madrasah atau hanya dirasakan oleh sebagian orang saja. Misalnya dibagikan kepada fakir
miskin.
Dan sebatas ilmu saya, pendapat kedua inilah yang lebih kuat, yang demikian itu dikarenakan
beberapa alsan berikut:
1. Tidak ada dalil yang membedakan antara amal sosial yang kegunaannya dirasakan oleh
masyarakat umum dari yang manfaatnya hanya dirasakan oleh sebagian orang saja.
2. Harta haram dalam islam dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok besar:
A. Harta haram karena dzatnya, semisal babi, anjing, bangkai dan khamer. Barang-barang
ini diharamkan dalam segala keadaan dan tetap saja haram walaupun diperoleh dengan caracara yang halal, misalnya dengan berburu, atau membeli atau hibah.
B. Harta haram karena cara memperolehnya, bukan karena dzatnya; misalnya ialah harta
curian, penipuan, dan riba. Harta-harta ini diharamkan karena cara memperolehnya,
walaupun asal-usul hartanya adalah halal. Berkaitan dengan harta haram jenis ini, sebagian
ulama ahli fiqih telah menggariskan kaedah yang sangat bagus:
Perubahan metode memperolah suatu benda dihukumi sebagai perubahan benda tersebut.
Dengan demikian harta riba haram atas kita karena kita memperolehnya dengan cara-cara
yang diharamkan, yaitu riba, akan tetapi dzat uang itu sendiri tidak dapat dinyatakan haram
atau halal. Selanjutnya bila harta riba kita itu diberikan kepada fakir miskin, berarti harta itu
berpindah kepada mereka dengan cara-cara yang dibenarkan, bukan dengan cara riba. Oleh
karena itu dahulu Nabi shallallaahu alaihi wa sallam tetap berniaga (jual-beli dan akad
lainnya) dengan orang-orang Yahudi, padahal beliau mengetahui bahwa kaum Yahudi
mendapatkan sebagian hartanya dari memperjual-belikan babi, khamer, dan menjalankan
riba. Yang demikian itu, dikarenakan Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bertransaksi dengan
yahudi dengan cara-cara yang dibenarkan, sehingga perbuatan yahudi memperjual-belikan
babi di belakang beliau tidak menjadi masalah.
Pendek kata, harta riba yang anda peroleh wajib hukumnya untuk disalurkan kepada orang
lain yang membutuhkan atau untuk mendanai kegiatan sosial, dan tidak dibenarkan bagi anda
untuk menggunakannya untuk kepentingan pribadi, termasuk untuk membayar pajak. Yang
demikian itu dikarenakan pembayaran pajak walaupun pajak diharamkan dalam islamadalah bagian dari kepentingan anda pribadi.
Selanjutnya, masalah bagi hasil yang anda peroleh dari perbankan syariah yang ada di negri
kita, menurut saya diperlakukan sama dengan bunga yang anda peroleh dari perbankan
konvensional. Karena sebatas yang saya ketahui, praktek kedua jenis perbankan tersebut
tidak ada bedanya, sama-sama membungakan uang, dan bukan bisnis guna mendapatkan
keuntungan. Terlebih-lebih menurut peraturan perbankan yang ada di negri kita, perbankan
adalah badan keuangan dan tidak boleh merangkap sebagai badan usaha, dengan demikian
ruang kerjanya hanya sebatas pembiayaan yang nota bene aman dari resiko usaha.
Wallahu aalam bisshawab, wassalamualaikum warahmatullah.
Dr. Muhammad Arifin bin Badri, M.A.
18 Safar 1437 H
Join Channel Telegram: @RumayshoCom, @DarushSholihin
https://rumaysho.com/2964-bagaimana-penyaluran-harta-riba.html
Bagaimana Penyaluran Harta Riba?
Riba sudah jelas haramnya. Namun saat ini harta riba begitu samar bagi sebagian
orang. Walaupun digunakan nama bunga sekalipun, riba tetaplah riba. Lalu bagaimana jika
kita memiliki harta riba tersebut? Yang jelas, harta tersebut adalah harta haram yang tidak
boleh kita manfaatkan. Lalu di manakah disalurkan?
Bunga Bank itu Riba
Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah
berkata,
Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang piutang),
namun senyatanya bukan qord. Karena utang piutang dimaksudkan untuk tolong menolong
dan berbuat baik. Transaksinya murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan uang
dan akan diganti beberapa waktu kemudian. Bunga bank itu sendiri adalah keuntungan dari
transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang namanya bunga bank yang diambil dari
pinjam-meminjam atau simpanan, itu adalah riba karena didapat dari penambahan (dalam
utang piutang). Maka keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh sama-sama disebut
riba. (Lihat Taysir Al Fiqh, Syaikh Sholih bin Ghonim As Sadlan hal. 398, terbitan Dar
Blancia, cetakan pertama, 1424 H).
Penjelasan selengkapnya mengenai ribanya bunga bank, silakan baca di sini.
Pemanfaatan Dana Riba
Sependek pengatahuan kami, para ulama sepakat bahwa harta riba tidak halal bagi
seorang muslim untuk memilikinya dan dimanfaatkan sendiri. Ia harus mengambilkan pada
sumber dana riba tersebut jika ia ketahui.
Jika tidak diketahui dari mana berasal harta tersebut, maka bagaimanakah dana tersebut
disalurkan? Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama menyatakan bahwa dana riba tersebut disalurkan untuk yang berhak
menerima menurut syari. Demikian pendapat jumhur ulama dari Hanafiyah, Malikiyah,
Syafiiyah dan Hambali.
Pendapat kedua menyatakan bahwa dana tersebut dijaga dan tidak boleh dimanfaatkan.
Pendapat ini dinisbatkan pada Imam Syafii.
Pendapat jumhur ulama lebih kuat. Karena harta riba bisa ada tiga kemungkinan,
ditahan (dijaga), dimusnahkan atau diinfakkan. Kalau harta riba tersebut dimusnahkan, maka
itu sama saja membuang-buang harta. Kalau hanya disimpan atau dijaga saja, itu juga sama
saja menyia-nyiakan harta tersebut, tanpa ada guna.
Di antara dalil yang mendukung pendapat jumhur adalah sabda Nabi shallallahu alaihi
wa sallam mengenai luqothoh (barang temuan),
Barangsiapa yang menemukan luqothoh maka saksikanlah pada orang yang baik,
jangan sembunyikan dan menghilangkannya. Jika ditemukan siapa pemiliknya, maka
kembalikanlah padanya. Jika tidak, maka itu adalah harta Allah yang diberina kepada siapa
yang Dia kehendaki. (HR. Abu Daud no. 1709, shahih kata Syaikh Al Albani).
Ke Manakah Harta Riba Disalurkan?
Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak
khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang
terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah
pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam
Ghozali dari ulama Syafiiyah.
Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain
untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak
boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut
berasal dari harta yang thohir (suci).
Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan
Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.
Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk
kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Lebih-lebih lagi karena
sebab kemiskinan adalah karena terlilit hutang riba, maka harta tersebut sebenarnya pantas
untuk mereka. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan
pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat
dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaroan (kehati-hatian) dalam masalah shalat di
tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut
masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta riba tidak boleh disalurkan untuk
pembangunan masjid.
Dalam rangka hati-hati, harta riba disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada
orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan oleh
pemilik harta riba tadi secara personal. Wallahu alam.
Semoga Allah menyelamatkan dan membersihkan kita dari harta haram. Wallahu
waliyyut taufiq.
https://pengusahamuslim.com/2752-cara-halal-memanfaatkan-1461.html