LAPORAN KASUS
I.
Identitas Pasien
a. Nama/Kelamin/Umur
b. Pekerjaan/Pendidikan
c. Alamat
IV. Anamnesis
Keluhan Utama: bersin-bersin pagi hari sejak 2 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang : autoanamnesis
Pasien datang ke puskesmas dengan keluhan bersin-bersin setiap pagi
hari sejak 2 hari yang lalu. Pasien mengatakan bersin-bersin muncul setelah
cuaca hujan beberapa hari ini. bersin lebih dari 5 kali, pilek (+), sekret ada
encer, jernih, dan tidak berbau, disertai gatal-gatal dan tersumbat pada
hidung, serta mata berair. Pasien mengatakan sudah sering mengalami bersinbersin seperti ini terutama jika cuaca dingin dan jika menghirup debu.
Pasien juga mengeluh nyeri kepala sejak keluhan bersin-bersin dan
pilek dirasakan, nyeri terasa diseluruh kepala, nyeri pada wajah disangkal,
nyeri dibelakang mata disangkal, nyeri telinga disangkal, terasa ada cairan
mengalir dibelakang hidung disangkal, penggunaan obat semprot hidung
disangkal.
V. Riwayat Penyakit Dahulu/Keluarga
Pasien telah menderita penyakit seperti ini sejak 1 tahun yang lalu.
Riwayat alergi debu dan udara dingin ada
Riwayat alergi makanan disangkal
Riwayat sesak nafas disangkal
Riwayat mata merah/gatal kena debu atau udara dingin disangkal
Riwayat anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini ada (ayah
pasien sering bersin-bersin juga pada pagi hari).
VI. Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran
: composmentis
Nadi
: 84 kali/menit
Nafas
: 20 kali/menit
Tekanan darah : 120/70mmHg
Suhu
: 37C
Berat Badan
: 65 kg
Tinggi Badan
: 165 cm
Pemeriksaan Organ
Kepala
: Normocephal
Mata
Exopthalmus/enophtal: (-)
Kelopak
: normal
Conjungtiva
: anemis (-/-)
Sklera
: ikterik (-/-)
Pupil
Leher
Thorak
Jantung
Paru
Abdomen
Ekstremitas
Kelainan
Kel kongenital
Trauma
Daun telinga
Radang
Kel. Metabolik
Nyeri tarik
Daun telinga
Nyeri tekan tragus
Diding
liang Cukup lapang (N)
Sempit
telinga
Hiperemi
Edema
Massa
Ada / Tidak
Bau
Sekret/serumen
Warna
Jumlah
Jenis
Membran timpani
Warna
Reflek cahaya
Bulging
Utuh
Retraksi
Atrofi
Jumlah perforasi
Jenis
Perforasi
Kwadran
Pinggir
Tanda radang
Fistel
Sikatrik
Mastoid
Nyeri tekan
Nyeri ketok
Rinne
Schwabach
Dekstra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang (N)
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Cukup lapang(N)
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Putih mengkilat
(+) arah jam 5
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Putih mengkilat
(+) arah jam 7
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Weber
Tidak dilakukan
Hidung
Pemeriksaan
Hidung luar
Vestibulum
Cavum nasi
Sekret
Konka inferior
Konka media
Kelainan
Deformitas
Kelainan kongenital
Trauma
Radang
Massa
Vibrise
Radang
Cukup lapang (N)
Sempit
Lapang
Lokasi
Jenis
Jumlah
Bau
Ukuran
Warna
Permukaan
Ukuran
Warna
Permukaan
Edema
Massa
Septum
Cukup lupus/deviasi
Permukaan
Warna
Spina
Krista
Abses
Perforasi
Dektra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Cukup lapang (N)
Tidak ada
Tidak ada
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Cukup lapang(N)
Tidak ada
Tidak ada
Serosa
Sedikit
Tidak ada
Hipertrofi
Livide
Licin
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Tidak ada
Cukup lurus
Licin
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Serosa
Sedikit
Tidak ada
Eutrofi
Merah muda
Licin
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Tidak ada
Cukup lurus
Licin
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sinus paranasal
Pemeriksaan
Nyeri tekan
Nyeri ketok
Dekstra
Tidak ada
Tidak ada
Sinistra
Tidak ada
Tidak ada
Kelainan
Simetris/tidak
Palatum mole + Warna
Edem
Arkus Faring
Bercak/eksudat
Dinding faring
Warna
Permukaan
Tonsil
Ukuran
Warna
Permukaan
Eksudat
Perlengketan
dengan pilar
Lokasi
Bentuk
Ukuran
Tumor
Permukaan
Konsistensi
Gigi
Karies/Radiks
Kesan
Warna
Bentuk
Lidah
Deviasi
Massa
Dekstra
Simetris
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Licin
T1
Merah muda
Rata
Tidak ada
Sinistra
Simetris
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Licin
T1
Merah muda
Rata
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Merah muda
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Merah muda
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Diagnosa Banding
- Rhinitis vasomotor (J30.0)
- Rhinitis infeksi (J30.2)
- Influenza Virus (J11.1)
X.
Manajemen
a. Preventif
Hindari faktor pencetus seperti debu, udara dingin, kasur kapuk, karpet,
asap rokok, dan makanan.
Menggunakan masker saat berpergian jauh dengan motor dan menyapu.
Mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut setiap minggu.
Bersihkan debu dengan menyedot dan lap basah minimal 2-3 kali
seminggu, jangan menggunakan sapu yang dapat menyebarkan debu.
Mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang dan olahraga secara
teratur.
b. Promotif
Menjelaskan
penyakit
kepada
pasien,
kemungkinan
keturunan
ditumbuk, dan gula merah (secukupnya). Rebus semua bahan dengan 300
cc air hingga mendidih, lalu minum 2 kali sehari.
d. Rehabilitatif
Pasien disarankan untuk kontrol ulang ke puskesmas
RESEP
Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas III Pakuan Baru
Dokter
: Anggia Rohdila Sari
SIP
: GIA 214027
STR
: 19922608201602
Tanggal: Februari 2016
R/ Dexametason tab mg 0,5
3 dd 1 tab
No. X
No. X
No. X
No.X
No. VI
Pro
Umur
: Ny. S
: 38 tahun
R/ Cetirizin tab
1 dd 1 tab
No. X
No. X
No. X
R/ Loratadin tab
1 dd 1 tab
No. X
No.X
No. X
No. VI
No.X
No. VI
Pro
Umur
: Ny. S
: 38 tahun
Pro
Umur
: Ny. S
: 38 tahun
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut.1
Rhinitis alergi menurut WHO (2001) adalah kelainan pada hidung setelah
mukosa hidung terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal pada hidung dan hidung tersumbat.1
2.2. Klasifikasi
Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu: 1,2
1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari
(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis
atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada
hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu
terdapat konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua
golongan umur dan biasanya mulai timbulnya pada anak-anak dan dewasa
muda. Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke tahun,
tergantung pada banyaknya alergen di udara. Faktor herediter pada penyakit ini
sangat berperan.
2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa
variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang
dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam
10
rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan dalam
rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet, dapur,
tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa. Komponen alergennya terutama
berasal dari serpihan kulit dan feses tungau D. Pteronyssinus, D. farinae dan
Blomia tropicalis, kecoa dan bulu binatang peliharaan (anijng, kucing, burung).
Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering
merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi
yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada
golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi
karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi: 1
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 munggu.
2. Persisten/menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi: 1
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
2.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, rhinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak
dan menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rhinitis
alergi juga merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli
kesehatan profesional setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rhinitis alergi
mencapai 20%.1,2
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC,
2006), Indonesia bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia dan
Yunani memiliki prevalensi rhinitis alergi yang rendah yaitu kurang dari 5%.
11
Begitu juga dengan prevalensi asma bronkial juga kurang dari 5%. Prevalensi
rhinitis tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay (30-35%) dan Hongkong
(25-30%).1,2
2.4 Patofisiologi
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.1
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2
akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.1
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E
(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
12
13
14
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran.1
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis
besar terdiri dari: 1
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
2.6 Diagnosis
Diagnosis rhinitis alergi: 1,2
1. Anamnesis
Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi
hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan
mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning
process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap
serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada
RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Rhinitis alergi sering disertai oleh gejala
konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
15
atau
urtikaria.
Pemeriksaan
ini
berguna
untuk
prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan.
16
2.8 Penatalaksanaan
Terapi yang dapat dilakukan pada rhinitis alergi antara lain: 1,2
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
17
18
3. Sinusitis paranasal.
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rhinitis
alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drenase.
BAB III
ANALISA KASUS
Hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar:
Pasien tinggal di rumah permanen, memiliki 3 kamar tidur, ruang tamu
memiliki 4 jendela dan ventilasi, memiliki 1 kamar mandi yang terletak di luar
rumah, menggunakan jamban leher angsa, sumber air minum dari PDAM,
sumber listrik dari PLN, sampah
20
Pasien merupakan ibu rumah tangga dengan tiga orang anak dan seorang
suami. Pasien tinggal dengan suami dan ketiga anaknya tersebut. Hubungan
mereka cukup harmonis.
Tidak ada hubungan antara keadaan keluarga dengan penyakit yang diderita
pasien.
Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan lingkungan
sekitar:
Pasien memiliki riwayat alergi debu dan cuaca dingin sehingga bila saat
menyapu tidak menggunakan penutup hidung dan saat cuaca dingin bila hujan,
maka pasien akan bersin-bersin. Selain itu ayah pasien sering bersin-bersin
pada pagi hari.
Penyakit yang diderita pasien memiliki hubungan dengan perilaku kesehatan
dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakit pada pasien
ini:
Dirmah terdapat karpet di ruang tamu yang jarang dibersihkan. Hal ini
menyebabkan debu akan menempel. Debu ini mengandung partikel-partikel
yang bisa merangsang alergi. Salah satu cara untuk mencegah alergi kambuh
yaitu dengan membersihkan barang-barang tersebut.
Analisis untuk mengurangi paparan:
Mengindari faktor pencetus seperti debu, udara dingin, karpet, asap rokok, dan
makanan.
21
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rhinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta:
FKUI, 2007.
2. Hilger, Peter, A., penyakit hidung BOEIS Buku Ajar Penyakit THT (BOEIS
Fundamentals of Otolaryngology), Edisi 6,Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 1997.
23