Anda di halaman 1dari 23

BAB I

LAPORAN KASUS
I.

Identitas Pasien
a. Nama/Kelamin/Umur
b. Pekerjaan/Pendidikan
c. Alamat

: Ny. S/Perempuan/ 38 tahun


: IRT/SMA
: RT 18 Pakuan Baru

II. Latar belakang sosial ekonomi-demografi-lingkungan keluarga


a. Jumlah anak
: 3 orang
b. Status ekonomi keluarga
: Cukup
c. Kondisi Rumah
Pasien tinggal di rumah permanen
Memiliki 3 kamar tidur dengan 1 jendela dan ventilasi pada tiap kamar
Memiliki ruang tamu dengan 4 jendela dan ventilasi
Memiliki 1 kamar mandi yang terpisah dengan WC
Menggunakan jamban leher angsa
Sumber air minum : PDAM
Sumber listrik : PLN
Sampah dibuang ke tempat sampah dan dibakar
Lantai menggunakan keramik dirumah memakai karpet (+), sofa (+)
e. Kondisi lingkungan keluarga : Baik
III. Aspek Psikologis Di Keluarga
Pasien tinggal bersama suami dan ketiga orang anaknya.
Hubungan pasien suami dan anak-anaknya cukup harmonis
Tidak ada masalah psikologis di dalam keluarga

IV. Anamnesis
Keluhan Utama: bersin-bersin pagi hari sejak 2 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang : autoanamnesis
Pasien datang ke puskesmas dengan keluhan bersin-bersin setiap pagi
hari sejak 2 hari yang lalu. Pasien mengatakan bersin-bersin muncul setelah

cuaca hujan beberapa hari ini. bersin lebih dari 5 kali, pilek (+), sekret ada
encer, jernih, dan tidak berbau, disertai gatal-gatal dan tersumbat pada
hidung, serta mata berair. Pasien mengatakan sudah sering mengalami bersinbersin seperti ini terutama jika cuaca dingin dan jika menghirup debu.
Pasien juga mengeluh nyeri kepala sejak keluhan bersin-bersin dan
pilek dirasakan, nyeri terasa diseluruh kepala, nyeri pada wajah disangkal,
nyeri dibelakang mata disangkal, nyeri telinga disangkal, terasa ada cairan
mengalir dibelakang hidung disangkal, penggunaan obat semprot hidung
disangkal.
V. Riwayat Penyakit Dahulu/Keluarga
Pasien telah menderita penyakit seperti ini sejak 1 tahun yang lalu.
Riwayat alergi debu dan udara dingin ada
Riwayat alergi makanan disangkal
Riwayat sesak nafas disangkal
Riwayat mata merah/gatal kena debu atau udara dingin disangkal
Riwayat anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini ada (ayah
pasien sering bersin-bersin juga pada pagi hari).
VI. Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran
: composmentis
Nadi
: 84 kali/menit
Nafas
: 20 kali/menit
Tekanan darah : 120/70mmHg
Suhu
: 37C
Berat Badan
: 65 kg
Tinggi Badan
: 165 cm
Pemeriksaan Organ
Kepala
: Normocephal
Mata

Exopthalmus/enophtal: (-)
Kelopak

: normal

Conjungtiva

: anemis (-/-)

Sklera

: ikterik (-/-)

Pupil

: bulat, isokor, reflex cahaya +/+


2

Leher
Thorak
Jantung
Paru

: Pembesaran KGB tidak ada

Abdomen

: datar, BU (+) N, nyeri tekan (-)

Ekstremitas

: akral hangat (+), udem (-/-)

: Bunyi jantung reguler, bising tidak ada


: Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Status Lokalis THT


Telinga
Pemeriksaan

Kelainan
Kel kongenital
Trauma
Daun telinga
Radang
Kel. Metabolik
Nyeri tarik
Daun telinga
Nyeri tekan tragus
Diding
liang Cukup lapang (N)
Sempit
telinga
Hiperemi
Edema
Massa
Ada / Tidak
Bau
Sekret/serumen
Warna
Jumlah
Jenis
Membran timpani
Warna
Reflek cahaya
Bulging
Utuh
Retraksi
Atrofi
Jumlah perforasi
Jenis
Perforasi
Kwadran
Pinggir
Tanda radang
Fistel
Sikatrik
Mastoid
Nyeri tekan
Nyeri ketok
Rinne
Schwabach

Dekstra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang (N)

Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang(N)

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Putih mengkilat
(+) arah jam 5
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Putih mengkilat
(+) arah jam 7
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Tes garpu tala

Weber

Tidak dilakukan

Hidung
Pemeriksaan

Hidung luar
Vestibulum

Cavum nasi
Sekret
Konka inferior
Konka media

Kelainan
Deformitas
Kelainan kongenital
Trauma
Radang
Massa
Vibrise
Radang
Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Lokasi
Jenis
Jumlah
Bau
Ukuran
Warna
Permukaan
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema

Massa

Septum

Cukup lupus/deviasi
Permukaan
Warna
Spina
Krista
Abses
Perforasi

Dektra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Cukup lapang (N)
Tidak ada
Tidak ada

Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Cukup lapang(N)
Tidak ada
Tidak ada

Serosa
Sedikit
Tidak ada
Hipertrofi
Livide
Licin
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Tidak ada
Cukup lurus
Licin
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Serosa
Sedikit
Tidak ada
Eutrofi
Merah muda
Licin
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Tidak ada
Cukup lurus
Licin
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Sinus paranasal
Pemeriksaan
Nyeri tekan
Nyeri ketok

Dekstra
Tidak ada
Tidak ada

Sinistra
Tidak ada
Tidak ada

Orofaring dan mulut


Pemeriksaan

Kelainan
Simetris/tidak
Palatum mole + Warna
Edem
Arkus Faring
Bercak/eksudat
Dinding faring
Warna
Permukaan
Tonsil
Ukuran
Warna
Permukaan
Eksudat
Perlengketan
dengan pilar
Lokasi
Bentuk
Ukuran
Tumor
Permukaan
Konsistensi
Gigi
Karies/Radiks
Kesan
Warna
Bentuk
Lidah
Deviasi
Massa

Dekstra
Simetris
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Licin
T1
Merah muda
Rata
Tidak ada

Sinistra
Simetris
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Licin
T1
Merah muda
Rata
Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada

Merah muda
Normal
Tidak ada
Tidak ada

Merah muda
Normal
Tidak ada
Tidak ada

VII. Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan
VIII. Diagnosa kerja
Rhinitis alergi (J30.89)
IX.

Diagnosa Banding
- Rhinitis vasomotor (J30.0)
- Rhinitis infeksi (J30.2)
- Influenza Virus (J11.1)

X.

Manajemen
a. Preventif

Hindari faktor pencetus seperti debu, udara dingin, kasur kapuk, karpet,
asap rokok, dan makanan.
Menggunakan masker saat berpergian jauh dengan motor dan menyapu.
Mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut setiap minggu.
Bersihkan debu dengan menyedot dan lap basah minimal 2-3 kali
seminggu, jangan menggunakan sapu yang dapat menyebarkan debu.
Mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang dan olahraga secara
teratur.
b. Promotif
Menjelaskan

penyakit

kepada

pasien,

kemungkinan

keturunan

menderita penyakit seperti ini atau penyakit alergi lainnya (asma,


konjungtivitis alergi, dermatitis alergi, urtikaria) dan komplikasi
penyakitnya.
c. Kuratif
Non Farmakologi
Istirahat yang cukup
Mengatur pola makan yang sehat dan bergizi serta menambah buahbuahan dalam menu makanan
Menggunakan masker atau penutup hidung saat berpergian jauh dan
menyapu
Farmakologi
Dexametason 0,5 mg 3x1 tab
CTM 4 mg 3x1 tab
Paracetamol 500 mg 3x1 tab
Efedrin HCL 3x1 tab
Vitamin B.comp 3x1 tab
Tradisional
Pengobatan alergi secara tradisional dapat menggunakan herbal yang
mempunyai khasiat antihistamin dan meningkatkan kekebalan tubuh.
Salah satu cara pengobatan tradisional itu adalah dengan menggunakan
cuka beras hitam (rice vinegar), jahe, dan gula merah. Bahan yang
diperlukan adalah 100 cc cuka beras hitam, 30 gram jahe yang telah

ditumbuk, dan gula merah (secukupnya). Rebus semua bahan dengan 300
cc air hingga mendidih, lalu minum 2 kali sehari.
d. Rehabilitatif
Pasien disarankan untuk kontrol ulang ke puskesmas

RESEP
Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas III Pakuan Baru
Dokter
: Anggia Rohdila Sari
SIP
: GIA 214027
STR
: 19922608201602
Tanggal: Februari 2016
R/ Dexametason tab mg 0,5
3 dd 1 tab

No. X

R/ CTM tab 4mg


3 dd 1 tab

No. X

R/ Parasetamol tab mg 500


3 dd 1 tab

No. X

R/ Efedrin HCl tab


3 dd 1 tab

No.X

R/ Vit B comp tab


3 dd 1 tab

No. VI

Pro
Umur

: Ny. S
: 38 tahun

Dinas Kesehatan Kota Jambi


Puskesmas III Pakuan Baru
Dokter
: Anggia Rohdila Sari
SIP
: GIA 214027
STR
: 19922608201602

Dinas Kesehatan Kota Jambi


Puskesmas III Pakuan Baru
Dokter
: Anggia Rohdila Sari
SIP
: GIA 214027
STR
: 19922608201602

Tanggal: Februari 2016

Tanggal: Februari 2016

R/ Cetirizin tab
1 dd 1 tab

No. X

R/ Dexametason tab mg 0,5


3 dd 1 tab

No. X

R/ Parasetamol tab mg 500


3 dd 1 tab

No. X

R/ Loratadin tab
1 dd 1 tab

No. X

R/ Efedrin HCl tab


3 dd 1 tab

No.X

R/ Parasetamol tab mg 500


3 dd 1 tab

No. X

R/ Vit B comp tab


3 dd 1 tab

No. VI

R/ Efedrin HCl tab


3 dd 1 tab

No.X

R/ Vit B comp tab


3 dd 1 tab

No. VI

Pro
Umur

: Ny. S
: 38 tahun

Pro
Umur

: Ny. S
: 38 tahun

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut.1
Rhinitis alergi menurut WHO (2001) adalah kelainan pada hidung setelah
mukosa hidung terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal pada hidung dan hidung tersumbat.1
2.2. Klasifikasi
Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu: 1,2
1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari
(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis
atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada
hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu
terdapat konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua
golongan umur dan biasanya mulai timbulnya pada anak-anak dan dewasa
muda. Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke tahun,
tergantung pada banyaknya alergen di udara. Faktor herediter pada penyakit ini
sangat berperan.
2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa
variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang
dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam
10

rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan dalam
rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet, dapur,
tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa. Komponen alergennya terutama
berasal dari serpihan kulit dan feses tungau D. Pteronyssinus, D. farinae dan
Blomia tropicalis, kecoa dan bulu binatang peliharaan (anijng, kucing, burung).
Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering
merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi
yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada
golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi
karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi: 1
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 munggu.
2. Persisten/menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi: 1
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
2.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, rhinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak
dan menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rhinitis
alergi juga merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli
kesehatan profesional setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rhinitis alergi
mencapai 20%.1,2
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC,
2006), Indonesia bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia dan
Yunani memiliki prevalensi rhinitis alergi yang rendah yaitu kurang dari 5%.

11

Begitu juga dengan prevalensi asma bronkial juga kurang dari 5%. Prevalensi
rhinitis tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay (30-35%) dan Hongkong
(25-30%).1,2
2.4 Patofisiologi
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.1
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2
akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.1
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E
(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2

12

(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin. Platelet


Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).1
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi.1

13

Gambar 2.1 Reaksi Alergi


2.5 Gambaran Histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.1
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terusmenerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan
yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa,
sehingga tampak mukosa hidung menebal.1
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: 1
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta
jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

14

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran.1
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis
besar terdiri dari: 1
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
2.6 Diagnosis
Diagnosis rhinitis alergi: 1,2
1. Anamnesis
Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi
hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan
mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning
process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap
serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada
RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Rhinitis alergi sering disertai oleh gejala
konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama

15

pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan


utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan
gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga
tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan.
Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama
kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian
sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease. Mulut sering terbuka
dengan lengjung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan
gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring
tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral
faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue)..
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari
satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga menderita asma
bronkial

atau

urtikaria.

Pemeriksaan

ini

berguna

untuk

prediksi

kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan.

16

Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika


ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin Endpoint Titration/SET). SET dilakukan untuk elergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi
serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima
hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan
pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.
Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu
makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu
jenis makanan.
2.7 Diagnosis banding
Rhinitis non alergi, rhinitis infeksi, dan common cold

2.8 Penatalaksanaan
Terapi yang dapat dilakukan pada rhinitis alergi antara lain: 1,2
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

17

Antihistamin dibagi dalam dua golongan yaitu antihistamin generasi 1


(klasik) dan antihistamin generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi
pertama bersifat lipofilik sehingga dapat melewati sawar darah otak, dan tidak
hanya berikatan dengan reseptor histamin H1 saja tetapi juga dengan reseptor
dopaminergik, serotinergik dan kolinergik. Hal ini menyebabkan adanya efek
samping dari obat ini, yaitu efek terhadap SSP (seperti sedasi, lelah, pusing,
turunnya penampilan), serta efek kolinergik seperti mulut dan mata kering,
glaukoma, atau retensi urin. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah
difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin serta azelastin yang
dapat diberikan secara topikal.
Antihistamin generasi kedua berukuran lebih besar dan lebih bersifat
lipofobik daripada generasi pertama, sehingga tidak melewati sawar darah
otak. Generasi kedua ini berikatan secara spesifik dengan reseptor histamin H1
dan memiliki afinitas yang kecil terhadap reseptor lain. Sehingga generasi
kedua ini memiliki efek samping sedasi yang lebih sedikit atau tidak ada, tidak
mengganggu penampilan dan tidak memiliki efek antikolinergik. Yang
termasuk kelompok ini yaitu loratadin, astemisol, azelastin, terfinadin dan
cetirisin.
Sejumlah preparat agonis adrenergik dipakai sebagai dekongestan oral,
seperti pseudoefedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin. Obat ini secara primer
dapat mengurangi sumbatan hidung dan sedikit mengatasi rinore, tetapi tidak
memiliki efek dalam mengurangi bersin, gatal ataupun gejala okular. Efek
samping yang ditimbulkan berupa efek SSP seperti insomnia, cemas,
iritabilitas, sakit kepala, atau berupa efek kardiovaskuler seperti palpitasi,
takikardi. Golongan obat ini juga dapat meningkatkan tekanan darah, tekanan
intraokuler dan menyebabkan obstruksi saluran kemih. Hal ini menjadikan
pemberiannya harus hati-hati pada pasien usia lanjut dan tidak diberikan pada
pasien dengan penyakit jantung iskemik, glaukoma dan obstruksi kemih.
Dekongestan topikal seperti oxymetazolin, fenilefrin, xlometazolin, nafazolin,
dapat mengurangi gejala hidung tersumbat. Namun penggunaannya harus
dibatasi 3-5 hari untuk menghindari terjadinya rebound nasal congestion

18

(rhinitis medikamentosa). Pemberian dekongestan topikal pada rhinitis alergi


berat selama beberapa hari pertama dapat membantu kemajuan terapi.
Preparat kortikosteroid topikal memiliki efek melalui mekanisme
multipel, yaitu vasokontriksi dan mengurangi edema, menekan produksi sitokin
dan menghambat influks sel radang. Preparat ini merupakan terapi yang paling
efektif pada rhinitis alergi terutama derajat berat. Yang termasuk pada golongan
kortikosteroid topikal ini yaitu budesonid, beklometason, flunisolid, flutikason,
mometaso furoat dan triamnicolon asetonid. Tidak didapatkan efek samping
sistemik yang signifikan pada dewasa, tetapi pada anak dilaporkan terdapat
hambatan pertumbuhan pada pemakaian beclomethasone intranasal. Efek
samping lokal yang timbul berupa kering dan iritasi pada mukosa hidung serta
epistaksis ringan. Dalam pemakaiannya, harus diberitahukan kepada pasien
agar dalam menyemprotkan obat tidak mengarah ke septum karena dapat
terjadi erosi mukosa yang akhirnya menimbulkan perforasi septum.
Kortikosteroid oral digunakan pada kasus tertentu dengan gejala hidung
yangsangat berat. Contoh obat yang digunakan yaitu prednison atau
metiprednisolon.
Preparat antikolinergik topical ialah ipratropium bromida, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktivitas inhibitor reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor.
Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast / montelukast), anti IgE dan DNA rekombinan.1
3. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.1
3.9 Komplikasi
Komplikasi rhinitis alergi yang paling sering adalah: 1
1. Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
19

3. Sinusitis paranasal.
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rhinitis
alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drenase.

BAB III
ANALISA KASUS
Hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar:
Pasien tinggal di rumah permanen, memiliki 3 kamar tidur, ruang tamu
memiliki 4 jendela dan ventilasi, memiliki 1 kamar mandi yang terletak di luar
rumah, menggunakan jamban leher angsa, sumber air minum dari PDAM,
sumber listrik dari PLN, sampah

dibuang ke tempat sampah. Dirumah

memakai karpet (+), sofa (+).


Penyakit yang diderita pasien memiliki hubungan dengan keadaan rumah
pasien.
Hubungan diagnosa dengan keluarga dan hubungan keluarga:

20

Pasien merupakan ibu rumah tangga dengan tiga orang anak dan seorang
suami. Pasien tinggal dengan suami dan ketiga anaknya tersebut. Hubungan
mereka cukup harmonis.
Tidak ada hubungan antara keadaan keluarga dengan penyakit yang diderita
pasien.
Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan lingkungan
sekitar:
Pasien memiliki riwayat alergi debu dan cuaca dingin sehingga bila saat
menyapu tidak menggunakan penutup hidung dan saat cuaca dingin bila hujan,
maka pasien akan bersin-bersin. Selain itu ayah pasien sering bersin-bersin
pada pagi hari.
Penyakit yang diderita pasien memiliki hubungan dengan perilaku kesehatan
dalam keluarga dan lingkungan sekitar.

Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakit pada pasien
ini:

Dirmah terdapat karpet di ruang tamu yang jarang dibersihkan. Hal ini
menyebabkan debu akan menempel. Debu ini mengandung partikel-partikel
yang bisa merangsang alergi. Salah satu cara untuk mencegah alergi kambuh
yaitu dengan membersihkan barang-barang tersebut.
Analisis untuk mengurangi paparan:

Mengindari faktor pencetus seperti debu, udara dingin, karpet, asap rokok, dan
makanan.

Menggunakan masker saat berpergian jauh dengan motor dan menyapu.


Mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut setiap minggu.
Bersihkan debu dengan menyedot dan lap basah minimal 2-3 kali seminggu,
jangan menggunakan sapu yang dapat menyebarkan debu.

21

Mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang dan olahraga secara teratur.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rhinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta:
FKUI, 2007.
2. Hilger, Peter, A., penyakit hidung BOEIS Buku Ajar Penyakit THT (BOEIS
Fundamentals of Otolaryngology), Edisi 6,Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 1997.

23

Anda mungkin juga menyukai