Anda di halaman 1dari 13

Faham Ideologi “Fasisme”

By
Virda Risyad
Yulnisma Ulfa
Amelia Rana
Annisa Ulfa
Wulida Fairuza
Khairunnisa Dias
Fasisme
 Paham fasisme mencuat ketika dimulainya masa Perang Dunia II.
Setidaknya perang yang muncul saat itu, terjadi sebagai akibat
perkembangan ideology fasis di Italia, Jerman dan Jepang, yang ingin
meluaskan pengaruh ekstra-nasionalisnya. Sehabis berlangsungnya Perang
Dunia II, ideologi fasisme seakan-akan berakhir, tetapi hal yang terjadi tidak
nyata demikian. Sebagai sebuah produk pemikiran, benih-benih fasisme
akan terus ada selama terdapat kondisi obyektif yang membentuknya.
 Ebenstein mencatat bahwa “jika komunisme adalah pemberontakan
pertama terhadap liberalisme, maka fasisme adalah pemberontakan kedua”.
Fasisme muncul dengan pengorganisasian pemerintahan dan masyarakat
secara totaliter, kediktatoran partai tunggal yang bersifat: ultra-nasionalis,
rasis, militeris dan imperialis. Fasisme juga muncul pada masyarakat pasca-
demokrasi dan pasca-industri. Jadi, fasisme hanya muncul di negara yang
memiliki pengalaman demokrasi. Hal- hal yang penting dalam penbentukan
suatu karakter negara fasis adalah militer, birokrasi, prestise individu sang
diktator dan terpenting, dukungan massa. Semakin keras pola
kepemimpinan suatu negara fasis, semakin besar pula dukungan yang
didapatnya.
Latar Belakang
Fasisme
 Kondisi penting lainnya dalam pertumbuhan negara fasis adalah perkembangan
industrialisasi. Munculnya negara industri, memunculkan ketegangan sosial dan
ekonomi. Jika liberalisme adalah penyelesaian ketegangan dengan jalan damai yang
mengakomodasi kepentingan yang ada, maka fasisme mengingkari perbedaan
kepentingan secara paksaan. Fasisme mendapat dukungan pembiayaan dari
industriawan dan tuan tanah, karena kedua kelompok ini mengharapkan lenyapnya
gerakan serikat buruh bebas, yang dianggapnya menghambat kemajuan proses
produksi dalam industri. Sumber dukungan lain bagi rezim fasis adalah kelas
menengah, terutama pegawai negeri. Mereka melihat fasisme adalah sebuah sarana
untuk mempertahankan prestise yang ada sekaligus perlindungan politik. Fasisme
juga memerlukan dukungan dari kaum militer, sebagaimana fasisme Jerman, Italia
dan Jepang, sebagai jalan menuju militerisasi rakyat.
 Meskipun fasisme bukan merupakan akibat langsung dari depresi ekonomi,
sebagaimana teori marxis, tetapi jelas kaum fasis memanfaatkan hal itu. Banyaknya
angka pengangguran akibat depresi, melahirkan kelompok yang secara psikologis
menganggap dirinya tidak berguna dan diabaikan. Saat hal ini terjadi, maka fasisme
bekerja dengan memulihkan harga diri mereka, dengan menunjukkan bahwa mereka
adalah ras unggul sehingga mereka merasa dimiliki. Dengan modal inilah, maka
fasisme juga memperoleh dukungan dari rakyat lapisan bawah.
 Dengan demikian, fasisme bekerja pada setiap lapisan masyarakat. Fasisme
memanfaatkan secara psikologis kesamaan-kesamaan pokok yang ada seperti:
frustasi, kemarahan dan perasaan tak aman. Tak aneh, jika dalam sejarahnya rezim
fasis senantiasa mendapatkan dukungan masyarakat. Terutama hal ini jelas terjadi di
Jerman.
Akar Akar Psikologis
Totaliterisme
 Petunjuk ke arah pemahaman fasisme terletak pada kekuatan dan tradisi
masyarakatnya. Di Jerman, Jepang dan Italia, tradisi otoritarianisme sudah menjadi
hal yang terjadi berabad-abad. Sehingga munculnya rezim fasis merupakan hal yang
biasa. Dengan cara hidup otoriter maka jalan menuju otorianisme hanya menunggu
waktunya saja. Munculnya kediktatoran secara politik, ditandai dengan munculnya
pemimpin yang menggebu-gebu meraih kekuasaan dan memiliki hasrat yang kuat
untuk mendominasi.
 Namun demikian antara sang diktator dan fasisme juga dipengaruhi iklim suatu
masyarakat. Ada kalanya iklim suatu negara lebih mudah menerima kediktatoran
dibandingkan dengan negara lainnya. Jerman, Italia dan jepang mungkin adalah
tipekal negara demikian.  Adanya gerakan massa yang otoriter dalam fasisme justru
ditentukan oleh hasrat banyak orang untuk memasrahkan diri dengan setia. Hal ini
tentunya tidak dapat diamati dari sudut pandang rasionalitas. Fasisme ibarat
memanfaatkan kondisi psikologis kepatuhan sang anak kepada orang-tuanya.
Dengan kepatuhan, maka sang anak akan terlindungi karena memiliki tempat
bergantung.
 Fasisme juga memiliki ciri untuk menyesuaikan diri dengan praktek kuno yang sudah
ada. Mementingkan status dan kekuatan pengaruh, kesetiaan kelompok, kedisiplinan
dan kepatuhan yang membabi-buta. Hal ini menyatu dalam membentuk karakter
fasis. Sehingga sebagai suatu kesatuan, mereka hanya patuh terhadap perintah
tanpa harus mempersoalkan apa dan bagaimananya.
 Sebagai cara mempertahankan kesatuan, fasisme juga
menciptakan musuh-musuh yang nyata maupun imajiner. Jerman
memusuhi yahudi, karena yahudi dianggap ras rendah yang
senantiasa mengotori kemurnian ras arya. Memusuhi kaum
komunis maupun liberalis-kapital, karena mereka bukan bangsa
arya atau indo-jerman. Jika merasa kekuatannya telah cukup untuk
tidak sekedar berteori, maka kaum Fasis mulai menunjukkan sifat
imperialisnya. Mereka akan menjanjikan kemenangan dalam
permusuhan dengan bangsa lain. Kaum fasis senantiasa ingin
menunjukkan bahwa mereka lebih unggul dari bangsa atau negara
manapun. Nahasnya, apabila fasisme kalah, maka sang pemimpin
fasis akan menjadi korban kehancuran rezimnya sendiri. Sejarah
mencatat nasib tragis yang dialami Mussolini yang ditembak dan
digantung oleh rakyatnya sendiri, setelah sebelumnya Italia
mengumumkan kekalahannya dalam perang. Nasib Hitler mungkin
sedikit lebih baik, karena ia “mati terhormat”  tanpa  harus tunduk
kepada musuhnya.
Teori dan Praktek Fasisme
 Doktrin dan Kebijaksanaan
 Tidak seperti komunisme, fasisme tidak memiliki landasan prinsipil yang baku atau mengikat
perihal ajarannya. Apalagi dewasa ini dapat dipastikan, bahwa fasisme tidak memiliki organisasi
yang menyatukan berbagai prinsip fasis yang bersifat universal.
 Namun demikian, bukan berarti fasisme tidak memiliki ajaran. Setidaknya para pelopor fasisme
meninggalkan jejak ajaran mereka perihal fasisme. Hitler menulis Mein Kampft, sedangkan
Mussolini menulis Doktrine of Fascism. Ajaran fasis model Italia-lah yang kemudian menjadi
pegangan kaum fasis didunia, karena wawasannya yang bersifat moderat.  Menurut Ebenstein,
unsur-unsur pokok fasisme terdiri dari tujuh unsur:
 Pertama, ketidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat
fanatik dan dogmatic adalah sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak boleh lagi didiskusikan.
Terutama pemusnahan nalar digunakan dalam rangka “tabu” terhadap masalah ras, kerajaan
atau pemimpin.
 Kedua, pengingkaran derajat kemanusiaan.  Bagi fasisme manusia tidaklah sama, justru
pertidaksamaanlah yang mendorong munculnya idealisme mereka. Bagi fasisme, pria melampaui
wanita, militer melampaui sipil, anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa yang
satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme
menolak konsep persamaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek
kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideology yang mengedepankan kekuatan.
 Ketiga, kode prilaku yang didasarkan pada kekerasan dan kebohongan.  Dalam pandangan
fasisme, negara adalah satu sehingga tidak dikenal istilah “oposan”. Jika ada yang bertentangan
dengan kehendak negara, maka mereka adalah musuh yang harus dimusnahkan. Dalam
pendidikan mental, mereka mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap
orang akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah. Hitler
konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang”.
Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif kebenarannya.
 Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip fasis, pemerintahan harus
dipimpin oleh segelintir elit yang lebih tahu keinginan seluruh anggota masyarakat. 
Jika ada pertentangan pendapat, maka yang berlaku adalah keinginan si-elit.
 Kelima, totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat total dalam
meminggirkan sesuatu yang dianggap “kaum pinggiran”. Hal inilah yang dialami
kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada wilayah 3 K yaitu: kinder
(anak-anak), kuche (dapur) dan kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum fasis
menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum penentang,
maka totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan
penganiayaan.
 Keenam, Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara
kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya dapat memaksakan
kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka mereka melihat
bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya.
Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka lebih
unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau dikuasai. Dengan
demikian hal ini memunculkan semangat imperialisme.
 Terakhir atau ketujuh, fasisime memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban
internasional. Konsensus internasional adalah menciptakan pola hubungan antar
negara yang sejajar dan cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak adanya
persamaan tersebut. Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai derajat
tertinggi bagi peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain bertindak menentang
hukum dan ketertiban internasional.
Ekonomi Fasis
 Ekonomi fasis menurut Ebenstein memiliki ciri negara korporasi. Dalam pemahaman
ini, negara berkuasa untuk menata dan mengawasi system perekonomian. Negara
fasis mengatur asosiasi modal dan tenaga kerja, dimana tenaga kerja diawasi dan
asosiasi mendapatkan monopolinya. Dengan demikian negar berfunsi sebagai
kelompok penengah.
 Ada dua asumsi yang mendasari filsafat negara korporasi. Pertama,masyarakat
biasa tidak boleh memikirkan hal-hal yang bersifat politik. Mereka hanya berhak
menjalankan tugasnya sendiri-sendiri. Kedua, para elitlah yang dianggap memiliki
kemampuan untuk memahami masalah seluruh anggota masyarakat. Karena itu
hanya mereka yang berhak memerintah.
 Demokrasi dengan tegas menolak hal ini. Demokrasi melihat bahwa aspek ekonomi
dan politik adalah sesuatu yang tak terpisahkan. Selain itu sangat tidak mungkin para
penguasa menggantikan “perasaan’ masyarakat yang dikuasai, terlebih lagi adanya
prinsip kelas unggul di dalam masyarakat.
 Bagi kaum fasis sendiri, Italia misalnya, negara  korporasi bukanlah suatu respons
atas kapitalisme maupun sosialisme liberal. Melainkan adalah suatu solusi kreatif
dalam memikirkan kemakmuran ekonomi. Namun demikian, bagaimanapun fasisme
yang totaliter tidak pernah mengizinkan persaingan bebas. Negara harus
menunjukkan kuasanya diatas kepentingan atau unsur apapun.
 Pada akhirnya, negara korporasi fasis terbukti kebangkrutannya. Saat Italia mulai
dikalahkan oleh tentara sekutu pada Perang Dunia II, maka kepercayaan terhadap Il
Duce juga memudar. Akhirnya, Mussolini harus merasakan hukuman mati dari
rakyatnya sendiri.
Kasus “Fasisme” di Spanyol
 Dalam melengkapi bahasannya, Ebenstein juga menceritakan mengenai keberadaan
gerakan fasisme di Spanyol, di bawah pimpinan jendral Franco. Ebenstein mencatat
bahwa ideology fasisme di Spanyol bertindak lebih moderat, karena pada awalnya ia
hanya merupakan bentuk perkembangan kepentingan nasionalisme. Jendral Franco
sendiri juga pada awalnya bukanlah seorang fasis, melainkan hanya militer biasa. Ia
justru memanfaatkan kelompok Phalangis dalam menjalankan kekuasaannya.
Berbeda dengan Fasisme Jerman dan Itali, dimana partailah yang memanfaatkan
militer.
 Bertahannya gerakan “fasis” franco lebih disebabkan karakter Spanyol yang agak
berbeda dengan fasisme di Jerman maupun Italia. Di Spanyol, franco menjadi
penguasa karena kemenangannya dalam perang saudara melawan kelompok
republik. Ia juga mendapatkan dukungan kaum gerejawan, yang dipinggirkan dalam
pemerintahan republik. Lebih penting, franco berkuasa atas negara yang baru
mengembangkan industri dan baru bangkit sehabis perang, sehingga ketika Perang
Dunia II terjadi, ia memilih untuk tidak melibatkan diri dalam persekutuan fasisme
Italia-Jerman dan Jepang. Ketidak ikutsertaannyalah yang membuat rezim Franco
mampu bertahan. Bahkan hingga kematiannya, ia masih di elukan oleh rakyatnya.
 Namun demikian, pada akhirnya fasisme di Spanyol justru tumbang secara
konstitusional dengan tahap kompromi yang lebih lunak. Dalam hal ini kelompok
monarki Raja Juan Carlos memainkan hal yang penting, dan ternyata rakyat Spanyol
juga tidak terlampau bereaksi karena perubahan yang ada. Lambat laun, Spanyol
memasuki system liberalisme dan menjadi bagian masyarakat eropa.
Kesimpulan
 Kesimpulannya adalah, Fasisme merupakan ideologi yang sangat
aroganisme, karna menganggap, hanya suku tertentulah yang menjadi yang
terbaik diantara suku suku yang lain, Fasisme juga bisa dikatakan ideologi
yang menuruti ego dan aroganisme yang tinggi, sehingga mereka yang
menganut ideologi tersebut berfikir dan menganggap semua yang bukan
berasal dari keturunan terbaik mereka, tidak berhak mendapat hidup yang
layak dan hanya harus, menjadi budak dan pesuruh para penganut ideologi
fasisme.
Kritik dan Saran
 Tulisan ebenstein mengenai fasisme, mencoba mendudukkan ideology fasisme
dalam tataran substansial. Ia melihat gejala fasisme sebagai suatu kondisi pada
sebuah masyarakat, dan mungkin saja dapat terulang kembali. Tulisan ebenstein
juga dikayakan dengan contoh kontemporer, yaitu kasus Spanyol.
 Namun demikian, terdapat juga hal yang dirasakan kurang mengenai hal bagaimana
fasisme mampu mempertahankan dukungan massa. Ebenstein hanya melihat
adanya kekerasan sebagai suatu faktor pendukung, seakan melupakan faktor yang
lainnya. Padahal, terdapat mekanisme penting yang dilupakan Ebenstein yaitu
bagaimana kaum fasis menciptakan slogan atau ritus-ritus historis demi membangun
karakter nasionalisme mereka. Bagaimanapun juga, jika kita mengamati munculnya
negara fasis terdapat kecenderungan bahwa fasisme muncul pada negara yang
memiliki identitas historis yang kuat.
 Tentu bukan suatu kebetulan, selain menggunakan kekerasan, fasisme juga
memanfaatkan parade atau aksi massa untuk memperkuat nasionalisme
pendukungnya. Ketika Hitler atau Mussolini menciptakan gaya sapaan atau slogan
dalam ritusnya, hal ini harus dilihat sebagai cara untuk menciptakan pola hubungan
kharismatik (meminjam istilah Max Weber) antara penguasa dengan rakyatnya.
Sehingga dalam konteks inilah hubungan patronase yang dikatakan ebenstein, dapat
dilihat secara aktif. Secara psikologis, melihat manusia berduyun-duyun berkumpul
memberi dukungan, maka akan menimbulkan nuansa sakralitas dan mitologis
mengenai kemampuan komunal yang tak terkalahkan. Hitler lebih kuat fasismenya
bukan hanya karena ia lebih kejam, melainkan juga karena ia mampu memanipulasi
dengan cerdas symbol-symbol yang ada dalam masyarakat.
 Faktor sejarah, juga merupakan kekuatan tersendiri. Hitler selalu
mendengungkan “Third Reich”, Mussolini senantiasa mengatakan “Italia la
Prima”, sedangkan Jepang senantiasa menunjukkan propaganda sebagai
“Pemimpin Asia”. Ketika Hitler dan Mussolini menjabat sebagai kepala
pemerintahan, maka keduanya juga membangun bangunan-bangunan
megah sebagai symbol kejayaan suatu kekaisaran masa lampau. Bahkan
Mussolini memperbaharui beberapa monumen Romawinya. Dengan
kenangan masa lalulah, fasisme bergerak untuk menciptakan kejayaan di
masa sekarang. Karena bagi mereka, hanya negara yang pernah unggul
berhak atas sejarah dimasa sekarang. Dan inilah yang juga diandalkan oleh
Hitler maupun Mussolini, dimana mereka mampu meyakinkan rakyatnya
atas dasar keyakinan sejarah yang demikian.
 Dalam konteks hubungan masa sekarang, ternyata ebenstein belum sampai
pada kesimpulan penutup apakah masa depan fasisme masih ada. Pada
titik inilah, terkadang muncul kealpaan kita dalam melihat keberadaan
fasisme. Padahal fasisme yang rasis, sebagai suatu gagasan dan tindakan
juga berada di mana-mana. Apakah benar yang ditunjukkan Paul Wilkinson
(dan juga Harun Yahya), bahwa kekuatan kaum fasis sedang merasuki
anak-anak generasi muda lewat gelombang musik punk dan skin head,
dimana symbol nazisme senantiasa menjadi ikonnya. Atau apakah benar
kelompok fasis sedang berupaya membangkitkan jati-dirinya kembali
dengan hooliganisme di kancah sepak bola?  Saya kira hal ini masih
merupakan asumsi-asumsi yang harus dibuktikan oleh sejarah perihal
kebenarannya.
Gambar Gambar

Anda mungkin juga menyukai