Anda di halaman 1dari 22

PENYAKIT JANTUNG PADA SLE

Disusun oleh:
Wilis Nurkumala
072011101056

Dosen Pembimbing:
Dr. Suryono, Sp.JP FIHA

Disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya


di SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSD dr. Soebandi

SMF. ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2012

ii

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN

PATOFISIOLOGI

SPEKTRUM KELAINAN JANTUNG PADA SLE 10


PERIKARDITIS DAN EFUSI PERIKARD 11
MIOKARDITIS DAN ABNORMALITAS MIOKARD

17

ENDOKARDITIS & PENY.JANTUNG VALVULAR

18

DAFTAR PUSTAKA 21

PENDAHULUAN
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang
melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang sangat bervariasi.
Komplikasi pada jantung merupakan salah satu manifeatasi klinis SLE yang
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas. Morbiditas karena kelaian kardoivaskular
menempati urutan ketiga setelah infeksi dan gagal ginjal. Salah satu laporan
menunjukkan mortalitas karena perikarditis atau miokarditis pada pasien SLE sebesar
15%.
Kelaian kardiovaskular sering dijumpai pada penelitian klinis dan post
mortem pada pasien SLE. Gamparan patologis adalah pankarditis yang melibatkan
perikard, endokard, katup jantung, dan pembuluh darah. Perikarditis (efusi perikard)
merupakan kelainan jantung yang paling sering ditemukan yaitu 21-54 %, kelaianan
valvular 28-44%, dan kelaian miokard 5-20%.
Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup pasien SLE dan teknik
diagnosyik, penyakit jantung pada SLE menjadi lebih sering ditemukan. Dengan
menggunakan ekokardiografi 2-D, Doppler, dan ekokardiografi transesofageal
prevalensi kelaian jantung pada SLE cukup tinggi dimana sebagian besar kasus secara
klinis tidak tampak.
Faktor yang diduga berhubungan dengan kelaianan jantung pada pasien SLE
antara lain aktivitas penyakit, lama penyakit, lama penggunaan steroid, dan
antikardiolipin.

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi komplikasi pada organ pada pasien SLE belum jelas. Diduga
terdapat deposit kompleks imun pada organ disertai aktivasi komplemen. Factor
imunologis diduga berperan penting pada pathogenesis berbagai bentuk serositis
(seperti pleuritis dan perikarditis), miokarditis, dan endokarditis pada SLE. Hal ini
didukung berdasarkan pengamatan sebagai berikut:
Terdapat kompleks imun, ANA, antibody anti dsDNA dan sel SLE yang khas
pada airan perikard pasien SLE
Ditemukan deposit kompleks imun pada pembuluh darah perikard pada
penelitian imunopatologi jaringan jantung pada kasus SLE fatal yang
diautopsi serta IgG, IgM, dan C3 pada arteriol pericard pasien SLE yang
mengalami perikarditis konstriktif
Konsentrasi komplemen hemolitik cairan perikard pasien SLE menurun dan
ditemukan komplemen spesifik C1q, C4, dan C3 pada cairan perikard.
Terdapat aktivasi komplemen jalur klasik (melalui IgM) dan alternatif
(melalui IgA) in vivo pada cairan perikard pasien SLE.
Ditemukan deposit immunoglobulin granular dan komponen komplemen pada
dinding pembuluh darah miokard
Lesi endokarditis Libman-Sacks

mengandung

immunoglobulin

dan

komplemen.

Etiologi dan pathogenesis SLE bersifat multifactor, dan ini mencakup pengaruh
faktor genetik, lingkungan, dan hormonal terhadap respon imun.
Faktor Genetik
Faktor genetic memegang peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi
penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki keluarga dekat yang juga menderita
SLE. Angka terdapatmya SLE pada saudara kembar identik pasien SLE (24-49%)
lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Beberapa penemuan
menemukan bukti bahwa faktor genetic juga memainkan peranan dalam pathogenesis
SLE. DNA serum dan antibody TCell dan abnormalitas seluler muncul pada pasien
lupus.

Bukti terbaru mengindikasikan bahwa pada manusia, gen tersebut mungkin


berhubungan dengan major histocompatibility complex (MHC). Contohnya adalah,
human leukocyte antigen-DR2 (HLA-DR2) haplotype hadir secara berlebihan pada
pasien SLE. Juga seperti yang disebutkan sebelumnya, penyakit seperti SLE kerap
muncul pada individu dengan defisiensi C4 dan C2 (gen C4 dan C2 berlokasi pada
kromosom 6, yang dekat dengan gen MHC). Kemudian, individu dengan kekurangan
C1q juga berkecendrungan menderita SLE. Secara menarik, pada banyak penelitian
terbaru, banyak genom yang terkait dengan lupus, pada area 6p dan 1q.
Respon Imun yang Abnormal
SLE adalah penyakit yang berhubungan dengan regulasi mekanisme imun
yang abnormal, yang berefek pada respon selular dan respon humoral.
Abnormalitas Sel B
Peningkatan jumlah sel B dan sel plasma yang terdeteksi pada biopsy sumsum
tulang dan jaringan limpoid perifer akan menyebabkan sekresi immunoglobulin
meningkat secara spontan. Status hiperaktif sel B dan sel plasma pada SLE terlihat
sebagai hasil dari beberapa faktor. Sinyal yang sampai pada reseptor sel B (BCR,
sIgM atau sIgD) membuat terjadinya penguatan produksi tyrosine-phosphorylated
protein selular secara signifikan dan meningkatkan produksi inositol triphosphate,
jika dibandingkan pada orang normal, pada pasien yang mengalami penyakit namun
sistem imunnya terkontrol. Hal ini diikuti dengan peningkatan influx Ca2 bebas ke
dalam sitoplasma secara signifikan yang menyebabkan penumpukan kalsium
intraselular. Maka, respon ini lebih kuat bila dibanding respon yang normal. Sebagai
tambahan, modulasi respon sel B melalui molekul stimulus juga abnormal. Sinyal
koaktivasi yang berasal dari reseptor komplemen tipe 2 (CR2, a complex of CD21,
CD19, dan CD81) dan rendahnya ambang aktivasi sekunder sel B melalui ikatan
dengan CR2 danBCR (yang mana merupakan ikatan yang menguat pada SLE, adalah
konsekuensi ligan CR2 yang berada di sirkulasi (C3d, C3dg, and iC3d). disisi lain,
7

mekanisme feedback dipercaay untuk melakukan down regulation pada respon sel Bcell menghilang secara nyata pada pasien SLE.
Secara normal, koreseptor sel B FcgRIIB1 menyebabkan terminasi awal sel B
reseptior yang diinisiasi sinyal saat berikatan sIg (i.e., saat antigen dipresentasikan
pada sel B dalam bentuk kompleks imun). Pada SLE, fungsi dari reseptor Fc
mengalami defek, dan mekanisme down regulasi ini menjadi terhambat.
Abnormalitas Sel T
Tingginya produksi antibody IgG anti-dsDNA antibodies pada pasien SLE
harus terjadi melalui adanya sel T helper yang jumlahnya berlebih dan atau kontrol
yang tidak cukup oleh sel T regulator.
Imun Kompleks Pada SLE

Patogenesitas penting pada imun kompleks pasien SLE telah dibuktikan.


Seperti yang digambarkan pada gambar diatas, mekanisme pathogenesis dari SLE ini
merupakan akibat dari berbagai abnormalitas. Pertama, peningkatan level imun
kompleks yang berada dalam sirkulasi dapat dideteksi pada pasien SLE saat episode
akut penyakit. Pada pasien dengn SLE aktif, terjadi DNA bebas yang bersirkulasi dan

kebnyakan mempunyai antibody, anti DNA dan DNa yang menjadi kompleks imun
seringkali terbentuk pada sirkulasi dan juga pada struktur yang kaya akan kolagen
dan strukur lain seperti membrane basal glomerulus, yang memiliki aviditas untuk
DNA. Selain fakta bahwa kompleks imun yang terbentuk jumlahnya meningkat pada
pasien SLE, tingkat bersihan kompleks imun yang bersirkulasi pada pasien SLE
menurun, selain itu, terjadi beberapa faktor lainnya :
1. IC (Immune Complex) dibersikan oleh reseptor Fc yang berada dalam RES.
Banyak pasien dengan nefritis lupus memiliki alel dengan reseptor Fc yang kurang
aviditasnya saat berikatan dengan IgG. Hal ini menyebabkan klirens IC yang lebih
lambat.
2. IC sering memiliki komponen komplemen, termasuk C3b, yang reaktif dengan
CR1. Sehingga, IC ditransportasikan ke RES oleh RBC, yang mengikat CR1. Pasien
dengan SLE memiliki penurunan jumlah CR1, hal ini mungkin menyebabkan klirens
IC yang lambat dan menjadikan perkembangan IC-yang menginduksi reaksi
inflamasi.
3. IC secara parsial akan larut sebagai konsekuaensi dari aktivasi komplemen,
merupakan proses fisiologis yang normal sehingga menyebabkan mereka menjadi
inaktif dan mampu dibersihkan. Individu dengan defisiensi C4 mudah terjadi
penyakit yang mirip SLE. Fragmen C4 berperan dalam solubilitas dan kliren IC
dalam sirkulasi.
SLE adalah gangguan autoantibody dan gangguan kompleks imun, dengan
immunoglobulin dan deposisi complement pada organ yang terlibat, termasuk
jantung. Bukti lainnya menunjukkan adanya: (1) pemindahan imun kompleks melalui
plasmafaresis tidak secara dramatis menyebabkan gangguan pada perjalanan penyakit
ini; (2) deposit imun dapat ditemuakan di jaringan (kulit, jantung) tanpa inflamasi
lanjutan; (3) antibody mungkin memiliki konsekuensi imunologis tanpa bentuk

kompleks imun yang bersirkulasi dengan antigen; dan (4) hiperreaktrivitas sel T dan
hilangnya toleransi sel T merupakan komponen SLE yang telah diketahui.

10

Efek Hormonal
Karakteristik abnormalitas dari genetic dan imun pada lupus dipengaruhi oleh
hormone seks pada wanita. Contohnya pada (NZBxNZW) F1 tikus, penyakitnya lebih
berat pada yang betina. Ini dipengaruhi oleh esterogen.
Sebenarnya pengaruh hormonal tidak berperan langsung tetapi menurut prevalensi
memang wanita lebih banyak terkena daripada laki-laki yaitu 9:1 dan berpengaruh
saat pubertas dan kehamilan, hormone sex mempunyai peran yang besar dalam
beratnya penyakit dan pada manifestasi klinisnya. Esterogen dan prolaktin
meningkatkan sintesis antibody anti-DNA.
Factor Lingkungan
Lingkungan juga mengambil peran penting dalam onset dan kambuhnya SLE.
Pajanan sinar matahari merupakan factor penting dalam timbulnya atau kambuhnya
SLE. Ini dihubungkan dengan sel Langerhans pada kulit dan keratinosit akan
melepaskan interleukin-1 ketika terpajan sinar matahari, dan ini merupakan stimulus
timbulnya respon imun. Infeksi juga memegang peran yang penting. Jika ada bakteri
ataupun virus yang menginfeksi makan sel B akan menjadi hiperaktif, dan
menyebabkan relaps. Infeksi, disebut molekuler mimikri dapat menginisiasi respon
autoimun.
Obat-obatan yang mempunyai kemampuan berikatan dengan DNA seperti
hidantoin,isoniasid, dan hidralazin dapat menyebabkan drug-induced lupus like
sindrom.

SPEKTRUM KELAINAN JANTUNG PADA SLE


Penelitian ekokardiografi pasien SLE yang dilakukan Divisi Kardiologi
Departemen Penyakit Dalam menunjukkan efusi parikard ditemukan pada 13 pasien
11

(36,11%), masing-masing 3 pasien dengan efusi perikard sedang dan berat, dan 8
pasien dengan efusi perikard ringan. Hanya pasien dengan efusi perikard berat
menunjukkan gambaran low voltage tanpa gejala klinis perikarditis. Spektrum
kelainan jantung yang didapatkan pada pemeriksaan ekokardiografi 36 pasien LES
dapat dilihat di tabel.
Penelitian mengenai hubungan aktivitas penyakit SLE denga kejadian efusi
perikard menunjukkan efusi perikard lebih sering ditemukan pada SLE aktif
dibandingkan SLE tidak aktif.

PERIKARDITIS DAN EFUSI PERIKARD PADA SLE


Keterlibatan perikard pada SLE pertama dilaporkan oleh Keefer dan Felty,
pada tahun 1924 dan merupakan kelainan jantung yang paling sering ditemukan.
Perikarditis yang tampak secara klinis dilaporkan berkisar antara 23-30%. Data dari
beberapa penelitian mendapatkan keterlibatan perikard secara klinis, ekokardiografi,
dan histopatologis masing-masing 29%, 37%, dan 66%.
Pada beberapa penelitian baik dengan atau tanpa control menunjukkan
prevalensi efusi perikard berkisar antara 21-54%.
Angka kejadian tamponand jantung pada SLE dilaporkan kurang dari 10%.
Pada penelitian terhadap 395 pasien SLE, ditemukan kejadian perikarditis pada 75
pasien (19%), dengan episode tamponand jantung pada 10 pasien (13% dari kasus
perikarditis, 2,5% dari seluruh kasus SLE). Laporan penelitian lain secara retrospektif
terhadap 88 pasien SLE selama 6 tahun didapatkan kejadian perikarditis pada 29,5%
pasien, dimana perikarditis merupakan manifestasi pertama pada 9 pasien (10,2%).
Dua dari sembilan pasien perikarditis tersebut (2,3% dari seluruh kasus SLE)
mengalami tamponand sebagai manifestasi pertama penyakit.

12

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis perikarditis lupus biasanya khas, dengan keluhan nyeri
substernal atau pericardial yang diperberat oleh gerakan napas dan batuk yang
berkurang bila membongkok ke depan. Dapat terdengar suara gesekan perikard
(pericardial friction rub). Terdapat hubungan yang bermakna antara keluhan nyeri
dada dengan pericardial friction rub dan efusi perikard. Suara friction rub yang khas
ditemukan hanya pada 5% dari 520 kasus SLE. Keluhan-keluhan ini bisa berat dan
menetap atau hanya ringan dan sesaat. Keluhan dapat menghilang dalam beberapa
jam atau minggu dan sering berulang dalam beberapa periode beberapa tahun. Namun
demikian perikarditis mungkin ditemukan dalam keadaan tanpa nyeri dan secara
klinis tanpa gejala. Pada keadaan tamponad dapat ditemukan pulsus paradoks,
tekanan vena jugularis (JVP) meningkat, hipotensi, dan pembesaran hati, selain gejala
dan tanda perikarditis lain. Salah satu laporan menunjukkan nyeri dada, sesak napas,
dan pericardial rub ditemukan masing-masing pada 40% pasien tamponad.
Sedangkan pulsus paradoks hanya ditemukan pada satu diantara empat kasus
tamponad yang diperiksa.

13

Elektrokardiografi (EKG)
Perubahan EKG dapat mengkonfirmasikan diagnosis klinis perikarditis akut
pada pasien SLE. Perubahan EKG pada perikarditis terjadi dalam beberapa jam atau
beberapa hari setelah awitan nyeri dada. Gambaran EKG yang khas pada fase akut
yaitu ditemukan gelombang T yang tinggi dan elevasi ST yang konkaf.
Pada keadaan dimana terdapat efusi perikard dapat ditemukan penurunan
voltage QRS (low voltage) dan gelombang T datar. Jika terdapat gambaran electrical
alternans, mungkin ditemukan efusi perikard massif dan tamponad jantung.
Foto toraks
Pada perikarditis akut yang disertai adanya efusi perikard dapat terlihat
kardiomegali dan perubahan konfigurasi silhouette jantung. Gambaran pembesaran
silhouette ini baru terjadi jika cairan yang terkumpul dalam ruang perikard sekurangkurangnya 250 ml.
Laboratorium
Perikarditis umumnya terjadi selama periode aktif penyakit sehingga biasanya
ditemuklan tanda aktivasi penyakit pada pemeriksaan darah antara lain komplemen
rendah, anti dsDNA meningkat, dapat ditemukan sel LE, dan kadar LED meningkat.
Ekokardiografi
Diagnosis efusi perikard ditegakkan berdasarkan adanya gambaran area bebas
eko (ekokardiografi free space) diantara gambaran eko epikard dan perikard posterior.
Adanya efusi perikard dapat diperiksa pada parasternal long axis, short axis, dan
apical four chamber view. Pemeriksaan dilakukan pada tingkat muskulus papilaris
atau apeks ventrikel kiri. Dengan pemeriksaan ekokardiografi 2-D, perkiraan jumlah
cairan lebih akurat, identifikasi struktur jantung lebih jelas, dan efusi berkantong
(pocket) dapat dideteksi lebih baik.
14

Perikardiosintesis
Perikardiosintesis hanya dilakukan pada keadaan dimana dipikirkan
perikarditis purulenta.
Analisis Cairan Perikard
Cairan perikard pada SLE berwarna kekuning-kuningan sampai kemerahamm,
eksudatif, dan jumlah sel leukosit tinggi, dengan dominasi sel PMN. Sel LE yang
khas mungkin ditemukan pada sedimen sel yang disentrifugasi, yang menyokong
diagnosis SLE sebagai penyebab perikarditis. Analisis cairan perikard pada 10
episode tamponad menunjukkan volume cairan bervariasi antara 300-1400 ml. airan
efusi khas eksudat dengan kadar protein rata-rata 4,8 mg/dl (2,7-4,8).
Secara keseluruhan, analisis cairan perikard menunjukkan lekositosis dengan
neutrofil >90%. Hasil analisis ini menyerupai gambaran analisis perikard perikarditis
bacterial, yang dapat ditemukan juga pada pasien SLE yang mendapat terapi steroid.
Beberapa laporan lain menunjukkan penurunan aktivitas komplemen dan ANA
meningkat.
Gambaran Histipatologi
Gambaran patologi perikard pada pasien SLE dipengaruhi oleh terapi steroid.
Pada penelitian autopsy terhadap 28 pasien SLE didapatkan bahwa sebelum masa
terapi steroid, kasus-kasus autopsy menunjukkan perikarditis fibrinosa difus atau
fokal. Dengan penggunaan steroid yang luas untuk pengobatan, perikarditis fibrosa
lebih sering ditemukan.
Diagnosis
Diagnosis perikarditis akut bila ditemukan nyeri dada yang khas dan atau
suara gesekan parikard dan perubahan EKG yang khas. Diagnosis efusi perikard juga
dapat ditegakkan jika pada pemeriksaan ekokardiografi M mode ditemukan
15

pemisahan epikard dan perikard, baik pada fase sistolik maupun diastolic. Selain itu
pada pemeriksaan ekokardiografi 2-D tampak gambaran daerah bebas eko posterior
diantara dinding ventrikel kiri.
Diagnosis tamponad ditentukan bila pada pemeriksaan ekokardiografi
ditemukan kolaps atrium kanan dan kolaps diastolic ventrikel kanan, yang
menunjukkan spesifitas 100% pada pasien tamponad yang dikonfirmasi dengan
kateterisasi. Ini merupakan teknik diagnosis non-invasiv terbaik untuk diagnosis
tamponad.
Untuk menentukan etiologi efusi perikard pada pasien SLE dilakukan analisis
cairan perikard, pemeriksaan ANA anti dsDNA, komplemen dan sel LE pada cairan
perikad. Untuk menyingkirkan kemungkinan perikard septik, dilakukan pemeriksaan
kultur cairan perikard.
Karena risiko komplikasi pada tindakan perikardiosintesis cukup besar,
diagnosis etiologi ditegakkan secara klinis. Bila pasien SLE dalam keadaan aktif,
maka efusi perikard pada SLE secara klinis dapat dianggap sebagai bagian dari
serositis LE. Tetapi jika perikard merupakan satu-satumya manifestasi aktivitas SLE
dan terdapat kecurigaan perikarditis septic dapat dilakukan perikardiosintesis
diagnostic.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan perikarditis lupus terutama tergantung pada beratnya kondisi
perikarditis dan memperhatikan aktivitas penyakit SLE di luar jantung. Pasien
perikarditis simtomatik akut harus dirawat di rumah sakit karena perkembangan efusi
ke arah tamponad jantung tidak dapat diprediksi. Pasien perlu istirahat sampai nyeri
dada dan demam hilang karena aktivitas akan memperburuk gejala.
Pasien SLE dengan gejala ringan dan efusi perikard ringan atau tanpa efusi
perikard dapat diterapi dengan salisilat 1 gram setiap 4 jam sampai tercapai kadar
16

terapi 20-30 mg/hari. Atau dapat juga diberikan OAINS atau obat antiinflamasi
nonsteroid lain seperti indometasin 100-150 mg/hari. Jika tidak ada respon dapat
ditambahkan antimalaria hidroksiklorokuin sulfat 200mg sehari (5-7mg/kgBB/hari),
klorokuin fosfat 250 mg/hari, atau kuinakrin hidroklorida 100mg/hari. Bila perlu
dapat diberikan prednison 2,5-10 mg/hari. Pada keadaan yang lebih berat dapat
diberikan prednisone 20-40 mg/hari. Efusi perikard massif diberikan terapi
prednisone dosis tinggi 60-100 mg/hari. Pada pasien yang sangat kritis, steroid dosis
tinggi (1 g metilprednisolon intravena) yang diberikan secara parenteral, dapat
mengurangi gejala dengan cepat dan mengurangi tingkat efusi secara bertahap.

Algoritma penatalaksanaan efusi perikard pada SLE

17

MIOKARDITIS DAN ABNORMALITAS MIOKARD


Pada evaluasi klinis pasien SLE prevalensi miokarditis dilaporkan berkisar
antara 8-25%. Pada penelitian prospektif manifestasi kardiovaskuler pada 100 pasien
SLE, kejadian miokarditis didapatkan 14%.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis miokarditis pada SLE sama dengan miokarditis yang berasal dari
infeksi viral atau beberapa penyebab lain. Tanda paling awala adalah takikardi yang
tak sesuai dengan demam. Passion dapat mengalami sesak atau berdebar. Pada
pemeriksaan fisik, sering ditandai titik impuls maksimum pada linea aksilaris
anterior, dapat ditemukan juga murmur, irama gallop dan atau manifestasi gagal
jantung kongestif. Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan takikardi sinus atau
aritmia ventrikuler. Pemeriksaan foto toraks dapat terlihat jantung membesar secara
difus.
Biopsy Endomiokardial
Biopsy endomiokardial telah digunakan untuk diagnosis miokarditis SLE
pada sejumlah kecil pasien SLE. Tindakan ini tidak hanya menunjang diagnostic
tetapi juga menentukan perluasan miokarditis pada SLE.
Gambaran Histopatologi
Abnormalitas patologis bervariasi sesuai beratnya miokarditis, biasanya terdiri
atas focus kecil sel plasma interstitial dan infiltrasi limfositdan jarang terjadi
inflamasi interstitial difus. Dapat ditemukan juga perubahan fibrinoid dan
hematoxyllin bodies. Pada pasien yang mendapat terapi steroid sering ditemukan
fibrosis miokard.
Diagnosis

18

Diagnosis miokarditis SLE sering sulit ditegakkan secara klinis Karena factorfaktor lain yang dapat menyebabkan gagal jantung kongestif mungkin ditemukan
seperti anemia, hipertensi yang tak terkontrol, infeksi sistemik, penyakit valvular atau
retensi garam dan air yang berasal dari penyakit ginjal atau penggunaan
kortikosteroid sistemik.
Diagnosis klinis miokarditis SLE ditegakkan berdasarkan kombinasi keadaan sebagai
berikut:
1. Takikardi saat istirahat yang tak sesuai dengan suhu tubuh
2. Perubahan ST-T non spesifik pada pemeriksaan EKG
3. Satu atau lebih keadaan berikut: kardiomegali pada pemeriksaan rontgen dada
tanpa adanya efusi perikard, irama derap gallop, gagal jantung kongestif,
aritmia ventrikuler dan peningkatan kadar enzim CKMB
Penatalaksanaan
Pasien SLE dengan miokarditis akut diterapi dengan prednisone sekurangkurangnya 1 mg/kkBB/hari. Obat sitotoksik seperti azatioprin, siklofosfamid juga
pernah digunakan pada beberapa pasien.

ENDOKARDITIS DAN PENYAKIT JANTUNG VALVULAR


Endokarditis pertama kali dilaporkan oleh Libman dan Sacks pada tahun
1924, jauh sebelum hubungannya dengan SLE diketahui. Lesi endokarditis ini secara
patologis berbeda dengan endokarditis karena etiologi lain, dan dipercayai
karakteristik untuk SLE yaitu berupa vegetasi verrucous, non bacterial, 3-4 mm pada
katub dan atau permukaan endokard mural. Vegetasi ini dapat tunggal atau
berkelompok berupa kluster seperti mulberry. Katup yang sering terkena adalah katub
mitral.

19

Vegetasi Libman Sacks ditemukan 35-65% pada penelitian autopsy awal


pasien SLE, namun tidak ditemukan gejala secara klinis (silent) dan pengaruhnya
terhadap hemodinamik kecil. Penelitian postmortem selanjutnya menunjukkan
kejadian dan ukuran vegetasi menjadi lebih kecil. Penyakit jantung valvular pada
beberapa penelitian dilaporkan berhubungan dengan antibody antifosfolipid.
Ekokardiografi
Dengan pemerikasaan ekokardiografi, penebalan katub mitral yang diduga
verrucae dilaporkan pada 3-4% kasus, namun vegetasi biasnya terlalu kecil untuk
dideteksi. Penelitian lain menggunakan ekokardiografi transesofageal (TEE) pada 69
pasien SLE yang dilakukan pemantauan selama 57 bulan menunjukkna abnormalitas
valvular sering ditemukan baik pada saat awal dan tindak lanjut masing-masing 61%
dan 53%. Abnormalitas katub tersebut antara lain:

Penebalan katub
Vegetasi
Regurgutasi valvular
Stenosis

Fase awal
51%
43%
25%
4%

Tindak lanjut
52%
34%
28%
3%

Pada penelitian tersebut, penyakit jantung valvular tidak berhubungan dengan


lama penyakit, aktivitas penyakit, beratnya lupus atau pengobatan yang diberikan.
Gambaran Histopatologi
Secara mikroskopis vegetasi terdiri atas proliferasi dan degradasi sel, fibrin,
jaringan

fibrosa, dan jarang hematoxyllin

bodies. Terdapat

pula

deposit

immunoglobulin dan komplemen sepanjang dinding verrucae, yang menyokong


dugaan adanya kompleks imun dalam sirkulasi yang berperan dalam pertumbuhan
dan proliferasi vegetasi verrucous Libman-Sacks.
Diagnosis
20

Sebelum ditemukan ekokardiografi, sulit menegakkan diagnosis klinis.


Pemeriksaan fisis dan ekokardiografi dapat menduga adanya verrucae, tetapi tidak
diagnostic. Murmur dapat disebabkan demam, takikardi, hipertensi, atau anemia.
Diagnosis endokarditis Libman-Sacks primer ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
autopsy.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan endokarditis dan abnormalitas valvular pada SLE, tergantung
pada aktivitas SLE secara keseluruhan. Pada pasien lupus yang stabil, penyakit
valvular yang baru didiagnosis, tidak merefleksikan peningkatan aktivitas atau
beratnya penyakit, sehingga mungkin tidak memerlukan modifikasi terapi
antiinflamasi. Pada keadaan dimana ditemukan stenosis berat atau regurgitasi berat
yang biasanya mengenai katub mitral, dilakukan tindakan operatif

penggantian

katub.

DAFTAR PUSTAKA

21

Braunwald, dkk. 2008. Harrisons Principal of Internal Medicine 17th edition. The
McGraw-Hills Companies.
Burmester, dkk.2003. Color Atlas of Imunology. NewYork. Thieme Stuttgart.
Dorland. 2003. Kamus Kedokteran. EGC: Jakarta
David Dale. 2007. ACP Medicine. E-book, www.acpmedicine.com
Libi et al., Braunwalds Heart Disease 8th edition. Saunders Elsevier.
Sudoyo, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi III. FKUI PAPDI: Jakarta
Virella, Gabriel. 2007. Medical Imunology sixth Edition. New York : Informa Health
Care

22

Anda mungkin juga menyukai