Anda di halaman 1dari 8

BAB II.

GENETIKA MENDEL
2.1. Mengenal Mendel dan Cara Kerjanya
Sejak jaman prasejarah, manusia telah mengenal prinsip-prinsip pewarisan
berdasarkan pengalaman mereka sehari-hari. Varietas-varietas baru pada tumbuhan dan
hewan yang kita jumpai sekarang ini merupakan hasil kerja mereka dengam menseleksi
tumbuhan dan hewan dengan sifat-sifat khusus untuk digunakan sebagai induk dalam
penyilangan. Setelah bertahun-tahun kemudian manusia berhasil mendapatkan varietas –
varietas unggul dengan sifat khas yang mereka inginkan, seperti gandum berprotein
tinggi, sapi dengan produktivitas daging yang tinggi, rasa buah yang manis dan besarbesar,
dll. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa manusia telah memiliki pengetahuan
mengenai prinsip-prinsip genetika, meskipun masih sederhana dan berdasarkan
pengalaman semata.
Gambaran pengetahuan mengenai prinsip pewarisan sifat juga dapat ditemukan dari
pribahasa-pribahasa yang dijumpai di hampir seluruh bangsa di dunia. Bangsa Belanda
sangat akrab dengan pepatah”De appel valt niet ver van de boom” (buah apel jatuh tak
jauh dari pohonnya), bangsa Inggris mengenal pepatah ”like father like son”, dan bangsa
Indonesia juga mengenal pribahasa ”air cucuran jatuh kepelimbahan juga”. Bahkan unsur
”bibit-bebet-bobot” dipegang teguh budaya suku Jawa dalam menentukan calon menantu
dengan harapan keturunan yang diperoleh kelak memiliki sifat-sifat baik. Dengan kata
lain mereka secara tidak langsung telah menerapkan prinsip genetika dalam memilih
pasangan hidupnya jauh sebelum hukum-hukum pewarisan sifat diperkenalkan Mendel.
Gregor Mendel (1822- 1884) adalah orang pertama yang berhasil merumuskan
prinsip-prinsip pewarisan sifat berdasarkan hasil persilangannya pada Pisum sativum
selama 7 tahun (Gambar 2.1.). Hukum-hukum pewarisan yang berhasil dirumuskannya
kemudian dia tulis dan presentasikan dalam sidang Perhimpunan Pengetahuan Alam di
Brunn (Austria) dengan judul makalah ”Experiment in plant hybridation”. Makalah
Mendel dipublikasikan oleh perhimpunan tersebut dan disebarluaskan ke berbagai
perpustakaan di Eropah dan Amerika. Namun makalah tersebut tidak mendapatkan
respon seperti yang diharapkan Mendel. Baru 40 tahun kemudian, yaitu permulaan abad
ke-20, karya Mendel diperhatikan dan diteliti ulang oleh 3 orang ahli biologi secara
terpisah di tiga negara. Mereka adalah De Vries (Belanda, 1900), Corren (Jerman, 1900),
dan Tschermark (Austria, 1900). Ketiganya mengakui kebenaran hasil penelitian Mendel
dan mengusulkan pada sidang ahli-ahli biologi sedunia untuk memberi gelar sebagai
”Bapak Genetika” pada Mendel, namun setelah 18 tahun wafatnya Mendel.
Contents
14.1 A genetic cross
Gambar 2.1. Pekerjaan persilangan tanaman ercis yang dilakukan Mendel
(Sumber: Campbell, dkk..2002. hal. 257)
Dibandingan peneliti sebelumnya, keberhasilan penelitian Mendel sedikit banyak
ditunjang oleh keberuntungannya mendapatkan bahan penelitian yang tepat, yaitu
tanaman ercis (Pisum sativum), setelah dua tahun mencoba dengan tanaman lainnya.
Kelebihan tanaman ercis adalah memiliki alat reproduksi yang sempurna, memiliki siklus
hidup yang pendek, jumlah keturunan yang banyak, dapat meyerbuk sendiri sehingga
mudah disilangkan, dan bastarnya mudah dibiakkan. Sebelum melakukan percobaan
persilangan, pertama-tama Mendel mengamati, mengumpulkan dan mencatat dengan
teliti ada 7 sifat yang kontas satu sama lain pada tanaman ercis ini (Tabel 2.1.). Langkah
kedua Mendel adalah mendapatkan galur murni dengan cara penyerbukan sendiri pada
beberapa generasi sampai diperoleh sifat yang murni dari berbagai varietas ercis.
Kemudian langkah berikutnya, mengadakan percobaan penyilangan antar dua galur
murni yang memiliki sifat yang kontras (lihat Tabel 2.1.). Untuk melengkapi hasil
percobaannya Mendel juga melakukan persilangan balik dan uji silang pada masingmasing
sifat yang diamatinya.
Tabel 2.1. Hasil Penyilangan ( Sumber: Klug, dkk. 2007, hal 42)
2.2. Monohibrid dan Dihibrid
Untuk menerangkan hasil percobaannya, Mendel menggunakan beberapa simbol,
seperti: P untuk Parental (tetua), F untuk Filial (keturunan), tanda kelamin betina, dan
tanda kelamin jantan. Gen (sifat beda) biasanya diberi simbol huruf pertama dari suatu
sifat, gen yang dominan dinyatakan dengan huruf besar, dan yang resesif dengan huruf
kecil. Sifat keturunan yang dapat diamati/dilihat pada suatu individu disebut fenotip
sedangkan sifat dasar yang tidak tampak disebut genotip (lihat Gambar 1.4).
Setelah memperoleh galur murni, Mendel menyilangkan dua galur murni dengan
sifat yang kontras (warna bunga unggu dan putih), dan diperoleh hasil semua tanaman
berbunga ungu (diberi tanda F1). Hasil persilangan tersebut ternyata hibrid-nya
menyerupai salah satu induknya. Turunan (hibrid) hasil persilangan dari induk yang
berbeda dalam satu sifat beda disebut monohibrid. Membiarkan hibrid F1 ini melakukan
penyerbukan sendiri menghasilkan generasi F2 (filial kedua) bunga ungu dan putih
dengan perbandingan 3:1. Mendel biasanya mengikuti sifat-sifat bawaan paling sedikit
untuk tiga generasi, yaitu: P, F1, dan F2. (Gambar 2.2)
Contents
14.2 Mendel tracked heritable characters for three generations
Gambar 2.2. Penelusuran Mendel untuk suatu sifat tertentu pada tiga generasi.
(Sumber: Campbell, dkk. 2002, hal 258)
Selain melakukan persilangan dengan satu sifat beda, Mendel juga melakukan
persilangan pada tanaman ercis dengan dua sifat beda (warna dan bentuk biji) disebut
dihibrid. Sebelumnya Mendel telah menyilangkan masing-masing sifat beda tersebut
secara monohibrid. Dari monohibrid, Mendel mendapatkan bahwa alel untuk warna biji
kuning (Y) adalah dominan, dan alel untuk biji hijau (y) adalah resesif. Untuk bentuk biji,
diketahui alel biji bulat (R) bersifat dominan sedangakan alel biji keriput (r) bersifat
resesif. Pada genersi F1 dihibrid didapatkan fenotip seluruh keturunan menampakkan
warna dan bentuk biji kuning dan bulat dengan genotipnya YyRr. Jika hibrid F1 harus
meneruskan alel-alelnya dalam kombinasi yang sama dengan pewarisan alel-alel tersebut
dari generasi P, maka hanya akan ada dua kelas fenotip pada gamet, yaitu YR dan yr,
Hipotesis awal ini akan diperoleh prediksi bahwa rasio fenotip generasi F2 akan menjadi
3:1 seperti monohibrid. Namun ketika Mendel membiarkan generasi F1 menyerbuk
sendiri, dia memperoleh keturunan F2 dengan perbandingan 315:108:101:32 untuk sifat
kuning-bulat, hijau-bulat, kuning-keriput, hijau-keriput yang mendekati perbandingan
9:3:3:1. Hal ini memunculkan hipotesis alternatif bahwa dua pasang alel akan terpisah
secara bebas satu sama lain selama pembentukan gamet. Dari contoh dihibrid di atas, dua
alel dari warna biji akan memisah secara bebas dari dua alel bentuk biji (Gambar 2.3).
Contents
14.7 Testing two hypotheses for segregation in a dihybrid cross
Gambar 2.3. Pengujian dua hipotesis pada dihibrid. (Sumber: Campbell, dkk. 2002.
hal 262)
Untuk mempermudah pemahaman peristiwa monohibrid dan dihibrid dapat
digunakan diagram cabang atau metode garis-bercabang. Metode tersebut dapat
digunakan untuk menduga hasil persilangan dan menemukan semua kombinasi genotip
atau fenotip yang mungkin. Selain itu dapat pula menggunakan kotak Punnet (sesuai
penemunya Reginald C. Punnet). Contoh penggunaanya untuk persilangan monohibrid
dan dihibrid dapat dilihat seperti Gambar 2.2. dan Gambar 2.3. di atas.
2.3. Backcross dan Testcross
Selain melakukan persilangan monohibrid dan dihibrid dengan penyerbukan sendiri
dan buatan, Mendel juga melakukan persilangan balik (Backcross), yaitu progeni F1
dikawinkan dengan salah satu induknya (jantan atau betina). Contohnya, tanaman ercis
dengan biji bulat disilangkan dengan biji kisut diperoleh tanaman F1 dengan biji bulat,
selanjutnya F1 disilang-balikan dengan salah satu induknya dan diperoleh semua
keturunan berbiji bulat. Untuk lebih jelasnya persilangan balik dapat dilihat dari diagram
pada Gambar 2.4. di bawah ini:
P: RR X rr
betina berbiji bulat jantan berbiji kisut
F1 : Rr
Betina dan jantan berbiji bulat
Persilangan balik F1: RR X Rr
induk berbiji bulat anak jantan berbiji bulat
F2: ½ RR : ½ Rr (semua keturunan berbiji bulat)
Gambar 2.4. Persilangan balik monohibrid pada tanaman ercis
Sewaktu Mendel menyilangkan ercis berbungas ungu dengan bunga putih dan
diperoleh F1 yang berbunga ungu. Sejatinya Mendel tidak dapat menentukan apakah
tanaman F1 ini homosigot atau heterosigot berdasarkan warna bunganya sebab genotip PP
dan Pp dihasilkan di dalam fenotip yang sama, warna ungu. Untuk mengungkapkan
genotip F1, Mendel melakukan uji silang (Testcross) antara F1 (yang tidak diketahui
genotipnya) dengan induknya yang berbunga putih (pasti homosigot resesif). Hal ini
dikarenakan jika semua keturunan dari penyilangan tersebut mempunyai bunga ungu,
maka induk lainnya pasti homosigot untuk alel dominan; persilangan PP X pp tidak
akan menghasilkan keturunan lain selain Pp. Tetapi jika fenotip warna ungu dan putih
kedua-duanya muncul di antara keturunan, maka induk warna ungu dipastikan
heterosigot. Karena keturunan dari penyilangan Pp X pp akan menghasilkan rasio
fenotip 1:1. Mekanisme testcross lebih jelas dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Contents
14.6 A testcross
Gambar 2.5. Testcross pada tanaman ercis (Sumber: Campbell, dkk. 2002., hal 261)
2.4. Hukum-hukum Mendel
2.4.1. Hukum Mendel I (Hukum Dominan)
Pada persilangan dengan satu sifat beda (biji bulat dan kisut), dihasilkan F1 yang
berbiji bulat. Sifat biji bulat menutupi sifat biji kisut. Sifat yang menutupi disebut sifat
dominan, dan sifat yang ditutupi disebut sifat resesif. Mendel menjumpai hasil yang
sama untuk 6 sifat beda lainnya pada tanaman ercis (lihat Tabel 2.1.). Dari hasil tersebut,
Mendel menyimpulkan adanya hukum dominan, yaitu: jika penyilangan dua organisma
jantan dan betina homosigot dengan pasangan yang kontras, hanya akan muncul salah
satu sifat dari tetuanya pada keturunan pertama-nya ( F1), sifat demikian disebut sifat
dominan.
2.4.2. Hukum Mendel II (Hukum Segregasi)
Dari persilangan dengan satu sifat beda (monohibrid), Mendel menyusun suatu
postulat yang kemudian dikenal dengan hukum segregasi. Hukum segregasi disebut juga
hukum pemisahan faktor/gen yang sealel. Dalam hal ini kedua alel untuk suatu sifat
tertentu dikemas ke dalam gamet yang terpisah. Selengkapnya hukum tersebut berbunyai:
” pada hibrid F1 yang heterosigot yang memiliki sifat kontras (dominan dan resesif), gengennya
berkumpul bersama-sama tetapi keduanya tidak bercampur dan keduanya akan
memisah pada saat pembentukan gamet ”. Ilustrasi lengkap hukum segregasi dapat dilihat
pada Gambar 2.6. berikut ini:
Contents
14.4 Mendel's law of segregation
Gambar 2.6. Hukum Mendel II (Hukum Segregasi) (Sumber; Campbell,
dkk. 2002., hal 259)
2.4.3. Hukum Mendel III (Hukum berpasangan secara bebas/ Independent
assortment of gens)
Dari persilangan dengan dua sifat beda (dihibrid) atau lebih, Mendel menyusun
suatu postulat yang kemudian dikenal sebagai hukum berpasangan secara bebas. Hukum
ini menjelaskan bahwa pada pembastaran dua induk yang memiliki dua macam sifat beda
atau lebih, penurunan satu pasang gen bebas memilih dari pasangan gen lainnya, atau
tiap-tiap pasangan alel akan memisah ke dalam gamet secara bebas. Ilustrasi lengkap
pengujian dua hipotesis pada persilangan dihibrid yang selanjutnya menghasilkan hukum
Mendel III ini dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Hubungan tiga postulat ( Hukum Memndel I, II, dan III) dengan letak gen pada
kromosom suatu homolog dan tingkah lakunya selama meiosis dapat ditelusuri dari
ilustrasi gambar berikut ini:
Gambar 2.7. Ilustrasi hukum Mendel dengan letak gen dalam kromosom homolog
dan tingkah lakunya selama meiosis (Sumber: Klug, dkk. 2007. hal 45)
2.5. Teori Peluang dan Uji Chi-Kuadrat
Penggunaan istilah peluang /kemungkinan/keboleh-jadian biasanya untuk
membicarakan suatu peristiwa/kejadian yang hasilnya tidak dapat dipastikan. Dalam
banyak hal, sesungguhnya kita tidak bisa menghindar dari adanya kemungkinan yang
harus dihadapi. Contohnya: seorang ibu yang hendak melahirkan akan menghadapi
kemungkinan mendapatkan anaknya berjenis kelamin perempuan atau laki-laki,
mahasiswa yang mengikuti suatu perkuliahan tentu akan menghadapi kemungkinan akan
lulus atau tidak, dll. Oleh karena itu aturan umum teori peluang (probabiliti) secara nyata
sangat membantu dalam memecahkan masalah-masalah dalam genetika (analisis
genetika). Aplikasi statistik ini sangat membantu dalam memperkirakan dan
mengevaluasi hasil-hasil dari persilangan atau percobaan. Sebagai contoh, hukum
segregasi dan pemisahan secara bebas Mendel dapat dijelaskan seperti pada peristiwa
pelemparan koin atau dadu ( Gambar 2.8.). Kisaran skala probabilitas(peluang) adalah 0
sampai 1. Suatu kejadian yang pasti akan terjadi mempunyai peluang 1, sebaliknya
kejadian yang dipastikan tidak akan terjadi mempunyai peluang 0. Suatu koin yang
memiliki dua sisi (gambar dan angka), peluang mendapatkan sisi gambar adalah ½, dan
peluang untuk mendapatkan sisi angka adalah ½.
Contents
Gambar 2.8. Pelemparan koin sebagai peluang kejadian dalam segregasi
(Sumber: Campbell, dkk., 2002. hal 263)
Untuk lebih memahami aplikasi teori peluang dalam memecahkan masalah
genetika ada baiknya kita mengenal aturan dasar probabilitas, yaitu:
a. Kaidah Peluang yang umum
Peluang atas kejadian sesuatu yang diharapkan adalah sama dengan perbandingan
kejadian yang diinginkan itu terhadap keseluruhan kejadian yang mungkin. Misalnya,
jika banyaknya semua kejadian adalah N, dan masing-masing kejadian memiliki peluang
yang sama, maka peluang setiap kejadian adalah 1/N.
Contoh: Jika kita melempar mata uang, maka ada dua kejadian yang mungkin timbul,
yaitu sisi gambar (+) dan sisi angka (-). Masing-masing sisi memiliki peluang
yang sama untuk muncul bila pelemparan dilakukan secara adil. Jadi jika mata
uang dilempar satu kali maka peluang sisi (+) muncul sama dengan:
Banyaknya kejadian (+) muncul 1
P (+) = =
Jumlah semua kejadian yang mungkin 2
b. Kaedah Perkalian
Peluang terjadinya dua peristiwa atau lebih yang masing-masing berdiri sendiri
adalah hasil kali peluang masing-masing teristiwa itu. Contoh: pelemparan dua mata uang
bersama-sama, maka peluang untuk munculnya kedua sisi gambar (+) bersama-sama
adalah:
P (+,+) = P ( + ) x P ( + ) = ½ x ½ = ¼
c. Kaedah Penjumlahan
Peluang terjadinya dua peristiwa atau lebih yang saling mempengaruhi adalah
jumlah dari peluang masing-masing peristiwa itu. Contoh: dua mata uang dilempar
bersama-sama dua kali, maka peluang munculnya kedua-duanya sisi gambar (+) atau
kedua-duanya sisi angka (-) adalah:
P (+,+) atau (-,-) = P (+,+) + P (-,-) = ¼ + ¼ = ½
d. Persamaan Binomium: (p + q)n
Jika peristiwa p dan q merupakan kejadian-kejadian yang saling bebas (terpisah),
dan n adalah banyaknya semua kejadian yang mungkin muncul atau banyaknya
percobaan yang dilakukan. Jumlah faktor-faktor dalam binomial harus sama dengan satu;
jadi: p + q = 1. Contoh: dalam dua kali pelemparan mata uang, p = gambar dan q =
angka, maka ada empat kemungkinan :
Tabel 2.1. Kemungkinan peristiwa yang muncul dari setiap kejadian yang mungkin
Lemparan pertama Lemparan kedua Kemungkinan
Gambar (p) (dan) Gambar (p) = P2
Gambar (p) (dan) Angka (q) = pq
Angka (q) (dan) Gambar (p) = pq
Angka (q) (dan) Angka (q) = q2
dan dapat dinyatakan sebagai berikut:
( p + q )2 = 1
p2 + 2 pq + q2 = 1
2.5.2. Uji Chi-Kuadrat
Untuk mengevaluasi kebenaran atau ketidak-benaran suatu hasil percobaan
persilangan yang dilakukan dibandingkan nilai teoritisnya maka digunakan Uji Chikuadrat
( Chi-square test), yaitu: 2 = ( d2/e ) = (o – e)2/e; dimana e = hasil yang
diharapkan secara teoritis, d = deviasi ( selisih dari hasil pengamatan (obersvasi=O)
dengan hasil yang diharapkan secara teoritis (e)). Beberapa catatan yang harus
diperhatikan bahwa dalam penggunaan uji chi-kuadrat adalah mencari derajat bebas,
yaitu banyaknya kelas fenotip dikurangi 1 (n-1), khusus untuk dua kelas fenotip harus
digunakan ” koreksi Yates”, yaitu deviasi dikurangi 0,5 ( d= d - 0,5), dan mempunyai atau
paham tabel 2 . Contoh: Suatu persilang dihibrid tanaman ercis antara tanaman
berbunga ungu dan biji bulat dengan bunga putih dan biji kisut, dari penyerbukan sendiri
diperoleh tanaman F2 seperti yang tercantum dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.2. Jumlah tanaman F2 dan hasil 2
Kelas O e (O – e )2 / e
Ungu, bulat
Ungu, kisut
Putih, bulat
Putih, kisut
390
116
102
46
654
368
123
123
40
654
1.315
0.398
3.585
0.900
2 = 6.198
Dari percobaan tersebut dapat ditarik hipotesis, H0 = data yang diamati tidak sesuai
nisbah 9:3:3:1, dan H1 = data yang diamati sesuai dengan nisbah 9:3:3:1. Jika dilihat
dalam tabel 2 dengan derajat bebas 3 (4-1=3) diperoleh nilai 7.82, nilai 2 dari
percobaan adalah 6.198, dengan demikian nilai hasil percobaan lebih kecil dari nilai dari
tabel 2 sehingga dapat disimpulkan H0 diterima atau data hasil F2 sesuai dengan nisbah
9:3:3:1.
2.6. Interaksi Gen
Setelah kebenaran hukum-hukum Mendel dikukuhkan, percobaan-percobaan yang
lebih luas tentang penurunan sifat banyak dilakukan peneliti-peneliti baik pada tumbuhan
maupun hewan. Sebagian percobaan ada yang sesuai dengan hukum Mendel, tetapi
adakalanya diperoleh hasil yang sepertinya menyimpang dari hukum Mendel. Namun
demikian, akhirnya diketahui bahwa hasil tersebut disebabkan adanya sifat-sifat yang
dipengaruhi dua atau lebih pasangan alel (gen), yang dalam ekspresinya saling
mempengaruhi atau saling berinteraksi. Ada tiga tipe interasi gen yang mungkin
dijumpai, yaitu: intragenik (intralelik), intergenik, dan interaksi gen dengan lingkungan.
2.6.1. Intragenik
Intragenik adalah interaksi yang terjadi antar dua atau lebih alel yang berasal dari
lokus yang sama untuk menampilkan suatu fenotip tertentu. Termasuk tipe ini adalah
penurunan sifat intermediet dan sifat kodominan.
Dalam beberapa kasus, ternyata pewarisan sifat tidak selalu mengikuti pola
dominan dan resesif seperti yang dikemukan Mendel, tetapi ada pola-pola lain yang
ditemukan yaitu: sifat intermediet dan sifat kodominan. Sifat intermediet (di antara
fenotip kedua induknya) dapat kita lihat dari pola pewarisan warna bunga pukul empat
(Mirabilis jalapa) di bawah ini:
P: MM X mm
betina bunga merah jantan bunga putih
F1: Mm ( 100 %)
jantan, betina bunga merah muda
Penyerbukan sendiri F1: Mm X Mm
F2 : 25 % merah : 50 % merah muda : 25 % putih
Gambar 2.9. Diagram persilangan warna bunga pada Mirabilis jalapa.
Sifat kodominan artinya sifat dominan dan resesif muncul berdampingan pada
hibrid F1-nya sehingga tampak adanya percampuran sifat. Contohnya pewarisan warna
pada bulu sapi dan pewarisan golongan darah pada manusia.. Persilangan sapi Shorthorn
yang berbulu merah (RR) dengan sapi berbulu putih (rr), diperoleh keturunan F1 berbulu
coklat (warna coklat bukan warna intermediet antara merah dan putih). Pola pewarisan
warna bulu pada sapi dapat dilihat selengkapnya pada gambar di bawah ini:
P: RR X rr
betina bulu merah jantan bulu putih
F1: Rr ( 100 %)
jantan, betina bulu coklat
Perkawinan antar F1: Rr X Rr
F2 : 25 % merah : 50 % coklat : 25 % putih
Gambar 2.10. Diagram perkawinan pada sapi
2.6.2. Intergenik
Macam interaksi ini melibatkan dua atau lebih gen dari lokus yang berbeda dalam
menentukan satu sifat atau fenotip. Intergenik juga dikenal dengan istilah epistasi, yaitu
penutupan ekspresi suatu gen oleh gen lain yang bukan alelnya dan gen yang tertutupi
ekspresinya disebut hipostasis. Mekanisme penurunan sifat seperti ini pertama ditemukan
oleh William Bateson dan RC Punnet sewaktu mengawinkan beberapa varietas ayam
negeri yang memiliki bentuk jengger yang berlainan. Mereka mendapatkan bahwa
keturunan F1 tidak menyerupai salah satu induknya, dan sifat-sifat baru muncul pada F2.
Dalam hal ini, mereka mengatakan bahwa jengger ros disebabkan adanya gen R dan pp,
jengger biji disebabkan gen P dan rr, bila dua gen dominan R dan P berada bersamasama
maka bentuk jengger akan ’walnut’, sedangkan bila kedua gen tersebut dalam
keeadaan resesif (pp dan rr) jengger ayam akan berbentuk tunggal. Perkawinan antara
dua ayam yang homosigot untuk jengger ros dengan jengger biji akan menghasilkan
keturunan sebagai berikut:
P: RRpp X rrPP
Ros biji
F1: RrPp
Walnut X Walnut
F2: 9 R- P- : 3 R- pp : 3 rr P- : 1 rrpp
Walnut ros biji tunggal
Macam-macam epistasis adalah:
a) Epistasis Dominan ( 12 : 3 : 1 )
Pada epistasis ini adalah gen dominan mengalahkan gen dominan dan resesif yang
lain yang bukan sealela ( gen W epistasis terhadap Y dan y). Contoh: warna kulit pada
buah jeruk; W adalah gen untuk kulit buah putih, Y adalah gen untuk kulit buah kuning,
wwyy menghasilkan warna kulit buah hijau. Rasio fenitipik F2 antara putih : kuning :
hijau menjadi 12 : 3 : 1.
b) Epistasis resesif ( 9 : 3 : 4 )
Tipe epistasis ini terjadi jika gen resesif homosigot mengalahkan gen dominan
dan gen resesif lainnya yang bukan sealela ( gen cc epistasis terhadap R dan r ). Contoh:
pewarisan warna umbi bawang merah. Dalam hal ini C gen untuk keluarnya warna, c
menhalangi keluarnya warna merah, R gen untuk umbi warna merah, dan r gen untuk
warna kuning pada umbi. F2 akan menghasilkan fenotipik warna merah : kuning : putih
dengan rasio 9 : 3 : 4.
c) Epistasis Dominan dan Resesif ( 13 : 3 )
Epistasis ini adalah jika gen dominan epistasis gen dominan dan resesif yang lain
yang bukan sealela dan gen resesif homosigot mengalahkan gen dominan dan gen resesif
lainnya yang bukan sealela ( gen I epsitasis terhadap C dan c, gen cc epistasis terhadap I
dan i ). Contoh: Penurunan sifat pada warna kulit ubi jalar. C gen yang menghasilkan
kulit warna merah, c gen yang menghasilkan kulit warna putih, I gen yang menghalangi
keluarnya warna merah, dan i gen yang tidak menghalangi keluarnya warna. F2 akan
menghasilkan fenotipik warna merah : putih dengan rasio 13 : 3.
d) Epistasis Resesif Ganda ( 9 : 7 )
Epistasis ini terjadi jika dua gen resesif homosigot mengalahkan gen dominan dan
gen resesif lainnya yang bukan sealela dan terdapat gen-gen yang komplementer /saling
membantu untuk menampilkan fenotip baru atau normal( gen aa epistasis terhadap Bdan
b, dan gen bb epistasis terhadap A dan a). Contoh: pada manusia pendengaran normal
ditentukan oleh adanya dua gen dominan A dan B bersama, sedangkan kombinasi lain
dari kedua gen tersebut menyebabkan pendengaran tuli. Perkawinan antara dua orangtua
yang normal heterosigot akan menghasilkan keturunan dengan rasio fenotipik Normal :
tuli = 9 : 7.
e) Epistasis Dominan Ganda ( 15 : 1 )
Dalam epistasis ini dua gen dominan berperan bersama-sama (sama-sama
epistasis) dan mengatur sifat yang sama serta saling dapat menggantikan satu sama lain.
(gen F epistasis terhadap S dan s, dan gen S epistasis terhadap F dan f). Contoh:
penurunan bulu di kaki pada unggas. Bila perkawinan antara unggas yang memiliki bulu
di kakinya dengan unggas yang tidak memiliki bulu maka akan menghasilkan F1 dengan
kaki berbulu semua, tetapi pada keturunan F2-nya menghasilkan rasio keturunan kaki
berbulu dengan tidak berbulu = 15 : 1.
f) Gen Rangkap dengan Efek Kumulatif / semi epistasis ( 9 : 6 : 1 )
Bila dua gen dominan mengalahkan gen dominan dan resesif yang bukan sealel
dan bekerja saling menambah akan menimbulkan sifat yang mennyangatkan. Contoh:
warna kulit buah gandum, gen A dan B untuk warna buah ungu, sedangkan gen a dan b
gen resesif untuk warna puti. Bila gen A dan B bersama-sama maka kulit buah akan
berwarna ungu tua, dan bila hanya ada salah satu saja gen dominan ( A atau B) kulit buah
akan ungu, tetapi jika tidak terdapat gen dominan maka akan berwarna putih. Pada F1
didapatkan keturunan semuanya ungu tua (AaBb), dan keturunan F2 mempunyai
fenotipik warna ungu tua : ungu : putih dengan rasio 9 : 6 : 1.
g) Atavisme
Atavisme adalah peristiwa tidak munculnya sifat dari salah satu atau kedua
induknya pada F1, tetapi muncul kembali pada F2. Contohnya pewarisan sifat pada
jengger ayam di atas.
2.6.2. Interaksi gen dengan Lingkungan
Fenotip adalah hasil ekspresi suatu gen yang bekerjanya tidak sendiri tetapi
kerapkali bersama-sama dengan atau dimodifikasi oleh gen lainnya , dan atau oleh
lingkungan orgaisme. Dengan kata lain, fenotip merupakan hasil dari banyak produk gen
yang diekspresikan dalam lingkungan tertentu. Lingkungan tersebut dapat berupa faktorfaktor
internal (hormon, enzim, nutrisi, hara) dan faktor-faktor eksternal ( suhu, cahaya)
dari organisme yang bersangkutan. Contohnya, banyak proses biokimia dipengaruhi oleh
suhu. Pada tanaman Primula sp. efek suhu ini bisa langsung tampak pada perubahan
warna bunganya. Tanaman yang bergenotip bunga merah jika ditaruh pada
tempat/ruangan dengan suhu lebih dari 300 C maka bunga yang dihasilkan akan putih.
REFERENSI
1. Campbell, N.A., J.B. Reece, dan L.W. Mitchell. 2002. Biologi, edisi kelima. Penerbit
Erlangga. Hal: 258 – 263.
2. Elrod, S. dan W. Stansfield. 2007. Genetika, edisi keempat. Penerbit Erlangga. Hal 23
- 42.
3. Hartana, A. 1992. Genetika Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi , PAU Ilmu Hayat, Institute Pertanian Bogor.
Hal 4 – 23, 42 - 46.
4. Tjan Kiauw Nio. 1990. Genetika Dasar. FMIPA ITB. Bandung. Hal 49 - 60.
5. Yusuf, M. 1988. Genetika Dasar I, Ekspresi Gen. PAU IPB dan Lembaga
Sumberdaya Informasi IPB. Bogor. Hal 53 – 73.
6. Klug, W.S., M.R. Cummings, dan C.A. Spencer. Essentials of Genetics. Sixth edt.
Pearson Education International. New Jersey, USA.

Anda mungkin juga menyukai