Anda di halaman 1dari 7

Sebuah Ulasan Ringkas Novel Cinthini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin Karya

Sunardian Wirodono oleh Dhian Hari M.D. Atmaja.

Bagian I Pendahuluan

Novel Centhini sebagai (yang menurut saya merupakan) interpretasi ulang dari Serat
Centhini yang ditulis pada tahun 1815 oleh Sri Susuhunan Pakubuwana V dapat
memberikan wawasan kepada generasi muda tentang karya sastra Nusantara lama
(dibaca juga dengan: kuno). Novel panjang Centhini ini memberikan gambaran pada
generasi muda tentang bagaimana nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam
kesusastraan Indonesia Lama (Kesustraan Lama) yang saat ini sulit untuk
dipahamioleh khalayak publik yang lebih luas. Kesulitan dalam proses pemahaman
ini bukan karena faktor apapun selain karena faktor bahasa dan minat generasi
muda pada Sastra Lama. Faktor bahasa dikarenakan karena Centhini yang ditulis
oleh Susuhunan Pakubuwana V adalah kesustraan dengan bahasa Bahasa Jawa
Klasik.

Kondisi semacam ini menjadikan nilai-nilai yang terkandung di dalam Sastra Lama
(scara khusus dalam hal ini adalah Centhini) tidak mampu terpahami oleh generasi
muda mengingat perkembangan Bahasa Jawa dalam kehidupan modern saat ini
semakin menurun. Bagi masyarakat modern sekarang ini, khususnya bagi mereka
yang sama sekali tidak mengenal bahasa Jawa akan menemui kesulitan bahkan
tidak bisa memahami (baca: membaca) dalam proses pemaknaan Centhini.

Fenomena ini menjadikan Centhini hanya sebagai bahan yang tidak menjadi
konsumsi publik secara umum. Hanya beberapa pihak saja yang mampu
mendapatkan jaringan untuk mengakses Centhini dan kemudian membacanya.
Pihak-pihak ini sangatlah minoritas hanya berkisar antara para Akademisi Sastra
dan Budaya Indonesia, Jawa, dan para pegiat Seni Jawa. Kondisi ini pulalah yang
membawa Centhini sebagai karya sastra yang kemudian disebut dengan artefak
asing yang kemudian terkoleksi begitu saja di dalam perpustakaan-perpustakaan.
Bahkan secara lebih memprihatinkan lagi (kalau tidak boleh dikatakan dengan lebih
menyedihkan) Serat Centhini jarang atau sangat sulit diemukan di dalam
perpustakaan-perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi.
Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin karangan Sanardian Wirodono hadir
dalam khasanah Sastra Indonesia dengan bahasa Indonesia dan muatan yang
(dapat dikatakan) lebih ringan dari Serat Centhini . Centhini: 40 Malam Mengintip
Sang Pengantin muncul sebagai angin segar yang membawa (mengangkat)
kesejukan pemikiran dan nilai-nilai kearifan budaya lokal (Jawa) di tengah deru-
debur dunia modern.

Novel panjang yang menceritakan tentang pernikahan Syekh Amongrogo


(jayengresmi) dengan Tambangraras merupakan gambaran dari tradisi masyarakat
Jawa dalam melangsungkan hajatan pernikahan. Sistematika dari tatacara
pernikahan masyarakat Jawa digambarkan dengan detail oleh Wirodono. Hal ini
sebenarnya sudah diungkapkan terlebih dahulu dalam Kata Pengantar yang saya
kutip sebagai berikut:

… banyak bertutur mengenai urutan upacara pengantin Jawa, mulai dari Ijab,
panggih (mempertemukan kedua mempelai), pahargyan (resepsi), kemudian
sepasaran (lima hari dari Ijab), ngunduh pengantin, mendirikan rumah, dan
boyongan. Baru setelah melewati 40 hari, dalam tradisi Jawa, pengantin harus telah
berdiri sendiri sebagai rumah tangga baru dengan rumah milik sendiri. … (Wirodono,
2009: 24-25).

Apabila secara sekilas kita membaca judul novel Centhini: 40 Malam Mengintip
Sang Pengantin ini, para pembaca akan diarahkann dalam cakrawala harapan, yaitu
untuk menyaksikan 40 malam pengantin yang mendebarkan. Untuk pertama kali
yang terlintas adalah harapan untuk mendengar cerita dari Centhi (nama tokoh)
yang mengungkap tentang 40 malam pengantin baru dalam melewati malam-
malamnya. Bagaimana sang pengantin dalam melewati 40 malam pertama mereka?
Cakrawala harapan pembaca akan langsung mengarah pada hubungan seksualitas
sang pengantin.

Kalau memang hal tersebut yang kita harapkan dengan membaca Centhini: 40
Malam Mengintip Sang Pengantin karya Wirodono terbitan Diva Press ini, sungguh-
sungguh pembaca akan kecewa. Pembicaraan seksualitas di dalamnya begitu rapi
dan hampir saja tidak ada. Pertanyaannya, apa yang dilakukan sang pengantin
selama 40 malam tersebut? Adakah hubungan seksualitas di sana? Bagaimana
darah pertama itu tumpah? Apakah merek masih malu untuk berhubungan seksual?
Ataukah mereka tidak bisa melakukan hubungan seksualitas itu? Atau bagaimana?

Itulah pertanyaan saya yang timbul untuk pertama kalinya. Awalnya kecewa setelah
saya membaca setiap malamnya (maksud sayaadalah setiap babak/ malam di
dalam novel), saya menemukan sesuatu yang lebih menggairahkan. Sesuatu yang
lebih membuat saya semakin bergairah menjalani mala-malam nikmat saya (yang
notabene: adalah juga sang pengantin). Saya menemukan banyak hal yang
membuat bulu-roma berdiri dengan cepat, dan juga membuat saya lebih ter-enggah-
enggah. Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin benar-benar memukau yang
memberikan pemahaman akan kesejatian makna.

Bagian II

Serat Centhini (yang dapat dikatakan sebagai) adalah kitab masyarakat Jawa di
dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Di dalam serat Centhini yang ditulis pada
tahun 1815 tersebut, merupakan perpaduan dari tiga pujangga keraton Surakarta,
yaitu Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Tumenggung Sastranegara, dan oleh Ki
Ngabehi Sastradipura, yang merupakan gambaran dari kehidupan dari masyarakat
Jawa di dalam menjalani kehidupan. Adanya perkembangan di dalam kehidupan
masyarakat Jawa di dalam sistem kepercayaan, yaitu dengan menyebarnya agama
Islam di dalam masyarakat Jawa secara luas, Pabubuwana V mengutus Ki Ngabehi
Sastradipura untuk mendalami agama Islam (Wirodono, 2009: 12).

Nilai-nilai budaya Islam yang terkandung di dalam Centhini, khusunya yang dalam
Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin merupakan ajaran yang indah dan
mengesankan. Di dalam novel yang ditulis Wirodono (2009) tersebut sebagai suatu
penjabaran dengan gaya bahasa yang lebih ringan dan dapat dikosumsi oleh
masyarakat luas dari pada naskah aslinya. Hal ini mengingat bahwa Serat Centhini
(1815) ditulis dalam bahasa Jawa Klasik sehingga tidak setiap orang mampu
memahami pesan di dalamnya.

Nilai yang terkandung di dalam novel itulah yang membuat saya merasa lebih
bergairah untuk terus membaca. Syekh Amongrogo banyak mengungkapkan
nasehat (baik yang diungkapkan oleh Syehk Amongrogo sendiri maupun yang
diungkapkan ulang oleh Centhini) untuk warga Wanamarta, Istrinya (Tambangraras),
dan juga untuk kita, publik pembaca.

Melalui Bagian II dari ulasan tentang Novel Centhini: 40 Malam Mengintip Sang
Pengantin karya Sunardian Wirodono, saya menuliskan kembali (yang tentu saja
disertai dengan interpretasi subjektivitas dan objektivitas saya) dua nasehat Syekh
Amongrogo tersebut. Saya hanya mengungkapkan dua saja dan nasehat lainnya
masih begitu banyak dan lebih membuat pembaca masuk di dalam perenungan.

Peperangan

Sebuah negara dalam masa perjuangan dalam usaha pembentukan (berdirinya


negara tersebut) dapat dikatakan selalu saja diawali dengan peperangan. Di dalam
negara yang sudah damai pun, peperangan terus terjadi di dalam golongan-
golongan masyarakat. Peperangan tidak harus dalam bentuk kontak senjata antara
dua negara besar dalam merebutkan wilayah, namun pertikaian antara dua
golongan masyarakat pun dapat dikatakan sebagai peperangan. Bahkan, pertikaian
antara individu dengan individu yang lain juga dapat lihat sebagai bentuk dari
peperangan.

Perang atau peperangan merupakan bagian dari permasalah sosial, diantara


beberapa masalah sosial yang lain yang menjadi bahasan ilmu Sosiologi. Syekh
Amongrogo (atau Jayengresmi) memandang masalah peperangan dengan sangat
bijak. Pandangan Syekh Amongrogo ini dikeluarkan saat masih menggunakan nama
Jayengresmi sebagai putra dari Sunan Giri, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Perang tidak akan menyelesaikan persoalan,” Jayengresmi mendebat Endrasena.


“Perang yang sesungguhnya adalah bagaimana kita mampu menaklukkan kehendak
jiwa….” (Wirodono, 2009: 33).

Penggalan nasehat dari Novel Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin


memberikan penekanan pemikiran bahwa perang yang sebenarnya adalah melawan
keinginan-keinginan seseorang yang ada di dalam diri sendiri. Dengan kata lain,
dikatakan bahwa perang adalah usaha untuk menundukkan diri sendiri, melawan diri
sendiri. Usaha ini mengarahkan untuk mengalahkan hawa nafsu dimana setiap
permasalahan sosial (khususnya perang) dilahirkan dari dorongan-dorongan yang
timbul di dalam pribadi seseorang maupun kelompok.

Konsep memerangi diri sendiri dapat juga dilihat dalam filosofi ibadah puasa baik
puasa Ramadhan maupun puasa sunah. Dimana ibadah ini menciptakan suatu
batasan-batasan yang dengan tujuan mengekang pelepasan hasrat manusia yang
tidak terkontrol. Puasa sebagai ikrar untuk memerangi diri sendiri.

Perang melawan diri sendiri sebagai puncak dari perjuangan seseorang dalam
menciptakan kehidupan kolektif yang rukun. Rukun berarti keadaan damai tanpa
adanya perselihan yang sampai menimbulkan keriguan pada orang lain maupun diri
sendiri. Mencermati dan memahami gambaran dari pemikiran seperti ini, dunia akan
menjadi lebih baik andaikata setiap individu memahami dan menerapkan konsep
perjuangan yang diungkapkan oleh Jayengresmi. Perang adalah melawan diri
sendiri.

Kesabaran

Sebuah kaitan yang menentukan di dalam mewujudkan konsep hidup damai (baca
juga dengan: rukun) setiap manusia hendaknya memiliki kesabaran di dalam dirinya.
Kesabaran seolah-olah datang di dalam kehidupan manusia sebagai celah dan
ruang ( dan atau kesempatan) yang memberikan seseorang waktu untuk berpikir.
Kesabaran inilah yang akhirnya menjadi modal dasar untuk membentuk karakter
individu yang pada akhirnya membentuk karakter serta perilaku kehidupan sosial
masyarakatnya.

Didasarkan pada arti pentingnya kesabaran, agama dan juga norma sosial juga ikut
menggarisbawahi aspek ini. Kesabaran sebagai kontrol individu yang menjadikan
manusia lebih bijaksana. Di dalam kehidupan sosial diperlukan adanya kontrol sosial
untuk mewujudkan keselarasan kehidupan bermasyarakat. Mewujudkan kontrol
sosial yang baik, manusia (atau individu) membutuhkan adanya kontrol diri sendiri
yang kemudian disebut pula dengan kesabaran.
Syekh Amongrogo, melalui deskripsi yang diungkapkan oleh Centhini memberikan
konsep kesabaran dengan lebih dalam. Konsep kesabaran tersebut mengarahkan
individu pada kesejatian hidup, yang dapat dilihat dalam penggalan di bawah ini:

Karena kesabaran itu tiada batas, maka ia mestilah karena keihklasan. Ikhlas,
bahwa semua itu pastilah Allah yang berkehendak. Allah-lah yang mengatur
semuanya. Manusia hanyalah melakoninya, menjalaninya. Manusia diwajibkan
untuk berikhtiar, namun fitrahnya itu harus berpulang pada kuasa Allah. Dan, kita
hanya pasrah mengenai hasilnya (Wirodono, 2009: 113).

Konsep kesabaran di atas memberikan gambaran bahwa setiap individu harus


mengembalikan setiap hal pada Allah. Kesabaran tidak lantas membawa individu
pada keadaan pasif tapi individu harus aktif. Hanya saja keaktifan itu disertai dengan
rasa yang ikhlas untuk mengembalikan semua keputusan pada Allah. Mungkin inilah
konsep yang sangat dekat dengan filosofi Jawa: Nrimo ing Pandhum, yang merujuk
pada aspek kesabaran.

Nilai sabar yang ada di dalam kehidupan manusia membawa pada kesejatian makna
tentang asal usul kehidupan (manusia). Segala sesuatu hanyalah milik Allah, dari
Allah, dan akhirnya pun akan kembali pada Allah. Tidak ada tempat lain bagi
kehidupan (manusia) di akhir perjalanannya selain di sisi Allah, sebagai AWAL dan
juga sebagai AKHIR.

Ketika manusia sudah menerapkan sikap untuk menjalani kehidupan dengan


kesabaran yang penuh keikhlasan, tidak akan ada lagi penderitaan yang akan
mendatangi kehidupan manusia. Segala derita yang ada akan membawa manusia
pada keadaan untuk mau menghayati bahwa segala sesuatu dari Allah, sebagai
bentuk dari kasih sayang Allah pada manusia. Penderitaan namun akan terasa
sebagai kasih sayang. Inilah kekuatan sabar yang tiada batas.

***

Uraian tentang dua nasehat sebagai bagian dari kehidupan manusia, yang
disampaikan di dalan Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin karangan
Sunardian Wirodono, adalah kandungan kecil dari konsep-konsep nasehat yang
lebih banyak lagi yang ada di dalam novel tersebut. novel ini hadir di tengah-tengah
kehidupan bangsa Indonesia post-modern sebagai tontonan dan tuntunan (hiburan
dan tuntunan). Konsep pemikiran arif dan bijaksana di masa lalu dihadirkan kembali
ke masa sekarang oleh Wirodono. Nilai yang membanggakan dan menggetarkan
hati sebagai orang Jawa (dan Indonesia).

Inilah nilai yang indah dari kehidupan. Bukan hanya sekedar seksualitas, percintaan,
hasrat akan harta yang dihamburkan di dalam pesta atau derajat-derjat yang tinggi
di dunia. Akantetapi, nilai yang membawa nalar pada suatu kesejatian, kebaikan
universal yang diungkapkan dengan semangat dan darah Jawa untuk Manusia.

Mengakhiri ulasan yang sangat singkat ini, saya ingin mengungkapkan hal yang
saya pahami, BAHWA manusia akan menjadi lebih berharga dengan ilmu!
[Phenomenology Institute | Dhian Hari M.D. Atmaja]

*** Selamat membaca novel Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin karya
Sunardian Wirodono. Selamat menyelami gelora nalar dan hati ***

Daftar Pustaka:

Wirodono, Sunardian. 2009. Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin.


Yogyakarta: DIVA Press.

Sumber: phenomenologyinstitute.wordpress.com.

Anda mungkin juga menyukai