Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Sirosis didefinisikan sebagai perkembangan histologis dari regenerasi nodul

yang dikelilingi oleh jaringan fibrosa sebagai respon cedera hepar kronis, yang
mengawali terjadinya hipertensi portal dan penyakit hepar fase akhir. Sirosis hepatis
ditandai dengan tiga karakteristik utama yaitu, pembentukan fibrosis pada septa yang
biasanya bersifat irreversible, pembentukan nodulus parenkimal, dan kerusakan
struktur dan fungsi hati.1,2
Prevalensi sirosis diperkirakan terjadi sebesar 0,15% atau 400.000 di
Amerika Serikat, dengan angka kematian lebih dari 25.000 kematian per tahun. Pada
tahun 2007, Centers for Disease Controls and Preventions (CDC) mencatat 29.165
orang meninggal karena penyakit liver kronik dengan crude rate sebesar 9,7%. Hal
ini terjadi diluar perkiraan karena prevalensi terjadinya sirosis yang diakibatkan oleh
nonalcoholic steatohepatitis dan hepatitis C sering tidak terdiagnosa sampai
timbulnya sirosis hepatis. Angka kejadian sirosis hepatis lebih tinggi pada negaranegara di Asia dan Afrika dengan tingginya angka kejadian hepatitis B dan C kronis,
namun prevalensi terjadinya sirosis hepatis tidak diketahui secara pasti. Di Indonesia
data prevalensi sirosis hepatis belum ada, hanya laporan dari beberapa pusat
pendidikan. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta, jumlah pasien sirosis hepatis berkisar
4,1% dari pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam kurun waktu 1 tahun pada
tahun 2004. Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hepatis
sebanyak 4% dari seluruh pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam (819
pasien).1,3,4
Melihat tingginya angka kejadian dan mortalitas dari sirosis hepatis, maka
dalam referat ini penulis ingin mengetahui berbagai penyebab dari sirosis,
penatalaksanaan, dan komplikasinya dengan lebih mendalam.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Anatomi dan Fisiologi Hepar


Hepar merupakan organ terbesar dan berperan penting dalam metabolisme

tubuh. Fungsi hepar antara lain yaitu sekresi asam empedu, proses metabolisme
nutrisi, inaktivasi dari racun dan obat-obatan; sintesis protein plasma, tempat
penyimpanan glikogen, lemak, besi, dan vitamin, bersama dengan ginjal
mengaktifkan vitamin D, berperan dalam imunitas (sel kuppfer), mengekskresikan
kolesterol serta menghancurkan sel darah merah yang sudah rusak. Fungsi hepar
tersebut, kecuali fungsi imunitas dilaksanakan oleh sel hati yang telah terspesialisasi
bernama hepatosit.5,6
Hepar terletak pada regio kanan atas dari abdomen dan dilindungi oleh
rangka toraks dan diafragma. Hepar tersusun dari 2 lobus besar, yaitu lobus kanan
dan lobus kiri. Lobus kanan berukuran lebih besar dibanding lobus kiri dan terdapat
dua lobus tambahan yaitu lobus quadratus dan lobus caudatus.
Secara histologis, hepar mempunyai gambaran unit berbentuk heksagonal
yang tersusun berderet. Gambaran ini disebut sebagai lobulus hepar, yang merupakan
satu kesatuan fungsional. Di tengah lobulus terdapat vena sentralis. Sekitar 60% dari
total sel hepar didominasi oleh sel hepatosit. Jaringan penyambung di sekitarnya
membentuk daerah portal atau triad portal, yaitu cabang arteri hepatika, vena portal
hepatika, dan duktus biliaris. Vena portal hepatika merupakan pembuluh darah
penting yang membawa darah kaya akan nutrien dari proses absorpsi saluran
pencernaan ke hati, sebelum diedarkan ke seluruh tubuh. Arteri hepatika adalah
pembuluh darah yang mensuplai oksigen ke sel hati. Kedua pembuluh darah ini akan
bertemu dan bersatu di sinusoid untuk menuju ke vena sentralis. Setelah itu darah
akan keluar dari hepar melalui vena hepatika lalu ke vena cava inferior. Sinusoid
adalah pembuluh darah kapiler yang mengalami pelebaran dan memungkinkan
terjadinya pertukaran materi secara efisien di dalam hepar. Hepatosit juga
mensekresikan empedu melalui kanalikuli biliaris yang terletak diantara hepatosit.
Kanalikuli biliaris ini akan berjalan menuju perifer dan bersatu pada duktus biliaris.
Sel lain selain hepatosit adalah sel kuppfer, sel endotel, dan sel stellate. Sel endotel
ini melapisi sinusoid, lapisan ini penuh dengan lubang yang disebut fenestrae. Sel

endotel pada hepar juga tidak membentuk ikatan yang kuat, akan tetapi banyak celah
yang memungkinkan plasma sinusoid untuk berpindah. Celah antara sel endotel
dengan permukaan sinusoid disebut dengan celah Disse. Sel kuppfer adalah sel
fagosit yang terdapat di celah antara sel endotel dan permukaannya. Sel kuppfer ini
berfungsi sebagai pertahanan tubuh lini pertama melawan infeksi dan racun. Sel
kuppfer yang teraktivasi mengeluarkan bermacam-macam sitokin seperti Tumor
Necrosis Factor (TNF), interleukin, interferon, dan juga Tumor Growth Factor alfa
dan beta. Sel stellate adalah sel yang terdapat di celah Disse dan sering disebut
dengan nama sel Ito. Sel ini mempunyai kemampuan penyimpanan khusus, seperti
penyimpanan lemak, vitamin A, dan juga vitamin lain yang larut dalam lemak. Sel
stellate juga mensekresikan

komponen matriks ekstraseluler seperti kolagen,

laminin, dan proteoglikan. Dalam keadaan patologis, komponen matriks ini terdapat
dalam jumlah berlebihan sehingga menyebabkan fibrosis hepatis yang menjadi salah
satu ciri khas dari sirosis hepatis.3,5,7,8

Gambar 2.1. Anatomi Hepar7

2.2.

Definisi dan klasifikasi


Sirosis merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium

akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif dengan pembentukan nodulus


regeneratif. Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi dua, yaitu sirosis hari
kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata, dan sirosis hati
dekompensata yang ditandai gejala klinis yang nyata dan tanda klinis yang jelas.3,4
Sirosis hepatis secara patologi anatomi sering kali diklasifikasikan menjadi
tiga yaitu, mikronodular, makronodular, dan campuran. Mikronodular ditandai
dengan septa yang tebal dan nodul berukuran kecil. Mikronodular sirosis
menunjukan adanya gangguan dalam proses regenerasi seperti pada pecandu alkohol,
malnutisi, orang lanjut usia, dan pasien penderita anemia. Makronodular sirosis
mempunyai karakteristik nodul dengan ukuran yang bervariasi dan lebih besar.
Sirosis campuran ditandai dengan gabungan antara mikronodular dan makronodular.
2-4

2.3.

Patogenesis
Patogenesis sirosis hepatis merupakan gabungan dari beberapa proses, yaitu

kematian sel hepatoseluler, regenerasi, pembentukan progresif fibrosis, dan


perubahan pembuluh. Kerusakan sel hepatoseluler ini dapat disebabkan oleh banyak
etiologi termasuk yang paling sering adalah racun dan virus. Pembentukan sirosis
membutuhkan sel yang mengalami nekrosis dalam waktu yang lama disertai dengan
pembentukan fibrosis. Pada proses fisiologis tubuh, sel yang mengalami nekrosis
seharusnya mengalami proses regenerasi untuk mengganti sel yang mati dengan sel
baru yang berfungsi normal. Pada hepar respons terhadap sel yang mengalami
nekrosis terbatas. Hepar akan melakukan pembentukan septa fibrosum dan
pembentukan nodul pada sel hepar sebagai respons terhadap sel nekrosis.2,9
Fibrosis adalah sebuah reaksi penyembuhan luka yang mengakibatkan
terbentuknya jaringan parut, hal ini terjadi ketika luka tidak hanya mengenai jaringan
parenkim tetapi mengenai juga jaringan penyambung. Fibrogenesis menjadi kunci
proses transformasi hepar normal menjadi fibrosis hepar. Dalam fibrogenesis, sel
stellate, sitokin, proteinase, dan inhibitornya berperan penting dalam meningkatkan
produksi jaringan matriks ekstraseluler dan juga menghambat pembuangan jaringan
ektraseluler yang berlebihan. Pada hepar normal jaringan matriks ektraseluler yang
mengandung kolagen interstitial seperti kolagen tipe IV(non fibrous), glikoprotein,

dan proteoglikan, hanya terdapat pada kapsul hepar, jaringan portal, dan di sekitar
vena sentralis. Hal ini menyebabkan densitas yang rendah pada membrana basalis
celah Disse. Ketika terjadi luka pada hepar, sel stellate yang pada keadaan normal
berfungsi sebagai tempat penyimpanan lemak dan vitamin A akan memproduksi
jaringan matriks ekstraseluler sebanyak 3 sampai 8 kali lebih banyak. Sel stellate ini
akan teraktivasi oleh sitokin yang dihasilkan dari sel yang mengalami luka. Sitokin
dapat berupa lipid peroksidase dari hepatosit, TGF-1 dari sel endotel, dan PDGF
dari trombosit. Proses parakrin tersebut akan diikuti autokrin dari sel stellate itu
sendiri dengan menghasilkan sitokin untuk dirinya sendiri. Aktivasi dari sel stellate
ini akan diikuti dengan hilangnya zat retinoid yang disimpannya, peningkatan
proliferasi dan pembesaran sel, peningkatan aktivitas retikulum endoplasma, dan
peningkatan ekspresi -actin pada otot polos. Sel stellate ini akan menjadi sel
kontraktil. Sel ini akan menghasilkan jaringan matriks ekstraseluler berupa kolagen
tipe 1 dan 3 (pembentuk fibrosa) yang menumpuk di celah antara sel endotel dan
permukaan sinusoid. Penumpukan jaringan ektraseluler matriks ini menyebabkan
pertukaran yang terjadi di celah disse menjadi menurun. 2,5
Pada pasien sirosis hepatis, produksi jaringan matriks ekstraseluler yang
berlebihan tidak diimbangi dengan degradasi yang cukup. Proses degradasi matriks
sangat bergantung pada keseimbangan matriks metaloproteinase (MMPs), matriks
metaloproteinase inhibitor (TIMPs) dan converting enzim (MT1-MMP dan
stromelysin). Peningkatan TIMPs akan menekan kerja metaloproteinase, sehingga
fibrosis yang terbentuk tidak terkendali dan menjadi berlebihan. 2,5
Sel stellate yang telah teraktivasi sering disebut dengan miofibroblas, yang
menunjukan aktivitas menyerupai otot polos dan bersifat kontraktil. Miofibroblas ini
ketika berkontraksi akan melakukan kontriksi pada permukaan sinusoid secara lokal
dan mempengaruhi laju aliran darah. Kontriksi ini dapat distimulus oleh
adrenomedulin, vasopressin, dan arginin. Nitrogen oksida juga dihasilkan oleh sel
stellate sebagai antagonis dari zat kontriksi di atas. Jadi kontriksi pada sinusoid dapat
disebabkan oleh kekurangan produksi nitrogen oksida ataupun produksi berlebihan
dari zat-zat kontriksi. Perubahan pada pembuluh darah ini juga akan mengakibatkan
berkurangnya fenetrasi pada permukaan endotel serta kelainan pada aliran darah
arteri hepatika dan vena porta. Skema peran sel stellate pada patogenesis sirosis
hepatis dapat dilihat pada gambar 2.2 di bawah ini. 2,5

Gambar

2.2.

Peran

Sel

Stellate

pada

Sirosis

Hepatis

Pada kasus pengguna alkohol kronik, terjadi proses perlemakan hepar lalu hepatitis
alkoholik, dan tahap akhir sirosis alkoholik. Alkohol dianggap sebagai suatu zat
hepatotoksik yang bekerja secara langsung pada hepar. Walaupun demikian, hanya
10 sampai 20% dari pengguna alkohol kronik yang menderita hepatitis alkoholik.
Hal ini sampai sekarang belum dapat diketahui mekanismenya dengan jelas, akan
tetapi diduga terdapat peran genetis, jenis kelamin, dan tingkat imunitas. Sirosis
alkoholik merupakan sebuah proses yang kompleks yang dimulai dari infiltrasi
lemak (hepatik steatosis). Penumpukan lemak, khususnya trigliserida di dalam sel
hepatosit umumnya disebabkan oleh peningkatan lipogenesis dan berkurangnya
oksidasi asam lemak oleh hepatosit. Alkohol akan mengalami metabolisme menjadi
asetildehida yang bersifat toksik. Asetildehida berlebihan akan meningkatkan kerja
lipid peroksidase, merusak sitoskeleton, dan merusak mitokondria. Semua hal
tersebut

akan

mengakibatkan

terjadinya

hiperlipidemia,

hipoglikemia,

dan

hiperlaktatsemia. Proses diatas akan dilanjutkan dengan proses fibrogenesis yang


khas terjadi pada penderita sirosis. Penderita sirosis alkoholik dapat dibedakan
dengan sirosis hepatis yang lain, karena pada awal perlemakan ditemukan badan
Mallory (suatu badan inklusi yang terdapat pada sitoplasma hepar). Skema
patogenesis sirosis hepatis yang diinduksi oleh konsumsi alkohol kronik dapat dilihat
pada gambar 2.3 di bawah ini. 2,5

Gambar 2.3. Patogenesis Sirosis Alkoholik


Pada pasien penderita hepatitis B, kemungkinan sekitar 20% akan menjadi
sirosis hepatis, sedangkan penderita hepatitis C kemungkinan sekitar 80% dapat
menjadi sirosis hepatis. Hepatitis kronik ditandai adanya proses nekrosis dan
inflamasi pada sel hepar lebih dari 6 bulan. Sementara pada penderita hepatitis A
tidak berkembang menjadi hepatitis kronik dan akan mendapat pertahanan tubuh
seumur hidup setelah infeksi. 3,8
2.4.

Etiologi Sirosis3
Sirosis hepatis dapat disebabkan oleh banyak hal, yaitu konsumsi alkohol

berlebihan,

hepatitis

B dan C kronik,

hepatitis

autoimun,

nonalcoholic

steatohepatitis, sirosis bilier, cardiac cirrhosis, inherited metabolic liver disease


(hemochromatosis, Wilsons disease, defisiensi alfa-1-antitrypsin, cystic fibrosis).
Penyebab terbanyak adalah konsumsi alkohol berlebihan diikuti dengan infeksi virus
hepatitis B dan C, dan penyebab yang jarang adalah hemochromatosis.
2.4.1.

Sirosis Alkoholik
Konsumsi alkohol yang berlebihan secara terus menerus dalam

jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan berbagai tipe penyakit hepar

kronis antara lain alcoholic fatty liver, hepatitis alkoholik, dan sirosis
alkoholik. Selain itu, konsumsi alkohol yang berlebihan berkontribusi pada
kerusakan hepar pada pasien-pasien dengan hepatitis C, hemokromatosis,
dan pasien dengan fatty liver dikarenakan obesitas. Konsumsi alkohol kronis
akan memicu terjadinya fibrosis tanpa disertai adanya inflamasi dan/atau
nekrosis. Fibrosis dapat berupa sentrilobular, periselular, atau periportal.
Saat fibrosis mencapai tahap tertentu, akan terjadi gangguan pada hepar
yang normal dan terjadi penggantian sel hepar dengan regenerative nodules.
Pada sirosis alkoholik, nodul umumnya berdiameter <3mm, dimana ukuran
nodul seperti ini didefinisikan sebagai mikronodular. Apabila terjadi
penghentian dari konsumsi alkohol, maka akan terbentuk nodul yang
berukuran

besar

sehingga

akan

menghasilkan

kombinasi

antara

mikronodular dan makronodular sirosis.


Alkohol dikonsumsi oleh sebagian besar warga di Amerika Serikat,
bahkan mencapai dua pertiga dari seluruh populasi manusia dewasa di
Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, penyakit hepar kronis menempati
posisi ke-10 sebagai penyebab kematian tersering pada orang dewasa dan
sekitar 40% dari kematian akibat sirosis hepatis disebabkan oleh sirosis
alkoholik.
Etanol sebagian besar diabsorbsi di usus halus dan sebagian kecil
diabsorbsi di gaster. Gastric alcoholic dehydrogenase (ADH) menginisiasi
terjadinya

metabolisme

alkohol.

Metabolisme

alkohol

di

hepar

menggunakan tiga sistem enzim, diantaranya sitosolik ADH, microsomaloxidizing system (MEOS), dan peroxisomal catalase. Sebagian besar etanol
akan dioksidasi melalui ADH menjadi asetildehida, dimana merupakan
suatu

molekul

yang

sangat

reaktif.

Kemudian

asetildehida

akan

dimetabolisme oleh aldehyde dehydrogenase (ALDH) menjadi asetat.


Konsumsi etanol akan meningkatkan akumulasi trigliserida intraselular
dengan meningkatkan penyerapan asam lemak dan pengurangan oksidasi
asam lemak serta sekresi lipoprotein. Sintesis protein, glikosilasi, dan
sekresi menjadi terganggu. Kerusakan oksidasi pada memberan hepatosit
diakibatkan adanya pembentukan reactive oxygen species yaitu asetaldehida
yang bergabung dengan protein membentuk protein-acetaldehyde adducts.
Adduct dapat mengganggu aktivitas enzim, dimana termasuk didalamnya

formasi mikrotubular, dan aktivitas protein hepatis. Dengan adanya


kerusakan hepatosit dikarenakan asetaldehida, reactive oxygen species
tertentu akan mengaktifkan sel Kupffer. Sel Kupffer akan memgeluarkan
sitokin

yang

bersifat

profibrogenik

yang

akan

menginisiasi

dan

melangsungkan terjadinya aktivasi sel stellate. Sel stellate ini akan


memproduksi kolagen dan matriks ekstraseluler. Jaringan penyambung akan
muncul pada zona periportal dan perisentral yang pada akhirnya
menghubungkan ketiga portal tersebut dengan vena sentralis dan
membentuk regenerative nodules. Selanjutnya akan terjadi penurunan
hepatosit seiring dengan berlangsungnya penghancuran hepatosit dan
peningkatan produksi kolagen mengakibatkan hepar mengkerut dan
mengecil ukurannya. Proses ini membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan
puluhan tahun.
Untuk mendiagnosis suatu penyakit hepar alkoholik, dibutuhkan
suatu penelusuran riwayat pasien secara akurat dari jumlah dan durasi
konsumsi alkohol pasien tersebut. Pasien dengan penyakit hepar alkoholik
dapat memberikan suatu gejala klinis yang tidak spesifik

seperti nyeri

kuadaran kanan atas yang samar-samar, demam, mual, muntah, diare, dan
lemas-lemas. Namun, terkadang dapat pula timbul gejala-gejala komplikasi
dari penyakit hepar kronis yang spesifik seperti asites, edema, dan
perdarahan saluran pencernaan atas. Banyak kasus yang ditemukan secara
tidak sengaja pada otopsi maupun operasi elektif. Manifestasi klinis lain
yang dapat timbul antara lain jaundice dan ensefalopati. Onset yang
mendadak dari komplikasi tersebut umumnya yang menyebabkan pasien
mencari

pengobatan.

Sedangkan

pasien-pasien

lainnya

umumnya

diidentifikasi dari evaluasi pemeriksaan laboratorium rutin yang abnormal.


Pada pemeriksaan fisik, akan ditemukan adanya hepar dan limpa yang
membesar, dengan tepi hepar yang bersifat nodular. Selain itu, umumnya
dapat ditemukan sklera yang ikterik, palmar erythema, spider angiomas,
pembesaran kelenjar parotis, digital clubbing, muscle wasting, atau
pembentukan edema dan asites. Pada pria mungkin akan terjadi penurunan
rambut pada tubuh dan terjadi ginekomastia, serta atrofi testis. Hal ini
dikarenakan adanya abnormalitas dari hormon atau efek toksik langsung
dari alkohol pada testis. Pada wanita dengan sirosis alkoholik tingkat lanjut,

iregularitas dari menstruasi dapat terjadi, bahkan dapat pula amenorrhea.


Gejala-gejala ini umumnya reversibel seiring dengan berhentinya konsumsi
alkohol.
Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan sirosis alkoholik
tahap awal yang terkompensasi dapat normal. Pada pasien dengan penyakit
hepar stadium lanjut, dapat timbul anemis dimana dapat berasal dari
kehilangan darah dari saluran pencernaan yang kronis, defisiensi nutrisi,
hypersplenism yang berkaitan dengan hipertensi porta ataupun efek
langsung alkohol ke supresi dari sumsum tulang. Suatu bentuk yang unik
dari anemia hemolitik (disertai dengan spur cell dan akantosit) yang dikenal
dengan sindroma Zieve dapat timbul pada pasien dengan hepatitis alkoholik
yang parah. Kadar trombosit umumnya menurun pada tahap awal dari
penyakit. Bilirubin total serum dapat normal atau meningkat tergantung
keparahan penyakit. Bilirubin direk umumnya meningkat sedikit pada
pasien dengan bilirubin total normal namun abnormalitas akan menjadi
progresif seiring dengan bertambah parahnya penyakit. Prothrombin time
(PT) umumnya memanjang dan umumnya tidak berespon pada pemberian
vitamin K secara parenteral. Kadar natrium serum umumnya normal kecuali
pada pasien dengan asites maka kadar natrium dapat menurun, dikarenakan
adanya pengeluaran cairan yang berlebihan dari intravaskuler. SGOT dan
SGPT umumnya meningkat terutama pada pasien yang terus menerus
mengonsumsi alkohol, makan perbandingan kadar SGOT: SGPT mencapai
2:1.
Pasien yang memiliki manifestasi klinis, pemeriksaan fisik,
maupun pemeriksaan penunjang seperti yang telah disebutkan diatas harus
diperhitungkan

sebagai

penyakit

hepar

alkoholik.

Namun,

untuk

mendiagnosis dibutuhkan membutuhkan pengetahuan yang akurat bahwa


pasien menggunakan alkohol secara terus menerus. Selanjutnya, bentuk lain
dari penyakit hepar kronis (seperti: hepatitis viral kronis, penyakit hepar
autoimun atau metabolisme) harus sudah disingkirkan. Biopsi hepar dapat
membantu untuk menegakkan diagnosis. Namun pada pasien dengan
hepatitis alkoholik dan masih mengonsumsi alkohol, biopsi hepar harus
ditunda hingga pasien telah bebas dari alkohol selama setidaknya 6 bulan

dengan tujuan untuk mengetahui apakah penyakit tersebut bersifat


nonreversibel.
Pada pasien yang memiliki komplikasi dari sirosis dan masih
mengonsumsi alkohol, terdapat < 50% yang memiliki 5-year survival.
Sedangkan pasien yang dapat berhenti mengonsumsi alkohol, prognosis dari
pasien itu menjadi lebih baik. Pada pasien dengan penyakit hepar yang
lanjut, prognosis tetaplah jelek namun pada pasien yang berhenti
mengonsumsi alkohol, maka kemungkinan untuk dilakukannya transplantasi
hepar itu ada.
Penghentian konsumsi alkohol merupakan dasar terapi pada pasien
dengan penyakit hepar alkoholik. Pasien juga membutuhkan nutrisi yang
cukup dan pengobatan yang lama dengan pengawasan ketat dengan tujuan
untuk mengatasi penyakit yang mendasari dan mencegah komplikasi.
Komplikasi seperti asites, edema, dan perdarahan varises atau portosistemik
ensefalopati

membutuhkan

pengobatan

yang

spesifik.

Pemberian

glukokortikoid umumnya digunakan pada pasien dengan hepatitis alkoholik


yang tidak disertai adnaya infeksi. Pada beberapa penelitian ditemukan
adanya peningkatan dari angka keselamatan. Pengobatan dibatasi pada
pasien dengan nilai discriminant function (DF) diatas 32. DF dihitung
dengan rumus: (bilirubin total serum + (PT pasien-kontrol (dalam detik)) x
4,6). Pada pasien dengan nilai lebih dari 32, maka akan terjadi perbaikan
pada penggunaan glukokortikoid pada hari ke-28.
Penggunaan terapi lain seperti oral
menurunkan

produksi

TNF-

dan

sitokin

pentoxyfillin,
proinflamatori

dimana
lainnya.

Pentoxyfillin cenderung lebih mudah dan lebih sedikit menimbulkan efek


samping bila dibandingkan dengan glukokortikoid. Berbagai ahli nutrisi
telah mencoba secara parenteral maupun enteral namun keberhasilan terapi
ini belum jelas.
Penelitian akhir-akhir ini mencoba menggunakan parenteral
inhibitor TNF- seperti infliximab dan etanercept. Hasil awal menunjukkan
tidak terdapat efek samping dari terapi tersebut. Penggunaan steroid
anabolik, propylthiouracil, antioksidan, colchicine, dan penisilamin telah
digunakan namun tidak menunjukan keuntungan apapun dan tidak
direkomendasikan.

10

Seperti yang telah disebutkan diatas, terapi dasar adalah dengan


penghentian konsumsi alkohol. Penelitian terbaru mengatakan pengobatan
yang dapat menahan keinginan pasien untuk mengonsumsi alkohol seperti
acamprosate calcium telah menjadi favorit akhir-akhir ini. Penggunaan
acetaminophen tidak dianjurkan pada pasien dengan penyakit hepar, namun
apabila konsumsinya dibawah 2 gram per hari, umumnya tidak
menimbulkan masalah.
2.4.2.

Sirosis karena Hepatitis B atau C Kronis


Sebanyak 80 % dari pasien yang terkena virus hepatitis C akan

mengalami hepatitis C kronis dan sekitar 20-30%nya akan menjadi sirosis


hepatis dalam 20-30 tahun. Sebagian besar pasien ini juga mengonsumsi
alkohol sehingga sirosis hepatis yang murni dikarenakan hepatitis C tidak
diketahui. Virus hepatitis C (HCV) merupakan virus nonsitopatik, dan
kerusakan hepar disebabkan sistem imunitas tubuh.
Progresivitas pada penyakit hepar yang disebabkan hepatitis C
kronis memiliki ciri-ciri adanya portal-based fibrosis dengan bridging
fibrosis, dan pertumbuhan nodul. Pada sirosis hepatis yang disebabkan oleh
hepatitis C kronis, hepar cenderung kecil dan menciut dengan karakteristik
pada biopsi hepar berupa mikronodular dan makronodular. Kemudian
peningkatan fibrosis pada sirosis akibat hepatitis C akan disertai dengan
adanya infiltrat inflamasi yang ditemukan di area portal dan terdapat lobular
hepatocellular injury dan inflamasi. Pada HCV genotipe 3, steatosis
umumnnya ditemukan. Penemuan yang serupa juga didapatkan pada pasien
sirosis akibat hepatitis B kronis, dan sekitar 20% dari hepatitis B kronis
akan berkembang menjadi sirosis hepatis.
Pasien dengan sirosis hepatis akibat hepatitis B ataupun C akan
menunjukkan gejala-gejala umum dari penyakit hepar kronis. Lelah, lemas,
dan nyeri kuadran kanan atas yang samar serta pemeriksaan laboratorium
yang abnormal umumnya akan ditemukan. Diagnosis membutuhkan adanya
evaluasi hasil laboratorium, serta pemeriksaan HCV RNA kuantitif dan
analisis HCV genotipe atau serologis hepatitis B termasuk HBsAg, antiHBs, HbeAg, anti-HBe, dan kadar kuantitatif HBV DNA.
Tatalaksana komplikasii sirosis hepatis berputar mengenai terapi
spesifik dari komplikasi yang timbul. Pada pasien dengan hepatitis B kronis,

11

berbagai penelitian menunjukan adanya keuntungan dari pemberian obat


antiviral

dimana

dapat

mensupresi

virus

dan menurunkan

kadar

aminotransferase dan HBV DNA, serta meningkatkan keadaan histologis


dari hepar dengan menekan inflamasi dan fibrosis. Beberapa clinical trial
dan case series telah mendemonstrasikan bahwa pasien dengan penyakit
hepar yang tidak terkompensasi akan berubah menjadi terkompensasi
dengan penggunaan antiviral. Saat ini, terapi yang tersedia antara lain,
lamivudine, adefovir, entecavir, dan tenofovir. Interferon

dapat pula

digunakan untuk terapi hepatitis B, namun tidak diperbolehkan untuk sirosis


hepatis.
Terapi pada pasien dengan sirosis hepatis akibat hepatitis C sedikit
lebih sulit dikarenakan efek samping dari pegylated interferon dan terapi
ribavirin cenderung sulit untuk ditangani pada pasien dengan sirosis hepatis.
Dose-limiting cytopenias (trombosit, sel darah putih, dan sel darah merah)
atau efek samping yang parah akan timbul saat pemberhentian terapi. Pada
pasien yang dapat mentoleransi terapi, dan berhasil, keuntungannya
sangatlah besar dan progresivitas dari penyakit dapat dikurangi.
2.4.3.

Sirosis

karena

Hepatitis

Autoimun

dan

Nonalcoholic

steatohepatitis
Penyebab lain dari sirosis posthepatik diantaranya adalah hepatitis
autoimun dan sirosis hepatis akibat nonalcoholic steatohepatitis (NASH).
Banyak pasien dengan AIH menunjukan adanya sirosis yang telah stabil.
Umumnya pasien-pasien ini tidak akan berhasil dengan pemberian terapi
imunosupresif dengan glukokortikoid atau azatioprin sejak AIH burned
out. Pada keadaan ini, biopsi hepar tidak menunjukkan adanya infiltrat
inflamasi yang signifikan. Diagnosis membutuhkan adanya penanda
autoimun yang positif seperti antinuclear antibody (ANA) atau antismoothmuscle antibody (ASMA). Saat pasien dengan AIH datang dengan sirosis
dan inflamasi aktif disertai dengan peningkatan enzim hepar, maka dapat
dipertimbangkan pemberian terapi imunosupresif.
Pasien dengan NASH akan berkembang menjadi sirosis hepatis.
Dengan bertambahnya jumlah orang dengan obesitas di negara barat, maka
banyak pasien yang didiagnosis dengan NAFLD. Selama beberapa tahun

12

terakhir, pasien yang awalnya diduga memiliki cryptogenic cirrhosis


ternyata menderita NASH. Seiring dengan progresivitas dari sirosis, mereka
menjadi katabolik dan kehilangan tanda dari steatosis pada biopsi.
Penanganan dari komplikasi sirosis akibat AIH maupun NASH serupa
dengan penyebab lain dari sirosis hepatis.
2.4.4.

Sirosis Bilier
Penyebab utama dari sindrom cholestatis kronis adalah sirosis bilier

primer, cholangitis autoimun, cholangitis sclerosis primer, dan idiopathic


adulthood ductopenia. Untuk membedakan sindrom cholestatis kronis
tersebut, diperlukan test antibodi, cholangiography, dan perbedaan dari
presentasi klinis. Histopatologis dari keempat sindrom cholestatis kronis
tersebut memiliki penampilan yang sama, yaitu cholesistitis kronis seperti
cholate stasis, deposisi tembaga, transformasi xanthomatous dari hepatosit,
dan fibrosis bilier. Ductopenia disebabkan oleh progresifitas dari sirosis.
Sirosis bilier primer lebih banyak ditemukan pada wanita, dengan
rata-rata berusia 50 tahun saat terdiagnosis penyakit ini. Penyebab dari
sirosis bilier masih belum diketahui. Penyakit ini ditandai oleh inflamasi
portal, nekrosis dari cholangiosit pada duktus bilier, peningkatan serum
bilirubin, dan kerusakan hepar yang progresif. Antimitochondrial antibody
(AMA) ditemukan pada 90% pasien sirosis bilier primer. Autoantibodi ini
mengenali protein membrane intermitochondrial, sehingga dapat digunakan
untuk membuat diagnosis sirosis bilier primer.
Kebanyakan pasien sirosis bilier primer tidak memiliki gejala
(asimptomatik). Sebanyak 50% pasien mengeluhkan gatal (pruritus) yang
intermiten, terutama dirasakan saat malam hari. Pruritus yang timbul dengan
jaundice menandakan keparahan dari penyakit dengan prognosis yang
kurang baik. Keluhan lain adalah fatigue yang dirasakan terus-menerus.
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan jaundice dan komplikasi dari penyakit
kronis hepar seperti hepatomegaly, splenomegaly, asites, dan edema.
Penemuan lain yang sering ditemukan pada pasien sirosis bilier primer
meliputi hiperpigmentasi, xanthelasma, xanthomata, yang berhubungan
dengan

penurunan

metabolisme

kolesterol.

Hiperpigmentasi

sering

ditemukan pada batang tubuh dan lengan, dengan eksfoliasi dan

13

lichenifikasi akibat garukan. Dari pemeriksaan laboratorium dapat


ditemukan peningkatan SGOT, SGPT, hyperbilirubinemia. Anemia,
leukopenia, dan trombositopenia ditemukan pada pasien dengan hipertensi
portal dan hipersplenisme.
Tatalaksana dari sirosis biler primer tidak jauh berbeda dari sirosis
karena penyebab lainnya. Ursodeoxycholid acid (UDCA) terbukti
menghambat progresivitas dari penyakit ini, terutama bila diberikan dini,
namun pemberian UDCA belum terbukti dapat menyembuhkan sirosis.
UDCA biasanya diberikan dengan dosis 13-15 mg/kg/hari, dengan efek
samping diare dan nyeri kepala yang dirasakan pada beberapa pasien.
Keluhan utama dari pasien dengan sirosis bilier primer adalah gatal. Untuk
mengurangi gatal dapat diberikan pengobatan simptomatik seperti
antihistamin, narcotic receptor antagonist (naltrexone), dan rifampin.
Penyebab dari cholangitis sclerosis primer juga belum diketahui.
Cholangitis sclerosis primer adalah sindrom cholestatis kronis yang ditandai
oleh inflamasi difuse dan fibrosis pada cabang duktus bilier sehingga
mengakibatkan cholestatis kronis. Proses ini meliputi cabang bilier
intrahepatic dan extrahepatic, sehingga mengakibatkan sirosis biler,
hipertensi portal, dan kerusakan hepar. Manifestasi klinis dari cholangitis
sclerosis primer mirip dengan penyakit cholestasis hepar seperti fatigue,
pruritus, steatorrhea, defisiensi vitamin yang larut dalam lemak, peningkatan
enzim hepar, penurunan albumin, waktu protrombin yang memanjang.
Perinucelar antineutrophil cytoplasmic autoantibody (p-ANCA) ditemukan
positif pada 65% pasien cholangitis sclerosis primer. Sebanyak 50% pasien
yang terdiagnosis cholangitis sclerosis primer, juga memiliki colitis
ulserativa, sehingga sebaiknya pasien dengan cholangitis sclerosis primer
juga menjalani kolonoskopi untuk mencari colitis ulserativa.
Untuk

menegakkan

diagnosis

cholangitis

sclerosis

primer,

diperlukan cholangigraphic imaging dari cabang duktus bilier dengan


menggunakan MRCP (magnetic resonance cholangiopancreatography) atau
ERCP (endoscopic retrograde cholangiopancreatography). Penemuan dari
cholangiography pda pasien cholangitis sclerosis primer adalah striktur
multifocal pada duktus bilier, baik intrahepatic, maupun extrahepatik.
Striktur yang terjadi biasanya pendek dengan adanya segemen normal atau

14

dilatasi dari duktus bilier yang terdistribusi menyebar sehingga dikenal


dengan istilah classic beaded appearance.
2.4.5.

Cardiac Cirrhosis
Pasien

berkepanjangan

dengan
dapat

penyakit

gagal

menimbulkan

jantung

kerusakan

kongestif
hepar

kronis

kanan
dan

menyebabkan cardiac cirrhosis. Pada penyakit gagal jantung kongestif


kanan, terdapat peningkatan tekanan vena cava inferior dan vena-vena
hepatik ke sinusoid hepar, sehingga menjadi dilatasi. Hepar menjadi besar
dan bengkak, dengan adanya kongesti yang lama dan iskemia karena
sirkulasi yang buruk, terjadi nekrosis pada hepatosit sehingga menyebabkan
fibrosis dan lama-kelamaan menjadi sirosis. Dari pemeriksaan laboratorium,
dapat ditemukan peningkatan SGOT dan SGPT. Sangat jarang ditemukan
pasien cardiac cirrhosis mengalami pendarahan esophagus atau hepatic
ensefalopati.
2.4.6.

Sirosis karena Inherited Metabolic Liver Disease


Terdapat beberapa penyakit bawaan yang menyebabkan penyakit

hepar

kronis

sehingga

dapat

menyebabkan

sirosis,

antara

lain

hemochromatosis, Wilsons disease, defisiensi alfa-1-antitripsin, dan cystic


fibrosis. Manifestasi klinis dari sirosis yang dijumpai pada umumnya sama
dengan pasien sirosis lainnya. Hemochromatosis adalah kelainan didapat
dari metabolism besi yang menyebabkan peningkatan progresif dari deposit
besi hepar sehingga menyebabkan fibrosis portal, yang lama kelamaan dapat
menyebabkan sirosis, kerusakan hepar, dan kanker hepatocellar. Diagnosis
ditegakkan dengan studi serum iron, yaitu terjadi peningkatan transferrin
dan peningkatan level ferritin. Wilsons disease adalah kelainan bawaan dari
homeostasis tembaga dengan kegagalan untuk mengekskresikan tembaga
sehingga terakumulasi di hepar. Diagnosis ditegakkan dengan level
ceruloplasmin yang rendah, peningkatan level tembaga pada urin 24 jam,
penemuan dari pemeriksaan fisik yaitu Kayser Fleischer corneal rings, dan
biopsi hepar seperti pada gambar 2.4.

15

Gambar 2.4. Kayser-Fleischer ring


Defisiensi

alfa-1-antitripsin

adalah

kelainan

bawaan

yang

menyebabkan kegagalan sekresi protein tersebut dari hepar. Diagnosis


ditegakkan dengan pemeriksaan level

alfa-1-antitripsin. Cystic fibrosis

adalah kelainan bawaan yang ditemukan pada ras kaukasia di Eropa Utara.
Penyakit ini sangat jarang ditemukan.
2.5.

Manifestasi Klinis Sirosis


Manifestasi klinis pada pasien sirosis hepatis disebabkan oleh adanya

perubahan patologis pada struktur hepar yang merefleksikan tingkat kerusakan sel
hepar. Pada keadaan hepar yang mengalami inflamasi, umumnya hanya akan ditemui
gejala non spesifik seperti, nyeri, demam, mual, muntah, anoreksia, dan lemah. Jika
hepar sudah mengalami nekrosis, maka akan timbul penurunan metabolisme
bilirubin yang ditandai dengan hiperbilirubinemia serta kulit berwarna kuning,
berkurangnya metabolisme protein, lemak, karbohidrat, berkurangnya plasma protein
yang menyebabkan asites, dan penurunan metabolisme hormon. Pada hepar yang
mengalami fibrosis, komplikasi tersering adalah hipertensi portal.
Hipertensi portal merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah pada
sistem vena porta tinggi, biasa disebabkan oleh adanya hambatan pada aliran darah
portal. Tekanan normal pada sistem portal adalah 3 mmHg. Dikategorikan sebagai
hipertensi portal apabila terjadi kenaikan lebih dari 5 mmHg. Secara umum penyebab
hipertensi portal dapat dikategorikan, prehepatik, intrahepatik, dan post hepatik.
Trombosis pada vena porta dan vena splenika merupakan penyebab utama terjadinya
hipertensi prehepatik.

Hipertensi portal intrahepatik dapat disebabkan oleh

schistosomiasis, kelainan kongenital hepatik fibrosis, hepatitis alkoholik, dan paling

16

umum adalah sirosis hepatis. Hipertensi porta post hepatik umumnya disebabkan
oleh trombosis pada vena hepatika dan juga gangguan jantung khususnya bagian
kanan jantung. Tekanan yang tinggi pada sistem portal akan memicu tumbuhnya
pembuluh darah kolateral. Pembuluh kolateral ini tumbuh sebagai bentuk
kompensasi tubuh untuk dapat tetap mengalirkan darah, walau ada obstruksi di
sistem portal. Saat aliran darah dalam sistem portal menurun, hepar semakin
bergantung kepada aliran darah dari arteri hepatika. Akan tetapi aliran darah dari
arteri hepatika lebih kecil dari aliran darah vena portal. Hal ini membuat hepar
mengecil dan menurunnya kemampuan regenerasinya. Apabila dibiarkan terus
menerus hipertensi portal dapat menimbulkan komplikasi serius seperti varises,
splenomegali, asites, dan ensefalopati hepatik.
2.6.

Tatalaksana Sirosis
Tatalaksana sirosis hepatis tergantung pada penyebab dan derajat keparahan

dari penyakit. Untuk sirosis hepatis terkompensasi baik, hanya diperlukan diet yang
cukup, menghindari konsumsi alkohol, deteksi dini terhadap tanda-tanda kegagalan
hepar, pengobatan retensi urin, pencegahan ensefalopati, dan pencegahan perdarahan
varises esofagus. Inti dari pengobatan sirosis hepatis juga terletak pada pembuangan
agen-agen perusak, menekan inflamasi pada hepar, dan pengurangan fibrogenesis.
Penggunaan antiviral menjadi penting bagi sirosis yang disebabkan oleh virus
hepatitis B dan C. Sedangkan penggunaan kortikostreoid diperlukan bagi hepatitis
autoimun. Penggunaan ursodeoxycholid acid (UDCA) terbukti menghambat
progresivitas dari sirosis bilier, namun belum terbukti dapat menyembuhkan sirosis.
Terapi untuk menurunkan aktivitas sel stellate dan penggunaan antioksidan sebagai
penghambat fibrogenesis sedang dalam penelitian dan masih membutuhkan uji
klinis. Tindakan operasi pada pasien sirosis hepatis membawa resiko tinggi dan
tingkat mortalitas yang tinggi. Tindakan operasi ini diperlukan bagi hepar yang sudah
mengalami kerusakan parah dan ireversibel. Apabila sirosis sudah merusak hepar dan
menyebabkan kegagalan hepar, maka transplantasi hepar menjadi satu-satunya
pilihan terapi.
2.7.

Komplikasi Sirosis3
Komplikasi utama pada penyakit sirosis hepatis, antara lain hipertensi

portal, dan menyebabkan juga terjadinya perdarahan varises gastroesofagus,

17

splenomegali, asites, hepatic encephalopathy, spontaneous bacterial peritonitis


(SBP), sindrom hepatorenal, dan karsinoma hepatoseluler.3
Tabel 2.1. Komplikasi Sirosis Hepatis3
Komplikasi sirosis
Hipertensi portal
Varises gastroesofagus
Hipertensi portal gastropati
Splenomegali, hipersplenisme
Asites
Peritonitis bakterial spontan
Sindrom hepatorenal
Tipe 1
Tipe 2
Hepatik ensefalopati
Sindrom hepatopulmoner
Hipertensi portopulmoner
Malnutrisi
Koagulopati
Faktor defisiensi
Fibrinolisis
Trombositopenia
Penyakit tulang
Osteopenia
Osteoporosis
Osteomalasia
Abnormalitas hematologi
Anemia
Hemolisis
Trombositopenia
Neutropenia

18

2.7.1.

Hipertensi Portal3
Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan gradien

tekanan vena hepatik sampai >5 mmHg. Hipertensi portal disebabkan oleh:
(1) peningkatan resistensi intrahepatik terhadap aliran darah yang melewati
hepar karena sirosis dan pembentukan nodul, dan (2) peningkatan aliran
darah splanknik hasil dari vasodilatasi kapiler splanknik. Hipertensi porta
bertanggung jawab langsung terhadap dua komplikasi utama sirosis:
perdarahan varises dan asites. Pendarahan varises merupakan masalah yang
cukup dapat mengancam jiwa dengan angka mortalitas mencapai 20-30%
setiap kali terjadi perdarahan. Sistem vena porta normalnya mendapat aliran
darah dari lambung, usus, lien, pankreas, dan kandung empedu, dan vena
porta dibentuk dari gabungan vena mesenterika superior dan vena splenika.
Darah yang telah dioksigenisasi dari usus halus dibawa ke vena mesenterika
superior. Sebaliknya, vena splenika mendrainase lien dan pankreas dan
digabungkan oleh vena mesenterika inferior, yang membawa darah dari
kolon transversal dan descenden. Normalnya, vena portal menerima darah
dari hampir seluruh saluran cerna.
Penyebab dari hipertensi portal biasanya

dibagi menjadi:

prehepatik, intrahepatik, dan posthepatik (Tabel 2.2). Penyebab prehepatik


antara lain: trombosis vena porta dan trombosis vena splenika. Penyebab
posthepatik antara lain: sindrom Budd-Chiari, penyakit venaoklusif, dan
kongesti jantung sisi kanan. Intrahepatik menjadi penyebab sekitar 95% dari
hipertensi portal. Penyebab intrahepatik dibagi menjadi presinusoid,
sinusoid, dan postsinusoid. Yang termasuk postsinusoid yaitu penyakit
venaoklusif, presinusoid yaitu fibrosis hepar kongenital dan skistosomiasis,
dan penyebab postsinusoid bermacam-macam.
Tabel 2.2. Klasifikasi Hipertensi Portal3
Klasifikasi penyebab hipertensi portal
Prehepatik
Trombosis vena porta
Trombosis vena splenika
Splenomegali masif (Sindrom Banti)

19

Hepatik
Presinusoid
Skistosomiasis
Fibrosis hepar kongenital
Sinusoid
Sirosis-beberapa penyebab
Hepatitis alkoholik
Postsinusoid
Obstruksi sinusoid hepar (sindrom venaoklusif)
Posthepatik
Sindrom Budd-Chiari
Jaring vena kava inferior
Penyebab jantung
Kardiomiopati restriktiva
Perikarditis konstriktiva
Gagal jantung berat
Sirosis merupakan penyebab utama terjadinya hipertensi portal di
Amerika Serikat, dan secara klinis hipertensi portal terjadi pada >60%
pasien dengan sirosis. Obstruksi vena portal mungkin idiopatik atau dapat
terjadi berkaitan dengan sirosis atau dengan infeksi, pankreatitis, atau
trauma abdomen.
Gangguan koagulasi mengawali perkembangan trombosis vena
portal termasuk polisitemia vera; trombosis esensial; defisiensi protein C,
protein S, antitrombin 3, dan faktor V Leiden; dan abnormalitas gen
pengatur produksi protrombin.
Tiga komplikasi primer dari hipertensi portal adalah varises
gastroesofagus dengan perdarahan, asites, dan hipersplenisme. Pasien akan
menunjukkan perdarahan saluran bagian atas, dengan endoskopi, dapat
ditemukan adanya varises esofagus atau gaster, dengan perkembangan asites
diikuti oleh edema perifer, atau dengan pembesaran lien berkaitan dengan
berkurangnya platelet dan sel darah putih dalam pemeriksaan laboratorium
rutin.

20

Sekitar 5-15% sirosis akan berkembang menjadi varises setiap


tahunnya, dan diperkirakan mayoritas pasien dengan sirosis akan
berkembang menjadi varises disepanjang hidupnya. Kedepannya, sekitar
sepertiga pasien dengan varises berkembang menjadi perdarahan.
Pada

pasien

dengan

sirosis

yang

diikuti

secara

kronis,

berkembangnya hipertensi portal biasanya muncul sebagai trombositopenia;


gambaran pembesaran lien; atau berkembangnya asites, ensefalopati,
dan/atau varises esofagus dengan atau tanpa perdarahan. Varises seharusnya
diidentifikasi dengan endoskopi. Gambaran abdomen, baik dengan CT atau
MRI, dapat membantu dalam menggambarkan noduler hepar dan
menemukan hipertensi portal dengan sirkulasi kolateral intraabdominal. Jika
diperlukan, prosedur radiologi intervensi dapat dilakukan untuk menentukan
gradien wedge and free hepatic pressure yang normalnya sekitar 5 mmHg,
dan pasien dengan gradien > 12 mmHg berisiko terjadinya perdarahan
varises.
Terapi perdarahan varises sebagai komplikasi hipertensi portal
dibagi menjadi dua kategori: (1) profilaksis primer dan (2) mencegah
perdarahan berulang. Profilaksis primer memerlukan skrining rutin dengan
endoskopi pada semua pasien dengan sirosis. Sekali varises yang memiliki
risiko perdarahan teridentifikasi, profilaksis primer dapat diberikan baik
dengan beta bloker nonselektif atau dengan ligasi varises. Pasien yang
diterapi dengan beta bloker memiliki risiko lebih rendah untuk dapat
terjadinya varises esofagus, dibandingkan dengan terapi menggunakan
plasebo pada follow-up selama satu sampai dua tahun.
Ligasi varises esofagus dengan endoskopi memiliki angka
kesuksesan yang tinggi dan disenangi oleh para ahli gastroenterologi dalam
menterapi pasien dengan varises esofagus. Direkomendasikan profilaksis
primer antara lain menggunakan beta bloker atau dengan ligasi lewat
endoskopi.
Pendekatan pasien dengan perdarahan varises. Pertama yaitu
menterapi perdarahan akut, yang dapat mengancam nyawa, dan kedepannya
mencegah terjadinya perdarahan berulang. Pencegahan dapat dilakukan
dengan ligasi varises esofagus. Terapi perdarahan akut memerlukan baik
cairan maupun produk darah.

21

Penanganan medis perdarahan varises akut menggunakan agen


vasokonstriktor, biasanya somatostatin atau octreotide. Vasopresin dulu
digunakan tetapi sekarang sudah tidak digunakan kembali. Tampon balon
dapat digunakan pada pasien yang tidak mendapat terapi endoskopi secara
segera atau yang memerlukan terapi endoskopi sebelumnya untuk
stabilisasi. Octreotide, vasokonstriktor splanknik secara langsung, dapat
diberikan sebanyak 50-100g/jam dengan infus. Intervensi endoskopik
diberikan sebagai terapi lini pertama untuk mengkontrol perdarahan akut.
Beberapa ahli endoskopi akan menggunakan terapi injeksi varises
(skleroterapi) sebagai terapi utama, terutama jika terjadi perdarahan hebat.
Ligasi varises digunakan untuk mengkontrol perdarahan akut pada sekitar
90% kasus dan seharusnya diulang sampai semua varises hilang. Ketika
varises esofagus menyebar ke lambung proksimal, ligasi akan kurang
berhasil. Dalam situasi seperti ini, ketika varises gaster berlanjut,
pertimbangkan transjugular intrahepatic portosystemic shunt. (TIPS).
Teknik ini membuat shunt portosistemik dengan pendekatan perkutan
menggunakan stent dari logam, dibawah arahan angiografi menuju vena
hepatika dan kemudian melalui substansi hepar untuk membuat shunt
portohepatik secara langsung.
Pencegahan perdarahan rekuren (Gambar 2.5). Sekali pasien
mengalami perdarahan Perdarahan
akut dan akut
telah rekuren
tertangani secara baik, perhatian
seharusnya diarahkan untuk mencegah terjadinya perdarahan berulang. Beta
bloker memberi keuntungan
pada endoskopik
pasien dengan perdarahan berulang.
Terapi
+/Terapi farmakologis
Kontrol perdarahan

Sirosis terkompensasi
Childs class A

Sirosis terkompensasi
Childs class A

Pembedahan shunt
vs TIPS

Evaluasi transplantasi
Terapi endoskopik atau beta
bloker

Transplantasi hepar

Pertimbangkan TIPS
22
Transplantasi hepar

Gambar 2.5. Tatalaksana perdarahan varises rekuren3


Kongesti splenomegali umum terjadi pada pasien dengan hipertensi
portal. Gambaran klinis berupa pembesaran lien pada pemeriksaan fisik dan
berkembangnya trombositopenia dan leukopenia pada pasien dengan sirosis.
Beberapa pasien akan merasakan nyeri pada kuadran kiri atas abdomen
yang berkaitan dengan pembesaran lien. Splenomegali sendiri tidak
memerlukan terapi tertentu, walaupun splenektomi dapat dilakukan pada
keadaan khusus.
Hipersplenisme

dengan

berkembangnya

trombositopenia

merupakan gambaran umum pasien sirosis dan biasanya merupakan indikasi


pertama terjadinya hipertensi portal.
2.7.2.

Asites3
Asites merupakan akumulasi cairan didalam rongga peritoneum.

Penyebab tersering asites adalah hipertensi portal yang berkaitan dengan


sirosis hepatis; bagaimanapun, klinisi harus mengingat, bahwa keganasan
dan infeksi juga dapat menyebabkan terjadinya asites.
Hipertensi portal berkontribusi terhadap terjadinya asites pada
pasien sirosis hepatis. Terdapat peningkatan resistensi intrahepatik,
menyebabkan peningkatan tekanan portal, tetapi terjadi juga vasodilatasi
dari sistem arteri splanknik, sehingga aliran vena portal meningkat. Kedua
abnormalitas ini menyebabkan peningkatan produksi limfatik splanknik.
Faktor vasodilatasi seperti nitrit oksida bertanggung jawab terhadap
terjadinya efek vasodilatasi. Perubahan hemodinamik menyebabkan
terjadinya retensi natrium dengan menyebabkan aktivasi sistem renin-

23

angiotensin-aldosteron dengan berkembangnya hiperaldosteronism. Efek


renal terhadap peningkatan aldosterone mengawali terjadinya retensi
natrium juga berkontribusi terhadap terjadinya asites. Retensi sodium
menyebabkan akumulasi cairan dan perluasan volume cairan ekstraseluler,
yang menyebabkan terjadinya edema perifer dan asites. Retensi natrium
merupakan konsekuensi dari respon homeostatik disebabkan oleh pengisian
sirkulasi arteri, sebagai hasil dari vasodilatasi arteri pada sistem vaskuler
splanknik. Hipoalbuminemia dan penurunan tekanan onkotik plasma juga
berkontribusi dalam kehilangan cairan dari kompartemen vaskular ke dalam
rongga peritoneum. Hipoalbuminemia disebabkan oleh penurunan fungsi
hati yang dikarenakan oleh sirosis hepatis.

Sirosis
Hipertensi portal
Vasodilatasi splanknik

Tekanan splanknik

Pengisian arteri

Pembentukan asites

Aktivasi vasokonstriktor dan


faktor antinatriuretik

Perluasan volume plasma

Retensi natrium

Pembentukan
limfe

Gambar 2.6. Berkembangnya asites pada pasien dengan sirosis3


Dari gambaran klinis, pada umumnya pasien akan merasakan
adanya peningkatan lingkar perut yang diikuti oleh terjadinya edema perifer.
Berkembangnya asites sering perlahan-lahan dan membahayakan, dan
pasien sering menunggu lama, sampai perut benar-benar berdistensi,
kemudian pasien mencari pengobatan. Pasien biasanya paling tidak terdapat
asites sebanyak 1-2L di abdomen, sebelum dia menyadari adanya
peningkatan lingkar perut. Jika cairan asites masif, fungsi respirasi bisa

24

terganggu, dan pasien akan mengkomplain sebagai nafas pendek.


Hidrotoraks hepar dapat terjadi pada keadaan ini, berkontribusi terhadap
gejala respirasi. Pasien dengan asites masif sering mengalami malnutrisi dan
memiliki kurus dan sering lemas dan lelah.
Diagnosis asites dengan pemeriksaan fisik dan sering ditambahkan
dengan gambaran radiologi abdomen. Pasien akan memiliki penonjolan
pada daerah pinggang, memiliki gelombang cairan, atau menunjukkan
adanya shifting dullness. Hal ini ditentukan dari posisi pasien, dari supine
lalu berbaring kearah kiri atau kanan, dan kemudian memperhatikan dari
pekak menjadi timpani. Jumlah asites yang sedikit dapat dideteksi dengan
USG atau CT scan. Hidrotoraks hepatik lebih sering terjadi pada sisi kanan,
dan berimplikasi pada robekan diafragma dengan aliran cairan asites ke
rongga toraks.
Ketika pasien datang dengan asites, untuk pertama kalinya,
direkomedasikan

untuk

melakukan

parasentesis

untuk

mengetahui

karakteristik cairannya. Hal ini termasuk menentukan total protein dan isi
albumin, penghitungan sel darah dengan diferensiasinya, dan kultur. Pada
pasien asites, konsentrasi protein pada cairan asites cukup rendah, dengan
mayoritas pasien memiliki konsentrasi protein cairan asites < 1g/dL.
Penentuan serum ascites-to-albumin gradient (SAAG) dapat menentukan
cairan tersebut transudat atau eksudat. Ketika SAAG > 1.1.g/dL, penyebab
asites lebih diarahkan karena hipertensi portal, dan ketika SAAG < 1.1.
g/dL, penyebab asites lebih disebabkan oleh infeksi atau keganasan. Ketika
kadar protein cairan asites sangat rendah, pasien memiliki risiko tinggi
terjadinya PBS.
Pasien dengan asites dalam jumlah kecil biasanya ditangani dengan
retriksi diet natrium. Rata-rata di Amerika diet natrium sebanyak 6-8 g per
hari, dan jika pasien makan di restoran, jumlah natrium dalam dietnya akan
berlebih. Rekomendasi sederhana lainnya seperti hindari makanan
berkaleng, yang biasa diawetkan dengan natrium. Ketika, asites sedang,
terapi diuretik diperlukan. Secara tradisional, diberikan spironolakton dalam
dosis tunggal sebanyak 100-200 mg/hari, dan mungkin dapat ditambahkan
dengan furosemide sebanyak 40-80 mg/hari, terutama pada pasien dengan
edema perifer. Kadar spironolakton dapat dinaikkan sampai 400-600

25

mg/hari, dan furosemide ditingkatkan sampai 120-160 mg/hari. Jika masih


terjadi asites, berarti masuk dalam kategori asites refrakter, dan terapi
alternatifnya berupa parasentesis berulang dalam jumlah besar, atau
prosedur

transjugular

intrahepatic

portosystemic

shunt

(TIPS)

dipertimbangkan.
2.7.3.

Peritonitis Bakterial Spontan (PBS)3


PBS umum terjadi dan merupakan komplikasi berat dari asites,

digambarkan dengan infeksi spontan cairan asites tanpa sumber di dalam


intraabdomen. PBS dapat terjadi pada 30% pasien dengan sirosis dan
memiliki angka mortalitas mencapai 25%. Translokasi bakteri diperkirakan
menjadi mekanisme berkembangnya PBS, dengan flora usus bertranslokasi
dari usus ke nodus limfatikus mesenterika, mengawali terjadinya bakteremia
dan infeksi pada cairan asites. Organisme yang umum menjadi penyebabnya
yaitu Escherichia coli dan bakteri usus lainnya; bagaimanapun, gram positif,
termasuk Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus, dan Enterococcus
sp.,dapat ditemukan. Jika lebih dari dua organisme ditemukan, peritonitis
bakterial sekunder dapat disebabkan oleh perforasi viskus. Diagnosis PBS
ditegakkan bila sampel cairan memiliki jumlah neutrofil absolut > 250/l.
Pasien dengan asites dapat menunjukkan gejala lain yaitu demam,
perubahan status mental, peningkatan jumlah sel darah putih, dan nyeri
abdomen. Terapinya dengan sefalosporin generasi kedua, umumnya dengan
cefotaxime. Pada pasien dengan perdarahan varises, frekuensi PBS
meningkat, dan profilaksis terhadap PBS disarankan, ketika pasien
mengalami perdarahan saluran cerna bagian atas. Profilaksis dapat diberikan
antibiotik seminggu sekali.
2.7.4.

Sindrom Hepatorenal (SHR) 3


Sindrom hepatorenal merupakan bentuk gagal ginjal tanpa patologi

renal yang terjadi pada 10% pasien dengan sirosis berat atau gagal hati akut.
Ditandai dengan gangguan sirkulasi arteri renalis pada pasien dengan SHR;
termasuk peningkatan resistensi vaskular, diikuti penurunan resistensi
vaskular

sistemik.

Alasan

terjadinya

vasokonstriksi

renal

yaitu

multifaktorial dan kurang dapat dimengerti. Diagnosis biasanya dibuat pada

26

pasien dengan asites dalam jumlah besar diikuti oleh progresifitas


peningkatan kreatinin. SHR tipe 1 digambarkan oleh gangguan progresif
fungsi renal dan penurunan klirens kreatinin dalam waktu 1-2 tahun. SHR
tipe 2 digambarkan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus dengan
peningkatan kadar serum kreatinin, dan lebih stabil, serta memiliki kondisi
lebih baik dibandingkan dengan SHR tipe 2.
SHR sering terjadi pada pasien dengan asites refrakter dan
memerlukan eksklusi penyebab gagal ginjal akut lainnya. Dulu dopamine
dan analog prostaglandin digunakan untuk medikasi vasodilatasi ginjal.
Sekarang, pasien diterapi dengan midodrine, agonis alfa, dengan octreotide
dan albumin intravena. Terapi terbaik SHR adalah transplantasi hepar; akan
diikuti oleh perbaikan fungsi ginjal. Pada pasien dengan SHR tipe 1 dan 2
akan memiliki prognosis buruk, jika tidak diterapi dengan transplantasi
hepar.
2.7.5.

Ensefalopati hepatikum3
Ensefalopati hepatikum adalah komplikasi serius dari penyakit

hepar yang ditandai oleh perubahan status mental dan perubahan fungsi
kognitif. Pada acute liver failure, perubahan status mental dapat
berlangsung dalam beberapa minggu sampai bulan. Edema otak dapat
ditemukan,

dengan

ensefalopati

berat

yang

berhubungan

dengan

pembengkakan dari gray matter. Tatalaksana dengan menggunakan


mannitol untuk menurunkan edema.
Pada pasien sirosis, ensefalopati biasanya timbul karena beberapa
faktor berikut, yaitu hipokalemia, infeksi, peningkatan protein dari makanan
yang dikomsumsi, atau gangguan elektrolit. Pasien biasanya menjadi
bingung dan terjadi perubahan kepribadian. Biasanya pasien cenderung
bertindak mengacau dan sulit untuk dikendalikan. Namun dapat juga
ditemukan pasien yang merasa sangat ngantuk serta sulit untuk
dibangunkan. Jika pada pasien ditemukan asites, kemungkinan terjadinya
infeksi harus dicari. Perdarahan gastrointestinal harus dicari, dan pasien
harus terhidrasi dengan baik. Pemeriksaan elektrolit harus dilakukan untuk
mengetahui adanya gangguan elektrolit.
Tatalaksana pada ensefalopati hepatikum adalah multifaktorial.
Seringkali hidrasi dan koreksi elektrolit adalah hal terpenting yang perlu

27

dilakukan. Penggunaan laktulosa, yaitu nonabsorbable disaccharide, dapat


menyebabkan buang air besar 2-3x/hari sehingga eliminasi produk nitrogen
dari usus lebih baik. Antibiotik juga sering diberikan seperti neomycin dan
metronidazole, serta rifaximin. Rifaximin dengan dosis 2x550 mg telah
terbukti secara efektif untuk tatalaksana ensefalopati tanpa efek samping
yang berarti seperti yang ototoksisitas pada neomisin dan neuropati perifer
pada metronidazole. Penggunaan suplemen zink kadang bermanfaat pada
pasien ensefalopati dan tidak berbahaya.

Gambar 2.7. Peran Laktulosa dalam Tatalaksana Ensefalopati Hepatikum


2.8.

Prognosis Sirosis3,4
Prognosis sirosis hepatis bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi

etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai.
Klasifikasi Child-Pugh digunakan untuk menilai prognosis pasien sirosis berkaitan
dengan kelangsungan hidup. Variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada
tidaknya asites, ensefalopati, dan status nutrisi. Angka kelangsungan hidup selama
satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C berturut-turut 100, 80, dan 45%.
Tabel 2.3. Klasifikasi Child-Pugh

28

BAB III
KESIMPULAN
Sirosis merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif dengan pembentukan nodulus
regeneratif. Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi dua, yaitu sirosis hari
kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata, dan sirosis hati
dekompensata yang ditandai gejala klinis yang nyata dan tanda klinis yang jelas.
Sirosis hepatis dapat disebabkan oleh banyak hal, yaitu konsumsi alkohol
berlebihan,

hepatitis

B dan C kronik,

hepatitis

autoimun,

nonalcoholic

steatohepatitis, sirosis bilier, cardiac cirrhosis, inherited metabolic liver disease


(hemochromatosis, Wilsons disease, defisiensi alfa-1-antitrypsin, cystic fibrosis).
Penyebab terbanyak adalah konsumsi alkohol berlebihan diikuti dengan infeksi virus
hepatitis B dan C.
Komplikasi dari sirosis meliputi hipertensi portal (varises esophagus, portal
hypertensive

gastropathy,

splenomegali,

asites),

sindrom

hepatorenal,

dan

ensefalopati hepatikum. Tatalaksana sirosis hepatis tergantung pada penyebab,


derajat keparahan dari penyakit, dan komplikasi yang ditimbulkan.
Prognosis sirosis hepatis bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi
etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai.
Klasifikasi Child-Pugh digunakan untuk menilai prognosis pasien sirosis berkaitan
dengan kelangsungan hidup.

29

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.

Schuppan D, Afdhal NH. Liver Cirrhosis. Lancet 2008; 371(9615): 838-851.


Kumar V, Fausto N, Abbas A. Robbins & Cotran Pathologic Basis of

3.

Disease, Seventh Edition. 7th ed. Saunders; 2004.


Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrisons

4.

Principles of Internal Medicine.18th ed. McGraw-Hill Professional; 2011.


Sudoyo A W., Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S editor. Buku

5.

ajar ilmu penyakit dalam, jilid 1. Jakarta: Interna Publishing; 2009.


Sherwood L. Human Physiology: From Cells to Systems. Cengage

6.

Learning; 2008.
Barrett KE, Barman SM, Boitano S, Brooks H. Ganongs Review of Medical

7.

Physiology. 24th ed. McGraw-Hill Medical; 2012.


Moore KL, Dalley AF. Clinically Oriented Anatomy. 6th ed. Lippincott

8.

Williams & Wilkins; 2009.


Rubin R, Strayer DS, editors. Rubins Pathology: Clinicopathologic

9.

Foundations of Medicine 5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins; 2008.


Sherlock S, Dooley J. Diseases of the Liver & Biliary System. 11th ed.
Wiley-Blackwell; 2002.

30

Anda mungkin juga menyukai