Anda di halaman 1dari 19

ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR

Makalah ISBD Manusia, Nilai, Moral dan Hukum

Oleh
Alunhari Widiana
NIM 215122186P

JURUSAN MANAJEMEN
STIE WIDYAGAMA
2015

PEMBAHASAN
2.1 Manusia, Nilai, Norma dan Moral
Meskipun banyak pakar yang mengemukakan pengertian nilai, namun ada yang telah
disepakati dari semua pengertian itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan
selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan oleh setiap pakar pada
dasarnya adalah upaya dalam memberikan pengertian secara holistik terhadap nilai, akan
tetapi setiap orang tertarik pada bagian bagian yang relatif belum tersentuh oleh pemikir
lain.
Definisi yang mengarah pada pereduksian nilai oleh status benda, terlihat pada
pengertian nilai yang dikemukakan oleh John Dewney yakni, Value Is Object Of Social
Interest, karena ia melihat nilai dari sudut kepentingannya.
Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan sebagai landasan,
alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.
Nilai itu penting bagi manusia. Apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manusia
karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada di luar
manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai.
Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam
perbuatan. Menilai dapat diartikan menimbang yakni suatu kegiatan manusia untuk
menghubungkan sesuatu dengan sesuatu lainnya yang kemudian dilanjutkan dengan
memberikan keputusan. Keputusan itu menyatakan apakah sesuatu itu bernilai positif
(berguna, baik, indah) atau sebaliknya bernilai negatif. Hal ini dihubungkan dengan unsurunsur yang ada pada diri manusia yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaan.
Nilai memiliki polaritas dan hirarki, antara lain:
a. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai polaritas seperti
baik dan buruk; keindahan dan kejelekan.
b. Nilai tersusun secara hierarkis yaitu hierarki urutan pentingnya.
Nilai (value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat diartikan
sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Notonagoro membagi hierarki nilai
pokok yaitu:
a. Nilai material yaitu sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
b. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerohanian yaitu sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian terbagi menjadi empat macam:
a. Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal atau rasio manusia
b. Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan estetis manusia
c. Nilai kebaikan moral yang bersumber pada kehendak atau karsa manusia
d. Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manusia dengan disertai penghayatan
melalui akal budi dan nuraninya
Hal-hal yang mempunyai nilai tidak hanya sesuatu yang berwujud (benda material)
saja, bahkan sesuatu yang immaterial seringkali menjadi nilai yang sangat tinggi dan mutlak
bagi manusia seperti nilai religius.

Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, keinginan, harapan, dan segala sesuatu
pertimbangan internal (batiniah) manusia. Dengan demikian nilai itu tidak konkret dan pada
dasarnya bersifat subyektif. Nilai yang abstrak dan subyektif ini perlu lebih dikonkretkan
serta dibentuk menjadi lebih objektif. Wujud yang lebih konkret dan objektif dari nilai adalah
norma/kaedah. Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau sikusiku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat
mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah
sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma
ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Ada beberapa macam
norma/kaedah dalam masyarakat, yaitu:
a. Norma kepercayaan atau keagamaan
b. Norma kesusilaan
c. Norma sopan santun/adab
d. Norma hukum
Dari norma-norma yang ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat karena
dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh penguasa (kekuasaan eksternal).
Nilai dan norma selanjutnya berkaitan dengan moral. Moral berasal dari bahasa latin
yakni mores kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa
Indonesia moral diartikan dengan susila. Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang
umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar. Istilah
moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang
sangat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam
kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Bisa dikatakan manusia
yang bermoral adalah manusia yang sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
2.2 Manusia dan Hukum
Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin
menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat,
dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban
dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam
masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi
akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living
law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilainilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam
ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: Ubi societas ibi jus (di mana
ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu
bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang
bersifat sebagai semen perekat atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu,
dan yang berfungsi sebagai semen perekat tersebut adalah hukum.
Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur
tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social order)
yang bernama: masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial

masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari
dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur(kekuasaan).
2.2.1 Tujuan Hukum
Banyak teori atau pendapat mengenai tujuan hukum. Berikut teori-teori dari para ahli.
1. Prof. Subekti, SH: Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yaitu mencapai kemakmuran
dan kesejahteraan rakyatnya dengan cara menyelenggarakan keadilan. Keadilan itu menuntut
bahwa dalam keadaan yang sama tiap orang mendapat bagian yang sama pula.
2. Prof. Mr. Dr. LJ. van Apeldoorn: Tujuan hukum adalah mengatur hubungan antara sesama
manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian antara sesama. Dengan menimbang
kepentingan yang bertentangan secara teliti dan seimbang.
3. Geny : Tujuan hukum semata-mata ialah untuk mencapai keadilan. Dan ia kepentingan
daya guna dan kemanfaatan sebagai unsur dari keadilan.
4. Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat
(law is tool of social engineering).
5. Muchatr Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan pokok dan utama dari hukum adalah
ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan syarat pokok bagi adanya suatu
masyarakat manusia yang teratur.
Tujuan hukum menurut hukum positif Indonesia termuat dalam pembukaan UUD
1945 alinea keempat yang berbunyi ..untuk membentuk suatu pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pada umumnya hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat. Selain itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang tidak menjadi hakim atas
dirinya sendiri, namun tiap perkara harus diputuskan oleh hakim berdasarkan dengan
ketentuan yang sedang berlaku.
2.2.2 Penegakan Hukum
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan
kekuasaan (machstaat) apalagi bercirikan negara penjaga malam (nachtwachterstaat). Sejak
awal kemerdekaan, para bapak bangsa ini sudah menginginkan bahwa negara Indonesia harus
dikelola berdasarkan hukum.
Ketika memilih bentuk negara hukum, otomatis keseluruhan penyelenggaraan negara
ini harus sedapat mungkin berada dalam koridor hukum. Semua harus diselenggarakan secara
teratur (in order) dan setiap pelanggaran terhadapnya haruslah dikenakan sanksi yang
sepadan.
Penegakkan hukum, dengan demikian, adalah suatu kemestian dalam suatu negara
hukum. Penegakan hukum adalah juga ukuran untuk kemajuan dan kesejahteraan suatu
negara. Karena, negara-negara maju di dunia biasanya ditandai, tidak sekedar
perekonomiannya maju, namun juga penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia
(HAM) nya berjalan baik.
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian
hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Friedmann berpendapat bahwa efektifitas hukum ditentukan oleh tiga komponen,


yaitu:
a. Substansi hukum
Yaitu materi atau muatan hukum. Dalam hal ini peraturan haruslah peraturan yang benarbenar dibutuhkan oleh masyarakat untuk mewujudkan ketertiban bersama.
b. Aparat Penegak Hukum
Agar hukum dapat ditegakkan, diperlukan pengawalan yang dilaksanakan oleh aparat
penegak hukum yang memiliki komitmen dan integritas tinggi terhadap terwujudnya tujuan
hukum.
c. Budaya Hukum
Budaya hukum yang dimaksud adalah budaya masyarakat yang tidak berpegang pada
pemikiran bahwa hukum ada untuk dilanggar, sebaliknya hukum ada untuk dipatuhi demi
terwujudnya kehidupan bersama yang tertib dan saling menghargai sehingga harmonisasi
kehidupan bersama dapat terwujud.
Banyak pihak menyoroti penegakan hukum di Indonesia sebagai jalan di tempat
ataupun malah tidak berjalan sama sekali. Pendapat ini mengemuka utamanya dalam
fenomena pemberantasan korupsi dimana tercipta kesan bahwa penegak hukum cenderung
tebang pilih, alias hanya memilih kasus-kasus kecil dengan penjahat-penjahat kecil
daripada buronan kelas kakap yang lama bertebaran di dalam dan luar negeri.
Pendapat tersebut bisa jadi benar kalau penegakan hukum dilihat dari sisi korupsi
saja. Namun sesungguhnya penegakan hukum bersifat luas. Istilah hukum sendiri sudah luas.
Hukum tidak semata-mata peraturan perundang-undangan namun juga bisa bersifat
keputusan kepala adat. Hukum-pun bisa diartikan sebagai pedoman bersikap tindak ataupun
sebagai petugas.
Dalam suatu penegakkan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus diartikan
sebagai suatu isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan budaya
hukum (culture of law). Sehingga, penegakan hukum tidak saja dilakukan melalui perundangundangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas hukum. Juga, yang tak
kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya hukum masyarakat yang kondusif
untuk penegakan hukum.
Contoh paling aktual adalah tentang Perda Kawasan Bebas Rokok misalnya.
Peraturan ini secara normatif sangat baik karena perhatian yang begitu besar terhadap
kesehatan masyarakat. Namun, apakah telah berjalan efektif? Ternyata belum. Karena,
fasilitas yang minim, juga aparat penegaknya yang terkadang tidak memberikan contoh yang
baik. Sama halnya dengan masyarakat perokok, kebiasaan untuk merokok di tempat-tempat
publik adalah suatu budaya yang agak sulit diberantas.
Oleh karenanya, penegakan hukum menuntut konsistensi dan keberanian dari aparat.
Juga, hadirnya fasilitas penegakan hukum yang optimal adalah suatu kemestian. Misalnya,
perda kawasa n bebas rokok harus didukung dengan memperbanyak tanda-tanda larangan
merokok, atau menyediakan ruangan khusus perokok, ataupun memasang alarm di ruangan
yang sensitif dengan asap.
Masyarakatpun harus senantiasa mendapatkan penyadaran dan pembelajaran yang
kontinyu. Maka, program penyadaran, kampanye, pendidikan, apapun namanya, harus terus
menerus digalakkan dengan metode yang partisipatif. Karena, adalah hak dari warganegara

untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang tepat dan benar akan hal-hal yang
penting dan berguna bagi kelangsungan hidupnya.
2.2.3 Hubungan Hukum dan Moral
Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah roma yang
mengatakan quid leges sine moribus? (apa artinya undang-undang jika tidak disertai
moralitas?). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa disertai moralitas. Oleh karena
itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-undangan yang
immoral harus diganti. Disisi lain moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa
hukum hanya angan-angan saja kalau tidak di undangkan atau di lembagakan dalam
masyarakat.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap
berbeda, sebab dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral
atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum
dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa ini. Apalagi dalam
konteks membutuhkan hukum.
Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum
tampak kosong dan hampa (Dahlan Thaib,h.6). Namun demikian perbedaan antara hukum
dan moral sangat jelas.
Perbedaan antara hukum dan moral menurut K.Berten :
1. Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis
dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki kepastian
dan objektif dibanding dengan norma moral. Sedangkan norma moral lebih subjektif dan
akibatnya lebih banyak diganggu oleh diskusi yang yang mencari kejelasan tentang yang
harus dianggap utis dan tidak etis.
2. Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri
sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang.
3. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan
moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan,pelanggar akan terkena hukuman.
Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar,
sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dibidang moralitas
hanya hati yang tidak tenang.
4. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara.
Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum itu
harus di akui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum.moralitas berdasarkan atas normanorma moral yang melebihi pada individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau
dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tapi masyarakat tidak dapat mengubah
atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya.
Sedangkan Gunawan Setiardja membedakan hukum dan moral :
1. Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsesus dan hukum alam sedangkan
moral berdasarkan hukum alam.
2. Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom (datang dari luar diri manusia),
sedangkan moral bersifat otonom (datang dari diri sendiri).
3. Dilihat dari pelaksanaanya hukum secara lahiriah dapat dipaksakan,

4. Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. moral berbentuk sanksi kodrati, batiniah,
menyesal, malu terhadap diri sendiri.
5. Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara,
sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia.
6. Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan moral
secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu (1990,119).
2.2.4 Problematika Hukum
Problema paling mendasar dari hokum di Indonesia adalah manipulasi atas fungsi
hokum oleh pengemban kekuasaan. Problem akut dan mendapat sorotan lain adalah:
a. Aparatur penegak hukum ditengarai kurang banyak diisi oleh sumber daya manusia yang
berkualitas. Padahal SDM yang sangat ahli serta memiliki integritas dalam jumlah yang
banyak sangat dibutuhkan.
b. Peneggakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sering mengalami
intervensi kekuasaan dan uang. Uang menjadi permasalahan karena negara belum mampu
mensejahterakan aparatur penegak hukum.
c. Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum semakin surut. Hal ini
berakibat pada tindakan anarkis masyarakat untuk menentukan sendiri siapa yang dianggap
adil.
d. Para pembentuk peraturan perundang-undangan sering tidak memerhatikan keterbatasan
aparatur. Peraturan perundang-undangan yang dibuat sebenarnya sulit untuk dijalankan.
e. Kurang diperhatikannya kebutuhan waktu untuk mengubah paradigma dan pemahaman
aparatur. Bila aparatur penegak hukum tidak paham betul isi peraturan perundang-undangan
tidak mungkin ada efektivitas peraturan di tingkat masyarakat.
Problem berikutnya adalah hukum di Indonesia hidup di dalam masyarakat yang tidak
berorientasi kepada hukum. Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai representasi dan
simbol negara yang ditakuti. Keadilan kerap berpihak pada mereka yang memiliki status
sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat. Contoh kasus adalah kasus ibu Prita Mulyasari.
Pekerjaan besar menghadang bangsa Indonesia di bidang hukum. Berbagai upaya
perlu dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan dapat
merasakan apa yang dijanjikan dalam hukum.
A. Peran Nilai dan Norma dalam Masyarakat.
Norma dan nilai dalam masyarakat sangat berperan dalam memberikan stabilitas
kehidupan. Coba bayangkan jika suatu daerah tidak terdapat suatu nilai dan norma sosial
yang berlaku, pastilah daerah tersebut akan mengalami kekacauan dan pola kehidupannya
akan mengalami penyimpangan. Misalnya, di daerah Papua di mana daerah tersebut belum
mampu melembagakan suatu norma, akibatnya masyarakat di sana tidak tahu bagaimana cara
berpakaian yang sopan di depan umum, bagaimana cara mereka mengikat tali perkawinan
yang suci sesuai agama, dan bagaimana mereka bersosialisasi dengan damai.

Peran nilai dan norma secara umum adalah untuk mengatur pola kehidupan masyarakat agar
pola perilaku yang ditunjukkan seimbang, tidak merugikan, serta tidak menimbulkan
ketidakadilan. Dalam masyarakat yang modern saat ini memang sangat dibutuhkan peran dari
nilai dan norma. Hal ini digunakan agar masyarakat modern tidak berlaku sekehendak
hatinya. Secara lebih rinci peran nilai dan norma dalam masyarakat adalah:
1. Sebagai petunjuk perilaku yang benar
Nilai dan norma dalam masyarakat menjadi rel dari perilaku yang harus dibuat oleh setiap
masyarakat. Perilaku yang kompleks dalam masyarakat akan menimbulkan variasi-variasi
dalam pencapaian kebutuhan hidup. Akibatnya masyarakat akan berlaku sekehendak hatinya
tanpa memandangn kepentingan-kepentingan orang lain, sehingga terjadi ketidakseimbangan
yang menimbulkan benturan-benturan antar individu dalam masyarakat menimbulkan konflik
sosial. Untuk mengantisipasi hal ini, maka masyarakat membentuk nilai dan norma agar
dijadikan petunjuk dalam perilaku yang sudah disepakati oleh anggota masyarakat.
2. Sebagai pengatur sistem dalam masyarakat
Setiap masyarakat pasti memiliki sistem dalam kehidupannya untuk memenuhi kebutuhan
pokok. Sistem ini dibuat untuk memudahkan masyarakat agar kebutuhan hidupnya dapat
terpenuhi secara normal. Karena sistem adalah serangkaian perilaku yang terstruktur dan
sistematis, maka dibentuklah tatanan nilai dan norma. Hal ini dilakukan agar masyarakat
terus berjalan pada sistem yang sudah disepakati, sehingga keseimbangan hidup dalam
masyarakat tercipta.
3. Sebagai pelindung bagi mereka yang lemah
Masyarakat pada umumnya terdiri dari beberapa komponen yang saling melengkapi. Secara
alamiah komponen tersebut tersusun sedemikian rupa yang melembaga pada suatu kehidupan
masyarakat. Sehingga variasi dari pola perilaku mengikuti komponen yan terbentuk dan
terdiri dari peran dan status dari masyarakat. Karena setiap individu memiliki kemampuan
yang berbeda-beda maka komponen masyarakat tersebut membentuk struktur sosial yang
vertikal, akibatnya ada segolongan individu yang menjadi pemimpin maupun menjadi
penjahat. Untuk melindungi ketidaknyamanan dari pemimpin yang sewenang-wenang
maupun dari penjahat yang merugikan dan meresahkan, maka masyarakat secara kolektif
membentuk nilai dan norma.
4. Sebagai Khasanah Budaya Masyarakat
Dalam konteks ini nilai dan norma yang ada di depan masyarakat berperan sebagai etos
budaya masyarakat yang memberikan ciri khusus bagi masyarakat tersebut. Bentuk

kebudayaan dalam masyarakat memiliki keragaman tersendiri. Keragaman tersebut berasal


dari nilai dan norma yang ada dalam masyarakat tersebut.
B. Peran Hukum dalam Masyarakat.
Di dalam masyarakat dijumpai berbagai institusi yang masing-masing diperlukan oleh
masyarakat itu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan mempelancar jalanya pemenuhan
kebutuhan tersebut. Oleh karena fungsinya yang demikian itu maka masyarakat sangat membutuhkan
kehadiran institusi tesebut. Institusi bergerak di sekitar kebutuhan tertentu manusia. Agar kita bisa
berbicara mengenai adanya suatu insttiusi yang demikian itu, kebutuhan yang dilayaninya telebih dulu
harus medapakan pengakuan masyarakat. Pengakuan di sini diartikan, bahwa masyarakat di situ
memang telah mengakui pentingnya kebutuhan tersebut bagi kehidupan manusia. Apabila masyarakat
telah mulai memperhatikan suatu kebutuhan tertentu maka akan berusaha agar dalam masyarakat
dapat diciptakan suatu sarana untuk memnuhinya. Dari sinilah mulai dilahirkan suatu institusi
tersebut. Jadi institusi itu pada hakikatnya merupakan alat perlengkapan masyarakat untuk menjamin
agar kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat dapat dipenuhi secara seksama. Keadilan merupakan
salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang umumnya diakui semua tempat di dunia ini. Apabila
keadilan itu kemudian dikukuhkan ke dalam institusi yang namanya hukum, maka institusi hukum itu
harus mampu untuk menjadi saluran agar keadilan itu dapat diselenggarakan secara seksama dalam
masyarakat. Beberapa ciri yang umumnya melekat pada institusi sebagai perlengkapan masyarakat :
1. Stabilitas. Di sini kehadiran institusi hukum menimbulkan suatu kemantapan dan keteraturan
dalam usaha manusia untuk memperoleh keadilan itu.
2. Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Di dalam ruang
lingkup kerangka yangt telah diberikan dan dibuat oleh masyarakat itu, anggota-anggota masyarakat
memenuhi kebutuhan-kebutuhanya.
3. Institusi menampilkan wujudnya dalam bentuk norma. Norma-norma inilah yang merupakan
sarana untuk menjamin agar anggota-anggota masyarakat dapat dipenuhi kebutuhanya secara
terorganisasi.
4. Jalinan antar institusi. Terjadinya tumpang tindih antara institusi.
Hukum merupakan institusi sosial yang tujuannya untuk menyelenggarakan keadilan
dalam masyarakat. Sebagai suatu institusi sosial, maka penyelenggaraanya yang demikian itu bekaitan
dengan tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri untuk melaksanakannya. Oleh karena itu suatu
masyarakat akan menyelengarakannya dengan cara tertentu yang berbeda dengan masyarakat pada
masyarakat yang lain. Perbedaan ini berhubungan erat dengan persediaan perlengkapan yang terdapat
dalam masyarakat untuk penyelenggaraan keadilan itu dan hak ini berarti adanya berhubungan yang
erat antara institusi hukum suatu masyarakat dengan tingkat perkembangan organisasi sosialnya.
Suatu pengamatan terhadap masyarakat sacara sosiologis memeperlihatkan, bahwa
kekuasaan itu tidak tebagi secara merata dalam masyarakat. Struktur pembagian yang demikian itu
menyebabkan, bahwa kekuasaan itu terhimpun pada sekelompok orang-orang tertentu, sedangkan
orang-orang lain tidak atau kurang memiliki kekuasaan itu. Keadaan seperti inilah yang menimbulkan
perlapisan sosial di dalam masyarakat. Bagaimana stuktur yang berlapis-lapis itu bisa terbentuk
banyak tergantung dari sistem perekonomian suatu masyarakat. Terjadinya penumpukan kekuasaan di
tangan sekelompok orang-orang tertentu berhubungan dengan sistem pembagian sumber daya dalam
masyarakat. Kekuasaan itu tidak terlepas dari penguasaan barang-barang dalam masyarakat.
Oleh karena itu terjadinya perlapisan kekuasaan berhubungan erat dengan barang-barang
yang bisa dibagi-bagikan itu tentunya susah dibayangkan timbulnya perlapisan sosial dalam
masyarakat. Kondisi pengadaan barang-barang menetukan apakah dalam suatu masyarakat akan
menjumpai struktur kekuasaan yang berlapis-lapis itu. Pentingnya pembicaraan mengenai perlapisan

sosial dalam rangka pembicaraan tentang hukum disebabkan oleh dampak dari adanya struktur yang
demikian itu terhadap hukum, baik itu di bidang pembuatan hukum, pelaksanaan, maupun
penyelesaian sengketanya. Pada masyarakat mana pun juga, orang atau golongan yang bisa
menjalankan kekuasaannya secara efektif adalah mereka yang mampu mengontrol institusi-institusi
politisi dan ekonomi dalam masyarakat.
Para ahli sosiologi hukum memberikan perhatian besar terhadap hubungan antara hukum
dengan perlapisan sosial ini. Dengan terjadinya perlapisan sosial maka hukum pun susah untuk
memperhatikan netralitas atau kedudukannya yang tidak memihak. Perlapisan sosial ini merupakan
kunci penjelasan mengapa hukum itu bersifat distriminatif, baik pada peraturan-peraturannya sendiri,
maupun melalui penegakannya. Para ahli tersebut di muka berpendapat, bahwa peraturan-peraturan
hukumnya sendiri tidaklah memihak. Dalam keadaan yang demikian ini pendapat yang berkuasapun
akan menentukan bagaimana isi peraturan hukum di situ.
Dengan demikian, bagaimanapun diusahakan agar penegakan hukum itu tidak memihak,
namun karena sudah sejak kelahirannya peraturan-peraturan itu tidak lempeng, maka hukum pun
bersifat memihak, keadaan yang demikian itu juga dijumpai pada masalah penegakan hukum.
Kalaulah kita sekarang sudah mengetahui betapa besar peranan hukum di dalam membantu
menciptakan ketertiban dan kelencaran dalam kehidupan masyarakat, kita masih saja belum
mengetahui benar apa yang dikehendaki oleh hukum tersebut. Apakah sekedar untuk menciptakan
ketertiban atau lebih jauh dari pada itu?
Pertanyaan atau masalah ini layak sekali untuk mendapatkan perhatian kita. Apabila kita
mengatakan, bahwa hukum-hukum itu bermaksud untuk menciptakan ketertiban , maka sebetulnya
kita hanya berurusan dengan hal-hal yang bersifat dengan hal-hal teknik. Melarang orang untuk
melakukan pencurian dengan menciptakan suatu hukum dengan sanksinya adalah suatu usaha yang
bersifat teknik. Tapi mengapa justru mencuri itu yang dilarang? Jawabanya adalah, karena mencuri itu
dianggap sebagai perbuatan yang tercela oleh masyarakat. Dengan demikian, kita telah memasuki
bidang yang tidak teknik lagi sifatnya, melainkan sudah ideal.Pembicaraan ini diharapkan dapat
memberikan wawasan yang lebih sesuai dengan kenyataan dalam kita meninjau dan mempelajari
hukum, yaitu bahwa hukum itu hadir dalam masyarakat karena harus melayani kebutuhan-kebutuhan
tertentu dan harus mengolah bahan-bahan tertentu yang harus ia terima sebagai suatu kenyataan.
Karena hukum itu memberikan pembatasan-pembatasan yang demikian itu maka institusi hukum itu
hanya bisa berjalan dengan seksama di dalam suatu lingkungan sosial dan politik yang bisa
dikendalikan secara efektif oleh hukum. Suatu masyarakat yang berkehendak untuk diatur oleh hukum
tetapi yang tidak bersedia untuk membiarkan penggunaan kekuasaannya dibatasi dan dikontrol, bukan
merupakan lingkungan yang baik bagi berkembangnya institusi hukum.
Oleh karena itu, sekalipun hukum itu mempunyai otonomi tertentu, tetapi hukum juga harus
fungsional dan menempatkan peranan dari keadilan dalam konteks kehidupan hukum secara lebih
seksama.
C. Peran Moral dalam Masyarakat

Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau
kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah
laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah
dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara
moral.

Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam
perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji dan
mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Norma tersebut adalah perwujudan martabat
manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu
kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi.
Helden (1977) dan Richard (1971) merumuskan pengertian moral sebagai kepekaan
dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak hanya
berupa kepekaan terhadap prinsip dan aturan. Selanjutnya, Atkinson (1969) mengemukakan
moral atau moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa
yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Selain itu, moral juga merupakan seperangkat
keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang
seharusnya dilakukan manusia.
Moralitas mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, tetapi kata
moralitas mengandung makna segala hal yang berkaitan dengan moral. Moralitas adalah
sistem nilai tentang bagaimana seseorang seharusnya hidup secara baik sebagai manusia.
Moralitas ini terkandung dalam aturan hidup bermasyarakat dalam bentuk petuah, wejangan,
nasihat, peraturan, perintah, dan semacamnya yang diwariskan secara turun-temurun melalui
agama atau kebudayaan tertentu. Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak
bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang
benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan
norma yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

D. Dinamika penerapan nilai moral.


Strategi pendidkan moral adalah pendekatan atau upaya yang dilakukan untuk menumbuhkembangkan sikap, tingkah laku dan budi pekerti anak. Indikator keberhasilan strategi ini akan terlihat
dari pergaulan anak sehari-hari. Untuk mendukung upaya penerapan pendidikan moral perlu adanya
program dan kebijakan pendidikan moral yang mendukung. Ini bertujuan untuk mewujudkan sasaran
apa yang ingin dicapai. Dalam hal ini adalah pembinaan moral anak ke arah yang lebih baik. Ini sudah
dikemukakan pada bagian pertama pembahasan ini.

1.Keteladanan
Memberi contoh dan teladan kepada anak dinilai sebagai strategi paling efektif dalam pembentukan
moral anak. Strategi doktrin yang sering dilakukan pihak orang tua, guru dan orang dewasa lainnya.
Sering menimbulkan pembangkangan dan tudingan kepada pemberi doktrin. Sebaliknya, mengajarkan
sesuatu nilai moral dan etika disertai contoh dan bukti nyata justru lebih menunjukkan hasil yang
signifikan. Orang tua menyuruh anak shalat dan mengerjakan amal kebaikan. Orang tua memang
melaksanakan shalat dan suka bersedekah, mengasihi anak yatim dan bersikap ramah terhadap tamu.
Seorang guru mengajarkan pola hidup sederhana dan dicontohkan secara nyata dengan sikap dan
perbuatan kesederhanaan, rendah hati dan jujur. Tidak sebaliknya. Siswa disuruh sederhana namun
fakta yang mereka lihat pada guru malah jauh dari kesederhanaan. Yang paling mendesak barangkali
adalah memberikan contoh yang nyata bagaimana etika berbicara dengan yang lebih muda, dengan
teman sebaya, dan dengan orang tua serta guru. Begitu pula sikap dan tingkah laku bergaul di tengah
masyarakat, ini perlu dicontohkan dengan nyata kepada anak oleh orang tuanya.

2. Pembiasaan Diri
Kebiasaan-kebiasan unik dan positif dalam keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat, perlu
dikembangkan secara berkesinambungan. Misalnya, pemberian hukuman kepada anak/siswa yang
melakukan kesalahan sebagai bukti tanggung jawab terhadap tingkah laku yang merugikan diri sendiri
maupun orang lain. Pemberian penghargaan verbal maupun non verbal kepada anak/siswa yang
melakukan kebiasaan baik.

3.Peraturan dan tata tertib


Dalam keluarga memiliki aturan dan tata tertib terntentu yang harus ditaati sehingga anak terbiasa
untuk patuh dan taat pada setiap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Di lembaga
sekolah sudah pasti memiliki peraturan dan aturan tertentu. Penegakan peraturan dan tata tertib
tersebut mesti dengan pendekatan persuasif. Hukuman dan sanksi yang diberikan kepada siswa yang
melanggar mestilah bersifat mendidik dan memberi efek kesadaran diri.

4.Aktivitas dan hobi


Anak-anak tidak hanya beraktivitas dan belajar secara rutin di sekolah maupun ti rumah. Anak juga
butuh bermain dengan sesama teman, menyalurkan hobi dan kegemarannya. Dalam hal ini, ada nilai
sosial pergaulan seperti saling menghargai melalui ucapan maupun tingkah laku. Kegiatan olah raga
mengandung nilai sportifitas, menerima kekalahan dan kemenangan. Tentu saja masih masih banyak
strategi lain dalam menerapkan pendidikan moral kepada anak. Namun demikian prinsipnya adalah
sekecil apapun usaha pengembangan nilai moral dan etika pada anak, sudah sangat berarti mereduksi
krisis moral pada anak dan remaja.
E. Peran Nilai dalam Pembentukan Karakter.

Kita sering mendengar dan bahkan menggunakan istilah nilai. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, nilai didefinisikan sebagai kadar, mutu atau sifat yang penting dan berguna
bagi kemanusiaan. Nilai adalah sebuah konsep yang menunjuk pada hal-hal yang dianggap
berharga dalam kehidupan.Sesuatu itu dianggap berharga karena hal itu baik, indah, benar
dan pantas. Itulah sebabnya, nilai seringkali dipahami sebagai hal-hal yang dianggap baik,
indah, benar dan pantas.Sebaliknya hal-hal yang buruk, tidak indah, salah dan tidak pantas
dianggap tidak bernilai.Contoh, ketekunan adalah nilai, karena dianggap sebagai sikap yang
baik.Kecantikan adalah nilai, karena dianggap sebagai nilai yang indah. Kejujuran adalah
nilai, karena dianggap sebagai nilai yang benar. Dalam sosiologi, ada berbagai pengertian
yang dikemukakan para ahli mengenai nilai. Beberapa pengertian itu adalah sebagai berikut :
1. Nilai adalah gagasan-gagasan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok tentang apa
yang dikehendaki, apa yang layak dan apa yang baik atau buruk. ( Anthony Giddens, 1994 )
2. Nilai adalah gagasan-gagasan tentang apakah suatutindakan itu penting atau tidak penting.
3. Nilai merupakan gagasan kolektif (bersama-sama) tentang apa yang dianggap baik,
penting, diinginkan dan dianggap layak. Sekaligus tentang apa yang dianggap tidak baik,
tidak penting, tak diinginkan dan tidak layak dalam sebuah kebudayaan. Nilai menunjuk pada
hal yang penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat. ( Richard T. Schaefer dan Robbert P. Lamm, 1998 )
KEPRIBADIAN
Kata kepribadian berasal dari bahasa Latin persona yang berarti masker atau
topeng. Secara signifikan, dalam teater dunia Latin berbahasa kuno, topeng itu tidak
digunakan sebagai perangkat plot untuk menyamarkan identitas karakter, tetapi lebih
merupakan konvensi yang digunakan untuk mewakili atau melambangkan karakter tersebut.
Kepribadian adalah seperangkat karakteristik psikologis yang menentukan pola berpikir,
merasakan dan bertindak, yaitu individualitas pribadi dan sosial dari seseorang. Pembentukan
kepribadian adalah proses bertahap, kompleks dan unik untuk setiap individu. Istilah ini

digunakan dalam bahasa sehari-hari berarti semua keunggulan dari seseorang, sehingga
kita dapat mengatakan bahwa seseorang memiliki tidak ada kepribadian.
Ada pula definisi kepribadian menurut para ahli : Menurut Horton ( 1982: 12 ),
kepribadian adalah keseluruhan sikap, perasaan, ekspresi dan temperamen seseorang. Sikap,
perasaan, ekspresi dan temperamen itu akan terwujud dalam tindakan seseorang jika
dihadapkan pada situasi tertentu. Setiap orang mempunyai kecenderungan berperilaku yang
baku atau berpola dan konsisten, sehingga menjadi ciri khas pribadinya.
Schaefer & Lamm ( 1998:97 ) mendefinisikan kepribadian sebagai keseluruhan pola sikap,
kebutuhan, ciri-ciri khas dan perilaku seseorang. Pola berarti sesuatu yang sudah menjadi
standar atau baku, sehingga kalau dikatakan pola sikap, maaka sikap itu sudah baku, berlaku
terus-menerus secara konsisten dalam menghadapi situasi yang dihadapi. Pola perilkau
dengan demikian juga merupakan perilaku yang sudah baku, yang cenderung ditampilkan
seseorang jika ia dihadapkan pada situasi kehidupan tertentu. Orang yang pada dasarnya
pemalu cenderung menghindarkan diri dari kontak mata dengan lawan bicaranya.
YingerKepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seorang individu dengan sistem
kecenderungan
tertentu
yang
berinteraksi
dengan
serangkaian
instruksi.
M.A.W Bouwer, Kepribadian adalah corak tingkah laku social yang meliputi corak kekuatan,
dorongan, keinginan, opini dan sikap-sikap seseorang. Cuber Kepribadian adalah gabungan
keseluruhan dari sifat-sifat yang tampak dan dapat dilihat oleh seseorang. Theodore R.
NewcombeKepribadian adalah organisasi sikap-sikap yang dimiliki seseorang sebagai latar
belakang terhadap perilaku.kepribadian dapat di definisikan sebagai suatu set dinamis dan
terorganisir dari karakteristik yang dimiliki oleh setiap orang yang secara unik mempengaruhi
kognisinya, emosi, motivasi, dan perilaku dalam berbagai situasi. Kepribadian juga dapat
merujuk kepada pola-pola pikiran, perasaan dan perilaku yang secara konsisten yang
ditunjukkan oleh seorang individu dari waktu ke waktu yang sangat mempengaruhi harapan,
persepsi-diri, nilai dan sikap, dan memprediksi reaksi kita terhadap orang lain, masalah dan
tekanan. Dalam sebuah kalimat, kepribadian bukan hanya siapa kita, Gordon Allport (1937)
dijelaskan dua cara utama untuk belajar kepribadian: yang nomotetis dan idiografis tersebut.
Psikologi nomotetis mencari hukum-hukum umum yang dapat diterapkan untuk orang yang
berbeda, seperti prinsip aktualisasi diri, atau sifat extraversion.Psikologi idiografis merupakan
upaya untuk memahami aspek unik dari individu tertentu.
Jadi, kepribadian adalah seperangkat karakteristik psikologis yang menentukan pola berpikir,
merasakan dan bertindak, yaitu individualitas pribadi dan sosial dari seseorang.
2.2. Macam-macam Nilai dalam Pembentukan Karakter atau Kepribadian
Nilai dibagi menjadi empat antara lain :
1. Nilai etika atau Moral Nilai etika merupakan nilai untuk manusia sebagai pribadi yang
utuh. Misalnya, kejujuran nilai tersebut salingberhubungan dengan akhlak nilai ini juga
berkaitan dengan benar atau salah yang dianut oleh golongan atau masyarakat. Nilai etis atau
etik sering disebut sebagai nilai moral, akhlak atau budi pekerti selain kejujuran, perilaku
suka menolong, adil, pengasih, penyayang, ramah dan sopan termasuk juga ke dalam nilai
sanksinya berupa teguran, caci maki,pengucilan atau pengusiran dari masyarakat. Nilai moral
adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari
manusia.moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai
moral.Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia.Nilai moral inilah yang
lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kitasehari-hari.

2.Nilai Estetika Nilai estetika atau nilai keindahan sering dikatikan dengan benda, orang dan
peristiwa yang dapat menyenangkan hati ( perasaan ). Nilai estetika juga dikaitkan dengan
karya seni, meskipun sebenarnya semua ciptaan Tuhan juga memiliki keindahan alami yang
taktertandingi.
3.Nilai Agama Nilai agama berhubungan antara manusia dengan Tuhan, kaitannya dengan
pelaksanaan perintah dan larangan-Nya. Nilai agama diwujudkan dalam bentuk amal
perbuatan yang bermanfaat baik di dunia maupun akhirat, seperti rajin beribadah, berbakti
kepada orangtua, menjaga kebersihan, tidak berjudi, tidak meminum-minuman keras, dsb.
Bila seseorang melanggar norma/kaidah agama, ia akan mendapatkan sanksi dari Tuhan
sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing . Oleh karena itu, tujuan norma agama
adalah menciptakan insan-insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dalam penertian mampu melaksanakan apa yang menjadi perintah dan meninggalkan apa
yang di larangNya. Adapun kegunaan norma agama yaitu untuk mengendalikan sikap dan
perilaku setiap manusia dalam kehidupannya agar selamat di dunia dan akhirat.
4.Nilai Sosial Nilai sosial berkaitan dengan perhatian dan perlakuan kita terhadap sesama
manusia di lingkungan kita. Nilai ini tercipta karena manusia sebagai makhluk sosial,
manusia harus menjaga hubungan diantara sesamanya. Hubungan ini akan menciptakan
sebuah keharmonisan dan sikap saling membantu, kepedulian terhadap persoalan lingkungan,
seperti kegitan gotong-royong danmenjaga keserasian hidup bertetangga merupakan nilai
sosial.
2.3. Tahap-tahap Perkembangan Karakter atau Kepribadian
Pada masa bayi, tahap pertama, anak-anak belajar rasa percaya atau tidak percaya kepada
orang lain. Jika ibunya (atau pengasuh penggantinya ) secara konsisten memberi cinta dan
kasuh sayang, serta memperhatikan kebutuhan fisik bayi, maka bayi itu akan membangun
perasaan aman dan percaya pada orang lain. Tahap kedua, anak usia 2-3 tahun belum begitu
tertarik pada nilai-nilai. Anak lahir memiliki dorongan-dorongan naluri dan reflek-reflek dan
belum punya kepribadian. Tahap ketiga, anak usia 4-5 tahun keatas mulai mempunyai
kualitas kepribadian. Anak mengenal nilai, berdasarkan faktor pertambahannya usia berarti
bertambah pula kematangan, otomatis kepribadian semakin berkembang. Tahap keempat,
dunia anak semakin luas, banyak keterampilan teknis yang ia pelajari dan perasaan bahwa
dirinya kompeten atau mampu melakukan sesuatu diperbesar. Tahap kelima, remaja mulai
mengembangkan kesadaran akan identitas pribadinya melalui interaksinya dengan orang lain.
Tahap keenam, seseorang mulai menembangkan hubungan cinta yang abadi dengan lawan
jenisnya.
Tahap usia dewasa menengah, seseorang berkarya untuk keluarga dan masyarakat,
memberikan sesuatu yang bermanfaat, baik bagi keluarga maupun masyarakatnya.
Tahap akhirhidupnya, seseorang akan menemukan akhir hidupnya dengan penuh harga diri
atau kebanggan atau penuh penyesalan diri. Usia Krisis identitas yang harus dilampaui

Adanya perbedaan kepribadian setiap individu sangatlah bergantung pada faktor-faktor yang
memengaruhinya. Kepribadian terbentuk, berkembang, dan berubah seiring dengan proses
sosialisasi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut.
a. Faktor Biologis

Faktor biologis yang paling berpengaruh dalam pembentukan kepribadian adalah jika
terdapat karakteristik fisik unik yang dimiliki oleh seseorang. Contohnya, kalau orang
bertubuh tegap diharapkan untuk selalu memimpin dan dibenarkan kalau bersikap seperti
pemimpin, tidak aneh jika orang tersebut akan selalu bertindak seperti pemimpin. Jadi, orang
menanggapi harapan perilaku dari orang lain dan cenderung menjadi berperilaku seperti yang
diharapkan oleh orang lain itu. Ini berarti tidak semua faktor karakteristik fisik
menggambarkan kepribadian seseorang.Sama halnya dengan anggapan orang gemuk adalah
periang.
Perlu dipahami bahwa faktor biologis yang dimaksudkan dapat membentuk kepribadian
seseorang adalah faktor fisiknya dan bukan warisan genetik.Kepribadian seorang anak bisa
saja berbeda dengan orangtua kandungnya bergantung pada pengalaman sosialisasinya.
Contohnya, seorang bapak yang dihormati di masyarakat karena kebaikannya, sebaliknya
bisa saja mempunyai anak yang justru meresahkan masyarakat akibat salah pergaulan.Akan
tetapi, seorang yang cacat tubuh banyak yang berhasil dalam hidupnya dibandingkan orang
normal karena memiliki semangat dan kemauan yang keras. Dari contoh tersebut dapat
berarti bahwa kepribadian tidak diturunkan secara genetik, tetapi melalui proses sosialisasi
yang panjang. Salah apabila banyak pendapat yang mengatakan bahwa faktor genetik sangat
menentukanpembentukankepribadian.
b. Faktor Geografis
Faktor lingkungan menjadi sangat dominan dalam meme ngaruhi kepribadian
seseorang.Faktor geografis yang dimaksud adalah keadaan lingkungan fisik (iklim, topografi,
sumberdaya alam) dan lingkungan sosialnya.Keadaan lingkungan fisik atau lingkungan sosial
tertentu memengaruhi kepribadian individu atau kelompok karena manusia harus
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Contohnya, orang-orang Aborigin harus berjuang
lebih gigih untuk dapat bertahan hidup karena kondisi alamnya yang kering dan tandus,
sementara, bangsa Indonesia hanya memerlukan sedikit waktunya untuk mendapatkan
makanan yang akan mereka makan sehari-hari karena tanahnya yang subur. Contoh lain,
orang-orang yang tinggal di daerah pantai memiliki ke pribadian yang lebih keras dan kuat
jika dibandingkan dengan mereka yang tinggal di pegunungan. Masyarakat di pedesaan
penuh dengan kesederhanaan dibandingkan masyarakat kota.Dari uraian tersebut jelaslah
bahwa faktor geografis sangat memengaruhi perkembangan kepribadian seseorang, tetapi
banyak pula ahli yang tidak menganggap hal ini sebagai faktor yang cukup penting
dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya.
b. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan mempunyai pengaruh besar terhadap perilaku dan kepribadian
seseorang, terutama unsur-unsur kebudayaan yang secara langsung memengaruhi
individu.Kebudayaan dapat menjadi pedoman hidup manusia dan alat untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Oleh karena itu, unsur-unsur kebudayaan yang berkembang di
masyarakat dipelajari oleh individu agar menjadi bagian dari dirinya dan ia dapat bertahan
hidup. Proses mem pelajari unsur-unsur kebudayaan sudah dimulai sejak kecil sehingga
terbentuklah kepribadian-kepribadian yang berbeda antarindividu ataupun antarkelompok
kebudayaan satu dengan lainnya. Contohnya, orang Bugis memiliki budaya merantau dan
mengarungi lautan.Budaya ini telah membuat orang-orang Bugis menjadi keras dan
pemberani.
c. Faktor Pengalaman Kelompok

Pengalaman kelompok yang dilalui seseorang dalam sosialisasi cukup penting


perannya dalam mengembangkan kepribadian. Kelompok yang sangat berpengaruh dalam
perkembangan kepribadian seseorang dibedakan menjadi dua sebagai berikut.
1. Kelompok Acuan (Kelompok Referensi). Sepanjang hidup seseorang, kelompok-kelompok
tertentu dijadikan model yang penting bagi gagasan atau norma-norma perilaku. Dalam hal
ini, pembentukan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh pola hubungan dengan
kelompok referensinya. Pada mulanya, keluarga adalah kelompok yang dijadikan acuan
seorang bayi selama masa-masa yang paling peka. Setelah keluarga, kelompok referensi
lainnya adalahteman-teman sebaya. Peran kelompok sepermainan ini dalam perkembangan
kepribadian seorang anak akan semakin berkurang dengan semakin terpencar nya mereka
setelah menamatkan sekolah dan memasuki kelompok lain yang lebih majemuk (kompleks).
2. Kelompok Majemuk. Kelompok majemuk menunjuk pada kenyataan masyarakat yang
lebih beraneka ragam. Dengan kata lain, masyarakat majemuk memiliki kelompok-kelompok
dengan budaya dan ukuran moral yang berbeda-beda. Dalam keadaan seperti ini, hendaknya
seseorang berusaha dengan keras mempertahankan haknya untuk menentukan sendiri hal
yang dianggapnya baik dan bermanfaat bagi diri dan kepribadiannya sehingga tidak hanyut
dalam arus perbedaan dalam kelompok majemuk tempatnya berada. Artinya, dari pengalaman
ini seseorang harus mau dan mampu untuk memilah-milahkannya.
d. Faktor Pengalaman Unik
Pengalaman unik akan memengaruhi kepribadian seseorang. Kepribadian itu berbedabeda antara satu dan lainnya karena pengalaman yang dialami seseorang itu unik dan tidak
seorang pun mengalami serangkaian pengalaman yang persis sama. Sekalipun dalam
lingkungan keluarga yang sama, tetapi tidak ada individu yang memiliki kepribadian yang
sama, karena meskipun berada dalam satu, setiap individu keluarga tidak mendapatkan
pengalaman yang sama. Begitu juga dengan pengalaman yang dialami oleh orang yang lahir
kembar, tidak akan sama.
Sebagai mana menurut Paul B. Horton, kepribadian tidak dibangun dengan menyusun
peristiwa di atas peristiwa lainnya. Arti dan pengaruh suatu pengalaman bergantung pada
pengalaman-pengalaman yang mendahuluinya.
Peran Nilai-nilai dalam Pembentukan Karakter atau Kepribadiana.
a. Nilai Etika atau Moral.
Mungkin tidak semua dari kita sadar bahwa lingkungan kita semakin tidak nyaman, baik
secara lahiriyah apalagi secara batiniyah karena berbagai kerusakan muncul dan terus
bertambah seiring dengan perjalanan waktu kerusakan moral missal.Kita akrab dengan berita
kekerasan di berbagai institusi mulai dari institusi non-formal seperti keluarga sampai pada
institusi formal seperti institusi pendidikan.Korupsi dan tindakan koruptif juga mengatakan
dan mendarah daging baik di institusi pemerintah maupun swasta.Pergaulan bebas menjadi
kebanggan, seks menjadi kebiasaan, aborsi menjadi hal yang normal, tindakan asusila
menjadi susila dan perisakan lingkungan menjadi lumrah. Pendidikan itu memainkan peranan
yang sangat penting dalam perkembangan hidup sosial masyarakat. Tujuan pertama-tama
pendidikan adalah memperkuat pikiran dan memperkembang kebajikan-kebajikan utama,
yakni kebajikan, kebenaran, penghormatan terhadap ritus dan kebijaksanaan. Seperti
dikatakan bahwa manusia pada dasarnya baik, namun kebaikan itu perlu diolah agar menjadi
orang baik, bisa menjadi guru dan suci. Sebaliknya, orang yang tidak mengolahnya akan

tidak lain seperti seekor binatang. Pengolahan kebajikan asli itu dapat diperkuat dengan
pengetahuan yang diperoleh lewat pendidikan. Dengan kata lain, belajar merupakan usaha
untuk mengembalikan kebajikan manusia yang telah hilang. Pendidikan juga dapat
melestarikan dan mengembangkan serta mengembalikan kecenderungan kodrat dasariah
manusia. Untuk itu dia menawarkan usaha perbaikan diri yang dilakukan ke dalam diri
sendiri sebagai bentuk pengujian diri dari kecenderungan yang terpengaruh oleh hal-hal
eksternal. Maka pengaruh lingkungan tempat kita berada sangat mempengaruhi kita dalam
belajar membentuk karakter moral kita.
b. Nilai Estetik Pendidikan seni sebagai induk dari kemampuan estetika memiliki peran yang
beragam dalam pembentukan kepribadian. Peran pendidikan seni bersifatmultidimensional,
multilingual, dan multikultural. Dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan informasi diperlukan pengembangan kemampuan dalamberbahasa visual, rupa,
bunyi dan gerak. Berbagai kemampuan berbahasa ini dapatdikembangkan melalui pendidikan
seni yang bersifat multilingual.Melalui pendidikan seni berbagai kemampuan dasar manusia
seperti fisik,perseptual, pikir, emosional, kreativitas, sosial, dan estetika dapat dikembangkan.
Pendidikan seni juga mengembangkan imajinasi untuk memperoleh berbagaikemungkinan
gagasan dalam pemecahan masalah serta menemukan pengetahuan danteknologi baru secara
aktif dan menyenangkan. Bila berbagai kemampuan dasar tersebut dapat berkembang secara
optimal akan menghasilkan tingkat kecerdasan emosional,intelektual, kreatif, moral dan
edversity tinggi.
c. Nilai Agama Terjadinya penyimpangan-penyimpangan moral pada masa sekarang ini
berakar dari tidak ditanamkannya nilai-nilai agama yang implikasi pada lemahnya
kepribadian dan karakter setiap individu maupun kelompok.Dari hal tersebut, sesungguhnya
disinilah agama memiliki peran yang sangat urgent terlebih dalam hal pembentukan
kepribadian.
Peranagama:

Sumber pedoman hidup individu maupun kelompok.

Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.

Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah.

Dalam proses pembentukan kepribadian seseorang. Agama memiliki peran yang sangat
penting, melalui pengenalan akan agama seseorang mampu mengenal aturan dalam
bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama yang dianut, agama berperan dalam melarang
setiap pribadi dari tindakan-tindakan negatif dan megiring pribadi tersebut kea rah yang lebih
baik.
d. Nilai Sosial Dalam Masyarakat, umumnya ada nilai-nilai yang dianut bersama oleh warga
masyarakat. Nilai-nilai bersama itu sering disebut sebagai nilai sosial.Misalnya, ada nilai
social dalam proses sosialisasi karena sosialisasi merupakan salah satu proses dalam
pembentukan kepribadian.
Peran Nilai dalam proses sosialisasi.

Nilai merupakan seperangkat kebiasaan atau aturan yang diakui kebenarannya oleh semua
anggota masyarakat dalam rangka berikut :

Menciptakan kehidupan masyarakat yang teratur.

Dan juga mengikat individu sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang bulat dan
utuh.

Kepribadian dalam sosialisasi, seorang yang tidak mengalami sosialisasi tidak akan dapat
berinteraksi dengan orang lain secara normal. Tanpa sosialisasi, seseorang akan menjadi
terasing, tidak dapat bergaul dengan orang lain, dan tidak akan berkembang secara normal.
Dengan demikian, orang itu akan memiliki kepribadian yang buruk.

Anda mungkin juga menyukai