Anda di halaman 1dari 28

BAB I

LATAR BELAKANG
1.1.

Pendahuluan
Sirosis hati merupakan dampak tersering dari perjalanan klinis yang panjang
dari semua penyakit hati kronis yang ditandai dengan kerusakan parenkim hati.
Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang
ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif.
Gambaran morfologi sirosis hati meliputi fibrosis difus, nodul regeneratif,
perubahan arsitektur lobular dan pembentukan hubungan vaskular intrahepatik
antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen
(vena hepatika). Diseluruh dunia sirosis hati menempati urutan ketujuh penyebab
kematian.1
Kegagalan hati kronis dan sirosis di Amerika Serikat diperkirakan
menyebab sekitar 35.000 kematian dalam setiap tahunnya. Sirosis termasuk
kedalam sembilan penyebab utama kematian di Amerika Serikat dan bertanggung
jawab terhadap 1,2% kasus kematian disana. Penderita sirosis hati lebuh banyak
laki-laki dari pada wanita dengan rasio 1,6 : 1. Umur penderitanya terbanyak
golongan umur 30 59 tahun dengan puncaknya sekitar umur 40-49 tahun.
Penyebab sirosis hati sebagian besar adalah penyakit hati alkoholik dan non
alkoholik steatohepatitis serta hepatitis C. Angka kejadian di Indonesia akibat
hepatitis B berkisar antara 21,2 46,9% dan hepatitis C berkisar 38,7 73,9%.1,3
Umumnya klinis sirosis hati muncul ketika seseorang sudah mengalami
sirosis hati dekompensata, yang ditandai dengan adanya hipertensi portal dan
penurunan fungsi hepatoselular atau sebagian besar pasien datang ketika sudah
muncul komplikasi dari sirosis hati. Komplikasi yang sering dijumpai antara lain
peritonitis bakterial spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri
tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala,
namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen. Morbiditas dan mortalitas sirosis

tinggi akibat komplikasinya sehingga perlu memperbaiki kualitas hidup pasien


sirosis dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya. 6
1.2.

Tujuan Penulisan
Referat ini bertujuan untuk mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, gejala
klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis sirosis hati
1.3 Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sirosis merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronik setelah
terjadinya fibrosis hati yang berlangsung progresif dan ditandai dengan adanya
kerusakan dari struktur hati dan pembentukan nodulus regeneratif.

1,2

Pembentukan nodular regeneratif ini tidak berhubungan dengan aliran darah


normal. Nodul-nodul yang terbentuk dapat berukuran kecil (mikronodular) atau
berukuran besar (makronodular). Terjadinya sirosis dapat mengganggu aliran
darah intrahepatik dan pada keadaan lanjut secara bertahap dapat menyebabkan
kegagalan fungsi hati.3
2.2
Anatomi dan Fisiologi Hati
2.2.1
Anatomi Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh yang sebagian besar
terletak di regio hipokondrika dekstra, epigastrika dan sebagian kecil di regio
hipokondrika sinistra, sedangkan bentuknya menyerupai pahat yang menghadap
ke kiri. Berat hati pada pria dewasa antara 1,4-1,6 kg (1/36 berat badan) dan
pada wanita dewasa antara 1,2-1,4 kg. Ukuran hati normal pada dewasa yaitu 15
cm jika diukur panjangnya dari kanan ke kiri, tinggi bagian yang paling kanan
(ukuran superior-inferior) yaitu 15-17 cm, dan tebalnya yaitu 12-15 cm.
Permukaan hati berwarna cokelat kemerahan dengan konsistensi padat kenyal.4
Hati memiliki dua lobus utama, yaitu lobus dekstra dan lobus sinistra.
Lobus dekstra dibagi menjadi segmen anterior dan posterior yang dipisahkan
oleh fisura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus dektra
mempunyai tambahan dua lobus kecil, yakni lobus quadratus dan lobus
kaudatus. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum
falsiformis yang dapat dilihat dari luar. 3,5
Permukaan hati hampir seluruhnya diselubungi oleh peritoneum dan
digantung oleh beberapa jaringan ikat hati, seperti ligamentum falsiforme hepatis
yang menggantungkan hati ke diafragma dan dinding perut depan; ligamentum
koronari hepatis yang menggantungkan hati ke puncak diafragma; ligamentum
triangularia hepatis yang menggantungkan hati ke diafragma kanan dan kiri, dan

omentum minus yang menghubungkan porta hepatis, fisura sagitalis sinistra


bagian belakang dengan kurvatura minor ventrikuli dan pars superior duodeni. 5

Gambar 2.1 Anatomi Hati Normal


(Sumber: Netter, 2014)
Secara mikroskopis setiap lobus hati dibagi menjadi struktur-struktur yang
merupakan unit mikroskopis dan fungsional hati yang disebut sebagai lobulus,.
Setiap lobulus merupakan badan heksagonal yang terdiri atas lempeng-lempeng
sel hati berbentuk kubus, tersusun radial mengelilingi vena sentralis yang
mengalirkan darah dari lobulus. Hati manusia memiliki maksimal 100.000
lobulus. Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang

disebut

sebagai sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Tidak
seperti kapiler lain, sinusoid hati dibatasi oleh sel fagositik atau sel Kupffer. 3
Sel Kupffer merupakan sistem monosit-makrofag, dan fungsi utamanya
adalah menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah. Sekitar 50% dari semua
makrofag dalam sel hati adalah sel Kupffer, sehingga hati merupakan salah satu
organ penting dalam pertahanan melawan invasi bakteri dan agen toksik. Selain
cabang-cabang vena porta dan arteria hepatika yang melingkari bagian perifer
lobulus hati, juga terdapat saluran empedu. Saluran empedu interlobular
membentuk kapiler empedu yang sangat kecil yang disebut sebagai kanalikuli
(tidak tampak), yang berjalan di tengah lempengan sel hati. Empedu yang
dibentuk dalam hepatosit diekresikan ke dalam kanalikuli yang bersatu
membentuk saluran empedu

yang makin lama makin besar hingga menjadi

duktus koledokus.3
2.2.2
Fisiologi Hati
Fungsi utama hati adalah membentuk dan mengekskresikan empedu.
Dalam satu hari, hati dapat mengekskresi 500-1000 mL empedu kuning. Unsur
utama empedu adalah air (97%), elektrolit, garam empedu, fossolipid (terutama
lesitin), kolesterol, garam anorganik, dan pigmen empedu (terutama bilirubin
terkonjugasi). Fungsi dari garam empedu adalah membantu pencernaan dan
absorbs lemak dalam usus halus.3
Selain itu, hati juga berperan penting dalam metabolism tiga makronutrien
yang dibawa oleh vena porta setelah diabsorbsi di usus, yaitu karbohidrat, protein,
dan lemak. Di hati terjadi proses glikogenesis dan glukogenolisis. Semua protein
plasma (kecuali gama globulin) disintesis di hati. Protein tersebut adalah albumin,
prothrombin, fibrinogen, dan faktor-faktor pembekuan lainnya. Fungsi hati
lainnya adalah penimbunan vitamin, besi dan tembaga, serta detoksifikasi
sejumlah zat endogen dan eksogen. Fungsi detoksifikasi dilakukan oleh enzim
hati melalui proses oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan konjugasi zat-zat berbahaya,
dan merubahnya menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif. 3
2.3 Epidemiologi
Sirosis hati menempati urutan ketujuh penyebab kematian di seluruh dunia
dan merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita usia 45 46
tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker). Penderita sirosis hati lebih

banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan wanita, dengan


perbandingan 1,6 : 1. Golongan usia penderitanya rata-rata 30 59 tahun dengan
puncaknya sekitar umur 40 49 tahun. 6
Di Amerika Serikat, sirosis hati merupakan penyebab kematian ke-12.
Pada tahun 2007, sirosis hati menyebabkan kematian pada 29.165 individu dengan
angka mortalitas mencapai 9,7 per 100.000 individu. Sirosis hati merupakan salah
satu faktor risiko utama terjadinya keganasan hati dengan angka kejadian
meningkat tiga kali lipat dari tahun 1975 hingga 2005.7
Di Indonesia, data prevalensi sirosis belum ada, hanya terdapat laporanlaporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta
ditemukan jumlah pasien sirosis hati sekitar 4,1% dari pasien yang di rawat di
Bagian Penyakit Dalam pada tahun 2004. Sedangkan di Medan ditemukan jumlah
pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) pasien dari seluruh pasien yang dirawat di
Bagian Penyakit Dalam selama empat tahun.2 Untuk jumlah penderita sirosis hati
di RSUP Dr. M Djamil Padang ditemukan sebanyak 140 pasien dalam kurun
waktu September 2014 hingga Juni 2015.8
2.4 Etiologi
Penyebab sirosis hati dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu
penyebab hepatoselular, kolestasis, dan obstruksi aliran vena hepatis. Penyebab
hepatoselular sirosis hati diantaranya adalah virus hepatitis (B, C, D), penyakit
hati alkoholik, autoimun, steatohepatitis non alkoholik yang berkaitan dengan
DM, malnutrisi protein, obesitas, penyakit arteri koroner, pemakaian obat
kortikosteroid, dan hepatotoksik akibat obat atau toksin. Penyebab sirosis yang
termasuk dalam kolestasis adalah obstruksi bilier, sirosis bilier primer, sirosis
bilier sekunder yang berhubungan dengan obstruksi saluran empedu ekstrahepar
menahun dan kolangitis sklerosis primer, sedangkan penyebab sirosis karena
obstruksi aliran vena diantaranya karena sindroma Budd-Chiari, penyakit
venooklusif, dan sirosis kardiak (akibat gagal jantung kongestif dan perikarditis
konstriksi).9
Di negara barat penyebab tersering dari sirosis hati adalah akibat
alkoholik. Sedangkan di Indonesia penyebab sirosis hati terutama disebabkan oleh
infeksi virus hepatitis B maupun hepatitis C. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan di Indonesia, didapatkan bahwa virus hepatitis B menyebabkan sirosis
sebanyak 40-50%, dan virus hepatitis C sebanyak 30-40%, dan untuk sisanya 10-

20% kasus penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B
dan C. Untuk alcohol sebagai penyebab sirosis hati, di Indonesia belum
didapatkan data yang lengkap. 2
2.5 Patogenesis
Sirosis hati terjadi melaui beberapa tahap fibrogenesis yang diakibatkan
oleh respon penyembuhan setelah timbulnya penyakit hati akut atau proses
lanjutan dari penyakit hati kronik, dan sirosis hati merupakan stadium akhir dari
perjalanan fibrosis hati. Proses yang terjadi pada fibrosis hati berkaitan dengan
respon inflamasi terhadap hepatic stellate cells dan adanya akumulasi matriks
ekstraselular. 10,11
Permulaan dan perkembangan fibrosis hati sangat dipengaruhi oleh
aktivasi hepatic stellate cells yang dipicu oleh sitokin seperti TGF-bl yang
mengaktivasi enzim transglutaminase dan sintesis kolagen. Aktivasi dari hepatic
stellate cells ini akan menyebabkan peningkatan ekspresi gen matriks
ekstraseluler dan otot polos serta peningkatan proliferasi pada daerah perisinusoid
yang merupakan area nekrotik sehingga di kemudian hari menjadi area fibrosis
melalui pembentukan kolagen-kolagen. 11
Dalam keadaan normal, hepatic stellate cells merupakan sel penghasil
utama matriks ekstraselular setelah terjadi cidera pada hati. Matriks ekstraseluler
akan diproduksi lebih banyak pada kondisi hepatic stellate cells yang teraktivasi
dan akan mengalami penumpukan di space of Disse dan memacu kapilarisasi
pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah pertukaran normal
aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga material yang seharusnya
dimetabolisme oleh hepatosit akan langsung masuk ke aliran darah sistemik dan
menghambat material yang diproduksi hati masuk ke darah. Proses ini akan
menimbulkan pembentukan jaringan fibrotik akibat dari ketidakseimbangan
antara sintesis dan penguraian matriks ekstraselular disertai dengan penurunan
fungsi hepatoselular sampai adanya manifestasi klinik dari sirosis hati dan
menimbulkan hipertensi portal. 6
Pada kebanyakan kasus sirosis, ditemukan tiga pola khas yang mendasari
terjadinya sirosis, yaitu : 3
2.5.1 Sirosis Laenec
Sirosis laenec dikenal juga dengan sirosis alkoholik yang berhubungan
dengan penggunaan alkohol yang lama. Perubahan pertama pada hati yang
disebabkan oleh alkohol adalah terjadinya akumulasi lemak di dalam sel-sel hati
7

(infiltrasi lemak). Terjadinya akumulasi lemak di dalam sel hati mencerminkan


adanya gangguan metabolism yang mencakup peningkatan produksi trigliserida
yang berlebihan, menurunnya sekresi trigliserida dari hati, dan menurunnya
oksidasi asam lemak. Apabila konsumsi alkohol tetap diteruskan, maka akn
terbentuk jaringan parut yang luas di hati. Penyebab utama kerusakan hati akibat
alkohol lebih banyak ditemui apabila pasien juga mengalami malnutrisi.6
Secara makroskopis hati akan terlihat membesar, rapuh, tampak berlemak,
dan mengalami gangguan fungsional akibat penumpukan lemak yang banyak.
Sedangkan secara mikroskopis ditandai dengan nekrosis hepatoseluler, sel-sel
balon, dan infiltrasi PMN di hati. 6
2.5.2 Sirosis Pascanekrotik
Sirosis pascanekrotik terjadi setelah nekrosis berbecak pada jaringan hati.
Hepatosit dikelilingi oleh jaringan parut dengan kehilangan banyak sel hati dan
diselingi dengan parenkim hati yang normal. Kasus sirosis pascanekrotik
berjumlah sekitar 10% dari seluruh kasus sirosis. Sekitar 25-75% kasus memiliki
riwayat hepatitis virus sebelumnya dan kebanyakan pasien memiliki hasil uji
HBsAg positif. Sirosis pascanekrotik merupakan faktor predisposisi terjadinya
neoplasma hati (karsinoma hepatoseluler).6
2.5.3 Sirosis Biliaris
Pola sirosis biliaris dimulai dengan adanya kerusakan sel hati di sekitar
ductus biliaris. Penyebab terseringnya adalah obstruksi biliaris pascahepatik.
Tertahannya empedu di dalam hati menyebabkan terjadinya penumpukan empedu
dan kerusakan sel-sel hati dan pada akhirnya akan terbentuk lembar-lembar
fibrosa di tepi lobules. Cirinya hati membesar, keras, bergranula halus, dan
berwarna kehijauan. Ikterus,

pruritus, malabsorbsi, dan steatorea merupakan

gambaran awal dari sirosis biliaris. 6


2.6 Manifestasi Klinik
Gejala awa dari sirosis hati sering tidak diketahui dan tidak spesifik,
seperti kelelahan, anoreksia, dyspepsia, faltulen, perubahan kebiasaan defekasi
(diare atau konstipasi), dan berat badan sedikit berkurang. Mual dan muntah juga
sering terjadi terutama pada pagi hari. Nyeri tumpul atau perasaan berat pada
epigastrium atau kuadran kanan atas terdapat pada sekitar separuh penderita.
Gejala utama dan lanjutan sirosis hati terjadi akibat dua tipe gangguan fisiologis,
yaitu gagal sel hati dan heipertensi portal. 6

Gambar 1. Manifestasi klinis sirosis hati

2.6.1 Gejala Gagal Hepatoselulear

Gambar 2. Manifestasi klinis kegagalan fungsi hati7

Ikterus
Sekitar 60% pendeita sirosis mengalami icterus selama perjalanan
penyakitnya, walaupun pada keadaan minimal. Hyperbilirubinemia tanpa
ikterus lebih sering ditemukan. Penderita dapat menjadi ikterus selama fase
dekompensata yang disertai adanya gangguan fungsi hati. Ikterus intermiten
merupakan gambaran khas pada sirosis biliaris dan terjadi bila timbul
peradangan aktif hati dan saluran empedu. Pada keadaan hipoalbuminemia
ditemukan perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal yang
dipisahkan dengan warna normal kuku. Akan tetapi tanda ini juga ditemukan

pada keadaan album rendah lain seperti pada sindroma nefrotik. 2,6
Gangguan endokrin
Gangguan endokrin sering terjadi pada keadaan sirosis akibat terganggunya
metabolism hormone korteks adrenal, testis, dan ovarium. Kelebihan
hormone estrogen di dalam darah dapat menimbulkan terjadinya angioma
laba-laba, atrofi testis dan ginekomastia (pada laki-laki), alopesia pada dada
dan aksila, serta palmar eritem. Angioma laba-laba merupakan suatu lesi
vaskular yang dikelilingi beberapa vena kecil, sering fitemukan di bahu,
muka, dan lengan atas. Palmar eritem dijumpai dalam bentuk warna merah

saga pada thenar dan hypothenar telapak tangan. 2,6


Ganguan hematologik
Gangguan hematologi yang sering terjadi adalah

kecenderungan

perdarahan ,anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Penderita sering


mengalami perdarahan hidung, gusi, menstruasi berat, dan mudah memar. Hal
ini dapat terjadi akibat berkurangnya pembentukan faktor-faktor pembekuan
darah.

Anemia,

leukopenia,

dan

trombositopenia

terjadi

akibat

hipersplenisme, dimana limpa tidak hanya membesar,tetapi juga lebih aktif

menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi.6


Edema perifer
Edema perifer biasanya terjadi setelah munculnya gejala asites. Keadaan ini
disebabkan oleh keadaan hipoalbuminemia dan retensi garam dan air. Retensi
garam dan air terjadi akibat kegagalan sel hati mengkatifkan aldosterone dan

hormone antidiuretik.6
Gangguan neurologis

10

Gangguan neurologis yang paling serius pada sirosis lanjut adalah koma
hepatikum yang terjadi akibat kelainan metabolism ammonia dan peningkatan
kepekaan otak terhadap toksin.6
Gejala lain yang ditemukan adalah kontraktur dupuytren yang terjadi akibat
fibrosis fasia palmaris yan menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari. Selain itu,
juga ditemukan gejala fetor hepatikum yang merupakan bau nafas khas pada
pasien sirosis akibat meningkatnya konsentrasi dimetil sulfid.2
2.6.2 Gejala Hipertensi Portal

Gambar 3. Manifestasi klinis hipertensi portal7

Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan vena porta yang menetap,


dengan nilai normal 6-12 cmH2O. Penyebab hipertensi portal adalah
peningkatan resistensi aliran darah yang melalui hati. Selain itu, juga terjadi
peningkatan aliran pada arteri splangnikus. Kombinasi kedua faktor tersebut
akan menurunkan aliran keluar melalui vena hepayika dan meningkatkan
aliran masuk bersamaan dengan peningkatan beban yang berlebihan pada

11

sistem portal. Pembebanan berlebihan sistem portal ini merangsang timbulnya


aliran kolateral untuk menghindari obstruksi hepatic (varises).6
Peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus akibat hipertensi porta
dan

penurunan

tekanan

osmotic

koloid

akibat

hypoalbuminemia

menyebabkan terjadinya asites. Faktor lain yang berperan adalah adalah


retensi natrium dan air serta peningkatan sintesis dan aliran limfe hati.
Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal
terdapat pada esophagus bagian bawah. Aliran darah balik melalui saluran ini
ke vena kava menyebabkan dilatasi vena tersebut (varises esophagus). Varises
esophagus terjadi pada sekitar 70% penderita sirosis lanjut. Sirkulasi kolateral
juga melibatkan vena superfisial dinding abdomen dan timbulnya sirkulasi ini
mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar umbilicus (kaput medusa)6
Asites
Saluran kolateral
Sirkulasi kolateral
2.7 Diagnosis
Pada stadium kompensata sempurna kadang-kadang sangat sulit
menegakkan diagnosis sirosis hati. Pada proses lebih lanjut stadium
kompensata bisa ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan klinis yang
cermat, laboratorium biokimia/ serologi dan pemeriksaan pencitraan
lainnya. Pada stadium dekompensata diagnosis tidak terlalu sulit karena
gejala dan tanda klinis biasanya sudah tampak dengan adanya komplikasi.1
Baku emas untuk diagnosis sirosis hati adalah biopsi hati melalui
perkutan, transjugular, laparoskopi, atau dengan biopsi jarum halus. Biopsi
tidak diperlukan bila secara klinis, pemeriksaan laboratorium, dan
radiologi menunjukkan kecenderungan sirosis hati. Walaupun biopsi hati
risikonya kecil tapi dapat berakibat fatal misalna perdarahan dan

kematian.1
Laboratorium
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada

waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk


evaluasi keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi amino transferase, alkali
fosfatase, gamma glutamil peptidase, bilirubin, albumin dan waktu protrombin.6

12

Aspartat

aminotransferase

(AST)

atau

serum

glumatil

oksaloasetattransaminase (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum


glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak terlalu tinggi. AST
lebih meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal tidak
mengeyampingkan adanya sirosis.6
Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal
atas.Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis
primer dan sirosis billier primer. Gama-glutamil transpeptidase (GGT),
konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya
tinggi pada penyakit hati alkohol kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT
mikrosomal hepatic, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.6
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa
meningkat pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati,
konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis.6
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari
pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya
menginduksi produksi immunoglobulin. Prothrombin time mencerminkan derajat/
tingkatan disfungsi sintesis hati, sehingga pada sirosis memanjang. Natrium serum
menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan
eksresi air bebas.6
Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam, anemia
normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia
dengan trombositopenia, leukopenia, dan neutropenia akibat splenomegali
kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.6

Pemeriksaan Pencitraan
Untuk mendeteksi sirosis hati penggunaan ultrasonografi kurang begitu

sensitif

namun

cukup

spesifik

bila

penyebabnya

jelas.

Gambarannya

memperlihatkan ekodensitas hati meningkat dengan ekostruktur kasar homogen


atau heterogen pada sisi superficial, sedangkan pada sisi profunda ekodensitas
13

menurun. Dapat dijumpai pula pembesaran lobus caudatus, splenomegali, dan


vena hepatika gambaran terputus-putus. Hati mengecil dan splenomegali, asites
tampak sebagai area bebas gema (ekolusen) antara organ intra abdominal dengan
dinding abdomen.1
Pemeriksaan MRI dan CT kovensional bisa digunakan untuk menentukan
derajat beratnya sirosis hati, misal dengan menilai ukuran lien, asites, dan
kolateral vaskular. Ketiga alat ini juga dapat untuk mendeteksi adanya
karsinomahepatoselular.1
Endoskopi dapat dilakukan untuk memeriksa adanya varises di esofagus
dan gaster pada penderita sirosis hati. Selain digunakan untuk diagnosis juga
dapat digunakan untuk pencegahan dan terapi perdarahan varises.1
2.8 Penatalaksanaan
Sekali diagnosis sirosis hati ditegakkan, prosesnya akan berjalan terus tanpa
dapat dibendung. Usaha-usaha yang dapat dilakukan hanya bertujuan untuk
mencegah timbulnya penyulit-penyulit. Membatasi kerja fisik, tidak minum
alkohol, dan menghindari obat-obat dan bahan-bahan hepatotoksik merupakan
suatu keharusan. Bilamana tidak ada koma hepatic diberikan diet yang
mengandung protein 1g/KgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.2
2.8.1 Penatalaksanaan sirosis kompensata
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk
mengurangi

progresi

kerusakan

hati.

Terapi

pasien

ditujukan

untuk

menghilangkan etiologi, diantaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik


dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen,
kolkisin dan obat herbal bisa menghambat kolagenik. Hepatitis autoimun; bisa
diberikan steroid atau imunosupresif. Penyakit hati nonalkoholik; menurunkan
berat badan akan mencegah terjadinya sirosis.6
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida)
merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg

14

secara oral setiap hari selama satu bulan. Namun pemberian lamivudin setelah 912 bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon
alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6
bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh.6
Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan
terapi standar.Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU
tiga kali seminggu dan dikombinasikan ribavirin 800-1000 mg/ hari selama 6
bulan.6
Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang,
menempatkan stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik
akanmerupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi sel stellata
bisa merupakan salah satu pilihan. Interferon memiliki aktifitas antifibrotik yang
dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek
antiperadangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum tebukti dalam
penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga
dicobakan sebagai antifibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang dalam
penlitian.6
2.8.2 Penatalaksanaan sirosis dekompensata
Asites, Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan
obat-obatan diuretic. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100200 mg sehari. Respon diuretic bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5
kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan edema kaki. Bilamana
pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasikan dengan furosemid
dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila
tidak ada respon, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila
asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan
pemberian albumin.6

15

Ensefalopati hepatik, Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan


ammonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil
ammonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama
diberikan yang kaya asam amino rantai cabang.6
Varises esophagus, sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan
obat -blocker. Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.
Peritonitis bakterial spontan, diberikan antibiotika seperti sefotaksim intravena,
amoksilin, atau aminoglikosida.6
Sindrom hepatorenal, mengatasi perubahan sirkulasi darah hati, mengatur
keseimbangan garam dan air.Transplantasi hati, terapi definitive pada pasien
sirosis dekompensata. Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa
kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.6
2.9 Komplikasi
Komplikasi sirosis hati yang utama adalah hipertensi portal, asites,
peritonitis bakterial spontan, perdarahan varises esofagus, sindroma hepatorena,
enselopati hepatikum, dan kanker hati.1
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa
oligouri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.
Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada
penurunan filtrasi glomerulus.6
Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esophagus, 20 sampai
40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan.
Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak duapertiganya akan meninggal dalam
waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini
dengan berbagai cara.6
Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi
hati.Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat

16

timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma. Pada sindrom


hepatopulmonal terdapat hydrothorax dan hipertensi portopulmonal.6
Tabel 2. Grade ensefalopati hepatik8

2.10

Prognosis
Perjalanan alamiah sirosis hati tergantung pada sebab dan penanganan

etiologi yang mendasari penyakit. Beberapa sistem skoring bisa dipakai untuk
menilai keparahan han menetukan prognosisnya. Sistem skoring ini antara lain
skor Chid Turcotte Pugh (CTP) dan Model end stage liver disease (MELD yang
digunakan untuk evaluasi pasien dengan rencana transplantasi hati.1
Variabel yang dinilai pada Child-Pugh meliputi konsentrasi bilirubin,
albumin, ada tidaknya asites dan ensefalopati juga status nutrisi. Klasifikasinya
terdiri dari Child A (5-6 poin), B (7-9 poin), dan C (10-15 poin). Klasifikasi
Child-Pugh berkaitan dengan angka kelangsungan hidup selama satu tahun pada
pasien. Angka kelangsungan hidup selama 1 tahun untuk penderita sirosis dengan
Child-Pugh A, B, dan C diperkirakan masing-masing 100%, 80, dan 45%.
Sementara angka kelangsungan hidup 2 tahun masing-masing sekitar 85%, 60%,
dan 35%.1,6

17

Tabel 3. Klasifikasi Child-Pugh pada Sirosis8,1


Faktor
Serum
bilirubin
Serum albumin
Prothrombin
time
Ascites

Hepatic
encephalopathy

Unit
mol/L
mg/dL
g/L
g/dL
Detik
pemanjangan
INR

1
< 34
< 2,0
> 35
> 3,5
04

2
3451
2,03,0
3035
3,03,5
46

3
> 51
> 3,0
< 30
< 3,0
>6

< 1,7
Tidak ada

1,7-2,3
Dapat
dikontrol

Tidak ada

Minimal

> 2,3
Tidak
dapat
dikontrol
Berat

18

BAB 3
TINJAUAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. J
Nama ibu kandung

: Ny. JM

Umur

: 52 tahun

Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Status perkawinan

: Menikah

Agama

: Islam

Alamat

: Korong Tingkarak Sunur Kabupaten Padang

Pariaman
Tanggal masuk

: 17 Oktober 2016

No. RM

: 95.91.97

ANAMNESIS
Seorang pasien perempuan berusia 52 tahun dirawat di bangsal IW dengan
diagnosis sirosis hepatis post nekrotik stadium dekompensata, encephalopathy
hepatikum grade I (perbaikan), bronkopneumonia duplex (CAP), hyponatremia ec
low intake, anemia sedang ec penyakit sedang.
KELUHAN UTAMA
Sulit tidur sejak 1 minggu yang lalu.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Sulit tidur sejak 1 minggu yang lalu, pasien lebih sering tidur di siang hari
dan sulit tidur saat malam.
Mata kuning dirasakan sejak 2 minggu yang lalu.

19

Perut semakin membuncit sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan ini sudah dirasakan sejak 1 minggu yang lalu.
Demam dirasakan sejak 1 minggu yang lalu, demam tidak tinggi, tidak
menggigil, dan tidak berkeringat banyak.
Batuk sejak 1 minggu yang lalu, batuk berdahak, berwarna putih tidak

disertai darah.
Nafsu makan berkurang sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat buang air kecil berwarna seperti teh pekat ada.
Buang air besar tidak ada keluhan.
Pasien rujukan dari Rumah Sakit Aisyiah Pariaman dan telah dirawat

selamat 1 minggu.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Terdapat riwayat penyakit kuning pada tahun 2009.
Tidak ada riwayat hipertensi
Tidak ada riwayat diabetes mellitus
Tidak ada riwayat pnyakit jantung
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan
pasien
RIWAYAT KEBIASAAN, SOSIAL, EKONOMI
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, dan tidak merokok.

PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan Umum

: sedang

Kesadaran

: composmentis cooperatif

Tekanan darah

: 100/60

Nadi

: 92x / menit

Nafas

: 20x / menit

Suhu

: 36,6

Sianosis

: (-)

Ikterus

: Ada

Edema

: (-)

PEMERIKSAAN KHUSUS

20

Kulit

: turgor kulit normal, spider naevi (+)

Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran kgb


Kepala

: normocephal, rambut hitam tidak mudah dicabut

Mata

: konjungtiva anemis -/- , sklera ikterik +/+

Telinga
Bentuk

: normal

Tuli

: -/-

Lubang

: lapang/lapang

Bentuk

: normal

Deviasi septum

: (-)

Hidung

Nafas cuping hidung : (-)


Perdarahan

: (-)

Mukosa hidung

: merah muda, sekret (-/-)

Bibir

: tidak sianosis

Gigi

: karies

Tonsil

: T1-T1

Faring

: tidak hiperemis

Lidah

: kotor (-), atrofi papil (-), hiperemis

Mulut

(-), deviasi (-)


Leher

: 5-2 cmH2o

Thoraks
Bentuk

: normochest

Kulit

: spider naevi (+), venektasi (+), jaringan


parut (-)

Paru :
Inspeksi

: simetris kiri = kanan (statis dan dinamis)

Palpasi

: fremitus kiri = kanan

Perkusi

: sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi

: suara nafas bronkovesikuler, rh +/+ basah


halus nyaring di kedua lapangan paru, wh -/21

Jantung :
Inspeksi

: iktus tidak terlihat

Palpasi

: iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi

: batas jantung kiri : 1 jari medial LMCS


RIC V
batas jantung kanan : LSD
batas jantung atas : RIC II

Auskultasi

: irama reguler, bising (-), murmur (-)

Hati :
Inspeksi

: perut tampak membuncit, ikterus, vena kolateral (+)

Palpasi

: hepar dan lien sulit dinilai, undulasi (+)

Perkusi

: timpani - pekak, shifting dullness (+)

Auskultasi

: BU (+) normal

Ekstremitas :
Palmar eitem

: -/-

Pitting edema

: +/+

Jari dupuytren

: -/-

Refleks fisiologis

: +/+

Refleks patologis

: -/-

22

HASIL LABORATORIUM
Hb

: 7,4

Leukosit

: 6590

Hematokrit

: 21%

Trombosit

: 65.000

MCV

: 112

MCH

: 38

MCHC

: 34

Hitung jenis

: 0/2/0/42/48/8

GDS

: 119

Ur/cr

: 79/1,5

Na/K/Cl

: 119/5,2/96

Total protein : 4,9


Albumin

: 1,9

Globulin

:3

Bilirubin total : 15
Bilirubin direk : 11,9
Bilirubin indirek: 3,1
SGOT/SGPT :63/34

23

LDH

: 420

HbsAg

: reaktif

anti HCV

: positif

Urinalisa
Kekeruhan

: (-)

Jumlah sel

: 150 mm3

Protein

: 0,2 gr/dl

Glukosa

: 111

LDH

: 28

Albumin

: 0,1

Rivalta

: (-)

Pemeriksaan rontgen thorak :

Pemeriksaan USG :
Hati

: mengecil, permukaan tidak rata, parenkim heterogen,

parenkim kasar, pinggir tumpul, vena tidak melebar, duktus biliaris tidak melebar,
vena portal melebar (14,5 mm), asites (+)
Kandung empedu

: normal, dinding tipis, batu (-)

Pankreas

: normal

24

Lien

: membesar (10,84cm)

Ginjal

: kiri-kanan:tidak membesar,batu(-), hidronefose(-), kista(-)

Kesan

: sirosis hati, hipertemsi portal, asites, splenomegali

DIAGNOSIS:
Encephalopaty hepatikum grade I
Sirosis hepatis post nekrotik stadium dekompensata
Bronkoneumonia duplex (CAP)
Hyponatremia ec low intake
Anemia makrositik ec penyakit kronik
TATALAKSANA
Istirahat, diet hepar II
O2 3L/menit
IFVD NaCL 3%
Inj comafusin : triofusin 1:2 8 jam/kolf
Inj Ceftriaxon 1x 2 gram
N-Asetil sistein 3x20 mg
Sistenol 3x1 tablet
Lactulac sirup 3x cth
Madoper 3x1 tab
Furosemid 1x1 tab
Spironolakton 1x100 mg

BAB IV
DISKUSI

Diagnosis sirosis hepatis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penumjang. Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien sulit
tidur sejak 1 minggu yang lalu, pasien lebih sering tidur di siang hari dan sulit
tidur saat malam, mata kuning dirasakan sejak 2 minggu yang lalu, perut semakin
membuncit sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini sudah
dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Riwayat buang air kecil berwarna seperti the

25

pekat ada. Pasien rujukan dari Rumah Sakit Aisyah Pariaman dan telah dirawat
selamat 1 minggu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik, terdapat spiner navi dan
venektasi, asites serta udem tungkai. Hasil labaratorium menunjukkan anemia,
trombositopenia, peningkatan ureum dan creainin, hipoalbumin, peninkatan
bilirubin indirect, peningktan SGOT/SGPT, HbsAG (+), dan AntiHCV (+).
Pada pemeriksaan penunjang USG didapatkan kesan sirosis hati,
hipertemsi portal, asites, splenomegaly. Maka berdasalkan hal ini ditegakkanlah
diagnosis sirosis hepatis post nekrotik yang diduga akibat infeksi hepatitis B dan
hepatitis C.
Pada pasien ini sudah terdapat komplikasi dari sirosis hepatis yaitu koma
hepatikum dan asites. Koma hepatikum dibuktikan dengan pasien yang mudah
mengantuk sejak 1 minggu terakhir. Ini berarti sudah termasuk kedalam prekoma
stadium I. Hal ini diakibatkan oleh kelebihan amonia dalam darah yang telah
mengganggu kesadaran. Amonia seharusnya diubah menjadi urea di hepar, tetapi
karena kegagalan fungsi hepar maka hal ini tidak terjadi dan menumpuklah
amonia didalam darah.
Asites sebagai akibat dari kegagalan fungsi hepar dan juga sebagai
manifestasi dari hipertensi porta yang mengakibatkan terjadi perembesan carian
ke ektraseluler dan penumpukan cairan sehingga timbul asites. Hal ini dibuktikan
dengan pemeriksaan sifting dulness dan undulasi. Hasilnya menunjukkan positif
asites.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Tsao GG, Lim J, 2009. Management and treatment of patients with


cirrhosis and portal hypertension: recommendations from the
department of veterans affairs hepatitis C resource center program and
the

national

hepatitis

program.

American

Journal

of

Gastroenterology; 104: 1802-92.


2. Nurdjanah, S. 2009. Sirosis hati. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Vol I Edisi 5. Jakarta: Internal Publishing, 668-73.

27

3. Lindseth, G.N. 2013. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan


Pankreas. Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
edisi 6, Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 472-515.
4. Sofwanhadi, Rio. 2012. Anatomi Hati. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Hati. Jakarta : CV Sagung Seto, hal 1-4.
5. Sloane, Ethel. 2004. Anatom dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 281-298.
6. Nurdjanah, S. 2014. Sirosis Hati. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, edisi 6, jilid 2. Siti Setiati (Eds.). Jakarta: Internal publishing,
hal 1978-1983.
7. Starr SP dan Raines D. Cirrhosis: diagnosis, management, and
prevention. 2011. American Family Physician; 84(12): 1353-9.
8. Al-Hijjah F. 2015. Gambaran jumlah trombosit pada pasien sirosis
hati dengan perdarahan di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Skripsi.
Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas, Padang.
9. Shackel, N.A., Patel, K., dan McHutchison, J. Cirrhosis. In Genomic
and Personalized Medicine. Geoffrey S. Ginsburg USA : Academic
Press, 935954.
10. Pinzani, M, Roselli, M, Zuckermann, M. 2011. Liver Cirrhosis. Best
Practise & Research Clinical Gastroenterology, 25 : 281-90.
11. Amirudin, Rifai. 2012. Fibrosis Hati. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Hati. Jakarta : CV Sagung Seto, 341-45

28

Anda mungkin juga menyukai