Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang
Kasus hipertensi sebagai komplikasi kehamilan sering dijumpai dan merupakan
salah satu dari tiga penyebab terpenting mortalitas dan morbiditas dalam
kehamilan disamping penyakit infeksi dan perdarahan. Berdasarkan hasil statistik
dari National Center of Health Statistic (1998), hipertensi dalam kehamilan
merupakan faktor resiko medis yang paling sering terjadi (Ventura dkk, 2000).
Kasus ini ditemukan pada 146.320 ibu hamil atau 3,7% dari seluruh kehamilan
yang berakhir dengan kelahiran hidup. Dari kelompok ini, 12.345 kasus
didiagnosa sebagai preeklampsia. Berg dkk (1996) melaporkan bahwa hampir
18% dari 1450 kematian ibu hamil di Amerika Serikat dari tahun 1987 sampai
1990 disebabkan oleh komplikasi hipertensi yang berhubungan dengan
kehamilan.
Di RS Hasan Sadikin Bandung, pada periode 1991 1994 terdapat 5,8% kasus
preeklampsia dan 0,6% kasus eklampsia. Hipertensi dalam kehamilan juga
menjadi penyebab yang penting dari kelahiran mati dan kematian perinatal.
Kematian bayi ini terutama disebabkan oleh partus prematurus yang merupakan
akibat dari penyakit hipertensi tersebut.
Terdapat lima tipe hipertensi yang menjadi komplikasi dari kehamilan, yaitu
(Report on the National High Blood Pressure Education Program Working Group
on High Blood Pressure in Pregnancy, 2000):
-

Hipertensi gestasional : Desakan darah 140/90 mmHg untuk pertama


kalinya pada kehamilan, tidak disertai proteinuria dan desakan darah kembali
normal < 12 minggu pasca persalinan.

Preeklampsia : Kriteria minimum desakan darah 140/90 mmHg setelah


umur kehamilan 20 minggu, disertai dengan proteinuria 300 mg/24 jam atau
dipstick 1+

Eklampsia : Kejang-kejang pada preeklampsia disertai koma.

Preeklampsia yang superimposed terhadap hipertensi kronis : Timbulnya


proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita hamil yang sudah mengalami
hipertensi sebelumnya. Proteinuria hanya timbul setelah kehamilan 20
minggu.

Hipertensi kronis : Timbulnya desakan darah 140/90 mmHg, sebelum


kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah
12 minggu pasca persalinan.

Hal yang penting dari klasifikasi ini adalah membedakan preeklampsia dengan
gangguan hipertensi dalam kehamilan lainnya karena dapat menimbulkan dampak
yang lebih buruk. Oleh karena itu pembahasan akan lebih dititikberatkan pada
preeklampsia.
I.2

Tujuan

BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI
Preeklampsia termasuk eklampsia adalah penyakit hipertensi yang khas dalam
kehamilan dengan gejala utama adalah hipertensi akut pada ibu hamil dan dalam masa
nifas. Disamping hipertensi akut, proteinuria juga merupakan gejala penting dan diagnosa
preeklampsia akan sulit ditegakkan jika gejala ini tidak ditemukan (Chesley, 1985).
Hipertensi
Hipertensi didiagnosa bila terdapat tekanan darah 140/90 mmHg diukur dua kali
selang 4 jam setelah penderita istirahat.
Pada masa lalu, kriteria diagnosa hipertensi pada kehamilan juga bisa berupa
peningkatan tekanan sistolik setinggi 30 mmHg atau diastolik setinggi 15 mmHg dari
tekanan darah biasanya meskipun tekanan absolutnya dibawah 140/90 mmHg. Namun
kriteria ini sekarang sudah tidak direkomendasikan lagi karena terbukti bahwa banyak ibu
hamil dalam kriteria ini ternyata tidak mengalami gangguan pada kehamilan (Levine,
2

2000; North dkk, 1999). Namun, ibu hamil dengan kriteria seperti ini tetap memerlukan
observasi yang lebih ketat.
Terjadinya edema tungkai juga sudah tidak digunakan lagi sebagai kriteria
hipertensi karena terlalu banyak ditemukan pada kehamilan normal, kecuali edema
anasarka.
Proteinuria
Proteinuria dideskripsikan sebagai : - jumlah protein urin per 24 jam 300 mg atau
jumlah protein urin 30 mg/L dari urin tengah, acak yang tidak menunjukkan tanda-tanda
infeksi saluran kencing (1+ dipstick).
Perlu diperhatikan bahwa derajat proteinuria dalam 24 jam bisa saja mengalami
fluktuasi walaupun dalam kasus yang berat sekalipun. Oleh karena itu, pengambilan
sampel urin acak yang dilakukan hanya sekali mungkin saja gagal untuk menggambarkan
keadaan proteinuria yang terjadi.
INSIDENSI DAN FAKTOR RESIKO
Insidensi preeklampsia secara umum dinyatakan sekitar 5% meskipun terdapat
beberapa laporan yang bervariasi. Tingkat insidensi ini sangat dipengaruhi oleh paritas
dan berhubungan dengan ras, etnis, predisposisi genetik serta faktor lingkungan. Sekitar
7,6% dari ibu nullipara ditemukan menderita preeklampsia dan 3,3% dari kelompok
tersebut berkembang menjadi preeklampsia berat (Hauth dkk, 2000). Insidensi ini lebih
besar daripada ibu multipara.
Faktor yang bisa meningkatkan resiko terjadinya preeklmpsia adalah:
1. Resiko yang berhubungan dengan partner lelaki :
a. Primigravida
b. Primipaternity
c. Umur yang ekstrim (terlalu tua atau terlalu muda untuk kehamilan)
d. Partner lelaki yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil dan
mengalami preeklampsi.
e. Pemaparan terbatas terhadap sperma.
f. Inseminasi donor dann donor oocyte.

2. Resiko yang berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu dan riwayat


penyakit keluarga :
a. Riwayat pernah preeklampsia
b. Hipertensi kronik
c. Penyakit ginjal
d. Obesitas
e. Diabetes gestasional, diabetes mellitus tipe 1
f. Antiphospholipid antibodies dan hiperhomocysteinemia.
3. Resiko yang berhubungan dengan kehamilan
a. mola hidatidosa
b. kehamilan multiple
c. infeksi saluran kencing pada kehamilan
d. hydrops fetalis
PATOLOGI
Preeklampsia merupakan sindroma penurunan perfusi darah organ akibat dari
vasospasme dan aktivasi endotelial yang spesifik ditemukan pada masa kehamilan.
Walaupun etiologinya belum jelas, banyak para ahli sepakat bahwa vasopasme
merupakan proses awal dari terjadinya penyakit ini. Gambaran patologis pada fungsi
beberapa organ dan sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia,
telah ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat.
Vasospasme bisa merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan
otot polos pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan
menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan mengakibatkan
gangguan

keseimbangan

antara

kadar

vasokonstriktor

(endotelin,

tromboksan,

angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator (nitritoksida, prostasiklin, dan lain-lain).


Selain itu, jejas endotel juga menyebabkan gangguan pada sistem pembekuan darah
akibat kebocoran endotelial berupa konstituen darah termasuk platelet dan fibrinogen.
Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi
normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas efek terhadap ibu
dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara simultan. Gangguan ibu

secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap perubahan pada sistem
kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme, serta aliran darah regional.
Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena penurunan perfusi uteroplasenta.
Kardiovaskular
Gangguan berat pada fungsi kardiovaskular sering ditemukan pada kasus-kasus
preeklampsia atau eklampsia. Gangguan tersebut pada dasarnya berhubungan dengan
peningkatan afterload yang diakibatkan oleh hipertensi dan aktivasi endotelial berupa
ekstravasasi cairan ke ruang ekstraselular terutama di paru-paru.

Hemodinamik
Dibandingkan dengan ibu hamil normal, penderita preeklampsia atau eklampsia
memiliki peningkatan curah jantung yang signifikan pada fase preklinik, namun tidak ada
perbedaan pada tahanan perifer total. Sedangkan pada stadium klinik, pada kasus
preeklampsia atau eklampsia terjadi penurunan tingkat curah jantung dan peningkatan
tahanan perifer total yang signifikan dibandingkan dengan kasus normal.
Volume darah
Hemokonsentrasi adalah pertanda penting bagi terjadinya preeklampsia dan
eklampsia yang berat. Pitchard dkk (1984) melaporkan bahwa pada ibu hamil dengan
eklampsia tidak terjadi hipervolemia seperti yang diharapkan. Pada seorang wanita
dengan usia rata-rata, biasanya terjadi peningkatan volume darah dari 3500 mL saat
tidak hamil menjadi 5000 mL beberapa minggu terakhir kehamilan. Dalam kasus
eklampsia, peningkatan volume 1500 mL ini tidak ditemukan. Keadaan ini
kemungkinan berhubungan dengan vasokonstriksi luas yang diperburuk oleh peningkatan
permeabilitas vaskular.
Hematologi
Abnormalitas hematologi ditemukan pada beberapa kasus hipertensi dalam
kehamilan. Diantara abnormalitas tersebut bisa timbul trombositopenia, yang pada suatu
waktu bisa menjadi sangat berat sehingga dapat menyebabkan kematian. Penyebab
terjadinya trombositopenia kemungkinan adalah peningkatan produksi trombosit yang

diiringi oleh peningkatan aktivasi dan pemggunaan platelet. Kadar trombopoeitin, suatu
sitokin yang merangsang proliferasi platelet, ditemukan meningkat pada kasus
preeklampsia dengan trombositopenia (Frolich dkk, 1998). Namun, aggregasi platelet
pada kasus preeklampsia lebih rendah dibandingkan dengan kehamilan normal (Baker
dan Cunningham, 1999). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kelelahan platelet
akibat aktivasi in vivo. Selain itu, juga ditemukan penurunan dari faktor-faktor
pembekuan plasma dan kerusakan eritrosit sehingga berbentuk bizzare dan mudah
mengalami hemolisis akibat vasospasme berat.
Gambaran klinis preeklampsia dengan trombositopenia ini akan semakin buruk bila
juga ditemukan gejala peningkatan enzim hepar. Gangguan ini dikenal dengan HELLP
syndrome, yang terdiri dari hemolysis (H), elevated liver enzymes (EL), dan low platelet
(LP).
Endokrin Dan Metabolisme
Kadar renin, angiotensin, dan aldosteron plasma meningkat pada kehamilan normal.
Namun pada kasus hipertensi dalam kehamilan terjadi penurunan dari kadar ini
dibandingkan dengan kehamilan normal (Weir dkk, 1983).
Renal
Pada kasus preeklampsia, terjadi penurunan aliran darah ginjal sehingga terjadi
penurunan laju filtrasi glomerolus dibandingkan dengan kehamilan normal. Pada ginjal
juga terjadi perubahan anatomis berupa pembesaran glomerolus sebesar 20% (Sheehan,
1950).
Otak
Secara patologi anatomi, pada kasus preeklampsia maupun eklampsia, manifestasi
sistem saraf pusat yang terjadi disebabkan oleh lesi pada otak berupa edema, hiperemia,
dan perdarahan. Sheehan (1950) meneliti otak postmortem 48 orang ibu hamil yang
meninggal dengan eklampsia dan ditemukan perdarahan mulai dari perdarahan ptekie
sampai masif pada 56% kasus. Keadaan yang selalu ditemukan pada kasus preeklampsia
maupun eklampsia dengan manifestasi neurologis adalah perubahan fibrinoid pada
dinding pembuluh darah otak.
Perfusi Uteroplasenta

Gangguan perfusi uteroplasenta akibat vasospasme hampir dapat dipastikan


merupakan penyebab tingginya angka mortalitas dan morbiditas pada kasus
preeklampsia. Brosens dkk (1972) melaporkan bahwa diameter rata-rata arteriol spiral
miometrium dari 50 ibu dengan kehamilan normal adalah 500 m. Dengan pemeriksaan
yang sama pada 36 ibu dengan preeklampsia ditemukan diameter rata-ratanya adalah 200
m.

Patofisologi hipertensi dalam kehamilan (Friedman dan Liendheimer, 1999)


DIAGNOSA
Klasifikasi Preeklampsia:
Kriteria minimum:

Tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu

Proteinuria 300 mg/24 jam atau +1 dipstick

1. Preeklamspsia Ringan
Definisi : Sindroma spesifik kehamilan dengan penurunan perfusi pada organorgan akibat vasospasme dan aktivasi endotel.
Kriteria diagnostik :
a. Tekanan darah 140/90 mmHg sampai 160/110 mmHg
Kenaikan desakan sistolik 30 mmHg dan kenaikan desakan diastolic 15
mmHg tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik preeklampsia tetapi perlu
observasi yang cermat.
b. Proteinuria 300 mg/24 jam jumlah urine atau dipstick 1+
c. Edema local pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik kecuali
edema anasarka.
2. Preeklampsia berat ialah preeclampsia dengan salah satu atau lebih gejala dan
tanda di bawah ini :
Desakan darah : pasien dalam keadaan istahat desakan sistolik

o
>

160 mmHg dan desakan diastolik > 90 mmHg


o

Proteinuria 5 gr selama 24 jam atau dipstick 4+

Oliguria: produksi urine < 400-500 cc/ 24 jam

Kreatinin serum > 1,2 mg% disertai oliguri (< 400 ml/24 jam)

Trombosit < 100.000/mm3.

Edema paru dan cyanosis

Nyeri epigastrium dan nyeri kuadaran atas kanan abdomen:


disebabkan teregangnya kapsula glisone. Nyeri dapat sebagai gejala awal rupture
hepar
Gangguan otak dan visus: perubahan kesadaran, nyeri kepala,

scotomata, dan pandangan kabur.


Gangguan fungsi hepar: peningkatan alanine atau aspartate

o
amino
transferase

Hemolisis mikroangiopatik

Sindroma HELLP
Bila pada kasus preeklampsia sudah ditemukan kejang dan atau koma, maka

penyakit ini disebut dengan eklampsia yang pada dasarnya sama dengan preeklampsia
hanya saja memiliki tingkatan keparahan yang lebih berat.
Hipertensi Gestasional
Diagnosa hipertensi gestasional ditegakkan pada ibu hamil yang memiliki tekanan
darah 140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kalinya pada masa kehamilan namun tidak
ditemukan proteinuria. Hipertensi gestasional disebut hipertensi transient bila tidak
berkembang menjadi preeklampsia dan tekanan darah kembali normal setelah 12 minggu
post-partum.
Klasifikasi Hipertensi Gestasional:

Tekanan darah 140/90 mmHg yang ditemukan untuk pertama kalinya pada saat
kehamilan

Tidak ditemukan proteinuria

Tekanan darah kembali normal < 12 minggu post-partum

Diagnosa akhir hanya bisa ditegakkan pada masa post-partum

Kemungkinan ditemukan gejala-gejala yang menyerupai preekalmpsia, seperti;


nyeri epigastrium atau trombositopenia

Hipertensi Kronis
Semua gangguan hipertensi kronis apapun penyebabnya merupakan predisposisi
terhadap timbulnya preeklampsia maupun eklampsia. Diagnosa dari hipertensi kronik
didapatkan dari;

Hipertensi antesendens pada kehamilan

Hipertensi yang terdeteksi sebelum kehamilan 20 minggu

Hipertensi yang persisten dalam waktu yang lama setelah melahirkan

TERAPI
Tujuan dasar dari penatalaksanaan dari komplikasi kehamilan dari preeklampsia
adalah:

Mencegah terjadinya eklampsia

Kelahiran anak dengan kemungkinan hidup yang besar

Persalinan dengan trauma yang seminimal mungkin dengan upaya menghindari


kesulitan untuk persalinan berikutnya

Mencegah hipertensi yang menetap

Prenatal Care
Pada tingkat permulaan, preeklampsia tidak menunjukkan gejala-gejala sehingga
dibutuhkan deteksi dini melalui prenatal care yang baik. Penentuan pemeriksaan prenatal
hendaknya dilakukan setiap 4 minggu sampai minggu ke-28, kemudian dilanjutkan setiap
2 minggu sampai minggu ke-36, dan selanjutnya setiap minggu pada bulan-bulan akhir
kehamilan. Pada pemeriksaan kehamilan hendaknya ditentukan tekanan darah,
penambahan berat badan, adanya edema, dan proteinuria. Perhatian harus ditujukan pada
ibu hamil yang memiliki faktor predisposisi terhadap preeklampsia, diantranya;

Nuliparitas

Riwayat keluarga preeklampsia dan eklampsia

Kehamilan ganda

Diabetes mellitus

Hipertensi kronis

Mola hidatidosa

Hidrops fetalis
Ibu hamil juga harus mengetahui tanda-tanda bahaya, yaitu sakit kepala, gangguan

penglihatan, dan bengkak pada kaki dan tangan. Jika tanda-tanda ini muncul hendaknya
segera datang untuk memeriksakan diri tanpa harus menunggu jadwal rutin. Beberapa
cara pencegahan dapat dilakukan dengan perbaikan nutrisi dan intervensi farmakologis
seperti obat anti hipertensi, asam salisilat, heparin, diuretikum, dan lain-lain.
Preeklampsia Ringan
Rawat jalan

Tidak mutlak harus tirah baring, dianjurkan ambulasi sesuai keinginannya

Diet reguler: tidak perlu diet khusus

10

Roboransia

Tidak perlu restriksi konsumsi garam

Tidak perlu pemberian diuretik, anti hipertensi dan sedativum

Kunjungan ulang setiap 1 minggu

Rawat inap

Indikasi preeklampsia ringan dirawat inap:


1. Hipertensi menetap selama > 2 minggu
2. Proteinuria menetap selama > 2 minggu
3. Hasil tes laboratorium abnormal
4. Adanya gejala atau tanda satu atau lebih preeklamsia berat

Pemeriksaan dan monitoring pada ibu:


1. Pengukuran desakan darah tiap 4 jam kecuali ibu tidur
2. Pengamatan yang cermat adanya edema pada muka dan abdomen
3. Penimbangan berat badan pada waktu ibu masuk RS dan penimbangan
dilakukan setiap hari
4. Pengamatan dengan cermat gejala preeklampsia dengan impending
eklampsia: nyeri kepala frontal atau oksipital, gangguan visus, nyeri
kuadran kanan atas perut dan nyeri epigastrium.

Pemeriksaan laboratorium:
1. Proteinuria
2. Hematokrit dan trombosit
3. Tes fungsi hepar
4. Tes fungsi ginjal
5. Pengukuran produksi urin tiap 3 jam

Pemeriksaan kesejahteraan janin:


1. Pengamatan gerakan janin setiap hari
2. NST 2 kali seminggu
3. Profil Biofisik janin bila NST non reaktif
4. Evaluasi pertumbuhan janin dengan USG setiap 3-4 minggu
5. Ultrasound Doppler arteri umbilicalis dan arteri uterina

11

Preeklampsia Berat
Dasar pengobatan adalah istirahat, diet, sedatif, obat anti hipertensi, dan induksi
persalinan. Penderita dapat ditangani secara konservatif maupun aktif. Pada perawatan
konservatif, kehamilan dipertahankan bersamaan dengan pemberian pengobatan
medisinal. Sedangkan pada pengobatan aktif, kehamilan segera diinduksi dengan
pemberian pengobatan medisinal.
Pengelolaan Preeklampsia Berat:
Rawat bersama dengan bagian yang terkait ( Penyakit dalam, Penyakit saraf, Mata,
Anestesi , dll ).
1.

Perawatan Aktif
a. Indikasi
Bila didapatkan satu/ lebih keadaan dibawah ini :
I.

Ibu :
1. kehamilan > 37 minggu
2. adanya gejala impending eklamsi

II.

Janin :
1. adanya tanda tanda gawat janin
2. adanya tanda tanda PJT yang disertai hipoksia

III.

Laboratorik :
Adanya

HELLP

syndrome:

kenaikan

SGOT,

SGPT,

LDH,

Trombositopenia 150.000/ml.
b.

Pengobatan medisinal

1. Infus larutan Ringer Laktat


2. Pemberian MgSO4
Cara pemberian MgSO4 :
1. pemberian melalui intravena secara kontinyu ( dengan menggunakan infusion
pump)
Dosis awal :

4 gram ( 20 cc MgSO4 20 % ) dilarutkan kedalam 100 cc ringer laktat,


diberikan selama 15 20 menit

12

Dosis pemeliharaan :

10 gram ( 50cc MgSO4 20% ) dalam 500 cc cairan RL, diberikan dengan
kecepatan 1 2 gram/jam ( 20 30 tetes per menit )

2. Pemberian melalui intramuskuler secara berkala :


a. Dosis awal :

4 gram MgSO4 ( 20 cc MgSO4 20% ) diberikan secara i.v. dengan kecepatan


1 gram/ menit

b. Dosis pemeliharaan

Selanjutnya diberikan MgSO4 4 gram ( 10 cc MgSO 4 40% ) i.m. setiap 4 jam


tambahkan 1 cc lidokain 2% pada setiap pemberian i.m. untuk mengurangi
perasaan nyeri dan panas.

Syarat syarat pemberian MgSO4


1. harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu kalsium glukonas 10 % ( 1 gram dalam 10 cc )
dibrikan i.v. dalam waktu 3 5 menit
2. Refleks patella ( + ) kuat
3. Frekuensi pernafasan 16 kali per menit
4. Produksi urin 30 cc dalam 1 jam sebelumnya ( 0,5 cc/Kg bb/jam )
Sulfas magnesikus dihentikan bila :
Ada tanda tanda intoksikasi
Setelah 24 jam pasca salin
Dalam 6 jam pasca salin sudah terjadi perbaikan tekanan darah ( normotensif )
3. Diuretikum tidak diberkan kecuali bila ada :
a. Edem paru
b. payah jantung kongestif
c. edem anasarka
4. Anti Hipertensi diberikan bila :
1. Tekanan darah : Bila tensi 180/110 atau MAP 126.
2. Obat obat antihipertensi
Obat-obat anti hipertensi yang diperlukan:

Obat pilihan adalah hidralazin, yang diberikan 5mg i.v pelan-pelan selama 5
menit.
13

Dosis dapat diulang dalam waktu 15-20 menit sampai tercapai tekanan
darah yang diinginkan.

Apabila hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan:

Nifedipin: 10mg, dan dapat diulangi setiap 30 menit (max 120mg/24 jam)
sampai terjadi penurunan tekanan darah.

Labetalol 10mg i.v. Apabila belum terjadi penurunan tekanan darah, maka
dapat diulangi pemberian 20mg setelah 10 menit, 40mg pada 10 menit
berikutnya, diulangi 40mg setelah 10 menit kemudian dan sampai 80mg
pada 10 menit berikutnya.

Bila tidak tersedia, maka dapat diberikan Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam
10cc larutan garam faal atau air untuk suntikan. Disuntikkan mula-mula 5cc
i.v perlahan-lahan selama 5 menit. 5 menit kemudian tekanan darah diukur,
bila belum ada penurunan maka diberikan lagi sisanya 5 cc i.v selama 5
menit. Kemudian diikuti dengan pemberian secara tetes sebanyak 7 ampul
dalam 500 cc dextrose 5% atau martos 10%. Jumlah tetesan dititrasi untuk
mencapai tekanan darah yang diinginkan, yaitu penurunan MAP sebanyak
20% dari awal. Pemeriksaan tekanan darah dilakukan setiap 10 menit
sampai tercapai tekanan darah yang diinginkan, kemudian setiap jam sampai
tekanan darah stabil.

5. Kardiotonika
Indikasi : tanda-tanda payah jantung.
Jenis kardiotonik yang diberikan cedilanid-D.
Perawatan dilakukan dengan subbagian penyakit jantung.
6.

Lain-lain

Obat-obat antipiretik:
Diberikan bila suhu rektal > 38,5 c.
Dapat dibantu dengan pemberian kompres dingin atau alkohol.

Antibiotika
Diberikan atas indikasi.

Anti nyeri

14

Bila pasien karena kontraksi rahim dapat diberikan 50-75 mg 1x saja.


c. Pengelolaan Obstetrik
Cara terminasi kehamilan :
- Belum Inpartu :
1. Induksi persalinan: amniotomi+tetes oksitosin dengan syarat skor bishop 6.
2. Sectio Caesaria
Bila:
i. tetes oksitosin tidak dipenuhi atau adanya kontra indikasi tetes oksitosin.
ii.

8 Syarat jam sejak dimulainya tetes oksitosin belum masuk fase aktif.

- Sudah Inpartu
Kala I
Fase Laten :
Amniotomi + tetes oksitosin dengans yarat skor bishop 6
Fase Aktif :

Amnoiotomi

Bila his tidak adekuat, diberikan tetes oksitosin

Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap,


pertimbangkan S.C.

Catatan : amniotomi dan tetes oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 15


menit setelah pemberian pengobatan medisinal

Kala II
Pada persalinan pervaginam diselesaikan dengan partus buatan.
2.

Pengelolaan Konservatif

a.

Indikasi :
Kehamilan preterm (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda impending eklampsi
dengan keadaan janin baik.

b.

Pengobatan medisinal :
Sama dengan perawatan medisinal pengelolaan secara aktif. Hanya dosis awal Mg
SO4 tidak diberikan i.v cukup i.m saja (MgSO4 40% 8 gram i.m). Pemberian MgSO4
dihentikan bila sudah mencapai tanda-tanda preelamsi ringan, selambat-lambatnya
dalam waktu 24 jam.
15

c. Pengelolaan Obstetrik
1. Selama perawatan konservatif, tindakan observasi dan evaluasi sama seperti
perawatan aktif, termasuk pemeriksaan tes tanpa kontraksi dan USG untuk
mamantau kesejahteraan janin.
2. Bila setelah 2 x 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini dianggap sebagai
kegagalan pengobatan medisinal dan harus diterminasi. Cara terminasi sesuai
dengan pwengelolaan aktif.

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F.G et al: Williams Obstetrics 21st Editions. McGraw-Hill Medical


Publishing Divisions.
Fakultas Kedokteran Univeresitas Padjadjaran. 2005: Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan
Reproduksi Edisi 2. Editor: Prof.Sulaiman S, dr.,SpOG (K); Prof.DR.Djamhoer M,
dr.,MSPH,SpOG(K); Prof.DR.Firman F W, dr.,SpOG(K). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Kelompok Kerja Penyusunan Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan di
Indonesia. Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan di Indonesia. Edisi
kedua. Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI, 2005.

16

Krisnadi.S.R., dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit
dr. Hasan Sadikin. Edisi pertama. Bagian Obstetri Ginekologi FK UNPAD/RS. Dr.
Hasan Sadikin. Bandung, 2005.

17

Anda mungkin juga menyukai