepada C. G. C. Reinwardt, dan untuk yang pertama kalinya
bertempat di Jakarta dibuka sekolah yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak
Eropa yaitu Europeesche Lagere School (ELS) pada 24 Februari 1817. Sekolah ini
pun dikembangkan menjadi 7 (tujuh) buah di seluruh Pulau Jawa, yakni 2 (dua buah)
di Jakarta, tepatnya di Weltevreden dan Movenvliet, serta masing-masing 1 (satu)
buah di daerah Cirebon, Semarang, Surakarta, Surabaya dan Gresik.7
Pada 1891, pemerintah Belanda mulai memperkenalkan Politik Etis
(Eitische Politick). Politik Etis merupakan garis politik kolonial baru yang
diintroduksikan secara resmi oleh van Demen sebagai anggota Perlemen Belanda.
Dalam pidatonya pada 1891 dikemukakan adanya keharusan untuk memisahkan
keuangan Indonesia dari negeri Belanda. Selain itu, Demen juga meniscayakan
adanya kemajuan dan kesejahtaraan rakyat serta ekspansi yang pada umumnya
7
Edi S. Ekajati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 41- 42.
menuju pada suatu politik yang konstruktif. Perjuangan politik kolonial yang
progresif itu kemudian diteruskan oleh Van Kol, Van Deventer dan Brooschooft.
Dalam salah satu tulisannya pada majalah De Gids berjudul Hutang Kehormatan,
Van Deventer menyatakan bahwa hasil dari panen yang sangat berharga melalui
sistem Tanam Paksa, Negeri Belanda telah memperoleh keutungan berjuta-juta
gulden. Sebagai contoh, antara tahun 1867 hingga 1878 keuntungan yang diperoleh
Belanda tidak kurang dari 187 juta gulden. Hal ini menjadi hutang budi Belanda
terhadap rakyat Indonesia yang perlu dikembalikan, sekalipun dalam bentuk lain
karena hal tersebut merupakan hutang kehormatan.
Anjuran Van Deventer tersebut kemudian terkenal dengan sebutan Trilogi
Van Deventer atau Trias Etika, yaitu: Pendidikan, Irigasi dan Emigrasi. Oleh karena
para pendukung Politik Etis mempunyai pengaruh yang besar dan luas, maka Politik
Etis mendapat dukungan dari semua golongan. Mereka menyatakan bahwa
pemerintah Belanda harus memperhatikan kepentingan pribumi dan membantu
Indonesia, salah satunya dengan pendidikan. Dalam bidang pendidikan, pemerintah
Belanda memfokuskan salah satu kebijakannya pada pokok-pook pikiran sebagai
berikut:
a. Diberikannya kemungkinan yang luas untuk menerapkan sistem pendidikan dan
pengetahuan Barat bagi masyarakat bumiputera. Oleh karena itu, maka Bahasa
Edi S. Ekajati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 54-56
terkenal dengan nama Dr. Danudurdjo Setiabudi. Sekolah ini didirikan pada
November 1924 dan bertujuan untuk menumbuhkan jiwa nasional dan pendidikan ke
arah manusia yang berpikiran merdeka.9
Namun hal yang dipandang menarik adalah berdirinya 3 (tiga) sekolah yang
khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan. Pada tanggal 16 Januari 1904 di
propinsi Jawa Barat, tepatnya di Kota Bandung, telah berdiri Sakola Istri yang
diprakarsai oleh Raden Ayu Dewi Sartika. Menyusul 3 (tiga) tahun kemudian berdiri
satu lembaga yang memiliki konsentrasi yang sama dengan Raden Ayu Dewi Sartika,
yaitu Sekolah Kautamaan Istri Ayu Lasminingrat. Sekolah ini didirikan di Garut pada
tahun 1907 oleh Raden Ayu Lasminingrat dengan nama Sekolah Kautamaan Istri.
Setelah itu, pada 1916 berdiri Sakola Kautamaan Istri yang berlokasi di kota Cianjur.
Sekolah ini didirikan pada masa pemerintahan Bupati Cianjur, Raden Aria Muharram
Wiranatakusumah dan diprakarsai oleh Raden Siti Djenab.10
Sekolah-sekolah yang disebutkan di atas memiliki concern yang sama,
yakni meningkatkan kualitas sumber daya manusia wanita Sunda pada khususnya dan
wanita Indonesia pada umumnya. Selain itu, sekolah-sekolah tersebut meniscayakan
kaum wanita untuk mencapai kemajuan dalam segala bidang tanpa melupakan
kodratnya sebagai seorang wanita. Alasan lain dari Raden Ayu Dewi Sartika, Raden
Edi S. Ekajati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 86-90
Edi S. Ekajati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 80 - 85
10
Siti Djenab dan Raden Ayu Lasminingrat mendirikan Sakola Kautamaan Istri juga
karena adanya keinginan yang kuat untuk mendobrak paham lama bahwa kaum
wanita tidak wajib untuk mendapat pendidikan yang layak seperti anak laki-laki pada
umumnya.
Suryadi mengemukakan bahwa salah satu bentuk ketidakadilan gender yang
seringkali menimpa kaum perempuan adalah kuatnya paham diskriminasi perempuan
terhadap laki-laki. Diskriminasi seperti ini misalnya terjadi pada sebuah kondisi di
mana orang tua akan lebih memperhatikan pendidikan bagi anak laki-laki dibanding
anak perempuannya. Alasannya sangat klise, di antaranya bahwa anak laki-laki pada
akhirnya nanti akan menjadi seorang kepala keluarga sedangkan perempuan akan
dibawa oleh suaminya. Alasan lain yang mencuat adalah faktor ekonomi. Jika ada
sebuah keluarga yang tergolong tidak mampu, maka orang tua akan lebih
mementingkan pendidikan anak laki-lakinya untuk masuk ke sekolah formal tanpa
mempertimbangkan potensi dan prestasi yang dimiliki oleh anak-anak perempuannya.
Dengan demikian, kaum perempuan tidak memiliki daya intelektual yang tinggi
dibanding
dengan
kaum
laki-laki,
sehingga
seringkali
kaum
perempuan
11
Ace Suryadi dan Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, (Bandung: PT.
Genesindo, 2004), hal. 70.
10
Terlebih pada saat itu, kondisi realitas perempuan yang berasal dari
golongan menak (priyayi) memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan kaum
perempuan pada umumnya. Anak-anak gadis dari golongan priyayi usia kanak-kanak
hingga usia 10 tahun memiliki kehidupan yang berbeda dengan anak-anak gadis
seusianya yang berasal dari golongan masyarakat biasa. Perbedaan tersebut antara
lain terletak pada batasan yang mengurangi kebebasan mereka dalam bermain.
Mereka dilarang untuk bermain sembarangan kecuali dengan teman-teman yang
memiliki derajat yang sama dengan mereka. Begitu pula dengan jenis permainan dan
tempat yang digunakan untuk bermain, tidak semua jenis permainan dapat dimainkan
secara bebas oleh anak-anak gadis dari golongan priyayi. Permainan yang mereka
miliki tidak sebanyak seperti permainan anak-anak gadis biasa pada umumnya.
Adapun jenis permainan yang boleh dimainkan oleh mereka antara lain:
bermain bersama sambil bernyanyi-nyanyi menjelang senja atau di bawah sinar
bulan, mendengarkan cerita dari para dayang atau pengasuh dan bemain teka-teki.
Khusus bagi para anak-anak gadis yang berasal dari keluarga pejabat kabupaten,
selain mendapat permainan seperti yang telah disebutkan di atas, mereka
mendapatkan arahan dan pelajaran tentang tarian yang diiringi dengan gamelan.
Selain peraturan-peraturan di atas, mereka juga tidak diperkenankan bermain di alam
bebas dan terbuka kecuali di halaman-halaman yang luas, pendopo-pendopo dan
paseban-paseban yang ada di sekitar rumahnya.
11
Pendidikan yang diterima oleh para anak gadis dari kalangan priyayi pada
umumnya cukup dengan pelajaran agama, salah satunya dengan belajar membaca AlQuran. Terlebih pada saat itu, belum ada peraturan yang mewajibkan mereka untuk
sekolah. Jumlah sekolah yang ada pada saat itu juga tergolong masih sangat sedikit.
Maka jumlah anak-anak gadis yang mendapat pendidikan formal di sekolah pun
masih sangat terbatas dan hanya boleh diikuti oleh golongan-golongan tertentu saja.
Walaupun anak-anak dari kalangan kaum priyayi mendapat hak-hak istimewa, namun
mereka tidak dengan sendirinya dapat menikmati hak-hak tersebut. Dalam hal
pendidikan misalnya, anak laki-laki mendapatkan prioritas yang lebih utama
dibanding dengan anak-anak perempuan. Adat istiadat dan kondisi sosial yang
berkembang pada saat itu membuat anak perempuan lebih terikat pada lingkungan
rumah tangga.12
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila konsep yang dikemukakan
oleh Raden Dewi Sartika, Raden Ayu Lasminingrat dan Raden Siti Djenab lebih
menitikberatkan pada upaya pemberdayaan pendidikan pada kaum perempuan,
khususnya kaum perempuan yang berada di Jawa Barat. Hal tersebut direalisasikan
dengan mendirikan sekolah yang khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan.
12
12
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat
13
Sehubungan dengan adanya berbagai kondisi yang timbul pada saat itu,
terdapat kemungkinan bahwa Raden Siti Djenab mendirikan Sakola Kautamaan Istri
terinspirasi oleh salah satu tokoh yang memiliki peranan yang sangat penting dalam
dunia pendidikan di daerah Jawa Barat. Dengan demikian, alasan kenapa sekolah
yang didirikan oleh Siti Djenab dinamakan Sakola Kautamaan Istri pun patut
dipertanyakan.
Untuk memprakarsai sebuah lembaga pendidikan, diperlukan adanya
perencanaan yang matang dari pihak penyelenggara sehingga perlu diketahui apakah
proses pendirian Sakola Kautaman Istri dilakukan oleh Raden Siti Djenab secara
individu atau kelompok. Dalam hal ini akan diketahui pula siapa yang telah memberi
motivasi atau pengaruh kepada Raden Siti Djenab dalam mengaplikasikan
gagasannya mendirikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum perempuan di
Cianjur.
Setelah proses pendirian Sakola Kautamaan Istri selesai dilaksanakan, perlu
diketahui pula bagaimana pola dan sistem pendidikan yang diterapkan oleh Raden
Siti Djenab dalam mendidik siswanya pada Sakola Kautamaan Istri. Bahkan respon
yang muncul dari pemerintah Kabupaten Cianjur pada saat itu sangat penting pula
untuk diketahui.
Hal yang tidak kalah penting lainnya untuk dikaji adalah kemungkinan
adanya korelasi antara konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Raden Siti Djenab
14
dengan konsep yang dikemukakan oleh Raden Dewi Sartika di Kabupaten Bandung
dan Raden Ayu Lasminingrat di Kabupaten Garut karena tidak tertutup kemungkinan
bahwa Raden Siti Djenab terinspirasi oleh kedua tokoh tersebut.
C.
Pembatasan Masalah
Penelitian ini merupakan penelitian pemikiran pendidikan yang menggunakan
pendekatan sejarah. Namun demikian, karena fokus penelitian lebih diarahkan pada
aspek-aspek pendidikan maka secara spesifik masalah-masalah yang terdapat dalam
penelitian ini dititikberatkan pada masalah-masalah pendidikan, dan concern
pendidikan yang akan dianalisis adalah konsep pendidikan kaum perempuan yang
dikemukakan oleh Raden Siti Djenab. Sedangkan lokasi yang akan menjadi objek
penelitian adalah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Adapun rentang waktu yang akan diteliti dibatasi pada tahun 1916 1942.
Hal ini disesuaikan dengan awal didirikannya Sakola Kautamaan Istri Cianjur pada
tahun 1916 hingga akhir kekuasaan pemerintah kolonial Belanda pada 1942 karena
setelah kedatangan pemerintah Jepang seluruh sistem pendidikan warisan Belanda
yang ada di Indonesia dirubah total menjadi sistem pendidikan Jepang.
15
D.
Perumusan Masalah
Berdasarkan pada pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, maka
masalah-masalah yang terdapat pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kiprah Raden Siti Djenab dalam bidang pendidikan khususnya
pendidikan bagi perempuan di Cianjur?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Raden Siti Djenab dalam
mengaplikasikan gagasannya?
3. Bagaimana pola dan sistem pendidikan yang diterapkan oleh Raden Siti
Djenab dalam mendidik siswanya pada Sakola Kautamaan Istri?
4. Bagaimana korelasi antara konsep pendidikan umum dengan pendidikan
agama yang dikemukakan oleh Raden Siti Djenab?
5. Bagaimana korelasi antara konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Raden
Dewi Sartika, Raden Ayu Lasminingrat dan Raden Siti Djenab?
E.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kiprah Raden Siti Djenab dalam
16
F.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada sivitas
akademika pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya tentang konsep
pendidikan yang dikemukakan oleh Raden Siti Djenab. Selain itu, penelitian ini
juga diharapkan akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pengembangan
wawasan yang lebih luas kepada masyarakat tentang suatu konsep mengenai upaya
pemberdayaan pendidikan bagi kaum perempuan. Hal lain yang tidak kalah
17
pentingnya adalah hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi
dan masukan bagi pemerintah daerah (PEMDA) Kabupaten Cianjur dalam
menyusun rencana strategis pengembangan kualitas sumber daya kaum perempuan
Sunda yang berada di Kabupaten Cianjur. Selebihnya, semoga dengan
dilaksanakannya penelitian ini masyarakat Cianjur khususnya, dan masyarakat luas
pada umumnya dapat mengenal lebih jauh tentang sosok seorang perempuan
pribumi dari Cianjur yang berhasil mengembangkan konsep pendidikan bagi kaum
perempuan di Jawa Barat yaitu Raden Siti Djenab.
G.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian Sejarah Pemikiran Pendidikan. Oleh
karena obyek penelitian ini difokuskan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan
dunia pendidikan, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sejarah
pendidikan.13 Dalam menyusun laporan penelitian sejarah, peneliti dihadapkan pada
masalah khusus dalam penulisan dan penafsiran data sejarah. Penelitian sejarah
sendiri baru bisa dimulai setelah peneliti telah mengidentifikasi suatu pertanyaan
yang membingungkan dan kemudian merumuskannya dengan benar. Dalam hal ini
13
Imam Barnadib, Arti dan Metode Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP
IKIP, 1982), hal. 51.
18
14
Consuelo G. Sevilla dkk., Pengantar Metode Penelitian, terj. Alimuddin Tuwu, (Jakarta: UI
Press, 1993), hal. 70.
15
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),
Cet. XVIII, hal. 113 - 114
16
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, hal. 14 16.
19
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Metode Penelitian
Sejarah, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hal. 106.
20
18
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. II, hal. 58
21
22
4. Bentuk Pelaporan
Bentuk
laporan
penelitian
yang
disampaikan
dikemukakan
dengan
19
23
BAB II
SEJARAH CIANJUR
DAN PERKEMBANGANNYA HINGGA TAHUN 1942
perkembangan
selanjutnya,
yakni
pada
masa
pemerintahan
Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg Sejarah Cikal Bakal
Cianjur dan Perkembangannya Hingga 1942, (Bandung: Prolitera, 2004), hal. 11. Dikutip dari F de
Haan, Priangan; De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur Tot 1811, Deerde
Deel (Batavia: G. Kolff & Co., 1912), hal. 59; K. F. Holle, Geschiedenis der PreangerRegentschappen, TBG, XVII, hal. 235, 341 343; juga R. A. Kern, Geschiedenis der PreangerRegentschappen; Kort Overzigt (Bandung: De Vries & Fabricius, 1898), hal. 12.
25
Pada bagian wilayah ini akhirnya dibentuk sebuah padaleman dengan nama Cianjur
dengan menjadikan Cikundul sebagai pusatnya. Adapun orang yang dipercaya untuk
memimpin padaleman disebut dengan dalem. Dalem pertama yang memangku
jabatan padaleman adalah dalem Raden Aria Wira Tanu I, yang berkuasa selama
rentang waktu antara 1677 1691. Selanjutnya, tampuk pemerintahan diserahkan
kepada Aria Wira Tanu II, dan pada saat yang bersamaan Cianjur resmi menjadi
sebuah kabupaten. Perubahan status atas Cianjur ini ditandai dengan pengakuan VOC
terhadap keberadaan Aria Wira Tanu II sebagai regent (bupati) Cianjur pada 1691
yang sekaligus dinobatkan menjadi bupati pertama Kabupaten Cianjur. Aria Wira
Tanu II sendiri menjabat sebagai bupati Cianjur hingga 1707. Dienaputra kembali
mengutarakan bahwa kelahiran Cianjur sebagai sebuah kabupaten jelas memiliki
keunikan tersendiri dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain yang dibentuk
oleh Mataram.
Sebetulnya dalam perjanjian yang disepakati pada 19 20 Oktober 1677
yang disepakati sebagai awal penyerahan kekuasaan Priangan dari Mataram kepada
VOC tidak disebutkan secara eksplisit tentang penyerahan wilayah Cianjur. Hal
tersebut disebabkan karena pada saat itu padalemen Cianjur belum dibentuk oleh
dalem Cikundul. Namun dalam traktat Mataram VOC dijelaskan bahwa wilayahwilayah yang diserahkan Mataram kepada VOC meliputi; Pertama, Wilayah sebelah
Timur Sungai Untung Jawa (Cisadane) hingga Sungai Karawang (Citarum), ke
sebelah Utara hingga Laut Jawa, ke sebelah Selatan hingga Laut Hindia. Kedua,
26
Bayu Surianingrat, Sajarah Cianjur sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur,
(Jakarta: Rukun Warga Cianjur, 1982), hal. 54-55.
27
28
ke dalam
Bayu Surianingrat, Sajarah Cianjur, hal. 64. Lihat juga Reiza D. Dienaputra, Cianjur:
Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 15
7
Landdrostambt der Jacatrache en Preanger Bovenlanden merupakan salah satu di antara 12
Landdrostambt yang dibentuk Daendels antara 1808 1809. Adapun sebelas Landdrostambt lainnya
adalah; Banten, de Ommelanden van Batavia, de Tjerebosche Preanger-Regentschappen, Cirebon,
Tegal, Pekalongan, Semarang,Jepara, Juwana, Rembang, dan Pantai Timur.
29
30
8
9
31
1812. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 1815, sejalan dengan pemisahan wilayah
Priangan dan Buitenzorg, Cianjur secara resmi dimasukkan ke dalam Karesidenan
Priangan (Preanger-Regentschappen), dan Th. Mc Quoid bertindak sebagai residen.
Hingga penelitian ini dilakukan, tidak diketahui secara pasti dimana pusat ibukota
Karesidenan Priangan pada saat itu. Namun asumsi awal yang bisa dikembangkan
adalah pada saat itu Cianjur menjadi salah satu sentral jalur Jalan Raya Pos, yakni:
Batavia Buitenzorg Puncak Cianjur Bandung Sumedang, sehingga tidak
menutup kemungkinan bahwa pada saat itu ibukota Karesidenan Priangan berada di
Kabupaten Cianjur. Selain itu, data yang dikemukakan oleh Dienaputra menyebutkan
bahwa dari beberapa penelusuran yang ia lakukan, pada 1819 Cianjur dipastikan
sudah menjadi ibukota Karesidenan Priangan.
Karesidenan Priangan yang lahir di era Raffles tersebut dibentuk melalui
resolusi pada 13 Februari 1813. Adapun pengumuman pembentukan serta
peresmiannya dilakukan pada 10 Agustus 1815. Di luar Priangan, karesidenan lain
yang dibentuk berdasarkan resolusi tersebut antara lain; Banten, Buitenzorg, Cirebon,
Tegal, Pekalongan, Kedu, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Jepara dan Juwana,
Rembang, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Besuki dan Panarukan. Dengan
demikian, terdapat 16 karesidenan di Jawa yang dibentuk oleh Raffles. Selain
32
mengalami kebangkrutan sehingga kekuasaan atas tanam paksa kopi harus dipegang
oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada saat itu, Cianjur dipimpin oleh Raden
Adipati Wiratanudatar VI dan dalam proses peralihan kepada bupati selanjutnya
yakni Raden Adipati Prawiradiredja I. Dengan demikian, Raden Adipati
Wiratanudatar VI merupakan satu-satunya bupati yang mengalami masa-masa transisi
dari VOC kepada pemerintah kolonial Belanda. Sehingga tidak mengherankan ketika
kekuasaan Inggris berakhir, tanah Priangan jatuh ke tangan pemerintah kolonial
Belanda.
Namun demikian, sebagaimana halnya Daendels, pengaruh kekuasaan
Raffles juga tidak hanya dirasakan pada bentuk penataan wilayah saja, tetapi juga
infrastruktur jalan. Tetapi pembangunan infrastruktur jalan yang dilakukan pada era
10
33
34
panjangnya usia tanaman kopi sebagai tanaman paksa. Berbeda dengan jenis-jenis
tanaman paksa lainnya, seperti kina, tembakau dan gula, keberadaan kopi sebagai
tanaman paksa di seluruh Karesidenan Priangan terus dipertahankan hingga awal
abad ke-20.
Namun demikian, perkembangan tanaman kopi di Cianjur sepanjang abad ke-19
dan abad ke-20 tidak selamanya meningkat. Dalam jarak waktu antara 18321863
jumlah tanaman kopi di Cianjur cenderung menurun, terbukti pada 1832 tanaman
kopi di Cianjur menjadi nomor dua terbanyak setelah Bandung. Pada saat itu tanaman
kopi di Cianjur berjumlah 13.017.006 batang sedangkan tanaman kopi di Bandung
mencapai 15.942.158 batang. Tapi jika dibandingkan dengan kabupaten lain di
Priangan, yakni Kabupaten Sumedang, Kabupaten Limbangan dan Kabupaten
Sukapura, tanaman kopi di Cianjur masih jauh lebih banyak. Memasuki awal 1864,
jumlah tanaman kopi di Cianjur kembali meningkat dari 13.602.297 batang menjadi
13.619.303 batang. Namun demikian, jumlah seluruh tanaman kopi di Cianjur pada
1864 masih berada di bawah Kabupaten Bandung yang pada saat itu jumlah tanaman
kopinya mencapai 20.041.750 batang.12
Perjalanan tanam paksa kopi dan perkembangannya di Pulau Jawa ternyata
tidak selamanya berjalan mulus, berjangkitnya serangan hamawedang dan penyakit
daun pada akhir dasawarsa kedelapan abad ke-19 mengakibatkan hancurnya sebagian
tanaman kopi dari jenis arabika. Hancurnya tanaman kopi dari jenis arabika ini diikuti
12
35
oleh munculnya jenis tanaman kopi baru yakni jenis liberia (Coffea Liberica Bull)
dan tanaman kopi dari jenis robusta (Coffea Robusta Linden). Dengan munculnya
kedua jenis kopi ini, spesies liberia menjadi pilihan pertama untuk menggantikan kopi
jenis arabika karena memiliki daya tahan tinggi terhadap serangan hama kopi.
Keunggulan lainnya, kopi jenis liberia ini bisa menyesuaikan terhadap kekeringan,
kemampuan tumbuh di tanah gersang, memiliki pohon kuat serta relatif tidak
memerlukan penanganan hortikultura yang intensif. Penggantian jenis kopi arabika
terhadap liberia otomatis memerlukan waktu yang ralatif lama, akibatnya terjadi
penurunan yang cukup signifikan terhadap jumlah tanaman kopi yang tumbuh di
Cianjur. Jika dibandingkan dengan tahun 1864, jumlah tanaman kopi di Cianjur pada
1890 hanya mencapai 5.243.389 batang dan memperlihatkan penurunan hingga
mencapai 62% atau sejumlah 8.35.914 batang.
Sebagaimana halnya pada akhir abad ke-19, memasuki abad ke-20, keberadaan
tanaman paksa kopi di Cianjur mengalami penurunan. Pada 1904, jumlah tanaman
paksa kopi yang dimiliki Cianjur hanya 2.374.269 batang atau menurun 2.869.120
batang jika dibandingkan dengan tahun 1890. Pada 1910, tanaman paksa kopi di
Cianjur kembali mengalami penurunan hingga jumlahnya mencapai 1.599.277
batang. Memasuki tahun-tahun terakhir diberlakukannya tanaman kopi sebagai
tanaman paksa, jumlah tanaman paksa kopi kembali mengalami penurunan menjadi
36
1.091.137 batang, sehingga pada 1916 hanya tersisa 508.140 batang atau 21% dari
seluruh tanaman paksa kopi di Karesidenan Priangan.13
13
37
acuan oleh beberapa penulis untuk menjelaskan awal mula Kabupaten Cianjur
dijadikan sebagai ibu kota Karesidenan Priangan.
Berdasarkan data-data yang terdapat pada uraian Klein, disebutkan bahwa pada
1829 pemerintah kolonial Belanda telah menempatkan seorang residen untuk
bertugas di Cianjur, sehingga timbul interpretasi bahwa pada 1829 merupakan
permulaan dijadikannya Cianjur sebagai ibu kota Karesidenan Priangan. Dalam hal
ini Dienaputra menambahkan bahwa kesalahan interpretasi ini sebetulnya bisa
dihindari apabila diadakan penelusuran lebih lanjut atas sumber yang dijadikan acuan
Klein, yakni staatsblad 1829 No. 57 yang menyatakan bahwa penanaman kopi
(koffij-kultuur) yang didasarkan pada besluit yang dikeluarkan pemerintah kolonial
Belanda pada 30 Juni 1829 tersebut ternyata tidak ada satu pun kalimat yang
menjelaskan tentang penempatan seorang residen di Cianjur.14
Dengan demikian, uraian Klein yang menyatakan bahwa pada 1829 telah
ditempatkan seorang residen di Cianjur jelas tidak dimaksudkan untuk menyatakan
bahwa sejak tahun tersebut ditempatkan seorang residen di Cianjur, tetapi untuk
menegaskan tentang residen yang diangkat di Cianjur pada tahun tersebut
sebagaimana residen-residen yang lain di Karesidenan Priangan. Pada saat itu,
14
38
39
dapat diinterpretasikan bahwa pada 1819 Cianjur telah menjadi tempat kedudukan
residen Priangan. Hal ini berarti pada saat itu Cianjur telah dijadikan sebagai ibu kota
Karesidenan Priangan.
Apabila kedua pendapat yang masing-masing dikemukakan oleh Klein dan
Dienaputra tersebut ditelaah lebih mendalam, sepertinya penjelasan Dienaputra
dipandang lebih tepat dengan menyebutkan bahwa pada pada 1819 Cianjur telah
menyandang sebagai ibu kota Karesidenan Priangan. Selain itu, apabila kita menoleh
ke belakang telah disampaikan bahwa ketika Raffles mengusai Priangan selama
kurun waktu 1811-1816, pada 1815 Cianjur resmi ditetapkan sebagai salah satu
bagian dari Karesidenan Priangan. Bahkan bisa juga diperkirakan bahwa pada saat itu
Cianjur sudah dijadikan sebagai ibu kota Karesidenan Priangan.
Pada masa awal menjadi ibukota Karesidenan Priangan, Kabupaten Cianjur
terletak 1500 kaki di atas permukaan laut dan memiliki luas wilayah 3731 pal
persegi.16 Pada saat yang sama, luas keseluruhan Karesidenan Priangan mencapai
8929 pal persegi atau sebanding dengan 13.393,5 km2. Adapun tiga kabupaten
lainnya yang berada di Karesidenan yang sama, yaitu: Sumedang, Bandung dan
Limbangan masing-masing memiliki luas wilayah 2452 pal persegi, 1527 pal persegi
dan 1219 pal persegi. Selain itu, pada Karesidenan Priangan terdapat dua buah
16
1 pal sebanding dengan jarak 1,5 km. Dengan demikian, luas wilayah Kabupaten Cianjur
pada saat itu sebanding dengan 5596.5 km2. Pal juga sering digunakan sebagai ukuran jarak sejauh 1,5
km yang ditandai dengan tonggak batu. Lih. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. III, hal. 638
40
vrijeland, yakni Vrijeland Sukabumi seluas 686 pal persegi dan Vrijeland Ciputri
seluas 165 pal persegi. Dengan demikian, Cianjur tercatat sebagai kabupaten terluas
yang ada di Karesidenan Priangan 17
Selama Cianjur menyandang fungsi sebagai ibukota Karesidenan Priangan
dapat dikatakan cukup banyak mengalami perubahan yang signifikan. Dalam lingkup
ekonomi, keberadaan Cianjur sebagai sentra penghasil kopi di Priangan mengalami
pasang surut. Setelah mengalami masa-masa keemasan pada tahun 1825-1828,
produksi kopi di Kabupaten Cianjur mengalami kemunduran hingga masa akhir
menjadi ibukota Karesidenan Priangan. Perubahan lain yang cukup mendasar selama
Cianjur menjadi ibukota karesidenan adalah perubahan pada kondisi demografis.
Posisi strategis yang dimiliki Cianjur sebagai pusat pemerintahan kolonial sekaligus
pusat produksi dan perdagangan, tidak hanya mengakibatkan bertambahnya
penduduk pribumi yang tinggal di Cianjur. Perubahan yang signifikan juga terjadi
dengan bertambahnya penduduk asing yang tinggal di Cianjur, khususnya bangsa
Eropa dan Cina.18 Kondisi seperti ini mengindikasikan bahwa Cianjur telah
mengalami proses pergeseran fungsi, yang pada awalnya hanya sebagai kota hunian
pribumi, berubah menjadi kota hunian multi etnis dan bangsa.
17
Reiza D. Dienaputra dkk., Laporan Penelitian, Dari Cianjur ke Bandung Studi tentang
Proses dan Dampak Perpindahan Ibukota Karesidenan Priangan Terhadap Perkembangan Kota
Cianjur dan Bandung (1864-1942), (Bandung: Proyek Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional:2002), hal. 13-14.
18
Reiza D. Dienaputra dkk., Laporan Penelitian, Dari Cianjur ke Bandung, hal. 16-17
41
Namun keberadaan Cianjur sebagai ibu kota Karesidenan Priangan relatif tidak
berlangsung lama. Selama kurang lebih 48 tahun sejak 1816 atau pada 1864,
pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk memindahkan ibukota Karesidenan
Priangan dari Cianjur ke kabupaten lain. Terdapat beberapa hipotesis tentang alasan
perpindahan ibukota ini, di antaranya menyebutkan bahwa perpindahan tersebut
dikarenakan adanya faktor geologis, khususnya berkenaan dengan keberadaan
Gunung Gede. Selama Cianjur menjadi ibukota karesidenan, Gunung Gede sempat
beberapa kali mengeluarkan lahar panasnya. Sehingga letak geografis Cianjur yang
dekat dengan Gunung Gede mengakibatkan kota ini senantiasa mengalami kerusakan
serius yang diakibatkan dari letusan-letusan dan lahar panas yang dikeluarkan gunung
tersebut.19
Terlepas dari hipotesis berlatar geologis tersebut, keberadaan Cianjur sebagai
ibukota Karesidenan Priangan atau pusat kekuasaan kolonial sejak awal memang
telah menimbulkan pro kontra. Jauh sebelum itu terjadi, pada 1819 Andreas de Wilde
pernah mengusulkan untuk memindahkan ibukota Karesidenan Priangan ke Bandung.
Usulan tersebut diajukan dengan alasan supaya daerah pedalaman Priangan bisa lebih
cepat berkembang sehingga tidak ketinggalan oleh daerah-daerah lain di sekitar
Batavia. Namun usulan ini tidak disetujui oleh pemerintah kolonial Belanda.
Usulan perubahan lain yang pernah dimunculkan berkaitan dengan keberadaan
Cianjur sebagai ibu kota karesidenan juga pernah terjadi pada dasawarsa kelima abad
19
42
ke-19. Usulan kali ini yaitu untuk membagi Karesidenan Priangan menjadi dua.
Pertama, karesidenan yang berada di sebelah barat, yang terdiri atas Cianjur,
Sukabumi dan Bandung, dengan Cianjur sebagai ibu kota. Kedua, karesidenan yang
berada di sebelah timur, yang terdiri atas Limbangan, Sukapura dan Sumedang,
dengan Singaparna atau Tasikmalaya sebagai ibu kota. Dukungan ini mendapat
respon yang positif dari Residen Priangan P. J. Overhand melalui secarik nota yang
dikirimkannya kepada pemerintah kolonial Belanda pada 1849, namun tidak disetujui
oleh pemerintah kolonial.20
Rencana perpindahan ibu kota Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung
sebenarnya telah disampaikan oleh Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud pada
1856. Usulan kali ini dilakukan dengan alasan karena adanya perkembangan yang
cukup pesat yang berhasil dicapai oleh Kabupaten Bandung. Namun demikian,
dengan segala keterbatasan sumber, setidaknya dapat dikedepankan dua alasan
penting yang melatarbelakangi perpindahan ibukota Karesidenan Priangan dari
Cianjur ke Bandung. Pertama, alasan geologis, yakni labilnya kondisi Gunung Gede
yang mengakibatkan rentannya kedudukan Cianjur bila sewaktu-waktu terjadi
bencana meletusnya gunung tersebut. Kedua, alasan pengembangan wilayah,
khususnya wilayah pedalaman yang diindikasikan memiliki potensi besar untuk
dikembangkan menjadi wilayah yang produktif dan strategis. Relatif panjangnya
jarak waktu
20
43
pelaksanaan pemindahan pada 1864 sebenarnya merupakan suatu hal yang menarik
untuk dikaji, namun hal ini menjadi kesulitan tersendiri untuk bisa memberikan
penjelasan lebih lanjut.
Dalam hal ini Dienaputra mengemukakan dua kemungkinan yang terjadi yang
bisa dikedepankan, pertama, relatif lamanya pelaksanaan pemindahan ibu kota
Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung kemungkinanan disebabkan karena
masih adanya pro kontra yang cukup tajam antara pihak yang setuju dan pihak yang
tidak setuju dengan pemindahan ibu kota Karesidenan Priangan dari Cianjur ke
Bandung. Kedua, perpindahan karesidenan bukanlah hal yang mudah dan perlu
persiapan yang cukup matang. Perpindahan ibu kota Karesidenan Priangan dari
Cianjur ke Bandung tidak hanya sekedar memindahkan lokasi ibu kota, tetapi juga
memindahkan
suluruh
suprastruktur
pemerintahan
karesidenan
beserta
kelengkapannya, termasuk juga pengadaan berbagai infrastruktur pada ibu kota yang
baru.21
Pemindahan secara resmi ibu kota Karesidenan Priangan dari Cianjur ke
Bandung dalam perkembangan selanjutnya tidak hanya berpengaruh pada
perkembangan ibu kota Karesidenan Priangan yang baru tetapi juga membawa
pengaruh bagi bekas ibu kota Karesidenan Priangan, yakni Cianjur. Bagi Kabupaten
Bandung, dengan diperolehnya fungsi baru sebagai ibu kota Karesidenan, telah
meningkatkan arti penting keberadaan Bandung di mata pemerintah kolonial Belanda.
21
44
Sebaliknya, bagi Cianjur, dengan hilangnya fungsi sebagai ibu kota Karesidenan
Priangan, telah memperlihatkan berkurangnya arti penting Cianjur di mata
pemerintah kolonial Belanda. Perbedaan kondisi yang langsung terjadi pasca
pemindahan ibu kota Karesidenan Priangan lebih tampak pengaruhnya dalam
perkembangan Cianjur pada waktu-waktu selanjutnya.22
Pasca Cianjur tidak lagi menjadi ibu kota Karesidenan Priangan, budidaya
tanaman kopi di Cianjur diwarnai oleh fenomena didirikannya perkebunanperkebunan swasta. Hal ini dibuktikan dengan didirikannya perkebunan kopi swasta
pertama yang dibuka di Cianjur, tepatnya pada distrik pelabuhan.
45
23
46
kabupaten Cianjur, yaitu stasiun Sukabumi dan stasiun Cianjur. Adapun sebelas halte
yang dibangun di Kabupaten Cianjur terdapat di Cicurug, Parung Kuda,Cibadak,
Karang Tengah, Cisaat, Gandasoli, Cirengas, Lampegan, Cibeber dan Cilaku.
Sedangkan untuk jalur Cianjur-Bandung dibangun 3 halte pemberhentian yang
terdapat di Maleber, Sela Jambe dan Cipeuyeum.
Seiring dengan terjadinya pembangunan jalur-jalur baru pada jalur kereta api,
sejak 1894 jalur kereta api yang melintasi Cianjur telah tersambung dengan jalur
kereta api di Jawa bagian tengah,yakni Cilacap-Yogya. Jalur ini resmi beroperasi
sejak 20 Juli 1887. Bersambungnya jalur kereta api tersebut ditandai pula oleh
peristiwa penting lainnya sepanjang perkembangan jalan kereta api di Jawa, yakni
bersambungnya lintasan Barat (Westerlijnen) untuk trayek Batavia-Yogyakarta
dengan lintasan Timur (Oosterlijnen) untuk trayek Surabaya-Yogyakarta.
Pada jalur kereta api yang menghubungkan antara Cianjur hingga Cilacap dan
Yogya terjadi setelah dibangunnya beberapa jalur baru antara Bandung dan
Kesugihan. Pembangunan jalur ini berlangsung dalam empat tahap. Pertama,
pembangunan jalur kereta api Bandung-Cicalengka yang selesai dilaksanakan pada
10 September 1884. Kedua, dilakukan untuk menghubungkan Cicalengka dengan
Garut. Jalur ini secara resmi dibuka pada 14 Agustus 1889. Ketiga, pembangunan
jalur kereta api dari Cibatu (Garut) hingga Tasikmalaya. Jalur ini diresmikan pada 16
September 1893. Keempat, menghubungkan antara Tasikmalaya hingga Kesugihan.
Pembangunan tahap akhir ini selesai pada 1 November 1894. Dengan selesainya
47
seluruh jalur kereta api dari Bandung hingga Kesugihan (Cilacap) pada akhir 1894,
maka sejak saat itu perjalanan dari Cianjur ke arah timur bisa terus bersambung
hingga Cilacap dan Yogya. Tersambungnya jalur dari Cianjur ke Cilacap secara
otomatis telah menambah jumlah pelabuhan laut yang bisa dicapai secara langsung
dari Cianjur. Sebelum 1894, Batavia adalah satu-satunya pelabuhan laut yang bisa
dicapai dari Cianjur.
Kereta yang masuk ke wilayah Cianjur tidak hanya kereta barang, tetapi juga
kereta penumpang. Untuk kereta penumpang tersedia tiga pilihan kelas, yakni kelas 1,
kelas 2 dan kelas 3. Kereta kelas 3 diperuntukkan bagi penduduk pribumi, dengan
papan nama bertuliskan inlanders. Perbedaan kelas dalam kereta api ini sekaligus
memperlihatkan perbedaan tarif penumpang. Kelas 1 ditetapkan tarif 5,5 sen per
kilometer untuk setiap penumpang. Kelas 2 ditetapkan tarif 3 sen per kilometer untuk
setiap penumpang. Adapun kelas 3 ditetapkan tarif 1 sen per kilometer untuk setiap
penumpang.25
Di samping penggunaan infrastruktur jalan kereta api, secara bertahap dibangun
pula infrastruktur jalan raya. Berkenaan dengan pembangunan infrastruktur jalan
raya, ada lima kelas jalan raya yang telah dibangun di Cianjur, yakni kelas A (jalan
propinsi), kelas B (jalan dengan maksimal beban 3.00 kilogram), kelas C (maksimal
beban 1.500 kilogram), kelas D (jalan yang tidak bisa dilalui truk dan bus), dan kelas
E (jalan yang tidak bisa dilalui segala jenis kendaraan bermotor). Untuk kelas A,
25
48
antara lain telah dibangun ruas jalan yang menghubungkan Cianjur-Pacet-CimacanHanjawar-Puncak sepanjang 26,123 kilometer. Untuk kelas B, antara lain telah
dibangun ruas jalan yang menuju halteu-halteu kereta api di Cipeuyeum, Ciranjang,
Cilaku, dan Cibeber. Untuk kelas C, antara lain telah dibangun ruas jalan
Warungjambe-Maleber, Cisokan-Cidamar dan Ciranjang-Jati-Bojongpicung. Untuk
kelas D, antara lain telah dibangun ruas jalan Bayabang-Cigeundang, RancagoongKaliastana, dan ruas jalan Warungkondang-Tegalega. Untuk kelas E, antara lain telah
berhasil dibangun ruas jalan Sindangbarang-Cidaun, Tegalsapi-Cibodas, dan
Cimapag-Takokak. Apabila diinventarisasi secara keseluruhan, hingga dasawarsa
keempat abad ke-20, di seluruh kabupaten Cianjur telah berhasil dibangun ruas jalan
sepanjang 286,3 kilometer. Dari panjang jalan tersebut, 26 kilometer terdiri dari jalan
beraspal, 185,8 kilometer merupakan jalan yang terdiri atas pecahan batu (steenslag),
dan 74,5 kilometer merupakan jalan rumput (graswegen). Pada 1932 telah berhasil
ditingkatkan jalan desa ruas Ciaripin-Citalahab dan Takokak-Bungamelur, serta jalan
perkebunan ruas Bungamelur-Nyalindung dan Cibancet-Sindangbarang.26
49
saat itu dijadikan sebagai produsen kopi terbesar di Karesidenan Priangan. Namun
demikian, kewajiban yang harus diemban rakyat pun semakin berat. Untuk keperluan
usahanya itu, kompeni membutuhkan bantuan tenaga rakyat Indonesia dalam
menjalankan sistem tanam paksanya. Faktor inilah yang kemudian mendorong
kompeni untuk merencanakan pembukaan sekolah-sekolah di Indonesia, khususnya
di Pulau Jawa. Tetapi rencana tersebut akhirnya gagal karena kekuasaan Indonesia
diambil alih oleh pemerintah Kolonial Belanda yang dikenal dengan pemerintahan
Hindia Belanda-nya.
Pemerintah kolonial juga ternyata merasakan kebutuhan akan tenaga kerja
yang terdidik, sehingga timbul pikiran untuk mengadakan pendidikan bagi rakyat
umum di Indonesia. Timbulnya gagasan tersebut didukung pula oleh dorongan faham
Aufklarung yang menghendaki kemajuan bagi rakyat umum. Namun rencana tersebut
harus kandas di tengah jalan karena pecahnya Revolusi Prancis. Rovolusi Prancis
yang meletus pada 1789 kemudian menjalar hampir ke seluruh benua Eropa, tak
terkecuali Belanda. Akibatnya beberapa negara Eropa jatuh ke tangan Prancis yang
pada saat itu dipimpin oleh Napoleon Bonaparte. Di Negeri Belanda sendiri,
Napoleon menempatkan saudaranya, Louis (Lodewijk) Napoleon sebagai raja.
Salah satu akibat daripada Revolusi Prancis adalah terjadinya perubahan
dalam bidang sosial, di antaranya bidang pendidikan dan pengajaran. Hal ini
disebabkan karena perhatian yang cukup besar dari Napoleon terhadap bidang
tersebut. Perubahan yang mendasar yang pertama kali dibangun oleh Napoleon
50
Edi S. Ekadjati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (Sampai Dengan Tahun 1950),
(Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, 1986), hal. 39-40.
51
rakyat. Adapun para pengajarnya adalah para dokter yang berada di Batavia (Jakarta)
dengan menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Selain itu, dengan
dalih untuk memajukan seni tari rakyat, pada tahun yang sama didirikan tiga buah
sekolah gadis (ronggeng) di Cirebon yang berada di bawah tanggungan sultan.
Selama 4 (empat) tahun para gadis ini diajarkan pelajaran menari, menyanyi,
membaca dan menulis. Pada dasarnya, sekolah ini memang sengaja didirikan untuk
mendemoralisasikan pemuda/pemudi Indonesia, dengan demikian semangat heroisme
dan patriotisme rakyat Indonesia semakin menurun dan tidak menaruh perhatian
terhadap agitasi atau hasutan politik. Namun pihak penyelengara sekolah memberikan
kebijakan kepada para siswi yang berasal dari keluarga tidak mampu untuk
dibebaskan dari biaya pendidikan.28
Pada dasarnya, secara sederhana sistem perkebunan Eropa (European
Plantation) di suatu wilayah senantiasa diikuti oleh terjadinya perluasan birokrasi
pemerintah kolonial Belanda. Terlebih karena Belanda sendiri memiliki kepentingan
lain yaitu mencetak tenaga kerja yang ahli dan terdidik. Dengan demikian, tidaklah
mengerankan jika dikatakan bahwa sistem pendidikan yang dibangun di Jawa Barat
merupakan suatu fenomena yang seiring berjalan beriringan dengan munculnya
sistem perkebunan Eropa serta perluasan birokrasi pemerintah kolonial. Namun
demikian, meskipun Belanda memberikan kesempatan kepada rakyat pribumi untuk
mengenyam pendidikan, tetap saja terdapat suatu garis pemisah yang tajam antara
28
52
kedua subsistem, yakni sekolah Eropa dan sekolah pribumi. Sebetulnya hal tersebut
dipandang wajar terjadi karena tujuan utama pemerintah kolonial Belanda
menyelenggarakan pendidikan bagi kaum pribumi hanyalah untuk kepentingan sistem
tanam paksa semata, dimana para tenaga kerja memiliki keahlian yang baik dalam
melaksanakan setiap tugas yang diberikan. Seperti telah dikemukakan pada
pembahasan sebelumnya, dengan diberlakukannya sistem dualistis tersebut,
setidaknya bisa dibedakan empat kategori sekolah sebagai perpaduan antara kedua
subsistem tersebut, yakni:
1. Sekolah Eropa. Sekolah ini sepenuhnya memakai model sekolah negeri
Belanda dengan menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar,
terlebih karena para siswa yang belajar di sekolah tersebut adalah khusus
diperuntukkan bagi anak-anak yang berasal dari Eropa. Sekolah seperti ini
direalisasikan oleh pemerintah kolonial Belanda salah satunya dengan
mendirikan sekolah pertama yang diperuntukkan bagi anak-anak Eropa,
yaitu Europeesche Lagere School (ELS). Sekolah ini mulai dibuka pada 24
Februari 1817 di Jakarta seiring dengan beralihnya kekuasaan pemerintah
kolonial Belanda atas VOC di Pulau Jawa pada 1816. Adapun sistem yang
digunakan pada ELS adalah mencontoh sekolah dasar yang ada di Negeri
Belanda.29
29
53
2. Sekolah pribumi kelas satu. Sekolah ini diperuntukkan bagi rakyat pribumi
yang berasal dari golongan menengah ke atas, dan bagi masyarakat Cianjur
sendiri sekolah ini disebut sebagai sekolah bagi kaum menak (priyayi).
Dalam melaksanakan sistem belajar mengajar, sekolah ini hampir sama
dengan sekolah Eropa karena menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar. Perbedaannya terletak pada status anak didiknya karena siswa/i
yang belajar di sekolah tersebut berasal dari rakyat pribumi. Namun
demikian, hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka karena dapat
disejajarkan
dengan
anak-anak
Eropa
lainnya
dalam
mengenyam
pendidikan.
3. Sekolah pribumi kelas dua. Berbeda dengan sekolah pribumi kelas satu,
sekolah ini diperuntukkan bagi rakyat pribumi yang berasal dari golongan
menengah ke bawah. Selama melaksanakan proses belajar mengajar, bahasa
yang digunakan sebagai pengantar adalah Bahasa Indonesia. Meskipun
demikian, sekolah pribumi baik sekolah kelas satu maupun kelas dua tetap
dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda.
4. Sekolah pribumi.30 Seperti kedua sekolah pribumi yang telah dikemukakan
sebelumnya, sekolah ini pun adalah sekolah yang diperuntukkan bagi
masyarakat pribumi. Perbedaannya terletak pada sistem pembelajarannya
30
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari
Kolonialisme Sampai Imperialisme, (Jakarta: Gramedia, 1990), Jilid 2, hal. 76.
54
yang langsung dikelola oleh rakyat pribumi, biaya yang dikeluarkan selama
proses pendidikan berlangsung pun dibebankan kepada pengelola. Pendirian
sekolah seperti ini sebetulnya sudah pernah dirancang oleh Daendels pada
awal kepemimpinannya di Pulau Jawa tahun 1808 dengan memerintahkan
kepada para bupati, termasuk bupati Cianjur yang pada saat itu dijabat oleh
Raden Adipati Wira Tanu Datar VI untuk mendirikan sekolah-sekolah yang
memberikan pendidikan berdasarkan adat istiadat, undang-undang dan
pokok-pokok pengertian keagamaan (Islam). Namun rencana tersebut gagal
seiring dengan kedatangan Inggris. Dalam perkembangannya sekolah ini
disebut dengan Geestelijke Scholen (Sekolah-sekolah Agama) atau lebih
dikenal dengan nama pesantren.
Munculnya pesantrean di Jawa Barat bermula dari lembaga pendidikan yang
didirikan oleh ulama dari tanah Arab yang bernama Syarif Hidayatullah ke Pulau
Jawa, tepatnya ke daerah Sembung, Cirebon pada 1470.31Lembaga pendidikan
tersebut mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam kepada kaum muslimin, khususnya
bagi para muallaf (orang yang baru memeluk Islam) serta menyiapkan kader-kader
muballigh. Para kader muballigh tersebut kemudian dikirim ke daerah pedalaman
dengan tugas menyebarkan agama Islam ke seluruh penduduk Sunda. Berkat usaha
31
Hal ini sepadan dengan keterangan yang menyebutkan bahwa pada tahun yang sama
Cirebon kedatangan seorang ulama besar agama Islam yang bernama Syeikh Syarif Hidayatullah.
Beliau adalah seorang putera yang terlahir dari pasangan Syarif Abdulah dan Rara Santang atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Syarifah Modaim. Sejarah Kuningan, http://www.kuningan.go.id/
modules.php?op=modload&name=Sections&file=index&req=viewarticle&artid=119&page=1
55
32
Edi S. Ekadjati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 20-34.
56
33
Reiza, D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 64. Lih. ANRI,
Koleksi Arsip Priangan, Politiek Verslag 1856, Bundel 1/2.
57
berada di Afdeling Cicalengka.34 Di dua kabupaten lain di luar Cianjur, Sukapura dan
Bandung, juga mengalami peningkatan jumlah pesantren. Di kabupaten Sumedang,
dari 84 pesantren pada 1856 menjadi 122 pesantren pada 1873. Dari jumlah tersebut,
22 pesantren terletak di Afdeling Sumedang dan 100 pesantren terletak di Afdeling
Tasikmalaya. Kabupaten Limbangan, yang pada 1856 memiliki 53 pesantren, pada
1873 tercatat memiliki 68 pesantren.35
Seiring dengan terjadinya peningkatan jumlah pesantren, secara tidak
langsung terjadi pula peningkatan jumah guru. Pada 1856, jumlah guru hanya
mencapai 27 orang, namun memasuki 1873 jumlahnya meningkat menjadi 171 orang
guru. Dari 171 orang guru tersebut, 136 orang guru bertugas di Afdeling Cianjur dan
sisanya sebanyak 35 orang mengajar pada pesantren-pesantren di Afdeling Sukabumi.
Dengan demikian, dibandingkan Afdeling Sukabumi, jumlah guru yang terdapat di
Afdeling Cianjur tidak sebanding dengan jumlah pesantren yang dimiliki yakni 139
pesantren. Melihat perbandingan jumlah pesantren dan guru yang tidak sama tersebut,
bisa dipastikan terdapat guru di Afdeling Cianjur yang mengajar lebih dari satu
pesantren.
Selain ditandai dengan terjadinya peningkatan jumlah pesantren serta para
pengajar, terjadi pula peningkatan jumlah santri yang menimba ilmu di pesantren di
Kabupaten Cianjur. Peningkatan jumlah santri di pesantren untuk seluruh Kabupaten
34
35
58
Cianjur mencapai 2.791 orang santri, yakni dari 1.090 orang santri pada 1856
menjadi 3.881 orang pada 1873. Peningkatan jumlah santri hingga lebih dari tiga kali
lipat ini menandakan besarnya antusias penduduk Cianjur untuk menimba pendidikan
di pesantren. Dari 3.881 orang santri pada pesantren di Kabupaten Cianjur, sebanyak
2.872 orang berada di Afdeling Cianjur dan sisanya sebanyak 1.009 orang berada di
Afdeling Sukabumi. Apabila diperinci, dari 2.872 orang santri yang berada di
Afdeling Cianjur, sebanyak 1.671 orang berasal dari kabupaten Cianjur dan sisanya
sebanyak 1.201 orang santri berasal dari luar Kabupaten Cianjur. Dari angka tersebut
diperoleh gambaran bahwa untuk Afdeling Cianjur, tiap-tiap pesantren rata-rata
memiliki santri 20 orang dengan asumsi 2872 murid dibagi dengan 139 pesantren.
Untuk Afdeling Sukabumi, dari 1.009 orang santri yang menimba ilmu di pesantren,
sebanyak 947 santri berasal dari Kabupaten Cianjur dan sisanya sebanyak 62 orang
santri berasal dari luar Kabupaten Cianjur. Dengan demikian, tiap-tiap pesantren di
Afdeling Sukabumi rata-rata memiliki santri sebanyak 29 orang dengan asumsi 1.009
santri dibagi dengan 35 pesantren
36
pesantren di Kabupaten Cianjur pada 1873 sebanyak 22 orang dengan asumsi 3.881
santri dibagi 174 pesantren. Jumlah rata-rata ini menunjukkan adanya penurunan
apabila dibandingkan jumlah rata-rata santri yang dimiliki pesantren di Kabupaten
Cianjur pada 1856 dengan asumsi 1.090 santri dibagi 27 pesantren.37
36
37
59
60
Reiza, D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 68. Dikutip dari
Algemeen Verslag van het Middelbaaren Lager Onderwijs voor Europeanen in Nederlandch-Indies
over 1895 (Batavia: Landsdrukkerij, 1896), hal. 163-165 dan 208-209.
61
murid Tweede Klasse School Cianjur yang berjumlah 64 orang tersebut tersebar di
tiga tingkatan kelas, masing-masing 37 orang di laagste klasse, 20 orang di Middelste
Klasse, dan 7 orang di Hoogste Klasse.
Untuk operasionalnya Tweede Klasse School Cianjur, pemerintah kolonial
Belanda pada 1904 mengeluarkan dana f. 5.790. Dana tersebut digunakan untuk
menggaji seorang guru yang sekaligus sebagai kepala sekolah, seorang guru bantu,
dan seorang pembantu. Untuk gaji seorang guru yang bukan guru bantu sebesar f.
4.200 setiap tahun atau f. 350 setiap bulan, untuk gaji seorang guru bantu sebesar f.
1.500 setiap tahun atau f. 125 setiap bulan, dan untuk gaji seorang pemantu sebesar f.
90 setiap tahun atau f. 7,5 setiap bulan. Dari gambaran tersebut, dibandingkan
anggaran yang dikeluarkan pada 1891, jumlah anggarang yang diberikan oleh
pemerintah kolonial Belanda pada 1904 untuk menggaji para guru dan pembantu di
tweede klasse school Cianjur berkurang f. 1.500. Pengurangan terbesar dialami pada
1904 oleh pos anggaran yang digunakan untuk menggaji guru yang bukan guru bantu,
yakni f. 1.200 atau dari f. 5.400 pada 1891 menjadi f. 4200. Sisanya sebesar f. 300
terjadi pada pos anggaran untuk menggaji seorang guru bantu, yakni dari f. 1.800
pada 1891 menjadi f. 1.500 pada 1904. Salah satu kemungkinan alasan terjadinya
penurunan gaji para guru ini yaitu telah banyaknya jumlah guru yang dimiliki
pemerintah kolonial
berbagai daerah. Hal ini menuntut adanya penyebaran anggaran pendidikan yang
lebih merata. Di samping tercatat sebagai satu-satunya Openbare Lagere School di
62
Afdeling Cianjur, hingga 1904 Tweede Klasse School Cianjur juga tercatat sebagai
salah satu dari 12 Openbare Lagere Scholen di Priangan.
Memasuki dasawarsa kedua hingga berakhirnya kekuasaan pemerintah
kolonial, perkembangan infrastruktur pendidikan di Cianjur terlihat lebih dinamis
dibanding periode sebelumnya. Hal ini tidak hanya ditandai oleh terjadinya
peningkatan jumlah murid tetapi ditandai pula oleh munculnya berbagai sekolah baru,
baik yang menggunakan sistem Barat maupun sistem pribumi. Beragamnya jenjang
dan jenis pendidikan yang berdiri di Cianjur dalam abad ke-20 tidak bisa dilepaskan
dari munculnya dua aliran pendekatan yang berbeda dalam menentukan jenis dan
sasaran pendidikan yang dilaksanakan. Pendekatan pertama, yang dikenal dengan
pendekatan elitis, diintroduksikan olek Snouck Hurgronje dan J. H. Abendanon yang
pada saat itu menjabat sebagai direktur pendidikan pemerintah kolonial pada 19001905. Sesuai dengan sasarannya, sistem ini bertujuan untuk menghasilkan golongan
elit Indonesia berpendidikan Barat (westernized), yang berorientasi pada birokrasi,
paternalistis, kooperatif, sekuler, dan dapat menjadi panutan bagi golongan bawah
masyarakat tanah jajahan. Pendekatan elitis ini lebih menghendaki bentuk pendidikan
model Barat dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Sekolah-sekolah yang didirikan untuk tujuan pertama, misalnya sekolah pribumi
kelas satu (Eerste Klasse Inlandsche School), HIS (Hollandsche-Inlandsche School),
AMS (Opleiding Scholen voor Inlandsche Ambtenaren), dan STOVIA (School tot
Opleiding van Inlandsche Artsen). Pendekatan kedua, yang dikenal dengan
63
64
65
66
Eropa dan 4 orang pribumi. Untuk kelas satu, ada 14 orang siswa, yang terdiri
atas 6 orang Eropa, 6 orang pribumi, dan dua orang Timur Asing. Untuk kelas
dua, ada 11 orang siswa, yang terdiri atas 5 orang Eropa, 3 orang pribumi, dan 3
Timur Asing. Untuk kelas tiga ada 14 orang siswa, yang terdiri atas 9 orang Eropa
dan 5 orang pribumi. Untuk kelas empat ada 17 orang siswa, yang terdiri atas 10
orang Eropa, 4 pribumi, dan 3 Timur Asing. Untuk kelas lima, ada 8 orang siswa,
yang terdiri atas 4 orang Eropa, 1 orang pribumi, dan 3 orang Timur Asing. Untuk
kelas enam, ada 15 orang siswa, yang terdiri atas 5 orang Eropa, 7 orang pribumi
dan 3 orang Timur Asing. Untuk kelas tujuh, ada 13 orang siswa, yang terdiri atas
5 orang Eropa, 4 orang pribumi, dan 5 orang Timur Asing. Dari gambaran data
siswa di tiap-tiap kelas tersebut tampak bahwa dari keseluruhan 7 (tujuh)
tingkatan kelas yakni 1 kelas pendahuluan ditambah dengan 6 kelas jumlah
murid pribumi di sebagian besar tingkatan selalu kalah banyak dibandingkan
murid Eropa. Hanya pada kelas pendahuluan dan kelas lima saja, jumlah murid
pribumi terlihat lebih banyak dari jumlah murid Eropa. Jumlah tenaga pengajar
yang bertugas di Europeesche Lagere School Cianjur tercatat ada 4 orang, yang
terdiri atas 2 orang guru pria, yang satu di antaranya sekaligus bertugas sebagai
kepala sekolah, serta 2 orang guru wanita.42
42
67
43
Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 58-59
68
44
69
70
bekerja sebagai pegawai pamong praja dengan penghasilan kurang dari f. 100
setiap bulan dan 140 orang murid (105 pria dan 35 wanita) berasal dari keluarga
yang orang ruanya bergerak di bidang swasta. Sisanya sebanyak 76 orang murid
(45 pria an 31 wanita) berasal dari kelas atas. Murid-murid tersebut adalah murid
yang orang tuanya bekerja sebagai pegawai pamong praja dengan penghasilan di
atas f. 100 sebulan.45
45
46
71
47
72
Edi S. Ekadjati dkk. Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 58.
73
Reiza D. Dienaputra, Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, hal. 74. Dikutip dari
Arsip Nasional Republik Indonesia, Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Barat), Penerbitan
Sumber-sumber Sejarah No. 8, (Jakarta: arsip Nasional Republik Indonesia, 1976), hal. 99-100
74
abad ke-20. adapun jumlah seluruh murid yang menimba ilmu di seluruh volkschool
di Kabupaten Cianjur hingga dasawarsa keempat abad ke-20 berjumlah 14.357 orang.
Untuk mengelola seluruh volkschool di Cianjur terdapat 302 orang sebagai tenaga
pengajar.
Dalam hal ini, para lulusan volkschool yang ingin melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi, diwajibkan untuk melanjutkan studinya di vervolgschool
(Sekolah Lanjutan). Hingga dasawarsa keempat abad ke-20, terdapat 10 buah
vervolgschool yang didirikan di Cianjur. Kesepuluh vervolgschool tersebut tersebar di
daerah Cianjur, Cibeber, Pacet, Ciranjang, Cikalong Kulon, Sukanagara, dan
Sindangbarang. Pada awal dasawarsa keempat abad ke-20 terdapat 1.094 murid
lulusan volkschool yang menimba ilmu di seluruh vervolgschool di Kabupaten
Cianjur.
Adapun Openbare Inlandsche School der Tweede Klasse atau sekolah
rendah pribumi kelas dua adalah sekolah yang diperuntukkan bagi penduduk pribumi
dari kelas menengah. Lama pendidikan untuk sekolah rendah kelas dua ini adalah
lima tahun. Sekolah rendah kelas dua banyak didirikan di distrik-distrik sehingga
dikenal dengan nama sekolah distrik. Hingga 1933 terdapat 15 sekolah rendah kelas
dua di seluruh Kabupaten Cianjur. Sekolah-sekolah kelas dua ini tersebar di daerah
Cianjur, Cibeber, Pacet, Ciranjang, Cikalong Kulon, Sukanagara, dan Sindangbarang.
Untuk memberikan pelajaran kepada 2.000 orang murid sekolah rendah kelas dua,
75
ada 66 tenaga pengajar. Murid-murid yang berjumlah 2.000 orang di seluruh sekolah
rendah kelas dua di Kabupaten Cianjur tersebar di lima tingkatan kelas.
Sedangkan Sekolah Sarekat Islam merupakan sekolah rendah yang didirikan
oleh Sarekat Islam yang dinamai Sekolah SI lokal. Hingga awal dasawarsa keempat
abad ke-20 telah berhasil didirikan 3 buah sekolah SI lokal di Kabupaten Cianjur.
Ketiga sekolah SI lokal tersebut terdapat di desa Cianjur Kaler, Cipanas dan Desa
Jambudipa. Pada 1933, terdapat guru 5 orang dan 219 orang murid yang menimba
ilmu di seluruh sekolah-sekolah SI lokal.
Kesatrian School juga turut meramaikan maraknya lembaga pendidikan di
Cianjur. Sekolah ini didirikan oleh Ksatrian Instituut yang berpusat di Bandung.
Kesatrian School Cianjur merupakan satu dari dua sekolah Ksatrian Instituut yang
didirikan oleh mantan tokoh Indische Partij, E.F.E Douwes Dekker yang lebih
dikenal dengan nama Dr. Danudirdjo Setiabudi. Lembaga ini adalah kelanjutan dari
sebuah sekolah swasta di Jalan Kebon Kalapa 17 Bandung yang dipimpin oleh Ny. H.
F. Mayer-Elenbaas. Diceritakan bahwa pada saat itu Douwes Dekker baru keluar dari
penjara di Jakarta, kemudian ia berusaha untuk mendapat pekerjaan pada sekolah
yang dipimpin oleh Ny. Mayer. Hal ini juga disampaikan kepada Residen Priangan
dan direspon dengan mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal Van Limburg
Stirum untuk meminta pertimbangan dan menyatakan keberatan residen atas maksud
Douwes Dekker. Hal itu dilakukan mengingat suami Ny. Mayer tercatat sebagai
seorang komunis, dan residen memiliki kehawatiran seandainya Douwes Dekker
76
bekerja bersama dengan Ny. Mayer maka besar kemungkinan ia akan terpengaruh
dengan paham komunis dan bergerak menentang pemerintah.50
Akan tetapi Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum ternyata berpendapat
lain. Melalui surat rahasia nomor da/1 tanggal 15 Januari 1921, Gubernur menyatakan
bahwa bagi seorang yang mengalami tekanan batin seperti Douwes Dekker, lebih
baik diberi kesempatan untuk mendapatkan nafkah secara legal, daripada menghasut
rakyat. Dengan adanya pernyataan gubernur, maka residen pun menyetujui maksud
Douwes Dekker tersebut. Akhirnya, sejak bulan September 1922 ia diperkenankan
bekerja pada sekolah Ny. Mayer dan diangkat sebagai guru pada sekolah tersebut.
Sejak itulah Douwes Dekker mencurahkan perhatian dan mengabdikan diri
sepenuhnya terhadap dunia pendidikan, dengan cita-cita agar dapat membantu rakyat
bumiputera dalam meningkatkan pendidikan.
Selama kurang lebih satu tahun bekerja, yaitu pada 1923, sekolah Ny.
Mayer berganti nama menjadi Prianger Instituut van de Vereeniging Colksonderwijs
(Institut Priangan dari Perserikatan Pendidikan Rakyat), dan Douwes Dekker
diangkat menjadi direktur MULO dari lembaga pendidikan tersebut.
Kurikulum yang diterapkan pada Priangan Institut disesuaikan dengan
kurikulum Europeesche Lagere School (ELS) dengan ditambah Bahasa Belanda, hal
itu pun dilakukan karena adanya desakan dari orang tua murid. Douwes Dekker
sendiri sebenarnya tidak setuju dengan kurikulum pendidikan yang telah didirikan
50
Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 88-89.
77
oleh pemerintah tersebut karena dianggap tidak berdiri atas dasar nasional. Douwes
Dekker menghendaki agar pendidikan di sekolahnya lebih difokuskan pada
pembinaan sikap hidup agar memiliki harga diri dan kesadaran nasional yang kuat.
Atas dasar itulah, maka pada bulan November 1924, sekolah tersebut berganti nama
menjadi Ksatrian Instituut. Salah satu tujuan penting dibukanya lembaga pendidikan
olah Ksatrian Instituut, yaitu memperkuat dan menciptakan rasa harga diri,
pengembangan inisiatif dan kesadaran kemerdekaan, meninggikan peradaban sendiri
berdasarkan rasa cinta kepada lingkungan, tanah air, bangsa, dan kepada
kemanusiaan. Untuk menunjang tujuan tersebut, kurikulum di sekolah rendah
Ksatrian Cianjur diarahkan pada pengjaran berdasarkan jiwa nasional dan pendidikan
ke arah manusia yang berpikiran merdeka. Kurikulum yang mulai dijalankan sejak
1924 ini mengubah kurikulum lama yang bentuknya disesuaikan dengan kurikulum
ELS ditambah pelajaran Bahasa Belanda.51
HIS Pasundan Cianjur didirikan oleh Panguyuban Pasundan. Adapun HIS
pertama yang didirikan oleh Panguyuban Pasundan adalah HIS Tasikmalaya yang
dibangun pada 1922.52 HIS Pasundan Cianjur, yang didirikan setelah berdirinya HIS
Pasundan Tasikmalaya, merupakan satu Di antara beberapa HIS Pasundan yang
memiliki gedung pendidikan sendiri yang cukup representatif. Pada akhir kekuasaan
pemerintahan kolonial Belanda, jumlah murid di HIS Pasundan Cianjur lebih banyak
51
78
dibandingkan jumlah murid HIS Pasundan pada umumnya. Jumlah murid HIS
Pasundan Cianjur pada 1941 ada 501 orang murid. Jumlah murid tersebut, hanya bisa
diungguli oleh HIS Pasundan Bandung, yang memiliki murid 619 orang, selain HIS
Pasundan Puurwakarta yang memiliki murid 519 orang. Selain diajarkan mata
pelajaran umum, murid-murid HIS Pasundan Cianjur juga diberikan pelajaranpelajaran yang menjadi identitas sekolah, antara lain tarian Sunda, lagu Sunda,
pencak silat, bahasa dan sastera Sunda, serta agama Islam.
Di luar sekolah-sekolah rendah tersebut, ada beberapa sekolah rendah lain
yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar yang dikelola oleh pihak
swasta. Satu di antaranya adalah Arabische School Janatoettalib Wal Miskin (Sekolah
Rendah Arab Janatoettalib wal Miskin). Sekolah yang khusus untuk orang Arab ini,
di Cianjur hanya ada satu sekolah yang dipimpin oleh Raden Mamoer. Lembaga
pendidikan swasta lain, yang termasuk sekolah rendah dan mengalami perkembangan
pesat pada abad ke- 20 yaitu sekolah-sekolah rendah yang oleh pemerintah kolonial
dikategorikan kedalam Mohammedaansche Godsdienstscholen (Sekolah Agama
Islam).53
Sekolah rendah lain yang memiliki orientasi keagamaan yang tetap
berkembang di Cianjur adalah sekolah zending (zendingschool). Hingga akhir
dasawarsa abad ke-20, di Cianjur ada tiga sekolah zending. Sekolah-sekolah tersebut
mendapat subsidi dari pemerintah kolonial belanda. Di luar Cianjur, daerah lain di
53
79
80
murid Sekolah Kejuruan Wanita Kautamaan Istri Cianjur, antara lain berhitung,
menulis, bahasa Sunda, bahasa Belanda, bahasa Melayu, Budi Pekerti, Agama, serta
pengetahuan (keterampilan) wanita, seperti membatik dan merenda. Pada masa awal
pendiriannya, Sekolah Kejuruan wanita Kautamaan Istri Cianjur yang dipimpin oleh
Raden Siti Djenab hanya memiliki murid 27 orang. Jumlah ini dari tahun ketahun
semakin meningkat, adapun lulusan Sekolah Kejuruan Wanita Kautamaan Istri
Cianjur ada yang melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru Van Deventer di
Bandung atau ke sekolah guru di Salatiga.55
Selain Sakola Kautamaan Istri, berdiri pula Sekolah Kejuruan Wanita
Pasundan Istri (Pasi-Vakschool) yakni sekolah kejuruan wanita yang didirikan oleh
Pasundan Istri (PASI). Keberadaan Pasi-Vakschool di Cianjur bisa dikatakan
istimewa mengingat untuk seluruh Jawa Barat hanya ada 3 buah Pasi-Vakschool. Dua
Pasi-Vakschool lainnya terdapat di Bandung dan Sukabumi. Di luar sekolah kejuruan
PASI juga membuka Atikan Murangkalih Istri (AMI), yakni semacam kursus yang
ditujukkan bagi murid-murid wanita yang telah menyelesaikan sekolah kelas dua.
Dalam kursus yang memungut biaya pendidikan sangat murah ini, para murid
diberikan pelajaran-pelajaran rumah tangga. Sebagaimana halnya Pasi-Vakschool,
keberadaan AMI di Cianjur pun istimewa karena untuk seluruh Jawa Barat, AMI
hanya bisa ditemukan di tiga tempat lain, yaitu Bogor, Tasikmalaya, dan Bandung.
55
Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 84-85.
81
Cianjur dimanfaatkan
82
(Legercommandant)
Ter
Poorten
atas
nama
Pemerintah
Hindia
Belanda
yang
sengit.
Padahal
pada
mulanya
mereka
senantiasa
83
adalah mengenai buku pelajaran karena semua buku pelajaran saat itu ditulis dalam
Bahasa Belanda, sedangkan pemerintah Jepang sendiri melarang seluruh bangsa
Indonesia untuk menggunakan bahasa tersebut. 57
Kondisi seperti ini juga berimplikasi pada terhentinya proses belajar
mengajar pada Sakola Kautamaan Istri yang dikelola oleh Raden Siti Djenab di
Cianjur karena pemerintah Jepang telah menutup seluruh sekolah lanjutan yang ada di
Indonesia. Namun demikian, pemerintah Jepang telah melakukan beberapa reformasi
pendidikan salah satunya dengan menjadikan sekolah dasar 3 tahun menjadi 6 tahun.
Sistem seperti ini masih tetap digunakan hingga sekarang.
Dasar dari pendidikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Bangsa
Jepang pada saat itu hanya sebatas pada pengabdian kepada pemerintah dengan tidak
mengindahkan pertumbuhan dan perkembangan pribadi sang anak didik. Terlebih
karena pada saat itu pendidikan pun diliputi dengan suasana perang. Kalau pun
terdapat nyanyian-nyanyian, semboyan-semboyan dan berbagai macam latihan yang
diajarkan di sekolah dilakukan semata-mata hanya untuk persiapan lahir batin
menghadapi peperangan. Bahkan untuk menghapuskan ingatan rakyat Indonesia
kepada pemerintah Belanda, pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai macam
kebijakan, di antaranya:
1. Kewajiban untuk menggunakan Bahasa Indonesia pada semua jenjang
pendidikan.
57
Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 107-108
84
58
Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 108-109
85
BAB III
RIWAYAT HIDUP RADEN SITI DJENAB
Tidak banyak sumber tertulis yang merekam riwayat hidup Raden Siti
Djenab. Sejauh penelitian ini dilakukan, penulis hanya menemukan beberapa catatan
tertulis tentang sosok tokoh pendidikan perempuan asal Cianjur ini. Data tersebut di
antaranya diperoleh dari Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Cianjur.
Data dari sumber ini pun hanya menampilkan laporan singkat tentang sejarah hidup
Raden Siti Djenab. Adapun sumber tertulis lainnya merupakan hasil penelitian
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah yang dilakukan oleh Edi S. Ekadjati dkk. dan telah dikemas
dalam sebuah buku.1 Namun demikian, ilustrasi tentang Raden Siti Djenab yang
dipaparkan di dalam buku tersebut juga tidak memuat informasi yang ekstensif
tentang sejarah hidup sang tokoh. Pembahasan tentang aspek ini hanya muncul dalam
salah satu sub bab yang sangat ringkas. Selain itu, pada bagian-bagian lain masih
terdapat deskripsi data-data yang tidak konsisten dan saling bertentangan antara satu
sama lain, nampak masih seperti sebuah kepingan puzzle yang belum tersusun.
Edi S. Ekadjati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (Sampai Dengan Tahun 1950),
(Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, 1986), hal. 73-74. Berdasarkan hasil wawancara dengan putera-puteri Raden Siti
Djenab pada November 1980.
Oleh karena itu, untuk memperoleh data yang lebih komprehensif, penulis
merasa perlu secara langsung terjun ke medan penelitian untuk menelusuri informasi
tentang kisi-kisi kehidupan Raden Siti Djenab melalui penuturan orang-orang yang
pernah kontak secara langsung dengan beliau, baik keluarganya maupun siswi yang
pernah mengeyam pendidikan di Sakola Kautamaan Istri pimpinan beliau.
Data-data yang diperoleh dari kedua sumber ini -tertulis dan wawancaraselanjutnya dianalisis dengan pendekatan kritik sejarah untuk memperoleh sebuah
konklusi yang lebih mendekati kebenaran. Kritik sejarah ini berfungsi menetapkan
validasi dari sumber-sumber sejarah, menguraikannya kepada unsur-unsurnya yang
baku serta membuat perbandingan serta evaluasi antara satuan-satuannya satu
persatu.2
Hasan Utsman, Manhaj al-Bahts al-Trkh, (Mesir: Dar al-Marif, tt), Cet. IV, Hal.159,
terj. Tim Penerjemah Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di
Jakarta, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departeman Agama R.I., 1986.
3
Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 73.
87
menyebutkan bahwa Raden Siti Djenab dilahirkan di Cianjur pada tahun 1884.4 Data
yang terakhir ini senada dengan keterangan yang diberikan oleh Muhammad Mangun
Sudarso, salah satu menantu Raden Siti Djenab yang menikah dengan puteri
bungsunya, Siti Nani Khaerani pada 1962. Dalam hal ini, terdapat perbedaan
pendapat mengenai waktu lahir Raden Siti Djenab. Pendapat pertama mengatakan
bahwa Raden Siti Djenab lahir pada tahun 1890, sedangkan pendapat yang kedua
mengatakan bahwa Raden Siti Djenab dilahirkan pada tahun 1884. Perbedaan
pendapat seperti ini wajar terjadi karena adanya perbedaan sumber (informan) dan
waktu penelitian. Penelitian pertama dilakukan oleh Ekadjati pada tahun 1980,
sedangkan penelitian kedua dilakukan Tim Peneliti Arsip dan Perpustakaan Daerah
Kabupaten Cianjur pada tahun 2005. Selain itu, fokus penelitian yang dilakukan juga
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Penelitian pertama megambil tema
tentang sejarah perkembangan pendidikan di Jawa Barat hingga tahun 1950,
sedangkan penelitian yang kedua lebih difokuskan pada penelusuran tokoh-tokoh
karuhun Cianjur.
Raden Siti Djenab sendiri terlahir dari golongan menak (priyayi). Ayahnya
merupakan seorang tokoh yang cukup terkemuka di Cianjur, sementara ibunya
seorang putri keturunan ningrat dari Brebes, Jawa Tengah. Hingga penelitian ini
dilakukan, tidak ditemukan data otentik yang menyebutkan tentang profesi dari kedua
Data Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Cianjur, Jl. Selamet Riyadi No. 1
Cianjur .
88
orang tua Raden Siti Djenab. Kendati demikian, perlu digarisbawahi informasi yang
diperoleh dari Sudarso, menantu Raden Siti Djenab dari anak bungsunya yaitu Raden
Siti Nani Khaerani, yang menyebutkan bahwa Raden Martadilaga sesungguhnya
bukanlah penduduk asli Cianjur, namun berasal dari daerah Priangan Timur. Beliau
memiliki kebiasaan hijrah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menimba ilmuilmu agama Islam, sehingga dijuluki orang yang nyantri.5 Raden Siti Djenab sendiri
adalah putri ketiga dari delapan bersaudara, yaitu: (1) R. A. Abdurrakhman, (2) Nyi
Raden Siti Aisah, (3) Ir. R. H. Muh. Enoch, (4) Nyi Raden Siti Djenar (5) Nyi Raden
Siti Rukiyah, (6) Raden Mustarom, dan (7) Nyi Raden Siti Kuraesin.
Ekadjati mengemukakan bahwa saudara Raden Siti Djenab yang paling
tua, Abdurrakhman, pernah menjabat sebagai Bupati Meester Cornelis (sekarang
menjadi Jatinegara, Jakarta Timur). Selain itu, Enoch, kakaknya yang ketiga
dinobatkan sebagai insinyur praktek pertama di Indonesia, sementara Siti Djenar
pernah menjabat sebagai Ketua Komisi I Kantor Pos Cianjur. Tidak hanya itu,
adiknya,
Raden
Mustarom
juga
pernah
menjabat
sebagai
Patih
Kepala
Hasil wawancara penulis dengan H. Muhammad Mangun Sudarso dan istrinya, Raden Hj.
Sutiar, bertempat di kediaman mereka di Jl. Dr. Muwardi, belakang No. 184, Cianjur, Senin, 26
September 2005, pukul 10.30 11.30 WIB
6
Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 73
89
7
8
90
Satu ini pada tahun 1915 dikembangkan menjadi Hollansch Inlandsche School (HIS:
Sekolah Dasar).9
Menurut asumsi penulis, nampaknya Raden Siti Djenab mengenyam
pendidikan dasar di Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Tweede Klasse).
Asumsi ini berlandaskan pada data yang menyebutkan bahwa pada penghujung abad
ke-19 hanya terdapat dua model Sekolah Dasar Negeri, yaitu: pertama, Sekolah
Dasar Kelas Satu (De Scholen der Eerste Klasse) yang dikhususkan untuk anak-anak
golongan Bumiputra yang terhormat, seperti anak-anak bangsawan dan tokoh-tokoh
terkemuka, dengan masa belajar 3 (tiga) tahun, kedua, Sekolah Dasar Kelas Dua (De
Scholen der Tweede Klasse) yang diperuntukkan untuk masyarakat umum dengan
masa belajar 5 tahun.10 Di Afdeling Cianjur sendiri pada saat itu hanya terdapat
sekolah model yang kedua ini.
Asumsi ini selaras dengan keterangan yang dikemukakan oleh Dienaputra:
91
12
13
92
pada Sekolah Dasar Kelas Dua (Tweede Inlandse School) yang terletak di daerah
Joglo, Cianjur,14 sebelum mengkonsentrasikan diri di Sakola Kautamaan Istri yang
akan dirintis olehnya kemudian.
Setelah kurang lebih dua tahun menjadi guru magang (kweekeling) di
sekolah tersebut, Raden Siti Djenab mulai menaruh perhatian yang lebih serius
terhadap pendidikan kaum perempuan. Akhirnya ia mengajukan usul kepada bupati
untuk mendirikan Sakola Kautamaan Istri dan memulai karirnya dengan mengajar di
sekolah tersebut. Sakola Kautamaan Istri merupakan sekolah yang memiliki concern
terhadap pemberdayaan pendidikan bagi kaum perempuan, sehingga murid-murid
yang belajar di sekolah ini khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan yang tinggal
di wilayah Cianjur dan sekitarnya. Adapun pendiri dari sekolah ini adalah Raden Siti
Djenab bersama-sama dengan Raden Aria Muharram Wiranatakusumah15, yang pada
saat itu menjabat sebagai Bupati Cianjur sebelum beliau dialihtugaskan ke Bandung.
Raden Aria Muharram Wiranatakusumah adalah bupati/regent pertama pada
Kabupaten Cianjur yang berasal dari luar keturunan dalem Cikundul. Perlu diketahui
bahwa sejak berdiri tahun 1677, bupati Cianjur selalu berasal dari karuhun Cikundul.
Pada tahun 1912, R. Aria Muharram Wiranatakusumah diangkat menjadi regent
Cianjur menggantikan mertuanya, Raden Aria Adipati Prawiradireja II yang menjabat
14
93
sebagai regent Cianjur dari tahun 1863 1910. Dengan demikian, kesuksesan R. Aria
Muharram Wiranatakusumah tidak terlepas dari peran serta mertuanya yang berasal
dari keturunan dalem Cikundul.16
Hindarsah, salah seorang guru pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Cianjur yang pensiun pada 1975 mengemukakan bahwa pada saat itu semua orang
yang aktif di dunia pendidikan pada khususnya dan masyarakat Cianjur pada
umumnya merasa heran dan takjub dengan kepribadian dan kemampuan akademis
yang dimiliki oleh Raden Siti Djenab. Belum lagi jika dipertimbangkan cermin
realitas sosial pada saat itu, dimana kiprah kaum perempuan di Cianjur pada
khususnya maupun di Indonesia pada umumnya belum begitu menggema seperti
sekarang ini. Menyeruaknya opini bahwa seorang perempuan hanya memiliki tugas
di dapur, sumur dan kasur nampak sangat mengakar di kalangan masyarakat pada saat
itu. Belum lagi pengaruh dari pemerintah Kolonial Belanda yang acap kali
mendeskriditkan eksistensi kaum perempuan dalam keterlibatan aktif di kancah
perpolitikan dan pendidikan di Indonesia. Kenyataan ini pula yang dialami oleh
Raden Siti Djenab pada saat itu di Cianjur. Namun seiring pergerakan rotasi waktu,
opini itu perlahan-lahan mulai menyusut, terutama ketika beliau diangkat menjadi
guru dan menjabat sebagai kepala sekolah pada Sakola Kautamaan Istri yang
didirikan dan diprakarsai oleh beliau sendiri atas persetujuan Bupati Cianjur, Raden
Aria Muharram Wiranatakusumah. Hampir semua orang dari kalangan elit politik dan
16
94
17
Hasil wawancara penulis dengan H. Ahmad Hindarsah, bertempat di kediaman beliau Jl.
Siliwangi, Gg. Guntur II No. 2101 , Cianjur, Senin, 26 September 2005, pukul 09.000 11.00 WIB.
95
demikian, dapat diduga bahwa proses pendirian Sakola Kautamaan Istri Cianjur
berdiri antara tahun 1912 hingga 1920, yakni sepadan dengan kurun waktu masa
jabatan Wiranatakusumah sebagai Bupati Cianjur.
Dugaan ini nampaknya mendekati kesimpulan yang pasti karena hal ini
secara eksplisit diafirmasi oleh penuturan Wiriaatmadja yang menandaskan:
18
19
96
Masyarakat (SDM) wanita Sunda pada khususnya dan wanita Indonesia pada
umumnya. Selain itu sekolah ini juga meniscayakan kaum wanita untuk mencapai
kemajuan dalam segala bidang tanpa melupakan kodratnya.20
Sementara itu, Sekolah Kautamaan Istri yang bertempat di Kota Garut, Jawa
Barat, didirikan oleh Raden Ayu Lasminingrat pada tahun 1907. Pada awal
pendiriannya, proses pembelajaran dilaksanakan di lingkungan Pendopo Garut,
dengan mengambil tempat di ruang gamelan. Di sekolah tersebut beliau mulai
mendidik beberapa orang putri bangsawan dan anak-anak pesuruh yang ada di
lingkungan kabupaten. Mereka dididik dan diajari membaca, menulis serta berbagai
keterampilan wanita. Raden Ayu Lasminingrat mendirikan sekolah tersebut karena
beliau memiliki sifat dan jiwa pendidik serta menaruh perhatian yang cukup besar
terhadap pendidikan bagi kaum wanita. Selain itu, beliau juga terinspirasi oleh
gagasan-gagasan Raden Dewi Sartika yang kerap kali datang mengunjunginya.
Proses pendiriannya pun tidak terlalu sulit, karena Raden Ayu Lasminingrat adalah
istri seorang Bupati Garut yang bernama R. A. A. Wiratanudatar VIII yang memiliki
kebijakan dan wewenang yang tinggi. Selain itu, beliau juga mendapat dukungan
moril dan materil dari para pejabat pemerintah pada saat itu.21
Penjelasan yang dikemukakan oleh Ekadjati bahwa Sakola Kautamaan Istri
Raden Siti Djenab merupakan perpaduan antara Sakola Raden Dewi di Bandung dan
20
Indonesia Media Online, Januari 2001, Memperingati Hari Lahirnya Raden Dewi Sartika
Tanggal 4 Desember 2000, http://www.indonesiamedia.com/2001/jan/tokoh-0101-dewisartika.htm
21
Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 83 84.
97
Bahasa
Belanda,
Bahasa
Melayu,
Budi
Pekerti,
Agama
dan
98
sudah cukup menggembirakan untuk sebuah lembaga pendidikan yang baru dirintis,
terlebih pada perkembangan selanjutnya jumlah murid di Sakola Kautamaan Istri
semakin meningkat.
Setiap hari Raden Siti Djenab berangkat ke sekolah dan tiba sebelum
pelajaran dimulai. Semua pekerjaannya di sekolah dilakukan dengan gesit, lincah dan
cepat. Setelah lonceng berbunyi, dengan memakai pakaian berupa kain panjang dan
kemben, kebaya sunda, selendang dan sandal selop, beliau segera beraktifitas. Setelah
murid-murid masuk ke kelas, Raden Siti Djenab berkeliling kelas untuk memonitor
seluruh proses belajar mengajar di Sakola Kautamaan Istri. Para staff pengajar yang
sudah berdiri di depan kelas, biasanya keluar sebentar untuk menyapa beliau dan
bersalaman dengan salam menurut tata cara Sunda, yaitu dengan cara berjabat tangan
dengan posisi badan sedikit membungkuk kemudian mencium punggung tangan
orang yang disalaminya. Hal tersebut dilakukan seseorang sebagai rasa hormat dan
simpati kepada orang yang memiliki derajat yang lebih tinggi, dan biasanya
dilakukan kepada orang tua, guru serta sanak famili yang usia atau garis
keturunannya lebih tinggi.
segera, maka moment seperti ini terkadang digunakan oleh Raden Siti Djenab untuk
berdiskusi dengan tenaga pengajar tersebut. Semua rutinitas tersebut dilakukannya
dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apa pun.
Raden Siti Djenab adalah seorang guru sekaligus pemimpin yang tegas dan
bijaksana. Ia senantiasa mengharapkan agar semua siswinya dapat menjadi orang
99
yang disiplin dalam semua hal. Salah satu bentuk kedisiplinan yang diterapkan
kepada para siswinya adalah adanya larangan untuk membeli makanan (jajan) di luar
sekolah tanpa sepengetahuan beliau dan/atau dewan guru. Hal itu dilakukan agar para
siswi dapat berhati-hati dalam memilih jenis makanan yang dijajakan di warungwarung karena dikhawatirkan makanan-makanan yang dijual tidak dikemas dengan
kemasan yang higienis sehingga memungkinkan adanya bakteri atau kotoran yang
berasal dari asap, polusi yang ada di lingkungan sekitarnya. Namun demikian, tetap
saja ada beberapa orang siswi yang nekat jajan di luar sekolah. Menurut pengakuan
Djulaeha, para siswi dibantu oleh seorang tukang warung yang bernama Ibu Ikah dari
Bojong Herang. Ia kerapkali membantu para siswi dengan menjajakan makanan ke
Sakola Kautamaan Istri, dan hal itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tanpa
sepengetahuan Raden Siti Djenab. Terkecuali jika para siswi tersebut ingin membeli
makanan bersama-sama dengan siswi yang lainnya, maka dengan senang hati
beberapa dewan guru atau bahkan Raden Siti Djenab sendiri mengantarkan mereka
untuk membeli makanan. Hal tersebut juga hanya boleh dilakukan apabila mereka
melakukannya secara bersama-sama dan tentunya didampingi oleh Raden Siti Djenab
atau guru yang lainnya. Raden Siti Djenab juga ikut mendampingi para siswinya
untuk memilih jenis makanan yang akan dikonsumsi oleh mereka. Dengan demikian,
Raden Siti Djenab sangat mengutamakan agar kebersamaan dapat dipelihara oleh
anak didiknya.22
22
Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB.
100
Dari semua peraturan yang telah ditetapkan di atas, Raden Siti Djenab
mengeluarkan satu kebijakan tersendiri bagi siswinya yang sedang mengidap
penyakit menular atau siswi yang masih dalam tahap penyembuhan. Menurut
keterangan dari Djulaeha, pernah suatu ketika salah seorang diantara para siswi
sedang mengidap penyakit TBC. Maka untuk menjaga kesehatan dan meminimalisir
adanya penularan bakteri kepada siswi atau guru lainnya, maka Raden Siti Djenab
mengizinkan kepada siswi tersebut untuk meninggalkan pelajaran hingga ia betulbetul dinyatakan sembuh. Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi pada siswi saja,
jika ada salah seorang guru yang mengidap penyakit yang sama, maka Raden Siti
Djenab juga mengizinkan kepada guru tersebut untuk beristirahat total. Mereka
ditempatkan di ruang tersendiri yang disebut dengan natrium. Djulaeha menjelaskan,
salah seorang teman sekolahnya yang terjangkit TBC harus menjalani perawatan
intensif dan dilarang untuk mengikuti proses pembelajaran. Kendati pun demikian,
seluruh siswi mendapat fasilitas untuk berobat gratis ke dokter atau rumah sakit.
Adapun salah seorang guru Sakola Kautamaan Istri yang pernah mengalami hal
serupa adalah Ibu Rukmini, yakni mengidap penyakit TBC. Ia juga mendapat fasilitas
yang sama dengan siswi lainnya, yakni ditempatkan di natrium dan mendapat fasilitas
berobat gratis.
Namun untuk menjaga perasaannya, Raden Siti Djenab memberikan
penjelasan kepada siswi dan guru tersebut bahwa dengan dikeluarkannya kebijakan
seperti itu bukan berarti Raden Siti Djenab mendiskriditkan keberadaannya di
101
sekolah. Bahkan sebaliknya, hal tersebut dilakukan sebagai bentuk kepedulian dan
salah satu bukti bahwa Raden Siti Djenab tetap memberikan kesempatan dan hak
yang sama kepada seluruh siswinya untuk menuntut ilmu, meskipun dalam keadaan
yang kurang memungkinkan. Setiap hari Raden Siti Djenab tidak henti-hentinya
memberikan motivasi untuk kesembuhan dan kepulihan kondisi fisik dan psikisnya.
Setelah siswi yang mengidap penyakit tersebut dinyatakan sembuh, maka dia
diperkenankan untuk mengikuti pelajaran seperti biasa dan dapat bergabung kembali
dengan teman-temannya yang lain.23
Semua anak didik Raden Siti Djenab yang menimba ilmu di Sakola
Kautamaan Istri merasakan kenyamanan yang luar biasa. Terlebih ada kebanggaan
tersendiri bagi mereka karena memperoleh kesempatan untuk melanjutkan sekolah
yang pada saat itu masih dipandang tabu oleh masyarakat pada umumnya. Adapun
lulusan atau alumni dari Sakola Kautamaan Istri kebanyakan melanjutkan studi ke
Van Deventer
23
Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB.
24
Edi S. Ekadjati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 85. Dikutip dari hasil
wawancara beliau dengan putera puteri Raden Siti Djenab di Cianjur pada bulan November 1980.
102
Selama bertugas pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sudarso pernah mengajar
di kecamatan Mande, kecamatan Kadupandak dan kecamatan Cugenang. Beliau juga pernah menjabat
sebagai penilik Depdikbud pada Rayon Pacet dan Cianjur.
103
dengan Rd. Siti Nani Khaerani, Sudarso pernah menikah dengan Raden Hj. Sutiar
pada tahun 1942 dan dikaruniai 3 (tiga) orang anak yang bernama (1) Drs. Asikin, (2)
Cecep Suherlan, dan (3) Sartika. Cecep Suherlan dan Sartika meninggal dunia ketika
usia mereka masih anak-anak, sedangkan putera sulungnya yakni Asikin adalah
seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas di kabupaten Bandung, Jawa
Barat dan pensiun pada tahun 1998.26
Seperti halnya Raden Dewi Sartika dan Raden Ayu Lasminingrat, Raden
Siti Djenab banyak mendapat halangan dan rintangan dari masyarakat, namun semua
itu dilaluinya dengan tenang dan sabar. Terlebih pada saat itu, ia juga mendapat
dukungan moril dari suaminya, Raden Tb. Djatradijaya. Namun hal tersebut tidak
berlangsung lama, karena pada tahun 1926 ia ditinggal wafat oleh suaminya
tercinta.27 Berkat kegigihan dan semangatnya yang berkobar, Raden Siti Djenab tetap
teguh berusaha melaksanakan cita-citanya untuk memajukan kaum wanita sampai
beliau pensiun. Berkat jasa-jasanya itu, Raden Siti Djenab dianugerahi Bintang
Oranje Nassau voor Vrouw en Verdienste dari pemerintah kolonial Belanda pada
masa kepemimpinan Gubernur General Tjarda Van Starkenborg Stachouwer
memegang kekuasaan di Indonesia.
26
Hasil wawancara penulis dengan H. Muhammad Mangun Sudarso dan istrinya, Raden Hj.
Sutiar, bertempat di kediaman mereka di Jl. Dr. Muwardi, belakang No. 184, Cianjur, Senin, 26
September 2005, pukul 10.30 11.30 WIB.
27
Ajip Rosidi dkk., Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia dan Budaya Termasuk Budaya
Cirebon dan Betawi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000), hal. 600.
104
Pada tahun 1950, Raden Siti Djenab pensiun. Setahun kemudian, yakni pada
tanggal 28 Februari 1951 ia menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia 61
tahun, setelah sekian lama mendarmabaktikan hidupnya di bidang pendidikan kaum
wanita di Cianjur, Jawa Barat.
105
Raden Martadilaga
RA. Abdurrakhman
R. H. Muh. Enoch
Raden Mustarom
BAB IV
KONSEP PENDIDIKAN RADEN SITI DJENAB
Pada pembahasan sebelumnya sempat disinggung bahwa konsep
pendidikan yang digulirkan oleh Raden Siti Djenab sedikit banyak mengadopsi
konsep pendidikan yang sebelumnya pernah dikemukakan oleh Raden Dewi Sartika
dan Raden Ayu Lasminingrat. Sehubungan dengan itu, pada pembahasan ini akan
dijelaskan mengenai konsep pendidikan tentang pemberdayaan kaum perempuan
yang digulirkan oleh tiga tokoh tersebut.
yakni sekolah setingkat sekolah dasar, yang sebetulnya diperuntukkan bagi anak-anak
Belanda dan peranakan. Di sana mereka mendapat kesempatan belajar Bahasa
Belanda dan Bahasa Inggris. Sehari-hari Raden Dewi Sartika berpembawaan agak
berbeda dari anak wanita umumnya, gerak geriknya lincah, sigap dan berani.
Bicaranya pun lugas dengan tutur kata yang tegas dan terkadang bernada keras,
kendati sehari-hari ia mengenakan kebaya dan kain panjang.2
Namun kebahagiaan sebagai kaum menak tersebut tidak berlangsung lama,
pada 1893 Patih Somanegara harus mengalami pengasingan ke Ternate. Hal tersebut
terjadi karena Somanegara dituduh menjadi tersangka percobaan pembunuhan
terhadap residen, asisten residen, Bupati Bandung yang baru, sekretaris dan kontrolir.
Pemeriksaan dilakukan terhadap 56 orang saksi dan delapan orang tertuduh, salah
satu diantaranya adalah patih Bandung Raden Rangga Somanegara dan ayahnya
seorang pensiunan Jaksa Kepala, Raden Demang Soeria Dipraja. Sebagai tindakan
pendahuluan atas dakwaan terhadap keterlibatannya, Somanegara mendapat hukuman
jabatan dengan tindakan administratif dialihtugaskan menjadi Patih di Onderafdeling
Mangunreja (Sukapurakolot) pada Afdeling Tasikmalaya. Namun berdasarkan
pemeriksaan lanjutan, gubernur jenderal memutuskan untuk membuang pimpinan dan
pelaku peristiwa yang pada saat itu dikenal dengan Peristiwa Dinamit Bandung ke
Yan Dayono, Memperingati Hari Lahirnya Raden Dewi Sartika Tanggal 4 Desember 2000,
hal. 2
106
107
108
kaum wanita harus mampu hidup mandiri dan trampil berkarya supaya menjadi tiang
keluarga yang kokoh. Dengan demikian, meniscayakan adanya pendidikan yang
khusus diperuntukkan bagi kaum wanita untuk dibina sesuai dengan fitrahnya,
sehingga di kemudian hari mereka menjadi ibu yang baik dan sanggup melindungi
keluarganya. Raden Dewi Sartika percaya bahwa dari ibu yang baik akan lahir
generasi yang baik. Hal itulah yang menjadi landasan Raden Dewi Sartika
mencetuskan gagasan mendirikan sekolah wanita pribumi yang pertama di Indonesia.
Seperti yang diungkapnya pada salah satu karangannya sebagai berikut:
Pada tahun 1902 Raden Dewi Sartika mulai melakukan kegiatan pendidikan
dengan memberikan pendidikan kepada sanak keluarganya dari kaum wanita. Di
antaranya mendidik mereka merenda, memasak, menjahit, membaca, menulis dan
sebagainya. Kegiatan ini dilakukan di sebuah ruangan kecil di belakang rumah ibunya
di Bandung. Sebagai imbalan atas pelajaran yang diberikan Raden Dewi Sartika,
mereka yang mengikuti proses belajar membawakan Raden Dewi Sartika dan ibunya
makanan, beras, garam, buah-buahan dan sebagainya.
Yan Dayono, Memperingati Hari Lahirnya Raden Dewi Sartika Tanggal 4 Desember 2000,
Op. Cit., hal. 3.
109
Sartika,
Jasa
110
Besar
Terlupakan,
http://www.pikiran-
Januari 1904, Sakola Istri berhasil dibentuk. Tenaga pengajarnya masih berjumlah 3
(tiga) orang yakni Raden Dewi Sartika sendiri dan dibantu oleh dua orang saudara
sepupunya Ny. Poerwa dan Nyi Oewid.
Pandangan falsafi Raden Dewi Sartika tentang visi kehidupan seorang wanita
terepresentasikan dalam ungkapannya yang sangat populer, yaitu; Nu bisa hirup!.
Melalui slogan inilah dapat ditelusuri konsep pendidikan menurut Raden Dewi
Sartika. Sejak semula, Raden Dewi sartika tidak setuju dengan konsep dan model
pendidikan tradisional yang membuat wanita tidak berdaya yang nasibnya tergantung
sama sekali kepada pria. Ketidakberdayaannya menyebabkan kemerosotan wanita
secara ekonomis, dan kemunduran kedudukannya baik secara politis maupun sosial.7
Keterbelakangan kehidupan kaum wanita memiliki implikasi besar terhadap
dinamika kehidupan bangsa. Karena itu, kaum wanita mesti terlibat dalam berbagai
aspek kehidupan dan turut serta mengarungi perubahan-perubahan yang terjadi di
sekitarnya. Apabila hal ini diimplementasikan, maka derajat kaum wanita akan
semakin diperhitungkan oleh kaum laki-laki.
Di dalam bukunya, Rochiati mengutip perkataan Raden Dewi Sartika tentang
hal ini:
111
Cita-cita Raden Dewi Sartika yang berjangkauan luas ke depan itu benarbenar diperjuangkan olehnya dengan mendirikan Sakola Kautamaan Istri sebagai
media untuk mewujudkan visi dan gagasan-gagasan revolusionernya. Di sinilah letak
aspek genuin Raden Dewi Sartika jika disandingkan dengan para pejuang wanita
lainnya pada masa revolusi -Kartini misalnya- yaitu kemampuannya menurunkan ide
dan gagasannya secara langsung ke wilayah praktis-realistis.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pendidikan menurut Raden Dewi
Sartika
adalah
seperangkat
instrumen
yang
digunakan
dalam
rangka
112
113
pendiri Sekolah Raja, dan pada saat itu menjabat sebagai penasehat pemerintah.
Meskipun terlahir dari keturunan bangsawan, Raden Ayu Lasminingrat tidak
disekolahkan, karena pada saat itu di Garut belum ada sekolah khusus untuk kaum
wanita. Sebagai gantinya, beliau disekolahkan di rumah Kontroleur Levisan, seorang
bangsa Belanda. Di sana Raden Ayu Lasminingrat belajar menulis, membaca, Bahasa
Belanda, kebudayaan Barat dan pengetahuan lainnya yang berhubungan dengan
kewanitaan.10 Raden Ayu Lasminingrat adalah seorang wanita yang memiliki otak
yang cerdas, kemauan keras, cita-cita yang tinggi dan tekun belajar, maka segala
pengetahuan yang diperolehnya dapat dikuasainya dengan cepat, sehingga beliau
menjadi wanita Sunda pertama yang fasih berbahasa Belanda dengan orang-orang
Belanda yang ada di Garut waktu itu.
Walaupun Raden Ayu Lasminingrat memiliki harkat dan derajat yang cukup
tinggi, baik di lingkungan keluarga maupun dalam ketajaman intelektual, semua itu
tidak sepenuhnya membahagiakan hati beliau. Kehidupan kaum wanita Sunda
khususnya dan wanita Indonesia pada umumnya, yang masih erat terbelengggu
kebodohan akibat adat lama akibat penjajahan, selalu menjadi bahan pemikiran
beliau. Dalam hal ini, beliau telah merasakan apa arti pendidikan dan pengetahuan
bagi kehidupan manusia. Terlebih karena pada saat itu, kaum perempuan Sunda
10
Babad
§ion=I, hal.1
Salira,
http://su.wikipwdia.org/w/index.php?title=Lasminingrat&action=edit
114
Edi S. Ekadjati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (Sampai Dengan Tahun 1950),
(Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, 1986), hal. 83
115
pengaruh adat lama yang beranggapan bahwa kaum wanita tidak perlu memperoleh
pendidikan di sekolah. Membaca situasi seperti itu, Raden Ayu Lasminingrat
mengerahkan anak-anak gadis dari sanak familinya dan anak-anak gadis para pegawai
negeri untuk menjadi murid pada sekolah yang didirikannya.
Untuk memperkuat status sekolah tersebut, Raden Ayu Lasminingrat
didampingi oleh Dr. Meulder menghadap kepada Gubernur Jenderal di Istana Bogor
untuk memohon izin pendirian sekolah gadis tersebut. Usaha Ayu Lasminingrat
tersebut membuahkan hasil. Akhirnya Sekolah Kautamaan Istri yang didirikan oleh
beliau disahkan sebagai sebuah organisasi yang disebut Vereeneging Kautamaan
Istri Schoalen dengan akte notaris nomor 12 tanggal 12 Februari 1913. Dengan
adanya pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda tersebut, maka jumlah Sakola
Kautamaan Istri menjadi berkembang. Selanjutnya, sekolah yang sama dan sejenis
juga berdiri di Disrik Tarogong, Cikajang, Bayongbong, dan kota-kota lain di Jawa
Barat, seperti Tasikmalaya,
116
1916 serta Ciamis yang mendirikan Sakola Kautamaan Istri pada 1917. Tidak hanya
itu, pada 1918 di Cicurug turut didirikan pula Sakola Kautamaan Istri yang disusul
kemudian dengan Kuningan yang mendirikan Sakola Kautamaan Istri pada 1922 dan
Sukabumi pada 1926. Selain di Jawa Barat, tercatat pula Sekolah Istri yang didirikan
di Padang Panjang pada 1915.13
Konsep pendidikan menurut Raden Ayu Lasminingrat sebenarnya tertuang
pada sistem pendidikan yang diterapkan di Sekolah Kautamaan Istri. Misalnya,
kurikulum yang diajarkan tidak jauh berbeda dengan sekolah yang didirikan oleh
Raden Dewi Sartika, seperti menulis, membaca dan keterampilan wanita; menjahit,
menyulam, merenda, merajut, membatik, membuat hiasan dari kerangka daundaunan, serat nanas yang sudah diberi warna, membuat taplak meja, alas duduk,
selimut dan kerajinan tangan lainnya. Adapun guru-guru yang mengajar di Sekolah
Kautamaan Istri adalah keluarga Raden Ayu Lasminingrat, diantaranya Surianingrum,
Raden Rajakusumah, Murtasiah dan Raden Ayu Lasminingrat sendiri.
Selain sebagai pendidik, Raden Ayu Lasminingrat juga seorang penulis wanita
(sastrawati) angkatan pertama. Beberapa buah penanya berupa buku-buku bahasa
Sunda antara lain Warnasari Jilid I dan Warnasari Jilid II, dicetak dan diterbitkan oleh
Balai Pustaka dan dijadikan koleksi Perpustakaan Rakyat pada tiap-tiap Sekolah
Dasar untuk dipinjamkan kepada anak-anak sekolah dan umum. Buku tersebut
13
117
merupakan buku hasil terjemahan dari Bahasa Belanda yang isinya memuat tentang
kumpulan dongeng-dongeng.14
Buku-buku karya Raden Ayu Lasminingrat memang memenuhi selera anakanak, terlebih karena gaya bahasa yang dikemas pun cukup menarik untuk dibaca.
Hal ini disebabkan karena selain Raden Ayu Lasminingrat mempunyai kemampuan
tinggi dan pengetahuan yang luas, beliau juga mahir berbahasa Belanda. Pada saat itu,
bahasa Belanda merupakan salah satu bahasa asing Eropa yang sangat berpengaruh
dalam pergaulan dan bidang kehidupan lainnya, terutama dalam bidang ilmu
pengetahuan. Penguasaannya terhadap bahasa Belanda tidak hanya terbatas pada
percakapan dengan orang-orang Belanda saja, tetapi juga mampu berbicara secara
baik dan benar dengan Gubernur Jenderal yang menjabat pada saat itu.
Selain itu, pengetahuannya tentang Bahasa Belanda digunakan pula untuk
menerjemahkan buku-buku bahasa asing tersebut ke dalam bahasa Sunda. Sesuai
dengan bakat pembawaan Raden Ayu Lasminingrat yang senang akan pendidikan
anak-anak, maka buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah buku-buku yang
bertemakan pendidikan anak-anak. Hal itu dilakukannya atas pertimbangan bahwa
pada saat itu buku-buku bacaan untuk anak-anak dalam bahasa Sunda masih sangat
terbatas, dan buku-buku ilmu pengetahuan yang ada di negeri kita pada saat itu
kebanyakan ditulis dalam Bahasa Belanda. Berkat usaha dan kegiatannya tersebut,
14
Edi S. Ekadjati, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 72-73. Lihat juga Babad
Salira, hal. 1
118
119
(irama lagu Sunda yang menggunakan tangga nada pentatonis baik pelog atau
slendro). Hal ini dilakukan dengan tujuan agar para pembaca yang pada saat itu masih
memiliki pendidikan dalam taraf rendah dapat dengan mudah mencerna dan
memahami maksud dari buku yang disampaikan.16
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan menurut Raden
Ayu Lasminingrat tidak jauh berbeda dengan ide tentang pendidikan sebagaimana
dikonsepsikan oleh Dewi Sartika, yaitu proses transmisi wawasan kepada kaum
wanita untuk dijadikan sebagai bekal pribadi dalam menjalani kehidupan sejak dari
unit terkecil, yaitu keluarga, sampai unit yang paling besar, yaitu negara. Senada
dengan Dewi Sartika, Raden Ayu Lasminingrat berharap agar pendidikan ini dapat
memperbaiki derajat kemanusiaan kaum wanita di tengah-tengah kaum pria.
Berkat jasa dan jerih payahnya dalam memajukan pendidikan bagi kaum
perempuan, selain diangugerahi penghargaan, Raden Ayu Lasminingrat juga
memperoleh gaji tetap dari Pemerintah Kolonial Belanda. Raden Ayu Lasminingrat
wafat pada 1948 dalam usia 105 tahun dan dimakamkan di belakang Mesjid Agung
Garut. Selanjutnya, lembaga pendidikan yang dirintisnya bersama sang suami
dilanjutkan oleh putera dari saudara sepupunya yang bernama Nu Raden
Purnamaningrat.17
16
17
120
121
122
Namun realitas ini harus digarisbawahi dalam konteks historis yang berlaku pada
saat itu, di mana subsistem pendidikan yang dibangun oleh pemerintah kolonial
dengan membedakan pendidikan bagi kaum menak pribumi dan masyarakat
pribumi lainnya masih terasa sangat kental. Meskipun tidak semua kaum
perempuan bisa melanjutkan studi ke Sakola Kautamaan Istri, fenomena
terciptanya peluang baru bagi kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan
khusus, merupakan sebuah indikasi kemajuan dan perkembangan yang signifikan
dalam struktur dan realitas masyarakat Cianjur pada saat itu.
Sebagaimanan
dipaparkan
sebelumnya,
bahwa
pada
permulaan
123
Adapun jenis permainan yang boleh dimainkan oleh mereka antara lain:
bermain bersama sambil bernyanyi-nyanyi menjelang senja atau di bawah sinar
bulan, mendengarkan cerita dari para dayang atau pengasuh dan bemain teka-teki.
Khusus bagi anak-anak gadis yang berasal dari keluarga pejabat kabupaten, selain
mendapat permainan seperti yang telah disebutkan di atas, mereka memperoleh
arahan dan pelajaran tentang tarian yang diiringi dengan gamelan. Selain
peraturan-peraturan di atas, mereka juga tidak diperkenankan bermain di alam
bebas dan terbuka kecuali di halaman-halaman yang luas, pendopo-pendopo dan
paseban-paseban yang ada di sekitar rumahnya.19
Pendidikan yang mereka terima pada umumnya cukup dengan pelajaran
agama, salah satunya dengan belajar membaca Al-Quran, karena pada saat itu
belum ada sistem yang mewajibkan mereka untuk sekolah. Jumlah sekolah yang
ada pada saat itu juga tergolong masih sangat sedikit. Maka jumlah anak-anak
gadis yang mendapat pendidikan formal di sekolah pun masih sangat terbatas dan
hanya boleh diikuti oleh golongan-golongan tertentu saja. Walaupun anak-anak
dari kalangan kaum priyayi mendapat hak-hak istimewa, namun mereka tidak
dengan sendirinya dapat menikmati hak-hak tersebut. Dalam hal pendidikan
misalnya, anak laki-laki mendapatkan prioritas yang lebih utama dibanding
dengan anak-anak perempuan. Adat istiadat dan kondisi sosial yang berkembang
19
124
pada saat itu membuat anak perempuan lebih terikat pada lingkungan rumah
tangga.
Wiriaatmadja
mengemukakan
berbagai
alasan
tentang
keberatan-
keberatan masyarakat Sunda pada saat itu untuk menyekolahkan anak-anak gadis
mereka pada sekolah-sekolah formal, dengan alasan di antaranya:
a. Tugas utama perempuan hanyalah di dapur, sumur dan kasur.
b. Pendidikan bagi kaum perempuan masih dipandang tidak perlu dan tidak
bermanfaat.
c. Adanya anggapan bahwa menggabungkan anak laki-laki dengan anak-anak
perempuan dalam satu kelas dan/atau sekolah adalah hal yang dianggap
kurang baik menurut etika.
d. Anak-anak perempuan pada usia muda sudah banyak membantu orang tuanya
untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
e. Bertentangan dengan adat istiadat.
f. Anak perempuan akan cepat menikah.
g. Anak perempuan yang mengenyam bangku sekolah akan sulit dalam memilih
jodoh.
h. Meskipun anak perempuan sekolah, mereka tidak akan bekerja seperti lakilaki sehingga pendidikannya akan dipandang sia-sia.
125
20
21
126
a. Guru
Salah satu bentuk ketidakadilan gender yang seringkali menimpa kaum
perempuan adalah perilaku diskriminatif kaum laki-laki terhadap perempuan.
Diskriminasi seperti ini misalnya terjadi pada sebuah kondisi dimana orang
tua akan lebih memperhatikan pendidikan bagi anak laki-laki dibanding anak
perempuannya. Alasannya sangat klise, di antaranya adalah pandangan bahwa
anak laki-laki suatu saat akan menjadi seorang kepala keluarga sementara
perempuan akan dibawa oleh sang suami. Alasan lain yang mencuat adalah
faktor ekonomi. Jika ada sebuah keluarga yang tergolong tidak mampu, maka
orang tua akan lebih mementingkan pendidikan anak laki-lakinya untuk
masuk ke sekolah formal tanpa mempertimbangkan potensi dan prestasi yang
127
22
Ace Suryadi dan Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, (Bandung: PT.
Genesindo, 2004), hal. 70.
128
23
Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB.
129
Sakola
Kautamaan
Istri.
Meskipun
Raden
Siti
Djenab
tidak
24
Hasil wawancara penulis dengan Hj. Marjam, mantan Kepala Sekolah Kepandaian Puteri
(SKP) Kabupaten Cianjur periode 1963-1992, bertempat di kediaman beliau Jl. K. H. Hasyim Asyari
Cianjur, tanggal 29 Agustus 2006 pukul 10.00-12.00 WIB.
130
Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101, Cianjur, Minggu, 30 Juli 2006, pukul 16.10 17.35 WIB
131
Dengan
kriteria-kriteria
tersebut
guru
diharapkan
dapat
b. Kurikulum
26
132
28
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Prakteik, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999), hal. 3
29
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Prakteik, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999), hal. 4
133
134
MATERI
KATEGORI
Berhitung
Pendidikan Umum
Menulis
Pendidikan Umum
Bahasa Sunda
Pendidikan Umum
Bahasa Belanda
Pendidikan Umum
Bahasa Melayu
Pendidikan Umum
Budi Pekerti/Akhlak
Pendidikan Agama
Agama
Pendidikan Agama
135
Membatik
Menjahit
10
Merenda
11
Menambal
12
Menyulam
13
Memasak
14
Menyajikan Makanan
15
Memelihara Bayi
16
PPPK
Pendidikan Umum
17
Olah raga
Pendidikan Umum
136
mereka dapat
mengembangkan
Ace Suryadi dan Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, hal. 42.
137
Tabel 2.
Prosentase Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri
MATERI
NO
JUMLAH
PROSENTASE
Umum
41, 17 %
Agama
11,76 %
Keterampilan Wanita
47,05 %
17
100 %
138
139
140
Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB.
141
142
33
Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB
34
Hasil wawancara penulis dengan H. Hindarsah, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi,
Gg. Guntur II No. 2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB
35
Ace Suryadi dan Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, (Bandung:
Genesindo, 2004), hal. 43-44.
143
Jika dilihat dari tradisi yang berkembang saat ini, budaya jalan ngesod
atau ngempor yang biasa dilakukan pada masa kerajaan dan diadopsi oleh
Raden Siti Djenab sangatlah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bentuk
penghormatan yang dikenal dalam ajaran Islam tidak harus diungkapkan
dalam bentuk fisik ngesod atau ngempor tetapi juga bisa dalam bentuk
lain, misalnya dengan cara menghormati dan mendukung kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat pada saat itu.
Dalam perkembangannya sekarang ini, budaya jalan ngesod atau
ngempor tidak lagi dipergunakan pada kantor-kantor bupati yang ada di tatar
Sunda. Namun demikian, hal itu dilakukan dengan tidak mengurangi rasa
hormat masyarakat kepada para pejabat pemerintahan yang sedang berkuasa.
Djulaeha, salah seorang murid Raden Siti Djenab pada Sakola
Kautamaan Istri, mengakui bahwa ia memiliki kenangan tersendiri selama
menjalani proses belajarnya di sekolah tersebut. Kerap kali ia dipercaya oleh
para dewan guru untuk mengantar surat ke kantor pos. Hal tersebut terjadi
karena para murid yang lain belum banyak mengetahui tentang mekanisme
pengiriman surat melalui kantor pos. Tentunya hal ini menjadi kebanggaan
tersendiri baginya, karena dengan demikian ia menjadi cukup populer di mata
para dewan guru. Selain itu, ia juga merasakan banyak manfaat dari tugas
yang didelegasikan kepada dirinya itu. Lantaran intensitasnya yang cukup
144
tinggi untuk mengunjungi kantor pos, ia menjadi tahu persis letak dan cara
untuk mengirim surat, wesel dll.
Biasanya, sebelum meminta salah seorang anak didiknya untuk pergi
ke kantor pos, Raden Siti Djenab terlebih dahulu menawarkan tugas tersebut
kepada para siswinya dan bertanya kepada mereka siapa yang bersedia
mengantarkan surat ke kantor pos. Djulaeha, adalah salah satu siswi yang
senantiasa mengacungkan tangannya sambil menegaskan kesediaannya untuk
mengantarkan surat. Selain dirinya, Engkom juga merupakan salah satu siswi
yang senantiasa siap menerima tugas tersebut, bahkan mereka terkadang
beranjak ke kantor pos bersama-sama. Djulaeha juga menambahkan, bahwa
selama di perjalanan ia sering dihadang dan diledek oleh para siswa dari HIS
Cianjur yang secara kebetulan letaknya berdekatan dengan kantor pos. Mereka
senantiasa mengejek siswi Sakola Kautamaan Istri seraya menghalang-halangi
jalan masuk ke kantor pos. Ketika peristiwa tersebut disampaikan kepada
Raden Siti Djenab, maka mimik geram tanda kemarahan akan nampak jelas
terlihat dari sorot matanya, karena tidak senang jika para siswinya diejek oleh
orang lain. Sebagai kepala sekolah, beliau tidak mengharapkan hal seperti itu
menimpa siswi-siswinya.36
36
Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Minggu, 26 Maret 2006, pukul 10.30 13.00 WIB.
145
Hal itu jelas menandakan bahwa Raden Siti Djenab memiliki kepekaan
dan kepedulian yang cukup tinggi terhadap para anak didiknya. Raden Siti
Djenab tidak hanya seorang sosok guru yang senantiasa digugu dan ditiru,
namun juga seorang sosok ibu yang senantiasa menjaga anaknya dari segala
macam mara bahaya.
146
tukang nyambel teh, rek nahaon maraen kasti oge? (Wanita-wanita yang
kerjanya bikin sambal, buat apa ikut bermain kasti?).37 Kemungkinan besar
kata-kata tersebut sering terucap sebagai ungkapan kekesalan murid HIS
Cianjur karena kekalahan mereka dalam mengikuti pertandingan kasti antar
sekolah, terlebih diketahui bahwa siswi-siswi Sakola Kautamaan Istri
memakai seragam sekolah yang lengkap (kebaya, kain, selendang) selama
pertandingan berlangsung.
Jabatan sebagai kepala sekolah yang diemban oleh Raden Siti Djenab
sangatlah berat, terlebih dalam perkembangannya jumlah murid yang
menimba ilmu di Sakola Kautamaan Istri semakin bertambah. Namun karena
terbatasnya sumber yang tersedia, penulis tidak bisa memastikan secara pasti
berapa jumlah murid sekolah tersebut dari tahun ke tahun. Dalam
menjalankan tugasnya sehari-hari, Raden Siti Djenab senantiasa dibantu oleh
para tenaga pengajar yang lain untuk mendidik para siswinya. Meskipun
Raden Siti Djenab dan para tenaga pengajar tersebut merangkap juga sebagai
ibu rumah tangga, namun semua itu dilalui oleh mereka dengan hati ikhlas,
tulus, sungguh-sungguh dan penuh kecintaan.
Setiap hari Raden Siti Djenab berangkat ke sekolah dan tiba sebelum
pelajaran dimulai. Semua pekerjaan di sekolah dilakukan dengan gesit, lincah
37
Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Minggu, 26 Maret 2006, pukul 10.30 13.00 WIB.
147
dan cepat. Setelah lonceng berbunyi, dengan memakai pakaian berupa kain
panjang dan kemben, kebaya Sunda, selendang dan sandal selop, beliau segera
beraktifitas. Setelah murid-murid masuk ke kelas, Raden Siti Djenab
berkeliling kelas untuk memonitor seluruh proses belajar mengajar di Sakola
Kautamaan Istri. Para staff pengajar yang sudah berdiri di depan kelas,
biasanya keluar sebentar untuk menyapa beliau dan bersalaman dengan salam
menurut tata cara sunda, yaitu dengan cara berjabat tangan dengan posisi
badan sedikit membungkuk kemudian mencium punggung tangan orang yang
disalaminya. Hal tersebut dilakukan seseorang sebagai rasa hormat dan
simpati kepada orang yang memiliki serajat yang lebih tinggi, biasanya
dilakukan kepada orang tua, guru serta sanak famili yang usia atau garis
keturunannya lebih tinggi. Apabila ada hal-hal penting yang harus dibicarakan
segera, maka moment seperti ini terkadang digunakan oleh Raden Siti Djenab
untuk berdiskusi dengan tenaga pengajar tersebut.38
Jika dicermati secara seksama, proses belajar mengajar yang
diterapkan di Sakola Kautamaan Istri cenderung menggunakan kerangka
pendekatan yang bernuansa feodalistik. Hal ini terkait erat dengan latar
belakang Raden Siti Djenab yang berasal dari golongan keluarga menak.
Selain itu, realitas sosial yang berlaku pada saat itu masih mencerminkan
38
Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101, Cianjur, Minggu, 26 Maret 2006, pukul 10.30 13.00 WIB
148
paradigma perbedaan kelas yang sangat tajam, di mana status sosial seorang
keturunan bangsawan masih sangat disegani dan dihormati. Fenomena ini
tidak terlepas dari pengaruh budaya kerajaan yang mengakar dalam sejarah
sosial masyarakat Sunda tradisional.
Menurut keterangan Djulaeha, saat itu guru-guru yang mengajar di
Sakola Kautamaan Istri sangat sungkan terhadap Raden Siti Djenab. Bahkan
untuk menyerahkan buku saja, seorang guru harus menghadap beliau sambil
menundukkan kepala. Kendati demikian, mereka menganggap sikap seperti
itu sebagai sesuatu yang lumrah, karena hal tersebut menyangkut urusan etika
dan kebiasaan yang sudah berlaku mapan pada saat itu.39
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, beberapa materi yang
diajarkan dalam kurikulum Sakola Kautamaan Istri juga masih sangat kental
bercorak feodal. Pelajaran tentang tata krama berjalan ngempor atau ngesod,
misalnya,
merupakan
representasi
dari
budaya
feodal
yang
tetap
39
Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101, Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB
149
d. Metode Pembelajaran
Metode merupakan salah satu komponen yang menempati peranan
yang tidak kalah penting dengan komponen lainnya dalam proses
pembelajaran. Tidak ada satu pun kegiatan belajar mengajar yang tidak
menggunakan metode pengajaran. Dalam menggunakan metode terkadang
guru harus menyesuaikan dengan kondisi dan suasana kelas. Jumlah siswa
siswi yang ada di ruang kelas juga akan sedikit mempengaruhi metode yang
akan digunakan oleh seorang guru. Untuk menentukan metode yang tepat,
guru harus merujuk pada tujuan interuksional yang harus dicapai pada
masing-masing pelajaran. Dengan demikian guru akan lebih mudah
menentukan metode yang akan dipilih guna menunjang pencapaian tujuan
yang telah dirumuskan tersebut.40
Pada proses belajar mengajar, biasanya seorang guru akan
menggunakan metode gabungan. Dengan demikian sangat jarang guru yang
hanya menggunakan satu metode saja dalam menyampaikan materi pelajaran
kepada
murid-muridnya.
Penggunaan
satu
metode
akan
cenderung
40
Syaiful Bahri Djamarah dkk., Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996),
hal. 83.
150
Tujuan
pembelajaran
akan
tercapai
jika
metodologi
variasi
metodologi pengajaran
41
151
152
ke-19. Konsep yang diintroduksikan John Dewey ini dikenal dengan teori
pragmatisme.42
Bashori menandaskan bahwa pemikiran John Dewey tentang
pendidikan tidak terlepas dari pengaruh Charle Darwin (1809-1882) dengan
karyanya yang sangat fenomenal yakni teori evolusi. Teori evolusi sendiri
meniscayakan kehidupan di dunia ini sebagai suatu proses yang dimulai dari
tingkatan yang paling rendah hingga berkembang dan meningkat dari waktu
ke waktu. Dengan demikian, manusia dituntut agar dapat menjalani kehidupan
secara dinamis dan berkesinambungan karena pada dasarnya semua manusia
memiliki kapasitas menuju ke arah yang lebih baik, dan perubahan tersebut
salah satunya dapat dilalui melalui sebuah proses pengalaman, yakni
pendidikan.
Dewey meyakini bahwa pengalaman (experience) merupakan salah
satu kunci dalam menelusuri filsafat pragmatisme karena pengalaman
merupakan keseluruhan aktifitas manusia yang mencakup segala proses yang
saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam sebuah lingkungan
42
Pada dasarnya teori pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang dipandang
sangat dominan selama hampir satu abad karena dianggap sebagai cermin dari sifat-sifat kehidupan
Amerika. Bahkan Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme sangat identik dengan Amerika
karena memiliki pengaruh terhadap kehidupan intelektual di Amerika. Sebagian besar rakyat Amerika
menganggap bahwa pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakikat, metafisis serta
hal-hal yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan sangat teoritis. Sedangkan
rakyat Amerika sendiri pada umumnya menginginkan hasil yang konkrit karena sesuatu yang dianggap
penting meniscayakan adanya kegunaan. Oleh karena itu, pertanyaan what is selaiknya dieliminir
dengan pertanyaan what for dalam tataran filsafat praktis. Lih. Tauhid Bashori, Pragmatisme
Pendidikan (Telaah atas Pemikiran John Dewey), http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j13.html, hal. 2
153
potensi
serta
keahlian
yang
dimilikinya.
Metode
kebersamaan itu pulalah yang selanjutnya diadopsi oleh Raden Siti Djenab
dalam proses belajar mengajar di Sakola Kautamaan Istri Cianjur.
Berikut adalah metode-metode yang senantiasa digunakan oleh Raden
Siti Djenab dan guru-guru di Sakola Kautamaan Istri dalam menyampaikan
materi pelajaran kepada para siswinya.
43
154
Tabel 3.
Metode Pembelajaran yang Digunakan pada Materi Pelajaran Sakola
Kautamaan Istri44 (sumber / hasil analisa?)
MATERI
NO
METODE
Berhitung
Menulis
Bahasa Sunda
Bahasa Belanda
Bahasa Melayu
Budi Pekerti/Akhlak
Agama
Membatik
Menjahit
10
Merenda
11
Menambal
12
Menyulam
13
Memasak
14
Menyajikan Makanan
15
Memelihara Bayi
16
PPPK
44
Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Minggu, 26 Maret 2006, pukul 10.30 13.00 WIB
155
17
Olah raga
156
Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Minggu, 26 Maret 2006, pukul 10.30 13.00 WIB
157
46
158
wahana penyalur informasi atau penyalur pesan dari seorang guru kepada
muridnya.47
Dalam proses belajar mengajar, kehadiran media memiliki arti yang
cukup penting. Apabila ditemukan sebuah kondisi di mana murid merasa
sulit menerima materi yang disampaikan, maka keberadaan media
pengajaran akan membantu mereka dalam memahami materi pelajaran.
Dengan demikian, kerumitan bahan yang akan disampaikan kepada anak
didik dapat disederhanakan dengan bantuan media.
Setiap materi pelajaran tentunya memiliki tingkat kesukaran yang
bervariasi. Pada satu sisi keberadaan media sangatlah diperlukan dalam
membantu memperlancar proses pemahaman siswa terhadap materi yang
disampaikan, seperti globe, grafik, gambar, peta, mesin jahit, mesin ketik,
dan sebagainya. Namun di sisi lain, terkadang ada pula mata pelajaran yang
tidak meniscayakan adanya media sebagai alat bantu. Media juga dapat
digunakan sebagai salah satu strategi yang digunakan oleh guru untuk
meminimalisir adanya kejenuhan dalam belajar yang dialami oleh para
siswa.48
Sehubungan dengan itu, hampir semua materi yang disampaikan
oleh Raden Siti Djenab kepada para siswinya selalu menggunakan media
47
48
159
pengajaran sebagai alat bantu. Meskipun pada saat itu media pengajaran
yang digunakan sifatnya masih sangat sederhana. Adapun media yang
digunakan oleh Raden Siti Djenab selama proses belajar mengajar antara
lain dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 4.
Media Pengajaran yang Digunakan pada Materi Pelajaran Sakola
Kautamaan Istri
MATERI
NO
MEDIA
Berhitung
Menulis
Bahasa Sunda
Bahasa Belanda
Bahasa Melayu
Budi Pekerti/Akhlak
Agama
Membatik
Menjahit
10
Merenda
11
Menambal
12
Menyulam
160
13
Memasak
14
Menyajikan Makanan
15
Memelihara Bayi
16
PPPK
17
Olah raga
161
f. Sumber Budget
Anggaran keuangan merupakan salah satu hal penting yang tidak
dapat dilupakan dalam sebuah sistem pendidikan, karena segala aktifitas
pembelajaran yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga pendidikan
meniscayakan adanya manajemen keuangan yang baik dan efisien. Untuk
lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan pemerintah
biasanya mendapat alokasi dana dari kas pemerintah yang sudah dirancang
sebelumnya. Namun pada lembaga-lembaga pendidikan yang berdiri sendiri
(swasta), budget yang digunakan untuk berbagai keperluan pendidikan
dialokasikan dari swadaya masyarakat, SPP para murid dan kas yayasan.
Untuk memenuhi semua kebutuhan selama proses pembelajaran
berlangsung, Sakola Kautamaan Istri mewajibkan para siswinya untuk
membayar SPP sebesar 5 sen/bulan. SPP tersebut dibayar dari mulai
49
Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB.
162
memasuki tahun ajaran hingga siswi tersebut lulus sekolah.50 Jumlah ini
diketahui pada tahun ajaran 1936/1937 ketika Djulaeha belajar di Sakola
Kautamaan Istri.
g. Lulusan/Alumni
Konsep dasar didirikannya Sakola Kautamaan Istri memiliki tujuan
untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) kaum
perempuan sehingga dapat mencapai kemajuan dalam berbagai bidang
terutama dalam bidang pendidikan maupun kehidupan sosial lainnya tanpa
melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan. Hal tersebut dilakukan
agar kelak seorang istri dapat bangkit menjadi ibu yang teladan, penuh
kesabaran, ramah, riang, dan baik di lingkungan keluarga maupun di
lingkungan masyarakat.51 Dengan demikian Sakola Kautamaan Istri
merupakan sekolah yang khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan
sebagai sarana pembelajaran menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia
dan sejahtera serta penuh dengan rasa kasih sayang.
Tidak seperti sekolah-sekolah lainnya di Cianjur, pada kesempatan
melepas murid-murid yang tamat sekolah dari Sakola Kautamaan Istri,
50
Hasil wawancara penulis dengan Ny. Raden Hj. Ule Djulaeha, salah satu murid Raden Siti
Djenab pada Sakola Kautamaan Istri, bertempat di kediaman beliau Jl. Siliwangi, Gg. Guntur II No.
2101 , Cianjur, Selasa, 8 November 2005, pukul 19.10 20.30 WIB.
51
Edi S. Ekajati dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, hal. 69.
163
164
makanan dan minuman yang diolah oleh para siswi, seperti bajigur, kue
apem, rangginang, opak, ubi rebus, papais, talam dan makanan-makanan
tradisional khas Sunda lainnya. Hal ini dilakukan agar para tamu undangan,
terlebih para orang tua murid dapat melihat tingkat kemajuan yang dimiliki
oleh para siswi di Sakola Kautamaan Istri.53
Para lulusan Sakola Kautamaan Istri biasanya melanjutkan sekolah
ke Sekolah Van Deventer, yakni sekolah yang disiapkan untuk menjadi
calon guru. Selain itu, mereka juga dapat melanjutkan ke sekolah perawat
dan kebidanan. Namun ada juga lulusan sekolah ini yang langsung menikah
dan menjadi ibu rumah tangga.
Selama Sakola Kautamaan Istri Cianjur berdiri, tercatat dalam
sejarah beberapa nama alumni di antaranya: Sufiah, Najmiati, Sarimaya,
Kania, Romah Sutresna dan Nunung Kurniasih. Bahkan setelah tamat dari
Van Deventer, Najmiati melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pendidikan
Guru (Kweekschool) di Salatiga.54
53
54
165
pelbagai problematika sosial yang sempat menjadi perhatiannya pada saat itu.
Kendati beliau sendiri tidak menggeluti wacana tersebut secara intensif - alih-alih
menuangkan gagasannya dalam kajian yang sistematis - aspek ini akan sangat
membantu dalam rangka merumuskan ide-ide pendidikan yang digagas oleh
beliau.
Secara garis besar, pandangan Raden Siti Djenab terhadap pelbagai isu
yang akan disoroti ini, didasarkan pada keterangan yang diberikan oleh beberapa
saksi sejarah yang sempat melakukan kontak personal dengan beliau.
166
167
168
b. Problem Poligami
Pada masa hidup Raden Siti Djenab, praktek poligami merupakan tradisi
yang sangat mengakar di masyarakat. Kendati pun demikian, Raden Siti
Djenab dan para perempuan intelek yang sudah maju -termasuk juga di
dalamnya kaum perempuan dari golongan priyayi- sangat menentang habishabisan praktek poligami. Hindarsah mengemukakan bahwa antara tahun
1930 hingga akhir abad ke-20, praktek poligami banyak dilakukan oleh
169
170
55
Hasil wawancara penulis dengan H. Ahmad Hindarsah, bertempat di kediaman beliau Jl.
Siliwangi, Gg. Guntur II No. 2101, Cianjur, Minggu, 26 Maret 2006 WIB.
171
172
atas, ia akan mengalami nasib yang sama. Bahkan untuk masalah materi dan
kekayaan, ia akan mengalami penurunan yang sangat drastis. Terlebih
masyarakat sekitar juga akan menganggapnya sebagai seorang perempuan
yang tidak patut dijadikan istri sehingga alasan perceraian sama sekali tidak
akan diperdulikan dan dipertanyakan kembali.
Dalam hal ini, Jawad mengemukakan bahwa meskipun dalam pandangan
umum masyarakat bahwa perceraian itu akan mendapatkan celaan sosial,
namun perceraian adalah suatu fenomena alami dan tidak dapat dielakkan
dalam sebuah pergaulan hidup manusia.57
57
Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender,
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. v
173
yang khusus
dapat
174
175
176
berproses, maka akan terjadi kepincangan dalam masyarakat yang mungkin dapat
menimbulkan malapetaka.
Perubahan lain terjadi pada ukuran kebangsawanan, dimana perubahan nilai
yang dibangun sekarang ini sedang menuju ke arah kebangsawanan budi pekerti,
bukan semata-mata karena kelahiran. Raden Dewi Sartika sendiri termasuk orang
yang mendukung proses ini karena kebangsawanan budi pekerti semacam ini salah
satunya bisa dibentuk melalui proses pendidikan. Bertolak dari permasalahan itulah
maka kaum perempuan pun layak mendapatkan pendidikan.
Bagi kehidupan kaum perempuan, pendidikan dapat memberikan kecakapan
tertentu sehingga ia dapat berdiri sendiri dan tidak hanya selalu bergantung pada
suami atau ayahnya saja. Pada kondisi yang berbeda, kaum perempuan bisa bekerja
dan membiayai hidupnya sendiri bahkan mungkin keluarganya. Terlebih di zaman
sekarang ini, tidak sedikit kaum ibu yang bertugas tidak hanya sebagai ibu rumah
tangga tetapi juga membantu suaminya untuk mencari nafkah. Bahkan tidak menutup
kemungkinan apabila penghasilan yang diterima oleh seorang istri lebih banyak
daripada penghasilan suami. Melalui proses pendidikan, kaum perempuan dapat
memiliki kedudukan sosialnya sendiri, tidak bergantung pada kedudukan atau status
sosial suami dalam masyarakat. Kemandirian kaum perempuan dalam aspek ekonomi
177
dan sosial ini sedikit banyak dapat mengangkat derajat dirinya yang selama ini tidak
ada sama sekali.59
Adapun konsep pendidikan yang dikembangkan oleh Raden Ayu
Lasminingrat dimulai dengan mendirikan Sakola Kautamaan Istri yang berlokasi di
Kabupaten Garut. Konsep yang dibangun oleh Raden Ayu Lasminingrat tidak jauh
berbeda dengan konsep yang digulirkan sebelumnya oleh Raden Dewi Sartika karena
pada kurun waktu tertentu mereka acapkali bertemu dan berbincang-bincang
mengenai sekolah yang dirintis mereka masing-masing. Pertemuan tersebut sering
terjadi dimungkinkan karena pada saat itu Raden Ayu Lasminingrat adalah istri
seorang Bupati Garut dan Raden Dewi Sartika sendiri adalah putri seorang patih yang
cukup disegani di Kabupaten Bandung.
Dalam mengimplementasikan gagasannya, Raden Ayu Lasminingrat
memiliki kekhasan tersendiri dibanding dengan Raden Dewi Sartika. Raden Ayu
Lasminingrat lebih memfokuskan diri untuk menuangkan ide serta gagasannya dalam
bentuk buku. Tercatat beberapa hasil penanya berupa buku-buku Bahasa Sunda antara
lain Warnasari Jilid I dan Warnasari Jilid II, Kulit Kalde dan buku-buku lainnya.
Warnasari merupakan buku hasil terjemahan dari buku berbahasa Belanda yaitu
Verhalen van Moeder de Gans, sedangkan Kulit Kalde merupakan hasil terjemahan
dari Putri Bianca. Buku-buku tersebut berisi tentang dongeng-dongeng yang
diperuntukkan bagi anak-anak usia sekolah dasar sehingga tidak heran jika buku
59
178
179
pendidikan Sakola Kautamaan Istri yang dipimpin oleh Raden Siti Djenab banyak
mengadopsi dari Sakola Kautamaan Istri yang dipimpin oleh Raden Dewi Sartika dan
Raden Ayu Lasminingrat, terutama masalah kurikulum.
Adapun beberapa aspek yang dipandang berbeda diantaranya adalah
masalah corak kehidupan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa corak
kehidupan yang senantiasa dibangun oleh Raden Dewi Sartika adalah bercorak
demokrat, dimana tidak ada stratifikasi antara golongan menak dan masyarakat biasa
pada umumnya. Hal tersebut dimungkinkan atas dasar pengalaman pribadi Raden
Dewi Sartika sendiri ketika ia pernah merasakan kehidupan yang memprihatinkan
yakni ketika ayahnya, Somanegara harus diasingkan ke Ternate karena tuduhan
pembunuhan pada Peristiwa Dinamit Bandung. Setelah itu, Raden Dewi Sartika
kemudian ditinggal pergi oleh ibunya, Rajapermas. Kondisi seperti itu sedikit banyak
telah mempengaruhi pola pikir Raden Dewi Sartika tentang adanya konsep kesetaraan
derajat kemanusiaan antara si kaya dan si miskin karena ia pernah mengalami dua
kondisi tersebut.
Selanjutnya, konsep yang difokuskan oleh Raden Ayu Lasminingrat lebih
mengarah pada pendidikan bagi para gadis remaja dan anak-anak. Hal tersebut salah
satunya dibuktikan dengan diterjemahkannya berbagai buku bacaan dari Bahasa
Belanda ke dalam Bahasa Sunda yang berisi tentang dongeng-dongeng atau cerita
fiksi, diantaranya Warnasari dan Kulit Kalde. Buku-buku tersebut dikemas dengan
gaya bahasa yang nenarik dan disesuaikan dengan minat baca anak-anak gadis.
180
Konsep Sakola Kautamaan Istri yang dikembangkan oleh Raden Ayu Laminingrat
sedikit banyak juga mengadopsi dari konsep Sakola Kautamaan Istri yang dirintis
oleh Raden Dewi Sartika. Terlebih pada saat itu, mereka berdua sering melakukan
kontak dan menghadiri berbagai macam pertemuan baik yang bersifat personal
maupun karesidenan karena Reden Ayu Lasminingrat sendiri adalah seorang istri
Bupati Garut sementara Raden Dewi Sartika adalah putri seorang Patih Bandung.
Dengan demikian, mereka bisa lebih leluasa berdiskusi tentang sekolah yang mereka
rintis.
Meskipun demikian, tidak selamanya konsep yang dikembangkan oleh
Raden Dewi Sartika diadopsi secara keseluruhan oleh Raden Ayu Laminingrat.
Dalam mengaplikasikan gagasannya, Raden Ayu Lasminingrat mempunyai metode
pembelajaran tersendiri yang sebelumnya tidak digunakan oleh Raden Dewi Sartika.
Selama proses belajar mengajar, Raden Ayu Lasminingrat sering menggunakan
metode pupuh walaupun tidak semua mata pelajaran disampaikan dalam bentuk
pupuh. Pupuh dianggap efektif oleh Raden Ayu Lasminingrat untuk membantu para
siswi dalam mencerna materi pelajaran, terlebih materi-materi pelajaran yang bersifat
pesan moral. Berikut adalah salah satu contoh tembang kasundaan dengan
menggunakan Pupuh Asmarandana yang biasa digunakan dalam menyampaikan
pesan moral tentang makna hidup manusia di dunia:
181
Asmarandana
Eling-eling mangka eling
Rumingkang di bumi alam
Darma wawayangan bae
Raga taya pangawasa
Lamun kasasar lampah
Napsu nu matak kaduhung
Badan anu katempuhan
Sementara itu, Raden Siti Djenab sendiri terlahir, dididik dan dibesarkan
dari golongan menak hingga karir pendidikan mampu mengharumkan dirinya.
Kondisi kehidupan yang mendukungnya, telah menciptakan corak feodalisme antara
golongan menak dan masyarakat biasa pada umumnya. Hal tersebut diaplikasikan
pada
Sakola
Kautamaan
Istri
yang
dirintisnya
bersama
dengan
Bupati
Wiranatakusumah. Telah kita kenal sebelumnya, pola jalan ngempor atau ngesod
yang senantiasa dipupuk dan diajarkan oleh Raden Siti Djenab kepada anak didiknya
ketika hendak bertemu dengan petinggi kabupaten atau karesidenan. Ditambah lagi
beberapa tatakrama yang meniscayakan orang yang derajatnya lebih rendah untuk
dapat menghormati orang yang derajatnya lebih tinggi, seperti tatakrama
mengucapkan salam menurut adat menak yaitu dengan mencium tangannya seraya
membungkukkan badan setengah ruku . Hal-hal seperti itulah yang mengindikasikan
182
kentalnya corak feodalisme yang terjadi di Cianjur pada saat itu. Namun demikian,
tentunya hal tersebut tidak mengurangi makna akan adanya kesetaraan derajat
manusia di mata Allah SWT.
Salah satu hal yang mungkin sedikit berbeda antara Sakola Kautamaan Istri
yang didirikan oleh Raden Siti Djenab dibanding dengan sekolah yang didirikan oleh
Raden Dewi Sartika dan Raden Ayu Lasminingrat adalah masalah kurikulum tentang
pengetahuan agama. Pada Sakola Kautamaan Istri yang dipimpinnya, Raden Dewi
Sartika hanya memberikan materi 1 (satu) mata pelajaran untuk pengetahuan agama,
atau berkisar 11 % dari keseluruhan materi pelajaran yang diajarkan, yaitu: Menjahit,
menambal, menyulam, merenda, memasak, menyajikan makanan, PPPK dan
memelihara bayi. Kondisi seperti ini terjadi pula pada Sakola Kautamaan Istri Raden
Ayu Lasminingrat. Berbeda dengan Sakola Kautamaan Istri Raden Siti Djenab,
materi untuk ilmu pengetahuan agama dibagi menjadi 2 (dua) mata pelajaran, yaitu:
Budi Pekerti/Akhlak dan Pengetahuan Agama. Hal itu sebanding dengan 12 % dari
17 materi pelajaran yang diajarkan. Dengan demikian, Raden Siti Djenab telah
menempatkan pengetahuan agama pada posisi yang berbeda dibanding dengan
materi-materi lainnya.
Hal lain yang dianggap berbeda adalah metode pembelajaran yang
digunakan oleh Raden Siti Djenab dengan Raden Ayu Lasminingrat. Raden Ayu
Lasminingrat senanatiasa menggunakan metode pupuh dalam proses pembelajaran,
183
184
Selain daripada itu, kesulitan lain yang dihadapi oleh Raden Siti Djenab
ketika mendirikan Sakola Kautamaan Istri adalah besarnya pengaruh para pemuka
agama (ajengan) yang ada di Cianjur pada saat itu. Telah dipaparkan sebelumnya
bahwa pada kurun waktu antara 1856 hingga awal abad ke-20 jumlah pesantren yang
ada di Cianjur mencapai 174 pesantren dari 537 pesantren yang ada di wilayah
Priangan, dengan rincian 174 pesantren yang terdapat di Kabupaten Cianjur, 79
pesantren di Kabupaten Sukapura, 162 pesantren di Kabupaten Bandung dan 122
pesantren di Kabupaten Sumedang. Dengan demikian, Cianjur merupakan kabupaten
yang paling produktif mendirikan lembaga pendidikan tradisional berupa pesantren.
Kondisi seperti ini sedikit banyak berpengaruh terhadap upaya Raden Siti Djenab
dalam proses pendirian Sakola Kautamaan Istri karena sebagian besar golongan yang
menentang untuk didirikannya sekolah bagi kaum perempuan adalah dari kelompok
ajengan (kyai). Sehingga tidak heran jika pada proses selanjutnya, Raden Siti Djenab
meminta persetujuan kepada Bupati Wiranatakusumah untuk bersama-sama
mendirikan sekolah yang dirintisnya tersebut.
185
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cianjur merupakan salah satu kabupaten tertua di Priangan yang masih bisa
bertahan hingga sekarang. Wilayah politik yang didirikan sejak 1677 ini tidak hanya
mengalami penetrasi dari VOC tetapi juga dari pemerintah kolonial Inggris dan
Belanda. Namun demikian, penetrasi yang dialami Cianjur semasa pemerintahan
kolonial Belanda jauh lebih luas dan mendasar. Tanpa bisa dihindari, selama
berlangsungnya penetrasi pemerintah kolonial Belanda pada 1816 hingga 1942,
banyak perubahan yang terjadi di Cianjur, baik wilayah, ekonomi, politik hingga
pendidikan. Tentunya semua perubahan ini didorong oleh beberapa faktor yang
mempengaruhinya.
Sejak berdiri pada 1677, Kabupaten Cianjur telah mengalami beberapa kali
penataan wilayah diantaranya perluasan yang dilakukan pada masa pemerintahan
Bupati Aria Wiratanu III yaitu wilayah Jampang di Cianjur Selatan hingga perbatasan
Banten. Wilayah ini diberikan oleh Gubernur Jenderal Van Swall sebagai hadiah
kepada bupati karena keberhasilannya menjadikan Cianjur sebagai produsen kopi
terbesar di Karesidenan Priangan pada saat itu. Selanjutnya penataan wilayah kedua
terjadi ketika Cianjur bersama Sumedang, Bandung, Parakanmuncang, Limbangan
dan Sukapura digabungkan menjadi satu wilayah penghasil kopi di Priangan. Selain
itu, dibangunnya Jalan Raya Pos yang melintang di jalur Buitenzorg Puncak
Cianjur Bandung pada masa kekuasaan Daendels tentunya menjadi keuntungan
tersendiri bagi Cianjur karena sering dilalui oleh para pedagang dan pejabat
pemerintah kolonial. Dalam proses menuju perkembangan sarana dan infrastruktur,
Cianjur juga memperoleh fasilitas jalan kereta api yang digunakan sebagai salah satu
jalur untuk menghubungkan Batavia Sukabumi Cianjur Bandung. Sehingga
tidak mengherankan jika pada kurun waktu kurang lebih 48 tahun Cianjur pernah
dijadikan sebagai ibukota Karesidenan Priangan.
Dalam bidang pendidikan, hingga akhir kekuasaan pemerintah kolonial
Belanda pada 1942, sedikitnya terdapat beberapa baik yang didirikan atas prakarsa
pemerintah maupun yang diprakarsai oleh pihak swasta. Sekolah-sekolah yang
didirikan di Cianjur tersebut tersebar di daerah Cianjur, Cibeber, Pacet, Ciranjang,
Cikalong Kulon, Sukanagara, dan Sindangbarang. Adapun sekolah-sekolah tersebut
antara antara lain: (1) Openbare Europeesche Lagere School (Sekolah Dasar Eropa),
(2) Openbare Schakelschool (Sekolah Peralihan), (3) Openbare HollandschInlandsche School (Sekolah Dasar Pribumi-Belanda), (4) Bijzonder Hollandsch
Chineesche School (Sekolah Dasar Swasta untuk orang Cina), (5) Openbare
Inlandsche School der Tweede Klasse (Sekolah Dasar Kelas Dua), (6) Sekolah
Sarekat Islam (SI), (7) Kesatrian School (Sekolah Lanjutan), (8) Hollandsch
Inlandsche-School (HIS) Pasundan, (9) Arabische School Janatoettalib Wal Miskin
(Sekolah Rendah Arab Janatoettalib wal Miskin), (10) Zendingschool (Sekolah
178
bagi kaum
perempuan. Bahkan terdapat beberapa kelompok yang merasa keberatan jika anak
gadisnya melanjutkan pendidikan pada sekolah formal atau ke jenjang yang lebih
tinggi. Adapun alasan-alasan yang dikemukakan antara lain menyebutkan bahwa
tugas utama perempuan hanyalah di dapur, sumur dan kasur. Dengan demikian
pendidikan bagi kaum perempuan masih dipandang tidak perlu dan tidak bermanfaat.
Selain itu adanya anggapan bahwa menggabungkan anak laki-laki dengan anak-anak
179
perempuan dalam satu kelas dan/atau sekolah masih dianggap sebagai sesuatu hal
yang kurang baik menurut etika.
Alasan lain yang mencuat adalah permasalahan tradisi yang mengakar di
masyarakat yang salah satunya menyebutkan bahwa anak-anak perempuan pada usia
muda atau menginjak masa remaja diwajibkan membantu orang tuanya untuk
mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebagai sarana persiapan menuju jenjang
pernikahan. Selain itu, menyelenggarakan pendidikan bagi kaum perempuan masih
dipandang sebagai sesuatu hal yang bertentangan dengan adat istiadat karena pada
dasarnya anak perempuan akan cepat menikah sehingga walaupun ia mengenyam
pendidikan yang lebih tinggi akan dianggap sebagai sesuatu hal yang percuma untuk
dilakukan.
Terkait dengan masalah itulah, maka anak perempuan yang mengenyam bangku
sekolah diprediksikan akan mengalami kesulitan ketika memilih jodoh. Selain itu,
sebahagian masyarakat masih menganggap bahwa meskipun anak perempuan
sekolah, mereka tidak akan bekerja seperti laki-laki sehingga pendidikannya akan
dipandang sia-sia. Adapun alasan lain yang senantiasa digembor-gemborkan adalah
adanya kekhawatiran jika anak perempuan mereka disekolahkan maka anak tersebut
akan bersikap sombong kepada suaminya, terlebih apabila pendidikan suaminya lebih
rendah.
Secara sederhana potret pendidikan bagi kaum perempuan yang terjadi di
Cianjur sebelum didirikannya Sakola Kautamaan Istri menggambarkan bahwa seluruh
180
anak-anak gadis pada usia remaja mengalami dunia pingitan. Mereka dituntut untuk
dapat membantu orang tuanya mengasuh adik-adik mereka yang masih kecil,
menyiapkan makanan, mencuci pakaian, dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga
lainnya. Namun demikian, mereka masih mempunyai waktu senggang untuk bertemu,
bermain dan berbincang-bincang dengan teman sebayanya, pergi mengaji ke rumah
kyai, membaca Al-Quran dan sebagainya. Kondisi seperti ini tidak hanya dialami
oleh anak-anak gadis dari golongan menengah ke bawah tetapi juga anak-anak gadis
dari golongan menak (priyayi).
Sehubungan dengan adanya realitas seperti itulah Raden Siti Djenab akhirnya
tergugah untuk mendirikan sekolah yang khusus diperuntukkan bagi kaum
perempuan. Raden Siti Djenab memandang bahwa kaum perempuan juga memiliki
hak yang sama dengan kaum laki-laki untuk mendapatkan pendidikan yang setinggitingginya sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Melalui pendidikan kaum
perempuan akan mendapat nilai plus tersendiri ketika berhadapan dengan kaum lakilaki dalam mengembangkan potensi serta gagasannya. Dengan demikian, kaum
perempuan tidak lagi bisa dipandang sebelah mata karena alasan-alasan yang tidak
logis. Melalui pendidikan kaum perempuan juga dapat disejajarkan dengan kaum
laki-laki dalam memperoleh kesempatan yang luas serta fasilitas yang lengkap untuk
menimba ilmu sebanyak mungkin serta mengasah keterampilan mereka dalam
menghadapi dunia pekerjaan sehingga meminimalisir terjunnya kaum perempuan di
tengah lapangan pekerjaan yang kurang bisa dihargai, seperti menjadi buruh di
181
Siti
Djenab
meminta persetujuan
182
kepada
Raden
Aria
Muharram
Wiranatakusumah yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Cianjur untuk
bersama-sama mendirikan sekolah tersebut. Meskipun demikian, tetap saja ada
cemoohan yang datang dari para praktisi pendidikan yang bertugas di sekolahsekolah lain di Cianjur yang setingkat dengan Sakola Kautamaan Istri, di antaranya
Hollandsch Inlandsche-School (HIS).
Raden Siti Djenab adalah seorang sosok perempuan Sunda yang gigih
memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, terlebih kaum perempuan Sunda pituin.
Hal tersebut salah satunya tercermin ketika ia masih berusia 14 tahun, tepatnya pada
1904, Raden Siti Djenab lulus dari Hollandsch Inlandsche School (HIS). Saat itu ia
sudah menaruh perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan dengan melakukan
praktikum mengajar pada Sekolah Dasar (Tweede Inlandse School) yang terletak di
daerah Joglo, Cianjur. Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan kemajuan
pesat yang dimilikinya, Raden Siti Djenab diangkat menjadi guru magang
(kweekeling) dan pada tahun 1916 ia mulai mengajar di Sakola Kautamaan Istri.
Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa Sakola Kautamaan Istri merupakan
sekolah yang memiliki concern terhadap pemberdayaan pendidikan bagi kaum
perempuan, sehingga murid-murid yang belajar di sekolah ini khusus diperuntukkan
bagi kaum perempuan yang tinggal di wilayah Cianjur dan sekitarnya. Sekolah
tersebut dirintisnya bersama-sama dengan R. Aria Muharram Wiranatakusumah, yang
pada saat itu menjabat sebagai bupati Cianjur yang ke-11, sebelum beliau
dialihtugaskan ke Bandung.
183
184
memenuhi
semua
kebutuhan
selama
proses
pembelajaran
185
menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Selama Sakola Kautamaan Istri Cianjur
berdiri, tercatat dalam sejarah beberapa nama alumni di antaranya: Sufiah, Najmiati,
Sarimaya, Kania, Romah Sutresna dan Nunung Kurniasih. Bahkan setelah tamat dari
Van Deventer, Najmiati melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Guru
(Kweekschool) di Salatiga.
Konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Raden Siti Djenab melalui
Sakola Kautamaan Istri ini sepadan dengan konsep yang dikemukakan oleh Raden
Dewi Sartika dan Raden Ayu Lasminingrat. Raden Dewi Sartika menuangkan ide dan
gagasannya melalui Sakola Istri yang dirintisnya di Bandung, sedangkan Raden Ayu
Lasminingrat menuangkannya melalui Sekolah Kautamaan Istri yang didirikan di
Garut. Ketiga lembaga pendidikan ini memiliki concern yang sama yakni
peningkatan kualitas sumber daya manusia perempuan Indonesia pada umumnya dan
perempuan Sunda pituin pada khususnya. Gagasan yang dicanangkan oleh Raden Siti
Djenab sendiri dilakukan sebagai salah satu upaya dalam pemberdayaan pendidikan
kaum perempuan di Cianjur, Jawa Barat.
Konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Raden Dewi Sartika, Raden
Ayu Lasminingrat dan Raden Siti Djenab tidaklah jauh memiliki perbedaan. Ketiga
sekolah yang dikembangkan oleh para tokoh pendidikan perempuan dari tatar Sunda
ini memiliki visi yang sama dalam upaya pemberdayaan bagi kaum perempuan Sunda
pada khususnya maupun perempuan Indonesia pada umumnya untuk memupus
186
187
lain
yang
dimiliki
oleh
Raden
Dewi
Sartika
dalam
188
Warnasari merupakan buku hasil terjemahan dari buku berbahasa Belanda yaitu
Verhalen van Moeder de Gans, sedangkan Kulit Kalde merupakan hasil terjemahan
dari Putri Bianca. Buku-buku tersebut berisi tentang dongeng-dongeng yang
diperuntukkan bagi anak-anak usia sekolah dasar sehingga tidak heran jika buku
Warnasari banyak ditemukan di perpustakaan-perpustakaan Sekolah Dasar (SD) di
Jawa Barat. Raden Ayu Lasminingrat memang sangat menyukai dunia kanak-kanak
sehingga ia banyak menulis buku tentang anak-anak. Buku-buku tersebut disusun
dengan gaya bahasa yang indah dan dikemas cukup menarik untuk dibaca dan
memenuhi selera anak-anak. Hal itu dilakukannya atas pertimbangan bahwa pada saat
itu buku-buku bacaan untuk anak-anak dalam bahasa Sunda masih sangat terbatas,
dan buku-buku ilmu pengetahuan yang ada di negeri kita pada saat itu kebanyakan
ditulis dalam Bahasa Belanda.
Dalam perkembangannya kemudian, buku-buku tersebut kemudian disadur
sedemikian rupa sehingga menjadi cerita berseling dangding, yakni buku cerita yang
dalam salah satu atau beberapa paragraf, pesan moral yang dikandung dalam paragraf
tersebut disampaikan dalam bentuk pupuh (irama lagu Sunda yang menggunakan
tangga nada pentatonis baik pelog atau slendro). Hal ini dilakukan dengan tujuan agar
para pembaca yang pada saat itu masih memiliki pendidikan dalam taraf rendah dapat
dengan mudah mencerna dan memahami maksud dari buku yang disampaikan.
Selain itu, dalam mengaplikasikan gagasannya, Raden Ayu Lasminingrat
mempunyai metode pembelajaran tersendiri yang sebelumnya tidak digunakan oleh
189
Raden Dewi Sartika. Selama proses belajar mengajar, Raden Ayu Lasminingrat
sering menggunakan metode pupuh walaupun tidak semua mata pelajaran
disampaikan dalam bentuk pupuh. Pupuh dianggap efektif oleh Raden Ayu
Lasminingrat untuk membantu para siswi dalam mencerna materi pelajaran, terlebih
materi-materi pelajaran yang bersifat pesan moral.
Adapun Sakola Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden Siti Djenab pada
dasarnya tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah yang telah didirikan oleh dua
orang pendahulunya, yakni Raden Dewi Sartika dan Raden Ayu Lasminingrat.
Namun demikian, terdapat beberapa perbedaan yang mendasar mengenai corak
kehidupan yang dikembangkan oleh Raden Siti Djenab dengan Raden Dewi Sartika.
Selama
menanamkan konsep feodalisme yang pada akhirnya terbangun dalam diri para
siswinya. Hal ini mungkin terjadi karena Raden Siti Djenab sendiri terlahir, dididik
dan dibesarkan dari golongan menak yang pada saat itu menjadi kebanggaan
tersendiri bagi masyarakat Cianjur. Meskipun demikian, kondisi itu tidak serta merta
membuat Raden Siti Djenab menjadi sombong dan angkuh. Semua dilakukan dengan
tidak mengurangi rasa hormat dan mengurangi makna akan adanya kesetaraan derajat
manusia di mata Allah SWT. Terlebih karena pada saat itu budaya yang berkembang
di Cianjur meniscayakan masyarakat untuk senantiasa menanamkan tradisi menak.
Perbedaan lain yang mencuat adalah Raden Siti Djenab tidak menuangkan
gagasannya dalam bentuk buku seperti yang dilakukan oleh Raden Ayu
190
191
B. Saran-saran
Dengan dilakukannya penelitian ini, penulis memiliki setitik harapan yang
mungkin dapat diaplikasikan oleh para pakar maupun praktisi pendidikan yang
memiliki gairah serta geliat untuk meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan
Sunda khususnya maupun perempuan Indonesia pada umumnya. Sehubungan dengan
itu, penulis berharap agar di kemudian hari penelitian tentang Raden Siti Djenab yang
memiliki peran sebagai salah satu tokoh pendidikan kaum perempuan dari Cianjur ini
dapat dilakukan lebih mendalam.
Selain itu, Pemerintah Daerah (PEMDA) Cianjur sebagai salah satu wadah
untuk menginspirasikan ide serta gagasan masyarakat Cianjur diharapkan dapat
melakukan proses penelusuran data terhadap tokoh-tokoh pribumi Cianjur, baik tokoh
192
193
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos, 1999, Cet. II
Algemeen Verslag van het Middelbaaren Lager Onderwijs voor Europeanen in
Nederlandch-Indies over 1895 Batavia: Landsdrukkerij, 1896.
Ali, Abdullah, Trilogi Riset, Penelitian, Statistik dan Penulisan Skripsi, Cirebon, Biro
Riset dan Badan Penerbit IAIN Sunan Gunung Djati Fakultas Tarbiyah
Cirebon, 1988.
Amin, Sjarif, Perjoangan Paguyuban Pasundan (1914-1942), Bandung: Sumur
Bandung, 1984.
Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Cianjur, Jl. Selamet Riyadi No. 1 Cianjur.
Arsip Nasional Republik Indonesia, Koleksi Arsip Priangan, Politiek Verslag 1856,
Bundel 1/2.
--------- , Politiek Verslag 1873, Bundel 1/19.
--------- , Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Barat), Penerbitan Sumbersumber Sejarah No. 8, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1976.
Arsip Pribadi H. Abbas Sahabuddin, Ketua YPI Gedong Asem, Cianjur, Asal Usul
Tanah Gedong Asem dan Yayasan pendidikan Islam Riyadhul Muttaqien,
Gedong Asem, Cianjur, 27 Maret 1993.
Azra, Azyumardi dkk., Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2002, Cet II.
Barnadib, Imam, Arti dan Metode Sejarah Pendidikan, Yogyakarta: Yayasan
Penerbitan FIP IKIP Yogyakarta, 1982.
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam
di Indonesia, Bandung: Mizan, 1999, Cet. III.
Burhanuddin, Jajat (ed), Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002.
Dayono, Yan, Indonesia Media Online, Januari 2001, Memperingati Hari Lahirnya
Raden
Dewi
Sartika
Tanggal
4
Desember
2000,
http://www.indonesiamedia.com/2001/jan/tokoh-0101-dewisartika.htm
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1990.
Departemen Pendidikan Nasional, Guru di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan dan
Perjuangannya Sejak Zaman Kolonial Belanda Hingga Era Reformasi, ed.
194
195
Media Online, Indonesia, Januari 2001, Memperingati Hari Lahirnya Raden Dewi
Sartika
Tanggal
4
Desember
2000,
http://www.indonesiamedia.com/2001/jan/tokoh-0101-dewisartika.htm
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004, Cet. XVIII.
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Pronk, L., De Bestuursreorganisatie-Mullemeirter op Java en Madoera en baar
beteekenis voor het beden, Leiden: M. Dubbeldeman, 1929.
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Metode
Penelitian Sejarah, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1986.
Rosidi, Ajip, dkk., Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia dan Budaya Termasuk Budaya
Cirebon dan Betawi, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000
---------, Manusia Sunda Sebuah Esai Tentang Tokoh-Tokoh Sastra dan Sejarah,
Jakarta: Inti Idayu Press, 1984.
Salira, Babad, http://su.wikipwdia.org/w/index.php?title=Lasminingrat&action=edit
§ion=I
Sejarah Kuningan, http://www.kuningan.go.id/modules.php?op=modload&name
=Sections&file=index&req=viewarticle&artid=119&page=1
Sevilla dkk., Consuelo G., Pengantar Metode Penelitian, terj. Alimuddin Tuwu,
Jakarta: UI Press, 1993.
Staatblad van Nederlandsh-Indie over het Jaar 1864, No. 54; Tourist Guide to
Buitenzorg, the Preanger and Central Java, Weltevreden: Official Tourist
Bureau, 1913.
Surianingrat, Bayu, Sajarah Cianjur sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul
Cianjur, Jakarta: Rukun Warga Cianjur, 1982.
Suryadi, Ace dan Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan,
Bandung: PT. Genesindo, 2004.
Utsman, Hasan, Manhaj al-Bahts al-Trkh, Mesir: Dar al-Marif, tt, Cet. IV, terj.
Tim Penerjemah Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi
Agama/IAIN di Jakarta, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, Departeman Agama R.I., 1986.
Wawancara dengan H. Ahmad Hindarsah, bertempat di kediaman beliau Jl.
Siliwangi, Gg. Guntur II NO. 2101 , Cianjur, Senin, 26 September 2005,
pukul 09.000 11.00 WIB.
196
197
Raden Martadilaga
RA. Abdurrakhman
R. H. Muh. Enoch
Raden Mustarom