Anda di halaman 1dari 120

Dasar, Prinsip, dan Teknik

dalam Bedah Plastik

Epidermis

Anatomi Kulit
1. Berlapis, berkeratin, dan avaskular
2. Stratum korneum: Lapisan keratin yang hampir aseluler
3. Stratum lusidum: Lapisan sel-sel mati tanpa inti sel
4. Stratum granulosum: Sitoplasma mengandung granula
yang akan berkontribusi dalam pembentukan keratin
5. Stratum spinosum: Desmosom menghubungkan sel-selnya
sehingga tampak seperti duri
6. Stratum germinativum (lapisan basal)
a. Hemidesmosom menghubungkan sel-sel basal dengan
membran basal
b. Melanosit menghasilkan melanin, yang akan difagosit
oleh keratinosit di sekitarnya

Dermis

1. Papila dermis: lapisan tipis superfisial yang terdiri atas


jaringan vaskular longgar
2. Retikula dermis: lapisan tebal yang lebih dalam, kurang
vaskular
3. Mengandung fibroblas, adiposit, makrofag, kolagen, dan
substansi dasar
4. Terdapat kelenjar keringat, folikel rambut, kelenjar
sebasea, ujung saraf, dan pembuluh darah
5. Pembuluh darah berasal dari aa. perforator keluar dari otot
menembus fascia atau langsung sebagai pembuluh arteri
kulit direkta

Adneksa

A. Folikel rambut
1. Adanya pertumbuhan sel-sel epidermis ke dalam
jaringan dermis dan subkutan di sekeliling rambut
2. Kelenjar sebasea yang berdekatan bersekresi ke folikel
rambut
3. Dipertahankan pada thick split-thickness skin graft;
dapat mengubah diri menjadi epitel kulit permukaan
B. Kelenjar keringat ekrin
1. Struktur sekretori bentuk kumparan pada jaringan
subkutan, dengan satu saluran yang menuju permukaan
2. Berkurang atau tidak ada pada skin graft, sehingga kulit
menjadi kering; ada pada kulit hasil skin graft
C. Kelenjar keringat apokrin
1. Ditemukan di daerah aksila dan inguinal
2. Bersekresi ke folikel rambut
3. Aktif saat pubertas

GS

Gambar 1. Penampang kulit, terdiri atas: (1) stratum korneum , (2) epidermis,
(3) dermis, (4) kelenjar sebasea, (5) folikel rambut, (6) pleksus papila dermis,
(7) arteri kutaneus direkta, (8) a. Perforator yang menghidupi satu area, (9)
fascia dan otot, (10) kelenjar keringat, (11)korpus Paccini
D. Semua struktur adneksa menjadi sumber epitelisasi pada
luka partial-thickness

Kolagen pada
kulit

A. Terdapat 13 tipe, dengan tipe predominan sebagai berikut:


1. Tipe I: kulit, tendon, dan parut yang matang (4:1 tipe I-III)
2. Tipe II: Tulang rawan
3. Tipe III: Pembuluh darah dan parut yang belum matang
4. Tipe IV: membran basal
B. Terdapat prokolagen yang merupakan rantai asam amino
tunggal
C. Tropokolagen adalah tiga rantai prokolagen dihubungkan
oleh ikatan disulfida, membentuk triple helix
1. Disekresi sel, dan bergabung membentuk filamen
2. Filamen bergabung membentuk fibril, yang kemudian
bergabung membentuk serat
D. Vitamin C (asam askorbat): koenzim dalam hidroksilasi
prolin dan lisin, yaitu asam-asam amino yang membantu
cross-linking kolagen

Penyembuhan
Luka
Normal

Luka dan
Penyembuhannya
A. Penutupan luka
I. Penutupan primer: luka ditutup segera setelah ada luka
II.

Penutupan primer tertunda

1. Luka dibiarkan terbuka beberapa hari (sampai 3 hari)


sebelum ditutup
2. Mengurangi risiko infeksi pada luka yang terkontaminasi
berat, pada luka yang tidak mampu dilakukan
debridement dengan baik, atau karena perdarahan yang
tidak dapat dikuasai
III. Penutupan sekunder
1. Luka menutup sendiri setelah ada epitelisasi dari
samping
2. Sesuai untuk luka yang terinfeksi atau terkontaminasi
3. Memungkinkan drainase eksudat
4. Memungkinkan debridement saat penggantian penutup
luka
5. Proses inflamasinya memanjang, meningkatkan
terjadinya parut yang hipertrofik dan kontraktur
IV. Penutupan pada kehilangan epitel kulit misalnya pada
luka bakar derajat 2 atau luka donor split thickness skin
graft
B. Penutupan luka dari I sampai IV dikenali dengan keringnya
bekas luka, karena telah ada epitel yang menutupi luka
tersebut. Luka biasanya mengering antara 7 hari sampai
beberapa minggu. Luka yang kering bukan berarti sembuh,
yang dimaksud dengan sembuh adalah bila telah melalui
proses remodelling antara 6 bulan sampai 1 tahun, bahkan
bisa mencapai 2 tahun lamanya.
C. Luka telah benar-benar sembuh apabila dijumpai halhal sebagai berikut:
1. Gatal sangat berkurang
2. Warna kemerahan tidak ada lagi
3. Lebih rata dan menipis
4. Bila ditekan teraba lemas/ lunak
Fase penyembuhan luka
A. Fase inflamasi
1. Dimulai saat mulai terjadi luka, bertahan 2 hingga 3 hari
2. Diawali dengan vasokonstriksi untuk mencapai
hemostasis (epinefrin dan tromboksan)
3. Trombus terbentuk dan rangkaian pembekuan darah
diaktifkan, sehingga terjadi deposisi fibrin

4. Keping darah melepaskan platelet-derived growth factor


(PDGF) dan transforming growth factor (TGF-) dari
granula alfa, yang menarik sel-sel inflamasi, terutama
makrofag
5. Setelah hemostasis tercapai, terjadi vasodilatasi dan
permeabilitas pembuluh darah meningkat (akibat
histamin, platelet-activating factor, bradikinin,
prostaglandin I2, prostaglandin E2, dan nitrit oksida),
membantu infiltrasi sel-sel inflamasi ke daerah luka
6. Jumlah neutrofil memuncak pada 24 jam dan membantu
debridement
7. Monosit memasuki luka, menjadi makrofag, dan
jumlahnya memuncak dalam 2 hingga 3 hari
8. Sejumlah kecil limfosit juga memasuki luka, akan tetapi
perannya tidak diketahui
9. Makrofag menghasilkan PDGF dan TGF- , akan menarik
fibroblas dan merangsang pembentukan kolagen
B. Fase proliferasi
1. Dimulai pada hari ke-3, setelah fibroblas datang, dan
bertahan hingga minggu ke-3
2. Fibroblas: ditarik dan diaktifkan PDGF dan TGF- :
memasuki luka pada hari ke-3, mencapai jumlah
terbanyak pada hari ke-7
3. Terjadi sintesis kolagen (terutama tipe III),
angiogenesis, dan epitelisasi
4. Jumlah kolagen total meningkat selama 3 minggu,
hingga produksi dan pemecahan kolagen mencapai
keseimbangan, yang menandai dimulainya fase
remodelling
C. Fase remodelling
1. Peningkatan produksi dan penyerapan kolagen
berlangsung selama 6 bulan hingga 1 tahun
2. Kolagen tipe I menggantikan kolagen tipe III hingga
mencapai perbandingan 4:1 (seperti pada kulit normal
dan parut yang matang)
3. Kekuatan luka meningkat sejalan dengan reorganisasi
kolagen sepanjang garis tegangan kulit dan terjadinya
cross-link kolagen
4. Penurunan aktivitas pembuluh darah
5. Fibroblas dan miofibroblas menyebabkan kontraksi luka
selama fase remodelling

Penyembuhan di jaringan tertentu


A. Kulit
1. Selain pembentukan jaringan penyambung dan kontraksi
luka, terjadi epitelisasi
2. Selapis sel tumbuh dari tepi luka (dan struktur adneksa
pada luka partial-thickness), kemudian membentuk
lapisan-lapisan setelah lapisan pertama lengkap
3. Luka partial-thickness mengalami reepitelisasi selama
satu hingga beberapa minggu, bergantung pada
kedalaman luka dan banyaknya struktur adneksa yang
tersedia.
4. Bila epitelisasi menjadi lebih panjang, misalnya pada
penyembuhan sekunder atau pada luka partial-thickness
dalam atau luka bakar, fase inflamasi bertahan lebih
lama sehingga produksi kolagen dan kontraksi luka
meningkat
B. Tulang
1. Pada lokasi fraktur terjadi fase inflamasi dengan adanya
invasi neutrofil dan makrofag
2. Osteoinduksi: sel-sel prekursor di endosteum,
periosteum, dan jaringan sekitarnya menjadi osteoblas
3. Osteokonduksi: Osteoblas memasuki daerah fraktur
4. Pembentukan kalus yang mengandung fibroblas,
osteoblas, dan sel-sel lainnya
5. Kondroblas menghasilkan substansi dasar, fibroblas
menghasilkan kolagen, dan osteoblas menghasilkan
hidroksi apatit
6. Aposisi tulang dan penulangan endokondral terjadi
7. Pada awalnya kalus terdiri atas anyaman tulang yang
tidak terorganisir, kemudian terjadi remodelling oleh
osteoklas dan osteoblas menjadi tulang lamelar
8. Semakin fraktur terfiksasi kaku dan tereduksi,
pembentukan kalus dan osifikasi endokondral semakin
sedikit, penyembuhan selanjutnya berlangsung terutama
dengan aposisi
9. Setelah remodelling selesai, struktur tulang yang telah
menyembuh sama dengan tulang normal, tanpa parut
pada tulang
C. Tendon
1. Tendon mengalami penyembuhan melalui kombinasi dua
mekanisme, yaitu penyembuhan intrinsik dan ekstrinsik
2. Penyembuhan intrinsik:
a. Fase inflamasi minimal

b. Sel-sel epitenon berpindah ke lokasi cedera dan mulai


menghasilkan kolagen, seperti fibroblas
c. Penyembuhan intrinsik meningkat dengan adanya
pergerakan tendon
3. Penyembuhan ekstrinsik
a. Terjadi fase inflamasi, proliferasi, dan remodelling
b. Setelah hemostasis, sel-sel inflamasi memasuki luka
c. Fibroblas tertarik dan menghasilkan kolagen, yang
kemudian mengalami remodelling
d. Terjadi adhesi antara daerah yang cedera dengan
daerah sekitarnya, dan berfungsi sebagai jalur migrasi
sel dan revaskularisasi
e. Adhesi yang terjadi pada penyembuhan ekstrinsik
meningkat dengan imobilisasi
D. Saraf
1. Akson di distal cedera akan difagosit oleh makrofag dan
sel Schwann (terjadi degenerasi Wallerian)
2. Akson proksimal menghasilkan satu atau lebih serat
regenerasi bermielin dengan pusat pertumbuhan pada
ujung masing-masing serat, secara keseluruhan serat
regenerasi tersebut disebut unit regenerasi saraf
3. Unit regenerasi tumbuh ke arah distal, diarahkan oleh
faktor-faktor kimiawi lokal
E. Hati
1. Hati adalah satu-satunya organ dewasa yang mengalami
regenerasi
2. Seluruh sel di hati, termasuk hepatosit, sel bilier, dan
sel-sel lainnya, terlibat dalam menciptakan kembali
susunan hati yang normal secara histologis tanpa
terbentuk parut
3. Parut (sirosis) terjadi pada kerusakan kronik atau parah
Kekuatan Mekanik Bekas Luka
A. Luka memiliki kekuatan yang kecil pada 2-3 minggu
pertama (fase inflamasi dan proliferasi)
B. Pada minggu ke-3, kekuatan luka meningkat karena adanya
remodelling
C. Luka memiliki 50% kekuatannya pada saat 6 minggu, dan
sisanya dalam beberapa minggu setelahnya
D. Kekuatan terus bertambah perlahan hingga 6-12 bulan
E. Kekuatan maksimal adalah +75% jaringan biasa

Penyembuhan luka pada janin


A. Kulit umumnya mengalami regenerasi tanpa parut, hal ini
terbatas pada dua trimester pertama
B. Banyak aspek jaringan pada janin dan lingkungan yang
dapat berkontribusi pada penyembuhan tanpa parut
1. Lingkungan bayi (cairan amnion) steril
2. Cairan amnion mengandung faktor pertumbuhan dan
molekul matriks ekstrasel
3. Fase inflamasi minimal, makrofag diduga sebagai sel
pengorganisasi utama upada proses penyembuhan fetus
4. Faktor pertumbuhan dan sitokin berbeda pada fetus,
meski maknanya tidak diketahui

Gangguan
Penyembuhan
Luka

Faktor lokal
A. Insufisiensi arteri
1. Iskemia lokal menyebabkan terhambatnya produksi
kolagen dan terjadi infeksi
2. Pemeriksaan ankle-brachial index harus dilakukan pada
pasien dengan luka di tungkai bawah dan pada pasien
dengan risiko insufisiensi vaskuler
3. Koreksi kelainan yang mendasari iskemi dengan graft
pintas atau penggunaan stent sebelum penyembuhan
cedera iskemik dapat berlangsung
B. Insufisiensi vena
1. Peningkatan tekanan vena menyebabkan ekstravasasi
protein dan mengurangi difusi oksien
2. Peningkatan tekanan vena dapat menyebabkan edema
C. Edema
1. Menyebabkan iskemi dengan cara meningkatkan volume
ekstrasel, mengurangi difusi dan konsentrasi oksigen
2. Penting untuk melakukan kompresi dan elevasi
D. Infeksi
5

1. Infeksi invasif terjadi bila kuantitas bakteri lebih dari 10


per gram jaringan

a. Penyembuhan terganggu akibat berbagai mekanisme,


termasuk peningkatan pemecahan kolagen dan
berkurangnya epitelisasi
b. Pembentukan parut hipertrofi meningkat
c. Penutupan menggunakan graft atau flap sulit berhasil
d. Luka terinfeksi yang terbuka harus ditangani dengan
antibiotik yang tepat dan dilakukan debridemen
5
hingga konsentrasi bakteri kurang dari 10 sebelum

Faktor sistemik
A. Diabetes mellitus
1. Gangguan mikrovaskular dan makrovaskular yang
berhubungan dengan diabetes mellitus dapat
menyebabkan iskemi lokal
2. Hemoglobin terglikosilasi memiliki afinitas terhadap
oksigen lebih tinggi dari normal, sehingga pengantaran
oksigen terganggu
3. Fungsi neutrofil terganggu, sehingga kemungkinan
mendapat infeksi meningkat
4. Neuropati perifer menyebabkan peningkatan lama dan
kuat tekanan pada jaringan karena sinyal untuk
mengurangi nyeri dan tekanan berkurang atau tidak ada
5. Bila luka memiliki vaskularisasi yang baik dan gula darah
terkendali (<180 mg/dL), luka operasi pada pasien
diabetes dapat sembuh secara baik
B. Malnutrisi
1. Persediaan protein yang cukup penting pada
penyembuhan luka
a.Kadar albumin normal lebih dari 3,5 g/dL
b.Usia paruh albumin adalah 20 hari, sehingga tidak
menggambarkan perubahan nutrisi protein akut
c.Pengukuran kadar prealbumin lebih baik untuk
mengetahui perubahan nutrisi protein akut karena
usia paruhnya lebih singkat (2-3 hari)
d.Kadar prealbumin kurang dari 17 g/dL (normal 17-45)
menandakan adanya malnutrisi protein
2. Orang dewasa sehat tanpa luka memerlukan 35 kcal per
kg per hari untuk mempertahankan berat badan, dan
memerlukan 0,8-2 gram protein per kg per hari
3. Kebutuhan kalori dan protein meningkat pada penderita
luka kronik, cedera yang luas, dan luka bakar
4. Secara umum penutupan luka kronik tidak boleh
dilakukan kecuali kadar albumin pasien di atas normal
C. Defisiensi vitamin dan mineral
1. Vitamin C, Cu, zat besi, tiamin, dan zinc penting dalam
penyembuhan luka
2. Pemberian suplemen vitamin atau mineral jarang
diperlukan dan tidak memperbaiki penyembuhan luka
kecuali jika diketahui ada defisiensi yang spesifik
a. Defisiensi vitamin C menyebabkan skorbut, dan
gangguan penyembuhan luka karena berkurangnya
cross-linking kolagen

10

b. Tidak ada bukti bahwa pemberian vitamin C


meningkatkan penyembuhan luka pada pasien tanpa
skorbut
3. Pemberian vitamin A dapat menguntungkan meski tanpa
defisiensi. Pemberian vitamin A baik secara oral maupun
topikal (bersama dengan antimikroba topikal) dapat
mengurangi beberapa efek merugikan glukokortikoid
pada penyembuhan luka
D. Kemoterapi
1. Dengan menghambat kemampuan sumsum tulang untuk
menghasilkan sel-sel inflamasi, fase inflamasi pada
penyembuhan luka terhambat
2. Infeksi luka juga meningkat
E. Merokok
1. Merokok meningkatkan karboksihemoglobin, sehingga
mengurangi pengantaran oksigen ke jaringan perifer
2. Nikotin, termasuk patch dan permen karet nikotin,
menyebabkan vasokonstriksi perifer
3. Nikotin dapat menghambat penerimaan flap dan skin
graft, di mana sangat dibutuhkan vaskularisasi
4. Agar hasil optimal, pasien harus berhenti merokok
setidaknya 2 minggu sebelum pembedahan dan tidak
merokok hingga luka sembuh
5. Kadar kotinin pada urin dapat diukur praoperasi untuk
melihat kepatuhan pasien
F. Penuaan
1. Berkurangnya fase inflamasi pada orang tua
menghambat proses penyembuhan
2. Baik kulit yang sehat maupun luka berkurang
kekuatannya
3. Penuaan saja tidak menghambat penyembuhan luka,
tapi dapat berkontribusi pada gangguan penyembuhan
luka bila dikombinaiskan dengan faktor lainnya
4. Mengingat fase inflamasi berkurang, parut hipertrofik
jarang terjadi
G. Glukokortikoid
1. Menghambat fase inflamasi pada penyembuhan luka
2. Menghambat sintesis kolagen oleh fibroblas,
mengakibatkan berkurangnya kekuatan luka
3. Penyembuhan dapat diperbaiki dengan pemberian
vitamin A

11

Luka Kronik

I. Luka kronik adalah luka yang tidak menyembuh dalam


waktu kurang lebih 3 bulan, contohnya adalah ulkus
dekubitalis, ulkus diabetik, luka yang mengalami desikasi
(pengeringan) lama, ulkus stasis vena, ulkus radiasi, luka
traumatik atau luka operasi lama
II. Penatalaksanaan:
A. Debridement yang adekuat: luka kronik umumnya
memiliki banyak jaringan parut, debris, dan jaringan
nekrotik yang menghambat penyembuhan
B. Penanganan infeksi:
1. Pada luka kronik harus dicurigai adanya infeksi
2. Kultur jaringan dan perhitungan kuantitatif sebaiknya
dilakukan
C. Penutupan luka yang baik
1. Desikasi adalah faktor yang seringkali menyebabkan
gangguan penyembuhan luka dan epitelisasi pada
luka kronik
2. Penutup luka harus dapat menjaga luka tetap lembab
dan tidak terjadi desikasi
3. Penutup luka juga dapat digunakan untuk melakukan
debridement, memberikan antibiotik, atau menyerap
eksudat sesuai keadaan luka
D. Penanganan faktor lokal dan sistemik yang dapat
menghambat penyembuhan luka, misalnya gangguan
vaskular, edema, diabetes, malnutrisi, tekanan lokal, dan
gravitasi
E. Penggunaan vacuum assisted closure (VAC)
1. VAC adalah suatu pendekatan noninvasif yang
bertujuan membantu penutupan luka melalui
pemberian secara topikal tekanan sub-atmosferik atau
tekanan negatif ke permukaan luka
2. Mekanisme kerja VAC adalah mengurangi eksudat,
merangsang angiogenesis, mengurangi kolonisasi
bakteri, dan meningkatkan pembentukan jaringan
granulasi
3. Keuntungan menggunakan VAC adalah kita dapat
menutup luka dengan lebih cepat, bahkan pada luka
yang kecil dapat epitelisasi sendiri

12

Keloid

Definisi

Keloid adalah jaringan parut yang tumbuh melebihi area luka/


cedera pada kulit yang menyembuh. Keloidosis adalah keloid
multipel atau pertumbuhan berulang keloid meski tidak pada
tempat yang sama.

Etiologi

Dapat timbul pada luka/cedera pada kulit, pada pembedahan,


luka traumatik, daerah vaksinasi, terbakar, cacar, jerawat atau
goresan kecil sekalipun. Terdapat peran growth factor pada
pembentukan keloid, yaitu peningkatan kadar TGF-.

Insiden

Lebih sering pada wanita muda dan ras afroamerika.


Kebanyakan awalnya berbentuk datar dan kurang diperhatikan
selama beberapa tahun/ periode awal keloid. Risiko terjadinya
keloid pada kulit berwarna 15x daripada kulit putih.

Predileksi

Predileksi pada dada, deltoid dan lobulus telinga. Iritasi karena


garukan atau gesekan baju, bisa memperluas keloidnya.
Paparan matahari selama tahun pertama pembentukan keloid
menyebabkan warna lebih gelap pada daerah sekitarnya di
kulit. Warna gelap dapat menjadi permanen.

Tanda dan
Gejala

Pada lesi kulit: warna keloid seperti otot, kemerahan atau


merah muda. Berbentuk nodular atau berkelompok. Dapat
gatal dan nyeri selama pertumbuhannya. Benjolannya lebih
besar dari luka awal sehingga berbentuk seperti bunga kol.

Pemeriksaan

Diagnosis berdasarkan penampakan pada kulit atau bekas


luka. Biopsi kulit bisa diperlukan untuk menyingkirkan
kelainan pertumbuhan kulit lainnya (tumor).

GS

GS

Gambar 2. Kiri: Keloid residif di dada perlu dikecilkan dengan operasi, Kanan:
Setelah operasi pengecilan massa dilanjutkan terapi kombinasi lainnya, bisa dipilih
injeksi steroid intralesi, krim anti keloid, salep steroid, lembar silikon, atau penekanan.

13

Manajemen

Dapat dikecilkan ukurannya dengan pembedahan, setelah


itu diberikan salep anti keloid selama 2-3 bulan. Atau dapat
dilanjutkan dengan injeksi kortikosteroid lokal. Pada keloid
yang besar dapat dikombinasi dengan radiasi. Keloid bisa
muncul kembali setelah pembedahan.

Perubahan warna karena paparan matahari dapat dicegah


dengan 'patch atau bandage' atau penggunaan tabir surya
(sun block) ketika aktivitas siang hari/di luar ruangan.
Perlindungan sekurangnya 6 bulan setelah pembedahan
pada orang dewasa atau sampai usia 18 tahun pada anak.

GS

GS

GS

Gambar 3. Penatalaksanaan keloid residif pada daun telinga dengan melakukan


pengecilan dengan sayatan intralesi dan dilanjutkan krim anti keloid sebagai
kombinasi. Pada kasus ini sukar dilakukan penekanan ataupun pemakaian lembar
silikon pada permukaan yang tidak rata dan tipis. Suntikan steroid intralesi juga
dapat diaplikasikan dengan tidak terlalu sakit pasca pengecilan benjolannya.

Prognosis

Komplikasi

14

Bukan hal berbahaya secara medis, namun dapat berefek


pada penampilan. Pada beberapa kasus dapat mengecil
sendiri namun dapat juga bersifat permanen. Pada
pembedahan dapat menimbulkan bekas luka keloid lebih
besar sehingga operasi pengecilannya dengan menyayat
bukan pada kulit yang normal.

Perlu ditekankan pada pasien bahwa terapi kombinasi lebih


memberi harapan pada hasilnya.

Gangguan psikologis dapat terjadi jika keloid besar dan


menonjol atau tampak jelas, rekuren. Pasien juga dapat
merasa tidak nyaman dan iritasi.

Parut Hipertrofik

Definisi

Pertumbuhan jaringan parut berlebihan yang tidak melebihi


batas luka aslinya. Tidak seperti keloid, parut hipertrofik dapat
mencapai ukuran tertentu dan kemudian stabil atau mengecil
karena proses pertumbuhannya berhenti/ matur.

Etiologi

Parut hipertrofik dihubungkan dengan penyembuhan luka yang


tidak normal misalnya tegangnya tepi luka ketika ditautkan,
adanya infeksi, benang jahit yang mengiritasi, epitelisasi yang
terjadi lama setelah kehilangan lapisan kulit (seperti pada luka
bakar).

Tanda
Pemeriksaan

Manajemen

Parut lebar yang menebal, tampak tidak baik dan dapat


mengganggu rasa percaya diri pasiennya.
Pemeriksaan dibawah mikroskop memberi hasil minimal,
sehingga tampilan klinis serta pengamatan pertumbuhannya
lebih penting.
Parut hipertrofik biasanya membaik dengan terapi. Injeksi
intralesi 5-FU atau kortikosteroid aman dan efektif pada terapi
dan pencegahan parut hipertrofik dan beberapa keloid. Terapi
dapat dilanjutkan dengan menggunakan penutup silikon dan
dilakukan penekanan selama 6 bulan atau lebih.

GS

GS

Gambar 4. Kiri: Parut hipertrofik pasca luka bakar, tampak seperti keloid.
Kanan: Pasca eksisi 3 minggu, ternyata tidak kambuh, demikian pula pada
kontrol 1 tahun.

15

Teknik Dasar
Pembedahan
Teknik dasar pembedahan yang dikemukakan adalah teknik
pada kulit dan jaringan lunak, yaitu:
1. Eksisi lesi kulit
2. Penutupan luka pada kulit dengan penjahitan

Eksisi lesi kulit

Membuat parut yang halus


Tampilan akhir parut bergantung pada:
a. Teknik atraumatik
b. Teknik menjahit, khususnya pada lapisan dermis yang
menggunakan benang yang diserap lama atau yang tidak
diserap sama sekali
c. Eversi tepi luka waktu menutup
d. Penempatan parut sesuai arah garis kulit
Teknik Atraumatik
- Pentingnya penanganan jaringan secara hati-hati
- Konsep yang digunakan adalah memanipulasi kulit dan
jaringan subkutan yang secara histologis tidak mencederai
sel atau jaringan ikat
- Meminimalkan trauma: pisau, gunting, jarum, hak yang
tajam, serta jahitan dengan ukuran yang tepat
- Posisi operator dan asisten diatur untuk mengurangi tremor,
hal ini dapat membantu hasil yang atraumatik
Penempatan parut sesuai arah garis kulit; Parut akan lebih
tidak terlihat, jika:
- Garis parut yang tipis (hasil dari perencanaan eksisi atau
insisi yang baik)
- Mengikuti garis kulit bertegangan rendah/ relaxed skin
tension line (RSTL)

Garis Kontur

Lines of Dependency
(Garis akibat gravitasi)

Ditemukan pada orang yang


Garis pembagi pada
lebih tua akibat gaya
pertemuan bidang tubuh,
gravitasi yang bekerja pada
ditemukan pada
jaringan kulit dan jaringan
pertemuan pipi-telinga,
kulit kepala-telinga, garis lemak (turkey gobbler fold),
contoh menggelambirnya
kulit vermilion (vermilion
kulit leher pada laki-laki
cutaneous line), dan
yang sangat tua
sebagainya

16

Garis Kerut akibat


kontraksi otot
Umumnya terletak
tegak lurus dengan
sumbu panjang otot
di bawahnya,
disebabkan
pengerutan yang
menyertai kontraksi
otot di bawahnya

GS

Gambar 5. Garis kerut pada kulit muka orang tua.


Hal-hal yang mempengaruhi parut dan belum dapat diubah
a. Usia
b. Regio pada tubuh
c. Tipe kulit
d. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan komplikasi
e. Sekitar persendian
Regio tubuh
! Parut pada kelopak mata, telapak tangan, vermilion,
mukosa lebih tidak tampak
! Daerah risiko tinggi untuk parut yang jelek yaitu daerah
sternal wanita (butterfly-shaped keloid), deltoid, dan
lobulus
Panjang parut
! Semakin kecil lukanya, semakin kecil parutnya
! Penempatan parut yang lebih panjang pada garis kerut
lebih dipilih karena dapat menyamarkan
! Hati-hati bila melakukan insisi panjang pada permukaan
yang bersendi, karena bekas luka nantinya mudah teregang
dan menjadi hipertrofik
Parut bentuk U
Tampak buruk, pada proses penyembuhan akan berkerut dan
tampak sebagai lekuk yang mengelilingi kulit yang
mencembung, sehingga mengganggu penampilan.

17

Tipe kulit
Kulit yang tebal dan berminyak banyak mengandung kelenjar
sebasea yang hipertrofi dan hiperaktif. Luka pada jenis kulit
tersebut akan menyembuh dengan parut jelas tampak dan
melekuk ke dalam (cekung).
Gangguan penyembuhan kulit dan parut yang terbentuk
! Pada kelainan biosintesis jaringan fibrosa dan jaringan
elastik dapat terbentuk parut yang lebar
! Penyakit yang mendasari dan menghambat penyembuhan
harus diketahui sebelum operasi
! Pada sindrom Ehlers-Danlos, kulit menyembuh secara
lambat dengan parut yang lebar
Metode Eksisi
a. Lesi dapat diangkat dengan membuat eksisi elips, baji, atau
lainnya
b. Arah sayatan disesuaikan dengan karakteristik kerutan dan
penuaan kulit
c. Kulit diregangkan menggunakan ibu jari dan telunjuk
sewaktu insisi
Eksisi elips sederhana
! Digunakan untuk mengangkat lesi kulit tidak terlalu besar
! Sumbu panjang elips ditempatkan sejajar garis kerut, garis
kontur, atau lines of dependency
! Sumbu panjang 4 kali lebih panjang dari sumbu pendek,
bila terlalu pendek maka akan terbentuk 'dog ear', yaitu
tonjolan seperti telinga anjing pada kedua ujung parut
Teknik Eksisi Multipel pada satu lesi (Eksisi Serial)
! Dapat diterapkan pada lesi kulit yang luas misal di tungkai
! Secara teoritis kulit yang mendapat tegangan akan melebar
dalam beberapa bulan
! Digunakan pada kulit yang tidak tumbuh rambut
! Diperlukan prosedur yang direncanakan dengan baik dan
dimengerti pasien
! Hasil akhir diharapkan berupa satu garis lurus saja

18

GS

Gambar 6. Kiri: Eksisi elips dan penutupannya. Membuat eksisi elips dengan
sudut minimal 30 derajat (atau panjang:lebar=4:1) akan memungkinkan
penutupan yang baik. Kanan: Eksisi elips yang terlalu pendek dibanding
lesinya akan menyulitkan penutupan, sehingga terbentuk dog ears. Garis
putus-putus menunjukkan cara menghilangkan dog ears.
Eksisi Baji
Lesi pada lokasi atau daerah yang berdekatan dengan tepi
kulit bebas, misalnya bibir, tepi nostril, kelopak mata, telinga,
bibir bawah dapat dieksisi dan ditutup dengan menjahit primer
Eksisi sirkuler
! Bila kulit wajah berdekatan misalnya dengan tulang rawan
di bawahnya
! Setelah pengangkatan lesi kulit yang besar pada bagian lain
tubuh
!
Penutupan defek setelah eksisi sirkuler:
! Flap kulit lokal
! Sliding subcutaneous pedicle skin flaps
! Two triangular subcutaneous pedicle flap
! Penutupan defek segitiga menggunakan teknik V-Y
! Flap transposisi lokal (hati-hati menggunakan flap ini pada
wajah)
! Penggunaan tissue expander untuk meluaskan kulit sehat
sekitar defek atau flap rotasi dapat bermanfaat

19

GS

GS

Gambar 7. Kiri: Lokasi eksisi baji pada muka. Kanan: Eksisi sirkuler dan
penutupannya.
A. Teknik Operasi untuk Eksisi Lesi Kulit
Instrumen
Gunakanlah gunting yang tajam, bilah pisau yang dapat
dilepas, jarum yang tajam, pemegang jarum yang berujung
halus, dan pinset berujung kecil bergigi.
Teknik insisi: Insisi elips dan insisi baji
Metode Hemostasis
Elektrokauter
! Arus listrik frekuensi tinggi, dengan amper relatif tinggi dan
voltase rendah
! Metode yang efektif untuk melakukan hemostasis pada
pembuluh darah kecil dan sedang
! Dapat meminimalkan trauma tapi meningkatkan kecepatan
operasi

20

GS
GS

Gambar 8. Instrumen eksisi lesi kulit

Ligasi
Ligasi pembuluh darah menggunakan benang tipis misalnya
ukuran 5.0 (baca lima nol) yang tidak diserap, monofilamen
atau yang diserap sekitar 2 bulan
Penekanan dengan balutan
! Penekanan luka terus menerus dapat mengendalikan
kebocoran kapiler dengan efektif
! Penekanan dilakukan hingga terjadi koagulasi (+ 5 menit)
! Untuk mencegah perdarahan pada daerah yang aktif
berdarah, skin graft dapat dilakukan setelah penekanan 2448 jam (delayed skin grafting)
Vasokonstriktor
! Epinefrin dapat bekerja baik walau diencerkan hingga
1:500.000, tunggu sampai pucat baru menyayat
! Epinefrin topikal (1:100.000) pada luka terbuka
menggunakan spons yang lembab untuk mengurangi
perdarahan dari pembuluh darah kecil
! Semakin lama kerja vasokonstriktor, kemungkinan
kematian jaringan karena iskemi semakin luas

Penutupan Luka
pada Kulit

Luka dapat ditautkan menggunakan jahitan, plester kulit


steril, klip kulit, atau perekat luka.

21

Jahitan menutup luka


Gunakan benang jahit diserap atau tidak diserap
Benang jahit diserap
! Dibuat dari kolagen, asam poliglikolat, atau polidioksanon
! Digunakan di bawah permukaan untuk menutup lapisan
subkutan atau untuk memperbaiki mukosa
! Lebih menguntungkan, tak perlu membuka, asalkan
diletakkan pada lapisan kulit sebelah dalam
! Benang jahit diserap yang sering digunakan adalah catgut
atau asam poliglikolat
! Plain catgut diserap lebih cepat
! Dexon dan Vycril dapat direntangkan hingga membentuk
benang kemudian dipilin membentuk benang jahit, lebih
kuat daripada catgut
! Dexon memiliki daya ikat selama 30 hari, dan diabsorbsi
dalam 90 hari
! Vicryl, memiliki daya ikat selama 32 hari, diabsorbsi dalam
70 hari
Benang jahit tak diserap
! Benang jahit sintetik (nilon, dacron, atau polipropilen)
! Benang jahit dari logam (stainless steel)
! Staples stainless steel

GS

Gambar 9. Jahitan dermal di dalam, dianjurkan digunakan sebelum menjahit


kulit dari sisi luar, untuk melawan regangan sampai luka matur. Perhatikan arah
memasukkan jarum

22

Faktor yang menentukan berkurangnya kualitas bekas


jahitan pada kulit:
! Lamanya benang jahit berada pada tempat jahitan
! Tegangan jahitan
! Hubungan benang jahit dengan tepi luka apakah inert atau
reaktif
! Lokasi pada tubuh, misalnya dekat sendi
! Infeksi
! Kecenderungan pembentukan keloid
! Benang jahit yang ada di bawah kulit
! Eversi tepi luka
! Penutupan tepi luka dengan ketebalan berbeda
Teknik Operasi untuk Menjahit Luka pada Kulit
Metode menjahit luka (lihat gambar 10)
! Jahitan satu-satu. Metode ini sering digunakan dan aman
! Jahitan matras vertikal. Tujuannya untuk mempertemukan
sebanyak mungkin tepi luka. Jangan digunakan pada tepi
yang tegang
! Jahitan matras horizontal
! Jahitan matras horizontal setengah terbenam. Digunakan
bila tidak menginginkan bekas pada salah satu sisi luka.
Jarang digunakan
! Jahitan jelujur subkutikular. Bertujuan menghindari bekas
jahitan, dan agar tidak perlu membuka atau mengangkat
jahitan
! Jahitan karung dengan simpul setiap 5 kali jahitan.
Bertujuan untuk cepat menyelesaikan tindakan
Simpul
! Menggunakan needle holder untuk mengikat simpul
! Yang sering digunakan adalah square knot dengan
tambahan half knot
! Harus hati-hati dalam menempatkan awalan square knot
! Ikat setidaknya 5 kali simpul pada jahitan catgut, pada
asam poliglikolat 4 kali
Perekat jaringan
Masih belum banyak digunakan pada manusia karena tidak
mentautkan dan memegang lama kedua tepi dermis

23

GS

Gambar 10. Teknik operasi untuk menjahit luka pada kulit

24

Sifat Kimia

Anestesi Lokal
A. Molekul zat anestesi lokal terdiri atas bagian aromatik
lipofilik, rantai intermediate yang terdiri atas ester atau
amid, dan bagian amin hidrofilik. Berdasarkan jenis rantai
intermediatenya, zat anestesi lokal dibedakan menjadi jenis
amino amid dan amino ester.
B. Zat anestesi lokal yang sering digunakan:
1. Amino amid: lidokain
2. Amino ester: prokain, kokain

Mekanisme
Kerja

A. Menghambat konduksi saraf. Zat anestesi lokal berdifusi


secara pasif melalui membran sel dalam keadaan non-ionik,
kemudian menjadi bermuatan dan menghambat kanal
natrium dalam sel saraf, sehingga menghambat terjadinya
potensial aksi.
B. Serat saraf berdiameter kecil lebih sensitif terhadap zat
anestesi lokal, sementara serat saraf bermielin berdiameter
besar lebih sulit dihambat
C. Zat anestesi lokal menghambat sensasi nyeri terlebih
dahulu, kemudian dingin, panas, sentuhan, dan tekanan

Farmakologi

I. Farmakokinetik
A. Potensi zat anestesi lokal bergantung pada kelarutannya
dalam lemak, semakin larut lemak maka semakin cepat zat
tersebut melewati membran
B. Kecepatan awitan kerja
1. Ditentukan oleh pKa
a.Semakin besar konsentrasi molekul zat anestesi lokal
yang tidak terionisasi, semakin cepat awitan kerjanya
b.Semakin rendah pKa, konsentrasi zat anestesi lokal
pada pH tertentu semakin tinggi, sehingga awitan
kerja lebih cepat
c.Penambahan natrium bikarbonat akan meningkatkan
pH, sehingga meningkatkan kecepatan awitan kerja,
dan dapat mengurangi nyeri saat infiltrasi
2. Jaringan yang terinflamasi memiliki pH yang rendah,
sehingga mengurangi konsentrasi zat anestesi tidak
terionisasi, dan mengurangi efek anestesi lokal
C. Lama kerja
1. Efek vasodilatasi intrinsik pada zat anestesi lokal
umumnya dapat mengurangi lama kerjanya
2. Ikatan protein meningkatkan lama kerja zat anestesi
lokal

25

II. Metabolisme
A. Seluruh amid dan satu ester dimetabolisme di hati
B. Sebagian besar ester dimetabolisme plasma kolinesterase
C. Gangguan fungsi hati dapat mengganggu metabolisme
golongan aminoamid
III.

Reaksi alergi

A. Biasanya akibat rantai ester, bukan amid


B. Amid dapat merangsang terjadinya hipertermia maligna

Pemberian Zat
Anestesi Lokal

A. Metode pemberian zat anestesi lokal yaitu blok saraf perifer,


anestesi topikal, atau anestesi lokal infiltrasi
B. Blok saraf perifer terdiri atas blok saraf perifer minor yaitu
blok satu saraf, dan blok saraf perifer mayor yaitu blok dua
atau lebih saraf atau blok satu pleksus saraf
C. Anestesi topikal yang digunakan di antaranya Eutectic
Mixture of Lokal Anesthetics (EMLA), ELA-max, tetrakain
dan kokain, dan iontoforesis
D. Anestesi lokal infiltrasi adalah pemberian zat anestesi lokal
pada lokasi operasi tanpa melakukan blok saraf secara
selektif. Injeksi dapat dilakukan secara intradermal,
subkutan, atau kombinasi keduanya
E. Pilihan zat anestesi lokal disesuaikan dengan lamanya
kebutuhan anestesi. Dapat ditambahkan epinefrin untuk
memperpanjang masa kerja zat anestesi lokal
F. Pemberian Lidokain umumnya digunakan konsentrasi 1-2%,
dengan dosis maksimal tanpa epinefrin 5 mg/kgBB, dengan
epinefrin 7 mg/kgBB, dosis maksimal dewasa 300-500 mg
(15-25 cc lidokain 2%), dengan lama kerja 2-4 jam
G. Perhitungan dosis maksimum = BB x konsentrasi zat
anestesi lokal (%) x konsentrasi maksimum zat anestesi
lokal (mg/kgBB)

Toksisitas Zat
Anestesi Lokal

A. Toksisitas sistem saraf pusat: dapat berupa stimulasi atau


depresi, gejalanya dapat berupa gelisah, sakit kepala,
kejang, tremor, apnoe
B. Toksisitas kardiovaskuler: depresi miokardium, dilatasi
arteriol
C. Toksisitas neuromuskuler: berkurangnya eksitabilitas dan
kontraktilitas otot
D. Terapi:
1. Pemberian oksigen menggunakan ambubag hiperventilasi
2. Diazepam 0,1 mg/kgBB

26

3. Bila hipotensi dapat diberikan infus cairan, posisi


Trendelenburg, dan epinefrin

Teknik
Pemberian Zat
Anestesi Lokal

A. Cara memasukkan obat ke jaringan


1. Pakai jarum kecil misalnya nomor 25, juga pakai spuit kecil
2,5 cc yang berulir
2. Masukkan jarum sampai ke bagian distal lesi kemudian
semprotkan obat perlahan-lahan sambil menarik jarum
agar obat tidak masuk ke dalam pembuluh darah
C. Cara mencampur obat anestesi lokal dengan
vasokonstriktor
1. Isap adrenalim 1/1000 sebanyak 1 strip pada spuit 2,5 cc
2. Kemudian isap lidokain 2% sebanyak 2 cc
3. Obat siap disuntikkan pada pasien

27

Defek Kulit

Setiap defek pada kulit (kehilangan kulit/ epitel kulit) harus ditangani sesuai
dengan komponen yang hilang, penyebab yang mendasari, lokasi anatomis,
estetika, gangguan fungsi yang berhubungan, dan ketersediaan jaringan donor
dan resipien. Kesesuaian donor dan resipien dapat dinilai dari warna kulit,
tekstur, ketebalan, dan kerapatan tumbuhnya rambut. Kesehatan pasien secara
umum juga perlu diperhatikan.
Konsep yang umum digunakan adalah skema anak tangga (reconstructive
ladder), yaitu urutan pilihan rekonstruksi dari teknik yang sederhana hingga
kompleks. Urutan teknik tersebut adalah penyembuhan sekunder, penutupan
jaringan secara langsung, skin graft, pemindahan jaringan lokal, pemindahan
jaringan regional, dan free tissue transfer. Reconstructive ladder berfungsi
sebagai panduan dalam terapi defek pada kulit, meski kadang teknik yang lebih
kompleks langsung digunakan bila diperlukan.

Pemindahan
jaringan bebas
Pemindahan
jaringan jauh
Pemindahan
jaringan lokal
Skin Graft

Penutupan luka
langsung
Penutupan luka
sekunder
Gambar 11. Skema anak tangga dalam penanganan defek kulit

28

Definisi

Jenis

Skin Graft
Skin Graft adalah tindakan memindahkan sebagian tebal kulit
dari satu tempat ke tempat lain, di mana jaringan tersebut
bergantung pada pertumbuhan pembuluh darah kapiler baru
dari jaringan penerima untuk menjamin kehidupannya. Bagian
kulit yang diangkat meliputi epidermis dan sebagian/seluruh
dermis, tergantung ketebalan kulit yang dibutuhkan.
1. Split Thickness Skin Graft (STSG), yaitu skin graft yang
terdiri atas epidermis dan sebagian dermis, dibagi lagi
menjadi:
! Thick : Epidermis + bagian lapisan dermis
! Medium : Epidermis + bagian lapisan dermis
! Thin: Epidermis + bagian lapisan dermis
2. Full Thickness Skin Graft (FTSG), yaitu skin graft yang
terdiri atas epidermis dan seluruh bagian tebal dermis
3. Composite graft, yaitu skin graft yang terdiri atas
epidermis, dermis, dan lemak subkutan

Indikasi

a. Pilihan tindakan setelah penutupan luka secara primer tidak


dapat dilakukan
b. Tak terdapat jaringan sekitar luka yang bisa dipakai
menutup luka (jumlah, kualitas, lokasi, dan penampakan).
c. Luka pasca pengangkatan tumor ganas yang tidak dapat
diyakini bebas tumor
d. Bila cara lainnya lebih merugikan dari sisi morbiditas, risiko,
hasil, atau komplikasinya
e. Faktor lain: status gizi, umur, comorbid condition, perokok,
kepatuhan, atau biaya (seandainya dengan cara lain lebih
mahal)

Split Thickness
Skin Graft

Keuntungan:
! Kemungkinan take lebih besar
! Dapat dipakai untuk menutup defek yang luas
! Donor dapat diambil dari daerah tubuh mana saja
! Daerah donor dapat sembuh sendiri/epitelisasi
Kerugian:
! Punya kecenderungan kontraksi lebih besar
! Punya kecenderungan terjadi perubahan warna
! Permukaan kulit mengkilat
! Secara estetik kurang baik

29

Full Thickness
Skin Graft

Keuntungan:
! Kecenderungan untuk terjadi kontraksi lebih kecil
! Kecenderungan untuk berubah warna lebih kecil
! Kecenderungan permukaan kulit mengkilat lebih kecil
! Secara estetik lebih baik dari split thickness skin graft
Kerugian:
! Kemungkinan take lebih kecil dibandingkan STSG
! Hanya dapat menutup defek yang tidak terlalu luas
! Donor harus dijahit atau sebagian ditutup oleh STSG bila
luka donor agak luas sehingga tidak dapat ditutup primer
! Donor terbatas pada tempat-tempat tertentu seperti
inguinal, supraklavikular, retroaurikular.

Asal Skin Graft

1. Autograft: Graft berasal dari individu yang sama


2. Homograft: berasal dari individu lain yang sama spesiesnya
3. Heterograft (xenograft): berasal dari mahluk lain yang
berbeda spesies

GS

Gambar 12. Lokasi pengambilan kulit graft

Syarat Take

a. Vaskularisasi resipien yang baik


b. Kontak yang akurat antara skin graft dengan resipien
c. Imobilisasi
d. Tidak ada perdarahan atau hematom
E. Tidak ada infeksi

30

Teknik STSG

a. Pengambilan: dapat menggunakan pisau/ skalpel (pisau


Hambey, pisau no.22 atau no.10), drum dermatome, air
driven dermatome, electricity driven dermatome
b. Penggunaan meshed graft: meningkatkan luas daerah yang
dicakup sementara meminimalkan luas jaringan yang
diambil, dapat dilakukan pada permukaan ireguler,
mengurangi kemungkinan hematom atau seroma, dapat
mengurangi ukuran luka akibat adanya kontraksi luka
sekunder, dan lebih baik secara estetika (lihat gambar 13)
c. Perawatan daerah donor: dapat digunakan occlusive
dressings, semiocclusive dressings, semiopen dressings,
atau open dressings, dengan masing-masing
konsekuensinya. Biasanya dibuka setelah 2-3 minggu
d. Perawatan daerah resipien: penutup yang tidak menempel,
cukup lembab, dan memberikan tekanan yang merata.
Penutup dibiarkan selama 5 hari pertama, sedangkan kasa
lemak (tulle) atau penutup yang tidak menempel bisa
dipertahankan lebih lama agar tidak menggeser graftnya.

Teknik FTSG

a. Persiapan luka: pembersihan, debridement, dan hemostasis


b. Pengambilan: jaringan lemak dipisahkan dari kulit agar
jaringan dapat bertahan melalui imbibisi di daerah resipien
c. Perawatan luka: di daerah donor ditutup secara primer, di
daerah resipien diberikan penutup dengan tekanan yang
merata. Biasa dibantu dengan jahitan pada graft ke
dasarnya atau memakai tie over untuk memfiksasi.
d. Tissue Expansion di daerah donor yang dilakukan sebelum
pengambilan dapat meningkatkan luas daerah donor dan
memungkinkan penutupan secara primer

GS

Gambar 13. Kiri: Pengambilan kulit untuk split thickness skin graft. Tengah:
Penggunaan mesh. Kanan: Pemasangan kulit pada resipien.

31

Definisi

Flap
Flap adalah segmen jaringan mobile sebagai hasil suatu
tindakan bedah, di mana jaringan tersebut tetap berhubungan
dengan suplai pembuluh darah asalnya melalui pedikel.
Sebagai basis sebuah flap, selain mengandung pembuluh
darah, pedikel juga dapat mengandung kulit, jaringan
subkutis, fasia, otot, dan saraf.
Definisi lainnya adalah Jaringan kulit dan subkutan yang
dipindahkan dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya
dengan satu sisinya dilepaskan dari landasan vaskuler, dan
dari sisi lain tetap melekat dengan landasan vaskulernya
dengan tujuan untuk memberi kehidupan flap tersebut.

Jenis Flap

Dibedakan berdasarkan:
1. Vaskularisasinya
- Random Skin Flap: tidak memiliki sumber pembuluh
darah tertentu yang dominan
- Axial Skin Flap: memiliki sumber pembuluh darah yang
dominan, jenisnya antara lain peninsular axial, island
axial, free flap
- Reverse-flow flaps: sumber pembuluh darah proksimal
dipotong, flap bertahan dengan sumber kehidupan dari
perdarahan dari distal
2. Cara berpindah
- Rotasi dengan Pivot Point: Rotasi, Transposisi, Interpolasi
- Advancement Flap: Single pedicle, V-Y advancement, Y-V
advancement, Bipedicle advancement
- Tak langsung: Kulit ditempel ke pergelangan tangan, 3
minggu kemudian dilepas kemudian ditempel ke tempat
baru, dengan tangan sebagai pembawa/ perantara
kehidupan flap
3. Jarak dari defek
- Lokal, terdiri atas
! Flap yang bertumpu di satu titik: flap rotasi,
transposisi, interpolasi
! Flap advancement: single-pedicle, V-Y, Y-V, bipedicle
- Flap Regional
- Flap jauh (distant skin flaps)
- Free flap
4. Jaringan yang dimiliki
- Cutaneous
- Fasciocutaneous

32

- Musculocutaneous
- Osteocutaneous
- Osteomusculocutaneous
- Omentum

Flap Kulit

Indikasi:
1. Rekonstruksi defek lokal dengan jaringan yang serupa
tampilannya
2. Menutup jaringan yang relatif kurang vaskular, misalnya
tulang tanpa periosteum
Jenis cutaneous flap:
1. Random-pattern flap
2. Axial-pattern flap
3. Advancement flap: single-pedicle, bipedicle, V-Y
advancement flap
4. Rotation flap: basic (unilobe), bilobed flap
5. Transposition flap: Z-plasty, Limberg (rhomboid),
Dufourmentel, interpolasi

Flap Fasciocutaneous

Flap Musculocutaneous

Flap yang meliputi fascia-dalam sehingga mengikutkan


pembuluh darah dalam fascia yang memperdarahi kulit flap.
Dapat disertakan juga saraf kutan, sehingga bagian kulit
dapat merasakan sensasi raba. Dapat digunakan pada flap
lokal, regional, atau free flap
Indikasi:
1. Diperlukan massa yang besar
2. Menghilangkan ruang rugi dan infeksi
3. Mengembalikan fungsi motorik
Keuntungan:
1. Massa yang cukup besar untuk menutupi defek
2. Dapat menyesuaikan dengan luka tidak beraturan.
3. Vaskularisasi baik
4. Dapat mengikutkan tulang pada transfer
5. Dapat mentransfer saraf motorik dan saraf sensorik
Kerugian:
Mengorbankan sebagian atau seluruh fungsi otot tersebut.

33

GS

GS

GS

Gambar 14. Flap Muskulokutaneus. Atas: Defek inguinal kanan pasca


eksisi keganasan. Akan ditutup dengan flap kulit dengan perdarahan dari
perforator arteri epigastrika inferior profunda (DIEP). Tengah: pengambilan
flap DIEP. Perhatikan pedikel yang berisi pembuluh darah di sisi kiri pada
gambar. Bawah: Bekas luka donor ditutup langsung dan defek telah ditutup
flap.

34

Definisi

Bedah Mikro
Bedah mikro adalah pemindahan jaringan beserta pembuluh
darah yang menghidupinya kemudian disambungkan dengan
pembuluh darah resipien, menggunakan mikroskop operasi
atau kaca pembesar/ lup.
Teknik ini tidak tergantung pada jarak donor ke resipien,
tetapi yang dipertimbangkan adalah:
a. Kebutuhan pada defek
b. Tebal tipisnya flap dan kualitasnya
c. Besarnya pembuluh darah donor
d. Pembuluh darah resipien yang akan dipergunakan
e. Tidak perlu operasi dengan tahapan
Walaupun jenis operasi ini seolah tidak mengenal batas jarak
donor ke resipien, faktor lamanya operasi, mahalnya
mikroskop dan instrumen mikro, hasil operasi yang ekstrem
flap bisa hidup baik di tempat baru tapi bisa juga gagal total
dengan kematian flap menyebabkan ahli bedah plastik harus
mempertimbangkan dari awal cocok tidaknya jerih payah di
atas dengan hasil akhirnya.

Instrumen

A. Pembesaran
1. Mikroskop: pembesaran 6-40x
2. Lup: pembesaran 2,5-3,5x
B. Instrumen Bedah Mikro: biasanya kecil dan halus,
terpisah dari instrument biasa dengan perawatan khusus
agar tidak cepat rusak
C. Benang Jahit: biasa digunakan benang yang tidak diserap
dengan ukuran sangat kecil sehingga dapat digunakan
untuk menjahit rambut kepala sekalipun.
1. Terbuat dari Nilon atau polipropilen monofilamen
2. Ukuran 8-0: pembuluh darah dan saraf lengan atau
pergelangan
3. Ukuran 9-0 atau 10-0: pembuluh darah atau saraf jari
4. Ukuran 11-0: pembuluh darah jari distal dan pada anak
D. Obat-obatan dan larutan
1. NaCl atau ringer laktat ditambah heparin 100 U/mL,
dijaga hangat, untuk irigasi tepi pembuluh darah agar
tidak terjadi trombosis
2. Lidocaine 2% untuk mengurangi vasospasme
3. Papaverin untuk melawan efek vasospasme, di mana
papaverin bila bertemu heparin akan mengendap

35

Persiapan
Bedah Mikro

A. Persiapan Operator
1. Jangan stres; pekerjaan lain diwakilkan, dan sebagainya
2. Jangan melakukan olahraga terutama olahraga berat 2-3
hari sebelum operasi
3. Buat skenario operasi detail per jam
4. Ergonomi harus baik: tangan dan kaki ditopang dengan
baik, badan lurus, sesuaikan meja dan mikroskop, hal ini
penting untuk kerja berjam-jam
B. Persiapan Pembuluh Darah
1. Potong pembuluh darah secukupnya untuk mengurangi
tegangan anastomosis, akan tetapi jangan berlebihan
karena dapat menyebabkan vasospasme
2. Buang lapisan periadventisia pada ujung pembuluh
darah
3. Periksa kecukupan aliran dengan cara melepaskan klem
sesaat
4. Periksa lumen akan adanya debris atau kerusakan
intima, kemudian semprot dengan larutan NaCl atau RL
5. Dilatasi pembuluh darah hanya menggunakan dilator
pembuluh darah

Teknik
Anastomosis
Mikrovaskular

A. Umum
1. Jarum harus memasuki pembuluh darah pada sudut
yang sesuai pada tepi luka, dengan jarak sedikit lebih
dari ketebalan dinding pembuluh darah
2. Endotel tidak boleh terkena instrumen tajam, hanya
boleh dikenai oleh dilator pembuluh darah
3. Jarum harus menembus seluruh ketebalan dinding
pembuluh darah
4. Gunakan tiga ikatan untuk setiap simpul
5. Selalu visualisasi lumen dengan cara menyemprot
menggunakan larutan NaCl atau RL
6. Setelah selesai, lepaskan klem distal terlebih dahulu
untuk melihat aliran balik, setelah diperbaiki, klem
proksimal dapat dibuka
7. Bila tidak ada kebocoran yang besar, biarkan pembuluh
darah yang teranastomosis selama 10 menit dengan
dilembabkan menggunakan spons basah, setelah itu
dapat diperiksa patensinya

36

B. Anastomosis tepi ke tepi


1. Teknik setengah-setengah (halving technique)
a. Umum digunakan
b. Dua jahitan kunci ditempatkan dengan jarak 160-180o,
pembuluh darah disambung setengah bagian atas,
kemudian dibalik dan setengah bagian lainnya
disambung
2. Teknik segitiga (triangulation technique)
a. Tiga jahitan kunci ditempatkan pada jarak masingo
masing 120
b. Retraksi jahitan sisi posterior dan sisi belakang dengan
bantuan asisten dapat mencegah terjadinya backwalling
3. Teknik bawah ke atas (back wall up technique)
a. Bermanfaat pada daerah sempit atau lubang yang dalam
di mana pembuluh darah tidak dapat dibalik
b. Jahitan pertama ditempatkan pada dinding bawah,
kemudian jahitan berikutnya berurutan ke arah atas
C. Anastomosis tepi ke sisi
1. Mempertahankan aliran darah dari pembuluh darah resipien
ke jaringan
2. Memungkinkan anastomosis pembuluh darah berbeda
ukuran

GS

Gambar 15. Anastomosis tepi ke tepi

37

GS

Gambar 16. Anastomosis tepi ke sisi

38

Lesi Kulit

39

10

Neurofibroma

Definisi

Neurofibroma adalah tumor saraf perifer jinak, tumbuh lambat


sejak usia muda, berasal dari sel schwann dan proliferasi
fibroblas perineural pada saraf perifer. Neurofibroma
merupakan tumor saraf tersering. Neurofibroma dengan lesi
multipel dapat terjadi pada neurofibromatosis von
Recklinghausen.

Etiologi

Belum jelas, pada sindrom kongenital yang langka terdapat


kenaikan insiden.

Patogenesis

Lokasi

Bentuk tunggal belum diketahui, sedangkan bentuk multipel


diwariskan.

! Di beberapa bagian submukosa atau subkutan; dapat juga


timbul di tulang

! Di badan dan ekstremitas

Gejala klinis

Nodul submukosa satu atau banyak yang tertutup oleh


mukosa atau kulit normal. Tumbuh lambat, kadang terasa
nyeri atau terasa seperti terkena sengatan listrik. Biasanya
tidak menimbulkan gangguan neurologis. Kadang-kadang
tertutup bercak kulit 'Cafe-au-lait'. Lesi ini dapat muncul pada
usia berapapun, biasanya timbul antara usia 20-30 tahun.

GS

GS

Gambar 17. Kiri: Neurofibroma bentuk nodul. Kanan: Bentuk pleksiform.

41

Pemeriksaan
tambahan

! Penilaian Radiografi: Tidak tampak; pada sentral tulang


dapat terlihat radiolusen namun jarang

! Penilaian Mikroskop: Tidak berkapsul, penampakan sel


fibrosa seperti saraf.

Terapi

! Bedah eksisi untuk lesi tunggal; sedangkan pada lesi


multipel atau pleksiform dilakukan eksisi paliatif, karena
kita tidak mampu mengenali batas saraf yang terlibat.

! Bila neurofibroma tidak mengenai serabut saraf besar, saraf


yang mengandung tumor biasanya dioperasi. Bila serabut
saraf besar terkena, biasanya tumor dipisahkan dari saraf
kemudian diangkat, atau dibiarkan bila tidak bergejala.

Komplikasi

Prognosis

Dapat berulang; bentuk multipel dapat berbentuk kurang


bagus, menggelayut (menarik ke bawah) palpebra, hidung,
mulut dan sebagainya dan berdegenerasi menjadi ganas.
Lesi tunggal baik, sedangkan lesi multipel kurang baik.

GS

Gambar 18. Kiri: Nodul multipel difus. Kanan: Bercak caf au lait.

42

GS

11

Nevus

Definisi

Nevus adalah tumor yang paling sering dijumpai pada


manusia, merupakan tumor yang berasal dari sel-sel
melanosit. Nevus umumnya muncul saat lahir atau segera
setelah lahir, terbanyak pada dewasa muda, dan menurun
pada orang tua.

Jenis

1. Junctional nevi: sel-sel nevus terdapat di antara lapisan


epidermis dan dermis
2. Intradermal nevi: sel-sel nevus terdapat di lapisan dermis
3. Compound nevi: sel-sel nevus terdapat di antara lapisan
epidermis dan dermis dan di lapisan dermis

Perjalanan
penyakit

Sel-sel nevus yang terletak antara dermis dan epidermis dapat


berubah menjadi melanoma maligna, meski jarang. Tandatanda yang mengarahkan kecurigaan tersebut:
1. Ulserasi dan perdarahan spontan
2. Membesar dan warna lebih gelap
3. Pigmen menyebar dari lesi ke kulit sekitarnya
4. Lesi satelit berpigmen
5. Inflamasi tanpa didahului trauma
6. Nyeri dan gatal

Terapi

! Nevus umumnya tidak memerlukan terapi kecuali bila


pasien menginginkan nevus diangkat atau dokter
mencurigai metaplasi ke arah keganasan. Terapi yang
dipilih adalah eksisi sederhana

! Nevus yang dicurigai ganas harus dibiopsi dan sekalian


diangkat/ dioperasi

Gambar 19. Kiri: Nevis pra operasi. Kanan: pasca operasi.

43

12
Definisi

Lipoma
Lipoma adalah tumor jinak jaringan lemak yang dikelilingi
kapsul fibrosa tipis. Sering dijumpai di daerah kepala, leher,
bahu, dan punggung.

Epidemiologi

Lipoma dapat muncul pada segala usia akan tetapi sering


dijumpai pada usia 40-60 tahun. Dapat juga dijumpai lipoma
kongenital. Lipoma soliter ditemukan dengan perbandingan
sama pada laki-laki dan perempuan. Lipoma multipel lebih
sering ditemukan pada laki-laki.

Etiologi

Penyebab lipoma belum pasti, akan tetapi kecenderungan


mendapat lipoma dapat diturunkan. Beberapa jenis lipoma
dapat terjadi akibat trauma tumpul. Orang yang gemuk tidak
meningkatkan kemungkinan terjadi lipoma.

Klasifikasi

Terdapat beberapa variasi lipoma, yaitu angiolipoma, lipoma


neomorfik, dan adenolipoma.

Diagnosis

! Lipoma tumbuh lambat dan hampir selalu jinak. Biasanya


tampak sebagai benjolan yang bulat, tidak nyeri, dan dapat
digerakkan. Pada perabaan terasa lunak dan terdapat
pseudofluktuasi. Kadang lipoma dapat dihubungkan dengan
beberapa sindrom misalnya lipomatosis herediter multipel,
adiposis dolorosa, dan sindrom Madelung.
! Lipoma dapat juga ditemukan pada jaringan yang lebih
dalam, misalnya septum intermuskular, organ abdomen,
rongga mulut, kanal auditori interna, sudut serebelopontin,
dan rongga dada.
! Secara mikroskopis, lipoma terdiri atas sel-sel lemak matur
yang tersusun dalam lobus-lobus, dan banyak di antaranya
dikelilingi kapsul fibrosa. Kadang lipoma yang tidak
berkapsul dapat menginfiltrasi otot, yang disebut lipoma
berinfiltrasi.
! Lipoma dapat dibedakan dengan keganasan liposarkoma
meski penampakannya mirip, di antaranya nyeri, tumbuh
cepat, dan terfiksasi. Bila terdapat keraguan dapat
dilakukan biopsi jarum halus atau CT scan.

Tatalaksana

! Pada umumnya lipoma tidak memerlukan tindakan apapun,


kecuali bila lipoma membesar dan nyeri. Pilihan terapi yang
dapat dilakukan adalah bedah maupun non bedah
! Tindakan bedah dengan melakukan eksisi atau enukleasi

44

C. Persiapan bedah
1. Gambar batas lipoma dan rencana eksisi pada permukaan
kulit
2. Bersihkan kulit dengan povidone iodine atau klorheksidin,
kemudian dipasang duk steril
3. Anestesi lokal menggunakan lidokain 2% dengan epinefrin,
dilakukan dengan field block, dengan cara menginfiltrasi
subkutan di sekeliling daerah operasi

GS

Gambar 20. Persiapan eksisi lipoma

! Enukleasi

Lipoma ukuran kecil dapat diangkat dengan cara enukleasi.


Insisi dilakukan sepanjang 3-4 mm di atas benjolan.
Kemudian lipoma dibebaskan dari jaringan sekitarnya
menggunakan kuret. Setelah bebas, tumor dikeluarkan
melalui celah insisi menggunakan kuret. Jahitan biasanya
tidak diperlukan, akan tetapi digunakan balut bertekanan
untuk mencegah terjadinya hematoma.
! Eksisi

Lipoma yang lebih besar diangkat dengan eksisi.


Prosedurnya sebagai berikut:
1. Insisi dilakukan pada kulit di atas benjolan dengan
bentuk elips mengikuti garis tegangan kulit, dengan
ukuran lebih kecil dari benjolan di bawahnya
2. Kulit bagian tengah yang akan dieksisi dipegang dengan
hemostat atau klem Allis untuk memberikan traksi agar
tumor dapat diangkat

45

Kulit yang akan dieksisi


dipegang dengan hemostat atau
klem Allis, Pemotongan
dilakukan menggunakan skalpel
no 15 atau gunting

Setelah lipoma dilepaskan dari


jaringan sekitar, lipoma
dikeluarkan secara utuh, dan
dilakukan hemostasis

Ruang di bawah kulit ditutup


dengan jahitan satu-satu
terbenam menggunakan Vicryl
3-0 atau 4-0 untuk menghindari
dead space

Gambar 21. Langkah-langkah eksisi lipoma


3. Pemotongan dilakukan di luar lemak subkutan tumor
menggunakan skalpel no 15 atau gunting, dengan
menghindari saraf atau pembuluh darah yang mungkin
terdapat di sekeliling tumor
4. Setelah lipoma dilepaskan dari jaringan sekitar, klem
hemostat dapat dipindahkan ke tumor untuk membantu
memegang tumor
5. Lipoma dikeluarkan secara utuh, dan dipastikan tidak
ada jaringan yang tertinggal
6. Dilakukan hemostasis terhadap perdarahan yang
mungkin terjadi
7. Ruang di bawah kulit ditutup dengan jahitan satu-satu
menggunakan benang diserap 2-5 bulan
8. Kulit kemudian ditutup dengan jahitan satu-satu
menggunakan benang tidak diserap
9. Digunakan balut bertekanan untuk mencegah terjadinya
hematoma
10.Luka diperiksa setelah 2-7 hari
11.Benang dapat diangkat setelah 7 hari, bergantung pada
lokasi di tubuh
12.Lipoma yang dikeluarkan diperiksa secara histopatologis

Komplikasi

46

Komplikasi pengangkatan lipoma jarang terjadi, di antaranya


infeksi, terbentuk hematoma, cedera saraf atau pembuluh
darah sekitar, deformitas, parut bekas operasi, cedera atau
iritasi otot, emboli lemak, periostitis atau osteomielitis, atau
kekambuhan.

13
Definisi
Epidemiologi
Etiologi

Fibroma
Fibroma adalah pertumbuhan reaktif fibroblas pada kulit.
Muncul saat dewasa
Pada banyak kasus dilaporkan adanya riwayat gigitan
serangga atau tumbuhnya rambut sebelum muncul gejala.
Oleh karena itu dermatofibroma oleh sebagian ahli dianggap
sebagai reaksi inflamasi, sementara sebagian lainnya
menganggapnya sebagai neoplasma.

Klasifikasi

Terdapat variasi histologis yaitu sel bening, sel granular,


xanthomatous, berosifikasi, dan berpalisade.

Diagnosis

A. Umumnya dermatofibroma dapat didiagnosis secara klinis.


Dermatofibroma berupa nodul soliter atau multipel yang
keras, tidak nyeri. Biasanya di ekstremitas. Ukuran kurang
dari 5 mm. Warna merah atau merah coklat, dapat juga
biru kehitaman karena deposisi hemosiderin. Dimple sign
positif, yaitu bila kulit sekitar lesi dicubit maka benjolan
akan melekuk ke dalam.
B. Pada pemeriksaan histologi, tampak proliferasi fibroblas
dan miofibroblas. Pada tepi lesi terdapat lapisan tebal
kolagen berhialin. Epidermis di atasnya mengalami
hiperpigmentasi.
C. Diagnosis diferensial
Lesi jinak: kista, parut hipertrofik, neurilemmoma (atau
schwannoma), neurofibroma, Piloleiomioma, tofus, eritema
elevatum diutinum
Lesi ganas: karsinoma sel basal, dermatofibrosarkoma
protuberans, giant cell tumor pada kulit, melanoma nodular,
karsinoma saluran keringat bersklerosis

Tatalaksana

Penatalaksanaan dermatofibroma dilakukan dengan eksisi


untuk mengangkat seluruh benjolan pada kulit. Insisi
dilakukan berbentuk elips dengan sumbu panjangnya paralel
terhadap garis kulit bertegangan rendah (relaxed skin tension
line). Penutupan dilakukan 2 lapis dengan jahitan satu-satu.

47

14
Definisi

Epidemiologi
Etiologi

Diagnosis

Kista Ateroma
Bentukan yang kurang lebih bulat dan berdinding tipis yang
terbentuk dari kelenjar sebasea, terbentuk akibat sumbatan
pada muara kelenjar sebasea. Kista aterom disebut juga kista
sebasea.
Kista ateroma banyak ditemukan di Indonesia. Jumlah
insidennya tidak diketahui pasti.
Sumbatan pada muara kelenjar sebasea, dapat disebabkan
oleh infeksi atau trauma
A. Banyak dijumpai di daerah yang banyak mengandung
kelenjar sebasea, misalnya di muka, kepala atau punggung.
Kadang disertai bau asam.
B. Bentuk bulat, berbatas tegas, berdinding tipis, bebas dari
dasar, melekat pada dermis di atasnya. Daerah muara yang
tersumbat terdapat puncta. Isi bubur eksudat warna putih
abu-abu, berbau asam.

Manajemen

A. Penatalaksanaan kista ateroma dilakukan dengan eksisi


menyertakan kulit dan puncta untuk mengangkat seluruh
bagian kista hingga ke dindingnya secara utuh. Bila dinding
kista tertinggal saat eksisi, kista dapat kambuh, oleh
karena itu harus dipastikan seluruh dinding kista telah
terangkat.
Bila terjadi infeksi sekunder dan terbentuk abses, dilakukan
insisi, evakuasi, dan drainase. Setelah tenang misalnya 3-6
bulan, dapat dilakukan operasi definitif..

GS

Gambar 22. Gambaran histologis kista aterom

48

Gambar 23.

GS

49

15

Karsinoma
Sel Basal

Definisi

Karsinoma sel basal (KSB) adalah tumor ganas lokal yang


destruktif, biasanya tidak bermetastasis. Merupakan salah
satu tumor kulit ganas terbanyak.

Etiologi

1. Predisposisi genetik yaitu sedikitnya pigmen pada kulit:


orang dengan pigmen kulit sedikit dan lebih banyak
terpapar radiasi ultra violet sehingga lebih mudah terkena
KSB.
2. Kulit yang terpapar radiasi ultra violet
3. Zat arsenik
4. Pengobatan lama imunosupresi dapat menambah risiko KSB
KSB juga dihubungkan juga dengan xeroderma pigmentosa
dan sindrom sel basal nevus

Epidemiologi

Tipe Karsinoma
Sel Basal

Di Jerman terdapat 100 kasus baru setiap 100.000 penduduk


per tahun. Rata-rata usia sekitar 60 tahun. Laki dan
perempuan mendapat kemungkinan terkena yang sama.
Sebanyak 80% kasus terpapar di daerah kepala dan leher.
Bisa menyebabkan kematian, terutama bila terdapat di daerah
vital.
- Karsinoma sel basal nodular
- Karsinoma sel basal penyebaran superfisial
- Karsinoma sel basal morfeaform
- Karsinoma sel basal berpigmen
- Karsinoma sel basal tipe adneksa

Manifestasi
Klinis

Biasanya, pertumbuhan tumor dimulai tanpa stadium pre


kanker dan jarang diperhatikan. KSB mula-mula tumbuh
sebagai nodus kecil, dengan teleangektasi karakteristik. Pada
pertumbuhan lebih lanjut terjadi ulserasi sentral (ulkus
rodens), sedang pinggirnya yang menonjol kecil atau tampak
tidak ada adalah khas untuk stadium ini. Tidak jarang KSB ini
bermula pada parut dan nevus sebacei.
Tipikal KSB, timbul, tampak jelas, lesi berwarna kuning
kemerahan dengan batas seperti pucat. Pertumbuhannya
lambat, jarang bermetastasis. Bisa saja berpigmen melanin
(KSB dengan pigmentasi), multifokal atau sklerotik/morfoik.
Timbul di usia pertengahan hingga tua. Biasanya di area
kepala dan leher. Pemeriksaan meliputi: ukuran tumor
(diameter horisontal), lokalisasi, tipe basalioma, penyebaran
ke jaringan lebih dalam (diameter vertikal), batas keamanan
terapi eksisi (biasanya 5 mm pada jaringan sehat).

50

Manajemen

Tindakan pembedahan eksisi, dapat ditambahkan radioterapi.

Prognosis

KSB pada kulit berkembang dalam beberapa bulan atau tahun


dan menjadi ulkus rodens yang dapat merusak struktur
jaringan lebih dalam. Insiden metastasis diperkirakan kurang
dari 1:1000.

GS

GS

Gambar 24. Kiri: Karsinoma sel basal pada puncak hidung pra operasi. Kanan:
Pasca operasi.

51

16

Karsinoma
Sel Skuamosa

Definisi

Keganasan yang berasal dari lapisan sel skuamosa berkeratin


pada permukaan kulit

Epidemiologi

Keganasan kulit terbanyak kedua setelah karsinoma sel basal

Faktor Risiko

1. Radiasi UV
2. Pajanan zat kimia: beberapa pestisida, hidrokarbon organik
misalnya tar, bahan bakar minyak, parafin, arsen
3. Infeksi virus: infeksi human papilloma virus (HPV), herpes
simpleks
4. Radiasi
5. Ulkus Marjolin: terjadi pada luka kronik, di mana perubahan
genetik terjadi karena inflamasi kronik
6. Gangguan imunitas: imunosupresan, AIDS
7. Genetik: kulit putih, albino, xeroderma pigmentosum

Patofisiologi

Klasifikasi

Penyebab utama karsinoma sel skuamosa adalah radiasi


matahari. Karsinoma sel skuamosa umumnya muncul di
daerah yang terpajan sinar matahari. Inflamasi dan indurasi
yang terjadi menandai perubahan lesi prekanker menjadi
karsinoma sel skuamosa.
Tipe karsinoma sel skuamosa
1. Verukosa: tumbuh lambat, eksofitik, jarang bermetastasis
2. Ulseratif: tumbuh cepat, invasif lokal

Diagnosis

Lesi prekursor
1. Keratosis aktinik (4% menjadi karsinoma sel skuamosa)
2. Penyakit Bowen
3. Leukoplakia (15% menjadi keganasan)
4. Keratoakantoma
Ulserasi kecil pada kulit dan lesi lain yang dicurigai sebagai
kanker terlebih dahulu dirawat dengan menggunakan
antibiotik topikal dan penutup luka secara terus menerus. Bila
dalam 2-3 minggu lesi kulit tidak membaik, maka lesi tersebut
dianggap keganasan hingga terbukti sebaliknya.

Manajemen

Teknik yang digunakan


1. Eksisi dengan tepi yang sehat sejauh 20 mm

52

2. Pembedahan Mohs: eksisi horizontal berturutan, dilakukan


pada karsinoma sel skuamosa risiko tinggi
3. Terapi ajuvan radioterapi dilakukan pada karsinoma sel
skuamosa dengan faktor risiko tinggi

Prognosis

Sebanyak 5-10% karsinoma sel skuamosa bermetastasis.


Karsinoma sel skuamosa yang terjadi dari ulkus Marjolin atau
xeroderma pigmentosum memiliki kemungkinan metastasis
lebih tinggi.

53

17
Definisi

Melanoma
Melanoma adalah keganasan pada sel-sel melanosit yang
terdapat pada kulit dan organ tubuh lainnya. Biasanya lesi
primer terdapat di kulit.

Epidemiologi

Melanoma merupakan keganasan terbanyak ke-8 di AS,


dengan pertambahan setidaknya 40000 kasus baru setiap
tahunnya. Risiko terkena melanoma selama hidup mencapai
0,5%. Di Indonesia jarang dijumpai.

Faktor Risiko

A. Demografik: kulit putih, mata dan rambut berwarna muda,


tinggal di ketinggian dan letak lintang lebih tinggi, laki-laki,
status sosioekonomi lebih tinggi, dan riwayat paparan
radiasi ultraiolet
B. Genetik: riwayat melanoma pada keluarga dekat, sindrom
nevus diaplastik, xeroderma pigmentosum

Patofisiologi

A. Melanoma disebabkan oleh berbagai proses yang


menyebabkan transformasi melanosit menjadi ganas.
Paparan sinar matahari pada orang dengan predisposisi
genetik dapat menyebabkan proses keganasan tersebut.
Riwayat melanoma sebelumnya memberi kemungkinan
terjadinya melanoma kedua sebanyak 3-5%
B. Lesi prekursor yang berisiko menjadi melanoma: nevus
kongenital (5-20%), nevus melanositik akuisita (semakin
banyak semakin berisiko), nevus displastik/ atipikal,
hiperplasia atipik melanosit junctional, nevus Spitz

Klasifikasi

A. Tipe melanoma yang utama:


1. Melanoma permukaan (superficial spreading melanoma)
2. Melanoma nodular (nodular melanoma)
3. Melanoma maligna lentigo (lentigo malignant melanoma)
4. Melanoma lentigo akral (acral lentiginous melanoma)
B. Melanoma lainnya:
1. Melanoma mukosa
2. Melanoma okular
3. Melanoma dengan primer tak diketahui
C. Staging dan faktor prognostik
1. Faktor prognostik: ketebalan (kedalaman), nodus/ intransit metastases (paling bermakna), lokasi anatomi (di
ekstremitas lebih baik daripada di badan), dan jenis
kelamin (perempuan lebih baik dari laki-laki)
2. Terdapat sistem staging TNM dari American Joint
Committee on Cancer (AJCC)

54

Tabel 1. Sistem staging Melanoma dari AJCC tahun 2002

Tis

Melanoma in situ

T1

< 1,0 mm

T2

1,01-2,0 mm

T3

2,01-4,0 mm

T4

> 4,0 mm

N0
N1

Negatif
1 nodus

N2

N3

M0
M1a
M1b
M1c

a:
b:
a:
b:
a:
b:
a:
b:
a:
b:

tanpa ulserasi dan Clark level II/III


dengan ulserasi dan Clark level IV/V
tanpa ulserasi
dengan ulserasi
tanpa ulserasi
dengan ulserasi
tanpa ulserasi
dengan ulserasi
tanpa ulserasi
dengan ulserasi

A: mikrometastasis
b: makrometastasis
2-3 nodus
a: mikrometastasis
b: makrometastasis
c: in-transit metastasis/ satelit tanpa nodus
4 atau lebih, atau
metastasis
in-transit/ satelit
metastasis
dengan nodus
metastasis
Tidak ada metastasis jauh
Metastasis kulit, subkutan, atau
nodus
Metastasis paru
Metastasis viseral lainnya

Stage 0
Stage IA
IB
Stage IIA
IIB
IIC
Stage IIIA
IIIB
IIIC
Stage IV

Laktat Dehidrogenase Serum


Normal
Normal
Normal
Meningkat

Tis N0 M0
T1a N0 M0
T1b N0 M0, T2a N0 M0
T2b N0 M0, T3a N0 M0
T3b N0 M0, T4a N0 M0
T4b N0 M0
T1-4a N1a M0, T1-4a N2a M0
T4b N1a M0, T1-4b N2a M0, T1-4a N1b M0,
T1-4a N2b M0, T1-4a/b N2c M0
T1-4b N1b M0, T1-4b N2b M0, setiap T N3 M0
setiap T setiap N M1a, setiap T setiap N M1b,
setiap T setiap N M1c

55

Diagnosis

A. Tampilan klinis utama yaitu:


1. Asimetri (asymmetry)
2. Batas ireguler (border irregularity)
3. Perubahan warna (color variation)
4. Diameter lebih dari 6 mm
Diagnosis pada melanoma primer dilakukan dengan
melakukan analisis histopatologi pada spesimen biopsi
seluruh ketebalan

Manajemen

A. Penatalaksanaan definitif
1. Eksisi lokal luas (wide local excision) sebagai terapi
pilihan
2. Jarak tepi kulit saat pembedahan disesuaikan dengan
ketebalan melanoma
B. Penatalaksanaan nodus limfatik
1. Pembedahan elektif (elective lymph node dissection/
ELND)
2. Biopsi sentinel (sentinel lymph node biopsy/ SLNB)
C. Tindak lanjut pasca operasi
1. Pasien tanpa keluhan diperiksa setiap 3-4 bulan selama
2 tahun pertama, setiap 6 bulan pada 3 tahun berikut,
dan berikutnya setiap 1 tahun
2. Foto radiologi toraks dan tes fungsi hati (LDH dan alkali
fosfatase)
3. Rekurensi lokal dapat muncul dalam jarak 5 cm dari lesi
utama dalam 3-5 tahun pertama, biasanya di kulit,
subkutan, atau nodus limfatik jauh
4. Dapat ditambahkan kemoterapi atau imunoterapi

Komplikasi

56

Pada melanoma diseminata dapat terjadi gagal napas dan


komplikasi pada sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan
kematian.

18

Hemangioma

Definisi

Suatu tumor pembuluh darah dengan ciri proliferasi endotel


yang meningkat pesat pada waktu bayi (1 tahun pertama),
dan dapat mengalami involusi secara perlahan pada masa
kanak-kanak melalui proses kematian sel secara progresif atau
terjadinya fibrosis (sampai usia 6-7 tahun).

Epidemiologi

Insiden hemangioma di AS (bersama dengan malformasi


vaskular) terjadi 0,54 setiap 1000 kelahiran. Insiden pada bayi
kulit putih 10-12%, sedangkan pada bayi prematur dengan
berat badan <1000gram insidennya sebanyak 22%.
Hemangioma lebih banyak terjadi pada anak perempuan
dengan perbandingan 2-5:1.

Patogenesis

Hemangioma merupakan suatu tipe angiogenesis murni, yaitu


meningkatnya faktor angiogenesis dan berkurangnya faktor
supresi sel-sel. Hemangioma yang berproliferasi terdiri atas
kumpulan sel-sel endotel yang membelah dengan cepat. Saat
mengalami involusi, aktivitas endotel berkurang, dan selselnya menjadi lebih rata dan matur. Bekas hemangioma yang
telah involusi berupa kulit yang agak tipis, pigmen bisa
berkurang, atau ada bagian yang sedikit lebih gelap, dengan
permukaan tidak terlalu rata.

Klasifikasi
Mulliken

A. Hemangioma, menunjukkan proliferasi endotel yang


meningkat. Tumbuh sangat cepat pada tahun pertama,
melambat pada masa kanak-kanak dan mengalami involusi
sampai usia 6-7 tahun.
B. Malformasi vaskular, terdiri atas pembuluh displastik tapi
siklus endotelnya normal. Biasanya tidak selalu tampak
saat lahir. Malformasi Vaskular tidak pernah mengalami
regresi dan sering meluas/mengembang, dan tumbuh
proporsional dengan kecepatan tumbuh pasiennya.

GS

GS

Gambar 25. Kiri: Hemangioma leher kanan dengan kerusakan permukaan/aberasi


pre operasi. Kanan: Pasca operasi dengan flap transposisi.

57

Perjalanan
Penyakit

A. Hemangioma biasanya ditemukan pada 2 minggu pertama


masa neonatal, tapi pada hemangioma subkutan atau
viseral baru muncul pada usia 2 hingga 3 bulan. Saat
kelahiran hemangioma dapat tampak sebagai bintik pucat,
bercak merah, atau daerah kemerahan yang menyerupai
memar. Sebanyak 70% saat lahir sudah ada titik
kemerahan, 56% terdapat di muka.
B. Fase proliferatif: Hemangioma tumbuh cepat pada 6-8
bulan pertama. Kulit menjadi menonjol dan berwarna
merah muda terang. Bila letaknya lebih dalam maka kulit
hanya sedikit menonjol dan berwarna kebiruan.
C. Fase involusi: Warna kulit berubah menjadi keunguan, dan
tumor menjadi melunak. Involusi terjadi pada 50% anak
usia 5 tahun dan 70% anak usia 7 tahun. Pada 50% anak
kulit akan kembali seperti semula. Sisanya dapat
meninggalkan kemerahan, keriput, daerah kekuningan yang
hipoplastik, parut (bila terjadi ulserasi), atau sisa fibrosis
jaringan lemak.

Masalah

A. Bintik kecil seperti jarum pentul kemerahan di kulit muka


biasa diabaikan orang tua pasien. Tiba-tiba membesar
cepat dan keluarga pasien tersebut menjadi stres.
B. Bila tumor membesar (dan kita tidak pernah tahu seberapa
luas pembesarannya), dapat merugikan karena jaringan
normal lebih banyak yang rusak dan teregang, misal
palpebra.
C. Kecemasan orang tua, perdarahan, tidak adanya involusi
bila menyangkut mukosa atau berada sekitar mulut dan
mata sehingga menutupi lapang pandangan dan sering
menyebabkan kebutaan karena mata tidak kena sinar.
D. Dokter pertama yang menemukan hamangioma pada
pasiennya, kurang mempertimbangkan keuntungan dieksisi
(operatif)

GS

GS

Gambar 26. Kiri: Hemangioma pada columella, sulit dieksisi dan rekonstruksi pra
operasi. Kanan: involusi pasca injeksi steroid intra lesional.

58

Diagnosis

Manajemen

Hemangioma umumnya dapat didiagnosis dengan anamnesis


dan pemeriksaan fisik yang baik. Pada hemangioma dalam,
diperlukan CT scan dan MRI untuk lebih memastikan apakah
melibatkan struktur lebih dalam.
Meski umumnya mengalami involusi spontan, tindakan
operatif dilakukan segera dan secara agresif pada keadaan
sebagai berikut:
1. Obstruksi jalan napas
2. Gagal jantung
3. Ulserasi dan perdarahan yang tidak terkendali
4. Infeksi berulang yang sulit dikendalikan
5. Trombositopenia
6. Obstruksi struktur vital, misalnya mata atau kanalis
auditorius
7. Obstruksi aksis visual
8. Gangguan pertumbuhan tulang
9. Lesi kecil (sehingga mudah diangkat tanpa risiko kosmetik
maupun fungsional)
10.

Nyeri

GS

GS

GS

GS

Gambar 27. Kiri atas: Hemangioma di pelipis kiri, pasien usia 2 bulan, pra
operasi Kanan atas: Pasca operasi eksisi dan tutup primer. Kiri bawah:
Hemangioma lidah, pasien usia 2 bulan,pra operasi. Kanan bawah: operasi
mencegah perdarahan. Post operasi 2 minggu, tidak mengganggu fungsi lidah.

59

Manajemen hemangioma:
1. Terapi bedah: Operasi tanpa perlu takut banyak perdarahan
sebagaimana malformasi vaskular. Begitu diketahui
besarnya masih sebesar titik merah, bisa dioperasi dan
bekasnya hanya berupa garis merah 3-5 mm. Bila
hemangioma telah membesar dan dioperasi karena alasan
perdarahan, infeksi ataupun kemungkinan menutupi
pandangan mata, maka defek kulit epitel yang terjadi dapat
ditutup dengan Skin Graft atau Flap.
2. Penanganan perdarahan dan ulserasi
3. Mengatasi komplikasi
4. Terapi non bedah: kostikosteroid, interferon alfa, laser,
kemoterapi, pressure therapy, thermal therapy/
cryotherapy, radiasi, embolisasi dan skleroterapi, tentunya
dengan mempertimbangkan efek negatif sistemik
5. Observasi secara berkala untuk memantau perjalanan
penyakit

Prognosis

Komplikasi

Perbaikannya tergantung kecepatan mendiagnosa dan


ketepatan mengangkatnya secara operatif. Pasien harus
ditindaklanjuti selama beberapa tahun untuk evaluasi.
A. Problem psikososial pada keluarganya.
B. Gangguan penglihatan (amblyopia, strabismus) bila
terlambat dioperasi.
C. Perdarahan.
D. Perubahan bentuk organ misalnya bibir dan palpebra.

GS

GS

Gambar 28. Kiri: Hemangioma palpebra terlambat dioperasi. Kanan: Pasca


operasi hasil memadai namun ambliopia.

60

Rekonstruksi Kelainan
di Muka

61

20
Rekonstruksi
Kelopak Mata

Rekonstruksi Kelainan
di Muka
I. Anatomi kelopak mata yang penting diketahui
A. Kulit kelopak mata adalah yang paling tipis di seluruh tubuh
B. Otot-otot konstriktor: m. orbicularis oculi, m. corrugator
supercilii, m. procerus
C. Septum orbita: jaringan fibrosa berlapis yang membatasi
mata dan orbita
D. Jaringan lemak orbita: posterior dari septum dan anterior
dari otot retraktor
E. Otot-otot retraktor: m. levator palpebra, m. Muller (atas),
fasia kapsulopapebra, m. tarsal inferior (bawah)
F. Tarsus: penyangga struktur kelopak mata menyerupai
kartilago, terdapat kelenjar Meibom di dalamnya
G. Konjungtiva: sel epitel gepeng berlapis
H. Tendon kantus: berhubungan dengan tarsus atas dan
bawah, di medial dan lateral
I. Peredaran darah: a. oftalmika dan cabang-cabangnya (a.
supraorbita dan a. lakrimalis), a. temporalis, dan a. angular
J. Persarafan:
1. Sensorik: N V1 (atas), N V2 (bawah)
2. Motorik: N III, N VII
II. Kelainan pada kelopak mata
A. Entropion: tepi kelopak mata melekuk ke dalam
B. Ektropion: tepi kelopak mata melekuk ke luar
C. Ptosis: kelopak mata tidak dapat membuka sempurna
D. Leserasi/ ruptur palpebra
III.

Rekonstruksi kelopak mata

A. Perbaikan laserasi tepi kelopak mata


1. Kedua tepi kelopak mata disejajarkan posisinya
2. Tarsus dijahit dengan jahitan tidak menembus
konjungtiva, dengan benang halus misal 6-0
3. Tepi kelopak mata dijahit dengan jahitan matras vertikal
4. Kulit dijahit dengan jahitan satu-satu, juga dengan
benang halus (misal 6-0) dan jarum atraumatik
B. Rekonstruksi kelopak mata
1. Defek kecil dijahit secara primer
2. Defek besar memerlukan bantuan flap miokutan atau
graft tarsokonjungtival dari kelopak mata sebelahnya
yang sehat

63

3. Defek besar di kelopak mata bawah dapat ditutup


dengan flap rotasi dari pipi
C. Defek kantus
1. Pada defek kantus medial bila terdapat kerusakan pada
sistem drainase lakrimal, maka harus diperbaiki lebih
dahulu
2. Tendon kantus medial dan lateral harus dipastikan tetap
melekat pada tulang
3. Bila defek kulit kecil di atas kantus dapat dijahit
langsung, sedangkan bila besar dapat ditutup dengan
flap atau full thickness skin graft

Rekonstruksi
Hidung

I. Anatomi hidung
A. Hidung dibagi menjadi tiga bagian, yaitu atas (tulang
hidung dan septum tulang), tengah (tulang rawan lateral
atas dan septum tulang rawan), dan bawah (tulang rawan
alar)
B. Jenis kulit dibagi dua, yaitu kulit tipis (dorsum nasi dan
kolumela), dan kulit tebal (ujung hidung dan ala)
C. Peredaran darah: a. angular cabang a. fasialis, a. labialis
superior, a. oftalmika cabang dorsonasal, dan a. maksilaris
interna cabang infraorbita
D. Persarafan:
1. Sensorik: N V (trigeminus) yaitu N V1 (oftalmika) dan V2
(maksilaris)
2. Motorik: N VIII (fasialis)
II. Rekonstruksi hidung
A. Tujuan
1. Mempertahankan terbukanya jalan napas dan bentuk
estetika yang baik
2. Mengganti kulit dengan warna, ketebalan, dan tekstur
yang sama
3. Mencegah terjadinya deformitas pasca operasi
B. Rekonstruksi yang baik harus mengganti seluruh lapisan
kulit yang hilang dengan jaringan yang serupa, yaitu
termasuk mukosa hidung, penyangga struktur hidung, dan
kulit penutup hidung
C. Rekonstruksi dilakukan segera, kecuali pada keadaan pasca
reseksi tumor di mana batas tumor meragukan atau
direncanakan radioterapi, serta adanya invasi tumor ke
tulang

64

D. Rekonstruksi dapat dilakukan dengan menggunakan flap


jaringan sekitar atau dengan pre fabricated free flap yaitu
dibentuk terlebih dahulu kulit cuping hidung, setelah
beberapa lama, dipindahkan satu unit kulit hidung baru
dengan pembuluh darahnya ke tempat lokasi hidung dan
disambung pembuluh darahnya ke resipien

Rekonstruksi
Pipi

I. Tujuan rekonstruksi pada pipi adalah menutup defek,


mengembalikan fungsi, dan mempertahankan estetika.
II. Defek kecil pada pipi dapat ditutup secara primer setelah
dilakukan insisi elips. Ahli bedah harus mengusahakan
parut yang pendek dan sejajar dengan arah lipatan kulit.
Defek yang lebih besar dapat ditutup dengan menggunakan
graft atau lebih baik menggunakan flap.
III. Pada defek jaringan lunak yang lebih besar, penggunaan
konsep unit estetika dalam rekonstruksi dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya deformitas. Unit estetika pipi
dibagi menjadi 3 daerah yang saling bertumpuk, yaitu
daerah suborbital, preaurikular, dan buccomandibular. Parut
yang ditempatkan pada perbatasan unit-unit estetika dapat
lebih menyamarkan penampakannya.

Rekonstruksi
Telinga

I. Kelainan pada telinga dapat disebabkan oleh kelainan


kongenital atau didapat.
A. Kelainan bawaan: mikrotia, telinga menonjol, kriptotia,
telinga seperti kelelawar.
B. Kelainan didapat: keganasan, trauma, atau cedera suhu
II. Rekonstruksi telinga akibat kelainan bawaan dilakukan
sesuai lokasi kelainan dan luasnya defek. Umumnya
dilakukan pada usia 7 tahun, digunakan flap, dan bila perlu
ditambahkan graft tulang rawan dari sisi yang sehat
III. Pada rekonstruksi total dapat digunakan jaringan tulang
rawan dari daerah iga sebagai kerangka telinga, dan
ditutup dengan flap dan graft dari kulit sekitar telinga.

65

21
Definisi

Noma
Penyakit infeksi (cancrum oris) yang merusak jaringan
orofasial serta struktur sekitarnya dengan penyebabnya
kuman Fusobacterium necrophorum pada anak dengan
gangguan imunitas.

Epidemiologi

Noma biasanya ditemukan di daerah penduduk miskin dengan


malnutrisi kronis, disertai higiene mulut jelek, dan lebih sering
ditemukan pada anak-anak. Angka kejadian di beberapa
negara Afrika berkisar antara 2-4 setiap 10000 anak.
Penelitian di Senegal menunjukkan kejadian 2,8-8,4 kasus
setiap 10000 anak usia 1-5 tahun, sedangkan di Nigeria
sebanyak 7-14 setiap 10000 anak usia 0-6 tahun.

Patofisiologi

1. Sering didahului penyakit berat, misalnya campak, malaria,


cacar air, tuberkulosis (pada campak terjadi penurunan
interleukin 12 yang diperlukan dalam mediasi imunitas
seluler)
2. Terjadinya acute necrotizing gingivitis. Dalam hal ini
peranan virus herpes mungkin saja terjadi, yaitu pada
anak-anak dengan higiene mulut yang jelek
3. Ditemukan pula kuman lain sebagai penyerta yaitu
Prevotella intermedia, alpha hemolytic streptococcus,
Actinomyces sp
4. Penelitian di Afrika oleh Cyril O. Enwonwo dkk. Tahun 1999
menemukan penurunan kadar Zinc (<10,8 umol/L), retinol
(<1,05 umol/L), ascorbate (<11umol/L), dan peningkatan
kadar kortisol bebas pada saliva pasien dengan noma
5. Setelah terjadi nekrosis pada jaringan lunak, nekrosis dapat
berlanjut pada tulang sehingga terjadi fusi maksila
sehingga mandibula dan pasien akan terkunci mulutnya

Diagnosis

Manajemen

Pasien datang dengan adanya defek pada bibir, komisura


mulut, hidung, pipi, dan kadang kelopak mata bagian bawah,
yang didahului dengan riwayat luka yang menghitam.
Kerusakan otot pengunyah juga dapat menyebabkan trismus.
Pasien yang datang pada keadaan yang lebih dini dapat
ditemukan gingivitis akut, nekrosis mukosa, dan ulserasi
mukosa mulut yang luas.
1. Pada stadium akut terapi oleh bagian anak dengan
eradikasi infeksi, perbaikan gizi, dan nekrotomi
2. Pada kasus lanjut, jaringan parut bisa dipakai sebagai inner
lining, fusi tulang dibebaskan, dan dilakukan penutupan raw
surface tanpa usaha untuk memperbaiki defek atau
kekurangan jaringan lunaknya. Pasien sekaligus dilatih

66

Penyakit infeksi (cancrum oris) yang merusak jaringan


orofasial serta struktur sekitarnya dengan penyebabnya
kuman Fusobacterium necrophorum pada anak dengan
gangguan imunitas.

Prognosis

Noma biasanya ditemukan di daerah penduduk miskin dengan


malnutrisi kronis, disertai higiene mulut jelek, dan lebih sering
ditemukan pada anak-anak. Angka kejadian di beberapa
negara Afrika berkisar antara 2-4 setiap 10000 anak.
Penelitian di Senegal menunjukkan kejadian 2,8-8,4 kasus
setiap 10000 anak usia 1-5 tahun, sedangkan di Nigeria
sebanyak 7-14 setiap 10000 anak usia 0-6 tahun.

GS

GS

Gambar 29. Kiri: Pasien noma dewasa, pasca eksisi jaringan parut,
membebaskan fusi mandibula maksila, dan dilatih buka mulut kurang lebih 6
bulan. Kanan: Pasca caterpilllar/ jump flap dari inguinal ke pergelangan tangan
lalu ke defek mulut untuk menutup inner lining dan outer lining

67

Kelainan Kraniofasial

69

22
Definisi

Epidemiologi

Etiologi

Faktor Risiko

Bibir dan Langit-langit


Sumbing
Bibir sumbing adalah terdapatnya celah pada bibir atas yang
sering disertai celah palatum, yaitu terdapat celah pada atap/
langit-langit mulut sehingga terdapat hubungan langsung
antara hidung dan mulut.
Insiden bervariasi pada etnis yang berbeda. Insiden bibir
sumbing terjadi sebanyak 2,1 dalam 1000 kelahiran pada etnis
Asia, 1:1000 pada etnis Kaukasia, dan 0,41:1000 pada etnis
Afrika-Amerika. Sumbing bibir saja ditemukan pada 21%
penderita, sumbing bibir dan palatum 46%, dan sumbing
palatum (isolated cleft palate) 33% dari seluruh penderita.
Bibir sumbing terjadi secara multifaktorial. Di antara faktor
penyebabnya adalah keturunan, obat-obatan tertentu
(fenitoin, talidomid, isotretinoin), alkohol, rokok, defisiensi
asam folat dan vitamin B6.
A. Riwayat Penyakit Keluarga (contoh: sindrom Van der
Woude), tingkat rekurensi 2-6 % tergantung pada riwayat
keluarga.
B. Etnik/ Ras: Asia > Kaukasia > Kulit hitam
C. Penggunaan antikonvulsan pada penderita epilepsi dan
pada ibu hamil
D. Usia orang tua: usia kedua orang tua >30 tahun, risiko
semakin tinggi
E. Riwayat sumbing pada orang tua/ keluarga

Patofisiologi

A. Timbul bila ada gangguan saat perkembangan wajah di usia


kehamilan 3-8 minggu (terutama usia kehamilan 5-6
minggu)
B. Terjadi akibat:
1. Gagalnya penyatuan tonjolan nasal medial dan tonjolan
maksila pada satu sisi (sumbing bibir unilateral) atau
pada kedua sisi (sumbing bibir bilateral)
2. Gagalnya penyatuan tonjolan palatum median (berasal
dari tonjolan frontonasal dan tonjolan nasal medial) dan
tonjolan palatum lateral (berasal dari tonjolan maksila)
yang menyebabkan sumbing palatum

Klasifikasi

A. Sumbing bibir unilateral: microform cleft lip, incomplete


cleft lip, complete cleft lip
B. Sumbing bibir bilateral: incomplete bilateral cleft, complete
bilateral cleft

71

C. Sumbing palatum: unilateral cleft lip and palate, bilateral


cleft lip and palate, isolated cleft palate, submucous cleft
palate

Diagnosis

A. Bibir sumbing (dengan atau tanpa sumbing palatum/ cleft


palate)
1. Jaringan yang terlibat
a.Dapat meliputi hanya batas vermilion
b.Beberapa kasus sampai pada palatum dan dasar
hidung
2. Dapat dihubungkan dengan gangguan/ abnormalitas gigi
3. Sumbing dapat unilateral atau bilateral
4. Sering dihubungkan dengan abnormalitas kolumela
B. Sumbing langit-langit/ palatoschizis (sumbing palatum)
1. Defek garis tengah berawal di uvula
2. Dapat melibatkan jaringan lunak dan keras palatum
serta foramen insisivus

GS

GS

Gambar 30. Kiri atas: Bibir sumbing satu sisi tidak lengkap (incomplete
unilateral cleft lip), pra-operasi. Kanan atas: pasca-operasi. Kiri bawah: Bibir
sumbing satu sisi lengkap (complete unilateral cleft lip and palate), pra-operasi.
Kanan bawah: Pasca-operasi.

72

GS

GS

GS

GS

Gambar 31. Kiri: Bibir sumbing dua sisi tidak lengkap (incomplete unilateral
cleft lip), pra-operasi. Kanan: Pasca-operasi.

Kondisi yang
berhubungan

A. Pierre Robin Syndrome (dibaca: Pierre Robang)


1. Micrognathia
2. Sumbing palatum U-shape
3. Glossoptosis
B. Sindrom EEC
1. Ectrodactyly (split tangan dan kaki)
2. Ectodermal dysplasia
3. Sumbing bibir dan palatum (cleft)
C. Sindrom Trisomi 13
1. Holoprosencephaly
2. Amnion Rupture Sequence
D. Abnormalitas Hypothalamus dan Pituitary
1. Defisit hormon hipotalamus
2. Panhypopituarism
3. Septo-optic dysplasia
4. Sindrom Kallmann

GS

Gambar 32. Sindrom Pierre-Robin

73

Tatalaksana
asupan
makanan

A. Air Susu Ibu


Laktasi untuk bayi dengan bibir sumbing atau palatum baik
diberikan, bila perlu dibantu dengan melakukan penekanan
pada payudara
B. Botol Susu Bayi
1. Pertimbangan obturator plastik untuk menutup palatum
2. Puting buatan halus dengan lubang besar
3. Menggunakan botol dengan bagian ujungnya bisa dipencet

Tatalaksana
Pembedahan

A. Perioperatif
1. Kriteria Pre-operatif yang siap dioperasi
a. Tak ada tanda infeksi sistemik dengan tanda demam yang
bisa disertai leukositosis
b. Hidrasi/ cairan tubuh anak baik, Ht 30%
2. Pasca operatif
a. Pernafasan nasal yang baik
b. Asupan cairan pada 3 minggu pertama pasca bedah yang
adekuat
c. Menjaga bagian yang dibedah agar tidak tersentuh oleh
anak (siku dibidai dengan karton, dibungkus kapas)
B. Operasi bibir sumbing
1. Metoda Rotation Advancement merupakan dasar dari
desain operasi
2. Dapat dikerjakan pada usia sekitar 3 bulan, berat badan >
5 kg, Hb > 10 gr%

GS

GS

Gambar 33. Teknik Modifikasi Rotation Advancement Millard pada sumbing sisi
kiri komplit. Tujuan desain adalah menurunkan titik 3 agar satu level dengan titik
2.

74

3. Revisi dapat dilakukan pada usia pra sekolah


A. Koreksi pembedahan hidung
Pada saat perbaikan palatum atau pada masa remaja
B. Perbaikan sumbing palatum
1. Waktu perbaikan tergantung tipe variasi kerusakannya
2. Biasanya diperbaiki sekitar usia 1,5 tahun (saat mulai
belajar bicara)
3. Gangguan bicara dapat terjadi jika perbaikan ditunda
hingga usia 3 tahun

Komplikasi
Awal

A. Jebol
B. Infeksi
C. Perdarahan
D. Kematian

Komplikasi
Hasil Akhir

A. Asimetri bibir atau nostril


B. Parut yang tidak baik
C. Bicara sengau atau tidak mampu mengucapkan huruf/
suara tertentu
D. Hipoplasi maksila dan maloklusi geligi

Tujuan
Perbaikan

1. Menyeimbangkan cupid's bow, yaitu satu levelnya titik 3


dan titik 2
2. Menyamakan ketinggian vertikal bibir, antara bagian yang
sumbing dan tidak
3. Menyamakan ketinggian vermilion pada bagian lain yang
diperbaiki
4. Menjaga lajur dan lesung filtrum
5. Menyamakan panjang columella bagian yang sumbing dan
tidak
6. Penempatan parut yang tidak terlihat pada garis kulit alami,
yaitu pada lajur filtrum
7. Mengembalikan fungsi dan orientasi otot Orbicularis oris
8. Mengembalikan sulcus labiobuccal
9. Menyeimbangkan dan reposisi basis ala nasi
10. Menaikan lower lateral cartilage terdepresi pada cuping
hidung
11. Menyamakan kembali segmen maxilla yang biasanya
hipoplasi

75

23
Definisi

Epidemiologi
Klasifikasi

Sumbing Muka
dan Kranial
Sumbing muka dan kranial atau sumbing kraniofasial adalah
terdapatnya celah pada struktur muka dan kranial. Sumbing
muka dan kranial yang melibatkan tulang dan jaringan lunak
terdapat di sepanjang garis-garis penyatuan struktur
kraniofasial. Sumbing di daerah orbita dapat mempengaruhi
bola mata dan otot-otot ekstraokular
Insiden sumbing muka 1,5-5 per 1000 kelahiran, biasanya
nonfamilial
Biasanya digunakan klasifikasi Tessier
1. Sumbing di atas tepi kelopak mata disebut sumbing kranial
2. Sumbing di bawah tepi kelopak mata disebut sumbing
muka
3. Sumbing kranial dan muka biasanya muncul bersamaan,
yaitu pada dua lokasi dengan jumlah angka 14 (misalnya
sumbing di garis 0 dan 14, 4 dan 10)
Klasifikasi Tessier paling bermanfaat bagi ahli bedah plastik
karena klasifikasi tersebut menghubungkan penampakan klinis
dengan anatomi pembedahan. Klasifikasi Tessier juga
mengintegrasikan topografi observasi klinis dengan gangguan
skeletal yang mungkin terjadi.
Adanya kelainan jaringan lunak dapat digunakan untuk
memperkirakan kelainan pada tulang di bawahnya, misalnya
1. Sekumpulan rambut abnormal
2. Garis rambut atau alis yang ireguler
3. Tepi kelopak mata yang ireguler

Manajemen

Untuk memudahkan pembahasan dan penatalaksanaan di


lapangan, maka sumbing muka dan kranial dibagi dalam
empat grup besar sesuai dengan klasifikasi Tessier, yaitu
1. Sumbing oral-nasal
a. Karakteristik grup ini ditandai adanya sumbing di daerah
antara garis tengah dan Cupid's bow, akibatnya terjadi
gangguan struktur pada bibir dan hidung
b. Dalam klasifikasi Tessier mencakup sumbing nomor 0,1,2,
dan 3
c. Operasi sulit dan dapat terjadi komplikasi akibat
pertumbuhan dan perkembangan di daerah kelainan
tersebut

76

GS

Gambar 34. Klasifikasi sumbing muka menurut Tessier, ditandai dengan nomor 0
hingga 14. Gambar atas adalah lokasi sumbing pada jaringan lunak muka,
sedangkan gambar bawah adalah lokasi sumbing pada tulang
2. Sumbing oral-okular
a. Grup ini mencakup kelainan yang menghubungkan rongga
mulut dan orbita tanpa ada gangguan pada hidung.
Kelainan ini mumcul lateral dari Cupid's bow, sedangkan
struktur muka bagian tengah secara umum tetap baik
b. Dalam klasifikasi Tessier mencakup sumbing nomor 4, 5,
dan 6
c. Operasi dilakukan secara bertahap, bekerjasama dengan
dokter mata karena sering ditemukan kelainan pada mata
itu sendiri. Tujuan operasi adalah untuk menjaga struktur
bola mata dan kemampuan penglihatan
d. Operasi harus segera dilakukan karena kemungkinan
menyebabkan gangguan penglihatan.

77

GS

GS

Gambar 35. Kiri: Sumbing bibir bilateral disertai sumbing muka kanan Tessier 311 pra-operasi. Perhatikan parut di kedua bibir, dan aksis mata kanan dan kiri
yang tidak segaris. Kanan: Pasca operasi.
3. Sumbing muka lateral
a. Sumbing muka lateral meliputi sumbing nomor 7, 8, dan 9
pada klasifikasi Tessier, dan digambarkan dalam beberapa
sindrom misalnya sindrom Treacher Collins, sindrom
Goldenhar, mikrosomia hemifasial, dan displasia fasial
nekrotik.
b. Perbaikan sumbing muka nomor 7 dilakukan pada awal
kehidupan, dengan menyatukan kulit, mukosa, dan otot
c. Perbaikan sumbing nomor 8 dan 9 melibatkan rekonstruksi
kantus lateral dan memperbaiki posisinya pada orbita
4. Sumbing orbita kranial
a. Grup ini meliputi sumbing di superior mulai dari orbita
lateral hingga garis tengah, dan dapat berhubungan dengan
sumbing muka di bawah orbita
b. Sumbing muka ini meliputi kelainan Tessier nomor 10-14
c. Dapat terjadi gangguan neurologi karena terjadi gangguan
perkembangan otak

78

24
Definisi

Fraktur Tulang Muka


Fraktur tulang muka disebabkan trauma pada muka yang
menyebabkan satu hingga banyak tulang wajah patah komplit
atau tidak komplit. Organ yang terlibat pada fraktur tulang
muka terdiri atas jaringan lunak (kulit, otot, dan jaringan
ikat), tulang muka itu sendiri, yaitu tulang kepala yang tidak
membatasi otak (tulang hidung, zigoma, maksila, septum nasi
dan mandibula).
Tulang muka sifatnya berbeda dengan tulang panjang, sifatnya
spongiosa dan lebih vaskuler dibandingkan tulang
cortical/tulang panjang sehingga dalam waktu 5-6 minggu
penyembuhan fraktur sudah selesai, sudah rigid.

Penyebab, Tipe,
Prevalensi,
Karakteristik

Penyebab terbanyak adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas


dari sepeda motor tanpa menggunakan helm (pelindung
kepala). Penyebab lain adalah trauma langsung misalnya
akibat perkelahian atau kekerasan fisik, terjatuh, olahraga,
kecelakaan industrial dan luka tembak.
Penelitian/ studi di RSCM Jakarta oleh Makagiansar dan
Sudjatmiko (2002):
- Terdapat 203 kasus trauma tulang muka yang terjadi pada
periode selama 18 bulan diantara tahun 2000-2001,
dengan rerata 11-12 kasus tiap bulannya.
- Sebanyak 26,6 % terjadi fraktur muka dengan cedera lain,
kebanyakan trauma dengan cedera otak.
Penelitian terdahulu fraktur muka, oleh:
- Lee et al. (1987) mendapati kasus yang terbanyak adalah
fraktur tulang pada muka bagian atas sedangkan fraktur
mandibula/muka bagian tengah lebih sedikit berpengaruh
pada cedera otak.
- Davidoff et al (1988), mendapati sebanyak 55% kasus
terjadi cedera kepala tertutup dengan fraktur muka
- Haug et al (1994), mendapati hanya 17,5% terjadi cedera
kepala tertutup dengan fraktur muka
- Nakhgevany et al (1994), mendapati sebanyak 68% trauma
muka berhubungan dengan cedera kepala.
- Keenan et al (1999), berpendapat bahwa risiko terjadinya
trauma otak bertambah pada pasien dengan fraktur tulang
muka, sedangkan risiko tertinggi trauma otak pada fraktur
maksila.
Karakteristik 385 pasien fraktur tulang muka, pada penelitian
oleh Fawzy dan Sudjatmiko di RSCM Jakarta sejak April 2004Maret 2006, mendapati:

79

- 348 pasien pria (90,4%), 37 pasien perempuan (9,6%)


- 107 pasien (27,8%) menderita cedera kepala sedang
sampai berat
- 278 pasien (72,2%) menderita cedera kepala ringan
- 90 pasien menderita fraktur mandibula, 267 pasien
menderita fraktur midface (muka bagian tengah), 28 pasien
merupakan kombinasi.
- 232 pasien (60,3%) menggunakan helm, 153 pasien
(39,7%) tanpa menggunakan helm.

Gejala dan
Tanda Klinis

A. Adanya riwayat trauma pada muka


B. Tampak deformitas muka, bisa berupa:
1. Bengkak, asimetri, miring disertai lecet kulit sampai ke
luka jaringan lunak.
2. Hematoma atau perdarahan di luka atau dari lubang
hidung dan mulut sebagai jalan keluar perdarahan dari
sinus maxilla/ fraktur.
C. Pemeriksaan fisik, bisa dijumpai:
1. Nyeri, krepitasi (tanpa penekanan yang kuat karena
tulang pipih), step in atau diskontinuitas tepi tulang
mandibula dan tulang rima orbita. Periksa sekaligus sisi
kanan dan kiri serta bandingkan.
2. Tonjolan pipi yang menghilang
3. Pada rongga mulut tampak gangguan oklusi (maloklusi)
yaitu tonjolan gigi premolar yang tidak bertemu dengan
cekungan gigi lawan/ pasangannya, juga bisa tampak
laserasi ginggiva daerah fraktur, kadang dijumpai maxilla
yang mengambang dalam hematom (floating maxilla).
4. Hipestesi pada cuping hidung

GS

Gambar 35. Fraktur Le Fort kompleks I-III. Secara klinis garis patah tidak harus
seperti gambar ini

80

D. Radiologis:
1. Foto AP: walaupun garis patah kadang tidak jelas,
dengan membandingkan sisi kontralateral, bisa ditemui
diskontinuitas tulang secara radiologis. Perhatikan
pengisian sinus oleh darah yang menyebabkan
pengaburan gambaran sinus.
2. CT scan bisa melihat garis patah yang tidak tampak
dalam foto radiologi biasa. CT scan 3-dimensi akan
menggambarkan bentuk tulang muka keseluruhan dan
tulang yang patah atau melesak dapat dikenali dengan
lebih jelas, dikerjakan atas indikasi khusus.

GS

Gambar 37. Blow Out Fracture

Manajemen

A. Penanganan awal
a. Primary survey: Airway, Breathing, Circulation dan
selanjutnya tetap diawasi
b. Secondary survey: pemeriksaan leher, neurologis, scalp,
orbita, telinga, hidung, wajah bagian tengah, mandibula,
rongga mulut, dan oklusi. Adanya cedera kepala (brain
injury) dapat menunda timing operasi Open Reduction
Internal Fixation (ORIF) pada fraktur tulang muka
c. Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil
menunggu terapi definitif
d. Fraktur mandibula bilateral harus distabilkan agar tidak
mengganggu jalan napas
e. Bila ada hematoma septum nasi atau hematoma auricula,
harus dilakukan drainase dan dilanjutkan dengan balut
tekan/ tamponade hidung

81

B. Penanganan lanjut yaitu pada minggu pertama pasca


trauma
a. Fraktur Mandibula: Reduksi kemudian fiksasi pada geligi
dengan wire ataupun Arch Bar menghasilkan union dan
occlusi yang dicapai dalam 5 minggu.
Reduksi kemudian fiksasi dengan mini plate screw tidak
memerlukan penguncian geligi sebagaimana pada wire dan
arch bar.
b. Fraktur Maxilla: Reduksi dengan pendekatan sulcus
ginggivobuccalis dan infra cilliar palpebra inferior; dapat
juga difiksasi dengan wire atau mini plate screw.
c. Fraktur rima orbita penting dilakukan operasi reposisi dan
fiksasi untuk mengembalikan bentuk orbita dan
memulihkan fungsi gerak mata yang terganggu.
d. Fraktur nasal sebaiknya direparasi tidak terlalu lama sejak
traumanya, mengingat tulang nasal adalah pipih dan sering
patahnya berbentuk impresi, deviasi atau remuk.

GS

GS

Gambar 38. Laki-laki, 25 tahun dengan riwayat kecelakaan lalu lintas. Terdapat
deformitas muka dan ekskoriasi hematom palpebra superior dextra, step in rima
orbita lateral dextra, depresi nasal. Gambaran radiologis: garis fraktur di sutura
zygomatica frontalis dextra, kompleks zygoma maxilla dextra, kompleks
nasoethmoid dextra, mandibula intak.

Prognosis

82

Jika terapi dan operasi perbaikan untuk memulihkan bentuk


dilakukan dalam waktu 1 minggu setelah cedera/ trauma
maka prognosis dapat baik. Jika penderita mempunyai
penyakit kronik atau osteoporosis maka penyembuhannya jadi
masalah.

Trauma kendaraan sepeda motor atau luka tembak sebagai


contoh, dapat menyebabkan trauma berat pada wajah
sehingga membutuhkan prosedur bedah multipel dan
membutuhkan perawatan lama. Laserasi jaringan lunak
karena bekas luka biasanya dapat diatasi dengan lebih
maksimal oleh ahli bedah plastik.

Pencegahan

Perlengkapan keselamatan dengan helm (pengaman kepala)


yang melindungi sampai rahang bawah dapat untuk mencegah
trauma maxillofacial.

GS

GS

GS

GS

Gambar 39. Laki-laki, 30 tahun. Riwayat kecelakaan lalu lintas, dengan nyeri
dan sedikit perdarahan dari mulut. Pemeriksaan fisik: Jelas terdapat maloklusi.
Pada angulus mandibula kiri tampak jelas garis fraktur, juga pada simfisis
mandibula. Kiri atas: pra operasi. Kanan atas: pasca operasi dengan fiksator
archbar pada geligi agar tercapai oklusi yang baik. Pemeriksaan Radiologis:
dijumpai garis fraktur jelas pada angulus mandibula kiri dan simfisis (fraktur
segmental

83

Luka Bakar

85

25
Definisi

Luka Bakar
Luka bakar adalah kerusakan kulit tubuh yang disebabkan
oleh api, atau oleh penyebab lain seperti oleh air panas, listrik,
bahan kimia dan radiasi. Kerusakan dapat menyertakan
jaringan di bawah kulit.
Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan
morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan
penatalaksanaan khusus sejak awal sampai fase lanjut. Luka
bakar juga dapat menyebabkan koagulasi nekrosis pada kulit
dan terpaparnya jaringan hingga lapisan dalam termasuk efek
terhadap sistem organ lainnya.
Fungsi kulit adalah:
1. Penutup jaringan dibawahnya.
2. Melindungi trauma
3. Mencegah penguapan
4. Mencegah invasi bakteri, virus, jamur
5. Mengatur penguapan cairan

Patofisiologi

! Keparahan luka bakar berhubungan dengan suhu dan


lamanya pajanan terhadap sumber panas
! Kulit memiliki kandungan air yang tinggi, sehingga
mengalami overheat secara perlahan, dan sebaliknya juga
mendingin secara perlahan
! Panas akan terus menembus jaringan yang lebih dalam
meski sumber panas telah disingkirkan. Pendinginan yang
segera setelah luka bakar dapat mengurangi suhu kulit
yang terkena panas, akan tetapi kurang bermanfaat pada
luka bakar yang luas
! Daerah luka bakar terbagi 3: sentral (zona koagulasi),
tengah (zona stasis), dan luar (zona hiperemia)
! Perubahan mikrosirkulasi: penurunan aliran darah diikuti
vasodilatasi arteriol. Mediator endogen meningkatkan
permeabilitas kapiler yang menyebabkan edema dan
hipoproteinemia. Hipoproteinemia menyebabkan
berpindahnya cairan ke jaringan interstisial.

Penilaian Luka
Bakar

a. Anamnesis/ Penyebabnya
b. Kedalaman
c. Luas luka
d. Lokasi
e. Usia

87

Anamnesis/ Penyebabnya
Luka bakar dapat disebabkan oleh api, cairan panas, bahan
kimia, uap panas, ledakan, dan sebagainya. Penting juga
diketahui lamanya dan lokasi pajanan. Konsumsi obat-obatan
atau alkohol terakhir juga perlu ditanyakan. Mekanisme cedera
yang berhubungan juga perlu ditanyakan, misalnya ledakan,
jatuh, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.
Kedalaman Luka Bakar
Klasifikasi:
a. Derajat 1
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis. Kulit tampak
kemerahan. Nyeri hilang dalam 48-72 jam. Sembuh tanpa
cacat.

GS

Gambar 40. Kedalaman luka bakar pada kulit, dibagi atas derajat 1, derajat 2
dangkal, derajat 2 dalam, dan derajat 3

88

B. Derajat 2
Kerusakan mengenai seluruh epidermis disertai sebagian
dermis, terasa nyeri, kulit kemerahan, edematous, dan
timbul bulae. Luka bakar derajat 2 dibagi 2 jenis, yaitu:
! Superfisial,. Kulit kemerahan, edematous, timbul bulae,
nyeri. Banyak sel basal selamat, alat-alat di bagian
dermis masih baik, pelebaran pembuluh darah. Sembuh
dalam 2 minggu dengan tanpa parut atau parut minimal.
! Dalam. Kerusakan lapisan epidermis dan sebagian
dermis, masih basah tapi tampak pucat, nyeri kurang
dibandingkan derajat 2 superfisial. Dapat sembuh dalam
beberapa minggu hingga beberapa bulan disertai
jaringan parut.

c. Derajat 3
Kerusakan seluruh lapisan dermis atau lebih dalam. Tampak
epitel terkelupas dan, daerah putih karena koagulasi
protein dermis. Dermis yang terbakar akan mengering dan
menciut disebut eskar. Tidak ada perfusi darah dan tak ada
sensasi rasa nyeri. Penyembuhan spontan tidak mungkin
terjadi.
Setelah minggu kedua tampak jaringan granulasi yang
harus ditutup dengan skin graft, bila dibiarkan akan terjadi
kontraktur (jaringan parut yang menebal dan menyempit).

GS

GS

GS

GS

Gambar 41. Kiri atas: Gambar luka bakar derajat 1. Kanan atas: Derajat 2
dangkal. Kiri bawah: Derajat 2 dalam. Kanan bawah: Derajat 3

89

Luas Luka Bakar


Persentasi dari total area permukaan tubuh yang terbakar
(TBSA). Untuk memudahkan perhitungan, satu telapak tangan
pasien adalah + % TBSA
Perhitungan berdasarkan rule of nines (Wallace):
" Kepala, leher

: 9%

" Lengan, tangan

: 2 x 9%

" Paha, betis, khaki

: 4 x 9%

" Dada, perut, punggung, bokong

: 4 x 9%

" Genitalia

: 1%

Penilaian berbeda pada anak karena ukuran kepala-dada dan


tungkai berbeda
Anak 5 tahun:
" Kepala

: 14%

" Tungkai, kaki

: 16%

" Bagian lain sama dengan dewasa


Bayi 1 tahun:
" Kepala, leher

: 18%

" Tungkai khaki

: 14%

" Bagian lain sama dengan dewasa


Cara perhitungan yang lain menggunakan Lund and Browder
Chart, mungkin lebih tepat, tapi sukar dipakai sebagai acuan
dalam praktek sehari-hari

GS

Gambar 42. Menggunakan telapak tangan untuk mengukur luas luka


bakar. Satu telapak tangan penderita = 0,78% Total Body Surface Area/
TBSA (Amirsheybani HR, Crecelius GM, Timothy NH, Pfeiffer M, Saggers GC,
Manders EK. Plastic & Reconstructive Surgery. 107(3):726-733, Mar 2001)

90

Gambar 43.
GS

91

Usia
Luka bakar terjadi pada usia ekstrem dapat membawa
morbiditas dan mortalitas lebih besar. Perhatian terhadap usia
<3 atau >60 tahun, karena imunitas kurang dibanding usia
lainnya.
Lokasi
Wajah dan leher, tangan, kaki dan perineum (area primer)
memerlukan perhatian khusus.

Pembagian
Berat Luka
Bakar

Berat/ kritis
! Derajat 2 lebih 25%
! Derajat 3 lebih dari 10% atau terdapat di muka, kaki
tangan
! Luka bakar disertai trauma jalan napas atau jaringan lunak
luas, atau fraktur
! Luka bakar akibat listrik
Sedang
! Derajat 2 :15-25%
! Derajat 3 kurang dari 10%, kecuali muka, kaki, tangan.
Ringan
! Derajat 2 kurang dari 15%
Faktor ko-morbid: penyakit kardiovaskuler, respirasi, renal,
penyakit metabolik.
Indikasi Rawat Inap
! Usia 10-40 tahun: luka bakar derajat 2 lebih dari 15%
TBSA, luka bakar derajat 3 lebih dari 3% TBSA
! Usia <10 tahun dan >40 tahun: luka bakar derajat 2 lebih
dari 10% TBSA, setiap luka bakar derajat 3
! Luka bakar yang mengenai wajah, tangan, kaki, atau
perineum
! Luka bakar sirkumferensial di ekstremitas
! Luka bakar akibat listrik
! Luka bakar yang menyebabkan penderita tidak dapat
merawat diri sendiri atau tidak dapat menopang
kehidupannya sendiri di rumah

92

Manajemen

1. Pertolongan Pertama
! Jauhkan dari sumber trauma
! Bebaskan jalan nafas
! Perbaiki pernafasan
! Perbaiki sirkulasi
! Bilas dengan air mengalir terus menerus sampai
pertolongan selanjutnya yang memadai
! Penutup luka/ tubuh diganti dengan yang steril
! Pemberian analgetik dan profilaksis tetanus
! Antibiotika intravena profilaksis tidak diperlukan
2. Perawatan Luka
! Cuci dengan larutan detergen encer, bilas dengan air
mengalir (kran)
! Kulit yang terkelupas dibuang, bulae jangan dikelupas.
! Bula utuh dengan cairan > 5 cc dihisap, < 5cc dibiarkan
! Luka dikeringkan, diolesi mercurochrom atau SSD
! Perawatan terbuka atau tertutup dengan balutan
! Pasien dipindahkan ke tempat steril

3. Terapi cairan dan elektrolit


! Tujuannya untuk memperbaiki sirkulasi dan
mempertahankannya
! Bila, derajat 2/3 > 25%
! Bila, tidak dapat minum
Menurut EVANS, perkiraan kebutuhan cairan sebagai berikut:
Hari 1
BB x % luka bakar x 1 cc (elektrolit/NaCl)
BB x % luka bakar x 1 cc (Koloid)
2000cc Glukosa 10%
Hari 2
BB x % luka bakar x cc (elektrolit/NACL)
BB x % luka bakar x cc (Koloid)
2000cc Glukosa 10%
Monitor urine; -1 cc/jam.
! Pemberian disesuaikan dengan monitoring

93

! vol. Diberikan 8 jam pertama sejak trauma


! vol sisa diberikan 16 jam berikutnya.
! Monitor: kateter urine, CVP
! Monitor sirkulasi: Tensi, nadi, pengisian vena, pengisian
kapiler, kesadaran, Diurese, CVP, Hb dan Ht tiap jam.
! Bila diuresis < 1cc/kgBB 2 jam berturut-turut, tetesan
dipercepat 50%
! Bila diuresis > 2cc/kgBB 2 jam berturut-turut, tetesan
diperlambat 50%
Menurut BAXTER, perkiraan kebutuhan cairan sebagai berikut:
Hari 1 BB (kg) x 4 cc (RL)
Hari 2 Koloid 500-2000cc + Glukosa 5% untuk maintenance
4. Nutrisi
! Cara pemberian: enteral dan parenteral
! Persamaan Harris-Benedict untuk kebutuhan kalori:
kebutuhan kalori 24 jam = (25 kkal x kg BB) + (40 kkal x
%TBSA)
! Protein: 2,5-3 g/Kg per hari (dewasa), 3-4 g/Kg per hari
(anak)
! Pada pasien dengan luka bakar luas dapat dilakukan
pemantauan kadar prealbumin untuk memantau keadaan
nutrisi pasien
2. Eksisi dan graft
! Eksisi luka bakar secara tangensial dan graft dilakukakan
setelah hemodinamik stabil, biasanya dilakukan mulai hari
ke 2-4
! Eksisi dilakukan lapis demi lapis hingga tercapai lapisan
kulit yang masih viable
! Sebelum dilakukan graft harus dilakukan debridement luka
yang baik, infeksi diatasi, dan keadaan nutrisi harus baik

Komplikasi

! Parut yang sukar diperbaiki


! Kontraktur
! Cacat tubuh
! Kematian

Prognosis
94

Hasil terbaik tergantung pada ukuran luka bakar dan usia


pasien sendiri.

26
Definisi

Kontraktur akibat
Luka Bakar
Komplikasi serius pada luka bakar yang terjadi akibat
reorganisasi kolagen. Terjadi pada saat scar telah matang,
menebal, dan akan mengencang dan menahan gerakan.
Kontraktur dibagi menjadi 2:
1. Kontraktur ekstrinsik: Parut yang berbatas tegas, menarik
jaringan sekitar (kulit yang memendek). Membutuhkan
pembebasan segera.
2. Kontraktur intrinsik: Kontraktur langsung dari suatu organ,
misalnya tendon. Butuh rekonstruksi khusus dalam
pembebasannya.

Penyebab

Indikasi
Pengobatan
Operatif

Parut sudah kering tapi belum matang. Akibat gerakan sendi


maupun gravitasi, kapiler baru pecah sehingga timbul
perdarahan dan penyembuhan luka yang mulai dari awal lagi.
Jaringan fibrosa akan tebal lalu mengkerut.
Prioritas prosedur pembedahan:
a. Penting: pembebasan pada fase akut untuk memelihara
kehidupan jaringan dan fungsinya. Contohnya pada kornea
dan kartilago telinga
B. Esensial: pembebasan untuk mengembalikan fungsi.
Contohnya pada kontraktur sendi
c. Diinginkan: memperbaiki penampilan mendekati normal.
Contohnya pada rambut di kepala atau alis

GS

GS

Gambar 44. Kiri: Kontraktur pada aksila. Kanan: Pasca release kontraktur
dengan flap dan graft.

95

GS

Gambar 45. Balut tekan pada tungkai selama 1-2 tahun agar bekas luka tidak
kontraktur karena gravitasi
Mencegah kontraktur
a. Balut tekan hingga lemas atau menggunakan pressure
garment
b. Bidai 3 minggu dilanjutkan bidai di malam hari saja

Waktu Operasi

a. Disarankan untuk menunda intervensi bedah setelah parut


telah sepenuhnya matang, biasanya 18-24 bulan setelah
terbakar.
b. Operasi dapat dipercepat bila terdapat masalah
kelangsungan hidup jaringan tubuh dan gangguan fungsi,
contohnya pada kontraktur sendi proksimal interfalang
c. Menunggu waktu operasi dapat mengganggu keadaan
psikologis dan pekerjaan pasien. Pertimbangkan untuk
dilakukan konsultasi psikiatrik
d. Kepastian waktu operasi disesuaikan dengan keadaan
pasien

Metode Operasi

Pembedahan untuk kontraktur


a. Dilakukan eksisi parut untuk merelease kontraktur sehingga
gerakan sendi bisa bebas
b. Luka ditutup skin graft
c. Rekonstruksi dengan flap untuk menutup bekas parut
tersebut

Tujuan

a. Memaksimalkan fungsi
b. Meminimalkan kerusakan/kecacatan
c. Memperbaiki penampilan

96

GS

GS

Gambar 46. Kiri: Kontraktur pada leher. Kanan: Pasca release kontraktur dengan
flap.

97

Kelainan Badan, Genitalia,


dan Ekstremitas

99

27
Definisi

Epidemiologi

Potensi
Penyebab

Hipospadia
Suatu kelainan bawaan di mana meatus uretra eksternus
terletak di permukaan ventral penis dan lebih proksimal dari
tempatnya yang normal pada ujung penis. Hipospadia
biasanya disertai bentuk abnormal penis yang disebabkan
adanya chordee dan adanya kulit di bagian dorsal penis yang
relatif berlebih dan bagian ventral yang kurang.
Di AS terjadi pada setiap 300-350 kelahiran bayi laki-laki
hidup. Makin proksimal letak meatus, makin berat kelainannya
dan makin jarang frekuensinya.
A. Produksi androgen abnormal
B. Perbedaan sensitivitas terhadap hormon androgen pada
jaringan yang berhubungan, misalnya tuberkulum genital
C. Estrogen dari lingkungan

Patofisiologi

A. Lipatan uretra bisanya bergabung pada raphe di garis


tengah, dari perineum hingga glans. Hipospadia terjadi
karena lipatan uretra gagal menyatu secara lengkap.
B. Perkembangan dipengaruhi testosteron yang menginduksi
virilisasi genitalia eksterna.

Klasifikasi
Sesuai posisi meatus uretra eksterna
A. Anterior: Glanular, koronal, subkoronal
B. Tengah: distal penile, midshaft, proximal penile
C. Posterior: penoskrotal, skrotal, perineal

GS

GS

GS

Gambar 47. Kiri: Hipospadia tipe glanular. Tengah: Tipe penile. Kanan: Tipe
penoskrotal.

101

Diagnosis

Tanda/ gejala Hipospadia yang khas:


- Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang
dangkal di bagian ventral menyerupai meatus uretra
eksternus
- Preputium tidak ada dibagian ventral, menumpuk di bagian
dorsal
- Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi
meatus dan membentang ke distal sampai basis glans
penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar
- Kulit penis di bagian ventral, distal dari meatus sangat tipis.
- Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada
- Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada basis
dari glans penis
- Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis
menjadi bengkok
- Sering disertai undescended testis
- Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal

Kelainan
Penyerta

1. Tidak ada yang spesifik, harus dicari misalnya atresia ani


2. Pembesaran prostatic utricle (10-15%). Hal ini menyulitkan
kateterisasi
3. Intersex (9%), genitalia meragukan antara pria atau wanita
4. Undescended testis

Manajemen

Tujuan operasi pada hipospadia adalah agar pasien dapat


berkemih dengan normal, bentuk penis normal, dan
memungkinkan fungsi seksual yang normal. Hasil
pembedahan yang diharapkan adalah penis yang lurus,
simetris, dan memiliki meatus uretra eksternus pada tempat
yang seharusnya, yaitu di ujung penis.
Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling
Sidiq-Chaula, Thiersch-Duplay, Dennis Brown, Cecil Culp.
A. Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap.
1. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus
dibuatkan terowongan yang berepitel pada glans penis.
! Dilakukan pada usia 1 -2 tahun.
! Penis diharapkan lurus, tapi meatus masih pada tempat
yang abnormal
! Penutupan luka operasi menggunakan preputium bagian
dorsal dan kulit penis

102

2. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi,


saat parut sudah lunak.
! Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra sampai ke
glans, lalu dibuat pipa dari kulit dibagian tengah
! Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari
kulit preputium dibagian lateral yang ditarik ke ventral
dan dipertemukan pada garis median
! Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama dengan
harapan bekas luka operasi I telah matang.
B. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan
pada anak lebih besar dengan penis yang sudah cukup
besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal. Uretra
dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian dorsal dan distal
penis dengan pedikel kemudian ditransfer ke ventral.

Komplikasi

1. Fistula uretrocutaneous
2. Stenosis uretra
3. Striktur uretra
4. Twisted penis

103

28

Ulkus Dekubitalis

Definisi

Nekrosis atau ulserasi akibat tekanan yang lama, biasanya


terjadi pada pasien yang mengalami imobilisasi.

Epidemiologi

Data di Amerika tahun 1994, ulkus dekubitalis terjadi pada


kurang lebih 10% pasien yang dirawat, di mana 60% di
antaranya berusia di atas 70 tahun.

Etiologi

A. Etiologi utama
1. Tekanan
a. Tekanan kapiler normal 12-32 mmHg, bila tekanan
jaringan lebih dari 32 mmHg, sirkulasi menurun dan
terjadi iskemi
b. Saat terlentang tekanan pada tumit dan sakrum
mencapai 40-60 mmHg, sedangkan saat duduk tekanan
pada iskium dapat mencapai 100 mmHg
c. Semakin tinggi tekanan, semakin singkat waktu yang
diperlukan untuk terjadi iskemi
d. Meski tekanan melebihi tekanan kapiler, terjadinya ulkus
dekubitalis dapat dicegah dengan menghilangkan
tekanan secara periodik (ubah posisi setiap 2 jam)
2. Regangan: meregangkan pembuluh darah, menyebabkan
trombosis dan iskemi
3. Gesekan: trauma mekanik pada epidermis saat
pemindahan posisi pasien
4. Kelembaban: menyebabkan maserasi, dapat terjadi akibat
inkontinensia atau infeksi, dan selanjutnya menjadi ulkus
B. Etiologi tambahan
1. Malnutrisi
2. Gangguan saraf sensoris
3. Infeksi pada luka
4. Usia
5. Imobilisasi

Klasifikasi

6. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, merokok, penyakit


pembuluh darah
Klasifikasi ulkus sesuai National Pressure Ulcer Advisory Panel
system di Amerika
Stage I: Eritema yang bertahan lebih dari 1 jam setelah
tekanan dihilangkan, kulit utuh
Stage II: Kehilangan kulit partial thickness
Stage III: Kehilangan kulit full thickness hingga subkutan tapi

104

belum mencapai fascia


Stage IV: Kerusakan melewati fascia mengenai otot, tulang,
tendon, atau persendian

Diagnosis

Terdapat kemerahan atau ulserasi pada pasien yang


mengalami imobilisasi. Pada posisi terlentang biasanya
terdapat di sakrum dan tumit, pada pasien posisi duduk sering
terdapat di iskium dan trokanter

GS

Gambar 48. Lokasi ulkus dekubitalis yang paling sering. Kiri pada posisi supinasi
(terlentang), kanan pada pasien dengan posisi duduk

Manajemen

A. Pencegahan:
1. Mengatasi faktor risiko utama
a. Hilangkan tekanan: pasien terlentang berubah posisi
setiap 2 jam, pasien duduk diangkat setiap 10 menit
selama lebih dari 10 detik
b. Minimalkan kelembaban dengan sering mengganti
pakaian dan seprai
c. Minimalkan regangan dengan penempatan posisi yang
nyaman dan sesuai
d. Minimalkan gesekan dengan cara pemindahan yang hatihati
2. Mengatasi faktor risiko sekunder
a. Obati infeksi
b. Perbaiki nutrisi, usahakan optimal

105

c. Hentikan rokok
d. Kendali gula darah pada pasien diabetes mellitus
e. Obati penyakit vaskular yang mungkin ada
B. Penanganan ulkus dekubitalis
1. Pastikan ada yang mengubah posisi pasien secara berkala
setiap 2 jam
2. Ulkus dekubitalis partial thickness
a. Atasi semua etiologi
b. Penutup luka, bisa ditambah dengan silver sulfadiazin
c. Biasanya sembuh dalam 2-3 minggu secara konservatif
3. Ulkus dekubitalis full thickness
a. Atasi semua etiologi
b. Debridement untuk membuang semua jaringan mati
c. Penutup luka lembab-basah, antibiotik bila infeksi,
penutup oklusif untuk luka pasca-debridement tidak
terinfeksi, mengobati infeksi jaringan lunak
(debridement, drainase, antibiotik), mengobati bila
terjadi osteomielitis (debridement agresif, antibiotik
sistemik), atau penggunaan vacuum assisted closure
pada luka decubitus tertentu
d. Jaringan yang terbuka dapat ditutup dengan flap, atau
pada kasus sederhana bisa dengan graft

GS

Gambar 49. Ulkus dekubitalis pada punggung dan sakrum-iskium. Kiri: praoperasi. Kanan: Pasca skin graft pada daerah sakrum-iskium kanan. Pasien tidak
mengalami gangguan sensibilitas permanen.

106

GS

GS
GS

Gambar 50. Ulkus dekubitalis pada sakrum-iskium. Kiri: Pra-operasi. Kanan:


Pasca operasi dengan flap V-W advancement gluteus maksimus pada daerah
sakrum.

107

19
Definisi

Lesi Kuku:
Ingrowing Toenail
Luka kronik pada jari kaki akibat adanya kuku yang tumbuh
berlebih dan melukai tepi jari.

Epidemiologi

Ingrowing toenail sering ditemukan terutama pada jempol


kaki, akan tetapi angka kejadiannya tidak diketahui pasti
jumlahnya.

Etiologi

Faktor genetik atau sistemik yang menyebabkan nail plate


tumbuh lebih lebar dari nail bed

Faktor Risiko

1. Memotong kuku yang tidak baik sehingga tepinya melukai


jaringan lunak waktu berdiri
2. Hiperhidrosis, suasana lembab dalam sepatu menyebabkan
mudahnya tumbuh bakteri dan kulit mudah maserasi
3. Sepatu yang terlalu sempit
4. Kebersihan kaki yang buruk
5. Pergerakan kaki yang salah
6. Deformitas di kaki

Patofisiologi

1. Kuku yang relatif melebihi yang normal tumbuh melukai sisi


lateral nail groove, kemudian bakteri dan jamur dapat
masuk. Kuku juga dapat dianggap tubuh sebagai benda
asing dan menghambat penyembuhan luka.
2. Adanya hipertrofi pada nail fold distal menyebabkan pasien
tidak dapat memotong seluruh kukunya dan menyisakan
sisa kuku yang berbentuk seperti duri yang disebut
fishhook nail. Keadaan tersebut menyebabkan ingrowing
toenail bertambah parah.

GS

GS

Gambar 51. Ingrowing toenail pada jari I kaki kiri bagian medial, sampai ke
bagian proksimal. Perlu dilakukan operasi nail plasty. Perhatikan pada gambar
kiri, daerah yang mengalami inflamasi. Tampak depan: penonjolan jaringan
lunak tepi kuku akibat proses peradangan.

108

Manajemen

Luka kronik pada jari kaki akibat adanya kuku yang tumbuh
berlebih dan melukai tepi jari.
Ingrowing toenail sering ditemukan terutama pada jempol
kaki, akan tetapi angka kejadiannya tidak diketahui pasti
jumlahnya.
Faktor genetik atau sistemik yang menyebabkan nail plate
tumbuh lebih lebar dari nail bed
1. Memotong kuku yang tidak baik sehingga tepinya melukai
jaringan lunak waktu berdiri
2. Hiperhidrosis, suasana lembab dalam sepatu menyebabkan
mudahnya tumbuh bakteri dan kulit mudah maserasi
3. Sepatu yang terlalu sempit
4. Kebersihan kaki yang buruk
5. Pergerakan kaki yang salah
6. Deformitas di kaki
1. Kuku yang relatif melebihi yang normal tumbuh melukai sisi
lateral nail groove, kemudian bakteri dan jamur dapat
masuk. Kuku juga dapat dianggap tubuh sebagai benda
asing dan menghambat penyembuhan luka.
2. Adanya hipertrofi pada nail fold distal menyebabkan pasien
tidak dapat memotong seluruh kukunya dan menyisakan
sisa kuku yang berbentuk seperti duri yang disebut
fishhook nail. Keadaan tersebut menyebabkan ingrowing
toenail bertambah parah.
1. Prinsip manajemen adalah menghilangkan dan mencegah
adanya kuku yang melukai sisi lateral nail groove
2. Bila ingrowing toenail pada bagian distal saja, maka dapat
dilakukan manajemen konservatif, diantaranya:
a. Mengganjal batas kuku dan lateral nail groove
menggunakan kapas yang diberi pelembab
b. Splinting menggunakan potongan selang infus yang
diletakkan antara kuku dan lateral nail groove,
dipertahankan selama 3-4 minggu
c. Abrasi untuk menipiskan permukaan kuku (kecuali
bagian tepi) dapat membuat kuku lebih fleksibel
d. Menarik lateral nail groove ke arah plantar dengan
menggunakan perekat kulit/ plester
3. Pada ingrowing toenail terjadi sampai bagian proksimal,
maka dapat dilakukan pembedahan. Manajemen ingrowing

109

Luka kronik pada jari kaki akibat adanya kuku yang tumbuh
berlebih dan melukai tepi jari.
Ingrowing toenail sering ditemukan terutama pada jempol
kaki, akan tetapi angka kejadiannya tidak diketahui pasti
jumlahnya.

Komplikasi
Faktor genetik atau sistemik yang menyebabkan nail plate

GS

GS

GS

GS

Gambar 52. Nail plasty. Kiri atas: Setelah anestesi blok dan torniquet
menggunakan kasa yang dipelintir, 3mm kuku dipotong menanjang sampai
dengan nail fold. Kanan atas: kuku patologis diambil. Kiri bawah: Penjahitan
kuku dan kulit secara through and through. Kanan bawah: Luka diberi
antibiotik topikal dan ditutup perban ketat melingkar.

110

Kepustakaan
Anatomi Kulit
Sammer D. Tissue Injury and Repair: Skin Structure. Dalam
Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic
Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal
1-2
Penyembuhan Luka
Sammer D. Tissue Injury and Repair. Dalam Brown DL,
Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery.
Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 1-8.
Keloid dan Parut hipertrofik
1. Darzi A, Chowdri A, Kaul K, et.al. Evaluation of various
methods of treating keloids and Hypertrophic Scars: a 10year follow up study. Br J Plast Surg. 1992; 45:374-9.
2. Reiken R, Wolfort F, et.al. Control Hypertrophic Scar growth
using Selectively Photo Thermolysis. Lasers Surg Med.
1997; 21:7-12.
3. Rockwell WB, Cohen K, Ehrlich HP. Keloid and Hypertrophic
Scars: A Comprehensive Review. Plas Recons Surg. 1989;
84:827-37.
4. Ketchum LD, Robinson DW, et.al. Follow up on treatment of
Hypertrophic Scars and Keloids with Triamcinolone. Plas
Recons Surg. 1971;48:256-9.
5. Blackburn WR, Cosman B. Histologic Basis of Keloid and
Hypertrophic Scar differentiation. Clinicopathologic
Correlation. Arch Pathol. 1966;82:65-71.
6. Cosman B, Cricklair GF, et.al. The Surgical Treatment of
Keloids. Plas Recons Surg. 1961; 27:335-9.
7. Hudson U. Keloid and Hypertrophic Scar Compared.
(Online). Dapat diakses di: www.phudson.com/scar/
keloidvhyper.html
8. Keloid and Hypertrophic Scars. AOCD. (Online). Dapat
diakses di: www.aocd.org/skin/dermatologic_diseases/
keloid_and_hypert.html
9. Kantor J. Keloid. (Online). 2004. Dapat diakses di:
www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000849.htm
10. Manuskratti, W., Fitzpatrick, R. Treatment of
Hypertrophic Scars and Keloid: A Multifaceted Approach.
(Online). Dapat diakses di: www.thaicosderm.org/
med.topik/keloidRX.htm

113

Teknik Dasar Pembedahan


Trussler AP. Surgical Tecnoques and Wound Management.
Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of
Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia:
2004. Hal 9-15.
Anestesi Lokal
Thorne AC. Local Anesthetics. Dalam Aston SJ, Beasley RW,
Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5.
Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal 99-103
Skin Graft dan Flap
1. Chang E. Grafts. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor.
Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott
Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 16-20.
2. Lynch J. Flaps. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor.
Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott
Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 22-30.
3. Spector J, Levine J. Cutaneous Defects: Flap, Grafts, and
Expansion. Current Therapy in Plastic Surgery. Saunders,
Philadelphia. 2006. Hal 11-20.
4. Perdanakusuma D. Skin Grafting. Airlangga University
Press. Surabaya. 1998. Hal 7-27.
5. Smith JD, Pribaz JJ. Flaps. Dalam Achauer BM, Eriksson E,
Guyuron B, Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk CA.
Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes.
Mosby. St. Louis: 2000. Hal 261-290.
6. Matheus J, Foad N. Text book of application of Flap. 2nd ed.
CV. Mosby Company, St. Louis. 1998. Hal 585-609.
7. Grande D. Skin Grafting. (Online). Sept 2006. Dapat
diakses di: www.emedicine.com/derm/topic867.htm
8. Hart JP. Skin Graft. (Online). 6 Okt 2005. Dapat diakses di:
www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/ 002982.htm
Bedah Mikro
1. Borschel GH. Microsurgery. Dalam Brown DL, Borschel GH,
editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott
Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 38-43
2. Shenaq SM, Sharma SK. Principles of Microvascular
Surgery. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor.
Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. LippincottRaven. Philadelphia: 1997. Hal 73-77

114

Neurofibroma
1. Petro A. Benign Skin Lesions: Neurofibroma. Dalam Brown
DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery.
Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 78.
2. Zarem HA, Lowe NJ. Benign Growth and generalized skin
Disorders. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor.
Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. LippincottRaven. Philadelphia: 1997. Hal 150-1.
3. Alphen, HAM. Tumor Susunan Saraf. Onkologi. Edisi 5.
Panitia Kanker RSUP dr. Sardjito. Yogyakarta.1999. Hal
565-87.
4. Neurofibroma. (Online). Dapat diakses di: www.usc.edu/
hsc/dental/opath/cards/neurofibroma.html
5. Neurofibroma. (Online). Sept 2006. Dapat diakses di:
http://en.wikipedia.org/wiki/neurofibroma
6. Neurofibroma. Chilren's Hospital Boston. (Online). Dapat
diakses di: www.childrenshospital.org/az/site1085/
printerfriendlypageS1085PO.html
7. Neurofibroma. (Online). Dapat diakses di:
www.maxillofacialcenter.com/bondbook/softtissue/neurofib.
html
Nevus
Netscher D, Spira M, Cohen V. Benign and Premalignant Skin
Lesion: Tumors of Melanocyte System. Dalam Achauer BM,
Eriksson E, Guyuron B, Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk
CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes.
Mosby. St. Louis: 2000. Hal 305-7
Lipoma
1. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of
Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia:
2004. Hal
2. American Family Pysician. Lipoma Excision. (Online). 1 Mar
2002. Dapat diakses di: http://www.aafp.org/afp/
20020301/901.html
3. Lipoma. (Online). Dapat diakses di: http://
www.maxillofacialcenter.com/BondBook/softtissue/
lipoma.html
4. Lipoma--Topic Overview. (Online). Dapat diakses di: http://
www.webmd.com/hw/skin_and_beauty/tp21226.asp
5. Lipoma. (Online). Dapat diakses di: http://
www.mayoclinic.com /health/lipoma/DS00634

115

Fibroma
Cather JC. Papule on the dorsal foot. Proc (Bayl Univ Med
Cent). 2006;19:151152
Kista Ateroma
Pieter J, Prasetyono TOH, Bisono, Halimun M. Kista. Dalam
Sjamsuhidajat, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
EGC. Jakarta: 2005. Hal 321
Karsinoma Sel Basal
1. Casson P. Basal Cell Carcinoma. Clin Plast Surg. 1980;
7:301-311.
2. Neering H, Kroon B. Tumor Kulit. Onkologi. Panitia Kanker
RSUP dr Sardjito. Yokyakarta. 1996. h. 448-452.
3. Flemming ID, Amonette R, Monaghan T, et.al. Principles of
management of basal and Squamous Cell Carcinoma of the
Skin. Cancer. 1995. 75:699-704.
4. Richmond JD, Davie RM. The Significance of Incomplex
excision in Patients with Basal Cell Carcinoma. Br J Plast
Surg. 1987. 40:63-67
5. Riefkohl R, Pollack, et.al. A rationale for the Treatment of
Difficult Basal Cell and Squamous Cell Carcinoma of Skin.
Ann Plast Surg. 1985. 15:99-104
6. Wilkinson J, Shaw S, et.al. Tumour (Basal Cell Carcinoma).
Dermatology in Focus. Elsevier Churchill Livingstone.
Edinburg. 2005.p.130.
7. Breuninger K, Dietz. Prediction of Subclinical Tumor
Infiltration in Basal Cell Carcinoma. J Dermatol Surg Oncol.
1991. 17:574-57
Karsinoma Sel Skuamosa
Hedrick MH, Lorenz HP, Miller TA. Malignant Skin Conditions.
Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman III JJ,
Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications,
Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. Hal 31524
Melanoma
1. Janiga TA. Malignant Skin and Soft Tissue Lesions. Dalam
Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic
Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004.
Hal 61-73

116

2. Mecht SD. Melanoma. Dalam Achauer BM, Eriksson E,


Guyuron B, Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk CA.
Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes.
Mosby. St. Louis: 2000. Hal 325-55
Hemangioma
1. Cavaliere CM. Vascular Anomalies. Dalam Brown DL,
Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery.
Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 80-1.
2. Mulliken JB. Vascular Anomalies. Dalam Aston SJ, Beasley
RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery.
Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal 191-196
3. Dufresne CR. The Management of Hemangiomas and
Vascular Malformations of the Head and Neck. Plastic
Surgery: Indications, Operations, and Outcomes. Mosby.
St.Louis. 2000. Hal 973-995
4. Kantor J. Hemangioma. University of Maryland Medical
Centre. (Online). 2004. Dapat diakses di: www.umm.edu/
ency/article/001459.htm
Ingrowing Toenail
Krull EA. Toenail Surgery. Dalam Krull EA, Zook EG, Baran R,
Haneke E, editor. Nail Surgery, A Text and Atlas. Philadelphia:
Lippincott-Williams&Wilkins; 2001. Hal 135-61
Rekonstruksi Kelainan di Muka
Brown DL, Borschel GH. Facial Reconstruction (Section).
Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of
Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia:
2004. Hal 109-34
Noma
1. Enwonwu CO, Falkler WA Jr, Idigbe EO, Afolabi BM, Ibrahim
M, Onwujekwe D, dkk. Pathogenesis of Cancrum Oris
(Noma): Confounding Interactions of Malnutrition with
Infection. Am. J. Trop. Med. Hyg., 60(2), 1999, hal.
223232
2. Bourgeois DM, Diallo B, Frieh C, Leclercq MH. Epidemiology
of the incidence of oro-facial noma: a study of cases. Am. J.
Trop. Med. Hyg., 61(6), 1999, pp. 909913
3. Devi SR, Gogoi M. Aesthetic restoration of facial defect
caused by cancrum oris: A case report. Indian Journal of
Plastic Surgery, Vol. 36, No. 2, Dec, 2003, pp. 131-133

117

Bibir Sumbing
1. Jeffers LC. Cleft Lip. Dalam: Brown DL, Borschel GH, editor.
Michigan Manual of Plastic Surgery. Philadelphia: LippincottWilliams&Wilkins; 2004. Hal 151-9.
2. LaRossa D. Unilateral Cleft Lip Repair. Dalam: Achauer BM,
Erikkson E, Guyuron B, Coleman JJ, Russell RC, VanderKolk
CA, editor. Plastic Surgery: Indications, Operations, and
Outcomes. St.Louis: Mosby; 2000. Hal 755-67.
3. Afifi GY, Hardesty RA. Bilateral Cleft Lip. Dalam: Achauer
BM, Erikkson E, Guyuron B, Coleman JJ, Russell RC,
VanderKolk CA, editor. Plastic Surgery: Indications,
Operations, and Outcomes. St.Louis: Mosby; 2000. Hal
769-97.
4. Grayson BH, Santiago P. Presurgical Orthopedics for Cleft
Lip and Palate. Dalam: Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM,
editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Ed. 5. New York:
Lippincott-Raven; 1997. Hal 237-44.
5. Byrd, HS. Unilateral Cleft Lip. Dalam: Aston SJ, Beasley RW,
Thorne CHM, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Ed.
5. New York: Lippincott-Raven; 1997. Hal 245-53.
6. Cutting CB. Primary Bilateral Cleft Lip and Nose Repair.
Dalam: Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM, editor. Grabb
and Smith's Plastic Surgery. Ed. 5. New York: LippincottRaven; 1997. Hal 255-63.
7. Behrman. Nelson Pediatrics. 2000. p: 1111-12
8. Kirschner. Otolaryngol. Clin north Am. 2000. p.33:1191-215
9. Weintraub. Otolaryngol. Clin north Am. 2000. p.33:1171-89
10. Cleft Lip Cleft Palate. (Online). Dapat diakses di:
www.fpnotebook.com/NIC7.htm
Muka Sumbing
1. Cavaliere CM. Craniosynostosis and Craniofacial
Syndromes. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan
Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins.
Philadelphia: 2004. Hal 165-173.
2. Kawamoto Jr HK. Craniofacial Cleft. Dalam Aston SJ,
Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic
Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal
349-363.
3. Argenta LC, David LR. Craniofacial Clefts and Other Related
Deformities. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B,
Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery:
Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis:
2000. Hal 741-754.

118

Fraktur Tulang Muka


1. Manson PN. Facial Fractures. Dalam Aston SJ, Beasley RW,
Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi
5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal 383-406
2. Edward SP. Facial Trauma. Dalam Brown DL, Borschel GH,
editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott
Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 174.
3. Mas'ud AF, Sudjatmiko G, Prasetyono T, Susanto I.
Association beetwen Facial Bone Fracture and Traumatic
Bone Injury. Makalah PIT Bali 2006. Divisi Bedah Plastik
RSCM. Jakarta. 2006
4. Richardson ML. Facial and Mandibular Fractures. University
of Washington School of Medical. (Online). 2000. Dapat
diakses di: www.rad.washington.edu/mskbook/facialfx.html
5. Darmadiputra, Bisono, et.al. Fraktur Tulang Wajah. Buku
Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. EGC. Jakarta. 2003. Hal 337-339.
6. Setiamihardja S. Trauma/Fraktur Tulang Muka. Kumpulan
Kuliah Ilmu Bedah. FKUI Bag. Ilmu Bedah RSCM. 1995: Hal
425-7.
7. Dolan KD, Jacoby CG, et.al. The Radiology of Facial
Fractures Radiographics. 1984;4:575-663.
8. Facial Fracture Symptoms. (Online). Dapat diakses di:
www.emedicinehealth.com/facial_fracture/page3_em.htm
9. Harris, Troetscher. Face and Mandible. (Online). Dapat
diakses di: www.uth.tmc.edu/radiology/test/er_primer/
face/facetxt.html
10. Mitchell, B. Maxillofacial Trauma. Gale Encyclopedia of
Medicine. (Online). Des 2002. Dapat diakses di:
www.lifesteps.com/gm/atoz/ency/maxillofacial_trauma.jsp
11. Facial Bone Fracture. (Online). Dapat diakses di:
www.health_care_clinic.org/injuries/facial-bonefracture.htm
Luka Bakar
1. Pacella, S. Acute Burns. Dalam Brown DL, Borschel GH,
editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott
Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 380-386
2. Setiamihardja S. Luka bakar. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
FKUI. Jakarta. 1995. Hal 435-40.
3. About Burn Injuries. (Online). Dapat diakses di:
www.burn_recovery.org/injuries.htm

119

4. Burns management. (Online). Dapat diakses di:


www.health.nsw.gov.au/public_health/burns/burnsmgt.pdf
7. Www.bmj.bmjjournals.com/cgi/content/full/329/7460/
274?etoc.
8. Massachusetts Burn Injury Reporting System. 2001 Annual
Report. (Online). Dapat diakses di: www.mass.gov/dfs/
osfm/firedata/mbirs/mbirs_2001ar.pdf
9. www.medscape.com/viewarticle/535519?rss
10. www.burnsupportonline.com/pic.asp?icat=6&ipic=7
Kontraktur
1. Barret JP. Burn Reconstruction. British Medical Journals. 31
July 2004; 329; 274-276.
2. Wolter KG. Burn Reconstruction. Dalam Brown DL, Borschel
GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery. Lippincott
Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 390-6
3. Burn Reconstruction. (Online). Dapat diakses di:
www.btinternet.com/~bmphilp/eburns/burn_reconstruction.
html
Hipospadia
1. Coleman DJ, Banwell PE. Hypospadias. In Mathes SJ, editor,
Plastic Surgery. 2nd ed. Saunders Elsevier. Philadelphia.
2006. Hal 1259-1279.
2. Hollenbeck BK. Nelson CP. Hypospadias. Dalam Brown DL,
Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery.
Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 372-4.
3. Horton Sr CE, Horton Jr CE, Devine CJ Jr. Hypospadias,
Epispadias and Exstrophy of the Bladder. Dalam Aston SJ,
Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic
Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal
1101-8.
4. Baskin, LS. Hypospadias. Anatomy, Embryology and
Reconstructive Techniques. University of California. USA.
(Online) 2000. Dapat diakses di: www.brazjurol.com.br/
novembro/baskin_621_629.htm
5. Sastrasupena, H. Hipospadia. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
FKUI. Jakarta. 1995. h. 428-34.
6. Soomro, NA., Neal, DE. Treatment of Hypospadias: an
Update of Current Practice. Hosp Med. 1998; 59:553-556.
7. Hypospadias. Www.surgicaltutor.org.uk/defaulthome.htm?
System/hnep/hypospadias.htm~right.
8. www.pennhealth.com/.../hypospadiasrepair_4.html

120

Anda mungkin juga menyukai