Anda di halaman 1dari 27

Sediaan Otik

Telinga terbagi menjadi bagian luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri dari pinna atau
aurikula, yaitu daun kartilogo yang menangkap gelombang bunyi dan menyalurkannya ke kanal
auditori eksternal (meatus), suatu lintasan sempit yang panjangnya sekitar 2.5 cm merentang dari
aurikula sampai membran timpani. Membran timpani (gendang telinga) adalah pembatas telinga
tengah.
Membran timpani berbentuk kerucut, permukaan eksternalnya dilapisai kulit dan
permuakaan internalnya dilapisi membran mukosa, membran ini memisahkan telinga luar dan
telinga tengah, memiliki tegangan, ukuran dan ketebalan yang sesuai untuk menggetarkan
gelombang bunyi secara mekanis. Telinga tengah terletak di rongga berisi udara dalam bagian
petrosus tulang temporal. Turba eustachius (auditori) menghubungkan telinga tengah dengan
faring. Turba yang biasanya tertutup dapat terbuka saat menguap, menelan, atau mengunyah.
Saluran ini berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani.
Sediaan otik, kadang kadang dinamakans ebagai sediaan telinga ataus ediaan :aural.
Sediaan telinga biasanya ditempatkan pada kanal telinga untuk menghilangkan serumen (malam
kuping, tahi kuping) atau untuk pengobatan infeksi, inflamasi atau nyeri telinga. Karena telinga
terluar ditutup oleh strukutr kulit dan berperilaku seperti kondisi dermatologi lain seperti halnya
permukaan tubuh, kondisi kulit diobati menggunakan beranek ragam sediaan dermatologi.
dikutip dari: Sediaan Farmasi Steril

Farmasetika_Laporan Guttae
Auriculares
BAB I
PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang

Kemajuan ilmu pengaetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan yang semakin
pesat, menuntut farmasis untuk selalu mengembangkan pembuatan obat dan
formulasi sediaan obat. Peningkatan kualitas obat dan efisiensi dalam pembuatan
merupakan hasil yang ingin dicapai dari pengembangan cara pembuatan dan cara
formulasi suatu sediaan obat sehingga dapat lebih diterima dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Dalam pengembangan obat tersebut dibuatlah sedbua sediaan yang ditunjukkan
untuk telinga berdasarkan adanya gangguan pada telinga yakni berupa
penyumbatan akibat kotoran telinga, infeksi dan lain-lain. Sediaan telinga kadangkadang dikenal sebagai sediaan otic atau aural. Sediaan-sediaan yang digunakan
pada permukaan luar telinga, hidung, rongga mulut termasuk macam-macam dari
sediaan farmasi dalam bentuk larutan, suspense dan salep yang semuanya dibuat
dalam keadaan steril sehingga disebut dengan sediaan steril. Tujuannya untuk
memperlihatkan lebih dekat tipe-tipe bentuk sediaan yang digunakan dengan tempat
pemakaiannya dan untuk menentukan dari komponen dalam formulasi (Ansel,
2005).
Guttae atau obat tetes merupakan salah satu dari bagian sediaan farmasi
yang termaksud ke dalam sediaan steril. Guttae adalah sediaan cair berupa larutan
emulsi atau suspensi yang dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar digunakan
dengan cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara
dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku yang disebutkan dalam Farmakope
Indonesia. Guttae atau obat tetes sendiri terdiri dari guttae atau obat tetes yang
digunakan untuk obat luar dilakukan dengan cara meneteskan obat ke dalam
makanan atau minuman. Kemudian guttae oris atau tetes mulut, guttae auriculars
atau tetes telinga, guttae opthalmicae atau tetes mata dan guttae nasals yaitu tetes
hidung.

Dari semua obat tetes hanyalah obat tetes telinga yang tidak menggunakan air
sebagai zat pembawanya. Karena obat tetes telinga harus memperhatikan
kekentalan. Agar dapat menempel dengan baik kepada dinding telinga. Guttae
auriculars ini sendiri merupakan obat tetes yang digunakan untuk telinga dengan
cara meneteskan obat ke dalam telinga. Zat pembawanya biasanya menggunakan
gliserol dan propilenglikol. Bahan pembuatan tetes telinga harus mengandung
bahan yang sesuai untuk mencegah pertumbuhan atau memusnahkan mikroba
yang masuk secara tidak sengaja bila wadah dibuka pada waktu penggunaan
dikatakan bersifat bakteriostatik.
Jika terkena cahaya matahari atau cahaya yang lainnya akan merusak sediaan
tetes telinga tersebut. Karena guttae auriculars ini merupakan salah satu sediaan
obat dalam bidang farmasi. maka seorang farmasis wajib mengetahui bagaimana
cara pembuatannya dan bagaimana pula cara pemakaiannya.

BAB II
FORMULA
II.1 Master Formula
Tiap 10 mL mengandung
R/ Kloramfenikol 1 gram
Propylenglikol ad 10 mL
II.2 Kelengkapan Resep
Dr.ReskyPratama
SIP. 08/056/2010
Jl.
Telp
No.05
Tanggal 19 November 2012
R/ Khloramphenicol
1g
Propilenglikol
ad
10 mL
da 60 mL
Pro : Mawar
Umur : 20Tahun

Menurut Formularium Nasional Edisi II hal. 64.


CHLORAMPHENICOLI GUTTAE AURICULARES
( tetes telinga kloramfenikol )
Komposisi : Tiap 10 mL mengandung :
Chloramfenicol
1 g
Propilenglicol ad 10 mL
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Catatan : 1. Pada etiket harus tertera daluwarsa
2. Sediaan berkekuatan lain 500 mg

II.3 Alasan Penggunaan Bahan


II.3.1 Penggunaan Bahan Aktif
Kloramfenikol merupakan zat aktif yang digunakan pada pembuatan obat.Dalam
sediaan tetes telinga yakni berkhasiat sebagai antibiotik (zat-zat yang digunakan
untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme) tetapi dalam pembuatannya
zat ini tidak boleh terlalu banyak karena efeknya sangat fatal yakni terjadi iritasi.
Kloramfenikol merupakan antibiotik spektrum luas. Kloramfenikol berhubungan
dengan gangguan darah yang serius sebagai efek yang tidak diinginkan sehingga
harus disimpan untuk pengobatan infeksi berat, terutama yang disebabkan
hemofilus influenza dan demam tifoid.
II.3.2 Penggunaan Bahan Tambahan
Propylenglikol merupakan zat tambahan yang berguna sebagai pelarut dari
kloramfenikol, selain sebagai pelarut yang umum dalam pembuatan sediaan tetes
telinga. Propylenglikol juga digunakan karena kloramfenikol sukar larut dalam air
sehingga digunakan propylenglikol sebagai pelarut.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Landasan teori


Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, larutan tetes telinga atau larutan otic adalah
larutan yang mengandung air atau gliserin atau pelarut lain dan bahan pendispersi,
untuk penggunaan pada telinga luar misalnya larutan otic benzokain dan antipirin,
larutan otic neomisin dan polimiskin sulfat dan larutan otic hidrokortison.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III Guttae auriculars atau tetes telinga adalah
obat tetes yang digunakan untuk telinga dengan cara meneteskan obat ke dalam
telinga. Kecuali dinyatakan lain, tetes telinga dibuat menggunakan cairan pembawa
bukan air. Cairan pembawa yang digunakan harus mempunyai kekentalan yang
cocok agar obat mudah menempel pada dinding telinga, umumnya digunakan
gliserol dan propylenglikol. Dapat juga digunakan etanol 90%, heksilenglikol dan
minyak nabati. Zat pensuspensi dapat digunakan sorbitan, polisorbat atau surfaktan
lain yang cocok. Keasaman-kebasaan kecuali dinyatakan lain pH 5,06,0
penyimpanan, kecuali dinyatakan lain dalam wadah tertutup rapat.
Cara penggunaan dari tetes telinga, yaitu :
Cuci tangan
Berdiri atau duduk depan cermin
Buka tutup botol
Periksa ujung penetes dan pastikan tidak pecah atau patah
Jangan menyentuh ujung penetes dengan apapun usahakan tetap bersih
Posisikan kepala miring dan pegang daun telinga agar memudahkan
memasukkan sediaan tetes telinga.
Pegang obat tetes telinga dengan ujung penetes di bawah sedekat mungkin
dengan lubang telinga tetapi tidak menyentuhnya
Perlahan-lahan tekan botol tetes telinga sehingga jumlah tetesan yang diinginkan
dapat menetes dengan benar pada lubang telinga.
Diamkan selama 2-3 menit
Bersihkan kelebihan cairan dengan tisu
Tutup kembali obat tetes telinga, jangan mengusap atau mencuci ujung
penutupnya.
Komposisi pada sediaan steril tetes telinga yakni sebagai berikut (Syamsuni, 2006).
Zat aktif, misalnya neomisin, klorampenikol, gentamycin sulfat dan lain-lain.
Zat tambahn bukan air, misalnya :
Pelarut : gliserin, propileglikol, etanol, minyak nabati, dan heksilenglikol

Antioksidan : alfa tokoferol, asam ascorbat, Na-Disulfida, Na-Bisulfit


Pengawet : Klorbutanol (10,5 %) dan kombinasi paraben
Pensuspensi : Span dan Tween
Zat aktif yang digunakan untuk sediaan tetes telinga biasanya adalah sebagai
berikut (Ansel, 1989)
Untuk melunakkan kotoran telinga, misalnya : minyak mineral encer, minyak
nabati, asam peroksida.
Sebagai antiinfeksi, misalnya : kloramfenikol, neomisin, kolistin fosfat, polimiksin
B sulfat, gentamicyn
Sebagai aniseptik dan anestesi, misalnya : fenol, AgNO3, lidokain HCl, dan
benzokain.
Sebagai antiradang, misalnya : hidrokortison dan deksametazone, natrium fosfat
Untuk membersihkan telinga, misalnya : spiritus
Evaluasi yang dilakukan untuk sediaan steril tetes telinga adalah :
Uji organoleptis : bau, warna dan rasa
Uji kejernihan
Uji pH : pH standar untuk tetes telinga adalah 5,5-6,5

III.2 Uraian Bahan


Kloramfenikol (FI edisi III Hal 143)
Nama resmi
: CHLORAMPHENICOLUM
Sinonim
: Kloramfenikol
Rumus molekul : C11H12Cl2N2O5
Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng, memanjang, putih
hingga putih kelabu atau putih kekuningan, tisak berbau, rasa sangat pahit.
Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 400 bagian air, dalam 2,5 bagian etanol
(95%) p dan dalam 7 bagian propilenglikol p, sukar larut dalam kloroform p dan
dalam eter p.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Penggunaan : Antibiotikum yaitu zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang
berkhasiat untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau
secara spesifik berguna sebagai bakteriostatik atau bakteiosid.

Propilenglikol (FI edisi III Hal 534)


Nama resmi
: PROPYLENGLYCOLUM
Sinonim
: Propilenglikol
Pemerian : Cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak manis,
higroskopik
Kelarutan : Dapat campur dengan air, denganb etanol (95%) p dan dengan
kloroform p, larut dalam 6 bagian eter p, tidak dapat campur dengan eter minyak
tanah p dan dengan minyak lemak
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Penggunaan : Zat tambahan, pelarut dari kloramphenikol.

BAB IV
METODE KERJA
IV.1. Alat dan Bahan
IV.1.1 Alat yang digunakan
Batang Pengaduk
Cawan porselin
Gelas kimia 50 mL
Gelas Ukur 25 mL
Kaca arloji
Timbangan Digital
Sendok Tanduk
Wadah Tetes Telinga 10 mL
IV.1.2 Bahan yang digunakan
Kertas perkamen
Kloramphenikol 2 gram
Propilenglikol ad 10 mL

IV.2 Perhitungan / Penimbangan Bahan


Kloramfenikol = 1 gram
Di lebihkan 5 % = 5/100 x 1 gram
= 0.05 gram
Jadi yang ditimbang = 1 gram + 0.05 gram = 1,05 gram

Untuk 60 mL (6 botol)
= 6,3 gram

(1,05 gram)/(10 mL) x 60 mL

Propylenglikol = 10 mL
Di lebihkan 5 % = 5/100 x 10 mL
= 0.5 mL
Jadi yang ditimbang = 10 mL + 0.5 mL
= 10,5 gram
Untuk 60 mL (6 botol) = (10,5 mL)/(10 mL) x 60 mL
= 63 mL
= 63 -6.3 mL
= 56.7 mL

IV.3 Cara Kerja


Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
Sterilisasi alat yang akan digunakan di autoklaf 121oC selama 15 menit.
Digerus kloramfenikol lalu diayak dan di timbang sebanyak 6,3 gram di gelas
kimia lalu dibungkus dengan perkamen, kemudian disterilisasi di oven selama 1 jam
pada suhu 1150 C. kemudian di timbang sebanyak 10,5 gram
Ukur Propilenglikol 10,5 mL menggunakan spoit
Kemudian masukkan kloramfenikol di cawan porselin, lalu campur dengan
Propilenglikol sedikit demi sedikit sampai homogen.
Setelah itu masukkan dalam wadah dengan menggunakan spoit, setelah
disterilisasi dengan sterilisasi C, dengan menggunakan Filtrasi atau Filter dari
diameter zat ke dalam botol/wadah tetes telinga.
Beri etiket, brosur dan kemasan

BAB V
PEMBAHASAN

Pada praktikum ini, kami melakukan percobaan yaitu membuat guttae auriculares
atau obat tetes telinga. Sebagaimana telah diketahui definisi guttae auriculares
adalah obat tetes yang digunakan untuk telinga dengan cara meneteskan obat ke
dalam telinga. Obat tetes telinga ini dibuat menggunakan cairan pembawa bukan air
tetapi menggunakan propilenglikol. Dalam praktikum ini pembawa yang digunakan

adalah propilenglikol, karena pemeriannya yang kental lebih memungkinkan kontak


yang lama antara obat dengan jaringan telinga. Dan juga sebagai zat tambahan
karena sifat higroskopiknya memungkinkan menarik kelembaban dari jaringan
telinga sehingga mengurangi peradangan dan membuang lembab yang tersedia
untuk proses kehidupan mikroorganisme yang ada. Bahan pembuatan tetes telinga
harus mengandung bahan yang sesuai untuk mencegah pertumbuhan atau
memusnahkan mikroba yang masuk secara tidak sengaja saat wadah dibuka pada
waktu penggunaan atau dikatakan bersifat bakteriostatik. Dalam hal ini
kloramfenikol yang menjadi zat aktif yang berfungsi sebagai antibiotik spektrum
luas.
Sebelum melakukan praktikum terlebih dahulu dilakukan sterilisasi pada semua
alat dan bahan yang akan digunakan, tujuannya agar alat dan bahan yang kita
gunakan dalam keadaan steril dan bebas dari mikroba yang bersifat patogen. Alat
yang digunakan adalah batang pengaduk, gelas kimia, dan botol (wadah) untuk
sediaan. Alat-alat tersebut disterilkan dengan cara sterilisasi A yakni dengan
menggunakan uap air bertekanan dengan suhu dan waktu yang telah ditentukan.
Sterilisasi cara A ini dilakukan di dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C
atau pada suhu 1150C selama 30 menit. Sedangkan bahan yang disterilkan adalah
kloramfenikol dengan teknik sterilisasi cara D yakni sterilisasi panas kering atau
menggunakan oven dan kloramfenikol ini disterilkan pada suhu 1150C selama 1
jam. Sebaiknya sebelum dilakukan sterilisasi kloramfenikol ini di gerus lalu diayak
agar partikel-partikelnya menjadi lebih kecil dan pada saat dicampurkan dengan
pembawa, kloramfenikol ini bisa larut dengan sempurna sehingga bebas dari bahan
yang tidak larut serta bebas partikel kasar yang dapat menyebabkan infeksi pada
telinga pada saat pemakaian tetes telinga. Lalu kemudian di timbang sesuai dengan
kebutuhan. Setelah itu, barulah dilakukan sterilisasi. Setelah dilakukan sterilisasi,
bahan ditimbang sebanyak 1,05 gram lalu dimasukkan ke dalam gelas kimia
kemudian ditambahkam dengan propilenglikol sambil diaduk hingga klomfenikol
larut. Setelah itu dimasukkan dalam wadah botol yang berwarna gelap agar
terlindung dari cahaya.
Sebelum wadah botol tetes telinga diberi etiket, brosur dan dikemas, terlebih
dahulu kita lakukan uji pemeriksaan hasil sediaan atau evaluasi. Pertama yang kita
lakukan yaitu uji pH, dimana pH tetes telinga harus sesuai dengan Farmakope yaitu
5,56,5 dengan menggunakan pH meter. Kedua yaitu uji kejernihan, uji ini bertujuan
agar obat tetes telinga yang kita buat dapat jernih dan bebas dari bahan yang tidak
larut serta bebas partikel kasar yang dapat menyebabkan infeksi pada telinga pada
saat pemakaian tetes telinga.

DAFTAR PUSTAKA
Anief, Muhammad. 2000. ILMU MERACIK OBAT TEORI DAN PRAKTEK.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Ansel, Howard. 1989. PENGANTAR BENTUK SEDIAAN FARMASI. Jakarta : UI
Press
Annonim. 1978. FORMULARIUM NASIONAL EDIS II. Jakarta : Depkes RI
Anonim. 1979. FARMAKOPE INDONESIA EDISI III. Jakarta : Depkes RI.
Anonim. 1997. FARMAKOPE INDONESIA EDISI IV. Jakarta : Depkes RI

Syamsuni. 2006. ILMU RESEP. Jakarta : EGC


<br /></div>
Diposkan oleh unnack' iffah di 05.52

PEMBUATAN SEDIAAT TETES TELINGA


I. TUJUAN
A. Mahasiswa mampu membuat sediaan tetes telinga Lidokain HCl.
B. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi terhadap sediaan tetes telinga Lidocaine
HCl.
C. Mahasiswa mampu membuat kemasan sekunder, brosur, dan etiket.
II. FORMULASI
A. Formula Standart
PHENOLI GUTTAE AURICURALES
Tetes Telinga Fenol
Komposisi, Tiap 10 g mengandung:

Phenolum liquidum 800 mg


Glycerolum hingga 10 g
Penyimpanan, dalam wadah tertutup rapat

(1)

B. Formula Modifikasi
Lidocain Hcl 1%
Metil paraben 1%
Gliserin ad 10 mL

III. TANGGUNG JAWAB


A. Nurul Fatimah selaku praktikan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
prosedur tetap ini.
B. Octariana S, selaku supervisor dalam pelaksanaan prosedur tetap ini.
IV. DEFINISI
Guttae Auriculares atau tetes telinga adalah obat tetes yang digunakan
untuk telinga dengan cara meneteskan obat ke dalam telinga. Kecuali dinyatakan
lain, tets telinga dibuat menggunakan cairan pembawa bukan air. Cairan
pembawa yang digunakan harus mempunyai kekentalan yang cocok agar obat
menempel pada dinding telinga, umumnya digunakan gliserol dan propilenglikol,
dapat juga digunakan etanol, heksilenglikol, dan minyak nabati. Zat pensuspensi
dapat digunakan sorbitan, polisorbat, atau surfaktan lain yang cocok (2).
Tetes telinga merupakan larutan zat aktif dalam air atau dalam
pembawa lain yang digunakan dengan meneteskan ke dalam lubang telinga.
Penggunaan obat tetes telinga untuk antibiotik (chlorampheicol), melunakan
malam (hidrogen peroksida, natrium bikarbonat), membersihkan telinga
setelah pengobatan (spiritus), mengeringkan permukaan dalam telinga yang
berair (astringen, alumunium asetat), dan antiseptik serta anestesi (fenol) (3).

A. Lidokain HCl
Sinonim : Lidocaini Hyrochloridum, Lignokain Hidroklorida (4).

Rumus molekul : C14H12N2O.HCl.H2O BM 288,82


Pemerian : Serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit

(4)

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan dalam etanol, larut dalam
kloroform, tidak larut dalam eter(4).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik(4).
Fungi : Sebagai zat aktif, yaitu berkhasiat sebagai antiseptik dan anastetik
lokal.
B. Metil paraben
Sinonim : Metil p-hidroksibenzoat(4).
Rumus molekul : C8H8O3(4)
Pemerian : Hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur, putih, tidak
berbau atau berbau khas lemah, mempunyai sedikit rasa terbakar (4).
Kelarutan : Sukar larut dalam air,dalam benzena, dan dalam karbon
tetraklorida. Mudah larut dalam etanol dan dalam eter (4).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik(4).
Fungsi : Sebagai pengawet sediaan tetes telinga yang dibuat.

C. Gliserin
Rumus molekul : C3H8O3(4).
Sinonim : Glycerolum(4).
Pemerian : Cairan jernih seperti sirup, tidak berwarna; rasa manis; hanya
boleh berbau khas lemah (tajam atau tidak enak). Higroskopik, netral
terhadap lakmus(4).
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air dan dengan etanol, tidak larut
dalam kloroform, dalam eter, dalam minyak lemak dan dalam minyak
menguap(4).

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat(4).


Fungsi : Sebagai pembawa/pelarut untuk Lidokain HCl.
V. PELAKSANAAN
A. Metode Sterilisasi
Sterilisasi akhir menggunakan metode sterilisasi A, yaitu pemanasan
dalam otoklaf. Sediaan yang akan disterilkan diisikan ke dalam wadah yang
cocok, kemudian ditutup kedap. Jika volume dalam tiap wadah tidak lebih dari
1000 ml, sterilisasi dilakukan dengan uap air jenuh pada suhu 115 sampai
116 selama 30 menit(1).
B. Alat dan Bahan
Alat: Cawan porselen
Corong
Gelas beker
Mortir
Pengaduk
Pipet tetes
Sendok
Stamper

Bahan: Lidocain HCl


Gliserin
Timerosal
C. Prosedur Kerja
1. Sterilisasi Alat

Alat

Sterilisasi

Cawan
porselen

Oven

Corong

Oven

Gelas beker

Autoklaf

Mortir
Pengaduk

Autoklas
Oven

Pipet tetes
Sendok

Stamper

Oven
UV
Autoklaf

2. Perhitungan dan Penimbangan


Lidocain HCl = 1 %
= 1 g/100 mL
= 100 mg/10 mL
Penimbangan = 100 mg
Metil paraben = 1 %
= 1 g/100 mL
= 100 mg/10 mL
Penimbangan = 100 mg
Gliserin ad 10 mL = 10 g (0,1 + 0,1) g
= 9,8 g
= 9,8 mL
Penimbangan = 9,8 g

3. Cara Kerja
Black area: semua alat yang akan disterilkan dibungkus dengan
kertas perkamen untuk autoklaf dan dengan almunium foil untuk
oven
Alat dimasukkan ke grey area melalui pass box
Dalam ruang antara memakai jas lab, tutup kepala, dan sarung
kaki
Grey area: Masing-masing alat disterilkan. Gelas beker, mortir,
stamper, spatula, karet penutup vial, dan karet pipet tetes
disterilisai di autoklaf pada suhu121oC selama 15 menit. Corong,
pengaduk, pipet tetes, dan cawan porselen disterilisasi
menggunakan oven pada suhu 170oC selama 30 menit.
Grey area: menimbang bahan yang digunakan
White area: melarutkan Lidokain HCl dengan air panas secukupnya,
diaduk hingga homogen
Menambahkan metil paraben, diaduk hingga homogen
Menambahkan gliserin hingga 10 ml, diaduk hingga homogen
Dimasukan ke dalam botol
Evaluasi (kejernihan, pH, kebocoran, volume, dan organoleptis)
Sterilisasi akhir dengan autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit
Dimasukkan ke dalam kemasan sekunder, diberi etiket dan brosur

VI. EVALUASI
A. Uji Penetapan PH
Ujung kertas pH dicelupkan kedalam larutan

Ditunggu beberapa saat

Mencocokkan warna yang muncul dengan indikator pH

B. Uji Kejernihan
Sediaan yang diuji dilihan dengan latar berwrna hitam
Melihat ada tidaknya partikel yang tidak larut

C. Uji Organoleptis
Sediaan tetes telinga yang sudah jadi, diamati secara visual
Dilihat warna dan bau sediaan

D. Uji Kebocoran
sediaan dalam kemasan diletakkan terbalik dengan ujung dibawah ketika
disterilisasi akhir

Apabila wadah bocor maka isi dari wadah akan keluar

VII. LAMPIRAN
A. Brosur
B. Kemasan
C. Etiket
VIII. DAFTAR PUSTAKA
(1)

Anonim, 1978, Formularium Nasional, edisi kedua, Departemen Kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta, 238, 323.

(2)

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, edisi ketiga, Departemen Kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta, 10, 347-348.

(3)

Lukas, S. 2006, Formulais Steril, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 114-117.

(4)

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, DepKes RI, Jakarta, 413-414,
497, 551.

Obat Tetes dan Sediaan Cair Topikal

A. Obat tetes mata


obat tetes mata adalah sediaan tetes yang digunakan untuk mengobati gangguan pada indra
penglihatan. ada yang digunakan untuk menyembuhkan mata merah karena iritasi ringan,
maupun mengandung
antibiotik untuk menyembuhkan infeksi, serta mengandung antibiotik+steroid untuk
mengurangi glukosa (tekanan pada mata).
pengawet untuk tetes mata seperti fenilraksa (II) nitrat, fenilraksa (II) asetat 0,002% b/v,
benzalkonium klorida 0,01% b/v. pemilihan pengawet berdasarkan tingkat kesesuaian
kelarutan pengawet dan zat aktif. benzalkonium k. tidak cocok pada tetes mata yang
mengandung anestetikum lokal/pembius. obat tetes mata harus jernih, bebas partikel asing,
serat, dan benang.
Pada pembuatan tetes mata harus memperhatikan :
sterilitas

kejernihan

pengawet

tonisitas dan stabilitas


B. Obat tetes telinga
Obat tetes telinga adalah sediaan yang ditujukan untuk pengobatan telinga, dengan
meneteskan kedalam telinga, pembawanya buka air, ditujukan untuk membersihkan
telinga, mengobati radang atau rasa sakit.
C. Obat tetes hidung
Obat tetes hidung adalah obat tetes yang digunaka dengan cara meneteskan pada rongga
hidung. biasanya mengandung zat adrenergik untuk mengatasi kemampatan pada hidung.
D. Obat kumur
Obat kumur adalah sediaan yang ditujukan untuk kesehatan mulut. Beberapa zat yang
umumnya digunakan untuk sediaan obat kumur :
- paraklorofenol : sebagai antiinfeksi, membersihkan saluran akar gigi
- larutan karbamid peroksida : anti infeksi, membunuh/mengikis kuman
- eugenol : analgesik untuk gigi
E. Obat cuci mulut

Obat cuci mulut adalah sediaan larutan pekat dalam air yang mengandung bahan
deodorant, antiseptik, analgetik dan astringen, biasanya untuk membersihkan dan
menghilangkan bau mulut.
F. Obat gosok (linimentum)
obat gosok adalah sediaan cair atau kental mengandung analgetikum dan zat yang
mempunyai sifat rubefasien, melemaskan otot, atau menghangatkan.
G. Lotio
Lotio adalah sediaan berupa suspensi atau sistem dispersi yang digunakan sebagai obat luar
(topikal), biasanya dikenal dengan sebutan lotion atau losion.
H. Enema
Enema atau lavement atau clysma adalah cairan untuk membersihkan atau menghasilkan
efek terapi setempat atau sistemik. enema untuk terapi seperti sedatif, antelmintik,
antiradang, ataupun nutrien. Macam-macam enema :
- enema retensi : enema/larutan yang diberikan melalui rektum
- enema untuk pengosongan : enema diberikan melalui rektum untuk membersihkan usus.
- enema dengan efek terapeutik : enema untuk efek karminatif, sebagai astringen, dsb
Sumber : Farmasetika Dasar

Aspek Biofarmasetik Produk Obat

BAB I
PENDAHULUAN
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia
formulasi

obat

terhadap

bioavailabilitas

obat.

Bioavailabilitas

menyatakan

kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Biofarmasetika
bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik
agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu.
Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh
sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia atau
produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variable-variabel tersebut
melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan
memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat,

maka bioavaibilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan
lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai
tidak terjadi absorpsi sama sekali.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
FAKTOR-FAKTOR DALAM BIOAVAILABILITAS OBAT
Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui suatu
rangkaian proses. Proses tersebut meliputi (1) disintegrasi produk obat yang diikuti
pelepasan obat; (2) pelarutan obat; (3) absorpsi melewati membran sel menuju
sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat, pelarutan dan absorpsi,
kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh tahapan yang paling
lambat dalam rangkaian tersebut.
Tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetik disebut
tahap penentu kecepatan (rate limiting step). Untuk obat-obat yang mempunyai
kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan serigkali merupakan tahap yang paling
lambat, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap
bioavailablitas obat. Tetapi sebaliknya, untuk obat yang mempunyai kelarutan besar
dalam air, laju pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat
membran merupakan tahap paling lambat atau merupakan tahap penentu
kecepatan.

Pelepasan
dengan cara
penghancuran

Obat
dalam
tubuh

Absorpsi

Obat
dalam
larutan

Pelarutan

Partikel
obat
padat

Obat dalam produk


obat

Gambar 1. Proses laju bioavailabilitas obat

Faktor-Faktor Fisiologik yang Berkaitan dengan Absorpsi Obat


PERJALANAN OBAT LEWAT MEMBRAN SEL. Agar suatu obat dapat mencapai tempat
kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel.
Banyak obat mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik. Obat-obat yang lebih
larut dalam lemak lebih mudah melewati membran sel daripada obat yang kurang
larut dalam lemak atau obat yang lebih larut dalam air.
WAKTU TRANSIT OBAT DALAM SALURAN CERNA. Usus halus, dan terutama mukosa
duodenum, mempunyai luas permukaan yang besar untuk absorpsi obat. Untuk
memastikan absorpsi cepat suatu obat setelah pemberian oral, maka obat harus
mencapai duodenum secara cepat.
Suatu penundaan pengosongan obat dari lambung ke dalam duodenum
akan memperlambat absorpsi obat dan dengan demikian menunda awal dari efek
terapetik.

Sejumlah

pengosongan

faktor

lambung.

telah

Beberapa

menunjukkan
faktor

yang

pengaruh

terhadap

cenderung

waktu

menghambat

pengosongan lambung meliputi konsumsi makanan dengan lemak tinggi, minuman


dingin, dan obat-obat antikolinergik. Sebagai tambahan, obat-obat yang tidak stabil
pada pH asam, seperti penisilin dapat terurai jika pengosongan lambung tertunda.
ALIRAN (PERFUSI) DARAH DARI SALURAN CERNA. Aliran darah ke saluran cerna
merupakan hal yang penting untuk membawa obat ke sirkulasi sistemik dan
kemudian ke tempat kerja. Daerah usus diperfusi oleh pembuluh-pembuluh darah
mesenterika. Obat dilepaskan ke dalam hati melalui vena porta hepatik dan
kemudian ke sirkulasi umum atau sirkulasi sistemik. Berbagai penurunan aliran
darah mesenterika, seperti pada kegagalan jantung kongestif, akan menurunkan
laju pemindahan obat dari saluran usus dan oleh karena itu menurunkan laju
bioavaibilitas obat.
Faktor-Faktor Farmasetik yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Obat
Untuk merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif dalam
bentuk

yang

paling

banyak

berada

dalam

sistemik,

farmasis

harus

mempertimbangkan (1) jenis produk obat (misal: larutan, suspensi, supositoria); (2)
sifat bahan tambahan dalam produk obat; (3) sifat fisikokimia obat itu sendiri.
Seperti dikatakan sebelumnya, bioavailabilitas obat aktif dalam suatu
bentuk sediaan pada bergantung pada beberapa faktor, yang meliputi (1)

disintegrasi produk obat dan pelepasan partikel obat aktif; (2) pelarutan obat; dan
(3) absorpsi atau permeasi obat melintasi membran sel.
DISINTEGRASI. Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami
disintegrasi

ke

dalam

disintegrasi

tidak

partikel-partikel

menggambarkan

kecil

pelarutan

dan

melepaskan

sempurna

tablet

obat.
atau

Proses
obat.

Disintegrasi yang sempurna ditakrifkan oleh USP XX sebagai keadaan di mana


berbagai residu tabet, kecuali fragmen-fragmen penyalut yang tidak larut, tinggal
dalam saringan alat penguji sebagai massa yang lunak dan jelas tidak mempunyai
inti yang teraba. Uji disintegrasi dipakai sebagai suatu komponen dari keseluruhan
pengendalian kualitas fabrikasi tablet.
PELARUTAN. Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat
menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan
dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi
dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorpsi sistemik obat. Hal-hal yang
mempengaruhi pelarutan obat adalah sifat fisikokimia obat, faktor formulasi dan uji
pelarutan in vitro.
METODE UJI PELARUTAN (USP XXI/NF XVI)
a.

Metode Rotating Basket (Alat 1)


Metode rotating basket terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai
motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang
berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu
konstan 37C.

b.

Metode Paddle (Alat 2)


Metode paddle atau alat ke 2 terdiri atas suatu dayung yang dilapis khusus, yang
berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat
secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang
terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat
yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat
ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode
rotating basket dipertahankan pada suhu 37C.

c.

Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi (Alat 3)


Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP basket and rack dirakit untuk uji
pelarutan.

KORELASI KELARUTAN IN VITRO-IN VIVO


Berbagai metode pelarutan memberi kemudahan cara pengujian dari suatu produk
obat. Bila suatu metode pelarutan yang tepat dipilih, maka laju pelarutan produk
obat dapat dikorelasikan dengan laju absorpsi obat dalam tubuh. Ada beberapa cara
untuk memeriksa korelasi in vitro-in vivo.

a.

Laju pelarutan vs. Laju Absorpsi

Jika pelarutan obat merupakan laju penentu, maka suatu laju pelarutan yang lebih
cepat dapat mengakibatkan laju keberadaan obat dalam plasma yang lebih cepat,
sehingga memungkinkan untuk menetapkan korelasi antara laju pelarutan dan laju
absorpsi obat.

b.

Prosen Obat Terlarut vs. Prosen Obat Terabsorpsi

Jika suatu obat diabsorpsi secara sempurna setelah pelarutan, maka dengan
membandingkan prosen obat terabsorpsi terhadap prosen obat terlarut dapat
diperoleh suatu korelasi linear.

c.

Konsentrasi Plasma Maksimum vs. Prosen Obat Terlarut In Vitro

Bila formulasi obat yang berbeda diuji untuk pelarutan, suatu obat yang diformulasi
secara tidak baik, tidak akan terlarut dan dilepas secara sempurna, sehingga
menghasilkan konsentrasi obat dalam plasma yang lebih rendah. Prosen obat yang
dilepas pada berbagai jarak waktu untuk produk obat yang lebih berada dalam
sistemik akan menjadi lebih besar.

d.

Konsentrasi Obat dalam Serum vs. Prosen Obat Terlarut

Pada studi absorpsi aspirin, kadar aspirin dalam serum dikorelasikan dengan prosen
obat terlarut yang menggunakan suatu metode pelarutan in vitro. Media pelarutan
merupakan simulasi cairan lambung. Karena aspirin diabsorpsi cepat dari lambung,
maka pelarutan obat merupakan tahap penentu dan berbagai formulasi dengan laju
pelarutan yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan konsentrasi aspirin dalam
serum dari menit ke menit.

e.

Kegagalan Korelasi Pelarutan In Vitro ke Absorpsi In Vivo

Meskipun ada sejumlah contoh publikasi obat dengan data pelarutan yang
mempunyai korelasi baik dengan absorpsi obat dalam tubuh, ada juga beberapa
contoh yang menunjukkan adanya korelasi yang jelek dari pelarutan terhadap
absorpsi obat. Juga ada contoh suatu obat gagal dalam uji pelarutan, tetapi ternyata
diabsorpsi dengan baik. Masalah tidak adanya korelasi antara bioavaibiltas dan

pelarutan mungkin disebabkan oleh kekompleksan absorpsi obat dan kelemahan


rancangan pelarutan.
PERTIMBANGAN DALAM RANCANGAN BENTUK SEDIAAN
Pertimbangan terpenting dalam merancang suatu sediaan adalah keamanan dan
keefektifan. Bahan-bahan aktif dan in aktif harus aman bila digunakan seperti yang
diharapkan. Obat harus dilepas secara efektif ke tempat sasaran sehingga efek
terapetik yang diharapkan dapat dicapai. Bentuk sediaan harus tidak menambah
efek samping atau efek yang tidak dikehendaki terhadap obat. Dalam menyiapkan
produk obat, farmasis mencoba mempertimbangkan kebutuhan dokter, penderita
dan biaya produksi. Pertimbangan ini kemudian disesuaikan dengan batasan sifat
fisika, kimia dan biologik obat.
Pertimbangan Penderita
Bentuk sediaan harus sesuai untuk penderita. Bila suatu obat yang terasa pahit
dipakai sebagai tablet atau kapsul hendaknya disalut. Ukuran tablet atau kapsul
hendaknya cukup kecil sehingga mudah ditelan. Frekuensi pemberian dosis dijaga
minimum.
Pertimbangan Dosis
Bentuk sediaan harus dirancang dengan pertimbangan dosis. Beberapa obat
mempunyai perbedaan dosis individual yang besar, dan harus tersedia beberapa
macam kekuatan dosis sehingga suatu dosis yang sesuai dapat dipakai dari bentuk
sediaan yang tersedia. Pada obat tertentu, pemberian dosis obat didasarkan atas
luas permukaan tubuh atau berat badan dan dengan pemantauan konsentrasi obat
dalam tubuh, dosis dapat disesuaikan kembali.
Pertimbangan Frekuensi Pemberian Dosis
Frekuensi dosis suatu obat dikaitkan dengan waktu-paruh eliminasi obat dan juga
konsentrasi terapetik obat. Untuk suatu obat dengan waktu-paruh pendek,
pertimbangan sering diberikan untuk memperpanjang lama kerja obat. Resiko
kelebihan dosis yang tidak terpakai dan potensi untuk penurunan bioavailabilitas
obat harus dipertimbangkan jika suatu dosis yang lebih besar diformulasi untuk
mencapai suatu lama kerja yang lebih panjang.
Pertimbangan Terapetik
Pengetahuan indikasi terapetik obat merupakan hal yang penting untuk formulator.
Suatu obat yang digunakan untuk suatu kondisi segera dan kondisi akut hendaknya

diformulasi sehingga obat tersebut mencapai sasaran dengan cepat. Suatu obat
yang digunakan untuk jangka terapi yang lebih panjang dapat mencapai sasaran
lebih lambat. Sebagai contoh, suatu obat yang menghilangkan sakit hendaknya
diabsorpsi secara cepat sehingga diperoleh hilangnya rasa sakit yang cepat,
sedangkan suatu obat yang dirancang untuk mencegah keadaan asmatik dapat
diabsorpsi secara lambat sehingga efek perlindungan dari obat berakhir setelah
suatu jangka waktu yang panjang.
Efek Samping Pada Saluran Cerna
Beberapa obat yang diberikan secara oral mengiritasi lambung. Obat-obat ini dapat
menyebabkan mual dan rasa sakit pada lambung bila diberikan pada lambung yang
kosong. Untuk menurunkan iritasi lambung, dalam beberapa hal makanan atau
antacid dapat diberikan bersama-sama dengan obat. Cara lain, untuk menurunkan
iritasi lambung obat dapat disalut enterik.
Untuk memperbaiki bioavailabilitas obat dan menurunkan efek samping
pada saluran cerna, obat-obat tertentu telah diformulasi dalam kapsul gelatin lunak.
Jika obat diformulasi dalam kapsul gelatin lunak sebagai suatu larutan, maka obat
dapat terdispersi dan melarut lebih cepat dengan meninggalkan sedikit residu obat
dalam dinding usus dan menyebabkan iritasi.
Ada beberapa pilihan untuk formulator guna memperbaiki toleransi obat dan
memperkecil iritasi lambung. Sifat bahan tambahan dan keadaan fisik obat
merupakan hal yang penting dan harus ditetapkan secara hati-hati sebelum suatu
produk obat diformulasi. Beberapa bahan tambahan dapat memperbaiki kelarutan
obat dan mempermudah absorpsi. Sedangkan yang lain secara fisika dapat
mengabsorpsi obat untuk menurunkan iritasi.
PERTIMBANGAN RUTE PEMBERIAN
Produk-Produk Parenteral
Pada umumnya, pemakaian intravena memberi mula kerja yang paling cepat. Obatobat yang diinjeksikan secara intravena langsung masuk ke dalam darah dan dalam
beberapa menit beredar ke seluruh bagian tubuh. Suatu obat dapat diinjeksikan
secara intramuscular melibatkan penundaan absorpsi, karena obat berjalan dari
tempat injeksi ke aliran darah.
Tablet Bukal

Suatu tablet yang mengalami difusi dan penetrasi secara cepat dapat diberikan dan
diabsorpsi dalam rongga mulut. Suatu tablet yang dirancang untuk absorpsi obat
dalam

rongga

mulut

disebut tablet

bukal. Sebagai

contoh

tablet

sublingual

nitrogliserin terlarut di bawah lidah dan diabsorpsi melalui mukosa mulut. Tablettablet bukal pada umumnya mengandung suatu bahan tambahan yang cepat
melarut seperti laktosa, sehingga obat dilepaskan secara cepat.
Aerosol
Obat-obat yang diberikan ke dalam sistem pernafasan, seperti anti asmatik, dapat
diformulasi dalam suatu aerosol atau larutan inhalasi. Suatu sediaan aerosol dengan
propellan yang sesuai dapat memberikan obat secara cepat sampai ke daerah
bronchial.
Sediaan Transdermal
Pemberian transdermal memberi pelepasan obat ke sistem tubuh melalui kulit.
Contoh dari suatu obat yang dilepas secara transdermal adalah Transderma-V.
Untuk mabuk perjalanan Transderma-V melepaskan skopolamin melalui kulit telinga.
Rute pemberian ini dapat melepaskan obat selama beberapa jam tanpa efek
samping saluran cerna yang tidak menyenangkan. Obat yang diberikan secara
transdermal tidak dipengaruhi oleh first pass effects.
Sediaan Oral
Keuntungan yang utama dari sediaan oral adalah kemudahan-pemakaian dan
menghilangkan ketidakenakan yang terjadi pada pemakaian injeksi. Kerugian utama
dari sediaan oral adalah persoalan yang potensial dari penurunan bioavailabilitas
dan bioavailabilitas yang berubah-ubah yang disebabkan oleh absorpsi tidak
sempurna atau interaksi obat. Rasa mual atau ketidakenakan lambung dapat terjadi
pada beberapa obat yang menyebabkan iritasi saluran cerna lokal. Bioavailabilitas
yang jelek atau penurunan absorpsi mungkin disebabkan oleh antasid atau interaksi
makanan.
Sediaan Rektal
Sediaan rektal dapat diberikan dalam bentuk padat atau cair. Pemberian rektal lebih
disukai untuk obat-obat yang menyebabkan rasa mual atau dalam keadaan yang
tidak memungkinkan memberi obat secara oral. Absorpsi obat melalui rektal dapat
menghindari first pass-effects yang disebabkan oleh enzim dan hati. Pada

umumnya, obat yang diabsorpsi melalui daerah rektal bagian atas melewati vena
porta hepatik dan dapat diinaktivasi oleh hati.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa
ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik
tertentu. Semua produk obat di pantau dan di formulasikan sedemikian rupa agar
dapat menghasilkan efek terapi yang optimal dan meminimalkan efek samping dari
obat tersebut. Obat dirancang sesuai dengan kebutuhan dan sifat-sifat kimia
maupun fisika dari zat aktif, agar dalam pembuatan atau penggunaannya tidak
menimbulkan kerugian baik bagi produsen maupun konsumen.
Literatur:
Shargel L., dan Yu Andrew B.C., 2005. Biofarmasetika dan
Farmakokinetika Terapan. Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai