Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi yang dapat ditemukan pada
semua kalangan usia dan dapat menyebabkan mortalitas. Diduga terdapat sekitar
50 juta orang dengan epilepsi di dunia (WHO, 2010). Populasi epilepsi aktif
(penderita dengan bangkitan tidak terkontrol atau yang memerlukan pengobatan)
diperkirakan antara 4 hingga 10 per 1000 penduduk per tahun, di negara
berkembang diperkirakan 6 hingga 10 per 1000 penduduk. 1
Epilepsi telah dikenal sejak lama dan secara luas dalam masyarakat
Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya istilah-istilah bahasa daerah untuk
penyakit ini, seperti sawan, ayan, sekalor, dan celengan. Walaupun telah dikenal
secara luas, rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini
mengakibatkan timbulnya stigma yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi
terhadap penderita epilepsi. Penderita epilepsi sering digolongkan dalam penyakit
gila, kutukan, atau turunan sehingga penderita tidak diobati atau bahkan
disembunyikan oleh keluarganya. Akibatnya banyak penderita epilepsi yang tak
terdiagnosis

dan

tidak

mendapatkan

pengobatan

yang

tepat

sehingga

menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik bagi penderita
maupun keluarganya. 2
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan
pasti diagnosis epilepsy. Oleh karena pengobatan dapat dimulai setelah diagnosis
epilepsi harus ditegakkan dulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat
dipisahkan, sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan
dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula, jadi membuat diagnosis tidak hanya
diperoleh sesudah melakukan wawancara yang lengkap dengan pasien maupun
saksi mata yang mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian baru
dilakukan pemeriksaan fisik neurologi, begitu diperkirakan diagnosis epilepsi
telah dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk memastikan
diagnosis dan mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari, jenis serangan
kejang dan sindrom epilepsi. 3

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Epilepsi berasal dari perkataan Yunani epilanbanmeinyang
berarti "serangan" atau penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi
merupakan penyakit yang umum terjadi dan sangat penting bagi
masyarakat. 4
Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai
macam etiologi, yang dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismal yang
berkala, akibat lepasnya muatan listrik neuron-neuron serebral secara
eksesif. Tergantung pada jenis gangguan dan daerah serebral yang secara
berkala melepaskan muatan listriknya. 5
Epilepsi merupakan kelainan serebral yang ditandai dengan faktor
predisposisi menetap untuk mengalami kejang selanjutnya dan terdapat
konsekuensi neurologis kognitif, psikologis, dan sosial dari kondisi ini
(Internasional League Against Epilepsy/ILAE,2005)6.
Definisi konseptual : 1
Epilepsi : kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologik, dan sosial. Definisi

ini menyertakan minimal 1 kali bangkitan epileptic.


Bangkitan epileptik :
Terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal

yang abnormal dan berlebihan di otak.


Definisi operasional atau praktis : 1
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi atau
gejala berikut :
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan reflex
dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24
jam
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan berulang dalam 10
tahun kedepan sama dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan
tanpa profokasi/bangkitan refleks (misalnya bangkitan pertama yang

terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak


yang disertai lesi structural dan epileptiform discharges).
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh factor
pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan
somatomotor.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Epilepsi adalah salah satu penyakit tertua di dunia dan menempati
urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan peredaran otak.
Penyakit ini diderita oleh kurang lebih 50 juta orang di seluruh dunia.
Epilepsi bertanggung jawab terhadap 1% dari beban penyakit global,
dimana 80% beban tersebut berada di negara berkembang. Pada negara
berkembang di beberapa area 80-90% kasus tidak menerima pengobatan
sama sekali. 2
Secara keseluruhan insiden epilepsi pada negara maju berkisar
antara 40-70 kasus per 100.000 orang per tahun. Di negara berkembang,
insiden berkisar antara 100-190 kasus per 100.000 orang per tahun.
Prevalensi dari epilepsi bervariasi antara 5-10 kasus per 1.000 orang.2
Di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai penderita
epilepsi, tetapi diperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsi. Prevalensi
epilepsi di Indonesia adalah 5-10 kasus per 1.000 orang dan insiden 50
kasus per 100.000 orang per tahun.2
2.3 ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu : 5
1. Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi 50% dari
penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi
genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat alat diagnostik yang
canggih kelompok ini makin kecil.5. Epilepsi idiopatik yaitu tidak
terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan
mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan
usia 1.
2. Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada
otak atau susunan saraf pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi

susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi otak


kongenital,

asphyxia

neonatorum,

lesi

desak

ruang,

gangguanperedaran darah otak, toksik (alkohol,obat), kelainan


neurodegeneratif.5
3. Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa
disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk
disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.
2.4 PATOFISIOLOGI
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak
dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni
neurotransmitter eksitasiyang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan
listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas
listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel
neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara
neurotransmitter-neurotransmitter
aspartat,

norepinefrin

dan

eksitasi

asetilkolin

dapat

disebut

sedangkan

glutamate,

neurotransmitter

inhibisiyang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin.
Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi
impuls atau rangsang.Dalam keadaan istirahat, membran neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi.
Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan
seluruh sel akan melepas muatan listrik. 4,5
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah
atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah
dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks
Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan
listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik
demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar
suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa
beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga

inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain


itu jugasistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar
neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan.
Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk
fungsi otak. 4,5

Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme.


2000

2.5. KLASIFIKASI

Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League


Against Epilepsy (ILAE) 1981: 1,3

1. Kejang Parsial (fokal)


1.1. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1.1.1. Dengan gejala motorik
1.1.2. Dengan gejala sensorik
1.1.3. Dengan gejala otonomik
1.1.4. Dengan gejala psikik
1.2. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1.2.1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan
kesadaran
- Kejang

parsial

sederhana,

diikuti

gangguan

kesadaran
- Dengan automatisme
1.2.2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
- Dengan gangguan kesadaran saja
- Dengan automatisme
1.3. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum
(tonik-klonik, tonik atau klonik)
- Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang
umum - Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang
umum

-Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial


kompleks, dan berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
2.1. Lena/ absens
2.2. Mioklonik
2.3. Klonik
2.4. Tonik
2.5. Tonik-klonik
2.6. Atonik/ astatik
3. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 : 1,3
1. Berkaitan dengan letak fokus
1.1. Idiopatik
1.1.1. Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
1.1.2. Childhood epilepsy with occipital paroxysm
1.1.3. Primary reading epilepsy.
1.2. Simptomatik
1.2.1. Lobus temporalis
1.2.2. Lobus frontalis
1.2.3. Lobus parietalis
1.2.4. Lobus oksipitalis
2. Epilepsi Umum
2.1. diopatik
2.1.1. Benign neonatal familial convulsions,
2.1.2. benign neonatal convulsions
2.1.3. Benign myoclonic epilepsy in infancy
2.1.4. Childhood absence epilepsy
2.1.5. Juvenile absence epilepsy
2.1.6. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
2.1.7. Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
2.1.8. Other generalized idiopathic epilepsies
2.2. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
2.2.1. Wests syndrome (infantile spasms)
2.2.2. Lennox gastaut syndrome
2.2.3. Epilepsy with myoclonic astatic seizures
2.2.4. Epilepsy with myoclonic absences
2.3. Simtomatik
2.3.1. Etiologi non spesifik
Early myoclonic encephalopathy
Specific disease states presenting with seizures
2.3.2 sindrom positif
2.3.3 bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Elpilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur
dalam.
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (sindrom Landau-Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas.
4. Sindrom khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang yang timbul hanya sekali isolated
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian
metabolic akut, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemia
non ketabolik
4.1.4. Bangkian berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi
reflektorik).
2.6 MANIFESTASI KLINIS
1. Kejang Fokal dimulai dari cetusan epileptikus di suatu area fokal di korteks.
1.1 Kejang fokal sederhana
Kesadaran tidak terganggu, manifestasi dapat berupa gangguan
sensorik, motorik, otonom, dan atau psikis. Umumnya berlangsung
beberapa detik hingga menit. Jika terjadi >30 menit dinamakan status
epileptikus fokal sederhana.6
Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami
gejala berupa: 4
deja vu: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang
sama sebelumnya.
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan
tidak dapat dijelaskan
Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk
jarum pada bagian tubih tertentu. - Gerakan yang tidak dapat
dikontrol pada bagian tubuh tertentu
Halusinasi
1.2 Kejang fokal kompleks
Kesadaran terganggu sehingga pasien tidak ingat akan kejang.
Biasanya diawali dengan henti gerak keseluruhan tubuh sementara
(behaviour

arrest), dilanjutkan
9

dengan automatisme (mengunyah,

maracau, dll), tatapan kosong, dan kebingungan postikal (post-ictal


confusion). Kejang ini umumnya berlangsung 60-90menit dan diikuti
kebingungan post iktal confusion singkat.
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya
bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan
kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya
meliputi: 4
Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang

atau

memainkan pakaiannya
Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan
berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung
Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
1.3 Secondary Generalized Seizure
Umumnya dimulai dengan aura berevolusi menjadi kejang fokal
kompleks kemudian menjadi kejang tonk-klonik umum. Akan tetapi
kejang fokal kompleks dapat berevolusi menjadi kejang umum atau suatu
aura dapat berlangsung berevolusi menjadi kejang umum tanpa kejang
2

fokal kompleks yang nyata.6


Kejang Umun dimulai apabila cetusan epileptik terjadi secara bersamaan di

kedua hemisfer serebri.


2.1 Kejang Absans
Episode-episode gangguan kesadaran singkat tanpa aura atau kebingungan
post-iktal. Episode ini biasanya berlangsung kurang dari 20 detik dan
dapat disertai sedikit autotisme fasial yang tersering dan berkedip
berulang. Hiperventilasi atau stimulasi photic seringkali memicu kejang
ini.6
2.2 Kejang Mioklonik
Pergerakan motorik singkat, jerking, tanpa irama, yang berlangsung
kurang dari 1 detik. Kejang ini cenderung berkelompok dalam beberapa
menit. Jika kejang ini menjadi berirama, maka akan diklasifikasi sebagai
kejang klonik.6
2.3 Kejang Klonik
Pergerakan motorik ritme dengan gangguan kesadaran6
2.4 Kejang Tonik

10

Ekstensi atau fleksi tonik kepala, batang tubuh, dan atau ekstrimitas tibatiba selama beberapa detik disertai gangguan kesadaran. Kejang seperti ini
biasanya terjadi saat mengantuk, segera setelah tidur, atau segera setelah
bangun. Diasosiasikan dengan gangguan neurologis lain.6

2.5 Kejang umum tonik-klonik primer (grand mal)


Terdiri dari beberapa perilaku motorik diantaranya ekstensi tonik umum
semua ekstrimitas selama beberapa detik diikuti gerakan ritmik klonik
disertai gangguan kesadaran dan kebingungan postiktal yang panjang,
tidak disertai aura.6 Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana
terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau
kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap
tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura
merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa
sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung. 4
Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa
alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. 4
Pada saat fase klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak
terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol,
pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih
ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.4

11

2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi ditegakkan dari anamnesis yang di dukung dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ada 3 langkah dalam menegakkan
diagnosis epilepsi yaitu sebagai berikut.1
1. Langkah pertama : pastikan adanya bangkitan epileptik
2. Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan kalsifikasi ILAE
1981
3. Langkah tiga : tentukan sindrom epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE
1989
1. Anemnesis1,3
Anamnesis : auto dan allo anamnesis dari orang tua atau saksi mata
mengenai hal terkait di bawah ini.
a. Gejala dan tanda sebelum, selama dan pascabangkitan:
Sebelum bangkitan/ gejala prodromal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya
bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat,

hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain.


Selama bangkitan/iktal:

12

Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal


bangkitan?
Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, muali dari deviasi mata,
gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, automatisasi,
gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai,
bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat dan lain-lain (akan lebih baik bila keluarga dapat
diminta untuk meniru gerakan bangkitan atau merekam video
saat bangkitan).
Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
Apa terdapat perubahan pola dari bangkitan sebeluumnya?
Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat
tidur, saat terjaga, bermain video game, berkemih, dan lainlain.
Pasca bangkitan / post iktal
Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah.
b. Faktor pencetus : kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,
alkohol
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang
antarbangkitan, kesadaran antar bangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respons terhadap OAE( obat antiepilepsi) sebelumnya:
i.
Jenis obat antiepilepsi (OAE)
ii.
Dosis OAE
iii.
Jadwal minum OAE
iv. Kepatuhan minum OAE
v. Kadar OAE dalam plasma
vi.
Kombinasi terapi OAE
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis, psikiatris,
maupun

sistemik

yang

mungkin

menjadi

penyebab

maupun

komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah
ada sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada
kaitannya dengan faktor genetik dimana manifestasinya adalah
serangan kejang. Sebagai contoh Juvenile myoclonic epilepsy
(JME), familial neonatal convulsion, benign rolandic epilepsy
13

dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang


demam plus. 3
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran dan tumbuh kembang.
h. Riwayat bangkutan neonatal/ kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP, dll.
j. Riwayat sosial.
Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien
epilepsi mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien
tersebut dikelola dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui
tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi
pendidikan kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang
dialaminya itu.
Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi
yang seragan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara
normal dan produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu
atau penuh waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali
dengan baik untuk memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah
merupakan suatu tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan
memilih bekerja dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak
begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi,
mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan
penyuluhan yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar
supaya tidak membahayakan dirinya.
Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan
epilepsi yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan
kesadaran sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor. Hal
ini bisa membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya.
Dibeberapa negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien
epilepsi yang mengemudikan kendaraan bermotor.
2. Pemeriksaan Fisik Umun dan Neurologi.
Pemeriksaan fisik umum bertujuan mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan degan epilepsi, misalnya trauma kepala, tanda-tanda infeksi, kelainan
kongenital, kacenduan alkohol atau napza, kelainan pada kulit(neurofakomatosis),

14

tanda-tanda keganasan. Pemeriksaan fisik harus menapis sebab-sebab terjadinya


serangan kejang dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi
didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan
kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul
oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi
penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit
juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti caf au lait
spots dan iris hamartoma pada neurofibromatosis, Ash leaf spots ,
shahgreen patches , subungual fibromas , adenoma sebaceum pada
tuberosclerosis, port - wine stain ( capilarry hemangioma) pada sturge-weber
syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi
pada waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang
disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi
ginggiva yang dapat terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada
dupytrens contractures yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital
jangka lama. 1,3
Pemeriksaan neurologi untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau
difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi meliputi status mental, gait ,
koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Jika
dilakukan beberapa menit setelah bangkitan, maka akan nampak tanda
pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk
lokalisasi, seperti: paresis Todd, gangguan kesadaran pascaiktal, afasia pascaiktal.
Adanya defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan
lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi
atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau
ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti
karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu
serangan kejang terjadi. Dysmorphism dan gangguan belajar mungkin ada
kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang

15

makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral


automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis
ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus
kontralateral dilobus temporalis. 1,3
3. Pemeriksaan Laboratorium.
Pemeriksaan hematologis mencakup hemogblobin, leukosit, dan hitung
jenis hematrokit, trombosit, apusan darah tepi. Hiponatremia, hipoglikemia,
hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya
serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose,
kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen , kreatinin dan test fungsi hepar
mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan
toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya
drug abuse 1,3
Pemeriksaan kadar OAE yang idel dilakukan untuk melihat kadar OAE
dalam plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai
dosis terapi maksimal atau untuk memonitoring kepatuhan pasien. Rutin di
periksa 2 bulan setelah pemberia OAE untuk mendeteksi efek samping1.
4. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG).
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan dan paling berguna
pada dugaan suatu bangkitan adalah pemeriksaan elektroensefalografi (EEG).
Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada wktu sadar
dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan
hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang
penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai
berikut. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi
pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Rekama EEG
dapat membantu menunjang diagnosis, membantu penentuan jenis bangkitan
maupun sindrom epilepsi, membantu menentukan prognosis dan membantu
penentuan perlu/tidaknya pemberian OAE. Hasil pemeriksaan EEG akan
membantu dalam membuat diagnosis, mengklarifikasikan jenis serangan
kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.1,3

16

1. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola


epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung
diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti 3-Hz
spike-wave complexes adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi
yang spesifik.
2. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat
menjelaskan manifestasi klinis daripadaaura maupun jenis serangan
kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini
selalu dilakukan dengan cermat.

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan


keterbatasan dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu : 3
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan
kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang
epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya
meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap
memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil
wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.

17

2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan


adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil
orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak
dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG
mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara
difus pada pasien epilepsi anak.
4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan
epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran
epileptiform

difus

maupun

yang

fokus

kadang-kadang

dapat

membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang


5

kedalam serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.


Pemeriksaan video-EEG
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis
epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada
pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja
terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan
dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil
membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan
biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72
jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran

serangan kejang epilepsi. 3


Pemeriksaan Radiologi
CT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya
kelainan struktural diotak. Indikasi CT Scan kepala adalah: 3
I.
Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada
II.
III.
IV.
V.
VI.

kelainan struktural di otak.


Perubahan serangan kejang.
Ada defisit neurologis fokal.
Serangan kejang parsial.
Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
Untuk persiapan operasi epilepsi.

18

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi
namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur
pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih
spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi
kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin
dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya
meliputi:T1 dan T2 weighted dengan minimal dua irisan yaitu irisan
axial, irisan coronal dan irisan saggital. Functional Brain Imaging seperti
PET(Positron Emission Tomography), SPECT (Single Photon Emission
CT), MRS (Magnetic resonance Spectroscopy) dapat memberikan
informasi tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan
perubahan aliran darah regional otak berkaitan dengan bangkitan 1,3
7

Pemeriksaan Neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi
dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini
khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif,
demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan
serangan kejang yang bukan epilepsi. 3

2.8 DIAGNOSIS BANDING1,6,10


Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama secara klinis, yaitu berdasarkan
deskripsi kejang, biasanya dari saksi karena pasien tidak sadar akan gejala
-gejalanya. Diagnosis bandingnya antara lain :
- Sinkcope
- Non epileptik attack disorder
-Aritmia Cardiac
- Hiperventilasi atau serangan panik
Tabel Diagnosis banding kejang epileptik1

19

Kejang
epileptik
Riwayat :
Trauma
kepala,
alkohol,
ketergantung
an obat,
kejang
demam, yang
berkepanjang
an,
meningitis,
encephalitis,
stroke,
Riwayat
keluarga (+)
Faktor
pencetus saat
serangan:
-sleep
deprivation
-putus alkohol
-stimulasi
fotik

Karakteristik
klinis
menjelang
serangan:
Stereotipi,
Paroksimal
(detik), bisa
disertai aura

Syncope

Non epileptik
attack
disorder

Aritmic
cardiac

Hiperventilasi/
serangan
panik

Menggunakan
obat anti
hipertensi,
antidepresen
(terutama
trisiklik)

Wanita (3:1),
ketergantung
an seksuan
dan fisik

Penyakit
jantung
kongenital

Ansietas

Perubahan
posisi,
Prosedur
medis,
Berdiri lama,
Gerakan leher
(carotis
baroreseptor)

Stress,
Distress sosial

Olahraga

Situasi sosial

Lightheadedn
ess,
Gejala visual,
Gelap, kabur

Gejala awal
tidak khas

Palpitasi

Ketakutan,
Perasaan
tidak realistis,
Sulit
bernapas,
kesemutan

20

Karakteristik
klinis pada
saat
serangan:
Gerakan
tonik(kaku)
diikuti
gerakan
jerking yang
ritmis,
Gerakan
otomatism,
Cyanosis,
Bisa terjadi
dimana saja
san kapan
saja
Gejala setelah
serangan:
Mengantuk,
Lidah tergigit,
Nyeri anggota
gerak,
Defisit
neurologis
fokal (todds
paralisis)

Pucat,
Bisa disertai
kaku atau
menghentakk
an sebentar

Mirip dengan
kejang
epileptik,
akan tetapi
gerakan
lengan tidak
beraturan,
pengangkatan
pelvis, kadang
tidak bergerak
sama sekali.

Lesu

Pucat,
Bisa disertai
kaku atau
menhentakhentak
sebentar

Agitasi,
Napas cepat,
Kaku pada
tangan
(carpopedal
spasm)

Lesu

2.9 PENATALAKSAAN EPILEPSI


Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :9,10
1) Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani
penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE)
baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin,
karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus
diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara
efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE
harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang

21

berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai


dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat
mengatasi kejang.
2) Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong
bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi
sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang
kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi
berdasarkan letak fokus infeksi: Lobektomi temporal , Eksisi korteks
ekstratemporal, Hemisferektomi, Callostomi.
3) Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat
yang kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai
dapat mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik
dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet
ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,
tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan
mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak sekolah
karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di
mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan
makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan
berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1.
Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 80 kkal/kg. Untuk
pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan
obat antiepilepsi.
Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien.
OAE terutama dipilih berdasarkan tipe bangkitan, dapat digolongkan dalam dua
kelompok: obat dengan spektrum luas dan spektrum sempit, obat-obat spektrum
sempit biasanya afektif pada bangkitan parsial dengan atau tanpa generalisasi
sekunder, kurang efektif pada bangkitan umum tonik primer, dan tidak efektif atau
cenderung memperburuk bangkitan. Obat-obat spektrum luas menunjukan efikasi
yang bagus pada tipe bangkitan parsial dan umum, sangat berguna di situasi di
22

mana jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi belum di tegakkan. Pada proses
pemilihan OAE banyak faktor yang perlu di pertimbangkan, termasuk efikasi
relatif, tolerabilitas, toksisitas yang serius, kemudahan dalam penggunaanya (di
tentukan oleh profil farmakokinetik dan potensial interaksi dengan obat-obat
lainnya), adanya kondisi komorbid, dan harga. Usia dan jenis kelamin juga harus
dipertimbangkan. Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni: 1,7

OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat


minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah

mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.


Terapi dimulai dengan monoterapi
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma

ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.


Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar

terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.


Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

23

(pedoman tatalaksana epilepsi) 1


Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi
bila kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang
jelas pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma
kepala disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status
epileptikus. 1,7
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :

Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)


Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+, Ca2+, K+,
dan Cl- atau aktivitas neurotransmiter.

Penghentian pemberian OAE


Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan
setelah 2 tahun bebas serangan .Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai
berikut: 1,7

Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya

setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan


Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,

setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan


Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu
OAE yang bukan utama.

24

25

BAB 3

26

PENUTUP
Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam
etiologi, yang di kategorikan adanya serangan paroksismal yang berkala, akibat
lepasnya muatan listrik neuron-neuron serebral secara eksesif. Tergantung pada
jenis gangguan dan daerah serebral yang secara berkala melepaskan muatan
listriknya. Epilepsi adalah salah satu penyakit tertua di dunia dan menempati
urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan peredaran otak.
Secara etiopatologik bangkitan epilepsi disebabkan oleh cedera kepala,
stroke, tumor otak, infeksi atau juga pertumbuhan jaringan saraf yang tidak
normal, pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Kerusakan sel karena
penyakit di atas mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi struktur dan
fungsi neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di
sinaps yang menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi juga di
temuka tanpa kerusakan fokus anatomi di otak. Disisi lain epilepsi dapat
mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik
dan retardasi mental. Secara biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan
oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neuron neurotransmitter
eksitatorik dan inhibitorik di otak.
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu
Epilepsi idiopatik, Epilepsi simptomatik, Epilepsi kriptogenik. Menurut ILAE
epilepsi dapat diklasifikasi menjadi mejadi
1. Kejang Parsial (fokal) yaitu kejang parsial sederhana (tanpa gangguan
kesadaran), kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran), kejang
umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik
atau klonik).
2. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi) yaitu Lena/ absens,
Mioklonik, Klonik, Tonik, Tonik-klonik, Atonik/ astatic.
3. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
Diagnosis epilepsi ditegakkan dari anamnesis yang tepat dan benar yang di
dukung dengan pemeriksaan fisik umum dan neurologi serta pemeriksaan

27

penunjang seperti pemeriksaan lab, EEG, CT-Scan, MRI, MRS, PET. Ada 3
langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi yaitu sebagai berikut Langkah
pertama : pastikan adanya bangkitan epileptik, Langkah kedua: tentukan tipe
bangkitan berdasarkan kalsifikasi ILAE 1981, Langkah tiga : tentukan sindrom
epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE 1989.
Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien.
OAE terutama dipilih berdasarkan tipe bangkitan, digolongkan dalam dua
kelompok: obat dengan spektrum luas dan spektrum sempit, obat-obat spektrum
sempit biasanya afektif pada bangkitan parsial dengan atau tanpa generalisasi
sekunder. Obat-obat spektrum luas menunjukan efikasi yang bagus pada tipe
bangkitan parsial dan umum, sangat berguna di situasi di mana jenis bangkitan
maupun sindrom epilepsi belum di tegakkan. Pada proses pemilihan OAE, faktor
yang perlu di pertimbangkan, termasuk efikasi relatif, tolerabilitas, toksisitas yang
serius, kemudahan dalam penggunaanya (profil farmakokinetik dan potensial
interaksi dengan obat-obat lainnya), adanya kondisi komorbid, dan harga, dan
usia. Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:

OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat


minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah

mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.


Terapi dimulai dengan monoterapi
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma

ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.


Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai

kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.


Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
DAFTAR PUSTAKA

28

1.

Kusumastuti Kurnia, Gunadarman S, Kustiwanto E, dkk. 'Pedoman


Tatalaksana Epilepsi'. Surabaya: Airlangga University Press, 2014.

2.

Winifred Karema, Gunawan Dimas P, dkk .'Gambaran Tingkat


Pengetahuan Masyarakat Tentang Epilepsi Di Kelurahan Mahena
Kecamatan Tahuna Kabupaten Sangihe'. Manado: Universitas Sam
Ratulangi, 2008.

3.

Sunaryo Utoyo. 'Diagnosis Epilepsi'. Surabaya: FK UMK. 2007.

4.

Hauser Stephen L. 'Harrison's Neurology in Clinical Medicine'. U.S: Mc


Graw Hill Education, 2013.

5.

Sidharta Priguna, 'Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum', Jakarta: Dian


Rakyat, 2007.

6.

Andy Arifputra, Fitri Octaviani Sumantri, 'Epilepsi', Kapita Selekta


Kedokteran, Edisi IV, Jakarta, 2014.

7.

Natriana Tjahjani, 'Perbedaan Pengaruh Pengobatan Monoterapi


Fenitoin Dan Karbamazepin Terhadap Memori Penderita Epilepsi Grand
Mal', Semarang: Fakultas Universitas Diponegoro. 2001.

8.

Tammasse Jumraini, 'Epilepsi Klinis Diagnosis Dan Terapi', Makassar:


Masagena Press, 2013.

9.

PERDOSSI, Epilepsi, Standar Pelayanan Medik (SPM), Jakarta 2008

10.

Jon Duncan, The epilepsi: clinical practical guidline; Differen diagnose of


epilepsy ini adults. National colaborating centre for primary care. 2004

29

Anda mungkin juga menyukai