Budaya seringkali diartikan sebagai sesuatu yang diturunkan dari generasi ke
generasi, seperti yang telah kita ketahui juga bahwa Indonesia dan Malaysia adalah dua negara dengan satu rumpun. Lalu, mengapa rakyat Indonesia sangat membenci negara Malaysia dan juga sebaliknya? Apakah ini sebuah budaya yang juga diturunkan? Konflik dengan Malaysia, seringkali terjadi. Sejarah panjang mencatat, hubungan dua negara tetangga memang terus mengalami pasang surut. Berbagai peristiwa mewarnai panas dinginnya hubungan itu. Banyak kalangan masih ingat, bagaimana kelompok separatis asal Aceh, mendapat suaka di negeri itu. Rebutan Pulau Sipadan Ligitan, juga masih menjadi luka bangsa, apalagi jika membicarakan nasib tenaga kerja kita di sana. Seperti yang kita tahu, lima puluh tahun yang lalu Pak Karno pernah menyerukan “Ganyang Malaysia” dan sampai sekarang pun slogan itu masih sering terdengar di telinga kita. Jika dulu “Ganyang Malaysia” diserukan oleh Pak Karno karena tidak setuju oleh penggabungan wilayah Kalimantan dengan Malaysia ditambah oleh demo anti-Indonesia di Malaysia, maka “Ganyang Malaysia” pada jaman sekarang diserukan oleh rakyat Indonesia karena klaim budaya yang dilakukan oleh Malaysia. Budaya Indonesia yang pernah diakui oleh Malaysia tidak hanya satu, dua, atau tiga. Sudah lebih dari dua puluh budaya bangsa Indonesia yang pernah diklaim secara sepihak oleh Malaysia. Kata “Malingsia” bahkan sudah santer terdengar di dunia maya. Budaya milik Indonesia yang mereka klaim seperti lagu-lagu daerah, tari-tarian, makanan khas daerah, batik, bahkan alat musik angklung pun tidak ketinggalan diakui mereka. Malaysia memang tidak tanggung-tanggung ketika mereka mengklaim budaya Indonesia, lihat saja iklan pariwisata Malaysia yang tentunya ditayangkan hampir di seluruh dunia. Sebut saja mereka memasukkan Tari Pendet, Reog Ponorogo, bahkan menggunakan lagu Rasa Sayange yang berasal dari Maluku pun dijadikan theme song dari iklan pariwisata itu. Yang lebih membuat kita naik pitam yaitu adanya bunga Rafflesia Arnoldi dan Orangutan yang jelas- jelas hanya ada di Indonesia itu dimasukkan dalam promosi pariwisata mereka. Mungkin dengan menggunakan slogan “Malaysia Truly Asia” pihak Malaysia berpikir mereka bisa menggunakan budaya dari seluruh Asia untuk iklan komersial itu. Yang lebih membuat geram bangsa Indonesia adalah ketika pihak Malaysia membela diri dengan mengatakan bahwa Tari Pendet, Reog Ponorogo, dan lagu Rasa Sayange juga merupakan budaya dari Malaysia. Bahkan di Osaka, Jepang, pada tahun 2007 Malaysia menggunakan lagu Indang Bariang dan memperkenalkan sebagai bagian dari budaya Malaysia. Pihak Malaysia mengatakan bahwa Malaysia juga bagian dari Nusantara, mereka menganggap wajar ketika orang Indonesia membawa budaya tersebut ke Malaysia ratusan tahun yang lalu. Sepertinya Indonesia dan Malaysia harus menyamakan pendapat mengenai apa itu budaya. Dengan tegas Dubes Malaysia Dato’ Zainal mengatakan bahwa rendang, batik, kesenian Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, dan alat musik angklung itu asli dari Malaysia. Asli yang mereka maksudkan dalam hal tersebut adalah tradisional sedangkan menurut kita bangsa Indonesia asli yang dimaksud haruslah otentik. Dengan demikian sudah jelas bahwa budaya tersebut merupakan “asli” dari Indonesia, tapi mengapa pemerintah Malaysia masih berkeras hati dan mengatakan budaya itu juga “asli” dari Malaysia? Tampaknya budaya tidak tahu malu merupakan satu-satunya budaya yang sukses diturunkan oleh nenek moyang mereka. Bagaimana mungkin pihak Malaysia bisa mengakui kalau Tari Pendet dan budaya Indonesia yang lain itu berasal dari Malaysia hanya karena sekelompok orang Indonesia membawa budaya itu ke Malaysia beratus-ratus tahun yang lalu. Ambil saja contoh Pulau Jawa yang bersebelahan dengan Pulau Bali, apakah ratusan tahun yang lalu tidak ada warga Bali yang pergi ke Pulau Jawa dan memperkenalkan tarian itu? Pernahkah mereka, orang Jawa mengakui bahwa Tari Pendet itu berasal dari Jawa dan bukan Bali? Pengakuan UNESCO, PBB atas batik sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia merupakan hal yang tentu saja sangat melegakan. Hal ini tentu saja belum cukup karena masih banyak budaya Indonesia yang diklaim Malaysia. Sekarang ini yang sangat diperlukan oleh bangsa Indonesia adalah ketegasan dari pemerintah Indonesia kepada pemerintah Malaysia. Tidak banyak yang bisa kita lakukan sebagai warga Indonesia untuk menghadapi tingkah Malaysia. Ketika pemerintah kita meminta penjelasan dari mereka malah seribu satu alasan yang balik mereka berikan kepada kita. Warga Indonesia pun ramai menyindir Malaysia di inernet dan bukannya mereka malu tetapi malah balas menyerang balik dan membalas mengejek. Yang bisa kita lakukan untuk sekarang ini yaitu mencintai budaya kita dan terus memperkenalkannya pada bangsa lain. Jangan sampai ada lagi budaya kita yang kembali diklaim oleh Malaysia bahkan bukan tidak mungkin suatu hari nanti bangsa-bangsa lain akan menganggap semua itu budaya dari Malaysia dan berpikir bahwa kita yang mencuri budaya mereka. Mungkin saja di masa mendatang akan muncul kebudayaan baru, budaya Indonesia vs Malaysia. Entah mengapa tampaknya masalah antara Indonesia dan Malaysia tidak juga menemukan titik terang. Dimulai dari peristiwa 50 tahun lalu kemudian pengakuan blok Ambalat sebagai salah satu bagian dari wilayah Malaysia dan berlanjut ke klaim budaya Malaysia atas Indonesia. Yang paling baru adalah penggunaan sinar laser oleh pihak Malaysia saat bertanding dalam final piala AFF Desember 2010 silam. Malaysia memang harus menghapus budaya tidak sportif dan tidak tahu malu dari negara mereka, kita juga sebagai bangsa yang beradab tidak boleh asal cetus dan menjelekkan nama Malaysia secara berlebihan yang bisa menimbulkan konflik. Janganlah memperpanjang lagi masalah Indonesia dan Malaysia ini.