Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN KEGIATAN PPDH

BAGIAN REPRODUKSI DAN KEBIDANAN

PRAKTIKUM BREEDING SOUNDNESS EVALUATION (BSE):


KOLEKSI DAN EVALUASI SEMEN PADA DOMBA

Dibawah bimbingan:
Dr. drh. Yudi, M.Si
Disusun Oleh :
Kelompok I.A1
Bintang Pratiwi, SKH

B94154108

Devi Anianti, SKH

B94154112

Hayatullah Frio Marten, SKH

B94154123

Rifky Rizkiantino, SKH

B94154143

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu bioteknologi reproduksi yang
digunakan dalam upaya peningkatan populasi dan mutu genetik ternak
(Koibur 2005). Teknologi inseminasi buatan di Indonesia sudah dikenal sejak
tahun 1950-an. Berbagai hasil penelitian menunjukkan conseption rate (CR) hasil
IB pada domba masih bervariasi antara 2545%, hasil ini lebih rendah dari angka
konsepsi pada sapi sebesar 76.73% (Koibur 2005). Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan inseminasi buatan, salah satunya adalah kualitas
semen yang digunakan saat inseminasi.
Menurut Sugoro (2009) untuk dapatmemperoleh semen yang baik maka
perlu diperhatikan mulai dari proses penampungan,evaluasi, pengenceran dan
penyimpanan semen. Semen segar yang telah dikoleksi dan melalui tahap evaluasi
kemudian harus segera diencerkan dengan bahan pengencer yang telah ditentukan.
Tujuan dari pengenceran semen untuk meningkatkan volume semen dan dapat
disimpan lama tanpa mengurangi kesuburannya (Hardijanto et al.2007). Hafez
dan Hafez (2000) menyatakan bahwa semen yang tidak diencerkan sulit untuk
mempertahankan hidupnya lebih dari 24 jam meskipun ia telah disimpan pada
suhu yang rendah. Adapun syarat dari bahan pengencer yang baik untuk semen
antara lain yaitu dapat melindungi spermatozoa dari cold shock (cekaman dingin)
pada suhu yang rendah, mengandung bahan nutrisi bagi spermatozoa, antibiotik,
dan buffer atau penyangga (Toelihere 1985). Penambahan bahan pengencer ini
menjadikan semen ke dalam dua bentuk yaitu semen cair dan semen beku. Bentuk
semen cair dan semen beku yang membuat semen menjadi lebih tahan lama dan
dapat didistribusikan ke berbagai pelosok daerah di Indonesia.
BSE merupakan metode yang dapat dilakukan untuk mengetahui kapasitas
reproduksi dari seekor pejantan berdasarkan standar pengukuran dan interpretasi
kriteria tertentu yang terkait dengan kemampuan untuk berkembang biak serta
fertilitas, berdasarkan pengukuran perkembangan testis dan karakteristik semen.
BSE dilakukan dengan prinsip yang sangat akurat, sehingga dengan demikian
didapatkan pejantan fertil yang unggul.
Proses identifikasidalam BSE terdiri dari beberapa bagian utama, yaitu:
pertama melakukan physical examination untuk mengetahui kondisi fisik pejantan
secara umum, seperti melakukan pengamatanterhadap Body Condition Score
(BCS), pemeriksaan mata, kaki, persendian, dan kecacatan; kedua pemeriksaan
libido dan kemampuan kawin dari pejantan unggul yang digunakan; ketiga
pemeriksaan terhadap organ genital; keempat melakukan pengukuran lingkar
skrotum dan yang kelima yaitu evaluasi semen. Tujuan dilakukan pengamatan
BSE adalah untuk menilai apakah hewan pejantan yang diuji merupakan pejantan
yang fertil serta memiliki spermatozoa yang layak digunakan dalam proses
inseminasi buatan (IB).
Tujuan
Tujuan dari pengamatan ini adalah mengetahui status fertilitas pejantan
domba melalui metode Breeding soundness evaluation (BSE).

2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penilaian Breeding Soundness Examination (BSE) pada Ternak Jantan
Penilaian Breeding Soundness Examination (BSE) pada ternak jantan
penting dilakukan untuk pemilihan pejantan unggul. Pejantan unggul memiliki
kualitas dan kuantitas semen yang baik, dan dapat menghasilkan keturunan yang
unggul. Penilaian BSE dilakukan dengan pemeriksaan fisik, diameter skrotum,
koleksi dan evaluasi semen. Tabel 1 menunjukkan data penilaian BSE pada
domba.
Tabel 1 Data pemeriksaan BSE pada domba dan sapi
Parameter
Domba
Suhu
39.5 C
Pulsus
90x/menit
Frekuensi napas
80x/menit
Konformasi kaki
Kaki aladin
Kondisi mata
Tidak ada kelainan
Lingkar Skrotum
25 cm

Sapi
39 C
60x/menit
32x/menit
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
32 cm

Perbedaan karakteristik semen segar sapi dan domba pada hari-1


Tabel 2 Hasil evaluasi semen segar sapi dan domba hari ke-1
Parameter
Sapi
Makroskopik
Volume (mL)
8.75 mL
Warna
Putih susu
Konsistensi
Encer
Ph
6.4
Bau
Khas sperma
Mikroskopis
Gerakan massa (+/++/+++)
++
Gerakan individu (1-5)
4
Motilitas progresif (0-100%)
72.5
Persentase hidup (viabilitas) (%)
78.65
Konsentrasi spermatozoa (106/mL)
- Estimasi
Densum
- Counting chamber
737.5106
Abnormalitas morfologi (%)
3.77

Domba
0.8 mL
Krem
Kental
6.4
Khas sperma
+++
5
80
90.25
Densum
4800106
8.88

Pengamatan makroskopis dan mikroskopis yang telah dilakukan, diketahui


bahwa volume semen domba yang diperoleh adalah 0.8 ml. Hasil ini sesuai
dengan pendapat Garner dan Hafez (2000) yang menyatakan bahwa volume
semen domba rata-rata berkisar antara 0.81.2 ml. Warna semen yang ditampung
adalah krem. Hasil ini sesuai dengan pendapat Ax et al. (2000) yang menyatakan
bahwa warna semen domba adalah putih susu atau krem. Konsistensi semen
dombayang diperoleh sesuai dengan penelitian Hastono et al. (2001) pada domba

3
yaitu kental.Konsentrasi semen domba yang didapatkan menurut estimasi adalah
densum. Hasil ini sesuai dengan perhitungan konsentrasi menggunakan kamar
hitung yaitu 4.800 juta sel/ml.Pengamatan menunjukkan persentase motilitas
spermatozoa domba sebesar 80%. Hasil ini sesuai dengan penelitian Garner dan
Hafez (2000) bahwa semen segar domba mempunyai rata-rata sekitar 6080%.
Persentase hidup spermatozoa domba hasil pengamatan adalah 90.25%.
Semen sapi setelah dievaluasi memiliki volume 8.5 ml dan pH senilai 6.4.
Nilai pH yang didapat juga sesuai dengan pendapat Pineda (2003), pH semen sapi
normal berkisar antara 6.4-7.8. Hasil pemeriksaan mikroskopis semen segar sapi
yang pertama adalah gerakan massa pada semen sapi menunjukkan gambaran
gelombang yang sedang dan gerakan spermatozoa cukup aktif (++). Gerakan
individu bernilai 4 dan motilitas progresifnya 72.5%. Viabilitas atau persentase
spermatozoa hidup yang diamati adalah 78.65%. Persentase viabilitas tersebut
lebih tinggi dibandingkan dengan skor motilitas spermatozoa. Keadaan ini
menunjukkan bahwa jumlah spermatozoa yang masih hidup masih tergolong
tinggi namun tidak motil. Adapun konsentrasi semen sapi tergolong tinggi yaitu
sebesar 737.5x106/mL.
Evaluasi semen segar domba hari ke-2
Tabel 3 Evaluasi semen segar domba hari ke-2
Ulangan ke-

Pengamatan
Makroskopis
Volume (ml)
Warna
pH
Konsistensi
Bau

Rataan

0.8
Krem
7.4
Kental
Khas
sperma

0.8
Krem
7.4
Kental
Khas
sperma

0.8
Krem
7.4
Kental
Khas sperma

++
4
75

++
4
75

++
4
75

Densum
1300

Densum
1300

Densum
1300

87.89%
12.1%

88.61%
7.39%

88.25%
9.74%

14.71%

4.98%

9.85%

Mikroskopis
Gerakan Spermatozoa
Gerakan massa (+/++/+++)
Gerakan individu (1-5)
Motilitas progresif (0-100%)
Konsentrasi spermatozoa (106/ml)
- Estimasi
- Counting chamber
Presentase hidup (viabilitas%)
Hidup
Mati
Abnormalitas morfologi (%)

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa volume semen domba yang dikeluarkan


pada hari ke-1 dan pada hari ke-2 adalah 0.8 mL. Nilai pH, bau, konsistensi dan
warna tidak menunjukkan adanya kelainan. Hasil pemeriksaan makroskopis ini

4
relatif stabil jika dibandingkan dengan hari-1. Pada pemeriksaan mikroskopis hari
ke-2 didapatkan hasil gerakan massa, gerakan individu, persentase motilitas dan
viabilitas semen segar domba yang mulai menurun dibandingkan pada hari-1, hal
ini mungkin disebabkan oleh domba membutuhkan waktu untuk melakukan
proses spermatogenesis (memproduksi spermatozoa).
Semen Beku Domba dengan Pengencer Tris-Kuning Telur dan Na SitratKuning Telur (Post Thawing)
Tabel 4 Hasil pengamatan semen beku domba
Post Thawing

Semen
segar

Semen
cair

Setelah
ekuilibrasi

Suhu 37C

Air kran

Tris-KT
Rataan Motilitas (%)
Rataan Viabilitas (%)

75
88.25

75
66.51

70
63.96

45
47.02

55
57.03

Na sitrat-KT
Rataan Motilitas (%)
Rataan Viabilitas (%)

75
88.25

75
60.25

65
51.5

40
47.2

50
53.3

Pengencer/Parameter

Motilitas Semen Beku


80
70
60
50
40
30
20
10
0

Motilitas Tris-KT (%)


Motilitas Na SitratKT (%)

Sebelum Setelah Thawing Thawing


ekuilibrasi ekuilibrasi suhu 37 suhu 27
C
C

Gambar 1 Motilitas spermatozoa semen beku dalam pengencer tris-kuning telur


dan Na sitrat-kuning telur

Viabilitas Semen Beku


70
60
50
40
30
20
10
0

Viabilitas Tris-KT (%)


Viabilitas Na SitratKT (%)
Sebelum Setelah Thawing Thawing
ekuilibrasiekuilibrasi suhu 37 suhu 27
C
C

Gambar 2 Viabilitas spermatozoa semen beku dalam pengencer tris-kuning telur


dan Na sitrat-kuning telur
Witarsa (2001), menyatakan bahwa semen yang baik harus mempunyai nilai
hidup minimal 40% post-thawing. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa
semen yang telah dibekukan pada pengamatan ini layak digunakan untuk
inseminasi. Pembekuan semen adalah proses penghentian sementara kegiatan
hidup dari sel tanpa mematikan fungsi sel (Mumu 2009). Akan tetapi, masalah
yang sering dihadapi dalam proses pembekuan adalah cold shock dan
terbentuknya kristal es sehingga menyebabkan kerusakan sel pada spermatozoa
(Iskandar et al. 2006). Selama proses pembekuan dan pencairan kembali juga
dapat menyebabkan kerusakan pada membran plasma dan tudung akrosom
(Bag et al. 2002). Upaya untuk mengatasi hal tersebut, selama proses pembekuan
semen biasanya ditambahkan bahan krioprotektan ke dalam pengencer.
Gliserol merupakan krioprotektan yang paling sering digunakan dalam
pembekuan semen (Azizah dan Arifiantini 2009). Menurut Mumu (2009), gliserol
dapat mencegah pengumpulan molekul-molekul air dan akan memodifikasi kristal
es yang terbentuk di dalam medium sewaktu pembekuan sehingga menghambat
kerusakan sel secara mekanis pada pembekuan semen. Gliserol termasuk kedalam
krioprotektan intraseluler yang dapat keluar masuk membran. Hal ini dikarenakan
gliserol memiliki berat molekul yang kecil sehingga bersifat permeabel dan dapat
menstabilkan membran plasma spermatozoa selama proses pembekuan.Peranan
lain dari gliserol adalah mencegah terjadinya dehidrasi.
Metode thawing semen beku menjadi salah satu faktor yang sangat
menentukan program IB karena thawing akan mempengaruhi kualitas
spermatozoa. Fluktuasi perubahan suhu pembekuan dan pada saat thawing akan
mengurangi proporsi spermatozoa motil dan menyebabkan kerusakan
ultrastruktural, biokimia dan fungsional (Herdiawan 2004). Suhu yang digunakan
untuk thawing adalah air bersuhu 37C selama 30 detik dan air kran dengan suhu
27C selama 45 detik. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa motilitas dan
viabilitas spermatozoa yang di thawing pada suhu 27C (air kran) lebih baik
daripada spermatozoa yang di thawing pada suhu 37C. Hal ini berbeda dengan
pendapat Amin (1999), yang menyatakan bahwa thawing pada temperatur 37C
menghasilkan motilitas dan viabilitas yang lebih tinggi karena dapat membantu
semen untuk melewati masa kritisnya dengan cepat. Selain itu, temperatur 37C

6
hampir sama dengan temperatur tubuh hewan (Evans dan Maxwell 1987).
Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan kurang akuratnya waktu thawing yang
dilakukan.
Karakteristik Semen Cair Domba Per-Harinya pada Pengencer Tris-Kuning
Telur dan Na Sitrat-Kuning Telur
Semen cair adalah semen segar yang telah diberi bahan pengencer dan
disimpan pada suhu 5C serta dapat digunakan dalam jangka waktu 3 sampai
dengan 4 hari. Sperma sangat sensitif terhadap suhu dingin, dibutuhkan bahan
pengencer yang dapat melindungi spermatozoa dari kejutan dingin (cold shock)
selama penyimpanan, contohnya kuning telur (Tsutsui et al. 2003). Sumber nutrisi
yang paling banyak digunakan adalah karbohidrat terutama jenis fruktosa yang
paling mudah dimetabolisasi oleh spermatozoa (Toelihere 1985). Tujuan lain
penambahan bahan pengencer ke dalam semen yaitu untuk memperbanyak
volume semen sehingga jumlah betina yang dapat difertilisasi secara buatan
menjadi lebih banyak. Hasil yang didapatkan dari evaluasi pembuatan semen cair
terdapat dalam tabel 5 dan grafik 3,4 di bawah ini.
Tabel 5 Karakteristik motilitas dan viabilitas semen cair domba dalam pengencer
Tris-kuning telur dan Na sitrat-kuning telur
Semen
Hari kePengencer/Parameter
segar
0
1
2
3
4
5
6

Tris-kuning telur
Rataan Motilitas (%)
RataanViabilitas (%)

75
88.25

75
70
82.69 77.01

55
50
72.38 62.09

45
55.3

40
15
52.29 25.38

0
0

Na sitrat-kuning telur
Rataan Motilitas (%)
Rataan Viabilitas (%)

75
88.25

75
65
69.61 62.78

50
50
40
53.98 50.61 48.95

30
5
40.08 21.04

0
0

Motilitas Semen Cair


80
70
60
50
40
30
20
10
0

Motilitas Tris-KT (%)


Motilitas Na sitrat-KT
(%)

H0

H1

H2

H3

H4

H5

H6

H7

Gambar 3 Motilitas spermatozoa semen cair dalam pengencer tris-kuning telur


dan Na sitrat-kuning telur

Viabilitas Semen Cair


90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Viabilitas Tris-KT (%)


Viabilitas Na sitrat-KT
(%)

H0

H1

H2

H3

H4

H5

H6

H7

Gambar 4 Viabilitas spermatozoa semen cair dalam pengencer Tris-kuning telur


dan Na sitrat-kuning telur
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terjadi penurunan motilitas sperma
pada masa penyimpanan secara bertahap hingga hari ke-5 pada kedua pengencer
yaitu tris-kuning telur dan sitrat-kuning telur. Motilitas adalah gerak maju
kedepan dari spermatozoa secara progresif. Pada hari pertama spermatozoapada
pengencer tris-kuning telur menunjukkan motilitas sebesar 75%, kemudian
menurun sedikit demi sedikit pada hari berikutnya, hingga pada hari ke-5 motilitas
progresifnya hanya mencapai 40%. Motilitas sperma pada pengencer sitrat-kuning
telur pada hari pertama sebesar 75%, kemudian menurun hingga mencapai 40%
pada hari keempat.
Fenomena penurunan motilitas spermatozoa setelah penyimpanan yang
lama lebih diakibatkan oleh menurunnya zat makanan spermatozoa dan pengaruh
zat toksik hasil sampingan dari proses metabolisme spermatozoa. Rizal et al.
(2002) mengatakan bahwa motilitas spermatozoa sangat bergantung pada suplai
energi berupa adenosin triphosphate (ATP) hasil dari proses metabolisme sel.
Metabolisme tersebut akan mempercepat terbentuknya asam laktat. Tingginya
asam laktat menyebabkan perubahan pH yang bersifat toksik dan berakibat pada
kematian spermatozoa.
Viabilitas spematozoa merupakan persentase hidup matinya spermatozoa.
Viabilitas sperma berbanding lurus terhadap penurunan motilitas progresif
sperma, semakin rendah motilitas semakin rendah pula viabilitas sperma hidup.
Pada hari pertama viabilitas pengencer tris kuning telur sebesar 82.69% kemudian
turun sedikit demi sedikit hingga hari kelima mencapai angka 49.1%. Hal yang
sama juga terjadi pada pengencer Na sitrat kuning telur. Viabilitas pada hari
pertama sebesar 69.61% kemudian menurun hingga 48.95% pada hari keempat.
Hasil ini menunjukkan bahwa pada kedua pengencer tris-kuning telur dan Na
sitrat dapat mempertahankan motilitas dan viabilitas spermatozoa dengan baik.
Hal ini disebabkan pada kedua pengencer mengandung kuning telur yang dapat
memelihara
membran
plasma
spermatozoa
dari
kerusakan
(Hammadeh et al. 2001). Kandungan kuning telur yang bekerja dalam hal ini
adalah lipoprotein dan lesitin (Zaidah 2014).

8
Berdasarkan pengamatan pengencer tris kuning telur lebih menghasilkan
motilitas dan viabilitas spermatozoa yang lebih tinggi dibandingkan pengencer Na
sitrat kuning telur.Hal ini dikarenakan pengencer berbahan dasar tris mampu
memelihara daya tahan hidup spermatozoa, karena berperan sebagai penyangga
yang baik dengan toksisitas yang rendah (Negoro 2011). Pengencer tris juga
dapatmempertahankan perubahan pH akibat terbentuknya asam laktat hasil
metabolisme spermatozoa serta mempertahankan tekanan osmolaritas dan
keseimbangan elektrolit karena mengandung garam dan asam amino. Beberapa
penelitian juga mengatakan bahwa media berbahan dasar Tris sesuai digunakan
untuk preservasi atau kriopreservasi. Berdasarkan grafik tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa semen cair layak digunakan untuk inseminasi buatan dalam
pengencer tris-kuning telur hingga hari kelima penyimpanansedangkan pada
pengencer Na sitrat-kuning telur pada hari keempat penyimpanan, yaitu saat
motilitasnya masih diatas 40% (Hafez 1987).

SIMPULAN
Semen segar dombayang dievaluasi secaramakroskopis dan mikroskopis
menunjukkan hasil yang cukup baik dansemen layak untuk proses lebih lanjut
menjadi semen cair dan semen beku. Parameter jenis pengencer terbaik
ditunjukkan oleh jenis pengencer tris kuning telur dibandingkan Na sitrat kuning
telur. Lama penyimpanan semen cair dalam pengencer tris-kuning telur adalah
lima hari sedangkan pada pengencer Na sitrat-kuning telur batas penyimpanannya
adalah empat hari. Hasil yang didapatkan dari pengolahan lanjut semen cair dan
beku juga menunjukkan bahwa semen domba tersebut layak untuk
diinseminasikan.

DAFTAR PUSTAKA
Amin MR. Toelihere MR, Yusuf TL, Situmorang P. 1999. Pengaruh plasma
semen sapi terhadap kualitas semen beku kerbau lumpur (Bubalus bubalis).
Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 3:145
Ax RL, Dally M, Didion BA, Lenz RW, Love CC, Varner DD, Hafez B, Bellin
ME. 2000. Semen evaluation. Dalam: Reproduction In Farm Animal.
Philadephia (US): Lea and Febiger.
Azizah, Arifiantini RI. 2009. Kualitas semen beku kuda pada pengencer susu skim
dengan konsentrasi gliserol yang berbeda. Jurnal Veteriner. 10(2):63-70.
Bag S, Joshi A, Naqvi SMK, Rawat PS, Mittal JP. 2002. Effect of freezing
temperature, at which straw were plunged into liquid nitrogen, on the postthaw motility and acrosomal status of ram spermatozoa. Animal
Reproduction Science. 72(3-4):175-183.
Evans G, Maxwell WMC. 1987. Salomons Artificial Insemination of Sheep and
Goat. Sydney (AU): Butterworth.
Garner DL, Hafez ESE. 2000. Spermatozoa and Seminal Plasma. In:
Reproduction in Farm animals. Ed ke-7. Hafes ESE & B Hafez (Eds).
Baltimore (US): Williams & Wilkins.

9
Hafez ESE. 1987. Reproduction in Farm Animals. Philadelphia (US): Lea and
Febiger.
Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-7. Philadelphia
(US): Lippicott Williams & Wilkins.
Hammadeh ME, Zeginiadov T, Rosenbaum P, George T, Schmidt W, Strehler E.
2001. Predictive value of sperm chromatin condensation (aniline blue
staining) in the assessment of male fertility. Archives of Andrology. 46:99104.
Hardijanto, Sardjito T, Hernawati T, Susilowati S, Suprayogi TW. 2007.
Penuntun Praktikum Fisiologi dan Teknologi Reproduksi (IB). Surabaya
(ID): FakultasKedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Hastono, Inounu I, Hidayati N. 2001. Karakteristik semen dan tingkat libido
domba persilangan. Prosiding Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Bogor (ID): Balai Penelitian Ternak. hlm 106-112.
Herdiawan I. 2004. Pengaruh laju penurunan suhu dan jenis pengencer terhadap
kualitas semen beku domba Priangan. JITV. 9(2):98-107.
Iskandar S, Mardalestari R, Hernawati R, Mardiah E, Wahyu E. 2006. Pengaruh
jenis, konsentrasi krioprotektan dan metode thawing terhadap kualitas
semen beku ayam arab. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 11(1):34-38.
Koibur JF. 2005. Evaluasi tingkat keberhasilan pelaksanaan program inseminasi
buatan pada sapi bali di kabupaten jayapura. Buletin Peternakan. 29(3):131133.
Mumu MI. 2009. Viabilitas semen sapi simental yang dibekukan menggunakan
krioprotektan gliserol. Journal Agroland. 16(2):172-179.
Noran AM dan Mukherjee TK. 1997. Physical traits versus the buks reproductive
abilities. AJAS. 10 (2):245250.
Pineda MH. 2003. McDonalds Veterinary Endocrinology an Reproduction. Ed
ke-5. Iowa State: Blackwell Publishing.
Rizal M, Toelihere MR, Yusuf TL, Purwantara B, Situmorang P. 2002. Kualitas
semen beku domba Garut dalam berbagai dosis gliserol. JITV. 7(3):194-199.
Salisbury GW, Vandenmark NL, Djanuar R. 1985.Fisiologi Reproduksi dan
Inseminasi Buatan pada Sapi. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University
Press.
Sugoro L. 2009. Pemanfaatan Inseminasi Buatan untuk Meningkatkan
Produktivitas Sapi. Bandung (ID): ITB Pr.
Suharyati S, Hartono M. 2011. Preservasi dan kriopreservasi semen sapi limousin
dalam berbagai bahan pengencer. Jurnal Kedokteran Hewan. 5(2):53-58.
Toelihere MR. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung (ID): Penerbit
Angkasa.
Tsutsui T, Tezuka T, Mikasa Y, Sugisawa H, Kirihara N, Hori T, Kawakami E.
2003. Artificial insemination with canine semen stored at a low temperature.
Journal Veteriner Medicine Science. 65(3):307-312.
Witarsa. 2001. Evaluasi Semen. Bandung (ID): BIB Lembang.
ZaidahS. 2014. Pengaruh kuning telur dan gliserol sebagai anti cold shock
terhadap motilitas dan persentase hidup spermatozoa kambing peranakan
ettawa (PE) [skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin.

10
Lampiran
Perhitungan Media Pengencer
Volume total =Volume semen x konsentrasi x motilitas
Dosis IB
= 0.8 ml x 2000.106 x 75% x 0.5
50.106
= 12 ml
Volume total semen dan pengencer sebesar 12 ml, dengan rincian 0.8 ml semen
dan 11.2 ml pengencer.
Perhitungan Media Pengencer untuk Semen Beku
a. Tris Kuning Telur Semen Beku
Prosedur penyiapan buffer hingga penyiapan kuning telur sama dengan
prosedur sebelumnya. Perbandingan antara Tris dengan kuning telur dan
gliserol, masing-masing adalah sebagai berikut untuk pengenceran sebanyak 25
ml:
Tris + gliserol + kuning telur Tris 74% = 74/100 x 25 ml = 18.5 ml
Kuning telur 20% = 20/100 x 25 ml = 5 ml
Gliserol 6% = 6/100 x 25 ml= 1.5 ml
b. Na Sitrat Kuning Telur Semen Beku
Prosedur penyiapan buffer hingga penyiapan kuning telur sama dengan
prosedur sebelumnya. Perbandingan antara Na Sitrat dengan kuning telur dan
gliserol, masing-masing adalah sebagai berikut untuk pengenceran sebanyak 25
ml:
Na Sitrat + gliserol + kuning telur Na sitrat 74% = 74/100 x25 ml = 18.5 ml
Kuningtelur 20%= 20/100x25 ml = 5 ml
Gliserol 6% = 6/100 x 25 ml= 1.5 ml
Perhitungan Jumlah Antibiotik
Antibiotik yang digunakan dalam pengencer semen adalah penisilin dan
streptomisin. Pengencer dicampur dengan antibiotik, kemudian ditambahkan
semen domba segar. Volume antibiotik yang digunakan, masing-masing adalah:
Penisilin Sediaan 200.000 IU/ml, dosis 500-1.000 ml, volume pengencer
25 ml.
Volume yang digunakan: 25 ml/200.000 IU x 500 ml = 0.0625 ml
Streptomisin Sediaan 200 mg/ml, dosis 0.5-1 mg, volume pengencer 25ml.
Volume yang digunakan: 25 ml/200 mg x 0.5 mg = 0.06255 ml.

Anda mungkin juga menyukai