Anda di halaman 1dari 21

Majapahit

Majapahit
← 1293–1527 →

Surya Majapahit*

Peta wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan


Nagarakertagama; keakuratan wilayah kekuasaan
Majapahit menurut penggambaran orang Jawa masih
diperdebatkan.[1]

Majapahit,
Ibu kota Wilwatikta
(Trowulan)
Jawa Kuno,
Bahasa
Sansekerta
Agama Hindu, Buddha
Pemerintahan Monarki
Raja
Kertarajasa
 - 1295-1309
Jayawardhana
 - 1478-1498 Girindrawardhana
Sejarah
 - Penobatan Raden
10 November 1293
Wijaya
 - Invasi Demak 1527
Koin emas dan perak,
kepeng (koin
Mata uang perunggu yang
diimpor dari
Tiongkok)
*Surya Majapahit adalah lambang yang umumnya
dapat ditemui di reruntuhan Majapahit, sehingga
Surya Majapahit mungkin merupakan simbol
kerajaan Majapahit
Majapahit adalah sebuah kerajaan di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293
hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya dan mejadi Kemaharajaan raya yang
menguasai wilayah yang luas pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun
1350 hingga 1389.

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.[2] Kekuasaannya
terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur,
meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.[3]

Daftar isi
 1 Historiografi
 2 Sejarah
o 2.1 Berdirinya Majapahit

o 2.2 Kejayaan Majapahit

o 2.3 Jatuhnya Majapahit

 3 Kebudayaan
 4 Ekonomi
 5 Struktur pemerintahan
o 5.1 Aparat birokrasi

o 5.2 Pembagian wilayah

 6 Raja-raja Majapahit
 7 Warisan sejarah
o 7.1 Legitimasi politik

o 7.2 Arsitektur

o 7.3 Persenjataan

 8 Kesenian modern
o 8.1 Puisi lama

o 8.2 Komik dan strip komik

o 8.3 Roman/novel sejarah

o 8.4 Film/Sinetron

 9 Referensi
 10 Lihat pula

 11 Pranala luar

Historiografi
Hanya terdapat sedikit bukti fisik sisa-sisa Majapahit,[4] dan sejarahnya tidak jelas.[5] Sumber
utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa
Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno.[6] Pararaton terutama menceritakan Ken
Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai
terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang
ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa itu,
hal yang terjadi tidaklah jelas.[7] Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno
maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.[7]

Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal
bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti C.C.
Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti
supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan.[8] Namun demikian, banyak pula sarjana
yang beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan
dengan catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang
tampak cukup pasti.[5]

Sejarah
Berdirinya Majapahit

Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa. Berlokasi
semula di Candi Simping, Blitar, kini menjadi koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.

Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini
menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang
bernama Meng Chi[9] ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan
Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut
dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya.[9][10] Kublai Khan marah dan lalu
memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.

Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah membunuh Kertanagara. Atas saran Aria
Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara,
yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan
itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah
maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan
pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik menyerang
sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara
kalang-kabut karena mereka berada di teritori asing.[11][12] Saat itu juga merupakan kesempatan
terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka harus terpaksa
menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari
penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang
bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa
Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang tepercaya Kertarajasa,
termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan
tersebut tidak berhasil. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang
melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai
posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti),
Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[12] Wijaya meninggal dunia pada
tahun 1309.

Anak dan penerus Wijaya, Jayanegara, Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti
"penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang
pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328,
Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya
menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi
bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk
menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai
Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang
menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah
kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih
besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian
ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.

Kejayaan Majapahit
Bidadari Majapahit yang anggun, ukiran emas apsara (bidadari surgawi) gaya khas Majapahit
menggambarkan dengan sempurna zaman kerajaan Majapahit sebagai "zaman keemasan" di
kepulauan nusantara.

Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.

Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389.
Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah
Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi
Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku,
Papua, dan sebagian kepulauan Filipina[13]. Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus
puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.

Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan
tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan
satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja[14]. Majapahit juga
memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan
bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.[14][2]

Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi
dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk
berhasrat mengambil Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.[15]
Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja
Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk
dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang
untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan
Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani
memberikan perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir
seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam.[16] Tradisi
menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam melakukan "bela pati",
bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.[17] Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama
dalam naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali. Kisah ini disinggung
dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.

Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang
adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta
sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat
mandala raksasa yang membentang dari Sumatera ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya
dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda
mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit
hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan
otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka.
Akan tetapi segala pemberontakan atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat
mengundang reaksi keras.[18]

Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan
serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.[2]

Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan kadang-
kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya adalah
mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat
inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.

Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur
melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa
kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota
Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam
Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas
takhta.[5] Parang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-
1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi
Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya
perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.

Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang
dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali
antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah
menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa,
seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di
pantai utara Jawa.

Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita,
yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari
seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan
dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah
Kertawijayawafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di
Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis
pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat
pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi
memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja
Majapahit.[7].

Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki
Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh
Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang
berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara[19]. Di
bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung
kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat
Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah
taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari
kekuasaan Majapahit.
Sebuah tampilan model kapal Majapahit di Muzium Negara, Kuala Lumpur, Malaysia.

Singhawikramawardhana memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha


(bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus memerintah disana hingga digantikan oleh putranya
Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dan
mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun
waktu 1474 hingga 1519 dengan gelar Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan
Majapahit telah melemah akibat konflik dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-
kerajaan Islam di pantai utara Jawa.

Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400
saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu
pemerintahan[20]) hingga tahun 1527.

Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang
kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca
sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah
kemakmuran bumi”. Namun demikian yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala
tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana[21].

Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi
[21]
dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Daha
dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Peperangan
ini dimenangi Demak pada tahun 1527.[22] Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan
anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk
menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung
Ranawijaya melawan Kertabhumi.

Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam
pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit[23]. Demak dibawah
pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan
Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia
adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan
bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan
Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M[21].

Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama
yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang
masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda
yang beribukota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring
mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu
Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru

Kebudayaan

Gapura Bajang Ratu, diduga kuat menjadi gerbang masuk keraton Majapahit. Bangunan ini
masih tegak berdiri di kompleks Trowulan.

"Dari semua bangunan, tidak ada yang tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah"
[Dalam lingkungan dikelilingi tembok] "terdapat pendopo anggun beratap serat aren, indah bagai
pemandangan dalam lukisan... Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di
atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja
yang memandangnya".

— Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.

Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa
seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam
kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan
dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak.
Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu
kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai
oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan
Nusantara yang menikmati otonomi luas.[24]

Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar
keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja
Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa,
maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi
sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2]

Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah
yang paling ahli menggunakannya[25]. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris
dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata.
Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura
Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto.

".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak,
merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa
mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan
perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang
melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya."

— Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).[26]

Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari
catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan
Pendeta Odorico da Pordenone". Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa,
dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia
Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia,
terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga
mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan
darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.

Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci tempat yang ia
kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini
terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan
istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga
menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan
berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan disini tak lain adalah Majapahit yang
dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.

Ekonomi
Celengan zaman Majapahit, abad 14-15 Masehi Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum
Gajah, Jakarta)

Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan[14]. Pajak dan denda
dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8
pada masa kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak.
Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter
penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng" yaitu keping uang
tembaga impor dari China. Pada November 2008 sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat
sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan
Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal
dari era Majapahit.[27] Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam
catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya
ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang
Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran
ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.[24]

Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari
berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak
78 titik perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa).[24]
Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi karier,
mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging.
Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun
proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar pertanian semakin
meningkat pada era Majapahit.

Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah
lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas,
perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak,
timah putih, timah hitam, dan tembaga[28]. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan
Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana
raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata. [29]
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah sungai Brantas dan
Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada
masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan
pemerintah. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali
berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah
Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan
sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[24]

Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak


pedagang asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus
dikenakan pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan
pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi
pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat
lain di wilayah Majapahit di Jawa[30].

Struktur pemerintahan
Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak
berubah selama perkembangan sejarahnya [31]. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia
dan ia memegang otoritas politik tertinggi.

Aparat birokrasi

Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para
putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan
kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:

 Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja


 Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
 Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
 Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan

Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan
Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang
bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat
pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang
disebut Bhattara Saptaprabhu.

Pembagian wilayah

Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara.
Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan
penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing.
Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi
menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[32] Daerah-daerah
bawahan tersebut yaitu:

 Daha  Kahuripan  Kembang  Singhapura  Wengker


Jenar
 Jagaraga  Keling  Tanjungpura  Wirabumi
 Matahun
 Kabalan  Kelinggapura  Tumapel
 Pajang

Raja-raja Majapahit

Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam
gambar ini.[33]

Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara
pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan
oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[7].
Nama Raja Gelar Tahun
Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana 1293 - 1309
Kalagamet Sri Jayanagara 1309 - 1328
Sri Gitarja Tribhuwana Wijayatunggadewi 1328 - 1350
Hayam Wuruk Sri Rajasanagara 1350 - 1389
Wikramawardhana 1389 - 1429
Suhita 1429 - 1447
Kertawijaya Brawijaya I 1447 - 1451
Rajasawardhana Brawijaya II 1451 - 1453
Purwawisesa atau Girishawardhana Brawijaya III 1456 - 1466
Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa Brawijaya IV 1466 - 1468
Bhre Kertabumi Brawijaya V 1468 - 1478
Girindrawardhana Brawijaya VI 1478 - 1498
Hudhara Brawijaya VII 1498-1518[34]

Warisan sejarah

Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-
Dahlem, Jerman.

Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada
abad-abad berikutnya.

Legitimasi politik

Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi


atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi
keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton
Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana
sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung
oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibukota Majapahit.
Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan
hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam
leluhur, yang di Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui
hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat
Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[25]

Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan
Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya,
sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik
negara Republik Indonesia saat ini.[14] Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai
Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan
kembali dari Majapahit yang diromantiskan.[35]Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk
kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan
perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara.[36] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia
modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.

Arsitektur

Sepasang patung penjaga gerbang abad ke-14 dari kuil Majapahit di Jawa Timur (Museum of
Asian Art, San Francisco)

Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia.
Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab
Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa
serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini.

Persenjataan

Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik pembuatan
keris berikut fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan keris mengalami penghalusan dan
pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris pra-Majapahit dikenal berat namun semenjak
masa ini dan seterusnya, bilah keris yang ringan tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah
keris. Penggunaan keris sebagai tanda kebesaran kalangan aristokrat juga berkembang pada masa
ini dan meluas ke berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian barat.

Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak.

Kesenian modern
Kebesaran kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang terjadi pada masa itu menjadi sumber
inspirasi tidak henti-hentinya bagi para seniman masa selanjutnya untuk menuangkan kreasinya,
terutama di Indonesia. Berikut adalah daftar beberapa karya seni yang berkaitan dengan masa
tersebut.

Puisi lama

 Serat Darmagandhul, sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena menggunakan
nama pena Ki Kalamwadi, namun diperkirakan dari masa Kasunanan Surakarta. Kitab ini
berkisah tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan keyakinan orang Majapahit
dari agama sinkretis "Buda" ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai
umat Islam.

Komik dan strip komik

 Serial "Mahesa Rani" karya Teguh Santosa yang dimuat di Majalah Hai, mengambil latar
belakang pada masa keruntuhan Singhasari hingga awal-awal karier Mada (Gajah Mada),
adik seperguruan Lubdhaka, seorang rekan Mahesa Rani.
 Komik/Cerita bergambar Imperium Majapahit, karya Jan Mintaraga.
 Komik Majapahit karya R.A. Kosasih
 Strip komik "Panji Koming" karya Dwi Koendoro yang dimuat di surat kabar "Kompas"
edisi Minggu, menceritakan kisah sehari-hari seorang warga Majapahit bernama Panji
Koming.

Roman/novel sejarah

 Sandyakalaning Majapahit (1933), roman sejarah dengan setting masa keruntuhan


Majapahit, karya Sanusi Pane.
 Kemelut Di Majapahit, roman sejarah dengan setting masa kejayaan Majapahit, karya
Asmaraman S. Kho Ping Hoo.
 Zaman Gemilang (1938/1950/2000), roman sejarah yang menceritakan akhir masa
Singasari, masa Majapahit, dan berakhir pada intrik seputar terbunuhnya Jayanegara,
karya Matu Mona/Hasbullah Parinduri.
 Senopati Pamungkas (1986/2003), cerita silat dengan setting runtuhnya Singhasari dan
awal berdirinya Majapahit hingga pemerintahan Jayanagara, karya Arswendo
Atmowiloto.
 Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit (2005), roman karya Hermawan Aksan
tentang Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Kerajaan Sunda yang gugur dalam Peristiwa
Bubat.
 Gajah Mada (2005), sebuah roman sejarah berseri yang mengisahkan kehidupan Gajah
Mada dengan ambisinya menguasai Nusantara, karya Langit Kresna Hariadi.

Film/Sinetron

 Tutur Tinular, suatu adaptasi film karya S. Tidjab dari serial sandiwara radio. Kisah ini
berlatar belakang Singhasari pada pemerintahan Kertanegara hingga Majapahit pada
pemerintahan Jayanagara.
 Saur Sepuh, suatu adaptasi film karya Niki Kosasih dari serial sandiwara radio yang
populer pada awal 1990-an. Film ini sebetulnya lebih berfokus pada sejarah Pajajaran
namun berkait dengan Majapahit pula.
 Walisongo, sinetron Ramadhan tahun 2003 yang berlatar Majapahit di masa Brawijaya V
hingga Kesultanan Demak di zaman Sultan Trenggana.

Referensi
1. D.G.E. Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs 38 (3/4):
353—359.
2. Ricklefs (1991), halaman 19
3. Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud, Java in the 14th Century, A
Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit,
1365 AD (The Hague, Martinus Nijhoff, 1962), vol. 4, p. 29. 34; G.J. Resink, Indonesia’s
History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (The Hague:
W. van Hoeve, 1968), hal. 21.
4. Taylor, Jean Gelman (6 November 2010). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven
and London: Yale University Press. hlm. pp.29. ISBN 0-300-10518-5.
5. Ricklefs (1991), page 18
6. Johns, A.H. (1964). "The Role of Structural Organisation and Myth in Javanese
Historiography". The Journal of Asian Studies 24 (1): 91–99.
7. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Edisi ke-3. Diterjemahkan oleh S.
Wahono dkk. Jakarta: Serambi, 2005, hal. 55.
8. C. C. Berg. Het rijk van de vijfvoudige Buddha (Verhandelingen der Koninklijke
Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afd. Letterkunde, vol. 69, no. 1)
Ansterdam: N.V. Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij, 1962; cited in M.C.
Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford: Stanford
University Press, 1993, pages 18 and 311
9. Setiono, Benny Kehancuran dan Kebangkitan Martabat/ Jati Diri Etnis Tionghoa Di
Indonesia (bagian 1). Diakses pada 16 Juni 2010.
10. David Bor - Khubilai khan and Beautiful princesses of Tumapel 2006
11. Groeneveldt, W.P. Historical Notes on Indonesia and Malaya: Compiled from Chinese
Sources. Djakarta: Bhratara, 1960.
12. Slamet Muljana. Menuju Puncak Kemegahan (LKIS, 2005)
13. Poesponegoro, M.D., Notosusanto, N. (editor utama). Sejarah Nasional Indonesia. Edisi
ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hal. 436.
14. ^ a b c d Ricklefs (1991), halaman 56
15. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the
Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. 279. ISBN 9814155675.
16. ^ Drs. R. Soekmono, (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia 2, 2nd ed.. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 72.
17. ^ Y. Achadiati S, Soeroso M.P., (1988). Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Majapahit..
Jakarta: PT Gita Karya. hlm. 13.
18. ^ Millet, Didier (1 Agustus 2003). John Miksic. ed. Indonesian Heritage Series: Ancient
History. Singapore 169641: Archipelago Press. hlm. 106. ISBN 981-3018-26-7.
19. ^ Ricklefs (2005), hal. 57.
20. ^ Ricklefs, 37 and 100
21. ^ a b c Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 448-451.
22. ^ Ricklefs, 36-37
23. ^ Robert W. Hefner (1983). "Ritual and Cultural Reproduction in Non-Islamic Java".
American Ethnologist 10 (1983): 665--683. DOI:10.1525/ae.1983.10.4.02a00030 Diakses
pada 23 Oktober 2008.
24. ^ a b c d Millet, Didier (1 Agustus 2003). John Miksic. ed. Indonesian Heritage Series:
Ancient History. Singapore 169641: Archipelago Press. hlm. 107. ISBN 981-3018-26-7.
25. ^ a b Schoppert, P., Damais, S. (6 November 1997). Di dalam Didier Millet (editor):. ed.
Java Style. Paris: Periplus Editions. hlm. 33–34. ISBN 962-593-232-1.
26. ^ Ritual Networks and Royal Power in Majapahit Java, page:100. Persee. Diakses pada
14 Juli 2010.
27. ^ (2008). Uang Kuno Temuan Rohimin Peninggalan Majapahit.
28. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 434-435.
29. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 431-432.
30. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 220.
31. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 451-456.
32. ^ Nastiti, Titi Surti. Prasasti Majapahit, dalam situs www.Majapahit-Kingdom.com dari
Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Jumat, 22 Juni 2007.
33. ^ Bullough, Nigel (6 November 1995). Historic East Java: Remains in Stone. Jakarta:
ADLine Communications. hlm. 116–117.
34. ^ Februana, Ngarto (2007). Sepak Terjang Para Pendekar. Tempo. Diakses pada 16 Juni
2010.
35. ^ Ricklefs, hal. 363
36. ^ Friend, Theodore. Indonesian Destinies. Cambridge, Massachusetts and London:
Belknap Press, Harvard University Press. hlm. p.19. ISBN 0-674-01137-6.

Anda mungkin juga menyukai