Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

STRUMA

PEMBIMBING : dr. Benno Syahbana, Sp.B

DISUSUN OLEH :
ARISTA STHAVIRA
030.08.042

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 3 SEPTEMBER 10 NOVEMBER 2012

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................................i
Daftar Isi..........................................................................................................................................1
BAB I Pendahuluan.........................................................................................................................2
BAB II Anatomi dan Fisiologi Tiroid.............................................................................................3
BAB III Pembahasan.......................................................................................................................6
3.1 Struma Difusa Toksik...................................................................................................7
3.2 Struma Nodosa Toksik.................................................................................................11
3.3 Struma Difusa Nontoksik.............................................................................................12
3.4 Struma Nodosa Nontoksik...........................................................................................14
3.5 Karsinoma Tiroid.........................................................................................................15
3.6 Langkah-langkah Penegakkan Diagnosis Struma.......................................................17
BAB IV Kesimpulan.......................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................23

BAB I
PENDAHULUAN

Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh penambahan


jaringan kelenjar tiroid itu sendiri. Pembesaran kelenjar tiroid ini ada yang menyebabkan
perubahan fungsi pada tubuh dan ada juga yang tidak mempengaruhi fungsi. Struma
merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai sehari-hari, dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti, struma dengan atau tanpa kelainan fungsi metabolisme dapat
didiagnosis secara tepat.
Survey epidemiologi untuk struma endemik sering ditemukan di daerah
pegunungan seperti pegunungan Alpen, Himalaya, Bukit Barisan dan daerah pegunungan
lainnya. Untuk struma toksika prevalensinya 10 kali lebih sering pada wanita dibanding
pria. Pada wanita ditemukan 20-27 kasus dari 1.000 wanita, sedangkan pria 1-5 dari 1.000
pria.

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR TIROID

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan tiroid, perlu diingat kembali tentang
anatomi tiroid. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali sebelum
terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau
kelainan.
2.1 Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid terdiri dari tiga lobus, yaitu lobus dextra, lobus sinistra dan isthmus
yang terletak di bagian tengah. Kadang- kadang dapat ditemukan bagian keempat yaitu
lobus piramidalis yang letaknya di atas isthmus agak ke kiri dari garis tengah. Lobus ini
merupakan sisa jaringan embrional tiroid yang masih tertinggal.
Kelenjar tiroid mempunyai berat sekitar 25 30 gram dan terletak antara tiroidea
dan cincin trakea keenam. Seluruh jaringan tiroid dibungkus oleh suatu lapisan yang
disebut true capsule.

Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari :


.

1) A. Tiroidea superior yang merupakan cabang dari A. Carotis Externa


2) A. Tiroidea Inferior yang merupakan cabang dari A. Subclavia
3) A. Tiroidea Ima yang merupakan cabang dari Arcus Aorta

Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak di dorsal
tiroid sebelum masuk ke laring.

2.2 Fisiologi Tiroid


Kelenjar tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin yang mensekresikan hormon Tiroksin
atau T4, triiodotironin atau T3 dan kalsitonin. Di dalam darah sebagian besar T3 dan T4 terikat
oleh protein plasma yaitu albumin, Thyroxin Binding Pre Albumin (TBPA) dan Thyroxin
Binding Globulin (TGB). Sebagian kecil T3 dan T4 bebas beredar dalam darah dan berperan
dalam mengatur sekresi TSH. Hormon tiroid dikendalikan oleh thyroid-stimulating hormone
( TSH ) yang dihasilkan lobus anterior glandula hypofise dan pelepasannya dipengaruhi oleh
thyrotropine-releasing hormone ( TRH ). Kelenjar thyroid juga mengeluarkan calcitonin dari
parafolicular cell, yang dapat menurunkan kalsium serum berpengaruh pada tulang.
Fungsi hormon tiroid antara lain :
1) meningkatkan kecepatan metabolisme
2) efek kardiogenik
3) simpatogenik
4) pertumbuhan dan sistem saraf

BAB III
PEMBAHASAN

Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek


fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi. Struma dapat dibagi menjadi :
1) Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh,

berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi


a. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus,
seperti yang ditemukan pada Graves disease.
b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah
satu lobus, seperti yang ditemukan pada Plummers disease.

2) Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada

tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi


a. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter
b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid

Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :


1) Hiperplasia dan Hipertrofi
Setiap organ apabila dipicu untuk bekerja akan mengalami kompensasi
dengan cara memperbesar dan memperbanyak jumlah selnya. Demikian
juga dengan kelenjar tiroid pada saat pertumnuhan akan dipacu untuk
bekerja memproduksi hormon tiroksin sehingga lama kelamaan akan
membesar, misalnya saat pubertas dan kehamilan.
2) Inflamasi atau Infeksi
Proses peradangan pada kelenjar tiroid seperti pada tiroiditis akut, tiroiditis
subakut (de Quervain) dan tiroiditis kronis (Hashimoto)
3) Neoplasma
Jinak dan ganas
Struma menimbulkan gejala klinis dikarenakan oleh perubahan kadar hormon tiroid
di dalam darah. Kelenjar tiroid dapat menghasilkan hormon tiroid dalam kadar berlebih
atau biasa disebut hipertiroid maupun dalam kadar kurang dari normal atau biasa disebut
hipotiroid. Gejala yang timbul pada hipertiroid adalah :

Peningkatan nafsu makan dan penurunan berat badan

Tidak tahan panas dan hiperhidrosis

Palpitasi, sistolik yang tinggi dan diastolik yang rendah sehingga


menghasilkan tekanan nadi yang tinggi (pulsus celler) dan dalam jangka
panjang dapat menjadi fibrilasi atrium

Tremor

Diare

Infertilitas, amenorrhae pada wanita dan atrofi testis pada pria

Exophtalmus

Gejala yang timbul pada hipotiroid adalah kebalikan dari hipertiroid :

Nafsu makan menurun dan berat badan bertambah

Tidak tahan dingin dan kulit kering bersisik

Bradikardi, tekanan sistolik yang rendah dan tekanan nadi yang lemah

Gerak tubuh menjadi lamban dan edema pada wajah, kelopak mata dan
tungkai

3.1 Struma Difusa Toksik


3.1.1 Definisi
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Graves Disease. Penyakit ini juga biasa
disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus, hipertiroidi dan
eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda dengan gejala seperti

berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi terhafap panas, penurunan


berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi berupa amenorrhea, dan
polidefekasi ( sering buang air besar ). Klinis sering ditemukan adanya pembesaran
kelenjar tiroid, kadang terdapat juga manifestasi pada mata berupa exophthalmus dan
miopatia ekstrabulbi. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak diketahui pasti, tampaknya

10

terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat ditangkap reseptor TSH, yang menimbulkan
stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid. Penyakit ini juga ditandai dengan
peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.
Gambar : penderita penyakit Graves

3.1.2 Patofisiologi
Graves Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan system
imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai Thyroid Receptor
Antibodies. Zat ini menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara
berlebiham, sehingga TSH tidak dapat menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid
dalam tubuh menjadi meningkat.
3.1.3 Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan metabolisme
di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat jelas. Peningkatan
metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan seringkali asupan ( intake)
kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi penurunan berat badan secara drastis.
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk
peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/ cardiac output
sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat. Irama nadi meningkat dan

11

tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus celer; penderita akan mengalami
takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan saraf autonom dapat
mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan fibrilasi
ventrikel.
Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering timbul
polidefekasi dan diare.
Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita sulit
tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi,
kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat
menggangu.
Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea yang
tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal, biasanya
cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan
elektrolit yang dipicu oleh adanya hipertiroidi tersebut.
Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia. Kelainan
mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap reseptor pada
jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat dan jaringan lemaknya
menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot mata terjepit.
Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata akibat
keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.

Gambar : Skema patogenesis penyakit Graves

12

3.1.4 Tatalaksana
Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/
hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol.
Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan
yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi
dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid
besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun
kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

3.2 Struma Nodosa Toksik


3.2.1 Definisi
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus yang
disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi pada usia dewasa muda

13

sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik.
Pertama kali dibedakan dari penyakit Graves oleh Plummer, maka disebut juga Plummers
disease.
3.2.2 Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar tiroid yang
tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera diobati, dalam 15-20 tahun
dapat menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dari nontoksik
menjadi toksik antara lain adalah nodul tersebut berubah menjadi otonom sendiri (berhubungan
dengan penyakit autoimun), pemberian hormon tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif
sebagai pengobatan.
3.2.3 Gejala Klinis
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Graves disease dengan Plummers
disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang membedakan adalah saat
pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat merasakan pembesaran yang hanya terjadi
pada salah satu lobus.
3.2.4 Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummers Disease juga sama dengan Graves yaitu

ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian


antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih
antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau
tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika
pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang
baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai
terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

3.3 Struma Difusa Nontoksik


3.3.1 Definisi

14

Struma endemik Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan


pembesaran kelenjar tiroid yang terjadi pada suatu populasi, dan diperkirakan berhubungan
dengan defisiensi diet dalam harian. Epidemologi Endemik goiter diperkirakan terdapat
kurang lebih 5% pada populasi anak sekolah dasar/preadolescent (6-12 tahun), seperti
terbukti dari beberapa penelitian. Goiter endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam
diet. Kejadian goiter endemik sering terjadi di derah pegnungan, seperti di himalaya,
alpens, daerah dengan ketersediaan yodium alam dan cakupan pemberian yodium
tambahan belum terlaksana dengan baik
3.3.2 Patofisiologi

Umumnya,

mekanisme

terjadinya

goiter

disebabkan

oleh

adanya

defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat disebabkan oleh kelainan
sintesis

hormon

tiroid

kongenital

ataupun

goitrogen

(agen

penyebab

goiter

seperti intake kalsium berlebihan maupun sayuran familiBrassica). Kurangnya iodin


menyebabkan kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis. Hal ini akan memicu
peningkatan pelepasan TSH (thyroid-stimulating hormone) ke dalam darah sebagai efek
kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi dari sel
folikuler tiroid, sehingga terjadi pembesaran tiroid secara makroskopik. Pembesaran ini
dapat menormalkan kerja tubuh, oleh karena pada efek kompensatorik tersebut kebutuhan
hormon tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus, seperti defisiensi iodin
endemik, pembesaran ini tidak akan dapat mengompensasi penyakit yang ada. Kondisi
itulah yang dikenal dengan goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid mengikuti level dan
durasi defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.
Goiter Difus
Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang
tampak tanpa membentuk nodul. Benttuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik
(fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel. Dapat juga
disebut sebagai goiter koloid karena sel folikel yang membesar tesebut umumnya dipenuhi
oleh koloid. Kelainan ini muncul pada goiter endemik dan sporadik.

15

Goiter endemik muncul di tempat yang tanah, air, maupun suplai makanannya
mengandung sedikit iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin secara meluas di daerah
teresebut. Contoh daerahnya adalah daerah pegunungan Alps, Andes atau Himalaya.
Sementara itu, goiter sporadik muncul lebih jarang dan dapat disebabkan oleh
berbagai hal, yaitu konsumsi bahan yang menghambat sintesis hormon tiroid atau
gangguan enzim untuk sintesis hormon tiroid yang turun secara herediter.
Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan involusi koloid.
Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus dan simetris, walaupun
pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150 gram). Folikel-folikelnya dilapisi oleh
sel kolumner yang banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini tidak sama di keseluruhan
kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan atau kebutuhan tubuh akan
hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel sehingga terbentuk folikel yang
besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara makroskopik tiroid akan terlihat coklat
dan translusen, sementara secara histologis akan terlihat bahwa folikel dipenuhi oleh koloid
serta sel epitelnya gepeng dan kuboid.

3.3.3 Gejala Klinis


Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran kelenjar tiroid.
Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan eutiroid, namun sebagian lagi mengalami
keadaaan hipotiroid. Hipotiroidisme lebih sering terjadi pada anak-anak dengan defek biosintetik
sebagai penyebabnya, termasuk defek pada transfer yodium.
3.3.4 Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan struma dan mengatasi
hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan pemberian SoL Lugoli selama 4-6 bulan. Bila
ada perbaikan, pengobatan dilanjutkan sampai tahun dan kemudian tapering off dalam 4 minggu.
Bila 6 bulan sesudah pengobatan struma tidak juga mengecil maka pengobatan medikamentosa
tidak berhasil dan harus dilakukan tindakan operatif.

3.4 Struma Nodosa Nontoksik

16

3.4.1 Definisi

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik
teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma nodosa
menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan
pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada tubuh,
maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa nontoksik. Kelainan ini sangat
sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang mungkin ada.

3.4.2 Patofisiologi
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis terjadi 10%
populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter sporadis terjadi pada seseorang yang
tidak tinggal di daerah endemik beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang belum
diketahui dengan jelas, bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis hormon tiroid
atau konsumsi obat-obatan yang mengandung litium, propiltiourasil, fenilbutazone, atau
aminoglutatimid.
3.4.3 Gejala Klinis

Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah tidak adanya
gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada palpasi
dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai
membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali
benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan
strumanya

tanpa

keluhan.

Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke


depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya
bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah
kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan.
Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi
17

dispnea

dengan

stridor

inspiratoar.

Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup
laring

dan

epiglotis

sehingga

terasa

berat

karena

terfiksasi

pada

trakea.

3.4.4 Tatalaksana
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-macam
teknik operasinya antara lain :
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar disisakan
seberat 3 gram
b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan dan
sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk mencegah
kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N. Rekurens Laryngeus
3.5 Karsinoma Tiroid
3.5.1 Definisi
Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol dari sel) yang
terjadi pada kelenjar tiroid. Kanker tiroid adalah sutu keganasan pada tiroid yang memiliki 4 tipe
yaitu: papiler, folikuler, anaplastik dan meduller. Kanker tiroid jarang menyebabkan pembesaran
kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul) dalam kelenjar. Sebagian besar
nodul tiroid bersifat jinak, biasanya kanker tiroid bisa disembuhkan
Kanker tiroid sering kali membatasi kemampuan menyerap yodium dan membatasi
kemampuan menghasilkan hormon tiroid, tetapi kadang menghasilkan cukup banyak hormon
tiroid sehingga terjadi hipertiroidisme.
3.5.2 Klasifikasi karsinoma tiroid
1. Karsinoma papiler, karsinoma ini berasal dari sel-sel tiroid dan merupakan jenis paling umum
dari karsinoma tiroid. Lebih sering terdapat pada anak dan dewasa muda dan lebih banyak pada

18

wanita. Terkena radiasi semasa kanak ikut menjadi sebab keganasan ini. Pertama kali muncul
berupa benjolan teraba pada kelenjar tiroid atau sebagai pembesaran kelenjar limfe didaerah
leher. Metastasis dapat terjadi melalui limfe ke daerah lain pada tiroid atau, pada beberapa kasus,
ke paru.
2. Karsinoma folikuler, karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan merupakan 20-25 % dari
karsinoma tiroid. Karsinoma folikuler terutama menyerang pada usia di atas 40 tahun.Karsinoma
folikuler juga menyerang wanita 2 sampai 3 kali lebih sering daripada pria. Pemaparan terhadap
sinar X semasa kanak-kanak meningkatkan resiko jenis keganasan ini. Jenis ini lebih infasif
daripada jenis papiler.
3. Karsinoma anaplastik, karsinoma ini sangat ganas dan merupakan 10% dari kanker tiroid.
Sedikit lebih sering pada wanita daripada pria. Metastasis terjadi secara cepat, mulamula disekitarnya dan kemudian keseluruh bagian tubuh. Pada mulanya orang yang hanya
mengeluh tentang adanya tumor didaerah tiroid. Dengan menyusupnya kanker ini disekitar,
timbul suara serak, stridor, dan sukar menelan. Harapan hidup setelah ditegakkan diagnosis,
biasanya hanya beberapa bulan.
4. Karsinoma parafolikular, karsinoma parafolikular atau meduller adalah unik diantara kanker
tiroid. Karsinoma ini umumnya lebih banyak pada wanita daripada pria dan paling sering di atas
50 tahun. Karsinoma ini dengan cepat bermetastasis, sering ketempat jauh seperti paru, tulang,
dan hati. Ciri khasnya adalah kemampuannya mensekresi kalsitonin karena asalnya. Karsinoma
ini sering dikatakan herediter.

3.5.3 Perbedaan Nodul Tiroid Jinak dan Ganas


Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan nodul tiroid
jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik :
1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan sukar
digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan kemudian
menjadi lunak.
2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul yang
mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia adenomatosa yang sudah
berlangsung lama.

19

3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupaka tanda keganasan, walaupun nodul ganas
tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis, dan enoftalmus
merupakan tanda infiltrasi ke jaringan sekitar
4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas.
5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas terutama yang
tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif
6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional
atau perubahan suara menjadi serak.
7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleidomastoideus
karena desakan pembesaran nodul (Berrys Sign)
3.6 Langkah-langkah Penegakkan Diagnosis Struma
3.5.1 Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa benjolan di leher
yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid atau hipotiroidnya. Jika pasien
mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus digali lebih jauh apakah pembesaran terjadi
sangat progresif atau lamban, disertai dengan gangguan menelan, gangguan bernafas dan
perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari
kelenjer tiroid. Perlu juga ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk
mengetahui apakah ada kecendrungan ke arah struma endemik. Sebaliknya jika pasien datang
dengan keluhan ke arah gejala-gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih jauh
ke arah hiper atau hipo dan ada tidaknya benjolan di leher.
3.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling pertama
dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-tanda
gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.
Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan tersebut benar adalah
kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien diminta untuk
menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut bergerak saat menelan, sementara
jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening

20

leher. Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan :

- Lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus


- Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
- Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
- Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
- Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
- Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus sternokleidomastoidea
- Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak

3.5.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit tiroid
terbagi atas :
1.

Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk


mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering menggunakan
teknik radioimmunoassay (RIA) dan ELISA dalam serum atau plasma
darah. Kadar normal T4 total pada orang dewasa adalah 50-120 ng/dl.
Kadar normal untuk T3 pada orang dewasa adalah 0,65-1,7 ng/dl.

2.

Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid. Antibodi


terhadap macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum
penderita dengan penyakit tiroid autoimun. Seperti antibodi
tiroglobulin dan thyroid stimulating hormone antibody

3.

Pemeriksaan radiologis

Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau

pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun


sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan lateral biasanya
menjadi pilihan.

USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul,

membedakan antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi adanya


21

jaringan kanker yang tidak menangkap iodium dan bisa dilihat dengan
scanning tiroid.

Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari I 131 yang

didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan ukuran,


bentuk lokasi dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid
(distribusi dalam kelenjar). Uptake normal 15-40% dalam 24 jam.
Dari hasil scanning tiroid dapat dibedakan 3 bentuk, yaitu cold nodule
bila uptake nihil atau kurang dari normal dibandingkan dengan daerah
disekitarnya, ini menunjukkan fungsi yang rendah dan sering terjadi
pada neoplasma. Bentuk yang kedua adalah warm nodule bila
uptakenya sama dengan sekitarnya, menunjukkan fungsi yang nodul
sama dengan bagian tiroid lain. Terakhir adalah hot nodule bila uptake
lebih dari normal, berarti aktifitasnya berlebih dan jarang pada
neoplasma.
4. FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini
perlu diingat agar jangan sampai menentukan terapi definitif
hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
3.5.4 Tindakan Pembedahan
Indikasi operasi pada struma adalah :
1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
3. Struma dengan gangguan kompresi
4. Kosmetik
Kontraindikasi pada operasi struma :
1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya

22

2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain yang


belum terkontrol
3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit
digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian
biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosisnya. Perlekatan
pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukanreseksi trakea atau
laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas
sulit dilakukan eksisi yang baik.
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah
nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut
suspek maligna, maka dibedakan apakah kasus tersebut operable atau inoperable.
Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan biopsi
insisi untuk keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan tindakan
debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek
maligna yang operable atau suspek benigna dapat dilakukan tindakan
isthmolobektomi atau lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan bahwa lesi
tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus ditentukan terlebih
dahulu jenis karsinoma yang terjadi.
Komplikasi pembedahan tiroid :
a. Perdarahan dari A. Tiroidea superior
b. Dispneu
c. Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-oto laring terjadi
kelemahan
d. Paralisis N. Laryngeus Superior. Akibatnya suara penderita menjadi
lenih lemah dan sukar mengontrol suara nada tinggi, karena terjadi
pemendekan pita suara oleh karena relaksasi M. Krikotiroid.
Kemungkinan nervus terligasi saat operasi

23

BAB IV
KESIMPULAN

Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat penting untuk
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat untuk mengetahui ada
tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid dalam
tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda keganasan yang dapat diketahui secara dini.

24

Selanjutnya adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk menentukan


diagnosis pasti dari jenis struma yang ada. Dengan menegakkan diagnosis pasti maka kita dapat
mnentukkan tatalaksana yang tepat bagi struma yang dialami oleh pasie. Apakah memerlukan
tindakan pembedahan, atau cukup diberi pengobatan dalam jangka waktu tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
1. Widjosono, Garitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor
Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997 : 925-952.
2. Kariadi KS Sri Hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik & Hipertiroidisme :
Buku Ajar Ilmu Pneyakit Dalam, Edisi Keiga, Penerbit FKUI, Jakarta, 1996 : 757778.
3. Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat, Buku
Dua, EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.

25

4. Liberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit
Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.

26

Anda mungkin juga menyukai