Anda di halaman 1dari 4

Cut Ayu Rahimainita

1406556412
PTIK Kelas F

Judul Film

: Asadessa

Tahun Rilis

: 2015

Sinopsis

: Asadessa adalah sebuah film dokumenter tentang


perjuangan banyak desa tepencil, terisolasi, dan
terpinggirkan di Indonesia dalam memanfaatkan
teknologi internet. Ditengah keterbatasan desa
mereka dalam segi teknologi, infrastruktur, hingga
sumber daya manusia, Asadessa yang merupakan
sebuah film persembahan ICT Watch dan Relawan TIK
menunjukan bahwa Internet yang kita manfaatkan
sehari-hari untuk bersosialisasi dengan mudahnya
ternyata menjadi barang mahal yang sulit didapatkan
bagi orang-orang di beberapa desa di Indonesia.
Namun, ditengah keterbatasan tersebut, desa-desa itu
dipelopori oleh beberapa orang dengan kemauan
tinggi
berusaha
agar
desa
mereka
dapat
menggenggam internet. Selain itu, film dokumenter ini
juga menggambarkan bagaimana internet dapat
mengubah kehidupan warga di desa tersebut dan
bagaimana internet dapat memajukan kehidupan
mereka dari segi perekonomian.

Mungkin bagi kita, internet dan sinyal merupakan hal biasa. Kapanpun
dan dimanapun kita tetap dapat berhubungan dengan siapa saja. Bukan
hanya itu, internet melalui telepon seluler menjadi bagian dari gaya
hidup yang tanpanya seakan kita menjadi mati kutu. Banyak aspek dalam
kehidupan sehari-hari kita yang tidak terlepas dari pengaruh internet.
Mulai dari berkomunikasi dengan orang-orang terdekat hingga urusan
bisnis atau pekerjaan. Mulai dari mencari alamat hingga mencari tempat
makan baru untuk dikunjungi bersama sahabat. Sampai sampai,
kehilangan sinyal tidak sampai satu menit, kita sudah seperti kehilangan
segala daya dan upaya untuk dapat bertahan hidup di muka bumi.
Mungkin berlebihan, namun kira-kira seperti itulah gambaran gaya hidup
orang-orang diperkotaan.

Menurut mesin pencari google, Ciamis yang terletak di provinsi Jawa


Barat berjarak tidak sampai 300 km jauhnya dari Ibu Kota Negara,
Jakarta. Apabila ditempuh dengan kendaraan roda empat normalnya
memakan waktu tidak sampai lima jam. Namun, berkaca pada film ini
situasinya sangat berbeda dengan di Jakarta. Apabila seperti yang
dikatakan diatas Internet di Jakarta mungkin selevel dengan kacang
goreng, tidak begitu yang dialami masyarakat yang berdomisili di
kabupaten Ciamis. Bagi mereka internet adalah barang baru, barang
mahal, dan barang yang amat sangat bermanfaat bagi kehidupan
mereka. Bukan untuk sekadar pamer di sosial media atau chat tentang
cowok jurusan sebelah di aplikasi pesan singkat, internet menjadi
penopang baru yang mendukung dan meningkatkan mereka dari aspek
ekonomi. Program baru yang disebut dengan dedemIT (desa-desa melek
IT) tersebut baru saja membangunkan mereka untuk memanfaatkan
sebuah internet atau yang pada buku
Computer Mediated
Communication (CMC) karya Crispin Thurlow didefinisikan sebagai
jaringan global yang menghubungkan jutaan komputer tersebut untuk
menghubungkan mereka dengan orang-orang luar yang berpotensi
untuk membantu mereka mengembangkan dan mempermudah pekerjaan
mereka.
Mungkin untuk desa-desa yang masih berada di Pulau Jawa internet
masih sangat memungkinkan untuk di akses dan dimanfaatkan. Selain
Ciamis, desa yang sudah mulai memahami manfaat dan penggunaan
internet untuk membangun diri, keluarga, dan desa mereka adalah
daerah Pangandaran dan Banyumas. Disana, masyarakat sudah mulai
memanfaatkan internet tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan
melalui penjualan barang hasil produksi mereka namun juga untuk
menambah keberagaman barang produksi mereka itu sendiri. Selain itu,
proses transaksi jual beli barang tanpa melalui tatap muka atau online
juga sudah sangat memungkinkan dengan pengetahuan mereka untuk
menggunakan internet dan fasilitas transfer bank. Merambah ke dunia
keseharian mereka, internet juga mereka manfaatkan untuk mencari
resep-resep masakan yang berasal dari luar daerah mereka. Hal tersebut
menujukan internet, apabila dimanfaatkan dengan baik dapat membantu
pengaplikasikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia.
Indonesia tidak hanya pulau Jawa dan Sumatera. Pulau Kalimantan,
sebagai salah satu pulau yang dimiliki oleh dua Negara (Indonesia dan
Malaysia) terutama di Kalimantan bagian utara memiliki situasi yang
sangat berbeda dengan desa-desa di Pulau Sumatera dan Jawa. Apabila
pemanfaatan internet menjadi pilihan bagi warga-warga di pulau
tersebut, tidak begitu bagi masyarakat yang berdomisili di Pulau
Kalimantan terutama bagian Utara yang dalam film ini yaitu Desa Gong

Solok di Kabupaten Malinau. Bukit Sinyal menjadi salah satu bukti yang
paling nampak. Jangankan internet yang digunakan untuk mencari
informasi dan meningkatkan perekonomian mereka. Sinyal untuk
sekadar telepon atau berkirim pesan singkat saja menjadi hal yang amat
sangat langka dan sangat sulit untuk didapatkan. Bayangkan saja, sudah
susah-susah naik ke Bukit Sinyal, sampai di puncak belum pasti sinyal
bisa didapatkan. Miris.
Selain manfaat dari aspek ekonomi dan sosial, aspek politik juga
mendapatkan cipratan manfaat dari adanya atau teraksesnya internet di
daerah-daerah perbatasan atau daerah yang terisolasi. Sesuai dengan
yang dikatakan pada Jurnal Internet, News, and Political Trust : The
Difference between Social Media and Online Media Outlets karya Andrea
Ceron yang juga menjadi bahan rujukan tulisan ini, melalui media yang
diakses melalui internet sebagai lensa bagi masyarakat untuk
mengumpulkan informasi tentang performa institusi politik. Apabila
seperti yang kita rasakan internet menjadi wadah utama yang
mendukung kemenangan Presiden terpilih pada periode pemilihan umum
tahun 2014, nyatanya tidak semua masyarakat di semua wilayah
Indonesia yang merasakannya namun hanya masyarakat-masyarakat di
wilayah yang terkonsentrasi yang tentunya memiliki akses media
berbasis internet yang memadai.
Kenyataan yang harus disyukuri adalah peningkatan penduduk Indonesia
dari tahun ke tahunnya yang begitu signifikan juga diikuti dengan jumlah
dan persentasi pengguna internet yang juga mengalami peningkatan.
Sayangnya, persebaran peningkatan tersebut belum merata. Hanya
berfokus pada daerah-daerah atau pulau-pulau tertentu seperti Jawa dan
Sumatera. Padahal seperti yang dapat dilihat di film tersebut,
aksesbilitas internet di Pulau atau daerah yang terpencil memberikan
manfaat yang sama besarnya dengan di daerah-daerah yang memiliki
aksesbilitas lebih baik terhadap internet dan jangkauan sinyal.
Menyebarnya manfaat atau penggunaan internet hingga ke pedesaan
secara langsung tidak hanya memberikan manfaat bagi warga desa atau
wakil-wakil pemerintahan di desa itu sendiri namun juga bagi pemerintah
pusat di Indonesia. Tanpa perlu menyambangi desa-desa terpencil
tersebut secara langsung, komunikasi dan pemantauan dapat dilakukan
dengan lebih cepat dan mudah. Selain itu salah satu manfaat bagi
pemerintah pusat yang dijelaskan di film tersebut adalah strategi
pemetaan yang dapat lebih mudah dicapai melalui adanya internet di
desa-desa yang terisolasi tersebut.

Sebenarnya niat pemerintah yang dalam konteks ini adalah Kementrian


Komunikasi dan Informasi (Kominfo) untuk membangun desa dari sisi
pemahaman teknologi sudah ada. Dilihat dengan tersedianya
kemungkinan bagi desa-desa tersebut untuk memviralkan desanya
melalui domain desa.id. Namun, sarana pendukung dan infrastruktur
untuk mewujudkan atau menyebarluaskan hal tersebut masih jauh dari
kata memadai. Mungkin itulah penyebabnya dari hampir 75 ribu desa,
hanya 2,04 persen yang sudah memakai domain desa.id.
Memang, untuk mengubah sebuah desa yang mungkin tadinya masih
memiliki banyak orang yang buta aksara menjadi desa dengan tingkat
pemahaman literasi media yang tinggi bukan hanya soal menyediakan
fasilitas seperti komputer atau laptop dan koneksi internet yang
memadai. Lebih dari itu, masyarakat terlebih dulu harus disadarkan
manfaat apa yang akan timbul dari pemahaman mereka terhadap
teknlogi baru tersebut sehingga timbul semangat dan keingintahuan dari
diri mereka sendiri untuk memanfaatkan teknologi (yang masih bisa
dibilang) baru tersebut untuk diri mereka, keluarga mereka, desa
mereka, dan Indonesia yang (semoga) lebih baik dengan adanya internet
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai