Anda di halaman 1dari 25

BAB II TINJAUAN TEORI

Bab 2.1 Pengertian Sampah

Sampah didefinisikan sebagai semua bentuk limbah berbentuk padat


yang berasal dari kegiatan manusia dan hewan kemudian dibuang
karena tidak bermanfaat atau keberadaannya tidak diinginkan lagi.
(Tchobanoglus, 1993). Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, definisi sampah adalah
sisa

kegiatan

sehari-hari

manusia

dan/atau

proses

alam

yang

berbentuk padat. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah No.81 Tahun


2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga dijelaskan lagi tentang definisi sampah rumah
tangga adalah sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam
rumah tangga yang tidak termasuk tinja dan sampah spesifik. Sampah
sejenis sampah rumah tangga adalah sampah rumah tangga yang
berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus,
fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya.
Soemirat (2009), menyatakan bahwa kuantitas dan kualitas sampah
sangat

dipengaruhi

oleh

berbagai

kegiatan

dan

taraf

hidup

masyarakat. Beberapa faktor penting yang mempengaruhi sampah


antara lain:
a. Jumlah penduduk.
Bahwa dengan semakin banyak penduduk, maka akan semakin
banyak pula sampah yang dihasilkan oleh penduduk.
b. Keadaan sosial ekonomi.
Semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat, semakin
banyak pula jumlah per kapita sampah yang dibuang tiap harinya.
Kualitas sampahnyapun semakin banyak yang bersifat non organik
atau tidak dapat membusuk. Perubahan kualitas sampah ini,
tergantung pada bahan yang tersedia, peraturan yang berlaku serta
kesadaran masyarakat akan persoalan persampahan.

c. Kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi akan menambah jumlah


maupun kualitas sampah, karena pemakaian bahan baku yang
semakin beragam, cara
pengepakan dan produk manufaktur yang semakin beragam dapat
mempengaruhi jumlah dan jenis sampahnya.
2.2 Jenis Sampah

Sampah

jika

dibedakan

menurut

bahan

penyusunnya

dapat

digolongkan sebagai berikut :


1. Sampah Organik, terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan
hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan
pertanian,perikanan atau yang lain. Sampah ini dengan mudah
diuraikan dalam proses alami. Sampah rumah tangga sebagian
besar

merupakan

bahan

organik.

Termasuk

sampah

organik,

misalnya sampah dari dapur, sisa tepung, sayuran, kulit buah, dan
daun
2. Sampah Anorganik, berasal dari sumber daya alam tak terbarui
seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri.
Beberapa dari bahan ini tidak terdapat di alam seperti plastik dan
aluminium. Sebagian zat anorganik secara keseluruhan tidak dapat
diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat diuraikan
dalam waktu yang sangat lama. Sampah jenis ini pada tingkat
rumah tangga, misalnya berupa botol, botol plastik, tas plastik, dan
kaleng.
Di samping itu, sampah dapat dibedakan atas dasar sifat- sifat biologis
dan kimianya sehingga mempermudah pengelolaannya. Jenis sampah
manurut sifatnya dapat dibagi sebagai berikut :

1. sampah

yang

dapat

membusuk

(garbage),

menghendaki

pengelolaan yang cepat. Gas-gas yang dihasilkan dari pembusukan


sampah berupa gas metan dan H2S yang bersifat racun bagi tubuh

2. sampah yang tidak dapat membusuk (refuse), terdiri dari sampah


plastik, logam, gelas, karet dan lain-lain

3. sampah yang berupa debu/abu sisa hasil pembakaran bahan bakar


atau sampah.
4. sampah yang berbahaya terhadap kesehatan, yakni sampah B3
adalah sampah yang karena sifatnya , jumlahnya, konsentrasinya
atau

karena

sifat

kimia,

fisika

dan

mikrobologinya

dapat

meningkatkan mortalitas dan morbiditas secara bermakna atau


menyebabkan penyakit yang irreversibell ataupun sakit berat yang
pulih (tidak berbalik) atau reversibell (berbalik) atau berpotensi
menimbulkan bahaya sekarang maupun dimasa yang akan datang
terhadap kesehatan atau lingkungan apabila tidak diolah, disimpan
atau dibuang dengan baik.

2.2.1 Sampah Khusus

Sampah khusus adalah sampah yang memerlukan penanganan khusus


untuk menghindari bahaya yang akan ditimbulkannya. Sampah khusus
meliputi :
1. Sampah dari Rumah Sakit
Sampah rumah sakit merupakan sampah biomedis, seperti sampah
dari pembedahan, peralatan (misalnya pisau bedah yang dibuang),
botol infus dan sejenisnya, serta obat-obatan (pil, obat bius,
vitamin). Semua sampah ini mungkin terkontaminasi oleh bakteri,
virus dan sebagian beracun sehingga sangat berbahaya bagi
manusia dan makhluk lainnya. Cara pencegahan dan penanganan
sampah rumah sakit antara lain:

Sampah rumah sakit perlu dipisahkan.


Sampah rumah sakit harus dibakar di dalam sebuah insinerator
milik rumah sakit. Sampah rumah sakit ditampung di sebuah
kontainer dan selanjutnya dibakar di tempat pembakaran

sampah.
Sampah biomedis disterilisasi terlebih dahulu sebelum dibuang
ke landfill.

2. Baterai Kering dan Akumulator bekas


Baterai umumnya berasal dari sampah rumah tangga, dan biasanya
mengandung logam berat seperti raksa dan kadmium. Logam berat

sangat berbahaya bagi kesehatan. Akumulator dengan asam sulfat


atau senyawa timbal berpotensi menimbulkan bahaya bagi manusia.
Baterai harus diperlakukan sebagai sampah khusus. Saat ini di
Indonesia, baterai kering hanya dapat disimpan di tempat kering
sampai tersedia fasilitas pengolahan. Jenis sampah khusus lainnya
adalah: a. Bola lampu bekas b. Pelarut dan cat c. Zat-zat kimia
pembasmi hama dan penyakit tanaman seperti insektisida, pestisida
d. Sampah dari kegiatan pertambangan dan eksplorasi minyak e.
Zat-zat yang mudah meledak dalam suhu tinggi

2.3 Sumber-Sumber Timbunan Sampah

Berbagai aktifitas manusia selalu menimbulkan timbunan sampah,


menurut sumber-sumber timbunannya, sampah dapat digolongkan
menjadi :

1. Sampah Rumah Tangga


a. Sampah basah
Sampah jenis ini dapat diurai (degradable) atau biasa dikatakan
membusuk.
Contohnya ialah sisa makanan, sayuran, potongan hewan, daun
kering dan semua materi yang berasal dari makhluk hidup.
b. Sampah kering
Sampah yang terdiri dari logam seperti besi tua, kaleng bekas dan
sampah
kierng nonlogam seperti kayu, kertas, kaca, keramik, batu-batuan
dan sisa kain.
c. Sampah lembut
Contoh sampah ini adalah debu dari penyapuan lantai rumah,
gedung,
penggergajian kayu dan abu dari rokok atau pembakaran kayu.
d. Sampah besar
Sampah yang terdiri dari buangan rumah tangga yang besarbesar seperti

meja, kursi, kulkas, televisi, radio dan peralatan dapur.


2. Sampah Komersial
Sampah yang berasal dari kegiatan komersial seperti pasar,
pertokoan, rumah makan, tempat hiburan, penginapan, bengkel dan
kios. Demikian pula dari institusi seperti perkantoran, tempat
pendidikan, tempat ibadah dan lembaga-lembaga nonkomersial
lainnya.
3. Sampah Bangunan
Sampah

yang

berasal

dari

kegiatan

pembangunan

termasuk

pemugaran dan
pembongkaran suatu bangunan seperti semen, kayu, batu-bata dan
genting.
4. Sampah Fasilitas Umum
Sampah ini berasal dari pembersihan dan penyapuan jalan, trotoar,
taman,
lapangan, tempat rekreasi dan fasilitas umum lainnya. Contohnya
ialah daun, ranting, kertas pembungkus, plastik dan debu.
2.4 Sistem Pengolahan Sampah

Pengelolaan sampah adalah pengaturan yang berhubungan dengan


pengendalian

timbulan

sampah,

penyimpanan,

pengumpulan,

pemindahan dan pengangkutan, pengolahan dan pembuangan sampah


dengan cara yang merujuk pada dasar-dasar yang terbaik mengenai
kesehatan masyarakat, ekonomi, teknik, konservasi, estetika dan
pertimbangan lingkungan yang lain dan juga tanggap terhadap
perilaku massa. Pengelolaan persampahan mempunyai tujuan yang
sangat mendasar yang meliputi meningkatkan kesehatan lingkungan
dan masyarakat, melindungi sumber daya alam (air), melindungi
fasilitas sosial ekonomi dan menunjang sektor strategis (Rahardyan
Dan Widagdo 2005). Sistem pengelolaan sampah perkotaan pada
dasarnya dilihat sebagai komponen- komponen sub sistem yang saling
mendukung satu sama lainuntuk mencapau tujuan yaitu kota yang
bersih, sehat dan teratur (Syafrudin dan Priyambada 2001). Komponenkomponen tersebut meliputi :

1. Sub sistem teknis Operasional (sub sistem teknik), 2. Sub sistem


organisasi dan manajemen (sub sistem Institusi), 3. Sub sistem hukum
dan Peraturan (sub sistem Hukum), 4. Sub sistem Pembiayaan (sub
sistem finansial) 5. Sub sistem peran serta Masyarakat Kelima sub
sistim

pengelolaan

sampah

saling

terkait

satu

dengan

lainnya

sebagaimana pada Gambar 2.2 berikut ini:

Gambar 2.1 Keterkaitan Komponen Dalam Sistem Pengelolaan


Sampah Kota

2.4.1 Sub sistem teknis operasional

Pengelolaan sampah perkotaan meliputi dasar- dasar perencanaan


untuk kegiatan-kegiatan pewadahan sampah, pengumpulan sampah,
pengangkutan sampah, pengolahan sampah dan pembuangan akhir
sampah. Teknis operasional pengelolaan sampah perkotaan yang
terdiri dari kegiatan pewadahan sampai dengan pembuangan akhir
sampah harus bersifat terpadu dengan melakukan pemilahan sejak
dari sumbernya. Agar lebih jelasnya teknis operasional pengelolaan
sampah dapat dilihat pada skema pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Teknis Operasional Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah ditujukan pada pengumpulan sampah mulai dari


produsen sampai pada tempat pembuangan sampah akhir (TPA),
membuat tempat pembuangan sampah sementara (TPS), transportasi
yang

sesuai

lingkungan

dan

pengelolaan

pada

TPA.

Sebelum

dimusnahkan, sampah dapat diolah terlebih dahulu untuk memperkecil


volume yang di daur ulang atau dimanfaatkan kembali. Berdasarkan
karakteristiknya pengolahan sampah dilakukan berbagai cara yakni :
1. Komposting, baik bagi jenis garbage
2. Insinerasi untuk refuse
3. Proses lain seperti pembuatan bahan bangunan dari buangan
industri yang mempunyai sifat seperti semen
Penjelasan tentang aspek teknis operasional sebagaimana Gambar
2.3 adalah sebagai berikut:
1. Timbulan Sampah
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulan sampah adalah:
a. Jumlah penduduk, artinya jumlah penduduk meningkat timbulan
sampah meningkat.
b. Keadan sosial ekonomi, semakin tinggi keadaan sosial ekonomi
seseorang akan semakin banyak timbulan sampah perkapita yang
dihasilkan

c.

Kemajuan

teknologi,

akan

menambah

jumlah

dan

kualitas

sampahnya. Rata-rata timbulan sampah biasanya akan bervariasi dari


hari ke hari, antara satu daerah dengan daerah lainnya, antara satu
negara dengan negara lain.
Rata-rata timbulan sampah biasanya akan bervariasi dari hari ke hari,
antara satu daerah dengan daerah lainnya, antara satu negara dengan
negara lain. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi timbulan
sampah antara lain:
a. Tingkat hidup : makin tinggi tingkat hidup, makin banyak sampah
yang ditimbulkan
b. Pola hidup dan mobilitas masyarakat
c. Kepadatan dan Jumlah penduduk
d. Iklim dan musim
e. Pola penyediaan kebutuhan hidup dan penanganan makanan
f. Letak geografis dan topografi

2. Pewadahan dan Pemilahan Sampah


Berdasarkan standar SNI 19-2454-2002 yang dimaksudkan dengan
pewadahan sampah adalah aktifitas menampung sampah sementara
dalam suatu wadah individual atau komunal di tempat sumber
sampah. Pewadahan ini dilakukan pada sampah yang telah dipilah
yakni sampah organik, anorganik dan sampah berbahaya beracun. Pola
pewadahan terdiri dari pola individual dan pola komunal. Pola
pewadahan individual adalah aktifitas penanganan penampungan
sampah sementara dalam suatu wadah khusus untuk dan dari sampah
individu,

sedangkan

pola

komunal

adalah

aktifitas

penanganan

penampungan sampah sementara dalam suatu wadah bersama baik


dari berbagai sumber maupun sumber umum. Bahan wadah yang
dipersyaratkan sesuai Standar Nasional Indonesia adalah tidak mudah
rusak, ekonomis, mudah diperoleh dan dibuat oleh masyarakat dan
mudah dikosongkan.
3. Pengumpulan Sampah

Pengumpulan sampah adalah cara atau proses pengambilan sampah


mulai dari sumber atau tempat pewadahan penampungan sampah
sampai

ke

Tempat

Pembuangan

Sementara

(TPS).

Pengambilan

sampah dilakukan tiap periodesasi tertentu. Periodesasi biasanya


ditentukan berdasarkan waktu pembusukan yaitu kurang lebih setelah
berumur 2-3 hari, yang berarti pengumpulan sampah dilakukan
maksimal setiap 3 hari sekali.

a. Sistim Pengumpulan
Pengumpulan sampah dari tiap-tiap sumber sampah dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu:
1) Sistem tidak langsung Di daerah pemukiman yang sebagian
besar dihuni oleh masyarakat berpendapatan rendah, dengan
kondisi jalan pemukiman yang sempit, pengumpulan sampah
dilakukan dengan gerobak sampai yang mempunyai volume ratarata 1 m3. Untuk kemudian diangkut ke TPS. Sampah dari pasar
dan hasil sapuan jalan biasanya dikumpul dalam kontainer atau
TPS dekat pasar yang kemudian diangkut Truk ke TPA.
2) Sistem Langsung, terdiri dari
Pengumpulan individu langsung, Pada sistem
pengumpulan

dan

pengangkutan

sampah

ini

proses

dilakukan

ber-

samaan. Pengumpulan dilakukan oleh petugas kebersihan dari


wadah-wadah

sampah

rumah/persil

kemudian

dimuat

ke

kendaraan langsung dibawa ke TPA. Alat pengumpul berupa


truck standar atau dump truck, dan sekaligus berfungsi sebagai
alat pengangkut sampah menuju TPA. Daerah yang dilayani
dengan sistem ini adalah daerah pemukiman teratur (formal
area) dan daerah perkotaan dimana pada daerah-daerah
tersebut sulit untuk menempatkan transfer dipo atau kontainer
angkut karena

kondisi,

sifat

daerahnya

ataupun

standar

kesehatan masyarakat dan standar kenyaman masyarakat


cukup tinggi. Persyaratan yang perlu diperhatikan dalam sistem
ini adalah

kondisi topografi (rata-rata > 5 %) sehingga alat

pengumpul non mesin sulit beroperasi, Kondisi jalan cukup


lebar dan operasi tidak menunggu pemakai jalan lainnya,

Kondisi dan jumlah alat memadai, Jumlah timbulan sampah > 3


m3/hari
1) Pengumpul

komunal

langsung,

adalah

cara

pengumpulan

sampah dari masing-masing titik wadah komunal dan diangkut


langsung ke TPA. Persyaratan yang perlu diperhatikan adalah:
alat angkut terbatas, kemampuan pengendalian personil dan
peralatan terbatas, alat pengumpul sulit menjangkau sumbersumber sampah, peran serta masyarakat cukup tinggi, wadah
komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan dilokasi
yang mudah dijangkau oleh alat angkut, untuk pemukiman tidak
teratur

b. Waktu Pengumpulan
Waktu pengumpulan yang dimaksudkan adalah waktu yang terbaik
untuk melakukan pengumpulan. Pada umumnya pengumpulan sampai
dilakukan pada pagi hari atau siang , akan tetapi pada tempat-tempat
tertentu misalnya pasar, waktu pengumpulanya biasanya malam hari.
Tata cara operasional pengumpulan harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1) Rotasi 1-4 rit/hari
2) Periodisasi 1 hari, 2 hari atau maksimal 3 hari tergantung kondisi
komposisi sampah, yaitu: semakin besar prosentasi sampah
organik periodisasi pelayanan maksimal sehari 1 kali; untuk
sampah kering, periode pengumpulannya di sesuaikan dengan
jadwal yang telah ditentukan, dapat dilakukan lebih dari 3 hari 1
kali; untuk sampah B3 disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku;
mempunyai daerah pelayanan tertentu dan tetap; mempunyai
petugas pelaksana yang tetap dan dipindahkan secara periodik;
pembebanan pekerjaan diusahakan merata dengan kriteria jumlah
sampah terangkut, jarak tempuh dan kondisi daerah.
c. Frekuensi pengumpulan
Yaitu banyaknya sampah yang dapat dikumpulkan dan diangkut
perhari. Semakin tinggi frekuensi pengumpulan sampah semakin

banyak jumlah sampah yang dikumpulkan per pelayanan per kapita.


Frekuensi pengangkutan perlu ditetapkan dengan teratur, disamping
untuk

memberikan

gambaran

kualitas

pelayanan,

juga

untuk

menetapkan jumlah kebutuhan tenaga dan peralatan, sehingga biaya


operasi dapat diperkirakan. Frekuensi pelayanan yang teratur akan
memudahkan bagi para petugas untuk melaksanakan kegiatannya.
Frekuensi pelayanan dapat dilakukan 3 hari sekali atau maksimal 2 kali
seminggu. Meskipun pelayanan yang lebih sering dilakukan adalah
baik, namun biaya operasional akan menjadi lebih tinggi sehingga
frekuensi

pelayanan

harus

diambil

yang

optimum

dengan

memperhatikan kemampuan memberikan pelayanan, jumlah volume


sampah, dan komposisi sampah (Irman, 2002).
Perencanaan

frekuensi

pengangkutan

sampah

dapat

bervariasi

tergantung kebutuhan misalnya satu sampai dua hari sekali dan


maksimal tiga hari sekali, tergantung dari komposisi sampah yang
dihasilkan dimana semakin besar prosentase sampah organik semakin
kecil periodesasi pengangkutan. Hal ini dikarenakan sampah organik
lebih cepat membusuk sehingga dapat menimbulkan gangguan
lingkungan di sekitar TPS. Makin sering frekuensi pengangkutan maka
semakin baik, namun biasanya biaya operasinya akan lebih mahal.
Penentuan frekuensi pengangkutan juga akan bergantung dari jumlah
timbulan sampah dengan kapasitas truk pengangkut yang melayani
(Tchobanoglous,1993).
4. Pemindahan Sampah
Pemindahan sampah adalah kegiatan memindahkan sampah hasil
pengumpulan ke dalam alat pengangkut untuk di bawa ke tempat
pembuangan akhir (Departemen Pekerjaan Umum, 2002). Operasi
pemindahan dan pengangkutan menjadi diperlukan apabila jarak
angkut ke pusat pemrosesan/TPA sangat jauh sehingga pengangkutan
langsung dari sumber ke TPA dinilai tidak ekonomis. Hal tersebut juga
menjadi penting bila tempat pemrosesan berada di tempat yang jauh
dan

tidak

dapat

dijangkau

langsung.

Tempat

penampungan/pembuangan sementara (TPS) merupakan istilah yang

lebih popular bagi sarana pemindahan dibandingkan dengan istilah


transfer depo.
Persyaratan TPS/transfer depo yang ramah lingkungan adalah: a.
Bentuk fisiknya tertutup dan terawat. b. TPS dapat berupa pool
gerobak atau pool kontainer. c. Sampah tidak berserakan dan
bertumpuk

diluar

TPS/kontainer.

Tipe

pemindahan

sampah

menggunakan tranfer depo antara lain menggunakan Tranfer tipe I


dengan luas lebih dari 200 m 2 yang merupakan tempat peralatan
pengumpul dan pengangkutan sebelum pemindahan serta sebagai
kantor dan bengkel sederhana, tranfer tipe II dengan luas 60-200 m 2
yang

merupakan

tempat

pertemuan

peralatan

pengumpul

dan

pengangkutan sebelum tempat pemindahan dan merupakan tempat


parkir gerobak atau becak sampah. Transfer tipe III dengan luas 10-20
m2 yang merupakan tempat pertemuan gerobak dan kontainer (6-10
m3) serta merupakan lokasi penempatan kontainer komunal (1- 10 m 3).
5. Pengangkutan Sampah
Pengangkutan sampah adalah tahap membawa sampah langsung dari
sumber sampah dengan sistim pengumpulan individual langsung atau
pengumpulan

melalui

sistim

pemindahan

pengangkutan

dengan

sistim

pengumpulan

menuju
individual

TPA.

Pola

langsung,

kendaraan dari pool menuju titik sumber sampah dan mengambil


sampah setiap titik sumber sampah sampai penuh, selanjutnya
diangkut ke TPA. Setelah truk dikosongkan selanjutnya truk mengambil
sampah di lokasi lainnya dan seterusnya sesuai jumlah ritase yang
telah ditetapkan. Pengangkutan dengan sistim pemindah, truck dari
pool menuju lokasi pemindah lalu dibawa ke TPA, selanjutnya
pengambilan ke pemindah lain sesuai ritase yang telah ditetapkan.
Untuk mengangkut sampah dari tempat penampungan sementara
(TPS) ke tempat pembuangan akhir sampah (TPA), digunakan truk jenis
Tripper/Dump Truck, Arm Roll Truck, dan jenis Compactor Truck.
Tabel II.1 Jenis dan Alat Angkut Sampah

Jenis
Kendara

Kapasit
as

Kekurangan

Kebaikan

Keterang
an

an
Truk bak
terbuka
(kayu)

8 m3
10 m3
12 m3

Tripper/
Dump
Truck

6 m3
8 m3
10 m3

Armroll
Truck
Container

5 m3
7 m3
8 m3

Tenaga kerja
banyak
Perlu
penutup
bak
Operasinal
lambat
Tenaga
kerja
banyak
Perlu
penutup
bak
Biaya O&M
relatif Tinggi
Mahal
Butuh
container
Biaya O&M
tinggi

Biaya O&M
rendah
Cocok sistem
door to door
Umur produksi
5 tahun
2-3 rit/hari
Bisa door to
door
Mobilitas tinggi,
2-3 rit/hari
Umur 5 -7 tahun
Cepat
operasi
pembongkaran
Mobilitas tinggi
Cocok untuk
permukiman
dan pasar
Tenaga
kerja
sedikit
Umur 5 tahun
4-5 rit/hari

Tidak
dianjurkan

Kurang
dianjurkan

Cocok
untuk
lokasi
sampah
yang
banyak
Dianjurka
n

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2002

Pola pengangkutan adalah sebagai berikut:


1) Pengangkutan sampah dengai sistem pengumpulan individual
langsung (door to door), yaitu: truk pengangkut sampah dari pool
menuju titik sumber sampah pertama untuk mengambil sampah;
selanjutnya

mengambil

sampah

pada

titik-titik

sumber

sampah

berikutnya sampai truk penuh sesuai dengan kapasitasnya; selanjutnya


diangkut ke TPA sampah; setelah pengosongan di TPA, truk menuju ke
lokasi sumber sampah berikutnya, sampai terpenuhi ritasi yang telah
ditetapkan.
2) Pengumpulan sampah melalui sistem pemindahan di transfer depo
tipe I dan II dilakukan dengan cara sebagai berikut: kendaraan
pengangkut

sampah

keluar

dari

pool

langsung

menuju

lokasi

pemindahan di transfer depo untuk mengangkut sampah ke TPA; dari


TPA kendaraan tersebut kembali ke transfer depo untuk pengambilan
pada rit berikutnya;

3) Pengumpulan sampah dengan sistem kontainer (transfer tipe III),


pola pengangkutan adalah sebagai berikut:
a. Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer cara 1,
dengan proses: kendaraan dari pool menuju kontainer isi pertama
untuk mengangkut sampah ke TPA; kontainer kosong dikembalikan
ke tempat semula; menuju ke kontainer isi berikutnya untuk
diangkut ke TPA; kontainer kosong dikembalikan ke tempat semula;
demikian seterusnya sampai rit terakhir.
b. Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer cara 2,
dilakukan sebagai berikut: kendaraan dari pool menuju kontainer isi
pertama untuk mengangkat sampah ke TPA; dari TPA kendaraan
tersebut dengan kontainer kosong menuju lokasi ke dua untuk
menurunkan kontainer kosong dan membawa kontainer isi untuk
diangkut ke TPA; demikian seterusnya sampai pada rit terakhir; pada
rit terakhir dcngan kontainer kosong, dari TPA menuju ke lokasi
kontainer pertama, kemudian truk kembali ke pool tanpa Kontainer.
c. Pengangkutan sampah dengan sistem pengosongan kontainer cara
3, dengan proses: kendaraan dari pool dengan membawa kontainer
kososng menuju ke lokasi kontainer isi untuk mengganti /mengambil
dan langsung membawanya ke TPA; kendaraan dengan membawa
kontainer kosong dari TPA menuju ke kontainer isi berikutnya;
seterusnya sampai dengan rit terakhir.
d. Pola pengangkutan sampah dengan sistem kontainer tetap biasanya
untuk kontainer kecil serta alat angkut berupa truk pemadat atau
dump truk atau truk biasa, dengan proses: kendaran dari pool
menuju kontainer pertama, sampah dituangkan ke dalam truk
kompaktor

dan

meletakkan

kembali

kontainer

yang

kosong;

kendaraan menuju ke kontainer berikutnya sehingga truk penuh,


untuk kemudian langsung ke TPA; demikian seterusnya sampai
dengan rit terakhir.
6. Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Tempat pembuangan sampah akhir (TPA) adalah sarana fisik untuk
berlangsungnya

kegiatan

pembuangan

akhir

sampah,

tempat

menyingkirkan/mengkarantinakan sampah kota sehingga aman (SK SNI

T-11- 1991-03). Pertimbangan penentuan Lokasi TPA, mengacu kepada


Standar Nasional Indonesia dengan penekanan pada beberapa hal
sebagai berikut:
a. Keberadaan dan letak fasilitas publik, perumahan,
b. Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan
c. Kondisi hidrogeologi
d. Kondisi klimatologi
e. Jalur jalan
f. Kecepatan pengangkutan
g. Batas pengangkutan (jalan, jembatan, underpass)
h. Pola lalu lintas dan kemacetan
i. Waktu pengangkutan
j. Ketersediaan lahan untuk penutup (jika memakai sistem sanitari
landfill)
k. Jarak dari sungai
l. Jarak dari rumah dan sumur penduduk
Faktor-faktor yang mempengaruhi umur teknis tempat pembuangan
akhir sampah (TPA) adalah: a. volume riil yang masuk ke dalam TPA, b.
pemadatan sampah oleh alat berat, c. volume sampah yang diangkut
oleh

pemulung,

d.

batas

ketinggian

penumpukan

sampah,

e.

ketinggian tanah urugan dan f. susut alami sampah.


2.4.2 Metode Pengelolaan Sampah

Berdasarkan titik berat perolehannya, terdapat dua macam metode


pengolahan
sampah yaitu metode yang menitikberatkan pada penggunaan bahan
dan metode yang menitikberatkan pada perolehan energi.
a. Metode yang menitikberatkan penggunaan bahan
1. Pemilahan
Metode ini bertujuan untuk memisahkan sampah berdasarkan
komposisinya
agar tidak menjadi satu. Pemilihan mempunyai dua tujuan.
Pertama, mendapatkan bahan mentah berkualitas tinggi. Kedua,
mendapatkan bahan mentah sekunder dengan kandungan energi
tinggi.

2. Daur ulang
Daur ulang atau recycling adalah mengembalikan suatu sisa
barang dari proses produksi ke dalam siklus produksi. Kegiatan ini
dibagi menjadi tiga jenis yaitu (menggunakan ulang untuk tujuan
yang sama), reutilization (menggunakan lagi untuk keperluan
yang berbeda) dan recovery (mendapatkan bahan dasar kembali).
3. Pengomposan
Proses mengolah sampah organik menjadi kompos yang berguna
untuk
memperbaiki kesuburan tanah.
4. Pryolisis untuk menghasilkan sintesis
Pryolisis adalah suatu cara menghancurkan bahan padat atau cair
tanpa
menggunakan gas. Padatan akan terurai menjadi fragmenfragmen yang lebih kecil. Pryolisis dapat mengubah sekitar 50%
padatan menjadi cairan yang 95% beratnya adalah senyawa
aromatik.

b. Metode yang menitikberatkan pada perolehan energi


1. Pryolisis
Selain menghasilkan cairan, 50% dari padatan juga menghasilkan
gas (yang
sebagian besar campuran methan, ethan dan prophan). Gas yang
dihasilkan bukan energi yang bisa disimpan, melainkan sebagai
panas yang harus digunakan lagi atau dikonversikan menjadi
energi lain.
2. Incinerator
Pembakaran sampah (incineration) bertujuan untuk mereduksi
volume
buangan padat. Teknologi ini dapat mengurangi volume sampah
hingga 97% dan bobot hingga 70%. Panas hasil pembakaran
dipakai untuk menghasilkan energi.
3. Sampah sebagai bahan bakar
Bahan bakar dari metode ini diperoleh fraksi organik sampah.
Fraksi organik
tersebut selanjutnya dipress hingga menyerupai bahan bakar
batu bara. Jumlah kandungan panas bahan ini memang hanya
setengahnya dari batu bara, namun memiliki kandungan debu
lebih kecil dari batu bara.

c. TPA
Selain pengolahan berdasarkan titik berat perolehan (perolehan bahan
atau energi),
terdapat satu metode lagi yang hanya menimbun sampah pada di
tempat tertentu yangdinamakan Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Sampah yang ada pada TPA dikumpulkan dari sampah yang ada dari
berbagai macam sumber sampah dalam suatu kawasan. Awalnya,
sistem yang ada pada TPA adalah membiarkan sampah ditimbun
secara terbuka (open dumping) tanpa pemrosesan lebih lanjut. Dalam
rangka

mengurangi

pencemaran

udara,

air

dan

tanah

serta

penyebaran penyakit melalui debu dan lalat dari cara ini, maka saat ini
digalakkan penggantian sistem open dumping menjadi sistem lahan
uruk saniter (sanitary landfill).
Pada sanitary landfill, sampah dimasukkan ke dalam lahan yang sudah
dilengkapi
fundamen yang kedap air serta saluran untuk lindi dan gas. Sampah
yang menumpuk itu kemudian dipadatkan dengan alat berat, lalu
ditutup dengan tanah penutup. Setelah itu dipadatkan lagi, di atasnya
ditempatkan sampah, ditutup dengan tanah, demikian seterusnya.
Agar lindi (cairan yang berasal dari sampah ataupun yang menyertai
sampah ketika sampah itu dibuang) tidak menembus keluar dan
mencemari lingkungan, makan sanitary landfill dibuat di atas tanah
berpermukaan rendah atau permukaan tahan dikeruk dahulu sehingga
terbentuk

dinding

yang

dapat

berfungsi

untuk

menahan

dan

mengurangi kebocoran air lindi. Kedalaman kerukan tanah ini tidak


boleh sejajar atau lebih dalam daripada permukaan air tanah. Sesuai
dengan SNLT-11-1994-03, jaraknya dengan permukaan air tanah
adalah >3 m.
d. ITF atau Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)
ITF (Intermediete Treatment Facility) adalah fasilitas pengolahan
sampah antara yang bertujuan untuk mengurangi jumlah sampah
sebesar-besarnya sebelum masuk ke TPA atau tempat pembuangan
akhir sampah. ITF biasa juga disebut dengan transfer station yang

penting adalah fasilitas yang fungsinya dapat sebesar mungkin


mengurangi jumlah sampah yang ditimbun di TPA.
Adanya

ITF

ini

sangat

diharapkan

dapat

mengurangi

biaya

pengangkutan sampah dan juga sekaligus menambah umur TPA. Tapi


masih ada tujuan mulia lainnya yaitu menghasilkan energi alternatif.
Secara umum fasilitas-fasilitas yang ada di ITF antara lain :
1. Fasilitas pre-processing, merupakan tahap awal pemisahan sampah,
mengetahui jenis sampah yang masuk, meliputi proses-proses sebagai
berikut:
Penimbangan, mengetahui jumlah sampah yang masuk.
Penerimaan dan penyimpanan, menentukan area

untuk

mengantisipasi
jika sampah yang terolah tidak secepat sampah yang datang ke
lokasi.
2. Fasilitas pemilahan, bisa secara manual maupun mekanis. Secara
manual akan membutuhkan area dan tenaga kerja untuk melakukan
pemilahan

dengan

cepat,

sedangkan

secara

mekanis

akan

mempermudah proses pemilahan dan menghemat waktu. Peralatan


mekanis yang digunakan antara lain:

Alat untuk memisahkan berdasarkan ukuran : reciprocating


screen,
trommel screen, disc screen.
Alat untuk memisahkan berdasarkan berat
jenis : air classifier, pemisahan inersi, dan flotation.

3. Fasilitas pengolahan sampah secara fisik, setelah dipilah sampah


akan ditangani menurut jenis dan ukuran material tersebut. Peralatan
yang digunakan antara lain : hammer mill dan shear shredder.
4. Fasilitas pengolahan yang lain seperti komposting, ataupun RDF.
Terkait dengan pengolahan sampah, maka ada beberapa proses yang
bisa berlangsung di TPST atau ITF ini yaitu :
1. Transformasi fisik yaitu : pemisahan sampah dengan berbagai
metoda seperti pemisahan secara manual maupun pemisahan secara
mekanik menggunakan beberapa peralatan, seperti rotating screen,

magnetic separation dan lain-lain Selain itu sampah-sampah lain


seperti plastik, kardus dan lain-lain mengalami proses pemisahan dan
pencacahan. Proses kompaksi juga dapat terjadi di lokasi ini dengan
penerapan dari baling.
2.

Transformasi

biologi,

yaitu

proses

pengomposan

yang

bisa

diterapkan baik dalam skala TPST maupun IPST. Proses pengomposan


ini bisa menggunakan beberapa metoda seperti windrow composting
atau komposter angin dan proses pengomposan yang lain. Pemilihan
teknologi sangat tergantung pada beberapa faktor antara lain :
ketersediaan lahan dan kemudahan operasional proses pengomposan
serta meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul.
3. Transformasi kimia, dengan mengubah sampah menjadi briket
sampah. Sampah dapat digunakan sebagai sumber energi dengan
memanfaatkan nilai kalor yang ada di dalam sampah.
Selain keuntungan yang bisa ditimbulkan, ada beberapa masalah yang
harus diperhatikan dalam penerapan ITF ini, yaitu:

1. Lokasi ITF (TPST)


Lokasi sebaiknya jauh dari permukiman penduduk dan industri, dengan
pertimbangan ITF akan mendapatkan daerah penyangga yang baik dan
mampu

melindungi

fasilitas

yang

ada.

Tetapi

tidak

menutup

kemungkinan lokasi dekat dengan permukiman atau industri, hanya


saja dibutuhkan pengawasan terhadap operasional ITF sehingga dapat
diterima di lingkungan.
2. Emisi ke lingkungan
ITF yang akan dioperasikan harus melihat kemampuan lingkungan
dalam menerima dampak yang ditimbulkan dari adanya fasilitas ITF,
misalnya : kebisingan, bau, pencemaran udara, estetika yang buruk
dan lain-lain. Pendekatan desain yang terbaik adalah merencanakan
dengan baik penentuan lokasi ITF, menerapkan sistem bersih lokasi
dan pengoperasian yang ramah lingkungan.
3. Kesehatan dan kemanan masyarakat

Kesehatan dan keamanan masyarakat secara umum sangat terkait


dengan proses yang ada di dalam ITF. Jika proses di ITF direncanakan
dan dilaksanakan dengan baik, maka dampak negatif yang akan
ditimbulkan pada masyarakat dapat diminimalkan.
4. Kesehatan dan keselamatan pekerja
Pengoperasian ITF juga menimbulkan resiko terhadap para pekerja,
seperti kemungkinan adanya paparan dari bahan-bahan toksik yang
masuk ke lokasi ITF, sehingga pekerja harus dilengkapi peralatan
safety pribadi. Contoh peralatan tersebut pakaian yang aman, sepatu
boot, sarung tangan, masker dan lain-lain.
2.4.3 Pengomposan

Seperti dijelaskan di atas tadi, pengomposan pengolahan sampah


organik menjadi
kompos yang berguna untuk memperbaiki kesuburan tanah. Pada
bagian ini akan
dijabarkan dengan lebih detail mengenai pengomposan.
1. Kompos dan proses komposting
Kompos didefinisikan sejenis pupuk organik, dimana kandungan unsur
N, P dan K
yang tidak terlalu tinggi , hal ini membedakan kompos dengan pupuk
buatan. Kompos sangat banyak mengandung unsur hara mikro yang
berfungsi

membantu

memperbaiki

struktur

tanah

dengan

meningkatkan porositas tanah sehingga tanah menjadi gembur dan


lebih mampu menyimpan air (Tchobanoglous et al.,1993). Adapun
manfaat dari kompos adalah :
- Memperbaiki struktur tanah;
- Sebagai bahan baku pupuk organik;
- Sebagai media remediasi tanah yang tercemar (pemulih tanah akibat
pencemaran bahan kimia yang toxic terhadap mikroba tanah);
- Meningkatkan oksigen dalam tanah;
- Menjaga kesuburan tanah;
- Mengurangi kebutuhan pupuk inorganik.

Cara atau metoda untuk membuat kompos adalah proses komposting.


Proses komposting ini merupakan proses dengan memanfaatkan
proses biologis yaitu pengembangan massa mikroba yang dapat
tumbuh selama proses terjadi. Metoda ini adalah proses biologi yang
mendekomposisi sampah (terutama sampah organic yang basah)
menjadi kompos karena adanya interaksi kompleks dari organisme
yang terdapat secara alami. Berdasarkan prinsip proses biologis ini,
maka karakteristik dari mikroba menjadi penting untuk diperhatikan.
Jenis

mikroba

yang

dimaksud

adalah

jenis

mikroba

yang

diklasifikasikan dari cara hidupnya, yaitu :


Mikroba anaerobic (yaitu mikroba yang hidup tanpa oksigen); jenis
mikroba ini juga dibagi dalam 2-jenis yaitu : mesophilic (hidup pada
temperatur (2040 oC), dan thermophilic (hidup pada temperatur (45-70 oC).
Mikroba aerobic adalah mikroba yang hanya dapat hidup dengan
adanya oksigen. Sama dengan mikroba anaerobic berdasarkan
fluktuasi kondisi suhu di dalam tumpukan kompos dapat dibedakan
menjadi mesophilic dan thermophilic. Proses komposting merupakan
suatu

proses

yang

paling

relatif

mudah

dan

murah,

serta

menimbulkan dampak lingkungan yang paling rendah. Proses ini


hampir sama dengan pembusukan secara alamiah, dimana berbagai
jenis mikroorganisme berperan secara serentak dalam habitatnya
masing-masing. Makanan untuk mikorooganisme adalah sampah,
sedangkan suplai udara dan air diatur dalam proses komposting ini.
Jenis sampah sangat mempengaruhi proses composting ini. Sampah
yang dapat dikomposkan adalah sampah organik atau sering disebut
sampah basah adalah jenis sampah yang berasal dari jasad hidup
sehingga mudah membusuk dan dapat hancur secara alami.
Contohnya adalah sayuran, daging, ikan, nasi, ampas perasan
kelapa, dan potongan rumput /daun/ ranting dari kebun.
2. Teknologi Proses Komposting
Berdasarkan teknologi proses, pengolahan kompos dapat dibedakan
sebagai berikut:
a. Komposting aerobik

Komposting aerobik, adalah komposting yang menggunakan oksigen


dan memanfaatkan respiratory metabolism, dimana mikroorganisme
yang menghasilkan energi karena adanya aktivitas enzim yang
membantu transport elektron dari elektron donor menuju external
electron acceptor adalah oksigen.
Reaksi yang terjadi :
Bahan organik + O2 + nutrien kompos + sel baru + CO2 + H2O + NH3
+ SO4
= + energi
Contoh metoda atau teknologi proses komposting secara aerobik ini
yaitu
Windrow composting. Metode ini didefinisikan sebagai sistem terbuka,
pemberian oksigen secara alamiah, dengan pengadukan/pembalikan,
dibutuhkan penyiraman air untuk menjaga kelembabannya.
Keuntungan :
- Biaya relatif murah untuk windrow komposting
- Proses lebih sederhana dan cepat (khususnya yang menggunakan
aerasi
mekanis)
- Dapat dibuat dalam skala kecil dan mobile (in-vessel composting)
Sehingga
dapat dibuat dalam bentuk modul-modul)
Kerugian :
- Masih menimbulkan dampak negatif berupa : bau, lalat, cacing dan
rodent,
serta air leachate
- Operasional kontrol temperatur dan kelembaban sulit, karena
kontak
langsung dengan udara bebas, sering tidak mencapai kondisi
optimal
- Membutuhkan lahan yang luas untuk sistem windrow composting,
karena
proses pengomposan sampai pematangan membutuhkan waktu
minimal 60
hari.

Secara umum, proses secara aerob yaitu :


Sampah ditumpuk di atas para-para. Sampah perlu dibalik pada
perioda waktu tertentu, untuk memastikan pemberian oksigen
pada sampah cukup merata. Lama pengomposan sampah dengan
cara ini 60 hari
Untuk
mempercepat

waktu

pengomposan,

mengingat

keterbatasan
lahan, maka pemberian oksigen dapat dilakukan dengan cara
memberi oksigen ke dalam tumpukan sampah. Tetapi sebagai
konsekwensinya, perlu energi tambahan untuk proses pemberian
(suplay) oksigen.
Sampah dimasukkan ke dalam tong berlubang yang dapat
diputar. Kapasitas tong tidak lebih dari 1 m 3, karena jika terlalu
besar, sampah tidak dapat tercampur pada saat diputar.
b. Komposting anaerobik
Yaitu proses komposting tanpa menggunakan oksigen. Bakteri yang
berperan adalah bakteri obligate anaerobik. Proses berlangsung
dengan reaksi sebagai berikut :
Bahan organik + H2O + nutrien kompos + sel baru + CO2 +CH4 +
NH3 + H2S + energi
Dalam proses ini terdapat potensi hasil sampingan yang cukup
mempunyai arti secara ekonomis yaitu gas bio, yang merupakan
sumber

energi

alternatif

yang

sangat

potensial.

Berdasarkan

pendekatan waste to energy (WTE) diketahui bahwa 1 ton sampah


organik dapat menghasilkan 403 Kwh listrik.
Keuntungan :
- Tidak membutuhkan energi, tetapi justru menghasilkan energi
- Dalam tangki tertutup sehingga tedak menimbulkan dampak negatif
terhadap
lingkungan
Kerugian :
- Untuk pemanfaatan biogas dibutuhkan kapasitas yang besar karena
faktor

skala ekonomis, sehingga kurang cocok diterapkan pada suatu


kawasan kecil
- Biaya lebih mahal, karena harus dalam reaktor yang tertutup.
Secara umum proses pengolahan anaerob adalah Sampah yang telah
dicacah dimasukkan ke dalam bak sampah tertutup. Sampah dicampur
dengan biofermentor. Leachate yang diperoleh dari hasil pengomposan
juga sudah mengandung mikroba, sehingga dapat dimanfaatkan
kembali

pada

proses

pengomposan

selanjutnya.

Jika

lama

pengomposan yang diperlukan 30 hari, maka


diperlukan 30 unit bak-bak dengan volume bak sampah sesuai dengan
kapasitas pengolahan setiap hari. Atau bak dapat dirancang untuk
menerima sampah selama 5 hari, maka jumlah bak sampah yang
diperlukan menjadi 6 unit. Penggunaan cara ini, dapat mengurangi
kebutuhan luas lahan, karena bak dapat dibangun ke atas.
2.5 Skala Pengolahan Sampah

Berdasarkan metoda pengolahan dan tanggung jawab pengelolaan


maka skala
pengolahan dapat dibedakan atas beberapa skala yaitu :
1) Skala individu; yaitu pengolahan yang dilakukan oleh penghasil
sampah secara langsung di sumbernya (rumah tangga/kantor).
Contoh pengolahan pada skala individu ini adalah pemilahan
sampah atau komposting skala individu
2) Skala kawasan; yaitu pengolahan yang dilakukan untuk melayani
suatu lingkungan/ kawasan (perumahan, perkantoran, pasar, dll).
Lokasi pengolahan skala kawasan dilakukan di TPST (Tempat
Pengolahan Sampah Terpadu). Proses yang dilakukan pada TPST
umumnya

berupa

pemilahan,

pencacahan

sampah

organik,

pengomposan, penyaringan kompos, pengepakan kompos, dan


pencacahan plastik untuk daur ulang.
3) Skala kota; yaitu pengolahan yang dilakukan untuk melayani
sebagian atau seluruh wilayah kota dan dikelola oleh pengelola
kebersihan

kota.

Lokasi

pengolahan

dilakukan

di

Instalasi

Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) yang umumnya menggunakan


bantuan peralatan mekanis.

Bab 2.1 Pengertian Sampah...................................................................1


2.2 Jenis Sampah................................................................................... 2
2.2.1 Sampah Khusus.........................................................................3
2.3 Sumber-Sumber Timbunan Sampah.................................................3
2.4 Sistem Pengolahan Sampah.............................................................3
2.4.1 Sub sistem teknis operasional...................................................3
2.4.2 Metode Pengelolaan Sampah.....................................................3
2.4.3 Pengomposan............................................................................ 3
2.5 Skala Pengolahan Sampah...............................................................3

Anda mungkin juga menyukai