Anda di halaman 1dari 26

Budi Mulya minta mantan direktur BI terbitkan SE

Kamis, 17 April 2014 | 14:32 WIB


JAKARTA. Mantan Deputi Gubernur Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Bank
Indonesia (BI) Budi Mulya disebut pernah memerintahkan mantan Direktur
Pengelolaan Moneter BI Eddy Sulaiman Yusuf untuk menerbitkan Surat Edaran
(SE) terkait Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). SE tersebut dibuat sebagai
petunjuk teknis pelaksanaan pemberian FPJP ke Bank Century.

Hal ini terungkap berdasarkan kesaksian Eddy dalam persidangan kasus dugaan
korupsi dalam pemberian FPJP dan penetapan Bank Century sebagaj bank gagal
berdampak sistemik dengan terdakwa Budi Mulya, di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor), Jakarta, Kamis (17/4).

"Kami yang bikin, tim dari teman-teman DPM," kata Eddy.

Adapun perintah pembuatan SE tersebut, lanjut Eddy, disampaikan langsung


oleh Budi Mulya. "Pernyataan beliau (Budi Mulya) dilakukan sebaik-baiknya,"
tambah dia.

Atas perintah tersebut, Eddy menandatangani dan kemudian menerbitkan SE BI


tanggal 14 November 2008 kepada semua bank di Indonesia perihal FPJP bagi
bank umum dan SE BI Intern tentang petunjuk pelaksanaan pemberian FPJP.

Kemudian, Eddy pun menyampaikan memorandum ke Direktorat Pengawasan


Bank 1 (DPB 1) yang berisi tentang permintaan konfirmasi soal kelayakan Bank
Century mendapatkan FPJP.

" (Isi memorandum) permintaan konfirmasi apakah Bank Century memenuhi


kelayakan diberikan FPJP," ungkapnya.

Direktur DPB 1 kemudian mengirim kembali memorandum tanggal 14 November


ke Eddy. Dalam memorandum tersebut, kata Eddy, menyatakan bahwa Bank
Century telah memenuhi persyaratan mendapatkan fasilitas FPJP.

"Kami lihat memonya sudah ada persetujuan dari Siti Fadjrijah (Deputi Gubernur
Bidang 6 Pengawasan Bank Umum)," sebut dia.

Dalam surat dakwaan Budi Mulya, pembuatan SE tersebut dilakukan setelah


adanya keputusan rapat Dewan Gubernur BI pada 14 November 2008 yang
mengubah peraturan syarat bagi bank umum mendapat fasilitas FPJP.
Diputuskan Peraturan BI Nomor 10/26/PBI/2008 diubah menjadi PBI Nomor
10/30/PBI/2008 dimana persyaratan mendapat FPJP diubah dari rasio kecukupa
modal (CAR) bank minimal 8% menjadi positif.

Namun, permohonan FPJP yang diajukan Century kepada Bank Indonesia belum
bisa diproses karena belum ada SE BI sebagai petunjuk teknis. Budi Mulya
menyampaikan dan memerintahkan kepada Eddy bahwa sudah ada perubahan
PBI tentang FPJP dan pencarian FPJP kepada Bank Century.

Persidangan Century

Persidangan Century
Hifdzil Alim ; Peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM;
Ketua Bidang Nonlitigasi LPBH PWNU DIY
KOMPAS, 07 Maret 2014

SETELAH lebih dari empat tahun, dugaan kasus korupsi pemberian fasilitas
pendanaan jangka pendek dan penyertaan modal sementara ke Bank Century
akhirnya dimejahijaukan.
Maklum, setelah DPR menggelar rapat pengambilan keputusan hasil
pemeriksaan panitia khusus, 3 Maret 2010, skandal korupsi perbankan tersebut
mengalami masa naik-turun. Tak jelas apakah akan mengarah ke persidangan
atau tidak.
Nuansanya sangat panas dan suhunya meninggi pada pengujung 2009 hingga
awal 2010. Kala itu, isu persetujuan atas hasil investigasi panitia khusus
(pansus) ditandingi kasak-kusuk rencana kabinet. Sebaliknya, setelah
pengambilan suara di Sidang Paripurna DPR yang kemudian memuluskan opsi

Cpilihan untuk setuju ada pelanggaran dalam kasus Bank Century


tampaknya gemuruh niat dalam membongkar kasus ini perlahan mereda.
Antiklimaks.
Sekarang, hasrat menggali siapa menanggung akibat hukum atas korupsi
Century muncul kembali. Kalau tak ada aral, persidangan pertama digelar pada
Kamis, 6 Maret 2014 (Kompas, 4/3). Pertanyaannya, apakah persidangan
Century kali ini mampu membuka hitam-putih kasus yang merampok uang
negara lebih dari Rp 6,7 triliun itu?
Persidangan politik
Ada pengalaman yang menyesakkan tatkala membahas perkembangan kasus
Century di persidangan politik DPR. Pendulum bergerak tak tentu. Kadang kuat
ke arah transaksi politik. Namun, pernahuntuk tak menyebut sering
mengarah ke magnet hukum yang memiliki daya tarik kuat agar kasus ini
diselesaikan.
Pansus DPR antara akhir 2009 dan awal 2010 telah mengundang saksi dan ahli
ke persidangan politik yang digelar untuk mencari tahu siapa yang paling
bersalah atas bocornya uang negara dalam FPJP dan PMS Bank Century.
Ketika pemeriksaan politik semakin digali lebih dalam, pendulum politik semakin
kuat mengarah ke jarum transaksi.
Entah kebetulan atau tidak, seperti ada upaya untuk melenyapkan kasus
Century. Sekadar mengingatkan, pindahnya mantan Menteri Keuangan Sri
Mulyani ke Bank Dunia, menguatnya posisi Aburizal Bakrie sebagai Ketua
Harian Sekretariat Gabungan Koalisi, dan melemahnya sikap Partai Golkar atas
tuntutan pemeriksaan menyeluruh skandal Century, seperti sebuah teka-teki.
Faktanya ada, tapi susah dibuktikan keterkaitannya. Nyatanya, umur kasus ini

sudah lebih dari empat tahun, tetapi tak kunjung terpampang siapa yang
sebenar-benar-nya salah dan sebenar-benar-nya benar.
Meski memperoleh banyak informasi, persidangan politik terbukti gagal
mengurai karut-marut kasus korupsi perbankan ini. Sampai batas masa jabatan
anggota DPR periode 2009-2014 berakhir, rasa-rasanya sengkarut politik di
seputar pengungkapan kasus Century masih terus bergulir. Pansus masih
ngotot memanggil Wakil Presiden Boediono ke Senayan. Bukankah kasus ini
sudah dilimpahkan ke penegak hukum? Lalu, mengapa DPR masih cari-cari
kesempatan untuk menggelar ulang persidangan politik?
Sedikit kegagalan persidangan politik sebenarnya dapat ditutup dengan
persidangan hukum. Boleh jadi langkah hukum adalah pilihan yang tepat untuk
mengurai benang kusut Century. Lagi-lagi, perlu diingatkan, sekira tiga setengah
tahun lalu auditor negara sudah menerbitkan laporan forensiknya. Setidaknya,
ada empat temuan dugaan pelanggaran hukum pada kasus Century (Kompas,
6/6/2010).
Pertama, pelanggaran batas maksimum pemberian kredit. Kedua, penerbitan
letter of credit fiktif. Ketiga, rekayasa dalam menentukan capital adequacy ratio.
Keempat, penyerahan Bank Century ke LPS pada 21 November 2008 tak
mempunyai landasan hukum. Empat potensi pelanggaran ini menabrak aturan
internal Bank Indonesia dan Undang-Undang Perbankan.
Persidangan hukum pertama kali atas salah satu tersangka kasus korupsi Bank
Century, Budi Mulya, semestinya menjadi penanda putusnya hubungan
persidangan politik di kasus a quo. Sangat mudah mencari justifikasi atas tanda
putus ini.
Pertama, walau kadang diterpa isu tak sedap, KPK sering bisa keluar dari
tekanan dalam menyidangkan kasus korupsi big fish. KPK rasanya tak memiliki

tendensi politik kecuali politik rakyat. Lembaga negara antikorupsi ini bertugas
menyelidik, menyidik, dan menuntut tersangka korupsi untuk melindungi
harapan rakyat demi memiliki negeri yang bebas dari korupsi. Kedua,
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta masih duduk di peringkat peradilan
yang mampu mengadili koruptor tanpa pandang bulu.
Dua hal itu sudah lebih dari cukup untuk menjustifikasi persidangan hukum
Century bakal sedikit memberi lampu hijau atas terangnya kasus yang hampir
lima tahun tak kunjung benderang. Akan tetapi, bukan berarti persidangan
hukum ini tak butuh perlindungan. Ia tetap butuh dilindungi. Selalu ada rasa
pesimistis di samping optimistis, begitu pula sebaliknya.
Jadi ritual formil?
Hasil maksimal dari persidangan hukum Century adalah terungkap siapa
dalangnya? Ke mana duit triliunan rupiah mengalir? Siapa yang ambil untung?
Apakah ada keterlibatan partai politik?
Sebaliknya, hasil paling minim dari persidangan itu cuma bicara soal kasus
Century dan keterlibatan internal BI dan/atau KSSK, tanpa merunut sampai
ujung muara kasus itu sendiri. Persidangan hukum menjadi sekadar ritual formil
bahwa ada kasus korupsi yang disidangkan dan mesti diputus.
Bagaimanapun, keberhasilan membongkar kasus Century bergantung pada
sterilnya penegakan hukum dari intervensi politik. Dukungan pemerintah dan
parlemen dibutuhkan dengan bentuk tak mengumbar umpan politik di luar
persidangan Century. Independensi penegak hukum sudah dibuktikan oleh KPK.
Sekarang tinggal kehendak politik pemimpin. Jika ini tak ada, jangan sekali-kali
berharap akan terbongkar siapa yang sebenar-benar-nya salah dan siapa yang
sebenar-benarnya benar dalam kasus Century

CENTURYGATE

Saksi Benarkan Boediono Ngotot Kucurkan FPJP ke Century


Jum'at, 04 April 2014 , 20:01:00 WIB

Laporan: Samrut Lellolsima


RMOL. Mantan Deputi Pengawasan Bank 1 Bank Indonesia (BI), Zainal Abidin,
membenarkan bahwa Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) adalah pihak yang
"ngotot" memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Centrury pada
tahun 2008.
Soal sikap ngotot Boediono itu sudah lama tersiar ke publik lewat berbagai dokumen.
Padahal, saat itu Bank Century tidak memiliki rasio kecukupan modal (CAR).
Zainal sendiri mengatakan itu saat bersaksi dalam sidang terdakwa perkara pemberian FPJP
dan penetapan Bank Century sebagai bank berdampak sistemik, Budi Mulya, di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (4/4).
Awalnya, Zainal yang dihadirkan dalam sidang ditanya oleh Ketua Majelis Hakim, Afiantara.

"Yang menginginkan peeberian FPJP pada Bank Century siapa?" tanya Afiantara.
"Yang menginginkan (pemberian FPJP) tentu Pak Gubernur BI (Boediono)," jawab Zainal.
Zainal juga membeberkan soal siapa saja pihak yang mendukung pemberian FPJP. Mereka
yakni, Deputi Gubernur Bidang V BI, Muliaman Hadad; Deputi Gubernur Senior BI,
Miranda Swaray Gultom; Deputi Gubernur Bidang VI, Siti Fadjriah; dan Budi Rochadi
selaku Deputi Gubernur Bidang VII BI.
Dalam dakwaan milik Budi Mulya, Boediono disebut bersama-sama dengan terdakwa Budi
MulyaBANK
melakukan penyalahgunaan wewenang atau perbuatan melawan hukum terkait
CENTURY/NE
pemberian
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Century oleh BI pada
T
tahun 2008.
Boediono yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) disebut mengikuti
beberapa kali Rapat Dewan Gubernur (RDG). Dalam rapat-rapat tersebut akhirnya disepakati
rekayasa agar Bank Century mendapatkan FPJP

Ini Peran Boediono dalam Kasus Century Versi KPK


Jumat, 7 Maret 2014 | 09:09 WIB

TRIBUNNEWS/HERUDIN Wakil Presiden Boediono mendampingi Presiden Susilo


Bambang Yudhoyono (tidak tampak) memimpin rapat terbatas terkait harga gas
elpiji di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur,
Minggu (5/1/2014).

Baca juga

Moeldoko Banting Jam Tangan Palsunya

Inikah Jam Tangan Jenderal Moeldoko yang Jadi Sorotan?

Jam Tangan Mewah Rp 1 Miliar Dibeli Jenderal Moeldoko Rp 5 Juta

Jokowi: Diserang, Masa "Diem" Saja?

Internal PPP Sepakat Damai

66

JAKARTA, KOMPAS.com Surat dakwaan kasus dugaan korupsi Bank Century untuk
terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Budi Mulya, mengungkap peran Wakil
Presiden RI Boediono. Di antaranya, dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (6/3/2014), Boediono selaku Gubernur BI saat

itu disebut menandatangani perubahan peraturan Bank Indonesia (PBI) agar Bank Century
memenuhi persyaratan mendapatkan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP).
"Perubahan PBI tentang fasilitas pendanaan jangka pendek bagi bank umum tersebut
ditandatangani Boediono," ujar jaksa KMS Roni saat membacakan surat dakwaan di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
Semula, salah satu syarat bank umum dapat mengajukan permohonan FPJP ialah wajib
memiliki capital adequacy ratio (CAR) atau penyediaan modal minimum sebesar 8 persen
seusai peraturan PBI Nomor 10/26/PBI/2008 tertanggal 30 Oktober 2008. Saat itu, CAR
Bank Century per September 2008 hanya sebesar 2,35 persen.
"Supaya PT Bank Century bisa mendapatkan FPJP, maka ketentuan FPJP tersebut harus
diubah dulu," ujar jaksa.
Kemudian, rencana perubahan PBI itu dibahas dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang
dihadiri antara lain oleh Budi Mulya, Boediono, Miranda Swaray Goeltom (saat itu Deputi
Gubernur Senior BI), Siti Chalimah Fadjrijah (saat itu Deputi Gubnernur Bidang 6
Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah), Budi Rochadi (saat itu Deputi Gubernur
Bidang 7 Sistem Pembayaran, Pengedaran Uang, BPR, dan Perkreditan), Muliaman
Dharmansyah Hadad (saat itu Deputi Gubernur Bidang 5 Kebijakan Perbankan/Stabilitas
Sistem Keuangan), Hartadi Agus Sarwono (saat itu Deputi Gubernur Bidang 3 Kebijakan
Moneter), dan Ardhayadi Miroatmodjo (saat itu Deputi Gubernur 8 Logistik, Keuangan,
Penyelesiaan Aset, Sekretariat, dan KBI).
Ketika itu, Miranda, Siti, dan Budi Rochadi (almarhum) meminta agar persyaratan CAR
diturunkan, mengubah persyaratan kredit lancar 12 bulan, dan membuang persyaratan lainnya
yang memberatkan Century dalam mendapat FPJP.
Siti Fadjrijah juga menyarankan agar persyaratan CAR cukup menjadi positif saja dan tidak
disebutkan berapa angkanya. Namun, saran itu ditentang oleh Direktur Direktorat Penelitian
dan Pengaturan Perbankan Halim Alamsyah karena dikhawatirkan bertentangan dengan PBI
lainnya yang menggunakan CAR sebesar 8 persen. Menurut Halim, Dewan Gubernur BI
perlu memikirkan konsekuensi jika persyaratan CAR diubah.
"Dijawab oleh Siti Chalimah Fadjrijah bahwa kalau PBI lain biar saja," kata jaksa.
Akhirnya, dalam RDG BI diputuskan perubahan PBI tentang FPJP. Perubahan PBI itu di
antaranya, bank yang dapat diberikan FPJP harus memiliki rasio kewajiban CAR minimum
positif dan aset kredit yang dapat dijadikan agunan FPJP di antaranya memenuhi syarat
bahwa kolektibilitasnya lancar selama tiga bulan. Peraturan itu berlaku mulai tanggal 14
November 2008.
Setelah keputusan itu, pihak BI melakukan rapat konsultasi dengan Menteri Keuangan saat
itu dan selaku Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Sri Mulyani, melalui

telekonferensi karena ia sedang berada di Washington DC, Amerika. Dalam telekonferensi itu
disampaikan bahwa Bank Century tidak bisa mengikuti kliring karena giro wajib minimum
tidak cukup dan CAR positif 2,35 persen sehingga dilakukan pengawasan khusus sejak 6
November 2008. Kemudian juga disampaikan bahwa untuk mengatasi masalah likuiditas
Bank Century, BI akan memberikan FPJP.
Selanjutnya, Siti Fadjrijah menyampaikan pada pihak Century terkait rencana pemberian
FPJP itu. Pada 14 November 2008, akhirnya PBI Nomor 10/30/PBI/2008 ditandatanganii
Boediono.
Kemudian, Boediono juga memberikan surat kuasa kepada Eddy Sulaeman Yusuf selaku
Direktur Direktorat Moneter, Sugeng Selaku Kepala Biro Pengembangan dan Pengaturan
Pengelolaan Moneter, dan Dody Budi Waluyo selaku Kepala Biro Operasi Moneter untuk
menandatangani Akta Pemberian FPJP dan Akta Gadai atas FPJP Bank Century.
Namun, sebelum adanya penandatanganan perjanjian, pemberian FPJP antara BI dan Bank
Century, dana FPJP tahap I telah dicairkan sebesar Rp 356,813 miliar. Penandatanganan
perjanjian pun baru dilakukan keesokan harinya. Setelah itu, dilakukan pencairan FPJP tahap
I sebesar Rp 145,260 miliar dan FPJP tahap II sebesar Rp 187,321 miliar.
"Sampai tanggal 19 November 2008, jumlah pemberian dana FPJP tahap I dan II dari BI
kepada Bank Century sebesar Rp 689,394 miliar. Namun, PT Bank Century masih
mengalami tekanan likuiditas yang berat," terang jaksa.
Penetapan bank gagal berdampak sistemik
Selain itu, Boediono bersama sejumlah anggota Dewan Gubernur BI juga menyetujui
penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Dalam dakwaan disebutkan
agar usulan BI untuk penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik
disetujui Menteri Keuangan, Raden Pardede selaku Sekretaris KSSK sengaja mengubah
lampiran dalam surat analisis bank gagal yang ditandatangani Boediono.
Lampiran itu mulanya oleh Direktorat Pengawasan Bank 1 (DPB1) mencantumkan kalimat,
"Untuk mencapai CAR 8 persen dibutuhkan tambahan modal sebesar Rp 1.770 triliun",
diubah oleh Raden menjadi hanya Rp 632 miliar.
Boediono diduga mengetahui perubahan itu karena ia sempat menanyakan apakah surat
tersebut telah dikoreksi oleh Raden dan disampaikan oleh Dicky Kartikoyono bahwa telah
diubah menjadi Rp 632 miliar. "Selanjutnya surat tersebut ditandatangani Boediono dan
diserahkan kepada Sri Mulyani Indrawati," kata jaksa.

KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN


Sri Mulyani Indrawati

Hingga akhirnya, pada 21 November 2008 diputuskan penetapan Bank Century sebagai bank
gagal berdampak sistemik. Keputusan itu disepakati dalam rapat KSSK dan rapat Komite
Koordinasi yang turut dihadiri Sri Mulyani selaku Ketua KSSK, Boediono selaku anggota
KSSK, Raden Pardede selaku Sekretaris KSSK, dan Arief Surjowidjodjo selaku konsultan
hukum.
Padahal, dalam sesi tanya jawab bersama Sri Mulyani sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner
LPS Rudjito menyampaikan bahwa dalam keadaan normal seharusnya Bank Century tidak
masuk kategori sebagai bank berdampak sistemik. Kepala Kebijakan Fiskal Kementerian
Keuangan Anggito Abimanyu juga menyampaikan analisis risiko sistemik yang diberikan
Bank Indonesia belum didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan Bank
Century dapat menimbulkan risiko sistemik dan lebih pada analisis dampak psikologis.
Selain itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany
menyampaikan bahwa ukuran Bank Century kecil secara finansial sehingga tidak
menimbulkan risiko yang signifikan terhadap bank lain. Dari sisi pasar modal juga tidak
sistemik karena saham Bank Century tidak aktif diperdagangkan.
"Dari sisi lain, apabila bank kecil saja dinyatakan dapat menimbulkan risiko sistemik, dapat
menimbulkan persepsi bahwa perbankan Indonesia sangat rentan," ujar jaksa.
Tak hanya itu, Agus Martowardojo yang saat ini menjabat Gubernur BI juga pernah
memperingatkan agar berhati-hati dalam mengambil keputusan dengan informasi terbatas
karena harus dipertanggungjawabkan pada masyarakat.

Didakwa korupsi secara bersama-sama


Dalam dugaan korupsi pemberian FPJP, Budi didakwa bersama-sama Boediono, Miranda,
Siti Fadjrijah, Budi Rochadi (almarhum) menyetujui pemberian FPJP pada Bank Century
meskipun tidak memenuhi syarat mendapat FPJP dan sengaja mengubah PBI. Ia juga
didakwa bersama-sama pihak Bank Century Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim.
Terkait kasus penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, Budi kembali
didakwa bersama-sama dengan Boediono, Miranda, Siti Fadjriah, Budi Rochadi (almarhum),
serta Muliaman Dharmansyah Hadad, Hartadi A Sarwono, Ardhayadi M, dan Raden Pardede.
Budi diduga menyalahgunakan wewenang demi penyelamatan Bank Century. Ia juga
didakwa memperkaya diri Rp 1 miliar terkait pemberian FPJP.
Atas perbuatannya, negara diduga mengalami kerugian Rp 689,394 miliar terkait pemberian
FPJP. Sementara dalam perkara penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak
sistemik, kerugian negara diduga mencapai Rp 6,762 triliun.

BI Sudah Beri FPJP


Meski Century Belum
Penuhi Persyaratan
Senin, 21 April 2014 14:03 WIB
kompas

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) disebutkan tetap menyuntikkan


dana Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) ke Bank Century, meski persyaratan jaminan
kredit mendapatkan FPJP belum terverifikasi.
Demikian diungkapkan Hermanus Hasan Muslim, mantan Direktur Utama Bank Century saat
bersaksi untuk kasus dugaan korupsi pemberian FPJP dan Bank Century sebagai bank gagal
berdampak sistemik di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (21/4/2014).
Dia menjelaskan, setelah Bank Century kalah kliring, pada tanggal 14 November 2008, BI
memanggilnya sekitar pukul 01.30 WIB. Kemudian bersama wakilnya dan Zainal menghadap

Siti Fajriyah selaku Deputi Pengawasan BI saat itu, menyampaikan bahwa Bank Century
mendapatkan FPJP.
"Urutannya, 13 (November) kami tidak bisa kliring, siangnya banyak nasabah tarik uang.
Saya sudah pulang ke rumah, saya suruh menghadap, saya kira akan ditutup. Siti
mengatakan, akhirnya diputuskan akan dibantu likuiditas bank ini. Kita nanya, apa namanya.
Pagi-pagi kita diminta untuk siapkan dokumen sebagai jaminan ke BI, itu disebut FPJP," kata
Hermanus bersaksi untuk terdakwa Budi Mulya.
Setelah mendapat permitaan BI, sekitar pukul 06.00 WIB, bagian-bagian yang terkait
penyiapan dokumen langsung bekerja dan dalam waktu cukup singkat, sekitar pukul 16.00
atau 17.00 WIB, pihak Bank Century bisa membawa 3 koper dokumen persyaratan ke BI.
Namun dokumen tersebut tidak langsung diterima pihak BI. Pasalnya harus diveridikasi
terlebih dulu untuk menentukan aset nasabah yang layak dijadikan jaminan dan proses
verifikasinya baru selesai sekitar pulul 04.00 WIB.
"Selesai cek dokumen itu jam 4 pagi, karena ada yang kurang, masih ada surat yang di notaris
dan segala macam. Jadi setelah selesai pengecekan dokumen dilakukan pengikatan.
Pengikatannya lebih dulu, jamnya saya lupa, tapi lebih awal antara jam 11-12 malam," kata
Hermanus.
Pengikatan pemberian FPJP itu dilakukan Hermanus dan wakilnya Hamidi, Komisaris Utama
Sulaiman, dan Komisaris Rusli. Sedangkan dari pihak BI Hermanus mengaku tidak begitu
mengenal siapa yang mendatangan pemberian FPJP tersebut.
"Pencairannya sesudah tanda tangan itu, katanya pencairannya sudah dijalankan, kami tidak
tahu, karena penciaran itu langsung ke rekening Bank Century di BI," kata Hermanus.
Menurutnya, selain pemberian FPJP dilakukan sebelum jaminan aset diklarifikasi, FPJP pun
lebih dulu dicairkan BI seperti yang disampaikan pihak pengawas BI bernama Hisbullah
sebesar Rp 502 miliar.
"Tapi dicairkan tanggal 13 adalah Rp 356 milyar untuk memenuhi giro wajib minimum
(GWM). Yang tentukan Rp 356 milyar adalah BI, itu agar tidak melanggar GWM,"
imbuhnya.
Setelah 6 hari kemudian, lanjut Hermanus, dia diberhentikan sebagai direktur utama Bank
Century dan tidak mengetahui proses yang dilakukan untuk menyelamatkan bank yang kini
bersulih nama menjadi Mutiara.
Terkait#Hermanus Hasan Muslim#Bank Century
Berita Terkait: Kasus Century

Saksi Akui Diperintah


Budi Mulya Terbitkan
Surat Petunjuk FPJP ke
Century
RIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Direktur Direktorat Pengelolaan Moneter Bank
Indonesia, Eddy Sulaiman Yusuf, mengaku pernah diperintahkan untuk menerbitkan surat
edaran fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP).
Surat edaran itu dibuat sebagai petunjuk teknis pemberian FPJP ke Bank Century. "Kami
yang bikin, tim dari teman-teman DPM," kata Eddy saat bersaksi untuk terdakwa Budi Mulya
di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis (17/4/2014).
Diungkapkannya, perintah pembuatan surat edaran disampaikan langsung oleh Budi Mulya
yang ketika itu menjabat Deputi Gubernur BI Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa.
Bahkan Budi Mulya, tegas dia, memerintahkan agar petunjuk itu dilaksanakan sebaikbaiknya.
"Perintahnya itu untuk dilakukan sebaik-baiknya," tegas Eddy.
Untuk diketahui, pembuatan surat edaran dilakukan setelah adanya keputusan rapat Dewan
Gubernur BI pada 14 November 2008 yang mengubah peraturan syarat bagi bank umum
mendapat fasilitas FPJP. Diputuskan Peraturan BI Nomor 10/26/PBI/2008 diubah menjadi
PBI Nomor 10/30/PBI/2008.
Atas perintah itu, Eddy menandatangani dan menerbitkan SE BI tanggal 14 November 2008
kepada semua bank di Indonesia perihal FPJP bagi bank umum dan SE BI Intern tentang
petunjuk pelaksanaan pemberian FPJP.
Setelah itu Eddy menyampaikan memorandum ke Direktorat Pengawasan Bank 1 (DPB 1).
Isi memorandum, terang dia, permintaan konfirmasi apakah Bank Century memenuhi
kelayakan menerima FPJP atau tidak.
Direktur DPB 1 kemudian mengirim memorandum tanggal 14 November ke Eddy. Dalam
memorandum DPB 1 menurut Eddy menyatakan Bank Century sudah memenuhi persyaratan
mendapatkan fasilitas FPJP.

"Kami lihat memonya sudah ada persetujuan dari Siti Fadjrijah (Deputi Gubernur Bidang 6
Pengawasan Bank Umum)," imbuhnya.

Saksi : Hingga FPJP


Cair, Century Belum
Lengkapi Dokumen
Jaminan Aset
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Direktur Direktorat Kredit, BPR dan UMKM
(DKBU) Bank Indonesia, Ratna Etchika Amiaty, sudah memprediksi bahwa pemberian
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) ke Bank Century akan menuai masalah di
kemudian hari.
"Ini kan main api, sudah diciptakan dari awal," kata Ratna saat bersaksi untuk terdakwa Budi
Mulya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (11/4/2014).
Pengakuan Ratna tidak tanpa alasan. Menurutnya sampai seluruh FPJP ke bank Century
dicairkan pada 14 November 2008 dan 18 November 2008 sebesar Rp689,3 miliar, bank yang
dimiliki Robert Tantular saat itu, sama sekali belum melengkapi dokumen aset kredit yang
diagunkan.
"Ada hal-hal yang nggak dibuat Century untuk melengkapi asetnya," ujarnya.
Terkait ketidaklengkapan dokumen penjaminan aset Bank Century sebagai salah satu syarat
mendapatkan FPJP, Ratna mengaku telah melaporkannya kepada Deputi Gubernur BI VII
Budi Rochadi secara tertulis dan dilaporkan dalam rapat dewan gubernur (RDG).
Dalam rapat itu Ratna menyampaikan, apabila BI dan Bank Century mengeksekusi agunan
atau jaminan FPJP itu, maka hasil eksekusi dari agunan yang didapatkan tidak sebesar dana
FPJP yang telah diberikan kepada Bank Century.
"Ada beberapa hal yang kurang dari dokumen jaminan itu, walaupun hal itu menurut
pendapat kami tidak terlalu penting. Ya ada yang penting ada yang tidak," kata Ratna.
Sementara Untung Wahyono selaku Deputi Direktur Kredit, BPR dan UMKM (DKBU) BI
menambahkan, bila sebagian jaminan FPJP yang diperjanjikan sebesar Rp 467,99 miliar
ternyata tidak secure, sehingga nilai jaminan hanya sebesar 83 persen dari plafon FPJP.

Menurut Untung, hal ini melanggar ketentuan PBI No.10/26/PBI/2008 juncto PBI
No.10/30/PBI/2008 yang menyatakan bahwa jaminan dalam bentuk aset kredit minimal 150
persen dari plafon FPJP.
"Kami terus melakukan pendataan dan data-data yang kurang terus kita minta," kata Untung.

ATAR BELAKANG MASALAH


Keadaan ekonomi makro Indonesia yang mulai pulih dari dampak krisis global merupakan
suatu indikator yang positif bagi dunia perbankan. Pulihnya kondisi ekonomi makro terlihat
dari berbagai indikator keuangan seperti naiknya indeks pasar saham dunia dan semakin
menguatnya nilai tukar mata uang dunia terhadap Dollar Amerika. Meskipun kondisi
ekonomi makro sudah mulai membaik. Pengorbanan dan kerjasama sangat diperlukan dalam
hal ini dari berbagai pihak terutama dengan memusatkan perhatian pada sektor ekonomi
karena dapat memberikan pengaruh cukup baik untuk tercapainya kemakmuran hidup suatu
bangsa.

Perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan yang memiliki peranan penting dalam
melakukan pertumbuhan pada sektor ekonomi diberbagai wilayah. Menurut undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak. Salah satunya adalah Bank Century.
Banyaknya penyelewengan dana yang dilakukan oleh Bank maka saya mengangkat judul
Audit inventiensi BPK terhadap Bank Century
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka
penulis mengidentifikasi masalah yaitu Audit inventiensi BPK terhadap bank century
1.3 TUJUAN PENULISAN
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengetahui
dan mempelajari sejauh mana Audit inventiensi bpk terhadap bank century
.
1.4 METODE PENULISAN
Metode yang digunakan dalam penulisan ilmiah ini adalah :
1. Studi Pustaka :
Penulis mengambil data-data atau informasi-informasi dari buku perpustakaan.
1. Mencari dalam dunia internet.
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I
: PENDAHULUAN, pada bab ini akan menjelaskan mengenai latar belakang
masalah, pembatasan masalah, tujuan penulisan dan metode penulisan yang akan disajikan
oleh penulis.
BABA II : PEMBAHASAN, pada bab ini akan menguraikan secara rinci Audit
inventiensi bpk terhadap bank century
BAB III : PENUTUP, bab ini merupakan bab terakhir yang akan ditulis oleh penulis yang
berisi kesimpulan dari apa yang sudah diterangkan pada bab-bab sebelumnya, dan juga berisi
saran-saran perbaikan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas oleh penulis.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Menggugat Audit Investigasi Bank Century oleh BPK


Hasil audit investigasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait bailout Bank Century
mulai digugat. Pasalnya, terdapat kejanggalan akibat fakta yang berbeda, demikian juga
fakta-fakta penting lainnya yang tidak dimunculkan dalam audit tersebut.
Seperti diungkapkan oleh pengamat ekonomi Farid Prawirane-gara bahwa dasar BPK
menyatakan adanya indikasi tindakan pidana dalam laporan audit tentang kasus Bank
Century menjadi tanda tanya besar. Pasalnya, oleh BPK juga dalam dua tahun terakhir
membiarkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Bank Indonesia (BI) meraih penilaian
laporan keuangan dengan predikat wajar tanpa pengecualian (clear opinion).
Dengan begitu, ketika BPK secara tiba-tiba mengatakan menemukan indikasi tindakan
kriminal dalam kasus Bank Century, setelah audit investigasi atas permintaan DPR, menjadi
tidak akurat. Jika memang benar sudah ada pelanggaran, seharusnya dalam audit rutin BPK,
sudah menemukan indikasi pelanggaran itu.Laporan audit Century menunjukkan bahwa
BPK mengatakan hal yang bertentangan dalam satu kasus yang sama, ujar Farid dalam
sebuah diskusi di Jakarta, Senin kemarin.
Sementara itu, laporan audit BPK yang diserahkan ke DPR masih belum lengkap untuk
dijadikan bahan pengusutan karena belum menyertakan latar belakang kondisi perekonomian
saat itu sehingga keputusan pengucuran akhirnya dikeluarkan BI saat itu. Artinya, objektifitas
audit pada akhirnya adalah going concern, bahwa latar belakang pengambilan kebijakan juga
harus dilihat secara komprehensif.
Bagi dia, anomali laporan itu berpangkal dari komposisi anggota BPK saat ini. Empat dari
sembilan anggota BPK merupakan mantan anggota Komisi Xl DPR. Sebagai mantan anggota
DPR, mereka biasa telibat dalam audiensi pengelolaan anggaan belanja negara. Mereka biasa
melakukan persetujuan anggaran yang diajukan pemerintah sehingga sebenarnya tak pantas
menjadi auditor.
Untuk itu dia meminta DPR untuk melakukan evaluasi kerja terhadap hasil laporan audit
BPK. Selain belum lengkap, hasil audit juga belum cukup jika untuk melihat apakah
keputusan yang dibuat BI dan Menteri Keuangan dapat berlanjut ke proses penyidikan lebih
lanjut. Sehingga laporan BPK belum cukup untuk mengkrimi-nalisasi kebijakan BI dan
Menteri Keuangan jika memang diperlukan.
Secara terpisah, Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Halim Alamsyah
menegaskan, dalam diskusinya dengan beberapa pakar, bahwa audit BPK terhadap kasus
Century dinilai bukan sebagai audit investigasi. Pasalnya, BPK tidak mengungkapkan seluruh
fakta dalam audit investigasi yang sudah dilakukan.Berdasarkan data BPK hanya ada satu
bank yang CAR nya berada di bawah 8 % per 30 September 2008, yaitu Bank Century.
Padahal di data per 30 September 2008 itu ada 3 bank yang CAR nya di bawah 8 %.Salah
satunya Bank IFI. BI juga belum mengambil langkah lebih lanjut terhadap bank bermasalah
yang belum bisa dibeberkan identitasnya tersebut.
Selain itu, BPK juga tidak mencantumkan perpu yang sudah disetujui DPR yang isinya dalam
kondisi krisis BI dapat mengubah ketentuan dalam menanggulangi kondisi sistemik. Kita
sudah jelaskan semua fakta, tapi tidak sepenuhnya dimasukan dalam pertimbangan BPK,
tandas Halim.Sementara Ketua Ikatan Pegawai Bank Indonesia (IPEBI) Dian Ediana Rae

mengatakan, pengucuran Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) sesuai Peraturan BI,
hanya diberikan kepada bank yang memiliki CAR minimal 8% kemudian oleh BI diubah
menjadi 0% dengan menerbitkan peraturan baru.
Sebagai bank sentral, BI berhak mengeluarkan aturan-aturan terkait penyelamatan bank.
Terutama dalam situasi genting, BI memiliki kebebasan mengambil keputusan. Apakah
mengambil kebijakan baru, atau merombak aturan yang sudah ada.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan hasil audit investigasi atas dana bailout
Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Tidak banyak yang berubah dari hasil audit akhir ini
dibandingkan dengan hasil audit interim sebelumnya. Demikian terungkap dari hasil audit
investigasi BPK atas bailout Bank Century yang disampaikan ke DPR, Menurut Ketua BPK
Hadi Purnomo, hasil audit investigasi Bank Century itu setidaknya mencakup 5 hal yakni:
I. Mengenai proses merger dan pengawasan Bank Century oleh BI.
1. Dalam proses akuisisi dan merger Bank Danpac, Bank CIC dan Bank Pikko menjadi Bank
Century, BI bersikap tidak tegas dan tidak prudent dalam menerapkan aturan dan persyaratan
yang ditetapkannya sendiri.
2. BI tidak bertindak tegas dalam pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Bank Century
selama 2005 sampai 2008. Seperti BI tidak menempatkan Bank Century sebagai bank dalam
pengawasan khusus meskipun CAR bank Century telah negatif 132,5%. BI memberikan
keringanan sanksi denda atas pelanggaran posisi devisa netto atau PDN sebesar 50% atau Rp
11 miliar dan BI tidak mengenakan sanksi pidana atas pelanggaran BMPK.
II. Pemberian FPJP (Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek)
BI patut diduga melakukan perubahan persyarakatan CAR dalam PBI agar Bank Century bisa
mendapatkan FPJP. Pada saat pemberian FPJP, CAR Bank Century negatif 3,53%. Hal ini
melanggar ketentuan PBI nomor 10/30/PBI/2008.
Selain itu, nilai jaminan FPJP yang diperjanjikan hanya sebesar 83% sehingga melanggar
ketentuan PBI no 10/30/PBI/2008 yang menyatakan bahwa jaminan dalam bentuk aset kredit
minimal 150% dari plafon FPJP.
III. Penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan penanganannya oleh LPS
1. A. BI tidak memberika informasi sepenuhnya, lengkap dan mutakhir pada saat
menyampaikan bank Century sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik kepada
KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan). Informasi yang tidak utuh tersebut terkait PPAP
atas SSP (surat-surat berharga), SSB valas yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang
menurunkan CAR dan meningkatkan biaya penanganan. BI baru menerapkan secara tegas
ketentuan PPAP atas aktiva-aktiva produktif setelah Bank Century diserahkan penanganannya
kepada LPS, sehingga terjadi peningkatan biaya penanganan Bank Century dari yang semula
diperkirakan sebesar Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun.
1.B. BI dan KSSK tidak memiliki kriteria yang terukur dalam menetapkan dampak sistemik
Bank Century tetapi penetapannya lebih pada judgement . Proses pengambilan keputusan
tersebut tidak dilakukan berdasarkan data kondisi bank yang lengkap dan mutakhir serta tidak

berdasarkan pada kriteria yang terukur. KSSK menetapkan Bank Century sebagai bank gagal,
berdampak sistemik serta menetapkan penanganannya kepada LPS dengan mengacu pada
Perpu No. 4 tahun 2008.
2. Dari semua ketentuan yang ada menunjukkan bahwa pada saat penyerahan Bank Century
dari komite koordinasi kepada LPS tanggal 21 November 2008 itu kelembaggan komite
koordinasi yang beranggotakan Menkeu sebagai ketua, Gubernur BI sebagai anggota dan
Ketua Dewan Komisioner LPS sebagai anggota belum pernah dibentuk berdasarkan UU.
III.A. Keputusan KSSK tentang penetapan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak
sistemik tanpa menyebutkan biaya penanganan yang harus dikeluarkan oleh LPS. Sampai
saat ini, LPS belum secara resmi menetapkan perhitungan perkiraan biaya penanganan
perkara. Hal tersebut melanggar ketentuan peraturan LPS no 5/PLPS/2006 pasal 6 ayat 1
yang menyatakan bahwa LPS menghitung dan menetapkan perkiraan biaya penanganan gagal
berdampak sistemik.
3.B. Penyaluran PMS (penyerrtaan modal sementara) sebesar Rp 6,7 triliun dilakukan melalui
4 tahap. Keempat tahap tersebut tambahan PMS yang tahap II sebesar Rp 2,2 triliun tidak
dibahas dengan Komite Koordinasi. Hal ini bertentangan dengan pasal 33 PLPS. Dimana
intinya, selama bank gagal sistemik dalam penanganan LPS, maka LPS harus meminta
komite koordinasi untuk membahas permasalahan bank serta langkah-langkah yang diambil
kepada komite koordinasi.
PMS tahap II yang sebesar RP 2,2 triliun tersebut disalurkan untuk memenuhi kebutuhan
likuiditas dengan permintaan dari manajemen Bank Century. Padahal ketentuan dalam PLPS
nomor 5 tidak memungkinkan LPS untuk memberikan bantuan dalam rangka memenuhi
kebutuhan likuiditas. Kemudian LPS melakukan perubahan ketentuan dari PLPS no 5 dengna
PLPS no 3 tahun 2008 tanggal 5 Desember 2008 dimana LPS dapat memenuhi kebutuhan
likuiditas bank gagal sistemik. Dan pada tanggal yang sama, Dewan Komisioner LPS
memutuskan untuk menambah biaya penanganan Bank Century untuk memenuhi likuiditas
sebesar Rp 2,2 triliun.
Demikian patut diduga bahwa perubahan PLPS merupakan rekayasa yang dilakukan agar
Bank Century dapat memperoleh tambahan PMS.
3.C. Berdasarkan dokumen notulensi rapat paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008,
penjelasan Ketua DPR periode 2004-2009, surat Ketua DPR RI kepada Ketua BPK pada
tanggal 1 September 2009 perihal permintaan audit investigasi dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu terhadap Bank CEntury serta berdasarkan laporan Komisi XI DPR mengenai
pembahasan laporan kemajuan pemeriksaan investigasi kasus Bank Century dalam rapat
paripurna DPR tanggal 30 September 2009, DPR menyatakan bahwa Perpu No 4 tahun 2008
tentang JPSK ditolak oleh DPR. Penyertaan Modal Sementara kepada Bank Century sebesar
Rp 6,7 triliun, dari jumlah tersebut diantaranya sebesar Rp 2,8 triliun disalurkan setelah
tanggal 18 Desember 2008. Sebagian PMS tahap II sebesar Rp 1,1 triliun, PMS tahap III
sebesar Rp 1,15 triliun dan PMS tahap IV sebesar Rp 630,2 miliar, BPK berpendapat bahwa
penyaluran dana PMS kepada Bank Century setelah tanggal 18 Desember 2008 tidak
memiliki dasar hukum.
IV. Penggunaan Dana FPJP dan PMS

1. Penarikan dana dari pihak terkait dalam periode Bank Century ditempatkan dalam
pengawasan khusus yakni pada 6 November 2008 sampai 11 Agustus 2009 sebesar ekuivalen
Rp 938,65 miliar melanggar ketentuan PBI no 6 /9/PBI 2004 tentang tindak lanjut
pengawasan dan penetapan status bank sebagaimana diubah dengan PBI no 7/38/PBI/2005
yang menyatakan bahwa bank berstatus dalam pengawasan khusus dilarang melakukan
transaksi dengan pihak terkait dan atau pihak-pihak lain yang ditetapkan BI kecuali telah
memperoleh eprsetujuan BI.
2. Bank Century telah mengalami kerugian karena mengganti deposito milik salah satu
nasabah Bank Century yang dipinjamkan atau digelapkan sebesar US$ 18 juta dengan dana
yang berasal dari PMS. Selain itu, pemecahan deposito nasabah tersebut menjadi 247
Negotiable Certificate Deposit (NCD) dengan nilai nominal masing-masing Rp 2 miliar
dilakukan untuk mengantisipasi jika Bank Century ditutup maka deposito nasabah tersebut
termasuk deposito yang dijamin oleh LPS.
V. Praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan oleh pengurus bank,
pemegang saham dan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan Bank Century yang merugikan
Bank Century.
Dalam penanganan Bank Century, LPS telah mengeluarkan biaya penanganan untuk
penyertaan modal sementara sebesar Rp 6,7 triliun yang digunakan untuk menutupi kerugian
Bank Century. Dari jumlah tersebut sebesar RP 5,86 triliun merupakan kerugian Bank
Century akibat adanya praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan
yang dilakukan oleh pengurus bank, pemegang saham maupun pihak terkait Bank Century.
Karena Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal, dan penanganannya dilakukan oleh
LPS, maka kerugian itu harus ditutup melalui penyertaan modal sementara oleh LPS yang
merupakan bagian dari keuangan negara. Permasalah-permasalahan yang timbul adalah
permasalahan surat-surat berharga dan transaksi-transaksi pada Bank Century yang
mengakibatkan kerugian Bank Century. Kemudian praktek-praktek perbankan yang tidak
sehat yang dilakukan oleh pemegang saham, pengurus dan pihak terkait lainnya diduga
melanggar pasal 8 ayat 1, pasal 49 ayat 1 dan pasal 50 serta pasal 50 a UU No 10 tahun 1998
tentang perubahan atas UU No 7 tahun 1992 tentang perbankan telah merugikan Bank
Century sekurang-kurangnya sebesar Rp 6,32 triliun yang pada akhirnya kerugian tersebut
ditutup dengan dana PMS dari LPS.
2.2 Ringkasan Laporan Hasil Audit Investigasi BPK
Gambaran Umum
Bank Century (BC) adalah hasil merger tiga bank, yaitu Bank Pikko,Bank Danpac,dan Bank
CIC pada bulan Desember 2004. Berdasarkan hasil pemeriksaan BI, dalam kurun waktu
tahun 2005 hingga 2008, BC mengalami berbagai permasalahan terutama berkaitan dengan
kepemilikan suratsurat berharga (SSB) yang berkualitas rendah, dugaan pelanggaran Batas
Maksimal Pemberian Kredit (BMPK) oleh pengurus bank, dan dugaan pelanggaran Posisi
Devisa Neto (PDN).
Sejak 29 Desember 2005,BC dinyatakan berada dalam pengawasan intensifoleh BI karena
permasalahan terkait SSB dan perkreditan yang berpotensi menimbulkan kesulitan keuangan,
serta membahayakan kelangsungan usaha bank. Kemudian, pada 6 November 2008,BI

menetapkan BC sebagai bank dalam pengawasan khusus dengan posisi rasio kewajiban
penyediaan modal minimum atau capital adequacy ratio (CAR) saat itu 2,35%.
Untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang dihadapinya, pada 14, 17, dan 18 November 2008
BC menerima FPJP dari BI dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp689 miliar. Setelah
menerima FPJP, kondisi BC terus memburuk yang ditandai dengan menurunnya CAR per 31
Oktober 2008 menjadi negatif 3,53%. Sehingga, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada
20 November 2008,BI menetapkan BC sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak
sistemik.
Keputusan tersebut disampaikan kepada KSSK dengan Surat BI No lO/232/ GBI/Rahasia
tanggal 20 November 2008 tentang Penetapan Status Bank Gagal PT Bank Century Tbk dan
Penanganan Tindak Lanjutnya. Selanjutnya, setelah melalui proses pembahasan, dalam Rapat
KSSK tanggal 21 November 2008 dan dengan Keputusan No 04/ KSSK.03/2008,
KSSK menetapkan, (1) PT Bank Century Tbk sebagai Bank Gagal yang Berdampak Sistemik
sesuai dengan Surat Gubernur BI No lO/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008; dan
(2) Penanganan bank gagal sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama kepada LPS untuk
dilakukan penanganan sesuai dengan Undang-Undang (UU) No 24 Tahun 2004 tentang LPS.
Sesuai Pasal 21 ayat (3) UU LPS, LPS melakukan penanganan bank gagal yang berdampak
sistemik setelah Komite Koordinasi (KK) menyerahkan penanganannya kepada LPS.
Keputusan KSSK tersebut kemudian dijadikan pertimbangan oleh KK untuk mengeluarkan
Keputusan KK No OI/KK.01/2008 tanggal 21 November 2008 yang menetapkan: (1)
Menyerahkan penanganan PT Bank Century Tbk yang merupakan bank gagal yang
berdampak sistemik kepada LPS. (2) Penanganan bank gagal sebagaimana dimaksud pada
diktum pertama dilakukan sesuai dengan UU No 24 Tahun 2004 tentang LPS.
Setelah penyerahan tersebut, dalam rangka penanganan, LPS telah melakukan tindakan
penanganan BC,antara lain,mengganti direksi dan komisaris serta mengeluarkan dana untuk
PMS sebesar Rp6,76 triliun yang dikucurkan secara bertahap sejak 24 November 2008
hingga 24 Juli 2009.
2.3 Temuan Pemeriksaan
BPK mengelompokkan temuan pemeriksaan menjadi lima yaitu, (1) Proses merger dan
pengawasan BC oleh BI. (2) Pemberian FPJP. (3) Penetapan BC sebagai bank gagal
berdampak sistemik dan penanganan nya oleh LPS. (4) Penggunaan dana FPJP dan PMS. (5)
Praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan oleh pengurus bank,
pemegang saham, dan pihakpihak terkait dalam pengelolaan BC yang merugikan BC.
2.4 Proses Merger dan Pengawasan BC oleh BI 1.
BC adalah hasil merger tiga bank yaitu Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC. Merger
ketiga bank tersebut didahului dengan adanya akuisisi Chinkara Capital Ltd (Chinkara)
terhadap Bank Danpac dan Bank Pikko, serta kepemilikan saham Bank CIC. Chinkara adalah
sebuah perusahaan yang berdomisili di Kepulauan Bahama. Pemegang saham mayoritas
Chinkara adalah RAR.

Persetujuan prinsip atas akuisisi diputuskan dalam RDG BI pada 27 November 2001.
Persetujuan akuisisi diberikan BI meski Chinkara tidak memenuhi persyaratan administratif
berupa publikasi atas akuisisi oleh Chinkara, laporan keuangan Chinkara untuk tiga tahun
terakhir, dan rekomendasi pihak berwenang di negara asal Chinkara. RDG BI juga
mensyaratkan agar ketiga bank tersebut melakukan merger, memperbaiki kondisi bank,
mencegah terulangnya tindakan melawan hukum, serta mencapai dan mempertahankan CAR
8%.
Izin akuisisi pada akhirnya diberikan pada 5 Juli 2002 meski dari hasil pemeriksaan BI
terdapat indikasi adanya perbuatan melawan hukum yang melibatkan Chinkara pada Bank
CIC. BI tetap melanjutkan proses merger atas ketiga bank tersebut meski berdasarkan hasil
pemeriksaan BI periode tahun 2001 hingga 2003 ditemukan adanya pelanggaran signifikan
oleh ketiga bank tersebut antara lain, a.
Pada Bank CIC, terdapat transaksi SSB fiktif senilai USD25 juta yang melibatkan Chinkara
dan terdapat beberapa SSB yang berisiko tinggi sehingga bank wajib membentuk Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang berakibat CAR menjadi negatif, serta
pembayaran kewajiban general sales management 102 (GSM 102) dan penarikan Dana Pihak
Ketiga (DPK) dalam jumlah besar yang mengakibatkan bank mengalami kesulitan likuiditas,
serta pelanggaran PDN. b.
Pada Bank Pikko,terdapat kredit kepada Texmaco yang dikategorikan macet dan selanjutnya
ditukarkan dengan medium term notes (MTN) Dresdner Bank yang tidak memiliki notes
rating, sehingga bank wajib membentuk PPAP yang berakibat CAR menjadi negatif. Proses
akuisisi seharusnya dapat dibatalkan jika mengacu pada persyaratan yang ditentukan oleh BI
dalam persetujuan akuisisi tanggal 5 Juli 2002.
Persyaratan tersebut antara lain, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Bank CIC
terbukti bahwa Chinkara sebagai pemegang saham bank melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan perundang- undangan atau dinyatakan tidak lulusdalam penilaian fit and propper
test. Pada 6 Desember 2004,BI memberikan persetujuan merger atas ketiga bank tersebut.
Pemberian persetujuan merger tersebut dipermudah berdasarkan catatan Direktur Direktorat
Pengawasan Bank 1/DPwBl (SAT) kepada Deputi Gubernur/DpG (AP) dan Deputi Gubernur
Senior/DOS (AN) pada 22 Juli 2004. Bentuk kemudahan tersebut adalah, (1) SSB pada Bank
CIC yang semula dinilai macet oleh BI menjadi dinilai lancar sehingga kewajiban pemenuhan
setoran kekurangan modal oleh pemegang saham pengendali (PSP) menjadi lebih kecil dan
akhirnya CAR seolah-olah memenuhi persyaratan merger, (2) Hasil fit and propper test
sementara atas pemegang saham (RAR) yang dinyatakan tidak lulus,ditunda penilaiannya
dan tidak diproses lebih lanjut.
Pemberian kelonggaran tersebut tidak pernah dibahas dalam forum RDG namun hanya
dilaporkan dalam catatan Direktur DPwBl (SAT) tanggal 22 Juli 2004. Dalam proses
pemberian izin merger terjadi manipulasi oleh Direktur DPwBl (SAT) yang menyatakan
seolah-olah Gubernur BI (BA) memberikan disposisi bahwa merger ketiga bank tersebut
mutlak diperlukan.
Dalam keterangan dan Surat BA kepada Pjs Gubemur BI tanggal 2 November 2009, BA
menyatakan bahwa tidak pernah memberikan disposisi yang menyatakan mergermutlak

diperlukan. Dan BA juga menyatakan bahwa telah terjadi manipulasi oleh Direktur DPwBl
(SAT) dalam catatan yang disampaikan kepada DOS (AN) dan DpG (AP) tersebut.
BI tidak menerapkan aturan dan persyaratan dalam pelaksanaan akuisisi dan merger
sebagaimana diatur dalam, (1) Surat Keputusan (SK) Direksi BI No 32/51/KEP/DIR tanggal
14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank
Umum; (2) SK Direksi BI No 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas
Aktiva Produktif; dan (3) Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 2/l/PBI/2000 tanggal 14
Januari 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (fit and propper test)
sebagaimana terakhir diubah dengan PBI No 5/25/PBI/2003 tanggal 10 November 2003.
Dengan demikian,dapat disimpulkan bahwa dalam proses akuisisi dan merger Bank
Danpac,Bank Pikko, dan Bank CIC menjadi BC, BI bersikap tidak tegas dan tidak prudent
dalam menerapkan aturan dan persyaratan yang ditetapkannya sendiri. 2. BI tidak bertindak
tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan BC selama tahun 20052008. a.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BI atas BC yang diterbitkan pada 31 Oktober 2005,
diketahui bahwa posisi CAR BC per 28 Februari 2005 (dua bulan setelah merger) adalah
negatif 132,5%.
Sesuai dengan ketentuan dalam FBI No 3/21/PBI/2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Bank Minimum Bank Umum dan PBI No.6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan
dan Penetapan Status Bank sebagaimana diubah dengan PBI No 7/38/PB 1/2005, seharusnya
BC ditetapkan sebagai bank dalam pengawasan khusus sejak Laporan Hasil Pemeriksaan
BI atas BC diterbitkan pada 31 Oktober 2005.
Atas usul Direktur DPwB 1 (RS) dan disetujui DpG Bidang 6 (SCF), BC hanya ditetapkan
sebagai bank dalam pengawasan intensif. Nilai CAR BC per 28 Februari 2005 menjadi
sebesar negatif 132,5%,terutama disebabkan adanya aset berupa SSB sebesar USD203 juta
yang berkualitas rendah, di antaranya sebesar USD116 juta yang masih dikuasai pemegang
saham.
BI menyetujui untuk tidak melakukan penyisihan 100% atau pengakuan kerugian (PPAP)
terhadap SSB tersebut. Meski menurut PBI No 7/2/ PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum,seharusnya atas SSB tersebut dilakukan PPAP atau penyisihan sebesar
100%. Hal tersebut merupakan rekayasa akuntansi yang dilakukan BC agar laporan keuangan
bank tetap menunjukkan kecukupan modal dan ini disetujui BI sebagai pengawas bank.
BI menyetujui kondisi tersebut dengan alasan, pemegang saham telah berkomitmen untuk
menjualkan SSB bermasalah serta membuat skema penyelesaian melalui assets management
agreement (AMA) dan assets sales and purchase agreement (ASPA). Namun, komitmen dan
skema penyelesaian tersebut tidak pernah dilaksanakan oleh PSP.
Sementara itu, pengawas BI tidak memerintahkan manajemen BC untuk melakukan
penyisihan dan tidak mengakui adanya kerugian atas SSB.Jika BI bertindak tegas terhadap
BC, terutama penerapan ketentuan mengenai penyisihan SSB, maka nilai CAR BC menjadi
negatif.
Dan, sesuai dengan ketentuan BI tentang tindak lanjut pengawasan dan penetapan status
bank, BC seharusnya ditempatkan dalam pengawasan khusussejak 31 Oktober 2005. Bank
yang ditempatkan dalam pengawasan khusus adalah bank yang mengalami kesulitan yang

membahayakan kelangsungan usahanya, sehingga BI mengharuskan bank dan PSP untuk


menyelesaikan permasalahan tersebut dalam waktu enam bulan (bisa diperpanjang selama
tiga bulan).
Apabila dalam periode tersebut ternyata permasalahan bank tidak terselesaikan, maka BI
akan menyatakan sebagai bank gagal. Sedangkan bank dalam pengawasan intensifadalah
bank yang mengalami kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya,sehingga
BI mengharuskan bank dan PSP untuk menyelesaikan permasalahan bank tanpa ada batasan
waktu yang jelas.
Penetapan BC hanya dalam pengawasan intensifmengakibatkan tidak adanya kekuatan bagi
BI untuk memaksa pemegang saham agar menyelesaikan permasalahan dalam jangka waktu
yang jelas, serta tidak memberikan kepastian hukum bagi BI untuk mengambil tindakan jika
pemegang saham tidak dapat menyelesaikan permasalahan tersebut.
Hal tersebut di atas melanggar ketentuan, 1) FBI No.7/27PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum yang mengatur bahwa SSB yang tidak diperdagangkan di bursa efek,
tidak terdapat informasi nilai pasar secara transparan, dan tidak memiliki peringkat investasi,
maka SSB tersebut dinilai macet dan harus dibentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif (PPAP) 100%. 2) PBI No 3/21/PBI/2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum yang mengatur bahwa bank yang tidak dapat memenuhi modal
minimum (CAR) 8% akan ditempatkan dalam pengawasan khusus
Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan yang berlaku. 3) PBI No-6/9/PBI/2004 tentang
Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana diubah dengan PBI No
7/38/PBI/2005 yang mengatur bahwa bank diterapkan dalam pengawasan khusus bila
memenuhi satu atau lebih kriteria,yakni CAR di bawah 8% atau rasio Giro Wajib Minimum
(GWM) dalam rupiah kurang dari rasio yang ditetapkan untuk GWM dengan perkembangan
yang memburuk dalam waktu singkat atau berdasarkan penilaian BI mengalami kesulitan
likuiditas yang mendasar. b.
Sejak tahun 2005 sampai 2007,hasil pemeriksaan BI atas BC menemukan pelanggaran Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dalam kegiatan BC. Namun, BI tidak mengambil
tindakan yang tegas.Pelanggaran BPMK tersebut antara lain,melalui pembelian SSB valas
yang berkualitas rendah, penempatan antarbank yang menurut Bankers Almanak Tahun 2003
tidak termasuk dalam Top 200, dan pemberian fasilitas letter of credit (L/C) yang hanya
dijamin dengan bankers acceptance.
Hal tersebut melanggar ketentuan PHI No 7/3/PBI/ 2005 tentang BMPK Bank Umum yang
menyatakan bahwa bank yang tidak menyelesaikan pelanggaran BMPK selain dikenakan
sanksi administrasi terhadap dewan komisaris, direksi, pegawai bank, pemegang saham,
maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 49 ayat (2) buruf b, Pasal 50, dan Pasal 50 A Undang- Undang (UU) No 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No 10 Tahun 1998. c.
Sejak tahun 2004,BC melakukan pelanggaran terhadap ketentuan PDN. Sehingga, sesuai
ketentuan, BC seharusnya diberikan sanksi denda sebesar Rp22 miliar. Dalam
pelaksanaannya,BI memberikan keringanan denda sebesar 50%. Sehingga BC hanya
membayar sanksi denda sebesar Rp22 miliar.Pemberian keringanan denda tersebut
bertentangan dengan ketentuan dalam FBI No 7/37/PBI/2005 tentang PDN Bank Umum yang

mengatur bahwa bank wajib memelihara PDN secara keseluruhan setinggi-tingginya 20%
dari modal dan untuk neraca setinggi- tingginya 20% dari modal tengah hari kerja dan akhir
hari kerja.
Terhadap bank yang tidak memenuhi ketentuan tersebut, selain dikenakan sanksi
administrasi, juga dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp250 juta setiap
hari pelanggaran. d. Pengawas BI tidak mengungkapkan berbagai pelanggaran lainnya yang
dilakukan pemegang saham, pengurus bank, dan pihakpihak terkait dengan BC yang
mengakibatkan kerugian BC, seperti pemberian kredit dan fasilitas L/C yang melanggar
ketentuan dan pengeluaran biaya-biaya fiktif.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut baru diungkapkan Tim Investigasi BI saat BC telah
ditangani LPS (tahun 2005 sampai 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa Bl tidak
bertindak tegas dalam penerapan ketentuan BI terhadap pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan BC. BI membiarkan BC melakukan rekayasa akuntansi, sehingga seolah-olah BC
masih memenuhi kecukupan modal (CAR) dengan cara membiarkan BC melanggar
ketentuan PBI No 7/2/PBI/ 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Produktif Bank Umum.
BI baru bersikap tegas menerapkan ketentuan BI mengenai PPAP saat BC telah ditangani
oleh LPS.
2.5 Pemberian FPJP ( Fasilitas Pinjaman Jangka Panjang)
Sehubungan dengan kesulitan likuiditas yang dihadapinya,BC mengajukan permohonan repo
aset kredit kepada BI pada 30 Oktober 2008 sebesar Rp1 triliun.Bl kemudian memproses
permohonan tersebut sebagai permohonan FPJP.Saat mengajukan permohonan FPJP, posisi
CAR BC menurut perhitungan BI adalah positif 2,35% (posisi 30 September 2008).
Sementara itu, PBI No lO/26/PBI/ 2008 tanggal 30 Oktober 2008 mensyaratkan bahwa untuk
memperoleh FPJP, bank harus memiliki CAR minimal 8%.
Dengan demikian, BC tidak memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP. Pada 14 November
2008 BI mengubah PBI mengenai persyaratan pemberian FPJP dari semula CAR minimal 8%
menjadi CAR positif.Padahal,menurut data BI, posisi CAR bank umum per 30 September
2008 berada di atas 8%, berkisar antara 0,39 % sampai 476,34%, di mana satu-satunya bank
yang CAR-nya di bawah 8% adalah BC.
Dengan demikian, perubahan persyaratan CAR dalam PBI tersebut patut diduga dilakukan
untuk merekayasa agar BC dapat memperoleh FPJP. Dengan perubahan ketentuan tersebut,
dan dengan menggunakan posisi CAR per 30 September 2008 sebesar positif 2,35%, BI
menyetujui pemberian FPJP kepada BC sebesar Rp502,07 miliar pada 14 November 2008
yang dicairkan pada hari yang sama pukul 20.43 WIB sebesar Rp356,81 miliar dan tanggal
17 November 2008 sebesar Rp145,26 miliar.
Kemudian, pada 18 November 2008, BC mengajukan tambahan FPJP sebesar Rp319,26
miliar. Permohonan tersebut disetujui sebesar Rpl87,32 miliar dan kemudian dicairkan BI
pada hari yang sama.Dengan demikian,total pemberian FPJP adalah sebesar Rp689 miliar.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa posisi CAR BC pada 31 Oktober 2008 (sebelum
persetujuan FPJP) sudah negatif 3,53%.
Hal ini melanggar ketentuan PBI No lO/30/PBI/ 2008 yang menyatakan, bahwa bank yang
dapat mengajukan FFJP adalah bank dengan CAR positif. Selain itu, sebagai jaminan FPJP

yang diperjanjikan sebesar Rp467,99 miliar, ternyata tidak secure menurut penilaian
Direktorat Kredit, BPR, dan UMKM (DKBU) BI, sehingga nilai jaminan hanya sebesar 83%
dari plafon FPJP. Hal ini melanggar ketentuan PBI N0 10/26/PBI/2008 juncto PBI No.lO/
30/PBI/2008 yang menyatakan, bahwa jaminan dalam bentuk aset kredit minimal 150% dari
plafon FPJP.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Karena Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal, dan penanganannya dilakukan oleh
LPS, maka kerugian itu harus ditutup melalui penyertaan modal sementara oleh LPS yang
merupakan bagian dari keuangan negara. Permasalah-permasalahan yang timbul adalah
permasalahan surat-surat berharga dan transaksi-transaksi pada Bank Century yang
mengakibatkan kerugian Bank Century. Kemudian praktek-praktek perbankan yang tidak
sehat yang dilakukan oleh pemegang saham, pengurus dan pihak terkait lainnya diduga
melanggar pasal 8 ayat 1, pasal 49 ayat 1 dan pasal 50 serta pasal 50 a UU No 10 tahun 1998
tentang perubahan atas UU No 7 tahun 1992 tentang perbankan telah merugikan Bank
Century sekurang-kurangnya sebesar Rp 6,32 triliun yang pada akhirnya kerugian tersebut
ditutup dengan dana PMS dari LPS.
Dalam penanganan Bank Century, LPS telah mengeluarkan biaya penanganan untuk
penyertaan modal sementara sebesar Rp 6,7 triliun yang digunakan untuk menutupi kerugian
Bank Century. Dari jumlah tersebut sebesar RP 5,86 triliun merupakan kerugian Bank
Century akibat adanya praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan
yang dilakukan oleh pengurus bank, pemegang saham maupun pihak terkait Bank Century.
4.2 Saran
Saran penulis untuk perbaikan audit investigasi yang dilakukan Bank Indonesia (BI) terhadap
Bank Century harus melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pasalnya, dana lebih dari
Rp 700 miliar yang disuntikkan LPS ke Bank Century, merupakan uang negara

Anda mungkin juga menyukai