Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan adalah bagian dari politik oleh karena pelayanan
kesehatan merupakan pelayanan publik yang seyogianya tidak hanya
dijadikan sebagai kendaraan politik para calon atau kandidat kepala daerah.
(Bambra et all, 2005). Sebuah studi yang dilakukan Navarro et all pada
tahun 2006 meneguhkan korelasi antara ideologi politik suatu pemerintahan
terhadap derajat kesehatan masyarakatnya, melalui kebijakan-kebijakan
yang diambil pemerintahan tersebut. Konsep kesehatan yang dianut
pemerintah kita saat ini, berbuah pembangunan kesehatan yang berbentuk
pelayanan kesehatan individu, ketimbang layanan kesehatan komunitas
yang lebih luas, program-program karitas yang bersifat reaktif seperti
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau pengobatan gratis dan
Jampersal.
Dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 bagian Pembukaan butir b
(menimbang); disebutkan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif,
dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia
Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi
pembangunan. Hal ini menunjukkan pentingnya pembangunan kesehatan
dalam

bentuk

peningkatan

derajat

kesehatan

masyarakat

untuk

mempersiapkan manusia Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing .


Indikator peningkatan derajat kesehatan antara lain adalah
meningkatnya usia harapan hidup, menurunnya angka kematian ibu, angka
kematian bayi dan balita, serta angka kesakitan (morbiditas). Boleh jadi
indikator ini terus menampakkan grafik membaik. Transparansi tidak hanya
menyangkut masalah keuangan, namun transparansi dalam informasi atas
pelayanan publik

Sebagai contoh, data mengenai jumlah penderita gizi buruk, jumlah


penduduk miskin, rasio jumlah penduduk dengan jumlah sarana kesehatan
dan prosedur pelayanan dasar maupun rujukan hendaknya diberikan pada
publik secara transparan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, tidak bisa tidak, negara harus
berperan aktif. Mengutip Release Media Indonesia tentang Politik dan
kesejahteraan rakyat , Politik kesehatan adalah kebijakan negara di bidang
kesehatan. Yakni kebijakan publik yang didasari oleh hak yang paling
fundamental, yaitu sehat merupakan hak warga negara.Untuk mewujudkan
hak rakyat itu, jelas diperlukan keputusan politik yang juga sehat, yang
diambil oleh pemerintahan yang juga sehat secara politik. Dengan kata lain,
politik kesehatan ditentukan oleh sehat tidaknya politik negara. Hanya
pemerintahan dan DPR yang sakit-sakitan yang senang dan membiarkan
rakyatnya juga sakit-sakitan. Karena sehat merupakan hak rakyat, dan
negara pun tak ingin rakyatnya sakit-sakitan, diambillah keputusan politik
yang juga sehat. Yaitu, anggaran untuk kesehatan rakyat mendapatkan porsi
yang besar, sangat besar, karena negara tidak ingin rakyatnya sakit-sakitan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan pada makalah ini adalah:
1.2.1
1.2.2
1.2.3
1.2.4
1.2.5

Pengertian politik dan Politik Kesehatan ?


Pengaruh politik terhadap kesehatan?
Strategi dan esensi politik kesehatan?
Politik Kesehatan dan kemiskinan ?
Bagaimana politik kesehatan di Indonesia?

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.3.1
1.3.2
1.3.3

Mengetahui Pengertian Politik dan Pengertian Politik Kesehatan


Mengetahui Pengaruh politik terhadap kesehatan
Mengetahui Strategi dan esensi politik kesehatan

1.3.4
1.3.5

Mengetahui Politik Kesehatan dan kemiskinan


Mengetahui perkembangan politik kesehatan di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Politik, Kesehatan dan Politik Kesehatan
2.1.1 Pengertian Politik
Perkataan politik berasal dari bahasa Yunani yaitu Polistaia,
Polis berarti kesatuan masyarakat yang mengurus diri sendiri/berdiri
sendiri (negara), sedangkan taia berarti urusan. Dari segi kepentingan
penggunaan, kata politik mempunyai arti yang berbeda-beda. Untuk
lebih memberikan pengertian arti politik disampaikan beberapa arti
politik dari segi kepentingan penggunaan, yaitu :

2.1.1.1 Dalam arti kepentingan umum (politics)


Politik dalam arti kepentingan umum atau segala usaha
untuk kepentingan umum, baik yang berada dibawah kekuasaan
negara di Pusat maupun di Daerah, lazim disebut Politik
(Politics)

yang artinya adalah suatu rangkaian azas/prinsip,

keadaan serta jalan, cara dan alat yang akan digunakan untuk
mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan yang kita kehendaki
disertai dengan jalan, cara dan alat yang akan kita gunakan untuk
mencapai keadaan yang kita inginkan
2.1.1.2 Dalam arti kebijaksanaan (Policy)
Politik adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan
tertentu yang yang dianggap lebih menjamin terlaksananya suatu
usaha, cita-cita/keinginan atau keadaan yang kita kehendaki.
Jadi politik menurut kami adalah Suatu ilmu dan seni mengelola peran
untuk mencapai tujan yang dicapai.

2.1.2

Pengertian Kesehatan
Kesehatan adalah kondisi umum dari seseorang dalam semua
aspek. Ini juga merupakan tingkat fungsional dan atau efisiensi
metabolisme organisme, sering secara implisit manusia. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), mendefinisikan kesehatan didefinisikan
sebagai "keadaan lengkap fisik, mental, dan kesejahteraan sosial dan
bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan"
Kesehatan adalah konsep yang positif menekankan sumber daya
sosial dan pribadi, serta kemampuan fisik. Secara keseluruhan
kesehatan dicapai melalui kombinasi dari fisik, mental, dan
kesejahteraan sosial, yang, bersama-sama sering disebut sebagai
"Segitiga Kesehatan"

2.1.3

Pengertian Politik Kesehatan


Politik Kesehatan adalah Ilmu dan seni untuk memperjuangkan
derajat kesehatan masyarakat dalam satu wilayah melalui sebuah sistem
ketatanegaraan yang dianut dalam sebuah wilayah atau negara. Untuk
meraih tujuan tersebut diperlukan kekuasaan. Kekuasaan tersebut kelak
digunakan untuk mendapat kewenangan yang diperlukan untuk
mencapai cita-cita dan tujuan. Oleh karena itu derajat kesehatan
masyarakat yang diidamkan adalah merupakan sebuah tujuan yang di
inginkan seluruh rakyat banyak, maka derajat kesehatan hendaknya
diperjuangkan melalui sistem dan mekanisme politik.
Bambra et al (2005) dan Fahmi Umar (2008) mengemukakan
mengapa kesehatan itu adalah politik, karena dalam bidang kesehatan
adanya disparitas derajat kesehatan masyarakat, dimana sebagian
menikmati kesehatan sebagian tidak. Oleh sebab itu, untuk memenuhi
equity atau keadilan harus diperjuangkan. Kesehatan adalah bagian dari
Politik karena derajat kesehatan atau masalah kesehatan ditentukan oleh
kebijakan yang dapat diarahkan atau mengikuti kehendak (amenable)
terhadap intervensi kebijakan politik. Kesehatan bagian dari politik
karena kesehatan adalah Hak Asasi manusia.

2.2 Hubungan politik dan kesehatan


Politik kesehatan adalah kebijakan negara di bidang kesehatan. Yakni
kebijakan publik yang didasari oleh hak yang paling fundamental, yaitu
sehat merupakan hak warga negara. Sehingga dalam pengambilan keputusan
politik khususnya kesehatan berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat
sebaliknya politik juga dipengaruhi oleh kesehatan dimana jika derajat
kesehatan

masyarakat

meningkat

maka

akan

berpengaruh

kesejahteraan masyarakat.
2.3 Pengaruh Politik Beserta Contohnya Terhadap Kesehatan
2.3.1 Pengaruh Politik Terhadap Kesehatan

pada

Penentuan kebijakan di bidang kesehatan memang merupakan


sebuah sistem yang tidak lepas dari keadaan disekitarnya yaitu politik.
Oleh karena itu, kebijakan yang dihasilkan merupakan produk dari
serangkaian interaksi elit kunci dalam setiap proses pembuatan
kebijakan termasuk tarik-menarik kepentingan antara aktor, interaksi
kekuasaan, alokasi sumber daya dan bargaining position di antara elit
yang terlibat. Proses pembentukan kebijakan tidak dapat menghindar
dari upaya individual atau kelompok tertentu yang berusaha
mempengaruhi para pengambil keputusan agar suatu kebijakan dapat
lebih menguntungkan pihaknya. Semua itu, merupakanmanifestasi dari
kekuatan

politik

(power)

untuk

mempertahankan

stabilitas

dankepentingan masing-masing aktor. Bahkan tak jarang terjadi pula


intervensi kekuasaan dan tarik-menarik kepentingan politis dari
pemegang kekuasaan atau aktor yang memiliki pengaruh dalam posisi
politik.
Politik Kesehatan adalah Ilmu dan seni untuk memperjuangkan
derajat kesehatan masyarakat dalam satu wilayah melalui sebuah sistem
ketatanegaraan yang dianut dalam sebuah wilayah atau negara untuk
menciptakan masyarakat dan lingkungan sehat secara keseluruhan.
Untuk meraih tujuan tersebut diperlukan kekuasaan. Dengan kekuasaan
yang dimiliki, maka akan melahirkan kebijakan yang pro rakyat untuk
menjamin derajat kesehatan masyarakat itu sendiri. Kebijakan
pemerintah dapat terwujud dalam dua bentuk.
2.3.1.1 Peraturan pemerintah dalam bidang kesehatan meliputi undangundang, peraturan presiden, keputusan menteri, peraturan daerah,
baik tingkat provinsi maupun kabupaten kota, dan peraturan
lainnya.
2.3.1.2 Kebijakan pemerintah dalam bentuk program adalah segala
aktifitas pemerintah baik yang terencana maupun yang insidentil
dan semuanya bermuara pada peningkatan kesehatan masyarakat,

menjaga lingkungan dan masyarakat agar tetap sehat dan


sejahtera, baik fisik, jiwa, maupun sosial.
Oleh karena itu, untuk menciptakan kesehatan masyarakat yang
prima maka dibutuhkan berbagai peraturan yang menjadi pedoman bagi
petugas kesehatan dan masyarakat luas, sehingga suasana dan lingkungan
sehat selalu tercipta. Di samping itu pemerintah harus membuat program
yang dapat menjadi stimulus bagi anggota masyarakat untuk menciptakan
lingkungan dan masyarakat sehat, baik jasmani, rohanio, rohani, sosial
serta memampukan masyarakat hidup produktif secara sosial ekonomi.
Kebijakan kesehatan yang juga berhubungan dengan peningkatan
kesejahteraan penduduk adalah dengan menambah personel kesehatan baik
yang terlibat dalam upaya preventif maupun dalam tindakan kuratif.
Tujuan kebijakan ini agar pelayanan kesehatan tidak hanya dinikmati oleh
golongan tertentu, namun juga bisa dinikmati oleh semua lapisan
masyarakat yang membutuhkan pelayanan ini.
Pada era globalisasi diperlukan sumberdaya manusia yang
berkualitas yang didukung fisik dan mental yang sehat, sehingga mampu
berkompetisi paling optimal. Tanpa didukung dengan kesehatan fisik dan
mental yang balk, sumberdaya manusia tidak akan mampu berkompetisi
dengan optimal. Secara tradisional kesehatan diukur dari aspek negatifilya
seperti angka kesakitan, angka kecacatan, dan angka kematian. Melalui
paradigma sehat, kesehatan sudah tidak lagi dipandang semata - mata
sebagai terbebas dari penyakit, tetapi sebagai sumberdaya yang memberi
kemampuan kepada individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat untuk
mengelola bahkan merubah pola hidup, kebiasaan, dan Iingkungannya.
Berbeda dengan paradigma lama yang berorientasi kepada
penyakit, maka paradigma baru berorientasi kepada nilai positif kesehatan,
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup seoptimal mungkin melalui
pengurangan dalam penderitaan dan kecemasan, serta peningkatan dalam
harkat diri dan kemampuan untuk mandiri, sekalipun dalam menghadapi

penyakit yang kronis maupun fatal (Manajemen Strategis Terpadu Bagi


Masyarakat Miskin, 1999).
Saat ini dimana lingkungan sosial, ekonomi, dan politik berada
pada situasi krisis, termasuk sektor kesehatan telah membuat masyarakat
terutama masyarakat golongan miskin bertambah menderita karena
semakin sulit menjangkau fasilitas kesehatan milik swasta maupun
pemerintah. Dalam hal ini, rumah sakit sebagai organisasi sosial
bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan masyarakat, rumah sakit
harus dapat berfungsi sebagai rumah sehat yang melaksanakan kegiatan
promotif bagi kesehatan pasien, staf rumah sakit, dan masyarakat di
wilayah cakupannya serta pengembangan organisasi rumah sakit menjadi
organisasi yang sehat.
Penerapan sebagai rumah sehat memerlukan pendekatan terpadu
dalam pengernbangan organisasi dan tenaga kesehatan. Gerakan rumah
sehat akan menghasilkan penajaman pelayanan rumah sakit dalam
menunjang gerakan kesehatan bagi semua dan pemberdayaan pasien serta
staf rumah sakit (Manajemen Strategis Terpadu Bagi Masyarakat 1999).
Masyarakat selalu mengharapkan agar pelayanan rumah sakit, baik. milik
pemerintah maupun swasta dapat memberikan pelayanan yang baik dan
memuaskan bagi setiap pengguna yang memanfaatkannya, pasien
menginginkan fasilitas yang baik dari rumah sakit, keramahan pihak
rumah sakit, serta ketanggapan, kemampuan, dan kesungguhan para
petugas rumah sakit, Dengan demikian pihak rumah sakit dituntut untuk
selalu berusaha meningkatkan layanan kepada pasien.
Haryono Wiratno (1998), mengatakan bahwa kualitas pelayanan
(Service

Quality)

adalah

pandangan

konsumen

terhadap

hasil

perbandingan antara ekspektasi konsumen dengan kenyataan yang


diperoleh dari pelayanan. Sedangkan kepuasan adalah persepsi pelanggan
terhadap satu pengalaman layanan yang diterima
Program kesehatan di masyarakat mendapat perhatian tetapi, yang
dapat kita pelajari dari makalah ini adalah bahwa banyak kebijakan

bagus tetapi seperti berada di keranjang sampah. Mereka dibuang begitu


saja. Ada contoh peristiwa politik memanfaatkan kebijakan tetapi berbeda
dari masalah dan policy option yang sewajarnya lebih baik.
Muatan politik begitu kuat sehingga kebijakan itu menyeleweng
dari relevansi masalah yang dianggap oleh masyarakat dan birokrat. Ada
contoh peristiwa politik berhimpitan dengan masalah dan policy option
yang relevan dengan stakeholder lain. Politik memiliki pengaruh begitu
besar terhadap kebijakan dan pengembangan di bidang kesehatan.
2.3.2

Contoh pengaruh politik terhadap kesehatan


2.3.2.1 Anggaran kesehatan
Karena sehat merupakan hak rakyat dan negara pun tak
ingin rakyatnya sakit-sakitan, diambillah keputusan politik yang
juga sehat. Yaitu, anggaran untuk kesehatan rakyat mendapatkan
porsi yang sangat besar, karena negara tidak ingin rakyatnya
sakit-sakitan. Pemerintah bersama DPR. Membebani impor alatalat kedokteran dengan pajak yang sama untuk impor mobil
mewah, juga keputusan politik.
2.3.2.2 UU Tembakau; Cukei rokok terus dinaikkan karena konsumsi
rokok di Indonesia semakin meningkat.
Biaya ekonomi dan sosial yang ditimbulkan akibat
konsumsi tembakau terus meningkat dan beban peningkatan ini
sebagian besar ditanggung oleh masyarakat miskin. Angka
kerugian akibat rokok setiap tahun mencapai 200 juta dolar
Amerika, sedangkan angka kematian akibat penyakit yang
diakibatkan merokok terus meningkat. Di Indonesia, jumlah biaya
konsumsi tembakau tahun 2005 yang meliputi biaya langsung di
tingkat rumah tangga dan biaya tidak langsung karena hilangnya
produktifitas akibat kematian dini, sakit dan kecacatan adalah US
$ 18,5 Milyar atau Rp 167,1 Triliun. Jumlah tersebut adalah
sekitar 5 kali lipat lebih tinggi dari pemasukan cukai sebesar Rp

32,6 Triliun atau US$ 3,62 Milyar tahun 2005 (1US$ = Rp


8.500,-).
2.3.2.3 Program Pembatasan Waktu Iklan Rokok
Larangan iklan secara menyeluruh merupakan upaya
untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat khususnya
anak-anak dan remaja. Anak-anak dan remaja merupakan sasaran
utama produsen rokok. Diakui oleh industri rokok bahwa anakanak dan remaja merupakan aset bagi keberlangsungan industri
rokok. Untuk itu kebijakan larangan iklan rokok secara
menyeluruh harus diterapkan untuk melindungi anak dan remaja
dari pencitraan produk tembakau yang menyesatkan.
Pelarangan iklan rokok menyeluruh (total ban) mencakup
iklan, promosi dan sponsorship yang meliputi pelarangan (1)
iklan, baik langsung maupun tidak langsung di semua media
massa; (2) promosi dalam berbagai bentuk, misalnya potongan
harga, hadiah, peningkatan citra perusahaan dengan menggunakan
nama merek atau perusahaan dan (3) sponsorship dalam bentuk
pemberian

beasiswa,

pemberian

bantuan

untuk

bidang

pendidikan, kebudayaan, olah raga, lingkungan hidup, dll.

2.4 Kebijakan Kesehatan dan Analisis Kebijakan serta Dasar Dasar


Membuat Kebijakan Kesehatan
2.4.1

Kebijakan Kesehatan dan Analisis Kebijakan


Analisis Kebijakan Kesehatan, terdiri dari 3 kata yang
mengandung arti atau dimensi yang luas, yaitu analisa atau analisis,
kebijakan, dan kesehatan. Analisa atau analisis, adalah penyelidikan
terhadap suatu peristiwa (seperti karangan, perbuatan, kejadian atau
peristiwa) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebab musabab
atau duduk perkaranya (Balai Pustaka, 1991). Kebijakan merupakan
suatu rangkaian alternative yang siap dipilih berdasarkan prinsip-prinsip
tertentu. Kebijakan merupakan suatu hasil analisis yang mendalam

10

terhadap berbagai alternative yang bermuara kepada keputusan tentang


alternative terbaik[8]. Kebijakan adalah rangkaian dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak (tentag organisasi, atau
pemerintah); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai
garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran
tertentu. Contoh: kebijakan kebudayaan, adalah rangkaian konsep dan
asas yang menjadi garis besar rencana atau aktifitas suatu negara untuk
mengembangkan kebudayaan bangsanya. Kebijakan Kependudukan,
adalah konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah untuk
mengatur atau mengawasi pertumbuhan penduduk dan dinamika
penduduk dalam negaranya (Balai Pustaka, 1991).
Kebijakan berbeda makna dengan Kebijaksanaan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1991), kebijaksanaan
adalah kepandaian seseorang menggunakan akal budinya (berdasar
pengalaman dan pangetahuannya); atau kecakapan bertindak apabila
menghadapi kesulitan.[11] Kebijaksanaan berkenaan dengan suatu
keputusan yang memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang
berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan,
keadaan gawat dll. Kebijaksanaan selalu mengandung makna
melanggar segala sesuatu yang pernah ditetapkan karena alasan
tertentu.[8]
Menurut UU RI No. 23, tahun 1991, tentang kesehatan, kesehatan
adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara soial dan ekonomi
(RI, 1992).[9] Pengertian ini cenderung tidak berbeda dengan yang
dikembangkan oleh WHO, yaitu: kesehatan adalah suatu kaadaan yang
sempurna yang mencakup fisik, mental, kesejahteraan dan bukan hanya
terbebasnya dari penyakit atau kecacatan.[13] Menurut UU No. 36, tahun
2009 Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual

11

maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif


secara sosial dan ekonomis. [12]
Jadi, analisis kebijakan kesehatan adalah pengunaan berbagai
metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan
informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan
ditingkat politik dalam

rangka memecahkan masalah kebijakan

kesehatan.
2.4.2

Dasar dasar membuat kebijakan kesehatan


Analisis kebijakan kesehatan awalnya

adalah

hasil

pengembangan dari analisis kebijakan publik. Akibat dari semakin


majunya ilmu pengetahuan dan kebutuhan akan analisis kebijakan
dalam bidang kesehatan itulah akhirnya bidang kajian analisis
kebijakan kesehatan muncul.
Sebagai suatu bidang kajian ilmu yang baru, analisis kebijakan
kesehatan memiliki peran dan fungsi dalam pelaksanaannya. Peran dan
fungsi itu adalah:

Adanya analisis kebijakan kesehatan akan memberikan keputusan


yang fokus pada masalah yang akan diselesaikan.

Analisis kebijakan kesehatan mampu menganalisis multi disiplin


ilmu. Satu disiplin kebijakan dan kedua disiplin ilmu kesehatan.
Pada peran ini analisis kebijakan kesehatan menggabungkan
keduanya yang kemudian menjadi sub kajian baru dalam khazanah
keilmuan.

Adanya

analisis

kebijakan

kesehatan,

pemerintah

mampu

memberikan jenis tindakan kebijakan apakah yang tepat untuk


menyelesaikan suatu masalah.

Memberikan kepastian dengan memberikan kebijakan/keputusan


yang sesuai atas suatu masalah yang awalnya tidak pasti.

12

Dan analisis kebijakan kesehatan juga menelaah fakta-fakta yang


muncul kemudian akibat dari produk kebijakan yang telah
diputuskan/diundangkan. [1] [2]

2.4.3

Kebijakan Kesehatan Di Indonesia


2.4.3.1 Isu strategis
A. Pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang
bermutu belum optimal.
B. Sistem perencanaan dan penganggaran departemen kesehatan
belum optimal
C. Standar dan pedoman pelaksanaan pembangunan kesehatan
masih kurang memadai
D. Dukungan departemen

kesehatan

untuk

melaksanakan

pembangunan kesehatan masih terbatas.


2.4.3.2 Strategi kesehatan di Indonesia
A. Mewujudkan komitmen pembangunan kesehatan
B. Meningkatkan pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan
C. Membina sistem kesehatan dan sistem hukum di bidang
kesehatan
D. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
E. Melaksanakan jejaring pembangunan kesehatan
2.4.3.3 Kebijakan program promosi kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat
A. Pengembangan media promosi kesehatan dan teknologi
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
B. Pengembangan upaya kesehatan bersumber masyarakat dan
generasi muda
C. Peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat
2.4.3.4 Kebijakan program lingkungan sehat
A. Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar
B. Pemeliharaan dan pengawasan kualitas lingkungan
C. Pengendalian dampak resiko pencemaran lingkungan
D. Pengembangan wilayah sehat
2.4.3.5 Kebijakan program upaya kesehatan dan pelayanan
kesehatan
A. Pelayanan kesehatan penduduk miskin di puskesmas dan
jaringannya

13

B. Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana


puskesmas dan jaringannya
C. Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat
generik esensial
D. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang mencakup
sekurang-kurangnya promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak,
keluarga berencana
E. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan
2.4.3.6 Kebijakan program upaya kesehatan perorangan
A. Pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin kelas III RS
B. Pembangunan sarana dan parasarana RS di daerah tertinggal
secara selektif
C. Perbaikan sarana dan prasarana rumah sakit
D. Pengadaan obat dan perbekalan RS
E. Peningkatan pelayanan kesehatan rujukan
F. Pengembangan pelayanan kedokteran keluarga
G. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan
2.4.3.7 Kebijakan program pencegahan dan pemberantasan penyakit
A. Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko
B. Peningkatan imunisasi
C. Penemuan dan tatalaksana penderita
D. Peningkatan surveilans epidemologi
E. Peningkatan KIE pencegahan dan pemberantasan penyakit
2.4.3.8 Kebijakan program perbaikan gizi masyarakat
A. Peningkatan pendidikan gizi
B. Penangulangan KEP, anemia gizi besi, GAKI, kurang vitamin A,
kekuarangan zat gizi mikro lainnya
C. Penanggulangan gizi lebih
D. Peningkatan surveilans gizi
E. Pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi
2.4.3.9 Kebijakan program sumber daya kesehatan
A. Peningkatan mutu penggunaan obat dan perbekalan kesehatan
B. Peningkatan keterjangkauan harga obat dan perbekalan
kesehatan terutama untuk penduduk miskin
C. Peningkatan mutu pelayanan farmasi komunitas dan rumah sakit
2.4.3.10
Kebijakan program kebijakan dan manajemen
pembangunan kesehatan
A. Pengkajian dan penyusunan kebijakan
B. Pengembangan sistem perencanaan

dan

pengangaran,

pelaksanaan dan pengendalian, pengawasan dan penyempurnaan


administrasi keuangan, serta hukum kesehatan

14

C. Pengembangan sistem informasi kesehatan


D. Pengembangan sistem kesehatan daerah
E. Peningkatan jaminan pembiayaan kesehatan
2.4.3.11
Kebijakan program penelitian dan

pengembagan

kesehatan
A. Penelitian dan pengembangan
B. Pengembangan tenaga, sarana dan prasarana penelitian
C. Penyebarluasan dan pemanfaatan hasil penelitian
2.4.4

dan

pengembangan kesehatan
Kesehatan dan Komitmen Politik
Masalah kesehatan pada dasarnya adalah masalah politik oleh
karena itu untuk memecahkan masalah kesehatan diperlukan komitmen
politik. Dewasa ini masih terasa adanya anggapan bahwa unsur kesehatan
penduduk tidak banyak berperan terhadap pembangunan sosial ekonomi.
Para Aktor Politik sebagai penentu kebijakan masih beranggapan sektor
kesehatan lebih merupakan kegiatan yang bersifat konsumtif ketimbang
upaya membangun sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga
apabila ada keguncangan dalam keadaan ekonomi negara alokasi
terhadap sektor ini tidak akan meningkat.
Sementara

itu

para

pakar

kesehatan

belum

mampu

memperlihatkan secara jelas manfaat investasi bidang kesehatan dalam


menunjang pembangunan negara. Kesenjangan derajat kesehatan
masyarakat antar wilayah atau spesial perlu segera diatasi. Investasi yang
selama ini lebih ditekankan pada penambahan fasilitas, peralatan dan
tenaga medis perlu dipelajari kembali.
Banyak rumah sakit, puskesmas, poliklinik, bidan, dan dokter
bukan merupakan jaminan meningkatnya kesehatan penduduk. Sehingga
dalam upaya memecahkan masalah kesehatan tidak bisa hanya dilakukan
di bangsal-bangsal rumah sakit ataupun ruang tunggu poliklinik atau
puskesmas melainkan di perlukan intervensi yang serius dari Aktor
Politik apakah di Departemen Kesehatan yang di komandani oleh
Aktor Politik sebagai pembantu presiden (Menteri Kesehatan) yang
melaksanakan kebijakan politik Presiden yang telah mengangkatnya,
15

Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab


kepada Gubernur/ Bupati/Walikota serta Aktor Politik di DPR RI / DPD/
DPRD Propinsi/ Kabupaten/Kota.
Pergeseran paradigma dari pelayanan medis ke pembangunan
kesehatan untuk membuat rakyat sehat memerlukan penguatan komitmen
politik dari seluruh aktor politik yang telah dipilih oleh rakyat,
kesemuanya semata-mata untuk kemakmuran rakyat, melalui upaya
nyata dengan memprioritaskan berbagai kebijakan untuk membuat rakyat
sehat.
Sejauh mana dan seberapa besar komitmen politik dari "aktor
politik" untuk mewujudkan kesehatan warganya dapat kita lihat selama
lima tahun desentralisasi. Adakah komitmen Gubernur/ Bupati/Walikota
yang didukung DPRD masing-masing, yang telah memberikan anggaran
kepada sektor kesehatan minimal sebesar 15 % dari APBD. Menurut
Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) IV Dewan Perwakilan Daerah (Kompas, 26
April)

yang

menyatakan

adanya

kecenderungan

kepala

daerah

mengutamakan kepentingan proyek mercusuar di daerahnya. Rasio dana


alokasi dana operasional di daerah dengan alokasi dana untuk
pembangunan daerah masih timpang dengan rasio 60 persen berbanding
30 persen. Begitu menjadi kepala daerah yang pertama mereka pikirkan,
membangun atau merenovasi rumah dinas agar menjadi mewah, atau
segera mengganti mobil dinas dengan mobil yang baru, lalu membangun
gedung. Hal ini menggambarkan aktor politik belum memprioritaskan
pada pembangunan kesehatan. Padahal jika mau ber-Investasi untuk
kesehatan ini akan berdampak kepada produktivitas seluruh warga,
karena jika warganya sehat maka akan lebih produktif dan akhirnya dapat
mendukung berbagai program pembangunan sesuai dengan kompetensi
masing-masing warga tersebut. Melalui komitemen ini sebenarnya dapat
pula dijadikan modal politik untuk mendapatkan suara pada periode
pemilihan selanjutnya. Akan tetapi jika mereka tidak memiliki komitmen

16

untuk menyehatkan warganya, maka jangan disalahkan jika "rakyat yang


telah sadar politik" yang memiliki hak dalam memilih akan dapat
memberikan sangsi politik dengan tidak memilihnya kembali untuk
periode kepemimpinan berikutnya.
Dilema yang dialami oleh "aktor politik" baik di eksekutif
maupun di Legislatif dan duduk menjadi anggota DPRD yang memiliki
hak lesgislasi (membuat UU/Perda), Hak Bugjeting (membuat Anggaran)
dan Hak pengawasan di berbagai daerah adalah tidak adanya dasar
hukum berupa undang-undang yang mengharuskan mereka menetapkan
anggaran kesehatan dalam APBD sebesar 15% seperti yang kita
harapkan, karena belum ada undang- undangnya.
Padahal saat ini UU Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
sedang dalam proses amandemen atas inisiatif DPR RI, sehingga hal ini
dapat dijadikan momentum untuk menunjukkan komitmen politik oleh
aktor politik di Republik ini kepada warga yang telah memilihnya. Dan
melalui komitmen ini pula dapat dijadikan modal politik untuk pemilu
kelak, Rakyat yang telah sadar politik kelak tidak akan pindah kelain hati
(akan tetap memilih) wakilnya yang benar-benar memperjuangkan
kepentingan rakyat, yang benar-benar berupaya untuk membuat rakyat
sehat. Salah satunya adalah dengan penguatan komitmen dan
memberikan prioritas pembangunan sektor kesehatan. Upaya yang
strategis dapat dilakukan saat ini dalam proses amandeman UU No 23/92
tentang Kesehatan yang sedang berjalan, dengan cara memasukkan kata
"wajib memberikan anggaran di APBN dan APDB minimal sebesar 15%
dari APBN/APBD" pada salah satu pasal dalam amandemen UU 23/92.
Karena UU ini kelak akan menjadi rujukan formal oleh aktor-aktor
politik dalam membuat berbagai kebijakan dalam pembangunan sektor
kesehatan.
Intervensi oleh Aktor Politik untuk Membuat Rakyat Sehat
Aktor politik tidak hanya cukup menyatakan keprihatinan dengan

17

merebaknya berbagai penyakit, masalah gizi buruk dan masalah-masalah


kesehatan masyarakat yang banyak menimpa masyarakat miskin dewasa
ini, yang semua ini menyulitkan pencapaian untuk membuat rakyat
Indonesia sehat dan komitmen global MDGs 2015. Aktor Politik baik di
pusat dan di daerah yang domisisli dari Sabang sampai Meroke dapat
membuat kebijakan dan hukum yang menekankan pada program
perlindungan kesehatan, promosi kesehatan dan pencegahan penyakit,
memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, menguatkan kerjasama
lintas sektoral dan mengajak seluruh lapisan masyarakat bersama-sama
bertanggung jawab dalam pemeliharaan kesehatan lingkungan dan
perilaku hidup sehat. Dapat pula membuat kebijakan berupa program
yang bersifat nasional yang dapat menjamin kesehatan generasi
mendatang secara dini yang melindungi kelompok rentan yaitu ibu, bayi
dan anak dari berbagai gangguan gizi dan masalah kesehatan.
Jika kita perhatikan sejak Orde baru dengan program kerja yang
terencana PELITA IVII, dilanjutkan lagi dengan era desentralisasi yang
sudah berlangsung lebih lima tahun, masih menyebabkan angka kematian
ibu dan angka kematian bayi baru lahir dengan angka yang
pergeserannya tidak signifikan. Bahkan ada data yang menunjjukan
bahwa setiap 2 jam ada ibu baru melahirkan yang meinggal dunia.
Kedepan seharusnya Aktor politik dapat membuat program-program
kerja yang lebih proaktif misalnya dengan membuat program kerja yang
proaktif dengan cara melakukan intervensi di Hulu pada permasalahan
kesehatan yang ada. Misalnya untuk mengurangi secara signifikan angka
kematian ibu dan angka kematian bayi baru lahir perlu dibuat kebijakan
untuk mengintervensi sejak di ketemukan adanya Wanita Usia Subur
(WUS) dengan kategori tidak mampu, menikah dengan pria yang
dikategorikan tidak mampu pula di KUA ataupun Catatan setempat sipil
dan diketahui oleh pihak kelurahan setempat, juga diketahui oleh pihak
puskesmas terdekat. Intervensi untuk program penyelamatan ibu tersebut
misalnya memberikan batuan langsung tunai untuk ibu hamil (BLT-IH)
18

tidak mampu. Intervensi ini berupa BLT-IH ini diberikan selama 9 bulan
dan diberikan juga bantuan biaya untuk biaya melahirkan bila perlu
dengan biaya transportasi pulang-pergi dari dan kelokasi tempat
melahirkan yaitu tenaga professional yang mampu menolong kelahiran
(bidan praktek, obgyn, dll).
Setelah anaknya lahir perlu pula dibuat kebijakan untuk
menyelamatkan bayi tersebut dari berbagai gangguan gizi dan masalah
kesehatan sampai umur tiga tahun melalui intervensi dengan cara
memberikan bantuan langsung tunai Bayi bawah Tiga Tahun (BLTBatita), hal ini untuk menjaga kesehatan gizi si anak dan dijaga pula
kesehatan dengan memberikan imunisasi lengkap. Dengan adanya
program program proaktif tersebut diharapkan kedepan di era
desentarlaisasai ini kita akan melakukankan berbagai kegiatan tidak lagi
mengurusi masalah tingginya angka kematian Ibu dan bayi baru lahir.
Deparemen terkait lainnya dapat pula ,memberdayakan kepala keluarga
dengan memberikan pelatihan pelatihan keterampilan kerja sehingga
orang tua anak dapat berusaha untuk mencukupi perekonomian mereka.
Sehingga diharapkan kedepan tidak dijumpai lagi adanya kasus Kurang
Energi Protein (KEP) yang tersebar dimana-mana. Intervensi kebijakan
strategis lainya adalah dalam pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas
yang mencakup upaya preventif dan promotif selain tetap menjalankan
program kuratif dan rehabilitatif. Sudah selayaknya manajer di Puskesma
di berikan kepada tenaga yang benar-benar mampu dan memiliki latar
belakang ilmu pengetahuan dan pengalaman praktis untuk menjadi
manajer dalam upaya pelayanan kesehatan dasar yang merupakan arah
pembangunan kesehatan oleh pemerintah, dengan dasar hukum SK
Menkes Nomor: 128/Menkes/SK/II/2004 tentang kebijakan dasar Pusat
Kesehatan dalam kriteria personalia yang mengisi struktur masyarakat
dimana Puskesmas disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab
masing-masing unit Puskesmas.

19

Khsusunya

untuk

Kepala

Puskesmas

kriteria

tersebut

dipersyaratkan harus seorang sarjana di bidang kesehatan yang


kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat. Nampaknya
upaya untuk membuat rakyat sehat belum sejalan dengan rekrutmen
tenaga
kesehatan/PNS yang baru berjalan. Sedangkan upaya bidang kuratif tetap
menjadi tanggung jawab profesi yang bertanggung jawab pada bidang
kuratif yaitu medical dokter. Jika mungkin untuk memberlakukan
kembali sistem Inpres dokter di untuk tingkat pelayanan dasar. Karena
menurut data masih banyak upaya kuratif di puskesmas tidak dilakukan
oleh tenaga profesional yang memiliki kompetensi untuk melakukan
upaya kuratif tersebut, tetapi didelegasikan kepada tenaga lain yang nota
bene tidak berhak untuk melakukan pelayanan kuratif.
Kebijakan oleh aktor politik di daerah (Bupati/Walikota) dapat
menetapkan profesional sebagai manajer puskesmas dalam upaya
membuat rakyat sehat, dengan cara menjaga kesehatan warga diwilayah
kerja dapat melakukan kegiatan untuk membuat rakyat sehat dengan
berbagai

trobosan

program

untuk

betul-betul

membuat

warga

masayarakat semakin sehat dan produktif, sehingga akhirnya dapat


berkarya

menghasilkan

sesuatu

sesuai

dengan

keahlian

dan

tanggungjawabnya masing-masing, dengan tidak meninggalkan upaya


kuratif. Kebijakan populis lainnya yang bisa dipikirkan untuk mendorong
hal ini, misalnya, melalui pemberian award bagi manajer Puskesmas dan
Rumah Sakit yang telah berhasil memotivasi sejumlah warga untuk
selalu sehat dan produktif melalui berbagai program promotif dan
preventif yang dijalankan dalam tupoksi kedua lembaga ini.
Untuk

jangka

panjangnya

kegiatan

yang

ideal

adalah

memprioritaskan pada upaya promotif, preventif dan protektif dengan


tidak meninggalkan upaya kuratif dengan ukuran yang mudah dan
menggunakan indikator-indikator langsung berupa menurunnya angka

20

kunjungan ke puskesmas, puskesmas pembantu dan Rumah Sakit(RS)


dikarenakan sakit. Fungsi pelayanan dasar harus memprioritaskan dalam
upaya membuat rakyat sehat dan produktif.
Fungsi RS juga harus bergeser yaitu dalam rangka menyehatkan
warga negara dengan Ilmu dan teknologi kedokteran kesehatan, karena
RS adalah bagian dari upaya Sistem Kesehatan Nasional. Dan sebetulnya
dalam pakem paradigma sehat yang utama adalah menjaga yang sehat
agar tetap sehat sehingga tidak sakit dan dapat terhindarkan dari
penyakit. Selain tentunya menyembuhkan yang sakit dan menjaganya
agar tidak kembali sakit. Bila penduduk sehat maka mereka dapat lebih
produktif, dapat meningkatkan pendapatan ekonominya dan dapat lebih
memiliki kepedulian dalam menjalankan demokrasi. Dan akhirnya rakyat
yang sehat dapat pula memilih wakil mereka yang berkualitas melalui
pemilu yang demokratis. Tentunya rakyat akan menentukan pilihannya
yang ditujukan kepada aktor politik yang benar-benar memiliki
komitmen untuk membuat warga negara menjadi sehat.
Bentuk intervensi yang cerdas yang dapat dilakukan oleh aktor
politik untuk mencegah agar penduduk tidak sakit, wajib kita dukung.
Upaya

tersebut

dapat

dilakukan

melalui

pendekatan-pendekatan

perekayasaan yang positif didasarkan pada pertimbangan sosialkultural daerah setempat. Masing-masing daerah dapat pula melakukan
perekayasaan kepada masyarakat untuk selalu hidup sehat dan terhindar
dari penyakit. Perekayasaan yang sederhana dan dilakukan oleh
masyarakat itu sendiri. Di era desentaralisasi ini dengan penguatan
komitmen politik untuk selalu memprioritaskan pembangunan sektor
kesehatan.

Upaya

strategis

lainnya

dalah

mengimplementasikan

penjabaran UU RI no 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial


Nasional (SJSN) yang di implementasikan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah untuk diprluas dalam upaya menyelamatkan ibu dan bayi
baru lahir. Sehingga kelak kita dapat berharap di media massa akan

21

terlihat laporan neraca kesehatan dengan persentase semakin


banyaknya warga negara yang terhindarkan dari sakit dan telah dibuat
sehat melalui berbagai kebijakan di hulu.
2.5 Masalah politik dan kesehatan
Politik kesehatan merupakan upaya pembangunan masyarakat
dalam bidang kesehatan. Masalah politik dalam kesehatan adalah sesuatu
yang harus diselesaikan atau dipecahkan dalam upaya pembangunan di
bidang kesehatan. Saat ini, apa yang dipikirkan oleh ahli kesehatan
masyarakat sangat berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh para pemimpin
politik dalam melihat pembangunan.
Para ahli kesehatan masyarakat selalu memandang kesehatan
adalah utama dan satu satunya cara dalam mencapai kesejahteraan,
kesehatan ibu dan anak adalah prioritas, ketimpangan kaya dan miskin
adalah sumber masalah kesehatan. kebijakan dan politik kesehatan harus
berbasis bukti dan pendekatan pencegahan penyakit adalah yang utama.
Sayangnya para pemimpin politik, tidak memandang sama dalam melihat
persoalan pembangunan kesehatan, keputusan-keputusan politik lebih
didasari kepada hasil survey popularitas dan prioritas pembangunan lebih
kepada yang terlihat cepat di mata konstituen. perbedaan masalah ini
berakar dari para ahli kesehatan masyarakat yang enggan untuk memahami
masalah politik pembangunan, terutama pembangunan dalam bidang
kesehatan. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa masalah kesehatan adalah
masalah politik.
Masalah kesehatan bukan lagi hanya berkaitan erat dengan tehnis
medis, tetapi sudah lebih jauh memasuki area-area yang bersifat social,
ekonomi dan politik karena masalah kesehatan merupakan masalah politik
maka untuk memecahkannya diperlukan komitmen politik. Namun, untuk
memecahkan masalah tersebut ternyata tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan. Disini aktor politik kesehatan belum mampu meyakinkan
bahwa kesehatan adalah investasi, sector produktif dan bukan sector
konsumtif. Praktisi kesehatan juga belum mampu memperlihatkan secara
22

jelas di dalam mempengaruhi para pemegang kebijakan tentang manfaat


investasi bidang kesehatan yang dapatmenunjang pembangunan bangsa.
Tidak ada batasan yang jelas siapa aktor politik kesehatan yang
sesungguhnya, namun dapat dikatakan bahwa aktor politik kesehatan adalah
orang, lembaga atau profesi yang berjuang untuk mewujudkan rakyat yang
sehatdan sejahtera. Akan tetapi karena masalah politik adalah masalah
kesehatan, maka tentu saja tidak perlu semua aktor politik adalah orang
kesehatan atau orang dengan latar belakang kesehatan akan tetapi yang
terpenting adalah bagaimana para aktor politik mempunyai wawasan
kesehatan.
2.6 Strategi dan Esensi Politik Kesehatan
Berita di panggung politik akhir akhir ini, baik Pilgub ataupun
Pilbup tak henti- hentinya menghiasi media massa baik Cetak maupun
Elektronik. Seolah menjadi sumber berita yang memberikan energi lebih
kepada media untuk menjadikannya headline setiap hari.
Namun disisi lain, berbagai strategi yang telah dilakukan tersebut
tetap tidak menghentikan lajunya perkembangan penyakit yang terus
memeras keringat para ahli kesehatan untuk mengendalikannya. Masih
Terus terdengar banyaknya masyarakat miskin yang tak mampu mengakses
layanan kesehatan karena tak ada biaya. Masih banyaknya Balita yang
mengalami Gizi buruk. Buruknya mutu pelayanan kesehatan yang diterima
masyarakat di Puskesmas dan Rumah sakit pemerintah, serta sejumlah
permasalahan pada sektor kesehatan yang menunggu implementasi Visi,
misi, dan program para calon pemimpin yang tampak menjanjikan, namun
sungguh sulit untuk direalisasi, akankah kenyataannya seindah janji.
Anggaran itu sudah pasti merupakan produk politik, karena
ditetapkan

pemerintah

bersama

DPR.

Membebani

impor

alat-alat

kedokteran dengan pajak yang sama untuk impor mobil mewah, juga
keputusan politik. Membiarkan dokter menumpuk dan berebut cuma di kota
besar, atau mengatur penyebarannya berdasarkan kepentingan Daerah,

23

contoh lain buah keputusan politik, singkatnya, politik kesehatan atau


kebijakan kesehatan memang akhirnya ditentukan oleh keputusan politik.
Kalau kehidupan politik di suatu Daerah tidak sehat, jangan harap kesehatan
masyarakat di daerah itu akan diurus dengan sehat pula. Politik yang sakit
akan membiarkan rakyatnya sakit.
Contoh paling nyata yang terjadi d a l a m p e n e t a p a n a n g g a r a n
untuk

kesehatan,

menteri

kesehatan

mengajukan

rancangan

anggaran kepada presiden yang kemudian akan dibahas bersama


DPR karena dalam penetapan Anggaran Belanja Negara DPR
mempunyai

wewenang

dalam

menyetujui

maupun

menolak

terhadap rancangan yang diajukan tersebut.

2.7 Perkembangan Politik Kesehatan di Indonesia


2.7.1

Politik Kesehatan di Indonesia


Jika kaya di Indonesia, kita bisa mendapatkan kedudukan
kesehatan, meskipun Anda mungkin harus pergi ke Singapura atau
Malaysia untuk mendapatkannya. Bagi orang Indonesia miskin, dan
bahkan bagi banyak orang di kelas menengah, pilihannya adalah tidak
begitu baik.
Perubahan politik adalah pedang bermata dua bagi kesehatan.
Beberapa tantangan besar mempengaruhi sektor ini, serta beberapa
sumber dinamisme, timbul dari desentralisasi. Sejak jatuhnya
pemerintahan otoriter Soeharto pada tahun 1998, desentralisasi politik
dan fiskal telah menghasilkan satu set kompleks tantangan untuk
pemrograman kesehatan. Di satu sisi, desentralisasi pelayanan
kesehatan menciptakan peluang bagi visioner pemimpin lokal untuk
mengembangkan program kesehatan yang ditargetkan untuk para
pemilih. Tetapi juga telah membuat sistem rentan terhadap politik
kekuasaan

lokal

dan

korupsi

dicentang,

kesenjangan antara daerah kaya dan miskin.

24

dan

melanggengkan

Akurat atau terlambat diagnosa, fasilitas tidak memadai dan


pengobatan, biaya yang berada di luar jangkauan: semua ini adalah
bagian dari pengalaman sehari-hari kesehatan bagi jutaan rakyat
Indonesia. Akibatnya, setiap tahun, warga yang tak terhitung negara
meninggal akibat kondisi yang seharusnya dicegah atau disembuhkan.
Ini edisi khusus Indonesialooks dalam pada masalah yang menimpa
kesehatan, dan mencari tanda-tanda harapan di tengah perubahan politik
yang membentuk kembali Indonesia sebagai masyarakat yang lebih
demokratis.
Kekuatan sosial dan politik yang telah menghasilkan hasil yang
tidak merata seperti untuk sektor kesehatan di Indonesia selama masa
transisi negara menuju demokrasi. Sementara perekonomian Indonesia
tumbuh dengan pesat, pemerintah terus menghabiskan lebih sedikit
pada kesehatan per kapita dibanding negara-negara tetangganya dengan
profil ekonomi yang sama, indikator kunci kesehatan - seperti rasio
penyedia kesehatan untuk penduduk - juga tertinggal. Maka timbullah
pertanyaan-pertanyaan yang kompleks seperti apa yang memegang
Indonesia kembali?' Apa yang memotivasi pejabat terpilih, profesional
kesehatan dan konsumen untuk membuat keputusan yang mereka buat?
Dan apa hasil bagi masyarakat yang paling rentan di Indonesia?
Jenis disfungsi yang mengganggu sektor: dari ketidakhadiran di
klinik kesehatan dengan rincian dalam berbagi informasi penting antara
kabupaten dan pusat. Pisani menyalahkan insentif politik condong
untuk banyak disfungsi ini. Misalnya, pejabat daerah yang terpilih
berinvestasi dalam infrastruktur kesehatan yang mahal dan mencolok
untuk meningkatkan profil politik mereka, daripada mengatasi
kebutuhan kesehatan yang lebih kompleks. Tetapi transisi demokrasi
juga membawa perubahan positif. Pisani poin bagaimana pemilihan
langsung memberikan tekanan pada politisi lokal untuk menjawab
tuntutan konstituen mereka untuk layanan kesehatan yang lebih baik.

25

Sebagai harapan masyarakat meningkat, ia berharap, demikian juga


akan kualitas pelayanan.
Edward Aspinall dan Hawa Warburton menganalisis hubungan
antara politik elektoral dan munculnya skema kesehatan lokal.
Kampanye populis yang menjanjikan kesehatan gratis sekarang biasa
dalam pemilihan provinsi di seluruh negeri dan kabupaten. Tren ini
mengungkapkan bagaimana politisi lokal terlibat dengan tuntutan
pemilih mereka dengan cara baru dan progresif. Bahkan jika biaya
kesehatan mulai turun bagi banyak orang, namun, ini tidak selalu
berarti kualitas yang membaik.
Aktivis kesehatan reproduksi, Inna Hudaya, menawarkan
wawasan ke dalam penderitaan perempuan muda yang mengalami
kehamilan yang tidak direncanakan. Dia menjelaskan bagaimana stigma
sosial dan hukum diskriminatif memaksa perempuan menjadi
berbahaya, dunia trauma dan kadang-kadang fatal aborsi ilegal. Dalam
kasus ini, juga, politik memainkan peran, tetapi merupakan politik
konservatisme sosial yang menolak kontrol perempuan atas tubuh
mereka. Untungnya, organisasi baru yang dijalankan oleh orang-orang
seperti Inna berjuang untuk mengubah hukum diskriminatif dan untuk
membantu perempuan menemukan informasi dan layanan yang mereka
butuhkan.
2.7.2

Politik Membangun Kesehatan Bangsa


Menteri Kesehatan dr. Nafsiah Mboi, SpA. MPH Pemaparan
terkait politik kesehatan tidak akan terlepas dengan isu politik nasional
menyongsong 2014 sebagai Tahun Politik. Pergantian kabinet baru
dan kepala daerah beresiko terhadap berhentinya kebijakan kesehatan
baik secara nasional ataupun lokal di daerah. Era reformasi menjadi
tonggak pergantian sistem, termasuk sistem kesehatan, sehingga banyak
kebijakan politik yang terlantar pada saat ada banyak kabupaten/kota
yang berganti kepala dinas, padahal di kabupaten/kota tersebut sistem

26

kesehatan dasar harusnya menjadi prioritas utama. Bahkan banyak


kepala daerah bukan merupakan orang yang konsen pada isu kesehatan
dan ada kepala dinas kesehatan yang bukan merupakan orang
kesehatan. Fenomena tersebut menjadi penekanan agar jangan sampai
pergantian politik menjadi hambatan dalam pembangunan kesehatan.
Kepala daerah hendaknya dipilih yang care kepada kesehatan, sehingga
akan mengalokasikan APBD untuk pembangunan kesehatan di
daerahnya.
Komitmen politik pemerintah pada kesejahteraan masyarakat
adalah menciptakan Indonesia yang adil dan makmur, sehingga sektor
kesehatan tetap menjadi prioritas politik. Pemaparan politik kesehatan
Indonesia yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah
Mboi, SpA. MPH berorientasi pada Kerangka Acuan KONAS IAKMI
XII tentang angka IPM, AKI, Balita, dan AKB yang masih
membutuhkan perhatian. Renstra Kementrian Kesehatan 2010-2014
yaitu masyarakat yang sehat mandiri dan berkeadilan dilakukan dengan
pemberdayaan masyarakat, pelayanan kesehatan yang paripurna,
ketersediaan SDM kesehatan, dan good governance. Kementrian
Kesehatan berserta jajaran di bawahnya tetap berkomitmen untuk
peningkat akses pelayanan kesehatan masyarakat yang komprehensif
dan bermutu.
Selama ini program pengobatan gratis sering dibakai untuk
kampanye kapala daerah, karena memang isu jaminan pada perolehan
pelayanan kesehatan saat sakit merupakan hal yang masih menjadi
beban bagi masyarakat Indonesia. Kementrian Kesehatan RI terus
mengusahakan penyelesaian masalah pelayanan kesehatan masyarakat
Indonesia. Program Nasional yang akan segera diluncurkan adalah
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tahun 2014. Pada akhir
Desember 2019 ketika program BPJS menargetkan Total Health
Coverage bagi seluruh masyarakat Indonesia. Banyak isu yang muncul

27

sebagai reaksi dari progam tersebut diataranya adalah peran serta


masyarakat, kecukupan tenaga pendidikan dan kecukupan fasilitas
kesehatan.
Isu yang melemahkan tersebut menurut data nasional yang
disampaikan oleh Mentri Kesehatan RI sudah bukan lagi merupakan
ancaman. Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan terus
dikembangkan, baik itu lewat Posyandu, poskesdes, posbindu PTM,
atau posmaldes diharapkan dapat terus ditingkatkan. Ketersediaan
tenaga kesehatan sudah mendekati target secara nasional. Kesempatan
dan upaya peningkatan jumlah tenaga kesehatan diupayakan lewat
berbagai macam beasiswa yang ditawarkan. Pemerataan tenaga
kesehatan diharapkan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk
dapat mengikat putra daerahnya sehingga setelah selesai studi dapat
kembali ke daerah dan betah kerja di daerah. Daerah dapat
merencanakan kebutuhan tenaga kesehatannya dan mengajukan untuk
pepenuhan tenaga kesehatan di daerah. Ketersediaan fasilitas kesehatan
secana nasional sudah siap, tetapi ada ketimpangan karena ada daerah
yang memiliki banyak RS ada yang kekurangan. Hal tersebut dapat
diatasi dengan regulasi dan kebijakan yang tegas pada saat ijin
pendirian dan pengembangan RS. Pada akhir pemaparan Menteri
Kesehatan RI mengharapkan dapat bekerja sama dengan IAKMI untuk
menidentifikasi strategi-strategi yang inovatif untuk mengoptimalkan
peningkatan derajad kesehatan masyarakat Indonesia. Selain itu ada
tantangan yang diajukan agar IAKMI dapat mempengaruhi keputusan
politik di Indonesia demi kesehatan masyarakat.
2.7.3

Politik Kesehatan dan Kemiskinan


Kemiskinan merupakan salah satu dimensi yang sangat menjadi
perhatian dalam konteks politik kesehatan. UUD kita menegaskan
bahwa masyarakat miskin ditanggung oleh negara termasuk dalam hal
jamianan pelayanan kesehatannya. Berkaitan dengan hal itu menarik

28

untuk menelaah tulisan A.Maulani (peneliti Pusat studi Asia pasifik


,UGM) yang dimuat di situs Antaranews.com . Dia mengutip
pernyataan mantan Menkes Siti Fadillah Supari Tuntut rumah sakit
yang tidak mau menerima pasien yang memiliki kartu Jamkesmas
(Jaminan Kesehatan Masyarakat). Kalau masyarakat miskinnya yang
tidak punya Jamkesmas, tuntut Pemdanya, dalam sebuah rapat kerja
dengan DPRRI (9/02/09).
Pernyataan keras tersebut dengan jelas memperlihatkan bahwa
banyak lembaga kesehatan yang hanya berorientasi ekonomi semata,
yang kurang berpihak masyarakat miskin. Mereka selalu saja menjadi
korban bahkan bulan-bulanan oleh sebuah sistem. Kesehatan dalam
konteks ini hanya dipandang sebagai perkara medis belaka. Fungsi
sosial yang seharusnya juga diemban RS ternyata terkikis oleh hasrat
penumpukan laba semata.
Dengan jumlah 35 juta lebih orang miskin di Indonesia, maka
sudah saatnya Negara mengambil prakarsa untuk melindungi mereka
agar berbagai lembaga kesehatan serta hal lain yang terkait seperti
rumah sakit, poliklinik, puskesmas, harga obat, serta dokter tidak justru
menjadi mesin yang menggilas mereka yang miskin dan menjadikan
siklus kemismikan kian tak berujung. Itulah kira bentuk politik
kesehatan yang harus dijalankan Negara. Seperti dikatakan Jeffrey
Sachs dalam buku The End of Poverty (2005) bahwa banyak hal yang
menyebabkan seseorang akan semakin terperangkap dalam jebakan
kemiskinan. Salah satunya adalah tiadanya human capital di mana
salah satu variabelnya adalah dalam wujud akses kesehatan yang
memadai dan terjangkau.
2.7.4

Komitmen Pemerintah Terhadap Kesehatan Dinilai Masih Lemah


Sejumlah kalangan menilai komitmen pemerintah terhadap
masalah kesehatan di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini terlihat
baik dari sisi politik anggaran maupun regulasi yang belum pro
terhadap kesehatan masyarakat.

29

Ketua

Yayasan

Lembaga

Konsumen

Indonesia

(YLKI)

Sudaryatmo,pakar kesehatan dari Universitas Hassanudin Prof Razak


Thaha dan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zainal Abidin
dan pendiri Maarif Institute Ahmad Safii Maarif menilai pergantian
pimpinan/penguasa terus terjadi,namun masalah kesehatan tetap
berjalan di tempat.
Pertanyannya,setahun
kesehatan

rakyat

menjelang

mendapatkan

pemilu

perhatian.

2014,masihkah

Mereka

mengimbau

maraknya politik nasional menjelang pemilu 2014 tidak boleh


mempengaruhi berbagai program pembangunan kesehatan yang telah
dicanangkan.
Sudaryatmo,mengatakan, dari sisi politik anggaran kesehatan
dan pendidikan,komitmen pemerintah Indonesia dibanding negara lain
masih ketinggalan. Ini terlihat dari alokasi untuk pendidikan dan
kesehatan dari total Produk Domestik Bruto (GDP),Indonesia paling
rendah dari negara lain yaitu 2%. Sedangkan Kamboja 4%,Laos
mendekati 5%,Malaysia 10%,Philipina 15% dan Thailand hampir 7%.
Jadi dari sisi politik anggaran pemerintah memang belum
berpihak pada isu kesehatan dan pendidikan. Minimnya anggaran
kesehatan menimbulkan banyak persoalan seperti kematian ibu dan
balita karena kurang mendapatkan dukungan memadai, kata
Sudaryatmo pada acara refleksi setahun menjelang Pilpres 2014 yang
digalar IDI di Jakarta, Senin (14/1). Hadir pula Wakil Menteri
Kesehatan Ali Ghufron Mukti.
Menurut Sudaryatmo,dibanding kesehatan,pemerintah lebih
komitmen dan disiplin untuk membayar hutang. Untuk pendidikan dan
kesehatan hanya 2% dari GDP, tetapi untuk bayar hutang mencapai
10%. Lebih tinggi dari negara lain, seperti Kamboja kurang dari
1%,Laos 3%,Malaysia 8%. Walaupun Philipina juga cukup tinggi yakni
12% dan Taiwan 15%, namun rasio antara anggaran kesehatan dengan
membayar hutang seimbang, sedangkan di Indonesia sangat jomplang.

30

Ketidakberpihakan pemerintah terhadap isu kesehatan dan


pendidikan juga terlihat dari struktur APBN 2013. Mengutip data
Kementerian Keuangan,menurut Sudaryatmo,dari total APBN sebesar
Rp 1,683 triliun,dialokasikan dominan ke sejumlah sektor. Di antaranya
infrastruktur Rp 201,3 triliun (11,96),pertahanan negara Rp118,3 triliun
(7,02%),subsidi Rp317,2 triliun (18,84%),transfer ke daerah Rp 526,6
triliun (31,4%).
Struktur anggaran ini menunjukkan sebagian besar untuk
subsidi,bahkan lebih besar dari pembangunan infrastruktur. Padahal,
kata dia,sebagian besar subsidi tidak jelas sasaran dan implikasinya
terhadap perbaikan masalah di masyarakat.
Subsidi BBM misalnya mencapai Rp 193,8 triliun (61,2%) dari
total anggaran subsidi. Dibanding subsidi listrik yang sebesar Rp 80,9
triliun (25,51%), subsidi BBM bermasalah karena pemerintah tidak
memiliki data dan pertanggungjawaban soal penerima maupun
besarannya. Menurutnya, misteri subsidi BBM akan menjadi catatan
hitam sejarah ekonomi kontemporer Indonesia. Padahal untuk
mengatasi masalah kesehatan,menurut para pakar tidak sampai
membutuhkan anggaran sebesar subsidi BBM, katanya.
Razak Thaha mengatakan,meskipun Indonesia selalu bangga
memiliki pendapatan perkapita atau pertumbuhan ekonomi lebih dari
negara tetangga,tetapi dalam masalah kesehatan tidak lebih baik.
Masalah gizi di Indonesia misalnya belum mengalami
penurunan signifikan. Di antaranya Indonesia merupakan negara kelima
dengan jumlah orang pendek (stunting) paling banyak di dunia, selain
Tiongkok,India,Pakistan,Nigeria dan bahkan di atas Vietnam. WHO
mencatat 90% anak pendek ada di 36 negara berkembang,termasuk
Indonesia.
Menurutnya, orang pendek merupakan representasi dari
kemiskinan di setiap provinsi. Di mana ada lumbung kemiskinan di situ
orang pendek lebih banyak, seperti di NTT,Papua Barat dan NTB.

31

Mereka terlahir dari ibu-ibu yang juga miskin dan kekurangan gizi.
Di satu sisi jumlah anak gemuk juga semakin bertambah. Anak gemuk
adalah calon-calon penderita penyakit tidak menular di kemudian
hari,seperti hipertensi,stroke,jantung dan diabetes.
Padahal anggaran untuk gizi melalui pagu kesehatan terus
meningkat, bahkan saat puncak resesi ekonomi. Tahun 2000
anggarannya baru sekitar Rp 21 miliar,tetapi naik tujuh kali lipat atau
Rp 700 miliar di tahun 2007. Tetapi status gizi malah tambah jelek,lalu
kemana anggaran itu, katanya.
Ali Ghufron Mukti,mengatakan, pemerintah sudah cukup
memberikan perhatian serius pada masalah kesehatan. Buktinya, hampir
tidak ada negara di dunia ini yang menjamin 86,4 juta warganya untuk
berobat gratis seperti yang dilaksanakan oleh Indonesia. Selain itu,
progam Jampersal menjamin persalinan gratis untuk semua ibu hamil.
Dari sisi anggaran memang dari persentase masih di bawah
2,1% dari total APBN, tetapi nominal-nya terus meningkat setiap tahun.
Tahun ini sebesar Rp 32 triliun, dan 2014 diperkirakan mencapai sekitar
Rp 40 triliun, katanya.
Zainal Abidin,mengatakan,anggaran kesehatan setiap tahun
hanya berkisar di 2% dari total APBN. Karena itu IDI mengimbau
pemerintah untuk menaikannya sesuai dengan UU Kesehatan
36/2009,yakni minimal 5% di luar gaji pegawai. Secara politis,kata
dia,pemerintah memiliki tanggung jawab konstitusi untuk menjalankan
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan baik. [D-13]
Mengapa komitmen Negara dalam bentuk politik kesehatan
menjadi penting? Perlu dicatat bahwa kondisi orang miskin di negeri ini
sudah berada dalam kondisi seperti yang digambarkan James C. Scott
(1983): seperti orang yang terendam dalam air sampai ke leher,
sehingga ombak yang kecil sekalipun akan menenggelamkannya.
Ombak kecil dalam konteks ini saya kira bisa berupa mahalnya biaya
rumah sakit dan juga obat-obatan.

32

Pada titik inilah penting mengkorelasikan hubungan antara


sektor kesehatan dan kebijakan politik sebagai bentuk konkrit dari
kebijakan kesehatan. Banyak bukti yang menunjukkan bagaimamana
kemiskinan ternyata ikut memperkeruh persoalan kesehatan. Data
Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks/HDI)
yang memasukkan tiga parameter penting dalam menghitung tingkat
kesejahteraan, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. menunjukkan
bahwa peringkat kesejahteraan Indonesia pada tahun 2010 berada di
urutan 124 dari 185 negara. Dibanding Negara-negara ASEAN.
IKM ini mengukur kualitas SDM melalui beberapa indikator
yang berupa; presentase penduduk di bawah garis kemiskinan, angka
buta huruf, proporsi penduduk yang kemungkinan meninggal sebelum
40 tahun, proporsi penduduk tidak mempunyai akses terhadap air
bersih, serta persentase balita dengan gizi buruk.
Mencermati data tersebut tampaknya sudah saatnya kebijakankebijakan ekonomi yang diambil pemerintah juga mempertimbangkan
implikasi-implikasinya terhadap sektor kesehatan. Pemukiman yang
sehat, nutrisi yang lebih baik, serta keringanan biaya kesehatan adalah
salah satu bentuk implementasinya.
Karena itu, rumah sakit, baik negeri maupun swasta, harus
didorong untuk melaksanakan proyek penanganan kesehatan khusus di
daerah-daerah miskin. Karena itu program Depkes yang bersinggungan
langsung dengan masyarakat kecil seperti program Desa Siaga yang
mensyarakatkan adanya Poskesdes (Pos Kesehatan Desa) di dalamnya,
Program Poskestren (Pos Kesehatan Pesantren), Musholla Sehat, dan
juga Posyandu perlu didorong dan dikawal keberlangsungannya sebagai
bentuk komitmen pada dunia kesehatan.
Satu hal yang kira penting diketahui bahwa untuk masyarakat
yang tinggal dipedesaan yang terpencil atau pedalaman akses pada
layanan kesehatan adalah barang langka. Karena itu keberpihakan

33

pemerintah dalam bentuk politik kesehatan untuk mendahulukan serta


melindungi mereka yang kurang mampu kiranya adalah salah satu
wujud affirmative action dibidang kesehatan.
Sekali lagi, adalah naf bila perkara kesehatan lagi-lagi
diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Maka peran paling minimal
yang bisa dilakukan Negara adalah lewat kebijakan publik, yang oleh
Evans (1998) disebut sebagai custodian role. Yakni sebuah peran
Negara untuk melindungi, mengawasi serta mencegah prilaku segelintir
kelompok yang dapat merugikan masyarakat banyak. Dalam konteks
kesehatan, maka pemerintah wajib melakukan kontrol atas pelayanan
kesehatan yang merugikan masyarakt miskin.
Status miskin sama sekali tidak bisa menghapus tugas Negara
untuk menjamin perlindungan atas mereka, apalagi jaminan untuk
hidup dalam lingkungan yang sehat. Masyarakat miskin akan terusmenerus menjadi korban bila kesehatan hanya diukur berdasarkan
kemampuan

seseorang

dalam

mengeluarkan

biaya.

Karenanya

keberpihakan Negara yang tegas dan jelas harus dibangun agar


keseimbangan hidup rakyat yang selama ini tersisih dan terkoyak bisa
pulih kembali.
Penjelasan diatas secara jelas menunjukkan hubungan yang
sangat erat antara poltik kesehatan dan kemiskinan. Tentu para
pemimpin politis baik di tingkat Pusat maupun daerah memahami betul
konteks peran Negara (pemerintah) dalam mencover jaminan kesehatan
bagi penduduk miskin sebagai bentuk tanggung jawab politik, terutama
berdasarkan pada isu isu yang diungkapkan saat kampanye. Bila ini
tidak diperhatikan dan dibenahi, pemerintah akan berutang kepada
masyarakat. Politik kesehatan yang dilaksanakan secara sehat,
sistematis, dan sesuai dengan prinsip good governance tentunya akan
selalu menjadi harapan bagi masyarakat yang telah memilihnya sebagai
pemimpin.

34

2.7.5 Dinamika Politik Harus Membangun Kesehatan Bangsa


Secara umum, politik kesehatan itu sendiri merupakan interaksi
antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan yang terkait permasalahan kesehatan. Keputusan
yang dihasilkan bersifat mengikat dan bertujuan pada

kebaikan

bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Tetapi


dalam realisasi di lapangan justru selalu ada pihak yang dikorbankan
atau dirugikan. Hal ini akibat dinamika politik berkembang dengan
berbagai cara demi kepentingan satu pihak saja. Tampaknya dinamika
politik hingga tahun 2013 ini justru malah membawa bangsa ini
semakin mengesampingkan masalah kesehatan, yang seharusnya
menjadi modal dasar dalam meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Berbicara mengenai politik kesehatan di Indonesia tentu tidak
bisa terlepas akan adanya kepentingan dan perkembangan politik di
setiap daerah maupun proses kepemimpinan di daerah itu sendiri.
Secara umum perkembangan politik yang membangun kesehatan
bangsa di daerah akan sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan
pusat, daerah maupun pemimpin di sektor kesehatan suatu wilayah
selain permasalahan anggaran.
Sebuah contoh catatan politik yang mungkin bisa disebut
sebagai upaya politik dalam membangun bangsa melalui sektor
kesehatan ialah berubahnya sistem sentralistik menuju desentralisasi. Di
Indonesia sendiri desentralisasi dimulai pasca reformasi sekitar tahun
1999-2000, yang kini tercatat dalam sejarah penting dan ikut mewarnai
dunia perpolitikan Indonesia khususnya bidang kesehatan. Hal itu
ditandai dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang membawa angin baru bagi pemerintahan di Indonesia dari
sentralistik menjadi desentralisasi. Desentalisasi kesehatan dimana
pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur sektor sistem
kesehatan di daerahnya. Dalam prosesnya, pemerintah daerah sangat
tergantung pada beberapa faktor, yaitu dukungan pembiayaan, kerja
35

sama lintas sektor, dan berbagai faktor lainnya yang terkait dalam
menyukseskan sistem kesehatan di daerahnya.
Tahun 2004 juga telah dilakukan suatu penyesuaian terhadap
SKN (Sistem Kesehatan Nasional) 1982. Di dalam dokumen dikatakan
bahwa SKN didefinisikan sebagai suatu tatanan yang menghimpun
upaya bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna
menjamin

derajat

kesehatan

yang

setinggi-tingginya

sebagai

perwujudan kesejahteraan umum seperti dimaksud dalam Pembukaan


UUD 1945. Baru setelah itu muncul UU No. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan yang kemudian disempurnakan menjadi UU No.36 tahun
2009 tentang Kesehatan sebagai aturan dasar bidang kesehatan di
Indonesia.
2.7.6

Politisasi Anggaran Kesehatan


Jika kita cermati bersama dari sisi politik anggaran kesehatan,
komitmen pemerintah daerah di Indonesia dibanding negara lain masih
jauh ketinggalan. Hal ini terlihat dari alokasi untuk kesehatan dari total
Produk Domestik Bruto (GDP), secara umum Indonesia paling rendah
dari beberapa negara lain yaitu hanya 2-3 %. Sedangkan Laos
mendekati 5%, Malaysia 10%, Philipina 15% dan Thailand hampir 7%.
Padahal dalam UU No.36 tentang Kesehatan, besar anggaran kesehatan
pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari
anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji. Sedangkan besar
anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota
dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah di luar gaji. Besaran anggaran kesehatan
sebagaimana dimaksud diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan
publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan
anggaran pendapatan dan belanja daerah. Faktanya politik anggaran
kesehatan hingga tahun ini belum terealisasi sesuai minimal anggaran

36

kesehatan dan hal inilah yang terlihat bahwa politik Indonesia selama
ini belum membangun kesehatan. Sebelumnya, Nafsiah Mboi, Menteri
Kesehatan RI, menjelaskan bahwa untuk tahun 2014, pagu indikatif
Kemenkes sebesar Rp 24,67 triliun. Itu berarti menurun cukup
signifikan, hampir mencapai 30 persen dibandingkan tahun 2013.
Kepada siapa lagi mau berharap jika di saat isu BBM naik justru malah
anggaran kesehatan bangsa kita semakin anjlok. Kini rakyat semakin
jauh dari mimpi dimana visi Indonesia Sehat akan tercapai dengan
anggaran yang semakin menurun dari tahun sebelumnya. Terlebih di
saat harga Bahan Bakar Minyak dan kebutuhan lainya meningkat.
2.7.7

Politisasi Undang-Undang dan Kebijakan Kesehatan


Selama ini arah pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan masih
mengutamakan tenaga kuratif dibandingkan promotif dan preventif. Hal
ini tidak sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah
(RPJMN) 2010-2024, dimana upaya kuratif semakin dikurangi dan
upaya promotif dan preventif semakin ditingkatkan. Faktanya justru
kebutuhan tenaga perawat dan

dokter yang merupakan tenaga

penunjang saat sakit lebih diutamakan pemerintah dibandingkan tenaga


Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) yang merupakan ujung tombak
kesehatan masyarakat yang bertugas menyelamatkan yang sehat supaya
tidak sakit.
Jadi dari sisi politik anggaran pemerintah daerah dan pusat
memang belum berpihak pada program kesehatan yang telah
direncanakan. Minimnya anggaran kesehatan tersebut tentu akan
menimbulkan banyak persoalan seperti kematian ibu dan balita,
penyakit menular, penyakit kronik atau tidak menular, yang secara
global akan berdampak kepada menurunya kesehatan masyarakat,
produktifitas manusia, dan angka harapan hidup, distribusi dan kualitas
tenaga kesehatan, yang dampaknya justru akan merugikan negara
secara sistemik.

37

Permasalahan yang terjadi selama ini, telah banyak dilakukan


pergantian pemimpin, tetapi permasalahan kesehatan ibarat jalan
ditempat. Padahal sebagian permasalahan kesehatan justru malah
makin meluas dan komplek. Selain hal itu, tidak sedikit pula dalam
setiap pergantian pemimpin daerah yang baru maka muncul pula
program baru yang justru kurang mendukung program-program periode
kepemimpinan sebelumnya. Akibatnya fokus penyelesaian masalah
kesehatan di daerah tidak berkembang secara konsisten dan
berkelanjutan.
Jika penulis analogikan secara sederhana, bahwa sehat memang
bukan segalanya, tetapi jika kita tidak sehat, maka segalanya akan siasia. Oleh karena itu dinamika politik tahun 2014 yang harus
dipersiapkan sejak tahun 2013 ini melalui pencalonan presiden,
gubernur/walikota, anggota DPR dan DPRD haruslah diorientasikan
untuk membangun kesehatan bangsa. Sistem kesehatan bangsa dan
daerah yang mudah, efektif dan efisien harus menjadi pondasi
sekaligus ujung tombak negara. Hal ini menjadi sangat penting jika
pendapatan daerah dan negara ingin meningkat, begitu pula
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat masih menjadi tujuan utama
bangsa, sesuai empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945,
Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

38

Politik dalam arti kepentingan umum adalah suatu rangkaian


azas/prinsip, keadaan serta jalan, cara dan alat yang akan digunakan untuk
mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan yang kita kehendaki disertai
dengan jalan, cara dan alat yang akan kita gunakan untuk mencapai tujuan
yang kita inginkan. Politik memiliki pengaruh begitu besar terhadap
kebijakan dan pengembangan di bidang kesehatan.
Politik Kesehatan adalah Ilmu dan seni untuk memperjuangkan
derajat kesehatan masyarakat dalam satu wilayah melalui sebuah sistem
ketatanegaraan yang dianut dalam sebuah wilayah atau negara .
Politik kesehatan atau kebijakan kesehatan memang akhirnya
ditentukan oleh keputusan politik. Kalau kehidupan politik di suatu Daerah
tidak sehat, jangan harap kesehatan masyarakat di daerah itu akan diurus
dengan sehat pula. Politik yang sakit akan membiarkan rakyatnya sakit.
Kemiskinan ternyata ikut memperkeruh persoalan kesehatan.
3.2 Saran
Demikian uraian materi tentang Politik dalam Kesehatan, Semoga
kebijakan-kebijakan politik kesehatan di indonesia bisa terlaksana dengan
baik dan semua rakyat Indonesia bisa menikmati haknya untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan layak dan memiliki
kesempatan yang sama untuk mendapatkan jeminan kesehatan pemerintah.

39

Anda mungkin juga menyukai