Anda di halaman 1dari 12

I.

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Sejak berabad-abad yang lalu, manusia selalu berupaya mencari cara untuk
dapat menyimpan makanan dalam waktu lama tanpa adanya kerusakan.
Pemanasan, pengeringan, pengasapan, penggaraman, pengasaman,
penambahan gula dan penambahan bahan pengawet serta pendinginan
adalah contoh-contoh metode pengawetan yang sering digunakan. Di
dalam prakteknya, penggunaan satu jenis metode pengawetan saja tidak
cukup untuk mempertahankan mutu pangan yang diawetkan dalam waktu
relatif lama. Oleh karena itu, pengawetan yang dilakukan pada umumnya
merupakan kombinasi dari berbagai metode pengawetan. Sebagai contoh
pada produk-produk yang diasap, perlakuan pengawetan yang diterima
adalah pemanasan, pengurangan kadar air dan senyawa antimikroba dari
asap yang terdeposit pada bahan pangan yang diasap. Beberapa produk
yang akan diasap juga dapat dicelupkan ke dalam air garam atau dilumuri
garam, sehingga dapat menambah efek pengawetan (Nuraida, 2011).

Saat ini pabrik-pabrik pangan telah menyadari akan berhasilnya aplikasi


teknologi kombinasi dalam hal menghasilkan produk pangan yang stabil
selama penyimpanan dan aman. Pendekatan dalam metode kombinasi
umumnya adalah menemukan interaksi antara penggunaan senyawa
pengawet kimiawi dengan proses fisik yang paling disukai atau diantara
beberapa bahan pengawet, yang dapat dapat mengurangi resiko pada
proses tanpa mengorbankan keamanan atau stabilisasi dari pangan itu
sendiri. Berawal dari sinilah istilah hurdle technology menjadi populer
dalam pengolahan pangan. Teknologi kombinasi juga dapat digunakan
untuk meningkatkan kualitas produk pangan dan juga dapat bertujuan

9
meperoleh teknik pengawetan pangan yang lebih ekonomis (Fellows,
2000).

Hurdle technology berarti menggabungkan berbagai metode pengawetan


untuk menghambat atau membunuh bakteri, sehingga mencapai suatu
produk yang aman untuk dikonsumsi. Beberapa contoh hambatan tersebut
termasuk garam, menurunkan pH, aktivitas air berkurang, perlakuan panas
dan kemasan. Sebuah kombinasi yang efektif dari rintangan yang berbeda
dapat bekerja secara sinergis dan dengan demikian memberikan efek
antibakteri yang baik meskipun tingkat setiap rintangan individu mungkin
kecil. Kombinasi miskin rintangan mungkin memiliki efek antagonis, jadi
pengaruh dari penggabungan ini sangat kurang jika salah satu dari
rintangan individu telah digunakan sendirian. Teknologi hurdle yang
digunakan dalam cara yang benar merupakan alat yang baik untuk
mencapai produk yang aman dan lezat berkualitas tinggi (Russel, 1991).

I.2. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:


1. Mengetahui beberapa kombinasi metode pengawetan hurdle
technology.
2. Mengetahui proses pengawetan dan mekanismenya dalam mengurangi
mikroba pada produk.

9
II. PEMBAHASAN

II.1. Definisi Hurdle Technology

Hurdle technology merupakan konsep mengenai kombinasi berbagai


pengawetan dan landasan ilmiah yang dikembangkan oleh Leistner,
seorang peneliti dari Jerman. Hurdle technology atau dikenal juga dengan
teknologi kombinasi adalah metode yang mengkombinasikan dua atau
lebih metode pengawetan pada level rendah dibandingkan bila pengawetan
tersebut dilakukan dengan metode pengawetan tunggal. Hurdle technology
tidak hanya sekedar mengkombinasikan berbagai metode pengawetan,
namun juga dapat digunakan untuk mengoptimalkan efek pengawetan
yang diinginkan tanpa memberikan perlakuan pengawetan yang
berlebihan. Setiap faktor yang berperan dalam pengawetan atau metode
yang digunakan untuk tujuan pengawetan disebut hurdle. Beberapa contoh
hurdle tersebut termasuk garam, pH berkurang, aktivitas air berkurang,
perlakuan panas dan kemasan (Tilbury, 1982).

Gambar 1. Pada teknologi hurdle pertumbuhan mikroorganisme dihambat


oleh berbagai macam metode pengawetan sehingga tidak mampu tumbuh.

9
II.2. Prinsip Hurdle Technology pada Pengawetan Makanan

Secara sederhana pertumbuhan mikroorganisme pada pangan yang


diawetkan dengan mengaplikasikan teknologi hurdle dapat diibaratkan
sebagai seorang atlit yang sedang berlari halang rintang. Rintangan-
rintangan tersebut dapat dianalogikan sebagai berbagai macam metode
pengawetan yang akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Mikroorganisme yang berada dalam bahan pangan tidak boleh melewati
hurdle yang diterapkan. Jika mikroorganisme dapat melewati hurdle atau
tidak terhambat oleh hurdle maka pangan tersebut akan busuk atau
mikroorganisme patogen akan tumbuh.

Sebagai contoh perhatikan gambar di bawah ini. Pada Gambar 2a, pangan
memiliki 6 hurdle yaitu suhu tinggi selama pengolahan (F), suhu rendah
selama penyimpanan (t), aw yang rendah (aw), keasaman tinggi (pH),
potensi redoks yang rendah (Eh) dan bahan pengawet (pres).
Mikroorganisme yang ada dalam bahan pangan tidak dapat melewati
hurdle tersebut pada bagian bahan pengawet. Gambar 2a tersebut
menggambarkan aplikasi hurdle secara teoritis karena intensitas masing-
masing hurdle sama besarnya dan ini jarang terjadi pada proses
pengolahan. Gambar 2b menunjukkan kondisi yang hampir mendekati
keadaan sebenarnya, dimana intensitas masing-masing hurdle berbeda.
Hurdle utama pada Gambar 2b adalah aw dan bahan pengawet (pres).

9
Gambar 2. Berbagai hurdle yang diterapkan pada bahan pangan untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Leistner, 1995).

Gambar 2c menunjukkan kondisi yang hampir mendekati keadaan


sebenarnya, dimana intensitas masing-masing hurdle juga berbeda. Hurdle
utama pada Gambar 2c hanya aw dimana mikroorganisme tidak bisa
melewati hurdle tersebut. Sedangkan pada gambar 2d menunjukkan bahwa
keseluruhan hurdle tidak dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme
yang menyebabkan makanan membusuk.

II.3. Aplikasi Hurdle di Industri Pangan

Aplikasi teknologi hurdle tidak terbatas pada pencegahan pertumbuhan


mikrooganisme untuk menjamin keamanan pangan, namun juga
berpengaruh terhadap kualitas pangan. Pengaruhnya terhadap kualitas
pangan atau poduk dapat positif atau negatif, tergantung pada
intensitasnya. Beberapa hurdle (misalnya produk reaksi Maillard atau
pemberian garam nitrat/nitrit) memiliki aktivitas sebagai senyawa
antimikroba dan secara bersamaan dapat memperbaiki flavor. Akan tetapi
beberapa hurdle memberikan efek negatif terhadap beberapa bahan
pangan, misalnya pendinginan dapat merusak jaringan bahan pangan
(chilling injury), sehingga pendinginan bahan pangan tertentu, seperti
pisang, harus dilakukan pada suhu sedang. Hal yang sama untuk
penambahan asam pada sosis yang harus dilakukan pada konsentrasi yang
cukup untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen, namun tidak
mempengaruhi rasa. Untuk memperoleh stabilitas pangan yang baik dan
menjamin keamanan pangan, maka hurdle harus diaplikasikan sedemikian
rupa. Jika intensitas atau konsentrasi hurdle terlalu kecil maka harus
ditambah atau diperkuat. Namun, apabila hurdle merusak mutu pangan,

9
misalnya merusak nutrisi, warna dan tekstur, maka harus dikurangi dan
ditambah hurdle lain yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme target pada pangan tersebut.

Tabel 1. Berbagai hurdle yang digunakan untuk pengawaetan pangan*)

Tabel 2. Hurdle utama dalam pengawetan pangan*)

Sebagai contoh aplikasi hurdle dengan mempertimbangkan kualitas dan


keamanan adalah pada produk keju oles. Produk ini memiliki pH di atas
4.5 dengan aw di atas 0.85. Supaya produk ini memiliki umur simpan yang
panjang dan tetap terjamin keamanan pangannya, maka produk ini harus
disterilisasi. Namun proses sterilisasi akan menyebabkan penurunan
kualitas. Oleh karena itu, produk ini dipasteurisasi. Namun untuk
menjamin produk ini aman, maka terhadap produk ini ditambahkan garam,

9
asam dan aw-nya diturunkan, sehingga produk dapat tetap awet dan aman,
tanpa merusak kualitas sensori dan kimianya (Lee, 2004).

Contoh lainnya adalah bacon yang dibuat dengan garam nitrit yang
dikurangi. Proses ini dikenal sebagai proses Wisconsin. Secara tradisional
bacon atau produk kuring lainnya diberi garam nitrit untuk mencegah
pertumbuhan Clostridium dan membentuk warna serta flavor. Namun,
adanya nitrit dapat menyebabkan pembentukan yang bersifat karsinogenik
ketika produk digoreng. Oleh karena itu untuk menjamin keamanan dan
kualitas sensori, dikembangkan proses dengan kadar nitrit yang dikurangi,
namun untuk menjamin keamanan pangan, selama proses ditambahkan
bakteri asam laktat dan sukrosa. Jika terjadi peningkatan suhu selama
penyimpanan, maka bakteri asam laktat akan tumbuh dan memfermentasi
gula serta menghasilkan asam. Asam yang dihasilkan menurunkan pH
sekaligus juga bersifat antimikroba, sehingga menghambat pertumbuhan
bakteri patogen. Dengan demikian, bacon ini distabilkan dengan beberapa
hurdle termasuk pengawet, suhu dingin, mikroba kompetitor dan pH, tanpa
merubah kualitas sensori produk (Buckle et al., 1985).

Hurdle dapat muncul secara bertahap pada proses pengolahan pangan dan
terjadi sekuensial antara hurdle yang satu dengan yang lainnya. Sebagai
contoh pada salami yang difermentasi. Pada pembuatan salami garam nitrit
selalau ditambahkan untuk menghambat patogen dan membentuk warna.
Pada proses fermentasi, bakteri yang tahan terhadap nitrit mulai tumbuh
dan mengkonsumsi oksigen. Kondisi ini mendorong bakteri yang
memproduksi asam untuk tumbuh. Pertumbuhan bakteri pembentuk asam
menyebabkan penurunan pH. Tahap selanjutnya adalah pengeringan yang
menurunkan aw. Adanya sekuensi hurdle ini menjamin keamanan salami
pada setiap tahapan proses (Muhammad, 2013).

Pangan dengan kadar air tinggi yang dipanaskan dengan konsep hurdle
dan disimpan tanpa refrigerasi disebut sebagai Self-Stable Product (SSP).

9
Keuntungan dari pengembangan produk ini adalah perlakuan pemanasan
yang diberikan berkisar pada suhu 70-110oC sehingga karakteristik sensori
dan nutrisinya baik, sementara itu tidak diperlukannya refrigerator
mempermudah distribusi. SSP biasanya dikemas dalam kemasan hermetis.
Karena pemanasan yang dikenakan hanya pemanasan ringan, maka pangan
ini masih mungkin mengandung spora sehingga diberikan pengawet yang
lain seperti aw, pH dan Eh. Pangan semi basah dengan aw pada kisaran
0.90-0.60 sering distabilkan dengan tambahan hurdle, misalnya
pemanasan, pengawet, pH dan Eh. Penyimpanan pangan jenis ini tidak
perlu refigerasi sehingga dapat menghemat biaya (Lawrie, 2003).

Seperti telah disampaikan di atas, pada umumnya aplikasi hurdle secara


sendirian (single) dengan intensitas atau konsentrasi tinggi dapat merusak
mutu pangan seperti nutrisi, warna dan tekstur. Oleh karena itu, kombinasi
penggunaan berbagai hurdle dalam konsentrasi atau intensitas yang lebih
rendah menjadi pilihan dalam mengkompromikan antara mutu dan
keamanan pangan. Konsentrasi atau intensitas tersebut mungkin tidak
dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk atau patogen
jika hurdle diterapkan secara single. Namun dalam aplikasi kombinasi
berbagai hurdle diharapkan adanya sinergisme yang cukup untuk
menghambat mikroorgansime pembusuk dan patogen. Efek sinergis dapat
bekerja jika hurdle yang diterapkan memiliki berbagai target
penghambatan, misalnya dengan mengganggu sel membran, DNA, sintesis
enzim, pH, aw dan Eh di dalam sel, sehingga dapat mengganggu
keseimbangan (homestatis) mikroorganisme dari berbagai penjuru. Oleh
karena itu dengan menerapkan berbagai hurdle pertumbuhan
mikroorganisme dapat terhambat dengan intensitas hurdle yang rendah.
Secara praktis ini berarti lebih baik menerapkan berbagai hurdle dengan
konsentrasi yang rendah daripada menerapkan hanya satu hurdle dengan
konsentrasi atau intensitas yang sangat tinggi (Haussinger, 1988).

9
Untuk masing-masing produk atau bahan pangan mungkin memerlukan
hurdle yang berbeda. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih
hurdle adalah:

a. Jumlah mikroorganisme awal pada pangan yang akan diawetkan,


b. Dukungan bahan pangan terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang
mungkin ada, dan
c. Umur simpan yang diharapkan.

Leistner (1995) menyarankan aplikasi teknologi hurdle di industri pangan


sedapat mungkin dikombinasikan dengan penerapan HACCP dan
predictive microbiology. Konsep hurdle diterapkan pada saat mendesain
dan mengembangkan produk, sementara HACCP diterapkan sebagai
kontrol terhadap proses dalam upaya penjaminan keamanan pangan, dan
predictive microbiology diterapkan untuk mengkaji keamanan pada saat
mengembangkan produk.

Ingredien seperti NaCl atau asam organik dan senyawa antimikroba alami
misalnya nisin dan bakteriosin lainnya serta ekstrak tanaman dapat
digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme dalam
pangan. Efek penghambatan yang besar dapat diperoleh dengan
mengkombinasikan senyawa-senyawa penghambat tersebut. Efek sinergi
nisin terhadap bakteri Gram positif seperti Clostridium sp., Bacillus sp.,
dan Listeria telah diperlihatkan ketika dikombinasikan dengan asam
organik. Penggunaan senyawa antimikroba yang tepat, baik jumlah
maupun jenisnya dapat mengurangi intensitas atau konsentrasi masing-
masing akan tetapi tetap memberikan penghambatan terhadap
pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen. Dengan demikian,
pangan tetap aman dan tetap memiliki kualitas sensori yang baik (Hendri,
2011).

9
III. PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Kombinasi dengan beberapa metode pengawetan secara langsung


memberikan efektivitas lebih baik dalam hal membunuh mikroba, maka
penelitian dengan menggabungkan metode pengawetan dapat dikatakan
sebagai teknologi rintangan (Hurdle Technology) yang akan dihadapi oleh
mikroba sehingga mikroba tersebut kehilangan titik aman (homeostatis)
untuk tumbuh.

III.2. Saran

Untuk memperpanjang umur simpan produk pangan dapat digunakan


kombinasi metode pengawetan. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk mengetahui aplikasi metode pengawetan lain yang dapat digunakan
untuk meningkatkan umur simpan suatu produk pangan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Buckle et al., 1985. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta.

Fellows, P.J. 2000. Food Processing Technology: Principles and Practice.


Woodhead Publishing, London.

Haussinger, D. (Ed.), 1988. pH Homeostasis: Mechanisms and Promising


Approach in Food Microbiology. Academic Press. London. Hal 479.

Hendri Noer, F. 2011. Dasar Pengawetan, Sanitasi dan Keracunan. Departemen


Teknologi Hasil Pertanian. FATEMETA IPB, Bogor.

Lawrie, RA. 2003. Ilmu Daging. Penerjemah: Aminuddin Parakkasi. UI- Press.
Jakarta. 143-152, 225-226.

Lee, S.Y dan D.H. Kang. 2004. Microbial safety of pickled fruits and vegetables
and hurdle technology. Internet J. of Food Safety, Vol 4:21-23.

Leistner, L. 1995. Principles and applications of hurdle technology. Di dalam


Gould, G.W. (ed). New Methods of Food Preservation. Balckie Academic
& Profesional. London. hal. 1-21.

Muhammad, Dedi. 2013. Hurdle Technology (Metode Pengawetan Pangan).


Universitas Brawijaya. Malang.

Nuraida, Lilis. 2011. Penerapan Teknologi Hurdle dalam Pengawetan Pangan.


UGM. Yogyakarta.

9
Ohlsson, T, dan N. Bengtsson. 2002. Minimal Processing Technology in the Food
Industry. CRC Press LLC, New York.

Russel. 1991. Applications of macromicro region concept in the state diagram


and critical temperature concepts in determining the food stability. Food
Chem 132:16791685.

Tilbury, R.H. 1982. Developments in Food Preservatives. Applied Science


Publishers Ltd., London.

Anda mungkin juga menyukai