Anda di halaman 1dari 6

Ilmu dan Teknologi Pangan

KIMIA PANGAN
Intermediate Moisture Foods and Hurdle Concept

SUAIDAH (H0914086)
9/19/2015

Intermediate Moisture Foods (IMF) atau Makanan Semi Basah


Intermediate Moisture Food (IMF) atau bisa disebut juga makanan semi
basah adalah bahan pangan yang mempunyai kandungan air 15 - 50% dan aw
sekitar 0,6 0,85. Produk ini stabil pada suhu kamar. Bersifat plastis & tidak
kering dan memungkinkan pangan tersebut untuk dapat langsung dimakan.
Produk ini kadang ditambah dengan gliserol, glikol, sorbitol, sukrosa yang
berfungsi untuk mempertahankan kadar air pada bahan pangan. IMF juga kadang
ditambah dengan sorbat dan senyawa benzoat untuk menghambat pertumbuhan
kapang. Sedangkan menurut Karel (1976), pangan semi basah ada dua tipe, yaitu
tradisional dan modern. Beberapa pangan semi tradisional adalah hasil olahan
tanpa penambahan humektan, hasil olahan dengan penambahan gula, hasil olahan
dengan penambahan gula dan garam serta produk rerotian. Sedangkan tipe pangan
basah modern dibagi menjadi tiga tipe, yaitu penyeduhan basah (bagian bahan
pangan padat dimasukkan ke dalam larutan sehingga produk akhirnya mempunyai
nilai aw seperti yang dikehendaki), penyeduhan kering (bagian bahan pangan
padat direhidrasi terlebih dahulu, kemudian diseduh dengan larutan yang memiliki
komponen osmotik yang diinginkan), dan yang ketiga pencampuran (komponenkomponen bahan pangan ditimbang, dicampur, dimasak, dan diekstruksi atau cara
pengolahan lain sehingga menghasilkan produk akhir dengan nilai aw seperti yang
diinginkan).
Menurut Leistner (1976), prinsip proses pengolahan pangan secara
modern untuk pangan semi basah adalah melakukan penurunan nilai aw sampai
pada tingkat dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh tetapi masih tersedia
cukup air dalam bahan pangan tersebut untuk menjaga tingkat keenakannya.
Kelebihan IMF Menurut Fennema (1996), IMF memiliki kandugan air yang
cukup rendah dan kalori yang terkandung dapat ditingkatkan dengan mengatur
formulanya, serta produk tersebut bersifat stabil dan memilik tingkat keawetan
selama beberapa bulan tanpa adanya perlakuan pengawetan lain seperti
pengeringan, pendinginan maupun pembekuan.

Menurut Koswara (2006), makanan semi basah pada umumnya


mempunyai daya awet yang sedang. Jika disimpan pada suhu ruang akan
mempunyai keawetan sekitar 12 hari. Sebagai makanan semi basah, masih
mempunyai aktivitas air (aw) yang cukup tinggi, sehingga mudah mengalami
kerusakan baik secara mikrobiologi maupun kimiawi. Agar pangan semi basah
memiliki umur simpan yang cukup panjang, aktivitas air (aw) produk pangan ini
harus dikendalikan dengan penambahan humektan sehingga umur simpan produk
dapat diperpanjang. Penggunaan humektan bertujuan untuk menurunkan nilai aw.
Gliserol merupakan humektan yang termasuk dalam golongan poliol. Poliol baik
dipakai sebagai humektan karena berat molekulnya relatif kecil, mempunyai daya
serap yang besar terhadap air, kebanyakan berbentuk cairan dan toxisitasnya
sangat kecil (Basuki, 2013).
Contoh aplikasinya pada bidang pangan:
1. Jenang dodol merupakan makanan semi basah (Intermediate Moisture
Food) atau makanan yang memiliki kadar air sedang, hal ini dikarenakan
kadar airnya berkisar antara 15 sampai 50% dan aktivitas air kurang dari
0,9 (Triwarsita, 2013).
2. Getuk ubi jalar ungu merupakan salah satu makanan yang berasal dari ubi
jalar ungu dan merupakan produk pangan semi basah. Menurut Soekarto
(1979) dalam Yulia, K. (2011) mendefinisikan makanan semi basah
sebagai makanan dengan kadar air 10-40% dengan nilai aw 0.6-0.9 serta
mempunyai tekstur yang plastis sehingga memungkinkan untuk dapat
dibentuk dan dapat langsung dimakan (Basuki, 2013).
3. Dodol rumput laut merupakan makanan semi basah yang memerlukan
pengolahan khusus agar dihasilkan bentuk akhir dodol sesuai dengan
syarat syarat pangan semi basah. Untuk mengatasi hal tersebut
diperlukan penambahan sirup glukosa dan suhu pengeringan yang tepat
(Purwanto, 2013).

HURDLE CONCEPT

Hurdle concept adalah kombinasi berbagai mekanisme pada proses


pengawetan. Teknologi hurdle tidak hanya sekedar mengkombinasikan berbagai
metode pengawetan, namun juga dapat digunakan untuk mengoptimalkan efek
pengawetan yang dinginkan tanpa memberikan perlakuan pengawetan yang
berlebihan.

Aplikasi

teknologi

hurdle

tidak

terbatas

pada

pencegahan

pertumbuhan mikrooganisme untuk menjamin keamanan pangan, namun juga


berpengaruh terhadap kualitas pangan. Pengaruhnya terhadap kualitas pangan atau
poduk dapat positif atau negatif, tergantung pada intensitasnya.
Beberapa hurdle (misalnya produk reaksi Maillard atau pemberian garam
nitrat/nitrit) memiliki aktivitas sebagai senyawa antimikroba dan secara
bersamaan dapat memperbaiki flavor. Akan tetapi beberapa hurdle memberikan
efek negatif terhadap beberapa bahan pangan, misalnya pendinginan dapat
merusak jaringan bahan pangan (chilling injury), sehingga pendinginan bahan
pangan tertentu, seperti pisang, harus dilakukan pada suhu sedang. Hal yang sama
untuk penambahan asam pada sosis yang harus dilakukan pada konsentrasi yang
cukup

untuk menghambat

pertumbuhan

bakteri

patogen,

namun

tidak

mempengaruhi rasa. Untuk memperoleh stabilitas pangan yang baik dan


menjamin keamanan pangan, maka hurdle harus diaplikasikan sedemikian rupa.
Jika intensitas atau konsentrasi hurdle terlalu kecil maka harus ditambah atau
diperkuat. Namun, apabila hurdle merusak mutu pangan, misalnya merusak
nutrisi, warna dan tekstur, maka harus dikurangi dan ditambah hurdle lain yang
dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme target pada pangan tersebut.
Kelebihan metode ini pada bahan pangan akan menjadikan pangan tersebut
menjadi lebih tahan lama.
Contoh aplikasinya pada bidang pangan:
1. Produk keju oles dengan mempertimbangkan kualitas dan keamanan. Produk
ini memiliki pH di atas 4.5 dengan aw di atas 0.85. Supaya produk ini
memiliki umur simpan yang panjang dan tetap terjamin keamanan
pangannya, maka produk ini harus disterilisasi. Namun proses sterilisasi akan
menyebabkan penurunan kualitas. Oleh karena itu, produk ini dipasteurisasi.

Namun untuk menjamin produk ini aman, maka terhadap produk ini
ditambahkan garam, asam dan aw-nya diturunkan, sehingga produk dapat
2.

tetap awet dan aman, tanpa merusak kualitas sensori dan kimianya.
Bacon yang dibuat dengan garam nitrit yang dikurangi. Proses ini dikenal
sebagai proses Wisconsin. Secara tradisional bacon atau produk kuring
lainnya diberi garam nitrit untuk mencegah pertumbuhan Clostridium dan
membentuk warna serta flavor. Namun, adanya nitrit dapat menyebabkan
pembentukan yang bersifat karsinogenik ketika produk digoreng. Oleh karena
itu untuk menjamin keamanan dan kualitas sensori, dikembangkan proses
dengan kadar nitrit yang dikurangi, namun untuk menjamin keamanan
pangan, selama proses ditambahkan bakteri asam laktat dan sukrosa. Jika
terjadi peningkatan suhu selama penyimpanan, maka bakteri asam laktat akan
tumbuh dan memfermentasi gula serta menghasilkan asam. Asam yang
dihasilkan menurunkan pH sekaligus juga bersifat antimikroba, sehingga
menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Dengan demikian, bacon ini
distabilkan dengan beberapa hurdle termasuk pengawet, suhu dingin, mikroba
kompetitor dan pH, tanpa merubah kualitas sensori produk.

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Wasito Wahyu., Windi Atmaka, dan Dimas Rahadian Aji Muhammad.
2013. Pengaruh Penambahan Berbagai Konsentrasi Gliserol Terhadap
Karakteristik Sensoris, Kimia dan Aktivitas Antioksidan Getuk Ubi Jalar
Ungu (Ipomoea batatas). Jurnal Teknosains Pangan Vol. 2 No. 1 Januari
2013 (2).
Lee, S.Y dan D.H. Kang. 2004. Microbial safety of pickled fruits and vegetables
and hurdle technology. Internet J. of Food Safety, Vol 4:21-23.
Noeroktiana, Wiga. 2000. Kajian Pembuatan Formulasi Pangan Semi Basah
Bergizi Tinggi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Ohlsson, T, dan N. Bengtsson. 2002. Minimal Processing Technology in the Food
Industry. CRC Press LLC, New York.
Triwarsita, Wisnu Samuel Atmaja., Windi Atmaka, dan Dimas Rahadian Aji
Muahammad. 2013. Pengaruh Penggunaan Edible Coating Pati Sukun
(Artocarpus Altilis) dengan Variasi Konsentrasi Gliserok Sebagai
Plasticizer Terhadap Kualitas Jenang Dodol Selama Penyimpanan. Jurnal
Teknosains Pangan Vol. 2 No. 1 Januari 2013 (2).

Anda mungkin juga menyukai