Neonatorum
BAB I
PENDAHULUAN
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 1
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Kata tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanos yang berarti kencang atau tegang.1
Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang ditandai kondisi spastik paralisis yang disebabkan
oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus berdasarkan gejala
klinisnya dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu tetanus generalisasi (umum), tetanus local dan
tetanus sefalik. Bentuk tetanus yang paling sering terjadi adalah tetanus generalisasi dan juga
merupakan bentuk tetanus yang paling berbahaya.1,3,4
Neonatal (berasal dari neos yang berarti baru dan natus yang berarti lahir)2
merupakan suatu istilah kedokteran yang digunakan untuk menggambarkan masa sejak bayi
lahir hingga usia 28 hari kehidupan.1,2
Tetanus neonatorum merupakan suatu bentuk tetanus generalisasi yang terjadi pada
masa neonatal.3,4
ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi neorutoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan
bakteri Clostridium tetani pada masa neonatal. Umumnya infeksi terjadi akibat proses partus
dan penanganan tali pusat yang kurang steril. 1,3 Penyakit ini khususnya terjadi pada bayi
dengan ibu yang belum mendapatkan imunisasi tetanus sebelumnya1,3
Pada tahun 1884, Arthur Nicolaier berhasil mengisolasi bakteri Clostridium tetani
yang hidup bebas dan pada tahun 1889 Kitasato Shibasaburo berhasil mengisolasi bakteri ini
dari manusia. Vaksin tetanus (Tetanus toxoid) pertama kali pada tahun 1924 oleh P
Descombey.1
EPIDEMIOLOGI
Tetanus merupakan suatu masalah kesehatan di berbagai belahan dunia dengan taraf
ekonomi rendah. Jumlah kasus tetanus neonatorum dapat dikatakan berbanding terbalik
dengan kondisi sosial ekonomi suatu negara. Semakin baik taraf sosial ekonomi suatu begara
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 2
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
semakin sedikit pula jumlah kasus tetanus neonatorum di negara tersebut, demikian juga
sebaliknya.
Tetanus neonatorum saat ini merupakan suatu penyakit yang dapat dikatakan langka
di banyak negara maju dan berkembang, di mana proses partus yang steril dan pemberian
vaksin tetanus secara umum telah disosialisasikan dan dilaksanakan sebagai suatu prosedur
kesehatan wajib. Amerika Serikat memilki insiden tetanus neonatorum yang sangat rendah
yaitu 0,01/1000 kelahiran sejak tahun 1967.5
Tetanus neonatorum terjadi sama banyaknya baik pada laki-laki maupun wanita (1:1),
usia ibu yang paling sering mengalami tetanus maternal adalah antara usia 20-30 tahun
(berbanding lurus dengan usia melahirkan terbanyak). 90 % kasus tetanus neonatorum dan
tetanus maternal terjadi pada partus yang dilakukan di luar fasilitas kesehatan (di rumah,
dukun, dsb).6
Tetanus neonatorum memilki tingkat morbiditas yang tinggi, dimana > 50% kasus
tetanus neonatorum berakhir dengan kematian. Menurut data UNICEF, setiap 9 menit,
seorang bayi meninggal akibat penyakit ini. 6 WHO menyatakan bahwa tetanus neonatorum
merupakan poenyebab dari 14 % kematian neonatus di seluruh dunia.7
Tetanus neonatorum dan tetanus maternal merupakan suatu kesatuan dan dengan
dieliminasinya tetanus neonatorum, maka tetanus pada ibu melahirkan secara tidak langsung
juga dieliminasi.5,6 Pada tahun 1989, WHO mencanangkan suatu program dengan target pada
tahun 1995, penyakit tetanus pada maternal-neonatus dapat dieliminasi dan pada tahun 2005
penyakit ini bukan lagi sebuah masalah kesehatan masyarakat dunia. 8 Eliminasi dianggap
tercapai jika jumlah kasus tetanus neonatorum <1 kasus / 1000 kelahiran. 6,8 Program ini
meliputi program vaksin toxoid tetanus dan penyediaan fasilitas kesehatan yang memenuhi
standard dan sosialisasi tentang penyakit ini di seluruh dunia.6,8
Penurunan drastis kematian neonatus akibat tetanus berhasil dicapai sejak
diberlakukannya program WHO tersebut, di mana pada tahun 1980, menurut data WHO
dilaporkan 800.000 neonatus meninggal akibat tetanus, dan kemudian pada tahun 2002
menurun menjadi 180.000 neonatus yang meninggal akibat penyakit ini. 9 Kasus tetanus
neonatorum berkurang drastis setiap tahunnya dan pada tahun 2009, jumlah kematian
neonatus akibat tetanus adalah 61.000.9,10
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 3
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
Hingga saat ini, Maternal-Neonatal Tetanus (MNT) masih belum berhasil dieliminasi
secara menyeluruh, di mana pada tahun 2009, penyakit ini masih merupakan suatu masalah
kesehatan 57 negara di dunia, terutama di Asia dan Afrika, termasuk di antaranya adalah
Indonesia.6,9 Sekitar 1 juta kasus tetanus dilaporkan dari seluruh dunia pada tahun 2010, dan
lebih dari 50 % kematian akibat penyakit ini terjadi pada neonatus.1
Indonesia walaupun belum berhasil mengeliminasi tetanus neonatorum ini, juga telah
berhasil menekan secara drastis jumlah kasus penyakit ini. Pada tahun 1980, jumlah kematian
akibat tetanus neonatorum di Indonesia adalah 71.000 (8 % dari total kematian akibat tetanus
neonatorum di seluruh dunia pada saat itu). 10 Pada tahun 2010, WHO menyatakan bahwa
daerah Jawa dan Bali (59 % dari populasi Indonesia) telah berhasil bebas dari tetanus
neonatorum.11 Survey pada daerah-daerah lainnya masih dalam proses, dan diharapkan pada
tahun 2015, Indonesia secara keseluruhan sudah bebas dari penyakit ini. 12 Selain itu, menurut
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 4
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
survey jumlah daerah yang terlindungi dengan vaksin tetanus toxoid, Indonesia telah berhasil
meningkatkan jumlah perlindungan vaksin dari 79 % pada tahun 1990 menjadi 89 % pada
tahun 2010.10
MIKROBIOLOGI
Clostridium tetani merupakan suatu bakteri bersifat obligat anaerob, gram positif,
yang berasal dari genus Clostridium. Bakteri ini sering ditemukan pada tanah dan sebagai
parasit di traktus intestinal mamalia. Bakteri ini memiliki 2 fase hidup, yang pertama adalah
dalam bentuk vegetative dan kemudian memproduksi endospora.11
C. tetani dalam bentuk vegetatif berbentuk batang, rentan terhadap oksigen dan sangat
sensitif terhadap panas.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 5
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
FAKTOR RESIKO
Faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya tetanus neonatorum berhubungan
dengan rendahnya sterilisasi dan kebersihan dari proses partus, penanganan pasca persalina
yang tidak adekuat dan kurangnya pengetahuan dan sosialisasi vaksin tetanus toxoid di
berbagai negara miskin dan kurang berkembang.13
Faktor-faktor resiko tersebut mencakup faktor medis dan faktor non medis. Faktor
medis meliputi kurangnya standard perawatan prenatal (kurangnya perawatan antenatal pada
ibu hamil, kurangnya edukasi ibu hamil tentang pentingnya vaksinasi tetanus toxoid),
perawatan perinatal (kurang tersedianya fasilitas persalinan dan tenaga medis sehingga
banyak persalina dilakukan di rumah dan penggunaan alat-alat yang tidak steril, termasuk
dalam penanganan tali pusat) dan perawatan neonatal (neonatus lahir dalam keadaan tidak
steril, tingginya prematuritas, dsb).18 Faktor non medis sering kali berhubungan dengan adat
istiadat setempat (contoh: Beberapa suku di Pakistan sering kali mengoleskan kotoran sapi
pada lokasi pemotongan tali pusat).19
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 6
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
PATOFISIOLOGI
Dalam kondisi normal, sistem muskuloskeletal akan bereaksi sesuai dengan sinyal
(aktif potensial) yang berasal dari neuron-neuron (eksitatorik dan inhibitorik). Sel-sel neuron
akan bereaksi terhadap suatu sinyal dengan menghasilkan neurotransmitter dan dikeluarkan
menggunakan suatu protein membrane (synaptobrevin) menuju saraf motorik.
Neurotransmiter tersebut kemudian menyampaikan sinyal tersebut dan saraf motorik akan
merangsang serat otot untuk bereaksi.17,20,21
Pada kontraksi otot skeletal, neuron eksitatorik akan mengeluarkan neurotransmiter
(cth: Asetilkolin) untuk menyampaikan sinyal eksitatorik ke motor neuron yang merangsang
otot untuk berkontraksi, sementara itu neuron inhibitorik juga akan menghasilkan
neurotransmitter (cth: GABA) untuk membatasi dan memodulasi kontraksi yang terjadi, di
mana pada saat satu bagian otot berkontraksi, pada saat bersamaan terdapat otot lain yang
relaksasi (antagonis refleks).20 Infeksi Clostridium tetani menyebabkan neuron inhibitorik
gagal mengeluarkan neurotransmitter inhibitori, sehingga kontraksi yang terjadi tidak
diimbangi dengan inhibisi otot yang lain. Akibatnya baik otot agonis maupun antagonis
mengalami kontraksi dan tidak terkontrol sehingga terjadi spasme otot yang menjadi
gambaaran khas pada tetanus.19,20
Clostridium tetani menghasilkan endospora yang membutuhkan kondisi anaerobik
untuk dapat berkembang.18 Jaringan yang nekrosis atau mengalami infeksi merupakan lokasi
yang sangat mendukung bagi tumbuhnya bakteri ini. 18 Bakteri ini biasanya masuk ke situs
luka dan setelah melalui proses germinasi (berkisar antara 3-21 hari), bakteri ini akan
menghasilkan 2 jenis exotoxin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani bersifat sitolisin, dan mengawali infeksi bakteri ini dengan
merusak jaringan-jaringan yang belum nekrosis dan mengoptimalkan suasana anaerob yang
terbentuk pada situs luka.17 Tetanospasmin sebagai neurotoksin kemudian menjadi agen
penyebab munculnya berbagai gejala klinis pada tetanus.17
Tetanospasmin merupakan suatu neurotoksin yang berbentuk rantai polipeptida
ganda. Rantai polipeptida ini terdiri atas sebuah rantai polipeptida berat(100000 Da) dan 1
rantai polipeptida ringan(50.000 Da). Ke dua rantai tersebut dihubungkan oleh suatu
jembatan disulfida.3,17 Rantai polipeptida ringan (mengandung zinc metalloprotease) akan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 7
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
Di dalam sel, ikatan disulfida antara rantai polipeptida ringan dan berat akan rusak
akibat suasana asam, rantai polipeptida ringan kemudian akan masuk ke sitoplasma sel
intraneuron. Kandungan zinc metalloprotease yang terdapat pada rantai ringan ini kemudian
akan merusak synaptobrevin (protein membrane) yang dibutuhkan dalam proses transportasi
neurotransmitter dari sel interneuron menuju saraf motorik. Hal ini menyebabkan pelepasan
neurotransmitter inhibitori (terutama Gamma Amino Butric Acid/GABA) tidak dapat
dilakukan. Dihambatnya transport GABA ini menyebabkan refleks antagonis otot skeletal
menjadi hilang, akibatnya terjadi kontraksi otot tidak terkontrol dan spasme dari otot-otot
skeletal.3,18,20,21
Tetanospasmin selain merusak refleks antagonis pada sistem musculoskeletal, pada tahap lanjut, juga mengganggu refleks antagonis sistem saraf
simpatik, sehingga pada kondisi tersebut, pelepasan katekolamin storm atau disebhiper-adrenergik.
14,22
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 8
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
Masa inkubasi pada bayi lebih cepat dibanding tetanus tipe lain yaitu berkisar antara 3-10
hari, dan biasanya bermanifestasi pada akhir minggu pertama atau awal minggu ke dua pasca
persalinan sehingga sering kali disebut sebagai penyakit hari ke tujuh (disease of the seventh
day). Hal ini membantu membedakan tetanus neonatorum dengan penyakit lain pada
neonatus, di mana pada penyakit lain akan muncul gejala pada 2 hari pertama kehidupan. 1
GEJALA KLINIS
Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat dilihat ketika bayi
malas minum dan menangis yang terus menerus.7 Bayi kemudian akan kesulitan hingga tidak
sanggup menghisap dan akhirnya mengalami gangguan menyusu. Hal tersebut menjadi tanda
khas onset penyakit ini. Kekakuan rahang (trismus) mulai terjadi, dan mengakibatkan
tangisan bayi berkurang dan akhirnya berhenti. Mulai terjadi kekakuan pada wajah (bibir
tertarik kearah lateral, dan alis tertarik ke atas) yang disebut risus sardonicus. Kaku kuduk,
disfagia dan kekakuan pada seluruh tubuh akan menyusul dalam beberapa jam berikutnya.7,18
Awalnya kekakuan tubuh yang terjadi bersifat periodik, dan dipicu oleh rangsangan-
rangsangan sensoris (suara atau sentuhan).1,7,18 Kemudian kejang akan terjadi secara spontan
dan akhirnya terus menerus. Spasme dan kejang berulang atau terus menerus yang terjadi
akan mempengaruhi sistem saraf simpatik sehingga terjadi vasokonstriksi pada saluran napas
dan akan terjadi apneu dan bayi menjadi sianosis. Hal ini merupakan penyebab kematian
terbesar pada kasus tetanus neonatorum.7,19,23
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan biasanya akan fleksi pada
siku dan tertarik ke arah badan, sedangkan kedua tungkai dorsofleksi dan kaki akan
mengalami hiperfleksi. Spasme pada otot punggung menyebabkan punggung tertarik
menyerupai busur panah (opisthotonos).24
Jarak antara gejala pertama muncul sampai munculnya gejala berikutnya pada kasus
tetanus neonatorum disebut periode onset. Periode onset ini berperan penting dalam
menentukan prognosis penyakit ini. Semakin pendek periode onset ini, semakin buruk
prognosisnya.6 Periode onset pada neonatus lebih pendek dibandingkan dengan pada anak
atau dewasa (lebih ke arah beberapa jam daripada beberapa hari seperti pada dewasa), hal ini
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 9
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
mungkin disebabkan jarak akson yang lebih pendek sehingga infeksi lebih cepat mencapai
CNS.6
KLASIFIKASI TETANUS
Tetanus berdasarkan tingkat keparahannya diklasifikasikan oleh Ablett menjadi 4
stadium.
2. Sedang Trismus sedang, spasme mulai muncul, disfagia ringan, mulai ada gangguan
respiratori, Jumlah napas > 30 x/menit
3. Berat Trismus berat, spastic dan spasme seluruh tubuh, disfagia berat, jumlah
napas >140x/menit, mulai muncul apneu dan sistem simpatis mulai tergang
ditandai takikardi >120x/menit
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 10
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
4. Sangat berat Stadium 3 ditambah dengan gangguan sistem saraf simpatis berat termasuk sistem
kardiovaskuler
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk mendiagnosa tetanus neonatorum adalah dengan melihat gambaran dan gejala
klinis yang ada. Pemeriksaan kultur jarang dilakukan karena ditemukan tidaknya bakteri
Clostridium tetani bukan merupakan suatu tanda karakterisitik pada infeksi bakteri ini.
Pemeriksaan dengan spatula lidah dapat digunakan untuk mendeteksi dini penyakit ini. Hasil
positif ditunjukan ketika spatula disentuhkan ke orofaring lalu terjadi spasme pada otot
maseter dan bayi menggigit spatula lidah.25
KOMPLIKASI
1. Laringospasme yaitu spasme dari laring dan/atau otot pernapasan menyebabkan
gangguan ventilasi. Hal ini merupakan penyebab utama kematian pada kasus tetanus
neonatorum.
2. Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot berlebihan
yang terus menerus. Terutama pada neonatus, di mana pembentukan dan kepadatan
tulang masih belum sempurna
3. Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saaraf otonom yang dapat
menyebabkan takikardi dan hipertensi yang pada akhirnya dapat menyebabkan henti
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 11
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tetanus neonatorum pada dasarnya sama dengan tetanus lainnya,
yaitu meliputi terapi suportif (sedasi, pelemas otot, dsb) selama tubuh berusaha
memtabolisme neurotoxin, mencegah bertambahnya toxin yang mencapai CNS dan berusaha
membunuh kuman yang masih dalam bentuk vegetatif untuk mencegah produksi
tetanospasmin yang berkelanjutan.24 Perawatan di NICU mutlak diperlukan.7
Eliminasi kuman dalam bentuk vegetatif dilakukan dengan membersihkan situs luka;
debridement merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk membersihkan luka,
diharpakan dengan tindakan tersebut, suasana anaerobik yang dibutuhkan kuman untuk
germinasi dapat dihilangkan.18 Pemberian antibiotik diperlukan untuk membunuh kuman
bukan untuk netralisasi toksin. Penicillin G (100.000 U/kg/24 jam IV dibagi menjadi 4-6 kali
pemberian selama 10-14 hari) merupakan salah satu antibiotik pilihan, 3 namun studi terbaru
menemukan bahwa penicillin merupakan suatu antagonis GABA sehingga dapat
meningkatkan efek dari tetanospasmin, oleh karenanya saat ini antibiotik pilihan adalah
Metronidazole IV (30 mg/kg/hari, dengan dosis maksimal 4 g/hari selama 10-14 hari).7
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 12
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
Terapi Suportif
Terapi suportif mutlak diperlukan dan memegang peranan penting dalam menentukan
tingkat mortalitas yang terjadi.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah penanganan jalan napas. Penggunaan
ventilator merupakan pilihan utama. Selain itu pemberian muscle-relaxant atau sedative
dengan tujuan mengurangi spasme otot sekaligus melebarkan jalan napas. Obat yang terbukti
cukup efektif adalah benzodiazepine (cth: diazepam, midazolam). 7,27 Diazepam memiliki efek
pelemas otot, anti anxietas dan sedasi. Hal itu menyebabkan diazepam efektif digunakan
dalam penanganan tetanus neonatorum.27 Pemberian diazepam bervariasi untuk tiap individu,
0,1-0,8 mg/kg/hari PO dibagi dalam 3-4 dosis untuk spasme ringan, dan 0,1-0,3 mg/kg IV
dalam 4-8 jam untuk spasme sedang-berat. Diazepam kemudian dititrasi untuk maintenance
dose dengan dosis yang bervariasi dan belum memiliki suatu standard resmi. Pada suatu
laporan kasus, maintenance dose diberikan 0,08 mg/kg IV setiap 4 jam dan midazolam 0,1
mg/kg/jam.27
Pemberian cairan harus diberikan untuk menggantikan cairan dan elektrolit.
Pemberian makanan secara oral dilarang, karena dapat menyebabkan aspirasi, oleh karena itu,
nutrisi diberikan secara parenteral atau via nasogastric tube (NGT). Pada kasus neonatus
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 13
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
dengan jalan napas yang tidak berhasil distabilkan atau intubasi yang melebihi 10 hari,
trakeostomi dapat dilakukan.25
Pencegahan/Profilaksis
1. Proses persalinan yang steril yang didukung tenaga medis dan peralatan medis
yang mendukung
2. Pendidikan dan pengarahan tentang pentingnya persalinan yang steril dan
sosialisasi vaksinasi tetanus pada ibu hamil khususnya yang belum mendapat
vaksinasi atau dengan riwayat vaksinasi yang belum jelas.
3. Imunisasi pada ibu hamil merupakan fokus primer dalam pencegahan tetanus
neonatorum
VAKSINASI TETANUS
Vaksin terdiri dari mikroorganisme atau komponen seluler yang bertindak sebagai
antigen. Pemberian vaksin menstimulasi produksi antibodi dengan protein spesifik.
Pemberian vaksin tetanus toksoid dilakukan untuk profilaksis jika riwayat vaksin tidak
diketahui atau kurang dari 3 kali imunisasi TT.1
Imunisasi tetanus pada wanita masa subur (12 atau 15 tahun sampai 45 tahun) atau
sedang mengandung merupakan cara pencegahan tetanus neonatorum yang paling mudah dan
efektif.7 Melalui imunisasi tetanus lengkap, proteksi terhadap infeksi tetanus mencapai lebih
dari 90%.
Wanita tanpa adanya riwayat imunisasi tetanus harus diberikan dua dosis tetanus
toxoid (TT) atau difteri tetanus toxoid (Td) atau DPT (difteri pertusis tetanus) dengan jarak
antar dosis minimal 4 minggu. Dosis ke 3 diberikan 6-12 bulan kemudian, dosis ke 4 satu
tahun sesudah pemberian dosis ke 3, dan dosis ke 5, 1 tahun setelah pemberian dosis ke 4.8
Pada wanita yang sudah pernah diimunisasi 1 kali baik dengan TT, Td, atau DPT,
dapat diberikan booster setiap 10 tahun.8
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 14
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
Pada wanita hamil dengan riwayat imunisasi yang jelas, harus diberikan vaksin
pertama secepatnya dan disusuli oleh dosis ke 2 maksimal 3 minggu sebelum melahirkan.8
Wanita yang sudah mendapat 2 dosis vaksin pada kehamilan sebelumnya harus
diberikan dosis ke 3 pada kehamilan berikutnya. Dosis ke 3 ini dapat memberikan
perlindungan hingga 5 tahun.8
Tabel 2 Rekomendasi jadwal imunisasi tetanus toxoid (TT) dan tetanus dan difteri toxoid
(Td) untuk wanita pada masa subur yang belum divaksinasi
Dosis Jadwal Pemberian
TT1 atau Td1 Pada kontak pertama atau sedini mungkin saat
kehamilan
TT2 atau Td2 Paling sedikit 4 minggu setelah dosis pertama
TT3 atau Td3 6-12 bulan setelah dosis kedua atau pada
kehamilan berikutnya
TT4 atau Td4 1-5 tahun setelah dosis ketiga atau saat
kehamilan berikutnya
TT5 atau Td5 1-10 tahun setelah dosis keempat atau saat
kehamilan berikutnya
TT1 - - -
TT2 4 minggu 80% 3 tahun
TT3 6 bulan 95% 5 tahun
TT4 1 tahun 99% 10 tahun
TT5 1 tahun 99% Mungkin seumur
hidup
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 15
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
Perawatan persalinan dan pasca persalinan yang bersih dan steril secara signifikan
dapat menurunkan jumlah infeksi perinatal, termasuk di dalamnya tetanus neonatorum.
Persalinan yang bersih didefinisikan sebagai suatu persalinan yang dibantu oleh tenaga medis
di dalam suatu institusi medis atau dilakukan di rumah dengan bantuan bidan dengan
prosedur persalinan yang higienis (memastikan kebersihan tangan, tali pusat, perineum, dan
semua substans yang digunakan).7
DIAGNOSIS BANDING
Tetanus neonatorum memilki ciri khas, namun demikian, beberapa kelainan lainnya dapat
menyebabkan kejang pada neonatus dan harus dapat dibedakan dari tetanus neonatorum. 8
Secara umum penyebab kejang pada neonatus dapat dibagi menjadi 3 kategori:
Kerusakan otak oleh karena gangguan kongenital atau perinatal dapat menyebabkan spasticity,
gerakan tubuh yang jerky, dan kejang. Cerebral contusion, umumnya berhubungan dengan trauma
pada saat persalinan atau kesulitan obstetrik lainnya, dan terjadi pada bayi cukup bulan. Sindrom
kerusakan otak sering menyebabkan laxness of mouth and tongue; refleks hisap hilang, dan bayi tidak
dapat menelan sejak lahir. Tidak ada kondisi yang menyebabkan trismus seperti tetanus.
Infeksi streptococcus grup B dapat mengenai bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
Onset gejala dapat awal, dalam 48 jam pertama kehidupan, atau telat, antara 10 hari sampai 4 bulan.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 16
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
Apneu merupakan gejala pertama yang sering ditemukan dan pneumonia dengan gagal napas dapat
terjadi.
Trismus tidak terdapat pada penyakit-penyakit di atas, dan sifat kejang berbeda dengan yang
disebabkan oleh tetanus. Kejang pada kondisi di atas umumnya terjadi dengan gerakan yang lebih
lambat dalam waktu yang lebih singkat dan umumnya hanya mengenai satu bagian tubuh. Pada
tetanus neonatorum, tidak ditemukan ubun-ubun tegang.
Gangguan metabolik meliputi hipoglikemi – terutama pada bayi BBLR atau bayi dari ibu
dengan diabetes – dan hipokalsemi. Insidens hipokalsemi pada neonatus tinggi pada hari pertama,
kedua, atau ketiga kehidupan, dan akhir minggu pertama. Hypocalcemic tetany pada bayi baru lahir
dapat menimbulkan kejang dan laringospasme. Kejang berbeda dengan yang disebabkan oleh tetanus,
dan umumnya disertai tremor dan muscle twitching, sedangkan hipokalsemi tidak menimbulkan
trismus atau rigiditas seluruh tubuh yang dilihat pada tetanus. Bayi dengan hypocalcemic tetany
kelihatan normal di antara episode kejang.
PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari inokulasi
spora hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya gejala hingga spasme
tetanik yang pertama.29 Statistik terbaru menunjukkan tingkat mortalitas pada tetanus ringan-
sedang mencapai 6%. Sedangkan tetanus berat memiliki tingkat mortalitas 60%. 7
Suatu sistem penilaian untuk menilai prognosis dari tetanus dibuat oleh sebuah tim
dari Senegal.30 Semakin tinggi nilai yang didapat, semakin buruk prognosisnya.29
3 Situs masuk kuman (port of entry) Umbilikus, uterus, Situs lain atau tidak
luka bakar, fraktur diketahui
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 17
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
terbuka, injeksi
intramuskular
4 Spasme yang muncul mendadak, ya Tidak
dan bertambah buruk (paroxysm)
1. Hinfey BP. eMedicine: Infectious Disease,Tetanus. Last updated January 28, 2011.
Diambil dari eMedicine website: http://emedicine.medscape.com/article/229594-
overview.
2. Mosby's Medical Dictionary, 8th edition. © 2009, Elsevier.
3. Arnon Stephen. Tetanus (Clostridium tetani). In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB. Nelson Textbook of Pediatrics. 17thed. p 951-953. Philadelphia PA: W.B.
Saunders; 2004
4. Neonatal Tetanus Elimination: Field Guide.1st Edition., Washington PAHO.1993
5. Grossman Mosses. Tetanus. In: Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Rudolph’s
Pediatrics.20th ed. p 612-614. Stamford, Connecticut: Appleton and Lange; 1996
6. Bardenheier B, Prevots DR, Khetsuriani N, Wharton M. Tetanus surveillance --
United States, 1995-1997. In: CDC surveillance summaries (July). MMWR
1998;47(no. SS-2):1-13.
7. Neonatal Tetanus Elimination: Field Guide.2nd Edition., Washington PAHO.2005
8. Maternal and Neonatal Tetanus. Diambil dari website UNICEF:
http://www.unicefusa.org/work/health/tetanus/
9. Maternal and Neonatal Tetanus Elimination by 2005, WHO/V&B/02.09
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 18
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 19
Marco Handoko Tetanus 2011
Neonatorum
24. Wassilak SGF, Roper MH, Kretsinger K, Orenstein WA. Tetanus Toxoid. In: Plotkin
S, Orenstein W, Offit P. Vaccines 5th ed. p 806-809. Elsevier Saunders.2006
25. Eldich RF, et al. Management and treatment of Tetanus.2003. J Long Term Eff Med;
13(3), 139-154
26. Teknetzi P, Manios S, Katsouyanopoulos V. Neonatal tetanus-long term residual
handicaps.Arch Dis Child 58:68-69, 1983
27. Khoo BH, Less EL, Lam KL. Neonatal tetanus treated with high dose diazepam. Arch
Dis Child 1978;53:737–739.
28. Wassilak SGF, Roper MH, Kretsinger K, Orenstein WA. Tetanus Toxoid. In: Plotkin
S, Orenstein W, Offit P. Vaccines 5th ed. p 820-823. Elsevier Saunders.2006
29. Ogunrin OA. Tetanus-A review of current concepts in management.2009. bjpm 11:
46-59
Ralat
- Pemberian diazepam 10 mg/kg/hari secara IV, atau dengan bolus IV setiap 3-6 jam
dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg/kali pemberian.
- Dosis maksimal diazepam : 40 mg/kg/hari
- Pemberian via pipa nasogastric ataupun rectal dapat diberikan apabila jalur infuse
belum terpasang (dosis sama dengan IV)
- Bila frekuensi napas < 30x/menit, dan alat bantu napas tidak tersedia, pemberian
diazepam harus dihentikan
- Setelah 5-7 hari, dosis diazepam dapat dikurangi secara bertahap dan diberikan
melalui pipa nasogastrik (dengan asumsi pasien mengalami perbaikan)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak periode 7 Februari 2011 - 16 April 2011 Page 20