Anda di halaman 1dari 8

Bismillah,,,

Tanya Jawab: Pemanfaatan Uang Hasil Riba Dan Bunga


Bank
Jul 02, 2009 Artikel, Tanya Jawab Syariah 0
Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Pembahasan tentang praktik riba ini semakin menarik untuk dibahas, maka izinkan saya
mencari titik terang untuk pertanyaan Uang bunga/ bagi hasil dari bank sebaiknya untuk
apa?, mengingat di masyarakat kita saat ini yang namanya riba dari yang terang2an maupun
yang samar sudah sedemikian kompleks. Ada yang mengatakan boleh bunga atau bagi hasil
tersebut untuk kepentingan umum maupun membayar pajak seperti pajak motor kita, PBB
dsb.
Pertanyaan:
1. Untuk itu dalam kesempatan ini, kami ingin mendapat jawaban yang jelas seputar
penggunaan bunga atau bagi hasil tersebut, boleh dipakai untuk hal2 apa saja?
2. Apa ada pembedaan penggunaan uang dari bunga dari bank konvensional dan bagi
hasil dari bank syariah (Saat ini saya sekitar 1 juta uang dari bagi hasil dan 500 ribuan
uang dari bunga bank konvensional, apa boleh yang dari bagi hasil saya pakai untuk
membayar pajak motor baik motor saya maupun keluarga termasuk PBB dengan dalil
Tidak ada pajak untuk kaum muslimin, Lalu yang uang yang dari bunga sebaiknya
diapakan juga ya?
Jawaban:
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada nabi Muhammad, keluarga
dan sahabatnya.
Saudaraku! pertama-tama saya mengucapkan: semoga Allah memberkahi usaha anda.
Semangat anda untuk mengetahui hukum riba dan metode mengelola harta riba menunjukkan
bahwa anda adalah seorang mukmin yang taat beragama. Semoga Allah Taala semakin
menambahkan keimanan dan hidayah-Nya kepada anda serta membukakan pintu-pintu rizqi
yang halal nan berkah.
Saya yakin masalah keharaman riba, tidak ada lagi keraguan pada diri anda, betapa tidak,
pada kesempatan ini anda telah menanyakan tentang metode mengelola riba. Oleh karenanya
tidak ada perlunya bagi saya untuk membahas tentang keharamannya. Akan tetapi seperti
yang anda pertanyakan, saya akan langsung membahas tentang metode mengelola harta riba,
baik yang diperoleh dari perbankan atau lainnya.
Pada kesempatan ini saya juga tidak ragu bahwa anda tidak akan sudi untuk memakan harta
riba walaupun sedikit, oleh karena itu jawaban pertanyaan anda ini dapat ditebak dari sikap
anda sendiri. Sikap anda ini selaras dengan keterangan para ulama bahwa kita berkewajiban
untuk melepaskan harta riba, dan tidak dibenarkan untuk menggunakannya, baik dimakan
atau digunakan dalam kepentingan lainnya. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang
dikemanakan harta riba yang terlanjur kita peroleh?
Secara global, ulama terbagi menjadi dua kelompok besar:
Pertama: Mereka berpendapat; harta riba yang terlanjur kita dapatkan harus diinfaqkan
dalam kepentingan masyarakat umum dan yang tidak terhormat, semacam pembangunan
jalan raya, jembatan, jamban umum atau yang serupa. Tidak dibenarkan untuk membangun
masjid, atau diberikan kepada faqir-miskin.
Kedua: mereka berpendapat harta riba dapat harus kita salurkan pada kegiatan-kegiatan
sosial, baik yang kegunaannya dirasakan oleh masyarakat umum, semisal pembangunan

madrasah atau hanya dirasakan oleh sebagian orang saja. Misalnya dibagikan kepada fakir
miskin.
Dan sebatas ilmu saya, pendapat kedua inilah yang lebih kuat, yang demikian itu dikarenakan
beberapa alsan berikut:
1. Tidak ada dalil yang membedakan antara amal sosial yang kegunaannya dirasakan oleh
masyarakat umum dari yang manfaatnya hanya dirasakan oleh sebagian orang saja.
2. Harta haram dalam islam dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok besar:
A. Harta haram karena dzatnya, semisal babi, anjing, bangkai dan khamer. Barang-barang
ini diharamkan dalam segala keadaan dan tetap saja haram walaupun diperoleh dengan caracara yang halal, misalnya dengan berburu, atau membeli atau hibah.
B. Harta haram karena cara memperolehnya, bukan karena dzatnya; misalnya ialah harta
curian, penipuan, dan riba. Harta-harta ini diharamkan karena cara memperolehnya,
walaupun asal-usul hartanya adalah halal. Berkaitan dengan harta haram jenis ini, sebagian
ulama ahli fiqih telah menggariskan kaedah yang sangat bagus:

Perubahan metode memperolah suatu benda dihukumi sebagai perubahan benda tersebut.
Dengan demikian harta riba haram atas kita karena kita memperolehnya dengan cara-cara
yang diharamkan, yaitu riba, akan tetapi dzat uang itu sendiri tidak dapat dinyatakan haram
atau halal. Selanjutnya bila harta riba kita itu diberikan kepada fakir miskin, berarti harta itu
berpindah kepada mereka dengan cara-cara yang dibenarkan, bukan dengan cara riba. Oleh
karena itu dahulu Nabi shallallaahu alaihi wa sallam tetap berniaga (jual-beli dan akad
lainnya) dengan orang-orang Yahudi, padahal beliau mengetahui bahwa kaum Yahudi
mendapatkan sebagian hartanya dari memperjual-belikan babi, khamer, dan menjalankan
riba. Yang demikian itu, dikarenakan Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bertransaksi dengan
yahudi dengan cara-cara yang dibenarkan, sehingga perbuatan yahudi memperjual-belikan
babi di belakang beliau tidak menjadi masalah.
Pendek kata, harta riba yang anda peroleh wajib hukumnya untuk disalurkan kepada orang
lain yang membutuhkan atau untuk mendanai kegiatan sosial, dan tidak dibenarkan bagi anda
untuk menggunakannya untuk kepentingan pribadi, termasuk untuk membayar pajak. Yang
demikian itu dikarenakan pembayaran pajak walaupun pajak diharamkan dalam islamadalah bagian dari kepentingan anda pribadi.
Selanjutnya, masalah bagi hasil yang anda peroleh dari perbankan syariah yang ada di negri
kita, menurut saya diperlakukan sama dengan bunga yang anda peroleh dari perbankan
konvensional. Karena sebatas yang saya ketahui, praktek kedua jenis perbankan tersebut
tidak ada bedanya, sama-sama membungakan uang, dan bukan bisnis guna mendapatkan
keuntungan. Terlebih-lebih menurut peraturan perbankan yang ada di negri kita, perbankan
adalah badan keuangan dan tidak boleh merangkap sebagai badan usaha, dengan demikian
ruang kerjanya hanya sebatas pembiayaan yang nota bene aman dari resiko usaha.
Wallahu aalam bisshawab, wassalamualaikum warahmatullah.
Dr. Muhammad Arifin bin Badri, M.A.

Tahap Desember 2015 Butuh 200 Juta untuk


Pelebaran Jalan
Des 01, 2015Muhammad Abduh Tuasikal, MScSosial0 Komentar
Warak, 18 Safar 1437 H (01 Desember 2015 ): Sudah 6 bulan berjalan untuk pelebaran
jalan di sekitar Pesantren Darush Sholihin yaitu di dua dusun (Dusun Warak dan Krambil).
Pelebaran ini bertujuan untuk mengatasi kemacetan dan sebagai lahan parkir untuk kendaraan
yang datang. Kajian rutin malam Kamis saja sudah dihadiri 2000 jamaah. Lebih-lebih lagi
Kajian Akbar seperti yang terakhir diisi oleh Ustadz Badrusalam (Rodja TV) dihadiri 3800
jamaah dan Ustadz Said (Wonosari) dihadiri 4000 jamaah. Sehingga pelebaran jalan ini
terasa sangat urgent.
Sampai saat ini masih berlangsung pelebaran dan sudah mencapai 90%. Hasilnya sudah
dirasakan oleh masyarakat di sekitar pesantren. Jalan yang tadinya sempit dan rawan
kecelakaan, sekarang sudah relatif lebih aman.
Di samping itu juga kegiatan pelebaran in adalah membuka lapangan kerja bagi para
pengangguran atau warga yang biasa bekerja di Jogja, akhirnya cukup bekerja di dekat
rumah.
Adapun dana yang telah dihabiskan selama 6 bulan terakir adalah
Rp.608.105.500,- dan dana tersebut kami dapatkan dari sumbangan para donatur melalui
dana riba, syubhat maupun dana sosial khusus untuk pelebaran jalan. Laporan pengeluaran
selama ini bisa dilihat di sini. Foto-foto terkini bisa lihat di sini.
Untuk tahap Desember 2015 ini, selama satu minggu (hingga 7 Desember 2015) dibuka
donasi dengan kebutuhan 200 juta rupiah.
Bagi yang berminat menyalurkan dana riba, dana syubhat (tidak jelas), atau dana sosial,
silakan mentransfer via Rekening khusus dana sosial: BCA KCP Wonosari 8950092905 atas
nama Muhammad Abduh Tuasikal.
Konfirmasi via sms ke 082313950500 dengan format: Dana Sosial # Nama Donatur #
Alamat # Bank Tujuan Transfer # Tgl Transfer # Besar Donasi. Contoh: Dana Sosial # Rini #
Jogja # BCA # 1 Desember 2015 # Rp.100.000.
Info donasi, silakan CALL, SMS, atau WA ke nomor: 0811 267791/0877 3825 5559
(Mas Jarot)
Semoga Allah memberkahi rizkinya.
Pelebaran jalan di Dusun Warak.
Pelebaran jalan di RT 07 Dusun Warak.

18 Safar 1437 H
Join Channel Telegram: @RumayshoCom, @DarushSholihin

https://rumaysho.com/2964-bagaimana-penyaluran-harta-riba.html
Bagaimana Penyaluran Harta Riba?

Nov 14, 2012Muhammad Abduh Tuasikal, MScMuamalah42 Komentar

Riba sudah jelas haramnya. Namun saat ini harta riba begitu samar bagi sebagian
orang. Walaupun digunakan nama bunga sekalipun, riba tetaplah riba. Lalu bagaimana jika
kita memiliki harta riba tersebut? Yang jelas, harta tersebut adalah harta haram yang tidak
boleh kita manfaatkan. Lalu di manakah disalurkan?
Bunga Bank itu Riba
Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah
berkata,
Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang piutang),
namun senyatanya bukan qord. Karena utang piutang dimaksudkan untuk tolong menolong
dan berbuat baik. Transaksinya murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan uang
dan akan diganti beberapa waktu kemudian. Bunga bank itu sendiri adalah keuntungan dari
transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang namanya bunga bank yang diambil dari
pinjam-meminjam atau simpanan, itu adalah riba karena didapat dari penambahan (dalam
utang piutang). Maka keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh sama-sama disebut
riba. (Lihat Taysir Al Fiqh, Syaikh Sholih bin Ghonim As Sadlan hal. 398, terbitan Dar
Blancia, cetakan pertama, 1424 H).
Penjelasan selengkapnya mengenai ribanya bunga bank, silakan baca di sini.
Pemanfaatan Dana Riba
Sependek pengatahuan kami, para ulama sepakat bahwa harta riba tidak halal bagi
seorang muslim untuk memilikinya dan dimanfaatkan sendiri. Ia harus mengambilkan pada
sumber dana riba tersebut jika ia ketahui.
Jika tidak diketahui dari mana berasal harta tersebut, maka bagaimanakah dana tersebut
disalurkan? Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama menyatakan bahwa dana riba tersebut disalurkan untuk yang berhak
menerima menurut syari. Demikian pendapat jumhur ulama dari Hanafiyah, Malikiyah,
Syafiiyah dan Hambali.
Pendapat kedua menyatakan bahwa dana tersebut dijaga dan tidak boleh dimanfaatkan.
Pendapat ini dinisbatkan pada Imam Syafii.
Pendapat jumhur ulama lebih kuat. Karena harta riba bisa ada tiga kemungkinan,
ditahan (dijaga), dimusnahkan atau diinfakkan. Kalau harta riba tersebut dimusnahkan, maka

itu sama saja membuang-buang harta. Kalau hanya disimpan atau dijaga saja, itu juga sama
saja menyia-nyiakan harta tersebut, tanpa ada guna.
Di antara dalil yang mendukung pendapat jumhur adalah sabda Nabi shallallahu alaihi
wa sallam mengenai luqothoh (barang temuan),







Barangsiapa yang menemukan luqothoh maka saksikanlah pada orang yang baik,
jangan sembunyikan dan menghilangkannya. Jika ditemukan siapa pemiliknya, maka
kembalikanlah padanya. Jika tidak, maka itu adalah harta Allah yang diberina kepada siapa
yang Dia kehendaki. (HR. Abu Daud no. 1709, shahih kata Syaikh Al Albani).
Ke Manakah Harta Riba Disalurkan?
Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak
khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang
terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah
pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam
Ghozali dari ulama Syafiiyah.
Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain
untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak
boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut
berasal dari harta yang thohir (suci).
Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan
Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.
Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk
kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Lebih-lebih lagi karena
sebab kemiskinan adalah karena terlilit hutang riba, maka harta tersebut sebenarnya pantas
untuk mereka. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan
pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat
dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaroan (kehati-hatian) dalam masalah shalat di
tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut
masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta riba tidak boleh disalurkan untuk
pembangunan masjid.
Dalam rangka hati-hati, harta riba disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada
orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan oleh
pemilik harta riba tadi secara personal. Wallahu alam.

Semoga Allah menyelamatkan dan membersihkan kita dari harta haram. Wallahu
waliyyut taufiq.

Referensi: Penjelasan Syaikh Kholid Mihna, http://www.almoslim.net/node/82772

https://pengusahamuslim.com/2752-cara-halal-memanfaatkan-1461.html

Cara Halal Memanfaatkan Bunga Bank


Feb 27, 2012 Artikel, Fikih Kontemporer 0
Pembahasan tentang hukum riba di bank tidak dijumpai dalam buku fikih klasik.
Karena ketika buku itu ditulis, sejarah munculnya bank belum terbit. Untuk memahami
berbagai masalah seputar bank, kita perlu merujuk kepada penjelasan ulama kontemporer,
yang sempat menjumpai praktek perbankkan.
Pertama, Hukum mengambil bunga bank
Ulama sepakat bahwa bunga bank sejatinya adalah riba. Hanya saja mereka berbeda
pendapat tentang hukum mengambil bunga tabungan di bank, untuk kemudian disalurkan ke
berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.
Pendapat pertama, bunga bank wajib ditinggal dan sama sekali tidak boleh diambil.
Diantara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Shaleh alUtsaimin. Sebagaimana keterangan beliau di banyak tempat risalah beliau.
Pendapat kedua, dibolehkan mengambil bunga bank, untuk disalurka ke kegiatan sosial
kemasyarakatan. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Ibnu Jibrin,
ketika ditanya tentang hukum menyalurkan bunga bank untuk para mujahid. Setelah
menjelaskan larang menabung di bank kecuali darurat, beliau menegaskan:
.dia boleh mengambil keuntungan yang diberikan oleh bank, semacam bunga, namun
jangan dimasukkan dan disimpan sebagai hartanya. Akan tetapi dia salurkan untuk kegiatan
sosial, seperti diberikan kepada fakir miskin, mujahid, atau semacamnya. Tindakan ini lebih
baik dari pada meninggalkannya di bank, yang nantinya akan dimanfaatkan untuk
membangun gereja, menyokong misi kekafiran, dan menghalangi dakwah islam.. (Fatawa
Islamiyah, 2/884)
Bahkan Syaikh Muhammad Ali Farkus dalam keterangannya menjelaskan: Bunga
yang diberikan bank, statusnya haram. Boleh disalurkan untuk kemaslahatan umum kaum
muslimin dengan niat sedekah atas nama orang yang didzalimi (baca: nasabah). Demikian
juga boleh disalurkan untuk semua kegiatan yang bermanfaat bagi kaum muslimin, termasuk
diberikan kepada fakir miskin.
Karena semua harta haram, jika tidak diketahui siapa pemiliknya atau keluarga
pemiliknya maka hukumnya, harta ini menjadi milik umum, dimana setiap orang berhak
mendapatkannya, sehingga digunakan untuk kepentingan umum. Allahu alam.
Kedua, menginfakkan bunga bank untuk masjid
Dengan mengambil pendapat ulama yang membolehkan mengambil riba di bank,
pertanyaan selanjutnya, bolehkan menyalurkan riba tersebut untuk kegiatan sosial
keagamaan, seperti membangun masjid, pesantren atau kegiatan dakwah lainnya?
Pendapat pertama, tidak boleh menggunakan uang riba untuk kegiatan keagamaan.
Uang riba hanya boleh disalurkan untuk fasilitas umum atau diberikan kepada fakir miskin.
Pedapat ini dipilih oleh Lajnah Daimah (Komite tetap untuk fatwa dan penelitian) Arab
Saudi. Sebagaimana dinyatakan dalam fatwa no. 16576.
Pendapat ini juga difatwakan Penasehat Syariah Baitut Tamwil (Lembaga Keuangan)
Kuwait. Dalam fatwanya no. 42. Mereka beralasan mendirikan masjid harus bersumber dari
harta yang suci. Sementara harta riba statusnya haram.
Pendapat kedua, boleh menggunakan bunga bank untuk membangun masjid. Karena
bunga bank bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat. Jika boleh digunakan untuk
kepentingan umum, tentu saja untuk kepentingan keagamaan tidak jadi masalah. Diantara
ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Abdullah bin Jibrin. Sebagaimana dikuti
dalam Fatawa Islamiyah, 2/885.
Ketiga, Menggunakan riba untuk membayar pajak

Setelah menjelaskan haramnya membungakan uang di bank, Syaikh Muhamad Ali


Farkus menyatakan:
Jika uang yang disimpan menghasilkan tambahan bunga (riba) maka pemiliknya wajib
bertaubat dari kedzalimannya, karena memakan uang orang lain dengan cara yang tidak
benar. Bukti taubatnya adalah dengan membersihkan diri dari harta haram yang bukan
miliknya dan tidak pula milik bank. Akan tetapi uang haram ini menjadi harta umum, yang
harus dikembalikan untuk kepentingan umum kaum muslimin atau diberikan kepada fakir
miskin. Mengingat ada halangan dalam hal ini, berupa tidak diketahuinya orang yang
didzalimi dalam transaksi riba ini, karena hartanya diambil untuk bunga. Karena uang riba
yang ditambahkan adalah uang umum yang dimiliki seluruh kaum muslimin. Sementara
seseorang tidak boleh membayar pajak yang menjadi tanggungannya dengan harta milik
orang lain tanpa minta izin.
Demikian pula yang difatwakan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah di bawah
bimbingan Syaikh Dr. Abdullah al-Faqih. Dalam fatwanya no. 23036 dinyatakan:
Membayar pajak dengan bunga bank, hukumnya tidak boleh, karena pembayaran pajak
akan memberikan perlindungan bagi harta pemiliknya, sehingga dia telah memanfaatkan riba
yang haram ini.
Perhatian!!
Bunga bank yang ada di rekening nasabah, sama sekali bukan hartanya. Karena itu, dia
tidak boleh menggunakan uang tersebut, yang manfaatnya kembali kepada dirinya, apapun
bentuknya. Bahkan walaupun berupa pujian. Oleh sebab itu, ketika anda hendak menyalurkan
harta riba, pastikan bahwa anda tidak akan mendapatkan pujian dari tindakan itu. Mungkin
bisa anda serahkan secara diam-diam, atau anda jelaskan bahwa itu bukan uang anda, atau itu
uang riba, sehingga penerima yakin bahwa itu bukan amal baik anda.
Demikian sinopsis artikel kumpulan fatwa tentang pemanfaatan bunga bank, yang
diterbitkan di majalah Pengusaha Muslim edisi 25.
BERLANGGANAN MAJALAH PENGUSAHA MUSLIM
Bagi anda yang memiliki kepedulian terdapat kondisi perbankan syariah di negara kita, kami
mengajak untuk bersama-sama memahami kondisi riil perbankan syariah.
Untuk mengetahui studi kritis tentang penbankan syariah lebih mendalam, anda bisa
membaca majalah pengusaha muslim edisi 24 dan 25, yang secara khusus mengupas studi
kritis perbankan syariah.
Berikut rincian tema artike yang dikupas di Majalah Pengusaha Muslim pada dua edisi
tersebut:

Anda mungkin juga menyukai