Anda di halaman 1dari 12

BAGAIMANA TOYOTA MENJADI PERUSAHAAN MANUFAKTUR

TERBAIK DUNIA : Cerita Tentang Keluarga Toyoda dan Toyota


Production System

Saya berencana mengurangi waktu luang dalam proses kerja dan dalam pengiriman
komponen dan bahan baku sebanyak mungkin. Sebagai prinsip dasar untuk merealisasikan
rencana ini, saya akan menggunakan pendekatan “Just-in Time”. Aturan pokoknya adalah
dengan tidak mengirimkan barang terlalu awal atau terlalu terlambat.

Kiichiro Toyoda, pendiri Toyota Motor Company, 1938

Hasil yang paling nyata dari upaya toyota mencari keunggulan adalah filosofi
manufaktur yang disebut Toyota Production System (TPS). TPS merupakan evolusi besar
dalam proses bisnis yang evisien setelah produksi masal yang diciptakan oleh Henry Ford,
dan telah di dokumentasikan, di analisis, dan di ekspor ke perusahaan-perusahaan berbagai
industri di seluruh dunia. Di luar Toyota, TPS sering kali di kenal sebagai “lean” atau “lean
production”, karena istilah ini telah di populerkan melalui dua bukuk terlaris, “The Machine
That Changed the World (Womack, Jones, Roos, 1991) dan Lean Thinking (Womack, Jones,
1996). Namun, para penulis buku-buku tersebut menjelaskan bahwa fondasi penelitian
mereka mengenai lean adalah TPS dan pengembangannya oleh Toyota.

Walaupun sekarang memiliki lebih dari 240.000 karyawan di seluruh dunia, dalam
banyak hal Toyota masih merupakan sebuah “bisnis keluarga” besar yang masih dipengaruhi
oleh keluarga pendiri Toyoda. Untuk dapat memahami TPS dan Toyota Way, dan bagaiman
perusahaan ini menjadi perusahaan manufaktur terbaik di dunia, akan sangat membantu jika
kita mula-mula memahami sejarah dan kepribadian anggota keluarga Toyoda, yang
meninggalkan ciri yang tidak dapat diabaikan pada budaya Toyota. Yang paling penting
mengenai hal ini bukanlah fakta bahwa satu keluarga memegang kendali, tetapi konsisten
yang luar biasa dari kepemimpinan dan filosofi sepanjang sejarah Toyota.

KELUARGA TOYODA : Generasi-generasi kepemimpinan yang Konsisten.

Ceritanya dimulai dengan Sakichi Toyoda, seorang tukang dan penemu, tidak
ubahnya Henry Ford, yang dibesarkan di akhir tahun 1800-an di sebuah desa yang terpencil
di Nagoya. Pada saat itu pemintalan adalah industri pertama dan pemerintah Jepang
berkeinginan untuk meningkatkan pengembangan usaha kecil, dengan mendorong
pembentukan industri-industri rumah tangga di seluruh Jepang. Toko-toko kecil dan
penggilingan kecil yang mempekerjakan beberapa orang saja merupakan hal yang umum.
Para ibu rumah tangga menghasilkan sedikit uang tambahan dengan bekerja di toko-toko
tersebut atau dirumah. Sebagai anak laki-laki, Toyoda belajar perkayuan dari ayahnya, dan
pada akhirnya menerapkan keahlian tersebut untuk merancang dan membuat mesin tenun dari
kayu. Pada tahun 1894, ia mulai membuat alat tenun manual yang lebih murah tetapi lebih
baik dari alat tenun yang sudah ada.

Toyoda merasa senang dengan alat tenun buatannya., tapi hatinya terusik karena
ibunya, neneknya, dan teman-teman mereka masih harus bekerja dengan sangat keras
memutar dan menenun. Dia ingin menemukan cara agar mereka terbebas dari kerja keras
tersebut, jadi dia mulai mengembangkan alat tenun kayu yang dijalankan oleh mesin.

Pada masa itu, penemu harus melakukan semua hal sendiri. Tidak ada departemen
riset dan pengembangan agar pekerjaan dapat didelegasikan. Ketika Toyoda pertama kali
mengembangkan mesin tenun, tidak terdapat sumber tenaga untuk menjalankan mesin tenun
tersebut, sehingga dia memusatkan perhatiannya pada masalah pembangkitan tenaga. Mesin
uap merupakan jenis sumber tenaga yang paling umum, jadi dia membeli sebuah mesin uap
bekas dan bereksperimen untuk menjalankan mesin tenun dengan menggunakan sumber
tenaga ini. Dia berusaha mencari tahu bagaiman melakukan hal tersebut dengan cara
mencoba-coba dan melakukan semuanya sendiri – suatu pendekatan yang akan menjadi
bagian fondasi Toyota Way, genci genbutsu. Pada tahun 1926, dia mendirikan Toyoda
Automatic Loom Works, Induk Toyota Group dan masih merupakan inti konglomerat Toyota
(atau keiretsu) sampai saat ini.

Upaya Toyoda untuk terus menerus mencoba, memperbaiki, dan menemukan sesuatu
yang baru, pada akhirnya menghasilkan mesin tenun otomatis canggih yang menjadi “sama
terkenalnya dengan permata Mikimoto dan biola Suzuki” (Toyoda, 1987). Diantara
penemuannya adalah mekanisme khusus untuk secara otomatis menghentikan alat tenun
ketika ada benang yang putus – sebuah penemuan yang berevolusi menjadi sebuah sistem
yang lebih luas yang menjadi salah satu dari dua pilar Toyota Production System, yang
disebut jidoka (otomasi dengan sentuhan manusia). Pada intinya, jidoka berarti menciptakan
kualitas pada saat Anda memproses bahan baku atau “pencegahan kesalahan”. Hal ini juga
memungkinkan untuk merancang operasi dan peralatan sedemikian, sehingga pekerja tidak
terikat pada mesin dan bebas melakukan pekerjaan lain yang memberi nilai tambah.

Selama hidupnya, Sakichi Toyoda adalah insinyur hebat dan kemudian dianggap
sebagai “Raja Penemu” Jepang. Namun kontribusinya yang lebih luas terhadap
pengembangan Toyota berasal dari filosofi dan pendekatannya terhadap pekerjaan, yang
didasarkan kepada semangat peningkatan berkesinambungan. Menariknya, filosofi ini dan
pada akhirnya Toyota Way, sangat dipengaruhi oleh sebuah buku yang di baca oleh Sakichi
karya Samuel Smiles dengan judul self-help (Smiles,2002). Buku ini pertama kali terbit di
Inggris pada 1859. Buku ini mengkhotbahkan kebaikan-kebaikan kerja keras, hidup hemat,
dan perbaikan diri, dan dibumbui dengan cerita-cerita para penemu hebat seperti James Watt,
yang membantu mengembangkan mesin uap. Buku tersebut sangat memberi inspirasi kepada
Sakichi Toyoda sehingga satu kopi buku tersebut dipamerkan dalam museum yang didirikan
di tempat kelahirannya.

Ketika membaca buku Samuel Smiles itu, saya dapat melihat bagaiman pengaruhnya
pada Toyoda. Pertama, inspirasi Smiles untuk menulis buku tersebut hanya untuk berbagi apa
yang dia ketahui kepada orang lain. Buku ini berasal dari usahanya untuk membantu kaum
muda yang mengalami kesulita ekonomi dan ingin memusatkan perhatian mereka untuk
mengembangkan diri mereka sendiri – tujuan Smiles bukanlah untuk mencari uang. Kedua,
buku tersebut menjelaskan secara runut cerita tentang para penemu yang erkat dorongan
alami dan rasa ingin tahunya berhasil mendapatkan penemuan-penemuan hebat yang
mengubah hidup manusia. Sebagai contoh, smiles menyimpulkan bahwa keberhasilan dan
dampak yang muncul dari penemuan James Watt bukan disebabkan bakat alamnya, tapi
dicapai melalui keerja keras, kegighan, dan disiplin. Hal tersebut merupakan ciri-ciri yang
ditunjukan Sakichi Toyoda ketika membuat mesin tenun bertenaga uap. Ada banyak contoh
di sepanjang buku Smiles mengenai “manajemen berdasarkan fakta” dan pentingnya bagi
orang untk memberi perhatian secara aktif – suatu ciri khas pendekatan Toyota terhadap
pemecahan masalah yang didasarkan pada genchi genbutsu.

PERUSAHAAN OTOMOTIF TOYOTA

Mesin tenun buatan Toyoda yang “bebas kesalahan” menjadi model yang paling populer
dan pada tahun 1929 dia mengirimkan putranya, Kichiro ke Inggris untuk merundingkan
penjualan hak patennya dengan Platt Brothers, produsen utama peralatan tenun. Anaknya
menegosiasikan harga 100.000 pound Inggris, dan pada tahun 1930 dia menggunakan
modal tersebut untuk mulai membangun Toyota Motor Corporation (Fujimoto, 1999).

Ironisnya, pendiri Toyota Motor Company, Kiichiro Toyoda adalah anak laki-laki
yang lemah dan sering sakit, yang menurut banyak orang tidak memiliki kapasitas fisik untuk
menjadi seorang pemimpin. Namun, ayahnya membantah hal itu dan Kiichiro Toyoda pun
berusaha keras. Ketika Sakichi Toyoda memberi tugas anaknya untuk membangun bisnis
mobil, hal itu tidak ditujukan untuk meningkatkan keuangan keluarga. Dia dapat saja dengan
mudah mewariskan bisnis alat tenun keluarga kepada anaknya. Tidak diragukan lagi Sakichi
Toyoda sangat sadar bahwa dunia tengah berubah dan mesin tenun bertenaga uap akan
menjadi teknologi masa lalu sementara mobil akan menjadi teknologi masa depan. Namun
lebih dari itu dia telah meninggalkan sesuatu didunia industri melalui pembuatan mesin
tenunnya dan ingin anaknya memiliki kesempatan yang sama dalam berkontribusi ke dunia.
Dia menjelaskan kepada Kiichiro :

Setiap orang harus menangani beberapa proyek besar setidaknya satu kali dalam hidupnya.
Saya mendedikasikan sebagian besar dari hidup saya untuk menciptakan berbagai macam
jenis alat tenun baru. Sekarang gilranmu. Kamu harus berupaya untuk menyelesaikan
sesuatu yang akan bermanfaat bagi masyarakat. (Reingold, 1999)

Ayah Kiichiro mengirimnya ke Tokyo Imperial University yang bergengsi untuk


belajar teknik mesin; dia berfokus pada teknologi mesin. Dia memperoleh banyak
pengetahuan mengenai cara pengecoran dan pemrosesan komponen logam dari Toyoda
Automatic Loom Works. Walaupun pendidikan formalnya di bidang teknik, dia mengikuti
jejak ayahnya dengan “belajar sambil melakukan”. Shoichiro Toyoda, anaknya,
mendiskripsikan Kiichiro Toyoda sebagai seorang “insinyur tulen” yang :
.....memikirkan dengan sungguh-sungguh suatu permasalahan dan tidak begantung pada
intuisi. Dia selalu suka mengumpulkan fakta. Sebelum memutuskan untuk membuat mesin
mobil, dia membuat sebuah mesin kecil. Blok silinder adalah benda yang paling sulit untuk
di cor, sehingga ia memperoleh banyak pengalaman dibidang tersebut, dan dengan rasa
percaya diri, dia terus maju. (Reingold, 1999)

Pendektan dalam belajar dan mencipta serupa dengan yang dilakukan ayahnya.
Setelah perang dunia II, Kiichiro Toyoda menulis “Saya akan mengubur segala harapan akan
kemampuan kami untuk membangun kembali industri Jepang, jika para insinyur kami adalah
orang-orang yang dapat duduk makan tanpa pernah mencuci tangan terlebih dahulu.”

Dia membangun Toyota Automotive Company berdasarkan filosofi dan pendekatan


manajemen ayahnya, tapi dia menambahkan inovasinya sendiri. Sebagai contoh, sementara
Sakichi Toyoda adalah penemu jidoka yang nantinya menjadi salah satu pilar Toyota
Production System, Just-In-Time adalah kontribusi Kiichiro Toyoda. Idenya dipengaruhi dari
perjalanan studinya ke pabrik Ford di Michigan untuk melihat industri mobil dan juga
melihat sistem supermarket AS yang menggantikan barang-barang di rak segera setelah
pelanggan membelinya. Seperti telah dibahas pada Bab 11, visinya merupakan akar sistem
kanban, yang dibuat berdasarkan model sistem supermarket. Tanpa memandang rendah
pencapaian tersebut, tindakannya sebagai seorang pemimpinlah, sama seperti yang dilakukan
ayahnya, yang meninggalkan jejak terbesar pada Toyota.

Dalam perjalanannya membangun perusahaan mobil, Perang dunia II terjadi, Jepang


kalah, dan pemenang Amerika dapat saja menghentikan produksi mobil. Kiiciro Toyoda
sangat khawatir bahwa pendudukan Amerika setelah perang dapat menutup perusahaannya.
Sebaliknya, Amerika menyadari kebutuhan akan truk untuk membangun kembali Jepang dan
bahkan membantu Toyota untuk mulai memproduksi truk kembali.

Ketika ekonomi bangkit kembali dibawah pendudukan Amerika, Toyota tidak


mengalami kesulitan dalam memperoleh pesanan mobil, tapi inflasi yang tinggi telah
membuat uang menjadi tidak berharga dan sangat sulit mendapatkan pembayaran dari
pelanggan. Arus kas menjadi sangat memberatkan sehingga pada satu saat di tahun 1948,
hutang Toyota delapan kali lebih besar dari nilai total perusahaannya (Reingold, 1999). Agar
tidak bangkrut, Toyota mengadopsi kebijakan pemotongan biaya yang ketat, termasuk
pemotongan gaji secara sukarela bagi para manajer dan pemotongan sebesar 10 persen dari
gaji semua karyawan. Hal tersebut merupakan hasil dari negosiasi dengan para karyawan
sebagai ganti dari pemutusan hubungan kerja, untuk mempertahankan kebijakan Kiichiro
Toyoda yang tidak menyetujui pemberhentian karyawan. Akhirnya, bahkan pemotongan gaji
tersebut tidak mencukupi. Keadaan ini memaksanya untuk meminta 1.600 pekerja “pensiun”
secara sukarela. Akibatnya produksi berhenti dan para pekerja berdemonstrasi, yang saat itu
umum terjadi di seluruh Jepang.

Setiap hari selalu ada perusahaan yang bangkrut. Yang sering kami dengar hari-hari
ini adalah CEO berusaha mempertahankan paket opsi sahamnya atas perusahaan atau
mungkin menjual peerusahaan setelah memecah-mecah aktiva berharga yang masih tersisa.
Orang selalu menyalahkan orang lain jika perusahaan mereka gagal. Kiichiro Toyoda
mengambil pendekatan yang berbeda. Dia menerima tanggung jawab atas kegagalan
perusahaan mobil tersebut dan mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai presiden
direktur, walaupun pada kenyataan masalah itu berada di luar kendalinya ataupun diluar
kendali siapa pun. Pengorbanan pribadinya membantu meredakan ketidakpuasan para
pekerja. Makin banyak pekerja yang secara sukarela meninggalkan perusahaan dan
ketenangan dikalangan pekerja pulih kembali. Akan tetapi pengorbanan pribadinya yang
besar itu memiliki dampak yang mendasar terhadap Toyota. Setiap orang di Toyota tahu apa
yang telah dilakukannya dan mengapa dia melakukannya. Filosofi Toyota hingga hari ini
adalah berpikir melampaui kepentingan pribadi demi kepentingan jangka panjang
perusahaan, selain menerima tanggung jawab atas permasalahan. Kiichiro Toyoda
memberikan contoh yang berada diluar logika sebagian kita.

Anggota keluarga Toyoda dibesarkan dengan filosofi yang serupa. Mereka semua
belajar untuk turun tangan secara langsung, belajar mengenai semangat berinovasi, dan
memahami nilai perusahaan dalam berkontribusi terhadap masyarakat. Lebih dari itu, mereka
semua memiliki visi untuk menciptakan sebuah perusahaan yang istimewa dengan masa
depan yang panjang. Setelah Kiichiro Toyoda, salah satu pemimpin keluarga Toyoda yang
membentuk perusahaan adalah Eiji Toyoda, keponakan laki-laki Sakichi dan adik sepupu
Kiichiro. Eiji Toyoda juga belajar teknik mesin, masuk Tokyo Imperial University pada tahun
1933. Ketika dia lulus, sepupunya Kiichiro, memberinya tugas untuk membangun, yang
harus dilakukannya sendiri, sebuah laboraturium penelitian di sebuah “hotel mobil” di
Shibaura (Toyoda, 1987).

“Hotel mobil” yang dimaksud oleh Kiichiro adalah sebuah tempat yang menyerupai
garasi tempat parkir yang luas. Tempat ini dimiliki bersama oleh Toyota dan perusahaan-
perusahaan lainnya, dan ditujukan untuk mendorong kepemilikan mobil bagi orang-orang
kaya yang mampu membeli mobil. Eiji Toyoda mulai dengan membersihkan sebuah ruangan
disatu sudut dalam bangunan tersebut seorang diri dan kemudian menempatkan beberapa
perabotan dasar dan papan gambar. Pada awalnya, dia bekerja sendiri selama beberapa waktu
dan memerlukan waktu satu tahun untuk akhirnya membangun sebuah kelompok yang terdiri
dari 10 orang. Tugas pertamanya adalah untuk meneliti mesin pemrosesan, yang sama sekali
tidak diketahuinya. Dia juga memeriksa mobil-mobil yang rusak, karena salah satu peran dari
hotel mobil adalah untuk memperbaiki produk-produk Toyota. Di waktu luang, dia akan
mengevaluasi perusahaan-perusahaan yang dapat membuat suku cadang untuk Toyota. Dia
juga harus menemukan pemasok suku cadang yang handal di daerah Tokyo tepat pada saat
rampungnya pabrik Toyota.

Eiji Toyoda, seperti sepupu dan pemannya, dibesarkan dengan keyakinan bahwa satu-
satunya cara untuk menyelesaikan sesuatu adalah dengan melakukannya sendiri dan turun
tangan langsung. Ketika tantangan muncul, jawabannya adalah untuk mencoba berbagai hal –
untuk belajar sambil melakukan. Dengan sistem keyakinan dan nilai-nilai seperti ini, tidak
dapat dibayangkan menyerahkan perusahaan kepada putra, sepupu, atau keponakan yang
tidak mau tangan mereka kotor dan benar-benar mencintai bisnis mobil. Nilai-nilai
perusahaan ini membentuk cara mengembangkan dan memilih setiap generasi pemimpin.
Pada akhirnya, Eiji Toyoda menjadi presiden dan kemudian chairman Toyota Motor
Manufacturing. Dia membantu memimpin dan mengelola perusahaan selama masa
pertumbuhannya yang penting setelah perang dan dalam perjalanannya menjadi perusahaan
global. Eiji Toyoda memainkan peran kunci dalam memilih dan memberdayakan para
pemimpin yang membentuk penjualan, manufactur, dan pengembangan produk, dan yang
terpenting, Toyota Production System.

Sekarang Toyota Way telah disebarkan tidak saja kepada para pemimpin di Jepang
tetapi juga kepada mitra kerja Toyota di seluruh dunia. Namun karena para pemimpin saat ini
tidak merasakan pil pahit dalam memulai sebuah perusahaan dari awal, Toyota selalu
memikirkan suatu cara untuk mengajarkan dan memperkuat sistem nilai yang mendorong
para perusahaan untuk turun langsung, untuk benar-benar berinovasi dan berpikir secara
mendalam mengenai masalah berdasarkan fakta-fakta yang nyata. Ini merupakan warisan
keluarga Toyoda.

PERKEMBANGAN TOYOTA PRODUCTION SYSTEM (TPS)

Toyota Motor Corporation berjuang selama tahun 1930-an, terutama dalam


pembuatan truk-truk sederhana. Pada awalnya, perusahaan ini memproduksi kendaraan yang
berkualitas rendah dengan teknologi yang primitif (misalkan memasang badan mobil diatas
batang kayu) dan hanya sedikit sukses. Pada tahun 1930-an, para pemimpin Toyota
mengunjungi Ford dan GM untuk mempelajari jalur perakitan mereka membaca buku Henry
Ford, Today and Tomorrow (1926) dengan seksama. Mereka menguji sistem ban berjalan,
mesin pemrosesan yang presisi, dan ide mengenai skala ekonomi pada produksi mesin tenun
mereka. Bahkan sebelum PD II, Toyota menyadari bahwa pasar Jepang terlalu kecil dan
permintaan terlalu terbagi-bagi untuk mendukung volume produksi yang besar seperti yang
dilakukan di AS (satu jalur mobil memproduksi sekitar 9.000 unit per bulan, sementara
Toyota hanya memproduksi sekitar 900 unit per bulan, dan Ford 10 kali lebih produktif). Para
manajer Toyota sadar bahwa jika mereka ingin perusahaannya dapat bertahan dalam jangka
panjang mereka harus menyesuaikan pendekatan produksi massal pada kondisi pasar Jepang.

Sekarang kita melompat ke situasi Toyota setelah Perang Dunia Ke II, ditahun 1950.
Toyota telah memiliki bisnis otomotif yang sedang menanjak. Jepang hancur oleh ledakan
dua bom atom, sebagian besar industrinya telah hancur, pasokan mencapai titik nol, dan
konsumen hanya memiliki uang sedikit. Bayangkan seandainya anda adalah Taiichi Ohno,
manajer pabrik di Toyota. Atasannya, Eiji Toyoda telah kembali dari perjalanan ke pabrik-
pabrik AS, termasuk kompleks industri River Rouge milik Ford, dan dia memanggil ohno
kekantornya. Dengan tenang ia memberikan tugas baru untuk Ohno. Tugasnya adalah untuk
meningkatkan proses manufaktur Toyota agar dapat menyamai tingkat produktivitas Ford.
Hal tersebut tentu membuat Ohno bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan oleh Toyoda.
Berdasarkan paradigma produksi massal pada saat itu, jika hanya mengandalkan skala
ekonomi, prestasi tersebut tidak mungkin dicapai oleh Toyota yang kecil.

Sistem produksi massal Ford dirancang untuk membuat sebuah model yang terbatas
dalam kuantitas yang sangat besar. Inilah sebabnya mengapa semua Model T pada mulanya
berwarna hitam. Sebaliknya, Toyota perlu untuk memproduksi berbagai jenis model dalam
volume kecil, dengan menggunakan jalur perakitan yang sama, karena permintaan konsumen
dipasar kendaraan mereka terlalu rendah untuk dapat menggunakan satu jalur perakitan hanya
untuk satu jenis kendaraan. Ford memiliki banyak uang dan pasar AS serta pasar
Internasional yang luas. Toyota tidak memiliki uang dan beroperasi disebuah negara kecil.
Dengan sumber daya dan modal terbatas, Toyota perlu memutar uang dangan cepat (mulai
dari menerima pesanan sampai dengan dibayar). Ford memiliki sebuah sistem pasokan yang
lengkap, Toyota tidak. Toyota tidak memiliki kemewahan untuk berlindung dibalik volume
yang tinggi dan skala ekonomi yang dimungkinkan oleh sistem produksi massal Ford.
Diperlukan sistem penyesuaian proses manufaktur Ford untuk mencapai secara simultan
kualitas yang tinggi, biaya yang rendah, lead time yang singkat, dan fleksibilitas.

ONE-PIECE FLOW, SEBUAH PRINSIP INTI

Ketika Eiji Toyoda dan para manajernya melakukan perjalanan study selama 2
minggun ke pabrik-pabrik AS pada tahun 1950, mereka berharap akan semakin kagum
dengan kemajuan manufaktur mereka. Sebaliknya mereka merasa terkejut bahwa
perkembangan sistem produksi massal tidak banyak berubah sejak tahun 1930-an. Bahkan
sistem produksi tersebut memiliki banyak kekurangan. Apa yang mereka lihat adalah banyak
peralatan membuat produk dalam jumlah besar yang disimpan sebagai persediaan, hanya
untuk kemudian dipindahkan ke departemen lain, yang akan diproses oleh peralatan besar,
dan seterusnya hingga ke langkah-langkah selanjutnya. Mereka melihat bagaimana langkah-
langkah proses yang terputus-putus ini dikarenakan volume yang tinggi, dan interupsi
diantara langkah-langkah ini telah menyebabkan material dalam jumlah besar tertahan
sebagai persediaan dan menunggu. Mereka melihat biaya tinggi dari peralatan dan apa yang
disebut sebagai efisiensi dalam mengurang biaya per unit, dengan membuat para pekerja
terus sibuk agar peralatan terus bekerja. Mereka melihat akuntansi tradisional yang
menghargai manajer yang memproduksi banyak komponen dan tetap membuat mesin dan
pekerja selalu sibuk, mengakibatkan banyak produksi berlebih dan bahkan proses produksi
yang tidak mengalir secara merata, dengan barang cacat yang tersembunyi dalam batch besar
ini yang mungkin tidak akan ditemukan selama berminggu-minggu. Seluruh tempat kerja
tidak terorganisir dan berada di luar kendali. Dimana-mana forklift besar memindahkan
jumlah tumpukan material dalam jumlah sangat besar, pabrik tersebut sering kali tampak
seperti gudang.

Untungnya bagi Ohno, penugasan dari Eiji Toyoda untuk “mengejar produktivitas
Ford” bukan berarti perusahaan harus bersaing langsung dengan Ford. Dia hanya perlu
berfokus dalam meningkatkan manufaktur Toyota untuk pasar Jepang yang terlindungi –
meskipun demikian masih merupakan sebuah penugasan yang menakutkan. Jadi, Ohno
melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh seorang manajer yang baik bila berada dalam
situasi yang sama : dia mempelajari pesaing dengan melakukan kunjungan selanjutnya ke
AS. Dia juga mempelajari buku Ford, Today and Tomorrow. Pada akhirnya, salah satu yang
menurut Ohno perlu dikuasai oleh Toyota adalah proses produksi yang mengalir secara
continue, dan contoh terbaik yang ada pada saat itu adalah jalur perakitan bergerak milik
Ford. Henry Ford telah memecahkan tradisi produksi pengrajin dengan membentuk
paradigma produksi massal guna memenuhi kebutuhan pada awal abad ke-20. Sebuah kunci
keberhasilan dari produksi massal adalah perkembangan dari mesin pemrosesan yang presisi
dan komponen yang dapat ditukar pasangkan (Womack, Jones, Roos, 1991). Dengan
menggunakan prinsip gerakan manajemen ilmiah yang dipelopori oleh Frederick Taylor,
Ford juga sangat bergantung pada studi tentang waktu (time studies), tugas pekerja yang
sangat terspesialisasi, dan pemisah antara perencanaan yang dilakukan oleh para insinyur dan
pelaksanaan yang dilakukan oleh para pekerja.

Dalam bukunya, Ford juga menekankan pentingnya menciptakan aliran material yang
tidak terputus sepanjang proses, menstandardisasikan proses, dan menghilangkan
pemborosan. Namun sementara dia mengkhotbahkan hal itu, perusahaannya tidak selalu
mempraktikannya. Perusahaannya menghasilkan jutaan model T berwarna hitam dan
kemudian Model A dengan menggunakan metode produksi batch yang penuh dengan
pemborosan, yang membentuk tumpukan persediaan barang dalam proses di sepanjang
supply chain, mendorong produk ketahap produksi berikutnya (Womack, Jones, Ross, 1991).
Toyota memandang hal itu sebagai kekurangan yang melekat dalam sistem produksi massal
Ford. Toyota tidak memiliki kemewahan untuk menciptakan pemborosan, kekurangan tempat
yang dapat digunakan sebagai gudang, ruang pabrik, kekurangan uang, dan juga tidak
memproduksi hanya satu jenis kendraan dalam volume tinggi. Namun perusahaan bertekad
menggunkana ide orisinil Ford mengenai alilran material yang tidak terputus (seperti yang di
ilustrasikan oleh jalur perakitan) untuk mengembangkan sistem one-piece flow yang secara
fleksibel dapat diubah sesuai permintaan pelanggan sekaligus eficien. Fleksibilitas
memerlukan pekerja yang mampu meningkatkan proses secara terus-menerus.

MENCIPTAKAN SISTEM MANUFAKTUR YANG MENGUBAH DUNIA

Pada tahun 1950-an, Ohno kembali ketempat yang dipahaminya, lantai pabrik, dan
mulai bekerja untuk mengubah aturan main. Dia tidak punya perusahaan konsultan besar,
catatan Post-it, atau Power Point untuk membentuk ulang proses bisnisnya. Dia tidak dapat
mengimplementasikan sistem ERP atau menggunakan Internet untuk membuat informasi
bergerak dengan kecepatan cahaya. Namun dia dibekali pengetahuannya mengenai lantai
pabrik, para insinyur, manajer, dan pekerja yang berdedikasi, yang akan memberikan
segalanya untuk membantu perusahaan agar berhasil. Dengan ini dia mulai melakukan
banyak perjalanan langsung ke pabrik-pabrik Toyota yang hanya sedikit jumlahnya,
menerapkan prinsip jidoka dan one-piece flow. Setelah praktik bertahun-tahun dan beberapa
dekade, dia melahirkan Toyota Production System yang baru. Tentu saja Ohno dan timnya
tidak melakukan hal ini sendirian.

Sejalan dengan pelajaran yang diambil dari Henry Ford, TPS meminjam banyak
idenya dari AS. Salah satu ide yang penting adalah konsep dari “Sistem tarik”, yang diilhami
oleh supermarket-supermarket di AS. Disetiap supermarket yang berjalan dengan baik, setiap
barang akan diganti setiap kali barang tersebut tampak sudah tinggal sedikit di raknya. Ini
berarti penggantian barang dipicu oleh konsumsi. Bila diaplikasikan ke lantai pabrik, hal ini
berarti bahwa langkah 1 dalam suatu proses sebaiknya tidak membuat (mengganti) komponen
sampai proses berikutnya (langkah 2) menghabiskan pasokan sebelunya dari langkah 1 (yang
berarti hanya menyisakan sampai sejumlah “safety stock”). Di TPS, langkah 2 yang sudah
mencapai jumlah “safety stock” yang rendah akan memberi sinyal kepada langkah 1 untuk
memasok lebih banyak komponen.

Hal ini serupa dengan apa yang terjadi ketika anda mengisi tanki bensin mobil anda.
Seperti “langkah 2”, mobil anda akan memberi sinyal akan adanya kebutuhan untuk
menambah bahan bakar ketika petunjuk bahan bakar memperlihatkan bahwa persediaannya
sudah mulai menipis. Lalu anda pergi ke pompa bensin, langkah 1, untuk mengisi kembali
bahan bakar. Tidak ada gunanya mengisi tangki bahan bakar anda jika tandanya menunjukan
masih penuh, tetapi sama seperti hal tersebut – produksi berlebih – selalu terjadi dalam
produksi massal, Di Toyota, setiap langkah dalam setiap proses manufaktur memiliki
kesamaan dengan petunjuk bahan bakar di mobil (disebut kanban), untuk memberi sinyal
kepada langkah sebelumnya kapan komponen perlu diganti. Hal ini menciptakan “tarikan”
yang terus mengalir hingga ke tahap awal dari siklus manufaktur. Sebaliknya sebagian besar
bisnis menggunakan proses yang penuh dengan pemborosan, karena pekerjaan di langkah 1
menghasilkan tumpukan besar sebelum diperlukan oleh langkah 2. “Barang dalam proses” ini
kemudian harus di simpan dan ditelusuri dan dipelihara hingga saat diperlukan di langkah 2 –
pemborosan banyak sumber daya. Tanpa sistem tarik ini, Just-in-Time (JIT), satu dari dua
pilar TPS (yang lainnya adalah jidoka, built-in quality) tidak akan pernah terjadi.

JIT adalah serangkaian prinsip, alat, dan teknik yang memungkinkan perusahaan
memproduksi dan mengirim produk dalam kuantitas kecil, dengan lead time yang singkat,
untuk memenuhi keinginan pelanggan yang spesifik. Secara sederhana dapat dikatakan JIT
menyediakan barang yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam jumlah yang tepat.
Kekuatan JIT adalah ia memungkin anda menjadi responsif terhadap perubahan permintaan
pelanggan dari hari ke hari, tepat seperti apa yang di perlukan oleh Toyota.

Toyota juga mendalami ajaran pelopor kualitas Amerika, W. Edwards Deming. Dia
memberikan seminar produktivitas dan kualitas di Jepang, dan mengajarkan bahwa dalam
sisstem binis pada umumnya, memenuhi dan melampaui tuntutan pelanggan merupakan tugas
setiap orang dalam sebuah organisasi. Dan dia secara dramatis memperluas defenisi
“pelanggan” dengan memasukan pelanggan internal dan eksternal. Setiap orang atau langkah
dalam suatu jalur produksi atau proses bisnis diperlakukan sebagai “pelanggan” da dipasok
dengan apa yang benar-benar diperlukannya, tepat pada waktu yang diperlukan. Ini adalah
asal usul prinsip Deming, “proses berikutnya adalah pelanggan.” Istilah bangsa Jepang untuk
hal ini atokotei wa okyakusama, menjadi ungkapan yang paling signifikan di JIT, karena
dalam Sistem Tari hal tersebut berarti proses yang sebelumnya harus selalu melakukan apa
yang dikatakan oleh proses yang berikutnya. Jika tidak, JIT tidak akan berjalan.

Deming juga mendorong orang-orang Jepang untuk mengadopsi sebuah pendekatan


sistematis dalam pemecahan masalah yang kemudian dikenal sebagai Deming Cycle atau
Plan-Do-Check-Act (PDCA) Cycle, dasar peningkatan berkesinambungan. Istilah Jepang
untuk peningkatan berkesinambungan adalah kaizen, dan merupakan proses membuat
perbaikan kecil-kecil, seberapa pun kecilnya, dan mencapai tujuan lean untuk menghilangkan
semua pemborosan yang menanbah biaya tanpa menambah nilai. Kaizen mengajarkan
keterampilan bagi setiap orang untuk bekerja secara efektif ddalam kelompok-kelompok
kecil, memecahkan masalah, mendokumentasikan dan meningkatkan proses, mengumpulkan
dan menganalisis data, dan memanajemeni diri sendiri dalam sebuah kelompok. Ia
mendorong pengambilan keputusan (atau penyampaian usulan) sampai ketingkat para
pekerja, dan menuntut pembahasan secara terbuka dan konsensus dalam kelompok sebelum
mengimplementasikan keputusan. Kaizen adalah filosofi total yang mendorong
kesempurnaan dan mempertahankan TPS dalam kehidupan sehari-hari.

Sekembalinya Ohno dan timnya dari lantai pabrik dengan suatu sistem manufaktur
yang baru, sistem tersebut bukan hanya ditujukan untuk suatu perusahaan dengan pasar
tertentu dan budaya tertentu. Apa yang mereka ciptakan adalah sebuah paradigma baru dalam
manufaktur atau pemberian jasa – suatu cara baru untuk melihat, memahami, dan
menerjemahkan apa yang terjadi dalam proses produksi, yang dapat mendorong mereka jauh
melampaui sistem produksi massal.

Pada tahun 1960-an, TPS menjadi filosofi yang kuat yang dapat dipelajari untuk
digunakan oleh semua jenis bisnis dan proses, tapi hal tersebut memerlukan waktu. Toyota
mengambil langkah pertama untuk menyebarluaskan “lean” dengan cara sungguh-sungguh
mengajarkan prinsip TPS kepada para pemasoknya. Hal ini memindahkan produk manufaktur
lean yang terisolasi menjadi sebuah perusahaan lean total yang luas – ketika semua orang
yang berada dalam supply chain mempraktikan prinsip-prinsip TPS yang sama. Model bisnis
yang sangat kuat! Namun kekuatan TPS sebagian besar tidak diketahui oleh perusahaan lain
di luar Toyota dan para pemasoknya hingga krisis minyak pada tahun 1973 yang
menyebabkan dunia mengalami resesi global, dan Jepang merupakan salah satu negara yang
paling terpukul. Industri Jepang sedang terjun bebas dan satu-satunya yang dapat dilakukan
adalah bertahan hidup. Namun pemerintah Jepang mulai menyadari ketika Toyota keluar dari
bahaya dan kembali memperoleh profitabilitas lebih cepat dari perusahaan-perusahaan lain.
Pemerinta Jepang mengambil inisiatif untuk meluncurkan seminar mengenai TPS, walaupun
disadari hal tersebut hanya merupakan sebagian kecil dari apa yang membuat Toyota sukses.

Pada awal tahun 1980-an, ketika saya mengunjungi Jepang, pengalaman saya
menunjukan bahwa ketika anda keluar dari Toyota City dan kelompok afiliasi Toyota lainnya
untuk kemudian memasuki perusahaan Jepang yang lain, akan tampak bahwa penerapan
prinsip TPS dengan cepat berkurang dan melemah. Masih perlu sementara waktu sebelum
dunia dapat memahami Toyota Way dan paradigma manufaktur baru ini.

Sebagian dari masalah terjadi karena produksi massal setelah Perang Dunia II
berfokus pada biaya, biaya, biaya. “Buatlah mesin yang lebih besar dan melalui skala
ekonomi turunkan biaya”. Lakukan otomasi untuk menggantikan orang jika hal tersebut dapat
menghemat biaya”. Pemikiran seperti ini menguasai dunia manufaktur hingga tahun 1980-an.
Kemudian dunia bisnis memperoleh pemahaman mengenai kualitas dari Deming, Joseph
Juran, Kaoru Ishikawa, dan para ahli kualitas lainnya. Dunia bisnis belajar bahwa
memfokuskan diri pada kualitas sebenarnya akan mengurangi biaya lebih besar dari pada jika
kita hanya memfokuskan diri pada biaya saja. Terakhir, pada tahun 1990-an, melalui
pekerjaan dari MIT’s Auto Industry Program dan buku laris berdasarkan penelitiannya, The
Machine That Changed the World (Womack, Jones, Ross, 1991), komunitas dunia
manufaktur menemukan “lean production” – istilah penulis untuk apa yang telah dipelajari
Toyota selama beberapa dasawarsa yang lalu dengan memusatkan perhatian pada supply
chain : mempersingkat lead time dengan menghilangkan pemborosan pada setiap langkah
dalam suatu proses, mengarah pada kualitas terbaik dan biaya yang terendah, sementara
dalam waktu yang sama meningkatkan keselamatan kerja dan semangat kerja.

KESIMPULAN

Toyota dimulai dengan nilai-nilai dan keinginan ideal dari keluarga Toyoda. Untuk
memahami Toyota Way kita harus mulai dengan keluarga Toyoda. Mereka adalah inovator,
mereka orang pragmatis yang idealis, mereka belajar sambil mengerjakan, dan selalu percaya
pada misinya untuk menyumbangkan sesuatu bagi masyarakat. Mereka tidak kenal lelah
dalam mencapai tujuan mereka. Yang penting adalah mereka memimpin dengan memberi
contoh.

TPS berevolusi untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh Toyota selama
perusahaan tumbuh. Ia berevolusi ketika Taiichi Ohno dan sejawatnya merancang prinsip-
prinsip ini agar dapat di terapkan di lantai pabrik dengan cara coba-coba selama bertahun-
tahun. Ketika kita memotretnya pada satu titik, kita dapat mendeskripsikan karakter teknis
dan prestasi TPS. Namun cara Toyota mengembangkan TPS, tantangan yang telah
dihadapinya, dan pendekatan yang telah di ambilnya untuk memecahkan masalah benar-
benar merupakan refleksi Toyota Way. Dokumen internal Toyota Way yang dibuat oleh
Toyota sendiri membahas mengenai ”semangat menghadapi tantangan” dan menyambut
tanggung jawab untuk mengatasi tantangan tersebut.

Dokumen tersebut menyatakan :

Kami menyambut tantangan dengan semangar kreatif dan keberanian untuk merealisasikan
mimpi kami tanpa kehilangan semangat atau tenaga. Kami melakukan pekerjaan kami
dengan penuh semangat, dengan optimisme, dan keyakinan yang tulus mengenai nilai dari
kontribusi kami.

Dan selanjutnya :

Kami berusaha keras memutuskan nasib kami sendiri. Kami bertindak secara mandiri,
percaya pada kemampuan kami sendiri. Kami menerima tanggung jawab atas tindakan kami
dan untuk mempertahankan dan meningkatkan keterampilan yang membuat kami mampu
menciptakan nilai tambah.

DAFTAR PUSTAKA
Ford, Henry. Today and Tomorrow. Garden City, NY: Doubleday, Page & Company, 1926.
Reprint Edition. Portland, OR; Productivity Press, 1988.

Fujimoto, Takahiro, The Evolution of a Manufacturing System at Toyota. New York: Oxford
University Press, 1999.

Reingold, Edwin. Toyota: People, Ideas, and the Challenge of the New. London: Peguin
Book, 1999.

Smiles Samuel. Self-Help: With Ilustrations of Character, Conduct and Perseverance. New
York: Harper and Brothers, 1860. Published as Self-Help (Peter W. Sinnema,
editor). New York: Oxford University Press, 2002.

Toyoda, Eiji. Toyota: Fifty Years in Motion. Tokyo: Kodansha Internsional, 1987.

Womack, James P. And Daniel T. Jones. Lean Thinking: Banish Waste and Create Wealth in
your Corporation. New York: Simon & Schuster, 1996.

Womack, james P. Daniell T. Jones, and Daniel Roos, The Machine That Changed the
World: The Story of Lean Production. New York: HaperPerenial.

Anda mungkin juga menyukai