Anda di halaman 1dari 15

TINJAUAN PUSTAKA

I. DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER


A. Definisi
Dengue Haemorrhagic Fever atau Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus Dengue
dengan ciri-ciri demam tinggi mendadak dan manifestasi perdarahan serta
bertendensi menimbulkan shock dan kematian (Siregar, 2004).
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam,
nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai dengan leukopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik (Suhendro dkk.,
2009).
B. Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus,
famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti atau Aedes albopictus yang terinfeksi virus Dengue. Virus
Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD)
dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod
Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili
Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3,
Den-4 (Achmadi, 2010).
Keempat tipe virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia dan yang

terbanyak adalah tipe 2 dan tipe 3. Penelitian di

Indonesia menunjukkan Dengue tipe 3 merupakan serotipe virus yang


dominan menyebabkan kasus yang berat (Siregar, 2004).

13

C. Epidemiologi
Demam Berdarah Dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik
barat dan Karibia. Indonesia termasuk daerah endemik untuk penyakit ini
(Suhendro dkk., 2009). Penyakit ini masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas
daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya
mobilitas dan kepadatan penduduk (Achmadi, 2010).
Penyakit Demam Berdarah Dengue dapat menyerang semua golongan
umur. Sampai saat ini penyakit Demam Berdarah Dengue lebih banyak
menyerang anak-anak tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya
kecenderungan kenaikan proporsi penderita DBD pada orang dewasa. Insiden
di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (Suhendro dkk.,
2009).
D. Patogenesis
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue. Dua teori
yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah
hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan
hipotesis immune enhancement.
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Halstead pada
tahun 1973 dan Suvatte pada tahun 1977, menyatakan bahwa DBD terjadi
bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda.
Sebagai akibatnya, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu,
menyebabkan proliferasi dan transformasi makrofag dan menghasilkan titer
tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di makrofag, proliferasi makrofag
juga

menyebabkan

tingginya

angka

replikasi

virus

dengue

yang

mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya


mengaktivasi sistem komplemen. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus
dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi
limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi

14

monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1,


PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang menyebabkan
terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Pelepasan C3a
dan C5a juga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskuler. Hal ini terbukti dengan
meningkatnya kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan
dalam rongga serosa (Chen dkk., 2009; Suhendro dkk., 2009).
Hipotesis immune enhancement menjelaskan secara tidak langsung
bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai
risiko yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang
telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigenantibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama
makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini akan terjadi sekresi mediator
vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemik dan syok (Chen dkk.,
2009).

Gambar 1. Patogenesis DBD


E. Klasifikasi

15

Tabel 1. Klasifikasi derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue (Suhendro dkk.,


2009)
DD/DBD

Derajat

DD

Gejala
Demam disertai 2 atau
lebih tanda :
Sakit kepala, nyeri retroorbital, mialgia, athralgia

DBD

Gejala diatas ditambah


uji bendung positif

DBD

II

Gejala diatas ditambah


perdarahan spontan

DBD

DBD

III

IV

Gejala diatas ditambah


kegagalan sirkulasi
(Tekanan darah menurun
(20 mmHg atau kurang)
atau hipotensi, sianosis
disekitar mulut kulit
dingin dan lembab serta
gelisah)
Syok berat ditandai
dengan nadi tidak teraba
dan tekanan darah yang
tidak teratur.

Laboratorium
- Leukopenia
- trombositopenia
- tdk ada bukti
kebocoran plasma
- serologi dengue (+)
- trombositopenia
- bukti ada kebocoran
plasma
- serologi dengue (+)
- trombositopenia
- bukti ada kebocoran
plasma
- serologi dengue (+)
- trombositopenia
- bukti ada kebocoran
plasma
- serologi dengue (+)
- trombositopenia
- bukti ada kebocoran
plasma
- serologi dengue (+)

16

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik, atau
dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah
dengue, atau Dengue Syock Syndrome (DSS). Pada umumnya pasien
mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis 2-3 hari.
Pada fase kritis ini, pasien sudah tidak demam namun mempunyai risiko
untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat.
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua
hal di bawah ini terpenuhi :
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut ini :
a. Uji bendung positif
b. Petekie, ekimosis, atau purpura
c. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain.
d. Hematemesis atau melena
3. Trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.000/ul)
4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut :
a. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin.
b. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
c. Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, ascites, atau
hipoproteinemia (Suhendro dkk., 2009).

17

G. DIAGNOSIS
1. Laboratorium
Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :
a. Leukosit : dapat normal atau menurun. Mulai hari ke- 3 dapat
ditemui limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai
adanya limfosit plasma biru (LBP) >15% dari jumlah total
leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
b. Trombosit : umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
c. Hematokrit : Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukan
peningkatan hematokrit 20% dari hematokrit awal, umumnya
dimulai pada hari ke-3 demam.
d. Hemostasis : Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, DDimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan
atau kelainan pembekuan darah.
e. Protein/ albumin : dapat terjadi hipoproteinemia akibat adanya
kebocoran plasma.
f. SGOT/SGPT dapat meningkat
g. Ureum, kreatinin : bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
h. Elektrolit : sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
i. Golongan darah dan cross match : bila akan dilakukan transfusi
darah atau komponen darah
j. Imunoserologi : dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap
dengue.
IgM : mendeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari
IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2 (Suhendro
dkk., 2009).
k. Untuk membuktikan etiologi DBD dapat dilakukan uji diagnostik
melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi
molekular (Chen dkk., 2009).

18

2. Pemeriksaan Radiologi
Pada foto thorak didapatkan efusi pleura, terutama pada hemithoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma yang hebat, efusi dapat
dijumpai pada kedua hemithoraks. pemeriksaan foto thoraks sebaiknya
dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah
kanan). Asites dan efusi pleura dapat dideteksi dengan USG (Suhendro
dkk, 2009).
H. TATALAKSANA
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah
bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang
perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratories
(Suhendro dkk., 2009).
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya
terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7
proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang
interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara
bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian
cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan
terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang
masif perlu selalu diwaspadai (Chen dkk., 2009).
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi
yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi
saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari

19

karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas


(lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan
DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol
ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut (Suhendro dk., 2009):
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 2).
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
(gambar 3).
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
(gambar 4).
4.

Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa

5.

Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 5)

Gambar 2. Penanganan tersangka DBD tanpa syok

Gambar 3. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

20

Gambar 4. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%

21

22

Gambar 5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa


PEMBAHASAN
Saat pasien datang didapatkan gejala demam sudah sejak 4 hari, badan
pegal-pegal (myalgia), petekie di regio cubiti sinistra et dextra, Rumple leed
positif, perdarahan gusi ringan, dan hepatomegali. Dari hasil pemeriksaan darah
lengkap didapatkan leukopeni (3,3x103 ul), dan trombositopeni (55x103). Dari
kimia darah SGOT (410,8) dan SGPT (175,1).
Berdasarkan Kriteria WHO, dari gejala pada psien di atas diagnosis DBD
sudah dapat ditegakkan dan termasuk dalam DBD derajat 2. Untuk lebih
memastikan lagi dapat dilakukan uji serologi virus dengue (Suhendro dkk., 2009)
SGOT dan SGPT meningkat karena kerja hepar yang berlebihan.
Peningkatan kerja hepar terjadi karena adanya pemecahan trombosit yang
berlebihan yang disebabkan adanya agregasi trombosit sebagai akibat reaksi
antigen antibodi virus dengue. Kerja hepar yang berlebih juga dibuktikan dengan
adanya pembesaran hepar (Chen dkk., 2009; Suhendro dkk., 2009).
Gambaran klinis pada saat pasien datang ada pada fase kritis. Fase kritis
terjadi pada hari 3 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai
kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya
berlangsung selama 24 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh
lekopeni progresif disertai penurunan trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok
sehingga perlu dilakukan pengawasan secara ketat. Apabila Fase kritis terlewati
maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara
perlahan pada 48 72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu
makan pulih kembali, hemodinamik stabil (Sudjana, 2010).
Pada tanggal 13 Juni yaitu hari ke 7 sakit sudah mulai ada perbaikan kondisi
pasien. Ditandai dengan meningkatnya angka trombosit dari 55x10 3 menjadi
98x103, menghilangnya petekie pada region cubiti dan menghilangnya perdarahan
gusi.
Sesuai dengan protokol penanganan yang mengacu pada WHO yang dikutip
dari Suhendro dkk., untuk pasien ini digunakan protokol 2. Pada pasien DBD
dewasa tanpa perdarahan masif (uji tourniquet positif petekie, purpura, epistaksis

23

ringan, perdarahan gusi ringan) dan tanpa syok di ruang rawat; pemberian cairan
Ringer laktat merupakan pilihan pertama. Cairan lain yang dapat dipergunakan
antara lain cairan dekstrosa 5% dalam ringer laktat atau ringer asetat, dekstrosa
5% dalam NaCl 0,45%, dekstrosa 5% dalam larutan garam atau NaCl 0,9%.
Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan selama 24 jam, pasien mengalami
dehidrasi sedang, maka pada pasien dengan berat badan sekitar 50-70 kg
diberikan ringer laktat per infus sebanyak 3.000cc dalam waktu 24 jam. Pasien
dengan berat badan kurang dari 50 kg pemberian cairan infus dapat dikurangi dan
diberikan 2.000cc/24 jam, sedangkan pasien dengan berat badan lebih dari 79 kg
dapat diberikan cairan infus sampai dengan 4.000cc/ 24 jam. Jumlah cairan infus
yang diberikan harus diperhitungkan kembali pada pasien DBD dewasa dengan
kehamilan terutama pada usia kehamilan 28-32 minggu atau pada pasien dengan
kelainan jantung/ginjal atau pada pasien lanjut usia lanjut serta pada pasien
dengan riwayat epilepsi. Pada pasien dengan usia 40 tahun atau lebih pemeriksaan
elektrokardiografi merupakan salah satu standar prosedur operasional yang harus
dilakukan.
Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari berikutnya setiap
harinya tetap sama dan pada saat mulai didapatkan tanda-tanda penyembuhan
yaitu suhu tubuh mulai turun, pasien dapat minum dalam jumlah cukup banyak
(sekitar dua liter dalam 24 jam) dan tidak didapatkannya tanda-tanda
hemokonsentrasi serta jumlah trombosit mulai meningkat lebih dari 50.000, maka
jumlah cairan infus selanjutnya dapat mulai dikurangi.
Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukannya setiap 12 jam untuk pasien
dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000, sedangkan untuk pasien DBD
dewasa dengan jumlah trombosit berkisar 100.000-150.000, pemeriksaan Hb, Ht
dan trombosit dilakukan setiap 24 jam. Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi
dan pernafasan, dan jumlah urin dilakukan setiap 6 jam, kecuali bila keadaan
pasien semakin memburuk dengan didapatkannya tanda-tanda syok, maka
pemeriksaan tanda-tanda vital tersebut harus lebih diperketat.
Mengenai tanda-tanda syok sedini mungkin sangat diperlukan, karena
penanganan pasien DSS lebih sulit, dan disertai dengan risiko kematian yang lebih
tinggi. Tanda-tanda syok dini yang harus segera dicurigai apabila pasien tampak

24

gelisah, atau adanya penurunan kesadaran, akral teraba lebih dingin dantampak
pucat, serta jumlah urin yang menurun kurang dari 0,5ml/kgBB/jam. Gejala-gejala
diatas merupakan tanda-tanda berkurangnya aliran/perfusi darah ke organ vital
tersebut. Tanda-tanda lain syok dini adalah tekanan darah menurun dengan
tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg, tekanan nadi kurang dari 20 mmHg, nadi
cepat dankecil. Apabila didapatkan tanda-tanda tersebut pengobatan syok harus
segera diberikan. Pasien dapat dipulang apabila:
1. Keadaan umum /kesadaran dan hemodinamik baik, serta tidak demam.
2. Pada umumnya Hb, Ht dan jumlah trombosit dalam batas normal serta stabil
dalam 24 jam, tetapi dalam beberapa keadaan, walaupun jumlah trombosit
belum mencapai normal (diatas 50.000) pasien sudah dapat dipulangkan.
Apabila pasien dipulangkan sebelum hari ketujuh sejak masa sakitnya atau
trombosit belum dalam batas normal, maka diminta kontrol ke poiliklinik dalam
waktu 1x24 jam atau bila kemudian keadaan umum kembali memburuk agar
segera dibawa ke UGD kembali.

25

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi U. F., 2010. Manajemen Demam Berdarah Berbasis Wilayah. Dalam


Buletin Jendela Epidemiologi. Volume 2. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans
Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI pp 15-9
Chen K., Pohan H. T., Sinto R., 2009., Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam
Berdarah Dengue. Medicinus. Vol 22, No 1 pp: 3-7
Siregar F. A., 2004. Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Indonesia. Avaiable from: http://repository.usu.ac.id. [accessed 10
juni 2013]

26

Sudjana P., 2010. Diagnosis Dini Penderita Demam Berdarah Dengue Dewasa.
Dalam Buletin Jendela Epidemiologi. Volume 2. Jakarta: Pusat Data dan
Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI pp 22-4
Suhendro, Nainggolan L., Chen K., Pohan H. T., 2009. Demam Berdarah Dengue.
Dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Setiati, Siti.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan 2. Jakarta: FKUI pp 1709-13

27

Anda mungkin juga menyukai