Anda di halaman 1dari 11

PENGARUH SELF-TALKING AFFIRMATION POSITIF

TERHADAP PERILAKU BULLYING SISWA KELAS XII SMK


DI PURWOKERTO

NASKAH PUBLIKASI

Oleh
FARRA SILVIANA ABIDAH
G1D012058

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2016

PENGARUH SELF-TALKING AFFIRMATION POSITIF TERHADAP


PERILAKU BULLYING SISWA KELAS XII SMK DI PURWOKERTO
Farra Silviana Abidah1 , Keksi Girindra Swasti2 , Tulus Setiono3
1

Mahasiswa Jurusan Keperawatan FIKes Universitas Jenderal Soedirman


Dosen Jurusan Keperawatan FIKes Universitas Jenderal Soedirman
3
Praktisi Keperawatan Jiwa RSUD Banyumas
Email: farraabidah@gmail.com

ABSTRACT
Bullying is the most teenager problems appear in the school. Bullying behavior
cause physical and psychological harm even to death. So, there should be an
intervention to cut the acquaintance with it, one of the method is by using positive
self-talking affirmation. The purpose of this research is to determine how the
influence of positive self-talking affirmation toward students bullying behavior at
the XII grade of SMK in Purwokerto. This research used pre-experiment design
with pretest-posttest one group without control group design approach. The
samples of this research are chosen by total sampling technique with total 32
respondents. The data collection was carried out by questionnaire. The data is
analyzed by using the Wilcoxon test. Wilcoxon test result shows that the value
between before and after the treatment is p = 0.000 (p < 0.001) and Z coefficient
score is -4.860. There is a significant effect of positive self-talking affirmation
toward students bullying behavior at the XII grade of SMK in Purwokerto.
Keywords: affirmation, bullying, positive self-talking affirmation.
ABSTRAK
Bullying merupakan masalah yang terjadi hampir di seluruh sekolah, terutama
pada remaja. Perilaku bullying dapat menyebabkan berbagai dampak khususnya
bagi korban, baik secara fisik maupun psikis bahkan hingga kematian. Oleh
karena itu, perlu adanya intervensi untuk memutus mata rantai tersebut, salah
satunya adalah dengan metode self-talking affirmation positif. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh self-talking affirmation positif terhadap
perilaku bullying siswa kelas XII SMK di Purwokerto. Penelitian ini
menggunakan desain penelitian pra eksperimen dengan pendekatan one group
pretest-posttest without control group design. Sampel dipilih dengan teknik total
sampling sebanyak 32 responden. Pengumpulan data dilakukan dengan kuisioner
perilaku bullying. Data dianalisis menggunakan uji Wilcoxon. Hasil uji Wilcoxon
antara sebelum dan sesudah perlakuan didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,001) dan
nilai koefisien Z sebesar -4,860. Ada pengaruh yang bermakna self-talking
affirmation positif terhadap perilaku bullying siswa kelas XII SMK di
Purwokerto.
Kata Kunci: afirmasi, bullying, self-talking affirmation positif.

PENDAHULUAN
Sebanyak 10-60% siswa di Indonesia
melaporkan
mendapat
ejekan,
cemoohan, pengucilan, pemukulan,
tendangan,
ataupun
dorongan
sedikitnya satu kali dalam seminggu
(Amalia, 2010). Hasil penelitian
tahun 2008 oleh Yayasan Semai Jiwa
Amini di tiga kota besar yaitu
Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta
mencatat terjadinya tingkat kekerasan
sebesar 43,7% untuk tingkat SMA.
Sedangkan
hasil
penelitian
Muhammad
(2009)
menemukan
bullying terjadi pada siswa SMK di
Kabupaten
Banyumas,
meskipun
intensitasnya tidak tinggi. Salah satu
contohnya yaitu kasus yang terjadi
pada siswa SMK X di Purwokerto
berupa tawuran antar pelajar SMK
dan
perkelahian
antar
siswa,
meskipun
tidak
sampai
mengorbankan
nyawa
(Wardani,
2014)
Quiroz et al. (dalam Astuti,
2008)
mengemukakan
sedikitnya
terdapat tiga faktor yang dapat
menyebabkan
perilaku
bullying,
antara lain hubungan anak dengan
keluarga, tradisi senioritas di sekolah,
dan pengaruh media. Sedangkan hasil
penelitian yang dilakukan Wardani
(2014), diketahui bahwa penyebab
bullying di SMK X yaitu adanya
ketidaksamaan persepsi antara siswa
yang satu dengan yang lain, adanya
dendam turun temurun yang tidak
terselesaikan,
dan
ketidaksukaan
terhadap
siswa
yang
dianggap
sombong dan tidak hormat.
Pengalaman yang terjadi pada
diri siswa dapat membentuk persepsi
siswa untuk melakukan bullying.
Pelaku yang melakukan bullying
karena balas dendam akibat pernah
menjadi korban biasanya mempunyai

keinginan kuat untuk menampilkan


perilaku tersebut atau yang biasa
disebut dengan intensi. Semakin
besar
intensi
seseorang
untuk
melakukan bullying, maka semakin
besar
pula
seseorang
untuk
menampilkan perilaku bullying.
Hasil wawancara menunjukkan
bahwa sebelum melakukan bullying,
persepsi-persepsi
negatif
yang
muncul di dalam pikiran siswa antara
lain bullying merupakan hal yang
wajar pada siswa sekolah dan
bullying
dapat
meningkatkan
keakraban.
Selain itu,
bullying
dilakukan agar rasa kesal pelaku
terlampiaskan pada korban yang
dianggap sombong dengan maksud
untuk melihat reaksi malu dan marah
dari korbannya, sehingga siswa
memiliki dorongan yang kuat untuk
melakukan bullying berulang kali
hingga menjadi kebiasaan.
Perasaan dan pikiran-pikiran
negatif di atas dapat dilawan dengan
cara berpikir yang rasional dan logis,
yang dapat diterima menurut akal
sehat
serta
menggunakan
cara
verbalisasi yang rasional (Sugiharto,
2008). Teknik ini dapat membantu
mengubah cara berpikir menjadi
logis, sehingga siswa diharapkan
mampu
bertingkah
laku
sesuai
dengan norma-norma yang berlaku
dan siklus bullying di sekolah dapat
terhenti. Oleh karena itu, peneliti
tertarik
melakukan
penelitian
mengenai
pengaruh
self-talking
affirmation positif terhadap perilaku
bullying pada siswa kelas XII SMK di
Purwokerto.
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
merupakan
jenis
penelitian
kuantitatif
dengan
rancangan penelitian pra eksperimen

dan menggunakan desain penelitian


one group pretest and posttest design.
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa/siswi kelas XII SMK di
Purwokerto yang telah mengikuti
skrining yaitu sejumlah 286 orang.
Sedangkan sampel yang diperoleh
sebesar 32 orang yang diambil
menggunakan teknik total sampling.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini
yaitu: 1) siswa/siswi yang duduk di
kelas XII dan mempunyai perilaku
bullying
sedang
hingga
berat,
dikofirmasi melalui hasil skrining
perilaku bullying, 2) bersedia menjadi
responden, dikonfirmasi melalui bukti
tanda
tangan
surat
persetujuan
Sedangkan kriteria eksklusinya yaitu
siswa/siswi yang duduk di kelas XII
dan mempunyai perilaku bullying
tetapi
tidak
aktif
bersekolah,
dikonfirmasi melalui daftar kehadiran
di kelas.
Kuesioner dalam penelitian ini
terdiri dari kuesioner karakteristik
responden (jenis kelamin, jurusan,
tipe keluarga, tingkat pendidikan
orang tua, dan pekerjaan orang tua)
dan kuesioner perilaku bullying yang
diadaptasi
dari
Afifah
(2012).
Kuesioner tersebut terdiri dari 50
item pertanyaan menggunakan skala
Likert dengan kemungkinan rentang
skor 50-200. Pengambilan data
dilakukan oleh peneliti selama kurang
lebih 18 hari pada tanggal 11 hingga
30
Januari
2016,
dengan
menggunakan metode intervensi selftalking affirmation positif sebanyak 4
kali pertemuan.
Analisis data penelitian ini
berupa
analisis
univariat
untuk
mendeskripsikan
karakteristik
responden dan analisis bivariat untuk
mengetahui
pengaruh
self-talking
affirmation positif dan perilaku

bullying.
Uji
normalitas
data
menggunakan
Shapiro
wilk
menghasilkan data tidak terdistribusi
normal. Oleh karena itu, peneliti
menggunakan median sebagai ukuran
pemusatan dan minimum-maksimum
sebagai penyebaran. Uji komparasi
menggunakan uji non parametrik
Wilcoxon.
HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Responden
Tabel 1. Karakteristik responden
(n=32)
Karakteristik
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Jurusan
Mesin
Bangunan
Multimedia
Otomotif
Tipe keluarga
The nuclear family
The extended family
The single-parent family
The stepparent family
Pendidikan orang tua
SD
SMP
SMA/SMK
Perguruan Tinggi
Pekerjaan orang tua
Non PNS

31
1

96,9
3,1

19
4
4
5

59,4
12,5
12,5
15,6

27
2
2
1

84,4
6,3
6,3
3,1

14
6
11
1

43,8
18,8
34,4
3,1

32

100

Berdasarkan tabel 1 dapat


diketahui bahwa 31
responden
berjenis kelamin laki-laki (96,9%)
dan 1 responden berjenis kelamin
perempuan
(3,1%).
Mayoritas
peminatan jurusan dari responden
yaitu jurusan mesin 19 orang
(59,4%). Mayoritas responden tinggal
dengan keluarga inti, yaitu sebanyak
27 orang (84,4%). Pendidikan orang
tua dari responden yang terbanyak
yaitu SD 14 orang (43,8%) dan yang
paling sedikit yaitu perguruan tinggi
1 orang (3,1%). Semua pekerjaan

orang tua responden yaitu non PNS


(100%).
B. Gambaran
Skor
Perilaku
Bullying
Tabel 2. Gambaran skor perilaku
bullying pre-test dan post-test (n=32)
Perilaku
Pre-test
Post-test

Median
111,50
84,00

Min-Max
101-154
62-137

Berdasarkan tabel 2 dapat


diketahui skor perilaku bullying
sebelum sebelum diberi self-talkingaffirmation
positif nilai median
111,50, nilai minimum 101 dan nilai
maksimum 154. Sedangkan setelah
diberi self-talking-affirmation positif,
nilai median 84,00, nilai minimum 62
dan nilai maksimum 137.
C. Pengaruh
Self-talking
Affirmation Positif terhadap
Perilaku Bullying
Tabel 3. Hasil analisis pengaruh selftalking affirmation positif terhadap
perilaku bullying (n=32)
Variabel
Perilaku pretest
Perilaku
post-test

Mean
Z
rank

16,00
-4,860

0,000

0,00

Tabel 3 menunjukkan bahwa


terdapat perbedaan skor perilaku
bullying yang bermakna antara
sebelum dan sesudah intervensi (Z = 4,860, p = 0,000).
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden
Berdasarkan
hasil
analisis
karakteristik
responden
diketahui
bahwa 31 orang (96,9%) responden
berjenis kelamin laki-laki, sedangkan
1 orang (3,1%) responden berjenis
kelamin
perempuan.
Tempat
penelitian merupakan sebuah sekolah
kejuruan yang terdiri dari jurusan

mesin,
bangunan,
multimedia,
otomotif,
dan
listrik
sehingga
sebagian besar respondennya berjenis
kelamin laki-laki.
Peneliti
mengetahui
bahwa
sebagian besar responden masuk ke
dalam jurusan mesin, yaitu 19 orang
(59,4). Hal ini dikarenakan jurusan
mesin
merupakan jurusan yang
banyak diminati oleh anak laki-laki
dibandingkan
anak
perempuan
(Isnaeni, 2015). Selain itu, SMK
tersebut merupakan sekolah kejuruan
yang memiliki 6 kelas jurusan mesin.
Kelas mesin dalam SMK tersebut
termasuk jumlah kelas terbanyak.
Pemaparan data pada tabel 1

menunjukkan
bahwa
mayoritas
responden diketahui tinggal dengan
keluarga inti, yaitu sebanyak 27 orang
(84,4%). Menurut Cahyo (dikutip
dalam Isnaeni, 2015) tipe keluarga
yang banyak di masyarakat yaitu
nuclear family atau keluarga inti.
Responden sebagian besar tinggal
dengan keluarganya karena jarak
rumah dengan sekolah tidak terlalu
jauh
atau
masih
di
sekitar
Purwokerto.
Sebagian
besar
tingkat
pendidikan orang tua responden
adalah SD yaitu sebanyak 14 orang
(43,8%).
Rendahnya
tingkat
pendidikan orang tua disebabkan
karena
ketidakmampuan
dalam
membayar
biaya
sekolah
dan
terbatasnya sarana pendidikan di
lingkungan tersebut. Rendahnya tingkat
pendidikan juga sejalan dengan tingkat
pekerjaan
dan
penghasilan
yang
diperoleh.
Penelitian ini menunjukkan bahwa
semua orang tua responden memiliki
pekerjaan non PNS (100%). Hal ini
disebabkan
karena
Purwokerto
merupakan sebuah kota kecil yang
memiliki banyak perusahaan-perusahaan,

sehingga banyak yang bekerja di bidang


swasta maupun wiraswasta. Namun,
terdapat juga orang tua yang bekerja
sebagai buruh. Hal ini dikarenakan
kurang tersedianya lapangan pekerjaan.

B. Perilaku Bullying
Skor perilaku bullying sebelum diberi
perlakuan self-talking affirmation
positif tercatat nilai terendah 101
(kategori perilaku bullying sedang)
dan nilai tertinggi 154 (kategori
perilaku bullying berat). Tingginya
skor perilaku bullying sebelum diberi
perlakuan self-talking affirmation
positif pada penelitian ini dapat
disebabkan oleh cara berpikir yang
irrasional. Sugiharto (2008) dalam
konsep dasar konseling rational
emotive behavior menjelaskan bahwa
berpikir irrasional diawali dengan
belajar secara tidak logis yang
diperoleh dari orang tua dan budaya
tempat dibesarkan. Berpikir secara
irrasional
akan
tercermin
dari
verbalisasi
yang
digunakan.
Verbalisasi
yang
tidak
logis
menunjukkan cara berpikir yang
salah.
Cara berpikir yang salah dan
persepsi-persepsi
negatif
yang
muncul dalam diri responden sebelum
melakukan bullying
antara lain
bullying
merupakan
hal
yang
dianggap wajar pada siswa sekolah
dan bullying dapat meningkatkan
keakraban. Siswa mengaku senang
dan puas ketika berhasil melakukan
bullying pada temannya. Selain itu,
bullying dilakukan agar rasa kesal
pelaku terlampiaskan pada korban
yang dianggap sombong, sehingga
hal ini dilakukan dengan maksud
untuk melihat reaksi malu dan marah
dari korbannya. Responden juga
mengatakan bahwa belum lengkap
rasanya
jika
belum mem-bully

temannya
di sekolah,
sehingga
responden memiliki dorongan yang
kuat untuk melakukan bullying
berulang
kali
hingga
menjadi
kebiasaan.
Hasil
observasi
selama
penelitian
menunjukkan
bahwa
responden terlihat baju seragamnya
dikeluarkan, tidak memakai dasi,
beberapa kancing bajunya terbuka,
rambutnya juga ada yang kurang rapi
dan sedikit panjang. Namun, ada juga
responden yang penampilannya rapi,
ketika diajak berbicara tutur katanya
baik dan tidak menunjukkan bahwa
responden memiliki perilaku bullying
tinggi. Hasil ini sejalan dengan
pendapat Maulana (2009) yang
mengatakan
bahwa
individu
seringkali memperlihatkan tindakan
yang bertentangan dengan sikapnya.
Akan
tetapi,
sikap
dapat
menimbulkan pola-pola cara berpikir
yang mempengaruhi tindakan dan
perilaku seseorang.
Perilaku
menurut
Maulana
(2009) merupakan bentuk respon atau
reaksi
terhadap
stimulus
atau
rangsangan dari luar, namun respon
yang diberikan tergantung pada
karakteristik atau faktor individu
tersebut. Sehingga dapat diasumsikan
bahwa perilaku seseorang terlihat
oleh orang lain, dan hal ini dapat
berpengaruh besar pada perubahan
perilaku
seseorang,
seperti
lingkungan
sosialnya.
Berkowitz
(2005 dalam Wardani, 2014) juga
menambahkan bahwa perilaku agresif
yang tercermin dari perilaku remaja
merupakan
hasil paparan
yang
diterima dari lingkungan dan hal
tersebut disebabkan karena remaja
ingin dihargai dan diterima oleh
temannya.

Skor perilaku bullying setelah


diberi
perlakuan
self-talking
affirmation positif tercatat nilai
terendah
62
(kategori perilaku
bullying ringan) dan nilai tertinggi
137 (kategori perilaku bullying
sedang). Hasil tersebut menunjukkan
bahwa perilaku bullying antara pretest
dan
post-test
mengalami
perubahan, yaitu dari yang memiliki
perilaku bullying sedang hingga berat
berubah menjadi perilaku bullying
ringan hingga sedang sebanyak 31
orang, sedangkan 1 orang memiliki
nilai yang tetap. Satu responden
memiliki skor perilaku bullying tetap
antara
sebelum
dan
sesudah
intervensi
menunjukkan
bahwa
responden berada pada kategori
perilaku bullying sedang. Peneliti
berasumsi bahwa tidak terjadinya
perubahan perilaku pada responden
tersebut
karena
responden
menganggap bahwa intervensi yang
dilakukannya merupakan hal yang
biasa dan mungkin tidak bermanfaat.
Penurunan
skor
perilaku
bullying dalam penelitian ini dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain kegiatan BHSP (Bina
Hubungan Saling Percaya), motivasi
dan keyakinan dari diri responden,
serta pengaruh lingkungan sekolah
dan guru. Selain itu, peneliti mampu
menciptakan suasana yang rileks dan
menyenangkan pada saat membuka
kegiatan. Hal ini bertujuan agar
responden tidak merasa bahwa posisi
dirinya
sebagai seorang pelaku
bullying, melainkan sebagai teman
dari peneliti dan terapis, sehingga hal
ini mampu meningkatkan keakraban
antara responden dengan peneliti dan
terapis.
Pada awal kegiatan, peneliti
menyadarkan
responden
dengan

memberikan penguatan bahwa cara


meningkatkan
keakraban
dengan
teman bukan melalui tindakan membully atau menyakiti, melainkan
dengan bertingkah laku yang baik
kepada teman, saling menolong, dan
saling menyayangi. Hasil observasi
selama intervensi dari sesi satu
sampai sesi empat menunjukkan
bahwa responden semakin hari
semakin komunikatif dan responden
juga mengatakan senang mengikuti
pelatihan. Sebagian besar responden
juga
mengatakan menjadi lebih
termotivasi dan semangat dalam
mengubah perilaku negatifnya selama
ini menjadi perilaku yang positif.
Responden mengaku semakin sadar
bahwa sekarang sudah berada di kelas
XII, yang artinya responden perlu
mawas diri dan mengubah kebiasaan
perilaku buruknya menjadi perilaku
yang positif dan bermanfaat hingga
akhir masa studinya di sekolah.
Faktor selanjutnya yang mampu
mendukung
penurunan
perilaku
bullying yaitu adanya respon yang
kooperatif dan keyakinan dari dalam
diri responden. Machmudati (2013)
menjelaskan
bahwa
keyakinan
terhadap sesuatu hal dapat menjadi
faktor
penentu
emosi
yang
menghasilkan perilaku. Hal ini terjadi
karena ketika seseorang memiliki
suatu keyakinan terhadap suatu hal,
maka pikiran-pikiran akan fokus
terhadap
informasi-informasi yang
mendukung keyakinan tersebut. Jadi,
ketika seseorang memiliki keyakinan
terhadap kelebihan dan potensi diri,
maka orang tersebut akan merasakan
emosi positif sehingga emosi negatif
pada diri seperti rasa marah atau
benci pada orang lain akan berkurang.
Faktor lain yang juga berhasil
membantu
penurunan
perilaku

bullying yaitu dukungan lingkungan


sekolah. Menurut Ali & Asrori
(2010), sekolah berperan dalam
proses
perkembangan
hubungan
sosial siswa. Pihak guru senantiasa
mendukung responden untuk selalu
terlibat dalam penelitian, sehingga hal
ini mampu meningkatkan kepatuhan
responden
dalam
pelaksanaan
intervensi.
Kepatuhan
responden
tersebut dapat mendorong responden
untuk
terus
membiasakan
diri
mengucapkan kata-kata positif dan
bertingkah laku yang positif seperti
yang telah diajarkan ketika intervensi.
Hal
ini
semakin
memperkuat
pengaruh pada responden untuk
mengubah perilakunya ke arah yang
lebih baik, sehingga perilaku bullying
responden dapat menurun.
C. Pengaruh
Self-talking
Affirmation Positif terhadap
Perilaku Bullying
Hasil perhitungan Hasil perhitungan
dengan analisis uji Wilcoxon antara
perilaku
bullying
pre-test
dan
perilaku bullying post-test pada
siswa/siswi kelas XII didapatkan nilai
p-value 0,000 yang berarti ada
pengaruh yang signifikan self-talking
affirmation positif terhadap perilaku
bullying pada siswa kelas XII di SMK
tersebut. Keberhasilan pelaksanaan
self-talking affirmation positif ini
dipengaruhi oleh keyakinan yang kuat
dari dalam diri responden. Sebagian
besar responden percaya dan yakin
bahwa
pikiran
positif
dapat
membantu dirinya mengontrol dan
mencegah perilaku negatif.
Solihudin (2010) menjelaskan
bahwa sebuah affirmation akan
memberikan pertentangan di dalam
otak apabila kata-kata affirmation
tidak
sesuai dengan keyakinan,
sehingga otak tidak bisa membedakan

sesuatu yang dianggap mudah dan


sulit. Sebuah affirmation yang kuat
mampu mengubah pola pikir dan
mengganti keyakinan baru. Otak
menerima affirmation positif sebagai
kebenaran
dari keyakinan
dan
keinginan, sehingga akan ada usaha
yang keras untuk meraih keinginan.
Penurunan
skor
perilaku
bullying
dalam
penelitian
ini
dipengaruhi
oleh
sugesti-sugesti
positif dalam diri responden setelah
mengikuti self-talking affirmation
positif sebanyak 4 kali pertemuan.
Selain
itu,
responden
juga
melaksanakan self-talking affirmation
positif selama 14 hari. Hal ini sejalan
dengan teori Gunawan & Setyono
(2008) yang menyatakan bahwa
affirmation positif dilakukan dalam 2
minggu.
Self-talking
affirmation
positif ini dilakukan setiap hari
setelah bangun tidur dan malam hari
menjelang tidur dengan mengulangulang kalimat affirmation yang telah
diajarkan. Hal ini dapat mendukung
responden untuk terus menerus
membiasakan
diri
menanamkan
persepsi dan pikiran-pikiran positif
dalam dirinya yang akhirnya dapat
mencegah dorongan untuk melakukan
bullying.
Affirmation
yang
dibuat
sedemikian rupa berfungsi sebagai
mantra penyembuh dan penyemangat
karena affirmation memiliki vibrasi
tertentu yang menggetarkan dan
mempengaruhi sel otak dan saraf
yang berhubungan dengan bagian
tubuh tertentu, getaran suara dari
vokal yang disuarakan saat membaca
atau
mengucapkan
kalimat
affirmation. Getaran suara huruf
tertentu akan masuk ke dalam saraf
melalui sistem pendengaran dan
menggerakkan beberapa saraf untuk

menstimulasi saraf lainnya, kemudian


menghasilkan sesuatu yang memang
dikehendaki
seseorang
yang
mengucapkan affirmation sebagai
penyemangat
diri
untuk
meningkatkan motivasi dalam meraih
tujuan yang dikehendaki (Santoso,
2001).
Kalimat-kalimat sugesti atau
affirmation
telah
teruji
keampuhannya dan telah digunakan
dengan sukses untuk memecahkan
berbagai masalah dan meningkatkan
prestasi
belajar.
Tingkat
keberhasilannya
tergantung
pada
frekuensi setiap hari selama kurang
lebih 10-15 menit pada dini hari atau
menjelang tidur karena pada saat itu
pikiran lebih bebas dari beban dan
urusan-urusan
kehidupan
(Esthonowo,
2012).
Sedangkan
menurut teori yang dikemukakan oleh
Lim (2007) affirmation positif
dilakukan sekitar 20-40 menit selama
21
hari.
Responden
yang
membiasakan diri melakukan selftalking affirmation positif selama 3045 menit berhasil memberikan hasil
yang positif karena affirmation yang
positif dapat menyebabkan perubahan
persepsi dan perilaku seseorang
dengan menghapus pikiran-pikiran
negatif. Hasil ini sesuai dengan
pendapat Gunawan & Setyono (2008)
bahwa self-talking affirmation positif
mempunyai dampak positif pada
pembentukan
persepsi,
yang
selanjutnya
akan
mempengaruhi
tindakan dan perilaku.
Affirmation positif yang sering
diucapkan
berulang-ulang
mampu
menghapus pikiran negatif. (Wright,
2009). Pendapat ini diperkuat oleh
hasil penelitian Esthonowo (2012)
yaitu teknik self-talking affirmation
positif terbukti mampu menghentikan

suara atau pikiran-pikiran negatif


dalam diri siswa/siswi sehingga dapat
meningkatkan semangat dan citra diri
siswa/siswi
baik
dalam belajar
maupun bergaul dengan teman di
sekolah. Selain itu, teknik ini
bermanfaat
untuk
meningkatkan
keyakinan yang lebih positif dan
menciptakan suasana rileks ketika
siswa/siswi belajar di sekolah.
Harsono (2008) menyatakan
bahwa alam bawah sadar juga
memiliki pengaruh terhadap diri kita
9 kali lipat lebih kuat daripada pikiran
sadar. Teknik relaksasi nafas dalam
sambil berbaring atau duduk di
tempat yang nyaman juga perlu
dilakukan
untuk
mengawali
affirmation positif agar pengaruhnya
terhadap alam bawah sadar lebih
cepat dan maksimal (Lim, 2007).
Pernyataan tersebut sesuai dengan
hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh Juliantine & Sunaryadi (2005)
bahwa teknik self-talking affirmation
positif dapat membawa relaksasi yang
ditujukan untuk lebih memusatkan
perhatian pada keadaan yang sesuai
dengan lingkungan dan memberikan
dampak
terhadap
perubahanperubahan secara fisiologis yang
diakibatkan adanya respon relaksasi.
Self-talking affirmation positif yang
telah dilakukan oleh responden
dengan diawali teknik relaksasi nafas
dalam
ini
perlahan-lahan
telah
bekerja melalui pikirannya untuk
menerima saran dan nasihat dari luar,
sehingga tanpa disadari responden
terbujuk untuk mengganti self-talk
yang negatif menjadi self-talk yang
positif.
Penelitian ini menjelaskan selftalking affirmation positif yang
dilakukan oleh peneliti bertujuan
untuk membantu responden yang

mempunyai
kecenderungan
berperilaku
bullying
untuk
menurunkan perilaku tersebut dengan
mengubah pikiran negatifnya menjadi
positif hingga menjadi kebiasaan.
Hasil ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Copel (2007)
bahwa afirmasi adalah permasalahan
psikologis yang paling utama, dan
dari hal tersebut kebiasaan, karakter,
dan
keyakinan seseorang akan
terbentuk.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan
bahwa
karakteristik
responden
menunjukkan
bahwa
mayoritas responden berjenis kelamin
laki-laki (96,9%), peminatan jurusan
terbanyak
yaitu
jurusan
mesin
(59,4%), mayoritas tinggal dengan
keluarga inti (84,4%), pendidikan
orang tua terbanyak yaitu SD (43,8%)
dan semua orang tua responden
bekerja non PNS (100%). Skor
perilaku bullying sebelum dilakukan
intervensi (pre-test) dengan nilai
tertinggi 154 (bullying berat) dan
nilai terendah 101 (bullying sedang).
Terjadi penurunan skor perilaku
bullying setelah dilakukan intervensi
(post-test) dengan nilai tertinggi 137
(bullying sedang) dan nilai terendah
62 (bullying ringan). Self-talking
affirmation
positif
berpengaruh
signifikan
terhadap
penurunan
perilaku bullying siswa kelas XII
SMK di Purwokerto.
SARAN
Perawat diharapkan dapat meneliti
lebih lanjut tentang manfaat dan
faktor
pendukung
keberhasilan
metode self-talking affirmation positif
dalam bidang lain, serta deskripsi
kualitatif
tentang
faktor-faktor

pendukung perilaku bullying. Selain


itu,
profesi keperawatan dapat
mengaplikasikan metode self-talking
affirmation positif dalam pelaksanaan
asuhan keperawatan, khususnya pada
kasus keperawatan anak dan jiwa.
Profesi keperawatan juga dapat
menjalin
kerjasama
dalam
pengabdian
masyarakat
maupun
pelaksanaan
pelatihan
terapi
komplementer berbentuk hipnoterapi,
yang salah satunya yaitu berupa selftalking affirmation positif.
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, P. N. (2012). Hubungan


perilaku
bullying
dengan
kemampuan sosialisasi pada
anak usia sekolah (9-12 tahun)
di
Kecamatan
Plumbon
Kabupaten Cirebon. (Skripsi
tidak
dipublikasikan).
Purwokerto:
Universitas
Jenderal Soedirman.
Ali,

M. & Asrori, M. (2010).


Psikologi
remaja
perkembangan peserta didik.
Jakarta: Bumi Aksara.

Amalia,
D.
(2010). Hubungan
persepsi
tentang
bullying
dengan intense melakukan
bullying siswa SMA Negeri 82
Jakarta.
(Skripsi).
Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Astuti, P. R. (2008). Meredam
bullying:
3
cara
efektif
menanggulangi kekerasan pada
anak. Jakarta: Grasindo.
Berkowitz, L. (2005). Emotional
behavior: mengenali perilaku
dan tindakan kekerasan di
lingkungan sekita kita dan cara

penanggulangannya.
PPM.

Jakarta:

(Skripsi).
Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Copel, L. C. (2007). Kesehatan jiwa


dan psikiatri. Jakarta: EGC.

Maulana, H. D. (2009). Promosi


kesehatan. Jakarta: EGC.

Esthonowo, A. Y. (2012). Pengaruh


self-talking
affirmation
terhadap prestasi akademik
siswa di SMP Diponegoro 1
Purwokerto.
(Skripsi tidak
dipublikasikan).
Purwokerto:
Universitas Jenderal Soedirman.

Muhammad.
(2009).
Aspek
perlindungan anak dalam tindak
kekerasan (bullying) terhadap
siswa korban kekerasan di
sekolah (studi kasus di SMK
Kabupaten Banyumas). Jurnal
Dinamika Hukum, 9 (3), 230236.

Gunawan, A. W. & Setyono, A.


(2008). Manage your mind for
success: re-program pikiran
anda untuk meraih sukses
(Indonesian language). Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Isnaeni,
N.
(2015).
Pengaruh
intervensi strategi komunikasi
(SP
harga
diri
rendah)
terhadap sikap dan perilaku
bullying di SMK X Purwokerto.
(Skripsi tidak dipublikasikan.
Juliantine, T. & Sunaryadi, Y. (2005).
Kontribusi
pembelajaran
latihan konsentrasi relaksasi
dan
self-talk
terhadap
penurunan tingkat ketegangan
pada atlet tenis. Jakarta: FPOK
UI.
Lim, J. (2007). Hypnosis in selling:
cara mempengaruhi emosi dan
perilaku prospek agar lebih
mudah percaya dan membeli.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Machmudati, A. (2013). Efektivitas
pelatihan berpikir positif untuk
menurunkan
kecemasan
mengerjakan
skripsi
pada
mahasiswa fakultas umum UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Santoso, R. (2001). Right brain:


mengembangkan kemampuan
otak kanan untuk kehidupan
yang lebih berkualitas. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Solihudin, I. (2010). Hypnosis for
student. Bandung: PT Mizan
Pustaka.
Sugiharto. (2008). Pengembangan
model
layanan
bimbingan
konseling dengan pendekatan
konseling rational emotive bagi
siswa yang menjadi korban
bullying di SMP Negeri 5
Pekanbaru.
(Makalah).
Sumatera
Barat: Universitas
Negeri Padang.
Wardani, S. M. (2014). Analisis
komponen konsep diri pada
siswa
dan siswi sekolah
menengah kejuruan (SMK) X
terhadap perilaku bullying di
wilayah Purwokerto Selatan.
(Skripsi tidak dipublikasikan).
Purwokerto:
Universitas
Jenderal Soedirman.
Wright, S. (2009). Be your own
therapist, terapi diri menuju
kesehatan emosi. Yogyakarta:
Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai