1002106015-3-Bab Ii
1002106015-3-Bab Ii
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Fraktur Femur
10
a.
avaskuler
yang
rendah
sehingga
prognosanya
baik.
c.
11
d.
e.
12
a)
13
berkurang pada empat minggu setelah fraktur menyatu (Black & Hawks,
2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).
d) Osifikasi (3 minggu-6 bulan)
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara perlahanlahan
diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang
menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara
bertahap. Pembentukan kalus dimulai dalam 2-3 minggu setelah patah tulang
melalaui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun
sampai tulang benar-benar bersatu (Black & Hawks, 2001; Smeltzer & Bare,
2002).
e)
f)
14
yang mirip bentuk normalnya (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk,
2011; Smeltzer & Bare, 2002).
2.1.4 Komplikasi Fraktur Femur
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam
beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau
lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas
permanent jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur
femur yaitu:
a)
Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang
rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra
karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi
kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma,
khususnya pada fraktur femur pelvis (Suratum, dkk, 2008).
b)
Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera
remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30
tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam
darah karna tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karna katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan
memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam
aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk
15
d)
16
e)
Atrofi otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran
normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu selsel parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien
fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga
metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot (Suratum,
dkk, 2008).
Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada
fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama
masa tertentu, misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan
imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara
manipulasi akan terdislokasi kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada
fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur (Nayagam, 2010).
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator
tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum
femur. Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah
17
18
dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur patologis, fraktur multiple dimana
dengan reduksi dini bisa meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan
perawatan yang sulit (paraplegia, pasien geriatri)
(Nayagam, 2010;
Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota yang cedera
atau alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali seperti sebelum
mengalami gangguan atau cedera (Widharso, 2010).
2.2
Traksi
19
memadai diperlukan selama 24 jam untuk mengatasi spasme otot dan mencegah
pemendekan, dan fragmen harus ditopang di posterior untuk mencegah
pelengkungan. Traksi pada anak-anak dengan fraktur femur harus kurang dari 12
kg, jika penderita yang gemuk memerlukan beban yang lebih besar (Smeltzer &
Bare, 2002).
Skin Traksi
Skin traksi digunakan untuk penanganan patah tulang pada pasien anak dan
dewasa yang membutuhkan kekuatan tarikan sedang, dengan beban tidak
lebih dari lima kilogram serta lama pemasangan tidak lebih dari 3-4 minggu
karena dapat menyebabkan iritasi kulit (Anderson, et al, 2009). Adapun
beberapa jenis skin traksi menurut Smeltzer & Bare (2002).antara lain:
1. Traksi buck
Ektensi buck (unilateral/bilateral) adalah bentuk traksi kulit dimana tarikan
diberikan pada satu bidang bila hanya imobilisasi parsial atau temporer
yang diinginkan. Traksi buck digunakan untuk memberikan rasa nyaman
setelah cidera pinggul sebelum dilakukan fiksasi dengan intervensi bedah.
2. Traksi Russell
Traksi Russel dapat digunakan pada fraktur plato tibia, menyokong lutut
yang fleksi pada penggantung dan memberikan gaya tarik horizontal
melalui pita traksi balutan elastis ketungkai bawah.
20
3. Traksi Dunlop
Traksi Dunlop adalah traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal
diberikan pada lengan bawah dalam posisi fleksi.
4. Traksi kulit Bryant
Traksi ini sering digunakan untuk merawat anak kecil yang mengalami
patah tulang paha. Traksi Bryant sebaiknya tidak dilakukan pada anakanak yang berat badannya lebih dari 30 kg apabila batas ini dilampaui
maka kulit dapat mengalami kerusakan berat.
b) Skletal Traksi
Traksi langsung pada tulang dengan menggunakan pins, wires, screw untuk
menciptakan kekutan tarikan besar (9-14 kilogram) serta waktu yang lebih
dari empat minggu, serta memiliki tujuan tarikan ke arah longitudinal serta
mengontrol rotasi dari fragmen tulang. Pada patah tulang panjang digunakan
steinmann
pins
(2-4,8mm)
atau
kirschner
wires
(7-15mm)
yang
21
a.
Iritasi Kulit
Skin traksi digunakan untuk penanganan patah tulang pada pasien anak dan
dewasa yang membutuhkan kekuatan tarikan sedang, dengan beban tidak
lebih dari lima kilogram serta lama pemasangan tidak lebih dari 3-4 minggu
karena dapat menyebabkan iritasi kulit (Anderson, et al, 2009).
b.
c.
Demineralisasi tulang
Demineralisasi tulang terjadi selama immobilisasi, menyebabkan disuse
osteoporosis. Demineralisasi tulang ini dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu:
menurunnya aktivitas otot dan menurunnya aktivitas tubuh. Pasien yang
immobilisasi aktivitasnya menjadi terbatas dan tidak ada penopang berat
badan pada tulang panjang di ekstremitas bawah (Kusnanto, 2006).
22
d.
2.3
23
dari berjalan, berlari, menjaga keseimbangan dan kordinasi tubuh bagian atas dan
bawah (Anderson, et al, 2009).
Gambar 1. Anatomi otot betis (calves) (sumber: Anatomicas Body Atlas, 2002)
24
meteran dan juga pita ukur non elastis (Arisman, 2007). Semakin besar massa
otot betis seseorang maka semakin besar pula ukuran betisnya dan dapat
menambah massa jaringan tubuh. Penelitian dari Fahda (2010) mendapatkan nilai
rata-rata ukuran lingkar betis pada 96 anak usia 12-15 tahun yaitu laki-laki 32,21
cm dan perempuan 32,42 cm.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan disuse atrofi otot plantar flexor
merupakan pengurangan ukuran otot dari kondisi normal pada otot plantar flexor
akibat inaktivitas yang lama meskipun kondisi persarafannya utuh dimana
pengukuran lingkar betis dilakukan untuk memantau pengurangan ukuran akibat
atrofi.
2.3.2 Fisiologi Disuse Atrofi Otot Plantar Flexor
Otot plantar flexor begitu juga otot lain yang mempuyai kemampuan
mengubah energi kimia menjadi energi mekanik atau gerak sehingga dapat
berkontraksi untuk menggerakkan rangka (Guyton & Hall, 2008). Secara
mikroskopik sel otot rangka terdiri atas sarkolema (membran sel serabut otot),
yang terdiri atas membran sel yang disebut membran plasma dan sebuah lapisan
luar yang terdiri atas satu lapis mengandung kolagen (Guyton & Hall, 2008).
Tiap sel otot (serabut otot) mengandung miofibril yang tersusun atas
sekelompok sarkomer, yang merupakan unit kontraktil otot rangka. Komponen
sarkomer terdiri dari filamin aktin dan filamen miosin. Terdapat sekitar 1500
filamen miosin dan 3000 filamen aktin yang merupakan molekul protein polimer
besar yang bertanggung jawab untuk kontraksi otot. Filamen miosin dan aktin
sebagian saling bertautan sehingga menyebabkan miofibril memiliki pita terang
25
dan pita gelap yang berselang-seling. Pita-pita terang mengandng filamen aktin
dan disebut pita I karena bersifat isotropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan,
sedangkan pita-pita gelap mengandung filamen miosin yang disebut pita A karena
bersifat anisotropik terhadap cahaya yang didepolarisasikan (Guyton & Hall,
2008).
Filamen aktin terdiri dari tiga komponen protein yaitu aktin, tropomiosin
dan troponin yang mengatur aktivitas filamen aktin. Protein tropomiosin
terbungkus secara spiral, dimana pada stadium istirahat terletak pada ujung atas
tempat yang aktif dari untaian aktin. Protein troponin terdiri dari tiga subunit
protein yaitu troponin I yang berikatan kuat dengan filamen aktin, troponin c yang
berikatan kuat dengan ion kalsium dan troponin t yang berikatan kuat dengan
tropomiosin. Apabila troponin c berikatan dengan ion kalsium yang dikeluarkan
oleh retikulum sarkoplasma, akan terjadi perubahan bentuk dari ujung filamen
aktin dimana tropomiosin akan tertarik lebih kedalam di lekukan diantara filamen
aktin sehingga bagian aktif dari komplek aktin akan tersingkap dan
memungkinkannya menarik kepala jembatan silang miosin dan menyebabkan
terjadinya kontraksi (Guyton & Hall, 2008).
Otot rangka memiliki pigmen protein yang serupa dengan hemoglobin
yang disebut Mioglobin. Mioglobin bermanfaat sebagai transpor oksigen untuk
memenuhi kebutuhan metabolik sel dari kapiler ke motokondria sel otot. Otot
mengandung sejumlah besar mioglobulin (otot merah) yang berkontraksi lebih
lambat dan lebih kuat dan otot yang tidak mengandung mioglobulin (otot putih)
berkontraksi cepat dalam waktu yang lama. Miofibril-miofibril yang terpendam
26
dalam serat otot di dalam suatu matriks yang disebut sarkoplasma, yang terdiri
dari unsur-unsur intraseluler terdapat mitokondria dalam jumlah yang banyak
terletak di antara dan sejajar dengan miofibril. Hal ini menunjukkan bahwa
miofibril-miofibril yang berkontraksi membutuhkan sejumlah besar Adenosin
Triphosfat (ATP) yang dibentuk oleh mitokondria yang akan berdampak terhadap
besar serat otot dan volume mitokondria itu sendiri. Sehingga apabila sirkulasi
darah ke otot terganggu akan menrunkan jumlah nutrisi dan oksigen ke jaringan
otot untk melakukan metabolisme aerob yang akan menurunkan jumlah dan
volume mitokondria akibat tidak terjadinya metabolisme oksidatif yang
berlangsung terus-menerus (Smeltzer & Bare, 2002; Campellone, 2007; Wiarto,
2013).
Kontraksi otot terjadi akibat kontraksi sarkomer yang disebabkan oleh
interaksi filamen miosin dan filamen aktin yang saling mendekat dengan adanya
peningkatan lokal kadar kalsium. Serabut otot akan berkontraksi sebagai respon
terhadap rangsangan listrik sehingga terjadi suatu potensial aksi yang menjalar ke
sepanjang membran sel dan mengakibatkan pelepasan ion kalsium yang
sebelumnya tersimpan dalam retikulum sarkoplasmikum. Energi dibutuhkan
dalam kontraksi dan relaksasi otot dalam jumlah yang meningkat selama latihan.
Sumber energi otot adalah ATP yang dibangkitkan melalui metabolisme oksidatif
seluler. Pada aktivitas tinggi bila oksigen tidak memadai glukosa terutama
dimetabolisme menjadi asam laktat namun tidak efektif sehingga diperlukan lebih
banyak glukosa yang disediakan oleh glikogen otot. Glikogen merupakan suatu
27
tepung yang terbuat dari glukosa disimpan selama periode istirahat (Smeltzer &
Bare, 2002)
Mekanisme kontraksi diawali dengan adanya stimulus saraf dari kornu
anterior medulla spinalis yang dihantarkan oleh saraf motorik ke neuromuscular
junction yang diikuti oleh pengeluaran neurotransmitter asetikolin yang diterima
oleh reseptor spesifik. Teraktivasinya reseptor spesifik ini menyebabkan
terbukanya kanal-kanal berbasis asetikolin sehingga ion natrium dapat masuk
kedalam sel otot dan ion kalium keluar dari dalam sel otot sehingga membentuk
potensial aksi. Menjalarnya potensial aksi ini menyebabkan terbukanya tubulus
tranversal sehingga ion kalsium yag berada di dalam retikulum sarkoplasma
masuk ke dalam sel otot dan berikatan serta mengaktifkan filamen aktin (Guyton
& Hall, 2008). Sebelum terjadi kontraksi, aktivitas ATPase dari kepala miosin
segera memecah ATP menjadi Adenosin Diphosfat (ADP) dan ion fospat.
Kompleks troponin-tropomiosin berikatan dengan ion-ion kalsium, bagian aktif
pada filamen aktin menjadi tidak tertutup dan kemudian kepala jembatan
penyeberangan miosin berikatan dengan filamen aktin yang menyebabkan
perubahan kedudukan kepala,
yaitu
miring
28
sebagainya serta massa otot akan disesuaikan dengan tingkat stimulasi kontraksi
yang diterima.
Pada otot rangka meskipun inti tidak mampu bermiosis, jaringannya
mengalami regenerasi yang terbatas. Sumber regenerasi sel diyakini adalah sel
satelit. Sel satelit adalah populasi kecil sel mononukleus berbentuk gelendong
yang terletak dalam lamina basalis yang mengelilingi setiap serat otot matang.
Karena hubungannya yang erat dengan permukaan serat otot, maka sel satelit
hanya dapat dikenali dengan mikroskop elektron. Sel satelit dianggap sebagai
mioblast tidak aktif yang menetap sehabis deferensiasi otot. Setalah cedera atau
rangsangan tertentu lainnya, maka sel satelit yang biasanya diam, menjadi aktif,
berproliferasi, dan bergabung membentuk serat otot rangaka baru (Eroschenko,
2003).
Apabila otot berulang-ulang mnegalami tegangan maksimal selama waktu
yang lama maka irisan melintang otot akan mengalami pembesaran. Hal ini
diakibatkan oleh penambahan ukuran masing-masing serat otot tanpa penambahan
jumlah serat otot. Namun apabila suatu otot tidak digunakan dalam waktu yang
lama, maka kandungan aktin dan miosinnya akan berkurang, serat-seratnya
menjadi lebih kecil. Keadaan yang seperti ini disebut dengan atrofi otot. Otot
rangka (otot lurik) berperan dalam gerakan tubuh, postur dan fungsi produksi
panas. Otot dihubungkan oleh tendon (tali jaringan ikat fibrus) ke tulang, jaringan
ikat, atau kulit. Kontraksi otot menyebabkan perlekatan satu sama lain. Otot
memiliki variasi ukuran dan bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan aktivitas
yang dibutuhkan. Otot akan berkembang dan terpelihara apabila digunakan secara
29
aktif. Proses penuaan dan disuse menyebabkan kehilangan fungsi otot sehingga
jaringan otot kontraktil diganti oleh jaringan fibrolitik (Smeltzer & Bare, 2002).
2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Disuse Atrofi Otot
a.
Imobilisasi
Setelah tindakan reduksi pada fraktur femur, fragmen tulang harus
diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Gangguan mobilisasi fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh
North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) (2011) sebagai
suatu keadaan ketika individu mengalai atau berisiko
mengalami
30
otot-otot tersebut juga menjadi lemah. Apabila pasien tersebut tidak mau
melakukan latihan mobilisasi, maka akan terjadi beberapa gangguan dan
mengalami penurunan stabilitas fisik (Hamid, 1992).
b.
Status Kesehatan
Miopati, amyotrophic lateral sclerosis, sindrom guillain-barre, cedera otot,
neuropati, distropi otot, penyakit serebrovaskuler, osteoarthritis, polio,
trauma spinal dapat mempengaruhi metabolisme protein kontraktil otot serta
mengurangi stimulasi otot untuk mempertahankan massa otot. Multiple
trauma, luka bakar dan terapi kortikosteroid jangka panjang dapat
menimbulkan respon stres yang berlebihan sehingga terjadi hipermetabolik
yang dapat menyebabkan peningkatan katabolisme karbohidrat, lemak dan
protein termasuk protein pembentuk otot (Price & Wilson, 2005). Gangguan
metabolisme dan endokrin seperti gangguan hormon tiroid, growth hormone,
diabetes mellitus, hormon seksual yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan sel-sel dalam tubuh manusia (Guyton & Hall, 2008).
c.
Umur
Tubuh anak-anak sedang mengalami masa pertumbuhan dan penyempurnaan
fungsi, dengan bertambahnya umur, massa otot akan semakin besar.
Pembesaran massa otot berkaitan erat dengan kekuatan otot yang juga
meningkat, hal ini dapat juga dipengaruhi oleh aktivitas ototnya. Usia 20-30
tahun baik laki-laki dan wanita akan mencapai puncak kekuatan otot, diatas
umur ini kekuatan otot akan menurun, kecuali diberikan pelatihan. Walaupun
demikian di atas umur 65 tahun kekuatan ototnya sudah berkurang sebanyak
31
Jenis Kelamin
Menurut Martinez (2000) dalam penelitiannya menyatakan perbedaan jenis
kelamin berpengaruh terhadap perbedaan diameter dari serat otot, namun
tidak berpengaruh berbeda terhadap kecepatan atrofi otot. Menurut Nala
(2011), pada umur 10-12 tahun kekuatan otot anak laki-laki lebih kuat sedikit
dari wanita, dengan meningkatnya usia kekuatan otot laki-laki semakin jauh
meningkat hal ini disebabkan perbedaan pertumbuhan dan aktivitas fisik serta
pengaruh hormon testosteron. Pada usia 18 tahun ke atas, kekuatan otot
bagian atas tubuh (dada, bahu, lengan) pada laki-laki dua kali lebih kuat
daripada wanita, sedangkan otot bagian bawah (pinggul dan tungkai) hanya
berbeda sepertiganya.
e.
Status Hidrasi
Hidrasi diartikan sebagai keseimbangan cairan dalam tubuh dan merupakan
syarat penting untuk menjamin fungsi metabolisme sel tubuh. Sementara
dehidrasi berarti kurangnya cairan di dalam tubuh karena jumlah yang keluar
lebih besar dari jumlah yang masuk. Dalam penelitiannya, Balavy, et al
32
g.
Gangguan Neuromuskuler
Suatu otot, apabila kehilangan suplai sarafnya akibat penyakit yang merusak
neuromuskuler seperti poliomielitis, lesi nerves post trauma tidak akan
33
2.4
34
35
Latihan ankle pumps sebagai salah satu jenis latihan yang dapat
mengembalikan fungsi aktivitas normal otot post operasi penggantian tulang
lutut (Scott, 2011).
36
37
adalah
imobilisasi.
Latihan
ataupun
mobilisasi
dengan
38
Aktivitas
ini
memberi
stimulasi
kepada
sel
satelit
untuk
dekomposisi protein kontraktil dengan jumlah yang sama. Secara klinis otot akan
dapat mempertahankan kekuatan, massa dan ketahanannya (Barton & Morris,
2003; Guyton & Hall, 2008; Braddom, 2011).
Latihan yang dilakukan teratur, terarah dan terprogram mempengaruhi
bentuk dan fungsi fisiologis otot. Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi
antara lain peningkatan kepadataan kapiler darah, jumlah serabut syaraf,
konsentrasi mioglobin, ukuran dan jumlah mitokondria (Fox & Bower, 1993).
Selain terjadi perubahan jumlah dan atau ukuran mitokondria juga terdapat adanya
39