Epidermis
Anatomi Kulit
1. Berlapis, berkeratin, dan avaskular
2. Stratum korneum: Lapisan keratin yang hampir aseluler
3. Stratum lusidum: Lapisan sel-sel mati tanpa inti sel
4. Stratum granulosum: Sitoplasma mengandung granula
yang akan berkontribusi dalam pembentukan keratin
5. Stratum spinosum: Desmosom menghubungkan sel-selnya
sehingga tampak seperti duri
6. Stratum germinativum (lapisan basal)
a. Hemidesmosom menghubungkan sel-sel basal dengan
membran basal
b. Melanosit menghasilkan melanin, yang akan difagosit
oleh keratinosit di sekitarnya
Dermis
Adneksa
A. Folikel rambut
1. Adanya pertumbuhan sel-sel epidermis ke dalam
jaringan dermis dan subkutan di sekeliling rambut
2. Kelenjar sebasea yang berdekatan bersekresi ke folikel
rambut
3. Dipertahankan pada thick split-thickness skin graft;
dapat mengubah diri menjadi epitel kulit permukaan
B. Kelenjar keringat ekrin
1. Struktur sekretori bentuk kumparan pada jaringan
subkutan, dengan satu saluran yang menuju permukaan
2. Berkurang atau tidak ada pada skin graft, sehingga kulit
menjadi kering; ada pada kulit hasil skin graft
C. Kelenjar keringat apokrin
1. Ditemukan di daerah aksila dan inguinal
2. Bersekresi ke folikel rambut
3. Aktif saat pubertas
GS
Gambar 1. Penampang kulit, terdiri atas: (1) stratum korneum , (2) epidermis,
(3) dermis, (4) kelenjar sebasea, (5) folikel rambut, (6) pleksus papila dermis,
(7) arteri kutaneus direkta, (8) a. Perforator yang menghidupi satu area, (9)
fascia dan otot, (10) kelenjar keringat, (11)korpus Paccini
D. Semua struktur adneksa menjadi sumber epitelisasi pada
luka partial-thickness
Kolagen pada
kulit
Penyembuhan
Luka
Normal
Luka dan
Penyembuhannya
A. Penutupan luka
I. Penutupan primer: luka ditutup segera setelah ada luka
II.
Gangguan
Penyembuhan
Luka
Faktor lokal
A. Insufisiensi arteri
1. Iskemia lokal menyebabkan terhambatnya produksi
kolagen dan terjadi infeksi
2. Pemeriksaan ankle-brachial index harus dilakukan pada
pasien dengan luka di tungkai bawah dan pada pasien
dengan risiko insufisiensi vaskuler
3. Koreksi kelainan yang mendasari iskemi dengan graft
pintas atau penggunaan stent sebelum penyembuhan
cedera iskemik dapat berlangsung
B. Insufisiensi vena
1. Peningkatan tekanan vena menyebabkan ekstravasasi
protein dan mengurangi difusi oksien
2. Peningkatan tekanan vena dapat menyebabkan edema
C. Edema
1. Menyebabkan iskemi dengan cara meningkatkan volume
ekstrasel, mengurangi difusi dan konsentrasi oksigen
2. Penting untuk melakukan kompresi dan elevasi
D. Infeksi
5
Faktor sistemik
A. Diabetes mellitus
1. Gangguan mikrovaskular dan makrovaskular yang
berhubungan dengan diabetes mellitus dapat
menyebabkan iskemi lokal
2. Hemoglobin terglikosilasi memiliki afinitas terhadap
oksigen lebih tinggi dari normal, sehingga pengantaran
oksigen terganggu
3. Fungsi neutrofil terganggu, sehingga kemungkinan
mendapat infeksi meningkat
4. Neuropati perifer menyebabkan peningkatan lama dan
kuat tekanan pada jaringan karena sinyal untuk
mengurangi nyeri dan tekanan berkurang atau tidak ada
5. Bila luka memiliki vaskularisasi yang baik dan gula darah
terkendali (<180 mg/dL), luka operasi pada pasien
diabetes dapat sembuh secara baik
B. Malnutrisi
1. Persediaan protein yang cukup penting pada
penyembuhan luka
a.Kadar albumin normal lebih dari 3,5 g/dL
b.Usia paruh albumin adalah 20 hari, sehingga tidak
menggambarkan perubahan nutrisi protein akut
c.Pengukuran kadar prealbumin lebih baik untuk
mengetahui perubahan nutrisi protein akut karena
usia paruhnya lebih singkat (2-3 hari)
d.Kadar prealbumin kurang dari 17 g/dL (normal 17-45)
menandakan adanya malnutrisi protein
2. Orang dewasa sehat tanpa luka memerlukan 35 kcal per
kg per hari untuk mempertahankan berat badan, dan
memerlukan 0,8-2 gram protein per kg per hari
3. Kebutuhan kalori dan protein meningkat pada penderita
luka kronik, cedera yang luas, dan luka bakar
4. Secara umum penutupan luka kronik tidak boleh
dilakukan kecuali kadar albumin pasien di atas normal
C. Defisiensi vitamin dan mineral
1. Vitamin C, Cu, zat besi, tiamin, dan zinc penting dalam
penyembuhan luka
2. Pemberian suplemen vitamin atau mineral jarang
diperlukan dan tidak memperbaiki penyembuhan luka
kecuali jika diketahui ada defisiensi yang spesifik
a. Defisiensi vitamin C menyebabkan skorbut, dan
gangguan penyembuhan luka karena berkurangnya
cross-linking kolagen
10
11
Luka Kronik
12
Keloid
Definisi
Etiologi
Insiden
Predileksi
Tanda dan
Gejala
Pemeriksaan
GS
GS
Gambar 2. Kiri: Keloid residif di dada perlu dikecilkan dengan operasi, Kanan:
Setelah operasi pengecilan massa dilanjutkan terapi kombinasi lainnya, bisa dipilih
injeksi steroid intralesi, krim anti keloid, salep steroid, lembar silikon, atau penekanan.
13
Manajemen
GS
GS
GS
Prognosis
Komplikasi
14
Parut Hipertrofik
Definisi
Etiologi
Tanda
Pemeriksaan
Manajemen
GS
GS
Gambar 4. Kiri: Parut hipertrofik pasca luka bakar, tampak seperti keloid.
Kanan: Pasca eksisi 3 minggu, ternyata tidak kambuh, demikian pula pada
kontrol 1 tahun.
15
Teknik Dasar
Pembedahan
Teknik dasar pembedahan yang dikemukakan adalah teknik
pada kulit dan jaringan lunak, yaitu:
1. Eksisi lesi kulit
2. Penutupan luka pada kulit dengan penjahitan
Garis Kontur
Lines of Dependency
(Garis akibat gravitasi)
16
GS
17
Tipe kulit
Kulit yang tebal dan berminyak banyak mengandung kelenjar
sebasea yang hipertrofi dan hiperaktif. Luka pada jenis kulit
tersebut akan menyembuh dengan parut jelas tampak dan
melekuk ke dalam (cekung).
Gangguan penyembuhan kulit dan parut yang terbentuk
! Pada kelainan biosintesis jaringan fibrosa dan jaringan
elastik dapat terbentuk parut yang lebar
! Penyakit yang mendasari dan menghambat penyembuhan
harus diketahui sebelum operasi
! Pada sindrom Ehlers-Danlos, kulit menyembuh secara
lambat dengan parut yang lebar
Metode Eksisi
a. Lesi dapat diangkat dengan membuat eksisi elips, baji, atau
lainnya
b. Arah sayatan disesuaikan dengan karakteristik kerutan dan
penuaan kulit
c. Kulit diregangkan menggunakan ibu jari dan telunjuk
sewaktu insisi
Eksisi elips sederhana
! Digunakan untuk mengangkat lesi kulit tidak terlalu besar
! Sumbu panjang elips ditempatkan sejajar garis kerut, garis
kontur, atau lines of dependency
! Sumbu panjang 4 kali lebih panjang dari sumbu pendek,
bila terlalu pendek maka akan terbentuk 'dog ear', yaitu
tonjolan seperti telinga anjing pada kedua ujung parut
Teknik Eksisi Multipel pada satu lesi (Eksisi Serial)
! Dapat diterapkan pada lesi kulit yang luas misal di tungkai
! Secara teoritis kulit yang mendapat tegangan akan melebar
dalam beberapa bulan
! Digunakan pada kulit yang tidak tumbuh rambut
! Diperlukan prosedur yang direncanakan dengan baik dan
dimengerti pasien
! Hasil akhir diharapkan berupa satu garis lurus saja
18
GS
Gambar 6. Kiri: Eksisi elips dan penutupannya. Membuat eksisi elips dengan
sudut minimal 30 derajat (atau panjang:lebar=4:1) akan memungkinkan
penutupan yang baik. Kanan: Eksisi elips yang terlalu pendek dibanding
lesinya akan menyulitkan penutupan, sehingga terbentuk dog ears. Garis
putus-putus menunjukkan cara menghilangkan dog ears.
Eksisi Baji
Lesi pada lokasi atau daerah yang berdekatan dengan tepi
kulit bebas, misalnya bibir, tepi nostril, kelopak mata, telinga,
bibir bawah dapat dieksisi dan ditutup dengan menjahit primer
Eksisi sirkuler
! Bila kulit wajah berdekatan misalnya dengan tulang rawan
di bawahnya
! Setelah pengangkatan lesi kulit yang besar pada bagian lain
tubuh
!
Penutupan defek setelah eksisi sirkuler:
! Flap kulit lokal
! Sliding subcutaneous pedicle skin flaps
! Two triangular subcutaneous pedicle flap
! Penutupan defek segitiga menggunakan teknik V-Y
! Flap transposisi lokal (hati-hati menggunakan flap ini pada
wajah)
! Penggunaan tissue expander untuk meluaskan kulit sehat
sekitar defek atau flap rotasi dapat bermanfaat
19
GS
GS
Gambar 7. Kiri: Lokasi eksisi baji pada muka. Kanan: Eksisi sirkuler dan
penutupannya.
A. Teknik Operasi untuk Eksisi Lesi Kulit
Instrumen
Gunakanlah gunting yang tajam, bilah pisau yang dapat
dilepas, jarum yang tajam, pemegang jarum yang berujung
halus, dan pinset berujung kecil bergigi.
Teknik insisi: Insisi elips dan insisi baji
Metode Hemostasis
Elektrokauter
! Arus listrik frekuensi tinggi, dengan amper relatif tinggi dan
voltase rendah
! Metode yang efektif untuk melakukan hemostasis pada
pembuluh darah kecil dan sedang
! Dapat meminimalkan trauma tapi meningkatkan kecepatan
operasi
20
GS
GS
Ligasi
Ligasi pembuluh darah menggunakan benang tipis misalnya
ukuran 5.0 (baca lima nol) yang tidak diserap, monofilamen
atau yang diserap sekitar 2 bulan
Penekanan dengan balutan
! Penekanan luka terus menerus dapat mengendalikan
kebocoran kapiler dengan efektif
! Penekanan dilakukan hingga terjadi koagulasi (+ 5 menit)
! Untuk mencegah perdarahan pada daerah yang aktif
berdarah, skin graft dapat dilakukan setelah penekanan 2448 jam (delayed skin grafting)
Vasokonstriktor
! Epinefrin dapat bekerja baik walau diencerkan hingga
1:500.000, tunggu sampai pucat baru menyayat
! Epinefrin topikal (1:100.000) pada luka terbuka
menggunakan spons yang lembab untuk mengurangi
perdarahan dari pembuluh darah kecil
! Semakin lama kerja vasokonstriktor, kemungkinan
kematian jaringan karena iskemi semakin luas
Penutupan Luka
pada Kulit
21
GS
22
23
GS
24
Sifat Kimia
Anestesi Lokal
A. Molekul zat anestesi lokal terdiri atas bagian aromatik
lipofilik, rantai intermediate yang terdiri atas ester atau
amid, dan bagian amin hidrofilik. Berdasarkan jenis rantai
intermediatenya, zat anestesi lokal dibedakan menjadi jenis
amino amid dan amino ester.
B. Zat anestesi lokal yang sering digunakan:
1. Amino amid: lidokain
2. Amino ester: prokain, kokain
Mekanisme
Kerja
Farmakologi
I. Farmakokinetik
A. Potensi zat anestesi lokal bergantung pada kelarutannya
dalam lemak, semakin larut lemak maka semakin cepat zat
tersebut melewati membran
B. Kecepatan awitan kerja
1. Ditentukan oleh pKa
a.Semakin besar konsentrasi molekul zat anestesi lokal
yang tidak terionisasi, semakin cepat awitan kerjanya
b.Semakin rendah pKa, konsentrasi zat anestesi lokal
pada pH tertentu semakin tinggi, sehingga awitan
kerja lebih cepat
c.Penambahan natrium bikarbonat akan meningkatkan
pH, sehingga meningkatkan kecepatan awitan kerja,
dan dapat mengurangi nyeri saat infiltrasi
2. Jaringan yang terinflamasi memiliki pH yang rendah,
sehingga mengurangi konsentrasi zat anestesi tidak
terionisasi, dan mengurangi efek anestesi lokal
C. Lama kerja
1. Efek vasodilatasi intrinsik pada zat anestesi lokal
umumnya dapat mengurangi lama kerjanya
2. Ikatan protein meningkatkan lama kerja zat anestesi
lokal
25
II. Metabolisme
A. Seluruh amid dan satu ester dimetabolisme di hati
B. Sebagian besar ester dimetabolisme plasma kolinesterase
C. Gangguan fungsi hati dapat mengganggu metabolisme
golongan aminoamid
III.
Reaksi alergi
Pemberian Zat
Anestesi Lokal
Toksisitas Zat
Anestesi Lokal
26
Teknik
Pemberian Zat
Anestesi Lokal
27
Defek Kulit
Setiap defek pada kulit (kehilangan kulit/ epitel kulit) harus ditangani sesuai
dengan komponen yang hilang, penyebab yang mendasari, lokasi anatomis,
estetika, gangguan fungsi yang berhubungan, dan ketersediaan jaringan donor
dan resipien. Kesesuaian donor dan resipien dapat dinilai dari warna kulit,
tekstur, ketebalan, dan kerapatan tumbuhnya rambut. Kesehatan pasien secara
umum juga perlu diperhatikan.
Konsep yang umum digunakan adalah skema anak tangga (reconstructive
ladder), yaitu urutan pilihan rekonstruksi dari teknik yang sederhana hingga
kompleks. Urutan teknik tersebut adalah penyembuhan sekunder, penutupan
jaringan secara langsung, skin graft, pemindahan jaringan lokal, pemindahan
jaringan regional, dan free tissue transfer. Reconstructive ladder berfungsi
sebagai panduan dalam terapi defek pada kulit, meski kadang teknik yang lebih
kompleks langsung digunakan bila diperlukan.
Pemindahan
jaringan bebas
Pemindahan
jaringan jauh
Pemindahan
jaringan lokal
Skin Graft
Penutupan luka
langsung
Penutupan luka
sekunder
Gambar 11. Skema anak tangga dalam penanganan defek kulit
28
Definisi
Jenis
Skin Graft
Skin Graft adalah tindakan memindahkan sebagian tebal kulit
dari satu tempat ke tempat lain, di mana jaringan tersebut
bergantung pada pertumbuhan pembuluh darah kapiler baru
dari jaringan penerima untuk menjamin kehidupannya. Bagian
kulit yang diangkat meliputi epidermis dan sebagian/seluruh
dermis, tergantung ketebalan kulit yang dibutuhkan.
1. Split Thickness Skin Graft (STSG), yaitu skin graft yang
terdiri atas epidermis dan sebagian dermis, dibagi lagi
menjadi:
! Thick : Epidermis + bagian lapisan dermis
! Medium : Epidermis + bagian lapisan dermis
! Thin: Epidermis + bagian lapisan dermis
2. Full Thickness Skin Graft (FTSG), yaitu skin graft yang
terdiri atas epidermis dan seluruh bagian tebal dermis
3. Composite graft, yaitu skin graft yang terdiri atas
epidermis, dermis, dan lemak subkutan
Indikasi
Split Thickness
Skin Graft
Keuntungan:
! Kemungkinan take lebih besar
! Dapat dipakai untuk menutup defek yang luas
! Donor dapat diambil dari daerah tubuh mana saja
! Daerah donor dapat sembuh sendiri/epitelisasi
Kerugian:
! Punya kecenderungan kontraksi lebih besar
! Punya kecenderungan terjadi perubahan warna
! Permukaan kulit mengkilat
! Secara estetik kurang baik
29
Full Thickness
Skin Graft
Keuntungan:
! Kecenderungan untuk terjadi kontraksi lebih kecil
! Kecenderungan untuk berubah warna lebih kecil
! Kecenderungan permukaan kulit mengkilat lebih kecil
! Secara estetik lebih baik dari split thickness skin graft
Kerugian:
! Kemungkinan take lebih kecil dibandingkan STSG
! Hanya dapat menutup defek yang tidak terlalu luas
! Donor harus dijahit atau sebagian ditutup oleh STSG bila
luka donor agak luas sehingga tidak dapat ditutup primer
! Donor terbatas pada tempat-tempat tertentu seperti
inguinal, supraklavikular, retroaurikular.
GS
Syarat Take
30
Teknik STSG
Teknik FTSG
GS
Gambar 13. Kiri: Pengambilan kulit untuk split thickness skin graft. Tengah:
Penggunaan mesh. Kanan: Pemasangan kulit pada resipien.
31
Definisi
Flap
Flap adalah segmen jaringan mobile sebagai hasil suatu
tindakan bedah, di mana jaringan tersebut tetap berhubungan
dengan suplai pembuluh darah asalnya melalui pedikel.
Sebagai basis sebuah flap, selain mengandung pembuluh
darah, pedikel juga dapat mengandung kulit, jaringan
subkutis, fasia, otot, dan saraf.
Definisi lainnya adalah Jaringan kulit dan subkutan yang
dipindahkan dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya
dengan satu sisinya dilepaskan dari landasan vaskuler, dan
dari sisi lain tetap melekat dengan landasan vaskulernya
dengan tujuan untuk memberi kehidupan flap tersebut.
Jenis Flap
Dibedakan berdasarkan:
1. Vaskularisasinya
- Random Skin Flap: tidak memiliki sumber pembuluh
darah tertentu yang dominan
- Axial Skin Flap: memiliki sumber pembuluh darah yang
dominan, jenisnya antara lain peninsular axial, island
axial, free flap
- Reverse-flow flaps: sumber pembuluh darah proksimal
dipotong, flap bertahan dengan sumber kehidupan dari
perdarahan dari distal
2. Cara berpindah
- Rotasi dengan Pivot Point: Rotasi, Transposisi, Interpolasi
- Advancement Flap: Single pedicle, V-Y advancement, Y-V
advancement, Bipedicle advancement
- Tak langsung: Kulit ditempel ke pergelangan tangan, 3
minggu kemudian dilepas kemudian ditempel ke tempat
baru, dengan tangan sebagai pembawa/ perantara
kehidupan flap
3. Jarak dari defek
- Lokal, terdiri atas
! Flap yang bertumpu di satu titik: flap rotasi,
transposisi, interpolasi
! Flap advancement: single-pedicle, V-Y, Y-V, bipedicle
- Flap Regional
- Flap jauh (distant skin flaps)
- Free flap
4. Jaringan yang dimiliki
- Cutaneous
- Fasciocutaneous
32
- Musculocutaneous
- Osteocutaneous
- Osteomusculocutaneous
- Omentum
Flap Kulit
Indikasi:
1. Rekonstruksi defek lokal dengan jaringan yang serupa
tampilannya
2. Menutup jaringan yang relatif kurang vaskular, misalnya
tulang tanpa periosteum
Jenis cutaneous flap:
1. Random-pattern flap
2. Axial-pattern flap
3. Advancement flap: single-pedicle, bipedicle, V-Y
advancement flap
4. Rotation flap: basic (unilobe), bilobed flap
5. Transposition flap: Z-plasty, Limberg (rhomboid),
Dufourmentel, interpolasi
Flap Fasciocutaneous
Flap Musculocutaneous
33
GS
GS
GS
34
Definisi
Bedah Mikro
Bedah mikro adalah pemindahan jaringan beserta pembuluh
darah yang menghidupinya kemudian disambungkan dengan
pembuluh darah resipien, menggunakan mikroskop operasi
atau kaca pembesar/ lup.
Teknik ini tidak tergantung pada jarak donor ke resipien,
tetapi yang dipertimbangkan adalah:
a. Kebutuhan pada defek
b. Tebal tipisnya flap dan kualitasnya
c. Besarnya pembuluh darah donor
d. Pembuluh darah resipien yang akan dipergunakan
e. Tidak perlu operasi dengan tahapan
Walaupun jenis operasi ini seolah tidak mengenal batas jarak
donor ke resipien, faktor lamanya operasi, mahalnya
mikroskop dan instrumen mikro, hasil operasi yang ekstrem
flap bisa hidup baik di tempat baru tapi bisa juga gagal total
dengan kematian flap menyebabkan ahli bedah plastik harus
mempertimbangkan dari awal cocok tidaknya jerih payah di
atas dengan hasil akhirnya.
Instrumen
A. Pembesaran
1. Mikroskop: pembesaran 6-40x
2. Lup: pembesaran 2,5-3,5x
B. Instrumen Bedah Mikro: biasanya kecil dan halus,
terpisah dari instrument biasa dengan perawatan khusus
agar tidak cepat rusak
C. Benang Jahit: biasa digunakan benang yang tidak diserap
dengan ukuran sangat kecil sehingga dapat digunakan
untuk menjahit rambut kepala sekalipun.
1. Terbuat dari Nilon atau polipropilen monofilamen
2. Ukuran 8-0: pembuluh darah dan saraf lengan atau
pergelangan
3. Ukuran 9-0 atau 10-0: pembuluh darah atau saraf jari
4. Ukuran 11-0: pembuluh darah jari distal dan pada anak
D. Obat-obatan dan larutan
1. NaCl atau ringer laktat ditambah heparin 100 U/mL,
dijaga hangat, untuk irigasi tepi pembuluh darah agar
tidak terjadi trombosis
2. Lidocaine 2% untuk mengurangi vasospasme
3. Papaverin untuk melawan efek vasospasme, di mana
papaverin bila bertemu heparin akan mengendap
35
Persiapan
Bedah Mikro
A. Persiapan Operator
1. Jangan stres; pekerjaan lain diwakilkan, dan sebagainya
2. Jangan melakukan olahraga terutama olahraga berat 2-3
hari sebelum operasi
3. Buat skenario operasi detail per jam
4. Ergonomi harus baik: tangan dan kaki ditopang dengan
baik, badan lurus, sesuaikan meja dan mikroskop, hal ini
penting untuk kerja berjam-jam
B. Persiapan Pembuluh Darah
1. Potong pembuluh darah secukupnya untuk mengurangi
tegangan anastomosis, akan tetapi jangan berlebihan
karena dapat menyebabkan vasospasme
2. Buang lapisan periadventisia pada ujung pembuluh
darah
3. Periksa kecukupan aliran dengan cara melepaskan klem
sesaat
4. Periksa lumen akan adanya debris atau kerusakan
intima, kemudian semprot dengan larutan NaCl atau RL
5. Dilatasi pembuluh darah hanya menggunakan dilator
pembuluh darah
Teknik
Anastomosis
Mikrovaskular
A. Umum
1. Jarum harus memasuki pembuluh darah pada sudut
yang sesuai pada tepi luka, dengan jarak sedikit lebih
dari ketebalan dinding pembuluh darah
2. Endotel tidak boleh terkena instrumen tajam, hanya
boleh dikenai oleh dilator pembuluh darah
3. Jarum harus menembus seluruh ketebalan dinding
pembuluh darah
4. Gunakan tiga ikatan untuk setiap simpul
5. Selalu visualisasi lumen dengan cara menyemprot
menggunakan larutan NaCl atau RL
6. Setelah selesai, lepaskan klem distal terlebih dahulu
untuk melihat aliran balik, setelah diperbaiki, klem
proksimal dapat dibuka
7. Bila tidak ada kebocoran yang besar, biarkan pembuluh
darah yang teranastomosis selama 10 menit dengan
dilembabkan menggunakan spons basah, setelah itu
dapat diperiksa patensinya
36
GS
37
GS
38
Lesi Kulit
39
10
Neurofibroma
Definisi
Etiologi
Patogenesis
Lokasi
Gejala klinis
GS
GS
41
Pemeriksaan
tambahan
Terapi
Komplikasi
Prognosis
GS
Gambar 18. Kiri: Nodul multipel difus. Kanan: Bercak caf au lait.
42
GS
11
Nevus
Definisi
Jenis
Perjalanan
penyakit
Terapi
43
12
Definisi
Lipoma
Lipoma adalah tumor jinak jaringan lemak yang dikelilingi
kapsul fibrosa tipis. Sering dijumpai di daerah kepala, leher,
bahu, dan punggung.
Epidemiologi
Etiologi
Klasifikasi
Diagnosis
Tatalaksana
44
C. Persiapan bedah
1. Gambar batas lipoma dan rencana eksisi pada permukaan
kulit
2. Bersihkan kulit dengan povidone iodine atau klorheksidin,
kemudian dipasang duk steril
3. Anestesi lokal menggunakan lidokain 2% dengan epinefrin,
dilakukan dengan field block, dengan cara menginfiltrasi
subkutan di sekeliling daerah operasi
GS
! Enukleasi
45
Komplikasi
46
13
Definisi
Epidemiologi
Etiologi
Fibroma
Fibroma adalah pertumbuhan reaktif fibroblas pada kulit.
Muncul saat dewasa
Pada banyak kasus dilaporkan adanya riwayat gigitan
serangga atau tumbuhnya rambut sebelum muncul gejala.
Oleh karena itu dermatofibroma oleh sebagian ahli dianggap
sebagai reaksi inflamasi, sementara sebagian lainnya
menganggapnya sebagai neoplasma.
Klasifikasi
Diagnosis
Tatalaksana
47
14
Definisi
Epidemiologi
Etiologi
Diagnosis
Kista Ateroma
Bentukan yang kurang lebih bulat dan berdinding tipis yang
terbentuk dari kelenjar sebasea, terbentuk akibat sumbatan
pada muara kelenjar sebasea. Kista aterom disebut juga kista
sebasea.
Kista ateroma banyak ditemukan di Indonesia. Jumlah
insidennya tidak diketahui pasti.
Sumbatan pada muara kelenjar sebasea, dapat disebabkan
oleh infeksi atau trauma
A. Banyak dijumpai di daerah yang banyak mengandung
kelenjar sebasea, misalnya di muka, kepala atau punggung.
Kadang disertai bau asam.
B. Bentuk bulat, berbatas tegas, berdinding tipis, bebas dari
dasar, melekat pada dermis di atasnya. Daerah muara yang
tersumbat terdapat puncta. Isi bubur eksudat warna putih
abu-abu, berbau asam.
Manajemen
GS
48
Gambar 23.
GS
49
15
Karsinoma
Sel Basal
Definisi
Etiologi
Epidemiologi
Tipe Karsinoma
Sel Basal
Manifestasi
Klinis
50
Manajemen
Prognosis
GS
GS
Gambar 24. Kiri: Karsinoma sel basal pada puncak hidung pra operasi. Kanan:
Pasca operasi.
51
16
Karsinoma
Sel Skuamosa
Definisi
Epidemiologi
Faktor Risiko
1. Radiasi UV
2. Pajanan zat kimia: beberapa pestisida, hidrokarbon organik
misalnya tar, bahan bakar minyak, parafin, arsen
3. Infeksi virus: infeksi human papilloma virus (HPV), herpes
simpleks
4. Radiasi
5. Ulkus Marjolin: terjadi pada luka kronik, di mana perubahan
genetik terjadi karena inflamasi kronik
6. Gangguan imunitas: imunosupresan, AIDS
7. Genetik: kulit putih, albino, xeroderma pigmentosum
Patofisiologi
Klasifikasi
Diagnosis
Lesi prekursor
1. Keratosis aktinik (4% menjadi karsinoma sel skuamosa)
2. Penyakit Bowen
3. Leukoplakia (15% menjadi keganasan)
4. Keratoakantoma
Ulserasi kecil pada kulit dan lesi lain yang dicurigai sebagai
kanker terlebih dahulu dirawat dengan menggunakan
antibiotik topikal dan penutup luka secara terus menerus. Bila
dalam 2-3 minggu lesi kulit tidak membaik, maka lesi tersebut
dianggap keganasan hingga terbukti sebaliknya.
Manajemen
52
Prognosis
53
17
Definisi
Melanoma
Melanoma adalah keganasan pada sel-sel melanosit yang
terdapat pada kulit dan organ tubuh lainnya. Biasanya lesi
primer terdapat di kulit.
Epidemiologi
Faktor Risiko
Patofisiologi
Klasifikasi
54
Tis
Melanoma in situ
T1
< 1,0 mm
T2
1,01-2,0 mm
T3
2,01-4,0 mm
T4
> 4,0 mm
N0
N1
Negatif
1 nodus
N2
N3
M0
M1a
M1b
M1c
a:
b:
a:
b:
a:
b:
a:
b:
a:
b:
A: mikrometastasis
b: makrometastasis
2-3 nodus
a: mikrometastasis
b: makrometastasis
c: in-transit metastasis/ satelit tanpa nodus
4 atau lebih, atau
metastasis
in-transit/ satelit
metastasis
dengan nodus
metastasis
Tidak ada metastasis jauh
Metastasis kulit, subkutan, atau
nodus
Metastasis paru
Metastasis viseral lainnya
Stage 0
Stage IA
IB
Stage IIA
IIB
IIC
Stage IIIA
IIIB
IIIC
Stage IV
Tis N0 M0
T1a N0 M0
T1b N0 M0, T2a N0 M0
T2b N0 M0, T3a N0 M0
T3b N0 M0, T4a N0 M0
T4b N0 M0
T1-4a N1a M0, T1-4a N2a M0
T4b N1a M0, T1-4b N2a M0, T1-4a N1b M0,
T1-4a N2b M0, T1-4a/b N2c M0
T1-4b N1b M0, T1-4b N2b M0, setiap T N3 M0
setiap T setiap N M1a, setiap T setiap N M1b,
setiap T setiap N M1c
55
Diagnosis
Manajemen
A. Penatalaksanaan definitif
1. Eksisi lokal luas (wide local excision) sebagai terapi
pilihan
2. Jarak tepi kulit saat pembedahan disesuaikan dengan
ketebalan melanoma
B. Penatalaksanaan nodus limfatik
1. Pembedahan elektif (elective lymph node dissection/
ELND)
2. Biopsi sentinel (sentinel lymph node biopsy/ SLNB)
C. Tindak lanjut pasca operasi
1. Pasien tanpa keluhan diperiksa setiap 3-4 bulan selama
2 tahun pertama, setiap 6 bulan pada 3 tahun berikut,
dan berikutnya setiap 1 tahun
2. Foto radiologi toraks dan tes fungsi hati (LDH dan alkali
fosfatase)
3. Rekurensi lokal dapat muncul dalam jarak 5 cm dari lesi
utama dalam 3-5 tahun pertama, biasanya di kulit,
subkutan, atau nodus limfatik jauh
4. Dapat ditambahkan kemoterapi atau imunoterapi
Komplikasi
56
18
Hemangioma
Definisi
Epidemiologi
Patogenesis
Klasifikasi
Mulliken
GS
GS
57
Perjalanan
Penyakit
Masalah
GS
GS
Gambar 26. Kiri: Hemangioma pada columella, sulit dieksisi dan rekonstruksi pra
operasi. Kanan: involusi pasca injeksi steroid intra lesional.
58
Diagnosis
Manajemen
Nyeri
GS
GS
GS
GS
Gambar 27. Kiri atas: Hemangioma di pelipis kiri, pasien usia 2 bulan, pra
operasi Kanan atas: Pasca operasi eksisi dan tutup primer. Kiri bawah:
Hemangioma lidah, pasien usia 2 bulan,pra operasi. Kanan bawah: operasi
mencegah perdarahan. Post operasi 2 minggu, tidak mengganggu fungsi lidah.
59
Manajemen hemangioma:
1. Terapi bedah: Operasi tanpa perlu takut banyak perdarahan
sebagaimana malformasi vaskular. Begitu diketahui
besarnya masih sebesar titik merah, bisa dioperasi dan
bekasnya hanya berupa garis merah 3-5 mm. Bila
hemangioma telah membesar dan dioperasi karena alasan
perdarahan, infeksi ataupun kemungkinan menutupi
pandangan mata, maka defek kulit epitel yang terjadi dapat
ditutup dengan Skin Graft atau Flap.
2. Penanganan perdarahan dan ulserasi
3. Mengatasi komplikasi
4. Terapi non bedah: kostikosteroid, interferon alfa, laser,
kemoterapi, pressure therapy, thermal therapy/
cryotherapy, radiasi, embolisasi dan skleroterapi, tentunya
dengan mempertimbangkan efek negatif sistemik
5. Observasi secara berkala untuk memantau perjalanan
penyakit
Prognosis
Komplikasi
GS
GS
60
Rekonstruksi Kelainan
di Muka
61
20
Rekonstruksi
Kelopak Mata
Rekonstruksi Kelainan
di Muka
I. Anatomi kelopak mata yang penting diketahui
A. Kulit kelopak mata adalah yang paling tipis di seluruh tubuh
B. Otot-otot konstriktor: m. orbicularis oculi, m. corrugator
supercilii, m. procerus
C. Septum orbita: jaringan fibrosa berlapis yang membatasi
mata dan orbita
D. Jaringan lemak orbita: posterior dari septum dan anterior
dari otot retraktor
E. Otot-otot retraktor: m. levator palpebra, m. Muller (atas),
fasia kapsulopapebra, m. tarsal inferior (bawah)
F. Tarsus: penyangga struktur kelopak mata menyerupai
kartilago, terdapat kelenjar Meibom di dalamnya
G. Konjungtiva: sel epitel gepeng berlapis
H. Tendon kantus: berhubungan dengan tarsus atas dan
bawah, di medial dan lateral
I. Peredaran darah: a. oftalmika dan cabang-cabangnya (a.
supraorbita dan a. lakrimalis), a. temporalis, dan a. angular
J. Persarafan:
1. Sensorik: N V1 (atas), N V2 (bawah)
2. Motorik: N III, N VII
II. Kelainan pada kelopak mata
A. Entropion: tepi kelopak mata melekuk ke dalam
B. Ektropion: tepi kelopak mata melekuk ke luar
C. Ptosis: kelopak mata tidak dapat membuka sempurna
D. Leserasi/ ruptur palpebra
III.
63
Rekonstruksi
Hidung
I. Anatomi hidung
A. Hidung dibagi menjadi tiga bagian, yaitu atas (tulang
hidung dan septum tulang), tengah (tulang rawan lateral
atas dan septum tulang rawan), dan bawah (tulang rawan
alar)
B. Jenis kulit dibagi dua, yaitu kulit tipis (dorsum nasi dan
kolumela), dan kulit tebal (ujung hidung dan ala)
C. Peredaran darah: a. angular cabang a. fasialis, a. labialis
superior, a. oftalmika cabang dorsonasal, dan a. maksilaris
interna cabang infraorbita
D. Persarafan:
1. Sensorik: N V (trigeminus) yaitu N V1 (oftalmika) dan V2
(maksilaris)
2. Motorik: N VIII (fasialis)
II. Rekonstruksi hidung
A. Tujuan
1. Mempertahankan terbukanya jalan napas dan bentuk
estetika yang baik
2. Mengganti kulit dengan warna, ketebalan, dan tekstur
yang sama
3. Mencegah terjadinya deformitas pasca operasi
B. Rekonstruksi yang baik harus mengganti seluruh lapisan
kulit yang hilang dengan jaringan yang serupa, yaitu
termasuk mukosa hidung, penyangga struktur hidung, dan
kulit penutup hidung
C. Rekonstruksi dilakukan segera, kecuali pada keadaan pasca
reseksi tumor di mana batas tumor meragukan atau
direncanakan radioterapi, serta adanya invasi tumor ke
tulang
64
Rekonstruksi
Pipi
Rekonstruksi
Telinga
65
21
Definisi
Noma
Penyakit infeksi (cancrum oris) yang merusak jaringan
orofasial serta struktur sekitarnya dengan penyebabnya
kuman Fusobacterium necrophorum pada anak dengan
gangguan imunitas.
Epidemiologi
Patofisiologi
Diagnosis
Manajemen
66
Prognosis
GS
GS
Gambar 29. Kiri: Pasien noma dewasa, pasca eksisi jaringan parut,
membebaskan fusi mandibula maksila, dan dilatih buka mulut kurang lebih 6
bulan. Kanan: Pasca caterpilllar/ jump flap dari inguinal ke pergelangan tangan
lalu ke defek mulut untuk menutup inner lining dan outer lining
67
Kelainan Kraniofasial
69
22
Definisi
Epidemiologi
Etiologi
Faktor Risiko
Patofisiologi
Klasifikasi
71
Diagnosis
GS
GS
Gambar 30. Kiri atas: Bibir sumbing satu sisi tidak lengkap (incomplete
unilateral cleft lip), pra-operasi. Kanan atas: pasca-operasi. Kiri bawah: Bibir
sumbing satu sisi lengkap (complete unilateral cleft lip and palate), pra-operasi.
Kanan bawah: Pasca-operasi.
72
GS
GS
GS
GS
Gambar 31. Kiri: Bibir sumbing dua sisi tidak lengkap (incomplete unilateral
cleft lip), pra-operasi. Kanan: Pasca-operasi.
Kondisi yang
berhubungan
GS
73
Tatalaksana
asupan
makanan
Tatalaksana
Pembedahan
A. Perioperatif
1. Kriteria Pre-operatif yang siap dioperasi
a. Tak ada tanda infeksi sistemik dengan tanda demam yang
bisa disertai leukositosis
b. Hidrasi/ cairan tubuh anak baik, Ht 30%
2. Pasca operatif
a. Pernafasan nasal yang baik
b. Asupan cairan pada 3 minggu pertama pasca bedah yang
adekuat
c. Menjaga bagian yang dibedah agar tidak tersentuh oleh
anak (siku dibidai dengan karton, dibungkus kapas)
B. Operasi bibir sumbing
1. Metoda Rotation Advancement merupakan dasar dari
desain operasi
2. Dapat dikerjakan pada usia sekitar 3 bulan, berat badan >
5 kg, Hb > 10 gr%
GS
GS
Gambar 33. Teknik Modifikasi Rotation Advancement Millard pada sumbing sisi
kiri komplit. Tujuan desain adalah menurunkan titik 3 agar satu level dengan titik
2.
74
Komplikasi
Awal
A. Jebol
B. Infeksi
C. Perdarahan
D. Kematian
Komplikasi
Hasil Akhir
Tujuan
Perbaikan
75
23
Definisi
Epidemiologi
Klasifikasi
Sumbing Muka
dan Kranial
Sumbing muka dan kranial atau sumbing kraniofasial adalah
terdapatnya celah pada struktur muka dan kranial. Sumbing
muka dan kranial yang melibatkan tulang dan jaringan lunak
terdapat di sepanjang garis-garis penyatuan struktur
kraniofasial. Sumbing di daerah orbita dapat mempengaruhi
bola mata dan otot-otot ekstraokular
Insiden sumbing muka 1,5-5 per 1000 kelahiran, biasanya
nonfamilial
Biasanya digunakan klasifikasi Tessier
1. Sumbing di atas tepi kelopak mata disebut sumbing kranial
2. Sumbing di bawah tepi kelopak mata disebut sumbing
muka
3. Sumbing kranial dan muka biasanya muncul bersamaan,
yaitu pada dua lokasi dengan jumlah angka 14 (misalnya
sumbing di garis 0 dan 14, 4 dan 10)
Klasifikasi Tessier paling bermanfaat bagi ahli bedah plastik
karena klasifikasi tersebut menghubungkan penampakan klinis
dengan anatomi pembedahan. Klasifikasi Tessier juga
mengintegrasikan topografi observasi klinis dengan gangguan
skeletal yang mungkin terjadi.
Adanya kelainan jaringan lunak dapat digunakan untuk
memperkirakan kelainan pada tulang di bawahnya, misalnya
1. Sekumpulan rambut abnormal
2. Garis rambut atau alis yang ireguler
3. Tepi kelopak mata yang ireguler
Manajemen
76
GS
Gambar 34. Klasifikasi sumbing muka menurut Tessier, ditandai dengan nomor 0
hingga 14. Gambar atas adalah lokasi sumbing pada jaringan lunak muka,
sedangkan gambar bawah adalah lokasi sumbing pada tulang
2. Sumbing oral-okular
a. Grup ini mencakup kelainan yang menghubungkan rongga
mulut dan orbita tanpa ada gangguan pada hidung.
Kelainan ini mumcul lateral dari Cupid's bow, sedangkan
struktur muka bagian tengah secara umum tetap baik
b. Dalam klasifikasi Tessier mencakup sumbing nomor 4, 5,
dan 6
c. Operasi dilakukan secara bertahap, bekerjasama dengan
dokter mata karena sering ditemukan kelainan pada mata
itu sendiri. Tujuan operasi adalah untuk menjaga struktur
bola mata dan kemampuan penglihatan
d. Operasi harus segera dilakukan karena kemungkinan
menyebabkan gangguan penglihatan.
77
GS
GS
Gambar 35. Kiri: Sumbing bibir bilateral disertai sumbing muka kanan Tessier 311 pra-operasi. Perhatikan parut di kedua bibir, dan aksis mata kanan dan kiri
yang tidak segaris. Kanan: Pasca operasi.
3. Sumbing muka lateral
a. Sumbing muka lateral meliputi sumbing nomor 7, 8, dan 9
pada klasifikasi Tessier, dan digambarkan dalam beberapa
sindrom misalnya sindrom Treacher Collins, sindrom
Goldenhar, mikrosomia hemifasial, dan displasia fasial
nekrotik.
b. Perbaikan sumbing muka nomor 7 dilakukan pada awal
kehidupan, dengan menyatukan kulit, mukosa, dan otot
c. Perbaikan sumbing nomor 8 dan 9 melibatkan rekonstruksi
kantus lateral dan memperbaiki posisinya pada orbita
4. Sumbing orbita kranial
a. Grup ini meliputi sumbing di superior mulai dari orbita
lateral hingga garis tengah, dan dapat berhubungan dengan
sumbing muka di bawah orbita
b. Sumbing muka ini meliputi kelainan Tessier nomor 10-14
c. Dapat terjadi gangguan neurologi karena terjadi gangguan
perkembangan otak
78
24
Definisi
Penyebab, Tipe,
Prevalensi,
Karakteristik
79
Gejala dan
Tanda Klinis
GS
Gambar 35. Fraktur Le Fort kompleks I-III. Secara klinis garis patah tidak harus
seperti gambar ini
80
D. Radiologis:
1. Foto AP: walaupun garis patah kadang tidak jelas,
dengan membandingkan sisi kontralateral, bisa ditemui
diskontinuitas tulang secara radiologis. Perhatikan
pengisian sinus oleh darah yang menyebabkan
pengaburan gambaran sinus.
2. CT scan bisa melihat garis patah yang tidak tampak
dalam foto radiologi biasa. CT scan 3-dimensi akan
menggambarkan bentuk tulang muka keseluruhan dan
tulang yang patah atau melesak dapat dikenali dengan
lebih jelas, dikerjakan atas indikasi khusus.
GS
Manajemen
A. Penanganan awal
a. Primary survey: Airway, Breathing, Circulation dan
selanjutnya tetap diawasi
b. Secondary survey: pemeriksaan leher, neurologis, scalp,
orbita, telinga, hidung, wajah bagian tengah, mandibula,
rongga mulut, dan oklusi. Adanya cedera kepala (brain
injury) dapat menunda timing operasi Open Reduction
Internal Fixation (ORIF) pada fraktur tulang muka
c. Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil
menunggu terapi definitif
d. Fraktur mandibula bilateral harus distabilkan agar tidak
mengganggu jalan napas
e. Bila ada hematoma septum nasi atau hematoma auricula,
harus dilakukan drainase dan dilanjutkan dengan balut
tekan/ tamponade hidung
81
GS
GS
Gambar 38. Laki-laki, 25 tahun dengan riwayat kecelakaan lalu lintas. Terdapat
deformitas muka dan ekskoriasi hematom palpebra superior dextra, step in rima
orbita lateral dextra, depresi nasal. Gambaran radiologis: garis fraktur di sutura
zygomatica frontalis dextra, kompleks zygoma maxilla dextra, kompleks
nasoethmoid dextra, mandibula intak.
Prognosis
82
Pencegahan
GS
GS
GS
GS
Gambar 39. Laki-laki, 30 tahun. Riwayat kecelakaan lalu lintas, dengan nyeri
dan sedikit perdarahan dari mulut. Pemeriksaan fisik: Jelas terdapat maloklusi.
Pada angulus mandibula kiri tampak jelas garis fraktur, juga pada simfisis
mandibula. Kiri atas: pra operasi. Kanan atas: pasca operasi dengan fiksator
archbar pada geligi agar tercapai oklusi yang baik. Pemeriksaan Radiologis:
dijumpai garis fraktur jelas pada angulus mandibula kiri dan simfisis (fraktur
segmental
83
Luka Bakar
85
25
Definisi
Luka Bakar
Luka bakar adalah kerusakan kulit tubuh yang disebabkan
oleh api, atau oleh penyebab lain seperti oleh air panas, listrik,
bahan kimia dan radiasi. Kerusakan dapat menyertakan
jaringan di bawah kulit.
Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan
morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan
penatalaksanaan khusus sejak awal sampai fase lanjut. Luka
bakar juga dapat menyebabkan koagulasi nekrosis pada kulit
dan terpaparnya jaringan hingga lapisan dalam termasuk efek
terhadap sistem organ lainnya.
Fungsi kulit adalah:
1. Penutup jaringan dibawahnya.
2. Melindungi trauma
3. Mencegah penguapan
4. Mencegah invasi bakteri, virus, jamur
5. Mengatur penguapan cairan
Patofisiologi
Penilaian Luka
Bakar
a. Anamnesis/ Penyebabnya
b. Kedalaman
c. Luas luka
d. Lokasi
e. Usia
87
Anamnesis/ Penyebabnya
Luka bakar dapat disebabkan oleh api, cairan panas, bahan
kimia, uap panas, ledakan, dan sebagainya. Penting juga
diketahui lamanya dan lokasi pajanan. Konsumsi obat-obatan
atau alkohol terakhir juga perlu ditanyakan. Mekanisme cedera
yang berhubungan juga perlu ditanyakan, misalnya ledakan,
jatuh, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.
Kedalaman Luka Bakar
Klasifikasi:
a. Derajat 1
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis. Kulit tampak
kemerahan. Nyeri hilang dalam 48-72 jam. Sembuh tanpa
cacat.
GS
Gambar 40. Kedalaman luka bakar pada kulit, dibagi atas derajat 1, derajat 2
dangkal, derajat 2 dalam, dan derajat 3
88
B. Derajat 2
Kerusakan mengenai seluruh epidermis disertai sebagian
dermis, terasa nyeri, kulit kemerahan, edematous, dan
timbul bulae. Luka bakar derajat 2 dibagi 2 jenis, yaitu:
! Superfisial,. Kulit kemerahan, edematous, timbul bulae,
nyeri. Banyak sel basal selamat, alat-alat di bagian
dermis masih baik, pelebaran pembuluh darah. Sembuh
dalam 2 minggu dengan tanpa parut atau parut minimal.
! Dalam. Kerusakan lapisan epidermis dan sebagian
dermis, masih basah tapi tampak pucat, nyeri kurang
dibandingkan derajat 2 superfisial. Dapat sembuh dalam
beberapa minggu hingga beberapa bulan disertai
jaringan parut.
c. Derajat 3
Kerusakan seluruh lapisan dermis atau lebih dalam. Tampak
epitel terkelupas dan, daerah putih karena koagulasi
protein dermis. Dermis yang terbakar akan mengering dan
menciut disebut eskar. Tidak ada perfusi darah dan tak ada
sensasi rasa nyeri. Penyembuhan spontan tidak mungkin
terjadi.
Setelah minggu kedua tampak jaringan granulasi yang
harus ditutup dengan skin graft, bila dibiarkan akan terjadi
kontraktur (jaringan parut yang menebal dan menyempit).
GS
GS
GS
GS
Gambar 41. Kiri atas: Gambar luka bakar derajat 1. Kanan atas: Derajat 2
dangkal. Kiri bawah: Derajat 2 dalam. Kanan bawah: Derajat 3
89
: 9%
: 2 x 9%
: 4 x 9%
: 4 x 9%
" Genitalia
: 1%
: 14%
: 16%
: 18%
: 14%
GS
90
Gambar 43.
GS
91
Usia
Luka bakar terjadi pada usia ekstrem dapat membawa
morbiditas dan mortalitas lebih besar. Perhatian terhadap usia
<3 atau >60 tahun, karena imunitas kurang dibanding usia
lainnya.
Lokasi
Wajah dan leher, tangan, kaki dan perineum (area primer)
memerlukan perhatian khusus.
Pembagian
Berat Luka
Bakar
Berat/ kritis
! Derajat 2 lebih 25%
! Derajat 3 lebih dari 10% atau terdapat di muka, kaki
tangan
! Luka bakar disertai trauma jalan napas atau jaringan lunak
luas, atau fraktur
! Luka bakar akibat listrik
Sedang
! Derajat 2 :15-25%
! Derajat 3 kurang dari 10%, kecuali muka, kaki, tangan.
Ringan
! Derajat 2 kurang dari 15%
Faktor ko-morbid: penyakit kardiovaskuler, respirasi, renal,
penyakit metabolik.
Indikasi Rawat Inap
! Usia 10-40 tahun: luka bakar derajat 2 lebih dari 15%
TBSA, luka bakar derajat 3 lebih dari 3% TBSA
! Usia <10 tahun dan >40 tahun: luka bakar derajat 2 lebih
dari 10% TBSA, setiap luka bakar derajat 3
! Luka bakar yang mengenai wajah, tangan, kaki, atau
perineum
! Luka bakar sirkumferensial di ekstremitas
! Luka bakar akibat listrik
! Luka bakar yang menyebabkan penderita tidak dapat
merawat diri sendiri atau tidak dapat menopang
kehidupannya sendiri di rumah
92
Manajemen
1. Pertolongan Pertama
! Jauhkan dari sumber trauma
! Bebaskan jalan nafas
! Perbaiki pernafasan
! Perbaiki sirkulasi
! Bilas dengan air mengalir terus menerus sampai
pertolongan selanjutnya yang memadai
! Penutup luka/ tubuh diganti dengan yang steril
! Pemberian analgetik dan profilaksis tetanus
! Antibiotika intravena profilaksis tidak diperlukan
2. Perawatan Luka
! Cuci dengan larutan detergen encer, bilas dengan air
mengalir (kran)
! Kulit yang terkelupas dibuang, bulae jangan dikelupas.
! Bula utuh dengan cairan > 5 cc dihisap, < 5cc dibiarkan
! Luka dikeringkan, diolesi mercurochrom atau SSD
! Perawatan terbuka atau tertutup dengan balutan
! Pasien dipindahkan ke tempat steril
93
Komplikasi
Prognosis
94
26
Definisi
Kontraktur akibat
Luka Bakar
Komplikasi serius pada luka bakar yang terjadi akibat
reorganisasi kolagen. Terjadi pada saat scar telah matang,
menebal, dan akan mengencang dan menahan gerakan.
Kontraktur dibagi menjadi 2:
1. Kontraktur ekstrinsik: Parut yang berbatas tegas, menarik
jaringan sekitar (kulit yang memendek). Membutuhkan
pembebasan segera.
2. Kontraktur intrinsik: Kontraktur langsung dari suatu organ,
misalnya tendon. Butuh rekonstruksi khusus dalam
pembebasannya.
Penyebab
Indikasi
Pengobatan
Operatif
GS
GS
Gambar 44. Kiri: Kontraktur pada aksila. Kanan: Pasca release kontraktur
dengan flap dan graft.
95
GS
Gambar 45. Balut tekan pada tungkai selama 1-2 tahun agar bekas luka tidak
kontraktur karena gravitasi
Mencegah kontraktur
a. Balut tekan hingga lemas atau menggunakan pressure
garment
b. Bidai 3 minggu dilanjutkan bidai di malam hari saja
Waktu Operasi
Metode Operasi
Tujuan
a. Memaksimalkan fungsi
b. Meminimalkan kerusakan/kecacatan
c. Memperbaiki penampilan
96
GS
GS
Gambar 46. Kiri: Kontraktur pada leher. Kanan: Pasca release kontraktur dengan
flap.
97
99
27
Definisi
Epidemiologi
Potensi
Penyebab
Hipospadia
Suatu kelainan bawaan di mana meatus uretra eksternus
terletak di permukaan ventral penis dan lebih proksimal dari
tempatnya yang normal pada ujung penis. Hipospadia
biasanya disertai bentuk abnormal penis yang disebabkan
adanya chordee dan adanya kulit di bagian dorsal penis yang
relatif berlebih dan bagian ventral yang kurang.
Di AS terjadi pada setiap 300-350 kelahiran bayi laki-laki
hidup. Makin proksimal letak meatus, makin berat kelainannya
dan makin jarang frekuensinya.
A. Produksi androgen abnormal
B. Perbedaan sensitivitas terhadap hormon androgen pada
jaringan yang berhubungan, misalnya tuberkulum genital
C. Estrogen dari lingkungan
Patofisiologi
Klasifikasi
Sesuai posisi meatus uretra eksterna
A. Anterior: Glanular, koronal, subkoronal
B. Tengah: distal penile, midshaft, proximal penile
C. Posterior: penoskrotal, skrotal, perineal
GS
GS
GS
Gambar 47. Kiri: Hipospadia tipe glanular. Tengah: Tipe penile. Kanan: Tipe
penoskrotal.
101
Diagnosis
Kelainan
Penyerta
Manajemen
102
Komplikasi
1. Fistula uretrocutaneous
2. Stenosis uretra
3. Striktur uretra
4. Twisted penis
103
28
Ulkus Dekubitalis
Definisi
Epidemiologi
Etiologi
A. Etiologi utama
1. Tekanan
a. Tekanan kapiler normal 12-32 mmHg, bila tekanan
jaringan lebih dari 32 mmHg, sirkulasi menurun dan
terjadi iskemi
b. Saat terlentang tekanan pada tumit dan sakrum
mencapai 40-60 mmHg, sedangkan saat duduk tekanan
pada iskium dapat mencapai 100 mmHg
c. Semakin tinggi tekanan, semakin singkat waktu yang
diperlukan untuk terjadi iskemi
d. Meski tekanan melebihi tekanan kapiler, terjadinya ulkus
dekubitalis dapat dicegah dengan menghilangkan
tekanan secara periodik (ubah posisi setiap 2 jam)
2. Regangan: meregangkan pembuluh darah, menyebabkan
trombosis dan iskemi
3. Gesekan: trauma mekanik pada epidermis saat
pemindahan posisi pasien
4. Kelembaban: menyebabkan maserasi, dapat terjadi akibat
inkontinensia atau infeksi, dan selanjutnya menjadi ulkus
B. Etiologi tambahan
1. Malnutrisi
2. Gangguan saraf sensoris
3. Infeksi pada luka
4. Usia
5. Imobilisasi
Klasifikasi
104
Diagnosis
GS
Gambar 48. Lokasi ulkus dekubitalis yang paling sering. Kiri pada posisi supinasi
(terlentang), kanan pada pasien dengan posisi duduk
Manajemen
A. Pencegahan:
1. Mengatasi faktor risiko utama
a. Hilangkan tekanan: pasien terlentang berubah posisi
setiap 2 jam, pasien duduk diangkat setiap 10 menit
selama lebih dari 10 detik
b. Minimalkan kelembaban dengan sering mengganti
pakaian dan seprai
c. Minimalkan regangan dengan penempatan posisi yang
nyaman dan sesuai
d. Minimalkan gesekan dengan cara pemindahan yang hatihati
2. Mengatasi faktor risiko sekunder
a. Obati infeksi
b. Perbaiki nutrisi, usahakan optimal
105
c. Hentikan rokok
d. Kendali gula darah pada pasien diabetes mellitus
e. Obati penyakit vaskular yang mungkin ada
B. Penanganan ulkus dekubitalis
1. Pastikan ada yang mengubah posisi pasien secara berkala
setiap 2 jam
2. Ulkus dekubitalis partial thickness
a. Atasi semua etiologi
b. Penutup luka, bisa ditambah dengan silver sulfadiazin
c. Biasanya sembuh dalam 2-3 minggu secara konservatif
3. Ulkus dekubitalis full thickness
a. Atasi semua etiologi
b. Debridement untuk membuang semua jaringan mati
c. Penutup luka lembab-basah, antibiotik bila infeksi,
penutup oklusif untuk luka pasca-debridement tidak
terinfeksi, mengobati infeksi jaringan lunak
(debridement, drainase, antibiotik), mengobati bila
terjadi osteomielitis (debridement agresif, antibiotik
sistemik), atau penggunaan vacuum assisted closure
pada luka decubitus tertentu
d. Jaringan yang terbuka dapat ditutup dengan flap, atau
pada kasus sederhana bisa dengan graft
GS
Gambar 49. Ulkus dekubitalis pada punggung dan sakrum-iskium. Kiri: praoperasi. Kanan: Pasca skin graft pada daerah sakrum-iskium kanan. Pasien tidak
mengalami gangguan sensibilitas permanen.
106
GS
GS
GS
107
19
Definisi
Lesi Kuku:
Ingrowing Toenail
Luka kronik pada jari kaki akibat adanya kuku yang tumbuh
berlebih dan melukai tepi jari.
Epidemiologi
Etiologi
Faktor Risiko
Patofisiologi
GS
GS
Gambar 51. Ingrowing toenail pada jari I kaki kiri bagian medial, sampai ke
bagian proksimal. Perlu dilakukan operasi nail plasty. Perhatikan pada gambar
kiri, daerah yang mengalami inflamasi. Tampak depan: penonjolan jaringan
lunak tepi kuku akibat proses peradangan.
108
Manajemen
Luka kronik pada jari kaki akibat adanya kuku yang tumbuh
berlebih dan melukai tepi jari.
Ingrowing toenail sering ditemukan terutama pada jempol
kaki, akan tetapi angka kejadiannya tidak diketahui pasti
jumlahnya.
Faktor genetik atau sistemik yang menyebabkan nail plate
tumbuh lebih lebar dari nail bed
1. Memotong kuku yang tidak baik sehingga tepinya melukai
jaringan lunak waktu berdiri
2. Hiperhidrosis, suasana lembab dalam sepatu menyebabkan
mudahnya tumbuh bakteri dan kulit mudah maserasi
3. Sepatu yang terlalu sempit
4. Kebersihan kaki yang buruk
5. Pergerakan kaki yang salah
6. Deformitas di kaki
1. Kuku yang relatif melebihi yang normal tumbuh melukai sisi
lateral nail groove, kemudian bakteri dan jamur dapat
masuk. Kuku juga dapat dianggap tubuh sebagai benda
asing dan menghambat penyembuhan luka.
2. Adanya hipertrofi pada nail fold distal menyebabkan pasien
tidak dapat memotong seluruh kukunya dan menyisakan
sisa kuku yang berbentuk seperti duri yang disebut
fishhook nail. Keadaan tersebut menyebabkan ingrowing
toenail bertambah parah.
1. Prinsip manajemen adalah menghilangkan dan mencegah
adanya kuku yang melukai sisi lateral nail groove
2. Bila ingrowing toenail pada bagian distal saja, maka dapat
dilakukan manajemen konservatif, diantaranya:
a. Mengganjal batas kuku dan lateral nail groove
menggunakan kapas yang diberi pelembab
b. Splinting menggunakan potongan selang infus yang
diletakkan antara kuku dan lateral nail groove,
dipertahankan selama 3-4 minggu
c. Abrasi untuk menipiskan permukaan kuku (kecuali
bagian tepi) dapat membuat kuku lebih fleksibel
d. Menarik lateral nail groove ke arah plantar dengan
menggunakan perekat kulit/ plester
3. Pada ingrowing toenail terjadi sampai bagian proksimal,
maka dapat dilakukan pembedahan. Manajemen ingrowing
109
Luka kronik pada jari kaki akibat adanya kuku yang tumbuh
berlebih dan melukai tepi jari.
Ingrowing toenail sering ditemukan terutama pada jempol
kaki, akan tetapi angka kejadiannya tidak diketahui pasti
jumlahnya.
Komplikasi
Faktor genetik atau sistemik yang menyebabkan nail plate
GS
GS
GS
GS
Gambar 52. Nail plasty. Kiri atas: Setelah anestesi blok dan torniquet
menggunakan kasa yang dipelintir, 3mm kuku dipotong menanjang sampai
dengan nail fold. Kanan atas: kuku patologis diambil. Kiri bawah: Penjahitan
kuku dan kulit secara through and through. Kanan bawah: Luka diberi
antibiotik topikal dan ditutup perban ketat melingkar.
110
Kepustakaan
Anatomi Kulit
Sammer D. Tissue Injury and Repair: Skin Structure. Dalam
Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic
Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal
1-2
Penyembuhan Luka
Sammer D. Tissue Injury and Repair. Dalam Brown DL,
Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery.
Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 1-8.
Keloid dan Parut hipertrofik
1. Darzi A, Chowdri A, Kaul K, et.al. Evaluation of various
methods of treating keloids and Hypertrophic Scars: a 10year follow up study. Br J Plast Surg. 1992; 45:374-9.
2. Reiken R, Wolfort F, et.al. Control Hypertrophic Scar growth
using Selectively Photo Thermolysis. Lasers Surg Med.
1997; 21:7-12.
3. Rockwell WB, Cohen K, Ehrlich HP. Keloid and Hypertrophic
Scars: A Comprehensive Review. Plas Recons Surg. 1989;
84:827-37.
4. Ketchum LD, Robinson DW, et.al. Follow up on treatment of
Hypertrophic Scars and Keloids with Triamcinolone. Plas
Recons Surg. 1971;48:256-9.
5. Blackburn WR, Cosman B. Histologic Basis of Keloid and
Hypertrophic Scar differentiation. Clinicopathologic
Correlation. Arch Pathol. 1966;82:65-71.
6. Cosman B, Cricklair GF, et.al. The Surgical Treatment of
Keloids. Plas Recons Surg. 1961; 27:335-9.
7. Hudson U. Keloid and Hypertrophic Scar Compared.
(Online). Dapat diakses di: www.phudson.com/scar/
keloidvhyper.html
8. Keloid and Hypertrophic Scars. AOCD. (Online). Dapat
diakses di: www.aocd.org/skin/dermatologic_diseases/
keloid_and_hypert.html
9. Kantor J. Keloid. (Online). 2004. Dapat diakses di:
www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000849.htm
10. Manuskratti, W., Fitzpatrick, R. Treatment of
Hypertrophic Scars and Keloid: A Multifaceted Approach.
(Online). Dapat diakses di: www.thaicosderm.org/
med.topik/keloidRX.htm
113
114
Neurofibroma
1. Petro A. Benign Skin Lesions: Neurofibroma. Dalam Brown
DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic Surgery.
Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004. Hal 78.
2. Zarem HA, Lowe NJ. Benign Growth and generalized skin
Disorders. Dalam Aston SJ, Beasley RW, Thorne CH, editor.
Grabb and Smith's Plastic Surgery. Edisi 5. LippincottRaven. Philadelphia: 1997. Hal 150-1.
3. Alphen, HAM. Tumor Susunan Saraf. Onkologi. Edisi 5.
Panitia Kanker RSUP dr. Sardjito. Yogyakarta.1999. Hal
565-87.
4. Neurofibroma. (Online). Dapat diakses di: www.usc.edu/
hsc/dental/opath/cards/neurofibroma.html
5. Neurofibroma. (Online). Sept 2006. Dapat diakses di:
http://en.wikipedia.org/wiki/neurofibroma
6. Neurofibroma. Chilren's Hospital Boston. (Online). Dapat
diakses di: www.childrenshospital.org/az/site1085/
printerfriendlypageS1085PO.html
7. Neurofibroma. (Online). Dapat diakses di:
www.maxillofacialcenter.com/bondbook/softtissue/neurofib.
html
Nevus
Netscher D, Spira M, Cohen V. Benign and Premalignant Skin
Lesion: Tumors of Melanocyte System. Dalam Achauer BM,
Eriksson E, Guyuron B, Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk
CA. Plastic Surgery: Indications, Operations, and Outcomes.
Mosby. St. Louis: 2000. Hal 305-7
Lipoma
1. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of
Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia:
2004. Hal
2. American Family Pysician. Lipoma Excision. (Online). 1 Mar
2002. Dapat diakses di: http://www.aafp.org/afp/
20020301/901.html
3. Lipoma. (Online). Dapat diakses di: http://
www.maxillofacialcenter.com/BondBook/softtissue/
lipoma.html
4. Lipoma--Topic Overview. (Online). Dapat diakses di: http://
www.webmd.com/hw/skin_and_beauty/tp21226.asp
5. Lipoma. (Online). Dapat diakses di: http://
www.mayoclinic.com /health/lipoma/DS00634
115
Fibroma
Cather JC. Papule on the dorsal foot. Proc (Bayl Univ Med
Cent). 2006;19:151152
Kista Ateroma
Pieter J, Prasetyono TOH, Bisono, Halimun M. Kista. Dalam
Sjamsuhidajat, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
EGC. Jakarta: 2005. Hal 321
Karsinoma Sel Basal
1. Casson P. Basal Cell Carcinoma. Clin Plast Surg. 1980;
7:301-311.
2. Neering H, Kroon B. Tumor Kulit. Onkologi. Panitia Kanker
RSUP dr Sardjito. Yokyakarta. 1996. h. 448-452.
3. Flemming ID, Amonette R, Monaghan T, et.al. Principles of
management of basal and Squamous Cell Carcinoma of the
Skin. Cancer. 1995. 75:699-704.
4. Richmond JD, Davie RM. The Significance of Incomplex
excision in Patients with Basal Cell Carcinoma. Br J Plast
Surg. 1987. 40:63-67
5. Riefkohl R, Pollack, et.al. A rationale for the Treatment of
Difficult Basal Cell and Squamous Cell Carcinoma of Skin.
Ann Plast Surg. 1985. 15:99-104
6. Wilkinson J, Shaw S, et.al. Tumour (Basal Cell Carcinoma).
Dermatology in Focus. Elsevier Churchill Livingstone.
Edinburg. 2005.p.130.
7. Breuninger K, Dietz. Prediction of Subclinical Tumor
Infiltration in Basal Cell Carcinoma. J Dermatol Surg Oncol.
1991. 17:574-57
Karsinoma Sel Skuamosa
Hedrick MH, Lorenz HP, Miller TA. Malignant Skin Conditions.
Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B, Coleman III JJ,
Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery: Indications,
Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis: 2000. Hal 31524
Melanoma
1. Janiga TA. Malignant Skin and Soft Tissue Lesions. Dalam
Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan Manual of Plastic
Surgery. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia: 2004.
Hal 61-73
116
117
Bibir Sumbing
1. Jeffers LC. Cleft Lip. Dalam: Brown DL, Borschel GH, editor.
Michigan Manual of Plastic Surgery. Philadelphia: LippincottWilliams&Wilkins; 2004. Hal 151-9.
2. LaRossa D. Unilateral Cleft Lip Repair. Dalam: Achauer BM,
Erikkson E, Guyuron B, Coleman JJ, Russell RC, VanderKolk
CA, editor. Plastic Surgery: Indications, Operations, and
Outcomes. St.Louis: Mosby; 2000. Hal 755-67.
3. Afifi GY, Hardesty RA. Bilateral Cleft Lip. Dalam: Achauer
BM, Erikkson E, Guyuron B, Coleman JJ, Russell RC,
VanderKolk CA, editor. Plastic Surgery: Indications,
Operations, and Outcomes. St.Louis: Mosby; 2000. Hal
769-97.
4. Grayson BH, Santiago P. Presurgical Orthopedics for Cleft
Lip and Palate. Dalam: Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM,
editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Ed. 5. New York:
Lippincott-Raven; 1997. Hal 237-44.
5. Byrd, HS. Unilateral Cleft Lip. Dalam: Aston SJ, Beasley RW,
Thorne CHM, editor. Grabb and Smith's Plastic Surgery. Ed.
5. New York: Lippincott-Raven; 1997. Hal 245-53.
6. Cutting CB. Primary Bilateral Cleft Lip and Nose Repair.
Dalam: Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM, editor. Grabb
and Smith's Plastic Surgery. Ed. 5. New York: LippincottRaven; 1997. Hal 255-63.
7. Behrman. Nelson Pediatrics. 2000. p: 1111-12
8. Kirschner. Otolaryngol. Clin north Am. 2000. p.33:1191-215
9. Weintraub. Otolaryngol. Clin north Am. 2000. p.33:1171-89
10. Cleft Lip Cleft Palate. (Online). Dapat diakses di:
www.fpnotebook.com/NIC7.htm
Muka Sumbing
1. Cavaliere CM. Craniosynostosis and Craniofacial
Syndromes. Dalam Brown DL, Borschel GH, editor. Michigan
Manual of Plastic Surgery. Lippincott Williams&Wilkins.
Philadelphia: 2004. Hal 165-173.
2. Kawamoto Jr HK. Craniofacial Cleft. Dalam Aston SJ,
Beasley RW, Thorne CH, editor. Grabb and Smith's Plastic
Surgery. Edisi 5. Lippincott-Raven. Philadelphia: 1997. Hal
349-363.
3. Argenta LC, David LR. Craniofacial Clefts and Other Related
Deformities. Dalam Achauer BM, Eriksson E, Guyuron B,
Coleman III JJ, Russell RC, VanderKolk CA. Plastic Surgery:
Indications, Operations, and Outcomes. Mosby. St. Louis:
2000. Hal 741-754.
118
119
120