Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR FEMUR
RUANG SERUNI
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PENDIDIKAN PROFESI NERS

Oleh
FARRA SILVIANA ABIDAH
I4B015034

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2016

A. Latar Belakang
Sudoyono (2010) dalam Asrizal (2010) mengungkapkan bahwa
berbagai penelitian yang ada di Eropa, Amerikan, dan Australia menunjukkan
bahwa risiko terjadinya patah tulang tidak hanya ditentukan oleh densitas
massa tulang, melainkan juga oleh faktor-faktor lain yang berkaitan dengan
kerapuhan fisik dan meningkatnya risiko untuk jatuh. Di Amerika 5,6 juta
kejadian patah tulang terjadi setiap tahunnya dan merupakan 2% dari kejadian
trauma (Parahita & Kurniyanta, 2013).
Insiden fraktur secara keseluruhan adalah 11,3 dalam 1000 per tahun.
Insiden di beberapa Negara akan berbeda. Hal ini mungkin disebabkan salah
satunya karena perbedaan status sosioekonomi dan metodologi yang
digunakan dalam survei (Mahanta, Maliawan, & Kawiyana, 2013).
Departemen Kesehatan RI tahun 2009 mencatat sekitar 8 juta orang
mengalami kejadian fraktur dengan jenis dan penyebab fraktur yang berbedabeda. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi
yakni insiden frkatur ekstremitas bawah, yaitu sekitar 46,2% dari insiden
kecelakaan yang terjadi (Irmasyani, Murtiani, & Ilyas, 2013).
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, maka tujuan dari
penulisan laporan pendahuluan ini adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Mendeskripsikan definisi dari fraktur


Mengetahui etiologi dari fraktur
Mengetahui patofisiologi dari fraktur
Mengetahui tanda dan gejala dari fraktur
Mengetahui pemeriksaan penunjang dari fraktur
Mengetahui pathway dari fraktur
Mengetahui pengkajian pada fraktur
Mengetahui diagnosa keperawatan dari fraktur
Mengetahui fokus intervensi pada fraktur

B. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah adanya gangguan integritas dari
tulang, termasuk cidera pada sumsum tulang, periosteum, dan jaringan yang

ada di sekitarnya. Fraktur femur dan tibia mempunyai insiden yang cukup
sering. Parahita & Kurniyanta (2013) menjelaskan bahwa pelvis, femur, tibia,
fibula, dan metatarsal merupakan bagian ekstremitas bawah yang mudah
mengalami fraktur. Sedangkan radius, ulna, dan carpal merupakan bagian
ekstremitas atas yang mudah mengalami fraktur.
Kekuatan dan sudut dari tenaga fisik (trauma), keadaan tulang, dan
jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi
itu lengkap atau tidak lengkap (Prcie & Wilson, 2006). Perkiraan
penyembuhan fraktur femur pada orang dewasa biasanya sekitar 12 hingga 16
minggu (Nurarif & Kusuma, 2013).
C. Etiologi
Menurut Arief (2000) penyebab fraktur dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Cedera traumatik
a. Cedera langsung, yaitu cedera akibat pukulan langsung pada tulang
sehingga tulang patah secara spontan, misalnya tertabrak atau jatuh
dari ketinggian.
b. Cedera tidak langsung, yaitu cedera pukulan langsung berada jauh dari
benturan, misalnya jatuh dengan tangan menjulur dan menyebabkan
fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras dari otot yang kuat.
2. Fraktur patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang diakibatkan proses penyakit. Adanya
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, terjadi pada keadaan:
a. Tumor tulang (jinak atau ganas)
b. Infeksi tulang seperti osteomielitis
c. Rakhitis, penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D
yang mempengaruhi jaringan skelet yang lain.
3. Fraktur spontan, disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus,
misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.
D. Patofisiologi
Saat tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian korteks
serta susmsum tulang dan jaringan lunak di sekitarnya biasanya mengalami
kerusakan. Cedera pada pembuluh darah merupakan keadaan yang
memerlukan

pembedahan

segera,

karena

dapat

menimbulkan

syok

hipovolemik. Perdarahan yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan

jaringan sekitar daerah cedera yang apabila ditekan atau digerakkan dapat
timbul rasa nyeri yang hebat dan menyebabkan syok neurogenik (Arief, 2002).
Kerusakan pada sistem persarafan akan menimbulkan kehilangan
sensasi yang dapat berakibat paralisis yang menetap. Pada fraktur juga terjadi
keterbatasan gerak oleh karena fungsi pada daerah cedera. Sewaktu tulang
patah, perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah, ke dalam jaringan
lemak tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan.
Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur (Smeltzer & Bare,
2002).
Sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan
aliran darah ke tempat cedera. Fagositosit dan pembersihan sisa-sisa sel mati
dimulai. Pada tempat yang mengalami fraktur terdapat fibrin yang berfungsi
sebagai jala-jala untuk memebentuk sel-sel baru. Aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan
fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati (Price & Wilson, 2006).
E. Manifestasi Klinis
1. Deformitas
2. Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya
3. Bengkak muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
4. Ekimosis dan perdarahan subkutaneus
5. Spasme otot
6. Nyeri, mungkin disebabkan oleh spasme otot, berpindahnya tulang dari
tempatnya, dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7. Kehilangan sensasi (mati rasa yang kemungkinan terjadi akibat rusaknya
saraf)
8. Pergerakan abnormal
9. Syok hipovolemik akibat perdarahan
10. Krepitasi. (Arief, 2002).
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen
a. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung.

b. Untuk mengetahui tempat atau tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum


dan sesudah serta selama proses penyembuhan secara periodik.
c. Artelogram bila ada kerusakan vaskuler.
2. Hitung darah lengkap, peningkatan leukosit adalah kompensasi normal
setelah fraktur
3. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi
multipel.
4. Tomografi, menggambarkan struktur lain yang tertutup dan tidak
tervisualisasi.
5. Myelografi, menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebra yang mengalami kerusakan akibat trauma.
6. Arthografi, menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak.
7. Computed Tomografi Scanning, menggambarkan potonga secara
transversal dari tulang yang rusak.
8. Pemeriksaan laboratorium
a. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b. Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH),
aspartat amino transferase (AAT), dan adolase akan meningkat pada
tahap penyembuhan tulang (Smeltzer & Bare, 2002).
d. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui resiko yang
dapat memperparah penyakit. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan
darah lengkap dan kimia darah.

G. Pathway
Pathway fraktur menurut Nurarif & Kusuma (2013) sebagai berikut:
Cedera traumatik

Fraktur Spontan

Kondisi patologis

FRAKTUR

Pergeseran
fragmen
tulang

Diskontinuitas
tulang
Laserasi kulit

Spasme otot

Putus vena
atau arteri

Perubahan
jaringan
sekitar

Kerusakan
fragmen
tulang

Pembedahan
Luka operasi

Deformitas

Perdarahan

Peningkatan
tekanan
kapiler

RISIKO
SYOK

Protein
Pelepasan
plasma
hilang
histamin

KERUSAKAN
INTEGRITAS
KULIT

Edema

Gangguan
fungsi

GANGGUAN
MOBILITAS
FISIK

Tekanan
sumsum tulang
>Reaksi
tinggi stress
dari
kepiler

Masuknya
mikroorganisme
RISIKO
INFEKSI

Melepaskan
katekolamin

Memobilisasi
lemak

NYERI
AKUT

Penekanan
pembuluh
darah

Bergabung
dengan trombosit

Penurunan
perfusi jaringan

Emboli

KETIDAKEFEKTIFAN
PERFUSI JARINGAN
PRIFER

Menyumbat
pembuluh
darah

H. Pengkajian
1. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, tanggal
dan alasan MRS.
2. Keluhan utama
Keluhan yang sering muncul adalah nyeri dan untuk memperoleh
pengkajian lengkap terkait nyeri dilakukan pengkajian P, Q, R, S, T.
3. Riwayat penyakit sekarang
Mengkaji sebab dari fraktur berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut.
4. Riwayat penyakit dahulu
Untuk menemukan kemungkinan penyebab fraktur terkait dengan penyakit
yang sebelumnya diderita.
5. Riwayat penyakit keluarga
Respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien
dalam keluarga maupun masyarakat.
6. Pola kesehatan fungsional
a. Pola persepsi kesehatan: mengetahui pola kesehatan atau kebiasaan
hidup klien dan penatalaksanaan kesehatan.
b. Pola nutrisi metabolik: evaluasi terhadap pola nutrisi dapat membantu
mengetahui penyebab masalah musculoskeletal.
c. Pola eliminasi: mengkaji ada tidaknya kesulitan eliminasi.
d. Pola istirahat tidur: mengkaji lama tidur, kebiasaan tidur, dan kesulitan
tidur.
e. Pola aktivitas: mengkaji adanya keterbatasan gerak terkait fraktur.

f. Pola hubungan peran: ditemukan adanya respon kehilangan peran


karena keterbatasan dalam beraktivitas.
g. Pola persepsi dan koginisi: ditemukan ketidakedekuatan akan
kecacatan akibat fraktur.
h. Pola seksual dan reproduksi: adanya keterbatasan akibat rasa nyeri
yang dirasakan.
i. Pola penganggulangan stress: muncul cemas dan ketakutan akan
kecacatan.
j. Pola tata nilai dan keyakinan: kesulitan dalam menjalankan ibadah.
7. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum, meliputi kesadaran, kesakitan atau penyakit, tandatanda vital umumnya tidak normal akibat adanya gangguan fungsi dan
bentuk.
b. Sistem integument, adanya edema, nyeri tekan, dan peningkatan suhu
di sekitar trauma.
c. Kepala, mesocephal
d. Leher, adanya reflek menelan.
e. Wajah
f. Mata
g. Telinga
h. Mulut
i. Toraks

: gerakan dada simetris.

j. Paru

I tidak ada iktus kordis,

Pe sonor

Pa ekspansi dada simetris,

A tidak ada suara tambahan

k. Jantung

I tidak ada iktus kordis,

Pe pekak

Pa nadi meningkat,

A S1>S2

l. Andomen :
I tidak ada lesi,

Pa nyeri tekan

A bising usus,

Pe tympani

m. Inguinal genital anus : tidak ada hernia, kesulitan BAB.

8. Keadaan lokal :
a. Status neurovaskuler

: 5P (Pain, Pallor, Parestesia, Pulse,

Paralysis).
b. Pemeriksaan sistem muskular

: look (inspeksi), feel (palpasi), move

(pergerakan).

I. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d. agen cedera fisik (terbukanya luka post operasi).
b. Kerusakan integritas kulit b.d. penurunan sirkulasi.
c. Gangguan mobilitas fisik b.d. gangguan gangguan muskuloskeletal.
d. Risiko infeksi b.d. peningkatan leukosit
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d. kurang pengetahuan
tentang proses penyakit.
J. Fokus Intervensi
1. Nyeri
a. Tujuan

: setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien

mampu beradaptasi dengan nyeri yang dialami.


b. Kriteria hasil

: nyeri berkurang atau hilang, klien tampak tenang.

c. Intervensi

1) Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga


2) Kaji tingkat, intensitas, dan frekuensi nyeri
3) Jelaskan pada klien penyebab nyeri
4) Observasi tanda-tanda vital
5) Kolaborasi pemberian analgetik
2. Kerusakan integritas kulit
a. Tujuan

: setelah dilakukan tindakan keperawatan, kerusakan

kulit dapat teratasi, dan penyembuhan luka sesuai waktu.


b. Kriteria hasil

: tidak ada tanda-tanda infeksi, luka bersih, TTV

dalam batas normal.

c. Intervensi

1) Kaji kulit dan identitas pada tahap perkembangan luka


2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka
3) Monitor peningkatan suhu tubuh
4) Berikan perawatan luka dengann teknik aseptik
5) Kolaborasi pemberian antibiotic sesuai indikasi
6) Kolaborasi tindakan debridement jika tidak terjadi pemulihan
3. Gangguan mobilitas fisik
a. Tujuan

: setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien

akan menunjukkan tingkat mobilisasi yang optimal.


b. Kriteria hasil

klien

mampu

melakukan

pergerakan

dan

perpindahan.
c. Intervensi

1) Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan


peralatan
2) Tentukan tingkat motivasi klien dalam melakukan aktivitas
3) Ajarkan dan pantau klien dalam hal penggunaan alat bantu
4) Ajarkan dan dukung klien dalam latihan ROM aktif dan pasif
5) Kolaborasi dengan ahli terapi fisik
4. Risiko infeksi
a. Tujuan

: setelah dilakukan tindakan keperawatan, infeksi

tidak terjadi.
b. Kriteria hasil

: tidak ada tanda-tanda infeksi, tanda-tanda vital

dalam batas normal


c. Intervensi

1) Pantau tanda-tanda vital


2) Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif
3) Lakukan pemeriksaan darah untuk monitor adanya infeksi
4) Edukasi klien tentang tanda-tanda infeksi
5) Kolaborasi pemberian antibiotik
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer

a. Tujuan

setelah

dilakukan

tindakan

keperawatan,

diharapkan perfusi jaringan perifer membaik.


b. Kriteria hasil

: temperatur jaringan sesuai yang diharapkan

c. Intervensi

1) Inspeksi kondisi dari insisi bedah


2) Observasi ekstremitas: warna, pembengkakan, edema dan ulserasi
3) Infeksi kulit dan membrane mukosa dari kemerahan
4) Monitor tanda-tanda infeksi
5) Catat perubahan pada kulit atau membran mukosa
DAFTAR PUSTAKA
British Medical Journal. (1966). Burst abdomen. Diakses pada 26 Maret 2014 dari
www.ncbi.nlm.nih.gov.
Arief, M. (2002). Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Asrizal, R. A. (2014). Closed fracture 1/3 middle femur dextra. Lampung:
Universitas Lampung.
Dochterman, J.M., Bulecheck, G.M. (2000). Nursing intervention classification
(NIC). USA: Mosby.
Dochterman, J.M., Bulecheck, G.M. (2000). Nursing outcomes classification
(NOC). USA: Mosby.
Hardi, A. (2013). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis.
Jakarta: Med Action Publishing.
Herdman, T. H. (2012). Diagnosa keperawatan: definisi dan klasifikasi 20122014. Jakarta: EGC.
Irmasryani, Martiani, & Ilyas, M. (2013). Gambaran body image pada pemakaian
skeletal traksi pada klien dengan fraktur femur di Ruang Bedah RSUD
Labuang Baji Makassar. Makassar: Stikes Nani Hasanudin.
Mahanta, G.R.A., Muliawan, S., Kawiyana, K.S. (2013). Manajemen fraktur
pada trauma musculoskeletal. Denpasar: Universitas Udayana.

Nurarif, A. H. & Kusuma, H. (2013). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan


diagnosa medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Parahita, P.S., Kumiyanta, P. (2013). Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada
cedera fraktur ekstremitas. Denpasar: Universitas Udayana.
Price, S.A. & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2002). Keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai