Anda di halaman 1dari 98

Prolog

Nadia Denissa merunduk makin dalam di balik meja ebony besar itu. Suara-suara masih
terus terdengar. Ia menahan nafas, berusaha sebisa mungkin untuk tidak membuat terlalu
banyak gerakan dan suara. Keringat dingin membasahi wajahnya. Seharusnya ia mengajak
Roland tadi. Nadia tahu ia tidak akan bisa pergi ke toilet di gedung ini sendirian tanpa tersesat.
Kenapa ia harus menolak tawaran Roland untuk mengantarnya? Sekarang ia menyesali
keputusannya.
“... dan sedikit lagi... kita akan berhasil melakukan perubahan...”
Suara itu membuat Nadia bergidik. Ia menahan diri untuk tidak bernafas terlalu keras,
tapi suara dingin itu membuatnya tersentak. Gadis itu yakin, ia mengenali si pemilik suara
dingin.
Tiba-tiba, ponsel Nadia bergetar, membuat percakapan itu terhenti.
“Kau mendengar sesuatu?” tanya pria bersuara dingin.
“Tidak. Pasti karena pendingin ruangan tua ini,” kata satu suara lain. Suara serak yang
membuat siapa pun yang mendengarnya ingin terbatuk. “Aku harus pergi sekarang. Senang
mendengar perkembangan rencanamu.”
Nadia menghela nafas lega saat ponselnya berhenti bergetar. Dari posisinya di balik meja,
Nadia dapat mendengar dua pasang langkah kaki bergerak menjauh, dan suara pintu di tutup.
Setelah menunggu selama tiga menit, Nadia menghela nafas lega dan melesat meninggalkan
ruangan itu.
Ia berjalan cepat melintasi koridor yang mengantarkannya kembali ke ruang pertemuan
yang dipenuhi orang-orang. Nadia berjalan, memandang berkeliling mencari wajah yang
dikenalinya dengan baik. Roland berdiri di sana dengan satu tangan masih memegang
ponselnya, seolah ia baru saja selesai menelepon.

***

“Akhirnya lo balik juga!” kata Roland sambil tersenyum. Dengan enteng, pemuda itu
memasukkan ponselnya ke dalam saku. “Gue pikir lo udah nyasar kemana-mana...”
“Lo pikir tadi lo ngapain?!” seru Nadia melotot marah menatap Roland. Cowok itu balas
memandangnya dengan pandangan bertanya.
“Yah, lo lama banget sih... jadi gue pikir gue harus nelepon lo untuk mastiin lo nggak
kenapa-kenapa,” jawab Roland. “Apa gue salah?”
“Salah banget, Roland. Lo nyaris membuat karis kita berdua hancur,” kata Nadia. Ia
meremas tangannya, sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan jika sedang gugup. “gue rasa gue
baru aja denger sesuatu yang seharusnya nggak gue denger pas ke toilet tadi.”
“Oh, yeah?” tanya Roland mengangkat sebelah alisnya. “Parah banget buta arah lo. Lo
yakin udah nanya satpam atau orang lain jalan ke toilet? Gue rasa nyari toiletnya nggak segitu
susahnya sampe bisa nyasar...”
“Gue serius. Roland. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan, dan gue yakin gue
mengetahui hal apa itu...”
Roland menggelengkan kepalanya.
“Nadia, kebiasaan jelek lo itu adalah mencampuri sesuatu yang bukan urusan lo. Ayo balik
ke hotel. Gue mau nyusun laporan buat Pak Dedi, biar bisa dikasih pas di Jakarta nanti... Sial,
Nad, harusnya ini jadi tugas lo, bukan gue...”
“Roland, lo nggak ngerti...”
“Gue tahu, gue tahu. Kita akan mencari tahu semuanya setelah kembali, oke?”
Nadia mengangguk ragu. Ia mengikuti Roland dengan langkah pelan menuju keluar dari
gedung itu untuk mencari taksi yang nantinya akan membawa mereka ke hotel tempat mereka
menginap. Nadia melirik jam tangannya.
1
Masih ada beberapa menit lagi untuk mencapai hotel...

***

Bab Satu

Hari-harinya tidak selalu sama.


Bagi Nadia, menjadi seorang reporter membuat hari-harinya tidak pernah sama, selalu
ada hal baru untuk diliput. Tapi kini, semua terasa membosankan. Ia muak melihat kamera yang
selalu dipegang oleh Roland, kameramen setianya, dan tiba-tiba, ia merasa hari-hari
peliputannya selalu sama. Masalah ekonomi, politik, sembako naik, bla,bla, bla. Tiba-tiba saja, ia
membenci semua topik itu.
Hari ini, di siang bolong yang panas, Nadia melangkah keluar dari sebuah perpustakaan
lokal dengan sepelukan buku-buku setebal batu bata. Ranselnya bergantung di bahu, berisi
sebuah laptop. Nadia senang membaca buku, ya. Baginya, buku-buku itu merupakan
pelampiasan kebosanannya meliput berita. Ia membayangkan akhir pekan ini akan
menyenangkan dengan duduk di kamar, membaca buku, menghabiskan waktu.
Nadia melangkah cepat ke arah Cherokee merah yang terparkir di ujung lapangan.
Dengan sebelah tangan, Nadia merogoh-rogoh saku celana jeans-nya mencari kunci mobil. Ia
menaruh ranselnya di jok mobil sebelah kirinya. Begitu ia ingin men-starter mobilnya,
handphone Nadia berbunyi, lagu Welcome to my life-nya Simple Plan mengalun keras.
“Halo....”
“Halo, Nad....” kata suara diseberang sana.
“Roland?” tanya Nadia mengenali suara si pelepon.
“Haha.... Iya....”
“Walaaah.... Nomor hp lo tetep aja kenapa sih?” tanya Nadia sambil menahan tawanya
terhadap kameramen itu. Ia menyalakan mobil dan mengapit ponsel dengan telinga dan
bahunya.
“Nomor yang satu lagi di hp gue yang lain....” jawab Roland sambil cengengesan.
“Susahnya jadi orang kaya.... terserah lo deh. Oh ya, kenapa nelfon gue? Ada job baru?”
“Gue nggak tau juga sih, tapi lo dipanggil bos kekantor. Mungkin ada.”
“Kapan?”
“Jam dua siang nanti....” jawab Roland santai
“’Nanti’? Emang lo kira sekarang jam berapa? Setengah duaa!!” seru Nadia penuh emosi.
Membuat Roland mengganti posisi handphone-nya dari kuping kiri ke kuping kanan. “Udah tau
Jakarta macet....”
“Maaf deh bos! Gue tunggu dikantor ya!”
‘KLIK’ telepon dimatikan oleh Roland. Nadia melepaskan handphone dari genggamannya
dan setengah melempar kearah ranselnya. Memutar habis stir Cherokee merahnya dan keluar
dari halaman perpustakaan. Ia mengarahkan mobilnya kearah jalan raya dan melaju dengan

2
kecepatan 60km/jam, seandainya mobilnya bisa menyelip-nyelip kesana kemari, tentu saja ia
akan mempercepat laju mobilnya.

***

Terlambat adalah hal yang paling tidak cocok dengan Nadia. Menurut gadis itu,
keterlambatan adalah musuh terbesar bagi seorang reporter. Apalagi disaat seperti ini; berjanji
dengan bosnya. Nadia tidak mau ‘keterlambatan’ menjadi perusak karir nya yang saat ini sedang
dirintisnya. Ia selalu dipercaya oleh produser berita tv untuk meliput berita yang berada jauh
dari Jakarta. Nadia senang ke Papua atau ke Timor Leste untuk meliput peperangan-peperangan
antar suku yang kerap terjadi, walau jiwanya--dan jiwa Roland—senantiasa terancam
sepanjang peliputan.
Hanya satu hal lagi yang ingin dicapai oleh Nadia. Ia ingin menyelamatkan dunia dengan
liputannya.
Terdengar konyol memang. Terkadang Nadia bisa tertawa sendiri memikirkan mimpinya
itu. Terlalu muluk? Ya, Nadia menyadari hal itu. Ia pernah menyampaikan hal tersebut kepada
Roland disaat jeda dari meliput, di Aceh.

***

“Sebenernya gue punya cita-cita lho, Land...”


“Apaan? Kayaknya udah kesampaian semua tuh” ujar Roland sambil menepuk bahu
partnernya itu. Nadia hanya tersenyum dan melanjutkan pembicaraannya.
“Gue ingin, emm, semoga aja sih, bisa meliput sesuatu yang berguna bagi seluruh makhluk
bumi”
“Nyelamatin dunia maksud lo?” tanya Roland. Nadia hanya bisa mengangguk. Ia tidak bisa
berkata ‘iya’ karena malu atas cita-citanya yang muluk itu.
“Keren banget lho....” sambung Roland. Nadia sedikit kaget mendengar jawaban dari
kameramen setianya itu. Ia mengira Roland akan mengejeknya dan menertawakan cita-citanya.
Nadia sudah mengepalkan tangan bersiap-siap untuk memukul Roland, walaupun ia sendiri masih
mengejek cita-citanya itu.
“Jangan lupa ajak-ajak gue. Gue kan mau beken juga....” perkataan Roland disambut tawa
oleh keduanya.
“Hahaha.... Pasti!” jawab Nadia bersemangat.

***

Nadia tiba di kantor EightTV tepat jam dua siang. Ia memarkir Cherokee merahnya di
parkiran basement dan melangkah cepat menaiki tangga. Ia memperalambat langkahnya ketika
ia melihat Roland berjarak lima meter lagi.
“Hei!” sahut Nadia.

3
“Yuk....” ajak Roland. Kini mereka berdua berjalan menuju ruangan produser acara berita
TV itu.
“Cepet banget nyampe sini....” kata Roland membuka pembicaraan sambil menawarkan
cappucino ke Nadia.
“Nggak sekarang Roland....” ucap Nadia sediki tergesa ketika pintu kantor produser sudah
didepan mata. Roland tidak menghiraukan dan tidak sakit hati. Ia sudah terbiasa dengan hal itu,
dan dia sangat mengerti sifat Nadia yang tidak kenal kata terlamabat. Begitu Nadia masuk,
Roland hanya duduk dan meminum cappucino itu.
“Maaf Pak, saya terlambat,” ucap Nadia begitu masuk keruangan yang super sejuk itu.
“Ah, sudah datang rupanya.... Tidak apa, saya tidak terburu-buru...” kata si Bos, Pak Dedi.
Ia mempersilahkan Nadia duduk dan melanjutkan pembicaraanya.
“Ini tentang job kamu berikutnya.” Nadia menyimak dengan serius. “Kamu liput kegiatan
‘Green the Earth’ yang diselenggarakan oleh organisasi Green Troopers, di Singapura. Bisa kan?
Tentu saja harus bisa”.
Nadia terdiam beberapa saat. Apa yang dia tidak salah dengar? Singapura? Dia akan pergi
kesana?
“Yah... Mungkin ini cukup mengagetkan. Tapi saya pikir ini sudah saatnya bagi kamu
untuk menjelajahi berita di luar negeri sana. Saya lihat bakat kamu yang berkembang pesat
dan... Saya Cuma bisa mempercayai kamu,” kata Pak Dedi tegas.
“Baik Pak! Terimakasih banyak... Saya akan berusaha sekuat tenaga!” ucap Nadia
bersemangat dengan wajah berbinar.
“Hahaha... Bagus! Saya juga membiarkan kamu untuk memilih staf yang akan ikut
bersamamu. Terserah jumlahnya berapa. Saya kira, satu orang sudah cukup.”
“Terimakasih banyak Pak! Saya akan mengajak Roland untuk ikut serta meliput kegiatan
itu,” ucap Nadia.
“Roland... Ide bagus! Saya harap kamu bisa bekerja sama dengan baik seperti biasanya...”
ucap Pak Dedi sambil tersenyum sebagai rasa percayanya kepada Nadia. Nadia sangat bahagia
mendengar berita baik ini. Memang, Singapura berjarak dekat dengan Indonesia, Nadia bahkan
pernah pergi kesana sekali bersama keluarganya. Tapi kali ini lain, dia akan meliput berita di
negeri orang!
“Kapan saya akan berangkat pak?”
“Waduh, saya hampir lupa memberitahu hal itu kepadamu. Lusa kalian akan pergi, dan
besoknya kalian harus meliput program ‘Green the Earth’ itu,” jelas Pak Dedi.
“Baik Pak. Terimakasih,” ujar Nadia seraya bangkit dari tempat duduknya dan pergi
meninggalkan kantor bosnya itu dengan bahagia. Begitu keluar, dia langsung melihat Roland
yang masih duduk setia menungguinya dengan segelas cappucinonya yang sudah kosong. Begitu
Nadia keluar, Roland langsung menyambut rekan kerjanya itu.
“Ada yang lagi seneng nih...” canda Roland kepada bos mudanya yang baru keluar ruangan
dengan wajah yang berbinar dan senyum yang berseri-seri.
“Hahaha! Tahu nggak?” Nadia iseng membuat Roland penasaran.
“Ya nggak lah kalau gak dikasih tahu!”
“Hahaha... Kita ke Singapura yuk...” ajak Nadia iseng.
“Ha?! Ngapain? Emang Pak Dedi bilang apa sih?” tanya Roland.

4
“Kita... Disuruh... Ngeliput Green Troopers di Singapura!!” ujar Nadia sambil melompat-
lompat kegirangan.
“Green Troopers??! Organisasi dunia yang terkenal itu kan?” tanya Roland antusias. Nadia
hanya mengangguk senang, ia takut suaranya akan mengganggu kegiatan kantor.
“Wah... Mantep banget deh job kali ini!” sambung Roland. Ia mengerti mengapa Nadia
begitu antusias dan bersemangat. Bagi Nadia, meliput oraganisasi dunia adalah batu
loncatannya menuju kancah liputan dunia. Roland hanya bisa tersenyum mendengar tingkah-
tingkah aneh yang dilakukannya temannya itu.
“Eh, lo diem aja dari tadi... Makan yuk! Gue yang traktir...” ajak Nadia.
‘Tuh ‘kan, aneh...’ pikir Roland. Ia mengangguk dan berjalan bersama Nadia menuju
restoran didekat kantor EightTV.

***

Roland. Seorang pria berumur dua puluh tiga tahun, tinggal sendiri di Jakarta, sedangkan
ibunya berada di daerah Sukabumi. Menjadi kameramen sejak berumur dua puluh dua tahun.
Karena baru setahun, ia pertama kali ditugaskan oleh wartawan yang sudah berpengalaman
satu tahun sebelumnya, yaitu Nadia. Tidak ada yang mampu menghitung seberapa banyak
berita yang mereka liput berdua. Dari Sabang sampai Merauke pernah mereka jelajahi. Tapi
hubungan mereka hanya sebatas itu, sesama rekan kerja. Bagi Roland, Nadia adalah seorang
reporter yang handal dan tempat dimana ia dapat belajar, belajar cekatan, sigap, dan bertarung
dengan alam dan dengan teman sesama reporter. Tidak lebih dari itu.
Bagi Roland, Nadia adalah sosok yang patut dikagumi. Masih muda, tetapi sangat berbakat
dan penuh percaya diri dengan mimpinya. Menyelamatkan dunia dari hasil liputan. Wow!
Sebuah cita-cita yang luar biasa bagi semua orang, hanya saja masih banyak orang yang
menyepelekan mimpi itu.
Roland tidak punya mimpi. Ia hanya orang sederhana yang bersyukur dengan
kehidupannya, menjalaninya dengan baik, dan standar saja. Pergi kekantor, pulang, bekeluarga
suatu saat dan menafkahi anak-anaknya kelak semampunya. Ia beruntung berpartner dengan
Nadia, dengan Nadia ia merasa keluar dari kehidupannya yang biasa. Walaupun Nadia tidak
mengubah Roland menjadi ‘bermimpi’.
Hanya satu hal yang diinginkannya sekarang. Membantu Nadia meraih mimpi Nadia...

***

“Ok, jadi gini, kita cari tahu semua hal yang berhubungan dengan program ‘Green the
Earth’ dulu. Yaaah... itu sih tugas gue. Lo juga siapin semuanya kayak biasa ya! Dan besok baru
kita siap-siap dengan perlengkapan pribadi. Oke?” jelas Nadia memberi rencana kedepan
kepada Roland.
“Iya iya bos. Emang baru kali ini gue ngeliput berita?!” ujar Roland sewot sambil terus
memakan nasi goreng seafood, makanan favoritnya.
“Hahaha... Sorry, sorry, gue kesenengan sih. Ngeliput ‘Green Troopers’ aja udah seneng,
eh, ke Singapura lagi!” ujar Nadia sambil tertawa. Roland juga ikut tertawa bersamanya. Jam
5
menunjukkan pukul empat sore, Nadia dan Roland beranjak dari kursinya, dan berjalan menuju
pintu keluar restoran, tentu saja setelah semua tagihan Nadia yang bayar.
Setelah Nadia membayar semua tagihan, Nadia mengambil kunci Cherokee merahnya di
dalam tas dan masuk kedalam mobil. Sedangkan Roland bersiap memakai helm dan
menunggangi motornya. Keduanya pergi dari restoran dan langsung berbeda arah begitu keluar
dari tempat parkir. Didalam mobil, Nadia memutar lagu-lagu band-band kesayangannya dengan
keras dan berfikir untuk langsung mencari informasi serta membereskan barang yang akan
dibawanya lusa begitu ia sampai di rumah. Sedangkan pikiran Roland entah kemana, terkadang
kearah lampu kuning yang berkedap-kedip dan polisi lalu lintas dengan tampang yang seram. Ia
hanya ingin tidur setelah sampai dirumah, soal persiapan keberangkata, ah, bisa dilakukan
besok pagi.

***

Jam tujuh pagi, Nadia dan sepupunya, Intan sudah memulai perjalanan mereka untuk
menjemput Roland dirumahnya. Pesawat menuju Singapura akan berangkat jam sebelas siang,
Nadia sengaja pergi cepat untuk menghindari waktu yang tersita dari macetnya kota Jakarta. Di
mobil mereka berdua menghabiskan waktu dengan berbincang dan bercanda.
“Ciiee... Berduaan lagi sama Roland nih. Senengnya...” ujar Intan iseng kepada kakak
sepupunya yang lebih tua enam bulan itu. Wajar saja mereka berdua bak teman yang tidak
dapat terpisahkan.
“Apaan sih....” balas Nadia sambil mencibir kearah Intan.
“Hahaha... Habis kalian berduaan terus! Bikin iri aja” kata Intan nyeleneh.
“Namanya juga kerja Ntan. Mau kamu sama Roland? Ambil sana,” jawab Nadia sambil
tertawa ringan.
“Siapa juga yang nggak mau Nad. Cakep, pinter, baik, udah punya penghasilan lagi di
zaman ‘susahnya cari kerja’ ini. Ditambah lagi, meng-hor-mati ce-wek! Wah... Yang terakhir itu
nggak ada yang ngalahin, deh”
“Ada yang jatuh cinta nih! Hahaha... Ntar aku jodohin kamu sama Roland baru tahu rasa!”
“Tahu rasa gimana?” tanya Intan yang tidak mengerti maksud perkataan Nadia
“Tahu rasa dikejar-kejar sama cowok kamu yang sekarang itu! Dia mau dikemanain?”
tanya Nadia.
“Yah... Emang kurang update kamu ya... Aku sama dia udah nggak ada hubungan apa-apa
lagi, udah lama kali,” jelas Intan.
“Haa?! Sejak kapan?”
“Masa lalu tidak boleh diungkit...” jawab Intan sok bijaksana.
“Huh... Tapi, bagus deh kalau gitu.”
“Kenapa? Kok bagus?”
“Baguslah, jadi sekarang, aku bisa ngincar dia tanpa segan-segan...” ujar Nadia mencibir
sepupunya. Mereka berdua tertawa-tawa di dalam mobil Cherokee ceria itu. Suasana perkotaan
yang sudah tampak macet menjadi tidak terasa akibat obrolan-obrolan yang mereka lakukan.
Tidak terasa satu jam kemudian, mereka berdua sudah sampai dirumah Roland yang sederhana.

6
“Mana yayang kamu Nad?” tanya Intan begitu ia tidak melihat Roland disekitar rumah
tempat mereka berhenti sekarang.
“Nggak salah, tuh? Yayang kamu kali,” ujar Nadia. Sebelum Intan memukul Nadia, Roland
keluar dari rumahnya dan mengunci pintu sambil terus memikul ransel besar yang
digantungkan di bahunya. Berbeda dengan Nadia, kali ini dia hanya membawa koper berukuran
kecil, yang berisi laporan, informasi, serta baju-bajunya.
“Pagi Nad, Ntan!” sapa Roland seraya masuk ke mobil dan menaruh ransel besarnya tepat
disampingnya.
“Pagii...” jawab Nadia dan Intan bersamaan.
“Kompak banget, pasti sedang terjadi sesuatu nih... Ngomongin gue ya?”
“Pe-de amat...” ujar Nadia sewot. Intan hanya tertawa mendengar sepupunya yang aneh
itu. Perjalanan menuju bandara Soekarno-Hatta Cengkareng dilanjutkan kembali. Dari Jakarta
ke Cengkareng akan memakan waktu satu setengah jam lebih karena macetnya perkotaan.
Mengetahui waktu yang ditempuh akan sejauh itu, Nadia sudah mengambil ancang-ancang
untuk tidur.
“Woi, nggak boleh tidur!” gertak Intan sambil mengguncang-guncang tubuh Nadia.
“Apaan sih?! Ini namanya penghematan energi...” bela Nadia.
“Ajak Roland ngomong, kek!” ujar Intan hanya dengan menggerak-gerakkan bibirnya
tanpa mengeluarkan suara. Nadia menengok sebentar ke belakang joknya, ia melihat Roland
yang hanya memusatkan pandangannya keluar jendela. Timbul juga rasa bersalah Nadia
membuat kameramennya menganggur sendirian. Ia mengambil sebuah roti coklat dari dalam
tas sandangnya dan menawarkan roti itu pada Roland.
“Nih...” kata Nadia sambil menawarkan roti kepada Roland.
“Makasih...” ujar Roland dan mengambil roti tersebut. Melihat kecanggungan yang ada,
Intan menanyakan Roland tentang pekerjaannya sekedar untuk menghilangkan kesunyian.
Begitu banyak terjadi sesi tanya jawab antar Roland dan Intan, terkadang Nadia ikut nimbrung
dan mengeluarkan kata-kata yang konyol. Perjalanan yang awalnya canggung dan penuh
kesunyian pun berubah menjadi perjalanan yang tidak membosankan dan penuh dengan
obrolan. Kemacetan kota pun tidak berpengaruh pagi itu, dalam hati Nadia berterimakasih
kepada Intan yang telah menciptakan kembali ‘Cheeroke ceria’.
Empat puluh menit kemudian, mereka telah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Nadia
mengeluarkan koper kecilnya dari bagasi, Roland mulai menggendong ransel besarnya dengan
setia. Nadia memaksa Intan untuk pulang setelah mengantarnya, kalau Intan menunggunya
tentu saja akan membuang waktu Intan saja. Intan pun mengalah dan pergi setelah Nadia dan
Roland pamit dan mengucapkan terimaksih telah diantarkan. Sebelum pergi Intan menarik
tangan Nadia dan membisikkan sesuatu ditelinga Nadia.
“Jangan macem-macem ya!” Bisikan Intan disambut pukulan dari Nadia.
“Enak aja! Nggak bakalan!” ujar Nadia sambil tertawa.
“Hahaha... Ya udah, hati-hati ya! Roland, titip kakak sepupu aku!” teriak Intan ke Roland
yang mulai melangkah menjauh.
“Hahaha... Sip, bos!” ujar Roland ngasal. Intan pun masuk mobil dan mulai menggerakkan
mobilnya menjauh dari Nadia dan Roland lalu keluar dari arena bandara. Kini Nadia dan Roland
berjalan berdua kearah bandara yang dipenuhi batu bata merah itu.
“Paspor udah bawa?” tanya Nadia.
“Udah...”
7
“Kamera?”
“Pasti...”
“Laptop?”
“Udah...”
“Alat-alat lainnya?”
“Lengkap! Lo sendiri? Paspor? Tiket?” Roland balik bertanya.
“Lengkap juga dong!” jawab Nadia sambil tertawa. Kini ia semakin senang karena
datangnya ia ke Singapore untuk meliput semakin dekat. Dalam hatinya, ia hanya menginginkan
kerjanya yang sukses nanti. Ia tetap tersenyum hingga pesawat keberangkatan datang dan
mereka pergi meninggalkan Jakarta.

8
Bab Dua

Gedung itu sangat ramai. Acara Green the Earth memang telah menyita seluruh mata
dunia. Roland sibuk mempersiapkan kameranya sementara Nadia memastikan penampilannya
baik-baik saja.
“Cepat, Roland... acaranya sebentar lagi akan dimulai...!”desak Nadia.
Roland mengangguk dan mulai mempersiapkan kameranya. Dari tempatnya berdiri,
Nadia dapat melihat beberapa orang petugas keamanan mempersiapkan tempat acara dan
mengamankan wilayah di sekitarnya. Karpet merah sudah digelar saat sebuah SUV hitam
berhenti tepat di depan gedung pertemuan. Pengamanan semakin ketat di sekitar SUV itu.
Roland mengarahkan kameranya ke SUV hitam sementara Nadia mulai melaporkan kejadian.
Dimitri Petropavlovsk keluar dari mobil. Ia seorang pria lima puluh tahun berbadan tegap
dengan mata kelabu yang bersinar cerdas. Nadia tahu kalau pria semacam ini adalah tipe orang
yang berkemauan keras. Ia melangkah dengan tegap, melintasi karpet merah memasuki gedung
pertemuan. Gedung itu setinggi 59 lantai dengan kaca gelap yang memantulkan sinar matahari.
Bersama para wartawan yang lain, Nadia berusaha mengikuti Dimitri Petropavlovsk
masuk ke dalam bangunan.
Jika dilihat dari luar, gedung itu sangat mewah dan modern. Bagian dalamnya jauh lebih
luar bisa. Sebuah ruangan luas dengan lantai yang dilapisi oleh karpet mewah yang empuk.
Tergantung dilangit-langit, sebuah lampu kristal berukuran besar yang bersinar dengan indah.
Nadia mengangkat alisnya. Ia dan Roland segera mencari tempat khusus yang disediakan untuk
wartawan dan mengambil gambar dari sana.
Nadia kembali memulai aksinya, melaporkan peristiwa ini langsung dari tempat kejadian.
Roland melihatnya melalui lensa kamera.
“Saya Nadia Denissa melaporkan langsung dari Singapura,” gadis itu menutup laporannya.
Roland memberikan tanda dengan tangannya yang berarti pengambilan gambar sudah selesai.
Nadia menghela nafas lega. Ia langsung mendudukkan diri di samping Roland.
“Gimana tadi?” tanya Nadia.
“Bagus kayak biasa, kok,” jawab Roland sambil membereskan barang-barangnya. “Lo ‘kan
hebat, Nad...”
“Hush! Gue nggak ada duit kecil, nih...” kata Nadia nyengir. Ia menepuk punggung Roland.
“Ah... Sialan. Gue mau ke toilet dulu.”
“Lo tahu toiletnya di mana?” tanya Roland. “Mau gue temenin?”

9
“Heh..! Ngapain coba ikut? Entar gue tanya aja sama orang.”
Nadia segera bangkit dari kursinya saat Dimitri Petropavlovsk, direktur sebuah
perusahaan elektronik ternama sekaligus pimpinan organisasi Green Troopers naik ke podium
untuk menyampaikan pidato mengenai betapa senangnya ia di perkenankan membuka acara
Green The Earth kali ini. Ia juga menyelipkan sebuah lelucon kecil tentang ikan sarden dan
sepatu kulit yang menurut Roland amat sangat garing.
Roland hanya duduk di sana bersama kameranya menunggu Nadia kembali sambil
mendengarkan pidato Dimitri Petropavlovsk dengan sebelah telinganya.
Sementaraitu, Nadia menjelajahi gedung raksasa yang (ternyata) bernama Grey Tower.
Sebuah bangunan yang bisa dibilang baru saja dibangun. Nadia menelusuri koridor yang di
penuhi orang-orang dari berbagai macam negara dan bangsa. Ia tergagum-kagum melihat
orang-orang ini. Masing-masing mereka berbicara dengan bahasa ibunya masing-masing.
Beberapa berbicara dalam Bahasa Inggris.
“Excuse me, sir... Where’s the restroom?” Nadia bertanya pada salah seorang petugas ke
amanan berseragam.
“In the end of this corridor, turn left and you’ll see a door. Once you entered the door, turn
right. The restroom is in the second door next to the janitor,” jawab petugas keamanan itu dengan
Bahasa Inggris yang terpatah-patah.
“Thank you,” kata Nadia.
Ia langsung melesat ke ujung koridor. Meski ia menderita buta arah akut, Nadia masih
bisa mengingat setipa perkataan si petugas keamanan mengenai arah yang harus di tempuhnya.
Sesampainya di ujung koridor, Nadia berbelok ke kiri. Sekarang ia melihat pintu yang dimaksud
dengan si petugas keamanan.
Tapi sialnya ada dua pintu di sana. Tanpa pikir panjang, Nadia memasuki salah satu pintu
dan langsung berbelok ke kanan. Ia menemukan sebuah pintu lagi dan langsung memasukinya.
Langkahnya terhenti melihat sebuah ruangan kantor dengan perabotan mewah. Nadia
tertegun sejenak. Ia pun berbalik menuju pintu. Saat ia mencapai gagang pintu, ia mendengar
suara dua orang yang tengah berbicara serius. Bukannya terus keluar dari pintu, Nadia malah
melompat ke ujung ruangan dan bersembunyi di bawah sebuah meja ebony yang besar.
Pintu ruangan terbuka dan Nadia dapat mendengar suara langkah kaki memasuki
ruangan itu.
“... Sebentar lagi, kita akan berhasil melakukan perubahan...” kata satu suara. Nadia berani
bersumpah ia mengenali suara itu.
“Jangan buru-buru, sir,” kata suara yang lain. Kali ini terdengar suara serak yang membuat
Nadia membuatnya tak nyaman.
“Sedikit lagi, maka semua orang akan bertekuk lutut padaku...” kata suara pertama yang
bernada dingin.
“Pada kita,” si suara serak mengoreksi. Nadia dapat membayangkan si suara dingin
melemparkan sebuah senyum palsu kepada rekannya. Karena kata-kata yang terdengar
berikutnya dipenuhi kebohongan.
“Ya, ya... pada kita...”
Tiba-tiba, Nadia merasakan ponselnya bergetar di dalam saku. Nadia tersentak kaget.
Percakapan itu terhenti seketika. Nadia mengutuk dalam hati. Sekarang ia sama sekali
tidak berani untuk bernafas.

10
“Kau mendengar sesuatu?” tanya si suara dingin.
“Tidak... pasti karena pendingin ruangan...” jawab si suara serak. “Well, aku senang
mendengar perkembangan rencananya. Aku harus pergi sekarang.”
Nadia mendengarkan saat dua pasang kaki itu meninggalkan ruangan. Ponselnya telah
berhenti bergetar. Ia mendesah lega dan menunggu selama tiga menit sebelum akhirnya
melesat dari ruangan itu dan kabur menuju toilet.
Nadia yakin bahwa suara dingin itu adalah suara Dimitri Petropavlovsk.

***

“Lo harus percaya sama gue, Land!” kata Nadia begitu mereka memasuki taksi untuk
menuju bandara. “Gue yakin dia ngerencanain sesuatu yang jahat...”
“Nggak mungkin, Nad. Dimitri Petropavlovsk adalah pemilik perusahaan elektronik
terkaya, aktivitis lingkungan hidup dan pemimpin organisasi lingkungan Green Troopers. Nggak
mungkin orang kayak dia kepengen nguasain dunia!” bantah Roland. “To the airport,” kata
Roland pada si supir taksi.
Mereka berdua diam sepanjang perjalanan. Tak ada yang berminat untuk berbicara. Nadia
tenggelam dalam pikirannya sendiri. Semalaman ia berusaha meyakinkan Roland, tapi tetap
saja cowok itu menyuruhnya untuk tidak memasukkan jarinya ke dalam sesuatu yang
berbahaya.
Lagi-lagi mereka memasuki pesawat dalam keheningan. Hanya sesekali mereka berbicara.
Nadia yakin ia tidak salah dengar. Ada sesuatu yang direncanakan. Nadia memandang cangkir
plastik di tangannya saat ia berpikir keras. Roland tidak tampak terlalu peduli. Ia cuma
membaca novel sambil mendengarkan musik dari iPod-nya.
Sesampainya mereka di Soekarno-Hatta, Nadia akhirnya tidak tahan lagi. Ia berbalik dan
berdiri melotot pada Roland. Intan sudah berdiri menunggu mereka. Nadia tahu kalau adik
sepupunya itu mengemudikan Cherokee merahnya.
“Denger ya, Land. Gue bakal nyelidikin semua tentang organisasi itu... Nggak peduli lo mau
bantu atau nggak,” kata Nadia pedas. “Lo mau pulang sama gue nggak?”
“Boleh juga,” kata Roland. Nadia menyeret koper besarnya.
Intan menyambut mereka dengan ceria. Setelah beberapa pertanyaan basa-basi, Intan
membantu sepupu tersayangnya ini menyeret koper ke Cherokee merah. Roland melemparkan
ranselnya ke bagasi Cherokee sementara ia meletakkan kameranya dengan hati-hati.
“Jadi gimana pekerjaannya?” tanya Intan dengan ceria.
“Bagus kok,” kata Roland. “Lumayan lancar.”
Perjalanan itu dilanjutkan dengan monolog tanpa henti dari Intan mengenai rencana
liburannya keliling Indonesia. Roland mendengarkan dengan sepenuh hati sementara Nadia
tenggelam dalam pikirannya. Lagi. Nadia tahu kalau dirinya tidak akan bisa menyelidiki masalah
ini seorang diri.
Ia harus menghubungi Danny.

***

11
Lantai teratas EighTV adalah wilayah kekuasaan Pak Dedi. Dimana-mana, Nadia dapat
merasakan hawa Pak Dedi. Bisa dilihat dari lantai ruangan yang putih mengkilat, meja yang
tertata rapi, tong sampah yang bersih... Nadia heran sendiri ada berapa banya cleaning service
yang dipekerjakan di lantai ini.
‘Yang pasti lebih banyak dibandingkan di lantai bawah,’ batin Nadia.
Roland muncul beberapa saat kemudian. Sejak mereka kembali dari Singapura, mereka
belum mengobrol sama sekali. Hanya beberapa patah kata basa-basi, lalu diam. Tanpa banyak
bicara, mereka mendatangi ruangan Pak Dedi (yang jauh lebih mengkilap).
Nadia mengetuk pintu kayu berpelitur coklat dihadapannya. Saat Pak Dedi
mempersilahkan mereka masuk, Nadia membuka pintu kantor dengan perlahan. Kantor itu
masih sama seperti saat terakhir kali mereka berada di tempat itu. Sebuah meja kayu coklat di
tengah ruangan, lemari buku di salah satu dinding, dan sebuah jendela besar yang memberikan
pemandangan indah kota Jakarta.
Pak Dedi tersenyum senang melihat dua anak buah kesayangannya telah kembali dari
tugas mereka. Pria mempersilahkan Nadia dan Roland duduk di hadapannya.
“Nah, bagaimana?” tanyanya penuh semangat.
“Sempurna seperti biasa, menurut saya,” jawab Roland santai. “Tidak ada kendala yang
kami hadapi.”
“Ya, ya. Saya sudah lihat siarannya... Bagus sekali,” kata Pak Dedi. Sepertinya ia sedang
berada dalam mood yang bagus. “Lalu kenapa? Sepertinya ada yang ingin kalian sampaikan,”
Pak Dedi menatap Nadia, “Jadi?”
“Sebenarnya saya—“
“Tidak ada apa-apa, Pak. Cuma sedikit kesalahpahaman antara saya dengan Nadia,”
Roland langsung memotong ucapan Nadia. “Sedikit masalah setelah selesai melaporkan
kejadian.”
Nadia melemparkan pandangan tajam pada Roland, tapi cowok itu berusaha terlihat tidak
bersalah. Ia malah mengalihkan pandangannya ke lukisan abstrak di belakang kursi Pak Dedi
seolah-olah ia mendadak tertarik dengan benda itu. Nadia tahu Roland tidak akan pernah
memberinya kesempatan lagi, jadi gadis itu mencoba kembali.
“Sebenarnya ada yang memenuhi pikiran saya, Pak,” kata Nadia. Roland memelototinya,
tapi Nadia tidak mengacuhkan cowok itu. “Saya mendengar sesuatu yang seharusnya tidak saya
dengar saat berada di Grey Tower.”
Pak Dedi mengangkat alis, meminta Nadia untuk meneruskan laporannya. Roland akan
memotong, tapi Pak Dedi memberinya tanda untuk diam. Roland langsung tutup mulut. Nadia
menceritakan segala hal yang terjadi, semua percakapan yang di dengarnya. Pak Dedi
mendengarkannya dengan baik, sekali-kali bergumam dan mengangguk. Dahinya berkerut
beberapa kali saat mendengarkan laporan dari Nadia.
“... Dan saya yakin, kalau itu adalah suara Dimitri Petropavlovsk,” kata Nadia mengakhiri
laporannya.
Pak Dedi menghenyakkan diri di kursinya. Mata kumbang kecilnya terus mengamati
Nadia dan Roland. Keheningan memenuhi udara untuk beberapa saat. Nadia menunggu Pak
Dedi menanggapi perkataannya.
“Jadi kamu menganggap Mr Dimitri Petropavlovsk terlibat dalam sebuah kegiatan jahat?”
tanya Pak Dedi.
“Ya, Pak,” jawab Nadia.
12
“Dan apa yang kamu inginkan dengan menceritakan ini pada saya?” tanya Pak Dedi. Ia
sudah tahu apa jawabannya, tapi tetap saja ia bertanya.
“Saya harap bapak mengizinkan kami menyelidiki masalah ini,” kata Nadia. “Saya harap,
saat saya sudah mengumpulkan bukti-bukti, bapak akan bersedia menampilkannya di acara
berita televisi nantinya,” kata Nadia. Ia memandang Pak Dedi penuh harap.
“Jadi saat ini, kamu belum punya bukti?” tanya Pak Dedi.
“Belum, Pak. Tapi akan saya usahakan,” jawab Nadia.
“Saya tidak berani ambil resiko,” kata Pak Dedi. Ia menatap Nadia dari balik lensa
kacamatanya. “Ini adalah penyelidikan serius, dan jujur saja saya merasa penyilidikan ini tidak
bisa main-main.”
“Memang tidak, Pak. Bapak bisa memberi kami izin untuk membentuk tim khusus
menyelidiki masalah ini,” kata Nadia.
Pak Dedi menghela nafas dan menggeleng. Nadia memandangnya dengan pandangan
penuh tanya. Roland yang sedari tadi diam saja mulai memperhatikan percakapan ini. Pak Dedi
tampak berpikir dengan keras. Wajahnya menjadi serius selama beberapa saat.
“Tidak bisa, Nadia,” kata Pak Dedi akhirnya.
Nadia memandang Pak Dedi dengan mata terbelalak. Ia akan mengatakan sesuatu saat
Pak Dedi segera memotong ucapannya.
“Ini masalah berat. Dimitri Petropavlovsk bukanlah orang sembarangan. Ia salah satu
orang terkaya di dunia, dan jujur saja, ia memiliki reputasi yang sangat baik di mata masyarakat
dunia,” kata Pak Dedi. Ia memandang Nadia dengan serius. “Aku tidak bisa mengizinkanmu
melakukan penyelidikan masalah ini. Terlalu beresiko. Jangan masukkan hidungmu ke
sembarang tempat, Nadia, apa lagi kalau tempat itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk
dimasuki.”
“Tapi pak—“
“Tidak ada tapi-tapi, Nadia. Mengizinkanmu melakukan penyelidikan berarti mengizinkan
stasiun TV ini terlibat. Aku tidak bisa menempatkannya dalam siatuasi berbahaya seperti.
Lupakan saja masalah ini, Nadia,” kata Pak Dedi. Ia mengalihkan pandangannya pada Roland.
Cowok itu menggeleng.
“Kalau tak ada lagi yang ingin kalian sampaikan, silahkan kembali bekerja. Terima kasih
atas kerja sama kalian,” kata Pak Dedi.
Roland dan Nadia buru-buru bangkit, mengangguk singkat pada Pak Dedi dan langsung
keluar dari ruangan. Nadia tidak mengatakan apa pun saat melintasi koridor mewah gedung
EighTV. Dibelakangnya Roland menyusul.
“’Kami’?” tanya Roland dengan nada sinis. “Lo mau melibatkan gue dalam masalah ini?”
Nadia langsung berhenti dan berbalik, menatap Roland dengan pandangan tajam. Nadia
sedang tidak ingin berdebat saat ini.
“Lo nggak mau terlibat?” tanya Nadia tajam. “Oke! Biarkan gue sendiri! Gue tahu lo punya
‘banyak’ urusan, Roland!”
“Nadia... Bukan itu maksud gue. Kenapa sih lo nggak biarin aja masalah ini? Kenapa lo mau
melibatkan diri ke masalah yang nggak jelas begini?” tanya Roland. “Lo ngelibatin diri juga
nggak ada untungnya. Mending lo buang aja jauh-jauh ide itu dari kepala lo.”

13
“Nggak bisa, Land,” kata Nadia. “Udah setahun kita kerja bersama, gue rasa lo udah cukup
mengenal gue seperti apa. Lo tahu kalau gue nggak akan pernah membiarkan kejahatan terjadi
begitu saja di depan hidung gue.”
“Lo itu bukan pahlawan pebela kebenaran, Nad! ‘Kejahatan di depan hidung lo’? itu
karena lo sembarangan memasukkan hidung ke berbagai tempat. Sekarang, mending lo lupain
masalah kita dan ide gila ini,” kata Roland.
Nadia menghela nafas. Ini pertama kalinya gadis itu beradu argumentasi dengan Roland
sampai seperti ini. Jujur saja, situasi ini membuat Nadia merasa tidak nyaman. Ia dan Roland
bisa dibilang rekan kerja yang sudah seperti sahabat. Diam-diamannya dengan Roland membuat
Nadia agak kesepian juga.
“Gue nggak peduli lo ikut atau nggak, Land. Kalau lo nggak mau, gue bakal kerjain
semuanya sendiri.” Nadia bergegas pergi meninggalkan Roland yang masih berdiri mematung.
Ia tidak peduli Roland akan ikut atau tidak, yang jelas ia tidak bisa membiarkan kesempatan
seperti ini lewat begitu saja. Nadia punya cita-cita yang ingin dikejarnya.
“Nadia! Tungguin!” seru Roland. Ia segera berlari menyusul Nadia. Gadis itu berhenti dan
menatap Roland dengan pandangan penuh tanya. “Lo menang! Oke, lo menang! Gue bakal
ikutan! Lo benar... kita nggak boleh membiarkan hal seperti ini terjadi begitu saja. Gue ikut sama
lo...” kata Roland.
“Trims, Land...” Nadia tersenyum.
Dan lagi, gue udah janji akan membantu Nadia meraih impiannya, batin Roland. Inilah
kesempatan Nadia untuk mewujudkan semua itu.
“Jadi, kita harus ngapain?” tanya Roland.
Nadia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi sebuah nomor. Masih tersenyum, ia
berkata pada Roland,
“Gue rasa, Danny bisa bantu.”

***

14
Bab Tiga

Tempat itu adalah sebuah kekacauan. Pakaian kotor di seluruh penjuru ruangan, gelas-
gelas plastik, buku-buku, tempat tidur yang tidak pernah dibersihkan... Nadia mengernyitkan
hidungnya saat memasuki kamar Danny. Bahkan Roland melangkah dengan hati-hati, berusaha
untuk tidak menginjak benda-benda yang tak diinginkan. Danny, seperti biasa, berambut kusut
dengan baju kaus lusuh. Celana jeans-nya sudah pudar. Ia berkulit pucat, dengan tubuh kurus
tinggi. Ia mengenakan sebuah kacamata berbingkai tebal sementara jari-jari kurursnya terus
mengetik di keyboard komputer.
“Hey, Dan...” sapa Nadia ramah.
Danny menoleh sedikit pada Nadia dengan matanya yang dikelilingi lingkaran hitam.
“Gue udah bertanya-tanya, kapan lagi lo bakal butuh bantuan gue... Panjang umur lo
berdua,” kata Danny. Ia menunjuk tempat tidurnya, mempersilahkan Nadia dan Roland duduk.
Walau sedikit ragu, Nadia duduk, sementara Roland tetap mempertahankan posisinya untuk
berdiri.
“Syukur deh, lo udah tahu gue ke sini mau ngapain...” kata Nadia. “Gue mau lo ngelakuin
sesuatu buat kami.”
“Jadi saksi? Atau jadi wali?” Danny melempar pandangan penuh arti ke Roland dan Nadia.
“Lo mau gue tonjok?” tanya Nadia.
“Oke, oke... Ada masalah apa?”
Nadia menceritakan kembali semua pengalaman yang ia alami di Grey Tower, saat ia
mendengar percakapan rahasia itu. Danny mendengarnya sambil sesekali mengangguk.
Tangannya terus bergerak-gerak lincah di atas keyboard komputer. Roland mengamati keadaan
di sekelilingnya, berusaha membayangkan bagaimana rasanya tinggal di tempat seperti itu.
“Jadi lo pengen gue mencari segala informasi tentang Dimitri Petropavlovsk itu? Cari aja
pake Mbah Google...” kata Danny.
“Kalau Cuma gitu sih, gue juga bisa... Pakai Nyai Wiki juga ketemu!” kata Nadia. “Gue butuh
yang lebih spesifik, Dan... Lo masih hacker jempolan ‘kan?” tanya Nadia. “Cari aja semua
informasi tentang dia, mulai dari yang umum sampai catatan gigi, ukuran sepatu, semuanya!
Bisa?”
Danny tersenyum agak sombong.

15
“Nad, lo biacara dengan orang yang berhasil membobol sistem Departemen Pertahanan
pada usia tiga belas tahun tanpa ketahuan...” kata Danny.
“Apa pun, deh... Kapan gue bisa dapat hasilnya?” tanya Nadia.
“As soon as possible,” kata Danny. “Lo tahu nggak, gue bisa masuk penjara puluhan kali
gara-gara permintaan lo yang kadang suka aneh-aneh.”
“Don’t worry, bro. Rahasia lo aman sama gue,” kata Nadia. Ia menepuk bahu Danny pelan.
“Oke, gue pergi dulu. Yuk, Land.”
Nadia dan Roland keluar dari ruangan itu dan menutup pintu di belakang mereka.
Mereka memasuki Cherokee merah Nadia. Roland yang mengemudi sementara Nadia
duduk di kursi depan. Udara siang itu sepanas biasanya, sementara jalanan ramai dipenuhi
dengan pengemudi mobil dan motor. Lagu “Easier to Run” dari Linkin Park mengisi telinga
Nadia. Nadia tidak begitu menyukai Linkin Park, tapi Roland menyukainya.
Cherokee merah itu berbelok di salah satu perempatan. Beberapakali Roland memaki-
maki pengendara motor yang mengemudi seenak perutnya.
“Heh, kunyuk! Emang ni jalan punya emak lo?!” maki Roland. Nadia terkekeh sekali-kali
saat si pengemudi motor yang terkena sumpah serapah Roland itu terbelalak kaget.
Tidak lama kemudian mereka sampai di restoran favorit mereka, Restoran Keluarga.
Roland dengan cepat memarkir cherokee merah itu dan keluar dari mobil. Nadia
membuntutinya di belakang.
Restoran itu adalah sebuah restoran untuk keluarga dengan berbagai macam pilihan
menu. Mulai dari masakan Padang, sampai Jepang, semuanya ada. Selain itu, suasana yang
nyaman dan menyenangkan juga membuat Nadia, Roland, dan sebagian besar karyawan EighTV
selalu menyambangi restoran itu pada jam makan siang.
“Jadi, sekarang gimana?” tanya Roland pada Nadia setelah mereka duduk di salah satu
meja yang tersedia.
Nadia mengaduk lemon tea dinginnya sambil berpikir. Jujur saja, ia tidaktahu apa lagi
yang harus dilakukannya. Yang perlu mereka lakukan hanyalah menunggu data-data dari
Danny.
“Gue nggak tahu,” jawab Nadia jujur.
“Lo nggak tahu?! Nad... gue kira saat lo ngusulin untuk menyelidiki masalah ini, lo bener-
bener udah yakin dengan semuanya!” kata Roland shock. “Terus gimana dong sekarang?”
“Yaaa... kita tunggu aja kabar dari Danny. Kalau dia sudah dapat data-datanya, gue bakal
minta Pak Dedi memuatnya jadi laporan investigasi sekali lagi. Coba lo bayangin, kalau berita ini
tersebar luas... EighTV adalah televisi pertama yang menampilkannya!” kata Nadia penuh
semangat.
“Kalau ditanya darimana kita dapat informasi? Lo mau ngasih nama Danny?” tanya
Roland. “Lo ‘kan udah janji nggak akan bawa-bawa nama dia.”
Nadia menggeleng. “Nggak. Gue nggak akan pernah ngasih nama Danny. Lo nggak tahu
wartawan itu punya hak untuk menyembunyikan sumbernya?”
“Tahu, sih...” kata Roland. “Tetap aja...”
“Udah, deh. Kita lihat aja gimana kelanjutannya.”

***

16
Beberapa hari kemudian, Nadia kembali muncul di kamar Danny. Roland masih
menemaninya dengan setia. Danny masih duduk di depan komputernya, masih sibuk
mengetikkan sesuatu yang tidak diketahui siapa pun. Tanpa mengalihkan pandangannya dari
layar komputer, Danny mengangsurkan print out data yang dicarinya, bersama dengan sebuha
CD kepada Nadia. Gadis itu menerimanya sambil tersenyum.
“Trims, ya Dan... Tanpa lo, gue nggak tahu mau minta tolong sama siapa lagi...” kata Nadia.
Dengan cepat, dia membalik-balik halaman print out itu.
“Gue seneng bisa bantu lo. Tapi gue rasa, lo udah masukin hidung lo ketempat yang nggak
seharusnya deh,” komentar Danny. “Informasi yang gue cari bisa buat orang kena serangan
jantung lho...”
“Maksud lo apa?” tanya Roland. Cowok itu mengintip sedikit dari balik bahu Nadia. Ia
hanya menangkap sekilas kata-kata yang tertulis di sana.
“Denger, deh... Dimitri Petropavlovsk adalah salah satu orang terkaya di dunia yang
duitnya bisa beli dua puluh pesat Boeing 737 sebulan. Dia pendiri organisasi Green Troopers
yang terkenal di dunia karena keberanian mereka untuk melindungi Ibu Bumi,” kata Danny
masih belum mengalihkan pandangan matanya dari layar komputer. “Sekarang, gue malah
dapat bukti keterlibatan dia dalam organisasi gelap tingkat dunia.”
Mata Roland terbelalak tidak percaya. “Lo becanda...”
Danny menghentikan pekerjaannya dan menoleh ke arah Roland dengan mata gelapnya di
balik kacamata berbingkai tebal.
“Gue nggak becanda. Lo bisa liat sendiri. Dana-dana yang lenyap nggak berbekas,
kegiatan-kegiatan yang kadang nonsense di temapat-tempat yang nggak seharusnya... gue
sempat cari-cari informasi tentang organisasi itu... Namanya Black Star. Bergerak di berbagai
bidang mulai dari pengembangan senjata pemusnah massal, penyelundupan senjata,
perdagangan narkotika sampai pembantaian besar-besaran beberapa waktu yang lalu...”
“Terus, apa hubungannya dengan Dimitri Petropavlovsk?” tanya Nadia.
Danny membuka data-data di Harddisk komputernya dan membuka sebuah file. Di sana,
terdapat satu buah gambar hitam putih yang sedikit buram.
“Lihat gambar ini?” tanya Danny. “Gambar ini diambil dua bulan yang lalu, di tempat yang
dicurigai sebagai tempat pertemuan Black Star. Foto ini diambil oleh seorang maniak mobil.
Saat ia melihat sebuah Jaguar hitam berhenti, ia langsung mengambil gambar ini. Lokasi foto ini
adalah Chicago,” kata Danny. “Si fotografer memasukkan gambar ini ke blog-nya. Dan beberpa
minggu kemudian, blog itu di tutup dan si fotografer ditemukan tewas di salah satu gang sempit
di Chicago. Nama orang itu adalah Herbert Shawn, dan gambar di foto ini, setelah gue cek silang
ke semua tempat yang gue bisa, adalah Dimitri Petropavlovsk.”
“Cuma satu gambar,” gumam Roland. “Itu mungkin cuma kebetulan.”
“Well, awalnya gue pikir begitu, tapi lo harus lihat yang lainnya... hampir di semua tempat
yang dicurigai sebagai tempat pertemuan Black Star, selalu terlihat orang yang mirip Dimitri
Petropavlovsk, dan semua bukti yang merujuk kepadanya selalu disingkirkan,” gumam Danny.
Nadia menatap cowok itu dengan kening berkerut.
“Disingkirkan? Terus, darimana lo dapat semua data ini?” tanya gadis itu.
Danny tersenyum aneh dan kembali mengalihkan pandangannya ke layar komputer.
“Anggap aja, gue punya akses khusus ke database Green Troopers,” jawab cowok itu. “Data yang

17
gue dapat benar-benar tersembunyi dengan baik. Gue nyaris gagal menembus semua
perlindungan yang ada, tapi... voila! Gue dapat datanya...!”
“Apa itu artinya lo meng-hack komputer-komputer Green Troopers?” tanya Nadia.
“Yup,” jawab Danny. “Dan semua itu gue dapat khusus dari data-data pribadi Dimitri
Petropavlovsk. Gue bahkan tahu kalau Dimitri itu punya banyak selingkuhan di seluruh dunia...
lumayan, buat ngancam...”
“Nggak. Lo nggak bakal ngancam siapa pun,” kata Nadia tegas. Ia terus membaca print-out
dari Danny sementara Roland mengintip dari balik bahunya. Ia sendiri kaget melihat semua
informasi yang ditemukan oleh Danny. Nadia tidak percaya kemana ia telah mencemplungkan
dirinya. Tidak ada alasan untuk berhenti sekarang... pikir Nadia. Sudah kepalang basah juga... Ia
mengangkat wajahnya dari kertas-kertas itu dan menatap Danny penuh arti. “Thanks buat
informasinya, Dan... Gue pasti akan balas kebaikan lo ini.”
“Kirim aja balasan lo ke rekening gue...” kata Danny.
“Terserah deh...” Nadia dan Roland keluar dari ruangan itu, langsung masuk ke dalam
Cherokee merah milik Nadia. Kali ini, Nadia yang menyetir. Roland membaca print out yang
diberikan Danny pada mereka. Matanya terbelalak kaget. Nadia melirik ke arah Roland, melihat
perubahan ekspresi di wajah pemuda itu.
“Dari mana Danny mendapatkan semua informasi ini?” tanya Roland membalik dokumen
itu beberapa kali.
“Nggak tahu. Dia nggak pernah mau ngasih tahu cara kerjanya dia,” gumam Nadia. “Yang
jelas, Danny bisa mendapatkan informasi apa pun dari mana pun.”
“Gue nggak percaya,” kata Roland lagi. “Terus, dokumen ini mau lo apain?”
Nadia tersenyum ke arah Roland.
“Pak Dedi kemarin nolak proposal gue tentang masalah ini karena kekurangan bukti,
Land,” kata Nadia sambil terus memperhatikan jalan. Lalu lintas yang macet selalu membuat
Nadia kesal. Saat ini pun, gadis itu menggertakkan dirinya karena harus menarik rem tangan
sekali lagi.
“Lo serius mau nunjukin dokumen ini ke Pak Dedi?!” Roland terbelalak kaget.
“Iya.”
Roland menatapnya dengan mata terbelalak.
“Gue pikir lo Cuma bercanda...”
“Gue serius.”
“Lo udah gila, yah?”
Nadia hanya terkekeh sambil terus menembus belantara kemacetan di siang hari bolong
itu.

***

“Tidak bisa.”
Nadia terbelalak kaget menatap pria dihadapannya ini. Apa dia tidak salah dengar? Pak
Dedi baru saja menolak proposalnya... lagi? Padahal Nadia yakin ia sudah punya cukup bukti

18
untuk membongkar jati diri Dimitri Petropavslovsk. Nyaris saja gadis itu memaki di hadapan
bosnya. Roland hanya menggigit bibir, menatap perubahan ekspresi Nadia.
“Tapi... kenapa...?” tanya Nadia. Ia memandang Pak Dedi dengan tatapan tak percaya.
“Sederhana,” Pak Dedi menggeser posisi duduknya, “Sumber informasi ini tidak jelas.”
“Bukankah saya punya hak untuk merahasiakan sumber saya?” tanya Nadia tajam. Tidak
ada alasan bagi Pak Dedi untuk menolak beritanya.
“Bukti kurang lengkap,” kata pria itu lagi.
“Semua ini masih kurang?” tantang Nadia mengacungkan print out di tangannya.
“Nadia, saya tahu kamu ingin sekali mengangkat berita ini, tapi ini bukan main-main.
Dimitri Petropavslovsk bukanlah orang kaya biasa. Dia salah satu tokoh berpengaruh di dunia
saat ini. Tanpa bukti yang kuat, kita hanya akan memposisikan diri di tempat yang berbahaya.
Kalau kau tidak hati-hati, kita semua akan dihancurkan berkeping-keping,” kata Pak Dedi. Ia
menatap Nadia dan Roland dengan pandangan serius.
“Anda masih menolak proposal kami untuk menampilkan berita ini?” tanya Nadia.
“Maafkan saya, Nadia, tapi kita tidak bisa menampilkannya,” Pak Dedi menghela nafas.
“Dan ini adalah keputusan final saya.”
Sesuatu dalam nada suara Pak Dedi membuat Nadia mengerti bahwa diskusi telah usai,
mereka bisa meninggalkan ruangannya sekarang.
Cemberut, Nadia keluar dari ruangan itu. Roland mengikutinya di belakang.

***

Nadia membanting dokumen itu ke atas mejanya dan mengerang frustasi. Sia-sia!! Ia
menghempaskan diri ke kursi dan menutup wajahnya dengan telapak tangan. Roland tidak
berkomentar apa pun melihat kondisi Nadia. Ia mendudukkan dirinya sendiri di mejanya, di
samping meja Nadia.
“Kenapa dia nggak bilang dari awal?!” gerutu Nadia. Suaranya teredam oleh telapak
tangannya. “Kenapa dia membiarkan kita mencari kesana-kemari lalu menolak proposal kita
mentah-mentah?!”
“Nad...”
“Gue yakin si perlente itu kelewat pengecut!” gerutu Nadia lagi. “Dia pengecut yang nggak
berani menampilkan kebenaran!”
“Nad...”
“Kurang bukti?! Memang dia bisa nyari informasi sedetail ini?!” Nadia terus menggerutu.
“Dia Cuma mencari-cari alasan buat nutupin kepengecutannya!!”
“NAD!!” Roland membentaknya.
Nadia mengangkat wajahnya, menatap Roland dengan tatapan bingung.
“Apa?” tanya Nadia berusaha terdengar se-innocent mungkin.
“Bisa berhenti nggak? Lo kayak anak-anak dilarang orang tuanyabuat beli permen dan
mulai ngomel-ngomel gitu deh...” komentar Roland.
“Hah? Lo nggak bisa cari persamaan yang lain, yah?” tanya Nadia dengan tampang kesal.

19
“Bisa-bisanya lo komentar begitu? Setelah kekonyolan yang lo lakukan barusan?”
“Oke, oke... sorry... gue agak frustasi,” kata Nadia nyengir. Ia merasa agak bersalah. Yah,
seharusnya ia tidak bersikap seperti itu. Ia harus bisa mengontrol emosinya. Nadia tersenyum
lagi.
“Jadi sekarang dokumen itu mau lo apain?” tanya Roland.
Nadia berpikir sejenak. Ia meraih vas bunga (yang sekarang jadi tempat pensil dan pena)
dan menuangkan seluruh isinya ke atas meja. Nadia mengambil sebuah kunci kecil yang sudah
agak karatan. Dengan kunci itu, ia membuka salah satu laci mejanya (yangtidak pernah dibuka
sejak setahun yang lalu) dan memasukkan dokumen itu ke dalamnya. Kemudian Nadia
memasukkan kunci itu ke vas dan kembali menata semua pensil dan penanya.
“Masalah selesai,” gumam Nadia ringan. Roland memutar bola matanya.
Bab Empat

From : Rory_atmojo@foxhead.com
To : nadia_d@xmail.com
Subject : [ No Subject ]

Yang terhormat, Ms. Nadia Denissa


Saya telah beberapa kali melihat laporan investigasi anda dan saya rasa akan sangat
menarik jika saya bisa berbicara dengan anda mengenai salah satu berita menggemparkan yang
ingin anda tampilkan kepada masyarakat. Saya mengerti anda mungkin akan menghiraukan e-
mail ini, tapi saya berharap dapat berbicara dengan anda sesegera mungkin.
Tolong segera balas e-mail ini jika anda tertarik.

Tertanda,

Rory Atmojo

From : nadia_d@xmail.com
To : Rory_atmojo@foxhead.com
Subject : Re:

Saya sudah terima e-mail anda. Saya rasa kita dapat berbicara segera. Silahkan hubungi
ponsel atau telepon kantor saya untuk mengatur jadwalnya. Saya tidak akan datang sendiri.
Saya akan mengajak rekan kameramen saya.

20
Tertanda,

Nadia Denissa

“Gue nggak percaya,” kata Roland saat membaca e-mail yang ditunjukkan Nadia. Saat itu
jam makan siang dan mereka duduk berhadap-hadapan di Restoran Keluarga. Nadia
mengangkat wajahnya dari ayam goreng yang dipesannya, menatap Roland dengan pandangan
bertanya.
“Maksud lo?” tanya Nadia.
“Nad, gue ngerasa pengirim e-mail ini udah lama ngamatin lo diam-diam...” kata Roland.
“Lo nggak merasa curiga sama sekali?”
Nadia mengunyah makanannya dan langsung menelan semua. “Gue udah minta Danny
nyelidikin semua tentang Rory Atmojo. Dia bekerja di perusahaan Foxhead, sebuah perusahaan
raksasa multi-negara yang bergerak di bidang pengembangan teknologi dan penelitian sains.
Gue udah punya data tentang dia dari ukuran sepatunya sampai berapa istrinya.”
Roland mengangkat alis mendengar hal itu. Nadia memang tidak pernah tanggung-
tanggung meminta Danny menyelidiki segala sesuatu. “Terus?” Roland memancing.
“Yaaah... Foxhead Enterprises ini punya saingan berat... namanya SilverSky International,”
kata Nadia dengan sabar.
“Terus?” pancing Roland lagi.
“Yah... pemilik SilverSky International itu Dimitri Petropavlovsk,” kata Nadia.
Roland mengangkat alisnya mendengar hal itu. Ia menyendok nasi di piring dan akan
membawanya ke mulut saat gerakannya tiba-tiba terhenti. Ia menatap Nadia dengan mulut
ternganga.
“Maksud lo... berita yang mereka maksud itu...”
“Yup. Berita tentang Mr. Petropavlovsk,” kata Nadia menyeringai.
Roland menggeleng. Ia tidak bisa mempercayainya. Bagaimana mungkin orang-orang
Foxhead tahu mengenai penyelidikan Nadia terhadap Dimitri Petropavlovsk? Benar-benar
omong kosong. Nadia tidak pernah membahas masalah ini selain dengan Roland, Danny dan Pak
Dedi. Satu-satunya kecurigaan Roland adalah Danny yang membocorkan informasi ini, tapi
pemuda berkulit pucat dengan rambut berantakan itu tak mungkin melakukannya. Danny
bukanlah tipe orang yang dengan mudahnya berkhianat.
“Nad, lo yakin itu berita yang mereka maksud?” tanya Roland.
“Apa lagi? Masa mereka mau berita tentang kenaikan harga bawang merah?!” Nadia balas
bertanya.
“Nadia, gue serius! Lo nggak bisa terima tawaran kayak gini begitu aja! Ini bakalan jadi
berbahaya...” kata Roland.
“Well, gue udah nyusun jadawal pertemuan sama Pak Rory. Lo harus nemenin gue, Land,”
kata Nadia.
“Ogah!”
“Ayo dong, Land...” rengek Nadia.
21
“Gue nggak mau nyemplungin diri ke bara api...!” kata Roland menggeleng tegas.
“Yeeee... siapa yang nyuruh lo nyemplungin diri ke bara api?! Gue Cuma ngajakin lo
ketemuan sama Pak Rory ini kok!” kata Nadia. “Ya? Ya? Please... banget...”
“Nad...”
“Ya udah, gue pergi sendiri!” kata Nadia cemberut.
“Nggak boleh!! Oke, oke! Gue ikut nemenin lo...!” Roland akhirnya menyerah. Ia agak ngeri
membayangkan Nadia pergi sendiri menemui orang yang nggak jelas ini. Bagaimana kalau nanti
gadis itu malah mendapat masalah? Semoga tidak!

***

Nadia melangkah ringan memasuki apartemennya. Di luar, malam telah menyelimuti kota,
meninggalkan gemerlap kota dengan aneka lampu warna-warni. Koridor apartemen itu gelap,
membuat Nadia bertanya-tanya apa lampu koridor sudah putus lagi. Rasanya baru kemarin ia
mengganti bohlamnya.
Gadis itu merogoh saku jaketnya, berusaha mencari kunci apartemen di tengah
keremangan koridor. Tiba-tiba tangannya berhenti. Nadia berbalik, menatap ujung koridor yang
gelap. Ia yakin mendengar suara langkah kaki dari arah itu. Nadia berusaha menenangkan diri,
memerintahkan imajinasinya yang terlalu liar untuk tenang. Ia kembali mencari kunci
apartemennya. Lagi-lagi suara itu terdengar dan gerakan Nadia kembali terhenti.
“Sial...” maki gadis itu pelan saat tangannya tergelincir dan menjatuhkan kunci itu ke
lantai dengan bunyi berdencing keras. Nadia berjongkok untuk memungut kuncinya dan
menjejalkan benda itu ke lubang kunci. Nadia memutar kunci.
Tidak bisa.
Ia mencoba memutar sekali lagi, masih tak ada yang terjadi. Tanpa pikir panjang, Nadia
memutar kunci ke arah sebaliknya. Terdengar bunyi ‘ceklik’ mekanis. Nadia mendorong pintu
terbuka, tapi tak ada yang terjadi. Nadia mendengus. Tentu saja! Ia memutar kunci ke arah yang
salah. Sekarang pintu itu terkunci.
Nadia memutar kunci ke arah semula. Ia membuka pintu. Hal pertama yang disadari
Nadia saat membuka pintu adalah angin yang berhembus melalui pintu yang terbuka. Nadia
terdiam saat ia menyadari jendela yang terbuka. Buru-buru, ia meraba-raba mencari saklar
lampu. Pemandangan yang menyambutnya membuat Nadia terbelalak kaget.
Ia meraih ponsel di saku dan langsung menghubungi Roland.

***

Roland tiba di sana beberapa menit kemudian, setelah polisi memeriksa semua barang-
barang yang ada di dalam apartemen. Nadia memastikan tidak ada apa pun yang hilang. Kamar
itu hanya di acak-acak, kertas-kertas bertebaran di lantai dan barang-barang dikeluarkan dari
laci mejanya.
Nadia mengeluh saat memunguti semua barang-barangnya yang bertebaran di lantai.
Para polisi memastikan akan menyelidiki kasus ini. Meski mereka meyakinkan ini Cuma kasus
pencurian biasa. Mereka akan segera menyampaikan informasi apa pun yang mereka dapatkan.

22
Para polisi juga meminta Nadia untuk segera meginformasikan mereka tentang perkembangan
apa pun.
“Jadi benar-benar nggak ada yang hilang?” tanya Roland. Nadia mengangkat bahu.
“Sejauh ini nggak,” kata Nadia. “Tolong ambilin kertas-kertas di sana, dong...”
Roland mengambil kertas-kertas yang dimaksud Nadia. Nadia menyusun kembali barang-
barangnya.
“Bukannya aneh kalau mereka nggak ngambil apa-apa?” Roland bertanya lagi. Nadia
mendengus sambil menyusun buku-bukunya ke dalam lemari.
“Mereka memang nggak niat mengambil apa pun kok,” kata Nadia. Ia menunjukkan
sebuah kertas lusuh pada Roland. Roland menatap kertas itu dengan pandangan bertanya.
Roland membuka lipatan kertas dan membaca tulisan yang tertera di dalamnya.

Akan sangat bijasana kalau saja anda tidak sembarangan menjejakkan kaki di tanah yang
tidak anda kenal.

“Ancaman?” tanya Roland.


“Yup,” Nadia memasukkan semua pakaiannya ke dalam lemari sementara Roland tidak
mengalihkan pandangannya dari kertas itu. Berbagai pikiran berkecamuk di benaknya.
“Lo nggak ngasih tahu masalah ini ke polisi?” tanya Roland.
“Nggak. Toh, gue tahu ini semua tentang apa,” kata Nadia berbalik, menatap Roland.
Roland menatap gadis itu dengan pandangan bertanya. Nadia menyeringai melihat
ekspresi Roland.
“Gue rasa, Dimitri Petropavlovsk nggak bakalan diam kalau ada yang ngorek-ngorek
rahasianya...” kata Nadia. “Gue nggak mau semua orang tahu apa yang sedang gue selidikin,
Land. Ditambah sekarang Mr. D udah tahu apa yang gue lakukan... gue rasa dia nggak bakalan
diam.”
Roland menatap Nadia dengan cemas. Sejak awal, pemuda itu tahu Nadia sudah
melibatkan diri ke dalam kejahatan kaliber internasional dengan tokohnya orang-orang penting
dan super-kaya. Dimitri Petropavlovsk mampu membayar berapa pun untuk memastikan Nadia
terbunuh sebelum rahasianya tersebar luas.
“Nad, lo harus menarik diri dari masalah ini...” kata Roland pada Nadia.
“Dengan apa yang sekarang gue dapatkan? Land, lo tuh naif banget, sih... Mereka tetap
nggak bakalan biarin gue begitu saja setelah apa yang ada di tangan gue. Mereka tetap bakal
terus ngawasin gerak-gerik gue,” kata Nadia. “Lo pikir kalau gue narik diri, mereka bakal
membiarkan gue hidup gitu aja? Nggak bakal, Land!”
“Tapi setidaknya lo bisa mengamankan diri lo... Lo nggak harus menyelidiki semuanya,
Nad...” kata Roland berusaha mengubah pikiran Nadia. Gadis itu menggeleng. Roland tidak akan
mampu mengubah pikirannya.
“Yang gue butuhkan cuma jawaban, Land,” gumam Nadia. “Gue bakal menemui Pak Rory
dari Foxhead, besok. Lo bakal nemenin gue?”
Roland mengangguk. Nadia tersenyum.
“Udah malam, Land... Lo nggak pulang?” tanya Nadia.

23
“Lo nggak apa sendiri?” tanya Roland.
“Heh... Lo mau nemenin gue?! Pulang sana! Gue cuma sendirian di sini. Dan seharusnya lo
udah keluar dari tadi...” seru Nadia.
“Pintu kebuka kok...” kata Roland.
“Tetap aja! Keluar! Waduuuuh...” Nadia memang agak paranoid soal mengizinkan cowok
masuk ke rumahnya saat ia sendiri. Bahkan kalau pun cowok itu adalah sahabatnya sendiri.
Bukannya curigaan, tapi sejak kecil, ibunya sudah mengajarkannya tentang bagaimana menjaga
diri sebagai seorang perempuan.
“Yakin?” tanya Roland lagi. “Gue nggak bakal aneh-aneh, kok...”
“Nggak! Lo harus pulang sekarang. Kalau ada apa-apa, gue telepon, oke? Nah... cepet lo
keluar...”
Roland mengangkat alisnya, berbalik dan keluar dari apartemen Nadia. Kalau saja dia
tidak mengerti Nadia, ia akan sangat tersinggung diusir begitu saja. Tapi Roland mengerti arti
sikap Nadia itu. Memang tidak seharusnya ia berada di apartemen Nadia pada jam-jam seperti
ini. Roland terkekeh sebelum naik ke atas sepeda motornya.
Sementara itu, Nadia membaca ulang kertas dihadapannya. Ia berharap dapat
menemukan petunjuk apa pun. Kalau Dimitri Petropavlovsk memang mengancamnya, maka ia
tidak punya pilihan lain selain menarik diri dan berhenti menyelidiki. Tapi Nadia tidak percaya
kalau pria itu akan melepaskannya begitu saja. Dimitri Petropavlovsk menginginkan
kematiannya. Pikiran itu terus menghantui pikirannya. Sesuatu di dalam surat itu membuat
Nadia berpikir bahwa itu bukanlah surat ancaman, tetapi surat kematian.
Seperti yang dikirimkan oleh seorang pembunuh berantai sebelum membantai
korbannya, pikir Nadia. Gadis itu menggigit bibirnya cemas. Ia berjalan mengelilingi ruangan
tengahnya, dimana sebuah sofa, televisi, satu set DVD player, koleksi kaset dan barang-barang
lain tertata rapi dengan gaya minimalis. Nadia mengamati foto-foto di dinding hingga matanya
tertumbuk pada satu foto.
Berlatar belakang alam pedesaan Inggris, Nadia tersenyum ke arah kamera sementara di
sampingnya seorang pemuda blasteran Inggris-Indonesia dengan rambut hitam gelap, kulit
putih, dan badan tinggi tetap nyengir menatapnya. Sebuah topi hitam bergambar Union Jack
melindungi mata coklatnya dari sinar matahari.
Nadia melihjat catatan yang ditambahkannya di bagian bawah foto.
Nadia and Matt, Darthmouth, UK
Tidak tertulis tanggal di foto itu, tapi Nadia masih mengingatnya. Foto itu diambil dua
tahun yang lalu, saat Nadia berlibur ke Inggris. Ia bertemu dengan seorang tentara S.A.S (Special
Air Service) bernama Matthew Smith, seseorang yang disayangi Nadia kemudian. Saat Nadia
menghabiskan tiga bulan masa liburannya di tempat itu, ia dan Matt menjadi sangat dekat.
Hingga Nadia pulang ke Indonesia, Matt masih mengiriminya e-mail, menceritakan segala
pengalamannya menjadi seorang tentara. Mereka terus saling mengirim e-mail hingga akhirnya
Nadia tidak lagi menerima e-mail dari Matt.
Keesokan harinya, Nadia menerima telepon dari Mrs. Smith, ibu Matt. Ditengah isaknya,
wanita itu mengatakan bahwa Matt dinyatakan MIA. Missing In Action. Hilang dalam tugas.
Nadia masih ingat ia hanya berdiri di sana, telepon menempel di telinga sementara Mrs. Smith
berjanji akan mengirimkan surat terakhir yang ditulis Matt untuknya...
Tapi surat itu tak pernah datang.

24
Dan Nadia menguburkan perasaannya dalam-dalam. Ia membuang semua foto-foto Matt
dan dirinya. Kecuali foto yang satu ini. Nadia tetap menyimpannya, untuk mengingatkannya
pada orang yang disayanginya itu.
Suara dering telepon membuat Nadia tersentak dari lamunannya. Ia melangkah ke sebuah
meja kopi kecil di sudut ruangan dan mengangkat telepon.
“Halo?” sapa Nadia dengan suara yang agak bergetar. Jujur saja, ia sedikit kaget tadi.
“Nona Nadia Denissa? Saya Rory Atmojo dari Foxhead Enterprise,” kata satu suara di
ujung telepon. Nadia mengangkat alis mendengar nama itu sambil melirik jam dinding. Pukul
03:30 pagi... waktu yang aneh untuk menelepon.
“Ya, ada apa?” tanya Nadia.
“Maaf mengganggu anda pada jam seperti ini... saya harap saya tidak mengganggu?” tanya
suara itu.
“Tidak... tidak apa...” kata Nadia. “Ada apa, Pak Rory?”
“Mengenai jadwal pertemuan kita... apakah kita bisa mempercepat waktunya? Saya tahu,
kemarin kita menyepakati waktu pertemuan pukul satu siang, bisa kita percepat jadi pagi ini?
Sekitar pukul sembilan pagi?” tanya Rory di ujung telepon.
Nadia berpikir sejenak. Berarti ia harus menelepon Roland untuk memberitahukan
masalah perubahan waktu pertemuan ini. Tanpa pikir panjang Nadia langsung menyetujui
waktu pertemuan itu. Di ujung telepon, Rory mengucapkan terima kasihnya dan meminta maaf
karena telah mengganggu waktu istirahat Nadia. Setelah itu, Nadia menutup telepon. Ia
langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Roland.
“Ha...l-lo?” suara Roland terdengar mengantuk di ujung sana.
“Land, lo udah tidur?” tanya Nadia.
“Tadinya udah nyaris ketiduran... eh, lo malah nelepon... kenapa?”
“Land, Pak Rory tadi nelpon, dia bilang mau menggeser jadwal pertemuan jadi jam
sembilan pagi. Lo masih bisa nemenin gue ‘kan?”
“Masih, masih,” kata Roland. “Gue jemput lo atau lo ke tempat gue?”
“Gue ke tempat lo aja, deh.”
“Siiip... udah, ya, gue mau tidur dulu.”
Roland menutup telepon.

***

Jam sembilan pagi, Nadia duduk di hadapan seorang pria berusia awal tiga puluhan
bertubuh ramping dengan rambut hitam berkilau yang disisir rapi. Ia mengenakan setelan jas
mahal berwarna kelabu, sepatu kulit asli buatan Italia (menurut penglihatan Nadia) dan
penjepit dasi emas yang berkilau. Sebuah kacamata bergagang tipis menampilkan kesan cerdas
di wajah perseginya. Rory Atmojo tersenyum saat Nadia dan Roland menyalaminya dengan
ramah.
Tempat pertemuan yang mereka pilih adalah sebuah cafe yang menyediakan berbagai
macam minuman dan makanan. Mereka duduk di sebuah meja yang agak tersudut sehingga
memberikan mereka sedikit privasi. Seorang pelayan menghampiri meja mereka menanyakan
pesanan. Rory memesan kopi, Roland memesan latte sementara Nadia memesan teh. Nadia
25
berusaha mencegah dirinya untuk memesan kopi karena kelopak matanya yang tidak bisa di
buka. Di bagian bawah matanya terdapat lingkaran hitam yang menunjukkan bahwa gadis itu
kurang beristirahat.
“Anda kelihatan sangat lelah,” kata Rory. “Perkenalkan, saya Rory Atmojo, asisten Mr. Neil
Welsh, direktur Foxhead Enterprise.”
“Saya rasa bapak sudah mengenal saya, nama saya Nadia Denissa dan ini rekan kerja saya,
Roland. Dia yang selama ini selalu membantu saya,” kata Nadia dengan ramah.
“Ah... ya, ya... anda kameramen?” tanya Rory. “Yah, tidak masalah...” kata Rory. “Saya
bukan orang yang bertele-tele, jadi saya langsung ke intinya saja,” Rory tersenyum pada si
pelayan yang mengantarkan pesanan mereka. “Nona Nadia, anda tahu bahwa Foxhead adalah
salah satu perusahaan terbesar di dunia, ‘kan? Nah, kami mengetahui bahwa anda sedang
menyelidiki Dimitri Petropavlovsk dan Green Troopers-nya, benar?”
“Ya,” jawab Nadia. Ia sudah dapat membayangkan arah pembicaraan ini.
“Dengan sumber daya yang kami miliki, kami bersedia membantu anda menyelidiki
masalah ini,” kata Rory. “Mr. Welsh bersedia membayar anda berapa pun yang anda minta dan
membiayai semua penyelidikan anda.”
“Semua?” tanya Nadia memastikan.
“Ya,” jawab Rory tersenyum meyakinkan.
Nadia mengangkat alis. “Dan atas dasar apa Mr. Neil Welsh ingin membantu penyelidikan
saya?”
“Mr. Welsh sudah menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan Green Troopers dan
sebagainya. Ia sendiri telah meyelidiki mengenai Dimitri Petropavlovsk. Hanya saja, ia tidak bisa
melakukan semua itu seorang diri, mengingat beliau adalah salah satu orang terkaya dunia.
Maka ia meminta anda untuk melakukan penyelidikan ini.”
“Bukankah seharusnya Mr. Welsh bisa menyewa detektif atau siapa pun yang lebih hebat
dari saya?” tanya Nadia. Ia tidak akan jatuh semudah itu hanya dengan bujukan uang.
“Bisa saja. Tapi anda memiliki latar belakang yang menurut beliau menarik. Oleh karena
itu dia secara khusus meminta anda menyelidiki masalah ini...”
“Walau saya cuma seorang wartawan biasa dari stasiun TV yang biasa?” tanya Nadia
tajam.
“Yah, beliau merasa anda tidak akan terlalu mencolok jika bergerak ke sana kemari
bertanya tentang segala hal. Anda ‘kan wartawan...”
“Saya reporter TV,” koreksi Nadia.
“Sama saja. Anda harus mau bekerja sama dengan kami karena jujur saja, saat ini nyawa
anda terancam bahaya,” kata Rory serius. “Anda sudah mengorek-ngorek keterangan mengenai
Dimitri Petropavlovsk dan Green Troopers-nya. Saya yakin dia tidak akan diam begitu saja.”
Nadia merengut kesal. “Saya bisa menjaga diri saya sendiri.”
“Benarkah?” tanya Rory dengan nada mengejek. “Kalau saya tidak salah kemarin malam
apartemen anda dimasuki seseorang, betul?” Nadia mengangguk. “Wah... ada barang yang
hilang?” tanya Rory.
“Tidak ada,” jawab Nadia tenang.
“Sesuatu yang ditinggalkan?”
“Tidak ada.” Terlalu cepat!

26
Rory mengangkat alis dan tersenyum. “Yah, walau pun begitu, kami telah menyewa satu
orang bodyguard untuk menjaga anda.”
“Saya rasa tidak perlu repot-repot...”
“Perlu, Nona. Anda tidak berada dalam posisi yang aman sekarang. Kami akan
memprioritaskan keamanan anda dan rekan anda,” kata Rory. Pria itu melihat jam tangan emas
yang melingkari pergelangan tangannya. “Saya rasa bodyguard anda akan tiba sebentar lagi...”
Tepat setelah Rory berkata seperti itu, suara bel di pintu cafe berdenting, menandakan
seseorang telah memasuki cafe. Terdengar sekilas percakapan, lalu sesosok tubuh tinggi dan
tegap muncul. Pria itu tak mungkin lebih dari tiga puluh tahun dengan rambut coklat gelap
berantakan, mata biru dalam dan kulit coklat kemerahan terbakar matahari. Meski memiliki
sedikit tampang Asia di wajahnya, jelas ia bukan orang Indonesia tulen.
Saat melihat sosok dan wajah itu Nadia terkesiap.
Gadis itu mengenalinya.
“Scott?” tanya Nadia dengan suara tercekik. Pria itu menatap Nadia dengan mata
terbelalak kaget.
“Nadia?”

***

27
Bab Lima

Mereka hanya berdiri di sana, bertukar pandang. Roland dan Rory tidak mengerti situasi
ini. Roland tidak tahu bagaimana Nadia bisa mengenal pria blasteran ini. Nadia tidak banyak
bercerita tentang pengalamannya sebelum bergabung di EighTV. Toh, selama ini Roland tidak
berani bertanya-tanya karena Nadia akan langsung mengubah topik pembicaraan. Sekarang
Nadia menatap sosok tegap ini dengan pandangan tak percaya.
Pria blasteran itu tersenyum ramah.
“Apa kabar?” tanyanya. Roland harus mengakui bahasa Indonesia-nya bagus sekali.
“Baik,” jawab Nadia. Nadanya agak sedikit dingin.
Rory merasakan ketegangan yang menggantung berat di udara. Ia berdehem, menarik
perhatian Nadia.
“Perkenalkan, Nona, ini Scott MacDonough... Dulu dia bekerja di—“
“S.A.S,” potong Nadia langsung. “Saya mengenalnya.”
“Benarkah?” tanya Rory. “Wow, kalau begitu saya tidak usah saling memperkenalkan
kalian. Tapi saya rasa MacDonough tidak mengenal Roland?” Rory tersenyum pada Scott. Scott
menggeleng, ia tersenyum saat menjabat tangan Roland.
“Scott MacDonough,” kata Scott mantap.
“Roland,” kata Roland tak kalah mantapnya. Sesuatu pada diri Scott membuat Roland
menyenanginya, meski Nadia bersikap dingin pada orang ini. Tapi itu tidak mengubah pendapat
Roland bahwa Scott adalah orang yang menyenangkan.
Tidak lama setelah itu, Scott mengambil tempat duduk di samping Rory setelah Rory
mempersilahkannya. Berbeda dengan Nadia, Scott sama sekali tidak menunjukkan kekagetan di
wajahnya begitu melihat Nadia, orang yang dianggapnya sangat dekat dulu.
Sementara Nadia masih terus memandang sedikit aneh kearah Scott, berbagai pertanyaan
berputar di otak Nadia. Ia mengenal Scott dengan baik. Scott adalah sahabat Matt di kemiliteran.
Sekarang Scott muncul di hadapannya, sebagai bodyguard. Apa yang terjadi dengan karir Matt di
S.A.S ? Kemana saja selama ini ia menghilang? Nadia tidak mendengar kabar apa pun mengenai
Scott sejak Matt menghilang.
28
Suasana sempat hening dalam beberapa detik setelah kedatangan Scott ke cafe yang
elegan itu. Untung Rory dengan cepat mengembangkan senyumnya yang sedikit membawakan
suasana ‘hangat’ sebelum ia melontarkan perkataanya.
“Sampai dimana kita tadi?” tanyanya. Mata Nadia langsung menggantikan arah
pandangannya ke arah Rory dan mencoba kembali fokus kepembicaraan mereka.
“Sampai... Bodyguard?” jawab Roland ragu. Rory kemudian mengangguk dan
membenarkan posisi duduknya.
“Ya. Kabar baiknya ternyata Scott dan Nona Nadia sudah saling mengenal, setidaknya hal
itu akan membantu memperlancar tugas Scott dan pekerjaan kita. Betul kan Nadia?” kata Rory
sambil tersenyum, Nadia mengangguk pelan.
“Jadi apa rencananya sekarang?” tanya Nadia begitu ia kembali normal.
“Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, kami akan memberikan berapapun dan
yang kau perlukan dalam penyelidikan ini, jadi semua tindakan penyelidikan berjalan sesuai
dengan rencanamu, kami hanya membantu semampun kami. Oleh karena itu bisakah setelah ini
kita ke tempat tinggal mu?” ucap Rory, Nadia merengutkan alisnya.
“Seperti yang kita semua tahu, tempat tinggalmu sudah diketahui oleh organisasi Dimitri
itu dan bahkan mereka telah berani mengirim pesan ancaman kepadamu. Keamananmu adalah
tanggung jawab kami, Nadia. Aku akan menyuruh Scott untuk meninjau lokasi rumahmu” lanjut
Rory.
“Bagaimana denganmu?” tanya Nadia lagi.
“Saya ada urusan lain. Permisi.” jawab Rory. Ia pun langsung berdiri dari tempat
duduknya dan meninggalkan Nadia, Roland dan Scott. Dengan cepat, ia langsung menghilang
dari pandangan begitu mobil sedan berwarna hitam mewah menjemputnya ketika Rory sudah
keluar dari cafe.
Hening.
Situasi ini adalah hal yang dibenci oleh Roland. Situasi dimana harus dia yang
menggantikan Rory untuk mendatangkan kembali susanan ‘hangat’ diantara dua orang aneh
yang berada disamping dan didepannya. Melihat Scott yang duduk tenang namun matanya
begitu liar melihat kesana kemari dan Nadia yang terus memegang handphone ditangannya
seolah-oleh memencet sesuatu, membuat Roland semakin pusing. Ia masih memilih-milih kata
apa yang akan dia keluarkan untuk menghilangkan suasana ini.
“Yuk, berangkat!” akhirnya kata itulah yang dipilih Roland.
“Mengapa kau bisa bekerja sama dengan Foxhead?” potong Nadia begitu Roland telah
berdiri dari kursinya. Pertanyaan Nadia membuat Roland kembali duduk ditempatnya, ia ingin
sekali mendengar percakapan ini.
Scott mengangkat alisnya dengan cuek.
“Aku bekerja di sebuah biro tentara swasta sekarang, sejak aku cedera di medan perang,”
kata Scott. “Rory menghubungi biro-ku dan sekarang aku bekerja untuk Foxhead.”
Nadia mendengus. Saat ia mengira bisa bebas dari masa lalunya, sekarang ia harus
bertemu lagi dengan Scott. Bahkan suasana nyaman tempat itu tidak membuat Nadia merasa
nyaman. Jujur saja, Nadia tidak tahu bagaimana ia harus bersikap menghadapi Scott.
Roland menatap kedua orang yang kini diam itu. Ia memandang Scott dengan pandangan
ingin tahu.
“Kau dulu bekerja di S.A.S?” tanya Roland.

29
“Yup. Dua tahun, sebelum akhirnya aku berhenti karena cedera bahu kiri yang parah.
Sekarang pun, aku masih merasa sedikit sakit jika terlalu membebaninya. Tapi, kau tidak usah
cemas,” kata Scott. “Aku masih bisa menggunakan senjata sebaik dulu...”
Roland mengangguk. Scott memang enak diajak berbicara. Bahasanya teratur dan tidak
terkesan kaku.
“Kau berpikir kalau kita akan terlibat banyak baku tembak atau sesuatu seperti itu?”
tanya Roland. “Karena ini Indonesia, kau tidak bisa mengeluarkan senjata begitu saja di depan
umum. Aku tidak tahu bagaimana di Amerika...”
“Ummmm... aku dari Inggris...”
“Oh, oke,” kata Roland.
“Dan mengenai masalah baku tembak yang kau bilang tadi, mungkin tidak terjadi di
Indonesia,” jawab Scott sambil tersenyum.
“Maksudmu? Kita tidak mengalami baku tembak di Indonesia, tapi di negara lain? Begitu?”
tanya Roland dengan cemas.
Scott hanya menaikkan bahu sambil tersenyum tipis, hal yang membuat Roland tambah
khawatir.
“Udah ah, belum juga action udah bicarain yang begituan” kata Nadia. “Ayo pergi,
bukannya kita mau kerumah gue tadi? Liat tuh, waitress nya udah nungguin kita keluar dari
tadi.”
Nadia beranjak dari tempat duduknya, diikuti Roland, juga Scott.
“Bukannya gue duluan yang ngajak kalian dari tadi?” tanya Roland sambil mendengus.
Begitu mereka keluar dari cafe, Roland dan Nadia langsung melangkah menuju cherokee
merah mereka, sedangkan Scott melangkah ke tempat yang lain.
“Kau naik apa?” tanya Roland. Scott menunjuk sebuah mobil pick up berwarna biru muda
yang sangat gagah sekali. Andai saja ada sebuah truk yang menabrak mobil itu, Roland yakin,
truk itulah yang akan terjungkit balik.
“Wow! Aku rasa menjadi bodyguard bukanlah perkerjaan yang buruk, ya kan Nadia?”
tanya Roland kepada Nadia, namun tidak ada jawaban. Ia menoleh kebelakang dan melihat
Nadia telah duduk di kursi penumpang lengkap dengan safety belt-nya.
Scott dan Roland geleng-geleng kepala.
“Aku akan menngikuti kalian dari belakang. You guys lead the way” ujar Scott. Roland pun
berjalan kearah kursi pengemudi cherokee dan mulai menjalankan mobil itu.

***

Apartemen Nadia berada di kawasan yang asri sekali walaupun tempat itu berada di
tengah-tengah kota Jakarta Selatan. Diperkarangan dan tempat parkir apertemen tersebut
dipenuhi oleh pohon-pohon yang sudah tinggi, yang dapat melindungi semua orang yang
melewatinya dari panasnya Jakarta. Karena hal itulah Roland senang sekali datang ke tempat
tinggal Nadia ini, walaupun ia datang ketika disuruh saja.
Sebuah Cherokee merah dan mobil pick up berwarna biru muda memasuki area
apartement. Mereka memilih tempat parkir yang lumayan berjauhan agar tidak menimbulkan
kecurigaan apabila mata-mata Dimitri Petropavlovsk ada disini.

30
Scott pun keluar dari mobil ketika Nadia dan Roland sudah berjalan duluan menuju pintu
masuk apartemen.
“Nice house...” komentar Scott begitu ia telah sampai di lantai dasar apartemen bersama
dua orang temannya yang lain. Nadia hanya menjawab ‘thanks’ dan pergi meninggalkan Scott.
Nadia tinggal di lantai lima, tidak terlalu tinggi, tidak pula terlalu rendah, menurut Nadia,
tempat ia tinggal ini sangat strategis.
Roland dan Scott langsung masuk sebelum dipersilahkan begitu pintu apartemen milik
Nadia terbuka. Roland memilih langsung menduduki sofa bergaya minimalis yang terletak di
ruang TV sambil menghidupkannya. Sedangkan Scott sedang sibuk mengelilingi apartemen dari
ruangan ke ruangan, ia setidaknya ingin menemukan sisa atau menemukan jejak anak buah
Dimitri ketika mereka menyerang Nadia kemarin malam.
“Wah... Itu Green Troopers” kata Roland ketika ia melihat Dimitri Petropavlovsk di TV,
terlihat bahwa ia sedang berpidato dalam pembukaan acara Green Troopers yang terlaksana di
Singapura
Scott yang tadinya sedang keliling apartemen, menyempatkan waktu untuk menonton
sekilas orang yang membahayakan client nya.
“AAAAAAAAAA!!!” teriak Nadia yang entah sejak kapan sudah berada di dalam dapur.
Dengan secepat kilat Scott dan Roland berlari ke tempat Nadia.
“Ada apa?!” tanya Scott. Nadia menunjuk ke salah satu laci dapur. Roland segera berjalan
menuju laci dapur itu.
“Pisau berdarah dan... surat” katanya gemetar.
Scott berjalan untuk mengambil surat itu dan membacanya dengan seksama. “Surat
ancaman...” ujarnya.
“Apa katanya?” tanya Roland penasaran.
“Jangan menjejakkan kaki di tanah yang tidak anda kenal. Kau sudah terlalu jauh dan
sangat mengganggu” kata Nadia menjawab pertanyaan Roland. Ia menggigit-gigit jarinya,
tampaknya kali ini ia sedikit cemas.
“Sama seperti ancaman yang kemarin” ujar Roland.
Roland dan Nadia tetap berada di tempat mereka berdiri, sibuk dengan pikiran masing-
masing. Sedangkan Scott sedang melihat-lihat pisau berdarah dan surat ancaman itu, mencoba
mendapatkan sidik jari pelaku disana.
Selagi, Roland mengajak Nadia untuk kembali ke ruang tengah, ia ingin berbicara serius
dengan bosnya itu.
“Mereka sudah bertindak sejauh ini, apa lo nggak berubah pikiran?” tanya Roland. Nadia
diam saja. “Nad, denger kata-kata gue dengan baik. Dimitri dan perusahaanya, adalah masalah
yang terlalu besar dipecahkan oleh kita, wartawan biasa”
“Tapi kita sudah berjalan sejauh ini...” kata Nadia.
“Sejauh apa? Kita masih disini, selain percakapan yang lo denger di Singapura dan data-
data dari Danny yang kita dapat, apa lagi? Kita masih bisa untuk mundur,” kata Roland. “Itu kan
yang diinginkan Dimitri itu? Masih ada kesempatan sebelum ia kehabisan kesabaran”
“Bagaimana dengan Foxhead?” tanya Nadia.
“Kita baru bekerja sama dengan mereka satu hari. Belum ada action yang dilakukan
bersama. Lagipula, apa lo gak mikir, mungkin saja Foxhead menggunakan kita sebagai kelinci
percobaan?”
31
“Maksud lo?” Nadia berbalik bertanya.
“Terlalu mencurigakan menurut gue mereka mau mendanai kita seberapa besar dana
yang kita butuhkan! Di dalam kasus ini, mereka tidak akan mendapatkan kerugian jika lo tidak
selamat di dalam misi ini. Sedangkan lo? Lo bisa kehilangan nyawa..” jelas Roland.
Nadia diam sesaat, berpikir untuk mengeluarkan kata-kata selanjutnya.
“Tapi ada Scott...” ujarnya.
“Scott bukan jaminan untuk menyelamatkan nyawa lo Nad..” kata Roland.
“Lo nggak percaya sama dia?” tanya Nadia.
“Bukan begitu. Gue tahu dia akan sangat bagus dalam pekerjaan ini. Dia dari S.A.S, nggak
ada seorang pun yang meragukan kemampuannya. Hanya saja pasti ada hal yang tidak terduga.
Lo sendiri? Apa lo percaya Scott bakal selalu bisa ngelindungin lo?” tanya Roland.
Nadia kembali terdiam. Baru sekali ini Roland bisa membuatnya tidak bisa menjawab apa-
apa lagi. Dia sendiri ragu, apa benar Scott bisa melindunginya? Bahkan teman dekat Scott
sendiri, Matt, tidak bisa Scott lindungi.
“I got it!” kata Scott sambil berjalan menuju ruang tengah dari dapur. Ia datang tepat
ketika Nadia akan menjawab pertanyaan Roland. Membuat Roland dan Nadia kaget.
“Apa?” tanya Roland, ia tampak sedang kembali menormalkan suasana agar Scott tidak
curiga bahwa baru saja ia membicarakannya.
“Sidik jari pelaku yang berada di pisau. Sidik jari ini akan aku tunjukkan ke Rory dan
memintanya untuk menemukan pemilik sidik jari ini”
Nadia dan Roland mengangguk-angguk setelah mendengar penjelasan dari Scott.
“Bagaimana dengan apartemenku, ada masalah?” tanya Nadia.
“Tidak. Aku tidak menemukan penyadap ruangan ataupun kamera tersembunyi,” terang
Scott. “Dan tentu saja, aku akan mengecek hal itu setiap hari. Agar mereka tidak mendapatkan
kesempatan untuk memasang alat-alat itu”
“Setiap hari? By the way kau tinggal dimana?” tanya Roland.
“Aku akan mencari tempat tinggal didekat-dekat apartemen ini, kalau tidak ada tempat
seperti itu, aku bisa tidur di mobil...” jawab Scott.
“Tidak ada tempat yang murah didekat-dekat apartemen ini..” ucap Nadia.
“Kalau begitu, yang mahal saja. Foxhead akan membiayai itu” kata Scott sambil
tersenyum. “Baiklah, aku pergi dulu. Aku akan menemui Rory dan memberikan data ini
padanya.”
“Kalau gitu gue juga cabut,” kata Roland sambil beranjak dari sofa yang didudukinya.
Mereka bertiga berjalan menuju pintu apartemen Nadia.
“Oh ya, ini, hafal diluar kepala, jangan disimpan di handphone. Lalu bakar” kata Scott
sambil memberikan secarik kertas yang bertuliskan nomor telephonnya yang bisa dihubungi
Nadia kapan saja. “Be carefull, kunci semua bagian yang mungkin bisa dimasuki orang,” pesan
Scott, ia pun melangkah pergi dari apartemen Nadia.
“Hati-hati, Nad. Dan juga, pikirin omongan gue yang tadi. Lo belum terlambat untuk
mundur...” kata Roland setelah Scott telah hilang dari pandangannya.
“Iya, thanks ya..” kata Nadia. Roland mengangguk. “Oh ya Land, gue.” ucap Nadia ragu-
ragu.

32
“Udah-udah, gue tahu kok. Lo gak mau masuk kerja hari ini kan? Bisa gue urus absen lo..”
kata Roland.
“Huh... Tahu aja lo.”
“Siapa dulu... Roland!” katanya membanggakan diri, membuat Nadia tertawa melihat
kameramennya yang sedikit narsis ini. “Lagipula, menurut gue, sebaiknya lo memang nggak
pergi kerja hari ini, take a rest! Kayak istirahat dirumah, yaahh.. terserah lo lah” lanjut Roland.
Nadia mengangguk saja. Dan tidak lama setelah itu, ia menutup pintu setelah Roland
melangkah pergi dari hadapannya.
Dan kini, ia tinggal sendiri dengan pikiran yang berkecamuk untuk memilih dua pilihan
yang sangat meragukan.
***

33
Bab Enam

Sejak jam delapan pagi tadi, Nadia sudah pergi dengan cepat bersama Roland ke salah
satu bilangan Jakarta untuk meliput banjir musiman disana. Setidaknya ia harus mencapai
lokasi pada jam setengah dua belas siang. Karena liputan Nadia kali ini akan dilaporkan melalui
berita TV secara langsugn dimana Nadia di lokasi dan pembawa berita di studio dapat
berkomunikasi langsung.
Banjir bukanlah hal yang asing lagi bagi Nadia dan seluruh penghuni ibu kota Jakarta.
Setiap hujan besar – pasti banjir, di musim-musim tertentu – pasti banjir. Maka dari itu, setiap
meliput berita banjir, Nadia selalu memakai celana sebatas lutut saja, karena dia risih jika di
mobil nanti celana dan kakinya basah, sedangkan kalau memakai celana selutut ia bisa
mengelap kakinya selagi di mobil.
Suasana hening di mobil. Tidak ada candaan-candaan Ronald atau keluh Nadia akan
macetnya jalannya Jakarta. Dan seorang supir dari kantor yang merasa risih berada di dalam
mobil itu terkadang bersiul sambil mengikuti alunan lagu yang diputar. Selagi berada di dalam
pikirannya sendiri, Nadia tiba-tiba teringat sesuatu.
“Kalau saat-saat gue kerja kayak gini, kira-kira Scott ikut nggak, ya?”
“Nggaklah, ngapain dia ngekor sama kita.” jawab Roland cuek.
“Kalau nggak ngekor, berarti nggak melindungi kita dong...” ucap Nadia. Roland
mengangkat bahunya dan kembali kepikirannya sendiri. Mobil pun hening kembali.
Pikiran Roland sepertinya salah. Karena mobil Scott sebenarnya berjarak dua mobil di
belakang mereka. Namun karena kendaraan akan macet disetiap pemberhentian tol, seperti
saat ini, Nadia dan Roland tidak dapat melihat keberadaan Roland.
Lain lagi di mobil Scott. Di kendaraan impiannya Roland itu suasananya agak sedikit
gaduh karena suara tape mobil yang menggema di seluruh sudut mobil. Scott memang seorang
mata-mata ataupun bodyguard, tapi ia adalah bodyguard yang sedikit lebih enjoy menjalani
pekerjaanya. Sebagai buktinya adalah, ia dapat menarik simpati Roland ketika pertemuan
pertama mereka. Yah... walaupun bukan seperti itu keadaanya sekarang.
Scott bukan orang yang bodoh, namun terkadang ia harus berpura-pura bodoh didepan
clientnya sendiri. Bohong bila ia mengatakan kalau ia tidak tahu bujukan Roland ke Nadia untuk
berhenti dari misi yang diajukan perusahaan Foxhead. Ia juga tahu kalau Roland sempat
menjelek-jelekkan dirinya dihadapan Nadia dengan berkata ‘Perlindungan Scott bukanlah
jaminan keselamatan’ disaat Scott harus mendeteksi sidik jari yang membekas di pisau
berdarah kemarin. Namun ia hanya diam dan pura-pura tidak tahu, toh walaupun Nadia
mengundurkan diri dari misi ini bukanlah masalah baginya.
34
Scott kemudian mengecilkan volume tape mobil ketika telepon genggamnya bergetar dari
balik saku celananya. Rory.
“Aku sudah menemukan siapa pemilik sidik jari ini..” kata Rory diseberang sana begitu
panggilannya diangkat.
“Who?”
“Kau tidak akan percaya...” suara Rory terhenti sebentar. “Rendra Agusti, salah satu
pembawa berita di perusahaan yang sama dengan Nadia...”
“Impossible...” kata Scott tidak percaya. Ternyata Nadia bekerja dengan orang yang salah.
“Yup. Aku pun tidak menyangka, tapi, itulah yang dikatakan tim penyidik. Dimana
lokasimu sekarang?”
“Aku mengikuti Nadia kesuatu tempat, sepertinya ia akan meliput sebuah berita lagi”
“Apa dia tahu kau mengikutinya?” tanya Rory.
“Tidak.”
“Bagus... Lanjutkan pekerjaanmu” ucap Rory.
“Tunggu, tolong jelaskan pekerjaan orang yang bernama Rendra itu sebenarnya.” kata
Scott. Terdengar suara menarik nafas panjang dari seberang sana.
“Well, ia bekerja untuk SilverSky sejak... dua tahun yang lalu. Sebab dan bagaimana dia
bisa masuk ke perusahaan itu masih belum jelas. Ia seperti wakil dari SilverSky di Indonesia,
walaupun bukan ia satu-satunya. Dia membantu dalam penyelundupan kayu-kayu hasil illegal
logging dari Kalimantan,” jelas Rory.
“Oh oke, mungkin fakta-fakta itu bisa membantuku untuk menjelaskan Nadia tentang
yang sebenarnya...”
“Oke, good luck,” ucap Rory sebelum ia mematikan panggilan tersebut.
Kali ini Scott akan membiarkan Nadia untuk bekerja sekali ini saja, tapi untuk selanjutnya,
Scott tidak akan mengizinkan. Karena bos Nadia adalah musuh mereka. Scott memutar tanganya
dan membesarkan volume dari tapenya kembali. Lagu ‘Fall for You’ milik Secondhand Serenade
mengalun lambat namun keras dimobilnya. Scott melihat kesana kemari untuk memperhatikan
apakah ada kejanggalan selama perjalanan atau mungkin saja ada mobil aneh yang terus
mengikuti mereka. Dan untung sejauh ini tidak ada.
Scott tidak pernah lupa membawa perlatan ‘perang’nya. Misalnya sebuah PDR (Personal
Deffense Rifle) dan beberapa alat penyelidikan; contohnya saja untuk melihat sidik jari yang
tertinggal. Seperti hari ini, Scott memastikan PDR-nya berada di holster di balik jaketnya dan
barang-barang penyelidikan ditaruh ditas kecil yang melingkar dipinggangnya. Walupun begitu
ia tidak berharap akan menggunakan barang-barang itu hari ini.

***

Satu jam kemudian Nadia dan Roland tiba di lokasi. Mobil yang membawa mereka kesana
sepertinya tidak bisa masuk terlalu jauh karena banjir yang melanda setinggi betis orang
dewasa. Tindakan Nadia memakai celana pendek adalah tindakan yang tepat, namun Roland, ia
harus menggulung celana jeansnya dulu baru ‘terjun’ ke lapangan.
“Huaa... Dingin!!” kata Roland begitu kakinya telah masuk ke air. Nadia tampaknya setuju
dengan pernyataan partnernya.

35
Mereka berjalan sekitar enam puluh meter dari mobil. Warga masih berkumpul ramai di
sana. Ada orang-orang dewasa yang membawa kasur lipat dan barang-barang berharga mereka,
sedangkan anak-anak menikmati air banjir dengan berenang-berenang dan bermain disana.
Sebelum acara liputan dimulai, Nadia memanggil salah satu warga untuk bekerja sama
dalam peliputan seperti menceritakan kondisi rumah mereka sekarang dan kondisi keluarga
mereka. Persiapan Nadia lainnya adalah memasang earphone kecil di telinganya agar dapat
berkomunikasi dengan pembawa berita yang sebentar lagi akan siaran di studio. Sedangkan
Roland sibuk menyetting camera dan memasang headphone diatas kepalanya agar dapat
menerima instruksi dari para kru studio kapan dimulainya acara.
“Berapa menit lagi?” tanya Nadia.
“Kata mereka tiga puluh menit lagi...” jawab Roland. Nadia mengangguk-ngangguk. Ia
mengeluarkan hal yang paling penting bagi seorang wartawan dari saku celananya, note kecil
dan sebuah pena. Ia mulai mencatat beberapa point penting dari kasus banjir ini. Nadia berjalan
kesana-kemari untuk mendapat informasi tentang korban, total kerugian, orang hilang dan
semacamnya dari seorang anggota SAR disana.
Di tempat lain, Scott tidak menyangka banjir di ibu kota akan setinggi ini. Ia memutuskan
untuk memarkirkan mobilnya dengan jarak yang lumayan dekat dengan mobil yang ditumpangi
Nadia dan Roland. Setidaknya, ia bisa melihat Nadia dan Roland dan apa-apa disekeliling
mereka.
“Nad, sudah waktunya...” kata Roland. Nadia menoleh. Tadi ia sedang melatih dirinya
sendiri untuk melaporkan situasi di lokasi banjir, namun sekarang ia harus sudah siap didepan
kamera. “OK, 1..2..3.. Action!” kata Roland. Nadia telah siap. Tidak lama setelah itu terdengar
suara pembawa berita dari earphone Nadia.
“Ya, kami telah terhubung dengan reporter kami di lokasi bencana banjir. Selamat siang
Nadia,” ujar si pembawa berita.
“Selamat siang Rendra,” jawab Nadia.
“Saudari Nadia, apa saja informasi yang anda dapatkan dari sana?”
“Ya baiklah... Sekarang saya sedang berada tepat ditengah-tengah bencana banjir yang
setinggi betis orang dewasa. Banjir mulai menyerang rumah-rumah warga semenjak pagi tadi.
Penyebab banjir saat ini adalah meluapnya sungai dari...” jelas Nadia panjang lebar. Roland
terus menyorot Nadia dan kawasan disekeliling mereka. Banyak terjadi percakapan antara
Rendra si pembawa berita dan Nadia, juga seorang warga yang telah dimintai keterangannya
tadi. Hingga dua menit kemudian percekapan baru selesai.
“CUT!” kata Roland. Nadia yang dari tadi berdiri tegap, langssung membungkukkannya
sebentar setelah liputan selesai.
“Fuuhh...” ujar Nadia.
“Kenapa?” tanya Roland, Nadia mengangkat alisnya menandakan ia tidak mengerti
pertanyaan temannya itu. “Kenapa ‘fuuh’?” tanya Roland lagi, kali ini ia sekaligus
mempraktekkan gaya Nadia.
“Nggak ada. Cuman rasanya pengen pulang aja. Mana tahu ada kabar baru dari Scott...”
jawab Nadia. Roland memasang tampang tidak suka.
“Masih mau melanjutkan pekerjaan tidak jelas itu?” tanya Roland.
“Yup... Gue sudah memikirkannya semalaman” kata Nadia sambil melangkah menuju
mobil.

36
“Gue pikir lo setuju dengan pendapat gue karena sudah balik kerja.” ucap Roland sambil
mengiktui langkah Nadia dari belakang.
“Balik? Rasanya cuman kemarin doang gue ngambil cuti. Lagian, walaupun gue bekerja
sama dengan Foxhead bukan berarti gue berhenti kerja.” ujar Nadia, Roland tidak berbicara lagi
kali ini. Tidak lama setelah itu mereka menaiki mobil dan mobil pun mulai berjalan.
Untung saja mereka berdua tidak melihat keberadaan Scott. Mungkin hal ini terpengaruh
oleh banjir, sehingga mereka harus berjalan sambil melihat terus kebawah.
“Let’s go home...” kata Scott, kemudian ia baru menyalakan mesin mobil.

***

Berbeda dengan pembawa acara, seorang reporter boleh langsung pulang kerumah
setelah meliput berita. Jadi Nadia dan Roland meminta supir untuk mengantar mereka pulang.
“Dimana Scott?” tanya Nadia kepada dirinya sendiri. Ia tidak melihat seorang pun di
koridor apartementnya, padahal dia sudah tidak sabar mendengar kabar terbaru dari Scott.
Roland sepertinya tidak terlalu antusias untuk mencari tahu keberadaan Scott, awalnya ia ingin
pulang kerumah, tapi tiba-tiba ia berpikir bagaimana bila insiden terbongkarnya ruangan Nadia
terjadi lagi dan Nadia sendiri saat ini. Dia tidak mau membayangkan itu.
“Mungkin di rumahnya...” ujar Roland.
“Kita tidak tahu dia tinggal dimana.” Tidak lama setelah Nadia mengatakan hal itu, Scott
pun datang. Tanpa ba-bi-bu lagi, ia langsung menghampiri Nadia dan Roland.
“Ada kabar penting yang harus dibicarakan..”
Mereka duduk diruangan tengah setelah memasuki apartement Nadia. Minum air putih
sebentar baru melanjutkan pembicaraan, sepertinya mereka semua dalam keadaan lelah.
“Aku telah mendapatkan kabar tentang pemilik sidik jari.” kata Scott.
“Siapa?” tanya Nadia.
“Apa di tempatmu bekerja ada seseorang bernama Rendra Agusti?” tanya Scott. Namun
didalam pertanyaanya sudah tersirat siapa pelaku yang mengancam Nadia.
“Tidak mungkin..” kata Roland sambil bangkit dari tempat duduknya. Nadia memegang
tangan Roland dan mengisyaratkan untuk menyuruh Roland duduk kembali. Ia pun duduk.
“Maksudmu, Rendra pelakunya?” tanya Nadia. Scott mengangguk.
“Menurut data dari Foxhead, Rendra Agusti bekerja untuk SilverSky semenjak dua tahun
yang lalu. Ia seperti wakil dari SilverSky di Indonesia, walaupun bukan ia satu-satunya. Dia
membantu dalam penyelundupan kayu-kayu hasil illegal logging dari Kalimantan” kata Scott, ia
benar-benar meniru penjelasan Rory kepadanya.
Nadia diam saja mendengar perkataan Scott, ia sepertinya sedang berfikir. Benarkah
Rendra pelakunya?
“Udah ah, nggak usah bicara yang bukan-bukan!” ujar Roland emosi. Nadia kaget dengan
tindakan temannya itu, sednagkan Scott tidak peduli, ia tetap memandang kedepan. “Tidak
masuk akal kalau Rendra pelakunya. Tidak ada yang mencurigakan dari gerak-geriknya selama
di kantor, ia kan Nad? Dia tetap baik kepada kita” lanjut Roland.
“Bisakah kau berhenti berbicara seperti itu? Menghasut Nadia terus?” ujar Scott tiba-tiba.
Roland kaget juga mendengar si bule ini bicara, begitu juga Nadia. Mereka langsung melihat
37
kearah Scott. “Misi ini adalah pekerjaan antara Foxhead dan Nadia, bukan dirimu. Aku tidak
akan keberatan jika kau tidak ikut tindakan-tindakan kami selanjutnya. Jika tidak mau terlibat,
menjauh saja.”
Nadia sedikit melotot saking kagetnya, ia tidak menyangka Scott akan mengatakan hal-hal
itu. Berbeda dengan Nadia, Roland malah tersenyum sinis. “Tindakan-tindakan selanjutnya? Apa
yang akan kau lakukan?” tanyanya.
“Yang akan aku dan Nadia lakukan adalah,” kata Scott memperbaiki perkataan Roland.
“Kami akan datang ke perusahaan tempat kau bekerja dan mencari orang yang bernama Rendra
itu, lalu kami akan memaksanya untuk berbicara. Puas?” tantang Scott.
“Sudah sudah! Kalian terlalu berisik tahu nggak?!” teriak Nadia sambil berdiri, ia tidak
sadar bahwa yang berisik sekarang adalah dirinya. Roland dan Scott terdiam. “Roland, lo nggak
perlu terlalu memojokkan Scott seperti itu. Scott juga, berhentilah menyalahkan Roland!
Walaupun dia tidak bekerjasama dengan Foxhead secara resmi, tapi dia dapat membantuku
sejauh ini!”
“Jadi intinya apa? Lo mau mengikuti si bule ini atau tidak?” tanya Roland tidak sabaran.
Nadia mendengus kesal.
“Gue akan ikut dengan si bule ini.” jawabnya tegas. Roland dan Scott sama-sama terkejut
mendengar jawaban Nadia, padahal ia lebih banyak menyinggung Scott tadi. Pikiran perempuan
memang susah ditebak.
“Kenapa?!” tanya Roland.
“Karena...” jawaban Nadia terhenti, ia menarik nafas sebentar lalu melanjutkan. “Karena
gue nggak suka sama Rendra! Dia itu mencurigakan, gue pernah ngelihat dia ngangkat telepon
tapi dia langsung berlari ke toilet, mana ada orang mengangkat telepon di toilet. Well, kecuali
pembicaraan itu benar-benar pembicaraan yang rahasia. Caranya menyampaikan berita juga
mencurigakan, dia menggunakan bahasa baku yang aneh didengar..”
Roland tidak percaya Nadia mengeluarkan alasan bodoh seperti itu. Yang diceritakan
Nadia dari tadi adalah bukti-bukti tidak jelas dan omongan yang konyol.
“Lagipula seperti Scott bilang... Gue sudah punya perjanjian dengan Foxhead, gue nggak
akan mundur.” lanjut Nadia. Roland terdiam dengan tampang kecewa, sedangkan Scott, ia
tampak puas dengan jawaban Nadia.
“Terserah... Seperti yang kalian berdua harapkan, aku akan pergi,”kata Roland, ia
melangkah ke pintu dan bersiap untuk keluar.
“Jangan menyesal... Kalau kami berhasil, lo balik ya...” kata Nadia. Jujur saja ia tidak senang
dengan keputusan Roland untuk tidak ikut dalam misi ini, bagaimanapun ia masih berharap
kalau Roland juga turut membantu. Setelah Nadia selesai berbicara, Roland langsung keluar dari
apartement dan menutup pintu. Nadia dan Scott kembali kepembahasan mereka.
“Kau yakin dia akan kembali?” tanya Nadia ke Scott.
“Harusnya aku yang bertanya seperti itu, karena kau yang mengatakannya. Tapi aku
yakin, karena kita akan berhasil..”
“Bagaimana kalau bukan Rendra pelakunya?”
“Sidik jari itu sudah menunjukkan semuanya. Tim penyidik tidak mungkin salah..”
“Kapan kita ‘bertanya’ padanya?” tanya Nadia. Scott berpikir sebentar.
“Sebenarnya tidak ada masalah kalau kita mendatanginya hari ini. Tapi mungkin lebih
baik besok, gunakan hari ini untuk beristirahat. Aku capek duduk di mobil di jalanan yang macet
dan bancir.” jawab Scott. Nadia kaget.
38
“Jadi kau mengikuti kami?” tanya Nadia.
“Tentu saja, aku ditugaskan untuk menjagamu. Kalau ada orang jahat yang menyakitimu
tadi, maka pekerjaanku dinyatakan gagal.” jawab Scott, Nadia hanya manggut-manggut. “Sampai
disini dulu... See you tomorrow” kata Scott, ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan
kearah pintu. “Oh ya,dimana besok kau akan ditugaskan?” tanya Scott sebelum ia pergi.
“Aku tidak tahu. Mungkin aku akan ke kantor dulu untuk menerima pekerjaan
selanjutnya...” jawab Nadia dari tempat duduk di ruang tengah.
“Oh, baguslah. Pada saat itulah kita akan bertanya kepada Rendra.”
“Menurutmu dia akan membuka mulut semudah itu?” tanya Nadia.
“Who knows...” jawab Scott sambil tersenyum sebelum ia benar-benar pergi.

***

Seperti biasa, Nadia meninggalkan apartementnya dengan Cherokee merah. Ia sudah siap
untuk hari ini, hari dimana ia dan Scott akan berhasil membuka tirai baru yang akan
mengungkap kebenaran dari perusahaan milik Dimitri. Didalam perjalanan, terkadang ia
melihat kearah spion yang terletak berada di depan kepalanya dan melihat mobil biru milik
Scott yang berjarak tiga mobil dibelakangnya. Ia tersenyum sendiri melihat hal ini.
Satu jam kemudian Nadia tiba di kantor EighTV, Scott menyusulnya persis dari belakang.
Setelah mereka berdua telah keluar dari mobil, Nadia heran.
“Kau tidak bersembunyi?” tanyanya. Bukankah mencurigakan kalau ada pria asing datang
ke kantor?
“Kau ingin aku memanjat dinding dan bertemu dengan Rendra melalui jendela? Tentu saja
aku harus lewat pintu,” jawab Scott konyol. Terkadang dia juga bisa mengeluarkan candaan
seperti itu.
“Akan banyak orang yang curiga, jarang-jarang ada orang asing masuk ke kantor,” kata
Nadia memperingatkan.
“Kalau ada orang yang bertanya, bilang saja aku seorang narasumber,” jawab Scott lagi.
Nadia memutar bola matanya.
“Whatever...”
Setelah perdebatan pendek itu, mereka berdua berjalan menuju pintu masuk kantor
EighTV. Tepat seperi dugaan Nadia, akan banyak orang yang bertanya tentang kedatangan
orang asing ini. Bahkan belum sampai di pintu masuk, satpamnya sudah bertanya.
“Bule, mbak?” tanya pak Satpam lugu sambil senyam-senyum. Ia mngedikkan kepalanya
ke arah Scott.
“Bukan, orang Papua...” jawab Nadia, pak Satpam memasang tampang keheranan. “Ya iya
lah bule, pak Ibnu...” ucap Nadia akhirnya. Satpam itupun cengar-cengir saja.
Tidka hanya satpam, para petugas kantor mulai bertanya-tanya pada Nadia, atau bertanya
pada diri mereka masing-masing, dan ada pula yang langsung berbisik-bisik dengan temannya
ketika melihat Scott disana. Pertanyaan seperti ‘Siapa itu Nad?’, ‘Orang mana?’, atau ‘Pacar lo
ya?’ bukanlah pertanyaan asing lagi.

39
Perjalanan untuk menuju ke lantai empat terasa begitu lama bagi Nadia, sebaliknya, Scott
yang dari tadi jadi bahan omongan orang-orang cuek dan santai saja berjalan. Nadia berjanji
pada dirinya sendiri, ia tidak akan membawa Scott lagi ke tempat ini.
Di lantai empat, tepatnya di Studio 5, mereka bisa melihat Rendra disana. Ia terlihat
sedang bersiap-siap membawakan acara berita yang akan berlangsung satu jam lagi.
“Itu dia” kata Nadia.
“Kenalkan aku padanya,” kata Scott. Nadia mengangguk. Ia menarik tangan Scott dan
mengajaknya ke tempat Rendra berdiri. Rendra memasang muka heran juga seperti para
pegawai kantor lainnya.
“Kenalin Ren, ini temanku,” kata Nadia dengan senyum tersungging di wajahnya.
“Daniel...” kata Scott berbohong, ia menjabat tangan Rendra.
“Rendra...” jawabnya. “Kenapa nih, tiba-tiba ngenalin Nad?” tanya Rendra sambil
tersenyum.
“Daniel ini, sedang meneliti cara setiap pembawa berita membawakan informasi di layar
kaca. Tidak hanya di Indonesia, dia juga meneliti di Amerika, Cina, Singapura, dan Australia. Dan
ia memilihmu sebagai obyek penelitiannya...” jelas Nadia penuh dusta. Dia sendiri bingung
bagaiman dia bisa berbohong dengan sebegitu lancarnya. Daniel, alias Scott, manggut-manggut
mendengar penjelasan Nadia. Sedangkan Rendra menunjukkan wajah tertarik.
“Apa saya boleh mewawancarai anda sebentar?” tanya Scott.
“Oh... Tentu, silahkan... Asal jangan terlalu lama, karena sebentar lagi saya akan memulai
siaran,” jawab Rendra.
“Aku akan menunggu disini,” kata Nadia. Setelah itu, Scott mengajak Rendra keruangan
lain.
Tidak berapa lama berjalan, Scott dan Rendra sampai di suatu tempat yang jarang
dilewati orang-orang. Tanpa ba-bi-bu, tangan kiri Scott memegang tangan Rendra dengan kuat
dan meletakkannya dibelakang kepala Rendra, sedangkan tangan kanannya sudah siap
mencekik dari belakang apabila Rendra berbuat macam-macam.
“Apa-apain ini?!” teriak Rendra marah.
“Jangan berteriak... Kalau kau melakukan itu, nyawamu akan melayang sekarang juga...”
kata Scott tenang. “Jelaskan siapa kau sebenarnya. Kami menemukan jejak tanganmu di
ganggang pisau berdarah di dapur apartment Nadia, hal itu yang membuktikan kalau kau lah
yang mengobrak-abrik kamar Nadia beberapa hari yang lalu dan juga mengirim ancaman
kepadanya...”
“Bagaimana kalau aku tidak mau?” tantang Rendra, walaupun ia dalam kondisi terdesak,
mulutnya masih dapat tersenyum sinis.
“Sederhana, aku akan membunuhmu.” jawab Scott simpel.
“Huh.. Harusnya aku berpikir mungkin saja Foxhead memberi Nadia seorang bodyguard..”
kata Rendra.
“Jadi memang kau pelakunya?” tanya Scott.
“Benar, akulah yang memasuki kamar Nadia dan mengirim ancaman padanya,” jawab
Rendra jujur. “Tapi kau sendiri tahu kan, kalau aku bekerja untuk siapa, aku hanya menjalankan
perintah, bukan otak dari masalah ini,” ujarnya.
“Dimitri Petropavlovsk” kata Scott.

40
“Benar, Petropavlovsk yang menyuruhku. Hebat bukan? Aku dapat berhubungan langsung
dengan kepala perusahaan dunia,” kata Rendra sambil tertawa. Scott berpikir kalau orang ini
sudah gila.
“Apa yang kalian rencanakan sebenarnya?” tanya Scott.
“Kami, tidak, bukan kami, tapi Petropasvlovsk, Petropasvlovsk yang merencanakan
semuanya. Dia ingin dapat menguasai seluruh jenis saham didunia dan menjual produk-produk
terbaik ke penjuru dunia. Maka dari itu ia mulai memerintahkan orang-orangnya untuk
menebang hutan dan menggali hingga dasar bumi untuk mencari emas dan bahan bakar yang
mahal...” jelas Rendra.
“Dimana dia sekarang?” tanya Scott lagi.
“Ayolah... Kau sudah menghabiskan waktuku lima belas menit, sebentar lagi aku akan
siaran,” kata Rendra sambil tersenyum sinis.
“Dimana dia sekarang?!!” bentak Scott. Tapi hal itu tidak mengubah paras Rendra yang
sepertinya dari tadi terus meremehkan Scott.
“Mungkin sedang minum teh di kamar mandinya. Kau tahu? Dikamar mandinya disiapkan
satu set peralatan minum teh. Aku pernah mencobanya sekali,” jawab Rendra, hal ini membuat
Scott kesal. Scott mendorong tubuh Rendra dengan keras kedinding dan mengeluarkan
.44Magnum-nya, mengarahkan benda itu tepat diatas dahi Rendra.
“Tell me... Now!” perintah Scott. Lagi-lagi Rendra tidak peduli dengan posisinya sekarang,
ia tersenyum.
“Oke... Oke... Dia sekarang ada di China, sedang menghadiri kegiatan Green Troopers
disana. Penggalian tanah lagi mungkin?” jawab Rendra. Scott melepaskan cengkramanya dari
Rendra.
“Itu lumayan sakit,” ujar Rendra sambil mengelus pergelangan tangannya yang memerah.
“Oh ya, kau harus berjanji tidak mengatakan hal ini pada siapapun termasuk EighTV dan
SilverSky. Aku masih mempunyai keluarga untuk diberi makan. Pura-puralah tidak terjadi apa-
apa...” tambah Rendra, Scott hanya diam saja. “Aku anggap itu ‘iya’,” kata Rendra, ia pun
meninggalkan Scott diruangan itu sendirian.
Scott berjalan menuju parkiran mobil. Ia yakin Nadia sudah ada disana, dan ternyata
benar.
“Bagaimana?” tanya Nadia. Scott memberikan tape recorder dari balik jaketnya kepada
Nadia tanpa mengeluarkan sepatah katapun. “Kau merekam semuanya? Bagus sekali!” kata
Nadia.
Mereka pun menaiki mobil masing-masing. Seperti biasa, Scott mengikuti Nadia dari
belakang dan menyalakan tape mobil dengan volum keras. Sedangkan Nadia, sepanjang
perjalanan ia terus mendengar pembicaraan antara Scott dan Rendra yang direkam melalui tape
recorder. Ada rasa kecewa yang melanda hatinya, ia tidak habis pikir mengapa Rendra bisa
melakukan hal itu kepada dirinya. Tapi ia juga merasa senang, karena dengan ini Roland bisa
kembali membantunya dalam misinya bersama Foxhead dan satu lagi, ia merasa sangat
terlindungi jika Scott berada disampingnya. Ya, seperti saat ini...

***

41
Bab Tujuh

“Bloody hell,” Scott MacDonough memaki pelan saat ia harus menghadapi kemacetan
Jakarta yang luar biasa. Ia bertanya-tanya, bagaiamana penduduk negeri ini, khususnya kota ini,
dapat bertahan dengan kondisi mereka yang demikian? Banjir, macet... Scott tidak pernah
membayangkan akan mengalami hal ini. Pria itu masih merasakan PDR-nya terselip aman pada
holster di balik jaketnya. Dalam hati, Scott bersyukur tidak perlu mengeluarkan benda itu dan
mengacungkannya ke kepala Rendra sambil berteriak. Well, yang pasti, itu akan mengundang
banyak perhatian.
Ponsel Scott berdering. Ia mendelik menatap benda itu, melihat nama yang tertera di
layar ponsel. Nadia.
“Hey, Scott...” sapa Nadia.
“Hey.”
“Bagaimana kalau siang ini kita makan siang bersama? Maksudku... dengan Roland...” kata
Nadia menambahkan dengan cepat. Scott terdiam beberapa saat dengan alis terangkat. “Well?”
tanya Nadia menuntut jawaban.
“Uuuuhh... Sure, yeah...” kata Scott. “Dimana?”
“Food court yang di depan toko buku, dekat kantor EighTV...” kata Nadia. “Mau?”
“Yang ada tulisan... uuuhhmmm... ‘Kucing Cafe’ itu?” tanya Scott.
“Yup. Tapi nggak akan makan di Kucing Cafe. Kita makan di tempat yang satunya lagi,”
kata Nadia. “Sudah, ya. Aku harus telepon Roland. See you later.”
Nadia menutup telepon.
Scott meletakkan ponselnya di dashboard mobil. Ia melirik tape mobilnya yang diam. Scott
mendengus, dan mengambil salah satu CD yang ada di laci mobil. Ia mencari-cari sesuatu yang
menarik untuk didengarkan. Simple Plan, album Still Not Getting Any... Scott mengangkat alis
dan memasukkan CD itu ke CD Player. CD Player men-shuffle semua lagu dan memulai dari lagu
nomor empat di album itu.
‘Thank You’.
Scott mendengus saat mendengar lagu ini.
“So thank you... for showing me. That best friend... can not be trusted. And thank you... for
lying to me...”
Scott hanyut dalam reffrain lagu. Ia memikirkan kembali masa lalunya saat ia masih
berada di S.A.S. Saat semua hal masih tampak menyenangkan... Sebelum ia mengacaukan semua,
saat ia mengkhianati teman baiknya.

42
Mungkin ini yang akan Matt katakan padanya jika ia tahu apa yang sudah Scott lakukan.
“...the friendship, the good times we had... you can have them back....”
Hanya saja, Matt tidak pernah tahu. Matt tidak akan pernah tahu.

***

“Gue nggak percaya.”


Kata Roland. Matanya melotot memandang dua sosok di depannya ini. Seorang cowok
blasteran Inggris-Indonesia cakep dan seorang cewek asli Indonesia mungil berwajah manis. Di
hadapan mereka, sebuah recorder berada dalam posisi play dan Roland mendengarkan melalui
headset yang dipinjamkan Scott padanya.
“That’s the truth, mate. Aku tidak peduli kau akan bilang apa, tapi inilah kenyataan,” kata
Scott ringan. “Nadia bisa jadi saksi bahwa aku tidak merekayasa rekaman ini ia sendiri yang
memperkenalkanku pada si Rendra ini.”
“Bener, Nad?” tanya Roland pada Nadia.
Nadia mengangguk. Roland kembali memutar rekaman itu, untuk memastikan kalau ia
tidak salah dengar. Yup, ia mengenali suara itu sebagai suara Rendra. Roland menghela nafas.
“Gue nggak nyangka...” kata Roland.
“Sekarang lo percaya sama kami?” tanya Nadia. Ia menatap Roland dengan tajam.
“Sejak kapan kalian berdua berada di pihak yang sama?” Roland balas bertanya.
Setahunya, Nadia dan Scott memiliki hubungan yang dingin. Mereka tidak berbicara banyak,
tapi tampaknya mereka berdua bisa bekerja sama.
Nadia mengangkat bahu menanggapi pertanyaan Roland. Scott tersenyum dan menjawab,
“Permasalahan pribadi tidak boleh mengganggu pekerjaan.”
Roland mendengus.
“Roland, gue pikir sekarang bukan waktu yang tepat untuk keras kepala. Lo udah tahu
semua ini... Lo udah tahu kalau Rendra bersalah... Apa yang ingin lo lakukan sekarang?” tanya
Nadia. “Black Star sudah menyusup ke EightTV dan Rendra adalah kaki tangan mereka... Lo
bakal diem aja?”
Roland tidak menjawab. Scott membiarkan saja kedua orang itu saling beradu
argumentasi, sementara ia mengawasi keadaan di sekitar mereka. Food court yang dipilih Nadia
memang bukanlah tempat yang ramai dikunjungi orang. Meski makanannya lezat, tempat ini
tergolong sepi. Scott mengamati beberapa orang yang baru saja memasuki area food court.
Semua berbadan besar dengan wajah serius.
“Maaf menginterupsi obrolan kalian. Kurasa sekarang saatnya untuk meninggalkan
tempat ini...” kata Scott.
“Apa maksudmu?” tanya Nadia.
Scott memberi tanda untuk tidak menoleh. Ia berbisik dari sudut bibirnya.
“Ada lima orang pria baru saja masuk. Jangan menoleh, dengarkan saja kata-kataku,” kata
Scott.
“Scott, berhentilah bersikap paranoid. Kau terlalu berlebihan,” kata Nadia.

43
“Ikuti saja kata-kataku. Nadia, pergilah ke toilet. Roland akan menjemputmu melalui pintu
belakang food court. Aku akan tetap di sini dan menyusul kalian setelah waktunya. Oke?”
“Jangan konyol, Scott. Dengar, aku yang mengusulkan makan siang ini, jadi aku yang akan
‘mengartur acara’-nya,” kata Nadia keras kepala. “Kau yang pergi duluan dengan Roland.”
“Jangan gila. Orang-orang ini mengincarmu, dan aku dibayar untuk melindungimu,” kata
Scott. “Dan lagi, aku percaya Roland dapat melindungimu dengan baik.”
“Berhentilah bersikap berlebihan!”
“Aku hanya jaga-jaga. Pergilah, sekarang,” perintah Scott.
Menggerutu, Nadia bangkit dari kursinya dan berjalan lurus ke arah toilet. Pintu menuju
toilet terletak di bagian belakang food court, tersembunyi dari pandangan. Begitu ia berhasil
mencapai pintu toilet, Nadia menatap sekelilingnya, memastikan ia menuju pintu keluar.
Syukurlah penyakit buta arahnya tidak kambuh lagi.
Seperti yang diperintahkan Scott, Roland sudah berada di pintu belakang, menunggu
Nadia.
“Mana Scott?” tanya Nadia.
“Masih di dalam. Kita harus ke mobil lo sekarang...” kata Roland.
Nadia mengangguk. Dengan cepat, kedua orang itu mengendap-endap menuju mobil
Nadia yang terparkir di bawah sebuah pohon mangga di halaman food court.
“Land, ban mobil gue kempes!” seru Nadia shock. “Keempat-empatnya,” tambah Nadia lagi.
“Masuk ke mobil Scott,” kataRoland. Ia mengacungkan kunci mobil dan menunjuk Ford
Ranger biru yang terparkir di sisi lain lapangan parkir. Nadia mengangguk dan segera berjalan
menuju mobil itu.

***

Scott mengawasi lima orang pria yang duduk di salah satu meja. Ia dapat merasakan
mereka mengawasinya, hingga salah seorang diantara mereka bangkit dan berjalan ke arah
toilet. Scott menyadari sekarang adalah saat yang tepat.
Ia berdiri dan berjalan cepat ke arah mobilnya. Scott tersenyum kecut saat melihat ban
Cherokee merah Nadia yang kempes. Ia langsung menuju Ford Ranger biru miliknya.
Tanpa banyak bicara, Roland menyerahkan kunci mobil pada Scott. Scott langsung
menyalakan mobil dan melesat pergi meninggalkan tempat itu.
“Scott, apa yang sebenarnya membuatmu begitu tergesa-gesa?” tanya Nadia. “Apa yang
salah dengan orang-orang itu?”
“Kau hanya paranoid, Scott,” kata Roland.
“’Paranoid’?” tanya Scott. “Lihat di belakangmu,” Scott menunjuk kaca spion mobilnya.
Nadia dan Roland dapat melihat sebuah Hummer hitam membuntuti di belakang. Kaca gelapnya
membuat Nadia tidak bisa melihat siapa saja pengemudi mobil itu.
“Mereka mengikuti kita?” tanya Roland.
“Yup. Aku mengawasi orang-orang itu saat mereka memasuki mobilnya. Kita sudah diikuti
sejak tadi.”
“Kita?” tanya Nadia.
44
“Well, awalnya ia hanya mengikuti mobilmu. Tapi karena mobilmu tidak bisa digunakan,
mereka mulai mengikuti mobilku” kata Scott sambil konsentrasi mengemudi.
“Oke oke lo bener.. Sekarang kita mau kabur kemana?” tanya Roland.
“Menjauh dari mereka,” kata Scott menunjuk Hummer hitam yang masih membuntuti
mobil Scott. “Hang on,” gumam Scott. Tanpa ragu ia memijak pedal gas, membawa Ford Ranger
biru itu melesat dengan kecepatan penuh.
Ford Ranger biru itu melesat meliuk di antara ramainya lalu lintas. Nadia yakin kalau
Roland memaki-maki dalam hati. Scott tampak menikmati momen menegangkan ini. Yeah,
mungkin sejak ia berhenti dari S.A.S, Scott merindukan derasnya adrenalin saat harus
menghadapi musuh.
“Gila!! Lo bakal bikin kita semua mati!!” seru Roland dari bangku belakang.
“Tidak akan!” balas Scott. Ia membanting stir ke ke kiri, menghindari sebuah mobil kecil
berwarna mencolok. Dari jendela Ranger yang tertutup, Nadia membayangkan pengemudi
mobil itu pasti memaki-maki kaget.
“Belok ke kanan... kita nggak akan kejar-kejaran kayak gini di tengah kota...” perintah
Nadia.
“Are you kidding? Akan lebih berbahaya kalau kita harus membawa masalah seperti ini
keluar kota. Di dalam kota, kita bisa membaur dengan orang-orang biasa...” mata Scott berkilat-
kilat penuh semangat.
“Dan membahayakan mereka. Turuti perintahku, SEKARANG!”
Scott mendengus marah dan membanting stir ke kanan, membawa mereka ke sebuah
jalan besar yang sepi. Hummer hitam itu masih mengikuti mereka dengan ketat di belakang.
Scott mengumpat pelan sambil terus mengemudikan mobil dengan lihainya di tengah-tengah
lalu lintas yang mulai sepi. Ia melihat salah satu kaca Hummer dibuka dan salah seorang pria itu
menjulurkan badannya keluar, mengacungkan sebuah pistol M9 ke arah Ranger biru Scott.
“Bloody hell!” maki Scott. Ia meraih .44Magnum miliknya yang tersembunyi di balik jaket.
“Kau pernah menembak?” tanya Scott pada Roland.
“Be-belum...” jawab Roland ragu.
Scott tersenyum.
“Well, selalu ada first time untuk segala sesuatu...” ia melemparkan pistolnya kepada
Roland yang duduk di bangku belakang. Roland terbelalak kaget melihat .44Magnum di
tangannya. Ia menelan ludah.
“Aku nggak bisa...”
“Kau bisa!” potong Scott. “Arahkan saja pada ban mobil mereka.”
“Scott, ini Indonesia.... aku bisa ditangkap polisi karena menembakkan senjata
sembarangan...”
“Aku punya izin,” kata Scott. “Ayolah...”
Roland menelan ludah.

***

DOR! DOR!

45
Scott membanting stir ke kiri.
DOR! DOR!
Scott kembali membanting stir ke kanan.
“Roland...!” seru Nadia. “Scott, mereka menembaki kita!” seru Nadia panik.
“Aku tahu!” seru Scott. Ia mengendalikan Ford Ranger biru itu penuh semangat. Meski ia
memelototi jalan, ia menyeringai gembira.
“Buset! Ini Indonesia...! Bukan film action!!” seru Roland. Ia mencengkram pistol di
tangannya dengan gugup. Nadia dapat melihat buku-buku jarinya yang memutih saking eratnya
ia mencengkram .44Magnum milik Scott.
Scott kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam mengemudi dengan cara meliuk-
liukkan mobil di sela-sela lalu lintas yang sudah menjadi sedikit ramai. Nadia menangkap
serentetan umpatan yang digumamkan Scott tanpa sadar. Ia masih berkonsentrasi pada
tugasnya.
“Roland, siniin pistolnya,” kata Nadia. Roland menatap Nadia dengan bingung sebelum
menyerahkan .44Magnum Scott kepada Nadia. Nadia mengambilnya dan merasakan senjata itu
ditangannya.
“Kau bisa menembak?” tanya Scott.
“Nggak tahu. Aku cuma pernah main paintball sama air soft gun...” kata Nadia. Ia mulai
membidik dengan .44Magnum itu.
DOR!
Hummer hitam itu langsung kehilangan kendali. Tembakan Nadia mengenai salah satu
rodanya. Nadia terkejut sendiri melihat hasil perbuatannya. Ia hanya terbengong dengan
separuh badan yang dijulurkan keluar dari jendela Ford Ranger biru milik Scott, pistol masih
ditangannya.
Kalau saja Scott tidak menarik ujung kemeja Nadia, gadis itu sudah pasti akan mati
tersambar mobil lain. Nadia masih bengong saat Scott memelankan laju mobinya.
“Lucky shot,” gumam Scott nyengir.

***

46
Bab Delapan

Kantor itu terletak di lantai teratas gedung Foxhead Enterprises, New York. Mr Neil Welsh
memandang keluar dari jendelanya, menatap pemandangan malam kota New York yang luar
biasa. Sebuah senyum samar menghiasi bibirnya saat ia memandang kearah jutaan titik cahaya
di bawahnya.
“Mr Welsh, Mr Rory Atmojo dari Foxhead Indonesia menghubungi anda melalui saluran
lima,” kata sekretarisnya dengan nada datar. Mr Welsh mengangguk dan beranjak ke arah
telepon di meja kerjanya.
“Ada apa, Rory?” tanya pria itu dengan nada berwibawa.
“Mr Welsh, Black Star sudah memulai upaya mereka untuk menghancurkan kita. Mr
MacDonough melaporkan penyerangan dari Black Star terhadap mereka beberapa waktu yang
lalu,” suara Rory terdengar cemas dari seberang sana.
“Saya sudah menyerahkan wewenang ini pada anda, sepenuhnya. Akan sangat sulit bagi
saya untuk turun langsung ke sana,” jawab Welsh perlahan. “Lakukanlah apa yang menurut
anda perlu, Rory... Tetap pada rencana.”
“Saya mengerti, Mr Welsh...” kata Rory. “Maaf jika saya tidak sopan, tapi saya punya satu
pertanyaan untuk anda...”
“Well?”
“Apa yang membuat anda begitu tertarik dengan seorang wartawan dari stasiun TV swasta
Indonesia?”
Mendengar pertanyaan ini, Mr Welsh tersenyum lagi. Keheningan panjang mengambang
di udara sekitar mereka.
“Sayangnya, Rory, saya sedang tidak ingin menjawab pertanyaan anda...”

***

Nadia menatap layar televisi tanpa semangat sama sekali. Salah satu tangan memegang
ponsel, sementara tangan yang lain memegang remote TV. Ia menguap beberapa kali. Meski
mengantuk, ia tidak bisa tidur. Semua ketegangan di sekitarnya yang kerap kali terjadi akhir-
akhir ini membuat insomnia Nadia kambuh.
Ponselnya berdering, melantunkan Welcome To My Life milik Simple Plan. Nadia menatap
nama yang tertera di layar ponsel.
Danny.
Nadia memencet tombol dan menjawab telepon itu.

47
“Hallo?”
“Hey, Nad... Masih ingat data yang kemarin lo minta gue buat selidiki?” tanya Danny
dengan nada datar.
“Ingat. Kenapa, Dan?”
“Lo nggak nyebutin nama gue ke siapa-siapa ‘kan?” tanya Danny. Nadia kini merasakan
sedikit nada cemas dalam suara Danny. Nadia mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
“Nggak. Kenapa Dan?” tanya Nadia.
“Mmm... gue ngerasa dibuntutin akhir-akhir ini...”
“Maksud lo?”
“Lo tahu kan, kalau rumah gue itu berantakan kayak kapal pecah, kan? Nah, gue inget pasti
semua letak barang-barang gue di rumah itu...” kata Danny. “Tapi, kemarin, pas gue nyari-nyari
stapler, percaya atau nggak, posisi barang-barang gue berubah semua... Dan lo tahu apa yang
lebih gawat lagi?”
“Apaan?”
“Data-data yang gue kasih ke lo hilang semua dari komputer gue... bahkan sama back-up
semuanya.”
Nadia dapat merasakan keringat dingin mengalir di dahinya, meski ia memastikan bahwa
AC menyala dengan suhu yang dingin.
“Lo becanda, kan, Dan?” tanya Nadia ragu. Ia berharap Danny akan mengatakan ‘ya’ meski
kemungkinan itu sangat kecil.
“Ya nggak lah! Ngapain juga gue becanda begituan?! Halo? Nad, lo denger gue kan? Nad?”
Tapi Nadia tidak lagi mendengarkan. Ponselnya kini tergeletak begitu saja di atas sofa.
Nadia mulai mencari semua dokumen mengenai Green Troopers yang disimpannya. Sukurlah ia
berhasil menemukan dokumen-dokumen itu diantara tumpukan berkas-berkas peliputannya.
“Dan, dokumen gue masih ada di sini. Lo masih mau buat back-up?” tanya Nadia saat ia
kembali menempelkan ponselnya ke telinga.
“Nggak usah. Nad, kali ini lo udah melibatkan diri ke dalam masalah besar,” kata Danny.
“Gue tahu.”
“Kalau urusan beginian, lo nggak akan bisa berhenti begitu aja lho...”
“Gue nyadar.”
“Terus kenapa masih lo lanjutin juga?! Nad denger. Black Star bukan sekedar organisasi
pengedar narkoba kecil-kecilan tapi organisasi yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan
penyelundupan dan macem-macem lagi...” kata Danny.
“Gue tahu, Dan. Tapi udah terlambat bagi gue buat berhenti. Tanggung kepalang basah,
gue bakal nerusin penyelidikan gue,” kata Nadia. Ia menyandar ke sofa di ruang tengahnya
dengan ponsel masih menempel di telinga sementara sebelah tangannya yang lain memeriksa
dokumen di tangan. “Tapi terima kasih udah mencemaskan gue. Gue baik-baik aja kok. Toh, gue
nggak harus melakukan semuanya sendiri.”
“Ya, gue tahu Roland bakalan men-support lo... Dan Scott MacDonough.”
Nadia tersentak kaget mendengar Danny menyebut-nyebut nama Scott. “Darimana lo tahu
soal Scott?” tanya Nadia.

48
“Hmmm... kemarin gue iseng-iseng nyelidikan tentang Foxhead Indonesia, Rory Atmojo, dan
eh... ngintip-ngintip sedikit...”
“Gila lo, Dan,” kata Nadia sambil tersenyum.
“Emang,” jawab Danny ringan. Nadia dapat merasakan senyum dalam nada suaranya.

***

Scott MacDonough menyusun semua senjata yang dibawanya dalam rangka tugas kali ini.
Sebuah PDR, M4A1 yang dilengkapi Grenade Launcher, .44 Magnum, beberapa flashbang dan
smoke grenade, tactical knife, dan kevlar. Selain itu, ia juga memiliki sebuah peti berukuran
besar yang memuat semua amunisi yang akan ia perlukan untuk tugas kali ini. Untunglah ia
memiliki izin khusus untuk semua senjata. Kalau tidak, semua polisi Indonesia pasti akan
mendatangi rumahnya karena dianggap teroris.
Scott merogoh ke dalam ransel besar yang ia bawa, menggali-gali ke dalamnya untuk
menemukan satu pak rokok. Scott mendengus melihat benda itu dan melemparkannya ke
seberang ruangan. Sudah dua tahun ia berhenti merokok, tapi tetap saja ia selalu membawa
paling tidak satu pak rokok kemana-mana.
Ponsel Scott berbunyi, menyanyikan The Lion Sleeps Tonight dengan suara keras. Scott
mengangkat ponsel tanpa repot-repot melihat siapa yang menelepon.
“Hello?”
“MacDonough, Mr Welsh ingin bertemu denganmu.”
“Oke.”
“Di New York.”
“O... WHAT?!”
Suara Rory Atmojo terdengar sangat tenang saat ia mngatakan hal itu. Scott memandang
ponselnya dengan mata terbelalak seolah berusaha memastikan ia tidak salah dengar.
“Anda bercanda, Mr Rory?” tanya Scott. “Hanya aku atau dengan Nadia dan Roland juga?”
“Semua, MacDonough,” kata Rory kalem.
Scott mendengus mendengar semua ini. Sekarang ia harus pergi ke New York? Ia
bersyukur mereka membiayai semua pengeluaran Scott dan membayarnya dengan upah yang
tinggi.
“Kapan kami akan berangkat?”
“Jet milik Foxhead Enterprises akan siap malam ini.”
Scott kembali mendengus. “Aku akan menghubungi Nadia dan Roland.” Scott menutup
teleponnya dan mulai mengemasi senjata-senjatanya. Sekarang ia harus berkemas untuk pergi
ke New York. Sejujurnya, Scott tidak terlalu menyukai rencana ini. Ia mendengus mendengar
mereka harus berangkat ke New York malam ini untuk menemui Mr Neil Welsh, pemilik
Foxhead Enterprises. Untuk satu dan dua alasan, Scott merasa perjalanan mereka kali ini tidak
akan semenyenangkan bayangan mereka.
Scott mengangkat .44 Magnum miliknya dan mengamati benda itu. Ia tersenyum saat
kenangan lama membanjiri benaknya.

49
***

Scott dan Matt, dua sahabat di S.A.S yang dekat satu sama lain bagaikan saudara. Suatu
hari libur yang cerah di Credent Hill, Inggris. Hari libur memang harus dinikmati oleh semua
tentara yang ada di tempat ini. Bagi Scott dan Matt, liburan adalah waktu untuk bersenang-
senang dan menikmati banyak hal bersama.
Yeah, seperti memancing.
Di kolam ikan belakang rumah Matt.
“Bloody hell! Aku bahkan tidak bisa menangkap seekor ikan pun!” gerutu Scott memaki kail
pancingnya. Matt terkekeh melihat sahabatnya.
“Scott, kau mampu menembak target apa pun dari jarak berapa pun dengan sebuah .44
Magnum, tapi jujur saja... Ikan itu mengalahkanmu,” kata Matt.
“Well, .44 adalah perpanjangan tanganku, sementara benda ini,” ia menatap kail di
tangannya, “Hanya sepotong benda panjang bodoh.”

***

Roland memasukkan baju-bajunya ke dalam sebuah ransel dan mengemasi kameranya.


Kali ini, ia tidak berusaha merepotkan diri dengan membawa banyak bawaan seperti peliputan
lainnya. Ia telah memastikan surat izinnya ditulis dengan benar sebelum dititipkan pada salah
seorang teman kantor. Begitu juga dengan surat Nadia. Tidak butuh waktu lama untuk bersiap.
Saat Ford Ranger biru milik Scott berhenti di depan rumahnya, Roland telah siap sedia.
Roland keluar dari rumah, menitipkan beberapa pesan pada tetangganya (seorang ibu-ibu
paro baya yang hobi bergosip) untuk memastikan lampu depan menyala, dan seterusnya, dan
seterusnya.
Scott dan Nadia menunggu pemuda itu dengan sabar di dalam mobil. Nadia mengamati
gantungan kecil yang menghiasi kaca depan mobil. Tanpa sadar, ia bertanya kepada Scott,
“Apa kau merindukannya?”
Pertanyaan itu lirih, tetapi jujur saja, membuat Scott terlonjak di kursi pengemudi. Ia
menatap Nadia dengan pandangan bingung. Selama ini, Nadia selalu berusaha menghindari
pembicaraan mengenai masalah ini, dan sekarang... gadis itu malah memancingnya.
“Siapa yang kau maksud?” tanya Scott, bersikap seolah-olah tidak mengerti.
Nadia tersenyum samar dan menggeleng pelan. “Jangan berpura-pura, Scott. Apa kau
merindukan Matt?”
“Sejujurnya?” tanya Scott. Nadia mengangguk. “Ya. Bagiku, Matt sudah seperti saudara
sendiri. Ia bukanlah orang yanng senang bergaul dengan orang lain, dan semua orang di
resimen mengetahuinya,” kata Scott. “Matt adalah orang yang menyenangkan sebenarnya,
hanya saja ia jarang berbicara dengan orang lain. Sampai ia bertemu dengan seorang gadis
Indonesia yang mengubahnya,” Scott menatap Nadia. “Dan gadis itu adalah kau.”
Nadia dapat merasakan wajahnya memerah selama beberapa saat.
“Matt bercerita banyak tentang dirimu, dan percaya atau tidak, itulah pertama kalinya aku
mendengar Matt berbicara dengan banyak orang dan tertawa bersama mereka,” kata Scott.
“Saat itu aku mulai bertanya-tanya, siapa gadis yang mampu mengubah kepribadian Matt?

50
“Lalu aku bertemu denganmu. Matt sangat menyayangimu, melebihi dirinya sendiri. Aku
ingat semua surat dan e-mail yang ditulisnya untukmu setiap kali kami memiliki kesempatan.
Dia akan resah kalau kau tidak membalas e-mail-nya dan dia akan melonjak gembira saat
menerima e-mail darimu. Saat itu, aku benar-benar melihat sisi lain pada diri Matt. Saat ia
membaca semua e-mail darimu, aku tidak lagi melihat seorang tentara kaku yang mampu
menembak musuh dari jarak tiga ratus yard. Yang kulihat adalah seorang pemuda dengan
cengiran tolol di wajahnya yang sedang jatuh cinta.
“Sejak Matt bertemu denganmu, ia mulai membuka diri. Dan jika kau bertanya apa aku
merindukannya, ya. Aku merindukan Matt, saudaraku,” kata Scott. “Maafkan aku.”
Nadia menoleh menatap Scott dengan pandangan bingung. Ia dapat merasakan sudut
matanya sedikit basah.
“Untuk apa?” tanya Nadia.
“Kau mungkin sudah lupa...”

***

Nadia memandang ke arah Matt yang sudah masuk ke dalam mobilnya. Nadia
menyuruhnya masuk ke mobil terlebih dahulu karena ada yang harus ia katakan pada Scott. Gadis
itu menatap Scott dengan pandangan serius. Scott balas memandang Nadia dengan mata birunya
yang dalam.
“Scott, promise me...” kata Nadia lirih. “Kau akan menjaga Matt untukku...”
Scott menatap Nadia selama beberapa saat sebelum berkata,
“Aku berjanji.”

***

“Aku tidak menepati janjiku,” kata Scott. “Maafkan aku.”


Nadia tersenyum. “Well, aku... Aku tidak menyalahkanmu... Matt menghilang dalam tugas,
itulah yang terjadi,” kata Nadia. “Terkadang aku berharap Matt akan muncul suatu hari nanti.
“Saat Mrs Smith menghubungiku, aku nyaris tidak percaya. Matt menghilang. Bagiku, MIA
sama saja dengan mati. Mrs Smith berjanji akan mengirimkan surat terakhir Matt padaku, tapi
surat itu tak pernah sampai. Aku pun tak lagi bisa menghubungi keluarga Smith,” jelas Nadia.
“Saat itu, aku berharap dapat melupakannya dan terus melanjutkan hidupku... Semua baik-baik
saja, hingga kau muncul.
“Aku tidak menyalahkanmu. Kau membawakan kembali apa yang selama ini telah hilang
dariku. Saat aku melihatmu, aku kembali berharap akan melihat Matt menghampiriku, karena
kalian berdua benar-benar tak terpisahkan...” Nadia dapat merasakan air mata mulai mengalir,
tapi gadis itu menahannya. “Aku merindukannya...”
Scott menghela nafas. Ia berusaha menahan keinginan untuk memeluk gadis itu dan
membiarkannya menangis. Tetapi, Nadia adalah orang yang harus ia lindungi, dan ia tidak boleh
mencampurkan emosi dalam pekerjaannya. Sebagai gantinya, Scott meremas lembut tangan
Nadia.

51
Beberapa menit kemudian, Roland telah selesai dengan urusannya dan masuk ke dalam
mobil. Ia sempat melihat tangan Scott yang menggenggam tangan Nadia sebelum pria itu
kembali menarik tangannya. Melihat mata sembab Nadia membuat Roland bertanya-tanya pada
dirinya sendiri.
“Apa yang terjadi?” tanya Roland. Pemuda itu tak mampu menahan rasa ingin tahunya
yang terlalu besar.
“Bukan apa-apa...” jawab Nadia berusaha menenangkan Roland yang menatapnya dengan
pandangan curiga.
Roland mengangkat bahu. Jika Nadia tidak ingin menceritakan masalahnya, Roland tidak
ingin mengorek-ngorek lebih jauh lagi. Ia sangat menghargai privasi Nadia dan tidak ingin
mendobrak masuk ke dalam hal-hal yang jauh lebih pribadi bagi gadis itu. Roland tahu, Nadia
akan bercerita sendiri jika ia sudah siap. Yang harus ia lakkukan hanyalah menunggu dengan
sabar.
Perjalanan itu sangat hening. Scott membiarkan CD player mobilnya melantunkan lagu-
lagu dari album Meteora milik Linkin Park. Nadia mendengarkan semua lagu, membiarkan
dentuman musik rock itu menenangkan pikirannya. Pembicaraan dengan Scott yang baru saja ia
alami bukanlah jenis percakapan yang diharapkannya akan terjadi antara ia dan Scott. Nadia
terkejut, bagaimana sebuah pertanyaan kecil dapat membuat mereka bercerita tentang masa
lalu, tentang Matt.
Bagi Nadia, Matt adalah orang yang paling ia sayangi; sementara bagi Scott, Matt adalah
saudara yang tak tergantikan. Bagi mereka berdua, Matt adalah orang yang sangat berarti.
Scott dan Matt bersahabat sejak mereka masih memakai popok. Mereka tumbuh bersama,
dan sama-sama bercita-cita masuk kemiliteran setelah dewasa. Scott mengenal Matt lebih dari
siapa pun, tapi Nadia lah yang berhasil menghancurkan dinding Matt yang selama ini
dibangunnya. Scott satu-satunya orang yang mampu melihat apa yang ada di balik dinding itu,
tapi Nadia yang membukanya.
Kini mereka duduk di dalam pesawat jet milik Foxhead Enterprises yang nyaman. Roland
membersihkan kameranya sementara Scott memeriksa PDR miliknya. Mereka terlibat sedikit
masalah perizinan senjata-senjata milik Scott, tapi berhasil lolos dengan baik. Scott memiliki
surat izin terhadap semua senjata dan macam-macam syarat lainnya. Mereka tinggal menunggu
penerbangan ke New York.

***

“Mr Welsh, mereka sudah berangkat,” suara bernada datar milik Anna Volks membuat
Neil Welsh menoleh dari aquarium raksasa yang menghiasi kantornya. Mata hijaunya menatap
Anna Volks dengan penuh rasa ingin tahu.
“Bagus sekali. Sekarang, giliranku untuk memulai permainan ini...” kata Neil Welsh. “Anna,
dimana Sanderson?” tanya Welsh. Pria itu kembali mengalihkan perhatiannya pada aquarium
raksasa.
“Mr Sanderson sedang dalam perjalanan ke tempat ini, sir. Ia akan tiba sekitar sepuluh
menit lagi,” jelas Anna. Gadis itu melirik clipboard di tangannya, memeriksa beberapa catatan
yang baru saja ia tambahkan sebelum memasuki kantor Welsh tadi. “Sebentar lagi, anda ada
janji pertemuan dengan Mr Stuart dan Mr Igarashi.”
“Terima kasih, Anna,” jawab Neil Welsh. Ia bangkit dari kursi kulit hitamnya, dan berjalan
keluar dari kantor yang luas itu. Anna Volks mengikutinya dengan diam.
52
***

Bab Sembilan

Nadia, Roland dan Scott di sambut dengan ramah oleh seorang pria yang sedikit lebih tua
dari pada Scott dengan rambut pirang dan mata biru gelap. Scott menyapa pria itu dengan kaku,
tanpa minat sedikit pun. Nadia dan Roland bertanya-tanya, apa mereka pernah bertemu dan
saling kenal sebelumnya, tetapi ketegangan antara Scott dan pria itu menghalangi mereka.
“Lama tidak bertemu, Sanderson,” kata Scott dingin.
“Senang berjumpa denganmu lagi, MacDonough,” jawab pria itu. Ia tersenyum lebar pada
Nadia dan menjabat hangat tangan Roland. Scott menggeram sedikit.
“Apa kalian saling kenal?” tanya Nadia akhirnya.
“Tidak juga—“ perkataan Scott langsung dipotong oleh pria itu.
“Tentu saja. Kami saling kenal satu sama lain, benar ‘kan, MacDonough?”
“Diam, Sanderson,” geram Scott.
“Perkenalkan, namaku Harry Sanderson. Pengawal pribadi sekaligus asisten Mr Neil
Welsh dari Foxhead Enterprises. Senang bertemu dengan anda Miss Nadia Denissa dan Mr
Roland dari EightTV Indonesia, benar?” tanya pria bernama Sanderson itu dengan ramah.
Nadia tersenyum. “Sebenarnya kami datang bukan dalam urusan pekerjaan,” kata Nadia.
Sanderson tertawa.
“Ya... Mr Welsh sudah menjelaskan alasan anda kemari. Selamat datang di New York!”

***

Nadia memperhatikan keseluruhan ruangan kantor itu dengan tatapan kagum. Ia nyaris
tak mampu melepaskan pandangan matanya dari sebuah aquarium raksasa di dinding, dimana
beberapa ekor ikan eksotis berukuran besar berenang dengan anggun, dilatar belakangi air
bening yang diberi pencahayaan indah, tampak amat mirip hingga ia berpikir bahwa aquarium
ini adalah miniatur kedalaman sungai di hutan hujan. Sebuah meja besar mewah diletakkan di
satu sisi ruangan, membelakangi jendela kaca besar dan tebal yang memberikan langsung
pemandangan indah kota New York di malam hari.
Nadia memperhatikan Mr Neil Welsh. Ia bertubuh tinggi, dengan rambut kelabu dan mata
hijau cerah yang penuh selidik. Ia melemparkan pandangan ramah pada Nadia, Roland, dan
Scott serta memberi anggukan kecil pada Sanderson. Di samping Welsh, seorang wanita
berwajah serius dengan tatapan mata tajam dan kacamata berbentuk mata kucing menatap

53
mereka tanpa ekspresi. Dari name-tag yang dikenakannya, Nadia mengetahui bahwa wanita itu
bernama Anna Volks.
“Miss Nadia Denissa, Mr Roland, senang bertemu dengan anda. Begitu juga dengan anda,
Mr Scott MacDonough. Kami benar-benar berterima kasih atas pertoongan anda untuk
melindungi mereka berdua,” kata Welsh ramah. Scott mengangguk kaku sambil tersenyum
sedikit.
“Sudah kewajiban saya,” jawab Scott singkat.
Welsh kembali mengangguk, mempersilahkan Nadia dan Roland duduk. Scott lebih
memilih berdiri, dan mengawasi mereka, meski ia juga ikut mendengarkan pembicaraan.
Melihat Sanderson di tempat ini membuat Scott merasa sedikit was-was.
“It’s been a long time, MacDonough,” kata Harry Sanderson. “Sejak kejadian di pesawat
pribadi Dimitri Petropavlosk...”
Scott menatap Sanderson dengan tajam.
“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” jawab Scott singkat.
“Jangan berbohong, MacDonough. Kau pikir aku tidak tahu apa saja yang kau alami
setelah kejadian itu?” tanya Sanderson. “Kau berhenti dari S.A.S setelah Matthew Smith
dinyatakan Missing In Action, benar bukan?” Scott merasakan otot-ototnya menegang
mendengar Sanderson menyebut-nyebut Matt. “Gadis itu...” Sanderson mengedikkan kepalanya
ke arah Nadia, “Dia pacarnya Smith, benar?”
“Diam, Sanderson. Aku tidak tahu darimana saja kau mendapatkan informasi itu, tapi
sebaiknya kau tutup mulut.”
“Well, mengenai gadis itu, Smith sendiri yang menceritakannya padaku. Ayolah,
MacDonough, kau pikir aku tidak menyadari perubahan sikap Smith?” Sanderson terkekeh,
“Semua orang di resimen sudah tahu tentang hubungan antara Smith dan gadis Indonesia itu.
Smith bercerita banyak tentangnya.”
“Piss off, Sanderson,” gerutu Scott. Ia benar-benar tak ingin dibantu saat ini. “Kalau kau
berani membuka mulut lagi tentang Matt, ku rontokkan semua gigimu saat ini juga.”
Sanderson kembali terkekeh, tapi ia tidak berkomentar lebih lanjut lagi.

Nadia menatap pria dihadapannya ini. Sesekali, gadis itu mencuri pandang ke arah Scott
dan Sanderson yang berdiri di salah satu sudut ruangan. Mereka tampak tengah berbicara
serius.
“Saya menonton liputan anda mengenai acara Green the Earth oleh Green Troopers di
Singapura beberapa waktu yang lalu. Menurut saya, liputan itu sangat bagus,” komentar Mr
Welsh. “Saya menonton melalui video streaming di internet, anda tahu.”
“Terima kasih, sir,” kata Nadia. Ia merasakan wajahnya bersemu merah. Bayangkan, salah
satu orang terkaya di dunia memuji liputannya. Seketika itu juga, ia merasa hatinya berbunga-
bunga. Tapi Nadia cepat menguasai diri. “Sebenarnya, Roland banyak membantu saya. Dia
kameramen yang menemani saya saat itu,” kata Nadia. “Tanpa dia, liputan itu tidak akan
menjadi bagus seperti yang anda lihat.”
“Saya mengerti. Setelah melihat peliputan itu, saya mulai mencari berbagai informasi
mengenai anda, dan—seperti yang anda ketahui—kami segera mengontak anda melalui Rory
Atmojo, kepala cabang Foxhead Enterprises di Indonesia. Jujur saja, Miss Nadia, anda sangat
bersemangat saat melakukan peliputan, saya berani jamin itu,” kata Neil Welsh. “Selain itu, kami
juga mengetahui bahwa anda menyelidiki berbagai hal mengenai Green Troopers, Black Star,
54
dan SilverSky International. Sejak dulu kami sudah curiga kalau ketiga kekuatan itu memiliki
hubungan yang tidak biasa.
“Seperti yang anda ketahui, sejak pertama kali berdiri, Foxhead Enterprises telah
memiliki saingan berat, yaitu SilverSky International yang dipimpin oleh Dimitri Petropavlovsk.
Lalu mengenai hubungan saya dengan Mr Petropavlovsk yang tidak terlalu baik. Sejak dulu saya
sudah merasakan kalau ada yang aneh dengan SilverSky International, apa lagi setelah
Petropavlovsk mendirikan organisasi lingkungan hidup Green Troopers. Mungkin anda juga
menarik kesimpulan berdasarkan informasi-informasi tentang kegiatan-kegiatan Green
Troopers yang sering kali di adakan di tempat yang sama dengan pertemuan organisasi Black
Star, atau masalah kematian fotografer di Chicago itu... Jujur saja, kami memiliki banyak bukti-
bukti lain yang mungkin dapat membantu anda,” jelas Mr Neil Welsh.
“Darimana anda tahu saya menyelidiki mengenai Green Troopers dan Dimitri
Petropavlovsk?” tanya Nadia. Ia menatap Welsh dengan pandangan penuh selidik. “Bahkan
tetangga saya tidak mengetahui apa yang saya lakukan.”
Welsh tertawa ringan, membuat Nadia dan Roland merasa bingung.
“Miss Nadia, tentu saja kami memiliki sumber-sumber tersendiri...” kata Welsh. “Tapi
bukan itu masalahnya, Miss Nadia. Begini, kami mengetahui lebih banyak mengenai Black Star,
Green Troopers dan SilverSky International. Tugas anda hanyalah menyelidiki lebih jauh lagi.
Tidak akan aneh jika seorang wartawan seperti anda yang menyelidiki masalah ini, apa lagi
anda pernah membahas tentang Green Troopers sebelumnya.”
“Bukankah akan lebih gampang kalau anda menyewa seorang detektif untuk menyelidiki
mereka?” tanya Roland angkat bicara. Welsh mengalihkan perhatiannya pada Roland.
“Saya rasa tidak akan aneh kalau seorang wartawan seperti Miss Nadia melakukan
wawancara dan berkeliling ke sana kemari mencari informasi. Jika aku menyewa detektif,
Dimitri Petropavlovsk akan mencurigai Foxhead Enterprises,” kata Welsh. “Dan saya lihat, Miss
Nadia memiliki potensi yang menarik.”
“Terimakasih banyak, Mr Welsh” ucap Nadia yang telah mengucapkan kata ‘terimakasih’
kepada Mr Welsh berkali-kali banyaknya. Roland diam saja setelah mendengar jawaban Mr
Welsh yang tidak pernah tepat sasaran dengan pertanyaan yang diajukan, membuatnya dirinya
curiga kepada salah satu orang terkaya didunia ini. Ia tidak mengerti, apakah semua orang kaya
berbicara seperti itu. Tidak jelas dan susah dimengerti maksudnya.
“Baiklah Miss Nadia dan Mr Roland terimakasih atas kedatangan anda ke kantor kami atas
undanganku. Sebuah kesempatan yang sangat besar bagi kami untuk bekerja sama dengan anda
berdua. Sebenarnya aku ingin mengajak kalian makan malam di sebuah restoran di kantor ini,
tapi sayang sekali aku harus pergi karena ada urusan lain.” kata Mr Welsh menutup
pembicaraan. Ia berdiri dan menjabat tangan Nadia dan Roland dengan tegas tapi bersahabat.
“Tidak apa Mr Welsh. Kami sangat senang menerima undangan anda. Terimakasih
banyak,” kata Nadia setelah ia dan Roland menjabat tangan Mr Welsh. Sedangkan Roland hanya
mengangguk dan tersenyum saja. Scott yang sedari tadi berdiri terpaku di sudut ruangan mulai
menggerakkan kakinya ketika Nadia dan Roland mulai beranjak dari tempat duduk.
Baru beberapa langkah Nadia dan Roland berjalan dari tempat duduk menuju pintu, Mr
Welsh membuka mulut kembali.
“Miss Nadia, kami sangat memercayakan misi ini kepada anda,” ucapnya dengan nada
yang mantap dan terkesan misterius. Matanya yang hijau berbinar itu menatap mata Nadia
dalam-dalam, meninggalkan kesan bahwa ia tidak main-main atas ucapannya.
“Tentu saja Mr Welsh. Aku menjalankan misi ini dengan sungguh-sungguh atas kepuasan
diriku sendiri” jawab Nadia tidak kalah mantapnya.
55
“Bagus sekali. Oh ya, jangan lupa tentang makan malam yang saya bicarakan tadi. Mr
Sanderson bisa mengantarkan anda sambil melihat-lihat isi kantor” saran Mr Welsh. Sanderson
yang dari tadi berdiri terpaku di sudut ruangan seperti Scott langsung tersenyum menandakan
kesediannya mengajak Nadia dan Roland mengelilingi kantor dan makan malam.
Baru saja Nadia akan memberikan persetujuannya. Scott memberi isyarat mata yang
seakan mengatakan ke Nadia untuk menjawab ‘tidak perlu repot-repot’ kepada Mr Welsh.
“Ah.. Terimakasih atas kebaikanmu Mr Welsh. Tapi, kami akan melihat-lihat isi kantor
sendiri. Saya rasa Scott sudah cukup tahu seluk beluknya” jawab Nadia dengan sedikit terbata.
Mr Welsh hanya dapat tersenyum dan mempersilahkan mereka pergi dengan isyarat
tangannya. Sedangkan Sanderson yang mendapat penolakan dari Nadia hanya tersenyum licik,
ia tahu jawaban Nadia pasti suruhan dari Scott. Dan dia juga tahu mengapa Scott begitu
membencinya.
“Mr. Sanderson. Jangan terburu-buru dulu, aku ingin berbicara empat mata denganmu”
ucap Mr Welsh begitu Sanderson mulai beranjak dari tempat berdirinya. Ia pun mengambil
tempat duduk didepan mr Welsh dan kembali tersenyum.

***

“Woow.. Ini restoran yang paling mewah yang pernah aku liat!” ucap Nadia kegirangan
setelah mereka bertiga sampai di restoran bintang lima itu. Kursi-kursi makan yang sangat
empuk, meja makannya yang bernuansa klasik, dan suara piano yang mengalun merdu yang
menggema diseluruh ruangan, tidak salah kalau restoran ini menjadi tempat penjamuan
makanan untuk para pejabat negara atau para petinggi Foxhead.
“Lihat saja karpetnya ini, sangat halus dan cerah. Pemandangan malam New York.. Hhh...
nggak ada yang sebagus ini. Iya kan Roland?” lanjut Nadia.
“Nggak biasanya lo jadi design interior begituan,” kata Roland sambil memutar bola
matanya. Nadia mendengus kesal, semua pujiannya tentang restoran ini tidak satupun
didengarkan oleh Roland.
Tidak berapa lama setelah mereka duduk di salah satu restoran yang langsung
menampakkan keindahan kota New York, datanglah seorang waitress berpakaian putih yang
rapi, menanyakan menu yang akan dipesan.
“Ini semua Mr Welsh yang bayar kan?” bisik Roland kepada Scott. Ia takut ujung-ujungnya
setelah menyantap makanan, ia tidak diperbolehkan pulang kembali ke Indonesia karena tidak
bisa membayar makanan yang harganya luar biasa mahal ini.
“Tenang saja. Pilih sesukamu” jawab Scott yang sibuk sendiri melihat menu list, memilih-
milih makanan untuknya. Setelah mendengar hal itu, baru Roland melanjutkan kegiatan
memilih menu makan malamnya tanpa rasa khawatir.
“Makan apa lo Nad?” tanya Roland kepada Nadia yang telah selesai memesan makanan.
Sepertinya pertanyaannya yang terus menerus membuat Nadia kesal.
“Nanya mulu dari tadi.. Pilih apa aja kek, semuanya dijamin enak!” jawab Nadia seolah ia
sudah berkali-kali makan di Foxhead Restaurant ini. Roland mendengus kesal, dan akhirnya ia
memilih makanan dengan asal.
Menunggu makanan dari restoran yang tidak biasa sepertinya sedikit lama dibandingkan
dengan restoran sederhana lainnya. Tidak seperti Kucing Cafe yang berada didepan kantor
EightTV, yang begitu makanannya dipesan, hidangan pun datang kurang dari lima menit
56
kemudian. Suasana sedikit sunyi ketika sedang menunggu, tidak ada bahan yang mau
dibicarakan. Sebenarnya ada banyak di kepala Nadia, tapi dia tidak bisa mengatakan itu semua
selagi masih ada Roland disini. Tentang Matt tentunya. Kesunyian yang menimpa sepertinya
membuat Roland gelisah.
“Kita kapan pulangnya?” tanyanya tiba-tiba kepada Scott yang sedang memandang keluar
jendela. Pemandangan malam New York dari atas memang sudah lama tidak dilihatnya ketika
kembali dari misi dimana Matt tidak ditemukan lagi.
“Em.. Yang pastinya malam ini. Banyak yang harus dilakukan di Indonesia” jawab Scott
tanpa melihat ke arah Roland. Roland hanya mengangguk saja.

***

Sebuah mobil berwarna silver menunggu Nadia, Roland dan Scott begitu mereka keluar
dari ‘kerajaan’ Foxhead. Dari dalam mobil keluar seorang berambut pirang dan bermata biru
seperti Scott yang langsung bisa ditebak adalah supir yang akan mengantarkan mereka bertiga
kembali ke bandara.
“Silahkan..” ujar si supir setelah ia membukakakn pintu untuk Nadia dan Roland
memasuki mobil. Sedangkan Scott lebih memilih masuk dari sisi lainnya dan duduk disebelah
supir. Di dalam perjalan, Roland masih memegang perutnya yang kekenyangan akibat salah
memilih menu yang mempunyai porsi ukuran terlalu besar dimakan sendirian, Nadia merasa
bersalah menyuruh Roland memilih makanan secara acak tadi.
Tidak menunggu lama, sang supir berhasil mengantarkan Nadia ke bandara dengan
selamat. Cukup menunjukkan kartu identitas dan scanning barang bawaan, mereka bertiga
diperbolehkan menuju kawasan lepas landas, tempat dimana pesawat pribadi milik perusahaan
Foxhead ‘diparkirkan’.
Begitu memasuki pesawat dan duduk ditempat yang paling nyaman, Roland langung
merebahkan kursi pesawat menjadi tempat tidur mini khusus untuk dirinya. Menarik selimut
keatas untuk menutupi badannya dan dalam beberapa menit saja, sudah dipastikan Roland
tertidur karena kekenyangan.
Scott yang dari tadi tidak banyak bicara setelah bertemu dengan Sanderson membuat
Nadia heran sekali.
‘Pasti ada sesuatu hal yang terjadi diantara mereka berdua’, begitu pikirnya. Dan dia kira
ini adalah saat yang tepat untuk bertanya.
“Scott, ada yang ingin aku tanyakan” kata Nadia membukan percakapan. “Apa
hubunganmu dengan Mr Sanderson?”
“Sudah kuduga..” komentar Scott, ia memutar badannya membelakangi Nadia.
“Ayolah Scott, kau tidak bisa menyembunyikan hal itu padaku. Sifatmu berubah 180 ο
setelah bertemu dengannya. Apa yang membuatmu begitu membencinya?” tanya Nadia lagi.
Scott sadar ia tidak akan bisa membuat Nadia berhenti bertanya. Toh, Nadia sudah
melihat bagaimana sikapnya terhadap Sanderson. Scott memperbaiki posisi duduknya dan
berpikir sejenak sebelum menjawab. Nadia masih tidak bergerak menunggu jawaban dari Scott.
Ia mengamati wajah serius pemuda itu.
“Well?” pancing Nadia.
Scott menghela nafas panjang dan mulai bercerita

57
***

Bab Sepuluh

Scott MacDonough dan Matthew Smith adalah sahabat baik. Bagi Matt, Scott bagaikan
seorang saudara laki-laki yang tidak pernah ia miliki sebelumnya. Scott dan Matt sudah
bersahabat sejak mereka masih memakai popok. Mereka masuk ke sekolah yang sama, bahkan
memutuskan untuk masuk ke dunia militer bersama-sama.
Mereka bergabung di S.A.S, 22 S.A.S Regiment yang bermarkas di Credenhill, Herefordshire,
Inggris. Seperti semua orang lainnya di dunia ini, dua sahabat ini memiliki musuh bebuyutan.
Harry Sanderson salah satunya.
Sanderson tidak pernah disukai di kalangan tentara 22 S.A.S Regiment. Beberapa terang-
terangan menunjukkannya, sementara yang lain menyimpannya dalam hati. Sisanya tak pernah
peduli pada keberadaan tentara berambut pirang bermata biru gelap itu. Sanderson memiliki
kemampuan yang biasa-biasa saja, tidak menarik banyak perhatian. Tapi semua orang tahu,
betapa ia ingin menjadi pusat perhatian.
Scott salah satu orang yang menunjukkan kebenciannya, sementara Matt memilih untuk
tidak peduli. Seberapa keras pun Sanderson berusaha memancing Matt, pemuda itu tidak pernah
menggubrisnya.
“Kau tahu, suatu hari nanti, aku akan menghancurkan makhluk itu hingga berkeping-
keping,” gerutu Scott sambil mengelus pergelangan tangannya yang sakit. Ia memaki dalam hati
saat Sanderson tanpa sengaja memukul pergelangan tangan Scott saat mereka melakukan
latihan fisik. Matt hanya tersenyum singkat melihat kekesalan Scott.
“Kau ingin mengadu pada Kapten?” tanya Matt.
Scott mendengus. “Yang benar saja... Aku bukan bayi.”
“Kau tahu, kau membuat masalahmu dengan Sanderson seperti perkelahian anak sekolah,”
komentar Matt. “Terkadang kalian berdua membuatku muak.”
Scott menghiraukan Matt begitu saja. Dia tidak peduli pada apa yang Matt katakan. Yang ia
inginkan hanyalah bersantai, sebelum misi dimulai.

***

Matt tak henti-hentinya berbicara tentang gadis itu. Gadis Indonesia yang ditemuinya saat
ia berlibur di Weymouth. Gadis itu seorang wartawan muda, berwajah manis dengan tubuh
mungil dan rambut hitam gelap. Pertemuan mereka tidak disengaja, saat gadis itu membeli es
krim, Matt menabraknya hingga jatuh, menumpahkan es krim coklat ke baju gadis itu.
58
Sebagai gentleman Inggris yang baik, Matt meminta maaf dan membantu gadis itu
membersihkan baju kaus putihnya yang kini bermotif coklat susu berantakan. Gadis itu
menggerutu panjang pendek dalam bahasa yang tidak dikenali Matt.
“Kau merusak bajuku,” kata gadis itu dengan bahasa Inggris yang amat baik.
“Kau saja yang jalan tidak lihat-lihat,” kata Matt. Gadis itu tidak menggubris komentarnya
seperti ia tidak menggubris permintaan maaf Matt tadi. Hal ini tentu saja membuat Matt kesal.
“Sial, sekarang aku harus mengganti bajuku...” kata gadis itu. “Kau harus ganti rugi.”
Gadis itu mendongak, menatap Matt dengan mata almond-nya yang besar dan berwarna
gelap. Matt menyadari bahwa gadis itu cantik. Sederhana, tetapi cantik, dengan kulit coklat cerah
dan rambut panjang gelap yang diikat menjadi sebuah ekor kuda.
“Maafkan aku. Aku akan bayar biaya laundry-nya. Ngomong-ngomong, namaku Matthew
Smith. Namamu?” tanya Matt. Sekarang ia merasakan wajahnya sedikit bersemu merah.
Matt? Si tentara yang terkadang dianggap stoic karena sikap dinginnya memperkenalkan
diri dengan ramah kepada seorang gadis dan—lebih parah lagi—bersemu merah setelahnya?
Apa-apaan ini?!
Gadis itu menatap Matt dengan curiga, tetapi ia menjawab dengan suara lembut.
“Nadia Denissa.”
Itulah pertama kali Matt bertemu dengan Nadia. Tidak berapa lama, mereka menjadi dekat
satu sama lain. Nadia menjelaskan kalau ia sudah seminggu berada di Inggris dalam rangka
liburan. Ia seorang reporter TV di Indonesia.
Matt menceritakan kalau ia seorang tentara S.A.S. Saat ini tengah mengambil cuti karena
terluka saat perang. Kini ia sedang menikmati pemandangan Weymouth yang indah. Nadia
menyukai Matt yang mudah diajak mengobrol dan pengetahuannya yang luas mengenai
peristiwa-peristiwa aktual di dunia.
“Kau tahu, aku bukan orang yang banyak bicara... Apa lagi dengan orang yang baru
kukenal,” kata Matt saat mereka berjalan-jalan menimati suasana sore di Weymouth.
“Hmmm... apa aku harus senang karena mendapat suatu kehormatan?” tanya Nadia
tersenyum. Matt mengacak rambut gadis itu, membuat Nadia cemberut. Kemudian mereka
tertawa bersama, melanjutkan acara jalan-jalan mereka.

***

Scott tidak percaya pada apa yang dilihatnya saat ia mengunjungi rumah Matt beberapa
minggu kemudian. Matt tidak pernah bercerita mengenai pacar barunya. Gadis itu mengetuk
pintu dengan sopan, dan meminta bertemu dengan Matt. Scott yang pada awalnya tidak tahu
apa-apa benar-benar dibuat heran saat ia melihat perubahan ekspresi diwajah Matt. Mereka
tidak berpelukan di depan pintu atau berciuman seperti yang dilakukan pasangan-pasangan
lainnya, tapi pandangan mata Matt terhadap gadis itu sudah menjawab semuanya. Matt benar-
benar mencintai gadis itu.
“Well, kau pasti Scott MacDonough,” kata gadis itu. “Matt bercerita banyak tentangmu.
Namaku Nadia Denissa.”
Nadia.

59
Dalam waktu singkat, Scott segera akrab dengan gadis itu. Ia amat senang melihat
bagaimana gadis mungil ini dapat mengubah kepribadian Matt yang keras kepala, sulit bergaul
dan tertutup.
Yang lebih mencengangkan lagi, Scott benar-benar terkejut saat Matt menyapa semua
orang di 22 S.A.S Regiment dengan ramah dan penuh senyum. Kini tak ada lagi Matt yang
pendiam dan sulit bergaul. Yang ada hanyalah seorang tentara ramah yang senang bercerita
tentang pacarnya yang baik, manis dan cantik. Matt akan berkeliling menunjukkan foto pacarnya
kepada setiap orang yang tertarik. Bahkan kepada CO dan XO-nya di S.A.S.
Termasuk ke pada Sanderson.
Meski pemuda itu cuma menganggapnya sambil lalu.

***

Masa liburan telah habis. Sekarang adalah saatnya bekerja. Tim Scott dan Matt kini harus
menjalankan sebuah misi. Membunuh semua teroris yang membajak pesawat pribadi milik
Dimitri Petropavlovsk. Pesawat itu akan berangkat untuk membawa Mr Petropavlovsk
menghadiri sebuah pertemuan Green Troppers di Ukraina. Turut serta dalam pesawat itu, adalah
Alexa Kruschev; seorang duta besar Russia, seorang duta besar Jepang, dan seorang petinggi
militer Inggris.
Scott memeriksa M4A1 andalannya, bersama dengan M1911 yang selalu dibawanya. Matt
sendiri membawa senjata yang sama, hanya saja ia lebih memilih .44 Magnum. Kini mereka siap
tempur.
“Okay, boys,” suara Kapten Frost terdengar melalui head-set yang mereka gunakan. “Kita
akan masuk ke dalam, tembak semua teroris dan selamatkan orang-orang penting di sana.”
“Roger that,” gumam Scott. Dari ujung matanya, ia dapat melihat Harry Sanderson
menenteng G36C di tangannya. Scott mendengus mendapati Sanderson akan ikut dalam misi kali
ini.
“Oke... Let’s move...” perintah Kapten Frost.
Scott dan Matt melangkah dengan mantap. Para teroris itu menjaga hampir seluruh pintu
masuk. Scott dan Matt harus memutar otak dua kali sebelum memutuskan jalan masuk yang akan
mereka masuki. Sesuai dengan rencana, mereka masuk melalui bagian bawah pesawat yang
dibiarkan terbuka oleh para teroris. Meski tahu bahwa jalan masuk ini akan sangat berbahaya,
Scott dan Matt tetap menggunakannya.
“Lima menit,” kata Kapten Frost melalui earpiece. “Bereskan semua dalam lima menit.”
“Roger,” jawab Matt. “Ayo, mulai bergerak.”
Musuh pertama muncul dari tumpukan kotak yang memenuhi yang memenuhi bagian
bawah pesawat. Matt nyaris tidak melihatnya. Dengan reaksi cepat, Scott menembakkan M4A1
miliknya. Peluru Scott menghantam kepala musuh, membawa kematian seketika.
“That was close!” gumam Matt. Ia tersenyum penuh terima kasih kepada Scott. “Area clear.”
Mereka melanjutkan perjalanan, naik ke kabin pesawat. Matt dan Scott melihat Sanderson
bersiap membuka pintu menuju menuju kabin. Matt berbisik ke radionya.
“Hold on,” bisik Matt. Sanderson tampak tak mendengarkan. Salah satu teroris memandang
berkeliling dengan senjata siap di tangan. Scott memaki dalam hati.
“Mereka akan melihatnya...” bisik Scott.
60
“Sanderson... Jangan melakukan hal yang gegabah,” bisik Matt ke radionya. “Jangan
melakukan hal ya—“
Terlambat. Sanderson telah melompat dari pintu, dan menembaki teroris pertama. Hal itu
membuat penumpang (duta besar Russia, duta besar Jepang, Dimitri Petropavlovsk, dan petinggi
militer Inggris) yang ada di dalam pesawat itu terlompat kaget dan panik.
“Shit!” seru Scott.
“Open fire! Open fire!” seru Kapten Frost. Matt langsung melompat, menggiring semua
penumpang keluar dari pesawat melalui pintu belakang. Scott menembaki teroris yang muncul
dari persembunyian mereka. Dari ekor matanya, Scott melihat seorang pramugari bersembunyi
ketakutan. Ia memaki lagi.
Kapten Frost dan Sersan March masuk ke dalam kabin melalui pintu depan pesawat yang
telah di buka. Scott memberi kode bahwa ada seorang sandera lagi. Kapten Frost mengangguk
dan memberi tanda pada Scott untuk menyelamatkannya. Scott mengangguk.
“Sanderson! Lindungi aku!” seru Scott. Meski ia benci untuk menerima kenyataan, dia harus
meminta back-up pada Sanderson. Scott merunduk diantara kursi-kursi penumpang,
menghampiri pramugari itu. “Kau baik-baik saja?” tanya Scott.
Pramugari itu mengangguk ketakutan. Dengan lembut Scott berusaha melindunginya.
“Scott! Awas!”
Sebelum Scott sempat bereaksi, kilatan cahaya menyilaukan membutakan mata Scott
selama beberapa saat disertai bunyi denging di telinganya. Scott tetap merunduk, memastikan
pramugari itu masih di dekatnya.
Setelah Scott dapat melihat kembali dengan normal, ia menatap pramugari di sebelahnya.
Wanita itu sudah mati.

***

“Kalau saja saat itu Sanderson mengikuti perintah Matt, semua tidak akan sekacau itu.
Duta Besar Jepang menderita luka tembakan pada paha kirinya. Sersan March harus menginap
di rumah sakit untuk menyembuhkan semua luka-lukanya,” kata Scott. Nadia menatap pria itu.
Ia dapat membayangkan betapa intense-nya kejadian itu.
“Sanderson diskors untuk beberapa waktu sebelum kembali bertugas. Sejak hari itu, aku
semakin membencinya.”
Nadia tidak berkomentar apa-apa setelah mendengar cerita Scott. Nadia tahu, kehidupan
di kemiliteran tidaklah mudah. Sulit membayangkan bagaimana kita harus bekerja begitu dekat
dengan maut, baikkan keselamatan diri sendiri mau pun orang lain.
Karena itu ia tidak ingin menjadi dokter.

***

61
Bab Sebelas

Tujuh jam sudah berlalu, Nadia, Roland dan Scott tiba kembali ke Indonesia dengan
selamat. Roland yang sudah terbangun semenjak satu jam yang lalu mulai mengambil barang-
barangnya dari bagasi di atas kepalanya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Nadia dan Scott,
hanya saja barang bawaan Scott jauh lebih berat dibandingkan barang bawaan Nadia dan
Roland.
Cuaca mendung menghiasi kota Jakarta. Gelegar petir yang menyambar dan rintik-rintik
hujan yang mulai turun satu persatu, memberi isyarat bahwa Jakarta akan tergenang air lagi
pagi ini. Mereka bertiga berjalan cepat menghindari hujan dan memasuki bandara secepatnya.
Tidak perlu menunggu lama agar bisa pass melalui pintu security, seorang polisi Indonesia
menunjukkan jalan yang harus mereka lalui untuk melewati pemeriksaan khusus. Polisi-polisi
itu cukup melihat senjata-senjata barang bawaan Scott dan mencocokkannya dengan daftar
senjata Scott yang ia bawa pergi ke Amerika. Dan tentu saja, tidak ada perubahan jumlah atau
jenis senjata.
“Dimana lo parkir mobil?” tanya Roland kepada Scott.
“Aku bahkan tidak yakin mobil itu masih disini,” jawabnya tenang.
“Hah? Maksudnya?!”
“Mungkin mobilku sudah diambil oleh pihak bandara karena telah ‘menginap’ disini satu
malam,” jawabnya enteng.
“Jadi gimana kita pulang?! Mana hujan lagi...” keluh Roland.
“Ah! Khawatiran banget sih lo. Tuh, Mobilnya Scott masih mejeng disana kok! Dasar...”
ujar Nadia kesal sambil memukul bahu Roland. Yang dipukul hanya cengengesan dan mulai
berlari kearah Ranger biru itu setelah Scott dan Nadia berlari duluan.
Seperti yang diduga, Jakarta macet lagi. Jam tujuh pagi memang adalah waktu untuk
seluruh warga mengawali hari, mobil dan motor berkeliaran kesana-kemari, mencoba melewati
celah-celah kecil yang mungkin bisa dilalui. Ditambah lagi hujan yang masih enggan-enggan
turun, membuat suasana jalan seakan sangat ramai.
“Kapan nyampenya kalau begini..” keluh Nadia yang duduk dikursi belakang.
Scott hanya diam, terkadang dia mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama musik
yang kelaur dari tape-nya. Sepertinya Scott sudah mulai memahami Jakarta yang sebenarnya.
Roland juga begitu, saking diamnya ia saat ini, ia malah berharap kemacetan ini tidak
akan pernah berhenti. Ada sesuatu yang menjadi pikirannya semenjak berada di dalam pesawat.
Yaitu hubungan Matt, Scott, dan teman terdekatnya, Nadia. Roland mendengar percakapan Scott
dan Nadia berdua, ketika mereka berpikir Roland tertidur. Ia tidak pernah tahu kalau ternyata
62
ketiga orang itu mempunyai tali pengikat yang sangat kuat satu sama lain, dan entah bagaimana,
takdir menemukan mereka kembali, walaupun tanpa Matt.
Roland memikirkan cerita Scott. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan
Sanderson saat ia diskors karena tidak mematuhi perintah langsung dari executive officer,
Matthew Smith. Tindakan Sanderson membuat terbunuhnya seorang pramugari, menyebabkan
Duta Besar Jepang menderita luka tembak. Kesalahan yang harusnya bisa dihindari kalau saja
Sanderson mendengarkan kata-kata Matt. Dari cerita Scott, rasanya sulit dibayangkan kalau
Sanderson adalah orang yang sama dengan yang mereka temui di New York.
“Mikirin siapa hayo?!” kata Nadia mengagetkan Roland.
“Aish...! Sialan lo, bikin orang kaget aja,” jawab Roland cepat.
“Melamun mulu sih dari bandara sampai kesini, udah nyampe tahu!” kata Nadia. Roland
memukul dahinya sendiri dan melihat keluar jendela. Ternyata yang dikatakan Nadia memang
benar, mereka sudah sampai di tempat parkir apartement Nadia, bahkan Scott sudah siap
menjinjing barang bawaannya di bahu.
“Eh... Sorry.. Nggak nyadar gue kalau udah nyampe,” kata Roland sambil keluar dari mobil.
‘CKLEK’. Pintu apartement terbuka. Sebuah koran pagi sudah tergeletak persis di depan
pintu masuk.
“Langganan koran juga lo?” tanya Roland.
“Tuntutan profesi..” jawab Nadia enteng.
Setelah masuk, mereka mengambil posisi masing-masing. Roland dan Nadia memilih
duduk di sofa dan menyalakan TV, sedangkan Scott berkeliaran ke seluruh penjuru rumah.
“Apa yang kau lakukan Scott?” tanya Nadia.
“Checking.. Siapa tahu ada yang menyelundup kemari lagi” jawabnya dan ia terus
melanjutkan pekerjaanya.
“OK, clear...” kata Scott pada akhirnya. Membuat Nadia dan Roland menghembuskan nafas
lega.
“Thanks Scott..” ucap Nadia. Scott mengangguk.
“Baiklah Roland, mau pulang sekarang?” tanya Scott. Roland yang sedang sibuk menonton
TV langsung mengalihkan perhatiannya.
“Em.. OK”
Roland pun beranjak dari sofa itu dan melangkah pergi keluar pintu setelah pamit dulu
dari si empunya rumah. Begitu juga dengan Scott, ia mengikuti Roland dari belakang. Tapi
sebelum pergi terlalu jauh dari pintu, Nadia memanggilnya kembali.
“Scott.. Em.. Terimakasih mau menceritakanku ‘hal’ itu di pesawat tadi”
Scott menghentikan langkahnya dan kemudian berbalik.
“Tidak... Seharusnya aku yang meminta maaf, aku tidak bisa menjaga..”
“Tidak... Bukan salahmu. Aku sudah pernah mengatakan itu kan, jangan ungkit kembali..”
ucap Nadia cepat sebelum Scott mengucapkan kata-kata yang membuat Scott merasa bersalah
lagi. “Mari kita melupakan kejadian yang lalu, dan fokus dengan misi kita yang satu ini,” lanjut
Nadia.
Scott tersenyum tipis sebelum akhirnya dia berkata “OK”

63
***

Kepergian Roland dan Scott adalah kesempatan Nadia untuk merelakskan diri. Nadia
merebahkan badannya diatas sofa dan menarik nafas dalam-dalam, dan memejamkan matanya
terkadang. Ia letih. Nadia tahu hal itu, namun selalu menyembunyikannya didepan Scott dan
Roland. Ia memang selalu ingin terlihat tangguh didepan semua orang. Ia seakan mempunyai
kewajiban yang besar untuk menjaga dirinya sendirian, dan tidak memerlukan bantuan orang
lain untuk itu.
Setelah merasa sedikit relaks, Nadia kembali duduk dan mengambil handphonenya yang
terletak di kantong celana. Memencet tombol-tombol untuk menghubungi seseorang, Danny.
“Halo,” ucap Danny diseberang sana. Danny memang tidak pernah telat menjawab
panggilan masuk di handphonenya, belum saja bunyi nada sambung ‘tut’ selesai, ia sudah
menjawab telfon yang datang.
“Hei, halo Dan. Dimana lo sekarang?” tanya Nadia basa-basi.
“Emang gue pernah kemana lagi sih, selain kamar gue yang seperti kapal pecah ini?”
“Hehe, ia juga ya. Oh ya, gue mau minta tolong nih..”
“Apa?”
“Tolong cariin semua informasi tentang Green Troopers, Black Star, dan SilverSky
Internasional dong. Gue ngerasa ada yang ganjil dari ketiga kekuatan besar Dimitri ini”
“Apa yang aneh?”
“Em.. Gue belum tahu pasti, tapi dari analisis gue sendiri ada sesuatu proyek atau tujuan
yang sebenarnya dari ketiga kelompok ini. Makanya, gue minta lo cari tahu, semua tentang
kegiatan mereka itu. Terutama tujuan mereka dan bagaimana cara yang mereka tempuh” jelas
Nadia panjang lebar.
“Iya, iya. Gue udah dapet pointnya kok. Gue usahain bisa deh,” jawab Danny enteng. Baru
saja Nadia ingin mengucapkan terimakasih, tiba-tiba terlintas di benaknya akan sesuatu.
“Eits! Tunggu dulu Dan, gue mau nanya tentang kamar lo yang diobrak-abrikin itu.
Gimana sekarang? Apa ada hal lain yang aneh?” tanya Nadia khawatir. Ia takut, Danny akan
terkena imbas dari misi yang ia kerjakan.
“Untung aja ga ada apa-apa lagi kok. Mungkin gue aja yang kepanikan hari itu, sampai
nelfon lo segala..” jawab Danny.
“Serius lo? Kalau bohong berabe lho masalahnya...”
“Serius! Gak ada lagi yang terjadi setelah hari itu. Udah dulu ya, biar sekarang gue cariin
data yang lo mau itu. Kalau lo nanya mulu kapan selesainya nih..” kata Danny menggerutu.
“Syukur deh kalau gitu. Ya udah ya Dan, thanks banget ya..” kata Nadia mengakhiri
pembicaraan.

***

Mata cekung itu terus menatap layar komputer dengan gugup, menurusi kalimat per
kalimat dengan cepat, mencari informasi yang diingkan. Keringat dingin dari dahinya mengucur
satu persatu akibat ketakutan. Tangannya dengan cepat mengetik tuts-tuts di keyboard dan
menggerakkan mouse.
64
Danny, salah satu mahasiswa di Universitas Indonesia. Sudah lama ia menekuni pekerjaan
sampingannya dengan membantu orang-orang atau teman-temannya untuk mengetikkan
sesuatu, mencari informasi, dan sebagainya yang berhubungan dengan komputer. Tapi, hanya
Roland dan Nadia lah yang memperkejakannya menjadi hacker semenjak satu setengah tahun
yang lalu.
Mulai dari data-data dari perusahaan orang lain sampai fakta-fakta dari seorang tokoh,
pernah ditugaskan oleh Nadia untuknya. Dannya memaklumi pekerjaan Nadia dan Roland
sebagai reporter ini, maka itu dia mau membantu mereka mencari ‘berita’. Ditambah lagi,
pekerjaannya sebagai hacker adalah hal yang disukainya, mengotak-atik komputer seperti
orang-orang yang muncul didalam film membuat Danny menganggap dirinya keren.
Gerakan lincah jari-jari Danny yang menari diatas keyboard komputer terhenti tiba-tiba.
Ia menatap sekelilingnya dengan waspada. Danny yakin ada sesuatu yang tidak beres terjadi. Ia
hanya tidak bisa menebak apa. Danny menghel nafas panjang sebelum kembali melanjutkan
pekerjaannya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara-suara dari di depan kamarnya. Gerakan Danny kembali
terhenti.
“Yeah... dan sekarang kita lihat siapa yang kita temukan...” kata satu suara di belakang
Danny. Danny benar-benar berhenti bergerak. Ia bahkan tidak berani menoleh ke belakang.
Terutama saat ia melihat kilatan logam yang dicurigainya sebagai pistol.
“Apa maumu? Siapa kau?” tanya Danny.
Orang itu hanya terkekeh mendengar pertanyaan Danny.
“Well, dead men tell no tells,” kata orang itu. “Orang mati tidak bisa bercerita. Tak ada
gunanya kau tahu.”
“Apa yang kau ingin dariku?” tanya Danny. Ia masih tidak berani bergerak.
“Semua data yang kau cari untuk reporter cewek itu dan temannya.”
“Aku nggak tahu apa yang kau maksud...” kata Danny ketakutan. Tangannya menyelinap
ke bagian belakang keyboard, dimana ia sudah menambahkan sebuah fungsi rahasia. Tanpa
pikir panjang, Danny menekan tombol itu. Tepat saat ia mendengar suara letusan...
Lalu semuanya gelap.

***

65
Bab Dua Belas

‘Tok tok tok’. Suara ketukan pintu apartemen Nadia membuyarkan pikirannya yang kini
tertuju ke layar laptop. Nadia bangkit dari sofa kesayangannya dan membukakan pintu. Ia
tersenyum melihat siapa yang datang mengunjungi.
“Roland, kebetulan lo kemari. Nggak bareng Scott?” tanya Nadia begitu Roland hanya
berdiri sendiri didepan pintu. Roland menggeleng.
“Nggak, gue pergi sendiri” jawabnya seraya masuk ke dalam apartemen.
“Bagus. Kebetulan banget, gue dapat informasi dari Danny, data baru lagi”
“Tentang apa?” tanya Roland sambil mengambil tempat di sofa Nadia.
“Green Troopers, SilverSky International, dan BlackStar. Lengkap. Nih, lihat..” jawab
Nadia. Ia menyodorkan laptop mini kesayangannya kepada Roland. Roland manggut-manggut
ketika melihat kata per kata dari e-mail yang dikirimkan Danny ke Nadia. “Gimana menurut lo?”
“Emm.. Gue mau denger pendapat lo dulu” kata Roland.
“Walaah... Bilang aja lo belum dapet kesimpulan dari data ini kan?” ejek Nadia.
“Ya... gimana mau dapet? Baru gue baca gini. Beda sama lo yang udah baca dari tadi,” kata
Roland mengamuk. Nadia tertawa melihat tingkah rekannya yang langsung ngambek begitu
diejek sedikit.
“Iya iya... Maaf. Emm... Menurut gue ya, ada tujuan yang disembunyikan dari ketiga
kelompok ini.”
“Maksud lo?”
“Gini, semua orang pasti berpikir setiap proyek dibawah Dimitri mempunyai tujuan yang
berbeda-beda. Kayak Green Troopers dengan tujuan penyelamatan lingkungan hidup, SilverSky
sebagai teknologi dan penelitian sains, dan Black Star sebagai menara komando utamanya . Tapi
sebenarnya dibelakang itu, ketiga kelompok itu bekerja sama untuk membuat sebuah... alat.
Tapi aku belum tahu apa alat itu dan apa tujuannya.
“Disini kita bisa lihat, Green Troopers sering sekali pergi ke berbagai tempat. Gue ngerasa
Green Troopers berfungsi untuk merekrut anggota potensial bagi Black Star. Lo tahu, nggak
banyak orang tahu dengan organisasi penyelundup ini. Green Troopers menjadi kedok untuk
menyembunyikan kegiatan Black Star di berbagai tempat di seluruh dunia, dan SilverSky... Gue
rasa SilverSky semacam penyedia dana,” jelas Nadia panjang lebar. Roland mendengar dengan
seksama.
Hening.
“Kasih tanggapan dong! Gue udah ngomong panjang lebar lo malah bengong!!” amuk
Nadia.
“Iya iya!! Sekarang gue lagi mikir nih...” bela Roland.
Nadia menyandarkan tubuhnnya ke sofa.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Nadia ke dirinya sendiri.
“Ngomong-ngomong, gimana keadaan Danny? Dia nggak kenapa-kenapa kan?” tanya
Roland.
“O... Oke-oke aja, kok” jawab Nadia terbata-bata. Pertanyaan Roland membuat dirinya
kembali memikirkan kasus kamar Danny yang diacak-acak oleh orang lain. Sebenarnya dia
sendiri tidak tahu bagaimana keadaan Danny sekarang, sebenarnya ada perasaan cemas karena
ia telah membawa orang luar kedalam kasus besar ini. Jika terjadi apa-apa kepada Danny tentu
ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.
‘Tok tok’. Suara pintu terketuk terdengar lagi, kali ini hanya dua kali ketukan saja.
“Siapa tuh?” tanya Roland.
“Palingan koran...” jawab Nadia. Ia beranjak dan membuka pintu untuk mengambil Koran
yang sudah terletak diatas lantai. Sedangkan Roland mulai memencet tombol remote untuk
menghidupkan TV.

66
“Apa berita hari ini...?” tanya Nadia bertanya pada dirinya sendiri. Ia sibuk membolak-
balik kertas koran dan membaca judul-judul artikelnya.
‘Mahasiswa Ditemukan Tewas Ditembak’. Judul salah satu artikel koran itu menyita
perhatian Nadia. Judul artikel seperti itu sebenarnya sering ditemukannya setiap ia membaca
koran. Demonstrasi dan pertarungan antar sekolah sering menjadi kasus hangat yang menelan
korban mahasiswa dan pelajar. Tapi entah kenapa, hati dan pikirannya menyuruhnya untuk
membaca berita terbaru yang dipampang dihalaman ketiga koran dengan judul berukuran
besar itu.
‘Pagi ini (27, Nov 2010), Dani Haryawan (21) seorang mahasiswa tekhnik Universitas
Indonesia ditemukan tewas dikamar kost-annya kemarin malam pada pukul 22.00 WIB. Penyebab
kematiannya adalah kehabisan darah akibat dua tembakan dibagian kepalanya...’
Nadia terdiam terpaku setelah membaca satu paragraf berita koran itu. Waktu
disekitarnya seakan berhenti. Ia berpikir, mungkinkah Dani itu adalah Danny yang ia kenal? Dia
berusaha beranggapan bahwa Dani Haryawan yang diberitakan tewas ini bukan seorang yang
sudah menjadi teman dekatnya.
“Roland...” ucapnya lirih. Roland mengalihkan pandangannya dari siaran TV. “Siapa nama
lengkap Danny?” tanyanya masih dengan suara yang serak.
“Danny? Dani Haryawan... Memang kenapa?” kata Roland bertanya balik.
Nadia syok bukan kepalang. Ia merasakan kepalanya pusing dan pikirannya dibawa oleh
arus waktu. Ia ingat bagaimana dan kapan pertama kali ia mengenal Danny, mahasiswa uring-
uringan yang menjadi hacker andalannya. Ia juga ingat bagaimana cara mereka bekerja sama
dalam mencari kebenaran dan fakta-fakta menarik untuk dijadikan berita. Dan sekarang, Danny
yang dia kenal itu, mati?
Tidak terasa air mata jatuh membasahi wajahnya. Kakinya yang lemas membuat gadis itu
jatuh berlutut di lantai. Koran yang dipegangnya menjadi basah. Tangannya sendiri tidak
berhenti menutup mulutnya dan meremas koran pagi itu.
“Nad! Nadia?! Ada apa Nad?! Lo kenapa??!” tanya Roland bertubi-tubi sambil memegang
pundak Nadia, berusaha mempertahankan tubuh gadis itu agar tidak jatuh.
Nadia tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan Roland itu. Suaranya seakan
hilang ditelan oleh cegukkan tangisnya, yang sangat menyakitkan tenggorokkan dan hatinya.
Roland yang tidak juga mendapat jawaban, langsung mengambil kertas koran yang dipegang
tangan Nadia hingga robek itu. Ia yakin, koran inilah yang menyebabkan Nadia menyadari
sesuatu dan menangis.
Tidak berbeda seperti Nadia, judul artikel koran yang mendapat sorotan matanya hanya
yang satu itu. ‘Mahasiswa Ditemukan Tewas Ditembak’. Ia membaca kata per kata dari tulisan
berita itu, mencernanya, hingga akhirnya Roland merasakan hatinya menjadi sangat sakit dan
pikirannya kalut, matanya pun mulai terasa panas.
Ia menarik Nadia masuk kedalam dekapannya. Berusaha menenangkan rekannya itu
walaupun ia sendiri masih belum percaya akan berita itu.
“Sudah.. Sudahlah Nadia..” kata Roland dengan lirih. Nadia yang sudah menghabiskan
bermenit-menit untuk menangis mulai menahan cekatan yang terasa di tenggorokannya, air
matanya pun sedikit demi sedikit mulai berkurang.
“Danny...” ucap lirih dari bibir Nadia.
“Apa kita harus kasih tahu Scott?” tanya Roland kemudian.
“Dia pasti sudah tahu...”
Memang betul kata Nadia, tidak beberapa lama setelah itu, Scott datang tanpa mengetuk
pintu dahulu. Ia melihat mata Nadia yang sudah merah dan berkaca-kaca, dan segelas air putih
yang dia pegang erat.
“Mengapa kalian tidak memberitahuku kalau ada orang luar yang ikut terlibat dalam
kasus ini?!” tanya Scott. Nadia tahu Scott akan marah, hanya saja Scott manahan itu.
“Ini salah gue...” jawab Nadia lirih. “Beberapa hari yang lalu, Danny sudah ngasih tahu gue
kalau ada orang yang mengubah tata letak barang-barangnya. Tapi, gue tidak mengambil

67
tindakan lanjut untuk itu, karena Danny sendiri menganggap hal itu bukan hal yang harus
dipermasalahkan. Maafin gue, Land...”
Suasana hening seketika itu. Tidak ada seorang pun yang ingin mengeluarkan kata-kata.
Roland kemudian bangkit tiba-tiba, berjalan menuju dapur dan meninggalkan Nadia. Nadia
semakin menunduk menatap lantai, air matanya kembali jatuh satu persatu. Nadia tahu ia yang
salah, tapi dia juga tidak ingin Roland akan marah kepadanya.
Setelah beberapa lama, Roland kembali dari dapur dan melangkah keluar pintu.
“Mau kemana?” tanya Scott.
“Setidaknya gue bisa melihatnya untuk terakhir kali sebelum ia pergi keperistirahatan
terakhirnya”
“Gue ikut...” kata Nadia cepat seraya bangkit dari tempat duduknya.
Roland berbalik.
“Lo... Kenapa lo nggak ngasih tahu gue tentang kasus itu?! Walaupun lo nggak mau kasih
tahu ke Scott, tapi kenapa lo nggak ngasih tahu gue? Gue udah nganggap Danny itu adik seperti
adik gue sendiri, dan sekarang dia sudah pergi secara tiba-tiba dan tidak wajar. Ditembak? Siapa
yang bisa menyangka Danny akan pergi dengan cara seperti itu?! Seandainya...” suara Roland
tercekat, “Seandainya aja, lo kasih tahu gue tentang masalah Danny waktu itu, mungkin Danny
nggak bakal meninggal sekarang!” amuk Roland kepada Nadia. Roland kemudian keluar dari
apartemen, meninggalkan Nadia dan Scott berdua.
Nadia tidak mampu mengucapkan satu kata pun, pikirannya kacau, tapi dia tahu satu hal.
Roland benar. Memang dirinya yang salah. Waktu itu, kenapa dia merahasiakan hal itu kepada
semua orang? Nadia memegang kepalanya dengan kedua tangannya, seperti gambaran orang
yang sangat stress bukan main.
Scott merasa kasihan melihat kondisi Nadia yang seperti itu. Memang awalnya dia marah,
tapi melihat Nadia begitu menyalahkan dirinya dan melihat betapa kejamnya Roland
membentak Nadia, Scott tidak sanggup menambahkan beban Nadia lagi hari ini.
“Kau masih ingin pergi?” tanya Scott kemudian.
“Tidak. Roland pasti tidak mau menemuiku.”
“Siapa yang membuatnya begitu berkuasa disini? Dia tidak boleh melarang seseorang
untuk berkabung, ‘kan?” kata Scott. Nadia masih tidak menanggapi. “Kau akan menyesal bila
tidak mengunjungi Danny dulu...”
Kata-kata Scott membuat Nadia tersadar. Mungkin Scott benar.
“Ayo kita pergi...”

***

“Terimakasih, nak Nadia...” ucap seorang wanita paruh baya kepada Nadia. Ia memeluk
dan mencium pipi Nadia seperti anaknya sendiri. Ia merupakan tante dari Danny, satu-satunya
keluarga Danny yang berada di Jakarta. Rumah ini dipenuhi oleh sanak saudara Danny yang
datang jauh-jauh dari Bandung, beberapa anggota polisi, dan tentu saja, wartawan.
“Sama-sama, buk...” ucap Nadia seraya pergi menjauh dari rumah berkabung itu. Ia dan
Scott sama-sama berjalan menuju mobil ranger biru.
“Masuklah duluan,” kata Scott. Nadia menurut. Scott berjalan kearah yang berlawanan,
menuju ke seseorang yang memakai jaket hitam dan topi berwarna merah. Nadia mengenalinya
sebagai Roland. Selama di acara pelayatan, Nadia hanya dapat melihat Roland dibalik jendela
ruangan. Roland tetap berada di sisi samping rumah tanpa masuk kedalam.
Nadia tidak tahu apa yang mereka bicarakan berdua. Tapi pembicaraan itu hanya berjalan
sebentar. Scott segera kembali masuk mobil dan duduk dibangku supir.
“He’s quit.”
“Apa?!” kata Nadia tersentak kaget mendengar pernyataan singkat dari Scott.
“Jangan salahkan aku, itu keputusan pribadinya” elak Scott begitu Nadia melemparkan
pandangan aneh pandanya.
“Tapi semakin berbahaya kalau dia keluar dari penjagaanmu..” kata Nadia cemas.
68
“Kita akan membawanya kembali..”

***

Dua ratus meter dari rumah Danny, sebuah Humvee hitam terparkir. Satu sosok
tersenyum saat melihat seorang pria blasteran Inggris-Indonesia dengan rambut coklat gelap
memasuki mobil. Pria itu menurunkan teropongnya dan mendekatkan bibirnya ke sebuah
microphone kecil pada kerah jaketnya. Dengan nada datar, ia berkata,
“The eagle has left... I repeat, the eagle has left.”

***

69
Bab Tiga Belas

Sudah tiga hari ini Nadia dan Roland tidak mengeluarkan suara satu sama lain. Bahkan
disaat mereka berdua sama-sama meliput berita di suatu lokasi kejadian, hanya aja
perbincangan sebagai kameramen dan reporter, bukan sebagai teman. Beberapa kali Nadia
mencoba mengajak Roland berbicara sedikit menyimpang dari pekerjaan, tapi tetap saja gagal.
Nadia tidak bisa mengeluarkan kata-kata sapaan ringan kepada Roland yang sudah
menunjukkan wajah tertanggunya bila sudah di dekat Nadia.
“Nadia...” panggil salah seorang karyawati di perusahaan EightTV.
“Ya?” tanya Nadia yang sedang merapikan lembaran-lembaran kertas diatas meja
kerjanya.
“Kamu dipanggil sama Pak Dedi. Beliau ada di ruangannya.”
“Oh, terimakasih. Saya akan segera kesana.”
Nadia melangkah cepat keruangan Pak Dedi dengan berbagai macam pertanyaan didalam
kepalanya. Mengapa Pak Dedi memanggil dia? Apakah ada masalah? Dan berbagai macam
pertanyaan lain.
“Selamat siang, Pak,” sapa Nadia begitu masuk kedalam ruangan pak Dedi yang sangat
rapi dan bersih.
“Ya, Nadia. Silahkan duduk,” ucap Pak Dedi mempersilahkan Nadia.
“Ada perlu apa bapak memanggil saya?” tanya Nadia begitu ia sudah duduk.
“Begini Nadia, saya mohon maaf apabila saya langsung membahas kemasalah inti...”
“Tidak, tidak apa-apa pak. Saya tahu bapak punya keperluan lain” ucap Nadia cepat. Pak
Dedi yang mendengarkan langsung manggut-manggut.
“Begini, apa kamu dan Roland sedang tidak mempunyai hubungan yang baik sekarang-
sekarang ini?”
DEG! Nadia sangat kaget mendengar pertanyaan aneh dari bosnya ini. Bagaimana dia bisa
tahu?
“Maksud bapak?” tanya Nadia seolah-olah tidak mengerti.
“Jangan berpura-pura, semua orang juga sudah tahu kok. Masa tidak ada petir tidak ada
hujan kalian langsung membuat jarak dan tidak pernah kelihatan bersama lagi... Pasti ada
sesuatu, ‘kan? Bukannya mau mengurusi masalah pribadi, tapi saya takut hal ini akan
berdampak terhadap pekerjaan kalian,” jawab Pak Dedi, Nadia mengangguk tanda mengerti.
“Tapi, saya sudah berusaha seprofesional mungkin pak, agar tidak ada kejanggalan selama
penyiaran berita yang kami liput. Saya yakin Roland juga begitu,” bela Nadia.
“Betul, memang laporan-laporan kalian di berita tidak ada yang berubah, masih seperi
biasa. Tapi, mau sampai kapan seperti ini terus? Habis siaran, saling diam. Pas siaran, berpura-
pura seolah tidak terjadi apa-apa. Banyak atau sedikit, kalian berdua pasti merasa canggung
satu sama lain bukan?” tanya Pak Dedi.
“Iya sih...” ujar Nadia mengalah.
“Sebenarnya, saya tadi mau memanggil kalian berdua sekaligus. Tapi sayang sekali Roland
sudah pulang. Walaupun ditunggu besok, saya harus berangkat ke Lombok untuk sebuah
seminar. Jadi saya memanggil kamu saja hari ini.
“Saya berharap, kalian bisa menyelesaikan permasalahan ini dengan baik. Karena sebagai
bos kalian, saya sangat mengenal keakraban Nadia-Roland, lho... Dan tiba-tiba sekarang
berpisah, ya... saya heran. Jadi Nadia, kamu jangan berpikir yang macam-macam tentang saya,
sebenarnya saya juga tidak suka ikut campur masalah orang lain,” jelas Pad Dedi sambil
tersenyum.
“Tidak pak, saya justru berterimakasih atas saran bapak. Saya akan berusaha pak,” kata
Nadia.
“Baiklah itu saja,” kata Pak Dedi sambil mempersilahkan Nadia keluar.
“Terimakasih banyak, pak,” ucap Nadia sambil keluar dari pintu.
70
Nadia tidak menyangkan akan begini jadinya, sampai-sampai Pak Dedi turun tangan akan
masalah ini. Dia bukan tipe orang yang mudah mencairkan suasana, ingin rasanya ia membuat
suasana bersahabat dan meminta maaf sekali lagi kepada Roland. Tapi siapa yang harus
dimintakan tolong?
Scott.
Nama itulah yang melintas di benak Nadia satu detik tadi. Ia bergegas mengambil
handphonenya didalam tas, dan menghubungi Scott.
“Halo, Scott?”
“Kebetulan sekali Nadia, Rory meminta kita untuk datang ke cafe Kucing lagi, ada yang
mau dibicarakan,” kata Scott begitu ia mengangkat telfon Nadia, Nadia yang menjadi gelagapan.
“Aku tunggu dibawah tiga menit lagi,” sambung Scott, dan panggilan pun ditutup.
“Kok jadi dia yang ngomong sih?” ujar Nadia kesal.

***

“Miss Nadia, bagaimana kabar anda?” tanya Rory ramah sambil menjabat tangan Nadia.
“Baik Pak Rory, bagaimana kabar anda?” tanya Nadia balik. Ia dan Scott duduk didepan
Rory.
“Saya baik, terimakasih. Dimana rekan anda satu lagi?”
“Em... Dia ada keperluan lain, jadi tidak bisa bersama dengan kita hari ini” jawab Nadia
berbohong.
“Oh, begitu. Sebenarnya lebih baik kalian bertiga datang, tapi, ya sudahlah. Begini, ada
tambahan rekan tim kalian yang kami rekomendasikan” kata Rory.
“Who?” tanya Scott.
“Roy, seorang hacker, lulusan Massachusetts Institute of Technology. Dia sangat pandai
dalam hal semacam ini. Dia sangat berguna untuk mencari data-data rahasia perusahaan Dimitri
dan alat apa yang sedang mereka buat.”
“Alat?” tanya Nadia heran.
“Ya, Roy berkata begitu. Dia mengatakan kalau perusahaan Dimitri sedang membuat alat,
namun ia belum mengetahui alat apa itu dan tujuannya” jawab Rory. Hipotesa Roy sama persis
dengan hipotesa Nadia yang diambil dari data-data milik Danny.
“Oke... Saya rasa dia bisa membantu,” kata Nadia. Rory tersenyum puas.
“Bagus kalau begitu. Scott, mulai besok dia akan tinggal bersamamu,” kata Rory sambil
berdiri.
“Tunggu, kalau begitu, berarti semakin banyak orang yang harus aku lindungi,” ucap Scott
tiba-tiba, membuat Rory berhenti sejenak. “Kau tahu, gajiku harus ditambah untuk itu...”
lanjutnya.
“Tentu saja Scott, jangan khawatir akan hal itu” jawab Rory sambil tersenyum sebelum
akhirnya ia pergi meninggalkan cafe.
“Kau benar-benar tidak berubah...” kata Nadia kepada Scott sambil tertawa.

***

Scott berhenti merapikan senjata-senjatanya begitu suara ketokan pintu terdengar dari
luar apartemen. Ia menyembunyikan senjata-senjata itu kedalam tas, mana tahu tamu yang
datang adalah warga sipil.
“Ya...” kata Scott sebelum ia membukakan pintu. Scott berjalan kearah pintu dan
membukanya setelah ia menganggap apartemennya sudah menjadi apartemen yang normal.
Seorang sekitar berumur 24 tahun berdiri didepan pintu apartemen Scott sekarang.
Memakai baju biru bertotol merah dan celana tiga perempat berwarna hijau tua. Ia membawa
tas ransel besar dan memakai berbagai aksesoris di beberapa bagian tubuhnya, kalung
tengkorak dan gelang-gelang tipis berwarna hitam menghiasi pergelangan tangannya. Hanya
kacamata tebalnya yang membuat Scott mengetahui sosok ini.
71
“Roy?” tebak Scott.
“Aish... Mengapa semua orang bisa menebakku kalau aku memakai kacamatan ini!
Seharusnya aku memakai lensa kontak tadi,” ujarnya pria itu. Scott memandangnya aneh.
“Well, pada awalnya aku memang tidak tahu siapa kau dengan pakaian seperti anak
rocker begitu. Tapi dengan kacamatamu itu aku tahu kau adalah maniak komputer yang
dikirimkan Rory kepada kami.”
“Ya, ya... Aku tahu, sekarang boleh aku masuk?” tanyanya tanpa basa-basi. Scott
memberinya jalan untuk Roy memasuki apartemennya. Roy menaruh semua tas ransel
besarnya diatas kursi panjang di ruang TV Scott, diam sebentar untuk duduk.
“Apartemenmu lebih besar dari yang aku kira..” komentar Roy ketika melihat-lihat setiap
sudut dari ruang TV itu. Scott diam saja, ia berjalan keruang makan – tempat ia menyimpan
senjata-senjatanya – dan melanjutkan membersihkan mereka.
“Wow...” kata Roy takjub begitu ia melihat koleksi senjata yang disimpan Scott didalam
laci-laci dapur.
“Belum pernah melihat mereka? Ucapkan ‘Hai’...” ucap Scott sambil sibuk mengelap
‘teman-temannya’.
“Hai..” kata Roy lugu. Scott memutar matanya.
“Kau benar-benar mengatakan ‘hai’,ha?” tanya Scott tidak percaya
“Kau yang menyuruhku...!” bela Roy.
“Terserahlah...” kata Scott pada akhirnya. Ia beranjak dari kursi makan, mengambil jaket
dan gantungan kuncinya, baru ia melangkah mendekati pintu. “Aku ingin pergi mengunjungi
teman. Jangan lupa kunci pintu dan jangan lakukan tindakan gegabah, hubungi aku bila ada apa-
apa,” pesannya panjang lebar. Baru kali ini ia berpesan begitu panjang karena Scott menganggap
Roy masih seperti anak kecil.
“Aku tidak sebodoh itu,” balas Roy. Ia mulai mengeluarkan laptopnya dari ransel besar
yang ia bawa.
“Whatever,” ucap Scott sebelum akhirnya ia pergi.

***

Sebuah Ranger biru melintas dengan gagahnya di jalan raya Jakarta. Lampu-lampu jalan
memantulkan cahayanya kepermukaan mobil Scott itu, memang terlihat sangat bagus dari jauh,
tapi kalau dilihat dari dekat, ada beberapa sisi mobil yang bonyok karena terkena serangan
tembak.
Scott membuka kaca mobilnya untuk menimati angin sejuk di Jakarta kala malam. Lagu-
lagu dari ‘Michael Learns To Rock’ mengalun dengan volume yang cukup keras dari tapenya.
Kali ini, bukan apartemen Nadia lah yang menjadi tujuan Scott. Ia tidak berhenti mengendarai
mobilnya hingga ke Depok, tempat dimana kost-an Roland berada.
Rumah itu terang seperti biasanya dan cukup ribut akibat suara-suara dari kost-an
lainnya. Scott memarkirkan mobilnya didepan perkarangan kost-an sebelum turun dan
mengetok pintu rumah nomor satu paling pinggir itu.
“Tunggu sebentar...!” teriak seseorang dari dalam rumah, siapa lagi kalau bukan Roland.
Sebelum membuka pintu Roland mengintip sebentar dari kaca jendela rumahnya yang ditutupi
gorden tipis.
“Ada apa?” tanya Roland begitu ia sudah membukakan pintu.
“Aku ingin bicara,” jawab Scott sambil masuk ke ruang tamu Roland.
“Aku udah bilang kalau aku keluar, ‘kan?” tegas Roland sambil duduk di kursi tamu.
“Ini bukan tentang pekerjaan, ini tentang Nadia,” kata Scott. Hal itu membuat Roland diam
sejenak.
“Apa yang terjadi?”
“Kenapa kau meninggalkannya ditengah-tengah kasus seperti ini? Benar-benar berat
baginya untuk menghadapi kasus ini sendirian..”
“Dia punya kau,” kata Roland cepat sebelum Scott menyelesaikan kalimatnya.
72
“Jawaban apa itu? Tugasku disini hanya sebagai pengawal, bukan sebagai partner
penelitiannya,” tukas Scott. Roland terdiam. “Apa kau masih menyalahkan Nadia atas kematian
Danny?” Scott menatap Roland dengan pandangan tajam.
Kali ini Roland tidak dapat menjawab. Ia tahu, sebenarnya ia tidak pantas marah kepada
Nadia sampai saat ini, tapi saat mengetahui kenyataan bahwa Nadia sudah mengetahui adanya
penyelundupan kekamar Danny dan tiak memberitahukan hal itu padanya, membuat hatinya
sakit.
“Nadia tidak akan menyangka hal itu akan terjadi, dan Nadia juga tidak pernah
mengharapkan itu bukan? Dia sudah berusaha yang terbaik untuk melindungi semua. Apa kau
tidak mengerti?” tambah Scott.
Roland semakin membisu. Memang benar semua yang dikatakan Scott, dialah yang terlalu
bersifat terlalu kekanak-kanakkan.
“Apakah kau tidak mau mencari tahu siapa pelaku yang membunuh Danny?” tanya Scott.
Pertanyaan Scott ini membuat jantung Roland berdegup kuat. Di dalam hatinya, tentu saja ia
ingin mengetahui siapa yang berani-beraninya melakukan hal sekeji itu terhadap Danny.
Bahkan jika diperbolehkan, dia ingin membalas dendam.
“Kembalilah bekerja sama dengan kami. Tidak ada gunanya kau berdiam diri seperti ini,
membiarkan sahabatmu berjuang sendiri dan tidak bertindak atas kematian seseorang yang
kau anggap sudah menjai saudaramu adalah tindakan seorang pengecut,” lanjut Scott.
Roland masih tetap diam karena berpikir, dan Scott tahu itu, tapi ia tidak bisa menunggu
lama.
“Pikirkan itu baik-baik, Bung. Aku ingin mendengar kabar baik besok,” ucap Scott sambil
berdiri dari kursi tamu.
“Tunggu,” ucap Roland sebelum Scott mencapai pintu keluar. “Aku akan kembali,”
lanjutnya. “Terima kasih karena telah menyadarkanku, Scott.”
Scott berbalik dan tersenyum tipis.
“Hal itulah yang ingin kudengar...”

***

73
Bab Empat Belas

Pagi-pagi sekali Nadia sudah terbangun dari tidurnya karena mendengar suara ketokan
pintu apartemennya. Hanya dua kali. Dan Nadia tahu tandanya koran pagi sudah sampai di
rumahnya. Ia beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan keruang TV, berdiri terpaku sebentar
melihat koran yang sudah tergeletak didekat kolong pintu masuknya. Tidak ada sedikit pun niat
Nadia untuk membaca koran tersebut, bahkan membacanya. Ia hanya pergi kedapur
mengambil segelas air putih dan duduk di atas sofa dengan pandangan kosong.
Masih jelas diingatannya bagaimana koran pagi itu benar-benar membuatnya terkejut,
bagaimana marahnya Roland padanya, dan besarnya rasa bersalah terhadap dirinya sendiri. Ia
ingin melupakan itu semua, tapi tidak bisa jika Roland masih bersikap dingin terhadapnya.
Tiga puluh menit sudah berlalu, Nadia masih sibuk menonton layar TV yang masih hitam
atau melihat ke arah jendela yang langsung menghadap ke jalan raya Jakarta. Baru saja dia ingin
kembali ke sofa untuk kesekian kalinya, ketokan pintu menjadi perhatiannya lagi.
Nadia berjalan untuk membukakan pintu.
“Scott dan ...?” tanyanya kepada Scott begitu melihat seorang anak bergaya rocker di
depan pintu apartemennya. Kali ini Roy memakai celana jeans panjang, kaos merah yang dibalut
dengan jacket biru, tidak lupa sebuah topi berwarna hitam di atas kepalanya.
“Perkenalkan... Roy” ucap Roy sambil terseyum. Ia senang ada orang yang tidak
mengenalinya sebagai Roy si hacker karena hari ini ia memakai lensa kontak.
“Senang berkenalan denganmu Roy. Aku Nadia. Silahkan masuk,” balas Nadia ramah.
Tanpa basa-basi lagi Roy masuk kedalam apartemen.
“Dia memang begitu,” kata Scott sebelum Nadia menerima kesan yang buruk saat pertama
kali bertemu dengan Roy.
Nadia dan Scott baru masuk setelah Roy sudah duduk nyaman diatas sofa empuk milik
Nadia. Tidak lama setelah itu dia mengambil laptop dari dalam tas ranselnya dan
meletakkannya diatas meja. Nadia duduk disampingnya, sedangkan Scott memilih duduk
didekat jendela.
“Apa Rory mengatakan sesuatu saat ia merekomendasikanku?” tanya Roy kepada Nadia.
“Ya, dia bilang kau menyadari perusahaan Dimitri sedang membuat suatu alat rahasia,”
jawab Nadia.
“Bagus, jadi aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar kepada kalian. Sebenarnya, aku
sudah menemukan satu buah fakta lagi saat Scott pergi kemarin malam...”
“Pergi kemana?” tanya Nadia tiba-tiba terhadap Roy begitu ia mendengar hal itu.
“Aku tidak tahu, tapi Scott bilang ia ingin mengunjungi teman,” jawab Roy jujur. Nadia
memandang Scott meminta jawaban, tapi toh orang yang dibicarakan sedang menatap jendela
apartemen melihat pemandangan Jakarta.
“Oke, back to topic?” tanya Roy untuk mengembalikan perhatian Nadia terhadap kasus.
“Sure,” jawab Nadia gelagapan.
“Jadi fakta aku temukan itu adalah, Sierra-8.”
“ ‘Si--’ apa?” tanya Nadia karena merasa tidak terlalu mendengar jawaban Roy. Scott yang
tadinya hanya melihat jendela, mulai mengalihkan perhatiannya kepada penjalasan Roy.
“Sierra-8, nama alat yang dibuat secara rahasia itu alias senjata biologis yang bisa
memusnahkan setengah populasi manusia.”
“Jangan bercanda...” ucap Nadia terkaget setelah mendengar pernyataan Roy.
“Yah... Kau bisa bilang begitu sebelum melihat ini,” ucap Roy sambil mengarahkan layar
laptopnya ke Nadia, Scott berjalan mendekat untuk melihat juga.
Sebuah foto tabung kecil yang bertuliskan Sierra-8 tertampang di layar laptop. Jelas data
ini masih sebuah rencana bagi perusahaan milik Dimitri, tapi sudah dapat dipastikan alat ini
sedang didalam proses pembuatannya. Di sebelah kanan foto Sierra-8 terdapat penjelasan-
penjelasan tentang senjata mematikan ini. Mulai dari cara kerjanya hingga cara penyebarannya.
74
“Cairan beracun...” kata Nadia tidak percaya.
“Yap! Sekali kau menelannya, tenggorokanmu akan merasa seperti dicekik sebelum
akhirnya nafasmu berhenti...” tambah Roy yang sudah memegang segelas sirup dingin
ditangannya. “Juga menyenyebabkan kegagalan multi-organ, bisa menyebabkan kematian
seketika.”
“Darimana kau dapat itu?” tanya Nadia heran.
“Dari kulkas,” jawab Roy enteng sambil terus meminum minumannya. Kalau saja Scott
tidak memeberitahukan Nadia tentang peringai buruk Roy, tentu saja Nadia sudah mengusirnya
dari rumah.
“Kira-kira bagaimana caranya agar Sierra-8 ini menyebar keseluruh dunia?” tanya Scott.
“Disini tertulis, cara penyebarannya adalah, cairan beracun akan dimasukkan kedalam
drum-drum besar dan akan disebarkan pada sumber-sumber air minum setiap tempat yang
menurut Mr Dimitri Petropavlovsk tidak dibutuhkan. Apa maksudnya itu?” tanya Roy.
“Kalau data ini benar, Sierra-8 akan dimasukkan kedalam drum, alat transportasi yang
paling memungkinkan penyebaran adalah kapal,” jawab Nadia.
“Tapi kapal apa?” tanya Roy lagi.
Hening sejenak. Semua orang sepertinya tidak tahu jawaban dari pertanyaan Roy yang
juga menghinggapi pikiran mereka. Tiba-tiba Nadia meloncat dari tempat duduknya seakan
mendapatkan suatu petunjuk.
“Roy, dimana Sierra-8 itu dibuat?” tanyanya tiba-tiba.
“Em... Menurut data ini, Rusia.”
“Perfect! Aku rasa aku tahu kapal apa yang akan mengangkut drum-drum beracun ini,”
ucap Nadia.
“Apa?” tanya Roy. Sedangkan Scott menunggu jawaban.
“Kapal Pesiar DreamLand,” jawab Nadia, membuat Roy tertawa terpingkal-pingkal.
“Hahahaha!! Bagaimana caranya kapal pesiar seperti cerita dongeng itu mengangkut
cairan-cairan beracun ini?!” Roy bertanya balik kepada Nadia.
“Justru karena itu... tidak ada seorang yang pun yang menyangka drum-drum itu ada di
kapal tersebut,” kata Scott. Roy yang tadinya tertawa mendengar jawaban Nadia kini malah
mengangguk tanda mengerti dengan analisa Nadia dan Scott.
“Setahuku DreamLand akan berlayar dari Rusia menuju Inggris bulan depan. Dan dari
Inggris, tentu saja lebih mudah bagi perusahaan Dimitri untuk menyebarkan racun kenegara-
negara berkembang diseluruh dunia yang sebagian besar terletak di Afrika. Terlalu cocok...”
lanjut Scott.
“Bagus. Sekarang misterinya terpecahkan!” kata Roy kegirangan.
“Tinggal ada satu masalah... Bagaimana kita bisa menghentikan penyebaran Sierra-8 tanpa
diketahui mereka?” ucap Nadia.
“Aku akan hubungi Rory,” kata Scott sambil berdiri. Ia pergi ke dapur sambil
menggenggam handphonenya.
“Hei, darimana kau bisa dapat semua data ini?” tanya Nadia ke Roy yang sekarang sedang
mengunyah cemilan milik Nadia yang terletak di atas sofa. Roy tidak gendut, hanya saja ia
memang hobi makan disaat dimana otaknya harus berfikir.
“Em? Cara mendapatkannya?? Cukup sulit memang untuk membobol keamanan data
perusahaan SilverSky, tapi untung saja aku berhasil. Bahkan kemarin aku masih bekerja
mengorek data ini setelah Scott tertidur...” jelas Roy.
Selama Scott menelepon Rory, terjadi perbincangan hangat antara Roy dan Nadia. Nadia
berpikir Roy adalah seseorang yang masih bersifat sangat lugu, seperti anak-anak. Maka dari itu
ia sangat bersemangat bertanya-tanya darimana Roy berasal, sekolahnya, keluarganya, bahkan
Nadia bertanya bagaiman Roy bisa bergabung dengan Foxhead. Dan semua pertanyaan itu
dijawab jujur oleh Roy.
“Aku sudah menghubungi Rory” ucap Scott begitu ia baru berjalan dari dapur.
“Apa katanya?”

75
“Dia bisa membantu mengantarkan kita kelokasi DreamLand akan melakukan pelayaran
perdananya di Rusia...”
“Apa berarti kita ikut berlayar? Kalau begitu, Nadia, tolong ingatkan aku bahwa kita
sedang bekerja saat itu, aku takut aku akan keasikan bermain...” pesan Roy.
“Jangan berharap banyak Roy, kita kesana bukan untuk ikut berlayar bersama DreamLand
dan liburan. Kita hanya bisa mencegah sebelum drum-drum beracun itu memasuki kapal,” tukas
Scott. Wajah Roy langsung berubah menjadi kecewa.
“Tenang Roy, setelah pekerjaan selesai, aku akan mengajakmu ke taman hiburan disini,
Ancol,” hibur Nadia. Yang sudah mengaggap Roy seperti adik laki-laki kecilnya.

***

76
Bab Lima Belas

“Here we go...” gumam Roy.


Roy memandang serius ke arah layar laptop-nya dengan serius. Mereka berada di
apartemen Scott. Nadia dan Scott mengawasi pemuda itu dengan pandangan tajam.
“Shit!” maki Roy.
Ia memandang kesal. Nadia dan Scott menatap Roy dengan pandangan was-was. Dari
posisi mereka, Nadia dan Scott tidak dapat melihat apa yang dilakukan Roy selain suara ‘klik’
monoton dari mouse yang digunakannya.
Scott merenggut marah melihat jendela Minesweeper yang sedari tadi dimainkan Roy.
Nadia juga menatapnya kesal.
“Kami pikir kau sedang melakukan riset tentang Sierra-8 atau apa pun...” gumam Nadia.
“... Tapi kau cuma main Minesweeper!” sambung Scott.
“Oke! Oke!” seru Roy. “Jeez... kalian bahkan tidak memberiku waktu untuk rileks sejenak...”
Roy mengangkat bahunya. “Terkadang kalian terdengar seperti orang tuaku.” Roy meng-klik
sebuah icon pada komputernya dan menunjukkan beberapa data baru pada Nadia dan Scott.
“Nih... Kapal pesiar DreamLand membatalkan semua jadwalnya selama seminggu... Kapal itu
akan berangkat dari Inggris ke Madagaskar...”
“Punya tanggal dan jam pasti?” tanya Nadia.
“Sebentar,” Roy menelusuri halaman itu dan tersenyum. “15 Juni, pukul 05:00 pagi.”
“Bagus,” kata Scott. Ia langsung menghubungi Rory untuk memastikan angkutan mereka.
Roy dan Nadia masih terus mempelajari data itu dengan hati-hati untuk mendapatkan setiap
detailnya. Akhirnya, Scott menutup ponsel dan menatap Nadia.
“Good news,” kata Scott. “Foxhead setuju untuk mengirmkan pasukan tambahan untuk
membantu kita. Mereka berjanji akan memberikan satu pasukan lagi dari PMC (Private Military
Company).”
Nadia mengangguk senang mendengar berita itu. Tiba-tiba ponselnya berdering,
membuat gadis itu sedikit kaget.
Ia menatap nama yang tertera di layar. Roland. Apa yang diinginkan cowok itu sekarang?
Setelah berhari-hari mereka tidak saling bicara satu sama lain...
“Halo?” jawab Nadia. Ia merasa suaranya sedikit kaku.
“Nad... Pak Dedi diserang orang,” kata Roland. Ia terdengar gugup dan tidak tenang.
Mata Nadia terbelalak kaget. Pak Dedi... diserang orang?
“Nad, gue rasa gue tau ini semua tentang apa...” kata Roland. “Penyelidikan kita.”
Nadia tidak mempercayai pendengarannya. Ia merasa Roland baru saja mengatakan
‘penyelidikan kita’ bukan ‘penyelidikanmu’ atau ‘penyelidikan kalian’.
“Dimana Pak Dedi sekarang?” tanya Nadia.
“Rumah sakit. Beliau masih belum siuman. Lo mau ke sini?” tanya Roland.
“Tunggu di sana.”

***

Roland tidak mengenali pemuda yang datang bersama Scott dan Nadia. Meski pakaiannya
memancarkan isyarat ‘saya-rocker-jangan-main-main-dengan-saya’ (Roy punya kebiasaan ganti
baju tiga kali sehari), tapi kacamatanya memancarkan aura ‘saya-culun-dan-maniak-komputer’.
Roland menerkanya sebagai pengganti posisi Danny.
“Dimana Pak Dedi?” tanya Nadia langsung. Roland mengedikkan kepala ke arah ruangan
di depannya. Nadia mengangguk. Tanpa pikir panjang, ia masuk ke ruangan itu, meninggalkan
Scott, Roland dan Roy di luar.
“Kau pasti Roland,” kata Roy sambil mengulurkan tangannya.
“Yup,” jawab Roland sambil tersenyum. “Lo?”
77
“Roy. Aku bekerja di Foxhead sebagai hacker.”
Roland mengangguk. Dugaanya tidak salah. Pemuda ini memang maniak komputer. Scott
tersenyum pada Roland dan menepuk bahunya dengan ramah.
“Welcome back, mate.”

***

Malam itu, apartemen Scott. Roy duduk bersila di depan laptopnya, sementara Scott
memastikan ia sudah memasukkan barang-barangnya yang ia kira akan dibutuhkan nantinya
jika harus terjadi kontak senjata dengan orang-orang di kapal.
“Scott, mengenai keberangkatan kalian besok...” kata Roy memulai, tapi Scott
memotongnya.
“Kau tidak ingin ikut,” kata Scott.
Roy mengangguk. “Bukannya aku pengecut atau apa... Tapi, aku merasa ada yang tidak
beres dengan semua ini Scott. Informasi yang mudah di dapat... Scott... Black Star, Green
Troopers dan SilverSky International tidaklah berisi orang-orang bodoh. Mereka akan tahu jika
aku mulai mengotak-atik pekerjaan mereka.”
“Aku tahu,” jawab Scott. “Kupikir keputusan bagus untuk membiarkanmu tidak ikut. Kami
akan membutuhkanmu jika keadaan berbalik menjadi tidak baik.”
Roy mengangguk. Ia mengerti maksud Scott dengan baik.
“Aku akan membantumu semampuku,” kata Roy meyakinkan. Scott nyengir dan
mengacak rambut Roy.
“Thanks, Roy.”

***

“ETA (Estimate Time of Arrival) enam puluh detik!” suara melalui radio memberi
informasi. Saat ini, Scott, Nadia dan Roland berada dalam sebuah pave low yang membawa
mereka menuju sebuah kapal pesiar yang cukup mewah. DreamLand. Sesuai dengan namanya,
kapal itu dihiasi berbagai macam fasilitas hiburan yang menyenangkan.
Scott tidak percaya ia akan berada dalam posisi seperti ini lagi. Sejak ia berhenti dari
S.A.S, Scott tidak mepercayai ia akan menaiki sebuah pavelow lagi. Ia tersenyum pada diri
sendiri, mengeratkan pegangannya pada M4A1 Grenadier-nya. Kini ia di sini, bersama dengan
beberapa orang tentara. Scott berpikir mereka tidak akan menyia-nyiakan nyawa yang tidak
perlu.
‘Sudah cukup banyak kematian,’ pikir Scott.
Nadia dan Roland tetap ngoto untuk diturunkan juga di kapal itu. Meski ia tidak memiliki
kemampuan yang memadai sebagai tentara. Orang-orang ini hanya memberi Nadia sebuah
Desert Eagle dan kevlar. Begitu juga dengan Roland.
“ETA tiga puluh detik!”
Semua mulai bersiap untuk meluncur turun dari pavelow. Setelah semua orang turun
dengan mulus, Scott memberi perintah untuk maju kepada rekan-rekan barunya. Nadia dan
Roland mengikuti rapat di belakang Scott.
“Stone, Parker, on me,” bisik Scott pada radionya. Dua orang tentara mengikuti Scott,
Nadia dan Roland. Mereka masuk ke dalam kapal pesiar, melintasi koridor panjang yang di
setiap sisinya terdapat pintu kabin-kabin kelas satu.
“Area clear,” bisik Parker.
Mereka berjalan terus hingga mencapai sebuah pintu mewah dengan ukiran-ukiran rumit
pada kayunya.
“Stack up,” perintah Scott.
Mereka langsung mengambil posisi. Nadia dan Roland menempel rapat ke dinding di
belakang Scott. Scott mengangguk kecil pada Nadia untuk menenangkan gadis itu. Nadia
tersenyum lemah membalas anggukannya. Gadis itu menghela nafas.
78
Stone membuka pintu, sementara Scott dan Parker langsung mengacungkan senjata
mereka. Gerakan mereka terhenti saat melihat satu sosok berdiri di tengah ruangan. Nadia
mengenalinya sebagai...
“Dimitri Petropavlovsk.”
Pria itu berbalik dan tersenyum.
“Selamat datang,” sapanya ramah. “Aku tidak terkejut kalian bisa sampai sejauh ini.
Memang berbahaya sekali membiarkan hacker kecil kalian itu mengorek-ngorek berbagai
informasi dari kami.”
Wajah Scott mengeras saat ia mendengar hal ini.
“Kau yang membunuh Danny...” katanya muak.
“Tidak juga,” jawab Petropavlovsk ringan.
“Kau yang menyerang Pak Dedi karena ia mengetahui apa yang Nadia selidiki...” kata
Roland lagi.
“Tidak juga...” jawab Petropavlovsk.
“Jujurlah, Petropavlovsk... Tidak gunanya kau berbohong,” kata Scott. “Kau tidak mengerti
posisimu.”
Stone dan Parker tetap berdiri tenang dengan senjata mereka masih teracung ke arah
Dimitri Petropavlovsk. Saat itu, satu sosok yang mereka kenal memasuki ruangan dari pintu di
seberang ruangan. Kali ini, Scott benar-benar terkejut melihat sosok itu. Seharusnya ia tidak
berada di sini...
“Apa yang kau lakukan di tempat ini Sanderson?” tanya Nadia. Ia mulai merasakan
sesuatu yang tidak beres akan terjadi.
“Karena bos-ku ada di sini, Miss Nadia,” jawab Sanderson sambil tersenyum. Ia
mengacungkan G36C ditangannya kepada Scott. Scott menurunkan senjatanya. Ia melemparkan
pandangan benci ke arah Sanderson. Pria itu mengacuhkannya begitu saja. Ia tidak ambil
pusing.
“Bos-mu? Kau bekerja pada Dimitri Petropavlovsk?!” tanya Nadia kaget.
Sanderson terkekeh.
“Tidak juga...”
“Oh, well!! Apa ‘tidak juga’ menjadi kata yang populer akhir-akhir ini?!” seru Roland muak.
Sanderson tersenyum lagi dan menatap Roland.
“Tidak juga.”
“Karena ia juga bekerja padaku, Miss Nadia,” satu sosok lain muncul dari pintu tempat
Sanderson baru saja keluar.
Nadia tidak mempercayai matanya sendiri.
Tidak mungkin...

***

79
Bab Enam Belas

“Neil Welsh,” gumam Scott. Ia yang pertama pulih dari kekagetannya. Nadia dan Roland
menatap pria itu dengan mata terbelalak. Kenapa Neil Welsh berada di kapal ini? Apa yang
dilakukannya?
“Well, well, well, lihat ini...” kata Neil sambil tersenyum. “Mr MacDonough, aku senang kau
bertemu kembali dengan Harry Sanderson. Waktu yang menyenangkan untuk bertukar kisah
bukan?”
“Oh, yeah... Sayangnya kami sudah saling bertukar kisah di kantor mewahmu,” kata Scott
penuh dengan sarkasme. “Apa maksud semua ini, Mr Welsh? Kenapa anda bisa berada di sini?
Seharusnya kau berada di tempat lain!”
Neil Welsh terkekeh sambil menggelengkan kepalanya, tawa yang bahkan tidak mencapai
matanya yang hijau. Nadia tak lagi mengenali senyum ramahnya. Yang ada hanyalah seringai
licik dan tatapan dingin. Suara Mr Welsh... Nadia mengenalinya sebagai suara yang sama yang ia
dengar beberapa waktu yang lalu... Grey Tower, Singapura. Nadia menelan ludah.
Scott mengangkat M4A1-nya dan mengarahkan benda itu ke Neil Welsh yang berdiri
dengan santainya. Melihat aksi Scott, Sanderson segera melompat ke depan Welsh untuk
melindungi pria itu. Ia juga mengacungkan G36C miliknya ke arah Scott, membuat pria itu
menahan tembakannya.
“Now, now, Mr Petropavlovsk... Anda ingin menjelaskan semuanya pada mereka?” tanya
Welsh pada Petropavlovsk.
Petropavlovsk hanya mendengus. “Apa mereka harus tahu, Mr Welsh?” tanya
Petropavlovsk. Suara dinginnya menimbulkan perasaan tak nyaman bagi Nadia.
“Hmmm... Tidak masalah... Toh, mereka akan mati...”
“Kebanyakan penjahat dalam film melakukannya Mr Welsh, dan percaya atau tidak,
hampir semuanya mati,” kata Petropavlovsk lagi.
Welsh mendengus. “Kita bukan penjahat Mr P, kita orang-orang yang ingin melindungi
planet ini dengan mengambil sebuah langkah keras yang tegas.”
“Seberapa bagusnya pun kau menyebut dirimu, kau Cuma pembunuh massal!” seru
Roland marah. Ia tak lagi mampu menahan emosinya yang sedari tadi sudah nyaris meledak.
Welsh dan Petropavlovsk menatap Roland sambil tersenyum dingin.
“Kau arus mencoba melihatnya dari sudut pandang kami, anak muda,” kata Welsh.
“Memusnahkan separuh populasi manusia untuk menyelamatkan bumi adalah hal terbaik yang
pernah dipikirkan manusia! Kau tahu, betapa banyaknya sampah di dunia ini. Kau seorang
kameramen, Mr Roland. Kau sudah melihat berbagai macam kehidupan manusia melalui lensa
kameramu. Tidakkah kau merasa betapa banyaknya orang yang tidak beruntung di luar sana?
“Mr Roland, kami merasa muak dengan dunia yang seperti ini. Terlalu banyak sampah
yang harus disingkirkan dari muka bumi. Untuk itulah kami membutuhkan Sierra-8, Mr
Roland,” kata Welsh dengan nada datar.
“Kalianlah yang sampah!” seru Nadia. “Black Star melakukan banyak tindakan kriminal!
Kalian seharusnya memusnahkan diri kalian sendiri!!”
Dimitri Petropavlovsk terkekeh mendengar kata-kata Nadia.
“Kami tidak mencuri, Miss Nadia. Kami tidak membunuh...”
“Tidak membunuh?!” potong Nadia langsung. “Lalu bagaimana dengan Herbert Shawn?
Fotografer yang meninggal itu?! Bagaimana dengan pembantaian di bandara yang kalian
lakukan beberapa waktu yang lalu?!”
“Herbert Shawn bukanlah orang baik, Miss Nadia. Apa kau bisa membiarkan orang yang
telah membunuh seluruh anggota keluarganya dalam satu malam dibiarkan hidup? Tidak ada
cukup bukti untuk memasukkannya ke penjara, tapi kami tahu. Dan juga, kami menghapusnya
untuk melenyapkan bukti,” kata Petropavlovsk tenang. “Mengenai pembantaian... Hmmm... Kami
memusnahkan ratusan orang kaya arogan di tempat itu. Kau ingat hari apa saat itu? Puluhan
80
koruptor tingakat tinggi mengadakan perjalanan bisnis, sementara beberapa penyelundup
melakukan kejahatan...
“Black Star berbeda dengan mereka semua. Kami berbuat berdasarkan kebutuhan.
Penyelundupan senjata, pasar gelap, perdagangan narkotika... Semua itu kami lakukan untuk
menjalankan rencana ini. Untuk melakukan sesuatu yang besar, kami mengorbankan hal-hal
yang kecil, Miss Nadia. Kau harus mampu melihatnya.
“Kalian tidak pernah memahami kenginan Black Star... memahami cita-cita kami. Kami
akan menyelamatkan dunia dari tangan-tangan sampah tak berguna. Masyarakat kotor yang
hanya bisa merusak bumi ini,” kata Dimitri Petropavlovsk.
“Kalian orang-orang gila!” kata Roland. Ia mengangkat Desert Eagle yang sedari tadi di
pegangnya. “Kalian orang-orang gila, dengan ide-ide tolol!”
Welsh maju selangkah, membuat Scott kembali mengacungkan senjatanya lebih siaga.
Sanderson bersiap menarik pelatuk jika ia melihat jari Scott menyentuh trigger M4A1 miliknya.
Tapi Scott tidak menembak. Ia tahu betapa berbahayanya jjika ia harus menembak sekarang.
Ruangan itu di penuhi oleh beberapa anak buah Petropavlovsk yang bersenjata.
“Mr MacDonough, perbedaan antara orang gila dan orang jenius itu sangat tipis, anda
tahu?” kata Welsh. “Ide gila kami adalah ide jenius. Mengerikan, tapi luar biasa. Dunia ini
membutuhkan pemimpin yang bisa menangani semuanya. Kami akan membereskan sampah-
sampah ini dan akan memulai sebuah kekuasaan baru yang lebih besar...”
“Dan kalian... kalian ingin menggagalkan rencana kami...” kata Welsh. “Kalian menghalangi
rencana kami untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran. Kalian berpikiran terlalu sempit.”
“Kalian, dan orang itu...” kata Petropavlovsk sambil tersenyum.
“Siapa yang kau maksud?” tanya Scott tajam.
“Tentu saja Matthew Smith.”

81
Bab Tujuh Belas

Nadia tersentak kaget mendengar nama itu disebut. Begitu juga dengan Roland dan Scott.
Pria itu nyaris menjatuhkan M4A1 ditangannya. Mata biru Scott terbelalak kaget saat
mengetahui bahwa Matt terlibat dalam masalah ini... Tidak mungkin... Matt menyembunyikan
sesuatu seperti ini darinya...
“Kau bohong...” bisik Nadia lirih. Ia tidak mempercayai pendengarannya. Matt terlibat
dalam masalah ini... Matt...
“Aku tidak bohong. Sama sepertimu, Smith memasukkan hidungnya ke tempat yang salah,
mengira ia mampu membongkar rencana ini seorang diri, tapi tidak semudah itu. Smith
memang hacker jempolan, kami akui itu. Sangat sulit melacak keberadaannya, tapi tidak
mustahil. Dalam waktu singkat, kami berhasil menemukan berbagai hal mengenainya,” kata
Petropavlovsk. “Termasuk kau.”
“Matt dinyatakan Missing In Action dalam salah satu misi kami...” kata Scott. “Kalian...
kalian membunuhnya?!” seru Scott.
“Smith seharusnya mengurus urusannya sendiri,” kata Welsh. “Kalau ia tidak setuju, maka
kami akan membunuhnya, dan itulah yang kami lakukan...”
“BRENGSEK!!!!” seru Nadia.
Ia merebut Desert Eagle dari tangan Roland dan mengacungkan benda itu tepat ke arah
kepala Welsh. Sanderson langsung mengarahkan G36C-nya kepada Nadia. Gadis itu masih
belum menarik pelatuk.
“Kau sudah membunuh Matt...” desis Nadia. Ia menatap Welsh dengan tajam dan dibalas
Welsh dengan pandangan dingin tidak peduli. “Kau sudah membunuhnya...”
Jari Nadia bergerak ke arah pelatuk Desert Eagle, mengarahkan benda itu dengan hati-
hati. Air mata mulai membasahi pipinya. “Kubunuh KAU!!”
DOR!
DOR!
Dua suara tembakan menggema dalam ruangan itu. Satu berasal dari Desert Eagle Nadia,
dan yang lainnya berasal dari G36C milik Sanderson. Darah mengalir dari luka di bahu Scott. Ia
melompat tepat pada waktunya, mendorong jatuh tubuh Nadia sebelum peluru G36C
menghantam badan gadis itu. Tembakan Nadia sendiri meleset lima puluh sentimeter ke
sampign kanan kepala Welsh.
Untuk beberapa saat, tak ada yang bergerak. Scott masih memeluk Nadia yang gemetaran,
melindunginya dari tembakan Sanderson sementara Roland hanya ternganga melihat kejadian
yang terjadi di deoan matanya itu.
“Hmmf... kalian akan membuat Hollywood bangga,” kata Welsh dengan nada mengejek.
Scott bangkit, membantu Nadia berdiri. Gadis itu masih menangis. Roland segera
menghampiri mereka dan membantu menopang tubuh Nadia. Scott memeriksa lukanya yang
masih mengeluarkan darah.
“Kau baik-baik saja?” tanya Roland pada Scott.
“Yeah. Hanya luka kecil,” gumam Scott. Ia menoleh ke arah Nadia. “Hey, kau oke?” tanya
Scott kepada Nadia. Nadia tidak menjawab. Hanya isak tangisyang terdengar dari gadis itu. Ia
membenamkan wajahnya di bahu Roland.
Scott memaki dalam hati. Ia mengambil Desert Eagle yang dipegang Nadia dan
mengacungkannya. Kali ini ke arah Dimitri Petropavlovsk. Seluruh pengawal bersenjata di
sekitar mereka langsung bergerak maju, mengarah beragam senjata ke arah Scott. Namun, pria
Skotlandia itu tidak gentar. Ia memandang tiga orang didepanya dengan tatapan tajam.
Harry Sanderson mendengus kecil.
“Kau mau tahu, MacDonough?” tanya pria itu sambil menyeringai. “Aku membunuh Smith
dengan tanganku sendiri.”

82
***

“Smith, Sanderson, periksa lantai dua. MacDonough, ikuti aku,” kata Kapten Frost melalui
radio.
“Roger,” kata Smith. Ia berjalan pelan ke arah tangga yang akan membawa mereka ke
lantai dua, sementaraKapten Frost dan Scott meneruskan perjalanan ke lantai dasar. Sejujurnya,
Matt tidak terlalu menyukai ini. Instingnya berteriak bahwaada sesuatu yang tidak beres akan
terjadi. Tapi ia mencoba untuk mengacuhkan instingnya.
Mereka sampai di puncak tangga. Ruangan itu jauh lebih terang dibandingkan ruangan
tempat mereka tadi berada.
“Smith, aku melihat sedikit pergerakan di balkon,” kata Sanderson. Ia menunjuk sebuah
balkon di ujung koridor yang menghadap ke arah pegunungan di luar.
Matt mengangguk dan memimpin jalan. Sanderson mengikutinya dengan diam di belakang.
“Kapten, kami menangkap sedikit pergerakan musuh di balkon lantai dua,” bisik Matt pada
radionya. Suara Kapten Frost terdengar melalui ear-piece.
“Roger that. Bersiaplah bergabung denganku dan MacDonough dalam lima menit,” kata
Kapten Frost.
“Copy that. Out.”
Mereka kembali mengendap memasuki balkon yang dimaksud. Seorang penjaga menatap
keluar, ke arah pegunungan besar yang terletak di luar mansion tempat mereka berada. Matt
memberi tanda pada Sanderson untuk tidak membuat suara apa pun sementara ia majudan
mengeluarkan tactical knife-nya. Dalam satu gerakan mulus, Matt membekap mulut penjaga itu
dan menancapkan pisaunya tanpa keraguan ke tubuh si penjaga. Dalam beberapa detik, penjaga
itu berhenti memberontak dan jatuh begitu saja, tak bergerak lagi.
“Clear,” kata Matt. Matt memperhatikan sekitarnya. Ia berjalan ke pinggir pagar balkon
dan melihat ke bawah. Mansion itu terlentak di tepi sebuah jurang besar dan dalam. Matt bahkan
tak mampu melihat dasar jurang itu dari balkon tempatnya berdiri. “Kurasa kalau kau melompat
dari sini, kau tidak akan selamat...” kata Matt.
“Yeah, kau benar...” Sanderson mengacungkan M1911-nya ke arah Matt...
DOR!
Tembakan itu tepat menghantam kepalanya. Seketika itu juga, Matt rubuh ke belakang.
Tubuhnya menghantam pagar balkon sebelum akhirnya jatuh ke jurang yang dalam itu.
“Kapten Frost, saya akan segera bergabung dengan anda,” kata Sanderson.
“Roger that, Sanderson.”

***

“Kau membunuh Matt...!” geram Scott.


Sanderson tersenyum. “Sejak dulu, aku bukan sekedar tentara biasa. Aku bekerja di
bawah Mr Welsh. Membunuh Smith merupakan keharusan karena orang-orang sepertinya
hanya akan mengacaukan rencana,” kata Sanderson. “Kapten Frost telah bersedia bekerja
sama... Well, hingga akhirnya ia memilih untuk tidak melanjutkan pekerjaan ini. Sekarang kau
bisa menemukan mayatnya membusuk di dasar Samudra Atlantik.”
“Jonathan Frost bukan meninggal karena kecelakaan saat berlibur,” kata Petropavlovsk.
“Tidak sengaja, pada suatu malam, ia tergelincir di dek kapal pesiarnya dan jatuh ke laut. Tak
ada yang pernah melihatnya lagi sejak itu.”
“Kau membunuhnya juga...” kata Scott.
Welsh mengeluarkan seringai kecil yang menyebalkan di wajahnya.
“Itu tidak penting lagi sekarang. Matthew Smith sudah mati, dan aku akan memastikan
bahwa kalian juga akan menyusulnya. Segera,” kata Welsh. “Sungguh penyia-nyiaan sumber
daya manusia...”
“DIAM KAU!” bentak Nadia.

83
Gadis itu sudah berhenti mengais dan kini menatap Welsh dengan penuh kemarahan.
“Kau membunuh Matt... Danny... ratusan orang lainnya...”
Sanderson mengangkat alis mendengar perkataan Nadia. “Dari mana kau tahu aku yang
membunuh hacker tolol itu?”
Nadia tidak menggubris pertanyaan Sanderson. Ia terus berbicara.
“Kau bukanlah apa-apa selain pembunuh brengsek yang menari diatas mayat orang-orang
yang dibunuhnya... Kau bukan penyelamat dunia, kau Cuma setan yang melakukan kejahatan
atas nama kebaikan dunia...”
“Kau lebih rendah dari sampah,” kata Roland.
“Scott, berikan pistol itu padaku...” kata Nadia.
“Nadia... kau tidak bisa...” Scott menatap gadis itu dengan mata birunya yang dalam.
“Berikan. Pistol. Itu. Sekarang!” seru Nadia dengan penekanan pada setiap katanya.
Sebelum Scott dapat mencegah, Nadia sudah merebut Desert Eagle itu dari tangan Scott dan
mengacungkannya ke arah Sanderson.
“Kau akan menembakku, Miss Nadia?” tanya Sanderson kalem. Ia melemparkan
senjatanya ke lantai, berdiri di sana dengan tangan kosong. Welsh dan Petropavlovsk menonton
adegan ini dengan santai. “Kau tidak akan bisa.”
“Aku bisa,” kata Nadia. Ia meletakkan jarinya pada pelatuk, bersiap untuk menembak...

***

“Bagaimana kau bisa menembak musuh-musuhmu?” tanya Nadia pada Matt. Mereka duduk
di bawah siraman hangat mentari pagi, memperhatikan beberapa orang yang berjalan-jalan di
taman itu sambil membawa anjing mereka atau gerobak bayi.
Matt tidak langsung menjawab pertanyaan Nadia. Ia berpikir sejenak sebelum metuskan
jawabannya.
“Kurasa karena aku tahu apa yang sbenarnya ingin kulakukan...” jawab Matt.
“Maksudmu?” tanya Nadia bingung.
“Saat seseorang menjadi tentara, maka ia ingin melindungi tanah airnya...” kata Matt. “Tapi
aku tidak peduli dengan semua itu. Aku ingin melindungi orang-orang yang berada di atas tanah
itu. Melindungi orang-orang yang berharga bagiku...”
“Semua tentara menginginkan hal itu,” kata Nadia.
“Yeah... karena itu kami disebut tentara,” kata Matt. “Dalam situasi seperti apa pun, ada
saatnya kau harus memilih untuk melindungi orang yang kau sayangi, atau mengikuti kata
hatimu.”
Nadia mendengar dengan serius. Tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul dibenaknya.
“Seandainya kau harus memilih antara melindungiku atau mengikuti kata hatimu, mana
yang akan kau pilih?” tanya Nadia.
Matt tersenyum mendengar pertanyaan itu.
“Well, kurasa aku akan mengikuti kata hatiku,” kata Matt ringan. “Karena hatiku
mengatakan aku harus melindungimu,” Matt mengacak rambut gelap Nadia dengan lembut.
Nadia tersenyum mendengar jawaban Matt.

***

“Hentikan, Nadia!” seru Scott.


Nadia tersentak kaget saat ia kembali ke dunia nyata. Tangannya masihmengacungkan
pistol ke arah Sanderson. Scott menghampiri gadis itu sambil memegangi luka di bahunya.
Nadia tidak mengalihkan pandangan dari Sanderson.
“Turunkan senjatamu,” perintah Scott dengan lembut.
“Diam, Scott. Pria ini sudah membunuh Matt dan aku akan membunuhnya!” bentak Nadia.
“Kumohon, Nadia...” kata Scott.

84
Nadia tidak menggubris permohonan Scott. Ia masih saja menatap tajam pada pria di
depannya ini dengan pistol teracung. Roland berjalan ke arah Nadia, meletakkan tangannya di
bahu gadis itu.
“Nad, turunin senjata lo...” kata Roland. “Gue rasa Matt nggak bakalan senang melihat lo
kayak gini...”
“Lo nggak tahu apa-apa, Land!” bentak Nadia.
“Tapi Roland benar, Nadia,” kata Scott. “Matt tidak akan senang kalau kau melakukan
ini...”
“KALIAN TIDAK TAHU APA-APA!!” seru Nadia.
“LO YANG NGGAK TAHU APA-APA, NAD!” Roland balas berteriak. “Gue emang nggak kenal
Matt sebaik lo atau Scott! Gue bahkan nggak pernah ketemu sama dia! Tapi gue tahu, Nad,” kata
Roland lembut, “Gue tahu dia nggak bakal membiarkan lo ngotorin tangan lo sendiri.”
Nadia berusaha membendung air mata yang ingin keluar. Ia harus membunuh pria ini...
Dia harus membunuh Harry Sanderson... Untuk Matt... Untuk Danny...
“Gue harus melindungi orang-orang yang berharga buat gue...” kata Nadia.
“Siapa?” tanya Scott. “Matt? Danny? Hell! Mereka sudah mati, Nadia!” kata Scott. Ia merasa
tenggorokannya tercekat saat ia mengucapkan kata-kata itu.
“Matt mengatakan kalau kita membunuh untuk melindungi yang kita sayangi... Gue
pengen melindungi Matt... dan Danny...” kata Nadia. Ia merasakan air matanya sudah nyaris
keluar.
Scott menggeleng.
“Kau hanya ingin balas dendam, Nadia,” kata Scott. “Kau harus mengikuti kata hatimu...”
“Kata hatiku menyuruhku untuk membunuh sampah ini!!” bentak Nadia.
Kali ini, Rolandlah yang menggeleng.
“Kata hati lo menyuruh lo untuk membebaskannya...”
“Gue nggak akan pernah maafkan dia!” kata Nadia.
“Kalau gitu, bebaskan saja,” kata Roland. “Balas dendam itu adalah cara bodoh untuk
melampiaskan kemarahan. Karena setelah lo membalaskan semua dendam lo, yang tertinggal
hanya kekosongan. Lo Cuma jadi sekedar pembunuh.”
Nadia diam.
Kata-kata Roland itu menonjoknya bagai tinju raksasa, tepat di muka.

85
Bab Delapan Belas

Neil Welsh melihat seluruh adegan itu sambil tersenyum. Yeah, orang-orang ini membuat
semuanya jadi seperti sebuah film. Persetan dengan mereka, rencana tetap harus berjalan. Ia
memberi tanda pada Petropavlovsk untuk menyiapkan pasukannya. Sebentar lagi, mereka akan
mencapai lepas pantai Afrika. Sierra-8 siap di gunakan. Ia melirik jam tangannya.
“Time’s up, boys,” kata Welsh ringan. “Hentikan adegan drama ini... Kita punya jadwal yang
harus di kejar...”
“Indeed. Kurt, Tug, amankan mereka!” perintah Petropavlovsk.
Sebelum Nadia, Scott dan Roland sempat bereaksi, lima orang tentara bawahan Dimitri
Petropavlovsk menghampiri mereka. Salah satu penjaga itu memukul tangan Nadia, membuat
gadis itu menjatuhkan Desert Eagle yang ia pegang. Dengan ngeri, ia melihat empat orang lain
mencekal Scott dan Roland. Scott mencoba melawan, tapi sia-sia. Luka di bahunya membuat
pria itu tidak bisa berbuat apa-apa.
Mereka di kurung dalam salah satu ruangan yang terdapat di kapal itu. Bukan sel penjara,
tetapi ruangan yang cukup luas dan dipenuhi dengan berbagai macam dokumen-dokumen. Para
tentara itu tidak mengikat mereka. Nadia, Roland dan Scott hanya dikurung di dalam ruangan
yang dijaga oleh beberapa orang tentara.
Scott menyandar di dinding, memegangi lukanya yang masih berdarah. Sekarang, cairan
merah itu sudah membasahi lengan kirinya.
Tanpa pikir panjang, Nadia menyobek lengan baju Scott dan memeriksa lukanya. Luka
tersebut cukup parah meski hanya menyerempet. Darah terus keluar dari kulit yang menganga.
“A-apa yang harus kulakukan?” tanya Nadia panik.
“Balut lukanya,” kata Roland. Ia mengulurkan sebuah sapu tangan besar. Nadia
mengangguk dan mulai memalut luka di bahu Scottdengan sapu tangan Roland. Beberapa menit
kemudian, mereka bertiga duduk dalam diam.
Neil Welsh memasuki ruangan, diikuti oleh Petropavlovsk dan Harry Sanderson. “Nadia
berdiri saat ketiga orang itu memasuki ruangan begitu juga Roland. Tinjunya mengepal rat di
samping tubuh. Scott hanya mengangkat kepalanya, menatap ketiga orang itu pandangan yang
menusuk.
“Well, well... Ada satu hal yang ingin kutanyakan pada kalian...” kata Welsh dengan nada
dingin. “Matthew Smith melakukan penyelidikan mengenai rencana kami... Anehnya, saat semua
barang-barangnya di periksa, kami menemukan sesuatu yang hilang,” Welsh mendudukkan diri
di kursi kulit nyaman, mengahadap Nadia. “Data mengenai kegiatan kami.”
“Apa yang anda bicarakan?” tanya Nadia. “Aku tidak mengerti...”
“Oh, anda mengerti, Miss Nadia,” kata Petropavlovsk dingin. “Smith mengirimi anda
banyak surat dan e-mail...”
“Dan anda menganggap saya melanjutkan apa yang sudah dimulai Matt?” tanya Nadia
tajam. “Anda berpikir bahwa Matt mengirimi saya informasi tentang Sierra-8, Green Troopers
dan Black Star bersama surat-suratnya?!”
Sanderson tersenyum.
“Benar sekali, Miss Nadia.”
“Dia tidak pernah mengatakan apa pun tentang masalah ini. Aku memulai penyelidikan ini
sendirian, dengan bantuan Roland dan Danny,” kata Nadia. “Lalu Scott muncul.” Tiba-tiba Nadia
menyadari sesuatu. “Anda memilih saya untuk menyelidiki... bukan karena kemampuan saya...
Kalian berpikir untuk menyingkirkan saya bersama data-data itu!”
Petropavlovsk mengangguk dingin dan berkata,
“Benar, Miss Nadia.”
“Kenapa kalian tdak langsung membunuh Nadia saja?” tanya Scott.

86
“Kami harus memastikan data yang dikirim Smith kepada Nadia ditemukan dan
dilenyapkan,” kata Petropavlovsk, “Bersama dengan semua orang yang mengetahui dan terlibat
di dalamnya.”
“Karena itu anda mempekerjakan Scott sebagai bodyguard Nadia... Scott adalah sahabat
terbaik Matt,” kata Roland. Sekarang ia mulai mengrti semuanya.
“Ya, Mr Roland. Sebenarnya anda tidak perlu melibatkan diri. Anda harusnya mengikuti
saran bos anda—siapa itu namanya? Ah, ya—Mr Dedi atau sesuatu seperti itu untuk menjauhi
hal-hal berbahaya macam ini,” kata Welsh.
“Anda menyiapkan mata-mata di EightTV,” kata Scott. “Anda mengancam Dedi untuk tidak
menyiarkan berita ini... Anda yang menyerangnya malam itu!”
Welsh terkekeh. Ia bangkit, dan membelakangi tiga orang tawanannya ini. Scott masih
menatap nya dengan tajam. Nadia dan Roland juga memberikan pandangan yang menusuk.
Rencana Black Star benar-benar matang. Akan sangat sulit untuk menghentikan mereka.
“Sayang sekali, sirs, aku tidak memiliki data-data itu,” kata Nadia ringan. “Matt tidak
pernah mengirimi saya data-data apa pun. Hanya e-mail dan surat-surat biasa yang saya rasa
anda sudah tahu apa isinya...” kata Nadia. Ia mengingat mengenai rumahnya yang dibongkar,
termasuk peti yang digunakannya untuk menyimpan surat-surat dan foto-foto Matt.
“Tapi ada satu surat yang hilang, Miss Nadia...” kata Welsh. “Surat terakhir dari Matthew
Smith. Dimana surat itu?”
Nadia menggeleng. Ia menghela nafas.
“Mrs Smith, ibu Matt, tidak pernah mengirimkan surat itu meski pun ia berjanji...” kata
Nadia. “Aku tidak menerima kabar dari siapa pun mengenai Matt setelah telepon terakhir dari
Mrs Smith. Tidak ada surat, telepon, e-mail, paket atau apa pun. Sejak hari itu, aku berusaha
melupakan Matt dan melanjutkan kehidupanku.”
“Darimana kalian tahu mengenai surat terakhir Matt?” tanya Scott. Ia menatap curiga.
“Kami memiliki sumber-sumber, Miss Nadia,” kata Welsh. “Aneh... Surat terakhir itu
memang ada... Kenapa anda tidak menerimanya—kecuali...”
Welsh menatap Scott dengan pandangan aneh. Scott membalas pandangan itu dengan
berani. Ia tidak takut sama sekali dengan orang-orang ini.
“Mr MacDonough... anda mengambil cuti untuk mengunjungi Mrs Smith setelah kematian
Matthew Smith. Anda yakin Mrs Smith tidak menitipi anda sesuatu?” tanya Welsh penuh selidik.
Scott mendengus.
“Ya. Surat terakhir Matt ada padaku.”

***

Mrs Rebecca Smith berdiri di samping perapian. Wanita itu menatap foto-foto lama. Hampir
semua tentang Matt. Matt yang masih bayi, Matt merangkak, Matt berlari, Matt dan sepeda
pertamanya, Matt memenangkan pertandingan rugby... semua tentang Matt. Lalu yang paling
akhir, foto yang diambil beberapa waktu yang lalu. Matt dan Scott, berpose sesaat sebelum naik ke
helikopter untuk menjalankan misi.
Scott mengamati semua foto-foto itu.
“Aku menerima surat terakhir dari Matthew...” kata Mrs Smith. Ia masih menatap foto Matt
dengan pandangan kosong. “Aku juga menelepon Nadia di Indonesia... Matthew ingin
mengirimkan surat terakhirnya pada Nadia...”
Mrs Smith menoleh, menatap Scott dengan pandangan mata yang sembab.
“Matthew memintaku untuk mengirimkan surat itu jika sesuatuyang buruk terjadi
padanya...”
Scott menatap Mrs Smith dengan pandangan bingung.
“Bolehkah,” tanya Mrs Smith, “Aku memintamu untuk menyampaikan surat ini pada
Nadia?”

***
87
“Matt mengirimiku surat terakhirnya dan kau tidak pernah mengatakan apa pun
padaku?!” tanya Nadia terkejut. Ia memandang Scott dengan mata terbelalak. Nadia sudah
memaafkan Scott karena tidak menepati janjinya... Tetapi Scott merahasiakan surat terakhir
Matt untuknya? Apa-apaan ini?!
Roland tahu betapa kesalnya Nadia. Ia mengenal Nadia dengan baik untuk mengenali
setiap tanda-tanda perubahan emosi paada diri Nadia. Sekarang gadis itu benar-benar marah
pada Scott. Roland bisa menilai itu dari cara Nadia memandang Scott, nada bicaranya,
semuanya. Roland adalah rekan setia Nadia. Dia menghormati dan menghargai gadis itu. Nadia
memang bukan gadis yang lemah, tapi terkadang gadis itu terlalu emosional.
Seperti sekarang ini.
“Ah... Jadi surat itu selama ini ada padamu?” tanya Petropavlovsk.
“Ya,” jawab Scott. “Masih tersegel rapi.”
“Kenapa kau tidak mengirimkannya padaku?” tanya Nadia tajam. Ia tidak bisa mencegah
nada keras di suaranya.
“Maafkan aku, Nadia. Aku tidak bisa mengirmkannya padamu...” kata Scott. “Aku takut
surat itu malah membuatmu lebih sedih lagi. Aku takut kau tidak bisa melanjutkan
kehidupanmu...”
“That is so sweet,” ejek Sanderson. “Sekarang dimana surat itu?”
“Persetan denganmu,” maki Scott.
“Terserah anda, Mr MacDonough,” kata Petropavlovsk sambil menyeringai. “Kalian masih
punya waktu sebelum kita melepaskan Sierra-8 ke seluruh sumber air di tempat ini.”
Ketiga pria itu meninggalkan ruangan, membiarkan Nadia, Roland dan Scott dalam
pengawasan penjaga bersenjata.

***

Nadia tidak mengatakan apa pun selama tiga puluh menit berikutnya, menimbulkan
keheningan yang tidak nyaman menggantung di ruangan itu. Scott memeriksa bahunya
beberapa kali untuk memastikan lukanya tidak bertambah parah. Roland mencoba mencari cara
keluar dari tempat itu.
Scott mengalihkan pandangannya pada Roland.
“Kau mencari cara untuk keluar?” tanya Scott.
“Yeah... sepertinya akan sangat sulit dengan dua orang Rocky di depan pintu itu,” kata
Roland. Mereka berbicara dalam bahasa Indonesia agar penjaga itu tidak memahami apa yang
mereka bicarakan.
“Mereka terlalu bodoh untuk menyadari aku masih memiliki ini...” kata Scott sambil diam-
diam menunjukkan sebuah tactical knife dari sepatu bot yang ia kenakan. “Entah mereka bodoh
atau tidak awas.”
“Scott, mereka punya M-16 dan AK-47... Bagaimana caramu mengalahkan mereka dengan
sebuah pisau?” tanya Roland.
“Hmmm... Aku ini mantan anggota S.A.S yang terlatih dan seorang bodyguard jempolan.
Kau pikir aku bisa dikalahkan dengan mudah oleh dua pemuda Russia yang bahkan belum
pernah melihat peperangan?” tanya Scott.
Roland mengangkat alisnya mendengar komentar itu. Ia mengalihkan pandangannya
kepada dua penjaga yang mengobrol dengan menggunakan bahasa ibu mereka. Mereka tidak
lagi memperhatikan ketiga tahanan yang mengobrol itu.
Scott bangkit perlahan menghampiri kedua tentara itu.
“Bisa aku ke toilet?” tanya Scott.
“Bah! Kau pikir kami akan jatuh ke dalam trik murahan macam itu?!” kata salah satu
penjaga dengan aksen Russia yang kental. “Pakai saja botol ini.”
Penjaga itu memberikan sebuah botol plastik kepada Scott. Scott mengambilnya, tetapi
botol itu tergelincir dari tangan Scott dan jatuh ke lantai.
88
“Dasar tolol!” maki temannya.
Scott membungkuk dan mengambil botol itu. Detik berikutnya darah segar keluar dari
luka salah seorang penjaga itu. Scott memegang pisaunya dengan mantap. Sebelum temannya
sempat bereaksi, Scott sudah menjalankan aksi brikutnya. Dengan satu pukulan keras di
belakang kepala, Scott merubuhkan penjaga kedua.
“Ublyudok!!” maki salah satu penjaga yang lengannya dilukai oleh Scott. Pukulan Scott
mendarat di wajahnya, mematahkan tulang hidung penjaga itu. Ia jatuh tak sadarkan diri.
“Easy...” komentar Scott. “Ayo keluar.”
Roland mengangguk, mengulurkan tangannya pada Nadia, membantu gadis itu berdiri.
Nadia berdiri, mengikuti Roland. Ia masih tidak ingin bicara pada Scott. Nadia masih marah
karena Scott tidak menceritakan masalah surat terakhir dari Matt. Nadia paling benci di bohongi
seperti ini.
“Kita harus membuang semua Sierra-8 yang ada di kapal ini sebelum mencapai lepas
pantai Afrika...” kata Scott. “Semua gentong Sierra-8 itu ada di palka...”
“Bagaimana cara kita menghancurkannya?” tanya Roland.
“Menurut Roy, Sierra-8 tidak akan bertahan lama pada suhu tinggi,” kata Scott. “Aku akan
meledakkan seluruh kapal bersama dengan seluruh Sierra-8 yang ada.”
“Bukankah gentong-gentong itu malah akan pecah? Kita tidak ingin mengeluarkan seluruh
cairan senjata biologis itu ke samudra Atlantik,’kan?”
“Tenang... Cairan itu akan langsung menguap jika terkena suhu tinggi tanpa campuran
air,” kata Scott. “Aku akan menghancurkan kapal ini.”
Mereka menyusuri koridor panjang tanpa melihat seorang pun penjaga. Scott telah
bersiap dengan pisaunya, tetapi tak seorang pun berusaha menghalangi jalan mereka untuk
menuju ruang kemudi.
“Aneh... kapal ini terlalu sepi...” gumam Roland.
“Mereka tidak memerlukan banyak orang untuk mengangkut gentong-gentong senjata
biologis...”
Scott menuruni tangga menuju palka. Ia berhenti sejenak di salah satu pintu dan
mendobrak masuk. Ada satuorang penjaga di dalamnya yang langsungdihantam oleh tinju Scott.
Scott mencari-cari di ruangan yang penuh oleh amunisi, beragam granat, dan senjata itu.
Akhirnya ia menemukan beberapa buah peledak C4.
Scott memasukkan semua C4 yang ia temukan ke dalam sebuah tas kain kelabu yang
tergantung di dinding.
“Aku akan menanam semua C4 ini di bagian palka dan tempat-tempat lainnya. Kalian
berdua cari di mana Welsh, Petropavlovsk dan Sanderson berada, mengerti?” tanya Scott.
“Oke,” jawab Roland.
“Ayo berpencar.”

***

89
Bab Sembilan Belas

Scott menuruni tangga menuju palka. Ia merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.
Dalam hati, Scott menyesal tidak memberikan pisaunya kepada Roland. Scott tahu pemuda itu
akan lebih membutuhkan tactical knife itu dari pada dirinya. Scott berdoa semoga Roland ingat
untuk mencari senjata sebelum mengkonfrontasi Welsh dan kroni-kroninya. Masih ada sedikit
rasa bersalah dalam diri pria itu saat ia mengingat pandangan marah Nadia pada dirinya. Scott
memaki dirinya sendiri.
Seharusnya ia tidak merahasiakan surat itu dari Nadia. Seharusnya ia terus terang dan
mengirimkan surat itu pada Nadia. Harusnya ia menyadari bahwa Nadia adalah gadis
berpendirian kuat. Karena Nadia adalah gadis yang berhasil merobohkan tembok besi yang
selama ini melingkupi Matt.
Nadia adalah gadis yang membuka pintu hati Matt.
Harusnya Scott menyadari kenyataan itu. Nadia tidak akan hancur semudah itu hanya
karena surat perpisahan dari Matt. Hell! Ia bahkan belum membaca surat itu. Scott menghargai
privasi Matt dan Nadia. Dia tidak akan memeriksa surat-surat pribadi Matt kecuali diizinkan
oleh orang-orang yang bersangkutan.
Scott mengutuki dirinya sendiri.
Scott merasakan ponselnya bergetar. Ia bahkan tidak menyadari benda itu masih berada
di sakunya. Scott mengira para penjaga sudah mengambil benda itu darinya. Sekarang ia
bersyukur. Scott menatap layar ponsel untuk melihat siapa yang menghubunginya.
Hidden ID.
Scott mengangkat ponselnya.
“Halo?” tanya Scott.
“Scott? Ini Roy,” sahut suara ditelepon. “Aku mencoba menghubungi sedari tadi, sepertinya
koneksi dengan pemancar di ponselmu rusak... Aku jadi menyesal sendiri tidak memberikan ear-
piece padamu.”
“Tidak masalah, Roy... Yang jelas kita bisa berkomunikasi dengan lancar,” kata Scott. “Ada
masalah apa?”
“Aku sudah berjanji akan membantu kalian, benar? Sekarang aku sedang berusaha
menemukan sebanyak mungkin bantuan yang mungkin akan kalian perlukan...” kata Roy. “Aku
berusaha menggunakan semua koneksi yang kumiliki...”
“Trims, Roy... Baik sekali kau mau membantu misi bunuh diri seperti ini...” kata Scott
sambil menyeringai. Ia meneruskan langkahnya menuju palka.
“Tidak masalah, Scott. Aku harus pergi sekarang. Kalau kau memerlukan bantuan, hubungi
saja nomor 765...”
“Oke.”
“Semoga beruntung, Scott. Out.”
Scott memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Diujung tangga, ia berhenti.
Scott mendengar suara-suara dari tikungan di sebelah kanannya. Tanpa suara, Scott
bersembunyi, melihat berapa orang musuh yang ada.
Lima belas.
Scott memaki dalam hati. Lima belas orang bersenjata lengkap, sementara ia hanya
memiliki pisau dan C4. Scott menyesal sendiri karena ketololannya. Kenapa ia tidak mengambil
senjata saat mengambil C4 tadi?!
Scott menghela nafas. Ia berpikir untuk kembali ke atas untuk mengambil senjata, atau
melakukan serangan nekat mantan-tentara-S.A.S-berani-mati. Scott menyesal ia kehilangan
semua senjatanya.
Scott meraba-raba tasnya putus asa, berharap menemukan sesuatu yang berguna selain
C4. Dan ia bahkan tidak mempercayai keberuntungannya.
Smoke grenade.
90
Scott menyeringai. Ia menarik pin granat tersebut dan melemparkannya ke dalam
ruangan. Sebelum para tentara Rusia itu menyadari kehadiran si granat, asap tebal langsung
memenuhi ruangan, menghalangi pandangan. Scott menyelinap masuk ke dalam ruangan.
Dengan pisaunya, Scott menusuk tentara pertama. Dengan tinju dan tendangannya ia kembali
merobohkan dua orang lainnya.
Empat. Lima. Enam.
Scott menghitung jumlah tentara yang berhasil ia rubuhkan. Tepat saat ia merobohkan
tentara ketiga belas, asap mulai menipis. Tanpa pikir panjang, Scott memungut senjata yang
terjatuh dan mengarahkannya kepada dua tentara yang tersisa.
Lima belas.
Scott tersenyum. Ia berhasil merobohkan lima belas orang sendirian dengan
menggunakan pisau dan kemapuan bertarung tangan kosongnya. Scott tidak dapat menahan
diri untuk tidak menyeringai saat ia meninggalkan ruangan itu dan meneruskan perjalanannya
ke palka.

***

Tangan Roland gemetar saat ia kembali memegang senjata. Sepucuk Makarov dengan
magasin yang penuh siap siaga di tangannya. Sialan... semua masalah ini telah mengajarkan
Roland bagaimana menggunakan senjata. Di belakangnya, Nadia mengikuti dalam diam. Rolamd
benar-benar tak tahan lagi dengan sikap Nadia.
“Lo kenapa, sih?” bisik Roland kesal.
“Gue pikir lo udah kenal gue dengan baik,” kata Nadia lirih. Ia menatap Roland dengan
pandangan datar.
“Lo kesel sama Scott?” tanya Roland.
“Gue kesel sama diri gue sendiri. Seharusnya gue berusaha menanyakan masalah surat itu
dengan Mrs Smith... bukannya sibuk menyingkirkan semua hal tentang Matt.”
Roland menghela nafas mendengar jawaban Nadia.
“Kenapa lo nggak mau bicara sama Scott?” tanya Roland lagi.
“Karena Scott menyembunyikan sesuatu dari gue. Gue nggak suka... Apalagi kalau hal itu
berkaitan dengan gue,” jawab Nadia lirih. “Seharusnya gue ngikutin saran lo buat narik diri dari
masalah ini. Paling nggak, gue nggak perlu tahu semua kenyataan ini. Gue nggak perlu ketemu
Scott, Pak Dedi nggak perlu masuk rumah sakit, dan...” tenggrokan Nadia sedikit tercekat,
“...Danny nggak perlu mati.”
“Yang namanya penyesalan itu, selalu datang terlambat,” kata Roland.
“Karena itu disebut penyesalan, Land.”
Mereka kembali melanjutkan perjalanan ke ruang kemudi dalam diam. Tiba-tiba langkah
Roland berhenti, membuat Nadia menabrak punggungnya. Saat Nadia akan memprotes, Roland
menghentikan gadis itu dan menunjuk koridor di depan mereka. Roland dan Nadia merunduk di
balik setumpuk kotak kayu, bersembunyi dari pandangan lima orang tentara musuh.
“Gimana nih, Land?” tanya Nadia ngeri.
“Gue bakal nyerbu langsung...”
“Lo bakal mati!”
“Kalau gue mati, lo aja yang lanjutin semuanya,” bisik Roland. Ia membidikkan Makarov-
nya, menembak kaki salah satu tentara.
DOR!
Tentara itu jatuh, membuat tentara lainnya menoleh ke arah Roland. Ia memaki dalam
hati. Roland kembali menembakkan Makarov-nya. Tidak satu pun tentara yang ditembak
Roland tewas. Ia bersyukur. Dibantu Nadia, Roland menyeret semua tubuh tentara itu dan
memasukkannya ke dalam kabin terdekat.
“Gila lo, Land! Sejak kapan lo punya kemampuan begitu?!” tanya Nadia kaget. Selama ini,
Roland selalu ketakutan jika harus menembak. Nadia bahkan melihat tangannya gemetar
memegang Makarov itu.
91
“Nggak tahu...” jawab Roland. Dia sendiri kaget melihat apa yang ia lakukan.
“Lo yakin lo bukan agen rahasia?” tanya Nadia iseng. Sejenak ia melupakan kekesalannya
dan kembali kepada Nadia lama yanng hobi mengganggu Roland. Roland tersenyum lemah
menanggapi gurauan Nadia. Dalam hati, ia senang mendapati Nadia yang lama sudah kembali.
Jujur saja, Nadia yang sedang kesal selalu membawa aura negatif untuk lingkungannya.
Akhirnya mereka berhenti di depan sebuah pintu.
“Oke, Nad... Ini dia...”
Nadia menghela nafas sebelum membuka pintu.

***

Scott menghel nafas lega saat ia selesai memasang semua C4 di beberapa tempat yang
berbeda. Satu-satunya barang yang tersisa di dalam tas kain adalah sebuah detonator kecil
untuk meledakkan semua bom ini. Scott berbalik, bersiap keluar dari palka saat satu suara
menghentikannya.
“Kau pikir akan semudah itu, MacDonough?”
Scott menghentikan langkahnya dan menoleh.
“Sanderson,” desis Scott.
Harry Sanderson, lengkap dengan kevlar, G36C, dan aksesorisnya menyeringai menatap
Scott. Sanderson menyeringai mengejek melihat sebuah M-16 di tangan Scott dan baju kaus
Scott yang berlumuran darah. Pria pirang itu berjalan mendekati Scott, membuat Scott
mengangkat M-16 ditangannya dalam posisi siaga.
Sanderson terkekeh melihat reaksi Scott.
“Kau menyadari kalau perjalananmu ke tempat ini sangat mudah... benar bukan?” tanya
Sanderson. “Kau harus berterima kasih karena aku baru saja memberangkatkan sebagian besar
tentara dengan helikopter...”
“Kau takut mereka semua mati tenggelam?” tanya Scott.
“Tidak juga...” kata Sanderson. “Anggap saja mereka kurang beruntung... Semua helikopter
yang di berangkatkan meledak sebelum mencapai daratan.”
Scott menatap Sanderson dengan pandangan tak percaya.
“Kau meledakkan helikopternya...” kata Scott.
“Ya dan tidak,” jawab Sanderson. “Aku memang memasang peledak, tapi aku tidak
meledakkannya... Pilotnya sendiri yang meledakkan bomnya.”
“Bukankah Black Star tidak pernah melakukan pembunuhan yang tidak perlu?”
“Aku bukan Dimitri atau Welsh dengan idealisme tolol mereka.”
“Kau gila,” kata Scott.
“Bukankah kita semua begitu?” tanya Sanderson. “Aku akan mengakhiri semuanya di sini,
MacDonough. Kau dan Smith akan membayar semuanya.”
“Apa maksudmu?!” tanya Scott.
Sanderson menyeringai. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku sambil berjalan
mengelilingi ruangan.
“Saat masih di akademi, ada seorang pemuda kurus berkulit pucat yangselalu duduk di
sudut ruangan. Semua orang mengacuhkannya, kecuali beberapa orang yang menjadikan
pemuda itu sansak tinju. Semua orang mengacuhkannya. Di sisi lain, ada dua orang pemuda.
Arogan dengan segala kehebatan mereka. Semua orang melemparkan pandangan kagum pada
kedua orang itu. Bahkan instruktur yang paling pemarah sekali pun. Mereka berdua begitu
sempurna.
“Suatu hari, si pemuda kurus dipukuli oleh pemuda lain yang berbadan jauh lebih besar.
Di saat itulah dua orang pemuda arogan itu melintas. Mereka menatap adegan itu dengan
tenang, meski mata si pemuda kurus memohon pertolongan pada keduanya. Mereka tetap tak
bergerak, hanya menonton dalam diam dan melemparkan pandangan kasihan pada si pemuda
kurus.

92
“Setelah kejadian itu, si pemuda kurus di rawat di rumah sakit selama enam bulan penuh
hingga ia dapat kembali ke kemiliteran seperti biasa,” kata sanderson menyelesaikan ceritanya.
“Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan,” kata Scott kaku. Ia menatap pemuda aneh di
hadapannya ini dengan pandangan bingung.
Sanderson berhenti di salah satu sudut ruangan, membelakangi Scott.
“Kau tahu, MacDonough. Pemuda kurus itu adalah aku, dan dua pemuda arogan itu adalah
kau dan Smith.”
Scott menggelengkan kepalanya tak percaya. “Karena itukah kau membenci kami? Karena
kami tidak menyelamatkanmu?”
“Kau tidak tahu apa yang terjadi padaku setelahnya, MacDonough,”kata Sanderson.
“Sampai sekarang, aku tidak menggunakan mata kiriku dengan baik. Aku terbaring di tempat
tidur selama berbulan-bulan tanpa bisa berbuat apa-apa. Ayahku semakin membenciku karena
membuat ibuku repot... Apa kau PUAS?!
“Kejadian itu benar-benar menghancurkan hidupku... Aku nyaris tidak bisa kembali ke
kemiliteran dengan semua luka-lukaku... Ayahku memutuskan untuk tidak lagi berbicara
denganku dan tahukah kau,” kata Sanderson, “Tepat sehari sebelum aku kembali ke akademi,
ibuku meninggal karena terjatuh dari balkon lantai lima rumah sakit saat akan membantuku
berkemas untuk keluar dari rumah sakit!”
Sanderson mengacungkan G36C-nya ke arah Scott.
“Kau akan mati di sini!!” seru Sanderson.
Scott segera melompat dan berlindung di balik beberapa kotak-kotak kayu yang
bertumpuk di ruangan itu. Ia memaki dalam hati.
Scott menyiapkan M-16-nya, bersiap untuk memberikan serangan balasan pada
Sanderson. Scott harus menyelesaikan pertarungan ini secepatnya. Ia tahu, di ruang kemudi,
Nadia dan Roland akan membutuhkan bantuannya. Suara tembakan berhenti. Scott
memberikan tembakan balasan dari M-16 ditangannya.
DOR! DOR! DOR!
“Shit!” Scott memaki saat mendapati M-16 itu macet. Dengan kesal ia melemparkan benda
itu dan meraih Makarov yang diambilnya dari salah satu tentara tadi. Scott mengambil
pisaunya, memegangnya di tangan kiri. Ia menahan tangan kanannya yang memegang Makarov
dengan tangan kiri yang memegang pisau.
“Kau pikir kau bisa menembakku dengan benda itu?!” seru Sanderson.
Salah satu peluru Makarov Scott menghantam tubuh Sanderson. Ia hanya tersentak
sedikit sebelum pulih kembali. Tentu saja ia mengenakan kevlar! Pikir Scott. Ia menyadari
bahwa dirinya tidak mengenakan kevlar. Dan sekarang, ia merasakan luka di bahunya terasa
menyengat.
DOR! DOR!
Peluru G36C milik Sanderson menghantam kaki kanan Scott, sementara yang lain meleset
lima sentimeter dari lengan kanannya.
Scott kembali menembakkan pistolnya. Sambil menahan sakit, Scott menerjang maju ke
depan dan menghantam wajah Sanderson dengan sikunya. Belum selesai, Scott memberikan
round-kick ke arah perut, pukulan hook kanan yang keras diikuti sebuah uppercut di wajah.
Sanderson terjatuh, tak sadarkan diri.
Scott menghela nafas lega dan menyeret kaki kanannya untuk naik ke ruang kemudi.

***

93
Bab Dua Puluh

“Hands up, gentlemen,” perintah Roland. Tiga orang dalam ruangan itu langsung
mengangkat tangan melihat pistol yang diacungkan Roland ke arah mereka. Nadia menatap
tajam ke arah Welsh dan Petropavlovsk.
“Selamat, Mr Roland... Saya tidak menyangka anda berhasil sampai ke ruangan ini tanpa
terluka sedikit pun,” kata Welsh. “Sayang sekali kita hampir mencapai lepas pantai Afrika...
Sierra-8 akan segera di bebaskan. Kalian sudah gagal.”
“Kata siapa?!” bantah Nadia. Ia tahu mereka kalah jumlah, kalah senjata, tapi gadis itu
tidak sudi terlihat lemah di depan musuh-musuhnya. Nadia paling benci dianggap lemah, baik
oleh teman mau pun musuh.
Petropavlovsk tertawa kecil. “Kalian tidak akan mampu menghentikan semua ini... kami
menguasai seluruh kapal ini... para penjaga akan segera menangkap kalian dalam hitungan
detik,” kata pria itu tenang.
“Penjaga yang mana?”
Nadia dan Roland menoleh ke belakang mereka. Scott berdiri di sana. Kelelahan dengan
luka baru di kaki kanannya. Nadia kaget melihat kondisi Scott segera melingkarkan lengan Scott
kebahunya, membantu pria itu untuk berdiri. Scott menyeringai melihat Nadia kesulitan
menopang tubuhnya yang terdiri dari otot. Tapi gadis itu tak peduli. Ia tetap membantu Scott
berdiri.
“sanderson mengirim sebagian besar tentaramu dengan helikopter dan meledakkan
semua helikopternya...” kata Scott. “Dia mengkhianati kalian.”
Welsh tertawa dingin. Ia memasukkan tangannya ke saku, mengeluarkan sesuatu
semacam remote control kecil denga sebuah tombol di tengah-tengahnya.
“Aku sudah tahu hal ini akan terjadi...” kata Welsh. Ia menekan tombol itu sambil
menyeringai. “Reinforcements akan segera tiba.”
Dari luar kapal, terdengar suara baling-baling helikopter. Scott memaki pelan. Ia
menyadari situasinya semakin gawat. Scott tahu ia seharusnya menghubungi Roy untuk
meminta back-up yang dijanjikan... Tetapi sekarang sudah terlambat... Apa pun yang berhasil
Roy kirimkan tidak akan sampai tepat pada waktunya, kecuali...
Suara rentetan senapan mesin di luar sana membuat Scott tersentak kaget. Begitu juga
dengan semua orang dalam ruangan itu. Melalui jendela ruang kemudi, Scott melihat puluhan
helikopter dan pave low menembaki kapal dan helikopter bantuan milik Petropavlovsk. Pria itu
mengeluarkan serentetan makian dalam bahasa Rusia. Welsh berusaha terlihat tenang saat
salah satu peluru senapan mesin menghancurkan kaca ruang kemudi, menghantam sang
nahkoda, tepat di lehernya.
Ponsel Scott kembali berbunyi.
“Paketnya sudah sampai?” suara Roy terdengar tenang.
“Trims, Roy.”

***

Kapal itu diledakkan setelah Mereka mengeluarkan semua orang yang ada di dalamnya.
Hanya sedikit yang tersisa. Kapal itu diledakkan dengan detonator milik Scott. Dari atas pave
low, Nadia, Roland dan Scott melihat kapal itu perlahan tenggelam, bersama dengan Sierra-8
yang telah menguap saat panasnya ledakan membakar semua isi palka.
Nadia mendudukkan diri di samping Scott dan Roland, menatap Samudra Atlantik di
bawah mereka.
“Kau masih marah padaku?” tanya Scott.
Nadia menggeleng. “Aku tahu kau bermaksud baik, Scott.”

94
Scott mengacak rambut Nadia, membuat gadis itu cemberut. “Matt pasti bangga
melihatmu.”

***

Beberapa bulan kemudian...

Nadia menjalankan hari-harinya seperti biasa, peliputan berbagai acara bersama Roland
yang senantiasa menemani. Scott telah memutuskan tinggal di Indonesia selama beberapa
waktu. Paling tidak sampai luka-lukanya sembuh. Berbagai stasiun televisi, baik lokal mau pun
internasional membahas masalah Green Troopers ini.
Dikatakan bahwa PBB berhasil menghentikan rencana Neil Welsh, Dimitri Petropavlovsk,
dan Harry Sandeerson untuk memusnahkan setengah populasi manusia. Nadia tidak peduli
bagaimana nasib orang-orang itu kemudian. Tidak pernah disebut-sebut seorang wartawan
Indonesia, seorang kameramen TV atau seorang mantan tentara S.A.S terlibat dalam masalah
ini. Dan Nadia tidak keberatan.
Green Troopers dibubarkan karena terbukti sebagai kedok untuk merekrut anggota baru
Black Star. Berdasarkan informasi dari Welsh dan Petropavlovsk, Black Star berhasil di
hancurkan. Baik Foxhead Enterprises dan SilverSky International kini diambang kebangkrutan
karena kedua pimpinannya yang masih ditahan dan tengah menunggu keputusan berikutnya.
Nadia, Roland dan Scott berkumpul di apartemen Scott. Kondisinya sudah lebih baik dari
sebelumnya.
“Aku tidak percaya kita sudah melalui semuanya,” kata Nadia.
“Tapi pada akhirnya, kita tidak bisa menemukan tubuh Harry Sanderson...” kata Scott.
“Nasib Sanderson tidak diketahui, bahkan sampai sekarang.”
“Apakah dia mati?” tanya Roland.
Scot mengangkat bahu. “Saat aku meninggalkannya, ia masih terbaring di tempat itu tak
sadarkan diri. Saat aku kembali... dia sudah menghilang.”
“Yang jelas kita di sini... dan selamat,” kata Nadia.
“Kau tahu, berpikir untuk menetap lebih lama di Indonesia. Aku sudah muak pada
kemiliteran,” kata Scott. “Aku akan bekerja dengan Roy di kantornya yang baru.”
Nadia tersenyum. Entah kenapa ia merasa senang akan keputusan Scott untuk tetap
tinggal di Indonesia. Tapi ada satu yang terlupakan oleh Nadia. Sesuatu yang penting yang tidak
dapat ia ingat...
“Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu,” kata Scott. Ia bangkit meninggalkan Roland
dan Nadia di ruangan itu. Tak lama kemudian, Scott kembali dengan sepucuk kertas putih di
tangannya. Ia mengulurkan kertas itu pada Nadia. Nadia membaca namanya yang tertulis rapi di
bagian depan amplop.
Nadia menyadari surat apa itu.
Ia membukanya. Scott dan Roland memperhatikan reaksi Nadia dengan hati-hati.
Perlahan Nadia membuka lipatan surat membaca isinya. Air mata gadis itu mengalir saat ia
membaca isi surat itu.
Dear Nadia,...
Nadia menatap Scott dengan mata berkaca-kaca. Ia tersenyum lembut.
“Terima kasih, Scott...” bisiknya lirih.

***

95
Epilog

Surat terakhir dari Letnan Matthew Smith kepada Nadia Denissa...

Dear Nadia,
Sebenarnya aku tidak bagitu mengerti kenapa aku menulis surat ini. Tapi
sepertinya semua orang disini menulis surat semacam ini untuk dikirimkan kepada
orang yang mereka kasihi jika sesuatu yang buruk terjadi. Saat kau menerima dan
membaca surat ini, berarti aku sudah tiada. Aku dapat membayangkan kau memprotes
betapa surat ini sangat tidak puitis, tapi kukatakan saja, saat kau menghabiskan
waktumu memegang senjata, bukan pena, kau tidak akan bisa menuliskan apa pun
selain apa yang kau pikirkan. Dan sejujurnya, perang tidak membuatmu menjadi
orang yang puitis. Asal kau tahu saja, aku seorang tentara, bukan Shakespear.
Nadia,
Banyak hal yang ingin kukatakan padamu, tapi saat menulis ini, aku bertanya-
tanya sendiri, apa yang ingin kukatakan? Maksudku aku bahkan tidak bisa
memikirkannya. Aku hanya inginkau tahu, bahwa aku baik-baik saja (saat menulis
ini) dan aku selalu mengharapkan kebahagiaanmu.
Nadia,
Mungkin kau tidak tahu, tapi saat aku menulis ini, salah seorang temanku
bertanya pada siapa aku menulis surat dan tahukah kau, wajahku memerah saat
menyebutkan namamu. Terdengar konyol? Well, tapi itulah yang terjadi. Aku sangat
menyayangimu, dan kuarap kau baik-baik saja dan menikmati segala hal yang kau
lakukan.
Nadia,
Scott yang akan mengirimkan surat ini padamu, dan aku merasa ia tidak akan
langsung memberikannya padamu. Dia akan menunggu selama beberapa lama,
sebelum ia memberikannya padamu. Apa aku benar? Kalau memang begitu, aku ingin
kau memaafkan Scott. Kau tahu dia melakukan semuanya agar kau bahagia. Aku
sangat mengenal Scott, dan aku tahu ia juga menyayangimu.

96
Well, kurasa semua orang menyayangimu, Nadia. Akan sangat sulit membenci
orang sepertimu yang bisa membuat siapa pun nyaman di sekitarmu.
Nadia,
Aku senang kau masuk ke kehidupanku. Kau telah menghancurkan tembok
yang kubangun selama bertahun-tahun hanya karena insiden es krim coklat itu. Aku
masih mengingatnya sampai sekarang. Ekspresi kesalmu waktu itu... Kau tahu, aku
belum menepati janjiku untuk mengajakmu makan malam berdua di tepi pantai
Weymouth. Kulihat kau juga tidak ingat.
Sebagai gantinya, pergilah bersama siapa pun yang kau mau, Nadia. Aku akan
bahagia jika kau juga bahagia. Bukankah cinta itu indah?
Nadia,
Terima kasih sudah membuka hatiku. Tanpamu, aku tetap Matthew Smith yang
lama, dengan tampang cemberut dan tidak pernah bicara banyak pada siapa pun
kecuali Scott. Bahkan aku tidak bicara banyak pada ibuku.
Nadia,
Maafkan aku karena sudah menyembunyikan banyak hal darimu. Aku harus
melakukannya untuk melindungimu. Mungkin kau bertanya-tanya hal apa itu, tapi
akan lebih baik jika kau tidak tahu. Ada beberapa hal yang harus disimpan demi
melindungi orang yang berharga, Nadia. Dan itu tidak harus dengan menarik pelatuk
pistol untuk melepaskan peluru yang bisa membunuh seseorang. Melindungi seseorang
berarti melakukan apa yang diperlukan agar orang yang kau lindungi tidak terluka
atau merasakan kesakitan apa pun.
Maafkan aku kalau aku hanya membuatmu sedih.
Nadia,
Saat kau selesai membaca surat ini, tutuplah dan simpan. Lalu lanjutkan
kehidupanmu yang biasa. Jangan jadikan kepergianku sebagai penghalang bagimu
untuk meneruskan hidup. Kalau kau menghabiskan waktumu di tempat tidur
menangisiku, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri. Kehidupanmu masih
panjang. Hidupku boleh berakhir, tapi tidak dengan hidupmu.

97
Lalu sampaikan terima kasihku pada Scott, karena telah menjadi sahabat
terbaikku selama ini. Jangan biarkan ia menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa
menjagaku. Kau juga jangan menyalahkannya karena ia tidak menepati janjinya
untuk melindungiku. Kematianku bukanlah salah siapa-siapa. Kematian merupakan
takdir setiap manusia, karena tidak ada yang kekal di dunia ini Nadia.
Aku juga minta maaf atas semua kesalahanku. Well, mengingat betapa
banyaknya waktu yang kuhabiskan bersama Scott, aku yakin ia punya segunung
buku yang mencatat semua kesalahanku, baik yang tolol mau pun yang fatal.
Well, kurasa sudah semua yang ingin kukatakan sudah kusampaikan. Dan satu
hal lagi yang ingin kusampaikan... Meski kita semua tahu sudah tidak ada gunanya
lagi... well...
Selamat tinggal, Nadia.
Aku mencintaimu.
Selalu.
Sampai kapan pun.

Salam hangat,

Matthew Smith

98

Anda mungkin juga menyukai