0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
119 tayangan38 halaman
Tragedi Poso telah berlangsung selama lima tahun, menewaskan sekitar 1.000 orang dan mengakibatkan puluhan ribu pengungsi. Kekerasan masih terjadi di Poso pada tahun 2003 melalui 69 insiden kekerasan. Salah satu penyebab utamanya adalah luasnya peredaran senjata api di tangan warga sipil. Upaya penanganan keamanan belum membuahkan hasil, mengingat kekerasan masih terjadi.
Tragedi Poso telah berlangsung selama lima tahun, menewaskan sekitar 1.000 orang dan mengakibatkan puluhan ribu pengungsi. Kekerasan masih terjadi di Poso pada tahun 2003 melalui 69 insiden kekerasan. Salah satu penyebab utamanya adalah luasnya peredaran senjata api di tangan warga sipil. Upaya penanganan keamanan belum membuahkan hasil, mengingat kekerasan masih terjadi.
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai TXT, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Tragedi Poso telah berlangsung selama lima tahun, menewaskan sekitar 1.000 orang dan mengakibatkan puluhan ribu pengungsi. Kekerasan masih terjadi di Poso pada tahun 2003 melalui 69 insiden kekerasan. Salah satu penyebab utamanya adalah luasnya peredaran senjata api di tangan warga sipil. Upaya penanganan keamanan belum membuahkan hasil, mengingat kekerasan masih terjadi.
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai TXT, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Diterbitkan oleh: Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu.
Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Arianto Sangaji Redaktur Pelaksana : Yusriwati [On-Line] Andi Mizwar [Cetak] Sidang Redaksi : Arianto Sangaji, Yusriwati, Lahmudin Yoto, Y.L. Franky, Hamdin, Andi Mizwar, Silas Lahigi [Kulawi, Donggala], Ferdinan Lumeno [Napu-Besoa, Poso], Halim [Bungku, Morowali], Yonas Mantaili [Gimpu-Moa, Dongala] Sekretaris Redaksi: Yusriwati Tata Letak: Andi Mizwar Sirkulasi: Nofrianto Alamat Redaksi : Jl. Tg. Manimbaya No. 111 D Palu Sulawesi Tengah Indonesia Telp/Fax. 62-0451- 425892 E-mail : hinoe@palu.wasantara.net.id Website: http://www.ytm.or.id SEPUTAR RAKYAT Sidang pembaca yang budiman... 02 Salam Redaksi http://www.ytm.or.id EDISI 02/TAHUN II/DESEMBER 2003-JANUARI 2004 KAJIAN UTAMA HLMN ??Kekerasan Tak Kunjung Padam 03-05 ??Damai Tak Kunjung Tiba, Langit Belum Runtuh 06-08 WAWANCARA ??Yahya Mangun [Pokja Deklama Poso] ??Noldy [CC-GKST] ??AKBP. Drs Agus Sugianto [Kabid Humas Polda Sulteng] 09-10 FOKUS ??Adakah Jamaah Islamiyah Di Poso? 11-12 KAJIAN KHUSUS ??Segregasi Masyarakat Poso 13-17 OPINI ?? Oleh : Arianto Sangaji Memangkas Peredaran Senjata Api di Poso 18-23 Tragedi Poso sudah memakan korban tidak sedikit. Tidak ada angka pasti mengenai berapa banyak korban jiwa. Sebuah perkiraan yang moderat menyebut angka sekitar 1.000 orang kehilangan nyawa, ratusan orang cedera, puluhan ribu orang berulang-ulang menjadi pengungsi, puluhan perempuan mengalami korban kekerasan dan pelecehan seksual, dan ribuan orang mengalami gangguan jiwa. Juga, belasan ribu bangunan rumah, tempat ibadah, dan fasilitas umum rusak atau hancur sama sekali. Sebuah rangkaian peristiwa yang memilukan. Semua sumber daya keamanan telah dikerahkan untuk memulihkan keadaan di Poso. Ribuan pasukan keamanan TNI dan Polri berulang-ulang dikerahkan ke Poso Salah satu sumber kekerasan di Poso adalah luasnya peredaran senjata api dan amunisi di tangan penduduk sipil. Baik senjata api standar militer, senjata rakitan, maupun bom rakitan. Bahkan, pemakaian senjata api menandai transformasi penting dalam tindak kekerasan di Poso. Dari Tragedi kemanusiaan Poso telah menyeret warga sipil di Poso terperangkap dalam jaringan perdagangan senjata. Warga memperoleh senjata dan amunisinya dari pasar gelap. Tetapi beredarnya senjata-senjata itu di tangan penduduk sipil mengundang kekhawatiran besar. Betapa rendahnya kemampuan aparat keamanan menjaga wilayah perbatasan Republik Indonesia, jika senjata-senjata itu diselundupkan dari luar negeri. Luasnya penyelundupan senjata memperlihatkan rapuhnya aparat keamanan negara. Yang paling serius mengundang tanda tanya masyarakat adalah penyebaran senjata dan amunisi buatan PT Pindad, perusahaan milik TNI-AD. Bagaimana mungkin senjata dan amunisi itu bisa jatuh ke tangan penduduk sipil? Mengapa tidak pernah ada investigasi terhadap sumber hulu penyebaran senjata dan amunisi buatan PT Pindad itu? Tetapi, pemilikan senjata api juga bermotifkan perlindungan diri. Warga menganggap, tragedi Poso yang berjilid-jilid membuktikan aparat keamanan sama sekali tidak bisa memberikan rasa aman. Banyak orang telah mati sia-sia. Selamat membaca Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 03 TIDAK salah, Sulawesi Tengah dianggap merupakan salah satu titik api konflik antar komunitas di Indonesia. Sudah lima tahun ini, bara api kekerasan tak kunjung padam di tanah Poso. Kabupaten yang dikenal dengan bumi Sintuwu Maroso falsafah yang menonjolkan arti kebersamaan dan persaudaraan itu sudah terkoyak-koyak oleh konflik dengan dalih agama. Tetapi, kekerasan antar komunitas di Sulawesi Tengah bukan hanya khas Poso. Di Dusun Rantekala Desa Sidondo, Kecamatan Biromaru Kabupaten Donggala, 21 Januari 20034, seorang warga Desa Maranatha mati sia-sia, karena saling serang antar warga soal tanah di desa itu. Tiga hari kemudian, 24 Januari 2004, di Kabupaten Luwuk Banggai, tepatnya Kecamatan Batui konflik antar warga Desa Lamo dan Honbula Tua sub Desa Uso menewaskan dua orang. KEKERASAN TAK KUNJUNG PADAM Jauh sebelum kedua peristiwa ini, di Pasar Masomba Kotamadya Palu, kematian Zakir Mosi (seorang anggota Polri) setelah ditikam oleh seorang pedagang memicu kekerasan selama dua hari (28 s/d 29 Desember 2001). Akibatnya puluhan kios di pasar itu ludes terbakar. Sulawesi Tengah memang panas. Tidak heran, 28 Desember 2003 di Jakarta, Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) menyatakan bahwa Sulawesi Tengah merupakan satu dari empat daerah yang rentan konflik dalam pelaksanaan Pemilu 2004. Dua kabupaten, yakni Poso dan Morowali tercatat sebagai daerah rentan. Faktor kerentanan adalah isu pemekaran wilayah, segregasi wilayah berbasis agama dan etnis, dan soal pengungsi.Dua daerah itu Poso dan Morowali merupakan titik api di Sulawesi Tengah. Awalnya, 25 Desember 1998, perkelahian antara dua pemuda, Ahmad Ridwan dan Roy Runtu Bisalemba di Kelurahan Sayo, Kecamatan Poso Kota, kemudian berkembang menjadi kekerasan menahun. Terakhir, 25 Desember 2003, sebuah bom meledak sekitar hutan sekunder di Kelurahan Lembomawo Poso Kota, seolah menandai lima tahun tragedi kemanusiaan Poso. Tragedi Poso sudah memakan korban tidak sedikit. Tidak ada angka pasti mengenai berapa banyak korban jiwa. Sebuah perkiraan yang moderat menyebut angka sekitar 1.000 orang kehilangan nyawa, ratusan orang cedera, puluhan ribu orang berulangulang menjadi pengungsi, puluhan perempuan mengalami korban kekerasan dan pelecehan seksual, dan ribuan orang mengalami gangguan jiwa. Juga, belasan ribu bangunan rumah, tempat ibadah, dan fasilitas umum rusak atau hancur sama sekali. Sebuah rangkaian peristiwa yang memilukan. Semua sumber daya keamanan telah dikerahkan untuk memulihkan keadaan di Poso. Ribuan pasukan keamanan TNI dan Polri berulangulang dikerahkan ke Poso (lihat tabel 1). TNI sudah ambil ancang-ancang membangun Batalyon 714 Sintuwu Maroso di Poso. Tidak mau ketinggalan, Polisi pun menempatkan satu kompi Brimob organik di Poso. Tentu saja, semua pengerahan pasukan baik organik maupun non-organik menghabiskan dana tidak sedikit. Milyaran rupiah sudah habis dipakai membiayai operasi pemulihan keamanan.Tidak semua pembiayan pengerahan pasukan itu dibebankan ke institusi TNI dan Polri. Pemda Kabupaten Poso juga ikut membiayai, DAMPAK KONFLIK: Kekerasan bukan jalan keluar. foto : doc. ytm SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 04 dengan membebankannya ke APBD (lihat tabel 2). Tetapi kekerasan terus saja berlanjut. Tengok saja tahun 2003, Poso masih penuh dengan kekerasan. Laporan ahir tahun Pokja RKP sebuah kelompok kerja yang dibentuk sejumlah jurnalis, organisasi kemasyarakatan agama, dan NGO menunjukan itu. Dalam laporan itu, selama 2003, terjadi 69 kasus kekerasan meliputi ledakan bom, temuan bom, penembakan, pembunuhan, dan kekerasan lainnya (lihat tabel 3). Di antara kekerasan yang paling menghebohkan adalah peristiwa serangan Beteleme (10/10/2003) di Kabupaten Morowali dan serangan di Pantangolemba, Pinedapa, dan Saatu Kecamatan Poso Pesisir (11/10/2003). Kedua serangan tersebut menewaskan 11 orang dan mencederai 19 orang lainnya. Para penyerang menggunakan senjata api standar tempur yang biasa dipakai aparat TNI dan Polri. Peristiwa tersebut mengundang dugaan keterlibatan aparat keamanan. Pertama-tama, karena para penyerang menggunakan senjata api dan amunisi yang biasa dipakai oleh kesatuan TNI dan Polri, termasuk amunisi buatan PT Pindad. Kemudian, serangan itu berlang-sung secara terorganisir dengan modus operandi yang sama (dilakukan di malam hari dan penyerang terdiri dari kelompok kecil), terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan, tetapi terjadi di dua wilayah yang secara geografis sangat berjauhan (jarak Beteleme (Kabupaten Morowali) Poso Pesisir (Kabupaten Poso) sekitar 200 kilometer). Lebih ironis lagi, karena aparat tidak mengantisipasi peristiwa ini yang sudah terdeteksi sebelumnya. Seperti dilaporkan, Badan Intelijen Negara (BIN) telah mendeteksi adanya kemungkinan penyerangan ini. Wakil Kepala BIN, As at Said menyatakan, aparat intelijen di daerah telah mengetahui adanya kemungkinan serangan di Poso, tetapi informasi itu lambat sampai ke pusat (Tempo Interactive, 13 Oktober, 2003). Tetapi, pemegang otorita keamanan di Sulawesi Tengah ramairamai membersihkan diri. Kapolda Sulteng, Brigjen M Taufik Ridha menyatakan aparat tidak terlibat. Sedangkan Danrem 132/Tadulako, Kolonel Inf. M. Slamet menyatakan bahwa bukan hanya TNI/AD yang menguasai amunisi buatan Pindad, tapi juga angkatan lain dan Polri (Suara Pembaruan, 21 Oktober 2003). Aparat keamanan kemudian berhasil melumpuhkan para penyerang di Beteleme. Enam orang mati diterjang timah panas, 12 lainnya berhasil dibekuk, setelah melalui kontak senjata. Sejumlah senjata dan amunisi berhasil disita, di antaranya, dua pucuk mausser, dua pucuk M-16, 1 pucuk SKS, dua pucuk FN, 200 butir peluru M-16 dan 2000 butir peluru SS- 1 buatan PT Pindad. Dari mana para penyerang memperoleh senjata? Para penyerang yang berhasil dibekuk hanya menunjuk satu nama, Muhammadong alias Madong, ketika diinterogasi oleh aparat keamanan. Nama ini, menurut versi aparat keamanan dianggap sebagai pimpinan penyerang. Sayang, Madong sendiri sudah tewas tertembak, konon ketika hendak memberikan perlawanan kepada petugas dengan menggunakan senjata tajam. Jadi, ada mata rantai yang hilang soal sumber senjata dalam peristiwa Beteleme. Mengapa kekerasan di Poso tak kunjung padam? Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen Polisi M Taufik Ridha menganggap terjadinya kekerasan di Poso, karena masih ada dendam di kalangan masyarakat. PENDARATAN MARINIR DI POSO: Menyudahi atau mengawetkan konflik. foto : doc. ytm SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 Tabel 2 Kontribusi Pemda Poso untuk biaya pengamanan Poso oleh Polri dan TNI Tahun Anggaran Jumlah anggaran 2003 1.377.062.000 2002 624.800.000 2001* 6.995.062.840 Sumber : Kesbang Poso, 2003 * Bupati Poso, 2002. 05 Berbicara di depan sebuah lokakarya tentang penyelenggaraan Pemilu di daerah konflik 18 Desember 2003 di Palu, ia menganggap sumber kekerasan ada di masyarakat. Sepanjang masih ada dendam di antara sebagian masyarakat, maka sukar untuk memulihkan ketertiban , ujarnya. Tetapi, menyatakan semua sumber kekerasan ada di masyarakat juga tidak tepat. Peristiwa-peristiwa kekerasan terahir di Kabupaten Morowali pembakaran 5 mobil dinas Pemda Morowali lebih dipicu oleh tindakan para elit politik di daerah itu berkenaan dengan soal ibukota kabupaten, Kolonodale atau Bungku. Jadi, bara api memang di tangan elit politik, bukan di dalam masyarakat. Kalau mau jujur, tragedi kemanusiaan di Poso pun merupakan ulah para elit politik. Mereka telah memanipulasi Tabel 1 Pengerahan Pasukan di Poso Periode Polri TNI Jumlah Januari 2004* 3000 900 3900 Oktober 2003 1300 700 2000 Juni 2003 1796 968 2764 2002 2270 968 3238 2001 1172 852 2024 2000 832 489 1321 Sumber : Kesbang Poso, 2003 * Polda Sulteng 2004 Tabel 3 Kekerasan berdasarkan wilayah sepanjang tahun 2003 Peristiwa Poso Poso Lage Tojo Ulu Pamona Pamona Morowali Jumlah Pesisir Kota Barat bongka Utara Selatan Ledakan bom 2 16 1 19 Temuan bom 3 11 1 1 16 Penembakan 5 8 3 1 1 1 19 Pembunuhan 1 1 1 3 Kekerasan lainnya 1 2 1 2 6 12 Jumlah 12 38 5 1 2 3 1 7 69 Sumber : Pokja RKP, 2003 ambisi meraih jabatan bupati, sekwilda, dan jajaran birokrasi lainnya dengan menggunakan sentimen agama.[] AS, Mohamad Hamdin, Ferdinand L. SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 06 BANYAK inisiatif sudah dilakukan untuk membangun kembali perdamaian di Poso. Caranya, mengumpulkan kelompok-kelompok yang bertikai atau dianggap bertikai untuk duduk bersama dan merundingkan perdamaian. Biasanya, kesepakatan bersama dikeluarkan di ahir perundingan dan mengumumkannya di hadapan publik. Media massa kemudian menyebarluaskan saling rangkul di antara aktoraktor perdamaian itu. Sayang, kekerasan tidak pernah henti. DAMAI TAK KUNJUNG TIBA, LANGIT BELUM RUNTUH Tengok saja, Rujuk Sintuwu Maroso. 22 Agustus 2000, pemerintah memperkenalkan penyelesaian konflik dengan memakai pendekatan adat istiadat. 14 pemuka adat dari berbagai wilayah kecamatan di Poso menyatakan kebulatan tekad mengahiri konflik Poso. Di antara mereka adalah A Tobondo (Majelis Adat Kabupaten Poso), Pdt YH Tancu (Kecamatan Pamona Utara), Y Pandoli (Kecamatan Pamona Selatan), Usri Abd Rauf (Kecamatan Ampana Kota), Djamun (Kecamatan Ampana Tete), T Kareba (Kecamatan Lore Utara), T Tolia (Kecamatan Lore Selatan), B Panate (Kecamatan Poso Pesisir), Sugiono (Kecamatan Poso Kota), Sangkoli Timpu (Kecamatan Ulubongka),Hi LL Latoale (Kecamatan Walea Kepulauan), Hi Sofyan Abdullah (Kecamatan Una-Una), dan DA Lampadeli Bsc (Kecamatan Lage). Hebatnya, Presiden RI ketika itu, Gus Dur jauh-jauh datang ke Poso GUS DUR DI POSO : Tragedi Kemanusiaan di Poso, solusi adat pun dipakai. foto : d oc. ytm SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 untuk menghadiri acara ini. Menyertai Gus Dur ada Panglima TNI Laksamana Widodo AS, Kapolri Rusdiharjo, Menteri Dalam Negeri Suryadi Sidirdja dan Menteri Agama Tolcha Hasan. Ada juga Gubernur Sulawesi Selatan ZB Palaguna, Gubernur Sulteng Banjela Paliuju, dan tentu saja Bupati Poso Drs Abdul Muin Pusadan. Di hadapan Presiden Gus Dur, tokoh adat A Tobondo membacakan lima butir Rujuk Sintuwu Maroso. Pertama, mendukung rujuk Sintuwu Maroso yang dilaksanakan di Kabupaten Poso; Kedua, seluruh masyarakat Kabupaten Poso ikut bertanggung jawab untuk menciptakan keadaan atas dasar perdamaian, kekeluargaan, demi kepentingan bangsa dan negara. Ketiga, tetap menjadikan Sintuwu Maroso sebagai ikatan moral tanda kesatuan dan persatuan serta kekeluargaan dari seluruh rakyat Poso dan kesepakatan ini adalah awal dari upaya menuju rujuk Sintuwu Maroso yang diikatkan dengan adat istiadat. Keempat, mendukung upaya penegakan supremasi hukum dalam menyelesaikan kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso dan terhadap oknum-oknum yang terbukti melakukan tindak pidana tetap dihukum secara hukum demi tegaknya kebenaran, keadilan dan ketertiban dalam masyarakat. Kelima, apabila kesepakatan tersebut telah ditanda tangani bersama terjadi kerusuhan oleh kelompok manapun, maka kelompok tersebut akan ditindak tegas secara hukum yang berlaku. Dalam sambutannya, Gus Dur memuji penyelesaian konflik lewat adat. Menurutnya, cara rujuk di Kabupaten Poso lewat adat patut dicontoh daerah-daerah lain yang masih bergolak. Paska rujuk Sintuwu Maroso boleh dibilang kekerasan antar komunitas dapat dicegah. Sayangnya, situasi ini hanya bertahan sekitar dua bulan, sampai muncul peristiwa 9 November 2000, yakni terbunuhnya dua warga di Tentena. Setelah itu, seperti berbalas pantun, kekerasan pun muncul secara berulang. Korban kembali berjatuhan, baik jiwa maupun harta benda. Catatan LPS-HAM, sepanjang tahun 2001 terjadi 124 titik kejadian kekerasan, mengakibatkan 141 tewas, 90 orang luka, 27 hilang dan 102 korban mengalami penyiksaan. Lebih satu tahun kemudian, tepatnya 20 Desember 2001, pemerintah kembali mengambil inisiatif perdamaian. Adalah Menko Kesra, Jusuf Kalla yang mengumpulkan tokoh-tokoh agama Islam dan Kristen dari Poso dan Palu untuk berkumpul di Malino, sebuah kota Kecil yang dingin sekitar 70 km dari Makassar. Jusuf Kalla sendiri bertindak sebagai mediator bersama-sama dengan Gubernur Sulteng Aminuddin Ponulele, Gubernur Sulsel B Palaguna, Pangdam VII Wirabuana Mayjen Achmad Yahya, dan Kapolda Sulteng Brigjen Pol H Zainal Abidin Ishak. Turut juga hadir sejumlah peninjau dari Jakarta seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), PGI (Persekutuan Gereja Indonesia), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Wantamnas, Mabes Polri, Mabes TNI, Depdagri, dan Kementrian Polkam. Setelah berunding selama 3 hari, kemudian keluar kesepakatan damai yang dikenal Deklarasi Malino. Deklarasi ini berisi 10 butir kesepakatan (lihat 10 butir Deklarasi Malino untuk Poso). Para peserta pun saling berangkulan. Photo Pendeta Rinaldy Damanik (kordinator CC GKST) dan Sofyan Farid Lemba (Ketua Front Revolusioner Islam) yang berjabat tangan menghiasi laporan media massa, seolah melambangkan datangnya perdamaian. Tabel Proyek Dukungan Rekonsilisasi/Sosialisasi Deklama (Deklarasi Malino) APBD POSO 2002 07 Bantuan operasional Polri, bantuan operasional TNI dan bantuan 826.996.200 operasional untuk kegiatan Pokja Deklama 5 4 Bantuan biaya telpon pemakaian Dankolakop TNI (1 bulan) 3.196.600 Bantuan penyediaan jamuan snack dalam rangka lokakarya rapat tim 366.577.500 Pokja, rapat sekretariat pokja, dan kegiatan lain (LS) 3.4. 3.3. Bantuan insentif tim sekretariat Pokja 40 orang 99.600.000 3.2. Bantuan insentif tim sosialisasi 65 orang 79.600.000 3.1. Bantuan intensif Tim anggota Pokja (220 orang) 333.000.000 3 Biaya lain-lain : 2 Dukungan biaya operasional pemulihan keamanan (LS) 400.000.000 Biaya perjalan dinas (bantuan biaya perjalanan/transport Tim Pokja, Tim 875.000. 000 Sosialisasi, dan Tim Sekretariat Pokja 1 No Beberapa pos pengeluaran penting Jumlah (Rp) Sumber : Laporan Pertanggung Jawaban Bupati Poso, 2003. SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 08 Hasil pertemuan Malino segera disosialisasikan kepada publik. Untuk itu, pemerintah memfasilitasi pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Deklarasi Malino, baik di tingkat Propinsi Sulteng maupun Kabupaten Poso. Pemerintah kemudian mengucurkan dana dari sumber APBD tingkat I Sulteng dan Tingkat II Poso, dengan jumlah mencapai milyaran rupiah. Sebagai gambaran, dalam APBD Kabupaten Poso 2002 saja, telah digunakan uang senilai 4,3 milyar. Sebagian pengeluaran penting di antara dapat lihat dalam tabel. Tetapi, seperti inisiatif perdamaian sebelumnya, kekerasan terus saja berlanjut. Sepanjang tahun 2002, belasan orang meninggal dunia dan puluhan luka-luka, karena berbagai bentuk tindak kekerasan seperti penembakan, pemboman, dan penganiayaan lainnya. Terjadi juga kasus kontak senjata antar komunitas dan pembakaran rumah penduduk. Sementara selama tahun 2003, laporan Pokja RKP menyebutkan 35 orang tewas, 23 luka berat, dan 16 luka ringan, korban berbagai bentuk tindak kekerasan. Sejumlah organisasi nonpemerintah juga mengambil inisiatif mendorong perdamaian di Poso. Berbeda dengan pemerintah, Ornop No Butir Deklarasi 01 Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan 02 Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar 03 Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan 04 Untuk menjaga terciptanya suasana damai, menolak memberlakukan keadaan darura t sipil, serta campur tangan pihak asing 05 Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidak jujuran terhadap semua pihak dan men egakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain, demi terciptanya kerukunan hidup bersa ma 06 Tanah Poso adalah bagian integral dari Republik Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang, dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat 07 Semua hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemilik yang sah, sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung 08 Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing 09 Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh 10 Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dengan prinsip saling men ghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui, baik dalam bentuk undang-undang maupun perat uran pemerintah dan ketentuan-ketentuan lainnya. 10 Butir Deklarasi Malino untuk Poso lebih memilih memfasilitasi pertemuan-pertemuan antar komunitas di tingkat akar rumput. Kegiatannya macam-macam, ada dialog antar komunitas, lokakarya, hingga seminar. Hasilnya, memang muncul saling pengertian antar komunitas, paling tidak di sejumlah tempat. Sayang, semua inisiatif perdamaian belum banyak membuahkan hasil. Kekerasan masih terus saja terjadi, kapan saja, di mana saja, dengan korban siapa saja. Serangan dapat datang tiba-tiba tanpa memilih korban. Perdamaian memang sukar untuk diracik ulang. Tetapi langit belum runtuh. Semangat sintuwu maroso masih bisa dipulihkan. Apalagi, seperti dikatakan Noldy Tacoh, Kordinator CC GKST, masyarakat Poso sudah sangat merindukan kedamaian dan ketenangan. [] Andi Mizwar, Mohammad Hamdin, Ferdinand Lumeno. PERISTIWA BETELEME : Kekerasan silih berganti. foto : doc. ytm SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 09 Kekerasan masih saja terus terjadi pasca Deklama (Deklarasi Malino), menurut Bapak, apa sebenarnya di balik itu? Saya kira kekerasan paska deklama sudah menurun. Adapun kekerasan seperti yang terjadi di Beteleme tidak bisa dikaitkan dengan Deklama. Jelas, motifnya karena frustasi atau dendam. Apakah ide-ide rekonsiliasi yang didengungkan selama ini sudah menjawab kebutuhan rasa damai masyarakat Poso? Insya Allah, saya kira rekonsiliasi di tingkat pemerintahan, di pasar dan di mana-mana sudah berjalan dan membaur. Sekarang tinggal pemantapan. SEJUMLAH kekerasan masih saja mewarnai perjalanan tahun 2003 di Poso. Dari Laporan akhir tahun Pokja RKP menyebutkan, dalam kurun waktu Januari sampai pertengahan Desember, 69 kali peristiwa seperti peledakan bom, penembakan misterius, pembunuhan misterius serta sejumlah kekerasan lainnya. Namun sayangnya, pihak berwenang belum maksimal mengungkap aktor-aktor di balik peristiwa tersebut. Untuk mencermati fenomena tersebut, Andi Mizwar pada pekan kedua Januari mewawancarai sejumlah sumber yang dianggap punya kapasistas menjelaskan peristiwa yang terjadi Di Poso. Diantaranya adalah Noldy yang dihubungi di Poso melalui telepon. Koordinator Crisis Center Gereja Kristen Sulawesi Tengah (CC-GKST) menyayangkan kinerja aparat keamanan yang belum bisa mengungkap mata rantai kekerasan yang terjadi selama enam tahun terakhir. Selain itu, Yahya Mangun, Ketua Pokja Deklama Posoyang juga dihubungi melalui telepon menilai, rekonsiliasi yang dibangun selama dua tahun terakhir sudah menunjukkan perkembangan yang positif. Terakhir, AKBP Drs. Agus Sugianto sebagai Kabid Humas Polda Sulteng. Menurutnya, ada pihak tertetu yang ingin memperluas konflik. Hal itu disebabkan karena penjagaan yang ketat di Poso sehingga mencari sasaran lain. Berikut kutipan wawancara tiga sumber tersebut : Prihal Rekonsiliasi Poso Dan saya kira itu butuh proses yang relatif lama. Yang harus kita lakukan sekarang adalah sosialisasi mengenai 10 butir Deklama kepada masyarakat. Pemilu menyimpan potensi konflik di masyarakat, apa kemungkinan yang akan terjadi di Poso? Yang saya lihat, saat ini masyarakat Poso sangat antusias dengan Pemilu, supaya mekanisme lima tahun itu berjalan dengan baik. Bagaimana dengan kinerja aparat keamanan dengan jumlah yang cukup banyak ? Saya kira sudah cukup bagus. TNI dan Polisi jalan bersama kok. Misalnya, dalam patroli dan razia senjata. Sampai sore ini saya lihat cukup bagus, tidak ada kejadian apa-apa. Apa lagi yang harus diagendakan saat ini untuk mengawal rekonsiliasi yang sudah berjalan? Apa yang kita capai saat ini harus dijaga. Kalau ada gejala-gejala yang menjurus kepada keributan apa lagi kerusuhan, harus segera kita cegah. Yang Mencegah itu kita, masyarakat. Walaupun jumlah aparat ribuan ditempatkan di Poso, kalau masyarakat tidak kompak, maka tidak ada gunanya. Walaupun ada bom babunyi (ledakan bom-red), itu sudah biasa. Saya sendiri tidak pusing dengan itu. Yang saya pusingkan sekarang adalah bagaimana mencari makan dan ketenangan. Apakah pemberitaan media selama ini sudah menciptakan suasana kondusif di Poso? Saya menghimbau kepada seluruh pihak yang simpati dengan upaya rekonsiliasi supaya menurunkan pemberitaan yang menyejukkan. Jangan malah bernada memprovokasi. Saya kira kita bisa baca media di mana-mana. Televisi misalnya, ada petasan yang bunyi terus diberitakan Poso rusuh lagi. Ada apa ini (hahahaha .lalu melanjutkan). Beberapa malam lalu saya kaget, wah Poso rusuh lagi, padahal cuma petasan. Saya harap media membantu kondisi yang sudah kondusif ini. Tapi kita di Poso tidak terpengaruh lagi dengan itu.[] ?? Yahya Mangun [Ketua Pokja Deklama Poso] SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 10 Bagaimana anda melihat kekerasan yang masih saja terjadi di Poso paska Deklama? Saya kira kekerasan tersebut tidak bisa dihubungkan dengan deklama. Kita tidak tahu siapa mereka yang telah membuat kekerasan tersebut. Tidak jelas apa dan siapa yang melanggar butir-butir dalam Deklama. Nah inilah tugas Polisi untuk mengungkap semua ini. Modus operandi kekerasan ini sangat terorganisir dengan menggunakan senjata organik, komentar anda? Ini yang saya tidak mengerti, kalau ini disebut sebagai dendam pribadi kenapa harus orang lain yang menjadi korban. Yang menjadi pertanyaan saya adalah dari mana mereka mendapatkan itu (senjata organik-red)? Kalau dari luar negeri berarti pemerintah khususnya TNI kecolongan. Begitu pun kalau dari dalam negeri, berarti ada yang sengaja menciptakan kondisi yang kacau ini. Setiap ada (rencana) penarikan pasukan keamanan, selalu saja ada korban sipil, Bagaimana anda melihat hal itu? Kami hanya mampu melihat pola itu, bahwa pelakunya tidak bisa diungkap atau ditangkap, padahal kondisi ini sudah berjalan selama enam tahun. Biasanya kekerasan yang terjadi selalu diikuti provokasi berbagai kelompok. Karena itu menjelang Pemilu, saya harap pelaku politik tidak mengorbankan masyarakat. Menurut anda, bagaimana perdamaian ini harus dilakukan? Mendamaikan apa dan siapa? Masyarakat Poso sudah sangat merindukan kedamaian dan ketenangan. Apakah itu artinya pelaku kekerasan bukan dari masyarakat Poso sendiri? Ya, bisa dikatakan demikian. [] Sebenarnya berapa personil Polri dan TNI yang berstatus BKO (Bawah Kendali Operasi) di Poso saat ini? Saya tidak bisa mengingat angkaangka itu, tapi Kapolda sudah memberikannya dalam laporan tahunan. Dalam sejumlah kekerasan yang terjadi di Poso, pelaku menggunakan senjata organik, bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Menurut informasi intelejen yang sudah pernah disampaikan oleh Polisi, itu kemungkinan diselundupkan dari Filipina. Waktu di Poso saya melihat sendiri, ada senjata laras pendek yang selama puluhan tahun menjadi anggota Polri tidak pernah melihat jenis seperti itu. Jadi itu bukan senjata standar Polri dan TNI. Mengapa senjata bisa masuk ke negara kita, apakah karena lemahnya sistem pengamanan dan intelejen kita? Kita tidak bisa mengatakan salahnya di mana, karena negara kita ini negara kepulauan. Jadi kemungkinan untuk menyelundupkan itu banyak. Kita sudah berupaya menangkalnya, misalnya seperti ke Pantoloan. Pemilu sudah dekat, apa antisipasi Polda menghadapi Pemilu yang punya potensi konflik di Poso? Segala sesuatu sudah diantisipasi dengan tindakan preventif dan penegakan hukum yang dulu diisitilahkan represif. Kita tidak menggunakan kata represif lagi supaya masyarakat tidak trauma. Kalaupun ada letupan-letupan itu tidak bisa dikaitkan dengan kerusuhan. Kasus Beteleme adalah salah satu indikasi bahwa medan konflik ini diperluas. Sebenarnya apa yang terjadi? Memang ada pihak tertetu yang ingin memperluas konflik. Tapi Alhamdulillah berkat bantuan seluruh komponen masyarakat, itu bisa kita redam. Tapi bisa jadi karena di Poso penjagaan semakin ketat. Menurut beberapa informasi, tindakan menghabisi Madong yang menjadi Panglima penyerangan di Beteleme adalah upaya untuk memutus mata rantai skenario penyerangan? Kata siapa ? Oh salah. Kalau kontak senjata itu bagaimana kita bisa lihat kalau daerahnya semak-semak atau hutan. Saya kira itu omong kosong. Itu adalah upaya provokasi. Terus juga ada yang bilang polisi tidak mau mayat itu diotopsi. Semua yang meninggal itu semua ada faktanya di sini, keluarganya yang meminta Kapolda supaya mayat tidak diotopsi (sambil memperlihatkan sebuah map). Itu saya sudah tunjukkan ke pers. [] ?? Noldy [Koordinator CC-GKST] ?? AKBP Drs. Agus Sugianto [Kabid Humas Polda Sulteng] SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 11 PERISTIWA-peristiwa kekerasan yang terjadi beberapa waktu terahir di Poso telah mengundang spekulasi mengenai para pelakunya. Aparat keamanan biasanya menggunakan sebutan kelompok terlatih untuk menuding sejumlah tindak kekerasan penembakan dan pemboman yang dilakukan secara misterius. Ketika terjadi peristiwa Beteleme dan Poso Pesisir, Menko Polkam menyebut gerakan pengacau keamanan (GPK). Sebutan-sebutan ini cenderung membingungkan dibanding memecahkan masalah. Tetapi, majalah berita mingguan terkemuka Tempo (27 Oktober 2 November 2003) melaporkan tentang kemungkinan hubungan Jemaah Islamiah (JI) dengan pelaku kekerasan di Beteleme 10 Oktober 2003. Majalah ini mengaitkan Muhammadong alias Madong dengan Mustofa alias Pranata Yudha, yang disebut sebagai tokoh penting Jemaah Islamiyah yang pernah menjadi Ketua Mantiqi III organisasi tersebut. Kabarnya, Mustofa pernah menempa Madong dalam urusan perang-perangan. Selain itu, menurut polisi, Mustofa juga pernah mengakui bahwa bahan peledak yang disita aparat keamanan di Taman Sri Rejeki Semarang, sedianya akan digunakan di Poso. Seperti diketahui, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memasukkan JI sebagai sebuah organisasi jaringan teroris. Organisasi ini juga dikaitkan ADAKAH JEMAAH ISLAMIYAH DI POSO ? dengan persitiwa peledakan bom di Bali dan bom Marriot di Jakarta. Dan yang terpenting, JI dihubung-hubungkan dengan Al Qaeda, organisasi pimpinan Osama bin Laden yang dituding Amerika sebagai pelaku peristiwa 11 September 2001 di Amerika. International Crisis Group (ICG) dalam sebuah laporannya memperkirakan bahwa Al Qaeda membiayai sejumlah kegiatan yang dilakukan JI di Indonesia. Al Qaeda pernah ramai dihubunghubungkan dengan Poso. Awalnya, dalam wawancara dengan Bulletin Laskar Jihad (Edisi 15/Tahun I), Kepala BIN (Badan Intelejen Negara) Letnan jenderal (Purn) Hendro Priyono menyatakan adanya kamp latihan Al Qaeda di Poso. Dalam bukunya Inside Al Qaeda, Global Network of Terror, Rohan Gunaratna menyatakan bahwa dari kerja sama intelejen Indonesia dan Spanyol, teridentifikasi adanya hubungan antara jaringan Al Qaeda Spanyol dengan latihan militer di Poso pada Juli 2001. Kamp latihan militer di Poso dipimpin oleh seseorang bernama Omar Bandon. Peserta latihannya bukan hanya penduduk lokal, tetapi juga dari luar negeri. Pelatih fisiknya adalah Parlindungan Siregar, seorang anggota jaringan Al Qaeda Spanyol. BIN kemudian memberikan informasi yang lebih rinci mengenai latihan Al Qaeda di Poso. Disebutkan adanya tujuh orang Barat dan sekitar 50 orang Indonesia menjalani latihan di sebuah kamp militer yang dibiayai Al Qaeda di Poso tahun 2001. Al Qaeda mendanai dan menyediakan senjatasenjata untuk 10 kamp latihan di kawasan hutan dekat Poso. Salah satu di antaranya adalah kawasan hutan sekitar dusun Kapompa Kelurahan Madale Kecamatan Poso Kota. Bahkan, informasi penting mengenai kehadiran jaringan Al Qaeda di Poso terkait dengan tokoh Omar Al- Farouq. Omar yang dituding sebagai salah seorang anggota jaringan Al Qaedah ini, dilaporkan pernah berada di Poso pada bulan Desember 2001. Dia pernah berada di rumah Ketua DPRD Kabupaten Poso, Drs Akram Kamarudin. Tetapi, Akram membantah informasi ini. Al-Farouq sendiri sudah ditahan oleh pemerintah Amerika. Kembali ke JI, Mustofa, dan Poso, sebenarnya ada mata rantai yang putus. Dalam struktur JI, Mustofa adalah figur penting. Ia pernah menjadi Ketua Mantiqi III JI, yang membawahi wilayah Sabah Malaysia, Philipina Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Ia kemudian menjadi badan pekerja Markasi, dan posisinya sebagai ketua Mantiqi dialihkan kepada M Nasir Abbas. Baik, Mustofa maupun M Nasir Abbad kini ditahan oleh Mabes Polri di Jakarta. Ini menurut cerita versi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Polisi. Dari perkara Nizam Kaleb dkk yang kini disidangkan di Pengadilan Negeri Palu jejak Mustofa dapat ditelusuri. Dalam BAP polisi sebagai saksi, SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 12 Mustofa alias Pranata Yudha alias Imron alias Herman menyatakan sudah beberapa kali datang ke Sulteng. Ia pernah datang ke Poso tahun 1999 dan pernah menginap di sebuah hotel di Palu selama 2 hari. Ia juga mengaku pada tahun 2001/ 2002 menyerahkan amunisi dan bahan peledak kepada Nizam Kaleb. Menurutnya, barang tersebut adalah titipan Khaeruddin alias Nasir Abbas. Tetapi, pengakuan versi BAP Mustofa sukar dikonfirmasi, karena dalam beberapa persidangan Nizam Kaleb dkk, Jaksa Penutut Umum gagal menghadirkannya. Lantas, bagaimana JI beroperasi di Poso? Dalam kasus Nizam Kaleb dkk, lagi-lagi menurut cerita BAP, Nasir Abas adalah Ketua Mantiqi III, yang membawahi lima Wakalah. Yakni, Wakalah Badar yang meliputi Sabah Malaysia dan Kalimantan Timur, diketuai sendiri oleh Nasir Abas. Kemudian Wakalah Hudaybiyah, yang mencakup Philipina Selatan, dengan Ketuanya Huzaifah alias Abraham. Wakalah Uhud, yang meliputi Palu dan sekitarnya, dengan Ketua Nizam Kaleb alias Rizal. Sementara itu, Wakalah Haibar di Poso dan sekitarnya diketuai oleh Hasanuddin alias Hamzah. Terahir, Wakalah Tabuk di Pendolo, Pandajaya, Kecamatan Pamona Selatan d a n Palopo Sulawesi Selatan yang diketuai Huzaifah. Di depan sidang Nizam dkk, 4 Desember 2003, Nasir Abbas yang khusus didatangkan dari Jakarta mengaku sebagai Ketua Mantiqi III. Ia dilantik April 2001 menggantikan Mustofa. Ia pernah menjadi instruktur perang di Afghanistan 1991/1991. Ia menjelaskan struktur organisasi Mantiqi III secara cukup lengkap. Ringkas cerita, ia membenarkan sebagian besar keterangannya di dalam BAP polisi. Yang lebih menarik tentang organisasi JI. Nasir Abbas menggambarkan JI terbelah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah yang menganggap non-muslim sebagai musuh, dan yang kedua adalah kelompok sesungguhnya yang hendak menegakkan Daulah Islamiyah, dan akan mempertahankan Islam, jika diserang. Nasir mengakui dirinya masuk dalam kelompok terahir. Keterangan berbeda datang dari M Nuh. Nuh alias A h m a d Roichan seorang yang dituduh terlibat dalam bom Bali dalam sidang pemeriksaan saksi kasus Nizam dkk di Pengadilan Negeri Palu, 10 Desember 2003, menyatakan sama sekali tidak tahu dengan JI. Jika di dalam BAP polisi, cucu KH Achmad Dahlan ini mengaku sebagai anggota JI, karena dirinya berada di bawah tekanan. Kendati M Nuh menyatakan pernah bersentuhan dengan Abdullah Sungkar. Yakni, tokoh yang dianggap sebagai pendiri JI. Sungkar yang mengirimkannya ke Afghanistan tahun 1984 untuk berjihad. Nuh tinggal di sana selama empat tahun. Tetapi, ia tidak tahu menahu dengan Jemaah Islamiyah. Lantas bagaimana Nizam Kaleb dkk yang dituduh sebagai jaringan JI di Palu? Awalnya, Minggu ketiga April 2003 di Palu, aparat keamanan dari Mabes Polri melalui operasi super rahasia menangkap Fauzan Arief, Nizam Kaleb, Aang Hasanuddin, Firmansyah, dan Fajri. Orang-orang ini kemudian digelandang ke Jakarta. Kini, mereka diajukan ke PN Palu, dengan tuduhan memiliki dua pucuk senjata api dan ribuan amunusi, serta menyembunyikan M Nuh yang dituduh terkait dengan peristiwa bom bali. Apa benar mereka anggota JI? Di depan sidang Pengadilan Negeri Palu, Fauzan Arief menolak tuduhan kepadanya sebagai anggota JI. Tetapi, ia membenarkan dirinya adalah anggota Wakalah Uhud, dengan posisi sebagai Dair (juru da wah). Nizam Kaleb juga memakai jurus yang sama. Ia mengaku sebagai Ketua Wakalah Uhud di bawah Mantiqi III. Tetapi, kepada Seputar Rakyat, anak mantan bupati Donggala, dr Yan Moh Kaleb ini membantah dirinya anggota JI. Nizam menyatakan, pernah dipaksa mengaku sebagai anggota JI, ketika diinterogasi polisi. Keterangan-keterangan yang berbeda dari para pelaku yang terkait dengan kasus pemilikan senjata api dan amunisi ini, karenanya menyisakan sejumlah tanda tanya besar. Apakah Mantiqi III, dan struktur organisasi di bawahnya seperti Wakalah, Qirdas, Dair merupakan organ Jemaah Islamiyah? Dan yang paling penting, apakah Mustofa merupakan bagian dari JI? Oleh karena itu, terlibat atau tidaknya JI dalam berbagai tindak kekerasan di Poso sangat tergantung pada jawaban terhadap kedua pertanyaan itu. Keterangan Mustofa di depan sidang pengadilan, karenanya membantu menyingkap misteri ini. Tetapi, kapan? [] AS, Mohammad Hamdin. SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 13 SEGREGASI MASYARAKAT POSO BERBEDA dengan wilayah lain di Sulawesi Tengah, Poso sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali dan Tojo Una-Una memiliki susunan penduduk yang majemuk. Penduduk dengan latar belakang agama dan suku yang beragam tumpah ruah di Poso. Ada Islam dan Kristen dalam jumlah yang sangat menonjol dibanding wilayah lain di Sulawesi Tengah. Ada suku asli yang beragam, begitu juga dengan suku pendatang. Poso menjadi daerah yang sangat warna-warni, sebuah contoh miniatur Indonesia yang sesungguhnya. Sebuah kekuatan yang membanggakan. Tetapi, kebanggaan itu kini tinggal kenangan. Perbedaan susunan penduduk ternyata merupakan rumput kering. Tragedi kemanusiaan Poso yang terjadi lima tahun terahir menunjukan betapa kemajemukan penduduk merupakan lahan rentan, jika tidak dirawat dengan baik. Perbedaan telah disalah-gunakan untuk saling menyerang dan meniadakan. Sungguh memilukan. Segregasi etnik Suku-suku di Poso sangat beragam. Ada penduduk asli seperti To Pamona, To Mori, To Ampana, To Bungku, To Napu, To Besoa, dan To Bada. Di samping penduduk pendatang seperti Bugis, Makassar, Jawa, Gorontalo, Minahasa, Toraja, dan sebagainya. Tetapi penyebaran suku-suku bangsa itu sangat segregatif. Sukusuku asli merupakan suku mayoritas di wilayah-wilayah kecamatan di mana suku-suku tersebut berasal. To Pamona merupakan suku mayoritas di Kecamatan Pamona Utara, Kecamatan Pamona Selatan, Kecamatan Pamona Tengah dan Kecamatan Lage. To Napu adalah suku mayoritas di Kecamatan Lore Utara. To Behoa merupakan suku mayoritas di Kecamatan Lore Tengah, dan To Bada adalah suku mayoritas di Kecamatan Lore Selatan. To Mori merupakan suku mayoritas di Kecamatan Lembo dan Kecamatan Mori Atas. Suku Ampana merupakan suku mayoritas di Kecamatan Ampana Kota, dan Kecamatan Ampana Tete. Sebelum konflik di Kecamatan Poso Kota dan Kecamatan Poso Pesisir susunan penduduk atas dasar suku jauh lebih beragam, baik asli maupun migran. Suku Bugis,Makassar, Gorontalo, Toraja, dan Minahasa pada umumnya berbaur dengan suku-suku asli di kedua kecamatan itu. Tetapi, orang Gorontalo, misalnya, sangat dominan di Kelurahan Lawanga, orang Bugis di Bonesompe, dan orang Minahasa di Kasintuwu. Di kampungkampung itu, mereka campur baur dengan penduduk asli To Pamona, To Bungku, To Ampana dan sebagainya. Kecenderungan perkampungan yang didominasi oleh penduduk dengan latar belakang kesukuan tertentu juga sudah berakar dalam sejarah Poso di masa lalu. Tidak heran, jika namanama kampung di kota Poso selalu berdasarkan nama suku. Dulu orang Minhasa bermukim di kampung Minahasa, yang saat ini telah menjadi Kelurahan Kasintuwu. Orang Gorontalo banyak di kampung Gorontalo, sekarang menjadi Kelurahan Bonesompe. Orang Parigi banyak di kampung Parigi, yang sekarang menjadi Kelurahan Lawanga. Sebaliknya, kelurahan Lombugia dulu bernama kampung Lage, di mana penduduknya mayoritas berasal dari suku To Lage (salah satu sub-suku Pamona). Juga ada kampung Arab, kampung China, dan kampung Bugis yang SINTUWU MAROSO: Perbedaan telah disalahgunakan. foto : doc. ytm SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 14 mayoritas dihuni ketiga suku itu, tetapi sekarang sebagian menjadi bagian Bonesompe dan bagian Lawanga. Di luar kedua kecamatan itu, penyebaran suku-suku pendatang cenderung mengikuti pola tertentu. Orang-orang Minahasa dan Toraja lebih menyebar di kecamatan-kecamatan dataran tinggi seperti Pamona Selatan, Pamona Utara, Pamona Timur, Kecamatan Mori Atas, dan Kecamatan Lembo. Sementara pendatang Bugis dan Makassar dan Gorontalo lebih cenderung menyebar di kecamatankecamatan pesisir, seperti Kecamatan Ampana Kota, Kecamatan Tojo, Kecamatan Ampana Tete, Kecamatan Ulubongka, Kecamatan Walea Kepulauan, dan Kecamatan Una-una. Tetapi, penempatan transmigran telah merubah komposisi suku secara signifikan di wilayah-wilayah kecamatan tertentu. Misalnya, persentase transmigran mencapai 45,27 persen terhadap total populasi penduduk di Kecamatan Pamona Selatan pada tahun 1990. Artinya, kehadiran transmigran serta merta merubah komposisi penduduk berdasarkan suku di wilayah itu, di mana umumnya transmigran berasal dari suku Jawa, Bali, dan Lombok. Pengalaman yang sama juga terjadi di Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali. Mengingat sejak Pelita IV, telah ditempatkan ribuan transmigran perkebunan inti rakyat khusus (Pirsus), di UPT Pirsus Lembo I, Pirsus Lembo II, Pirsus Lembo III, Pirsus Lembo IV, Pirsus Lembo V, dan Pirsus Lembo VI. Suku-suku Jawa, dan suku-suku dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tumpah ruah di atas tanah-tanah To Mori, yakni suku asli dan suku mayoritas setempat. Selain transmigrasi, maka migrasi orang Bugis dari Sulawesi Selatan juga merubah susunan penduduk atas dasar etnik. Migrasi orang Bugis dalam jumlah signifikan juga terjadi di berbagai kampung di kecamatan seperti di Pamona Selatan, Pamona Utara, Pamona Selatan, Poso Pesisir, dan Lore Utara. Terbukanya jalan Trans Sulawesi menyumbang terhadap peningkatan populasi migran Bugis dalam jumlah yang berarti di kecamatan-kecamatan itu. Segregasi agama Segregasi agama di Poso dapat dilihat dari penyebaran agama berdasarkan kecamatan (lihat Tabel 1). Islam menjadi agama mayoritas di kecamatan-kecamatan pesisir, seperti Kecamatan Ampana Kota, Ampana Tete, Tojo, Una-una, Walea Kepulauan, dan Ulubongka (Kabupaten Poso) dan Kecamatan Bungku Selatan, Bungku Tengah, Bungku Barat, Bungku Utara, dan Menui Kepulauan (Kab.Morowali). Sebaliknya, Kristen menjadi agama mayoritas di kecamatan-kecamatan dataran tinggi, seperti Kecamatan Pamona Utara, Pamona Selatan, Pamona Tengah, Lore Utara, Lore Tengah, dan Lore Selatan (Kabupaten Poso) dan Kecamatan Mori Atas dan Lembo (Kabupaten Morowali). Segregasi juga terlihat di wilayah kecamatan di mana penduduk beragama Islam dan Kristen berimbang. Misalnya, di dalam wilayah Kecamatan Poso Kota, penduduk beragama Islam menghuni kelurahan Kayamanya, Bonesompe, dan Lawanga. Sebaliknya, penganut Kristen mayoritas berada di Kelurahan Kasintuvu, Lombogia, dan Kawua. Di Kecamatan Poso Pesisir, mayoritas penduduk beragama Islam terdapat di Mapane dan Tokorondo. Sebaliknya, di Tangkura, Pinedapa, dan Masani, mayoritas dihuni penduduk beragama Kristen. Penyebaran migran-migran dari Sulawesi juga mengikuti pola tertentu. Migran Bugis, Makassar dan Gorontalo yang merupakan penganut Islam menyebar di kecamatan-kecamatan pesisir yang juga merupakan kecamatan yang didominasi umat Islam. Sebaliknya, migran penganut Kristen asal Minahasa dan Toraja cenderung memilih kecamatankecamatan di dataran tinggi yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Konfigurasi penduduk semacam itu memberikan persilangan yang menarik. Penghuni wilayah kecamatankecamatan di dataran tinggi seperti To Pamona, To Mori, To Napu, To Behoa, dan To Bada dikenal sebagai penduduk asli dan sekaligus sebagai penganut Kristen (umumnya protestan). Sebaliknya, penghuni kecamatankecamatan pesisir di Teluk Tomini seperti To Ampana dan To Bungku di Teluk Tolo adalah suku asli dan sekaligus penganut Islam. Tetapi, program transmigrasi selama orde baru juga telah mengocok ulang komposisi penduduk berdasarkan agama. Penempatan transmigran Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat hampir berlangsung di semua kecamatan. Termasuk di Kecamatankecamatan yang mayoritas TARIAN TRADISIONAL: Media tanpa batas. Tua muda, laki-laki perempuan, mari menikmati kegembiraan. foto : doc. ytm SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 15 penduduknya bergama Kristen, seperti Kecamatan Pamona Selatan, Kecamatan Mori Atas, Kecamatan Lembo, dan Kecamatan Lore Utara. Transmigran dari Jawa dan Nusa Tenggara Barat adalah penganut Islam. Dalam jumlah kecil transmigran asal Jawa dan Nusa Tenggara Timur adalah penganut Kristen. Orang-orang Bali adalah penganut Hindu. Akibatnya, seperti yang terjadi di Kecamatan Pamona Selatan yang merupakan kantong penganut Kristen, persentase angka statistik 1996 menunjukan penganut Islam mencapai 22,87 persen, Kristen 63,64 persen dan Hindu/Budha 8,96 persen. Ini terjadi karena munculnya desa-desa transmigran yang dihuni mayoritas muslim dalam jumlah signifikan, seperti Pandajaya, Mayasari, dan Taipa. Padahal 15 tahun sebelumnya, pada tahun 1972, penganut Islam di wilayah ini hanya 3,44 persen dibanding Kristen 96,54 persen. Begitu juga di Kecamatan Lembo, penempatan transmigran di wilayah ini telah menaikan jumlah pemeluk Islam sangat besar. Tahun 1996, penganut Islam mencapai 35,43 persen, Kristen 60,15 persen dan Hindu/Budha 4,47 persen. Sementara pada tahun 1972 penganut Islam hanya 3,34 persen dibanding Kristen 96,65 persen. Ini terjadi, karena munculnya kantongkantong muslim di perkampunganperkampungan baru seperti desa Pontangoa, Pawaru, Jamor Jaya, Korobonde, Beteleme, dan Dolupo Karya. Selain program transmigrasi, maka salah satu faktor yang berperan menaikan populasi muslim di kantongkantong Kristen adalah migrasi Orang Bugis. Terbukanya jalan Trans-Sulawesi yang menghubungkan Palopo di Sulawesi Selatan dengan Poso, memungkinkan gelombang migrasi Orang Bugis memasuki wilayah-wilayah Pamona Selatan, Pamona Utara, Mori Atas, Lembo, Lage dan Poso Pesisir. Bahkan, terbukanya ruas jalan yang menghubungkan Kota Poso di bagian pesisir dengan Lembah Napu di dataran tinggi atau ruas jalan yang menghubungkan Palu dengan Napu melalui Lembah Palolo, serta ruas jalan Tentena - Lembah Bada, segera juga diikuti dengan gelombang baru migrasi Orang Bugis ke wilayah-wilayah pedalaman dataran tinggi Poso itu. Segregasi kelas Di masa lalu, struktur kelas masyarakat di Poso sangat sederhana. Ada kabosenya, yakni orang-orang merdeka di antara sesama mereka dan dari warga anggota komunitasnya. Kemudian, watua, yakni orang-orang tidak merdeka atau budak yang bergantung kepada kabosenya. Inilah struktur kelas masyarakat pra kapitalis di Poso. Dewasa ini, telah terjadi perubahan struktur kelas yang sangat berarti Hubungan kabosenya watua telah tergantikan oleh hubungan pemilik tanah dan buruh tani atau pemilik alatalat produksi dengan buruh upahan. Keadaan ini dapat dengan mudah terlihat di berbagai pelosok di Poso, yakni hubungan antara borjuasiborjuasi desa pemilik-pemilik tanah dalam jumlah luas (sawah, cengkeh, kakao) dengan buruh-buruh tani yang memiliki lahan-lahan sempit. Juga, hubungan antara borjuasiborjuasi lokal, nasional dan bahkan internasional dengan buruh dalam kegiatan-kegiatan ekonomi berbasis pengolahan sumber daya alam. Tetapi, segregasi kelas tersebut memberikan persilangan yang penting secara etnik. Penduduk-penduduk asli adalah petani dengan pemilikan luas lahan yang terbatas. Bagaimanapun, sebagian di antara lahan mereka telah jatuh ke tangan para pendatang, terutama melalui mekanisme jual beli. Sebagian sudah diambil oleh negara untuk diserahkan kepada perusahaanperusahaan yang bergerak di berbagai sektor berbasis ekstraksi sumber daya alam. Sebagian lainnya sudah ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi. Penduduk-penduduk asli yang sudah kehilangan tanah menjadi buruh tani atau pemungut hasil hutan. Mereka bekerja untuk sebagian penduduk asli (biasanya sanak keluarga) yang masih memiliki lahan lebih luas atau menjadi buruh tani upahan bagi pendatang Bugis atau Tionghoa. Dalam sejarahnya, penggunaan buruh upahan pertama-tama diperkenalkan pedagang Tionghoa pada tahun 1930 dan kemudian juga dilakukan migran Bugis, bahkan transmigran Jawa dan Bali yang datang belakangan. Biasanya selalu terdapat standar upah untuk satuan kerja tertentu. Sebaliknya, di kalangan penduduk asli, buruh tani upahan mengalami hambatan pertumbuhan. Penyebab utamanya adalah sistem kekerabatan yang menekankan pertukaran tenaga kerja tanpa upah dan mengedepankan kegotong-royongan. Hampir di semua tempat, bisa dilihat bagaimana warga secara ramai-ramai bergantian mengerjakan sebidang lahan tanpa memperoleh imbalan upah. Tuan rumah yang lahannya dikerjakan cukup menyediakan makanan siang dan kopi untuk melayani buruh-buruh tani nonupah itu. Di sisi lain, perupahan juga dipraktikan, tetapi untuk tujuantujuan sosial, seperti kepentingan pembangunan gereja. Biasanya, kelompok-kelompok jemaat dibayar dalam jumlah tertentu untuk mengerjakan lahan pertanian. Hanya upah kolektif itu tidak diambil oleh anggota jemaat, tetapi digunakan sebagai sumbangan kelompok jemaat untuk pembangunan gereja. Bagi penduduk asli yang tinggal di sekitar hutan yang masih kaya dengan rotan, maka salah satu pilihan mereka adalah menjadi karyawan (istilah untuk pemungut rotan dari hutan) dari pedagang pembeli rotan, umumnya migran Bugis atau Tionghoa. Biasanya berhari-hari mereka masuk hutan untuk memperoleh jumlah tertentu rotan. Lasim terjadi, sebelum masuk hutan, mereka telah menumpuk sejumlah utang di pedagang pembeli rotan, seperti rokok atau sangu baik dipakai di hutan maupun yang ditinggalkan kepada keluarga mereka di kampung. Yang penting dari kegiatan pemungutan rotan adalah munculnya struktur eksploitasi terhadap petanipetani pengumpul. Pada umumnya ada tiga aktor utama dalam kegiatan ini. Pertama, bos , yakni pedagang pembeli rotan. Umumnya memiliki mobil angkutan truck, dan pedagang barang-barang kebutuhan pokok. Bos menyediakan uang tunai untuk SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 16 membeli rotan dari petani pengumpul. Kedua, pelaksana, yakni kaki tangan bos di suatu tempat, yang melakukan transaksi pembelian rotan dengan petani pengumpul. Ketiga, karyawan atau petani pengumpul rotan. Struktur eksploitatif terutama terlihat pada perbedaan harga yang menyolok antara rotan yang dibeli pedagang rotan antar pulau dari bos dengan harga yang dibeli bos dari karyawan . Struktur ini dilanggengkan karena para karyawan kerap menumpuk utang mereka kepada bos sebelum masuk hutan. Lama kelamaan utang semakin membengkak dan menimbulkan hubungan ketergantungan karyawan kepada bos . Tetapi, satu hal yang menonjol dari penduduk asli baik di dataran tinggi maupun pesisir adalah akses mereka ke lembaga pendidikan. Ini bisa dimaklumi mengingat sejarah pendidikan telah berlangsung sangat lama di wilayah dataran tinggi bersamaan dengan masuknya misionaris Kristen. Terutama To Pamona dan To Mori sejak lama sudah memiliki akses ke lembaga-lembaga pendidikan. Sementara di wilayah pesisir, akses terhadap pendidikan terutama terjadi sejak kemerdekaan. Ledakan kopra telah memungkinkan penduduk di wilayah Ampana dan Tojo berkesempatan untuk menikmati pendidikan, baik di Gorontalo, Makassar, bahkan di Jawa. Berdirinya Universitas Tadulako di Palu dan didirikannya Universitas Sintuvu Maroso di Poso telah membuka kesempatan yang luas bagi penduduk * Sudah menjadi Kabupaten Morowali Sumber : Database YTM Tabel Komposisi Agama Berdasarkan Kecamatan di Poso Kecamatan 1981 1996 2001 Islam Kristen Hindu/ Islam Kristen Hindu/ Islam Kristen Hindu/ Budha Budha Budha Menui Kepulauan* 99,72 0,27 - 99,41 0,59 - 99,43 0,57 - Bungku Selatan* 99,56 0,43 - 98,19 0,56 1,23 98,14 0,59 1,27 Bungku Tengah* 96,93 3,06 - 94,42 1,70 3,87 94.84 1,37 3,82 Lembo* 3,34 96,65 - 35,43 60,15 4,47 35,57 59,97 4,45 Bungku Barat 92,82 1,72 5,46 Mori Atas* 11,58 88,24 0,18 14,49 85,51 - 20,31 79,69 - Pamona Selatan 3,44 96,54 0,01 22,87 63,64 8,96 34,65 57,28 8,07 Pamona Utara 8,52 89,35 2,12 8,84 88,56 2,58 15,44 82,16 2,40 Lore Selatan 2,61 97,39 - 7,11 92,89 - 6,02 93,58 - Lore Utara 1,56 98,43 - 9,68 90,32 - 11,58 88,42 - Poso Pesisir 41,19 49,58 9,22 46,59 45,45 7,95 45,55 45,49 7,96 Poso Kota 53,13 46,60 0,27 57,45 42,14 0,40 57,67 41,92 0,40 Lage 27,93 71,88 0,17 29,03 70,84 0,11 31,67 68,20 0,11 Tojo 73,31 26,26 0,01 74,49 25,51 - 74,32 25,68 - Petasia* 56,09 43,83 0,06 59,00 39,73 1,26 65,43 33,51 1,06 Bungku Utara* 71,64 28,35 - 69,26 25,88 4,84 70,43 24,91 4,66 Ulubongka 73,69 26,30 - 70,98 29,02 - 64,54 31,44 4,00 Ampana Tete 95,49 4,50 - 94,45 5,55 - 93,94 6,06 - Ampana Kota 94,75 4,75 0,48 94,42 5,33 0,23 96,88 2,67 0,45 Una-Una 98,96 0,96 0,07 98,84 1,07 0,07 98,86 1,06 0,08 Walea Kepulauan 98,49 1,32 0,17 98,17 1,83 - 99,37 0,54 0,09 SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 17 asli Poso untuk memasuki perguruan tinggi. Terjadi ledakan penduduk asli dengan latar belakang keluarga yang bervariasi secara ekonomi memasuki perguruan tinggi. Sebelum itu, kesempatan memasuki perguruan tinggi di Makassar, Manado atau di Jawa, terbatas dimiliki oleh anak-anak birokrat atau anak-anak petani kaya (pemilik kelapa atau cengkeh) dari penduduk asli setempat. Ledakan penduduk asli memasuki perguruan tinggi ini berlangsung paralel dengan hilangnya lahan-lahan pertanian. Banyak petani penduduk asli terpaksa menjual lahan-lahan pertanian mereka kepada para pendatang untuk membiayai sekolah anak-anak mereka. Biasanya kasus semacam ini terjadi di saat menghadapi ujian ahir, ketika banyak biaya harus dikeluarkan baik untuk tujuan-tujuan resmi maupun pungutan gelap atau pemerasan yang biasanya dilakukan oleh dosen-dosen mereka. Biasanya lahan dijual kepada pendatang, baik migran Bugis, Jawa dan Tionghoa. Yang penting adalah generasigenerasi terdidik penduduk asli inilah yang kemudian mengisi birokrasi pemerintahan paska kemerdekaan 1945. Sesudah Poso menjadi daerah (kabupaten) dan Sulawesi Tengah menjadi propinsi yang berdiri sendiri terlepas dari Sulawesi Utara pada awal 1960-an, generasi-generasi penduduk asli inilah yang menguasai birokrasi pemerintahan, baik di Poso sendiri, bahkan sampai di Palu, ibu kota propinsi. Jumlah dalam ukuran besar terutama terjadi di masa Orde Baru. Penting dicatat, terjadinya persilangan etnis dan agama penduduk asli memasuki birokrasi pemerintahan paska kemerdekaan. To Pamona dan To Mori lebih awal memasuki dan menjadi elit birokrasi pemerintahan sejak kemerdekaan hingga masa awal Orde Baru. Pada paruh pertama Orde Baru peran mereka sangat signifikan. Sementara To Bungku dan To Ampana mulai menonjol perannya sejak Orde Baru, terutama pada masa ahir rezim Orde Baru hingga dewasa ini. Ketika pegawai negeri menjadi simbol baru dalam kedudukan sosial, maka pilihan menjadi birokrat pemerintahan merupakan keniscayaan bagi penduduk-penduduk asli yang sudah terdidik. Kendati untuk menjadi pegawai negeri, mereka harus meraup kocek dalam-dalam untuk menyogok pejabat yang memiliki kewenangan untuk itu. Nilai uang sogokan bervariasi antara dua sampai dengan lima juta rupiah. Biasanya, praktik penyogokan semacam ini didahului dengan hilangnya sebidang lahan pertanian atau beberapa ekor ternak (kerbau,sapi atau babi). Tetapi, hilangnya sebidang lahan pertanian penduduk asli karena keperluan menjadi pegawai negeri lebih merupakan fenomena penduduk asli kelas bawah. Sebab, penduduk asli yang sudah menjadi elit birokrasi pemerintahan, cenderung meng-gunakan jabatannya itu untuk memperoleh lahan pertanian dengan jumlah yang luas, kendati penduduk sekitarnya tidak punya lahan atau memiliki lahan sempit. Misalnya, sejumlah bekas pejabat Kabupaten Poso mengapling ratusan hektar tanah di sekitar Taripa, Kamba, Saemba, Barati, Salindu, ketika pemerintah hendak memindahkan eks transmigran Bahumotefe dan Bahudopi di Bungku Tengah dan Bungku Selatan, karena ekspansi PT Inco. Kehidupan ekonomi penduduk pendatang di Poso tidak bersifat homogen. Di berbagai tempat bisa ditemui Orang Bugis, Gorontalo, Jawa, Toraja yang tidak punya tanah, menjadi buruh tani, buruh bangunan atau buruh di pelabuhan. Di Kota Poso, misalnya, pendatang-pendatang asal Gorontalo dalam jumlah cukup besar yang tinggal di Kelurahan Lawanga, Bonesompe dan Kayamanya merupakan kelompok masyarakat miskin kota dengan profesi sebagai buruh (pelabuhan, bangunan, dan tani) harian. Tetapi, terdapat fakta yang menonjol, di mana pada berbagai tempat di seantero Poso, dapat ditemukan Orang Bugis atau Orang Jawa. Jika, menjadi petani, mereka memiliki lahan sawah yang luas, penggilingan padi, dan tanaman perkebunan (coklat dan/atau cengkeh). [] AS DERO : Bersatu dalam persaudaraan, bercerai dalam konflik. foto : doc. ytm SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 18 MEMANGKAS PEREDARAN SENJATA API DI POSO Oleh : Arianto Sangaji SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 19 SALAH satu faktor yang melestarikan kekerasan di Poso adalah luasnya peredaran senjata api dan amunisi di tangan penduduk sipil. Baik senjata api standar militer, senjata rakitan, maupun bom rakitan. Bahkan, pemakaian senjata api menandai transformasi penting dalam tindak kekerasan di Poso. Dari tindak kekerasan di Poso dapat dilihat pola-pola pemakaian senjata oleh penduduk sipil. Awalnya, serangan antar penduduk hanya memakai senjata-senjata tradisional, seperti parang, pisau, batu, tombak, dum-dum, panah Ambon, peluncur, bom ikan dan sebagainya. Semakin lama, penggunaan senjata mengalami perkembangan penting, yakni dari senjata tradisional bergeser ke senjata rakitan, bom-bom rakitan yang lebih eksplosif dan terahir senjata-senjata api standar tempur. Dengan demikian, tragedi kemanusiaan Poso telah mencerdaskan warga Poso dalam pengertian yang menyedihkan. Mereka tidak saja semakin mahir menggunakan, tetapi juga merakitnya. Budaya bersenjata api nyaris menjadi subkultur tersendiri di Poso. Senjata standar tempur militer Di Poso, sudah menjadi rahasia umum tentang luasnya peredaran senjata tempur standar militer, yakni senjata serta amunisi yang secara resmi digunakan di lingkungan militer. Di antaranya senjata laras panjang seperti M-16 buatan Amerika, Avtomat Kalashinikov (AK) 47 buatan Rusia, SS-1 buatan PT Pindad Indonesia, dan bahkan senjata otomatis berukuran kecil Uzi. Sedangkan, senjata organik jenis pistol yang digunakan, di antaranya revolver dan FN berbagai jenis. Seperti diketahui, berbagai kesatuan di lingkungan TNI dan Polri menggunakan senjata-senjata itu. Misalnya, semua kesatuan infantri TNI AD memakai M-16 dengan kaliber 5,56 mm. Di lingkungan kepolisian, Brimob dan Sabhara menggunakan M-16 A-1 dengan kaliber 5,56 mm. Kopassus dan Marinir memakai AK- 47 dengan kaliber 7,62 mm. Brimob mulai menggunakan AK-47 dengan kaliber 5,56 mm. Brimob dan semua kesatuan di lingkungan TNI juga menggunakan SS-1 dengan kaliber 5,56 mm. Paspanpres memakai Uzi kaliber 9 mm. Khusus senjata laras pendek, kesatuan Sabhara, Reserse, dan Polantas memakai pistol jenis revolver dengan kaliber 9 mm. Komandan regu, kompi, dan peleton Brimob memakai pistol FN dengan kaliber 9 mm, sedangkan FN 45 dan FN 46 dipakai oleh semua kesatuan TNI. PEMUSNAHAN SENJATA : Tidak memangkas sumber hulu penyebaran. foto : doc. ytm SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 20 Tragedi kemanusiaan Poso telah menyeret warga sipil di Poso terperangkap dalam jaringan perdagangan senjata. Warga memperoleh senjata dan amunisinya dari pasar gelap. Harga M-16 dan AK- 47 berkisar antara Rp.7 juta sampai Rp. 8 juta, sementara SS-1 antara Rp.6 juta sampai Rp.7 juta. Sementara harga pistol antara Rp. 2 sampai Rp. 3 juta. Sementara harga peluru bervariasi antara Rp. 1.500 sampai dengan Rp. 5.000 perbutir. Harga senjata api dan amunisinya bersifat elastis, tergantung eskalasi kekerasan. Pada saat peningkatan eskalasi kekerasan, maka harga juga ikut melambung. Sebaliknya, harga merosot pada saat situasi relatif damai. Untuk mengelabui aparat keamanan, biasanya warga memodifikasi penampakan luar senjata. Misalnya, mengecat ulang dengan warna biru, kuning, atau warna lainnya. Atau, mereka merubah bagian-bagian luar senjata, tanpa mengurangi kemampuannya. Bagaimana proses perjalanan senjata-senjata sampai ke tangan warga Poso ? Ada beberapa sumber. Di antaranya berasal dari jaringan penyelundupan yang memanfaatkan pintu masuk Sangihe Talaud dari Philipina bagian Selatan. Dari sana senjata itu masuk ke Bitung atau Manado untuk selanjutnya dipasok ke Poso melalui perjalanan darat. Biasa juga langsung dari Sangihe Talaud, senjata-senjata itu diangkut melalui perjalanan laut ke Pantai Barat sekitar Pangalaseang atau di daerah sekitar Surumana di Kabupaten Donggala, untuk selanjutnya dikirim ke Poso melalui laut dari Parigi atau dari daerah sekitarnya. Tetapi, ketika situasi keamanan relatif aman, di mana aparat keamanan mengurangi penjagaan, maka dengan mudah senjata itu diangkut ke Poso melalui darat. Selain itu, jalur penyelundupan senjata ke Poso yang bersumber dari Philipna Selatan juga memanfaatkan pintu masuk dari Tawao. Dari sini, senjata dan amunisi dimasukkan melalui Nunukan di Kalimantan Timur, dan memasukkannya ke Poso melalui Palu atau melalui Pare-Pare Sulawesi Selatan. Jalur Tawao Nunukan memang dikenal sebagai pintu masuk keluar penyelundupan. Di depan sidang Pengadilan Negeri Palu 4 Desember 2003, M Nasir Abbas seorang warga Malaysia yang dituduh anggota Jemaah Islamiyah menyatakan pernah memanfaatkan jalur ini untuk mengirimkan empat pucuk senjata laras panjang dan empat pucuk senjata laras pendek ke Ambon. Penyebaran senjata dan amunisi ke Poso juga memanfaatkan pintu masuk sekitar Teluk Tomori. Senjata dan amunisi diselundupkan ke Kolonodale atau melalui daerah sekitar Bungku Selatan. Tidak diketahui, sumber-sumber senjata itu, tetapi beberapa sumber menyebutkan juga berasal dari Philipina Selatan, di samping berasal dari Makassar yang diselundupkan melalui Kendari. Pintu lain adalah jalan darat Makassar Palopo Pendolo (Kecamatan Pamona Selatan). Tetapi, penyelundupan melalui jalur ini tidak begitu aman, terutama pada saat eskalasi kekerasan meningkat. 11 Februari 2003, aparat TNI yang berjaga di pos Watumaeta Pendolo berhasil menyita 72 butir amunisi kaliber 9 mm merek Luger dan menahan Ir Rudi Cokrosimon, Uthan Octavianus, Malau Cokrosimon, dan Dilkaminus Binela, karena dari mobil panther DN 323 E yang mereka tumpangi dari Makassar menuju Morowali aparat menemukan amunisi itu. Mereka mengakui ke-72 amunisi itu diperoleh dari seorang pensiunan TNI. Jalur lain adalah Makassar Mamuju Donggala. Dari jalur ini, senjata dan amunisi diangkut dengan angkutan bus. Dibanding Jalur Makassar Pendolo, jalur ini jauh lebih aman, kendati keadaan jalannya tidak begitu bagus. Selain itu, sumber penyelundupan juga berasal dari Jawa. Perjalanan dari Jawa ke Poso melalui laut, dengan menggunakan kapal angkutan milik PT PELNI, dengan route Surabaya Makassar Balikpapan Pantoloan atau juga kapal angkutan barang route Surabaya Donggala. Kemudian, senjata dan amunisi itu diselundupkan ke Poso. Polisi pernah mematahkan jalur penyelundupan ini, yakni dalam kasus penyitaan 2.846 amunisi dan 15 pucuk senjata api di KM Ngapulu di Pantoloan 3 Oktober 2002, yang melibatkan Farihin Ibnu Ahmad dan Siswanto Ibrahim. Kasus penyelundupan dari Jawa juga bisa dilihat dalam peristiwa penyitaan sejumlah amunisi yang disimpan oleh sejumlah orang yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai anggota Jamaah Islamiah di Palu. Dalam Berita Acara Pemerikasaan (BAP) polisi, Muhammad Nasir Abas menyatakan adanya pengiriman sekitar 2.000 butir amunisi senjata laras panjang M-16 (5,56 mm) ke Palu. Dalam kesaksiaannya di depan sidang Pengadilan Negeri Palu tanggal 4 Desember 2003, Nasir Abbas kembali mengakui pernyataannya di dalam BAP. Menurutnya, Mustofa yang mengirimkan amunisi tersebut melalui seseorang yang bernama Sigit dari Jakarta. Lantas, Mustofa mengontak Nasir Abbas melalui SMS (short message service) telepon genggam tentang pengiriman barang dagangan (sandi untuk senjata dan amunisi) itu. Nasir Abbas kemudian memerintahkan Nizam Khaleb SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 21 menjemputnya di pelabuhan Pantoloan Palu. Kemudian, penyebaran senjata dan amunisi di Poso juga bersumber dari kesatuan TNI/Polri yang jatuh ke tangan masyarakat melalui mekanisme ilegal. Banyak informasi tentang sumber peredaran senjata dan amunisi dari oknum-oknum TNI/ Polri, dengan berbagai motif, di antaranya yang paling menonjol adalah empati terhadap salah satu kelompok yang bertikai. Indikasi penyebaran senjata dan amunisi yang bersumber dari TNI/ Polri dapat dilihat dari beberapa kasus. Salah satu di antaranya, 29 Mei 2000, aparat keamanan berhasil menyita sebuah magazin berisi 25 butir peluru M-16 dari tangan Hani dan Vera (penduduk Desa Pinedapa Kecamatan Poso Pesisir). Pada tas magazin yang juga ikut disita terdapat tulisan A Sanara Yonif 711 Kompi B Operasi Rajawali Irja. Ini menunjukan bahwa amunisi itu bersumber dari anggota TNI, kendati keduanya mengaku memperolehnya dari seseorang yang tidak mereka ketahui. Penyebaran senjata dan amunisi standar tempur militer di Poso ibarat fenomena gunung es. Beberapa kasus penyelundupan yang pernah diungkap aparat sebenarnya hanya merupakan puncak gunung yang terlihat, tetapi yang tersembunyi adalah punggung dan dasar gunung yang jauh lebih banyak. Banyak senjata dan amunisi masih dikuasai oleh warga, jauh melebihi jumlah yang pernah disita oleh aparat. Tidak heran, beberapa sumber meyakinkan bahwa sejumlah pengusaha di Poso dan Morowali (sekurang-kurangnya) memiliki pistol FN dan revolver. Tetapi beredarnya senjatasenjata itu di tangan penduduk sipil mengundang kekhawatiran besar. Betapa rendahnya kemampuan aparat keamanan menjaga wilayah perbatasan Republik Indonesia, jika senjata-senjata itu diselundupkan dari luar negeri. Luasnya penyelundupan senjata memperlihatkan rapuhnya aparat keamanan negara. Yang paling serius mengundang tanda tanya masyarakat adalah penyebaran senjata dan amunisi buatan PT Pindad, perusahaan milik TNI-AD. Bagaimana mungkin senjata dan amunisi itu bisa jatuh ke tangan penduduk sipil? Mengapa tidak pernah ada investigasi terhadap sumber hulu penyebaran senjata dan amunisi buatan PT Pindad itu? Padahal, sebuah investigasi yang sungguhsungguh dipastikan akan dapat BOM RAKITAN : Lebih eksplosif sejak tragedi kemanusiaan pecah di Poso. foto : do c. ytm SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 22 mengungkapkan siapa otak di balik penyebarannya. Dalam kasus Farihin, misalnya, masyarakat bertanya-tanya, mengapa aparat keamanan hanya mengambil tindakan hukum kepadanya? Seperti diketahui, tanggal 2 Oktober 2002, aparat keamanan berhasil menggagalkan penyelundupan ribuan amunisi oleh Farihin melalui KM Ngapulu di Pelabuhan Pantoloan. Di antara boks amunisi itu tertera tulisan PT Pindad. Dari peristiwa ini, Majelis Hakim sudah memvonis Farihin tiga tahun penjara. Sampai di sini, aparat penegak hukum cukup tegas mengambil tindakan hukum. Padahal, sebuah investigasi yang sungguh-sungguh pasti mengungkap aktor penting yang menyuplai amunisi ke tangan Farihin. Toh, PT Pindad hanya menyuplai amunisi ke kesatuan TNI dan Polri. Dengan demikian, dapat diduga bahwa dari ketiga institusi itu, kemungkinan Farihin memperolehnya. Dengan menyelidiki nomor seri dan tahun pembuatan amunisi, maka aparat keamanan bisa melacak kesatuan mana di lingkungan TNI atau Polri yang memperoleh amunisi itu. Kemungkinan lain, Farihin memperoleh langsung atau mata rantai yang menghubungkannya dengan PT Pindad. Olehnya, sangat mudah bagi aparat keamanan untuk menginvestigasi perusahaan ini. Senjata rakitan Selain senjata standar tempur militer, juga banyak penduduk sipil di Poso menguasai senjata rakitan. Yakni, senjata api laras panjang dan pendek yang dirakit secara khusus, tetapi menggunakan magazin dan amunisi yang umum dipakai senjata organik. Dengan demikian, kemampuan senjata rakitan hampir setara dengan senjata organik. Pembuatan senjata rakitan mengikuti pola senjata standar tempur dan senapan angin yang umumnya beredar di masyarakat. Di antaranya senjata laras panjang seperti M-16, SS-1, dan AK-47, serta senjata laras pendek FN dan revolver. Konon, senjata rakitan buatan Ampana dikenal paling baik kualitasnya. Mengapa tiba-tiba senjata rakitan diproduksi dalam jumlah begitu banyak di daerah ini? Kekerasan yang berlarut-larut memang telah memaksa warga MENKO KESRA YUSUF KALLA : Senjata rakitan hadir karena aparat keamanan tidak mem berikan rasa aman. Banyak orang telah mati dengan sia-sia. foto : doc. ytm SEPUTAR RAKYAT/Edisi 02/Tahun II/Desember 2003-Januari 2004 23 menjadi semakin terlatih membuat senjata rakitan. Untuk laras senjata, biasanya warga menggunakan shockbreaker sepeda motor bekas atau potongan pipa besi baja. Dengan mudah warga mengelas potongan besi itu di bengkelbengkel las yang tersebar di berbagai tempat di Poso atau di Palu. Sementara itu, pembuatan popor senjata cukup memakai potongan kayu. Sejauh ini aparat keamanan tidak pernah mengungkap pelaku pembuatan senjata rakitan di Poso. Padahal sudah diketahui umum bahwa perakitan senjata menyebar luas di berbagai tempat di Poso, di antaranya Ampana, Tentena, Kolonodale, Bungku, dan Kota Poso sendiri. Kecuali, prestasi aparat kepolisian menangkap seorang penjual ikan dan seorang tukang las, karena merakit senjata api di Kelurahan Tawaeli, Kecamatan Palu Utara Kotamadya Palu, 27 Mei 2003 lalu. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Palu, keduanya dituntut satu tahun kurungan penjara oleh jaksa penuntut umum, karena melanggar pasal 1 ayat 1 UU Darurat No.12 tahun 1952. Belum diketahui apakah senjata rakitan itu untuk pemakaian di Poso, tetapi sebagian senjata rakitan yang beredar di Poso memang berasal dari Palu. Warga bukan hanya terlatih merakit senjata, tetapi juga amunisinya. Biasanya, warga mengumpulkan selongsong peluru yang ditembakkan dari senjata standar tempur, untuk kemudian merakitnya kembali. Dengan demikian, kemampuannya hampir setara dengan kemampuan amunisi aslinya. Sejauh ini, senjata rakitan masih menyebar luas di kalangan penduduk sipil, hampir di semua kecamatan di Kabupaten Poso dan Morowali. Kendati warga telah menyerahkan puluhan ribu senjata rakitan itu kepada aparat keamanan sejak Deklarasi Malino. Karena, penduduk dengan mudah merakit ulang senjata-senjata itu. Bom rakitan Tragedi kemanusiaan Poso juga diwarnai dengan penggunaan bom khususnya bom rakitan. Banyak korban berjatuhan akibat diterjang bom. Juga, ramai terjadi teror bom, dengan meletakkannya di tempattempat tertentu. Khusus bom rakitan, pada umumnya nelayan-nelayan tradisional di Poso menggunakan bom untuk menangkap ikan. Dalam tragedi kemanusiaan Poso sebagian bom diperoleh dari para nelayan ini. Ketika, terjadi tragedi kemanusiaan pada April 2000, para penyerang menggunakan bom-bom rakitan buatan para nelayan. Tetapi, pemakaian bom rakitan semakin ramai ketika muncul milisimilisi di Poso. Mereka adalah anggota masyarakat yang semakin terlatih dalam perakitan bom, menyusul berlarutnya tragedi kemanusiaan di Poso. Bom yang meledak di Kayamanya Kota Poso (7 Agustus 2003) yang menewaskan Manto, diduga merupakan bom yang dirakitnya sendiri. Bahkan, Poso merupakan Kawah Candradimuka bagi perakit bom. Jasmin, seorang yang diduga sebagai pelaku peledakan bom yang menewaskan empat orang di Sampoddo Indah Café di Palopo Sulawesi Selatan 10 Januari 2004 mengakui memperoleh ketrampilan itu dari Poso. Rasa aman Alasan penduduk sipil memiliki senjata api memang macam-macam. Sebagian memang dipakai untuk menyerang warga sipil lainnya. Kasus penyerangan di Beteleme pertengahan Oktober 2003 merupakan salah satu contoh, di samping berbagai kasus lainnya. Tetapi, pemilikan senjata api juga bermotifkan perlindungan diri. Warga menganggap, tragedi Poso yang berjilid-jilid membuktikan aparat keamanan sama sekali tidak bisa memberikan rasa aman. Banyak orang telah mati sia-sia. Negara (baca : aparat keamanan) telah gagal menjamin keselamatan warga sipil. Karenannya, pemilikan senjata api dimaksudkan sematamata untuk membela diri. Sewaktuwaktu senjata itu bisa digunakan kalau ada serangan tiba-tiba. Jadi, bukan dipakai untuk menyerang penduduk sipil lainnya. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, aparat keamanan mesti melakukan tiga tindakan sekaligus. Pertama, meminta warga menyerahkan senjata api dan amunisi, serta bahan peledak secara sukarela atau melucutinya secara paksa. Tindakan aparat melakukan sweeping senjata api dan bahan peledak belakangan ini patut didukung. Kedua, aparat harus menjamin warga Poso bahwa mereka terbebas dari tindakan kekerasan, tanpa harus memiliki senjata api. Biarkan penguasaan senjata api hanya berada di tangan pemegang otoritas keamanan, dan yakinkan warga bahwa mereka akan bebas dari ancaman kekerasan. Ketiga, penanganan terhadap penyebaran senjata api dan amunisi di Poso tidak cukup dilakukan dengan menghimbau warga menyerahkannya secara sukarela atau paksa. Yang perlu dilakukan aparat keamanan adalah memutus mata-rantai penyebaran dengan memangkas sumber hulunya. Tanpa itu, aparat akan selalu dicurigai atau bahkan dianggap merupakan bagian dari tindak kekerasan bersenjata. []