Sediaan Telinga
Sediaan Telinga
Telinga terbagi menjadi bagian luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri dari pinna atau
aurikula, yaitu daun kartilogo yang menangkap gelombang bunyi dan menyalurkannya ke kanal
auditori eksternal (meatus), suatu lintasan sempit yang panjangnya sekitar 2.5 cm merentang dari
aurikula sampai membran timpani. Membran timpani (gendang telinga) adalah pembatas telinga
tengah.
Membran timpani berbentuk kerucut, permukaan eksternalnya dilapisai kulit dan
permuakaan internalnya dilapisi membran mukosa, membran ini memisahkan telinga luar dan
telinga tengah, memiliki tegangan, ukuran dan ketebalan yang sesuai untuk menggetarkan
gelombang bunyi secara mekanis. Telinga tengah terletak di rongga berisi udara dalam bagian
petrosus tulang temporal. Turba eustachius (auditori) menghubungkan telinga tengah dengan
faring. Turba yang biasanya tertutup dapat terbuka saat menguap, menelan, atau mengunyah.
Saluran ini berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani.
Sediaan otik, kadang kadang dinamakans ebagai sediaan telinga ataus ediaan :aural.
Sediaan telinga biasanya ditempatkan pada kanal telinga untuk menghilangkan serumen (malam
kuping, tahi kuping) atau untuk pengobatan infeksi, inflamasi atau nyeri telinga. Karena telinga
terluar ditutup oleh strukutr kulit dan berperilaku seperti kondisi dermatologi lain seperti halnya
permukaan tubuh, kondisi kulit diobati menggunakan beranek ragam sediaan dermatologi.
dikutip dari: Sediaan Farmasi Steril
Farmasetika_Laporan Guttae
Auriculares
BAB I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengaetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan yang semakin
pesat, menuntut farmasis untuk selalu mengembangkan pembuatan obat dan
formulasi sediaan obat. Peningkatan kualitas obat dan efisiensi dalam pembuatan
merupakan hasil yang ingin dicapai dari pengembangan cara pembuatan dan cara
formulasi suatu sediaan obat sehingga dapat lebih diterima dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Dalam pengembangan obat tersebut dibuatlah sedbua sediaan yang ditunjukkan
untuk telinga berdasarkan adanya gangguan pada telinga yakni berupa
penyumbatan akibat kotoran telinga, infeksi dan lain-lain. Sediaan telinga kadangkadang dikenal sebagai sediaan otic atau aural. Sediaan-sediaan yang digunakan
pada permukaan luar telinga, hidung, rongga mulut termasuk macam-macam dari
sediaan farmasi dalam bentuk larutan, suspense dan salep yang semuanya dibuat
dalam keadaan steril sehingga disebut dengan sediaan steril. Tujuannya untuk
memperlihatkan lebih dekat tipe-tipe bentuk sediaan yang digunakan dengan tempat
pemakaiannya dan untuk menentukan dari komponen dalam formulasi (Ansel,
2005).
Guttae atau obat tetes merupakan salah satu dari bagian sediaan farmasi
yang termaksud ke dalam sediaan steril. Guttae adalah sediaan cair berupa larutan
emulsi atau suspensi yang dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar digunakan
dengan cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara
dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku yang disebutkan dalam Farmakope
Indonesia. Guttae atau obat tetes sendiri terdiri dari guttae atau obat tetes yang
digunakan untuk obat luar dilakukan dengan cara meneteskan obat ke dalam
makanan atau minuman. Kemudian guttae oris atau tetes mulut, guttae auriculars
atau tetes telinga, guttae opthalmicae atau tetes mata dan guttae nasals yaitu tetes
hidung.
Dari semua obat tetes hanyalah obat tetes telinga yang tidak menggunakan air
sebagai zat pembawanya. Karena obat tetes telinga harus memperhatikan
kekentalan. Agar dapat menempel dengan baik kepada dinding telinga. Guttae
auriculars ini sendiri merupakan obat tetes yang digunakan untuk telinga dengan
cara meneteskan obat ke dalam telinga. Zat pembawanya biasanya menggunakan
gliserol dan propilenglikol. Bahan pembuatan tetes telinga harus mengandung
bahan yang sesuai untuk mencegah pertumbuhan atau memusnahkan mikroba
yang masuk secara tidak sengaja bila wadah dibuka pada waktu penggunaan
dikatakan bersifat bakteriostatik.
Jika terkena cahaya matahari atau cahaya yang lainnya akan merusak sediaan
tetes telinga tersebut. Karena guttae auriculars ini merupakan salah satu sediaan
obat dalam bidang farmasi. maka seorang farmasis wajib mengetahui bagaimana
cara pembuatannya dan bagaimana pula cara pemakaiannya.
BAB II
FORMULA
II.1 Master Formula
Tiap 10 mL mengandung
R/ Kloramfenikol 1 gram
Propylenglikol ad 10 mL
II.2 Kelengkapan Resep
Dr.ReskyPratama
SIP. 08/056/2010
Jl.
Telp
No.05
Tanggal 19 November 2012
R/ Khloramphenicol
1g
Propilenglikol
ad
10 mL
da 60 mL
Pro : Mawar
Umur : 20Tahun
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
BAB IV
METODE KERJA
IV.1. Alat dan Bahan
IV.1.1 Alat yang digunakan
Batang Pengaduk
Cawan porselin
Gelas kimia 50 mL
Gelas Ukur 25 mL
Kaca arloji
Timbangan Digital
Sendok Tanduk
Wadah Tetes Telinga 10 mL
IV.1.2 Bahan yang digunakan
Kertas perkamen
Kloramphenikol 2 gram
Propilenglikol ad 10 mL
Untuk 60 mL (6 botol)
= 6,3 gram
Propylenglikol = 10 mL
Di lebihkan 5 % = 5/100 x 10 mL
= 0.5 mL
Jadi yang ditimbang = 10 mL + 0.5 mL
= 10,5 gram
Untuk 60 mL (6 botol) = (10,5 mL)/(10 mL) x 60 mL
= 63 mL
= 63 -6.3 mL
= 56.7 mL
BAB V
PEMBAHASAN
Pada praktikum ini, kami melakukan percobaan yaitu membuat guttae auriculares
atau obat tetes telinga. Sebagaimana telah diketahui definisi guttae auriculares
adalah obat tetes yang digunakan untuk telinga dengan cara meneteskan obat ke
dalam telinga. Obat tetes telinga ini dibuat menggunakan cairan pembawa bukan air
tetapi menggunakan propilenglikol. Dalam praktikum ini pembawa yang digunakan
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Muhammad. 2000. ILMU MERACIK OBAT TEORI DAN PRAKTEK.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Ansel, Howard. 1989. PENGANTAR BENTUK SEDIAAN FARMASI. Jakarta : UI
Press
Annonim. 1978. FORMULARIUM NASIONAL EDIS II. Jakarta : Depkes RI
Anonim. 1979. FARMAKOPE INDONESIA EDISI III. Jakarta : Depkes RI.
Anonim. 1997. FARMAKOPE INDONESIA EDISI IV. Jakarta : Depkes RI
(1)
B. Formula Modifikasi
Lidocain Hcl 1%
Metil paraben 1%
Gliserin ad 10 mL
A. Lidokain HCl
Sinonim : Lidocaini Hyrochloridum, Lignokain Hidroklorida (4).
(4)
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan dalam etanol, larut dalam
kloroform, tidak larut dalam eter(4).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik(4).
Fungi : Sebagai zat aktif, yaitu berkhasiat sebagai antiseptik dan anastetik
lokal.
B. Metil paraben
Sinonim : Metil p-hidroksibenzoat(4).
Rumus molekul : C8H8O3(4)
Pemerian : Hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur, putih, tidak
berbau atau berbau khas lemah, mempunyai sedikit rasa terbakar (4).
Kelarutan : Sukar larut dalam air,dalam benzena, dan dalam karbon
tetraklorida. Mudah larut dalam etanol dan dalam eter (4).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik(4).
Fungsi : Sebagai pengawet sediaan tetes telinga yang dibuat.
C. Gliserin
Rumus molekul : C3H8O3(4).
Sinonim : Glycerolum(4).
Pemerian : Cairan jernih seperti sirup, tidak berwarna; rasa manis; hanya
boleh berbau khas lemah (tajam atau tidak enak). Higroskopik, netral
terhadap lakmus(4).
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air dan dengan etanol, tidak larut
dalam kloroform, dalam eter, dalam minyak lemak dan dalam minyak
menguap(4).
Alat
Sterilisasi
Cawan
porselen
Oven
Corong
Oven
Gelas beker
Autoklaf
Mortir
Pengaduk
Autoklas
Oven
Pipet tetes
Sendok
Stamper
Oven
UV
Autoklaf
3. Cara Kerja
Black area: semua alat yang akan disterilkan dibungkus dengan
kertas perkamen untuk autoklaf dan dengan almunium foil untuk
oven
Alat dimasukkan ke grey area melalui pass box
Dalam ruang antara memakai jas lab, tutup kepala, dan sarung
kaki
Grey area: Masing-masing alat disterilkan. Gelas beker, mortir,
stamper, spatula, karet penutup vial, dan karet pipet tetes
disterilisai di autoklaf pada suhu121oC selama 15 menit. Corong,
pengaduk, pipet tetes, dan cawan porselen disterilisasi
menggunakan oven pada suhu 170oC selama 30 menit.
Grey area: menimbang bahan yang digunakan
White area: melarutkan Lidokain HCl dengan air panas secukupnya,
diaduk hingga homogen
Menambahkan metil paraben, diaduk hingga homogen
Menambahkan gliserin hingga 10 ml, diaduk hingga homogen
Dimasukan ke dalam botol
Evaluasi (kejernihan, pH, kebocoran, volume, dan organoleptis)
Sterilisasi akhir dengan autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit
Dimasukkan ke dalam kemasan sekunder, diberi etiket dan brosur
VI. EVALUASI
A. Uji Penetapan PH
Ujung kertas pH dicelupkan kedalam larutan
B. Uji Kejernihan
Sediaan yang diuji dilihan dengan latar berwrna hitam
Melihat ada tidaknya partikel yang tidak larut
C. Uji Organoleptis
Sediaan tetes telinga yang sudah jadi, diamati secara visual
Dilihat warna dan bau sediaan
D. Uji Kebocoran
sediaan dalam kemasan diletakkan terbalik dengan ujung dibawah ketika
disterilisasi akhir
VII. LAMPIRAN
A. Brosur
B. Kemasan
C. Etiket
VIII. DAFTAR PUSTAKA
(1)
(2)
(3)
(4)
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, DepKes RI, Jakarta, 413-414,
497, 551.
kejernihan
pengawet
Obat cuci mulut adalah sediaan larutan pekat dalam air yang mengandung bahan
deodorant, antiseptik, analgetik dan astringen, biasanya untuk membersihkan dan
menghilangkan bau mulut.
F. Obat gosok (linimentum)
obat gosok adalah sediaan cair atau kental mengandung analgetikum dan zat yang
mempunyai sifat rubefasien, melemaskan otot, atau menghangatkan.
G. Lotio
Lotio adalah sediaan berupa suspensi atau sistem dispersi yang digunakan sebagai obat luar
(topikal), biasanya dikenal dengan sebutan lotion atau losion.
H. Enema
Enema atau lavement atau clysma adalah cairan untuk membersihkan atau menghasilkan
efek terapi setempat atau sistemik. enema untuk terapi seperti sedatif, antelmintik,
antiradang, ataupun nutrien. Macam-macam enema :
- enema retensi : enema/larutan yang diberikan melalui rektum
- enema untuk pengosongan : enema diberikan melalui rektum untuk membersihkan usus.
- enema dengan efek terapeutik : enema untuk efek karminatif, sebagai astringen, dsb
Sumber : Farmasetika Dasar
BAB I
PENDAHULUAN
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia
formulasi
obat
terhadap
bioavailabilitas
obat.
Bioavailabilitas
menyatakan
kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Biofarmasetika
bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik
agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu.
Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh
sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia atau
produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variable-variabel tersebut
melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan
memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat,
maka bioavaibilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan
lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai
tidak terjadi absorpsi sama sekali.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
FAKTOR-FAKTOR DALAM BIOAVAILABILITAS OBAT
Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui suatu
rangkaian proses. Proses tersebut meliputi (1) disintegrasi produk obat yang diikuti
pelepasan obat; (2) pelarutan obat; (3) absorpsi melewati membran sel menuju
sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat, pelarutan dan absorpsi,
kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh tahapan yang paling
lambat dalam rangkaian tersebut.
Tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetik disebut
tahap penentu kecepatan (rate limiting step). Untuk obat-obat yang mempunyai
kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan serigkali merupakan tahap yang paling
lambat, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap
bioavailablitas obat. Tetapi sebaliknya, untuk obat yang mempunyai kelarutan besar
dalam air, laju pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat
membran merupakan tahap paling lambat atau merupakan tahap penentu
kecepatan.
Pelepasan
dengan cara
penghancuran
Obat
dalam
tubuh
Absorpsi
Obat
dalam
larutan
Pelarutan
Partikel
obat
padat
Sejumlah
pengosongan
faktor
lambung.
telah
Beberapa
menunjukkan
faktor
yang
pengaruh
terhadap
cenderung
waktu
menghambat
yang
paling
banyak
berada
dalam
sistemik,
farmasis
harus
mempertimbangkan (1) jenis produk obat (misal: larutan, suspensi, supositoria); (2)
sifat bahan tambahan dalam produk obat; (3) sifat fisikokimia obat itu sendiri.
Seperti dikatakan sebelumnya, bioavailabilitas obat aktif dalam suatu
bentuk sediaan pada bergantung pada beberapa faktor, yang meliputi (1)
disintegrasi produk obat dan pelepasan partikel obat aktif; (2) pelarutan obat; dan
(3) absorpsi atau permeasi obat melintasi membran sel.
DISINTEGRASI. Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami
disintegrasi
ke
dalam
disintegrasi
tidak
partikel-partikel
menggambarkan
kecil
pelarutan
dan
melepaskan
sempurna
tablet
obat.
atau
Proses
obat.
b.
c.
a.
Jika pelarutan obat merupakan laju penentu, maka suatu laju pelarutan yang lebih
cepat dapat mengakibatkan laju keberadaan obat dalam plasma yang lebih cepat,
sehingga memungkinkan untuk menetapkan korelasi antara laju pelarutan dan laju
absorpsi obat.
b.
Jika suatu obat diabsorpsi secara sempurna setelah pelarutan, maka dengan
membandingkan prosen obat terabsorpsi terhadap prosen obat terlarut dapat
diperoleh suatu korelasi linear.
c.
Bila formulasi obat yang berbeda diuji untuk pelarutan, suatu obat yang diformulasi
secara tidak baik, tidak akan terlarut dan dilepas secara sempurna, sehingga
menghasilkan konsentrasi obat dalam plasma yang lebih rendah. Prosen obat yang
dilepas pada berbagai jarak waktu untuk produk obat yang lebih berada dalam
sistemik akan menjadi lebih besar.
d.
Pada studi absorpsi aspirin, kadar aspirin dalam serum dikorelasikan dengan prosen
obat terlarut yang menggunakan suatu metode pelarutan in vitro. Media pelarutan
merupakan simulasi cairan lambung. Karena aspirin diabsorpsi cepat dari lambung,
maka pelarutan obat merupakan tahap penentu dan berbagai formulasi dengan laju
pelarutan yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan konsentrasi aspirin dalam
serum dari menit ke menit.
e.
Meskipun ada sejumlah contoh publikasi obat dengan data pelarutan yang
mempunyai korelasi baik dengan absorpsi obat dalam tubuh, ada juga beberapa
contoh yang menunjukkan adanya korelasi yang jelek dari pelarutan terhadap
absorpsi obat. Juga ada contoh suatu obat gagal dalam uji pelarutan, tetapi ternyata
diabsorpsi dengan baik. Masalah tidak adanya korelasi antara bioavaibiltas dan
diformulasi sehingga obat tersebut mencapai sasaran dengan cepat. Suatu obat
yang digunakan untuk jangka terapi yang lebih panjang dapat mencapai sasaran
lebih lambat. Sebagai contoh, suatu obat yang menghilangkan sakit hendaknya
diabsorpsi secara cepat sehingga diperoleh hilangnya rasa sakit yang cepat,
sedangkan suatu obat yang dirancang untuk mencegah keadaan asmatik dapat
diabsorpsi secara lambat sehingga efek perlindungan dari obat berakhir setelah
suatu jangka waktu yang panjang.
Efek Samping Pada Saluran Cerna
Beberapa obat yang diberikan secara oral mengiritasi lambung. Obat-obat ini dapat
menyebabkan mual dan rasa sakit pada lambung bila diberikan pada lambung yang
kosong. Untuk menurunkan iritasi lambung, dalam beberapa hal makanan atau
antacid dapat diberikan bersama-sama dengan obat. Cara lain, untuk menurunkan
iritasi lambung obat dapat disalut enterik.
Untuk memperbaiki bioavailabilitas obat dan menurunkan efek samping
pada saluran cerna, obat-obat tertentu telah diformulasi dalam kapsul gelatin lunak.
Jika obat diformulasi dalam kapsul gelatin lunak sebagai suatu larutan, maka obat
dapat terdispersi dan melarut lebih cepat dengan meninggalkan sedikit residu obat
dalam dinding usus dan menyebabkan iritasi.
Ada beberapa pilihan untuk formulator guna memperbaiki toleransi obat dan
memperkecil iritasi lambung. Sifat bahan tambahan dan keadaan fisik obat
merupakan hal yang penting dan harus ditetapkan secara hati-hati sebelum suatu
produk obat diformulasi. Beberapa bahan tambahan dapat memperbaiki kelarutan
obat dan mempermudah absorpsi. Sedangkan yang lain secara fisika dapat
mengabsorpsi obat untuk menurunkan iritasi.
PERTIMBANGAN RUTE PEMBERIAN
Produk-Produk Parenteral
Pada umumnya, pemakaian intravena memberi mula kerja yang paling cepat. Obatobat yang diinjeksikan secara intravena langsung masuk ke dalam darah dan dalam
beberapa menit beredar ke seluruh bagian tubuh. Suatu obat dapat diinjeksikan
secara intramuscular melibatkan penundaan absorpsi, karena obat berjalan dari
tempat injeksi ke aliran darah.
Tablet Bukal
Suatu tablet yang mengalami difusi dan penetrasi secara cepat dapat diberikan dan
diabsorpsi dalam rongga mulut. Suatu tablet yang dirancang untuk absorpsi obat
dalam
rongga
mulut
disebut tablet
bukal. Sebagai
contoh
tablet
sublingual
nitrogliserin terlarut di bawah lidah dan diabsorpsi melalui mukosa mulut. Tablettablet bukal pada umumnya mengandung suatu bahan tambahan yang cepat
melarut seperti laktosa, sehingga obat dilepaskan secara cepat.
Aerosol
Obat-obat yang diberikan ke dalam sistem pernafasan, seperti anti asmatik, dapat
diformulasi dalam suatu aerosol atau larutan inhalasi. Suatu sediaan aerosol dengan
propellan yang sesuai dapat memberikan obat secara cepat sampai ke daerah
bronchial.
Sediaan Transdermal
Pemberian transdermal memberi pelepasan obat ke sistem tubuh melalui kulit.
Contoh dari suatu obat yang dilepas secara transdermal adalah Transderma-V.
Untuk mabuk perjalanan Transderma-V melepaskan skopolamin melalui kulit telinga.
Rute pemberian ini dapat melepaskan obat selama beberapa jam tanpa efek
samping saluran cerna yang tidak menyenangkan. Obat yang diberikan secara
transdermal tidak dipengaruhi oleh first pass effects.
Sediaan Oral
Keuntungan yang utama dari sediaan oral adalah kemudahan-pemakaian dan
menghilangkan ketidakenakan yang terjadi pada pemakaian injeksi. Kerugian utama
dari sediaan oral adalah persoalan yang potensial dari penurunan bioavailabilitas
dan bioavailabilitas yang berubah-ubah yang disebabkan oleh absorpsi tidak
sempurna atau interaksi obat. Rasa mual atau ketidakenakan lambung dapat terjadi
pada beberapa obat yang menyebabkan iritasi saluran cerna lokal. Bioavailabilitas
yang jelek atau penurunan absorpsi mungkin disebabkan oleh antasid atau interaksi
makanan.
Sediaan Rektal
Sediaan rektal dapat diberikan dalam bentuk padat atau cair. Pemberian rektal lebih
disukai untuk obat-obat yang menyebabkan rasa mual atau dalam keadaan yang
tidak memungkinkan memberi obat secara oral. Absorpsi obat melalui rektal dapat
menghindari first pass-effects yang disebabkan oleh enzim dan hati. Pada
umumnya, obat yang diabsorpsi melalui daerah rektal bagian atas melewati vena
porta hepatik dan dapat diinaktivasi oleh hati.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa
ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik
tertentu. Semua produk obat di pantau dan di formulasikan sedemikian rupa agar
dapat menghasilkan efek terapi yang optimal dan meminimalkan efek samping dari
obat tersebut. Obat dirancang sesuai dengan kebutuhan dan sifat-sifat kimia
maupun fisika dari zat aktif, agar dalam pembuatan atau penggunaannya tidak
menimbulkan kerugian baik bagi produsen maupun konsumen.
Literatur:
Shargel L., dan Yu Andrew B.C., 2005. Biofarmasetika dan
Farmakokinetika Terapan. Airlangga University Press.