Anda di halaman 1dari 9

Proposal PTK ANIK (IPA)

Halaman 1-2

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa salah satu tujuan


nasional adalah ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Usaha untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa berarti mencerdaskan manusianya. Hal ini dapat diwujudkan atau dilaksanakan
dalam pendidikan.
Dalam penyelenggaraan pendidikan khususnya pendidikan dasar pada jenjang
Sekolah Dasar (SD) masih perlu ditingkatkan lagi untuk membentuk lulusan yang
berkualitas, berkompeten, dan mempunyai keterampilan atau kemempuan yang nantinya
akan dapat digunakan sebagai bekal dalam kehidupan bermasyarakat.
Usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan harus memperhatikan komponen-
komponen pendidikan yang dapat membentuk situasi yang memungkinkan terjadinya bentuk
kegiatan belajar mengajar yang optimal. Komponen pendidikan itu adalah siswa, guru,
tujuan, isi pelajaran, metode, media, dan evaluasi. Komponen-komponen tersebu saling
berinteraksi satu dengan yang lain dan bermuara pada tujuan.
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada tingkat pendidikan dasar
dipandang sebagai tahap awal dari upaya formal untuk memberikan bekal kemampuan
pemahaman tentang IPA kepada siswa yang diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa
untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut
dalam menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Sehingga IPA diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang
dapat diidentifikaskan.
Dalam kegiatan belajar mengajar IPA, guru tidak hanya memberikan sejumlah
konsep IPA kepada siswa untuk dihafalkan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana
konsep-konsep itu dapat bertahan lama pada siswa sehingga dapat mempengaruhi proses
belajar (Mustafa, Jurnal Pendidikan Dasar). Konsep itu dapat diterapkan untuk memahami
dan memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan tentang ke-
IPA-an.
Namun pembelajaran IPA saat ini, masih banyak guru yang menekankan siswa
untuk menghafal materi IPA. Guru cenderung menilai kognitif siswa daripada keterampilan

1
proses IPAnya. Selain itu dalam rangka pembelajaran, banyak metode alternatif yang dapat
dipilih guru, tetapi permasalahannya bagaimana memilih dan menggunakan metode yang
dapat menampilkan kegiatan belajar siswa yang optimal dan banyak menampilkan segi-segi
keterampilan proses.
Syaiful Bahri (2005:276) menyatakan bahwa metode mengajar mempunyai
hubungan erat dengan keterampilan proses dalam bentuk mengamati, menggolongkan,
menafsirkan, meramalkan, menerapkan, merencanakan penelitian dan mengkomunikasikan.
Dari empat metode yaitu pemberian tugas, eksperimen, proyek, dan diskusi dapat
dikembangkan tujuh keterampilan proses. Artinya keempat metode tersebut apabila
digunakan dalam pembelajaran dan disesuaikan dengan materi yang diajarkan dapat
mengembangkan keterampilan proses IPA siswa.
Peneliti menggunakan metode eksperimen untuk meningkatkan keterampilan
proses IPA. Metode eksperimen itu adalah cara penyajian pelajaran dimana siswa
melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari.
Harus disadari oleh seorang guru adalah, bahwa pelaksanaan eksperimen
memerlukan suatu persiapan yang matang, memerlukan jangka waktu yang lama, dan
membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Oleh karena itu, agar penyelenggaraan eksperimen
tidak mengalami kegagalan atau hambatan-hambatan, hendaknya guru berlatih atau
mencoba terlebih dahulu.
Melalui eksperimen siswa terlibat secara langsung dalam proses, sehingga akan
memiliki keterampilan prose IPA dan siswa juga mendapat kesempatan untuk melaksanakan
langkah-langkah dalam cara berpikir ilmiah, yaitu mulai dari merangkai alat percobaan
sesuai dengan prosedur kerja, mengamati serta mengukur, kemudiandata hasil percobaan
dianalisis dan dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan hasil eksperimen.

2
PROPOSALPTKQ.PENDAHULUANSAMPAIBAB3
Halaman 3-5
1. Latar Belakang
Tujuan pembelajaran matematika di jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan
Menengah adalah untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan
di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas dasar
pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efisien, dan efektif (Puskur, 2002). Di
samping itu, siswa diharapkan dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika
dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang
penekanannya pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta keterampilan dalam
penerapan matematika.

Selama ini kita mungkin menerima begitu saja pengajaran matematika di sekolah, tanpa
mempertanyakan mengapa atau untuk apa matematika harus diajarkan. Tidak jarang muncul
keluhan bahwa matematika cuma bikin pusing siswa (dan juga orang tuanya) bahkan dianggap
sebagai momok yang menakutkan oleh sebagian siswa. Begitu beratnya gelar yang disandang
matematika yang membuat kekawatiran pada prestasi belajar matematika siswa. Faktor lain
yang juga ikut mempengaruhi rasa bosan pada matematika adalah faktor penyampaian materi
atau metode pembelajaran matematika yang monoton dan itu-itu saja.

Cooper dan Harries (2002) melaporkan hasil penelitian terhadap 121 anak-anak usia
11-12 tahun pada akhir tahun pertama mereka masuk di sekolah menengah yang berasal dari
dua sekolah menengah di Inggris Utara. Hasilnya menunjukkan ketidakmampuan mereka
menggunakan pertimbangan-pertimbangan realistis ketika memecahkan masalah-masalah
realistik.

Sementara itu, tidak sedikit siswa yang memandang matematika sebagai suatu mata
pelajaran yang sangat membosankan, menyeramkan, bahkan menakutkan. Banyak siswa yang
berusaha menghindari mata pelajaran tersebut. Hal ini jelas sangat berakibat buruk bagi
perkembangan pendidikan matematika ke depan. Oleh karena itu, perubahan proses
pembelajaran matematika yang menyenangkan harus menjadi prioritas utama. Hasil empiris di
atas jelas merupakan suatu permasalahan yang merupakan faktor penting dalam mewujudkan
tujuan pembelajaran matematika sesuai yang diamanatkan dalam kurikulum pendidikan
matematika.

Untuk mengatasi permasalahan di atas perlu dicari suatu pendekatan yang dapat
mendukung proses pembelajaran matematika yang menyenangkan dan bukan menyeramkan
sehingga dapat meningkatkan motivasi sekaligus mempermudah pemahaman siswa dalam
belajar matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang saat ini sedang
dalam uji coba adalah pendekatan matematika realistik. Pendekatan matematika realistik ini
sesuai dengan perubahan paradigma pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar ke
paradigma belajar atau perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru ke
paradigma pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hal ini adalah salah satu upaya dalam
rangka memperbaiki mutu pendidikan matematika.

3
Berdasarkan tujuan/keinginan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap
matematika dan meminimalkan anggapan-anggapan negatif terhadap matematika yang
membuat para ahli pendidikan matematika di Indonesia berupaya mencari terobosan baru
menemukan metode pembelajaran matematika lain dengan mengacu pada pengalaman di
negara lain dan dengan melihat karakteristik yang dimungkinkan dapat diujicobakan juga di
Indonesia.

Salah satu faktor penyebab rendahnya pengertian siswa terhadap konsep-konsep


matematika adalah pola pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Pembelajaran matematika
di Indonesia dewasa ini, “dunia nyata” hanya digunakan untuk mengaplikasikan konsep dan
kurang mematematisasi “dunia nyata”. Bila dalam pembelajaran di kelas, pengalaman anak
sehari-hari dijadikan inspirasi penemuan dan pengkonstruksian konsep (pematematisasian
pengalaman sehari-hari) dan mengaplikasikan kembali ke “dunia nyata” maka anak akan
mengerti konsep dan dapat melihat manfaat matematika. (I Gusti Putu Suharta, 2001).

Yuwono dalam Sudarsiah (2005:1), mengemukakan bahwa sudah banyak usaha yang
dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya
kualitas pendidikan matematika di Sekolah Dasar, namun belum menampakkan hasil yang
memuaskan, baik ditinjau dari proses pembelajarannya maupun dari hasil prestasi belajar
siswanya.

Matematika sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah dinilai sangat memegang
peranan penting karena matematika dapat meningkatkan pengetahuan siswa dalam berpikir
secara logis, rasional, kritis, cermat, efektif, dan efisien. Oleh karena itu, pengetahuan
matematika harus dikuasai sedini mungkin oleh para siswa.

Kebanyakan proses pembelajaran yang digunakan oleh guru adalah pembelajaran


konvensional yakni ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas. Dalam hal ini, proses
pembelajaran didominasi oleh guru. Oleh karena itu, pendekatan pembelajaran tersebut perlu
segera dirubah.

Zamroni (2000) mengemukakan bahwa Orientasi pendidikan kita saat ini mempunyai
ciri :
 cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek;
 guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner;
 materi bersifat subject-oriented; dan
 manajemen bersifat sentralistis.
Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir
diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan
dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak
berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian.
Ditinjau dari perubahan kurikulum yang saat ini sedang diberlakukan, yaitu Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pendekatan matematika realistik (PMR) adalah salah satu
pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan perubahan tersebut. Berdasarkan amanah
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bahwa setiap individu mempunyai potensi yang

4
harus dikembangkan, maka proses pembelajaran yang cocok adalah yang menggali potensi
anak untuk selalu kreatif dan berkembang.
Pada dasarnya, matematika adalah pemecahan masalah karena itu, matematika
sebaiknya diajarkan melalui berbagai masalah yang ada disekitar siswa dengan memperhatikan
usia dan pengalaman yang mungkin dimiliki siswa. Matematika diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang
dapat diidentifikasikan. (Puskur, 2008). Oleh karena itu, pembelajarannya harus kontak
dengan kehidupan nyata siswa.
Melalui PMR yang pengajarannya berangkat dari persoalan dalam dunia nyata,
diharapkan pelajaran tersebut menjadi bermakna bagi siswa. Dengan demikian mereka
termotivasi untuk terlibat dalam pelajaran. Untuk mendukung proses pembelajaran yang
mengaktifkan siswa diperlukan suatu pengembangan materi pelajaran matematika yang
difokuskan kepada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan disesuaikan dengan
tingkat kognitif siswa, serta penggunaan metode evaluasi yang terintegrasi pada proses
pembelajaran.
Dalam pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) siswa didorong atau
ditantang untuk aktif bekerja, bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi atau membangun
sendiri pengetahuan yang diperolehnya (Dalyana, 2003:17).
Soedjadi dalam Sudarsiah (2005 : 2) mengemukakan bahwa, di Negeri Belanda telah
dikembangkan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). Dalam pendekatan PMR,
pembelajaran matematika lebih memusatkan kegiatan belajar pada siswa dan lingkungan serta
bahan ajar yang disusun sedemikian sehingga siswa lebih aktif mengkonstruksi atau
membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya.
Pengalaman yang diperoleh siswa akan semakin berkesan apabila proses pembelajaran
yang diperolehnya merupakan hasil dari pemahaman dan penemuannya sendiri. Pembelajaran
yang bermakna akan membawa siswa pada pengalaman belajar yang mengesankan.
Pengalaman yang diperoleh siswa akan semakin berkesan apabila proses pembelajaran yang
diperolehnya merupakan hasil dari pemahaman dan penemuannya sendiri. Dalam konteks ini
Proses pembelajaran yang berlangsung melibatkan siswa sepenuhnya untuk merumuskan
sendiri suatu konsep. Keterlibatan guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan moderator
dalam proses pembelajaran tersebut.
Pada dasarnya, matematika adalah pemecahan masalah karena itu, matematika
sebaiknya diajarkan melalui berbagai masalah yang ada disekitar siswa dengan memperhatikan
usia dan pengalaman yang mungkin dimiliki siswa.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penulis mencoba melakukan penelitian yang
berjudul: “Efektivitas Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Dalam Meningkatkan
Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas IV SDN Lempuyangan 3, Yogyakarta”.

5
PROPOSAL PTK II
Halaman 6-7
A. JUDUL PENELITIAN
Meningkatkan Motivasi Belajar pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Melalui Pendekatan
Kontekstual (Contextual Teaching Learning (CTL)) pada Siswa Kelas III SDN 02 Pedawang
Pekalongan

B. PENDAHULUAN
Bahasa merupakan komponen yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Melalui bahasa,
seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain, sehingga hubungan antar sesama dapat
terjalin dengan baik. Selain itu, bahasa juga dapat menunjukkan pribadi seseorang bahkan
pribadi suatu bangsa. Sebagian besar anggota masyarakat beranggapan bahwa orang yang
santun dalam berbahasa pasti memiliki kepribadian yang baik pula, begitu juga sebaliknya.
Akan tetapi pada kenyatannya sebagian besar masyarakat kita, khususnya anak-anak dan
remaja lebih suka menggunakan bahasa Indonesia yang sudah mendapatkan pengaruh dari
bahasa lain, atau yang lebih dikenal dengan bahasa “gaul”. Sedangkan bahasa Indonesia
hanya digunakan oleh orang-orang tertentu dan dalam situasi tertentu pula. Dengan demikian
tanpa disadari bahasa Indonesia akan semakin terpinggirkan dengan sendirinya, padahal
sebagai bangsa yang baik, serta dalam rangka menjalin persatuan dan kesatuan bangsa, maka
kita harus menggunakan salah satu alat pemersatu bangsa, yakni bahasa Indonesia.
Untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar, maka diperlukan pendidikan dan
pembelajaran bahasa Indonesia. Pendidikan bahasa Indonesia merupakan salah satu aspek
penting yang perlu diajarkan kepada siswa di sekolah. Oleh karena itu pemerintah membuat
kurikulum bahasa Indonesia yang wajib diajarkan kepada seluruh jenjang pendidikan, mulai
dari tingkat Sekolah Dasar (SD), sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA),
bahkan sampai Perguruan Tinggi (PT). Hal itu dimaksudkan agar siswa mampu menguasai,
memahami, dan dapat mengimplementasikan keterampilan berbahasa dengan segala
aspeknya, yakni menyimak (mendengarkan), berbicara, membaca, dan menulis.
Bagi guru, pembelajaran bahasa Indonesia merupakan suatu tantangan tersendiri,
mengingat bahasa ini bagi sebagian sekolah merupakan bahasa pengantar yang dipakai untuk
menyampaikan materi pelajaran yang lain. Pembelajaran bahasa Indonesia berfungsi
membantu peserta didik untuk mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam
masyarakat dengan menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan
kemampuan analitis dan imajinatif (Depdiknas, 2006).
Sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada saat ini, mata pelajaran bahasa Indonesia
sering diremehkan oleh sebagian besar siswa, bahkan dianggap sebagai mata pelajaran yang
membosankan, khususnya dalam aspek menulis. Siswa menganggap bahwa mata pelajaran
bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang selalu menulis, menulis, dan menulis. Peristiwa
itu bisa dilihat ketika siswa diminta untuk menulis sebuah karangan sederhana atau puisi,
mereka sering mengeluh dan terlihat bingung dengan apa yang ingin mereka tulis.
Kebosanan, kejenuhan, serta kebingungan siswa dalam hal menulis dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain :
1. Kurangnya minat siswa terhadap kegiatan menulis.

6
2. Kurangnya motivasi siswa, baik dari dalam diri mereka maupun dari lingkungan
belajar.
3. Pengembangan strategi pembelajaran yang kurang membangkitkan keterampilan
siswa dan kreativitas siswa dalam berbahasa maupun bersastra.
Kurangnya motivasi belajar siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, khususnya pada
aspek menulis, secara otomatis menyebabkan prestasi belajar (hasil belajar) siswa kurang
mencapai target yang diharapkan.
Menurunnya motivasi siswa yang berakibat pada menurunnya prestasi belajar (hasil
belajar) siswa dapat dibuktikan dengan hasil tes yang dilaksanakan pada siswa kelas III SDN
02 Pedawang kabupaten Pekalongan. Dari tes tersebut diperoleh nilai rata-rata yang
seharusnya mencapai angka 7, pada kenyatannya hanya mencapai angka 6,7. Untuk menulis
karangan, hanya beberapa anak yang menulis tanpa kesalahan ejaan, sementara lebih dari
30% anak yang dikategorikan menulis dengan kesalahan ejaan terparah, dan hanya beberapa
anak isi tulisannya dapat dinilai baik, karena gagasan yang diungkapkan jelas dengan urutan
yang logis. Dengan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka guru harus
mengambil tindakan, yakni dengan mencari dan menggunakan suatu pendekatan
pembelajaran yang efektif, inovatif, dan berpotensi memperbaiki pembelajaran menulis,
sehingga meningkatkan minat, motivasi, dan sikap siswa terhadap pembelajaran menulis.
Dengan demikian guru dapat menggunakan pendekatan kontestual (Contextual Teaching
Learning (CTL)).
Pendekatan kontekstual atau (Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan suatu
pendekatan dalam pembelajaran dengan konsep pembelajaran disesuaikan dengan kondisi
siswa. Dalam pembelajaran siswa mengalami sendiri, sedangkan guru hanya berperan
sebagai fasilitator dalam pembelajaran. Dengan pendekatan tersebut, diharapkan siswa dapat
mengungkapkan atau menuangkan gagasan, ide, serta pengalamannya dalam bentuk tulisan,
baik berupa karangan bebas (prosa), puisi, dongeng, dll. Dengan demikian secara otomatis
siswa akan menyukai pembelajaran menulis, karena mereka bisa menuangkan apa yang
mereka pikirkan dan mereka rasakan dalam bentuk tulisan. Selain itu, dengan pendekatan
kontekstual, diharapkan siswa dapat menghasilkan tulisa atau karya yang baik dan dapat
dinikmati oleh orang lain.

7
PROP. PTK
Halaman 8-9

A. PENDAHULUAN

Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional
peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi
(BSNP, 2006). Untuk berbahasa dengan baik dan benar, maka diperlukan pendidikan dan
pembelajaran bahasa Indonesia. Pendidikan dan pembelajaran bahasa Indonesia merupakan
salah satu aspek penting yang perlu diajarkan kepada siswa di sekolah. Oleh karena itu
pemerintah membuat kurikulum bahasa Indonesia yang wajib untuk diajarkan kepada siswa
pada setiap jenjang pendidikan, yakni dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai dengan
Perguruan Tinggi (PT).
Pembelajaran bahasa Indonesia merupakan suatu tantangan tersendiri bagi seorang
guru, mengingat bahasa ini bagi setiap sekolah merupakan bahasa pengantar yang dipakai
untuk menyampaikan materi pelajaran yang lain. Pembelajaran bahasa Indonesia berfungsi
membantu peserta didik untuk mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam
masyarakat dengan menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan
kemampuan analitis dan imajinatif (Depdiknas, 2006).
Kenyataan yang terjadi pada saat ini, mata pelajaran bahasa Indonesia sering
diremehkan oleh sebagian besar siswa, bahkan dianggap sebagai mata pelajaran yang
membosankan, khususnya dalam aspek menulis. Padahal manusia tidak terlepas dari bahasa.
Terbukti dari penggunaannya untuk percakapan sehari-hari, tentu ada peran bahasa yang
membuat satu sama lain dapat berkomunikasi dan saling menyampaikan maksud.
Penggunaan bahasa tersebut tidak hanya dalam bentuk lisan saja akan tetapi bahasa juga
dapat digunakan dalam bentuk tulisan. Pemikiran seseorang akan lebih mendapat pengakuan
ketika sudah “dituliskan” sehingga orang lain yang membaca akan mengetahui apa yang
ingin disampaikan (Anagram, 2007) dalam http://reinemarie.wordpress.com. Menurut Johana
Pantow dkk (2002) yang tersedia dalam http://digilib.itb.ac.id pada tanggal 26 Januari 2008,
menyatakan bahwa dalam dunia pendidikan, menulis merupakan suatu tuntutan keterampilan
yang harus dikuasai oleh manusia sebagai bahasa tulis. Oleh karena itu, sejak dini pengajaran
bahasa selalu harus didasarkan pada keterampilan bahasa dimana salah satunya adalah
writing.
Kesulitan siswa dalam menulis biasanya terlihat ketika siswa diminta untuk menulis
sebuah karangan sederhana, mendeskripsikan suatu benda ataupun ketika menulis puisi,
mereka sering mengeluh dan terlihat bingung dengan apa yang ingin mereka tulis.
Kebosanan, kejenuhan, serta kebingungan siswa dalam hal menulis sehingga mengakibatkan
menurunnya prestasi belajar dalam pembelajaran menulis.
Menurunnya prestasi belajar siswa dapat dibuktikan dengan hasil tes pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia aspek menulis pada tanggal 15 Januari 2008, dengan tujuan
pembelajaran mendeskripsikan binatang dengan bahasa tulis menggunakan media gambar
yang dilaksanakan pada siswa kelas II SDN 02 Pedawang kabupaten Pekalongan. Dari tes
tersebut diperoleh hasil tulisan siswa belum sempurna, karena penggunaan katanya belum
tepat dan kalimatnya cenderung diulang-ulang sehingga tidak mudah untuk dipahami.

8
Perolehan nilai rata-rata kelas yang seharusnya mencapai angka di atas 70, pada kenyatannya
hanya mencapai angka 65, sehingga hanya 27% siswa yang memenuhi Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) bahasa Indonesia dalam aspek menulis untuk kelas II semester II SDN 02
Pedawang Pekalongan. Dengan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka guru
harus mengambil tindakan, yakni dengan mencari dan menggunakan suatu pendekatan atau
model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan berpotensi memperbaiki pembelajaran
menulis, sehingga meningkatkan minat, motivasi, dan sikap siswa terhadap pembelajaran
menulis yang berakibat pada meningkatnya prestasi belajar siswa. Dengan demikian guru
dapat merancang suatu bentuk pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan
melalui pendekatan kontekstual dengan media gambar sebagai media alternatif dalam
pemecahan masalah tersebut.
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat
(Dikdasmen Diknas, 2002:1). Media gambar dimaksudkan untuk memudahkan siswa dalam
mendeskripsikan seekor binatang dengan bahasa tulis. Media gambar digunakan dalam
penelitian ini karena pola berpikir siswa kelas II yang masih memerlukan media
pembelajaran yang konkrit. Dengan kedua hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan
keterampilan siswa kelas II SDN 02 Pedawang kabupaten kabupaten Pekalongan dalam
mendeskripsikan bintang dengan bahasa tulis.

Anda mungkin juga menyukai